Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label ABNS AL QUR'AN. Show all posts
Showing posts with label ABNS AL QUR'AN. Show all posts

Tafsir Surat Yusuf, ayat 102-104


{ذَلِكَ مِنْ أَنْبَاءِ الْغَيْبِ نُوحِيهِ إِلَيْكَ وَمَا كُنْتَ لَدَيْهِمْ إِذْ أَجْمَعُوا أَمْرَهُمْ وَهُمْ يَمْكُرُونَ (102) وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ (103) وَمَا تَسْأَلُهُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ هُوَ إِلا ذِكْرٌ لِلْعَالَمِينَ (104) }

Demikian itu (adalah) di antara berita-berita yang gaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); padahal kamu tidak berada pada sisi mereka, ketika mereka memutuskan rencananya (untuk memasukkan Yusuf ke dalam sumur) dan mereka sedang mengatur tipu daya. Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya. Dan kamu sekali-kali tidak meminta upah kepada mereka (terhadap seruanmu ini), itu tidak lain hanyalah pengajaran bagi semesta alam.

Allah Swt. berfirman kepada Nabi Muhammad Saw. setelah men­ceritakan kisah saudara-saudara Yusuf, bagaimana Allah mengangkat derajat Yusuf di atas mereka, serta menjadikan bagi Yusuf akibat yang terpuji, kemenangan, kerajaan, dan kekuasaan; padahal di awalnya mereka menghendaki kejahatan, kebinasaan, dan pembunuhan terhadap diri Yusuf. Kisah ini dan lain-lainnya yang semisal, hai Muhammad, termasuk berita-berita yang gaib di masa lalu.

{نُوحِيهِ إِلَيْكَ}

yang Kami wahyukan kepadamu. (Yusuf: 102)

dan Kami beritahukan kepadamu, hai Muhammad, karena di dalamnya terkandung pelajaran bagimu dan nasihat bagi orang-orang yang sesudahmu.

{وَمَا كُنْتَ لَدَيْهِمْ}

padahal kamu tidak berada pada sisi mereka. (Yusuf: 102)

Yakni berada di dekat mereka dan tidak pula menyaksikan mereka.

{إِذْ أَجْمَعُوا أَمْرَهُمْ}

ketika mereka memutuskan rencananya. (Yusuf: 102)

untuk memasukkan Yusuf ke dasar sumur.

{وَهُمْ يَمْكُرُونَ}

dan mereka sedang mengatur tipu daya. (Yusuf: 102)

terhadap Yusuf, tetapi Kamilah yang memberitahukannya kepadamu melalui wahyu yang diturunkan kepadamu. Makna ayat ini sama dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu:

{وَمَا كُنْتَ لَدَيْهِمْ إِذْ يُلْقُونَ أَقْلامَهُمْ أَيُّهُمْ يَكْفُلُ مَرْيَمَ وَمَا كُنْتَ لَدَيْهِمْ إِذْ يَخْتَصِمُونَ}

padahal kamu tidak hadir beserta mereka, ketika mereka melemparkan anak-anak panah mereka (untuk mengundi). (Ali Imran: 44), hingga akhir ayat.

{وَمَا كُنْتَ بِجَانِبِ الْغَرْبِيِّ إِذْ قَضَيْنَا إِلَى مُوسَى الأمْرَ وَمَا كُنْتَ مِنَ الشَّاهِدِينَ}

dan tiadalah kamu berada di sisi yang sebelah barat ketika Kami menyampaikan perintah kepada Musa. (Al-Qashash: 44)

sampai dengan firman-Nya:

{وَمَا كُنْتَ بِجَانِبِ الطُّورِ إِذْ نَادَيْنَا وَلَكِنْ رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ}

Dan tiadalah kamu berada di dekat Gunung Tur ketika Kami menyeru (Musa). (Al-Qashash: 46)

{وَمَا كُنْتَ ثَاوِيًا فِي أَهْلِ مَدْيَنَ تَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِنَا وَلَكِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ}

dan tiadalah kamu tinggal bersama-sama penduduk Madyan dengan membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka (Al-Qashash: 45), hingga akhir ayat.

{مَا كَانَ لِيَ مِنْ عِلْمٍ بِالْمَلإ الأعْلَى إِذْ يَخْتَصِمُونَ إِنْ يُوحَى إِلَيَّ إِلا أَنَّمَا أَنَا نَذِيرٌ مُبِ}

Aku tiada mempunyai pengetahuan sedikit pun tentang malaikat-malaikat itu ketika mereka berbantah-bantahan. Tidak diwahyu­kan kepadaku, melainkan bahwa sesungguhnya aku hanyalah seorang pemberi peringatan yang nyata. (Shad: 69-70)

Allah Swt. bermaksud bahwa dia (Nabi Muhammad) adalah rasul-Nya, dan bahwa Dia telah memberitahukan kepadanya kisah-kisah terdahulu yang mengandung pelajaran dan keselamatan bagi agama dan kehidupan dunia mereka. Sekalipun demikian, tiadalah kebanyakan manusia beriman. Karena itu, disebutkan oleh firman Allah Swt.:

{وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ}

Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya. (Yusuf: 103)

Dalam ayat yang lain disebutkan:

{وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ}

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. (Al-An'am: 116)

Makna ayat ini sama dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu: Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar merupakan suatu tanda yang besar (mukjizat), tetapi kebanyakan dari mereka tidak beriman. (Asy-Syu'ara: 67)

Dan ayat-ayat lainnya yang semisal.

*******************

Firman Allah Swt.:

{وَمَا تَسْأَلُهُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ}

Dan kamu sekali-kali tidak meminta upah kepada mereka (terhadap seruanmu ini). (Yusuf: 104)

Yakni kamu, hai Muhammad, sama sekali tidak meminta suatu upah pun sebagai imbalan dari nasihat, seruan kepada kebaikan dan jalan petunjuk ini, melainkan kamu melakukannya hanya semata-mata ingin mencari rida Allah dan memberi nasihat kepada makhluk-Nya.

{إِنْ هُوَ إِلا ذِكْرٌ لِلْعَالَمِينَ}

itu tidak lain hanyalah pengajaran bagi semesta alam. (Yusuf: 104)

yang dijadikan sebagai peringatan bagi mereka, yang memberi petunjuk kepada mereka, dan yang menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat.

(Ibnu-Katsir-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Tujuh dosa besar (Tafsir Surat An-Nisa, ayat 29-31)


Disebut di dalam kitab Sahihain:

مِنْ حَدِيثِ سُلَيْمَانَ بْنِ بِلَالٍ، عَنْ ثَوْر بْنِ زَيْدٍ، عَنْ سَالِمٍ أَبِي الْغَيْثِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "اجْتَنِبُوا السبعَ المُوبِقَاتِ" قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: "الشِّركُ بِاللَّهِ، وقَتْلُ النَّفْس الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ، والسِّحرُ، وأكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ، والتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْف، وقَذْفُ المحصنَات الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ"

melalui hadis Sulaiman ibnu Hilal, dari Saur ibnu Zaid, dari Salim Abul Gais, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: "Jauhilah oleh kalian tujuh dosa yang membinasakan." Dikatakan, "Wahai Rasulullah, apa sajakah hal itu?" Nabi Saw. bersabda, "Mempersekutukan Allah, membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan alasan yang benar. sihir, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang (sabilillah), dan menuduh berzina wanita mukmin yang memelihara kehormatannya yang sedang lalai."

Jalur lain dari Abu Hurairah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.

حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا فَهْد بْنُ عَوْف، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانة، عَنْ عَمْرو بْنِ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم قال: "الْكَبَائِرُ سَبْعٌ، أَوَّلُهَا الإشراكُ بِاللَّهِ، ثُمَّ قَتْل النَّفْس بِغَيْرِ حَقِّهَا، وأكْلُ الرِّبَا، وأَكْلُ مَالِ اليتيمِ إِلَى أَنْ يَكْبُرَ، والفِرَارُ مِنَ الزَّحْفِ، ورَميُ الْمُحْصَنَاتِ، وَالِانْقِلَابُ إِلَى الْأَعْرَابِ بَعْدَ الهِجْرَةِ"

Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Fahd ibnu Auf, telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari Amr ibnu Abu Salamah, dari ayahnya, dari Abu Hurairah secara marfu', bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Dosa besar itu ada tujuh macam, yang pertama ialah mempersekutukan Allah, kemudian membunuh jiwa tanpa alasan yang hak, memakan riba, memakan harta anak yatim sampai ia dewasa, lari dari medan perang, menuduh wanita yang terpelihara kehormatannya berbuat zina, dan kembali ke perkampungan sesudah hijrah.”

Nas yang menyatakan bahwa dosa-dosa besar yang tujuh macam ini tidak berarti meniadakan dosa-dosa besar selainnya, kecuali menurut pendapat orang yang berpegang kepada pengertian kata kiasan. Tetapi pendapat ini lemah jika tidak dibarengi dengan adanya qarinah, terlebih lagi bila adanya dalil yang kuat bagi mantuq yang menunjukkan tidak ada penafsiran lain, seperti yang akan kami ketengahkan dalam pembahasan berikut.

Di antara hadis-hadis yang mengandung penjelasan dosa-dosa besar selain ketujuh macam dosa di atas ialah diriwayatkan oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya.

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ كَامِلٍ الْقَاضِي، إِمْلَاءً حَدَّثَنَا أَبُو قِلَابَةَ عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هَانِئٍ، حَدَّثَنَا حَرْب بْنُ شَدَّاد، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ سِنَان، عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْر، عَنْ أَبِيهِ -يَعْنِي عُمَير بْنَ قَتَادَةَ-رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ حَدَّثَهُ -وَكَانَتْ لَهُ صُحْبَةٌ-أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قَالَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ: "أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ المُصَلُّون مَنْ يُقِيم الصلواتِ الخمسَ الَّتِي كُتبت عَلَيْهِ، ويَصومُ رَمَضَانَ ويَحتسبُ صومَهُ، يَرَى أَنَّهُ عَلَيْهِ حَقٌّ، ويُعطي زكاةَ مَالِهِ يَحْتسِبها، وَيَجْتَنِبُ الْكَبَائِرَ الَّتِي نَهَى اللَّهُ عَنْهَا". ثُمَّ إِنَّ رَجُلًا سَأَلَهُ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا الْكَبَائِرُ؟ فَقَالَ: "تِسْعٌ: الشِّركُ بِاللَّهِ، وقَتْلُ نَفْسِ مُؤْمِنٍ بِغَيْرِ حَقٍّ وفِرارُ يَوْمِ الزّحْفِ، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ، وَأَكْلُ الرِّبا، وقذفُ المُحصنَة وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ الْمُسْلِمَيْنِ، وَاسْتِحْلَالُ الْبَيْتِ الْحَرَامِ قِبْلَتِكُمْ أَحْيَاءً وَأَمْوَاتًا، ثُمَّ قَالَ: لَا يَمُوتُ رَجُلٌ لَا يَعْمَلُ هَؤُلَاءِ الْكَبَائِرَ، وَيُقِيمُ الصَّلَاةَ، ويُؤتِي الزَّكَاةَ، إِلَّا كَانَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي دَارٍ أَبْوَابُهَا مَصَارِيعٌ مِنْ ذَهَبٍ".

Imam Hakim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Kamil Al-Qadi secara imla, telah menceritakan kepada kami Abu Qilabah (yaitu Abdul Malik ibnu Muhammad), telah menceritakan kepada kami Mu'az ibnu Hani', telah menceritakan kepada kami Harb ibnu Syaddad, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abu Kasir, dari Abdul Hamid ibnu Sinan, dari Ubaid ibnu Uniair, dari ayahnya (yakni Umair ibnu Qatadah r.a.) yang mempunyai predikat sahabat, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda dalam haji wada'-nya: Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu adalah orang-orang yang salat, yaitu orang yang mendirikan salat lima waktu yang diwajibkan atas dirinya, puasa Ramadan karena mengharapkan pahala Allah dan memandangnya sebagai suatu kewajiban baginya, dan menunaikan zakat hartanya dengan mengharapkan pahala Allah, dan menjauhi dosa-dosa besar yang dilarang oleh Allah. Kemudian ada seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah dosa-dosa besar itu?” Maka Nabi Saw. menjawab: Ada sembilan macam, yaitu mempersekutukan Allah, membunuh jiwa yang mukmin tanpa alasan yang hak, lari dari medan perang, memakan harta anak yatim, memakan riba, menuduh berzina wanita yang memelihara kehormatannya, menyakiti kedua orang tua yang kedua-duanya muslim, menghalalkan Baitul Haram kiblat kalian dalam keadaan hidup dan mati, kemudian seseorang mati dalam keadaan tidak mengerjakan dosa-dosa besar tersebut, dan ia mendirikan salat serta menunaikan zakat, melainkan ia kelak akan bersama Nabi Saw. di dalam istana yang terbuat dari emas (yakni di dalam surga).

Demikianlah menurut riwayat Imam Hakim secara panjang lebar. Imam Abu Daud dan Imam Nasai mengetengahkannya secara ringkas melalui hadis Mu'az ibnu Hani' dengan sanad yang sama. Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya pula melalui hadis Mu’az ibnu Hani" dengan panjang lebar. Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa para perawi hadis ini menurut kitab Sahihain dapat dijadikan sebagai hujah, kecuali Abdul Hamid ibnu Sinan.

