Saya mendengar bahwa Umar dengan invasi militer ke Iran pada masa
Yazdgerd III telah menjadi penyebab orang-orang Iran, termasuk kita
yang sekarang ini memeluk Islam! Apakah hal ini benar adanya? Apabila
hal ini benar adanya dapatkah dikatakan bahwa kita memeluk Islam berkat
Umar, sehingga karena itu kita harus berterima kasih kepadanya?
Jawaban: Apabila
yang dimaksud bahwa orang-orang Iran baru menjadi Muslim pada masa
pemerintahan Umar maka kemungkinan ini tidak dapat diterima; karena
sebelum penaklukan Iran oleh orang-orang Arab dan kaum Muslimin, sudah
terdapat sebagian orang Iran di negara-negara lain yang telah memeluk
Islam pada masa awal-awal kemunculan Islam. Dan apabila yang dimaksud
bahwa sebagian orang Iran pada masa pemerintahan Umar—lantaran pengaruh
Islam di Iran dan perilaku kaum Muslimin—kemudian memeluk Islam, maka
pandangan ini dapat diterima; karena sebagian orang Iran pada masa
pemerintahan Umar—setelah peperangan berkelanjutan dan kemenangan
orang-orang Arab Muslim atas Iran—memang ada yang kemudian memeluk
Islam.
Jawaban: Terdapat dua kemungkinan sehubungan dengan maksud bahwa orang-orang Iran menjadi Muslim berkat peran dan usaha Umar:
Pertama,
seluruh orang Iran pada masa pemerintahan Umar telah memeluk Islam dan
Umar memiliki peran utama menjadikan mereka sebagai Muslim. Kemungkinan
pertama ini tidak dapat diterima; karena sebelum penaklukan Iran oleh
orang-orang Arab dan kaum Muslimin, terdapat sebagian orang Iran yang
bermukim di negara-negara lain dan mereka telah menjadi Muslim pada masa
awal-awal kemunculan Islam.
Syahid
Muthahhari dalam hal ini menulis, “Ketertarikan orang-orang Iran
terhadap agama suci Islam bermula sejak awal kemunculan Islam, sebelum
syariat suci Islam yang dibawa oleh para mujahid Muslim datang ke negeri
ini. Orang-orang Iran yang bermukim di Yaman memiliki kecenderungan
terhadap Islam dan dengan semangat yang tinggi mereka tunduk di hadapan
hukum-hukum al-Qur’an serta berupaya dengan jiwa dan raga untuk
menyebarkan syariat Islam bahkan mereka mengorbankan jiwa di jalan Islam
dan melawan orang-orang yang menentang Nabi Muhammad Saw.”[1]
Demikian juga, pada masa hidup Rasulullah Saw,
berkat propaganda (tabligh) Islam sebagian orang Bahrain yang pada masa
itu merupakan tempat kediaman orang-orang Iran Majusi dan non-Majusi,
memeluk ajaran samawi ini dan menjadi Muslim. Bahkan penguasa di tempat
itu diangkat oleh Raja Iran ketika itu.
Orang-orang
Iran yang pertama memeluk Islam adalah mereka yang bermukim di Yaman
dan Bahrain. Namun apabila kita ingin meninjaunya secara personal, boleh
jadi orang Iran yang pertama kali memeluk Islam adalah Salman Farisi
dan sebagaimana yang kita ketahui bahwa keislaman orang Iran ini
sedemikian tinggi sehingga mendapatkan kemuliaan dengan sabda Rasulullah
Saw, “Salman minna Ahlulbait.”[2]
Kedua,
adanya kemungkinan lain bahwa sebagian orang Iran pada masa
pemerintahan Umar—lantaran pengaruh Islam di Iran dan perilaku kaum
Muslimin—maka mereka memeluk Islam. Kemungkinan ini dapat diterima;
karena sebagian orang Iran memeluk Islam pada masa pemerintahan Umar
karena lelah atas peperangan berkelanjutan dan kemenangan orang-orang
Arab Muslim atas Iran.
Salah
satu pengaruh penting kemenangan kaum Muslimin adalah penetrasi Islam
secara signifikan di Iran. Sudah menjadi sebuah keniscayaan, apabila
sebuah negara meraih kemenangan dalam sebuah perang, maka kebudayaan,
tradisi, keyakinan-keyakinan agama, dan politik negara penakluk akan
berpengaruh banyak pada negara yang ditaklukkan. Paska penaklukan Iran,
perilaku rasional dan logis sebagian kaum Muslimin terhadap orang-orang
Iran, telah membuat sebagian orang Iran terpesona dan terpengaruh dengan
perilaku tersebut. Perilaku kaum Muslimin dan daya tarik Islam, dari
satu sisi, dan ruang penerimaan orang-orang Iran atas Islam, dari sisi
lain, telah menyebabkan sebagian orang Iran menerima Islam dan menjadi
Muslim.
Media-media
penerimaan Islam dari orang-orang Iran, ketertarikan mereka terhadap
ajaran Islam, dan pelayanan mereka terhadap Islam telah membuat sebagian
Imam Maksum as memuji orang-orang Iran.
