Kantor Pusat MUI
Menjelang pilpres 2019, cawapres Sandiga Uno yang seorang pengusaha tiba-tiba mendapat gelar ulama. Gelar tersebut dinyatakan oleh Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hidayat Nur Wahid.
Hidayat Nur Wahid menyebut bakal calon wakil presiden Sandiaga Uno sebagai ulama. Menurut dia, julukan itu berangkat dari terminologi bahasa Arab yang mengejawantahkan ulama sebagai seseorang yang memiliki keahlian khusus.
Adapun dalam konteks penyematan embel-embel ulama kepada Sandiaga, Hidayat mantap mengakui bahwa mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta itu memiliki banyak keahlian. Sandiaga diakui ahli di bidang ekonomi, di bidang bisnis, dan relasi. Maka itu, ujar Hidayat, Sandiaga layak disebut ulama.
Sementara Menurut Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan, ada tiga tahap yang harus dilalui untuk meloloskan pernyataan tersebut.
“Kasus ini harus dilihat dari sisi akademis. Secara akademis, orang bisa disebut ulama setelah melalui tiga tahap, yaitu identifikasi, kualifikasi, dan uji kompotensi,” kata Amirsyah saat dihubungi Tempo pada Rabu, 19 September 2018.
Tahap identifikasi dilakukan untuk mengetahui latar belakang seseorang. Lalu, tahap kualifikasi ialah menilai apakah benar calon ulama ini mendalami ilmu tertentu secara spesifik dan mempunyai pengetahuan mendalam di bidang agama. Selanjutnya, tahap uji kompetensi ialah gong untuk membuktikannya.
Dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta itu berujar bahwa pihak yang berhak mengawal tiga tahap tersebut adalah perguruan tinggi dengan domain keagamaan. “Tidak bisa sembarangan perguruan tinggi atau lembaga,” ujarnya.
Terlepas dari nuansa politik, kata dia, Amirsyah membenarkan bahwa anggapan sebagian orang yang menyatakan Sandiaga adalah ulama mungkin saja sah. Sebab, merujuk pada makna katanya, ulama adalah seseorang yang berilmu tinggi dan takut kepada Allah. Namun, harus dibuktikan.
“Konteks penyebutan ulama pada kasus Sandiaga Uno itu tercetus karena ia memiliki kompetisi, keilmuan, kepahaman yang mendalam, dan komprehensif di bidang ekonomi,” ujarnya.
Adapun ulama sebenarnya bisa dikategorikan dalam dua hal, yakni ulama perorangan dan kelembagaan. Perorangan berarti seseorang kudu melalui tiga tahap akademis seperti yang dijelaskan Amirsyah. Sedangkan, secara kelembagaan berarti seseorang harus bergabung dengan lembaga keulamaan resmi seperti MUI. Ulama yang dinaungi oleh lembaga keulamaan resmi ini memiliki surat keputusan dan pengesahan dari lembaga hukum dan HAM.
(Tempo/Fokus-Today/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email