Menurut kami, Abdul Hamid ibnu Sinan adalah seorang ulama Hijaz; ia tidak dikenal kecuali melalui hadis ini. Ibnu Hibban menyebutkannya sebagai seorang yang berpredikat siqah di dalam kitab As-siqat-nya. Imam Bukhari mengatakan bahwa hadis yang diriwayatkan olehnya masih perlu dipertimbangkan.

Ibnu Jarir meriwayatkan hadis ini dari Sulaiman ibnu Sabit Al-Juhdari, dari Salim ibnu Salam, dari Ayyub ibnu Atabah, dari Yahya ibnu Abu Kasir, dari Ubaid ibnu Umair, dari ayahnya, lalu ia menyebutkan hadis ini tanpa menyebut nama Abdul Hamid ibnu Sinan di dalam sanadnya.

Hadis lain yang semakna dengan hadis di atas diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih.

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ عَبْدِ الْحَمِيدِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُسْلِمِ بْنِ الْوَلِيدِ، عَنِ الْمُطَّلِبِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَنْطَبٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: صَعِدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمِنْبَرَ فَقَالَ: "لَا أقْسِمُ، لَا أقْسِمُ". ثُمَّ نَزَلَ فَقَالَ: "أبْشِرُوا، أبْشِرُوا، مَنْ صَلَّى الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ، واجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ السَّبعَ، نُودِيَ مِنْ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ: ادخُل". قَالَ عَبْدُ الْعَزِيزِ: لَا أَعْلَمُهُ إِلَّا قَالَ: "بِسَلَامٍ". قَالَ الْمُطَّلِبُ: سَمِعْتُ مَنْ سَأَلَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرو: أَسْمِعْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُهُنَّ؟ قَالَ: نَعَمْ: "عُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ، وإشْرَاكٌ بِاللَّهِ، وقَتْلُ النَّفْسِ، وقَذْفُ المُحْصنات، وأكْلُ مالِ اليتيمِ، والفِرارُ مِنَ الزَّحفِ، وأكْلُ الرِّبَا"

Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Yunus, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdul Hamid, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz, dari Muslim ibnul Walid, dari Al-Muttalib, dari Abdullah ibnu Hantab, dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa Nabi Saw. naik ke mimbar, lalu bersabda: Aku bersumpah, aku bersumpah. Kemudian beliau turun dan bersabda: Gembiralah, gembiralah kalian; barang siapa yang mengerjakan salat lima waktu dan menjauhi tujuh dosa-dosa besar, kelak ia akan diseru dari semua pintu surga, "Masuklah" Abdul Aziz mengatakan, "Aku merasa yakin bahwa beliau pun mengatakan, 'Dengan selamat"." Al-Muttalib mengatakan bahwa ia pernah mendengar seseorang bertanya kepada Abdullah Ibnu Umar, "Apakah engkau mendengarnya dari Rasulullah Saw.?" Ibnu Umar menjawab: Ya, yaitu menyakiti kedua orang tua, mempersekutukan Allah, membunuh jiwa, menuduh berzina wanita yang memelihara kehormatannya, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan memakan riba.

Hadis lain yang semakna diriwayatkan oleh Abu Ja'far ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya.

حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ، حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ، أَخْبَرَنَا زِيَادُ بْنُ مِخْرَاق عَنْ طَيْسَلَةَ بْنِ مَيَّاسٍ قَالَ: كُنْتُ مَعَ النَّجدات، فَأَصَبْتُ ذُنُوبًا لَا أَرَاهَا إِلَّا مِنَ الْكَبَائِرِ، فَلَقِيتُ ابْنَ عُمَر فَقُلْتُ لَهُ: إِنِّي أَصَبْتُ ذُنُوبا لَا أَرَاهَا إِلَّا مِنَ الْكَبَائِرِ قَالَ: مَا هِيَ؟ قُلْتُ: أَصَبْتُ كَذَا وَكَذَا. قَالَ: لَيْسَ مِنَ الْكَبَائِرِ. قُلْتُ: وَأَصَبْتُ كَذَا وَكَذَا. قَالَ: لَيْسَ مِنَ الْكَبَائِرِ قَالَ -بِشَيْءٍ لَمْ يُسَمِّهِ طَيْسَلَة-قَالَ: هِيَ تِسْعٌ وَسَأَعُدُّهُنَّ عَلَيْكَ: الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ، وَقَتْلُ النَّفْسِ بِغَيْرِ حَقِّهَا وَالْفِرَارُ مِنَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَةِ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ ظُلْمًا، وَإِلْحَادٌ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَالَّذِي يَسْتَسْحِرُ وَبُكَاءُ الْوَالِدَيْنِ مِنَ الْعُقُوقِ. قَالَ زِيَادٌ: وَقَالَ طَيْسَلَةُ لَمَّا رَأَى ابْنَ عُمَرَ: فَرَقي. قَالَ: أَتُخَافُ النَّارَ أَنْ تَدْخُلَهَا؟ قُلْتُ: نَعَمْ. قَالَ: وَتُحِبُّ أَنْ تَدْخُلَ الْجَنَّةَ؟ قُلْتُ: نَعَمْ. قَالَ: أَحَيٌّ وَالِدَاكَ؟ قُلْتُ: عِنْدِي أُمِّي. قَالَ: فَوَاللَّهِ لَئِنْ أَنْتَ ألَنْتَ لَهَا الْكَلَامَ، وَأَطْعَمْتَهَا الطَّعَامَ، لَتَدْخُلَنَّ الْجَنَّةَ مَا اجْتَنَبْتَ الْمُوجِبَاتِ

Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Ziyad ibnu Mikhraq, dari Taisalah ibnu Miyas yang menceritakan bahwa ketika ia baru masuk Islam, ia melakukan banyak perbuatan dosa yang menurut pendapatnya adalah termasuk dosa-dosa besar, lalu ia bersua dengan Ibnu Umar, lalu bertanya kepadanya, "Sesungguhnya aku telah melakukan banyak dosa yang menurut pendapatku adalah dosa besar." Ibnu Umar berkata, "Apa sajakah yang telah engkau lakukan?" Aku (Taisalah) menjawab, "Aku telah melakukan dosa anu dan anu." Ibnu Umar berkata, "Itu bukan dosa besar." Aku berkata, "Aku telah melakukan pula dosa anu dan anu." Ibnu Umar menjawab, "Itu bukan dosa besar." Ibnu Ulayyah berkata, "Apa sajakah yang tidak disebutkan oleh Taisalah?" Ziyad ibnu Mikhraq menjawab, "Yang tidak disebutkan oleh Taisalah ada sembilan macam," seperti dalam penjelasan berikut: Mempersekutukan Allah, membunuh jiwa tanpa hak, lari dari medan perang, menuduh berzina wanita yang terpelihara kehormatannya, memakan riba, memakan harta anak yatim secara aniaya, menghalalkan kesucian Masjidil Haram, melakukan sihir, dan membuat kedua orang tua menangis termasuk menyakitinya (yakni dosa besar). Ziyad melanjutkan kisahnya, bahwa Taisalah mengatakan, ketika Ibnu Umar akan berpisah meninggalkannya, berkatalah Ibnu Umar, "Apakah kamu takut masuk neraka?" Aku (Taisalah) menjawab, "Ya." Ibnu Umar bertanya, "Kamu juga ingin masuk surga?" Aku menjawab, "Ya." Ibnu Umar berkata, "Hormatilah kedua orang tuamu." Aku berkata, "Aku hanya mempunyai ibu." Ibnu Umar berkata, "Jika kamu dapat berkata lemah lembut kepadanya dan memberinya makan, niscaya kamu benar-benar akan masuk surga selagi kamu menjauhi dosa-dosa yang memastikan kamu masuk neraka."

Jalur Lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.

Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Sabit Al-Juh dari Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Salamah ibnu Salam, telah menceritakan kepada kami Ayyub ibnu Atabah, dari Taisalah ibnu Ali An-Nahdi yang menceritakan, "Aku datang menjumpai Ibnu Umar yang sedang berteduh di bawah sebuah pohon siwak di hari Arafah, saat itu ia sedang menuangkan air ke atas kepala dan wajahnya. Lalu aku bertanya, 'Ceritakanlah kepadaku tentang dosa-dosa besar!' Ibnu Umar menjawab, 'Ada sembilan macam. Aku bertanya, "Apa sajakah?' Ibnu Umar menjawab, 'Mempersekutukan Allah, menuduh berzina wanita yang terpelihara kehormatannya.' Aku bertanya, 'Tentu saja sebelum membunuh jiwa." Ibnu Umar berkata, 'Ya, juga membunuh jiwa, yaitu membunuh jiwa yang mukmin, lari dari medan perang, sihir, memakan riba, memakan harta anak yatim, menyakiti kedua orang tua, dan menghalalkan kesucian Masjidil Haram, kiblat kalian dalam keadaan hidup dan mati'."

Demikianlah Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui dua jalur tersebut secara mauquf (hanya sampai pada Ibnu Umar).

Ali ibnul Ja'd meriwayatkannya dari Ayyub ibnu Atabah, dari Taisalah ibnu Ali yang menceritakan bahwa ia datang menemui Ibnu Umar di sore hari pada hari Arafah. Saat itu Ibnu Umar berada di bawah naungan pohon siwak sedang menuangkan air ke atas kepalanya. Lalu ia bertanya kepada Ibnu Umar tentang dosa-dosa besar. Maka Ibnu Umar menjawab bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda bahwa dosa besar itu ada tujuh macam. Abu (Taisalah) bertanya, "Apa sajakah hal itu?" Ibnu Umar menjawab, "Mempersekutukan Allah dan menuduh berzina wanita yang terpelihara kehormatannya." Aku bertanya, "Tentu saja sebelum membunuh?" Ibnu Umar menjawab, "Ya, sebelum membunuh, yaitu membunuh jiwa yang mukmin, lari dari medan perang, melakukan sihir, memakan riba, memakan harta anak yatim, menyakiti kedua orang tua, menghalalkan kesucian Baitullah, kiblat kalian dalam keadaan hidup dan mati."

Hal yang sama diriwayatkan oleh Al-Hasan ibnu Musa Al-Asyyab, dari Ayyub ibnu Atabah Al-Yamani, tetapi di dalamnya terkandung kelemahan.

Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad.

حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا بْنُ عَديّ، حَدَّثَنَا بَقِيَّة، عَنْ بَحير بْنُ سَعْدٍ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدان: أَنَّ أَبَا رُهْم السَّمَعِيَّ حَدَّثَهُمْ، عَنْ أَبِي أَيُّوبَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ عَبَدَ اللَّهَ لَا يُشرِكُ بِهِ شَيْئًا، وَأَقَامَ الصَّلَاةَ، وَآتَى الزَّكَاةَ، وَصَامَ رَمَضَانَ، واجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ، فَلَهُ الْجَنَّةُ -أَوْ دَخَلَ الْجَنَّةَ" فَسَأَلَهُ رَجُلٌ: مَا الْكَبَائِرُ؟ فَقَالَالشِّرْكُ بِاللَّهِ، وقَتْلُ نَفْسٍ مُسْلِمَةٍ، والفِرار يَوْمَ الزَّحْف".

Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Addi, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Khalid ibnu Ma'dan, bahwa Abu Rahin As-Sam’i pernah menceritakan kepada mereka hadis berikut dari Abu Ayyub yang pernah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Barang siapa yang menyembah Allah tanpa mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, mendirikan salat, menunaikan zakat, puasa Ramadan, dan menjauhi dosa-dosa besar, maka baginya surga atau niscaya ia masuk surga. Lalu ada seorang lelaki bertanya, "Apakah dosa-dosa besar itu?" Nabi Saw. Menjawab: Mempersekutukan Allah, membunuh jiwa yang muslim, dan lari dari medan perang.

Imam Ahmad meriwayatkannya pula, dan Imam Nasai melalui banyak jalur periwayatan dari Baqiyyah.

Hadis lain diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih di dalam kitab tafsirnya melalui jalur Sulaiman ibnu Daud Al-Yamani —orangnya daif—, dari Az-Zuhri, dari Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Muhammad ibnu Umar ibnu Hazm, dari ayahnya, dari kakeknya yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. mengirim surat kepada penduduk negeri Yaman yang isinya mengandung hal-hal yang fardu, sunat-sunat, dan masalah diat. Surat itu dibawa oleh Amr ibnu Hazm.

Di dalam surat tersebut antara Lain tertulis:

"إِنَّ أَكْبَرَ الْكَبَائِرِ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: إشْراكٌ باللهِ وقَتْل النفْسِ الْمُؤْمِنَةِ بِغَيْرِ حَقٍّ، والفِرارُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَوْمَ الزَّحْفِ، وعُقوق الْوَالِدَيْنِ، ورَمْي الْمُحْصَنَةِ، وتَعَلُّم السحر، وأكل الربا، وأكل مال اليتيم"

Sesungguhnya dosa yang paling besar di sisi Allah pada hari kiamat ialah mempersekutukan Allah, membunuh jiwa yang mukmin tanpa hak, lari dari medan perang sabilillah, menyakiti kedua orang tua, menuduh berzina wanita yang terpelihara kehormatannya, belajar sihir, memakan riba, dan memakan harta anak yatim.

