Kita menyakini bahwa Allah Swt mempunyai kekuasaan mutlak untuk mengatur makhluk-Nya. Dengan dalil ini bahwa apakah Allah Swt akan memasukkan hamba-Nya yang berbuat kebajikan kedalam neraka dan memasukkan hamba-Nya yang berbuat maksiat ke dalam surga? Tidakkah Dia adalah Maha Adil , dan melakukan perbuatan-Nya sesuai dengan hikmah dan keadilan? Dan pembahasan ini terkait ke dalam penjelasan ayat berikut: “Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu.” (QS. Faathir ayat 43).
Adalah
sebuah yang dinamakan perubahan, adanya prediksi bahwa ketika seseorang
memiliki sebuah pengetahuan atau informasi yang terbatas, kemudian
pengetahuan tersebut bertambah sesuai dengan perubahan masa dan waktu.
Atau dapat dikatakan bahwa keberadaan seorang yang memiliki pengetahuan,
tetapi dalam tindakannya selalu mengarah pada kecenderungannya bukan
atas dasar keadilan dan hikmah. Akan tetapi, Allah Swt jauh dari
perumpamaan ini. Dan sunnah Allah yang berlaku pada masa mendatang sama
halnya dengan sunnah yang berlaku pada masa lalu, dan sesekali tidak
mengalami perubahan!
Namun tidaklah semua hukum dapat terlaksana sesuai dengan hikmah dan keadilan di dunia ini. Badan hukum yang terkait dan tindakan seorang pemberi hukum (ulama) secara personal, terkadang tidaklah mampu mengelola hukum sesuai dengan kedua asas ini. Dikarenakan dalam mengaplikasikan hukum yang ada, sering terdapat benturan-benturan oleh sekelompok masyarakat sehingga memungkinkan hukum tersebut tidak terlaksana menurut ketetapan aslinya. Seperti halnya, hukum perkawinan antar beda agama. Sangat jelas, agama melarang hal ini. Maka seharusnya dijalankan menurut syariat Islam yang sebenarnya. Akan tetapi sangat disayangkan, mereka yang bersangkutan mencoba mencari-cari dalil untuk membenarkan perbuatan ini. Apapun permasalahannya, syariat Islam telah mengatur ketentuan hukum tersebut dan tidaklah berhak seorang ulama untuk merubah hukum yang ada.
Sebuah badan hukum milik instansi pemerintah dan masyarakat diharuskan memiliki perundang-undangan yang jelas dan pondasi hukum yang kuat. Sehingga dalam penerapan kebijaksanaanya tidak terpengaruh pada pihak-pihak yang tertentu, tanpa perubahan (statis) dalam sebuah situasi dan kondisi apapun. Dan peran ulama didalamnya sebagai pengayom dan pembina masyarakat dapat menjalankan tugasnya. Namun, dalam beberapa hal yang menyangkut metode, strategi pertahanan, jenis peralatan dan perlengkapan bisa jadi mengalami perubahan menurut situasi dan kondisi zaman. Misalnya penggunaan jenis senjata modern dalam pertahanan (difa’), tidak merubah hukum wajib bagi pertahanan tersebut.
Ulama atau mujtahid dalam penetapan sebuah hukum, diharuskan tidak berdasarkan pendapat pribadi. Mereka para mujtahid memiliki otoritas penetapan hukum berupa penyingkapan sebuah nash yang dijadikan sandaran dalil untuk beramal. Terkadang hukum yang disandarkan telah menggantikan hukum asli disebabkan faktor tertentu misalnya; adanya sebuah maslahat atau darurat yang disebabkan situasi dan kondisi. Hukum kedua tersebut bukanlah dianggap sebagai sebuah perubahan dari hukum pertama. Melainkan adanya hukum yang diperuntukkan dalam sebuah maslahat sebagai jalan penyelesaian dari permasalahan hukum yang pertama.
Tidak ada kuasa atau dalil mereka melakukan sebuah wewenang penetapan perubahan sebuah hukum. Nabi Saaw dan para washinya as yang memliki wilayah tasri’i (bukan takwini) yang mendapatkan legalitas penetapan hukum, bukan perubahan dalam arti yang sebenarnya. Yang tentunya, hukum yang nabi jelaskan kepada umatnya berasal dari Allah Swt. Yang Dialah telah menetapkan segala sesuatu tanpa sebuah perubahan. Dan Dialah sebagai Pemilik Ilmu Azali dan Abadi.
Islam sebagai agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saaw, yang sejak mula mendengungkan ketauhidan dan ajaran yang murni dari Tuhannya, mengajarkan bentuk syariat yang tulen dan bersih dari noda kesyirikan dan kejahilan. Penisbatan kemurnian ajaran tersebut, diabadikan dalam sebuah hadist yang berbunyi: “Sesuatu yang halal disisi Muhammad adalah halal hingga hari kiamat. Dan haram di sisi beliau Saaw adalah haram hingga hari kiamat”.
Jadi dalam pengertian ayat diatas, tidak adanya perubahan hukum di sisi Allah Swt baik hukum itu secara takwini maupun tasri’i. Ini membuktikan bahwa Dialah Yang Maha Tahu dan menetapkan ketetapan hukum-Nya sesuai dengan hikmah dan keadilan. Oleh karenanya, tidak mungkin selain-Nya akan lebih mengetahui untuk berbuat menggantikan dan merubah hukum-Nya. Dan ayat di atas, diperjelas dengan surat Ruum ayat 9 yang berbunyi: “Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang sebelum mereka? orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan Telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang Telah mereka makmurkan. dan Telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri”.
Sumber: http://abuaqilah.wordpress.com/2007/08/09/apakah-hukum-allah-mengalami-perubahan/
Post a Comment
mohon gunakan email