Atas
dasar ini harus dikatakan bahwa orang-orang Iran menjadi Muslim sama
sekali tidak ada kaitannya dengan Umar dan kebijakan politiknya,
melainkan karena pengaruh, daya tarik Islam dan perilaku kaum Muslimin
yang menyebabkan mereka meyakini dan menerima Islam. Dan pandangan bahwa
orang-orang Iran menerima Islam karena paksaan dan desakan Umar adalah
pandangan yang tidak dapat diterima.
Untuk
telaah lebih jauh tentang persoalan sejarah ini, kami persilakan Anda
untuk merujuk pada indeks: Penaklukan Iran dan Kebebasan dalam Memilih
Agama, Pertanyaan 2433 (Site: 2553).
Mengapa tatkala menaklukkan Iran kaum Muslimin tidak mengizinkan orang-orang Iran memilih agama secara bebas?
Jawaban: Memaksa
seseorang dalam menerima agama adalah suatu hal yang tidak mungkin
dapat dilakukan. Proses penyebaran Islam di Iran juga klaim keterpaksaan
orang-orang Iran dalam menerima Islam tidak dapat diterima. Karena pada
dasarnya kondisi keterpaksaan seperti ini tidak sesuai dengan watak dan
karakter orang Iran yang suka kebebasan. Sebagai contoh, setelah
penyerangan orang-orang Mongol ke Iran yang boleh jadi merupakan
penyerangan yang paling bengis dan kejam yang pernah terjadi di Iran dan
berujung pada punahnya sebagian besar warisan kebudayaan Iran-Islam,
orang-orang Iran tidak hanya menolak ajaran orang-orang Mongol bahkan
seiring dengan perjalanan waktu, orang-orang Mongol berkat interaksi dan
pertemanan dengan para ilmuan Islam Iran mereka memeluk Islam.
Jawaban: Sehubungan dengan pertanyaan Anda, pertama-tama kami akan menjelaskan dua poin penting sebagai berikut:
1. Pelbagai
peristiwa yang terjadi tatkala penaklukan pasca wafatnya Rasulullah Saw
sama sekali tidak dapat dibenarkan seratus per seratus. Karena dalam
keyakinan Syiah, khalifah hak Rasulullah Saw adalah Imam Ali As yang
banyak memberikan kontribusi bimbingan dan panduan dalam masalah seperti
ini. Namun bagaimanapun ketika itu, kekuasaan untuk mengambil keputusan
berada di tangan orang lain.
2. Hanya
saja Anda tidak menyodorkan dalil referensial yang menyatakan bahwa
orang-orang Muslim Iran terpaksa menerima agamanya dan dengan menganggap
peristiwa ini benar-benar terjadi sembari Anda mencari-cari dalilnya.
Untuk
menjelaskan kondisi Iran pada masa penaklukan di tangan kaum Muslimin
cukup bagi Anda mengkaji beberapa peristiwa yang terjadi pada masa itu.
Pelbagai penaklukan ini terjadi tatkala Raja Sasanid berhadapan dengan
pelbagai keonaran internal dan protes rakyat Iran.
Yezdgerd
III raja terakhir Dinasti Sasanid adalah seorang pemuda tanggung yang
tanpa kemampuan manejerial yang memadai telah menggiring Iran menjadi
sebuah negara yang lemah dan atas dasar ini musuh-musuh menyerang Iran[1] dari pelbagai penjuru.[2]
Dalam
penyerangan kaum Muslimin juga meski ibukota Iran terletak di Taispun
(kota Madain Iran sekarang ini) Yeadegerd III pertama kali kabur ke kota
Rey namun gubernurnya di kota Rey menolak kehadirannya. Kemudian ia
pergi ke Isfahan namun di sana juga ia tidak merasa aman dan bertolak
menuju Kerman.
Setelah beberapa lama bermukim di Kerman, Yezdgerd III
kabur ke kota Moro dan pada jarak dua farsakh dari kota tersebut, ia
membuat sebuah altar dan di tempat itu ia melakukan kontak dengan para
panglimanya dari satu sisi. Dan dari sisi lain, ia meminta bantuan dari
beberapa orang raja dari negara-negara lain.
Tatkala ia ingin mencari
perlindungan ke negeri Cina ia berhadapan dengan penentangan serius dari
para pembesar Iran. Mereka menyalahkannya dan beralasan bahwa apabila
kita berdamai dengan kaum Muslimin yang taat beragama, mengingat
kesetiaan mereka dan kita tetap tinggal di negeri kita maka hal itu
lebih baik ketimbang mencari suaka di negeri lain yang bukan saja tidak
beragama dan juga tidak jelas apakah mereka setia dengan janji mereka.
Pertentangan dan konfrontasi antara orang-orang Iran dan raja mereka
terus berlanjut hingga Yezdgerd III terbunuh oleh seorang Asia di Moro[3] dan dengan demikian dinasti kerajaan Sasanid pun berakhir dan kaum Muslimin berhasil merebut kekuasaan di Iran.
Proses peralihan kekuasaan, kecuali dalam beberapa kasus tertentu, [4]dilakukan
tanpa adanya pertumpahan darah. Kemudian setelah itu, orang-orang
Iranlah yang dengan semangat dan gairah yang tinggi memainkan peran
penting dalam menyebarkan Islam. Di antara dalil yang menegaskan bahwa
orang-orang Iran tidak terpaksa dalam menerima Islam adalah kebanyakan
ulama Islam berasal dari negeri Persia.