Hadis lain mengenai masalah ini disebutkan di dalamnya kesaksian palsu.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حدثنا شُعْبَةُ، حَدَّثَنِي عُبَيد اللَّهِ بْنُ أَبِي بَكْرٍ قَالَ: سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ قَالَ: ذَكَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْكَبَائِرَ -أَوْ سُئِلَ عَنِ الْكَبَائِرِ-فَقَالَ: "الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وقَتْلُ النفْسِ، وعُقوق الْوَالِدَيْنِ". وَقَالَ: "أَلَا أُنْبِئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ؟ " قَالَ: "قَوْلُ الزُّورِ -أَوْ شَهَادَةُ الزُّورِ". قَالَ شُعْبَةُ: أَكْبَرُ ظَنِّي أَنَّهُ قَالَ" "شَهَادَةُ الزُّورِ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Abu Bakar yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Anas ibnu Malik menceritakan hadis berikut, bahwa Rasulullah Saw. menuturkan perihal dosa-dosa besar atau ditanya mengenai dosa-dosa besar. Beliau Saw. bersabda: "Mempersekutukan Allah, membunuh jiwa, dan menyakiti kedua orang tua." Dan Nabi Saw. bersabda, "Maukah aku ceritakan kepada kalian tentang dosa yang paling besar?" Kami (para sahabat) berkata, "Tentu saja mau." Nabi Saw. bersabda, "Mempersekutukan Allah dan ucapan atau kesaksian palsu."

Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya melalui hadis Syu'bah dengan lafaz yang sama. Ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui dua jalur lain yang kedua-duanya garib, dari Anas dengan lafaz yang semisal.

Hadis Lain diketengahkan oleh Syaikhain (Imam Bukhari dan Imam Muslim) melalui hadis Abdur Rahman ibnu Abu Bakar, dari ayahnya, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:

"أَلَا أُنْبِئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ؟ "، قُلْنَا: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: "الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ، وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ" وَكَانَ مُتَّكِئًا فَجَلَسَ فَقَالَ: "أَلَا وَشَهَادَةُ الزُّورِ، أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ". فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا: لَيْتَهُ سَكَتَ

"Maukah aku ceritakan kepada kalian tentang dosa-dosa besar?" Kami menjawab, "Tentu saja mau, wahai Rasulullah." Nabi Saw. bersabda, "Mempersekutukan Allah dan menyakiti kedua orang tua." Tadinya beliau bersandar, lalu duduk dan bersabda, "Ingatlah, dan kesaksian palsu, ingatlah, dan perkataan dusta." Nabi Saw. terus mengulang-ulang sabdanya, hingga kami berharap seandainya beliau diam.

Hadis lain disebutkan di dalamnya tentang membunuh anak.

Hadis ini ditetapkan di dalam kitab Sahihain melalui Abdullah ibnu Mas'ud yang menceritakan:

قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ؟ -وَفِي رِوَايَةٍ: أَكْبَرُ-قَالَ: "أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدا وَهُوَ خَلَقكَ" قُلْتُ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: "أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ خَشْيَةَ أَنْ يَطْعَم مَعَكَ". قُلْتُ: ثُمَّ أي؟ قَالَ: "أَنْ تُزاني حَلِيلَةَ جارِك" ثُمَّ قَرَأَ: {وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ [وَلا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ وَلا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا] } إِلَى قَوْلِهِ: {إِلا مَنْ تَابَ}

Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling berat —menurut riwayat yang lain disebutkan paling besar—?" Nabi Saw. bersabda, "Bila kamu membuat tandingan bagi Allah, padahal Dialah yang menciptakan kamu." Aku bertanya, "Kemudian apa lagi?" Beliau Saw. bersabda, "Bila kamu membunuh anakmu karena takut ia makan bersamamu." Aku bertanya lagi, "Kemudian apa lagi?" Beliau Saw. menjawab, "Bila kamu berbuat zina dengan istri tetanggamu." Kemudian beliau Saw. membacakan firman-Nya: Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah. (Al-Furqan: 68) sampai dengan firman-Nya: kecuali orang-orang yang bertobat. (Al-Furqan: 70)

Hadis lain menyebutkan meminum khamr.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Ibnu Sakhr, bahwa ada seorang lelaki menceritakan hadis kepadanya, dari Imarah ibnu Hazm, bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnu Amr ibnul As yang sedang berada di Hijr (Ismail) di Mekah, lalu ia (Imarah) bertanya kepadanya mengenai khamr. Abdullah ibnu Amr menjawab, "Demi Allah, sesungguhnya merupakan dosa besar jika seorang syekh seperti aku berdusta terhadap Rasulullah Saw. di tempat ini." Lalu Imarah pergi, dan lelaki itu bertanya kepada Imarah; maka Imarah kembali (untuk bertanya), lalu ia bercerita bahwa ia bertanya kepada Abdullah ibnu Amr tentang khamr. Maka Abdullah ibnu Amr menjawab, "Minum khamr merupakan dosa paling besar, dan merupakan biang dari segala perbuatan keji. Barang siapa yang minum khamr, niscaya ia meninggalkan salat, dan menyetubuhi ibu dan semua bibinya, baik dari pihak ibu ataupun dari pihak ayah."

Bila ditinjau dari segi ini, hadis berpredikat garib.

Jalur lain diriwayatkan oleh Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih melalui hadis Abdul Aziz ibnu Muhammad Ad-Darawardi, dari Daud ibnu Saleh. dari Salim ibnu Abdullah, dari ayahnya, bahwa Abu Bakar As-Siddiq dan Umar ibnul Khattab serta sejumlah sahabat Rasulullah Saw. duduk berkumpul setelah Rasulullah Saw. wafat, lalu mereka membicarakan tentang dosa yang paling besar, tetapi pembicaraan mereka menemui jalan buntu. Lalu mereka mengutusku kepada Abdullah ibnu Amr ibnul As untuk menanyakan kepadanya tentang masalah tersebut. Abdullah ibnu Amr menceritakan kepadaku bahwa dosa yang paling besar ialah meminum khamr. Aku kembali kepada mereka dan menceritakan jawaban itu kepada mereka. Mereka mengingkari jawaban tersebut. Akhirnya karena tidak puas, maka mereka semua mendatangi Abdullah ibnu Amr di rumahnya. Abdullah ibnu Amr menceritakan kepada mereka bahwa para sahabat pernah berbicara di hadapan Rasulullah Saw., menceritakan suatu kisah sebagai berikut: Dahulu ada seorang raja dari kalangan Bani Israil menangkap seorang lelaki. Kemudian raja menyuruh lelaki itu memilih antara minum khamr, atau membunuh jiwa, atau berzina atau makan daging babi; jika tidak mau, maka raja akan membunuhnya. Akhirnya si lelaki memilih meminum khamr (yang menurutnya dipandang paling ringan di antara semua alternatif). Ternyata setelah ia minum khamr, semua perbuatan yang tadinya ia tolak, kini berani ia lakukan. Sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda kepada kami sebagai jawabannya:

"مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْرَبُ خَمْرًا إِلَّا لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً، وَلَا يَمُوتُ أَحَدٌ فِي مَثَانَتِهِ مِنْهَا شَيْءٌ إِلَّا حَرَّم اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ فإنْ مَاتَ فِي أَرْبَعِينَ لَيْلَةً مَاتَ ميتَةً جَاهِلِيَّةً".

Tidak sekali-kali seorang hamba minum khamr melainkan salat-nya tidak diterima selama empat puluh malam, dan tidak sekali-kali seseorang mati sedang di dalam perutnya terdapat sesuatu dari khamr melainkan Allah mengharamkan surga atas dirinya; dan jika ia mati dalam masa empat puluh malam (sesudah minum khamr), maka matinya adalah mati Jahiliah.

Hadis ini sangat garib bila ditinjau dari segi sanad; akan tetapi Daud ibnu Saleh yang disebut dalam sanadnya dikenal dengan nama "At-Tammar Al-Madani maula orang-orang Ansar", Imam Ahmad sehubungan dengannya mengatakan, "Menurut hematku, dia tidak mengapa (hadisnya dapat dipakai)." Ibnu Hibban menyebutkannya di dalam kitab As-Siqat, "Aku belum pernah melihat seseorang men-tajrih-nya (men-daif-kan dia)."

Hadis lain diriwayatkan dari Abdullah ibnu Amr, di dalamnya disebutkan sumpah palsu.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبة، عَنْ فِرَاسٍ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرو، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "أَكْبَرُ الْكَبَائِرِ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ، وعُقُوق الْوَالِدَيْنِ، أَوْ قَتْل النَّفْس -شُعْبَةُ الشَّاكُّ-وَالْيَمِينُ الغَمُوس"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Firas, dari Asy-Sya'bi, dari Abdullah ibnu Amr, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Dosa-dosa yang paling besar ialah mempersekutukan Allah, menyakiti kedua orang tua, atau membunuh jiwa —Syu'bah ragu— dan sumpah palsu (dusta).

Imam Bukhari, Imam Turmuzi dan Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Syu'bah. Imam Bukhari menambahkan, demikian pula Syaiban; keduanya menerima hadis ini dari Firas dengan lafaz yang sama.

Hadis lain tentang sumpah dusta.

قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا أَبُو صَالِحٍ كَاتِبُ اللَّيْثِ، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ، حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَزِيدَ بْنِ مُهَاجِرِ بْنِ قُنْفُذ التَّيْمِيِّ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْأَنْصَارِيِّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُنَيْسٍ الْجُهَنِيِّ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَكْبَرُ الْكَبَائِرِ الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وعُقوق الْوَالِدَيْنِ، وَالْيَمِينُ الغَمُوس، وَمَا حَلَفَ حَالِفٌ بِاللَّهِ يَمِينَ صَبْر فَأَدْخَلَ فِيهَا مِثْلَ جَنَاحِ الْبَعُوضَةِ، إِلَّا كَانَتْ وَكْتَةً فِي قَلْبِهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ".

Imam Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Saleh juru tulis Al-Lais, telah menceritakan kepada kami Al-Lais ibnu Sa’d, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Sa'id, dari Muhammad ibnu Yazid ibnu Muhajir ibnu Qunfuz At-Taimi, dari Abu Umamah Al-Ansari, dari Abdullah ibnu Unais Al-Juhanni dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Dosa yang paling besar ialah mempersekutukan Allah, menyakiti kedua orang tua, sumpah dusta, dan tidak sekali-kali seseorang bersumpah dengan menyebut nama Allah sumpah yang teguh, lalu ia memasukkan ke dalam sumpahnya itu (kedustaan) seberat sayap nyamuk, melainkan hal itu akan menjadi titik noda di dalam hatinya sampai hari kiamat.

Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab musnadnya, juga oleh Abdu ibnu Humaid di dalam kitab tafsirnya; keduanya dari Yunus ibnu Muhammad Al-Muaddib, dari Al-Lais ibnu Sa'd dengan lafaz yang sama.

Imam Turmuzi mengetengahkannya dari Abdu ibnu Humaid dengan lafaz yang sama, dan Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib. Abu Umamah Al-Ansari adalah Ibnu Sa'labah, namanya tidak dikenal. Tetapi ia telah meriwayatkan banyak hadis dari sahabat-sahabat Nabi Saw.

Guru kami Al-Hafiz Abul Hajjaj Al-Mazzi mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Abdur Rahman ibnu Ishaq Al-Madani, dari Muhammad ibnu Yazid, dari Abdullah ibnu Abu Umamah, dari ayahnya, dari Abdullah ibnu Unais; di dalam sanadnya ditambahkan Abdullah ibnu Abu Umamah.

Menurut kami, memang demikianlah yang disebutkan di dalam tafsir Ibnu Murdawaih dan kitab Sahih Ibnu Hibban melalui jalur Abdur Rahman ibnu Ishaq, seperti yang dikatakan oleh guru kami.

Hadis lain dari Abdullah ibnu Amr, disebutkan penyebab yang membuat kedua orang tua dicaci maki.

قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا عَمْرو بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأَوَدِيُّ، حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ مِسْعر وَسُفْيَانُ، عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ حُمَيد بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو -رَفَعَهُ سُفْيَانُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَوَقَفَهُ مِسْعَرٌ عَلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو -قَالَ: "مِنَ الْكَبَائِرِ أَنْ يَشْتُم الرجلُ وَالِدَيْهِ": قَالُوا: وَكَيْفَ يَشْتُمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ: "يَسُبُّ الرجلُ أَبَا الرَّجُلِ فيسبَّ أَبَاهُ، ويسُبُّ أمَّه فيسب أمه"

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Abdullah Al-Audi, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Mis'ar dan Sufyan, dari Sa'd ibnu Ibrahim, dari Humaid ibnu Abdur Rahman, dari Abdullah ibnu Amr; Sufyan me-rafa'-kannya sampai kepada Nabi Saw., sedangkan Mis'ar me-mauquf-kannya hanya sampai pada Abdullah ibnu Amr, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: "Termasuk dosa besar ialah bila seseorang mencaci kedua orang tuanya." Mereka (para sahabat) bertanya, "Bagaimanakah seorang anak dapat mencaci kedua orang tuanya?" Nabi Saw. bersabda, "Dia mencaci ayah orang lain, maka orang lain membalas mencaci ayahnya. Dan dia mencaci ibu orang lain, maka orang lain membalas mencaci ibunya."

