Ilustrasi
Oleh: Eko Kuntadhi
Pernah dengar di jaman SBY ada bantuan tunai langsung (BLT)? Pasti pernah. Waktu itu masyarakat memang heboh. Setiap waktunya cair, di kantor pos terlihat antrian mengular. Nenek-nenek, para jompo, dipapah memasuki antrian. Sebab kabarnya tidak boleh diwakilkan ketika mengambil.
Manusia yang berjejal antri seharian untuk mendapatkan pencairan dana Rp300 ribuan. Ada yang pingsan karena saking lamanya antri. Mereka adalah orang-orang miskin atau yang diidentifikasi sebagai masyarakat miskin. Berbaris beedesaka menunggu ‘sedekah’ dari negara.
Bayangkan sekitar 19 juta orang penerima BLT tahun 2008, misalnya, berbarengan mau mengambil bantuan tunainya yang turun tiga bulan sekali. Jadi setiap bulan mereka menerima sekitar Rp 100 ribu lebih.
Sementara di jaman itu orang-orang kaya dengan santai memasuki SPBU. Keluar dari mobilnya mengisi premium. Sambil tetap menggenakan kacamata hitam, dia meminta petugas SPBu mengisi bahan bakar full tank, sekitar 40 literan. Tiga hari sekali dia lakukan itu.
Padahal pada setiap liternya negara mensubaidi Rp1.200. Jadi sekali isi mereka mendapat duit langsung dari negara Rp48 ribu. Sebulan kira-kira dia menikmati subsidi Rp480 ribu. Mendapatkannya gak perlu antri berdesakan seperti nenek-nenek msikin itu.
Kenapa pemerintah SBY memerlukan suasana dimana orang-orang miskin itu antri berebut duit? Agar beritanya diketahui semua orang, bahwa pemerintah telah berderma pada rakyat miskin.
Kehebohan itu pasti mengundang rasa ingin tahu dan akhirnya melambungkan bahwa SBY membagi-bagi bantuan pada orang miskin. Saat itu adalah momen menjelang Pilpres. Presiden SBY ingin melanjutkan masa jabatan keduanya.
Hasilnya jelas. Di kalangan rakyat miskin SBY dikenal.sebagai presiden yang suka membagi-bagi duit. Rakyat sampai antri berjejalan untuk mendapatkan duit bantuan. Ada yang terinjak. Ada yang pingsan. Ada ibu renta yang sesak nafas terjepit diantara pengantri. Itu semua adalah drama kehebohan. Jika gak ada kehebohan, gak akan ada jualan politik.
Menyaksikan pembagian BLT waktu itu, kita seperti melihat seorang dermawan membagikan zakat atau daging hewan qurban. Masyarakat berdesakan. Saling sikut. Menampilkan wajah kemiskinan yang utuh. Mereka memang tersiksa, tetapi tetap harus berterimakasih kepada sang dermawan.
Lalu Presiden berganti. Kini tidak ada lagi kehebohan antrian panjang. Bukan berarti bantuan untuk orang miskin hilang. Secara jumlah justru bertambah. Pada 2018, misalnya puluhan juta orang miskin mendapat bantuan Rp1,890 juta pertahun. Nanti pada 2019 diproyeksi bantuannya mencapai maksimal Rp 3,5 juta.
Presiden Jokowi mengambil kebijakan masyarakat miskin tidak perlu antri berdesakan di kantor pos seperti dulu. Mereka tidak usah menunjukan wajah kemiskinannya di depan publik. Pemerintah membagikan kartu, sejenis kartu ATM. Penerima bantuan tinggal masuk ke mesin ATM, colok, lalu keluar duit. Sama seperti nasabah bank lainnya.
“Presiden tidak mau merendahkan mental rakyat dengan cara antri berdesakan untuk menerima bantuan. Muliakan mereka,” kata seorang suatu kali. Ia bercerita tentang jawaban Presiden atas pertanyaan bawahannya yang menyayangkan program bantuan keluarga harapan pemerintah, tidak bisa dikapitalisasi jadi isu heboh yang akan menambah suara dalam Pilpres.
Bagi Jokowi, masyarakat miskin bukan hanya perlu dibantu ekonominya. Tetapi juga perlu dimuliakan hidupnya. Mereka tidak perlu menunjukan wajah kemiskinannya untuk mengundang iba. Pemerintah juga tidak usah mengambil manfaat politik dari program tersebut.
“Dana itu memang hak mereka. Negara hadir untuk mewujudkannya. Gak perlu jadi momentum politik,” ujar Presiden.
Program bantuan yang memuliakan rakyat ini dimulai Jokowi saat dia duduk sebagai Gubernur Jakarta. Waktu itu dia memperkenalkan kartu Jakarta pintar dan kartu Jakarta sehat. Bantuan dana sekolah masuk ke rekening si anak langsung. Lalu bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan sekolahnya.
Sebelumnya dana bantuan sekolah (BOS) masuknya ke sekolah. Bukan ke anak didik. Ini akhirnya tidak membuat anak didik dari keluarga miskin merasakan manfaat langsung.
Sekarang juga begitu, saat Jokowi duduk sebagai Presiden. Ada puluhan juta anak mendapat Kartu Indonesia Pintar. Sementara kekuarganya yang miskin mendapat kartu keluarga harapan.
Mereka gak usah antri berdesakan. Mereka gak perlu menunjukkan wajah kemiskinannya. Mereka tidak harus menampakkan mentalitas seperti pengemis menunggu sedekah. Kata Presiden, pemerintah harus memuliakan mereka.
Sementara masih ada orang yang teriak-teriak rakyat susah. Butuh bantuan, sebab dari kacamatanya kok sekarang gak ada orang antri untuk mendapatkan duit seperti dulu.
Orang yang hobi berteriak itu, mungkin juga orang yang akan antri jika ada iPhone baru diluncurkan dengan harga diskon.
Mereka antri berjejalan untuk menunjukan wajah kemakmurannya. “Kamu ikut antri iPhone juga, kang?,” tanya saya kepada Abu Kumkum.
“Apa urusannya nanya-nanya saya, mas?” Jawabnya ketus.
(Eko-Kuntadhi/Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email