Penyusun kitab-kitab ternama Syiah yaitu Kutub al-Arba’ah misalnya Syaikh Shaduq (dari kota Rey), Syaikh Kulaini (dari sebuah desa dekat kota Rei), Syaikh Thusi (dari Thus Khurasan).
Penyusun kitab-kitab ternama Ahlusunnah yaitu Shihâh Sittah
juga adalah orang-orang Persia seperti Bukhari (dari Bukhara), Muslim
(dari Naisyabur), Turmidzi (dari Turmudz), Nisai (Nisa), Ibnu Majah
(dari Qazwin), dan Abu Daud (dari Siistan) yang kesemua penyusun kitab
ini berasal dari tempat-tempat yang secara geografis termasuk dalam
wilayah Iran ketika itu.
Dengan
mencermati kitab-kitab lainnya juga akan kita jumpai pengaruh
kebanyakan para ulama Iran lainnya bagi Islam dan kaum Muslimin.
Dalil
lainnya adanya kecendrungan hati orang-orang Iran terhadap Islam adalah
bahwa pasca penyerangan orang-orang Mongol ke Iran yang boleh jadi
merupakan penyerangan yang paling bengis dan paling berdarah yang pernah
terjadi di Iran dan berujung pada punahnya sebagian besar warisan
kebudayaan Iran-Islam, orang-orang Iran, tidak hanya tidak tertarik
kepada agama dan ajaran orang-orang Mongol bahkan seiring dengan
perjalanan waktu, orang-orang Mongollah yang kemudian memeluk Islam buah
dari pertemanan dan interaksi mereka dengan para ilmuan Iran.
Kesimpulan
yang dapat ditarik dari semua ini bahwa pemaksaan masyarakat kuat dan
besar semisal Iran tidak dapat diterima mengingat latar belakang
kebudayaan Iran adalah peradaban paling kuno di dunia. Jadi kecil
kemungkinan mereka terpaksa dalam dalam menerima agama baru. Dan apabila
rakyat Iran menerima Islam secara lahir dan karena paksaan, maka pada
kesempatan pertama dan persis ketika menyaksikan adanya kelemahan dalam
pemerintahan Islam tentu mereka akan bangkit memberontak melawan
pemerintahan tersebut. Sementara kita saksikan adanya pelbagai gerakan
pemberontakan dengan slogan-slogan non-Islam tidak mendapat sambutan
hangat dari orang-orang Iran.
Bahkan sebaliknya, pelbagai kebangkitan
menuntut keadilan seperti gerakan-gerakan Alawiyan yang menyerukan
dihidupkannya kembali nilai-nilai orisinal Islam, gerakan-gerakan itu
mendapat sokongan penuh dan luas orang-orang Iran dan sebagaimana yang
Anda saksikan mazhab yang mayoritas dianut di Iran adalah mazhab
Ahlulbait padahal kebanyakan pasukan kaum Muslimin yang merupakan para
penakluk pertama Iran tidak demikian adanya dan pengikut para khalifah
pada masa itu. Dan hal ini merupakan dalil yang lain bahwa Islam tidak
masuk secara paksa dalam hati-hati orang-orang Iran. Karena pada
dasarnya orang-orang Syiah tidak memiliki kekuasaan pemerintahan yang
dapat melaksanakan paksaan ini. Sejatinya pemaksaan menerima suatu agama
tidak mungkin dapat dilakukan. Sebagaimana pada masa kontemporer juga
kita saksikan bahwa pasca dasawarsa berturut-turut Islam phobia
berkembang di negara-negara bagian Uni Soviet dan propaganda ide-ide
komunis dan semisalnya dan adanya upaya untuk memaksa masyarakatnya
untuk menganut ajaran komunis, namun kaum Muslimin di wilayah tersebut
tidak kuasa menahan pelbagai kesulitan yang ditimpakan kepada mereka,
hingga batasan tertentu kaum Muslimin menjaga identitas keislaman mereka
dan hal ini juga ada dapat diterapkan bagi orang-orang Kristen yang
bertempat tinggal di tempat itu.
[1]. Musuh-musuh
dari pelbagai penjuru dan bukan hanya orang-orang Arab Muslim yang
berasal dari wilayah Barat (Perhatikan baik-baik)
Bagaimana sikap Imam Ali As terhadap pengerahan pasukan para khalifah ke beberapa negara?
A. Terkait peperangan yang berkecamuk, seperti perang dengan Iran (Persia) dan Roma serta pembebasan Baitul Muqaddas, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As diajak bermusyawarah meski beliau sendiri tidak ikut dalam peperangan tersebut. Dalam kondisi seperti ini, Imam Ali As memandang tak
hanya berdasarkan kemaslahatan Islam dan kaum Muslimin akan tetapi juga
berdasarkan kemaslahatan seluruh umat manusia, khususnya kaum tertindas
dan kalangan mustadh’afin.