Imam Bukhari mengetengahkannya dari Ahmad ibnu Yunus, dari Ibrahim ibnu Sa'd ibnu Ibrahim ibnu Abdur Rahman ibnu Auf, dari ayahnya, dari pamannya (Humaid ibnu Abdur Rahman ibnu Auf), dari Abdullah ibnu Amr yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"إن مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ أَنْ يَلْعَن الرجلُ وَالِدَيْهِ". قَالُوا: وكيفَ يَلْعَنُ الرجلُ وَالِدَيْهِ؟! قَالَ: "يَسُبُّ الرجلُ أَبَا الرَّجُلِ فيسبَّ أَبَاهُ، ويسُبُّ أمَّه فَيَسُبُّ أُمَّهُ".

"Termasuk dosa besar bila seseorang melaknat kedua orang tuanya." Mereka bertanya, "Bagaimanakah seseorang melaknat kedua orang tuanya?" Nabi Saw. bersabda, "Dia mencaci ayah orang lain, maka orang lain membalas mencaci ayahnya. Dan dia mencaci ibu orang lain, maka orang lain membalas mencaci ibunya."

Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui hadis Sufyan dan Syu'bah serta Yazid ibnul Had, ketiga-tiganya dari Sa'd ibnu Ibrahim secara marfu' dengan lafaz yang semisal. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini sahih.

Dan di dalam kitab sahih disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

«سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ»

Mencaci orang muslim adalah perbuatan fasik dan membunuhnya adalah suatu kekufuran.

Hadis lain mengenai hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ إِبْرَاهِيمَ دُحَيم، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ أَبِي سَلَمَةَ، حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنِ الْعَلَاءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ، والسَّبَّتَان والسَّبَّة"

Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Dahim, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Abu Salamah, telah menceritakan kepada kami Zuhair ibnu Muhammad, dari Al-Ala ibnu Abdur Rahman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Termasuk dosa besar seseorang mencemarkan kehormatan seorang muslim dan melabraknya dengan cacian dan makian.

Demikianlah bunyi hadis menurut riwayat ini.

Dan Imam Abu Daud meriwayatkannya di dalam Kitabul Adab, bagian dari kitab sunnah-nya, dari Ja'far ibnu Musafir, dari Amr ibnu Abu Salamah, dari Zuhair ibnu Muhammad, dari Al-Ala, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda:

«من أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ اسْتِطَالَةُ الْمَرْءِ فِي عِرْضِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ بِغَيْرِ حَقٍّ، وَمِنَ الْكَبَائِرِ السَّبَّتَانِ بِالسَّبَّةِ»

Termasuk dosa besar ialah berlaku sewenang-wenang terhadap kehormatan diri seorang lelaki muslim tanpa hak, dan termasuk dosa besar mencaci makinya.

Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih melalui jalur Abdullah ibnul Ala ibnu Zaid, dari Al-Ala (ayahnya), dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw., lalu ia menyebutkan hadis yang semisal.

Hadis lain menyebutkan perihal menjamak dua salat tanpa uzur.

حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا نُعَيم بْنُ حَمَّادٍ، حَدَّثَنَا مُعْتَمِر بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ حَنَش عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ جَمَعَ بَيْنَ الصَّلاتين مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ، فَقَدْ أَتَى بَابًا مِنْ أَبْوَابِ الْكَبَائِرِ".

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Na'im ibnu Hammad, telah menceritakan kepada kami Mu'tamir ibnu Sulaiman, dari ayahnya, dari Hanasy, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Barang siapa menjamakkan di antara dua salat tanpa uzur, maka sesungguhnya ia telah mendatangi suatu pintu dari pintu-pintu dosa besar.

Hal yang sama diriwayatkan oleh Abu Isa At-Turmuzi, dari Abu Salamah Yahya ibnu Khalaf, dari Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman dengan lafaz yang semisal. Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa Hanasy nama julukannya ialah Abu Ali Ar-Rahbi yang juga dikenal dengan nama Husain ibnu Qais; dia orangnya daif menurut kalangan ahli hadis, dan Imam Ahmad serta lain-lainnya menilainya daif.

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad As-Sabbah, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ulayyah, dari Khalid Al-Hazza, dari Humaid ibnu Hilal, dari Abu Qatadah (yakni Al-Adawi) yang menceritakan, "Pernah dibacakan kepada kami surat Khalifah Umar yang isinya menyebutkan bahwa termasuk dosa besar ialah menggabungkan di antara dua salat —yakni tanpa uzur—, lari dari medan perang, dan merampok." Sanad asar ini sahih.

Tujuannya ialah apabila ancaman ini ditujukan kepada orang yang menggabungkan antara dua salat, seperti salat Lohor dengan salat Asar, baik jamak taqdim ataupun jamak takhir; demikian pula halnya orang yang menjamakkan antara salat Magrib dan salat Isya. Perihalnya sama dengan jamak karena penyebab yang diakui oleh syariat. Barang siapa yang melakukannya tanpa sesuatu pun dari uzur-uzur tersebut (yang disebut di dalam bab persyaratan membolehkan jamak), berarti dia melakukan suatu dosa yang besar, terlebih lagi bagi orang yang meninggalkan salat secara keseluruhan. Karena itu, diriwayatkan di dalam kitab Sahih Muslim sebuah hadis dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda:

«بَيْنَ الْعَبْدِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ تَرْكُ الصلاة»

Antara seorang hamba dan kemusyrikan ialah meninggalkan salat.

Di dalam kitab sunan disebutkan sebuah hadis marfu' yang mengatakan sebagai berikut:

«الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلَاةُ، من تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ»

Janji antara Kami dan mereka adalah salat; barang siapa yang meninggalkannya, berarti ia telah kafir.

Rasulullah Saw. telah bersabda pula:

«مَنْ تَرَكَ صَلَاةَ الْعَصْرِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ»

Barang siapa yang meninggalkan salat Asar, maka sesungguhnya amalnya telah dihapuskan.

«مَنْ فَاتَتْهُ صَلَاةُ الْعَصْرِ فَكَأَنَّمَا وَتِرَ أَهْلَهُ وَمَالَهُ»

Barang siapa yang meninggalkan salat Asar, maka seakan-akan ia ditinggalkan oleh keluarga dan harta bendanya.

Hadis lain menyebutkan putus asa dari rahmat Allah dan merasa aman dari Azab Allah.

قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ أَبِي عَاصِمٍ النَّبِيلُ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا شَبِيب بْنُ بِشْر، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ مُتَّكِئًا فَدَخَلَ عَلَيْهِ رَجُلٌ فَقَالَ: مَا الْكَبَائِرُ؟ فَقَالَ: "الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وَالْيَأْسُ مِنْ رَوْح اللَّهِ، والقُنوط مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ، وَالْأَمْنُ مِنْ مَكْرِ اللَّهِ، وَهَذَا أَكْبَرُ الْكَبَائِرِ".

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Amr ibnu Abu Asim An-Nabil, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Syabib ibnu Bisyr, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa ketika Rasulullah Saw. sedang duduk bersandar, masuklah seorang lelaki dan bertanya, "Apa sajakah dosa-dosa besar itu?" Rasulullah Saw. menjawab melalui sabdanya: Mempersekutukan Allah, ingkar kepada nikmat Allah, dan putus harapan dari rahmat Allah Swt. serta merasa aman dari siksa (pembalasan) Allah, hal ini merupakan dosa yang paling besar.

Imam Al-Bazzar meriwayatkannya dari Abdullah ibnu Ishaq Al-Attar, dari Abu Asim An-Nabil, dari Syabib ibnu Bisyr, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa seorang lelaki pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, apa sajakah dosa-dosa besar itu?" Rasulullah Saw. menjawab:

«الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَالْيَأْسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ، وَالْقُنُوطُ مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ»

Mempersekutukan Allah, ingkar kepada nikmat Allah, dan putus asa dari rahmat Allah Swt.

Akan tetapi, hadis ini di dalam sanadnya masih ada hal yang perlu dipertimbangkan. Hal yang lebih dekat kepada kebenaran bila menilai hadis ini sebagai hadis mauquf (hanya sampai pada Ibnu Abbas), karena sesungguhnya diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud hal yang semisal (yakni mauquf).

قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا هُشَيم، أَخْبَرَنَا مُطَرِّفٌ، عَنْ وَبْرة بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي الطُّفَيْلِ قَالَ: قَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ: أَكْبَرُ الْكَبَائِرِ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَالْإِيَاسُ مِنْ رَوْح اللَّهِ، والقُنوط مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ، وَالْأَمْنُ مِنْ مَكْرِ اللَّهِ.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Mutarrif, dari Wabrah ibnu Abdur Rahman, dari Abut Tufail yang menceritakan bahwa Ibnu Mas'ud r.a. pernah berkata: Dosa yang paling besar ialah mempersekutukan Allah, ingkar kepada nikmat Allah, dan putus asa dari rahmat Allah Swt. serta merasa aman dari pembalasan Allah.

Hal yang sama diriwayatkan melalui hadis Al-A'masy dan Abu Ishaq, dari Wabrah, dari Abut Tufail, dari Abdullah ibnu Mas'ud dengan lafaz yang sama.

Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan pula melalui berbagai jalur dari Abut Tufail dari Ibnu Mas'ud, asar ini tidak diragukan lagi sahih sampai kepada Ibnu Mas'ud.

Hadis lain, di dalamnya disebutkan buruk sangka kepada Allah.

قَالَ ابْنُ مَرْدَوَيْهِ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ بُنْدار، حَدَّثَنَا أَبُو حَاتِمٍ بَكْرُ بْنُ عَبْدَانَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُهَاجِرٍ حَدَّثَنَا أَبُو حُذَيْفَةَ الْبُخَارِيُّ، عَنْ مُحَمَّدُ بْنُ عَجْلَانَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ:] قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ["أَكْبَرُ الْكَبَائِرِ سُوءُ الظَّنِّ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ".

Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ibrahim ibnu Bandar, telah menceritakan kepada kami Abu Hatim (yaitu Bakr ibnu Abdan), telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muhajir, telah menceritakan kepada kami Abu Huzaifah Al-Bukhari, dari Muhammad ibnu Ajlan, dari Nafi', dari Ibnu Umar, bahwa ia pernah mengatakan: Termasuk dosa besar ialah berburuk sangka terhadap Allah Swt.

hadis ini garib sekali.

Hadis lain, di dalamnya disebutkan kembali ke perkampungan sesudah hijrah.

Dalam pembahasan yang lalu disebutkan melalui riwayat Umar ibnu Abu Salamah, dari ayahnya, dari Abu Hurairah secara marfu'.

قَالَ أَبُو بَكْرِ بْنُ مرْدويه: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ أحمد، حدثنا أحمد بن رشدين، حَدَّثَنَا عَمْرو بْنُ خَالِدٍ الْحَرَّانَيُّ، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعة عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ، عَنْ محمد بن سهل ابن أَبِي حَثْمة عَنْ أَبِيهِ قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "الْكَبَائِرُ سَبْعٌ، أَلَا تَسْأَلُونِي عَنْهُنَّ؟ الشِّركُ بِاللَّهِ، وقَتْلُ النفْسِ، والفِرارُ يَوْمَ الزَّحْفِ، وأكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وقَذْفُ المحصَنَة، وَالتَّعَرُّبُ بَعْدَ الْهِجْرَةِ".

Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Rasyidin, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Khalid Al-Har-rani, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, dari Ziyad ibnu Abu Habib, dari Muhammad ibnu Sahl ibnu Abu Khaisamah, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Nabi Saw. pernah bersabda: Dosa besar itu ada tujuh macam, mengapa kalian tidak menanyakannya kepadaku? Yaitu mempersekutukan Allah, membunuh jiwa, lari dari medan perang, memakan harta anak yatim, memakan riba, menuduh berzina wanita yang terpelihara kehormatannya, dan kembali ke perkampungan sesudah hijrah.

Tetapi di dalam sanadnya masih ada hal yang perlu dipertimbangkan. Menilai marfu' hadis ini keliru sekali.

Hal yang benar ialah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, yaitu telah menceritakan kepada kami Tamim ibnu Muntasir, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq, dari Muhammad ibnu Sahl ibnu Abu Khaisamah, dari ayahnya yang menceritakan, "Sesungguhnya aku pernah berada di dalam masjid ini, yakni masjid Kufah. Ketika itu Khalifah Ali r.a. sedang berkhotbah kepada orang-orang di atas mimbarnya seraya berkata, 'Hai manusia sekalian, dosa besar itu ada tujuh macam.' Maka semua orang tunduk terdiam, dan Ali mengulangi ucapannya itu tiga kali, lalu berkata, 'Mengapa kalian tidak mau bertanya kepadaku tentang dosa-dosa besar itu?' Mereka menjawab, "Wahai Amirul Muminin, apa sajakah dosa-dosa besar itu?" Khalifah Ali r.a. menjawab, 'Mempersekutukan Allah, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah, menuduh berzina wanita yang terpelihara kehormatannya, memakan harta anak yatim, memakan riba, lari dari medan perang (jihad), dan kembali ke perkampungan sesudah hijrah.' Maka aku (Muhammad ibnu Sahl) bertanya kepada ayahku, 'Hai ayahku, mengapa kembali ke perkampungan dimasukkan ke dalam bab ini?' Ayahku menjawab, 'Hai anakku, tiada dosa yang lebih besar daripada seseorang yang melakukan hijrah, hingga setelah ia mendapat bagian dari harta fai' dan diwajibkan atas dirinya melakukan jihad, kemudian ia melepaskan diri dari tanggung jawab tersebut dan kembali ke perkampungan Badui seperti keadaan semula'."

Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad,

حَدَّثَنَا هَاشِمُ، حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ -يَعْنِي شَيْبَانَ-عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ هِلَالِ بْنِ يسَاف، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ قَيْسٍ الْأَشْجَعِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ: "أَلَا إِنَّمَا هُنَّ أَرْبَعٌ: أَلَّا تُشْرِكُوا بِاللَّهِ شَيْئًا، وَلَا تَقْتُلُوا النفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ، وَلَا تَزْنُوا، وَلَا تَسْرِقُوا". قَالَ: فَمَا أَنَا بِأَشَحَّ عَلَيْهِنَّ مِنِّي، إِذْ سَمِعْتُهُنَّ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah (yakni Sinan), dari Mansur, dari Hilal ibnu Yusaf, dari Salamah ibnu Qais Al-Asyja'i yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda dalam haji wada'-nya: Ingatlah, sesungguhnya dosa besar itu ada empat: Janganlah kalian mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun, janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah membunuhnya kecuali dengan alasan yang hak, janganlah kalian berzina, dan janganlah kalian mencuri. Salamah ibnu Qais Al-Asyja'i mengatakan, "Setelah aku mendengar hal ini dari Rasulullah Saw., maka aku tidak segan-segan menceritakannya (kepada orang yang belum pernah mendengarnya)."

Kemudian Imam Ahmad meriwayatkannya pula hal yang semisal dengan hadis di atas, juga Imam Nasai serta Ibnu Murdawaih melalui hadis Mansur berikut sanadnya.

Hadis lain, dalam pembahasan yang terdahulu telah diutarakan sebuah hadis melalui riwayat Umar ibnul Mugirah, dari Daud ibnu Abu Hindun, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dari Nabi Saw. yang telah bersabda:

«الْإِضْرَارُ فِي الْوَصِيَّةِ مِنَ الْكَبَائِرِ»

Menimpakan mudarat (terhadap ahli waris) dalam berwasiat merupakan dosa besar.

Tetapi yang sahih ialah yang diriwayatkan oleh selain Umar ibnul Mugirah, dari Daud, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas. Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa menurut pendapat yang sahih, riwayat ini berasal dari Ibnu Abbas dan merupakan perkataannya.

Hadis lain mengenai hal ini.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Abbad ibnu Abbad, dari Ja'far ibnuz-Zubair, dari Al-Qasim, dari Abu Umamah, bahwa ada sejumlah orang dari kalangan sahabat Nabi Saw. sedang berbincang-bincang mengenai dosa-dosa besar; saat itu Nabi Saw. sedang duduk bersandar. Mereka mengatakan, "Dosa-dosa besar itu ialah mempersekutukan Allah, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, menuduh berzina wanita yang terpelihara kehormatannya; menyakiti kedua orang tua, kesaksian palsu, penggelapan (korupsi), sihir, dan memakan riba." Maka Rasulullah Saw. bersabda:

«فَأَيْنَ تَجْعَلُونَ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَأَيْمانِهِمْ ثَمَناً قَلِيلًا»

Lalu di manakah kalian tempatkan apa yang disebutkan di dalam firman-Nya, "Orang-orang yang menukar janji Allah dan sumpah mereka dengan harga yang sedikit"?

Akan tetapi, di dalam sanadnya terkandung kelemahan.

(Ibnu-Katsir-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Keutamaan Surat Al-Mulk


Ibnu Abbas berkata: “Pada suatu hari ada seseorang menghampar jubahnya di atas kuburan dan ia tidak tahu bahwa tempat itu adalah kuburan, ia membaca surat Al-Mulk, kemudian ia mendengar suara jeritan dari kuburan itu: Inilah yang menyelamatkan aku. Kemudian kejadian itu diceriterakan kepada Rasulullah saw. Lalu beliau bersabda: Surat Al-Mulk dapat menyelamatkan penghuni kubur dari azab kubur.” (Ad-Da’awat Ar-Rawandi, hlm 279/817; Al-Bihar 82/ 64, 92/313/2, 102/269/

Imam Muhammad Al-Baqir (sa) berkata: “Surat Al-Mulk adalah penghalang dari siksa kubur, surat ini termaktub di dalam Taurat, barangsiapa yang membacanya di malam hari ia akan memperoleh banyak manfaat dan kebaikan, …Sungguh aku membacanya dalam shalat sunnah sesudah Isya’ dalam keadaan duduk. Ayahku (sa) membacanya pada siang dan malam. Barangsiapa yang membacanya, maka ketika malaikat Munkar dan Nakir akan masuk ke kuburnya dari arah kedua kakinya, kedua kakinya berkata kepada mereka: kalian tidak ada jalan ke arahku, karena hamba ini berpijak padaku lalu ia membaca surat Al-Mulk setiap siang dan malam; ketika mereka datang kepadanya dari rongganya, rongganya berkata kepada mereka: kalian tidak ada jalan ke arahku, karena hamba ini telah menjagaku dengan surat Al-Mulk; ketika mereka datang kepadanya dari arah lisannya, lisannya berkata kepada mereka: kalian tidak ada jalan ke arahku, karena hamba ini telah membaca surat Al-Mulk setiap siang dan malam denganku.” (Al-Kafi 2/233/hadis 2)

Imam Muhammad Al-Baqir (sa): “Bacalah surat Al-Mulk, karena surat ini menjadi penyelamat dari siksa kubur.”
________________________________________

Tafsir Surat Al-Mulk, ayat 28-30
قُلْ أَرَأَيْتُمْ إِنْ أَهْلَكَنِيَ اللَّهُ وَمَنْ مَعِيَ أَوْ رَحِمَنَا فَمَنْ يُجِيرُ الْكَافِرِينَ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ (28) قُلْ هُوَ الرَّحْمَنُ آمَنَّا بِهِ وَعَلَيْهِ تَوَكَّلْنَا فَسَتَعْلَمُونَ مَنْ هُوَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ (29) قُلْ أَرَأَيْتُمْ إِنْ أَصْبَحَ مَاؤُكُمْ غَوْرًا فَمَنْ يَأْتِيكُمْ بِمَاءٍ مَعِينٍ (30)

Katakanlah, "Terangkanlah kepadaku jika Allah mematikan aku dan orang-orang yang bersama dengan aku atau memberi rahmat kepada kami, (maka kami akan masuk surga), tetapi siapakah yang dapat melindungi orang-orang kafir dari azab yang pedih?” Katakanlah, "Dialah Allah Yang Maha Penyayang, kami beriman kepada-Nya dan kepada-Nya kami bertawakal. Kelak kamu akan mengetahui siapakah dia yang berada dalam kesesatan yang nyata." Katakanlah, "Terangkanlah kepadaku jika sumber air kamu menjadi kering; maka siapakah yang akan mendatangkan air yang mengalir bagimu?"

Allah Swt. berfirman:
{قُلْ}

Katakanlah. (Al-Mulk: 28)

hai Muhammad, kepada orang-orang yang mempersekutukan Allah lagi ingkar kepada nikmat-nikmat-Nya.
{أَرَأَيْتُمْ إِنْ أَهْلَكَنِيَ اللَّهُ وَمَنْ مَعِيَ أَوْ رَحِمَنَا فَمَنْ يُجِيرُ الْكَافِرِينَ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ}

Terangkanlah kepadaku jika Allah mematikan aku dan orang-orang yang bersama dengan aku atau memberi rahmat kepada kami, (maka kami akan masuk surga), tetapi siapakah yang dapat melindungi orang-orang yang kafir dari azab yang pedih? (Al-Mulk: 28)

Artinya, selamatkanlah diri kalian, karena sesungguhnya tiada yang dapat menyelamatkan kalian dari azab Allah selain dari tobat dan kembali ke jalan agama-Nya. Dan tiada gunanya lagi bagi kalian apa yang kalian khayalkan bahwa azab dan pembalasan akan menimpa kami. Maka sama saja apakah Allah mengazab kami atau merahmati kami, tidak akan mengubah nasib kalian yang pasti akan tertimpa pembalasan dan azab-Nya yang pedih. Kemudian disebutkan dalam firman berikutnya:
{قُلْ هُوَ الرَّحْمَنُ آمَنَّا بِهِ وَعَلَيْهِ تَوَكَّلْنَا}

Katakanlah, "Dialah Allah Yang Maha Penyayang, kami beriman kepada-Nya dan kepada-Nyalah kami bertawakal. (Al-Mulk: 29)

Yakni kami beriman kepada Tuhan semesta alam Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, dan kepada-Nyalah kami bertawakal dalam semua urusan kami. Sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ

maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya. (Hud: 123)

Untuk itulah maka disebutkan dalam firman berikutnya:
{فَسَتَعْلَمُونَ مَنْ هُوَ فِي ضَلالٍ مُبِينٍ}

Kelak kamu akan mengetahui siapakah dia yang berada dalam kesesatan yang nyata, (Al-Mulk: 29)

Yaitu apakah kami atau kalian, dan bagi siapakah kesudahan yang baik di dunia dan di akhirat nanti? Kemudian Allah Swt. berfirman, menampakkan rahmat-Nya kepada makhluk-Nya:
{قُلْ أَرَأَيْتُمْ إِنْ أَصْبَحَ مَاؤُكُمْ غَوْرًا}

Katakanlah, "Terangkanlah kepadaku jika sumber air kamu menjadi kering.” (Al-Mulk: 30)

Yakni meresap jauh ke dalam lapisan yang sangat dalam di bumi, sehingga tidak dapat dicapai dengan cangkul dan alat besi, tidak pula dapat diraih dengan tangan-tangan yang kuat. Lafaz al-gair adalah lawan kata dari an-nabi', yakni kering lawan kata dari menyemburkan. Maka disebutkan dalam firman berikutnya:
{فَمَنْ يَأْتِيكُمْ بِمَاءٍ مَعِينٍ}

maka siapakah yang akan mendatangkan air yang mengalir bagimu? (Al-Mulk: 30)

Maksudnya, air yang memancar dan mengalir di permukaan bumi. Makna yang dimaksud ialah tiada yang dapat melakukannya selain dari Allah Swt. Maka termasuk dari kemurahan dan karunia-Nya, Allah menyemburkan air bagi kalian dan menjadikannya mengalir di berbagai kawasan di bumi sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh hamba-hamba-Nya di masing-masing kawasan, ada yang memerlukan secukupnya dan ada pula yang memerlukan banyak. Maka segala puji dan karunia hanyalah bagi Allah Swt.
[آخِرُ تَفْسِيرِ سُورَةِ "تبارك" ولله الحمد]

(Ibnu-Katsir-Online/Tafsir-Tematis/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Tafsir Al-Quran, Surat Al-Isra Ayat 7-10


Ayat ke 7:

إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ الْآَخِرَةِ لِيَسُوءُوا وُجُوهَكُمْ وَلِيَدْخُلُوا الْمَسْجِدَ كَمَا دَخَلُوهُ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَلِيُتَبِّرُوا مَا عَلَوْا تَتْبِيرًا (7)

Artinya:
Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam masjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai. (17: 7).

Sebelumnya telah disebutkan bagaimana Allah mengabarkan Bani Israil telah dua kali berbuat kerusakan di muka bumi. Dan setiap kali berbuat kerusakan Allah menjadikan kaum yang lebih kuat menguasai mereka. Kaum ini menghancurkan rumah dan tanah pertanian mereka. Ayat ini kembali mengulangi singgungan Allah sebelumnya.

Ayat menyebutkan, “Dunia yang ditinggali adalah dunia aksi dan reaksi. Bila kalian berbuat baik, niscaya kebaikan pula yang akan kalian saksikan dan bila keburukan yang kalian lakukan, maka keburukan pula yang akan kalian terima. Kalian telah berbuat satu kerusakan di muka bumi dan akibatnya telah kalian rasakan, namun sayangnya kalian tidak mengambil pelajaran dan kembali berbuat kerusakan. Oleh karena itu kalian harus menanti kali ini sebuah kaum akan mengalahkan dan membuat kalian terhina. Kaum tersebut akan mengambil kembali Masjidul Aqsa dan menguasai kalian.”

Mengenai detil peristiwanya dan kapan terjadinya tidak disebutkan dalam ayat-ayat al-Quran. Karena yang terpenting dari pelbagai peristiwa sejarah adalah pelajaran yang dapat diambil oleh semua orang dan bangsa. Semua harus tahu betapa kekafiran tidak akan dibiarkan begitu saja tanpa sangsi. Kerusakan yang dilakukan di atas bumi juga akan mendapat balasannya langsung di bumi.


Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:‎
1. Perbuatan buruk dan baik yang kita lakukan tidak akan merugikan atau menguntungkan Allah dan perlu dicamkan hasilnya kembali kepada diri kita sendiri.
2. Sunnah ilahi tetap dan konstan terkait sejarah dan masyarakat. Setiap orang yang melakukan kerusakan bakal binasa.