Dalam perang melawan Iran, Imam Ali As sebagai Imam Maksum sekaligus seorang Pemimpin, begitu peduli dan menginginkan kebaikan untuk seluruh dunia (bahkan untuk non-Muslim dan orang-orang kafir) dengan mengungkapkan pandangannya; mengarahkan semua peperangan tersebut agar minim risiko dan tak terlalu banyak korban dan biaya. Demikianlah yang terjadi.
Namun yang patut diperhatikan, seandainya Rasulullah Saw masih hidup atau Imam Ali As yang menjadi khalifah paska Rasul, tentu saja berbagai penaklukan tersebut tidak akan terjadi seperti itu. Artinya, semua penaklukan yang diraiih pada masa para khalifah tidak mendapat dukungan mutlak dari Imam Ali As.
Dalam perang melawan Iran, Imam Ali As sebagai Imam Maksum sekaligus seorang Pemimpin, begitu peduli dan menginginkan kebaikan untuk seluruh dunia (bahkan untuk non-Muslim dan orang-orang kafir) dengan mengungkapkan pandangannya; mengarahkan semua peperangan tersebut agar minim risiko dan tak terlalu banyak korban dan biaya. Demikianlah yang terjadi.
Namun yang patut diperhatikan, seandainya Rasulullah Saw masih hidup atau Imam Ali As yang menjadi khalifah paska Rasul, tentu saja berbagai penaklukan tersebut tidak akan terjadi seperti itu. Artinya, semua penaklukan yang diraiih pada masa para khalifah tidak mendapat dukungan mutlak dari Imam Ali As.
B. Para khalifah pada masa itu sengaja menyingkirkan dan merumahkan Imam Ali As. Sehingga pada masa khalifah Abu Bakar, Umar dan Usman, beliau lebih banyak berdiam di rumah. Namun ketika para khalifah memerlukan, mereka tetap meminta pendapat dan selalu berkonsultasi dengan Imam Ali As.
Imam Ali As dalam hal-hal seperti ini, tak hanya berpendapat berdasar kemaslahatan Islam dan kaum Muslimin saja, namun juga berasaskan kemaslahatan dan manfaat bagi orang banyak, khususnya kaum mustadh’afin dan orang-orang tertindas.
Pada sebagian peperangan, seperti perang dengan Iran dan Roma, Amirul Mukminin diajak bermusyawarah meski beliau sendiri tidak turut serta dalam peperangan tersebut.
Misalnya terkait peran Imam Ali As dalam penaklukan dan perang melawan Iran disebutkan, ketika Umar bin Khattab memahami bahwa lasykar Iran tengah melakukan persiapan besar-besaran untuk menyerang. Untuk itu, ia datang ke masjid dan mengajak semua yang hadir di tempat itu untuk berkumpul kemudian meminta pendapat dari mereka. Thalha mengusulkan, “Engkau sendiri harus ke medan perang sehingga kaum Muslimin dengan melihatmu akan menjadi lebih kuat dan berperang dengan gagah berani.” Usman berpendapat, “Gerakkan seluruh warga Syam, seluruh warga Yaman, warga Madinah dan warga Mekkah dan pergi ke medan perang sehingga kaum Muslimin dan seluruh lasykar ini dengan melihatmu akan berperang dengan gagah berani.”. Usman lalu duduk dan tidak ada orang lagi yang berdiri. Umar bin Khattab kembali angkat suara, “Wahai kaum Muslimin, berilah pendapat!” Imam Ali As berujar, “Tidak benar warga Syam Anda gerakkan untuk ke medan perang karena kalau demikian orang-orang Roma akan menyerang dan membunuh anak-anak mereka. Jangan (juga) gerakkan warga Yaman karena lasykar Habsya (Afrika) akan menyerang dan membunuh serta merampas harta orang-orang Yaman. Apabila engkau membawa keluar orang-orang Madinah dan Mekkah maka orang-orang Arab di sekelilingnya akan menyerang dan akan merebut dua kota ini. Engkau pun jangan pergi tetapi tulislah surat ke Basrah agar mengirim sejumlah pasukan dari sana untuk membantu kaum Muslimin.” Pendapat Imam Ali ini diterima oleh Umar bin Khattab seraya berkata, “Pendapat inilah yang benar dan saya harus bertindak berdasarkan pendapat ini.”[1]
Imam Ali as dengan pendapatnya juga menyinggung poin penting ini: Bahwa pada masa Rasulullah Saw kaum muslimin tidak berperang dengan mengandalkan besarnya jumlah pasukan melainkan berperang dengan bantuan Allah Swt. Karenanya, engkau tak perlu gentar dengan minimnya jumlah pasukan kaum Muslimin.
Dengan pengaturan seperti ini, Imam Ali telah menyelamatkan baik warga Muslimin Syam, Yaman, Mekkah maupun Madinah dari mara bahaya, disamping menyelamatkan warga Iran dari pembunuhan di medan perang. Karena, bila Roma menyerang maka wanita dan anak-anak kaum Muslimin akan terbunuh. Apabila Habasya (Afrika) melakukan agresi maka mereka akan membunuh wanita dan anak-anak Yaman. Dan jika orang-orang Arab sekitar Madinah dan Mekkah menginvasi dua kota ini maka orang-orang yang tinggal di dua kota ini semuanya akan terbunuh.
Dari sisi lain, apabila seluruh lasykar perang ini menyerang Iran maka, hanya Allah yang tahu, petaka dan musibah apa yang akan menimpa masyarakat Iran karena pada masa itu (masa Yazdgerd III, raja terakhir dinasti Sasaniyah) pemerintahan Iran sangat lemah dan berada di ambang keruntuhan[2]. Dengan jumlah lasykar kaum Muslimin yang sedikit saja mereka akan mampu mengalahkan pasukan Iran. Apalagi bila pasukan yang menyerang sepuluh kali lipat jumlahnya dari pasukan yang bersiaga di medan Iran, maka tentu akan lebih banyak jatuh korban harta dan jiwa dari kedua belah pihak.
Karena itu, Imam Ali As sebagai Imam Maksum dan wali atas kaum muslimin, sangat peduli dan menginginkan kebaikan untuk seluruh dunia (bahkan untuk non-Muslim dan orang-orang kafir) dengan mengungkapkan pandangannya yang mengarahkan berbagai perang ini supaya tidak terlalu mengambil resiko dan tidak terlalu menelan banyak korban dan biaya. Dan demikianlah kenyataan yang terjadi.
Dari apa yang disampaikan di atas menjadi jelas bahwa pada masa agresi kaum Muslimin ke Iran, peradaban Iran sejatinya berada di ambang keruntuhan dan kepunahan. Dengan datangnya Islam, peradaban ini mendapatkan jiwa baru dan dapat melanjutkan kehidupannya. Hal ini tak mungkin tercapai tanpa konsultasi elegan dan musyawarah jitu dengan Amirul Mukminin Ali As.
Dalam perang Islam melawan Imperium Roma, karena kaisar Roma termasuk salah satu musuh besar Islam, pada masa Rasulullah saw, beliau senantiasa memikirkan hal ini. Atas dasar itu, pada tahun 7 Hijriah, Rasulullah saw mengirim satu pasukan yang dikomandoi oleh Ja’far bin Abi Thalib untuk berperang melawan pasukan Roma yang berujung pada kesyahidan Ja’far dan sebagian orang lainnya.
Pada tahun 9 Hijriah, Rasulullah saw dengan pasukan lengkap bergerak ke arah Tabuk namun sebelum kontak senjata dengan pasukan Roma, beliau kembali ke Madinah. Pada akhir masa hidupnya, beliau menugaskan pasukan Usamah untuk bertempur melawan pasukan Roma. Namun sebelum keberangkatan pasukan Usamah, Rasulullah saw wafat dan misi ini tak jadi dijalankan.
Setelah berdirinya pemerintahan Abu Bakar di Madinah, Abu Bakar bermusyawarah dengan para sahabat Nabi Saw tentang masalah ini dan masing-masing melontarkan pendapatnya, namun tak diterima oleh khalifah.
Pada akhirnya Abu Bakar bermusyawarah dengan Imam Ali As. Imam Ali As mendorongnya untuk menunaikan instruksi Rasulullah saw dan memberikan berita gembira bahwa kaum Muslimin akan meraih kemenangan dalam perang melawan Roma. Khalifah sangat senang menerima motivasi dari Imam Ali as dan berkata, “Anda telah memberikan pertanda baik dan berita gembira kepada kami.”[3]
Sehubungan dengan penaklukan Bait al-Muqaddas, ketika Khalifah Kedua bermusyawarah dengan Imam Ali, beliau pun memberikan motivasi kepadanya terhadap perang ini.[4]
Demikian juga dalam peperangan dan pengerahan pasukan lainnya, apabila bermusyawarah dengan Imam Ali As, maka beliau melontarkan pendapat dengan penguasaan dan kebijaksanaan sempurna, mengkaji seluruh dimensi perbuatan dengan menimbang kemaslahatan Islam, kaum Muslimin dan khalayak umum, bahkan kemaslahatan generasi mendatang seperti yang terjadi paska eskalasi pasukan Islam ke Irak. Sebagian orang meminta Umar untuk membagi-bagi tanah-tanah rampasan di antara kaum Muslimin sebagai milik pribadi masing-masing orang. Umar pun berkonsultasi dengan Imam Ali As terkait pembagian tanah Irak tersebut. Imam Ali As bersabda, “Pembagian tanah-tanah yang dilakukan untuk generasi kaum Muslimin sekarang ini tidak akan membuahkan manfaat bagi generasi-generasi mendatang..”[5]
Ada baiknya Anda memperhatikan beberapa poin berikut ini:
1. Sesuai dengan tuntutan pakem-pakem dan ideologi Islam; artinya dengan memperhatikan kandungan agama Islam –yang mencakup jihad, pembelaan, amar makruf, nahi mungkar, menuntut keadilan, menolong orang-orang tertindas dan melawan penindasan dan lain sebagainya– dan sirah Rasulullah Saw serta para Imam Maksum As dapat disimpulkan bahwa jihad dan pembelaan diri (defâ’) untuk menyingkirkan berbagai rintangan yang menghadang dalam upaya penyebaran Islam, hingga pada batasan tertentu, itu pun dengan adanya berbagai pakem dan syarat-syarat tertentu dapat diterima. Peperangan yang mendapat dukungan Islam bukanlah peperangan untuk melakukan ekspansi dan penaklukan raja-raja, melainkan perlawanan untuk membebaskan. Slogan Rasulullah Saw adalah slogan kejayaan, kebebasan dan pembebasan manusia (qulu laa ilaha illaLlah tuflihu)[6] dan berusaha dengan melakukan berbagai aktifitas kultural membimbing masyarakat ke jalan kemenangan. Peperangan bagi Rasulullah Saw adalah semata-mata untuk menyingkirkan berbagai rintangan karena para musuh menciptakan berbagai rintangan dan halangan terhadap berbagai aktifitas konstruktif Rasulullah Saw.