Ayat ke 8:

عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يَرْحَمَكُمْ وَإِنْ عُدْتُمْ عُدْنَا وَجَعَلْنَا جَهَنَّمَ لِلْكَافِرِينَ حَصِيرًا (8)

Artinya:
Mudah-mudahan Tuhanmu akan melimpahkan rahmat(Nya) kepadamu dan sekiranya kamu kembali kepada (kedurhakaan), niscaya Kami kembali (mengazabmu) dan Kami jadikan neraka jahannam penjara bagi orang-orang yang tidak beriman. (17: 8)

Sebagai kelanjutan ayat sebelumnya, ayat ini mengatakan, “Jangan pernah berputus asa dari rahmat Allah dan senantiasa mengharapkan rahmat-Nya. Bila kalian telah melakukan kerusakan di muka bumi, tetaplah berharap semoga rahmat Allah meliputimu. Namun bila kalian tetap melakukan kerusakan, ketahuilah rahmat Allah akan ditarik dari kalian dan selain menemui kebinasaan di dunia, kalian juga bakal di siksa di neraka jahannam dengan siksaan yang pedih.”

Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:‎
1. Prinsip hubungan Allah dengan hamba-hamba-Nya adalah rahmat dan cinta. Namun semua itu akan berubah bila hamba-hamba-Nya menghancurkan prinsip ini.
2. Di sisi kabar gembira dan rahmat selalu ada peringatan dan ini satu hal yang mutlak diperlukan demi menjelaskan akibat dari perbuatan merusak.


Ayat ke 9-10:

إِنَّ هَذَا الْقُرْآَنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا (9) وَأَنَّ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآَخِرَةِ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا (10)

Artinya:
Sesungguhnya Al-Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar. (17: 9).

Dan sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, Kami sediakan bagi mereka azab yang pedih. (17: 10).

Dengan berakhirnya ayat-ayat yang membicarakan tentang Bani Israil, ayat yang baru saja kita simak bersama menyinggung posisi al-Quran dalam memberi hidayah kepada manusia. Ayat ini menyebutkan, “Metode hidayah yang dipakai al-Quran merupakan cara yang konstan dan kokoh, tidak akan terpengaruh ruang dan waktu. Jelas, firman Allah dan ucapan Pencipta sangat kokoh dan solid, di mana tidak ada yang mampu merusaknya. Pengetahuan dan hakikat konstan ilahi yang termanisfestasi dalam bentuk ayat-ayat al-Quran di sampaikan kepda manusia dalam bentuknya yang paling sempurna. Karena tujuannya adalah menunjuki manusia kepada kebahagiaan. Dengan demikian, demi menuntun manusia, tidak ada yang kurang dalam al-Quran dan apa saja yang dibutuhkan manusia demi meraih hidayah ilahi telah disiapkan Allah dalam al-Quran.”

Sangat alami bila manusia diciptakan bebas memanfaatkan hakikat dan ajaran al-Quran. Sekelompok orang menerimanya dan berbuat berdasarkan al-Quran. Kelompok manusia ini bakal memanfaatkan hasil konstruktifnya di dunia dan di akhirat. Namun ada sekelompok lain yang mengingkari dan bahkan memusuhi al-Quran. Mereka mendustakan ayat-ayat al-Quran dan mengikuti hawa nafsunya. Tentu saja kelompok kedua ini akan menepis hidayah ilahi yang berujung pada kesesatan mereka. Kelompok ini akan menyaksikan balasan atas pengingkaran mereka baik di dunia dan di akhirat.

Dari dua ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:‎
1.Hidayah al-Quran berdasarkan logika yang kokoh dan tidak ada tempat bagi khurafat dan ilusi.
2. Al-Quran adalah kitab yang abadi dan untuk semua. Ajaran-ajarannya tidak dikhususkan bagi sebuah kaum atau bahasa saja.
3. Termasuk tanda-tanda rahmat ilahi adalah diturunkannya kitab penunjuk manusia. Dalam memanfaatkan rahmat tak terbatas ini kembali pada keinginan dan tekad manusia; iman dan kufur yang akan berujung pada surga atau neraka.

(IRIB-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Surat Al-Ahzab: 33; Pensucian Ahlul Bayt as


“Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan segala jenis kekotoran darimu wahai Ahlul bayt dan mensucikanmu sesuci-sucinya.”

Berdasarkan riwayat dari Aisyah, Ummu Salamah, Abu Sa’id Al-Khudri dan Anas bin Malik, ayat ini turun hanya untuk lima orang, yaitu Rasulullah SAWW, Ali, Fathimah, Hasan, dan Husein as

Rasulullah SAWW bersabda seraya menunjuk kepada Ali, Fathimah, Hasan, dan Husein as: “Ya Allah, mereka ini adalah Ahlul Baytku, maka peliharalah mereka dari keraguan dan sucikan mereka sesuci-sucinya.” Banyak hadis lain yang searti dengan hadis tersebut. Silahkan rujuk:
1. Shahih Muslim, kitab Fadhā`ius Shahābah, bab Fadhā`il Ahli Baytin Nabi SAWW, juz 2, hal. 368, cetakan Isa Al-Halabi; juz 15 hal. 194, Syarah An-Nawawi, cetakan Mesir.
2. Shahih Tirmidzi, juz 5, hal. 30, hadis ke 3258; hal. 328, hadis ke 3875, cetakan Darul Fikr.
3. Musnad Ahmad bin Hanbal, juz 5, hal. 25, cetakan Darul Ma’arif, Mesir.
4. Al-Mustadrak,karya Al-Hakim, juz 3, hal. 133, 146, 147, 158; juz 2, hal. 416.
5. Al-Mu’jamuz Shaghīr,karya Ath-Thabarani, juz 1, hal. 65 dan 135.
6. Syawāhidut Tanzīl,karya Al-Hakim Al-Haskani Al-Hanafi, juz 2, hal. 11-92, hadis ke 637, 638, 639, 640, 641, 644, 648, 649, 650, 651, 652, 653, 656, 657, 658, 659, 660, 661, 663, 664, 665, 666, 667, 668, 671, 672, 673, 675, 678, 680, 681, 686, 689, 690, 691, 694, 707, 710, 713, 714, 717, 718, 729, 740, 751, 754, 755, 756, 757, 758, 759, 760, 761, 762, 764, 765, 767, 768, 769, 770, 774, cetakan pertama, Beirut.
7. Khashā`ish Amīrul Mu`minān, karya An-Nasa’i Asy-Syafi’i, hal. 4, cetakan At-Taqaddum Al-‘Ilmiyah, Mesir; hal. 8, cetakan Beirut; hal. 49, cetakan Al-Haidariyah.
8. Tarjamatul Imam Ali bin Abi Thalibdalam Tārīkh Dimasyq, karya Ibnu ‘Asakir Asy-Sayarifi’i, juz 1, hal. 185.
9. Kifāyatut Thālib,karya Al-Ganji Asy-Syafi’i, hal. 45, 373, 374, 375.
10. Musnad Ahmad, juz 3, hal. 259 dan 285; juz 4, hal. 107; juz 6, hal. 292, 296, 298, 304, dan 306, cetakan Mesir.
11. Usdul Ghābah fī Ma’rifatis Shahābah, karya Ibnu Atsir Asy-Syafi’i, juz 2, hal. 12 dan 20; juz 3, hal. 413; juz 5, hal. 521 dan 589.
12. Dzakhā`irul ‘Uqbā,karya Ath-Thabari Asy-Syafi’i, hal. 21, 23, dan 24.
13. Asbābun Nuzūl,karya Al-Wahidi, hal. 203, cetakan Al-Halabi, Mesir.
14. Al-Manāqib, karya Al-Kharazmi Al-Hanafi, hal. 23 dan 224.
15. Tafsīr Ath-Thabari, juz 22, hal. 6, 7, dan 8, cetakan Al-Halabi, Mesir.
16. Ad-Durrul Mantsūr,karya As-Suyuthi, juz 5, hal. 198 dan 199.
17. Ahkāmul Qurān,karya Al-Jashshash, juz 5, hal. 230, cetakan Abdurrahman Muhammad; hal. 443, cetakan Kairo.
18. Manāqib Ali bin Abi Thalib,karya Ibnu Al-Maghazili Asy-Syafi’i, hal. 301, hadis ke 345, 348, 349, 350, dan 351.
19. Mashābīhus Sunnah,karya Al-Baghawi Asy-Syafi’i, juz 2, hal. 278, cetakan Muhammad Ali Shabih; juz 2, hal. 204, cetakan Al-Khasyab.
20. Misykātul Mashābīh,karya Al-‘Amri, juz 3, hal. 354.
21. Al-Khasysyāfkarya Az-Zamakhsyari, juz 1, hal 193, cetakan Mushthafa Muhammad; juz 1, hal. 369, cetakan Beirut.
22. Tadzkiratul Khawwāsh,karya As-Sibth bin Al-Jauzi Al-Hanafi, hal. 233.
23. Mathālibus Sa`ūl,karya Ibnu Thalhah Asy-Syafi’i, juz 1, hal. 19 dan 20.
24. Ahkāmul Qurān,karya Ibnu ‘Arabi, juz 2, hal. 166, cetakan Mesir.
25. Tafsir Al-Qurthubi, juz 14, hal. 182, cetakan Kairo.
26. Tafsir Ibnu Katsir juz 3 hal. 483, 494, dan 485, cetakan Mesir.
27. Al-fushūlul Muhimmah karya Ibnu Shabbagh Al-Maliki hal. 8.
28. At-Tashīl li ’Ūlūmit Tanzīl, karya Al-Kalbi, juz 3, hal. 137.
29. At-Tafsīrul Munīr li ma’ālimit Tanzīl, karya Al-Jawi, juz 2, hal. 183.
30. Al-Ishābah,karya Ibnu Hajar Asy-Syafi’i, juz 2, hal. 502; juz 4; hal. 367, cetakan Mushthafa Muhammad; juz 2, hal. 509; juz 4, hal. 378, cetakan As-Sa’adah, Mesir.
31. Al-Itqān fī ‘Ulūmil Qurān, karya As-Suyuthi, juz 4, hal. 240, cetakan Mathba’ Al-Masyhad Al-Huseini, Mesir.
32. Ash-Shawā’iqul Muhriqah,karya Ibnu Hajar, hal. 85, cetakan Al-Maimaniyah; hal. 141 dan 227, cetakan Al-Muhammadiyah.
33. Muntakhab Kanzul ‘Ummāl(catatan pinggir) Musnad Ahmad bin Hanbal, juz 5, hal. 96.
34. As-Sīrah An-Nabawiyah, karya Zaini Dahlan (catatan pinggir) As-Sīrah Al-Halabiyah, juz 3, hal. 329 dan 330, cetakan Al-Mathba’ Al-Bahiyah, Mesir; juz 3, hal. 365, cetakan Muhammad Ali Shabih, Mesir.
35. Is’āfur Rāghibīn,karya Ash-Shabban (catatan pinggir) Nurul Abshār, hal. 104, 105, dan 106, cetakan As-Sa’idiyah; hal. 97 dan 98, cetakan Al-‘Utsmaniyah; hal. 105, cetakan Mushthafa Muhammad, Mesir.
36. Ihqāqul Haqq,karya At-Tustari juz 2, hal. 547-502.
37. Fadhā`ilul Khamsah, juz 1, hal. 223 dan 224.
38. Al-Istī’āb,karya Ibnu Abdul Bar (catatan pinggir) Al-Ishābah, juz 3, hal. 37, cetakan As-Sa’adah; juz 3, hal. 317, cetakan Mushthafa Muhammad.
39. Yanābī’ul Mawaddah,karya Al-Qundusi Al-Hanafi, hal. 107, 108, 228, 229, 230, 244, 260, dan 294, cetakan Istambul; hal. 124, 125, 126, 135, 196, 229, 269, 271, 272, 352, dan 353, cetakan Al-Haidariyah.
*****

Disisi Lain Tafsir:

Ayat tentang Kesucian Ahlul Bait Nabi saw

Allah swt menegaskan dalam firman-Nya yang mulia:

إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِب عَنكمُ الرِّجْس أَهْلَ الْبَيْتِ وَ يُطهِّرَكمْ تَطهِيراً

“Sungguh tiada lain Allah berkehendak menjaga kamu dari dosa-dosa hai Ahlul bait dan mensucikan kamu dengan sesuci-sucinya.” (Al-Ahzab/33: 33)

Surat Al-Ahzab: 33 merupakan ayat menegasan tentang kesucian Ahlul bait Nabi saw. Lalu siapakah Ahlul bait Nabi saw itu? Jawabannya ada tiga pendapat.


Pendapat pertama:

Ayat ini khusus untuk: Nabi saw, Ali, Fatimah, Hasan dan Husein (as).
Pendapat ini berdasarkan hadis shahih yang bersumber dari Aisyah, Ummu Salamah, Abu Said Al-Khudri, Anas bin Malik dan lainnya bahwa ayat ini turun hanya untuk lima orang: Rasulullah saw, Ali, Fatimah, Hasan dan Husein (as).