Nah, apabila Rasulullah Saw tidak menyingkirkan berbagai rintangan tersebut maka beliau tidak akan dapat mencapai tujuan-tujuan mulianya yaitu memberikan petunjuk dan kebahagiaan manusia; maka mau tak mau beliau menggunakan strategi jihad dan pembelaan diri supaya dapat menghilangkan berbagai rintangan yang menghadang di jalan untuk mencapai kebahagiaan dan kejayaan. Sejatinya, Islam membenarkan penggunaan kekuatan militer hanya pada tiga perkara: Pertama, untuk menghilangkan pengaruh syirik dan penyembahan berhala. Karena dalam pandangan Islam, syirik dan penyembahan berhala, adalah penyimpangan, penyakit dan khurafat (superstisi). Karena itu, Rasulullah saw pertama-tama menyeru para penyembah berhala kepada tauhid, baru kemudian melakukan perlawanan dan menggunakan kekuatan senjata. Kedua, untuk menghilangkan konspirasi dan plot musuh-musuh serta orang-orang yang membuat konspirasi menghancurkan Islam dan menyerang kaum Muslimin, maka Islam mengeluarkan instruksi jihad dan menggunakan kekuatan militer untuk melawan mereka. Ketiga, demi kebebasan dalam penyebaran agama, karena setiap ajaran memiliki hak secara bebas dan dalam bentuk yang logis memperkenalkan dirinya. Apabila ada orang yang mencoba menghalangi maka ia dapat menggunakan cara-cara kekerasan untuk merebut haknya ini. Namun ketiga hal ini dapat ditempatkan pada daur pembelaan terhadap kemajuan, kemuliaan dan kesempurnaan manusia.[7]
2. Apa yang telah dijelaskan tentang pandangan konsultatif Imam Ali As tidak dapat disimpulkan bahwa berbagai penaklukan pada masa khalifah mendapat dukungan mutlak sesuai aturan-aturan Islam dan Imam Ali As setuju dengan segala tindakan yang telah dilakukan para khalifah dalam penaklukan-penaklukan ini. Artinya bahwa sekiranya Rasulullah Saw hidup atau Imam Ali yang menjadi khalifah paska Rasulullah Saw, tentu saja berbagai penaklukan yang terjadi tidak akan seperti itu. Dengan kata lain, ekspansi wilayah Islam tanpa agenda yang jelas dan dengan tiadanya Imam Ali di pucuk pemerintahan, maka apabila terjadi berbagai penyimpangan sudah pasti semua itu tidak sesuai dengan agenda-agenda Imam Ali As. Kami akan menyebutkan beberapa penyimpangan ini di sini sebagai contoh. Adapun pembahasan rinci tentang hal ini akan kami alokasikan pada kesempatan yang lain:
Pertama, sekelompok orang dalam masyarakat Islam secara perlahan muncul. Mereka adalah orang-orang yang cinta kepada Islam, beriman kepada Islam, meyakini namun hanya mengenal Islam dari kulitnya saja tanpa mengenal ruhnya; sebuah kelompok yang hanya mengenal Islam sebatas ritual, misalnya shalat, bukan berdasar pengetahuan dan pengenalannya terhadap tujuan-tujuan Islam.
Kedua, mengambil jarak dari keadilan Islam dan menyebarnya diskriminasi; misalnya warga kota – non Arab – di Irak dikenal sebagai warga kelas dua dan atas dalil ini semenjak pertama, pekerjaan-pekerjaan berat seperti mendirikan pasar dan membuat jalan diserahkan kepada mereka.
Pada masa khalifah kedua, orang-orang Ajam tidak diberi kesempatan masuk ke kota Madinah agar mereka tidak bercampur dengan orang-orang Arab. Demikian juga dengan orang-orang Iran, agar mereka tidak memberikan pengaruhnya di sentral-sentral Islam. Khalifah ketika itu melihat bahwa masyarakat bebas memiliki budak Ajam dan tidak pantas melihat ada orang Arab yang menjadi budak.
Ibnu Jarih menulis, “…Tatkala Khalifah Kedua menyaksikan pada waktu thawaf dua orang yang bercakap-cakap Persia, ia berkata kepada mereka, ‘Bercakaplah dengan bahasa Arab, karena apabila seseorang bercakap-cakap dengan bahasa Persia dan mempelajarinya maka kehormatannya akan hilang.” Sesuai aturan yang dibuat Khalifah Kedua, orang-orang Arab boleh menikahi para wanita Ajam namun tidak membolehkan orang-orang Ajam menikahi para wanita Arab.
Mengikuti tradisi ini, pada masa Muawiyah, anak-anak dari istri-istri Ajam tidak memiliki kelayakan untuk menjadi khalifah. Hajjaj, khalifah masa itu di Irak berkata, “Tidak seorang Ajam pun yang boleh menjadi imam jamaah di Kufah.” Ia bahkan dengan paksa membawa mawali ke medan perang. Atau mawali turut serta dalam peperangan namun ketika pembagian harta rampasan perang maka jatah orang-orang Ajam lebih minim dibandingkan jatah orang-orang Arab. Hal yang lebih menyedihkan lagi, yakni memberikan harta baitul mal kepada masyarakat, namun tidak memberikan saham kepada mawali.[8] Namun hal ini telah menyebabkan kaum Muslimin terjauhkan dari Islam hakiki dan menyangka bahwa Islam adalah apa yang mereka saksikan dan dengarkan. Hal inilah yang telah menyebabkan paska berbagai penaklukan, terjadi banyak pemberontakan di daerah-daerah yang ditaklukan. Itulah yang membuat Imam Ali terpaksa mengirim satu pasukan ke Qazwin dan dua lasykar ke Khurasan, karena kota-kota Khurasan seperti Naisyabur memang harus ditaklukan kembali.[9]
Akhir kata, bahwa tujuan Imam Ali As dalam pemerintahannya yang singkat adalah mengoreksi berbagai penyimpangan yang terjadi pada umat Rasulullah Saw paska kepergian Rasulullah Saw.
[1]. Silahkan lihat, al-Irsyâd, Syaikh Mufid, hal. 207. Nahj al-Balâghah, Khutbah 144. Târikh Thabari, jil. 4, hal. 237-238. Târikh Kamil, jil. 3, hal. 3. Târikh Ibnu Katsir, jil. 7, hal. 107. Bihâr al-Anwâr, jil. 9, hal. 501.
[2]. Târikh Irâniyân wa Arabhâ dar Zamân Sasâniyân (Geschichte der Perser und Araber zur Zeit der Sasaniden), Theodor Nöldeke, hal. 418, terjemahan Dr. Abbas Zaryab.
[3]. Dr. Abdulhusain Zarrin Kub dalam hal ini menulis, “Jatuhnya dinasti Sasaniyah di tangan Arab namun bukan karena kekuatan Arab melainkan lantaran kelemahan dan kerusakan yang mendominasi pemerintahan Sasaniyah. Sejatinya, bersamaan dengan invasi Arab, pemerintahan Iran sudah di ambang keruntuhan. Dinasti Sasaniyah pada masa itu laksana kondisi wafatnya Nabi Sulaiman As yang bersandar pada tongkatnya dan serangga menggerogoti tongkat tersebut kemudian setelah itu Nabi Sulaiman As tersungkur. Kelemahan dan kerusakan di seluruh fondasi negara yang telah menjerumuskan Dinasti Sasaniyah pada lembah kehinaan dan kesengsaraan. Târikh Irân ba’d az Islâm, hal. 57, Cetakan Kedua. Pemikir dan filosof besar Syahid Muthahhari dalam buku Khadamat-e Mutaqâbil Islâm wa Irân menganalisa dengan seksama kekalahan orang-orang Iran. Ia berkata, “Iran pada masa itu, dengan segala chaos dan kerusuhan yang terjadi dari sudut pandang militer, merupakan kekuasaan dan imperium yang sangat kuat. Pada masa itu, dua imperium besar yang memerintah dunia, Iran dan Roma. Masyarakat Iran pada masa itu yang ditaksir berpopulasi seratus empat puluh juta orang lebih didominasi oleh serdadu dan lasykar Muslimin pada perang melawan orang-orang Iran tidak sampai enam ratus ribu orang jumlahnya. Apabila orang-orang Iran mundur, komunitas ini akan hilang di tengah masyarakat Iran, namun dengan semua ini, Dinasti Sasaniyah musnah dan punah di tangan beberapa orang pasukan Muslimin. Syahid Muthahhari mengatakan, “Hakikatnya faktor utama kekalahan dinasti Sasaniyah harus ditelusuri pada ketidakpuasan orang-orang Iran terhadap kondisi pemerintahan, ajaran dan tradisi pemerasan yang menggejala pada masa itu. Hal ini merupakan suatu hal yang pasti yang diterima oleh sejarawan Timur dan Barat bahwa rezim dan kondisi sosial dan agama pada masa itu telah rusak yang telah membuat hampir seluruh masyarakat tidak puas terhadap pemerintah. Agama Zoroaster di Iran telah rusak di tangan para imamnya dan masyarakat Iran yang cerdas tidak dapat menerima keyakinan yang tidak sesuai dengan kata hatinya. Dan apabila Islam pada waktu itu tidak datang ke Iran, maka orang-orang Kristen akan menguasai Iran dan melenyapkan ajaran Zoroaster.” Karena itu, kondisi sosial dan agama yang tidak normal di Iran telah mengundang ketidakpuasan masyarakat dan telah memotivasi orang-orang Iran untuk menyelamatkan diri mereka. Khadamat-e Mutaqâbil Islâm wa Irân, Murtadha Muthahhari, hal. 77 dan seterusnya.