Dalam Tafsir Ad-Durrul Mantsur jilid 5 halaman 198 dan 199:
Jalaluddin As-Suyuthi berkata bahwa Ummu Salamah berkata: Ayat ini turun di rumahku, dan di rumahku ada tujuh: Jibril dan Mikail (as), Ali, Fatimah, Hasan dan Husein (ra), sementara aku ada di pintu rumahku. Kemudian aku berkata: Ya Rasulallah, bukankah aku termasuk ke dalam Ahlul baitmu? Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya kamu adalah orang yang baik, kamu termasuk ke dalam golongan isteri-isteri Nabi (bukan Ahlul bait Nabi saw).”

Abu Said Al-Khudri berkata: Ketika Ummu Salamah Ummul mukminin (ra) berada di rumahnya, turunlah malaikat Jibril kepada Rasulullah saw membawa ayat ini (ayat Tathhir). Kemudian Rasulullah saw memanggil Hasan dan Husein, Fatimah dan Ali (as) lalu beliau menghimpun mereka, menghampar kain untuk mereka, dan melarang Ummu Salamah berhimpun bersama mereka. Kemudian beliau bersabda: Ya Allah, mereka inilah Ahlul baitku, jagalah mereka dari dosa-dosa dan sucikan mereka dengan sesuci-sucinya.”
Lalu Ummu Salamah (ra) berkata: Wahai Nabi Allah, aku bersama mereka? Rasulullah saw bersabda: “Kamu berada dalam kedudukanmu dan kamu adalah orang yang baik.”

Dalam Shahih Muslim, Shahih At-Tirmidzi, Shahih An-Nasa’i, Musnad Ahmad bin Hanbal, Musnad Al-Bazzar, Musnad Abd bin Humaid, Mustadrak Al-Hakim, Talkhish Al-Mustadrak Adz-Dzahabi, Tafsir Ath-Thabari, Tafsir Ibnu Katsir, Ad-Durrul Mantsur menyebutkan bahwa:
Ibnu Abbas, Abu Said Al-Khudri, Jabir Al-Anshari, Sa’d bin Abi Waqqash, Zaid bin Arqam, Ummu Salamah, Aisyah, dan sebagian sahabat yang lain mengatakan: ketika ayat ini turun kepada Rasulullah saw, beliau mengumpulkan keluarganya yaitu Ali, Fatimah, Hasan dan Husein, dan beliau memayungi mereka dengan kain kisa’ sambil bersabda:

اَللَّهُمَّ هَؤُلاَء أَهْلُ بَيْتِي

“Ya Allah, mereka inilah Ahlul baitku.”

Dalam Shahih At-Tirmidzi 2/319, hadis ke 3871, bab 61:
Ummu Salamah berkata bahwa Nabi saw memberi kehormatan yang khusus kepada Hasan dan Husein, Ali dan Fatimah dengan kain kisa’ (mengumpulkan mereka di bawah kain kisa’). Kemudian beliau bersabda:

اَللَّهُمَّ هَؤُلاَء أَهْلُ بَيْتِي وَخَاصَّتِي، أَذْهِبْ عَنْهُمُ الرِّجْسَ وَطَهِّرْهُمْ تَطْهِيْراً

“Ya Allah, mereka inilah Ahlul baitku dan keistimewaanku, jagalah mereka dari dosa-dosa dan sucikan mereka dengan sesuci-sucinya.” Kemudian Ummu Salamah berkata:

وَأَنَا مَعَهُمْ يَا رَسُولَ الله ؟

Ya Rasulullah, aku bersama mereka? Rasulullah saw menjawab:

إِنَّكَ إِلَى خَيْرٍ

“Engkau orang yang baik.”

Dalam Shahih Muslim, kitab Fadhail Ash-Shahabah, bab Fadhail Ahlul bait (as):
Aisyah berkata: Pada pagi hari Nabi saw keluar dari rumah, membawa kain berbulu yang menyerupai rambut yang hitam. Kemudian datang Hasan bin Ali, lalu datang Husein kemudian masuk bersamanya, kemudian datang Fatimah lalu beliau mempersilahkan masuk, kemudian datang Ali lalu beliau mempersilahkan masuk. Kemudian beliau membaca ayat:

إنَّما يُريد اللهُ ليُذْهِبَ عنكم الرّجسَ أهلَ البيت ويُطهّركم تطهيراً

Hadis-hadis tersebut dan yang semakna terdapat:
1. Shahih Muslim, kitab Fadhail Ash-Shahabah, bab Fadhail Ahlul bayt Nabi, jilid 2 halaman 368; cetakan Isa Al-Halabi; jilid 15 halaman 194 dalam syarah An-Nawawi, cetakan Mesir.
2. Shahih At-Tirmidzi, jilid 5 halaman 30, hadis ke 3258; halaman 328, hadis ke 3875, cetakan Darul Fikr.
3. Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 5 halaman 25, cetakan Darul Ma’arif Mesir.
4. Mustadrak Al-Hakim, jilid 3 halaman 133, 146, 147.
5. Mu’jam Ash-Shaghir Ath-Thabrani, jilid 1 halaman 65 dan 135.
6. SyawahidutTanzil, oleh Al-Hakim Al-Haskani Al-Hanafi, jilid 2, halaman 11-92, hadis 637, 638,639, 640, 641, 644, 648, 649, 650, 652, 653, 656, 657, 658, 659, 660, 661, 663, 664, 665, 666, 667, 668, 671, 672, 673, 675, 678, 680, 681, 686, 690, 691, 694, 707, 710, 713, 714, 717, 718, 729, 740, 751, 754, 755, 756, 757, 758, 759, 760, 761, 762, 764, 765, 767, 768, 769, 770, 774, cet pertama, Bairut.
7. Khashaish Amirul Mu’minin, oleh An-Nasa’i Asy-Syafi’i, halaman 8, cet, Bairut; halaman 49,, cet. Al-Haidariyah.
8. Tarjamah Al-Imam Ali bin Abi Thalib, dalam Tarikh Damsyiq, oleh Ibnu Asakir Asy-Syafi’i, jilid 1, halaman 185.
9. Kifayah Ath-Thalib, oleh Al-Kanji Asy-Syafi,i, halaman 45, 373, 375
10. Musnad Ahmad, jilid 3,halaman 259 dan 285;jilid 4, halaman 107; jilid 6, halaman 6: 292, 296, 298, 304, dan 306, cet. Mesir
11. Usdul Ghabah fi Ma’rifati Ash-Shahabah, oleh Ibnu Atsir Asy-Syafi’i, jilid 2, halaman 12 dan 20; jilid 3, halaman 413; jilid 5, halaman 521 dan 589.
12. Dzakhairul ‘Uqba, oleh Ath-Thabari Asy-Syafi’i halaman 21, 23, dan 24.
13. Asbabun Nuzul, oleh Al-Wahidin, halaman 203, cet Al-Halabi, Mesir.
14. Al-Manaqib, oleh Al-Khawarizmi Al-Hanafi, halaman 23 dan 224.
15. Tafsir Ath-Thabari, jilid 22, halaman 6,7 dan 8, cet Al-Halabi, Mesir.
16. Ad-Durrul Mantsur, oleh As-Suyuthi, jilid 5, halaman 198 dan 199.
17. Ahkamul Qur’an, oleh Al-Jashshash, jilid 5, halaman 230, cet Abdurrahman Muhammad; halaman 443, cet. Cairo.
18. Manaqib Ali bin
19. Mashabih As-Sunnah, oleh Al-Baghawi Asy-Syafi’i, jilid 2, halaman 278, cet. Muhammad Ali Shabih; jilid 2, halaman 204, cet. Al-Khasyab
20. Misykat Al-Mashabih, oleh Al-‘Amri, jilid 3, halaman 354.
21. Al-Kasysyaf, oleh Zamakhsyari, jilid 1, halaman 193, cet. Mushthafa Muhammad; jilid 1, halaman 369, cet. Bairut.
22. Tadzkirah Al-Khawwash, oleh As-Sibt bin Al-Jauzi Al- Hanafi, halaman 233.
23. Mathalib As-Saul, oleh IbnuThalhah Asy-Syafi’i, jilid 1, halaman 19 dan 20. Ahkamul Qur’an, oleh Ibnu ‘Arabi, jilid 2, halaman 166, cet. Mesir.
24. Tafsir Al-Qurthubi, jilid 14, halaman 182, cet. Kairo.
25. Tafsir Ibnu Katsir, jilid 3, halaman: 483, 494, dan 485, cet. Mesir.
26. Al-Fushul Al-Muhimmah, oleh Ibnu Shabagh Al-Maliki, halaman 8.
27. At-Tashil Li’ulumi AtTanzil, oleh Al-Kalbi, jilid 3, halaman 137.
28. Tafsir Al-Munir Lima’alim At-Tanzil, Al-Jawi, jilid 2, halaman 183.
29. Al-Ishabah, oleh Ibnu Hajar Asy-Syafi’i, jilid 2, halaman 502; jilid 4, halaman 367, cet. Musththafa Muhammad; jilid 2, halaman 509; jilid 4, halaman 378, cet. As-Sa’adah. Mesir.
30. Al-Itqan fi’Ulumil Qur’an, oleh As-Suyuthi, jilid 4, halaman 240, cet. Mathba’ Al-Mashad Al-Husaini, Mesir.
31. Ash-Shawa’iqul Muhriqah, oleh Ibnu Hajar, halaman 85, cet. Al-Maimaniyah; halaman 141 dan 227, cet. Al-Muhammadiyah.
32. Muntakhab Kanzul ‘Ummul Kanzul ‘Ummul (catatan pinggir) Musnad Ahmad bin Hambal, jilid 5, halaman 96.
33. As-Sirah An-Nabawiyah, oleh Zaini Dahlan (catatan pinggir) As-Sirah Al-Halabiyah, jilid 3, halaman 329 dan 330, cet. Al-Mathba’ Al-Bahiyah, Mesir; jilid 3, halaman 365, cet. Muhammad Ali Shabih, Mesir.
34. Is’afur Raghibin, oleh Ash- Shabban (catatan pinggir) Nurul Abshar, halaman: 104,105, dan 106, cet. As-Sa’idiyah; halaman 97 dan 98, cet. Al-Utsmaniyah; halaman 105, cet. Mushthafa Muhammad, Mesir.
35. Ihqaqul Haqq, oleh At-Tustari, jilid 2, halaman 547-502.
36. Fadhailul Khamsah, jilid 1, halaman 223 dan 224.
37. Al-Isti’ab, oleh Ibnu Abd Al-Birr (catatan pinggir) Al-Ishabah, jilid 3, halaman 37, cet. As-Sa’adah;jilid 3, halaman 317, cet. Mushthafa Muhammad.
38. Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qundusi, halaman: 107, 108, 228, 229, 230, 244, 260, dan 294. cet. Istambul; halaman: 124, 125, 126, 135, 196, 229, 269, 272, 352, dan 353, cet. Al-Haidariyah.


Pendapat yang kedua:

Pendapat ini mengatakan bahwa ayat ini hanya untuk isteri-isteri Nabi saw
Riwayat yang menyatakan bahwa ayat ini turun hanya untuk isteri-isteri Nabi saw adalah riwayat yang bersumber dari Ikrimah, budak Ibnu Abbas. Ikrimah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan khusus untuk isteri-isteri Nabi saw. Ketika ayat ini Ikrimah berteriak-teriak di pasar-pasar untuk menjelaskan pendapat ini.

Ath-Thabari dalam tafsirnya menyebutkan bahwa Ikrimah berteriak-teriak di pasar-pasar (Tafsir Ath-Thabari 22/7; Ibnu Katsir 3/415).

Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Ikrimah berkata: Barangsiapa yang menghendaki keluarga Nabi, ayat ini turun khusus untuk isteri-isterinya. (Tafsir Ibnu Katsir 3/415; Ad-Durrul mantsur 5/195).

Suyuthi menyebutkan bahwa Ikrimah berkata: Tidakkah kalian mendatangi isteri-isteri Nabi saw, ayat ini turun khusus untuk mereka. (Ad-Durrul mantsur 5/198).

Riwayat ini lemah dengan alasan minimal tiga hal:
Pertama: Riwayat ini hanya bersumber dari Ikrimah, tidak adaseorang pun sahabat Nabi saw yang terkemuka meriwayatkan seperti pendapat Ikrimah.
Kedua: Riwayat ini bertentangan dengan hadis-hadis yang shahih dan mutawatir yang disepakati oleh kaum muslimin.
Ketiga: Ikrimah adalah seorang budak yang pendusta, suka melakukan penyimpangan, dan sangat membenci Ahlul bait Nabi saw.


Pribadi Ikrimah

Ikrimah adalah seorang khawarij, bahkan ia termasuk orang yang mempropagandakan Khawarij. Kaum khawarij mengutip riwayat dari Ikrimah kemudian menisbatkan kepada sahabat Nabi saw yang terkemuka.
Adz-Dzahabi mengatakan: Banyak orang membicarakan bahwa pendapat Ikrimah ini adalah pendapat khawarij, ia suka menggunakan hawa nafsunya dalam membicarakan agama. Ia adalah orang yang tercela dalam Islam. Ia tidak shalat, dan suka melakukan dosa-dosa besar.