[4]. Târikh Ya’qubi, Ahmad Ya’qubi, jil. 2, hal. 132. Silahkan lihat, Imâm Ali As wa Zamâmdarân, Ali Muhammad Mir Jalili, hal. 168.
[5]. Furûgh Wilâyat, hal. 285.
[6]. Katakanlah tiada tuhan selain Allah maka kalian akan berjaya.
[7]. Târikh Ya’qubi, Ahmad Ya’qubi, jil. 2, hal. 151. Silahkan lihat, Imâm Ali As wa Zamâmdarân, Ali Muhammad Mir Jalili, hal. 170.
[8]. Târikh Tasyayyu’ dar Iran, Rasul Ja’fariyan, jil. 1, hal. 111 dan seterusnya.
[9]. Târikh Thabari, Peristiwa-peristiwa Tahun 38 Hijriah.
[2]. Târikh Irâniyân wa Arabhâ dar Zamân Sasâniyân (Geschichte der Perser und Araber zur Zeit der Sasaniden), Theodor Nöldeke, hal. 418, terjemahan Dr. Abbas Zaryab.
[3]. Dr. Abdulhusain Zarrin Kub dalam hal ini menulis, “Jatuhnya dinasti Sasaniyah di tangan Arab namun bukan karena kekuatan Arab melainkan lantaran kelemahan dan kerusakan yang mendominasi pemerintahan Sasaniyah. Sejatinya, bersamaan dengan invasi Arab, pemerintahan Iran sudah di ambang keruntuhan. Dinasti Sasaniyah pada masa itu laksana kondisi wafatnya Nabi Sulaiman As yang bersandar pada tongkatnya dan serangga menggerogoti tongkat tersebut kemudian setelah itu Nabi Sulaiman As tersungkur. Kelemahan dan kerusakan di seluruh fondasi negara yang telah menjerumuskan Dinasti Sasaniyah pada lembah kehinaan dan kesengsaraan. Târikh Irân ba’d az Islâm, hal. 57, Cetakan Kedua. Pemikir dan filosof besar Syahid Muthahhari dalam buku Khadamat-e Mutaqâbil Islâm wa Irân menganalisa dengan seksama kekalahan orang-orang Iran. Ia berkata, “Iran pada masa itu, dengan segala chaos dan kerusuhan yang terjadi dari sudut pandang militer, merupakan kekuasaan dan imperium yang sangat kuat. Pada masa itu, dua imperium besar yang memerintah dunia, Iran dan Roma. Masyarakat Iran pada masa itu yang ditaksir berpopulasi seratus empat puluh juta orang lebih didominasi oleh serdadu dan lasykar Muslimin pada perang melawan orang-orang Iran tidak sampai enam ratus ribu orang jumlahnya. Apabila orang-orang Iran mundur, komunitas ini akan hilang di tengah masyarakat Iran, namun dengan semua ini, Dinasti Sasaniyah musnah dan punah di tangan beberapa orang pasukan Muslimin. Syahid Muthahhari mengatakan, “Hakikatnya faktor utama kekalahan dinasti Sasaniyah harus ditelusuri pada ketidakpuasan orang-orang Iran terhadap kondisi pemerintahan, ajaran dan tradisi pemerasan yang menggejala pada masa itu. Hal ini merupakan suatu hal yang pasti yang diterima oleh sejarawan Timur dan Barat bahwa rezim dan kondisi sosial dan agama pada masa itu telah rusak yang telah membuat hampir seluruh masyarakat tidak puas terhadap pemerintah. Agama Zoroaster di Iran telah rusak di tangan para imamnya dan masyarakat Iran yang cerdas tidak dapat menerima keyakinan yang tidak sesuai dengan kata hatinya. Dan apabila Islam pada waktu itu tidak datang ke Iran, maka orang-orang Kristen akan menguasai Iran dan melenyapkan ajaran Zoroaster.” Karena itu, kondisi sosial dan agama yang tidak normal di Iran telah mengundang ketidakpuasan masyarakat dan telah memotivasi orang-orang Iran untuk menyelamatkan diri mereka. Khadamat-e Mutaqâbil Islâm wa Irân, Murtadha Muthahhari, hal. 77 dan seterusnya.
[4]. Târikh Ya’qubi, Ahmad Ya’qubi, jil. 2, hal. 132. Silahkan lihat, Imâm Ali As wa Zamâmdarân, Ali Muhammad Mir Jalili, hal. 168.
[5]. Furûgh Wilâyat, hal. 285.
[6]. Katakanlah tiada tuhan selain Allah maka kalian akan berjaya.
[7]. Târikh Ya’qubi, Ahmad Ya’qubi, jil. 2, hal. 151. Silahkan lihat, Imâm Ali As wa Zamâmdarân, Ali Muhammad Mir Jalili, hal. 170.
[8]. Târikh Tasyayyu’ dar Iran, Rasul Ja’fariyan, jil. 1, hal. 111 dan seterusnya.
[9]. Târikh Thabari, Peristiwa-peristiwa Tahun 38 Hijriah.
Post a Comment
mohon gunakan email