Para ahli sejarah Islam banyak yang mengatakan bahwa Ikrimah adalah pendusta. Ia adalah seorang budak yang suka berdusta kepada majikannya yaitu Abdullah bin Abbas. Ali bin Abdullah bin Abbas pernah mengikat Ikrimah di tiang pintunya, kemudian orang bertanya kepadanya: Mengapa kamu melakukan hal itu kepada budakmu? Ia menjawab: Budak ini suka berdusta kepada ayahku.
Said bin Musayyab berkata kepada budaknya: Wahai Barda, kamu jangan berdusta kepadaku seperti Ikrimah berdusta kepada Ibnu Abbas.
Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar salah seorang Fuqaha’ Madinah berkata: Sesungguhnya Ikrimah adalah pendusta.
Ibnu Sirin berkata: Ikrimah adalah pendusta.
Malik bin Anas berkata: Ikrimah adalah pendusta.
Yahya bin Mu’in berkata: Ikrimah adalah pendusta.
Anas bin Malik mengharamkan riwayat yang bersumber dari Ikrimah.

Pernyataan tersebut terdapat dalam:
1. Ath-Thabaqat, Ibnu Sa’d, jilid 5, halaman 287.
2. Tahdzibul kamal, Al-Hafizh Al-Muzzi, jilid 20. halaman 264.
3. Mizanul I’tidal, Adz-Dzahabi, jilid 3, halaman 93.
4. Tahdzibut tahdzib, Ibnu Hajar Al-Asqalani, jilid 7, halaman 263.
5. Al-Mughni fi Adh-Dhu’afa’, Adz-Dzahabi, jilid 2, halaman 84.


Pendapat yang ketiga:

Pendapat ini menyatakan bahwa Ayat ini turun untuk Ali, Fatimah, Hasan, Husein, dan isteri-isteri Nabi saw

Jika kita membaca kitab-kitab tafsir yang mu’tabarah, misalnya Zadul Masir fi ilmi At-Tafsir oleh Ibnu Al-Jauzi 6/383, kita akan dapati bahwa riwayat tersebut hanya bersumber dari Adh-Dhahhak, bukan dari sahabat-sahabat Nabi saw yang terkemuka.

Mungkinkah hanya perkataan seorang Adh-Dhahhak dapat menggugurkan riwayat-riwayat yang terdapat dalam kitab-kitab Shahih, Sunan, dan Musnad, yang bersumber dari sahabat Nabi saw yang terkemuka: Ibnu Abbas, Jabir Al-Anshari, Zaid bin Arqam, Said bin Abi Waqqash, Ummu Salamah dan Aisyah.

Anehnya, mereka memaksakan diri untuk memasukkan isteri-isteri Nabi saw ke dalam Ahlul bai (as), padahal Ummu Salamah dan Aisyah sendiri mengatakan Ahlul bait hanyalah: Ali, Fatimah, Hasan dan Husein (as). Ummu Salamah dan Aisyah sendiri menafikan dirinya dari bahwa ayat ini turun untuk keistimewaan isteri-isteri Nabi saw. Mengapa Adh-Dhahhak menisbatkan ayat ini untuk isteri-isteri Nabi saw?

Mungkinkah Nabi saw menjelaskan kata Ahlul bait dalam ayat ini berbeda-beda kepada sahabat yang satu dan yang lain? Tidak mungkin, karena Nabi saw tidak pernah menyalahi kehendak Allah saw untuk menyenangkan hati isterinya.


Kontek kalimat ayat Tahhir

Mereka berusaha menghubungkan kalimat ini dengan kalimat sebelumnya yang membicarakan tentang isteri-isteri Nabi saw, padahal jika dihubungkan bertentangan dengan kaidah ilmu ushul dan ilmu nahwu. Kita perhatikan perubahan dhamir kunna (kata ganti untuk perempuan), dan kata Innama, adatul qashr (kata untuk membatasi persoalan).

Jika Anda memaksakan hal itu berarti Anda telah menyalahi hadis-hadis yang shahih dan mutawatir, dan membelokkan makna yang dikehendaki oleh Allah kepada makna yang Anda kehendaki.

(Tafsir-Tematis/Ahlulbaytku/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Keutamaan Surat Yasin


Keutamaan Surat Yasin, Sebagaimana Kami Uraikan Sebagai Berikut:

1. Rasulullah SAW. bersabda: “Barangsiapa yang membaca surat Yasin karena Allah Azza wa Jalla, Allah akan mengampuni dosanya dan memberinya pahala seperti membaca Al-Qur’an dua belas kali. Jika surat Yasin dibacakan di dekat orang yang sedang sakit, Allah menurunkan untuknya setiap satu huruf sepuluh malaikat. Para malaikat itu berdiri dan berbaris di depannya, memohonkan ampunan untuknya, menyaksikan saat ruhnya dicabut, mengantarkan jezanahnya, bershalawat untuknya, menyaksikan saat penguburannya. Jika surat ini dibacakan saat sakaratul maut atau menjelang sakaratul maut, maka datanglah padanya malaikat Ridhwan penjaga surga dengan membawa minuman dari surga, kemudian meminumkan padanya saat ia masih berada di ranjangnya, setelah minum ia mati dalam keadaan tidak haus, sehingga ia tidak membutuhkan telaga para nabi sampai masuk ke surga dalam keadaan tidak haus.” (Tafsir Nur Ats-tsaqalayn 4/372).

2. Anas bin Malik berkata bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Barangsiapa yang mendatangi pekuburan lalu membaca surat Yasin, maka pada hari itu Allah meringankan siksaan mereka, dan bagi yang membacanya mendapat kebaikan sejumlah penghuni kubur di pekuburan itu.” (Tafsir Nur Ats-tsaqalayn 4/373).

3. Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa): “Sesungguhnya setiap sesuatu mempunyai hati, dan hati Al-Qur’an adalah surat Yasin. Barangsiapa yang membacanya sebelum tidur atau di siang hari sebelum bepergian, maka hari itu sampai sore hari ia tergolong pada orang-orang yang terjaga dan dikaruniai rizki. Barangsiapa yang membaca di malam hari sebelum tidur, Allah mengutus seribu malaikat untuk menjaganya dari keburukan semua setan yang terkutuk dan dari setiap penyakit; jika ia mati pada hari itu, Allah akan memasukkannya ke surga, tiga ribu malaikat hadir untuk memandikannya, memohonkan ampunan untuknya, mengantarkan ke kuburnya sambil memohonkan ampunan untuknya; ketika ia dimasukkan ke liang lahatnya para malaikat itu beribadah kepada Allah di dalam liang lahatnya dan pahalanya dihadiahkan kepadanya, kuburan-nya diluaskan sejauh batas pandang, diamankan dari siksa kubur, dan dipancarkan ke dalam kuburnya cahaya dari langit sampai Allah membangkitkannya dari kuburnya…” (Kitab Tsawabul A’mal, hlm 111).

(Tafsir-Tematis/berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Memohon Seorang Wazir



Ali bin Abi Thalib (sa) wazir Rasulullah saw 

قَالَ رَب اشرَحْ لى صدْرِى‏.وَ يَسرْ لى أَمْرِى‏. وَ احْلُلْ عُقْدَةً مِّن لِّسانى يَفْقَهُوا قَوْلى. وَ اجْعَل لى وَزِيراً مِّنْ أَهْلى‏ هَارُونَ أَخِى. اشدُدْ بِهِ أَزْرِى‏. وَ أَشرِكْهُ فى أَمْرِى‏

“Berkata Musa: ‘Ya Rabbi, lapangkan untukku dadaku, mudahkan untukku urusanku, lepaskan kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku, jadikanlah untukku seorang wazir dari keluargaku, dan jadikan dia sekutu dalam urusanku.”

Rasulullah saw memohon kepada Allah swt seorang wazir dari keluarganya, sebagaimana Nabi Musa (as) memohon wazir dari keluarganya. Allah swt mengijabah permohonannya, Ali bin Abi Thalib (sa) menjadi wazir Rasulullah saw sebagaimana Harun menjadi wazir Nabi Musa (as).

Dalam tafsir Al-Kabir, tentang surat Al-Maidah, 55:
“Sesungguhnya tiada lain pemimpin kalian adalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang menegakkan shalat dan menunaikan zakat ketika sedang ruku.”

Di bagian akhir tafsir ayat ini Fakhrur Razi mengatakan:
Telah diriwayatkan bahwa Abu Dzar Al-Ghifari berkata: Pada suatu hari kami melakukan shalat Zuhur bersama Rasulullah saw, kemudian datang ke dalam masjid seorang peminta-minta dan tidak ada seorang pun yang memberikan sesuatu kepadanya. Lalu peminta-minta itu menengadahkan tangannya ke langit dan berdoa: Ya Allah, saksikan aku meminta-minta di masjid Rasulullah saw, tapi tidak ada seorang pun yang memberikan sesuatu kepadaku.” Saat itu Ali (sa) sedang ruku’, lalu ia mengisyaratkan jari kanannya, yang padanya terdapat cincin, lalu peminta-minta itu mengambil cincinnya dan Rasulullah saw melihatnya. Kemudian Rasulullah saw bersabda: “Ya Allah, sesungguhnya saudaraku Musa bermohon kepada-Mu: Ya Rabbi, lapangkan untukku dadaku, mudahkan untukku urusanku, lepaskan kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku, jadikanlah untukku seorang wazir dari keluargaku, dan jadikan dia sekutu dalam urusanku’ (Thaha: 25-32). Lalu Engkau turunkan Al-Qur’an dengan menyatakan: ‘Kami akan membantumu dengan saudaramu dan Kami berikan kepadamu berdua kekuasaan yang besar.’ (Al-Qashash: 35). Ya Allah, aku adalah Muhammad nabi-Mu dan pilihan-Mu, lapangkan untukku dadaku, mudahkan untukku urusanku, lepaskan kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku, jadikanlah untukku seorang wazir yaitu Ali dari keluargaku, dan dengannya kokohkan punggungku.”

Abu Dzar berkata: Demi Allah, belum selesai Rasulullah saw menyampaikan permohonannya, Jibril datang dan berkata: Wahai Muhammad, aku datang untuk menyampaikan: “Sesungguhnya tiada lain pemimpin kalian adalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang menegakkan shalat dan menunaikan zakat ketika sedang ruku.” (Al-Maidah: 55).

Hadis ini juga disebutkan oleh As-Sablanji dalam kitabnya Nur Al-Abshar, halaman 170. Dan dikutip juga oleh Abu Ishaq Ahmad Ats-Tsa’labi dalam tafsirnya, disebutkan juga dalam:
1. Syawahidut Tanzil, Al-Hakim Al-Haskani Al-Hanafi, jilid 1, halaman 179, hadis ke 235.
2. Tadzkirah Al-Khawwash, As-Sabth bin Al-Jauzi Al-Hanafi, halaman 15.
3. Nurul Abshar, Asy-Syablanji, halaman 70, cet. As-Sa’idiyah; halaman 71, cet. Al-‘Utsmaniyah.
4. Nizham Durar As-Samthin, Az-Zarnadi, halaman 87.
5. Al-Fushulul Muhimmah, Ibnu Shabagh Al-Maliki, halaman 108.
6. Ar-Riyadh An-Nadharah, jilid 2, halaman 214, cetakan kedua.
7. Mathalib As-Saul, Ibnu Thalhah Asy-Syafi’i, jilid 87.
8. Faraid As-Samthin, jilid 1, halaman 192, hadis ke 151.

*****

Disisi Lain Tafsir:

Diriwayatkan bahwa Nabi SAW berdo'a : "Ya Allah, sesungguhnya saudaraku Musa memohon kepada-Mu dengan do'anya : ‘Ya Tuhanku, lapangkan untukku dadaku, mudahkan untukku urusanku, lepaskan kekakuan dari lidahku supaya mereka mengerti perkataanku, dan jadikanlah untukku seorang wazir dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku. Teguhkan dengannya kekuatanku, dan jadikan dia sekutu dalam urusanku”. Lalu Kauwahyukan kepadanya : 'Kami akan membantumu dengan saudaramu, dan Kami berikan kepadamu berdua kekuasaan yang besar, maka mereka tidak dapat mencapaimu berdua (Al-Qashash : 35).

Ya Allah, sungguh aku adalah hamba-Mu dan Rasul-Mu, Muhammad, lapangkan untukku dadaku, dan mudahkan untukku urusanku, dan jadikanlah untukku seorang wazir dari keluargaku, (yaitu) Ali, saudaraku.

Lihat Referensi:
1.Syawāhidut Tanzīl, oleh Al-Hakim Al-Haskani Al-Hanafi, juz 1, hal. 179, hadis : 235.
2.Tadzkiratul Khawwāsh, oleh As-Sibth bin Al-Jauzi Al-Hanafi, hal. 15.
3.Nūrul Abshār, oleh Asy-Syablanji, hal. 70, cet. A-Sa'idiyah, hal. 71, cet. Al-'Utsmaniyah.
4.Nizhām Duraris Simthain, oleh Az-Zarnadi, hal. 87.
5.Al-Fushūlul Muhimmah, oleh Ibnu Shabagh Al-Maliki, hal. 108.
6.Ar-Riyādhun Nādhirah, juz 2, hal. 214, cetakan kedua.]
7.Mathālibus Sa`ūl, oleh Ibnu Thalhah Asy-Syafi'i, juz 87.
8.Farā`idus Simthain, juz 1, hal. 192, hadis ke 151.

(Tafsir-Tematis/Ahlulbaytku/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Terkait Berita: