Pesan Rahbar

Home » » Bantahan Nashibi Terhadap Keutamaan Abu Sufyan dan Muawiyyah

Bantahan Nashibi Terhadap Keutamaan Abu Sufyan dan Muawiyyah

Written By Unknown on Wednesday, 16 July 2014 | 16:36:00


Hadis Palsu Dalam Shahih Muslim : Keutamaan Abu Sufyan [Bantahan Untuk Nashibi]

حدثني عباس بن عبدالعظيم العنبري وأحمد بن جعفر المعقري قالا حدثنا النضر ( وهو ابن محمد اليمامي ) حدثنا عكرمة حدثنا أبو زميل حدثني ابن عباس قال كان المسلمون لا ينظرون إلى أبي سفيان ولا يقاعدونه فقال للنبي صلى الله عليه و سلم يا نبي الله ثلاث أعطنيهن قال نعم قال عندي أحسن العرب وأجمله أم حبيبة بنت أبي سفيان أزوجكها قال نعم قال ومعاوية تجعله كاتبا بين يديك قال نعم قال وتؤمرني حتى أقاتل الكفار كما كنت أقاتل المسلمين قال نعم قال أبو زميل ولولا أنه طلب ذلك من النبي صلى الله عليه و سلم ما أعطاه ذلك لأنه لم يكن يسئل شيئا إلا قال نعم

Telah menceritakan kepada kami Abbas bin Abdul ‘Azim Al ‘Anbari dan Ahmad bin Ja’far Al Ma’qiri yang keduanya berkata telah menceritakan kepada kami An Nadhr [dia Ibnu Muhammad Al Yamami] yang berkata telah menceritakan kepada kami Ikrimah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Zumail yang berkata telah menceritakan kepadaku Ibnu Abbas yang berkata “kaum muslimin tidak memandang Abu Sufyan dan tidak pula mereka duduk menyertainya. Kemudian Abu Sufyan berkata kepada Nabi SAW “Wahai Nabi Allah penuhilah tiga permintaanku”. Beliau SAW menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Saya mempunyai seorang putri yang paling baik dan paling cantik di kalangan orang Arab yaitu Ummu Habibah putri Abu Sufyan, aku ingin menikahkannya dengan anda”. Beliau menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Dan agar anda mengangkat Muawiyah sebagai juru tulis anda”. Beliau SAW menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Dan anda mengangkat saya sebagai pemimpin untuk memerangi orang-orang kafir sebagaimana dulu saya memerangi orang-orang islam”. Beliau SAW menjawab “Ya”. Abu Zumail berkata “Seandainya Abu Sufyan tidak menuntut hal tersebut kepada Nabi SAW tentu beliau tidak akan memberinya karena jika Beliau SAW dimintai sesuatu, Beliau SAW tidak akan menjawab selain “ya”. [Shahih Muslim 4/1945 no 2501 ].

Hadis shahih Muslim tersebut pernah dinyatakan oleh palsu oleh Ibnu Hazm yaitu dengan perkataan berikut [sebagaimana dikutip Abdul Ghaniy Al Maqdisiy].

قَالَ أَبُو مُحَمَّدُ بْنُ حَزْمٍ: هَذَا حَدِيثٌ مَوْضُوعٌ لا شَكَّ فِي وَضْعِهِ , وَالآفَةُ فِيهِ مِنْ عِكْرِمَةَ بْنِ عَمَّارٍ , وَلا يَخْتَلِفُ اثْنَانِ مِنْ أَهْلِ الْمَعْرِفَةِ بِالأَخْبَارِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَتَزَوَّجْ أُمَّ حَبِيبَةَ إِلا قَبْلَ الْفَتْحِ بِدَهْرٍ وَهِيَ بِأَرْضِ الْحَبَشَةِ وَقِيلَ: هَذَا لا يَكُونُ خَطَأَ إِمْلَاءٍ، وَلا يَكُونُ إِلا قَصْدًا، فَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الْبَلاءِ

Abu Muhammad bin Hazm berkata Hadits ini maudhu’ [palsu] dan tidak diragukan kepalsuannya. Dan penyebabnya adalah dari ‘Ikrimah bin ‘Ammaar. Para ulama tidak berselisih pendapat tentang kabar bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]tidaklah menikahi Ummu Habiibah kecuali sebelum peristiwa Fathu Makkah, yaitu pada saat ia berada di negeri Habasyah. Dan dikatakan hal ini tidaklah terjadi karena kekeliruan penyalinan dan tidak pula terjadi kecuali karena kesengajaan. Kita berlindung kepada Allah dari balaa’ [Al Mishbaah Fii ‘Uyuun Ash Shihaah 1/49, Abdul Ghaniy Al Maqdisiy].

Sebelumnya silakan lihat tulisan kami sebelumnya tentang perkara ini, kemudian silakan lanjutkan lihat bantahan dari salah seorang nashibi disini. Ada beberapa hal yang patut diberikan catatan atas bantahannya. Menurut kami tidak jelas bagian mana dari tulisan kami yang sedang ia bantah.

Jika yang ia bantah hanya sekedar perkataan “palsu” yang kami gunakan dan ia tuduh kami tidak tahu definisi hadis palsu dalam ilmu hadis maka kami katakan tidak perlu sok tahu wahai nashibi, silakan anda buka-buka lagi kitab hadis dan kitab Ilal, niscaya anda akan mentertawakan diri anda sendiri.

Nashibi yang dimaksud mengutip definisi hadis palsu dalam ilmu hadis, diantaranya ia mengatakan Adz-Dzahabiy rahimahullah menjelaskan persyaratan hadits maudluu’, bahwa matannya menyelisihi kaedah-kaedah (yang telah ma’ruf), dan perawinya adalah pendusta (kadzdzaab)” [Syarh Al-Muuqidhah, hal. 60].

Kemudian orang sok tahu ini beranggapan bahwa ketika kami menyatakan Ikrimah bin ‘Ammar tsiqat tetapi tetap menyatakan hadis itu palsu maka itu berarti kami tidak mengerti definisi hadis maudhu’. Kami katakan, secara umum definisi hadis palsu memang seperti yang ia kutip tetapi dikenal juga hadis palsu dimana ternyata para perawinya memang tsiqat, seperti yang dikatakan Ibnu Jauzi,

وقد يكون الاسناد كله ثقات ويكون الحديث موضوعا أو مقلوبا أو قد جرى فيه تدليس وهذا أصعب الاحوال ولا يعرف ذلك إلا النقاد.

Dan sungguh terdapat dalam sanad [suatu hadis] semua perawinya tsiqat dan ternyata hadis tersebut maudhu’ atau maqlub [terbalik] atau terdapat di dalamnya tadlis dan ini adalah kasus yang berat, tidaklah mengetahuinya kecuali ahli naqd [Al Maudhu’at 1/65].

Dan silakan ia perhatikan bahwa Adz Dzahabiy sendiri pernah menyatakan hal yang serupa dalam komentarnya terhadap salah satu hadis,

هذا وإن كان رواته ثقات فهو منكر ليس ببعيد من الوضع

Hadis ini walaupun para perawinya tsiqat tetapi ia mungkar tidak jauh dari maudhu’ [Talkhis Al Mustadrak 3/128].

Telah masyhur juga di kalangan mutaqaddimin seperti Abu Hatim bahwa ia tidak mensyaratkan dalam penghukumannya terhadap hadis sebagai maudhu’ bahwa mutlak dalam sanadnya harus ada pendusta atau pemalsu hadis,

وَسألت أبي عَنْ حديث رَوَاهُ بِشْرُ بْنُ الْمُنْذِرِ الرَّمْلِيُّ ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ مُسْلِمٍ الطَّائِفِيُّ ، عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : ” الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا ، وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلا الْجَنَّةَ ” . قِيلَ : وَمَا بِرُّهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ : ” إِطْعَامُ الطَّعَامِ ، وَطِيبُ الْكَلامِ ” . فَسَمِعْتُ أَبِي يَقُولُ : هَذَا حَدِيثٌ مُنْكَرٌ ، شِبْهُ الْمَوْضُوعِ ، وَبِشْرُ بْنُ الْمُنْذِرِ كَانَ صَدُوقًا

Dan aku pernah bertanya kepada ayahku tentang hadis riwayat Bisyr bin Mundzir Ar Ramliy dari Muhammad bin Muslim Ath Thaa’ifiy dari ‘Amru bin Diinar dari Jaabir bin ‘Abdullah dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang berkata “umrah ke umrah berikutnya adalah penghapus [dosa] diantara keduanya dan haji mabrur tidak ada balasannya kecuali surga”. Dikatakan “apa tanda mabrurnya wahai Rasulullah?”.Beliau berkata “memberi makan dan berbicara yang baik”. Maka aku mendengar ayahku [Abu Hatim] mengatakan “ini hadis mungkar seperti maudhu’ dan Bisyr bin Mundzir seorang yang shaduq” [Al Ilal Ibnu Abi Hatim no 892].

Muhammad bin Muslim dan ‘Amru bin Diinar keduanya dikenal sebagai perawi Muslim,

وَسَمِعْتُ أَبِي وَذَكَرَ حَدِيثًا : رَوَاهُ مُحَمَّدُ بْنُ الصَّلْتِ ، عَنْ أَبِي خَالِدٍ الأَحْمَرِ ، عَن حُمَيْدٍ ، عَنْ أَنَسٍ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي افْتِتَاحِ الصَّلاةِ : ” سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ ” ، وَأَنَّهُ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ إِلَى حَذْوِ أُذَنَيْهِ ” . فَقَالَ أَبِي : هَذَا حَدِيثٌ كذبٌ لا أَصْلَ لَهُ ، وَمُحَمَّدُ بْنُ الصَّلْتِ لا بَأْسَ بِهِ ، كَتَبْتُ عَنْهُ

Dan aku mendengar ayahku, menyebutkan hadis riwayat Muhammad bin Ash Shalt dari Abu Khalid Al Ahmar dari Humaid dari Anas dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tentang pembuka shalat “subhaanaka allahumma wabihamdika” dan bahwasanya ia mengangkat tangannya sampai sejajar telinganya. Maka Ayahku [Abu Hatim] berkata ini hadis dusta tidak ada asalnya dan Muhammad bin Ash Shalt tidak ada masalah padanya aku telah menulis darinya [Al Ilal Ibnu Abi Hatim no 374].

Muhammad bin Ash Shalt juga dikatakan Abu Hatim tsiqat [Al Jarh Wat Ta’dil 7/289 no 1567]. Sulaiman bin Hayaan Abu Khalid Al Ahmar dikatakan Abu Hatim tsiqat [Al Jarh Wat Ta’dil 4/107 no 477]. Humaid Ath Thawiil dikatakan Abu Hatim tsiqat tidak ada masalah padanya [Al Jarh Wat Ta’dil 3/219 no 961].

Mengapa kami menguatkan kepalsuannya karena hadis Muslim tersebut jelas-jelas bertentangan dengan fakta sejarah. Artinya itu adalah dusta yang diada-adakan terhadap Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Walaupun kami sendiri tidak bisa menentukan siapa yang bertanggung jawab atas kepalsuannya itu tetap tidak menafikan bahwa kabar itu dusta.

Dan kami tidak pula menafikan bahwa sebagian ulama menyatakan bahwa hadis tersebut adalah kekeliruan dari perawinya. Bagi kami, Kabar itu jelas dusta dan menyatakan bahwa itu adalah kesalahan perawinya tidaklah menafikan bahwa kabar tersebut adalah dusta terhadap Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Tidak ada masalah untuk dikatakan bahwa itu dusta dan dusta tersebut berasal dari kesalahan perawinya artinya ia tidak sengaja berdusta. Apakah ada dalam tulisan kami sebelumnya bahwa kami menuduh diantara para perawinya sebagai pemalsu hadis?. Tidak ada, bahkan dalam pembelaan terhadap Ikrimah kami katakan bahwa jika benar keliru maka perawi-perawi Muslim tersebut selain Ikrimah bisa saja tertuduh keliru karena setsiqat apapun seorang perawi, sebagai seorang manusia ia bisa saja keliru.

Dan seandainya pun dikatakan bahwa hadis tersebut dipalsukan oleh salah seorang perawinya. Maka apakah ini kemungkinan yang mustahil?. Tentu saja tidak, apakah seorang yang dikatakan tsiqat tidak bisa dikatakan pendusta dan memalsukan hadis. Lihat saja Asy Syaukaniy ketika ia berkomentar mengenai salah satu hadis,

رواه ابن عدي عن ابن مسعود مرفوعاً وهو موضوع ، وفي إسناده عباد بن يعقوب ، وهو رافضي ، آخر كذاب

Diriwayatkan Ibnu Adiy dari Ibnu Mas’ud secara marfu’ dan itu maudhu’ [palsu] di dalam sanadnya ada ‘Abbad bin Ya’quub dan ia rafidhah pendusta [Fawa’id Al Majmu’ah Asy Syaukaniy no 163].

Dalam At Tahdzib disebutkan bahwa Abbad bin Ya’qub dinyatakan tsiqat oleh Abu Hatim dan Ibnu Khuzaimah, serta dinyatakan shaduq oleh Daruquthniy [At Tahdzib Ibnu Hajar juz 5 no 183]. Rasanya tidak mungkin dikatakan ulama hadis seperti Asy Syaukaniy tidak mengetahui pendapat ulama mutaqaddimin tentang ‘Abbad bin Ya’qub.

Perlu diingatkan bahwa kami hanya menunjukkan bahwa kemungkinan-kemungkinan tersebut tidaklah mustahil dan memang kami sendiri tidak menetapkannya karena tidak adanya qarinah yang menguatkan. Dikatakan keliru, maka siapa yang keliru dan jika dipalsukan maka siapa yang memalsukan?.

Jika yang ia bantah terkait dengan status hadis Muslim tersebut bahwa hadis tersebut tetap shahih hanya saja matannya ada yang keliru dan bukan berarti keseluruhan hadisnya ditolak. Maka kami katakan bahwa yang bersangkutan memang tidak mengerti matan hadis tersebut yang merupakan satu kesatuan.

Abu Sufyan menyebutkan tiga permintaan, hal ini dapat dilihat dari lafaz:

فقال للنبي صلى الله عليه و سلم يا نبي الله ثلاث أعطنيهن

[Abu Sufyan] berkata kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wassalam] “wahai Nabi Allah penuhilah tiga permintaanku”.

Kemudian diketahui dari salah satu permintaan tersebut bahwa hal itu dusta yaitu Abu Sufyan ingin menikahkan anaknya Ummu Habiibah dengan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Jika permintaan ini dikatakan dusta dan merupakan kesalahan dari perawinya maka matan “penuhilah tiga permintaanku”pada dasarnya salah juga. Dengan kata lain ketika Abu Sufyan meminta tiga permintaan tersebut Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] belum menikahi Ummu Habiibah padahal peristiwa ini terjadi setelah Fathul Makkah. Hal ini bertentangan dengan fakta bahwa Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] telah menikahi Ummu Habibah [radiallahu 'anha] sebelum Fathul Makkah. Kalau peristiwa Abu Sufyan meminta tiga permintaan itu saja dikatakan dusta atau tidak benar maka apa gunanya sebagian orang berhujjah dengan dua permintaan yang lain untuk menguatkan keutamaan Abu Sufyan.

Maka dari itu sebagian ulama berusaha menakwilkan maksud permintaan Abu Sufyan soal Ummu Habiibah. Ada yang menakwilkan bahwa maksud Abu Sufyan agar memperbaharui akad pernikahannya, ada yang menakwilkan maksud Abu Sufyan agar Nabi tidak menceraikan Ummu Habiibah, ada yang menakwilkan maksud Abu Sufyan menunjukkan keridhaannya Nabi telah menikahi Ummu Habiibah. Semua takwil ini jauh sekali dari lafaz hadisnya dan tidak perlu diperhatikan karena sekedar omong-kosong yang siapapun bisa berandai-andai. Anda pun bisa menambahkan takwil bathil lainnya seperti Nabi telah menceraikan Ummu Habiibah kemudian Abu Sufyan ingin menikahkan lagi. Takwil seperti itu tidak ada gunanya.

Apalagi takwil yang menyatakan bahwa nama tersebut salah sebenarnya bukan Ummu Habiibah binti Abu Sufyan tetapi ‘Azzah binti Abu Sufyan. Takwil ini jelas hanya menunjukkan kebodohan, karena jika memang seperti itu dan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjawab “Ya” menunjukkan kedustaan yang nyata atas nama Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Mengapa? Karena hal itu termasuk perkara yang diharamkan sebagaimana diakui oleh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sendiri,

حدثنا يحيى بن بكير حدثنا الليث عن عقيل عن ابن شهاب أخبرني عروة أن زينب بنت أبي سلمة أخبرته أن أم حبيبة زوج النبي صلى الله عليه وسلم قالت قلت يا رسول الله انكح أختي بنت أبي سفيان قال وتحبين ذلك قلت نعم لست لك بمخلية وأحب من شاركني في الخير أختي فقال إن ذلك لا يحل لي فقلت يا رسول الله فوالله إنا نتحدث أنك تريد أن تنكح درة بنت أبي سلمة فقال بنت أم سلمة فقلت نعم قال فوالله لو لم تكن ربيبتي في حجري ما حلت لي إنها بنت أخي من الرضاعة أرضعتني وأبا سلمة ثويبة فلا تعرضن علي بناتكن ولا أخواتكن

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair yang berkata telah menceritakan kepada kami Laits dari Aqiil dari Ibnu Syihaab yang berkata telah mengabarkan kepadaku ‘Urwah bahwa Zainab binti Abi Salamah mengabarkan kepadanya bahwa Ummu Habiibah istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “wahai Rasulullah, nikahilah saudariku putri Abu Sufyan. Beliau berkata “apakah kamu menyukai hal itu?”. [Ummu Habiibah] berkata “benar, aku tidak hanya ingin menjadi istrimu dan aku ingin saudara perempuanku bergabung denganku dalam memperoleh kebaikan”. Nabi [shallallaahu ‘alaihi wasallam] bersabda “Saudara perempuanmu itu tidak halal bagiku” Ummu Habiibah berkata “Kami mendengar khabar bahwa engkau ingin menikahi anak perempuan Abu Salamah?”. Beliau besabda “Anak perempuan Abu Salamah?”. Ummu Habiibah menjawab “Ya”. Beliau bersabda “Seandainya ia bukan anak tiriku yang ada dalam asuhanku, dia tetap tidak halal aku nikahi, karena ia adalah anak perempuan saudara laki-lakiku dari hubungan penyusuan, yaitu aku dan Abu Salamah sama-sama pernah disusui oleh Tsuwaibah. Oleh karena itu, janganlah engkau tawarkan anak perempuanmu atau saudara perempuanmu kepadaku [Shahih Bukhariy no 5101].

Dengan kata lain berdasarkan hadis di atas, ‘Azzah binti Abu Sufyan saudara perempuan Ummu Habiibah tidak halal bagi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Maka bagaimana bisa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjawab “Ya” untuk memenuhi permintaan Abu Sufyan. Penakwilan-penakwilan tersebut bisa dikatakan terlalu lemah untuk dianggap, kualitasnya sama seperti cerita “tetap kambing walaupun bisa terbang”. Sudah jelas-jelas hadis tersebut salah masih dicari-cari pembenarannya.

Kami tidak perlu berbusa-busa mencari pembelaan atas hadis Muslim mengenai keutamaan Abu Sufyan di atas. Hadis tersebut jelas terbukti kedustaannya. Maka silakan saja bagi mereka yang bersikeras melakukan pembelaan karena pembelaan seperti apapun tidak akan berguna menghadapi bukti yang jelas. Dan jika suatu hadis jelas terbukti kedustaannya [kesalahannya] maka tidak ada gunanya mengambil istinbath dari hadis tersebut atau mengamalkan hadis tersebut. Bagaimana seseorang bisa yakin kalau matan yang tersisa dari hadis tersebut juga selamat dari cacat [kedustaan atau kesalahan].

Bukankah perkara ini sama hal-nya dengan seorang perawi yang terbukti berdusta atau membuat hadis palsu kemudian ia meriwayatkan banyak hadis lain. Apakah yang ditolak hanya hadis palsu yang sudah terbukti ia palsukan saja sedangkan hadis-hadis lain yang tidak ada bukti bahwa itu dipalsukan olehnya bisa diterima?. Tentu saja jawabannya tidak. Seorang pendusta atau pemalsu hadis memang bisa saja suatu ketika meriwayatkan hadis yang benar bahkan bisa saja ia hanya memalsukan satu hadis saja seumur hidupnya tetapi bagaimana bisa diyakini kalau hadis-hadis lain tersebut benar jika ia terbukti pernah melakukan kedustaan atau memalsukan riwayat.

Sebelum kami mengakhiri tulisan di atas ada catatan menarik dari nashibi tersebut dimana ia menyinggung hadis Abu Bakar dan Umar Sayyid Kuhul ahli surga yaitu riwayat Hasan bin Zaid bin Hasan yang mengandung matan [wa syabaabuha] “para pemudanya”. Seperti yang pernah kami singgung hadis Hasan bin Zaid bin Hasan yang mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar sebagai Sayyid Kuhul dan Syabab ahli surga adalah mungkar karena terbukti dalam hadis shahih bahwa Sayyid Syabab ahli surga adalah Hasan dan Husain bukan Abu Bakar dan Umar. Hadis riwayat Hasan bin Zaid bin Hasan ini telah kami tulis dalam pembahasan khusus bahwa kedudukannya dhaif. Dan sayangnya kami tidak melihat adanya bantahan yang bernilai dari nashibi tersebut.


Muawiyah bin Abu Sufyan Berdusta Atas Nama Rasulullah [Shallallahu 'Alaihi Wasallam]

Tulisan ini adalah kritikan terhadap para nashibi yang dengan semangat membela Muawiyah dan gemar membawakan hadis-hadis keutamaan Muawiyah. Diantaranya adalah hadis kebanggaan salafy nashibi bahwa Muawiyah adalah seorang yang diberi petunjuk dan pemberi petunjuk. Berikut akan kami bawakan kabar shahih bahwa Muawiyah telah berdusta atas Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam].

أخبرنا عبد الرزاق قال أخبرنا معمر عن قتادة عن أبي شيخ الهنائي أن معاوية قال لنفر من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم تعلمون أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن جلود النمور أن تركب عليها قالوا اللهم نعم قال وتعلمون أنه نهى عن لباس الذهب إلا مقطعا قالوا اللهم نعم قال وتعلمون أنه نهى عن الشرب في آنية الذهب والفضة فقالوا اللهم نعم قال وتعلمون أنه نهى عن المتعة – يعني متعة الحج – قالوا اللهم لا قال بلى إنه في هذا الحديث قالوا لا

Telah mengabarkan kepada kami ‘Abdurrazaaq yang berkata telah mengabarkan kepada kami Ma’mar dari Qatadah dari Abu Syaikh Al Hunaa’iy bahwa Muawiyah berkata kepada sekelompok sahabat Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] tahukah kalian bahwa Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] melarang kulit harimau yaitu menungganginya, Mereka berkata “benar”. Muawiyah berkata “tahukah kalian bahwa Beliau melarang memakai emas kecuali sepotong kecil”, Mereka berkata “benar”. Muawiyah berkata “tahukah kalian bahwa Beliau melarang minum dari bejana emas dan perak”, Mereka berkata “benar”. Muawiyah berkata lagi “tahukah kalian bahwa Beliau telah melarang mut’ah yaitu mut’ah haji”. Mereka berkata “tidak”. Muawiyah berkata ” hal itu benar, sesungguhnya hal itu ada dalam hadis ini” Mereka berkata “tidak” [Mushannaf 'Abdurrazaaq no 19927].

Kisah di atas diriwayatkan oleh para perawi tsiqat, hadis ini kedudukannya shahih jika selamat dari tadlis Qatadah. Sebagian ulama memperbincangkan riwayatnya dengan ‘an anah karena ia sering melakukan tadlis. Sebagian ulama yang lain telah menshahihkan ‘an anah Qatadah karena hal itu banyak ditemukan dalam kitab Shahih.
1. ‘Abdurrazaaq bin Hammaam termasuk perawi Bukhari dan Muslim seorang hafizh yang tsiqat sebagaimana yang dikatakan Ibnu Hajar [At Taqrib 1/599]. Abu Zur’ah berkata “Abdurrazaaq salah seorang yang tsabit hadisnya”. Yaqub bin Syaibah berkata “tsiqat tsabit”. Ahmad bin Shalih berkata kepada Ahmad bin Hanbal “adakah kau lihat orang yang lebih baik hadisnya dari ‘Abdurrazaaq” . Ia menjawab “tidak” [Tahdzib Al Kamal 18/56 no 3415].
2. Ma’mar bin Raasyid termasuk perawi Bukhari dan Muslim telah dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in, Al Ijliy, Yaqub bin Syaibah dan An Nasa’i. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 10 no 441]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat tsabit” [At Taqrib 2/202].
3. Qatadah bin Di’amah termasuk perawi Bukhari dan Muslim, Ibnu Hajar menyatakan ia seorang yang tsiqat tsabit [At Taqrib 1/453]. Ia masyhur dengan tadlis, Ibnu Hajar memasukkannya dalam mudallis thabaqat ketiga [Thabaqat Al Mudallisin Ibnu Hajar no 92].
4. Abu Syaikh Al Hunaa’iy adalah tabi’in yang tsiqat, Ia telah dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Sa’ad dan Al Ijliy. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 12 no 604]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat” [At Taqrib 2/416] dan Adz Dzahabiy berkata “tsiqat” [Al Kasyf no 6682].

Seandainya pun hadis dengan sanad di atas dikatakan lemah karena tadlis Qatadah maka ia memiliki syawahid yang menguatkan kedudukannya menjadi Shahih lighairihi,

خْبَرَنَا أَبُو دَاوُدَ ، قَالَ : حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا شَرِيكٌ ، عَنْ أَبِي فَرْوَةَ ، عَنِ الْحَسَنِ قَالَ : خَطَبَ مُعَاوِيَةُ النَّاسَ فَقَالَ : إِنِّي مُحَدِّثُكُمْ بِحَدِيثٍ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَمَا سَمِعْتُمْ مِنْهُ فَصَدِّقُونِي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : لاَ تَلْبَسُوا الذَّهَبَ إِلاَّ مُقَطَّعًا ، قَالُوا : سَمِعْنَا قَالَ : وَسَمِعْتُهُ يَقُولُ : مَنْ رَكِبَ النُّمُورَ لَمْ تَصْحَبْهُ الْمَلاَئِكَةُ ، قَالُوا : سَمِعْنَا قَالَ : وَسَمِعْتُهُ يَنْهَى عَنِ الْمُتْعَةِ ، قَالُوا : لَمْ نَسْمَعْ فَقَالَ : بَلَى ، وَإِلاَّ فَصَمَتَا

Telah mengabarkan kepada kami Abu Dawud yang berkata telah menceritakan kepada kami Yazid bin Haruun yang berkata telah mengabarkan kepada kami Syariik dari Abi Farwah dari Al Hasan yang berkata “Mu’awiyah berkhutbah di hadapan manusia, ia berkata “aku akan menceritakan kepada kalian hadis yang aku dengar dari Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam], maka siapa diantara kalian yang juga mendengarnya hendaknya membenarkanku. Aku mendengar Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] berkata “Janganlah kalian mengenakan emas kecuali sepotong kecil”. Mereka berkata “kami mendengarnya”. Muawiyah berkata “dan aku mendengar Beliau berkata ” barang siapa yang menunggangi kulit harimau maka para malaikat tidak akan menyertainya”. Mereka berkata “kami mendengarnya”. Mu’awiyah berkata “dan aku mendengar Beliau melarang mut’ah”. Mereka berkata “kami tidak mendengarnya”. Maka Mu’awiyah berkata ” hal itu adalah benar”, kemudian ia pun diam. [Sunan Al Kubra An Nasa'i no 9738].

Kisah di atas juga diriwayatkan oleh para perawi tsiqat. Hanya saja Syarik diperselisihkan keadaannya, sebagian ulama memperbincangkan hafalannya yang buruk. Pendapat yang rajih adalah ia buruk hafalannya setelah menjabat qadhi di kufah tetapi sebelum ia menjabat qadhi maka ia seorang yang tsiqat shaduq. Riwayat Syarik di atas adalah hafalannya sebelum ia menjabat sebagai qadhi di Kufah karena Yazid bin Harun termasuk perawi yang meriwayatkan dari Syarik di Wasith sebelum ia menjabat sebagai qadhi di kufah.
1. Abu Dawud Al Harraniy adalah Sulaiman bin Saif bin Yahya termasuk perawi Nasa’i. Nasa’i berkata “tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 4 no 337]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat hafizh” [At Taqrib 1/387].
2. Yazid bin Harun Abu Khalid Al Wasithiy termasuk perawi Bukhari dan Muslim yang dikenal tsiqat. Ibnu Madini berkata “ia termasuk orang yang tsiqat” dan terkadang berkata “aku tidak pernah melihat orang lebih hafizh darinya”. Ibnu Ma’in berkata “tsiqat”. Al Ijli berkata “tsiqat tsabit dalam hadis”. Abu Bakar bin Abi Syaibah berkata “aku belum pernah bertemu orang yang lebih hafizh dan mutqin dari Yazid”. Abu Hatim menyatakan ia tsiqat imam shaduq. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat banyak meriwayatkan hadis”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Yaqub bin Syaibah menyatakan tsiqat. Ibnu Qani’ berkata “tsiqat ma’mun” [At Tahdzib juz 11 no 612].
3. Syarik bin Abdullah An Nakha’i perawi Bukhari dalam Shahih Bukhari secara ta’liq, dan termasuk perawi Muslim . Ibnu Ma’in, Al Ijli, Ibrahim Al Harbi menyatakan ia tsiqat. Nasa’i menyatakan “tidak ada masalah padanya”. Ia diperbincangkan sebagian ulama bahwa ia melakukan kesalahan dan terkadang hadisnya mudhtharib diantara yang membicarakannya adalah Abu Dawud, Ibnu Sa’ad dan Ibnu Hibban tetapi mereka tetap menyatakan Syarik tsiqat [At Tahdzib juz 4 no 587]. Hafalan yang dipermasalahkan pada diri Syarik adalah setelah ia menjabat menjadi Qadhi dimana ia sering salah dan mengalami ikhtilath tetapi mereka yang meriwayatkan dari Syarik sebelum ia menjabat sebagai Qadhi seperti Yazid bin Harun dan Ishaq Al Azraq maka riwayatnya bebas dari ikhtilath [Ats Tsiqat Ibnu Hibban juz 6 no 8507].
4. Muslim bin Salim An Nahdiy Abu Farwah termasuk perawi Bukhari dan Muslim. Ibnu Ma’in berkata “tsiqat”. Abu Hatim berkata “shalih tidak ada masalah padanya”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Yaqub bin Sufyan berkata “tidak ada masalah padanya” [At Tahdzib Ibnu Hajar juz 10 no 232]. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [At Taqrib 2/178].

Hasan bin Yasar Al Bashri termasuk tabiin perawi Bukhari dan Muslim yang tsiqat. Ibnu Hajar berkata “tsiqat faqih memiliki keutamaan masyhur melakukan irsal dan banyak melakukan tadlis” [At Taqrib 1/202]. Ibnu Hajar telah memasukkannya dalam mudallis thabaqat kedua [Thabaqat Al Mudallisin no 40] yaitu mudalis yang riwayat ‘an anah-nya diterima dan dijadikan hujjah dalam kitab Shahih,

حَدَّثَنَا مُعَاذُ بن الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ الْحَضْرَمِيِّ، عَنْ سَالِمِ بن عَبْدِ اللَّهِ، أَنَّ مُعَاوِيَةَ جَعَلَ يَقُولُ لِبَعْضِ مَنْ حَضَرَ: أَتَعْلَمُونَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ فِي كَذَا كَذَا قَالُوا: بَلَى، قَالَ:”أَفَلَمْ يَقُلْ فِي شَأْنِ التَّمَتُّعِ بِالْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَنَهَى عَنْهَا”قَالَ الَّذِينَ يُصَدِّقُونَ فِي الْحَدِيثِ الأَوَّلِ:”لا وَاللَّهِ مَا قَالَ هَذَا، وَمَا عَلِمْنَاهُ قَالَ

Telah menceritakan kepada kami Mu’adz bin Al Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami Musaddad yang berkata telah menceritakan kepada kami Muta’mar dari Ayahnya dari Al Hadhramiy dari Salim bin ‘Abdullah bahwa Mu’awiyah berkata kepada sebagian yang hadir “tahukah kalian bahwa Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] berkata begini begitu, Mereka berkata “benar”. Mu’awiyah kemudian berkata “bukankah Beliau telah mengatakan tentang menggabungkan Haji dan Umrah maka Beliau telah melarangnya”. Berkatalah yang membenarkannya dalam hadis sebelumnya “tidak, demi Allah Beliau tidak mengatakan hal ini, kami tidak mengetahuinya” [Mu'jam Al Kabir Ath Thabraniy no 16119].

Riwayat di atas sanadnya shahih para perawinya tsiqat dan Salim bin ‘Abdullah bin Umar hidup di masa Mu’awiyah. Mu’adz bin Mutsanna Al ‘Anbariy adalah syaikh [guru] Thabrani yang tsiqat. Adz Dzahabi berkata “tsiqat mutqin” [As Siyar 13/527 no 259]. Al Khatib menyatakan ia tsiqat [Tarikh Baghdad 15/173 no 7073]. Musaddad bin Musarhad termasuk perawi Bukhari, Ibnu Hajar berkata ia seorang yang tsiqat hafizh [At Taqrib 2/175]. Mu’tamar bin Sulaiman At Taimiy termasuk perawi Bukhari dan Muslim, Ibnu Hajar menyatakan bahwa ia tsiqat [At Taqrib 2/539]. Sulaiman At Taimiy termasuk perawi Bukhari dan Muslim, Ibnu Hajar menyebutkan bahwa ia seorang yang tsiqat dan ahli ibadah [At Taqrib 1/252]. Salim bin ‘Abdullah bin Umar tabiin termasuk perawi Bukhari dan Muslim, ia salah satu dari Fuqaha Sab’ah, ia seorang yang tsabit, ahli ibadah dan memiliki keutamaan [At Taqrib 1/335]. Adapun Al Hadhramiy yang telah meriwayatkan darinya Sulaiman At Taimiy maka Ibnu Ma’in telah menyatakan “tidak ada masalah padanya”. Lafaz ini di sisi Ibnu Ma’in bermakna tsiqat,

وقال عبد الله : سألت يحيى . قلت : التيمي , عن الحضرمي ؟ فقال : شيخ روى عنه معتمر , عن أبيه , عن الحضرمي . قلت ليحيى : ثقة ؟ قال : ليس به بأس

Telah berkata ‘Abdullah “aku bertanya kepada Yahya, aku berkata “At Taimiy meriwayatkan dari Al Hadhramiy?”. Ia berkata “Syaikh telah diriwayatkan darinya Mu’tamar dari ayahnya dari Al Hadhramiy”. Aku berkata kepada Yahya ” apakah ia tsiqat?”. Ibnu Ma’in berkata “tidak ada masalah padanya” [Al Ilal Ma'rifat Ar Rijal no 3971].

Ketiga riwayat di atas bersama-sama menguatkan keshahihan kabar bahwa Muawiyah telah meriwayatkan hadis Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] melarang mut’ah haji. Hadis Mu’awiyah ini bisa dikatakan tidak ada dasarnya karena perkara mut’ah haji telah dibolehkan oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sampai hari kiamat. Tidak ada yang meriwayatkan bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] melarang mut’ah haji selain Muawiyah. Kemudian Baihaqiy meriwayatkan atsar berikut:

أخبرنا أبو طاهر الفقيه قال : أخبرنا أبو بكر محمد بن الحسين القطان قال : حدثنا أحمد بن يوسف السلمي قال : حدثنا عبد الرزاق قال : أخبرنا سفيان بن عيينة ، عن عمرو بن دينار قال : سمعت ابن عباس وأنا قائم على رأسه وقيل له : إن معاوية « ينهى عن متعة الحج » قال : فقال ابن عباس : انظروا فإن وجدتموه في كتاب الله ، وإلا فاعلموا أنه كذب على الله وعلى رسوله

Telah mengabarkan kepada kami Abu Thaahir Al Faqiih yang berkata telah mengabarkan kepada kami Abu Bakar Muhammad bin Husain Al Qaththaan yang berkata telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yusuf As Sulamiy yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazaaq yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyan bin ‘Uyainah dari ‘Amru bin Diinar yang berkata aku mendengar Ibnu ‘Abbas dan aku berdiri di atas kepalanya dan dikatakan kepadanya bahwa Mu’awiyah melarang mut’ah haji. Ibnu ‘Abbas berkata “perhatikanlah, jika kalian menemukan hal itu dalam kitab Allah dan jika tidak maka ketahuilah bahwasanya ia telah berdusta atas Allah dan Rasul-Nya” [Ma’rifat As Sunan Wal Atsar Baihaqiy no 1467].

Riwayat Baihaqiy di atas kedudukannya shahih, para perawinya tsiqat. Riwayat ini menunjukkan bahwa Ibnu Abbas menyatakan dengan jelas bahwa Mu’awiyah berdusta atas Allah dan Rasul-Nya.
1. Abu Thaahir Al Faqiih adalah Muhammad bin Muhammad bin Mahmasy Az Zayaadiy. Adz Dzahabiy berkata “faqih allamah qudwah syaikh khurasan” [As Siyaar 17/276]. Abu Ya’la Al Khaliliy berkata “tsiqat muttafaq ‘alaih” [Al Irsyad no 774].
2. Abu Bakar Muhammad bin Husain Al Qaththaan, Adz Dzahabiy menyebutnya “syaikh ‘alim shalih musnad khurasan” [As Siyar 15/319]. Abu Ya’la Al Khaliliy menyatakan ia tsiqat [Al Irsyad Al Khaliliy no 744].
3. Ahmad bin Yusuf As Sulaamiy termasuk perawi Muslim. Muslim berkata “tsiqat”. Nasa’i berkata “tidak ada masalah padanya”. Daruquthniy menyatakan tsiqat. Al Khaliliy berkata “tsiqat ma’mun”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 1 no 161]. Ibnu Hajar berkata “hafizh tsiqat” [At Taqrib 1/86].
4. ‘Abdurrazaaq bin Hammaam termasuk perawi Bukhari dan Muslim seorang hafizh yang tsiqat sebagaimana yang dikatakan Ibnu Hajar [At Taqrib 1/599]. Ia dikatakan mengalami perubahan hafalan atau ikhtilath setelah ia buta. Dalam riwayat ini, yang meriwayatkan darinya adalah Ahmad bin Yusuf As Sulamiy yang periwayatannya dari Abdurrazaaq diambil Muslim dalam kitab Shahih-nya maka riwayat Ahmad bin Yusuf dari ‘Abdurrazaaq adalah sebelum ia mengalami ikhtilath dan kedudukannya shahih.
5. Sufyan bin Uyainah adalah seorang imam tsiqat, termasuk sahabat Az Zuhriy yang paling tsabit dan ia lebih alim dalam riwayat ‘Amru bin Diinar daripada Syu’bah. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Abu Hatim [Al Jarh Wat Ta’dil 1/35].
6. ‘Amru bin Diinar Al Makkiy termasuk perawi Bukhari dan Muslim. Ibnu Hajar menyatakan ia seorang yang tsiqat lagi tsabit [At Taqrib 1/734].

Dalam riwayat Ibnu Abbas di atas juga terdapat isyarat yang menguatkan keshahihan kabar bahwa Muawiyah memarfu’kan hadis larangan mut’ah haji itu kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Mu’awiyah melarang mut’ah haji dengan menisbatkan larangan itu kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tetapi Ibnu Abbas mengingkari Mu’awiyah dan dengan jelas menyatakan bahwa ia berdusta atas Allah dan Rasul-Nya. Karena kebolehan haji tamattu telah tetap dalilnya sampai hari kiamat dan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak pernah melarangnya.

وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ قَالاَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ح وَحَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ وَاللَّفْظُ لَهُ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنِ الْحَكَمِ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ‏”‏ هَذِهِ عُمْرَةٌ اسْتَمْتَعْنَا بِهَا فَمَنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ الْهَدْىُ فَلْيَحِلَّ الْحِلَّ كُلَّهُ فَإِنَّ الْعُمْرَةَ قَدْ دَخَلَتْ فِي الْحَجِّ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna dan Ibnu Basyaar, keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah. Dan telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Mu’adz dan lafaz ini adalah miliknya, yang berkata telah menceritakan kepada kami ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Al Hakam dari Mujahid dari Ibnu Abbas radiallahu ‘anhuma yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “ini adalah Umrah yang kita bersenang-senang dengannya. Maka barang siapa yang tidak memiliki hadyu [hewan sembelihan] maka hendaknya ia bertahalul seluruhnya. Sesungguhnya Umrah telah masuk ke dalam Haji sampai hari kiamat [Shahih Muslim no 1241].

Sebagaimana diisyaratkan oleh Ibnu ‘Abbaas [radiallahu ‘anhum]. Kali ini kami akan menunjukkan bukti lain dimana Mu’awiyah berdusta atas Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Mu’awiyah bin Abu Sufyaan pernah menisbatkan kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengenai larangan mut’ah haji padahal ma’ruf dalam hadis shahih bahwa Allah SWT dan Rasul-Nya telah membolehkan mut’ah haji. Ternyata untuk mendukung kedustaan tersebut Mu’awiyah bin Abu Sufyaan membuat kedustaan lain bahwa ia pada saat haji wada’ telah memotong rambut Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] di Marwah. Berikut hadis yang dimaksud:

حدثنا عمرو الناقد حدثنا سفيان بن عيينة عن هشام بن حجير عن طاوس قال قال ابن عباس قال لي معاوية أعلمت أني قصرت من رأس رسول الله صلى الله عليه و سلم عند المروة بمشقص فقلت له لا أعلم هذا إلاحجة عليك

Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Naaqid yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyaan bin ‘Uyainah dari Hisyaam bin Hujair dari Thaawus yang berkata Ibnu ‘Abbaas berkata Mu’awiyah berkata kepadaku “tahukah engkau bahwa aku telah memotong rambut Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] di Marwah dengan potongan anak panah?”. Maka aku berkata kepadanya “aku tidak tahu hal ini kecuali akan menjadi hujjah atasmu” [Shahih Muslim 2/913 no 1246, tahqiq Muhammad Fu’ad Abdul Baqiy].


Takhrij Riwayat

Riwayat Hisyaam bin Hujair dalam Shahih Muslim di atas disebutkan pula dalam Musnad Ahmad 4/97 no 16930, Mustakhraj Abu Nu’aim no 2885, Mu’jam Al Kabir Ath Thabraniy no 16048, dan Musnad Al Humaidiy no 616. Hisyaam bin Hujair dalam periwayatan dari Thawus memiliki mutaba’ah yaitu:
1. Hasan bin Muslim sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Bukhariy no 1730. Sunan Abu Dawud 2/94 no 1804, Sunan An Nasa’iy 5/270 no 2987, Musnad Ahmad 4/96 no 16916, Musnad Ahmad 4/98 no 16941, Mustakhraj Abu Awanah no 2572, Mustakhraj Abu Nu’aim no 2886, Ma’rifat Ash Shahabah Abu Nu’aim no 5478, Sunan Baihaqiy no 9662 & 9663, Mu’jam Al Kabir Ath Thabraniy no 16049
2. Abdullah bin Thawus sebagaimana diriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud 2/94 no 1805,Sunan An Nasa’iy 5/271 no 2988,Mu’jam Al Kabir Ath Thabraniy no 16050, Al Amaliy Fi Atsar Ash Shahabah ‘Abdurrazaaq no 141, Hajjatul Wada’ Ibnu Hazm 1/402 no 457, Akhbarul Makkah Al Faakihiy no 1437
La’its bin Abi Sulaim sebagaimana diriwayatkan dalam Musnad Ahmad 1/292 no 2664.

Thawus dalam periwayatan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas memiliki mutaba’ah yaitu:
1. Aliy bin Husain bin Aliy bin Abi Thalib sebagaimana diriwayatkan dalam Mustakhraj Abu Awanah no 2570 & 2571, Mu’jam Al Kabir Ath Thabraniy no 16051 & 16052. Semuanya meriwayatkan dengan jalan sanad dari Ibnu Juraij dari Ja’far bin Muhammad dari Ayahnya dari Aliy bin Husain dari Ibnu ‘Abbas. Sanadnya shahih hingga Ibnu ‘Abbas.
2. Muhammad bin Aliy bin Husain sebagaimana diriwayatkan dalam Musnad Ahmad 4/97 no 16931 & 16932, Al Ahaad Wal Matsaaniy Ibnu Abi ‘Aashim 1/433 no 530, Ahkam Al Qur’an Ath Thahawiy 2/190 no 1535. Semuanya meriwayatkan dengan jalan sanad dari Abu Ahmad Az Zubairiy dari Sufyaan dari Ja’far bin Muhammad dari Ayahnya dari Ibnu ‘Abbas. Dalam hal ini Sufyaan menyelisihi Ibnu Juraij dan riwayat Ibnu Juraij didahulukan karena sanadnya tsabit sedangkan riwayat Sufyan memiliki illat [cacat] dimana Abu Ahmad Az Zubairiy dikatakan terkadang salah dalam riwayatnya dari Sufyaan.
3. Mujahid bin Jabr sebagaimana diriwayatkan dalam Musnad Ahmad 4/95 no 16909, Mu’jam Al Kabir Ath Thabraniy no 16053, As Sunnah Al Khallaal 2/439 no 674 dengan jalan sanad dari Khusaif dari Mujahid dan Atha’ dari Ibnu ‘Abbaas. Sanad ini lemah karena Khusaif ia seorang yang shaduq tetapi jelek hafalannya dan sering salah. Kemudian dalam Mu’jam Al Kabir Ath Thabraniy no 16054 dan Al Ahaad Al Matsaaniy Ibnu Abi ‘Aashim 1/433 no 531 diriwayatkan dengan jalan sanad Ibnu Ishaaq dari Al Harits bin ‘Abdurrahman dari Mujahid dari Ibnu ‘Abbas. Sanad ini tidak tsabit hingga Mujahid karena Ibnu Ishaaq mudallis dan riwayatnya dengan ‘an anah.
4. ‘Atha’ bin Abi Rabah sebagaimana diriwayatkan dalam Musnad Ahmad 4/95 no 16909, Mu’jam Al Kabir Ath Thabraniy no 16053, As Sunnah Al Khallaal 2/439 no 674. Semuanya dengan jalan sanad dari Khusaif dari Mujahid dan Atha’ dari Ibnu ‘Abbaas. Sanad ini lemah karena Khusaif ia seorang yang shaduq tetapi jelek hafalannya dan sering salah.

Mengenai riwayat Mujahid dan Atha’ bin Abi Rabah maka jalan sanadnya tidak tsabit hingga Mujahid dan Atha’ bin Abi Rabah kemudian disebutkan bahwa Atha’ bin Abi Rabah meriwayatkan secara langsung kisah Mu’awiyah tanpa menyebutkan Ibnu ‘Abbas sebagaimana diriwayatkan dalam Musnad Ahmad 4/92 no 16882. Riwayat yang lebih kuat sanadnya dari Atha’ bin Abi Rabah adalah ia meriwayatkan langsung hadis ini dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan bukan dari Ibnu ‘Abbas sebagaimana disebutkan dalam Sunan An Nasa’iy 5/271 no 2989 dan Hajjatul Wada’ Ibnu Hazm 1/403 no 458.


Kajian Sanad dan Matan

Secara keseluruhan sanad riwayat tersebut shahih, Mu’awiyah memang mengatakan kepada Ibnu ‘Abbaas dan Atha’ bin Abi Rabah bahwa ia memotong rambut Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] di Marwah pada saat haji wada’.

Hadis ini tergolong musykil [akan kami jelaskan kemusykilannya nanti] sehingga sebagian ulama menolak menyatakan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada haji wada’. Mereka menyatakan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada Umrah Ji’raanah bukan Haji wada’. Diantara yang mengatakan demikian adalah Ibnu Katsiir [Sirah An Nabawiyah Ibnu Katsiir 3/697].

Pembelaan sebagian ulama ini keliru, yang benar adalah Mu’awiyah memang bermaksud menyatakan kesaksiannya tersebut pada haji wada’. Bukti akan hal ini adalah dengan mengumpulkan semua matan riwayat tersebut dengan jalan sanad yang shahih.

Qarinah pertama adalah matan riwayat menunjukkan bahwa Mu’awiyah menunjukkan bahwa ia memotong rambut Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pada saat Beliau melakukan umrah bersamaan dengan haji,

أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ قَالَ أَخْبَرَنِي الْحَسَنُ بْنُ مُسْلِمٍ أَنَّ طَاوُسًا أَخْبَرَهُ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ عَنْ مُعَاوِيَةَ أَنَّهُ قَصَّرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِشْقَصٍ فِي عُمْرَةٍ عَلَى الْمَرْوَةِ

Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Mutsanna dari Yahya bin Sa’iid dari Ibnu Juraij yang berkata telah mengabarkan kepadaku Hasan bin Muslim bahwa Thawus mengabarkan kepadanya bahwa Ibnu ‘Abbaas mengabarkan kepadanya dari Mu’awiyah bahwa ia memotong rambut Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan bagian anak panah di Marwah pada saat ‘Umrah [Sunan Nasa’iy no 2987].

Sanadnya shahih hingga Ibnu ‘Abbas. Muhammad bin Mutsanna bin ‘Ubaid Al ‘Anziy seorang yang tsiqat tsabit [Taqrib At Tahdzib 1/505 no 6264]. Yahya bin Sa’id Al Qaththan seorang yang tsiqat mutqin hafizh imam qudwah [Taqrib At Tahdzib 1/591 no 7557]. ‘Abdul Malik bin ‘Abdul ‘Aziz Ibnu Juraij seorang yang tsiqat faqiih fadhl melakukan tadlis dan irsal [Taqrib At Tahdzib 1/363 no 4193]. Riwayat Ibnu Juraij di atas dengan penyimakan maka shahih. Hasan bin Muslim Al Makkiy seorang yang tsiqat [Taqrib At Tahdzib 1/164 no 1286]. Thawus bin Kaisan Al Yamaniy seorang yang tsiqat faqiih fadhl [Taqrib At Tahdzib 1/281 no 3009].

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بن أَحْمَدَ بن حَنْبَلٍ، حَدَّثَنِي أَبِي، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَنَا مَعْمَرٌ، عَنِ بن طَاوُوسٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ بن عَبَّاسٍ، عَنْ مُعَاوِيَةَ، قَالَ:”قَصَّرْتُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ الْمَرْوَةِ بِمِشْقَصٍ فِي حَجَّتِهِ

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq yang berkata telah menceritakan kepada kami Ma’mar dari Ibnu Thaawus dari Ayahnya dari Ibnu ‘Abbaas dari Mu’awiyah yang berkata aku memotong rambut Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] di Marwah dengan bagian anak panah pada saat haji Beliau [Mu’jam Al Kabir Ath Thabraniy no 16050].

Sanadnya shahih hingga Ibnu ‘Abbaas. ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal seorang yang tsiqat [Taqrib At Tahdzib 1/295 no 3205]. Ahmad bin Hanbal salah seorang imam tsiqat hafizh faqiih hujjah [Taqrib At Tahdzib 1/84 no 96]. ‘Abdurrazzaaq bin Hamaam Ash Shan’aniy seorang tsiqat hafizh, penulis kitab, buta di akhir umurnya bercampur hafalannya dan ia bertasyayyu’ [Taqrib At Tahdzib 1/354 no 4064]. Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dari ‘Abdurrazzaaq sebelum ia buta dan bercampur hafalannya. Ma’mar bin Rasyiid Al ‘Azdiy seorang tsiqat tsabit fadhl kecuali riwayatnya dari Tsaabit, A’masyiy, Hisyam bin ‘Urwah dan hadisnya di Bashrah [Taqrib At Tahdzib 1/541 no 6809]. Ini adalah riwayatnya dari ‘Abdullah bin Thawus Al Yamaniy yang dijadikan hujjah oleh Bukhariy Muslim. ‘Abdullah bin Thawus Al Yamaniy seorang yang tsiqat fadhl ahli ibadah [Taqrib At Tahdzib 1/308 no 3397]. Thawus bin Kaisan Al Yamaniy seorang yang tsiqat faqiih fadhl [Taqrib At Tahdzib 1/281 no 3009].

Riwayat Hasan bin Muslim dari Thawus menyebutkan Umrah kemudian riwayat Ibnu Thawus dari ayahnya Thawus menyebutkan Haji. Kedua riwayat shahih dan penjamakan terhadap keduanya adalah kisah tersebut terjadi pada saat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] melaksanakan umrah bersamaan dengan haji yaitu pada saat haji wada’.

حدثنا هداب بن خالد حدثنا همام حدثنا قتادة أن أنسا رضي الله عنه أخبرهأن رسول الله صلى الله عليه و سلم اعتمر أربع عمر كلهن في ذي القعدة إلا التي مع حجته عمرة من الحديبية أو من زمن الحديبية في ذي القعدة وعمرة من العام المقبل في ذي القعدة وعمرة من جعرانة حيث قسم غنائم حنين في ذي القعدة وعمرة مع حجته حدثنا محمد بن المثنى حدثني عبدالصمد حدثنا همام حدثنا قتادة قال سألت أنسا كم حج رسول الله صلى الله عليه و سلم ؟ قالحجة واحدة واعتمر أربع عمر ثم ذكر بمثل حديث هداب

Telah menceritakan kepada kami Haddab bin Khalid yang berkata telah menceritakan kepada kami Hamam yang berkata telah menceritakan kepada kami Qatadah bahwa Anas radiallahu ‘anhu mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam mengerjakan umrah sebanyak empat kali dan semuanya pada bulan Dzul Qa’dah kecuali umrah yang beliau kerjakan bersama haji Beliau. Yaitu umrah hudaibiyyah di bulan Dzul Qa’dah, umrah pada tahun berikutnya di bulan Dzul Qa’dah dan umrah Al Ji’ranah saat Beliau membagikan ghanimah perang Hunain di bulan Dzul Qa’dah dan umrah saat Beliau mengerjakan haji. Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepadaku ‘Abdushshamad yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammaam yang berkata telah menceritakan kepada kami Qatadah yang berkata aku bertanya kepada Anas “berapa kali Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] melakukan haji?. Ia berkata satu kali haji dan empat kali umrah kemudian ia menyebutkan seperti hadis Haddab. [Shahih Muslim 2/916 no 1253].

Qarinah kedua Mu’awiyah telah berhujjah dengan hadisnya ini untuk mendukung pernyataannya bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] melarang mut’ah haji. Hal ini menunjukkan bahwa Mu’awiyah bermaksud menyatakan bahwa ia ikut dalam haji wada’ dan memotong rambut Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] di Marwah sehingga lebih mengetahui bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] melarang mut’ah haji. Kalau memang yang dimaksudkan Mu’awiyah adalah peristiwa Umrah Ji’ranah maka tidak ada faedahnya ia menjadikannya hujjah ketika menyatakan bahwa mut’ah haji telah dilarang Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].

حَدَّثَنَا يُوسُفُ وَأَبُو حُمَيْدٍ قَالا نَا حَجَّاجٌ عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ قَالَ أَخْبَرَنِي جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ الْحُسَيْنِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ مُعَاوِيَةَ، أَنَّهُ لَمَّا حَجَّ فَطَافَ بَيْنَ الصَّفَا، وَالْمَرْوَةِ قَالَ إِيهِ يَا ابْنَ عَبَّاسٍ مَا تَقُولُ فِي التَّمَتُّعِ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ؟ فَقَالَ أَقُولُ مَا قَالَ اللَّهُ وَعَمِلَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَقُرَيْشٌ عِنْدَهُ قَالَ مُعَاوِيَةُ أَمَا إِنِّي مَعَهُ وَقَصَّرْتُ عِنْدَهُ بِمِشْقَصِ أَعْرَابِيٍّ،

Telah menceritakan kepada kami Yuusuf dan Abu Humaid, keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Hajjaaj dari ‘Ibnu Juraij yang berkata telah mengabarkan kepadaku Ja’far bin Muhammad dari Ayahnya dari Aliy bin Husain dari Ibnu ‘Abbaas dari Mu’awiyah bahwasanya ia ketika haji melakukan tawaf diantara Shafa dan Marwah, ia berkata “wahai Ibnu ‘Abbas apa yang engkau katakan tentang menggabungkan umrah ke dalam haji?”. Maka Ibnu ‘Abbaas berkata “aku mengatakan sebagaimana yang difirmankan Allah SWT, diamalkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan orang-orang Quraisy di sisi Beliau. Mu’awiyah berkata “adapun aku telah bersamanya dan memotong rambutnya di sisinya dengan bagian anak panah milik arab badui”…[Mustakhraj Abu ‘Awanah no 2570].

Riwayat ini sanadnya shahih hingga Ibnu ‘Abbas. Yuusuf bin Sa’id bin Muslim Al Mashiishiy seorang tsiqat hafizh [Taqrib At Tahdzib 1/611 no 7866]. Abdullah bin Muhammad bin Tamiim Abu Humaid Al Mashiishiy seorang yang tsiqat [Taqrib At Tahdzib 1/320 no 3580]. Hajjaaj bin Muhammad Al A’waar seorang yang tsiqat tsabit tetapi mengalami ikhtilath di akhir umurnya ketika datang ke Baghdad sebelum wafatnya [Taqrib At Tahdzib 1/153 no 1135]. Disebutkan bahwa ikhtilatnya Hajjaaj bin Muhammad Al Mashiishiy tidak membahayakan karena tidak ada yang meriwayatkan darinya setelah ikhtilath [Muqaddimah Fath Al Bariy hal 393]. ‘Abdul Malik bin ‘Abdul ‘Aziz Ibnu Juraij seorang yang tsiqat faqiih fadhl melakukan tadlis dan irsal [Taqrib At Tahdzib 1/363 no 4193]. Riwayat Ibnu Juraij di atas dengan penyimakan bukan dengan ‘an anah maka statusnya shahih. Ja’far bin Muhammad bin Aliy bin Husain seorang yang shaduq faqiih imam [Taqrib At Tahdzib 1/141 no 950]. Muhammad bin Aliy bin Husain seorang tsiqat fadhl [Taqrib At Tahdzib 1/497 no 6151]. Aliy bin Husain seorang yang tsiqat tsabit ahli ibadah faqiih fadhl masyhur, Ibnu Uyainah berkata dari Az Zuhriy “aku tidak pernah melihat orang quraisy yang lebih utama darinya” [Taqrib At Tahdzib 1/400 no 4715].

حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ قَالَ ثنا سُفْيَانُ، قَالَ ثنا هِشَامُ بْنُ حُجَيْرٍ عَنْ طَاوُسٍ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقُولُ ” هَذِهِ حُجَّةٌ عَلَى مُعَاوِيَةَ، قَوْلُهُ: قَصَّرْتُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِشْقَصِ أَعْرَابِيٍّ عِنْدَ الْمَرْوَةِ ” يَقُولُ ابْنُ عَبَّاسٍ حِينَ نَهَى عَنِ الْمُتْعَةِ

Telah menceritakan kepada kami Al Humaidiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyaan yang berkata telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin Hujair dari Thawus yang berkata aku mendengar Ibnu ‘Abbaas mengatakan “hal ini akan menjadi hujjah terhadap Mu’awiyah yaitu perkataannya aku memotong rambut Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan potongan anak panah milik arab badui di Marwah”. Ibnu ‘Abbas mengatakan “ketika ia melarang mut’ah [haji]” [Musnad Al Humaidiy no 616].

Para perawi sanad ini tsiqat kecuali Hisyam bin Hujair, ia termasuk perawi Bukhari dan Muslim termasuk seorang yang diperselisihkan kedudukannya, hadisnya hasan dengan adanya penguat. Maka hadis di atas hasan dengan dikuatkan oleh riwayat Abu ‘Awanah sebelumnya. ‘Abdullah bin Zubair Al Humaidiy seorang tsiqat hafizh faqiih [Taqrib At Tahdzib 1/303 no 3320]. Sufyan bin ‘Uyainah seorang tsiqat hafizh faqih imam hujjah kecuali berubah hafalannya di akhir umurnya dan melakukan tadlis tetapi dari perawi tsiqat [Taqrib At Tahdzib 1/245 no 2451]. Hisyaam bin Hujair seorang yang shaduq tetapi mempunyai beberapa kesalahan [Taqrib At Tahdzib 1/572 no 7288]. Thawus bin Kaisan Al Yamaniy seorang yang tsiqat faqiih fadhl [Taqrib At Tahdzib 1/281 no 3009].

Qarinah ketiga dan paling kuat penunjukkannya adalah riwayat Atha’ bin Abi Rabah yang menyebutkan bahwa peristiwa itu dikatakan Mu’awiyah terjadi pada bulan Dzulhijjah yaitu bulan haji,

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَبِيعٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عُثْمَانَ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ خَالِدٍ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ، حَدَّثَنَا الْحَجَّاجُ بْنُ الْمِنْهَالِ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ قَيْسِ بْنِ سَعْدٍ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ، عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ، قَالَ: قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَرْبَعٍ خَلَوْنَ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ، فَطَافَ بِالْبَيْتِ، وَبَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ، فَأَخَذْتُ مِنْ أَطْرَافِ شَعْرِهِ بِمِشْقَصٍ مَعِي، قَالَ عَطَاءٌ: وَالنَّاسُ يُنْكِرُونَ ذَلِكَ عَلَى مُعَاوِيَةَ

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Rabi’ yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Utsman yang berkata telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Khaalid yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Abdul ‘Aziiz yang berkata telah menceritakan kepada kami Hajjaaj bin Minhaal yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Qais bin Sa’d dari ‘Atha’ bin Abi Rabah dari Mu’awiyah bin Abu Sufyaan yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] datang pada hari keempat dari bulan Dzulhijjah Beliau bertawaf di Ka’bah dan antara Shafa dan Marwah maka saya mengambil ujung rambut Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan bagian anak panah yang ada padaku. ‘Atha’ berkata “orang-orang mengingkari apa yang dikatakan Mu’awiyah tersebut” [Hajjatul Wadaa’ Ibnu Hazm no 458].

Riwayat ini para perawinya tsiqat dan Atha’ bin Abi Rabah menemui masa Mu’awiyah dan termasuk yang meriwayatkan dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Berikut keterangan mengenai para perawinya.
1. ‘Abdullah bin Rabi’ bin ‘Abdullah bin Muhammad bin Rabi’ bin Shalih. Adz Dzahabi menyebutkan bahwa diantara yang meriwayatkan darinya adalah Ibnu Hazm dan ia seorang yang tsabit shalih [Tarikh Al Islam Adz Dzahabiy 28/374].
2. ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Utsman Al Asadiy, ia mendengar dari Ahmad bin Khalid, seorang yang dhabit kitabnya, shaduq dalam riwayatnya dan tsiqat dalam penukilannya [Tarikh Ulama’ Al Andalus, Ibnul Fardhiy 1/314 no 707].
3. Ahmad bin Khalid bin Yaziid Abu ‘Amru Al Qurthubiy mendengar dari Aliy bin ‘Abdul ‘Aziz, ia seorang imam dalam fiqih dan hadis di andalus, seorang yang dhabit mutqin memiliki kebaikan dan keutamaan, seorang yang wara’ [Ad Diibaj Al Madzhab Ibnu Farhuun 1/159-160 no 27]. Abu Abdullah Al Humaidiy menyebutnya hafizh mutqin [Jadzwah Al Muqtabis hal 121 no 205]. Ibnu Makula juga menyebutnya hafizh mutqin [Ikmal Al Kamal Ibnu Makula 2/138].
4. Aliy bin ‘Abdul Aziiz, Abul Hasan Al Baghawiy, Ibnu Abi Hatim menyatakan ia shaduq [Al Jarh Wat Ta’dil 6/196 no 1076]. Daruquthniy berkata tentangnya “tsiqat ma’mun” [Su’alat Hamzah As Sahmiy no 389].
5. Hajjaaj bin Minhal Al Anmathiy termasuk perawi Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’iy, Ibnu Majah, Abu Dawud, seorang yang tsiqat lagi fadhl [Taqrib At Tahdzib 1/153 no 1137].
6. Hammad bin Salamah bin Diinar Al Bashriy termasuk perawi Muslim, Tirmidzi, Nasa’iy, Ibnu Majah, Abu Dawud, seorang yang tsiqat ahli ibadah, orang yang paling tsabit dalam riwayat Tsabit, berubah hafalannya diakhir umurnya. [Taqrib At Tahdzib 1/178 no 1499]. Periwayatan Hajjaaj bin Minhaal dari Hammaad bin Saalamah telah diambil Muslim dalam kitab Shahih-nya.
7. Qais bin Sa’d Al Makkiy termasuk perawi Bukhariy dalam At Ta’liq, Muslim, Abu Dawud, Nasa’iy, Ibnu Majah. Ia seorang yang tsiqat [Taqrib At Tahdzib 1/457 no 5577].
8. Atha’ bin Abi Rabah termasuk perawi Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’iy, Ibnu Majah, Abu Dawud seorang yang tsiqat faqiih fadhl tetapi banyak melakukan irsal [Taqrib At Tahdzib 1/391 no 4591].

Atha’ bin Abi Rabah dikatakan lahir pada masa ‘Utsman bin ‘Affan maka ia menemui masa Mu’awiyah. Adapun dikatakan ia banyak melakukan irsal maka itu tidak ada masalah karena tidak ada ulama yang menyatakan bahwa riwayatnya dari Mu’awiyah mursal. Jadi riwayat di atas para perawinya tsiqat hanya saja dikatakan bahwa riwayat Hammad bin Salamah dari Qais bin Sa’d tidak kuat sebagaimana dikatakan Yahya bin Sa’id Al Qaththaan [Al Kamil Ibnu Adiy 2/253].

Ahmad bin Hanbal menyebutkan riwayat Atha’ dalam Musnad Ahmad 4/92 no 16882 dengan lafaz berikut:

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عفان ثنا حماد يعني بن سلمة انا قيس عن عطاء : ان معاوية بن أبي سفيان بن حرب أخذ من أطراف يعني شعر النبي صلى الله عليه و سلم في أيام العشر بمشقص معي وهو محرم والناس ينكرون ذلك

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Affan yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammad yakni bin Salamah yang berkata telah menceritakan kepada kami Qais dari Atha’ bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyaan bin Harb mengambil ujung rambut Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] pada sepuluh hari pertama bulan dzulhijjah sedang Beliau dalam keadaan ihram, dan orang-orang mengingkari perkataan Mu’awiyah itu. [Musnad Ahmad 4/92 no 16882].

Nampak bahwa dalam riwayat Ahmad tidak disebutkan bahwa Atha’ mengambil riwayat tersebut dari Mu’awiyah tetapi hal ini dinyatakan dengan jelas dalam riwayat Ibnu Hazm sebelumnya dan dikuatkan oleh riwayat Nasa’iy berikut:

أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ مُوسَى قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ قَيْسِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ مُعَاوِيَةَ قَالَأَخَذْتُ مِنْ أَطْرَافِ شَعْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِشْقَصٍ كَانَ مَعِي بَعْدَ مَا طَافَ بِالْبَيْتِ وَبِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ فِي أَيَّامِ الْعَشْرِقَالَ قَيْسٌ وَالنَّاسُ يُنْكِرُونَ هَذَا عَلَى مُعَاوِيَةَ

Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Manshuur yang berkata telah menceritakan kepada kami Hasan bin Muusa yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Qais bin Sa’ad dari Atha’ dari Mu’awiyah yang berkata aku mengambil ujung rambut Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan potongan anak panah yang ada padaku setelah melakukan tawaf di Ka’bah dan di Shafa dan Marwah pada sepuluh hari yang pertama bulan dzulhijjah. Qais berkata “orang-orang mengingkari perkataan Mu’awiyah ini” [Sunan Nasa’iy no 2989].

Terdapat sedikit perbedaan lafaz dalam riwayat Ibnu Hazm, Ahmad dan Nasa’iy dan perbedaan tersebut bisa dijamak.
1. Dalam riwayat Ibnu Hazm disebutkan pada hari keempat bulan dzulhijjah sedangkan pada riwayat Ahmad dan Nasa’iy disebutkan pada sepuluh hari yang pertama bulan dzulhijjah. Kedua lafaz tersebut benar hanya saja riwayat Ibnu Hazm menyebutkan dengan lebih spesifik bahwa kisahnya terjadi di hari keempat di bulan dzulhijjah dan itu masih termasuk dalam sepuluh hari yang pertama bulan dzulhijjah.
2. Dalam riwayat Nasa’iy disebutkan bahwa lafaz “orang-orang mengingkari perkataan Mu’awiyah” adalah lafaz perkataan Qais bin Sa’d tetapi dalam riwayat Ibnu Hazm dan Ahmad disebutkan bahwa lafaz perkataan tersebut adalah milik ‘Atha’ bin Abi Rabah. Kedua lafaz tersebut benar, Atha’ menyebutkan bahwa orang-orang pada masanya mengingkari perkataan Mu’awiyah tersebut kemudian begitu pula Qais menyebutkan bahwa orang-orang di masanya juga mengingkari perkataan Mu’awiyah tersebut.

Faedah yang didapatkan dari riwayat Atha’ bin Abi Rabah dari Mu’awiyah tersebut adalah kisah itu terjadi pada bulan dzulhijjah atau bulan haji sehingga pernyataan sebagian ulama bahwa kisah itu terjadi saat Umrah Ji’ranah adalah keliru karena umrah ji’ranah terjadi di bulan dzulqa’dah bukan di bulan haji.


Kemusykilan Hadis

Setelah dibuktikan bahwa Mu’awiyah memang mengatakan kalau ia memotong rambut Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] di Marwah pada saat haji wadaa’ maka akan kami tunjukkan dimana letak kemusykilannya.

Dalam haji wadaa’ Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memerintahkan para sahabatnya melakukan haji tamattu’ bagi yang tidak membawa hewan qurban dan melakukan haji qiran bagi yang membawa hewan qurban. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] membawa hewan qurban dan menyatakan dengan jelas bahwa Beliau tidak akan tahallul [mencukur rambut] sampai menyembelih hewan qurban di hari nahar [hari Id].

حدثنا أبو نعيم حدثنا أبو شهاب قال قدمت متمتعا مكة بعمرة فدخلنا قبل التروية بثلاثة أيام فقال لي أناس من أهل مكة تصير الآن حجتك مكية فدخلت على عطاء أستفتيه فقال حدثني جابر بن عبد الله رضي الله عنهما أنه حج مع النبي صلى الله عليه و سلم يوم ساق البدن معه وقد أهلوا بالحج مفردا فقال لهم أحلوا من إحرامكم بطواف البيت وبين الصفا والمروة وقصروا ثم أقيموا حلالا حتى إذا كان يوم التروية فأهلوا بالحج واجعلوا التي قدمتم بها متعة فقالوا كيف نجعلها متعة وقد سمينا الحج ؟ فقال افعلوا ما أمرتكم فلولا أني سقت الهدي لفعلت مثل الذي أمرتكم ولكن لا يحل مني حرام حتى يبلغ الهدي محله ففعلوا

Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim telah menceritakan kepada kami Abu Syihaab yang berkata “Aku datang ke Makkah dengan berihram untuk ‘umrah sebagai pelaksanaan haji dengan tamattu’. Maka kami tiba tiga hari sebelum hari Tarwiyah. Orang-orang dari penduduk Makkah berkata kepadaku“maka hajimu sekarang sebagai orang Makkah”. Kemudian aku menemui ‘Atha’ untuk meminta fatwa darinya. Maka dia berkata telah menceritakan kepadaku Jabir bin ‘Abdullah [radliallahu ‘anhu] bahwa dia pernah melaksanakan haji bersama Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] ketika Beliau menggiring hewan qurbannya dan sungguh orang-orang sudah berihram untuk haji secara ifrad, maka Beliau berkata kepada mereka “halalkanlah ihram kalian ketika sudah thawaf di Ka’bah dan Antara Shafa dan Marwah dan potonglah rambut kalian tinggalah dalam keadaan halal hingga apabila tiba hari Tarwiyah berihramlah untuk haji dan jadikan apa yang sudah kalian lakukan dari manasik ini sebagai pelaksanaan haji dengan tamattu’. Mereka bertanya “Bagaimana kami menjadikannya sebagai tamattu’ sedang kami sudah meniatkannya sebagai ihram haji?”. Maka Beliau berkata “laksanakanlah apa yang aku perintahkan kepada kalian. Seandainya aku tidak membawa hewan sembelihan tentu aku akan melaksanakan seperti yang aku perintahkan kepada kalian. Akan tetapi tidak halal bagiku apa-apa yang diharamkan selama ihram ini hingga hewan sembelihan sudah sampai pada tempat sembelihannya [pada hari nahar]”. Maka orang-orang melaksanakannya [Shahih Bukhariy 2/568 no 1493].

حدثنا إسحاق بن إبراهيم أخبرنا محمد بن بكر أخبرنا ابن جريج ح وحدثني زهير بن حرب ( واللفظ له ) حدثنا روح بن عبادة حدثنا ابن جريج حدثني منصور بن عبدالرحمن عن أمه صفية بنت شيبة عن أسماء بنت أبي بكر رضي الله عنهما قالت خرجنا محرمين فقال رسول الله صلى الله عليه و سلممن كان معه هدي فليقم على إحرامه ومن لم يكن معه هدي فليحلل فلم يكن معي هدي فحللت وكان مع الزبير هدي فلم يحللقالت فلبست ثيابي ثم خرجت فجلست إلى الزبير فقال قومي عني فقلت أتخشى أن أثب عليك؟

Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Ibrahiim yang berkata telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Bakar yang berkata telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij. Dan telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb [dan ini lafaznya] telah menceritakan kepada kami Rauh bin ‘Ubadah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij yang berkata telah menceritakan kepadaku Manshuur bin ‘Abdurrahman dari ibunya Shafiyah binti Syaibah dari Asmaa’ binti Abu Bakar [radiallahu’ anhuma] yang berkata ketika kami keluar untuk ihram maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “barang siapa yang membawa hewan kurban maka tetaplah ia dalam keadaan ihram dan barang siapa yang tidak membawa hewan kurban maka lakukanlah tahallul”. Aku tidak membawa hewan kurban maka aku bertahallul sedangkan Zubair membawa hewan kurban maka ia tidak bertahallul. Aku berkata aku memakai pakaianku kemudian keluar dan duduk di dekat Zubair.Makai a berkata “menjauhlah dariku”. Aku berkata “apakah engkau takut aku melompat kepadamu?”. [Shahih Muslim 2/907 no 1236].

حدثنا إسماعيل قال حدثني مالك . وحدثنا عبد الله بن يوسف أخبرنا مالك عن نافع عن ابن عمر عن حفصة رضي الله عنهم زوج النبي صلى الله عليه و سلم أنها قالت يا رسول الله ما شأن الناس حلوا بعمرة ولم تحلل أنت من عمرتك ؟ قال إني لبدت رأسي وقلدت هديي فلا أحل حتى أنحر

Telah menceritakan kepada kami Isma’iil yang berkata telah menceritakan kepadaku Malik. Dan telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yuusuf yang berkata telah mengabarkan kepada kami Malik dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar dari Hafshah [radiallahu ‘anhum] istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwasanya ia berkata “wahai Rasulullah orang-orang telah bertahallul dari umrah sedangkan anda tidak bertahallul dari umrah anda?. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “aku telah mengikat rambutku dan telah menandai hewan kurbanku maka aku tidak akan bertahallul sampai setelah menyembelih hewan kurban” [Shahih Bukhariy 2/568 no 1491].

حدثنا يحيى بن بكير قال حدثنا الليث عن عقيل عن ابن شهاب عن عروة عن عائشة قالتخرجنا مع النبي صلى الله عليه و سلم في حجة الوداع فمنا من أهل بعمرة ومنا من أهل بحج فقدمنا مكة فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم من أحرم بعمرة ولم يهد فليحلل ومن أحرم بعمرة وأهدي فلا يحل حتى يحل بنحر هديه ومن أهل بحج فليتم حجه

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair yang berkata telah menceritakan kepada kami Laits dari Uqail dari Ibnu Syihaab dari ‘Urwah dari ‘Aisyah berkata Kami keluar bersama Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pada saat haji Wada’. Di antara kami ada yang bertalbiah dengan Umrah dan ada pula yang bertalbiah dengan haji. Ketika kami sudah sampai di Makkah, Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “Barangsiapa yang berihram dengan Umrah dan tidak membawa hewan sembelihan, maka hendaklah dia bertahallul. Dan barangsiapa berihram dengan Umrah dan membawa hewan sembelihan, maka janganlah bertahallul kecuali setelah menyembelih hewan pada hari nahar [hari Id]. Dan barangsiapa bertalbiah dengan haji, hendaklah menyempurnakan hajinya…[Shahih Bukhariy 1/121 no 313].

حدثنا موسى بن إسماعيل قال حدثنا وهيب قال حدثنا أيوب عن أبي العالية البراء عن ابن عباس رضي الله عنهما قام النبي صلى الله عليه و سلم وأصحابه لصبح رابعة يلبون بالحج فأمرهم أن يجعلوها عمرة إلا من معه الهدي

Telah menceritakan kepada kami Muusa bin Isma’iil yang berkata telah menceritakan kepada kami Wuhaib yang berkata telah menceritakan kepada kami Ayuub dari Abul ‘Aliyyah Al Barra’ dari Ibnu ‘Abbaas [radiallhu’anhuma] Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan para sahabatnya pernah datang pada shubuh keempat [dari bulan haji] dimana mereka berniat haji maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memerintahkan menjadikannya Umrah kecuali bagi mereka yang membawa hewan sembelihan [Shahih Bukhariy 1/368 no 1035].

Maksud hadis Ibnu ‘Abbaas menjadikannya umrah adalah melakukan tahallul [memotong rambut] kemudian pada saatnya tiba melakukan ihram haji atau dengan kata lain melakukan haji tamattu. Hal ini berlaku untuk mereka yang tidak membawa hewan sembelihan, sedangkan bagi mereka yang membawa hewan sembelihan termasuk Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak bertahallul sampai hari nahar [hari Id] setelah hewan qurban disembelih.

Hadis-hadis di atas menunjukkan bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pada saat haji wada’ tidaklah bertahallul sampai hewan qurban disembelih sebagaimana diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdullah [radiallahu ‘anhu], Asma’ binti Abu Bakar [radiallahu’anha], Hafshah [radiallahu’anha], Aisyah [radiallahu ‘anha] dan Ibnu Abbas [radiallahu’anhu].

Jadi bagaimana mungkin Mu’awiyah bisa mengaku atau bersaksi bahwa ia memotong rambut Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] di Marwah pada hari keempat bulan dzulhijjah saat haji wada’ padahal Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menyatakan bahwa Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak akan bertahallul sampai hari Id tiba. Itulah kemusykilan hadis di atas oleh karena itu sebagian ulama bersikeras untuk menolak menyatakan kisah Mu’awiyah tersebut terjadi pada haji wada’ tetapi sebenarnya terjadi pada umrah Ji’ranah. Telah kami tunjukkan bahwa pernyataan sebagian ulama tersebut keliru karena bertentangan dengan fakta riwayat sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya.


Lafaz Jawaban Ibnu ‘Abbas

Berbeda hal-nya dengan riwayat shahih dimana Ibnu ‘Abbas mengisyaratkan dusta pada Mu’awiyah ketika Mu’awiyah melarang mut’ah haji dan menyandarkannya pada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka disini kami tidak menemukan adanya riwayat shahih dari Ibnu ‘Abbas yang mendustakan Mu’awiyah yang mengaku memotong rambut Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] di Marwah. Lafaz yang ada dalam Shahih Muslim yaitu:

فقلت له لا أعلم هذا إلاحجة عليك

Maka Aku [Ibnu ‘Abbas] berkata kepadanya “aku tidak tahu hal ini kecuali akan menjadi hujjah terhadapmu” [Shahih Muslim 2/913 no 1246].

Lafaz ini hanya diriwayatkan oleh Hisyaam bin Hujair dari Thawus dari Ibnu ‘Abbas. Ia menyendiri dengan lafaz tersebut dan mutaba’ah baginya yaitu Hasan bin Muslim dan Abdullah bin Thawus tidak menyebutkan lafaz Ibnu ‘Abbas tersebut. Hisyaam bin Hujair adalah seorang yang diperselisihkan kedudukannya. Ibnu Hajar dalam At Taqrib memberikan predikat shaduq memiliki beberapa kekeliruan [Taqrib At Tahdzib 1/572 no 7288]. Berikut keterangan rinci tentangnya:
1. Hisyaam bin Hujair termasuk perawi Bukhariy dan Muslim bahkan Adz Dzahabiy menyatakan bahwa Bukhariy dan Muslim telah berhujjah dengan Hisyaam bin Hujair [Mizan Al I’tidal 4/295 no 9219]
Yahya bin Sa’id Al Qaththan tidak meriwayatkan darinya, tidak meridhainya dan meninggalkan hadisnya. ‘Abdullah bin Ahmad bertanya kepada Ibnu Ma’in tentangnya dan Yahya bin Ma’in sangat melemahkannya. Abdullah bin Ahmad berkata “aku bertanya kepada ayahku tentang Hisyaam bin Hujair maka ia berkata “tidak kuat”. Aku berkata “apakah ia dhaif?”.Ia berkata “ia tidaklah demikian”. Abdullah bin Ahmad juga berkata “aku mendengar ayahku mengatakan Hisyaam bin Hujair Al Makkiy dhaif al hadits”. Sufyan bin Uyainah berkata “kami tidak mengambil dari Hisyaam apa yang tidak kami temukan pada selainnya” [Adh Dhu’afa Al Uqailiy 4/337 no 1943].
2. Ahmad bin Hanbal berkata dari Ibnu Uyainah dari Ibnu Syubrumah yang berkata “tidak ada di Makkah yang sepertinya yaitu seperti Hisyaam bin Hujair. Ishaq bin Manshuur meriwayatkan dari Yahya bin Ma’in yang berkata Hisyaam bin Hujair shalih. Ibnu Abi Hatim berkata aku bertanya pada ayahku tentang Hisyaam bin Hujair maka ia berkata “orang Makkah ditulis hadisnya” [Al Jarh Wat Ta’dil 9/53-54 no 228].
3. Al Ijliy menyatakan ia tsiqat berpegang pada sunnah, Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat memiliki hadis-hadis”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. As Sajiy berkata “shaduq” [Tahdzib At Tahdzib Ibnu Hajar 11/32 no 74]. Ibnu Syahiin memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Tarikh Asma’ Ats Tsiqaat no 1536]. Adz Dzahabiy berkata “orang Makkah yang tsiqat” [Al Kasyf no 6058]

Lafaz Hisyaam bin Hujair dikuatkan secara makna dengan lafaz riwayat Laits bin Abi Sulaim dari Thawus dari Ibnu ‘Abbas sebagaimana yang diriwayatkan Ahmad bin Hanbal:

قال بن عباس فعجبت منه وقد حدثني انه قصر عن رسول الله صلى الله عليه و سلم بمشقص

Ibnu ‘Abbas berkata “maka aku heran terhadapnya dan sungguh ia telah menceritakan kepadaku bahwa ia memotong rambut Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan potongan anak panah” [Musnad Ahmad bin Hanbal 1/292 no 2664].

Riwayat dengan lafaz ini dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar. Para perawinya tsiqat kecuali Laits bin Abi Sulaim, ia termasuk perawi Muslim seorang yang shaduq dan mengalami ikhtilath yang berat [Taqrib At Tahdzib 1/464 no 5685].

Lafaz Hisyaam bin Hujair dan Laits bin Abi Sulaim menunjukkan bahwa Ibnu ‘Abbaas heran terhadap perkataan Mu’awiyah tersebut dan hal itu akan menjadi hujjah terhadap Mu’awiyah. Hal ini bersesuaian dengan riwayat yang menunjukkan bahwa saat haji wada’ Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak bertahallul sampai hewan kurban disembelih. Abdullah bin ‘Abbas mengetahui bahwa perkataan Mu’awiyah bertentangan dengan fakta sehingga ia menunjukkan keheranannya.

Terdapat riwayat yang menunjukkan seolah-olah Ibnu ‘Abbas membenarkan apa yang dikatakan Mu’awiyah, berikut riwayat yang dimaksud:

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا أبو عمرو مروان بن شجاع الجزري قال ثنا خصيف عن مجاهد وعطاء عن بن عباس ان معاوية أخبره انه : رأى رسول الله صلى الله عليه و سلم قصر من شعره بمشقص فقلنا لابن عباس ما بلغنا هذا الا عن معاوية فقال ما كان معاوية على رسول الله صلى الله عليه و سلم متهما

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Amru Marwaan bin Syujaa’ Al Jazaariy yang berkata telah menceritakan kepada kami Khushaif dari Mujahid dan ‘Atha’ dari Ibnu ‘Abbas bahwa Mu’awiyah mengabarkan kepadanya bahwasanya ia melihat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memotong rambutnya dengan potongan anak panah. Maka kami berkata kepada Ibnu ‘Abbaas “tidaklah itu sampai kepada kami kecuali dari Mu’awiyah”. Maka Ibnu ‘Abbaas berkata “bukanlah Mu’awiyah seorang yang tertuduh atas Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]” [Musnad Ahmad bin Hanbal 4/95 no 16909].

Riwayat ini kedudukannya dhaif mungkar. Khushaif bin ‘Abdurrahman Al Jazariy seorang yang shaduq tetapi buruk hafalannya mengalami ikhtilath di akhir umurnya dan dituduh menganut irja’ [Taqrib At Tahdzib 1/193 no 1718]. Berikut keterangan rinci tentangnya:
1. Abu Thalib berkata dari Ahmad bahwa ia dhaif al hadits. Abdullah bin Ahmad berkata ayahnya berkata “tidak kuat dalam hadis”. Abu Dawud berkata aku mendengar Ahmad bin Hanbal berkata “Khushaif mudhtharib al hadist” [Mausu’ah Aqwaal Ahmad 2/310].
2. Aliy bin Madiiniy mengatakan Yahya bin Sa’iid mendhaifkan Khusaif. Ishaq bin Manshuur dari Yahya bin Ma’in berkata Khusaif shalih. Ibnu Abi Hatim berkata aku mendengar ayahku berkata “Khusaif shalih mengalami ikhtilath, dibicarakan karena jelek hafalannya”. Ibnu Abi Hatim berkata aku bertanya kepada Abu Zur’ah tentang Khusaif bin ‘Abdurrahman maka ia berkata “tsiqat” [Al Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatim 3/404 no 1848].
3. Nasa’iy berkata “tidak kuat” terkadang berkata “shalih”. Ibnu Adiy berkata “jika yang menceritakan hadis dari Khusaif perawi tsiqat maka tidak ada masalah pada hadisnya”. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat”. Daruquthniy berkata “dapat dijadikan i’tibar terkadang keliru”. As Sajiy berkata “shaduq”. Ibnu Khuzaimah berkata “tidak dapat dijadikan hujjah hadisnya”. Yaqub bin Sufyan berkata “tidak ada masalah padanya”. Abu Ahmad Al Hakim berkata “tidak kuat” [Tahdzib At Tahdzib Ibnu Hajar 3/123-124 no 275].
4. Ibnu Hibban mengatakan Khusaif syaikh shalih faqiih ahli ibadah kecuali ia melakukan banyak kesalahan dari apa yang ia riwayatkan menyendiri atau yang tidak memiliki mutaba’ah atasnya, ia seorang yang shaduq dalam riwayatnya, diterima riwayatnya yang bersesuaian dengan perawi tsiqat dan ditinggalkan riwayatnya yang tidak memiliki mutaba’ah [Al Majruuhin Ibnu Hibban 1/287]. Adz Dzahabiy berkata “shaduq buruk hafalannya, Ahmad mendhaifkannya [Al Kasyf no 1389].

Riwayat Khusaif di atas sanadnya ma’lul [cacat] karena riwayat Khusaif dari ‘Atha’ bin Abi Rabah dari Abdullah bin ‘Abbas menyelisihi riwayat Qa’is bin Sa’d Al Makkiy yang meriwayatkan dari Atha’ bin Abi Rabah dari Mu’awiyah. Qa’is bin Sa’d perawi tsiqat sedangkan Khusaif seorang yang shaduq tetapi jelek hafalannya. Maka riwayat Qais lebih didahulukan dibanding riwayat Khusaif.

Dari segi matan lafaz riwayat Khusaif bahwa Mu’awiyah bukanlah yang tertuduh atas Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mungkar bertentangan dengan:
1. Perkataan Ibnu ‘Abbas yang mendustakan Mu’awiyah ketika ia melarang mut’ah haji atas nama Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Sebagaimana pernah kami tunjukkan dalam tulisan sebelumnya bahwa sanadnya shahih hingga Ibnu ‘Abbaas. Artinya Ibnu ‘Abbas pernah menuduh Mu’awiyah berdusta atas Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka riwayat Khusaif dimana Ibnu ‘Abbas menyebutkan Mu’awiyah bukan seorang yang tertuduh bertentangan dengan fakta ini.
2. Lafaz riwayat Hisyaam bin Hujair dan Laits bin Abi Sulaim sebelumnya yang secara makna bertentangan dengan lafaz riwayat Khusaif. Kalau memang Ibnu ‘Abbas mengakui bahwa Mu’awiyah bukan seorang tertuduh maka tidak ada yang patut diherankan atas perkataannya tersebut sebagaimana nampak dalam riwayat Hisyaam bin Hujair dan Laits bin Abi Sulaim
3. Ibnu ‘Abbas termasuk sahabat yang meyakini bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pada haji wada’ tidaklah bertahallul sampai hewan kurban disembelih. Maka lafaz riwayat Hisyaam bin Hujair dan Laits bin Abi Sulaim bersesuaian dengan keyakinan Ibnu ‘Abbaas sedangkan lafaz riwayat Khusaif justru bertentangan dengan keyakinan Ibnu ‘Abbas.

Jadi riwayat Khusaif bin ‘Abdurrahman di atas lemah mengandung illat [cacat] pada sanad maupun matannya sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Pendapat yang rajih mengenai jawaban Ibnu ‘Abbaas terhadap kesaksian Mu’awiyah yang memotong rambut Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] di Marwah adalah ia menunjukkan keheranannya dan mengatakan bahwa hal itu akan menjadi hujjah atas Mu’awiyah.


Kesimpulan:

Mu’awiyah bin Abu Sufyan telah menyatakan bahwa ia telah memotong rambut Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] di Marwah pada saat haji wada padahal Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] pada saat haji wada tidaklah memotong rambut sampai hewan kurban Beliau [shallallahu 'alaihi wasallam] disembelih yaitu pada hari Id. Perkataan Mu’awiyah ini sangat mengherankan Ibnu ‘Abbas sehingga ia mengatakan bahwa hal itu akan menjadi hujjah terhadap Mu’awiyah.


Hadis Penyimpangan Muawiyah Dalam Sunan Abu Dawud

Setelah melihat berbagai penyimpangan Muawiyah dalam Shahih Muslim dan Musnad Ahmad maka kali ini kami akan mengajak pembaca untuk melihat penyimpangan Muawiyah lainnya yang telah disebutkan oleh Abu Dawud dalam kitab Sunannya. Secara tidak langsung hadis ini juga menunjukkan sikap Muawiyah terhadap hadis-hadis Nabi SAW.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan Abu Dawud 2/466 no 4131,

حدثنا عمرو بن عثمان بن سعيد الحمصي ثنا بقية عن بحير عن خالد قال وفد المقدام بن معد يكرب وعمرو بن الأسود ورجل من بني أسد من أهل قنسرين إلى معاوية بن أبي سفيان فقال معاوية للمقدام أعلمت أن الحسن بن علي توفي ؟ فرجع ( أي قال إنا لله وإنا إليه راجعون ) المقدام فقال له رجل أتراها مصيبة ؟ قال له ولم لا أراها مصيبة وقد وضعه رسول الله صلى الله عليه و سلم في حجره فقال ” هذا مني وحسين من علي ؟ ” فقال الأسدي جمرة أطفأها الله عزوجل قال فقال المقدام أما أنا فلا أبرح اليوم حتى أغيظك وأسمعك ما تكره ثم قال يا معاوية إن أنا صدقت فصدقني وإن أنا كذبت فكذبني قال أفعل قال فأنشدك بالله هل سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم نهى عن لبس الذهب ؟ قال نعم قال فأنشدك بالله هل تعلم أن رسول الله صلى الله عليه و سلم نهى عن لبس الحرير ؟ قال نعم قال فأنشدك بالله هل تعلم أن رسول الله صلى الله عليه و سلم نهى عن لبس جلود السباع والركوب عليها ؟ قال نعم قال فوالله لقد رأيت هذا كله في بيتك يامعاوية فقال معاوية قد علمت أني لن أنجو منك يامقدام قال خالد فأمر له معاوية بما لم يأمر لصاحبيه وفرض لابنه في المائتين ففرقها المقدام على أصحابه قال ولم يعط الأسدي أحدا شيئا مما أخذ فبلغ ذلك معاوية فقال أما المقدام فرجل كريم بسط يده وأما الأسدي فرجل حسن الإمساك لشيئه

Telah menceritakan kepada kami Amru bin Utsman bin Sa’id Al Himshi yang berkata telah menceritakan kepada kami Baqiyah dari Buhayr dari Khalid yang berkata “Miqdam bin Ma’di Karib, Amru bin Aswad dan seorang laki-laki dari bani Asad dari penduduk Qinnasrin, mereka datang kepada Muawiyah bin Abi Sufyan. Muawiyah berkata kepada Miqdam “Tahukah kamu bahwa Hasan bin Ali telah wafat?. Miqdam mengucapkan Istirja’ (Innalillahi wa inna ilaihi rajiun). Kemudian seorang laki-laki berkata “Apakah menurutmu itu musibah?”. “Kenapa Aku tidak menganggapnya sebagai musibah, padahal Ia seorang yang pernah berada dalam pangkuan RasulullahSAW? Beliau bersabda “Ini (Hasan) dariku, dan Husain dari Ali.” Al Asadi berkata, “Bara api ini (Hasan) telah Allah matikan” Maka Al Miqdam pun berkata, “Pada hari ini aku tidak akan bisa gembira sehingga aku membuatmu marah, dan akan aku perdengarkan kepadamu hal yang membuatmu benci.” Kemudian ia berkata, “Wahai Mu’awiyah Jika aku benar maka benarkanlah, dan jika aku dusta maka dustakanlah aku.” Mu’awiyah berkata, “Akan aku lakukan.” Miqdam lalu berkata, “Aku bersumpah kepada Allah atas kamu, tidakkah kamu tahu bahwa Rasulullah SAW melarang untuk mengenakan emas?” Mu’awiyah menjawab, “Benar.” Miqdam berkata, “Aku bersumpah kepada Allah atas kamu, tidakkah kamu tahu bahwa Rasulullah SAW melarang mengenakan sutera? ” Mu’awiyah menjawab, “Benar.” Miqdam berkata, “Aku bersumpah kepada Allah atas kamu, tidakkah kamu tahu bahwa Rasulullah SAW melarang mengenakan kulit binatang buas dan mengendarainya?” Mu’awiyah menjawab, “Benar.” Miqdam berkata, “Wahai Mu’awiyah, Demi Allah semuanya telah aku lihat di rumahmu!” Muawiyah berkata, “Wahai Miqdam, aku tahu bahwa aku tidak akan selamat darimu” Khalid berkata, “Mu’awiyah memerintahkan yang belum pernah ia perintahkan kepada dua sahabatnya, dan ia juga memberikan kepada anak Miqdam sebanyak dua ratus (dinar). Maka Miqdam membagikannya kepada kawan-kawannya, tetapi ia tidak memberikan kepada Al Asadi sedikit pun dari apa yang ia ambil. Hal ini kemudian dilaporkan kepada Mu’awiyah hingga ia berkata, “Miqdam itu seorang yang mulia lagi dermawan, adapun Al Asadi adalah orang baik tetapi pelit”..


Penjelasan Hadis

Syaikh Al Albani telah memasukkan hadis ini dalam Shahih Sunan Abu Dawud no 4131 dan mengatakan bahwa sanadnya shahih. Hadis ini memuat banyak sekali penjelasan tentang penyimpangan yang dilakukan Muawiyah.Pada awal hadis, Muawiyah mengabarkan kepada Miqdam bahwa Imam Hasan AS telah wafat.

Mendengar kabar ini Miqdam mengucapkan istirja’ sebagai tanda bahwa itu adalah musibah, tiba-tiba seorang laki-laki menimpal dengan kata-kata yang tidak pantas. Hadis di atas menyebutkan:

فقال له رجل أتراها مصيبة ؟

Seorang laki-laki berkata “Apakah menurutmu itu musibah?”

Sungguh aneh sekali perkataan orang ini, jika seorang saudara Muslim yang meninggal saja kita anggap sebagai musibah dan mengucapkan Istirja’ (Innalillahi wa inna ilaihi rajiun) maka apalagi seorang Imam Ahlul bait cucu Rasulullah SAW yaitu Hasan bin Ali. Tidak cukupkah kemuliaan Beliau AS sehingga kematiannya dikatakan sebagai musibah. Adakah yang aneh dengan ucapan Istirja’. Apakah laki-laki yang berkata ini tidak memiliki kecintaan kepada Ahlul Bait?. Sungguh tidak ada alasan untuk mempertanyakan hal itu jika memang laki-laki tersebut mencintai Ahlul Bait.

Tahukah anda siapa laki-laki itu?. Abu Dawud memang tidak menyebutkan namanya tetapi dalam hadis lain nama laki-laki tersebut telah disebutkan dengan jelas. Syaikh Muhammad Syamsu Haq Azhim Abadi dalam ‘Aun Al Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud 11/127 menjelaskan bahwa laki-laki yang dimaksud tidak lain adalah Muawiyah sendiri, Abu Dawud memang tidak menyebutkan namanya tetapi dalam hadis riwayat Ahmad nama Muawiyah telah disebutkan dengan jelas. Syaikh Azhim Abadi berkata:

وفي بعض النسخ وقع رجل مكان فلان والمراد بفلان هو معاوية بن أبي سفيان رضي الله تعالى عنه والمؤلف لم يصرح باسمه وهذا دأبه في مثل ذلك وقد أخرج أحمد في مسنده من طريق حيوة بن شريح حدثنا بقية حدثنا بحير بن سعد عن خالد بن معدان قال وفد المقدام بن معد يكرب وفيه فقال له معاوية أيراها مصيبة الحديث

Dalam beberapa riwayat telah disebutkan kata “seorang laki-laki(rijal)” sebagai pengganti “fulan”. Dan yang dimaksud fulan dia adalah Muawiyah bin Abi Sufyan. Penulis tidak secara jelas menyebutkan namanya disini seperti yang terlihat demikian. Telah diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya dengan jalan Haywah bin Syuraih yang berkata telah menceritakan kepada kami Baqiyah yang berkata telah menceritakan kepada kami Buhayr bin Sa’ad dari Khalid bin Ma’dan yang berkata Miqdam bin Ma’di Karib datang dan di dalamnya disebutkan “Muawiyah berkata ‘apakah kamu melihatnya sebagai musibah”.

Hadis yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad Syamsu Haq Azhim Abadi telah diriwayatkan dalam Syarh Musnad Ahmad no 17123 dimana dalam Tahqiq Syaikh Ahmad Syakir dan Hamzah Zain disebutkan bahwa sanadnya shahih. Jadi kita telah melihat penyimpangan pertama yang ditunjukkan Muawiyah dalam hadis di atas yaitu sikap sinisnya terhadap Ahlul Bait Hasan bin Ali. Penyimpangan selanjutnya yang dilakukan Muawiyah adalah terdapat banyak hal dalam rumah Muawiyah yang telah diharamkan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW. Hal ini sebagaimana yang disaksikan Miqdam yaitu Memakai emas, sutera dan kulit binatang buas serta mengendarai binatang buas. Anehnya Muawiyah sendiri mengakui bahwa hal tersebut telah diharamkan oleh Rasulullah SAW. Sungguh Penyimpangan yang berat.


Hakikat Baiat Hasan bin Aliy Kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyaan

Peristiwa baiatnya Imam Hasan bin Aliy [‘alaihis salaam] kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyaan sering dijadikan hujjah para nashibiy untuk membenarkan dan memuliakan Mu’awiyah. Padahal hakikatnya tidak demikian, di sisi Imam Hasan baiat tersebut adalah untuk meredakan perpecahan dan menyelamatkan darah kaum muslimin.Tidak sedikitpun baiat tersebut memandang kemuliaan Mu’awiyah karena hakikat Mu’awiyah dalam perkara ini adalah pemimpin kelompok baaghiyah yang menyeru kepada neraka. Sebagaimana yang dinyatakan dalam riwayat shahih:

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُخْتَارٍ قَالَ حَدَّثَنَا خَالِدٌ الْحَذَّاءُ عَنْ عِكْرِمَةَ قَالَ لِي ابْنُ عَبَّاسٍ وَلِابْنِهِ عَلِيٍّ انْطَلِقَا إِلَى أَبِي سَعِيدٍ فَاسْمَعَا مِنْ حَدِيثِهِ فَانْطَلَقْنَا فَإِذَا هُوَ فِي حَائِطٍ يُصْلِحُهُ فَأَخَذَ رِدَاءَهُ فَاحْتَبَى ثُمَّ أَنْشَأَ يُحَدِّثُنَا حَتَّى أَتَى ذِكْرُ بِنَاءِ الْمَسْجِدِ فَقَالَ كُنَّا نَحْمِلُ لَبِنَةً لَبِنَةً وَعَمَّارٌ لَبِنَتَيْنِ لَبِنَتَيْنِ فَرَآهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَنْفُضُ التُّرَابَ عَنْهُ وَيَقُولُ وَيْحَ عَمَّارٍ تَقْتُلُهُ الْفِئَةُ الْبَاغِيَةُ يَدْعُوهُمْ إِلَى الْجَنَّةِ وَيَدْعُونَهُ إِلَى النَّارِ قَالَ يَقُولُ عَمَّارٌ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ الْفِتَنِ

Telah menceritakan kepada kami Musaddad yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul ‘Aziz bin Mukhtar yang berkata telah menceritakan kepada kami Khalid Al Hidzaa’ dari Ikrimah yang berkata Ibnu Abbas berkata kepadaku dan kepada anaknya Ali, pergilah kalian kepada Abu Sa’id dan dengarkanlah hadis darinya maka kami menemuinya. Ketika itu ia sedang memperbaiki dinding miliknya, ia mengambil kain dan duduk kemudian ia mulai menceritakan kepada kami sampai ia menyebutkan tentang pembangunan masjid. Ia berkata “kami membawa batu satu persatu sedangkan Ammar membawa dua batu sekaligus, Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] melihatnya, kemudian Beliau berkata sambil membersihkan tanah yang ada padanya “kasihan ‘Ammar, dia akan dibunuh oleh kelompok baaghiyah [pembangkang], ia [Ammar] mengajak mereka ke surga dan mereka mengajaknya ke neraka. ‘Ammar berkata “aku berlindung kepada Allah dari fitnah” [Shahih Bukhari 1/97 no 447].

Jadi betapa kelirunya orang-orang bodoh yang mengira bahwa baiat Imam Hasan tersebut berarti membenarkan Mu’awiyah atau memuliakannya. Bahkan pada saat baiat tersebut terjadi, Imam Hasan sudah mengisyaratkan celaannya kepada Mu’awiyah dan para sahabatnya, seperti nampak dalam riwayat berikut:

أخبرنا يزيد بن هارون قال أخبرنا حريز بن عثمان قال حدثنا عبد الرحمن بن أبي عوف الجرشي قاللما بايع الحسن بن علي معاوية قال له عمرو بن العاص وأبو الأعور السلمي عمرو بن سفيان لو أمرت الحسن فصعد المنبر فتكلم عيي عن المنطق فيزهد فيه الناس فقال معاوية لا تفعلوا فوالله لقد رأيت رسول الله ( صلى الله عليه وسلم ) يمص لسانه وشفته ولن يعيا لسان مصه النبي ( صلى الله عليه وسلم ) أو شفتان فأبوا على معاوية فصعد معاوية المنبر ثم أمر الحسن فصعد وأمره أن يخبر الناس إني قد بايعت معاوية فصعد الحسن المنبر فحمد الله وأثنى عليه ثم قال أيها الناس إن الله هداكم بأولنا وحقن دماءكم بآخرنا وإني قد أخذت لكم على معاوية أن يعدل فيكم وأن يوفر عليكم غنائمكم وأن يقسم فيكم فيئكم ثم أقبل على معاوية فقال كذاك قال نعم ثم هبط من المنبر وهو يقول ويشير بإصبعه إلى معاوية ” وإن أدري لعله فتنة لكم ومتاع إلى حين ” فاشتد ذلك على معاوية فقالا لو دعوته فاستنطقته فقال مهلا فأبوا فدعوه فأجابهم فأقبل عليه عمرو بن العاص فقال له الحسن أما أنت فقد اختلف فيك رجلان رجل من قريش وجزار أهل المدينة فادعياك فلا أدري أيهما أبوك وأقبل عليه أبو الأعور السلمي فقال له الحسن ألم يلعن رسول الله ( صلى الله عليه وسلم ) رعلا وذكوان وعمرو بن سفيان ثم أقبل معاوية يعين القوم فقال له الحسن أما علمت أن رسول الله ( صلى الله عليه وسلم ) لعن قائد الأحزاب وسائقهم وكان أحدهما أبو سفيان والآخر أبو الأعور السلمي

Telah mengabarkan kepada kami Yaziid bin Haruun yang berkata telah mengabarkan kepada kami Hariiz bin ‘Utsman yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin Abi ‘Auf Al Jurasyiy yang berkata ketika Hasan bin Aliy membaiat Mu’awiyah, ‘Amru bin Ash dan Abul A’war As Sulaamiy ‘Amru bin Sufyaan telah berkata kepadanya [Mu’awiyah] “sekiranya engkau memerintahkan Hasan naik mimbar dan ia akan mengatakan ucapan yang lemah sehingga orang-orang akan berpaling darinya”. Mu’awiyah berkata “aku tidak akan melakukannya, demi Allah sungguh aku telah melihat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah menghisap lidah dan bibirnya maka tidak akan lemah lisan atau mulut yang telah dihisap Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Mereka mengingkari Mu’awiyah maka akhirnya Mu’awiyah naik mimbar kemudian memerintahkan Hasan untuk naik mimbar dan memerintahkannya untuk mengabarkan kepada orang-orang “sungguh aku telah membaiat Mu’awiyah”. Maka Hasan naik mimbar mengucapkan syukur kepada Allah SWT dan memuji-Nya kemudian berkata “wahai manusia sesungguhnya Allah SWT telah memberikan petunjuk kepada kalian dengan orang yang pertama dari kami dan mencegah tertumpahnya darah kalian dengan orang yang terakhir dari kami dan aku telah menjadikan kalian ke atas Mu’awiyah bahwa ia akan berlaku adil kepada kalian, memberikan ghanimah kalian dan membagi fa’iy kalian”. Kemudian ia menghadap Mu’awiyah dan berkata “beginikah?”. Mu’awiyah berkata “benar” kemudian Hasan turun dari mimbar dan ia mengatakan seraya menunjuk kearah Mu’awiyah “dan aku tidak tahu bisa jadi hal itu menjadi fitnah bagi kamu dan kesenangan sampai kepada suatu waktu” [QS Al Anbiya ; 111] Ia meninggikan suaranya tentang hal itu kepada Mu’awiyah. Maka keduanya [‘Amru dan Abul A’war] berkata “sekiranya kita panggil dia dan menjelaskan apa yang ia maksudkan dengannya”. Mu’awiyah berkata “berhati-hatilah”. Mereka menolak, maka mereka memanggilnya untuk menjawab mereka. ‘Amru bin ‘Ash menghadap kepada Hasan maka Hasan berkata kepadanya “adapun engkau, sungguh telah berselisih tentangmu dua orang yaitu lelaki dari quraisy dan tukang sembelih dari penduduk Madinah, keduanya mengaku berhak terhadapmu dan tidak diketahui siapa diantara keduanya adalah ayahmu”. Dan Abul A’war As Sulaamiy menghadap kepada Hasan maka Hasan berkata kepadanya “bukankah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah melaknat Ri’l, Dzakwan dan ‘Amru bin Sufyaan” kemudian Mu’awiyah menghadap kepada mereka, maka Hasan berkata kepadanya “tahukah engkau bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah melaknat pemimpin pasukan ahzab dan penuntun mereka yaitu Abu Sufyaan dan Abul A’war As Sulaamiy”. [Thabaqat Ibnu Sa’ad 6/383].

Kisah baiat Imam Hasan dan celaannya terhadap Mu’awiyah dan para sahabatnya di atas diriwayatkan dengan sanad yang shahih, berikut keterangan mengenai para perawinya.
1. Yazid bin Harun Abu Khalid Al Wasithiy termasuk perawi Bukhari dan Muslim yang dikenal tsiqat. Ibnu Madini berkata “ia termasuk orang yang tsiqat” dan terkadang berkata “aku tidak pernah melihat orang lebih hafizh darinya”. Ibnu Ma’in berkata “tsiqat”. Al Ijli berkata “tsiqat tsabit dalam hadis”. Abu Bakar bin Abi Syaibah berkata “aku belum pernah bertemu orang yang lebih hafizh dan mutqin dari Yazid”. Abu Hatim menyatakan ia tsiqat imam shaduq. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat banyak meriwayatkan hadis”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Yaqub bin Syaibah menyatakan tsiqat. Ibnu Qani’ berkata “tsiqat ma’mun” [Tahdzib At Tahdzib juz 11 no 612].
2. Hariiz bin Utsman adalah perawi Bukhari dan Ashabus Sunan. Mu’adz bin Mu’adz berkata “tidak aku ketahui di Syam ada orang yang lebih utama daripadanya”. Abu Dawud berkata “guru-guru Haariz semuanya tsiqat”. Ahmad bin Hanbal berkata “tsiqat tsiqat”. Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat. Duhaim mengatakan ia orang Himsh yang baik sanadnya dan shahih hadisnya. Abu Hatim berkata “tsiqat mutqin” [Tahdzib At Tahdzib juz 2 no 436]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat tsabit dan dikatakan nashibi” [Taqrib At Tahdzib 1/156 no 1184].
3. Abdurrahman bin Abi ‘Auf Al Jurasyiy adalah perawi Abu Dawud dan Nasa’i. Abu Dawud berkata “guru-guru Hariz tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ibnu Mandah menyatakan ia sahabat. Abu Nu’aim berkata “dia termasuk tabiin penduduk syam”. Al Ijli berkata “tabiin Syam yang tsiqat”. Ibnu Qaththan berkata “majhul hal” [Tahdzib At Tahdzib juz 6 no 494]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat dan menemui masa Nabi [SAW]” [TaqribAt Tahdzib 1/348 no 3974].Daruquthniy berkata “tsiqat” [Su’alat As Sulaamiy no 398]. Adz Dzahabiy berkata “tsiqat” [Al Kasyf no 3284].

‘Abdurrahman bin Abi ‘Auf Al Jurasyiy memiliki mutaba’ah yaitu Muhammad bin Sirin sebagaimana yang nampak dalam riwayat berikut:

أخبرنا هوذة بن خليفة قال حدثنا عوف عن محمد قال لما كان زمن ورد معاوية الكوفة واجتمع الناس عليه وبايعه الحسن بن علي، قالقال أصحاب معاوية لمعاوية عمرو بن العاص والوليد بن عقبة وأمثالهما من أصحابه إن الحسن بن علي مرتفع في أنفس الناس لقرابته من رسول الله صلى الله عليه وسلم وإنه حديث السن عيي! فمره فليخطب، فإنه سيعيا في الخطبة فيسقط من أنفس الناس! فأبى عليهم فلم يزالوا به حتى أمره، فقام الحسن بن علي على المنبر دون معاوية فحمد الله وأثنى عليه ثم قال والله لو ابتغيتم بين جابلق وجابلص رجلا جده نبي غير ي وغير أخي لم تجدوه، وإنا قد أعطينا بيعتنا معاوية ورأينا أن ما حقن دماء المسلمين خير مما أهراقها، والله ما أدري لعله فتنة لكم ومتاع إلى حين وأشار بيده إلى معاويةقال فغضب معاوية فخطب بعده خطبة عيية فاحشة ثم نزل، وقال لهما أردت بقولك فتنة لكم ومتاع إلى حين؟! قال أردت بها ما أراد الله

Telah mengabarkan kepada kami Hawdzah bin Khaliifah yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Auf dari Muhammad yang berkata ketika masanya Mu’awiyah di Kufah, orang-orang berkumpul atasnya dan Hasan bin Aliy membaiat-nya. Maka berkata para sahabat Mu’awiyah kepada Mu’awiyah yaitu ‘Amru bin Ash, Walid bin ‘Uqbah dan semisal keduanya dari sahabat-sahabatnya bahwa Hasan bin Aliy masih tinggi kedudukannya di mata orang-orang karena kekerabatannya dengan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], dan bahwasanya ia seorang yang masih muda dan lemah dalam berbicara maka perintahkanlah ia untuk berkhutbah maka ia akan mengucapkan ucapan yang lemah dalam khutbahnya sehingga kedudukannya akan jatuh di mata orang-orang. Mu’awiyah menolak permintaan mereka dan mereka berulang-ulang meminta sehingga akhirnya Mu’awiyah memerintahkannya. Maka Hasan bin Aliy berdiri di atas mimbar di dekat Mu’awiyah maka ia memuji Allah SWT kemudian berkata demi Allah seandainya kalian mencari diantara timur dan barat laki-laki yang kakeknya adalah Nabi maka kalian tidak akan menemukannya selain aku dan saudaraku, dan kami telah memberikan baiat kami kepada Mu’awiyah dan kami berpandangan bahwa mencegah tertumpahnya darah kaum muslimin adalah lebih baik daripada menumpahkannya, demi Allah dan aku tidak tahu bisa jadi hal itu menjadi fitnah bagi kamu dan kesenangan sampai kepada suatu waktu dan ia mengisyaratkan tangannya kepada Mu’awiyah. Maka Mu’awiyah menjadi marah dan ia berkhutbah setelah Hasan dengan khutbah yang penuh kelemahan dan kekejian kemudian ia turun dan berkata “apa yang engkau maksud dengan perkataanmu “fitnah bagi kamu dan kesenangan sampai kepada suatu waktu”. Hasan berkata “aku memaksudkan dengannya apa yang dimaksudkan oleh Allah SWT” [Thabaqat Ibnu Sa’ad 6/383-384].

Riwayat Ibnu Sa’ad di atas sanadnya jayyid diriwayatkan oleh para perawi tsiqat dan shaduq maka, berikut rincian perawinya.
1. Hawdzah bin Khaliifah termasuk perawi Abu Dawud, telah meriwayatkan darinya Ahmad bin Hanbal dan Abu Hatim. Ahmad bin Hanbal berkata “aku berharap dia shaduq, insya Allah”. Abu Hatim berkata “shaduq”. Yahya bin Ma’in berkata “dhaif”. Nasa’i berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Tahdzib At Tahdzib juz 11 no 116]. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [Taqrib At Tahdzib 1/575 no 7327]. Adz Dzahabiy berkata “shaduq” [Al Kasyf no 5991].
2. ‘Auf bin Abi Jamilah adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Ahmad, Ibnu Ma’in, Ibnu Sa’ad dan Ibnu Hibban menyatakan tsiqat. Nasa’i berkata “tsiqat tsabit”. Abu Hatim, Marwan bin Mu’awiyah dan Muhammad bin Abdullah Al Anshari berkata “shaduq” [Tahdzib At Tahdzib juz 8 no 302]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat” [Taqrib At Tahdzib 1/433 no 5215].
3. Muhammad bin Sirin Al Anshari adalah tabiin perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ahmad, Ibnu Ma’in dan Al Ijli berkata “tsiqat”. Ibnu Sa’ad berkata “seorang yang tsiqat ma’mun, tinggi kedudukannya, seorang faqih, Imam yang wara’ dan memiliki banyak ilmu” [Tahdzib At Tahdzib juz 9 no 338]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat tsabit” [Taqrib At Tahdzib 1/483 no 5947].

Sebenarnya perkara kepemimpinan Mu’awiyah telah dikabarkan oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] kepada Imam Hasan, walaupun Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak menyukainya tetapi ketetapan Allah SWT itu akan tetap terjadi. Sebagaimana yang nampak dalam riwayat berikut:

حدثنا محمود بن غيلان حدثنا أبو داود الطيالسي حدثنا القاسم بن الفضل الحداني عن يوسف بن سعد قال قام رجل إلى الحسن بن علي بعد ما بايع معاوية فقال سودت وجوه المؤمنين أو يا مسود وجوه المؤمنين فقال لا تؤنبني رحمك الله فإن النبي صلى الله عليه و سلم أري بني أمية على منبره فساءه ذلك فنزلت { إنا أعطيناك الكوثر } يا محمد يعني نهرا في الجنة ونزلت { إنا أنزلناه في ليلة القدر وما أدراك ما ليلة القدر ليلة القدر خير من ألف شهر } يملكها بنو أمية يا محمد قال القاسم فعددناها فإذا هي ألف يوم لا يزيد يوم ولا ينقص

Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Ghailan yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Daud Ath Thayalisi yang berkata telah menceritakan kepada kami Al Qasim bin Fadhl Al Huddaniy dari Yusuf bin Sa’ad yang berkata Seorang laki-laki datang kepada Hasan bin Aliy setelah Muawiyah dibaiat. Ia berkata “Engkau telah mencoreng wajah kaum mukminin” atau ia berkata “Hai orang yang telah mencoreng wajah kaum mukminin”. Maka Hasan berkata kepadanya “Janganlah mencelaku, semoga Allah SWT merahmatimu, karena Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] di dalam mimpi telah diperlihatkan kepada Beliau bahwa Bani Umayyah di atas Mimbarnya. Beliau tidak suka melihatnya dan turunlah ayat “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadaMu nikmat yang banyak”. Wahai Muhammad yaitu sungai di dalam surga. Kemudian turunlah ayat “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya [Al Qur’an] pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?. Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan”. Bani Umayyah akan menguasainya wahai Muhammad. Al Qasim berkata “Kami menghitungnya ternyata jumlahnya genap seribu bulan tidak kurang dan tidak lebih” [Sunan Tirmidzi 5/444 no 3350].

Riwayat Tirmidzi di atas sanadnya shahih, para perawinya tsiqat berikut keterangan rinci mengenai para perawinya.
1. Mahmud bin Ghailan termasuk perawi Bukhari Muslim, Tirmidzi, An Nasa’i dan Ibnu Majah. Disebutkan pula bahwa ia meriwayatkan hadis dari Abu Daud Ath Thayalisi dan dinyatakan tsiqat oleh Maslamah, Ibnu Hibban dan An Nasa’i [Tahdzib At Tahdzib juz 10 no 109]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [Taqrib At Tahdzib 1/522 no 6516].
2. Abu Daud At Thayalisiy. Namanya adalah Sulaiman bin Daud, termasuk perawi Bukhari dalam Ta’liq Shahih Bukhari, Muslim dan Ashabus Sunan. Sulaiman bin Daud telah dinyatakan tsiqat oleh banyak ulama diantaranya Amru bin Ali, An Nasa’i, Al Ajli, Ibnu Hibban, Ibnu Sa’ad Al Khatib dan Al Fallas [Tahdzib At Tahdzib juz 4 no 316]. Ibnu Hajar menyatakan bahwa ia seorang hafiz yang tsiqat memiliki beberapa kekelriuan [Taqrib At Tahdzib 1/250 no 2550].
3. Al Qasim bin Fadhl termasuk perawi Bukhari Muslim dan Ashabus Sunan. Al Qasim bin Fadhl meriwayatkan hadis dari Yusuf bin Sa’ad dan telah meriwayatkan darinya Abu Daud Ath Thayalisi. Beliau telah dinyatakan tsiqat oleh banyak ulama diantaranya Yahya bin Sa’id, Abdurrahman bin Mahdi, Ibnu 4. Ma’in, Ahmad, An Nasa’i, Ibnu Sa’ad, At Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Ibnu Syahin [Tahdzib At Tahdzib juz 8 no 596]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [Taqrib At Tahdzib 1/451 no 5482].
4. Yusuf bin Sa’ad atau Yusuf bin Mazin Ar Rasibiy termasuk perawi Tirmidzi dan Nasa’i telah meriwayatkan hadis dari Hasan bin Aliy dan telah meriwayatkan darinya Qasim bin Fadhl. Yahya bin Main telah menyatakan ia tsiqat [Tahdzib At Tahdzib juz 11 no 707]. Ibnu Hajar menyatakan bahwa Yusuf bin Sa’ad Al Jumahi atau Yusuf bin Mazin tsiqat [Taqrib At Tahdzib 1/611 no 7865]. Adz Dzahabi berkata “tsiqat” [Al Kasyf no 6434].

Kesimpulan dari berbagai riwayat shahih di atas adalah baiat Imam Hasan terhadap Mu’awiyah semata-mata untuk mencegah tertumpahnya darah kaum muslimin lebih banyak lagi, tidak sedikitpun karena keutamaan atau kemuliaan kedudukan Mu’awiyah bahkan nampak dalam riwayat shahih bahwa Imam Hasan mencela Mu’awiyah dan para sahabatnya.

Sebagian orang menjadikan baiat Imam Hasan ini sebagai bukti bahwa Mu’awiyah tidak kafir. Tentu dalam perperangan Mu’awiyah terhadap Imam Aliy dan Imam Hasan, ia tidak dikatakan kafir melainkan dikatakan sebagai kelompok baaghiyah yang mengajak ke neraka. Adapun jika setelah pembaiatan ini Mu’awiyah menjadi kafir maka itu tidak bertentangan dengan baiat Imam Hasan tersebut. Pada saat itu Imam Hasan tidak membaiat seorang kafir melainkan membaiat seorang muslim yang tercela atau secara zahir ia mengaku muslim, seandainya Mu’awiyah bin Abu Sufyaan menyatakan kekafirannya niscaya tidak ada satupun orang islam yang akan mengikutinya.

Hikmah baiat Imam Hasan terhadap Mu’awiyah tidak akan pernah dimengerti oleh para nashibiy, dan akan mudah dipahami oleh mereka yang berpegang teguh pada ahlul bait. Mereka yang menganggap ahlul bait sebagai pedoman tidak akan bingung dalam menempatkan diri, ketika Imam Aliy memerangi Mu’awiyah maka mereka mengikutinya dan ketika Imam Hasan membaiat Mu’awiyah maka merekapun mengikutinya. Kebenaran akan selalu bersama mereka ahlul bait dan kebenaran tersebut tidak akan pudar oleh kebathilan para pembangkang yang menyeru kepada neraka.


Benarkah Muawiyah Menangisi Kematian Imam Ali?

Ada trend basi di kalangan pengikut nashibi yaitu mereka menggebu gebu ingin membuktikan kemesraan hubungan antara Muawiyah dan Imam Ali. Di antara hujjah mereka yang paling banyak dikutip adalah Muawiyah menangis dan bersedih atas kematian Imam Ali. Tentu saja tujuan mereka bukan untuk mengutamakan Imam Ali tetapi untuk mengangkat keutamaan Muawiyah dan untuk menghapus fakta bahwa Muawiyah termasuk yang mencaci Imam Ali.

Riwayat yang mereka jadikan hujjah adalah riwayat dhaif bahkan sebagian sanadnya dhaif jiddan atau maudhu’. Sangat mengagumkan, nashibi yang biasa mencela syiah [yang kata mereka banyak mengutip riwayat dhaif dan palsu] ternyata juga suka berhujjah dengan riwayat dhaif. Betapa munafiknya kalian wahai nashibi.

وقال جرير بن عبد الحميد ، عن مغيرة قال : لما جاء خبر قتل علي إلى معاوية جعل يبكي ، فقالت له امرأته : أتبكيه وقد قاتلته ؟ فقال : ويحك ! إنك لا تدرين ما فقد الناس من الفضل والفقه والعلم

Jarir bin ‘Abdul Hamiid berkata dari Mughirah yang berkata “ketika kabar terbunuhnya Ali sampai kepada Muawiyah, maka ia menangis. Kemudian istrinya berkata “engkau menangisinya padahal engkau memeranginya”. Muawiyah berkata “celaka engkau, engkau tidak mengetahui bahwa orang-orang telah kehilangan seorang yang utama, faqih dan alim [Al Bidayah Wan Nihayah Ibnu Katsir 11/429].

Riwayat ini dinukil oleh Ibnu Katsir dalam Al Bidayah Wan Nihayah dan diikuti oleh para nashibi untuk dijadikan hujjah. Jika mereka tidak malas dan bukan pemalas maka sangat mudah untuk mengetahui sumber riwayat tersebut. Riwayat Mughirah yang dinukil Ibnu Katsir itu disebutkan dengan sanad yang lengkap oleh Ibnu Asakir dalam Tarikh-nya,

أخبرنا أبو محمد طاهر بن سهل أنا أبو الحسن بن صصرى إجازة نا أبو منصور العماري نا أبو القاسم السقطي نا إسحاق السوسي حدثني سعيد بن المفضل نا عبد الله ابن هاشم عن علي بن عبد الله عن جرير بن عبد الحميد عن مغيرة قال لما جاء قتل علي إلى معاوية جعل يبكي ويسترجع فقالت له امرأته تبكي عليه وقد كنت تقاتله فقال لها ويحك إنك لا تدرين ما فقد الناس من الفضل والفقه والعلم

Telah mengabarkan kepada kami Abu Muhammad Thaahir bin Sahl yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Hasan bin Shashraa telah menceritakan kepada kami Abu Manshur Al ‘Ammaariy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Qaasim As Saqathiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ishaq As Suusiy yang berkata telah menceritakan kepadaku Sa’id bin Mufadhdhal yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Haasyim dari ‘Ali bin ‘Abdullah dari Jarir bin ‘Abdul Hamiid dari Mughirah yang berkata “ketika kabar terbunuhnya Ali sampai kepada Muawiyah maka ia menangis dan mengucapkan istirja’. Istrinya berkata “engkau menangisinya padahal engkau dahulu memeranginya”. Muawiyah berkata kepada istrinya “celaka engkau, engkau tidak mengetahui bahwa orang-orang telah kehilangan orang yang utama, faqih dan alim [Tarikh Ibnu Asakir 59/142].

Riwayat Mughirah dengan lafaz ini adalah maudhu’ karena di dalam sanadnya terdapat perawi yang tertuduh memalsu hadis, perawi yang majhul dan riwayat Mughirah tersebut sanadnya terputus [mursal].
1. Ishaq As Suusiy adalah Ishaq bin Muhammad bin Ishaq As Suusiy. Ibnu Hajar menyebutkan biografinya dalam Lisan Al Mizan dan menyatakan ia membawakan riwayat riwayat palsu tentang keutamaan Muawiyah, ia tertuduh karenanya atau para syaikhnya yang majhul [Lisan Al Mizan juz 1 no 1159]. Hal yang sama juga disebutkan oleh Abul Wafa’ dalam Kasyf Al Hatsiits [Kasyf Al Hatsiits no 124]
2. Sa’id bin Mufadhdhal yaitu syaikh [guru] Ishaq As Suusiy tidak ditemukan keterangan biorafinya sehingga ia tidak dikenal kredibilitasnya atau majhul
3. Mughirah bin Miqsaam adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat wafat tahun 136 H termasuk perawi thabaqat keenam [At Taqrib 2/208]. Ibnu Hajar menyebutkan bahwa perawi thabaqat keenam tidaklah bertemu satu orang sahabatpun maka riwayat Mughirah tentang perkataan Muawiyah tersebut adalah mursal.

Riwayat Mughirah bin Miqsam yang serupa juga disebutkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam Maqtal Aliy no 106 dan Ibnu Asakir dalam Tarikh-nya 42/582-583 dengan jalan sanad dari Yusuf bin Musa dari Jarir dari Mughirah. Status riwayat Mughirah ini adalah dhaif karena Mughirah bin Miqsam tidak bertemu dengan Muawiyah alias mursal. Setelah melihat kualitas riwayat yang menjadi hujjah kaum nashibi maka cukuplah menjadi bukti bahwa nashibi itu adalah orang-orang munafik. Mereka mencela orang lain padahal mereka sendiri sangat tercela. Semoga Allah SWT melindungi kita semua dari nashibi munafik.

Note : berikut contoh nashibi yang mengutip atau berhujjah dengan riwayat palsu yang dinukil Ibnu Katsir [penulis pernah berdiskusi secara tidak langsung atau melalui perantara dengan para nashibi ini]
Orang yang menyebut dirinya “Tripoly Sunni” yang dapat anda lihat disini http://www.sunniforum.com/forum/archive/index.php/t-69443.html
Orang yang menyebut dirinya “swords of sunnah” yang dapat anda lihat dalam salah satu tulisannya disini http://youpuncturedtheark.wordpress.com/2011/03/02/part-9-nature-of-relationship-between-ahlebaytra-and-muawiyara/

Kedua nashibi aneh ini dalam diskusi suka merendahkan argumen lawan diskusi yang mereka tuduh syiah seperti dengan kata kata “munafik” atau “stupid”. Ternyata kualitas mereka sendiri tidak jauh dari perkataan yang mereka katakan itu.


Shahih Muawiyah Mencela Imam Ali : Bantahan Bagi Nashibi

Bukan nashibi namanya kalau tidak membela Muawiyah. Segala cara akan mereka lakukan untuk membela Muawiyah, apapun yang terjadi pokoknya Muawiyah harus dibebaskan dari segala perilaku buruk. Setiap perilaku buruk Muawiyah harus ditafsirkan sebagai akhlak yang mulia. Jika Muawiyah meminum minuman yang diharamkan maka harus ditafsirkan bahwa yang ia minum adalah susu. Jika Muawiyah menolak hadis dan menuduh sahabat berdusta maka harus ditafsirkan ia berijtihad. Orang yang berakal pasti akan merasa geli melihat ulah para nashibi yang menghalalkan segala cara untuk membela pujaan mereka Muawiyah.

Berkaitan dengan Muawiyah mencela Imam Ali, para nashibi [yang biasa terlibat di forum konyol kebanggaan mereka] menolak dengan sombongnya kalau Muawiyah mencela Imam Ali. Bahkan ada diantara mereka yang berlisan kotor menuduh orang yang tidak sependapat dengannya sebagai Dajjal. Na’udzubillah betapa buruknya akhlak para nashibi.

Kami sarankan agar para pembaca tidak terlibat diskusi dengan mereka karena kasihan itu hanya akan memperbanyak dosa mereka. Diskusi itu pada akhirnya hanya akan membuat para nashibi menghina anda bahkan menyebut anda Dajjal. Apalagi kalau anda tidak hati-hati dan terbawa emosi maka anda akan ikut ikutan menghina pula jadilah diksusi itu ajang caci mencaci dan hina menghina. Biarkanlah mereka hidup dengan tabiat mereka yang suka menghina, tidak lain itu warisan dari pujaan mereka Muawiyah yang suka mencaci Imam Ali,

حدثنا علي بن محمد . حدثنا أبو معاوية . حدثنا موسى بن مسلم عن ابن سابط وهو عبد الرحمن عن سعد بن أبي وقاص قال قدم معاوية في بعض حجاته فدخل عليه سعد فذكروا عليا . فنال منه . فغضب سعد وقال تقول هذا لرجل سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول ( من كنت مولاه فعلي مولاه ) وسمعته يقول ( أنت مني بمنزلة هارون من موسى إلا أنه لا نبي بعدي ) وسمعته يقول ( لأعطين الرأية اليوم رجلا يحب الله ورسوله ) ؟

Ali bin Muhammad menceritakan kepada kami yang berkata Abu Muawiyah menceritakan kepada kami yang berkata Musa bin Muslim menceritakan kepada kami dari Ibnu Sabith dan dia adalah Abdurrahman dari Sa’ad bin Abi Waqash yang berkata ”Ketika Muawiyah malaksanakan ibadah haji maka Saad datang menemuinya. Mereka kemudian membicarakan Ali lalu Muawiyah mencelanya. Mendengar hal ini maka Sa’ad menjadi marah dan berkata ”kamu berkata seperti ini pada seseorang dimana aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda ”barangsiapa yang Aku adalah mawlanya maka Ali adalah mawlanya”. Dan aku juga mendengar Rasulullah SAW berkata kepada Ali ”Kamu disisiKu sama seperti kedudukan Harun disisi Musa hanya saja tidak ada Nabi setelahKu”. Dan aku juga mendengar Rasulullah SAW berkata kepada Ali ”Sungguh akan Aku berikan panji hari ini pada orang yang mencintai Allah dan RasulNya [Sunan Ibnu Majah 1/45 no 121 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albaniy dalam Shahih Ibnu Majah no 98].

Nashibi yang sok berasa paham ilmu hadis Ahlus sunnah setelah menukil riwayat ini, ia menyatakan bahwa riwayat ini dhaif karena inqitha’ atau sanadnya terputus. Ibnu Sabith tidak mendengar dari Sa’ad bin Abi Waqash maka riwayatnya mursal. Pernyataan ini hanya bertaklid buta pada pendapat Ibnu Ma’in berikut yaitu dari riwayat Ad Duuriy,

سمعت يحيى يقول قال بن جريج حدثني عبد الرحمن بن سابط قيل ليحيى سمع عبد الرحمن بن سابط من سعد قال من سعد بن إبراهيم قالوا لا من سعد بن أبى وقاص قال لا قيل ليحيى سمع من أبى أمامة قال لا قيل ليحيى سمع من جابر قال لا هو مرسل كان مذهب يحيى أن عبد الرحمن بن سابط يرسل عنهم ولم يسمع منهم

Aku mendengar Yahya mengatakan Ibnu Juraij berkata telah menceritakan kepadaku ‘Abdurrahman bin Saabith, dikatakan kepada Yahya, apakah ‘Abdurrahman bin Saabith mendengar dari Sa’ad?. Yahya berkata “Sa’ad bin Ibrahim?”. Mereka menjawab “bukan”, dari Sa’ad bin Abi Waqaash. Yahya berkata “tidak”. Dikatakan kepada Yahya, apakah ia mendengar dari Abu Umamah. Yahya menjawab “tidak”. Dikatakan kepada Yahya apakah ia mendengar dari Jabir. Yahya menjawab “tidak, itu mursal”. Mazhab Yahya adalah ‘Abdurrahman bin Saabith mengirsalkan hadis dari mereka dan tidak mendengar dari mereka [Tarikh Ibnu Ma’in riwayat Ad Duuriy no 366].

Yahya bin Ma’in beranggapan Ibnu Saabith tidak mendengar dari Sa’ad, Abu Umamah, dan Jabir. Riwayat Ibnu Saabith dari ketiganya adalah mursal. Ini adalah pendapat atau mazhab Ibnu Ma’in dan ternyata terbukti keliru. Imam Bukhari berkata:

عبد الرحمن بن عبد الله بن سابط الجمحي المكي سمع جابرا روى عنه ليث وعبد الله بن مسلم بن هرمز وفطر

‘Abdurrahman bin ‘Abdullah bin Saabith Al Jumahiy Al Makkiy mendengar dari Jabir, meriwayatkan darinya Laits, ‘Abdullah bin Muslim bin Hurmuz dan Fithr [Tarikh Al Kabir Bukhari juz 5 no 985]

عبد الرحمن بن سابط الجمحى مكى روى عن عمر رضى الله عنه مرسل وعن جابر بن عبد الله، متصل

‘Abdurrahman bin Saabith Al Jumahiy Al Makkiy meriwayatkan dari Umar radiallahu ‘anhu mursal dan dari Jabir bin ‘Abdullah muttashil [Al Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatim 5/240 no 1137].

Dan terdapat riwayat dari Ibnu ‘Adiim dalam kitabnya Bughyat Ath Thalab Fi Tarikh Al Halab menyebutkan riwayat dengan sanad yang shahih bahwa Ibnu Saabith mendengar dari Jabir [silakan lihat http://islamport.com/w/tkh/Web/363/1013.htm%5D

وأخبرنا أبو اسحاق إبراهيم بن عثمان بن يوسف الكاشغري -قدم علينا حلب- قال: أخبرنا أبو المظفر أحمد بن محمد بن علي بن صالح الكاغدي وأبو الفتح محمد بن عبد الباقي بن أحمد بن سلمان. قال أبو المظفر: أخبرنا أبو بكر أحمد بن علي بن الحسين بن زكريا، وقال أبو الفتح: أخبرنا أبو الفضل أحمد بن الحسن بن خيرون قالا: أخبرنا أبو علي الحسن بن أحمد بن ابراهيم بن شاذان قال: أخبرنا أبو محمد عبد الله بن جعفر بن درستويه قال: أخبرنا أبو يوسف يعقوب بن سفيان الفسوي قال: حدثنا محمد بن عبد الله بن نمير قال: حدثنا أبي، قال حدثنا ربيع بن سعد عن عبد الرحمن بن سابط قال: كنت مع جابر، فدخل حسين بن علي رضي الله عنهما، فقال جابر: من سره أن ينظر الى رجل من أهل الجنة فلينظر الى هذا، فأشهد لسمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقوله.

Dan telah mengabarkan kepada kami Abu Ishaq Ibrahim bin Utsman bin Yusuf Al Kaasyghariy, yang mendatangi kami di Halab, yang berkata telah mengabarkan kepada kami Abu Muzhaffar Ahmad bin Muhammad bin ‘Aliy bin Shalih Al Kaaghadiy dan Abu Fath Muhammad bin ‘Abdul Baqiy bin Ahmad bin Salmaan. Abu Muzhaffaar berkata telah mengabarkan kepada kami Abu Bakar Ahmad bin ‘Ali bin Husain bin Zakaria. Dan Abu Fath berkata telah mengabarkan kepada kami Abu Fadhl Ahmad bin Hasan bin Khairuun. Keduanya berkata telah mengabarkan kepada kami Abu ‘Aliy Hasan bin Ahmad bin Ibrahim bin Syaadzan yang berkata telah mengabarkan kepada kami Abu Muhammad ‘Abdullah bin Ja’far bin Durustawaih yang berkata telah mengabarkan kepada kami Abu Yusuf Ya’qub bin Sufyan Al Fasawiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdullah bin Numair yang berkata telah menceritakan kepada kami ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Rabii’ bin Sa’d dari ‘Abdurrahman bin Saabith yang berkata “aku bersama Jabir maka masuklah Husain bin Ali radiallahu ‘anhum. Jabir kemudian berkata “siapa yang ingin melihat seorang ahli surga maka lihatlah orang ini, aku bersaksi telah mendengar Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakannya [Bughyat Ath Thalab Fi Tarikh Al Halab 5/92].

Riwayat ini kedudukannya shahih telah diriwayatkan oleh para perawi tsiqat. Para perawi yang kami jelaskan berikut adalah yang kami cetak biru.
1. Abu Ishaq Ibrahim bin Utsman bin Yusuf Al Kasyghariy disebutkan oleh Adz Dzahabi dalam As Siyar yaitu Syaikh Mu’ammar Musnad Iraq. Ibnu Nuqtah berkata “pendengarannya shahih” [dalam hadis]. Ibnu Najjar juga mengatakan ia shahih pendengarannya [As Siyar Adz Dzahabi 23/148-149 no 03]
2. Abu Fath Muhammad bin ‘Abdul Baqiy bin Ahmad bin Salmaan biografinya disebutkan Ibnu Ad Dimyathiy dalam kitabnya Al Mustafad Min Dzail Tarikh Baghdad dimana disebutkan kalau Abu Fath seorang syaikh shalih shaduq dan terpercaya [Al Mustafad Min Dzail Tarikh Baghdad no 14]
3. Abu Fadhl Ahmad bin Hasan bin Khairun disebutkan oleh Adz Dzahabi dalam As Siyar bahwa ia Imam Alim Hafizh Musnad Hujjah. As Sam’aniy menyatakan ia tsiqat adil mutqin [As Siyar Adz Dzahabi 19/105-106 no 60]
4. Abu Ali Hasan bin Ahmad bin Ibrahim bin Syaadzan disebutkan biografinya oleh Adz Dzahabiy dalam As Siyaar bahwa ia Imam Al Fadhl Shaduq Musnad Iraq. Al Khatib berkata “aku menulis darinya, shahih pendengarannya, shaduq”. Abu Hasan bin Zarqawaih menyatakan ia tsiqat [As Siyar Adz Dzahabi 17/416-417 no 273]
5. ‘Abdullah bin Ja’far Abu Muhammad adalah Ibnu Darastawaih, Adz Dzahabi menyatakan ia seorang Imam, Allamah dan tsiqat [As Siyar 15/531 no 309]
6. Yaqub bin Sufyan Al Fasawi disebutkan Ibnu Hajar bahwa ia seorang hafiz yang tsiqat [At Taqrib 2/337]. Adz Dzahabi menyatakan ia tsiqat [Al Kasyf no 6388]
7. Muhammad bin ‘Abdullah bin Numair adalah perawi kutubus sittah yang dikatakan Ibnu Hajar tsiqat hafizh memiliki keutamaan [At Taqrib 2/100]
8. ‘Abdullah bin Numair adalah perawi kutubus sittah yang dikatakan Ibnu Hajar tsiqat [At Taqrib 1/542]. Adz Dzahabiy menyatakan ia hujjah [Al Kasyf no 3024]
9. Rabi’ bin Sa’d Al Ju’fiy dikatakan Abu Hatim “tidak ada masalah padanya” [Al Jarh Wat Ta’dil juz 3 no 2077]. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 6 no 7800]. Ibnu Ma’in menyatakan ia tsiqat [Tarikh Ibnu Ma’in riwayat Ad Duuriy no 2216]. Ibnu Syahin dan Ibnu Ammar menyatakan ia tsiqat [Tarikh Asma Ats Tsiqat no 354]
10. Abdurrahman bin Saabith, Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/570]. Adz Dzahabiy menyatakan ia faqih tsiqat [Al Kasyf no 3198]

Riwayat Ibnu Saabith di atas menjadi bukti bahwa mazhab Ibnu Ma’in keliru. Perkataan Ibnu Ma’in bahwa Ibnu Saabith tidak mendengar dari Sa’d, Abu Umamah dan Jabir disampaikan dengan satu lafaz perkataan dan menjadi mazhab Ibnu Ma’in. Jika terbukti bahwa Ibnu Saabith mendengar dari Jabir maka sangat wajar kita katakan pernyataan Ibnu Ma’in bahwa Ibnu Saabith tidak mendengar dari Sa’d dan Abu Umamah sama tidak berdasarnya dengan pernyataan Ibnu Saabith tidak mendengar dari Jabir. Satu-satunya yang mungkin Ibnu Ma’in mengatakan riwayat Ibnu Saabith dari mereka mursal karena menurut Ibnu Ma’in, Ibnu Saabith tidak menemui masa hidup mereka.

Dari riwayat tersebut Ibnu Saabith bertemu dengan Jabir bin ‘Abdullah radiallahu ‘anhu bahkan melihat Husain bin Ali [‘alaihis salam]. Imam Husain wafat pada tahun 61 H [Al Kasyf no 1097]. Maka peristiwa di atas terjadi sebelum tahun 61 H dan saat itu Ibnu Saabith sudah dewasa dan bersama Jabir radiallahu ‘anhu. Sa’d bin Abi Waqash wafat pada tahun 55 H [Al Kasyf no 1845] maka Ibnu Saabith bertemu dengan Sa’d bin Abi Waqash apalagi, Ibnu Saabith itu adalah orang Makkah dan peristiwa Muawiyah mencela Imam Ali terjadi ketika Sa’ad bin Abi Waqash sedang berada di Makkah. Bagaimana mungkin perawi yang berada dalam satu masa dan satu kota yang sama bisa dikatakan tidak mendengar dan riwayatnya mursal. Kesimpulannya mazhab Ibnu Ma’in dalam hal ini terbukti keliru.

Ibnu Hajar dalam Al Ishabah mengutip bahwa ada yang mengatakan kalau Ibnu Saabith tidak shahih mendengar dari sahabat Nabi dan ada yang mengatakan kalau ia tidak menemui masa Sa’ad bin Abi Waqash [Al Ishabah 5/228 no 6691]. Kemungkinan orang yang dimaksud Ibnu Hajar tersebut adalah Ibnu Ma’in. Lagipula terlepas dari siapa yang dikutip Ibnu Hajar tersebut pernyataan itu keliru. Ibnu Saabith terbukti mendengar dari Jabir radiallahu ‘anhu dan ia menemui masa Sa’ad bin Abi Waqash.

Ad Dhiya’ Al Maqdisi dalam kitabnya Al Ahadits Al Mukhtarah [dimana ia menshahihkan hadis yang ia kutip] mengutip hadis ‘Abdurrahman bin Saabith dengan judul “Abdurrahman bin Saabith dari Sa’d radiallahu ‘anhu” [Al Ahadis Al Mukhtarah no 1008]. Hal itu menunjukkan bahwa di sisinya riwayat Ibnu Saabith dari Sa’ad adalah muttashil [bersambung] atau Ibnu Saabith mendengar dari Sa’d. Ibnu Katsir dalam kitabnya Al Bidayah Wan Nihayah 7/376 juga membawakan hadis ‘Abdurrahman bin Saabith dari Sa’d di atas dan ia berkata “sanadnya hasan” maka itu berarti disisinya riwayat Ibnu Saabith dari Sa’d adalah muttashil [bersambung] atau Ibnu Saabith mendengar dari Sa’d,

عن عامر بن سعد بن أبي وقاص عن أبيه قال أمر معاوية بن أبي سفيان سعدا فقال ما منعك أن تسب أبا التراب ؟ فقال أما ذكرت ثلاثا قالهن له رسول الله صلى الله عليه و سلم فلن أسبه لأن تكون لي واحدة منهن أحب إلي من حمر النعم سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول له خلفه في بعض مغازيه فقال له علي يا رسول الله خلفتني مع النساء والصبيان ؟ فقال له رسول الله صلى الله عليه و سلم أما ترضى أن تكون مني بمنزلة هارون من موسى إلا أنه لا نبوة بعدي وسمعته يقول يوم خيبر لأعطين الراية رجلا يحب الله ورسوله ويحبه الله ورسوله قال فتطاولنا لها فقال ادعوا لي عليا فأتى به أرمد فبصق في عينه ودفع الراية إليه ففتح الله عليه ولما نزلت هذه الآية فقل تعالوا ندع أبناءنا وأبنائكم [ 3 / آل عمران / 61 ] دعا رسول الله صلى الله عليه و سلم عليا وفاطمة وحسنا وحسينا فقال اللهم هؤلاء أهلي

Dari ‘Aamir bin Sa’d bin Abi Waqash dari ayahnya yang berkata Muawiyah bin Abi Sufyan memerintah Sa’ad, lalu berkata “Apa yang menghalangimu untuk mencaci Abu Turab”?. Sa’ad berkata “Selama aku masih mengingat tiga hal yang dikatakan oleh Rasulullah SAW aku tidak akan mencacinya yang jika aku memiliki salah satu saja darinya maka itu lebih aku sukai dari segala macam kebaikan. Rasulullah SAW telah menunjuknya sebagai Pengganti Beliau dalam salah satu perang, kemudian Ali berkata kepada Beliau “Wahai Rasulullah SAW engkau telah meninggalkanku bersama perempuan dan anak-anak?” Maka Rasulullah SAW berkata kepadanya Tidakkah kamu ridha bahwa kedudukanmu disisiku sama seperti kedudukan Harun disisi Musa, hanya saja tidak ada Nabi setelahku. Aku mendengar Rasulullah SAW berkata di Khaibar “Sungguh Aku akan memberikan panji ini pada orang yang mencintai Allah dan RasulNya serta dicintai Allah dan RasulNya. Maka kami semua berharap untuk mendapatkannya. Lalu Beliau berkata “Panggilkan Ali untukku”. Lalu Ali datang dengan matanya yang sakit, kemudian Beliau meludahi kedua matanya dan memberikan panji kepadanya. Dan ketika turun ayat “Maka katakanlah : Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kalian”(Ali Imran ayat 61), Rasulullah SAW memanggil Ali, Fathimah, Hasan dan Husain dan berkata “Ya Allah merekalah keluargaku” [Shahih Muslim 4/1870 no 2404].

Kami telah menjelaskan panjang lebar makna hadis ini dalam tulisan kami yang lalu, dimana kami membantah penafsiran An Nawawi terhadap hadis ini. Disini kami hanya ingin mengutip ulama yang menguatkan hujjah kami bahwa makna hadis riwayat Muslim di atas adalah Muawiyah memerintahkan Sa’ad untuk mencaci Imam Ali.

Abu Hasan Al Sindiy atau Al Hafizh Muhammad bin ‘Abdul Hadiy Al Sindiy termasuk ulama yang mengartikan riwayat Muslim sebagai Muawiyah memerintah Sa’ad untuk mencaci Imam Ali. Dalam kitabnya Syarh Sunan Ibnu Majah, ketika menjelaskan lafaz “Fanala minhu” dalam hadis Ibnu Saabith di atas ia berkata:

قوله : ( فنال منه ) أي نال معاوية من علي ووقع فيه وسبه بل أمر سعدا بالسب كما قيل في مسلم والترمذي

Perkataannya “Fanala minhu” bermakna Muawiyah mencela Ali, berkata buruk tentangnya dan mencacinya kemudian memerintahkan Sa’ad untuk mencacinya seperti yang dikatakan dalam riwayat Muslim dan Tirmidzi [Syarh Sunan Ibnu Majah no 121].

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Manhaj As Sunnah ketika menyinggung hadis Sa’ad riwayat Muslim, ia berkata:

وأما حديث سعد لما أمره معاوية بالسب فأبى فقال ما منعك أن تسب علي بن أبي طالب فقال ثلاث قالهن رسول الله صلى الله عليه وسلم فلن أسبه لأن يكون لي واحدة منهن أحب إلي من حمر النعم الحديث فهذا حديث صحيح رواه مسلم في صحيحه

Adapun hadis Sa’ad ketika Muawiyah memerintahkannya untuk mencaci dan ia menolak maka Muawiyah berkata “apa yang mencegahmu mencaci Ali bin Abi Thalib?” Sa’ad berkata “selama masih ada tiga hal yang dikatakan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tentangnya maka aku tidak akan mencacinya. Seandainya aku memiliki satu saja diantara ketiganya maka itu lebih aku cintai dari segala macam kebaikan –al hadits-. Hadis ini adalah hadis shahih diriwayatkan Muslim dalam Shahihnya [Manhaj As Sunnah Ibnu Taimiyyah 5/16].

Penafsiran kami terhadap hadis ini jelas bersandarkan pada teksnya. Lafaz pertama “Muawiyah memerintah Sa’ad” kemudian lafaz berikutnya Muawiyah berkata “apa yang mencegahmu mencaci Abu Turab”. Maka orang yang paham dan punya akal pikiran dapat mengetahui bahwa hadis itu bermakna Muawiyah memerintahkan Sa’d mencaci Ali tetapi Sa’d menolaknya maka Muawiyah bertanya “apa yang mencegahmu mencaci Abu Turab?”. Sedangkan apa yang dijelaskan oleh Nawawi dalam Syarh Muslim dan diikuti secara buta oleh para nashibi [karena membela idola mereka] adalah penakwilan dan tidak berdasarkan pada lafaz hadisnya.

Berikut akan kami bawakan hadis lain sebagai bukti Muawiyah mencela Imam Ali dan menuduhnya dengan tuduhan konyol yang jika saja perkataan serupa ditujukan kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka kami yakin para nashibi akan mengkafirkan orang yang mengatakannya,

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الرزاق قال ثنا معمر عن طاوس عن أبي بكر بن محمد بن عمرو بن حزم عن أبيه قال لما قتل عمار بن ياسر دخل عمرو بن حزم على عمرو بن العاص فقال قتل عمار وقد قال رسول الله صلى الله عليه و سلم تقتله الفئة الباغية فقام عمرو بن العاص فزعا يرجع حتى دخل على معاوية فقال له معاوية ما شانك قال قتل عمار فقال معاوية قد قتل عمار فماذا قال عمرو سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول تقتله الفئة الباغية فقال له معاوية دحضت في بولك أو نحن قتلناه إنما قتله علي وأصحابه جاؤوا به حتى القوه بين رماحنا أو قال بين سيوفنا

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang menceritakan kepadaku ayahku yang menceritakan kepada kami ‘Abdurrazaq yang berkata menceritakan kepada kami Ma’mar dari Ibnu Thawus dari Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amru bin Hazm dari ayahnya yang berkata “ketika Ammar bin Yasar terbunuh maka masuklah ‘Amru bin Hazm kepada Amru bin ‘Ash dan berkata “Ammar terbunuh padahal sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “Ia dibunuh oleh kelompok pembangkang”. Maka ‘Amru bin ‘Ash berdiri dengan terkejut dan mengucapkan kalimat [Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un] sampai ia mendatangi Muawiyah. Muawiyah berkata kepadanya “apa yang terjadi denganmu”. Ia berkata “Ammar terbunuh”. Muawiyah berkata “Ammar terbunuh, lalu kenapa?”. Amru berkata “aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “Ia dibunuh oleh kelompok pembangkang”. Muawiyah berkata “Apakah kita yang membunuhnya? Sesungguhnya yang membunuhnya adalah Ali dan sahabatnya, mereka membawanya dan melemparkannya diantara tombak-tombak kita atau ia berkata diantara pedang-pedang kita [Musnad Ahmad 4/199 no 17813 dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth].

Perhatikan hadis di atas setelah mengetahui ‘Ammar bin Yasar radiallahu ‘anhu terbunuh dan terdapat hadis bahwa ‘Ammar akan dibunuh oleh kelompok pembangkang maka Muawiyah menolaknya bahkan melemparkan hal itu sebagai kesalahan Imam Ali. Menurut Muawiyah, Imam Ali dan para sahabatnya yang membunuh ‘Ammar karena membawanya ke medan perang dan menurut Muawiyah Imam Ali itu yang seharusnya dikatakan sebagai kelompok pembangkang. Sudah jelas ini adalah celaan yang hanya diucapkan oleh orang yang lemah akalnya.

Tentu saja itu sama halnya dengan Muawiyah menuduh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang membunuh para sahabat Badar dan Uhud yang syahid di medan perang karena Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang membawa mereka ke medan perang. Bayangkan jika perkataan dengan “logika Muawiyah” ini diucapkan kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka sudah pasti para nashibi itu akan menyatakan kafir orang yang mengatakannya. Mari kita lihat dalih dalih konyol para nashibi atas pembelaan mereka terhadap sahabat pujaan mereka Muawiyah.


Muawiyah Menuduh Sahabat Meriwayatkan Hadis Dusta : Inikah Keadilan Sahabat?

Pernah ada salafy yang suka “berbasa-basi” mengeluarkan pernyataan bahwa para sahabat semuanya adil dan mereka saling percaya satu sama lain tidak pernah mendustakan sahabat yang lain. Kami tidak heran kalau komentar ini lahir dari orang yang terjangkiti virus salafy nashibi mengingat mereka menelan bulat-bulat doktrin mentah “keadilan sahabat”. Doktrin yang mereka yakini sebagai “kema’shuman sahabat”.

Sudah pasti mereka akan mengingkari kalau sahabat itu ma’shum, mereka berkata sahabat itu manusia yang tidak ma’shum tetapi ketika ditunjukkan sahabat bisa salah, bisa lupa, bisa bermaksiat mereka jadi meradang, mengeluarkan tuduhan “syiah”, membuat dalih penolakan yang dicari-cari untuk membela sahabat. Apa yang terjadi? Kalau memang sahabat Nabi itu juga manusia ya wajar-wajar saja, kalau memang sahabat Nabi tidak ma’shum ya wajar-wajar saja. Jadi perkataan “sahabat tidak ma’shum” itu cuma ocehan di mulut saja tetapi hati mereka meyakini kalau sahabat itu ma’shum.

Benarkah sahabat saling percaya dan tidak mendustakan sahabat yang lain?. Kami jawab itu tidak mutlak karena terdapat kasus dimana ada sahabat Nabi mendustakan sahabat yang lain. Sepertinya sahabat itu tidak meyakini doktrin “semua sahabat itu adil”. Salah satu contohnya adalah riwayat berikut yang sudah pernah kami kutip sebelumnya tetapi disini kami mengutip riwayat dengan lafaz yang jelas agar para “troll salafy nashibi” kehabisan akal untuk berbasa-basi,

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ أَبِي قِلاَبَةَ عَنْ أَبِي الأَشْعَث قَالَ كُنَّا فِي غَزَاةٍ وَعَلَيْنَا مُعَاوِيَةُ ، فَأَصَبْنَا ذَهَبًا وَفِضَّةً ، فَأَمَرَ مُعَاوِيَةُ رَجُلاً يَبِيعَهَا النَّاسَ فِي أُعْطِيَّاتِهِمْ ، فَسَارَعَ النَّاسُ فِيهَا ، فَقَامَ عُبَادَةُ فَنَهَاهُمْ فَرَدُّوهَا ، فَأَتَى الرَّجُلُ مُعَاوِيَةَ فَشَكَا إلَيْهِ ، فَقَامَ مُعَاوِيَةُ خَطِيبًا فَقَالَ مَا بَالُ رِجَالٍ يُحَدِّثُونَ عَنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَحَادِيثَ يَكْذِبُونَ فِيهَا ، لَمْ نَسْمَعْهَا فَقَامَ عُبَادَةُ ، فَقَالَ وَاللَّهِ لَنُحَدِّثَنَّ عَنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَإِنْ كَرِهَ مُعَاوِيَةُ ، قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لاَ تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ ، وَلاَ الْفِضَّةَ بِالْفِضَّةِ ، وَلاَ الشَّعِيرَ بِالشَّعِيرِ وَلاَ التَّمْرَ بِالتَّمْرِ ، وَلاَ الْمِلْحَ بِالْمِلْحِ إلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ عَيْنًا بِعَيْنٍ

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Wahab Ats Tsaqafiy dari Ayuub dari Abu Qilabah dari Abul Asy’ats yang berkata kami pernah berada dalam suatu perperangan dan bersama kami ada Mu’awiyah. Kami mendapatkan emas dan perak, maka Mu’awiyah memerintahkan seorang laki-laki untuk menjualnya kepada orang-orang saat mereka menerima pembagian [ghanimah], maka orang-orang menawarnya. Ubadah berdiri melarang mereka dan menolaknya, maka laki-laki tersebut mengadukan hal itu kepada Muawiyah. Mu’awiyah berdiri dan berkhutbah, ia berkata “mengapa ada orang yang menceritakan dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] hadis yang ia berdusta atasnya, dimana kami tidak pernah mendengarnya”. Maka Ubadah berdiri dan berkata “demi Allah kami akan tetap menyampaikan hadis dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] meskipun Muawiyah membencinya, Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “Janganlah menjual emas dengan emas, perak dengan perak, jejawut dengan jejawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam kecuali dengan takaran yang sama dan tunai” [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 7/100 no 22929].

Hadis riwayat Ibnu Abi Syaibah di atas sanadnya shahih diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat.
1. ‘Abdul Wahab Ats Tsaqafiy adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in menyatakan ia tsiqat dan mengalami ikhtilath di akhir umurnya. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat ada kelemahan padanya”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Ijli menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 6 no 837]. Ahmad bin Hanbal berkata “Abdul Wahab Ats Tsaqafiy lebih tsabit dari ‘Abdul A’la Asy Syammiy” [Al Ilal no 740]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat tetapi mengalami perubahan hafalan sebelum wafatnya” [At Taqrib 1/626]. Abdul Wahab Ats Tsaqafiy memang mengalami ikhtilath tetapi ia tidak meriwayatkan hadis setelah mengalami ikhtilath [Al Mukhtalithin Abu Sa’id Al ‘Ala’iy hal 78 no 32].
2. Ayub bin Abi Tamimah As Sakhtiyatiy adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Syu’bah mengatakan kalau Ayub pemimpin para fuqaha. Ibnu Uyainah berkata “aku belum pernah bertemu orang seperti Ayub”. Ibnu Ma’in berkata “tsiqat dan ia lebih tsabit dari Ibnu ‘Aun”. Ibnu Sa’ad menyatakan ia tsiqat tsabit dalam hadis. Abu Hatim menyatakan tsiqat. Nasa’i berkata “tsiqat tsabit”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Daruquthni berkata “Ayub termasuk hafizh yang tsabit” [At Tahdzib juz 1 no 733]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat tsabit hujjah termasuk fuqaha besar dan ahli ibadah [At Taqrib 1/116].
3. Abu Qilabah yaitu ‘Abdullah bin Zaid bin ‘Amru adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat banyak meriwayatkan hadis”. Ibnu Aun berkata “Ayub menyebutkan kepada Muhammad hadis dari Abu Qilabah maka ia berkata “Abu Qilabah insya Allah tsiqat orang yang shalih”. Al Ijli dan Ibnu Khirasy menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 5 no 388]. Ibnu Hajar menyatakan tsiqat dan memiliki keutamaan [At Taqrib 1/494].
4. Abu Al Asy’ats Ash Shan’aniy adalah perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad, Muslim dan Ashabus Sunan. Al Ijli berkata “tabiin syam yang tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 4 no 558]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat” [At Taqrib 1/414]. Adz Dzahabi menyatakan ia tsiqat [Al Kasyf no 2254].

Tidak diragukan lagi kedudukan atsar di atas adalah shahih. Silakan perhatikan matan hadisnya, Ubadah bin Shamit salah seorang sahabat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] menyampaikan hadis Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan mencegah orang-orang dari perbuatan yang melanggar syari’at. Anehnya ketika hal ini disampaikan kepada Muawiyah, ia malah berdiri menyampaikan khutbah yang menuduh Ubadah menyampaikan hadis dusta dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Bagaimana mungkin Muawiyah mendustakan hadis Ubadah bin Shamit [radiallahu ‘anhu] dengan alasan “ia tidak pernah mendengarnya”?. Atau mungkin ia menganggap Ubadah tidak terpercaya dalam hadis yang ia riwayatkan. Sepertinya berbeda dengan pengikut salafy nashibi justru idola panutan mereka [kaum nashibi] Muawiyah tidak berkeyakinan kalau semua sahabat itu adil. Buktinya Muawiyah menuduh Ubadah menyampaikan hadis dusta, kalau memang sahabat Ubadah adil dalam pandangan Muawiyah maka mustahil ia akan berkhutbah dan menuduh Ubadah menyampaikan hadis dusta di depan khalayak ramai. Dilematis? Yah begitulah adanya.


Shahih Menyatakan Bahwa Muawiyah Menjual Berhala

Jika Imam Ali dikenal sebagai penghancur berhala maka Muawiyah dikenal sebagai penjual Berhala. Jika Imam Ali dikenal sebagai orang yang menghancurkan kesyirikan maka Muawiyah dikenal sebagai orang yang ikut andil menyebarkan kesyirikan. Diriwayatkan Ibnu Jarir Ath Thabari dengan sanad yang shahih bahwasanya Muawiyah telah menjual berhala,

وحدثنا محمد بن بشار قال حدثنا عبد الرحمن قال حدثنا سفيان عن الأعمش عن أبي وائل قال كنت مع مسروق بالسلسلة فمرت عليه سفينة فيها أصنام ذهب وفضة بعث بها معاوية إلى الهند تباع فقال مسروق لو أعلم أنهم يقتلوني لغرقتها ولكني أخشى الفتنة

Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyaar yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Al A’masy dari Abi Wa’il yang berkata “aku bersama Masruq kemudian melintas kapal yang membawa berhala-berhala dari emas dan perak, Muawiyah mengirimnya ke India untuk dijual. Masruq berkata “seandainya aku tahu bahwa mereka akan membunuhku maka aku akan menenggelamkannya [kapal itu] tetapi aku khawatir munculnya fitnah” [Tahdzib Al Atsar Ibnu Jarir Ath Thabari no 1642].

Riwayat ini sanadnya shahih dan Abu Wa’il adalah Syaqiq bin Salamah mukhadhramun yang tsiqat perawi kutubus sittah.
1. Muhammad bin Basyaar bin ‘Utsman Al Bashriy dengan kuniyah Abu Bakar atau Bindaar adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Telah meriwayatkan darinya Abu Hatim, Abu Zur’ah, Baqi bin Makhlad dan Abdullah bin Ahmad dimana mereka dikenal hanya meriwayatkan dari perawi yang tsiqat. Al Ijli menyatakan ia tsiqat. Abu Hatim berkata “shaduq”. Nasa’i berkata “shalih tidak ada masalah padanya”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ibnu Khuzaimah menyebutnya imam. Daruquthni berkata “termasuk hafizh tsabit” [At Tahdzib juz 9 no 87]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 2/58].
2. Abdurrahman bin Mahdi bin Utsman Al Azdiy Al Bashriy adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Hajar menyebutnya hafizh imam alim. Ali bin Madini berkata “orang yang paling alim adalah ‘Abdurrahman bin Mahdi”. Abu Hatim menyatakan ia seorang imam yang tsiqat. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat banyak meriwayatkan hadis”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan menyatakan ia hafih mutqin dan wara’. [At Tahdzib juz 6 no 552]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat tsabit hafizh ‘arif dalam ilmu rijal dan ilmu hadis, Ali bin Madini berkata “aku belum pernah melihat orang yang lebih alim darinya” [At Taqrib 1/592].
3. Sufyan bin Sa’id bin Masruq Ats Tsauriy adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Telah meriwayatkan darinya Malik, Ibnu Mahdi dan Yahya bin Sa’id yang berarti mereka menganggapnya tsiqat. Ibnu Ma’in menyatakan tidak ada yang mendahului Sufyan pada zamannya dalam fiqh hadis dan zuhud. Abdullah bin Daud berkata “aku belum pernah melihat orang yang lebih faqih dari Sufyan”. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat ma’mun ahli ibadah yang tsabit”. Abu Hatim, Abu Zur’ah dan Ibnu Ma’in berkata “ia lebih hafizh dari Syu’bah” [At Tahdzib juz 4 no 199]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat hafizh faqih ahli ibadah imam hujjah termasuk pemimpin thabaqat ketujuh [At Taqrib 1/371].
4. Sulaiman bin Mihran Al ‘Amasy perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Al Ijli dan Nasa’i berkata “tsiqat tsabit”. Ibnu Ma’in berkata “tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib juz 4 no 386]. Ibnu Hajar menyebutkannya sebagai mudallis martabat kedua yang ‘an anahnya dijadikan hujjah dalam kitab shahih [Thabaqat Al Mudallisin no 55]. Riwayat ‘an anahnya dari para syaikh-nya seperti Ibrahim, Abu Wail dan Abu Shalih dianggap muttashil [bersambung] seperti yang dikatakan Adz Dzahabi [Mizan Al Itidal 2/224 no 3517].
5. Abu Wa’il Al Kufiy adalah Syaqiq bin Salamah Mukhadhramun yang tsiqat perawi kutubus sittah. Ibnu Ma’in, Waki’, Ibnu Sa’ad dan Ibnu Hibban menyatakan ia tsiqat. [At Tahdzib juz 4 no 619]. Ibnu Hajar menyatakan “tsiqat” [At Taqrib 1/421].
6. Masruq bin Al Ajda’ adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat mukhadhramun. Al Ijli menyatakan ia tsiqat. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat memiliki hadis-hadis shalih”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 10 no 206]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat faqih ahli ibadah mukhadhramun” [At Taqrib 2/175].

Dapat disimpulkan bahwa atsar Ibnu Jarir Ath Thabari di atas sanadnya shahih dan para perawinya adalah perawi Bukhari dan Muslim. Matannya dengan jelas menyebutkan kalau Abu Wa’il dan Masyruq menyaksikan kapal yang membawa berhala-berhala yang akan dijual oleh Muawiyah ke India. Keduanya adalah mukhadhramun yang tsiqat maka sudah pasti menemui masa Muawiyah jadi kesaksian mereka bisa dijadikan hujjah. Mungkin perilaku Muawiyah ini akan menjadi suri tauladan bagi para salafiyun karena dalam pandangan mereka, Muawiyah adalah sahabat yang diberi petunjuk oleh Allah SWT dan sekaligus sebagai pemberi petunjuk.


Rasulullah [Shallallahu ‘Alaihi Wasallam] Membenci Bani Umayyah

Bagi yang akrab dengan sejarah islam tentu akan mengetahui adanya kaum yang disebut dengan bani umayyah. Bani Umayyah sangat terkenal dengan pertentangan dan perselisihan mereka terhadap Ahlul Bait. Ahlul Bait yang sangat dicintai Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan Bani Umayyah yang sangat dibenci Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].

حدثنا معاذ بن المثنى ثنا يحيى بن معين ثنا محمد بن جعفر ثنا شعبة عن محمد بن عبد الله بن أبي يعقوب قال : سمعت أبا نصر الهلالي يحدث عن بجالة بن عبدة أو عبدة بن بجالة قال : قلت لعمران بن حصين أخبرني بأبغض الناس إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : أكتم علي حتى أموت قلت : نعم قال : كان أبغض الناس إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم بني حنيفة وبني أمية وثقيف

Telah menceritakan kepada kami Mu’adz bin Al Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ma’in yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Muhammad bin ‘Abdullah bin Abi Ya’qub yang berkata aku mendengar Abu Nashr Al Hilaliy menceritakan dari Bajaalah bin ‘Abdah atau ‘Abdah bin Bajalah yang berkata aku berkata kepada ‘Imraan bin Hushain “kabarkanlah kepadaku manusia yang paling dibenci Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]“. [Imraan] berkata “sembunyikanlah hal ini sampai aku wafat”. [aku] berkata “ya”. [Imraan] berkata “manusia yang paling dibenci Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah bani Haniifah, bani Umayyah dan Tsaqiif” [Mu’jam Al Kabir Ath Thabrani 18/229 no 572].

Hadis riwayat Thabrani di atas sanadnya shahih. Para perawinya adalah perawi tsiqat. Abu Nashr Al Hilaliy adalah Humaid bin Hilal seorang perawi yang tsiqat.
1. Mu’adz bin Mutsanna Al ‘Anbariy adalah syaikh [guru] Thabrani yang tsiqat. Adz Dzahabi berkata “tsiqat mutqin” [As Siyar 13/527 no 259]. Al Khatib menyatakan ia tsiqat [Tarikh Baghdad 15/173 no 7073].
Yahya bin Ma’in adalah ulama rijal yang tsiqat imam jarh wat ta’dil termasuk perawi kutubus sittah. Ibnu Hajar berkata “tsiqat hafizh masyhur imam jarh wat ta’dil” [At Taqrib 2/316]. Adz Dzahabi berkata “hafizh imam para muhaddis” [Al Kasyf no 6250].
2. Muhammad bin Ja’far Al Hudzaliy atau Ghundar adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ali bin Madini berkata “ia lebih aku sukai daripada Abdurrahman [Ibnu Mahdi] dalam periwayatan dari Syu’bah”. Abu Hatim berkata dari Muhammad bin Aban Al Balkhiy bahwa Ibnu Mahdi berkata “Ghundar lebih tsabit dariku dalam periwayatan dari Syu’bah”. Abu Hatim, Ibnu Hibban dan Ibnu Sa’ad menyatakan tsiqat. Al Ijli menyatakan ia orang bashrah yang tsiqat dan ia adalah orang yang paling tsabit dalam riwayat dari Syu’bah [At Tahdzib juz 9 no 129].
3. Syu’bah bin Hajjaj adalah perawi kutubus sittah yang telah disepakati tsiqat. Syu’bah seorang yang tsiqat hafizh mutqin dan Ats Tsawri menyebutnya “amirul mukminin dalam hadis” [At Taqrib 1/418]. Adz Dzahabi menyatakan Syu’bah hafizh amirul mukminin dalam hadis, tsabit hujjah dan terkadang salah dalam nama-nama [perawi] [Al Kasyf no 2278].
3. Muhammad bin ‘Abdullah bin Abi Ya’qub adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Syu’bah telah meriwayatkan darinya yang berarti menurut Syu’bah ia tsiqat. Ibnu Ma’in, Abu Hatim, Nasa’i, Al Ijli, Ibnu Numair menyatakan ia tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 9 no 468]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat” [At Taqrib 2/100].
5. Abu Nashr Al Hilaliy adalah Humaid bin Hilaal termasuk perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad. Abu Hatim berkata “tsiqat dalam hadis”. Ibnu Ma’in, Nasa’i, Ibnu Sa’ad, Al Ijli menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ibnu Adiy berkata “hadis-hadisnya lurus” [At Tahdzib juz 3 no 87]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat alim” [At Taqrib 1/247].
6. Bajaalah bin ‘Abdah At Tamimiy adalah perawi Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i. Abu Zur’ah berkata “tsiqat”. Abu Hatim berkata “syaikh”. Mujahid bin Musa menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib juz 1 no 771]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat” [At Taqrib 1/121].

Para perawi hadis di atas semuanya tsiqat, soal penyebutan nama Bajaalah bin ‘Abdah atau ‘Abdah bin Bajaalah maka itu tidak memudharatkan hadisnya karena yang rajih namanya adalah Bajaalah bin ‘Abdah sebagaimana ditegaskan oleh Ath Thabrani yang membawakan hadis ini dalam bab “Bajaalah bin ‘Abdah dari ‘Imraan bin Hushain”. Keraguan soal penyebutan nama ini kemungkinan berasal dari Syu’bah.

Mu’adz bin Al Mutsanna dalam periwayatannya dari Ibnu Ma’in memiliki mutaba’ah yaitu dari Muhammad bin Ishaq bin Ja’far Al Khurasaniy seorang yang tsiqat tsabit [At Taqrib 2/54] sebagaimana yang disebutkan dalam Musnad Ar Ruuyani no 141. Bajaalah bin ‘Abdah dalam periwayatannya dari ‘Imraan bin Hushain memiliki mutaba’ah dari Hasan Al Bashri sebagaimana yang disebutkan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir 18/169 no 379, At Tirmidzi dalam Sunan-nya 5/729 no 3243 dan Al Bazzar dalam Musnad-nya 8/370 2967,

حدثنا زكريا بن يحيى الساجي ثنا زيد بن أخرم ثنا عبد القاهر بن شعيب ثنا هشام بن حسان عن الحسن عن عمران بن حصين قال مات رسول الله صلى الله عليه و سلم وهو يبغض ثلاث قبائل بني أمية وبني حنيفة وثقيف

Telah menceritakan kepada kami Zakariya bin Yahya As Saajiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Zaid bin Akhraam yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdul Qaahir bin Syu’aib yang berkata telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin Hasan dari Al Hasan dari ‘Imran bin Hushain yang berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat dan Beliau membenci tiga kabilah yaitu bani Umayyah, bani Haniifah dan Tsaqiif [Mu’jam Al Kabir Ath Thabrani 18/169 no 379].

Hadis ini sanadnya hasan. Para perawinya tsiqat dan shaduq, Hasan Al Bashri dikenal sering melakukan tadlis dan irsal. Ibnu Hajar memasukkannya dalam mudallis martabat kedua artinya ‘an anahnya bisa diterima.
1. Zakaria bin Yahya As Saajiy adalah syaikh [guru] Thabrani yang tsiqat. Ibnu Abi Hatim menyatakan ia tsiqat, dikenal hadisnya dan faqih. Maslamah bin Qasim berkata “tsiqat” [Lisan Al Mizan juz 2 no 1953]. Daruquthni berkata “tsiqat” [Su’alat As Sulami no 133].
2. Zaid bin Akhraam adalah perawi Bukhari dan Ashabus Sunan. Abu Hatim dan Nasa’i menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan berkata “hadisnya lurus”. Daruquthni dan Maslamah menyatakan tsiqat. Shalih bin Muhammad berkata “shaduq dalam riwayat” [At Tahdzib juz 3 no 725]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat hafizh” [At Taqrib 1/326].
3. Abdul Qaahir bin Syu’aib adalah perawi Abu Dawud dan Tirmidzi. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Shalih Al Jazarah berkata “tidak ada masalah padanya”. [At Tahdzib juz 6 no 705]. Ibnu Hajar berkata “tidak ada masalah padanya” [At Taqrib 1/610]. Telah meriwayatkan darinya sekumpulan perawi tsiqat dan ia telah dita’dilkan oleh Shalih bin Jazarah, Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat maka kedudukannya adalah shaduq hasanul hadis.
4. Hisyaam bin Hasan adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ahmad berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Ma’in menyatakan ia tsiqat. Al Ijli berkata “tsiqat hasanul hadis”. Abu Hatim menyatakan shaduq. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat insya Allah banyak meriwayatkan hadis”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ibnu Syahin memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Utsman bin Abi Syaibah berkata “tsiqat”. Ibnu Adiy berkata “hadis-hadisnya lurus, aku tidak melihat ada hadisnya yang mungkar dan dia shaduq” [At Tahdzib juz 11 no 75].
5. Hasan bin Yasar Al Bashri adalah tabiin perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Hajar berkata “tsiqat faqih memiliki keutamaan masyhur melakukan irsal dan banyak melakukan tadlis” [At Taqrib 1/202]. Para ulama berselisih mengenai riwayat Hasan Al Bashri dari ‘Imran bin Hushain, sebagian mengatakan Hasan tidak mendengar dari ‘Imran dan sebagian lain mengatakan Hasan mendengar dari ‘Imran bin Husahin. Pendapat yang rajih, Hasan Al Bashri telah mendengar dari ‘Imraan bin Hushain buktinya terdapat pada riwayat shahih dalam Musnad Ahmad 4/441 no 19979. Hasan Al Bashri memang disifati dengan tadlis tetapi Ibnu Hajar telah memasukkannya dalam mudallis martabat kedua [Thabaqat Al Mudallisin no 40] yaitu mudallis yang ‘ an anahnya diterima dan dijadikan hujjah dalam kitab shahih.

Selain diriwayatkan oleh Bajaalah bin ‘Abdah dan Hasan Al Bashri, hadis ini juga diriwayatkan oleh Abu Rajaa’ Al Uthaaridiy dari ‘Imraan bin Hushain sebagaimana yang disebutkan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Awsath 2/236 no 1848.

حدثنا أحمد قال حدثنا محمد بن أبي السري العسقلاني قال حدثنا عبد الرزاق قال حدثنا جعفر بن سليمان عن عوف الأعرابي عن أبي رجاء العطاردي عن عمران بن حصين قال توفي رسول الله وهو يبغض ثلاث قبائل ثقيفا وبني حنيفة وبني أمية

Telah menceritakan kepada kami Ahmad yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abi As Sariy Al ‘Asqalaaniy yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazaq yang berkata telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Sulaiman dari ‘Auf Al A’rabiy dari Abi Rajaa’ Al ‘Uthaaridiy dari ‘Imraan bin Hushain yang berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat dan Beliau membenci tiga kabilah Tsaqif, bani Haniifah dan bani Umayyah [Mu’jam Al Awsath Ath Thabraniy 2/236 no 1848].

Hadis ini sanadnya hasan diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat dan shaduq. Ahmad syaikh [guru] Ath Thabrani dalam riwayat ini adalah Ahmad bin Zanjawaih Al Qaththan Al Baghdadiy seorang yang tsiqat.
1. Ahmad bin Zanjawaih Al Baghdadiy dikatakan oleh Adz Dzahabi bahwa ia seorang muhaddis mutqin [As Siyar 14/246 no 150]. Al Khatib berkata “tsiqat” [Tarikh Baghdad 5/268 no 2112]
2. Muhammad bin Abi As Sariy Al ‘Asqallaniy disebutkan oleh Ibnu Hajar kalau ia seorang yang shaduq ‘arif memiliki banyak kesalahan [At Taqrib 2/129]. Adz Dzahabi menyatakan ia tsiqat [Man Tukullima Fiihi Wa Huwa Muwatstsaq no 314].
3. ‘Abdurrazaq bin Hammam seorang yang tsiqat hafizh penulis [mushannaf] yang terkenal, buta pada akhir usianya maka hafalannya berubah dan ia bertasyayyu’ [At Taqrib 1/599].
4. Ja’far bin Sulaiman Adh Dhabiy adalah perawi yang shaduq zuhud dan tasyayyu’ [At Taqrib 1/163]. Adz Dzahabi menyatakan ia tsiqat [Al Kasyf no 792].
5. ‘Auf Al A’rabiy adalah ‘Auf bin Abi Jamilah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/759]. Adz Dzahabi mengutip Nasa’i yang berkata “tsiqat tsabit” [Al Kasyf no 4309].
6. Abu Raja’ Al Uthaaridiy adalah ‘Imraan bin Milhaan perawi kutubus sittah yang tsiqat, seorang mukhadharamun. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 1/753].

Dengan mengumpulkan sanad-sanadnya maka diketahui bahwa yang meriwayatkan dari ‘Imraan bin Hushain adalah Bajaalah bin ‘Abdah, Hasan Al Bashri dan Abu Rajaa’. Ketiga jalan tersebut saling menguatkan sehingga kedudukan hadis ‘Imraan bin Hushain di atas adalah shahih tanpa keraguan sama sekali,

حدثنا أحمد بن إبراهيم الدورقي قال حدثني حجاج بن محمد حدثنا شعبة عن أبي حمزة جارهم عن حميد بن هلال عن عبد الله بن مطرف عن أبي برزة قال كان أبغض الأحياء إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم بنوأمية وثقيف وبنو حنيفة

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Ibrahim Ad Dawraqiiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Hajjaaj bin Muhammad yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Abu Hamzah Jaarihim dari Humaid bin Hilaal dari ‘Abdullah bin Mutharrif dari Abi Barzah yang berkata “kaum yang paling dibenci Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah bani Umayyah, Tsaqiif dan Bani Haniifah” [Musnad Abu Ya’la 13/342 no 7421, Husain Salim Asad berkata “sanadnya hasan”].

Hadis ini juga diriwayatkan dalam Musnad Ahmad 4/420 no 19790 [tanpa menyebutkan bani Umayyah yaitu dengan lafaz “tsaqif dan bani haniifah”], Al Mustadrak Ash Shahihain juz 4 no 8482 [dengan jalan sanad Ahmad bin Hanbal tetapi dengan lafaz “bani Umayyah, bani Haniifah, Tsaqiif], Tarikh Ibnu Abi Khaitsamah 2/742 no 3141 [dengan lafaz “bani fulan, bani fulan dan bani haniifah”] dan Tarikh Ibnu Abi Khaitsamah 2/746 no 3159 [dengan lafaz “bani fulan dan tsaqiif”] semuanya dengan jalan sanad dari Hajjaaj dari Syu’bah dari Abu Hamzah dari Humaid bin Hilal dari ‘Abdullah bin Mutharrif dari Abu Barzah.
1. Ahmad bin Ibrahim Ad Dawraqiiy adalah perawi Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah. Abu Hatim berkata “shaduq”. Al Uqaili berkata “tsiqat”. Al Khalili berkata “ tsiqat muttafaq ‘alaihi”. Ibnu Hibban memasukkan dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 1 no 3]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat hafizh” [At Taqrib 1/29].
2. Hajjaj bin Muhammad Al A’war adalah perawi yang tsiqat. Diantara yang meriwayatkan darinya adalah Ahmad bin Hanbal. Ahmad menyatakan kalau Hajjaj lebih tsabit dari Aswad bin ‘Amir. Ali bin Madini menyatakan Hajjaaj bin Muhammad tsiqat. Abu Hatim menyatakan ia shaduq [Al Jarh Wat Ta’dil juz 3 no 708].
3. Syu’bah bin Hajjaj adalah perawi kutubus sittah yang disepakati tsiqat. Ia seorang hafizh, tsiqat mutqin dan Ats Tsawri menyatakan kalau ia amirul mukminin dalam hadis [At Taqrib 1/418]
4. Abu Hamzaah adalah ‘Abdurrahman bin ‘Abdullah Al Muzanniy termasuk perawi Muslim. Syu’bah telah meriwayatkan darinya, itu berarti menurut Syu’bah ia tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 6 no 443].
5. Humaid bin Hilaal termasuk perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad. Abu Hatim berkata “tsiqat dalam hadis”. Ibnu Ma’in, Nasa’i, Ibnu Sa’ad, Al Ijli menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ibnu Adiy berkata “hadis-hadisnya lurus” [At Tahdzib juz 3 no 87]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat alim” [At Taqrib 1/247].
6. ‘Abdullah bin Mutharrif termasuk perawi Abu Dawud dan Nasa’i, Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq [At Taqrib 1/535]. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 5 no 3565]. Ibnu Khalfun memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan berkata “seorang yang shalih” [Ikmal Mughlathay2/327]. Al Haitsami menyatakan ia tsiqat [Majma’ Az Zawaid 10/64 no 16734]. Ia seorang tabiin [thabaqat ketiga] telah meriwayatkan darinya dua orang perawi tsiqat, Ibnu Hibban dan Ibnu Khalfun memasukkannya dalam Ats Tsiqat maka kedudukan hadisnya hasan.

Hadis Abu Barzah ini kedudukannya hasan dan menjadi syahid [penguat] bagi riwayat ‘Imraan bin Hushain sebelumnya. Pernyataan kedua sahabat tersebut adalah pernyataan yang sifatnya marfu’ karena hal itu dinisbatkan oleh mereka kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].


Pembahasan Matan Riwayat

Riwayat di atas menyebutkan bahwa manusia yang paling dibenci oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah bani Umayyah, bani Haniifah dan bani Tsaqiif. Apakah alasannya? Apakah karena kekafiran mereka?. Rasanya bukan, silakan perhatikan lafaz “Rasulullah wafat dan beliau membenci bani Umayyah, bani Haniifah dan bani Tsaqiif”. Lafaz ini menunjukkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tetap membenci mereka sampai Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat. Jadi kurang tepat kalau diartikan karena kekafiran mereka atau tindakan mereka yang memerangi kaum muslim karena sebelum Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat mereka telah memeluk islam. Bukankah dalam islam dosa ketika kafir tau jahiliyah akan terhapus dengan memeluk islam.

Apakah kebencian itu tertuju kepada semua orang dari bani Umayyah, bani Haniifah dan bani Tsaqiiif?. Jelas tidak, siapapun dari kabilah manapun jika mereka dengan ikhlas mengikuti Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka mustahil bagi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] untuk membencinya. Kebencian Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] pasti memiliki alasan khusus dan apa yang dibenci oleh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka pasti dibenci oleh Allah SWT juga. Secara zahir sebagian bani Umayyah, bani Haniifah dan bani Tsaqiif memang telah memeluk islam tetapi siapakah yang bisa menjamin apa yang ada dalam hati mereka?. Siapakah yang bisa memastikan akan kefasikan atau kekafiran yang mereka sembunyikan?. Siapakah yang bisa mengetahui apa makar yang mereka rencanakan bagi umat islam?. Hanya Allah SWT dan Rasul-Nya yang tahu. Maka kebencian Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] terhadap mereka karena Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] diberitahu mengenai keadaan mereka sebenarnya yang mereka sembunyikan atau makar [kekafiran] yang mereka rencanakan nantinya.

‘Imraan bin Hushain ketika menyampaikan hadis ini kepada Bajaalah ia meminta agar Bajaalah menyimpan hadis ini dan tidak menceritakannya ketika ia masih hidup. Mengapa? Perlu diketahui ‘Imraan bin Hushain wafat pada tahun 52 H yaitu pada masa pemerintahan Muawiyah. Dan bisa dimaklumi kalau Imraan bin Hushain tidak mau hadis ini diceritakan darinya ketika bani Umayyah sedang berkuasa. Jadi dari sikap ‘Imraan bin Hushain tersebut terdapat isyarat bahwa diantara bani Umayyah yang dibenci Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah yang saat itu sedang berkuasa dalam pemerintahan,

حدثنا محمود بن غيلان حدثنا أبو داود الطيالسي حدثنا القاسم بن الفضل الحداني عن يوسف بن سعد قال قام رجل إلى الحسن بن علي بعد ما بايع معاوية فقال سودت وجوه المؤمنين أو يا مسود وجوه المؤمنين فقال لا تؤنبني رحمك الله فإن النبي صلى الله عليه و سلم أري بني أمية على منبره فساءه ذلك فنزلت { إنا أعطيناك الكوثر } يا محمد يعني نهرا في الجنة ونزلت { إنا أنزلناه في ليلة القدر * وما أدراك ما ليلة القدر * ليلة القدر خير من ألف شهر } يملكها بنو أمية يا محمد قال القاسم فعددناها فإذا هي ألف يوم لا يزيد يوم ولا ينقص

Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Ghailan yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Daud Ath Thayalisi yang berkata telah menceritakan kepada kami Al Qasim bin Fadhl Al Huddani dari Yusuf bin Sa’ad yang berkata “Seorang laki-laki datang kepada Imam Hasan setelah Muawiyah dibaiat. Ia berkata “Engkau telah mencoreng wajah kaum muslimin” atau ia berkata “Hai orang yang telah mencoreng wajah kaum mukminin”. Al Hasan berkata kepadanya “Janganlah mencelaKu, semoga Allah merahmatimu, karena Rasulullah SAW di dalam mimpi telah diperlihatkan kepada Beliau bahwa Bani Umayyah di atas Mimbarnya. Beliau tidak suka melihatnya dan turunlah ayat “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadaMu nikmat yang banyak”. Wahai Muhammad yaitu sungai di dalam surga. Kemudian turunlah ayat “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya [Al Qur’an] pada malam kemuliaan . Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?. Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan”. Bani Umayyah akan menguasainya wahai Muhammad. Al Qasim berkata “Kami menghitungnya ternyata jumlahnya genap seribu bulan tidak kurang dan tidak lebih” [Sunan Tirmidzi 5/444 no 3350].

Hadis ini juga diriwayatkan Al Hakim dalam Mustadrak Ash Shahihain 3/187 no 4796, Al Baihaqi dalam Dala’il An Nubuwwah 6/510-511, dan Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir 3/89 no 2754 semuanya dengan jalan sanad dari Qasim bin Fadhl dari Yusuf bin Sa’ad atau Yusuf bin Mazin Ar Rasibiy. Hadis ini sanadnya shahih. Para perawinya tsiqat, Yusuf bin Sa’ad adalah Yusuf bin Mazin Ar Rasibi adalah perawi yang tsiqat, tidak benar yang mengatakan ia majhul.
1. Mahmud bin Ghailan. Ibnu Hajar menyebutkan dalam At Tahdzib bahwa ia adalah perawi Bukhari Muslim, Tirmidzi, An Nasa’i dan Ibnu Majah. Disebutkan pula bahwa ia meriwayatkan hadis dari Abu Daud Ath Thayalisi dan dinyatakan tsiqat oleh Maslamah, Ibnu Hibban dan An Nasa’i [At Tahdzib juz 10 no 109]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 2/164].
2. Abu Daud At Thayalisi. Namanya adalah Sulaiman bin Daud, Ibnu Hajar menyebutkan dalam At Tahdzib bahwa ia adalah perawi Bukhari dalam Ta’liq Shahih Bukhari, Muslim dan Ashabus Sunan. Sulaiman bin Daud telah dinyatakan tsiqat oleh banyak ulama diantaranya Amru bin Ali, An Nasa’i, Al Ajli, Ibnu Hibban, Ibnu Sa’ad Al Khatib dan Al Fallas [At Tahdzib juz 4 no 316]. Ibnu Hajar menyatakan bahwa ia seorang hafiz yang tsiqat [At Taqrib 1/384].
3. Al Qasim bin Fadhl. Ibnu Hajar menyebutkan ia adalah perawi Bukhari Muslim dan Ashabus Sunan. Al Qasim bin Fadhl meriwayatkan hadis dari Yusuf bin Sa’ad dan telah meriwayatkan darinya Abu Daud Ath Thayalisi. Beliau telah dinyatakan tsiqat oleh banyak ulama diantaranya Yahya bin Sa’id, Abdurrahman bin Mahdi, Ibnu Ma’in, Ahmad, An Nasa’i, Ibnu Sa’ad, At Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Ibnu Syahin [At Tahdzib juz 8 no 596]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 2/22]
3. Yusuf bin Sa’ad atau Yusuf bin Mazin Ar Rasibi. Ibnu Hajar menyebutkan bahwa ia adalah perawi Tirmidzi dan Nasa’i telah meriwayatkan hadis dari Imam Hasan. Ibnu Hajar juga mengatakan bahwa Ibnu Main telah menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 11 no 707] Ibnu Hajar menyatakan bahwa Yusuf bin Sa’ad Al Jumahi atau Yusuf bin Mazin tsiqat [At Taqrib 2/344]. Adz Dzahabi berkata “tsiqat” [Al Kasyf no 6434].

Ada ulama yang berusaha melemahkan hadis ini [seperti Ibnu Katsir dan syaikh Al Albaniy] dengan alasan idhthirab pada sanadnya seperti yang ditunjukkan dalam riwayat Ath Thabari dengan sanad berikut:

حدثني أبو الخطاب الجاروديّ سهيل قال ثنا سَلْم بن قُتيبة قال ثنا القاسم بن الفضل عن عيسى بن مازن

Telah menceritakan kepada kami Abu Khaththaab Al Jaaruudiy Suhail yang berkata telah menceirtakan kepada kami Salam bin Qutaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Qaasim bin Fadhl dari ‘Isa bin Maazin-riwayatdi atas- [Tafsir Ath Thabari 24/533].

Menjadikan hadis ini sebagai bukti idhthirab pada sanadnya adalah keliru. Hadis riwayat Thabari ini mengandung illat [cacat]. Perawinya melakukan kesalahan dalam menyebutkan namanya, nama yang benar adalah Yusuf bin Maazin sebagaimana disebutkan dalam riwayat Baihaqi, Al Hakim dan Ath Thabraniy.
1. Abul Khaththab adalah Suhail bin Ibrahim Al Jaruudiy biografinya disebutkan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat dan ia berkata “sering keliru” [Ats Tsiqat juz 8 no 13549].
2. Salam bin Qutaibah Abu Qutaibah adalah perawi yang tsiqat shaduq. Ibnu Ma’in berkata “tidak ada masalah padanya”. Abu Zur’ah berkata “tsiqat”. Abu Hatim berkata “tidak ada masalah, banyak melakukan kesalahan dan ditulis hadisnya” [Al Jarh Wat Ta’dil 4/266 no 1147]. Abu Qutaibah tidak bisa dijadikan pegangan jika menyelisihi perawi tsiqat lain, dalam hadis ini ia menyelisihi Abu Dawud Ath Thayalisi dan Musa bin Ismail perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit [At Taqrib 2/220]. Dimana keduanya telah meriwayatkan dari Qasim bin Fadhl dari Yusuf bin Mazin Ar Rasibiy bukan Isa bin Mazin [riwayat Al Hakim dan Baihaqi].

Jadi penyebutan nama Isa bin Mazin dalam riwayat Thabari di atas adalah salah dan kesalahan ini bisa berasal dari perawinya yaitu Abul Khaththab atau dari Abu Qutaibah. Nama yang benar dalam riwayat yang mahfuzh adalah Yusuf bin Mazin bukan Isa bin Mazin.

Hadis Imam Hasan di atas menjadi petunjuk yang menjelaskan mengapa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] membenci bani Umayyah yaitu disebabkan bani Umayyah ini akan menguasai mimbar Nabi [pemerintahan] dan ternyata pemerintahan mereka sebagian besar dikenal kezalimannya termasuk Muawiyah bin ‘Abu Sufyan, sehingga tidak heran kalau Rasulullah tidak menyukai pemerintahan Muawiyah [seperti yang tertera dalam hadis Imam Hasan di atas] bahkan diriwayatkan kalau Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mencela Muawiyah,

حدثني إبراهيم بن العلاف البصري قال سمعت سلاماً أبا المنذر يقول قال عاصم بن بهدلة حدثني زر بن حبيش عن عبد الله بن مسعود قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا رأيتم معاوية بن أبي سفيان يخطب على المنبر فاضربوا عنقه

Telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin Al Alaf Al Bashri yang berkata aku telah mendengar dari Sallam Abul Mundzir yang berkata telah berkata Ashim bin Bahdalah yang berkata telah menceritakan kepadaku Zirr bin Hubaisy dari Abdullah bin Mas’ud yang berkata Rasulullah SAW bersabda “Jika kamu melihat Muawiyah bin Abi Sufyan berkhutbah di mimbarKu maka tebaslah lehernya” [Ansab Al Asyraf 5/130 sanadnya hasan].

Riwayat di atas sanadnya hasan. Diriwayatkan oleh para perawi yang shaduq dan tsiqat sedangkan Al Baladzuri penulis Ansab Al Asyraf adalah seorang hafizh allamah yang kitabnya dijadikan hujjah oleh para ulama diantaranya Ibnu Hajar.

Adz Dzahabi menyebut Al Baladzuri seorang penulis Tarikh yang masyhur satu thabaqat dengan Abu Dawud, seorang Hafizh Akhbari Allamah [Tadzkirah Al Huffazh 3/893]. Di sisi Adz Dzahabi penyebutan hafizh termasuk ta’dil yaitu lafaz ta’dil tingkat pertama. Disebutkan Ash Shafadi kalau Al Baladzuri seorang yang alim dan mutqin [Al Wafi bi Al Wafayat 3/104]. Tidak ada alasan untuk menolak atau meragukan Al Baladzuri, Ibnu Hajar telah berhujjah dengan riwayat-riwayat Al Baladzuri dalam kitabnya diantaranya dalam Al Ishabah, Ibnu Hajar pernah berkata “dan diriwayatkan oleh Al Baladzuri dengan sanad yang la ba’sa bihi” [Al Ishabah 2/98 no 1767].

Penghukuman sanad la ba’sa bihi [tidak ada masalah] oleh Ibnu Hajar berarti di sisi Ibnu Hajar Al Baladzuri mendapat predikat ta’dil atau tidak ada masalah padanya. Soal kedekatan kepada penguasa itu tidaklah merusak hadisnya karena banyak para ulama yang dikenal dekat dengan penguasa tetapi tetap dijadikan hujjah seperti Az Zuhri dan yang lainnya. Para ulama baik dahulu maupun sekarang tetap menjadikan kitab Al Balazuri sebagai sumber rujukan baik sirah ansab maupun hadis.
1. Ibrahim bin Al Alaf Al Bashri adalah Ibrahim bin Hasan Al Alaf Al Bashri seorang yang tsiqat. Abu Zur’ah berkata “ia seorang syaikh yang tsiqat” [Al Jarh Wat Ta’dil 2/92 no 242]. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 8 no 12325].
2. Sallaam bin Sulaiman Al Mudzanniy Abul Mundzir adalah perawi Tirmidzi dan Nasa’i. Hammad bin Salamah berkata “Sallam Abul Mundzir lebih hafal hadis Ashim dari Hammad bin Zaid”. Abu Hatim berkata “shaduq shalih al hadits”. Abu Dawud berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat menyatakan ia sering keliru dan shaduq. [At Tahdzib juz 4 no 499]. Ibnu Hajar berkata “shaduq yahim” dan dikoreksi dalam At Tahrir kalau ia seorang yang shaduq hasanul hadis [Tahrir At Taqrib no 2705]. Adz Dzahabi memasukkannya dalam Man Tukullima fiihi wa Huwa Muwatstaq no 139 menyatakan ia tsabit dalam qira’ah dan laba’sa bihi dalam hadis. Pendapat yang rajih ia seorang yang shaduq, pembicaraan terhadapnya terkait dengan hafalannya dan itu tidak menurunkan hadisnya dari derajat hasan apalagi hadis di atas adalah hadis riwayatnya dari Ashim dimana ia lebih hafal hadis Ashim dari Hammad bin Zaid.
3. Ashim bin Bahdalah adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Syu’bah meriwayatkan darinya yang berarti ia tsiqat di sisi Syu’bah. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat tetapi banyak melakukan kesalahan dalam hadis”. Ahmad menyatakan ia shalih tsiqat. Ibnu Ma’in berkata “tidak ada masalah padanya”. Al Ijli berkata “tsiqat”. Yaqub bin Sufyan berkata “dalam hadisnya ada idhthirab dan dia seorang yang tsiqat”. Abu Hatim menyatakan shalih. Abu Zur’ah menyatakan tsiqat. Nasa’i berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Hibban dan Ibnu Syahin memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Daruquthni berkata “dalam hafalannya ada sesuatu”. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq dan pernah salah kemudian dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau Ashim bin Bahdalah seorang yang tsiqat pernah salah dan ia hasanul hadits [Tahrir At Taqrib 3054]. Adz Dzahabi memasukkannya dalam Man Tukullima Fiihi Wa Huwa Muwatstsaq no 171 dan menyatakan ia shaduq hasanul hadis.
4. Zirr bin Hubaisy adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in berkata “tsiqat”. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat banyak meriwayatkan hadis”. Al Ijli menyatakan “ia termasuk sahabat Ali dan Abdullah, tsiqat” [At Tahdzib juz 3 no 597]. Ibnu Hajar menyatakan ia seorang mukhadhramun yang tsiqat [At Taqrib 1/311]

Hadis di atas menunjukkan kalau Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] begitu mengecam pemerintahan Muawiyah. Lafaz “berkhutbah di mimbarku” menunjukkan kekuasaan Muawiyah terhadap umat islam. Tidak perlu disebutkan satu persatu contoh kezaliman yang muncul pada pemerintahan Muawiyah [hal itu sudah pernah dibahas di thread yang lain]. Mereka yang mengingkari kezaliman Muawiyah adalah orang buta yang mengingkari cahaya hanya karena ia buta.


Muawiyah dan Pengikutnya Meninggalkan Sunnah Karena Kebencian Terhadap Imam Ali?

Percayakah anda bahwa ada orang yang meninggalkan sunnah karena kebenciannya terhadap Imam Ali. Mau percaya atau tidak semuanya terserah kepada anda sendiri, saya hanya menampilkan riwayat yang memang menyebutkan hal yang demikian,

أخبرنا أبو الحسن محمد بن الحسين العلوي أنبأ عبد الله بن محمد بن الحسن بن الشرقي ثنا علي بن سعيد النسوي ثنا خالد بن مخلد ثنا علي بن صالح عن ميسرة بن حبيب النهدي عن المنهال بن عمرو عن سعيد بن جبير قال كنا عند بن عباس بعرفة فقال يا سعيد ما لي لا أسمع الناس يلبون فقلت يخافون معاوية فخرج بن عباس من فسطاطه فقال لبيك اللهم لبيك وإن رغم أنف معاوية اللهم العنهم فقد تركوا السنة من بغض علي رضي الله عنه

Telah mengabarkan kepada kami Abu Hasan Muhammad bin Husein Al ‘Alawiy yang berkata telah memberitakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad bin Hasan bin Asy Syarqiy yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Sa’id A Nasawiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Khalid bin Makhlad yang berkata menceritakan kepada kami ‘Ali bin Shalih dari Maisarah bin Habiib An Nahdiy dari Minhal bin ‘Amru dari Sa’id bin Jubair yang berkata “kami di sisi Ibnu Abbas di ‘Arafah, dan ia berkata “wahai Sa’id kenapa aku tidak mendengar orang-orang bertalbiyah, aku berkata “mereka takut kepada Mu’awiyah”. Maka Ibnu Abbas keluar dari tempatnya dan berkata “labbaikallahumma labbaik, dan celaka [terhinalah] Mu’awiyah, ya Allah laknatlah mereka, mereka meninggalkan sunnah karena kebencian terhadap Ali radiallahu ‘anhu [Sunan Baihaqi 5/113 no 9230].

Hadis ini sanadnya hasan. Para perawinya tsiqat kecuali Khalid bin Makhlad dia salah satu syaikh [guru] Bukhari yang diperbincangkan tetapi perbincangan itu tidak menurunkan hadisnya dari tingkatan hasan. Pendapat yang rajih Khalid bin Makhlad seorang yang shaduq hasanul hadits.
1. Abul Hasan Muhammad bin Husein bin Dawud bin ‘Ali Al ‘Alawiy An Naisaburi. Adz Dzahabi menyebutnya Imam Sayyid Muhaddis Shaduq Musnad Khurasan [Siyar ‘Alam An Nubala 17/98 no 60]. Dia adalah guru Baihaqi yang utama dimana Baihaqi telah menshahihkan hadisnya [Sunan Baihaqi 5/142 no 9408]. Pernyataan Baihaqi kalau sanadnya shahih berarti Baihaqi menganggap Abu Hasan Al ‘Alawiy seorang yang tsiqat.
2. ‘Abdullah bin Muhammad bin Hasan bin Asy Syarqiy termasuk seorang yang tsiqat dalam hadis. As Sam’aniy berkata “ia dalam hadis seorang yang tsiqat dan ma’mun” [Al Ansab As Sam’aniy 3/149]. Al Khalili menyatakan ia tidak kuat [Al Irsyad 2/471] tetapi jarh ini tidak memiliki alasan atau jarh mubham apalagi jarh laisa bil qawiy adalah jarh yang ringan dan bisa diartikan sebagai perawi yang hasanul hadits [tidak sampai ke derajat shahih]. Adz Dzahabi mengatakan kalau ia shahih pendengarannya [dalam hal hadis] dari Adz Dzahili dan yang satu thabaqat dengannya dan ia diperbincangkan karena sering meminum minuman yang memabukkan [Mizan Al I’tidal juz 2 no 4664]. Tetapi tuduhan ini masih perlu diteliti kembali karena besar kemungkinan yang diminum adalah nabiidz.
3. Ali bin Sa’id An Nasawiy Abu Hasan dia seorang yang tsiqat dan tinggal di Naisabur ia mendengar hadis dari Abu Dawud, Abdus Shamad bin Abdul Warits dan Abu Ashim, telah mendengar darinya Ibnu Abi Khaitsamah [Al Irsyad Al Khalili 2/443].
4. Khalid bin Makhlad Al Qazhwaniy adalah perawi Bukhari [termasuk guru Bukhari], Muslim, Abu Dawud dalam Musnad Malik, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah. Ahmad berkata ia memiliki hadis-hadis mungkar. Abu Hatim berkata “ditulis hadisnya”. Abu Dawud menyatakan ia shaduq tasyayyu’. Ibnu Ma’in menyatakan tidak ada masalah padanya [yang berarti tsiqat]. Ibnu Adiy berkata “ia termasuk yang memiliki banyak riwayat, di sisiku insya Allah tidak ada masalah padanya”. Ibnu Sa’ad menyatakan ia mungkar al hadits dan berlebihan dalam tasyayyu’. Al Ijli berkata “ia tsiqat dan sedikit tasyayyu’ serta banyak meriwayatkan hadis”. Shalih bin Muhammad berkata “ia tsiqat dalam hadis hanya saja dituduh ghuluw”. Al Azdiy berkata “di dalam hadisnya terdapat sebagian yang kami ingkari tetapi di sisi kami ia termasuk orang yang jujur”. Ibnu Syahin memasukkannya dalam Ats Tsiqat dimana Utsman bin Abi Syaibah berkata “tsiqat shaduq”. As Saji dan Al Uqaili memasukkanya dalam Adh Dhu’afa dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 3 no 221]. Ibnu Hajar berkata “dia shaduq tasyayyu’ dan memiliki riwayat afrad” [At Taqrib 1/263]. Adz Dzahabi berkata “Syaikh [guru] Bukhari yang syiah shaduq” [Man Tukullima Fiihi Wa Huwa Muwatstsaq no 100].
5. ‘Ali bin Shalih bin Shalih bin Hay Al Hamdaniy adalah perawi Muslim dan Ashabus Sunan. Ahmad, Ibnu Ma’in, Nasa’i menyatakan ia tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Ijli menyatakan ia tsiqat. Utsman Ad Darimi dari Ibnu Ma’in berkata “tsiqat ma’mun”. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat insya Allah hadisnya sedikit” [At Tahdzib juz 7 no 561]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat dan ahli ibadah [At Taqrib 1/696].
6. Maisarah bin Habib An Nahdiy termasuk perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i. Telah meriwayatkan darinya Syu’bah [itu berarti menurut Syu’bah ia tsiqat]. Ahmad, Ibnu Ma’in, Al Ijli dan Nasa’i menyatakan ia tsiqat. Abu Dawud berkata “ma’ruf [dikenal]”. Abu Hatim berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib juz 10 no 691]. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq [At Taqrib 2/232]. Adz Dzahabi menyatakan “tsiqat” [Al Kasyf no 5752].
7. Minhal bin ‘Amru Al Asdiy termasuk perawi Bukhari dan Ashabus Sunan. Ibnu Ma’in, Nasa’i, Al Ijli menyatakan tsiqat. Daruquthni menyatakan ia shaduq. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Abdullah bin Ahmad berkata aku mendengar ayahku mengatakan Syu’bah meninggalkan Minhal bin ‘Amru. Wahab bin Jarir dari Syu’bah yang berkata “aku datang ke rumah Minhal kemudian aku mendengar suara tambur maka aku kembali tanpa bertanya kepadanya. Wahab bin Jarir berkata “bukankah sebaiknya kau bertanya padanya, bisa saja ia tidak mengetahui hal itu”. [At Tahdzib juz 10 no 556]. Ibnu Hajar menyatakan shaduq dikatakan pernah salah [At Taqrib 2/216].
8. Sa’id bin Jubair termasuk perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Ia adalah tabiin murid Ibnu Abbas yang terkenal. Abu Qasim At Thabari berkata “ia tsiqat imam hujjah kaum muslimin”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan berkata “ia seorang yang faqih ahli ibadah memiliki keutamaan dan bersifat wara’. [At Tahdzib juz 4 no 14]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat tsabit faqih” [At Taqrib 1/349].

Sudah jelas kalau hadis ini sanadnya hasan. Sebagian orang berusaha melemahkan hadis ini dengan melemahkan Abu Muhammad Asy Syarqi Abdullah bin Muhammad bin Hasan karena ia sering minum minuman yang memabukkan [muskir]. Anehnya jika mereka konsisten maka seharusnya mereka juga melemahkan dan menolak para sahabat yang meminum khamar seperti Mu’awiyah dan Walid bin Uqbah. Kenyataannya mereka tetap menerima riwayat kedua sahabat tersebut.

Dan bagi mereka yang akrab dengan kitab rijal maka hal-hal seperti ini cukup ma’ruf [dikenal ] yaitu terdapat beberapa perawi yang tetap dita’dilkan oleh ulama walaupun ia meminum minuman yang memabukkan. Hamzah As Sahmiy mendengar Abu Zur’ah Muhammad bin Yusuf Al Junaidiy pernah berkata tentang perawi yang bernama Ma’bad bin Jum’ah “ia tsiqat hanya saja ia memimum minuman yang memabukkan” [Tarikh Al Jurjani no 951]. Kemudian terkait dengan lafaz yang digunakan dalam kitab rijal, lafaz tersebut bukan “khamar” tetapi “muskir” dimana pada lafaz ini terdapat ulama yang mengatakan kalau yang mereka minum adalah nabiidz. Dan memang nabiidz ini dperselisihkan oleh sebagian ulama kedudukannya. Terdapat para ulama yang menghalalkan nabidz diantaranya An Nakhaiy dan ulama irak lainnya kemudian tetap banyak para ulama yang menta’dil mereka.

Hadis Ibnu ‘Abbas di atas juga dikuatkan oleh jalur lain yang tidak melewati Abu Muhammad Asy Syarqiy dari ‘Ali bin Sa’id dari Khalid bin Makhlad. Ali bin Sa’id An Nasawiy dalam periwayatannya dari Khalid bin Makhlad memiliki mutaba’ah yaitu Ahmad bin Utsman bin Hakim Al Kufy sebagaimana yang disebutkan dalam Sunan Nasa’i 2/419 no 3993 dimana Ahmad bin Utsman bin Hakin seorang yang tsiqat [At Taqrib 1/42]. Selain itu Ali bin Sa’id juga memiliki mutaba’ah dari Ali bin Muslim As Sulamiy sebagaimana disebutkan dalam Shahih Ibnu Khuzaimah 4/260 no 2830. Ali bin Muslim As Sulamiy adalah syaikh [guru] dari Ibnu Khuzaimah dimana Ibnu Khuzaimah menyebutnya Syaikh Al Faqih Al Imam dan menyatakan hadisnya shahih. Hadis ini juga disebutkan Al Hakim dalam Al Mustadrak no 1706 dengan jalan sanad dari Ahmad bin Haazim Al Ghifari dan Ali bin Muslim keduanya dari Khalid bin Makhlad dari Ali bin Mushir dari Maisarah bin Habib dari Minhal bin ‘Amru dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas. [mungkin disini terjadi tashif dalam sanad Al Hakim yang benar bukan Ali bin Mushir tetapi Ali bin Shalih].


Penjelasan Singkat Hadis

Atsar Ibnu Abbas ini mengabarkan kepada kita situasi yang terjadi di zaman pemerintahan Mu’awiyah. Tampak bahwa pada masa itu terdapat orang-orang yang takut kepada Muawiyah sehingga mereka enggan bertalbiyah padahal itu termasuk sunnah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Dari riwayat ini maka kita dapat memahami bahwa Mu’awiyah telah melarang orang-orang untuk bertalbiyah di arafah dengan maksud menyelisihi Imam Ali yang teguh melaksanakan sunnah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Jadi wajarlah kalau orang-orang tersebut takut kepada Muawiyah.

Sikap Muawiyah dan para pengikutnya inilah yang diingkari oleh Ibnu Abbas dimana Ibnu Abbas menyebutnya sebagai “meninggalkan sunnah karena kebencian terhadap Imam Ali”. Hal yang seperti ini memang patut diingkari dan menunjukkan kepada kita bahwa memang Muawiyah dan pengikutnya konsisten untuk menunjukkan kebencian kepada Ahlul Bait sampai-sampai mereka rela meninggalkan sunnah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan melarang orang melakukannya.


Hadis Semoga Allah Tidak Mengenyangkan Perut Muawiyah

Hadis ini termasuk hadis shahih yang menjadi korban distorsi sebagian ulama sepanjang masa. Apalagi di zaman sekarang distorsi ini menjadi begitu nyata di kalangan para pengikut salafiyun. Mengapa? Karena hadis ini secara zahir mengandung celaan kepada sahabat yang dipuja-puja pengikut salafy yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan. Distorsi yang agak luar biasa karena hadis yang menjadi celaan bagi Muawiyah disulap menjadi hadis keutamaan Muawiyah. Distorsi ini bisa jadi dibuat untuk membantah sebagian orang dari kalangan syiah yang menjadikan hadis ini sebagai celaan bagi Muawiyah. Kali ini kami akan membahas secara objektif bagaimana sebenarnya makna hadis ini,

حدثنا محمد بن المثنى العنزي ح وحدثنا ابن بشار ( واللفظ لابن المثنى ) قالا حدثنا أمية بن خالد حدثنا شعبة عن أبي حمزة القصاب عن ابن عباس قال كنت ألعب مع الصبيان فجاء رسول الله صلى الله عليه و سلم فتواريت خلف باب قال فجاء فحطأني حطأة وقال اذهب وادع لي معاوية قال فجئت فقلت هو يأكل قال ثم قال لي اذهب فادع لي معاوية قال فجئت فقلت هو يأكل فقال لا أشبع الله بطنه

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mutsanna Al ‘Anziy dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Basyaar [dan lafaz ini adalah lafaz Ibnu Mutsanna] keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Umayyah bin Khalid yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Abu Hamzah Al Qashaab dari Ibnu Abbas yang berkata “aku bermain bersama anak-anak kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang, aku bersembunyi di belakang pintu. Beliau datang dan menepuk pundakku seraya berkata “pergi dan panggilkan Muawiyah kepadaku”. Maka aku kembali dan berkata “ia sedang makan”. Kemudian Beliau berkata “pergi dan panggilkan Muawiyah kepadaku”. Maka aku kembali kepada Beliau dan berkata “ia sedang makan”. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “semoga Allah tidak mengenyangkan perutnya” [Shahih Muslim 4/2010 no 2604].

Hadis dengan lafaz doa Rasullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini juga disebutkan dalam Musnad Abu Dawud Ath Thayalisi 1/359 no 2746, Dalail Nubuwwah Al Baihaqi 6/242-243, Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 5/134, dan Thabaqat Al Muhaddisiin Abu Syaikh no 245 hanya saja dalam riwayat Abu Syaikh kata Muawiyah diganti dengan “fulan”.

Kemudian kisah ini juga disebutkan dalam Musnad Ahmad 1/240 no 2150, 1/291 no 2651, 1/335 no 3104, Adh Dhu’afa Al Uqaili 3/299 no 1306 dan Asy Syari’ah Al Ajurriy 5/149 no 1873 tanpa menyebutkan lafaz doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut. Dalam sebagian riwayat seperti riwayat Ath Thayalisi, Ahmad, Baihaqi, Al Uqaili dan Al Ajurriy disebutkan kalau Muawiyah adalah penulis [wahyu] bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.


Pembahasan Matan Hadis

Siapapun yang membaca hadis ini dengan baik maka akan melihat bahwa hadis ini menceritakan suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang ada keperluan dengan Muawiyah, untuk itu Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Ibnu Abbas agar memanggil Muawiyah. Ternyata saat itu Muawiyah sedang makan, seyogianya tentu seorang muslim yang baik pengikut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih mengutamakan panggilan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tetapi Muawiyah malah lebih meneruskan makannya. Setelah beberapa saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kembali mengutus Ibnu Abbas untuk memanggil Muawiyah ternyata Muawiyah juga masih sedang makan dan ia lebih memilih meneruskan makannya daripada memenuhi panggilan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena kelakuan Muawiyah ini maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “semoga Allah tidak mengenyangkan perutnya”.

Kisah ini jelas menunjukkan sikap Muawiyah yang aneh [baca: tidak layak ] di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Apalagi dalam sebagian riwayat disebutkan kalau Muawiyah adalah penulis wahyu. Apakah begitu seharusnya sikap penulis wahyu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memanggilnya?. Bagaimana mungkin ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memanggilnya berkali-kali, ia masih saja enggan memenuhi panggilan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan lebih meneruskan makannya. Tidak bisakah menghentikan makan barang sejenak demi Allah SWT dan Rasul-Nya!. Terdapat perbedaan yang cukup nyata antara sikap Muawiyah dengan sikap sebagian sahabat Nabi lain yang bergegas mengikuti dan memenuhi panggilan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh sebab itu sangat wajar kalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan Muawiyah agar Allah SWT tidak mengenyangkan perutnya.


Pembelaan Syaikh Al Albaniy

Sebagian ulama berusaha membela Muawiyah dengan menyulap hadis ini sebagai keutamaan bagi Muawiyah. Keutamaan yang dimaksud adalah Muawiyah sebagai penulis wahyu bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Diantaranya Syaikh Al Albani berkata:

و قد يستغل بعض الفرق هذا الحديث ليتخذوا منه مطعنا في معاوية رضي الله عنه ،و ليس فيه ما يساعدهم على ذلك ، كيف و فيه أنه كان كاتب النبي صلى الله عليه وسلم ؟ ! و لذلك قال الحافظ ابن عساكر ( 16 / 349 / 2 ) ” إنه أصح ما ورد في فضل معاوية ” فالظاهر أن هذا الدعاء منه صلى الله عليه وسلم غير مقصود ، بل هو ما جرت به عادة العرب في وصل كلامها بلا نية كقوله صلى الله عليه وسلم في بعض نسائه ” عقرى حلقى ” و ” تربت يمينك ” . و يمكن أن يكون ذلك منه صلى الله عليه وسلم بباعث البشرية التي أفصح عنها هو نفسه عليه السلام في أحاديث كثيرة متواترة

Sebagian kelompok berpegang pada hadis ini untuk mencela Muawiyah padahal hadis ini tidaklah mendukung apa yang mereka katakan. Bagaimana tidak, karena didalam hadis itu ternyata Muawiyah adalah juru tulis [penulis] Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam?, Oleh sebab itu Al Hafizh Ibnu Asakir berkata “ini adalah hadis tershahih tentang keutamaan Muawiyah” [2/349/16]. Maka secara zahir bahwa doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak dimaksudkan untuk mencela. Ini hanya merupakan kebiasaan orang arab untuk mengatakan perkataan yang tidak diniatkan. Seperti perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada sebagian istrinya “kemandulanku adalah nasib malangku” atau “tangan kananmu berdebu”. Mungkin hal seperti ini termasuk bahasa khas Beliau sebagai manusia yang nampak dalam banyak hadis lagi mutawatir [Silsilah Ahadits Ash Shahihah Syaikh no 82].

Pernyataan syaikh Al Albani tentu akan diaminkan oleh mereka yang tidak memahami riwayat tersebut dengan baik dan mereka yang cenderung suka membela keburukan Muawiyah. Mengenai perkataan syaikh kalau Muawiyah adalah juru tulis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka memang itulah yang nampak dalam riwayat tersebut tetapi ini tidaklah membuat Muawiyah menjadi kebal akan aib dan sifat-sifat tercela. Keduanya adalah entitas yang berbeda. Nampak dalam zahir riwayat di atas kalau sikap Muawiyah sebagai juru tulis Nabi sangatlah tidak layak. Bagaimana mungkin mau dikatakan layak, jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkali-kali memanggil Muawiyah tetapi Muawiyah malah lebih meneruskan makannya?. Bukankah nampak dalam riwayat ini kalau Muawiyah sang juru tulis lebih mementingkan makan daripada memenuhi panggilan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Itukah yang disebut keutamaan?.

Kedudukan Muawiyah sebagai salah satu dari juru tulis Nabi sama halnya dengan kedudukan Muawiyah sebagai salah seorang sahabat Nabi. Jika sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saja tidak terlepas dari beberapa sifat buruk atau tercela maka begitu pula halnya juru tulis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Bukankah masyhur dalam sejarah seorang sahabat yang menjadi penulis wahyu yaitu Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh yang pernah murtad di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan juga terbukti dalam hadis shahih salah seorang juru tulis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendapat azab dari Allah SWT,

عن أنس بن مالك قال كان منا رجل من بني النجار قد قرأ البقرة وآل عمران وكان يكتب لرسول الله صلى الله عليه و سلم فانطلق هاربا حتى لحق بأهل الكتاب قال فرفعوه قالوا هذا قد كان يكتب لمحمد فأعجبوا به فما لبث أن قصم الله عنقه فيهم فحفروا له فواروه فأصبحت الأرض قد نبذته على وجهها ثم عادوا فحفروا له فواروه فأصبحت الأرض قد نبذته على وجهها ثم عادوا فحفروا له فواروه فأصبحت الأرض قد نبذته على وجهها فتركوه منبوذا

Dari Anas bin Malik yang berkata “di antara kami ada seorang laki-laki dari Bani Najjar yang telah membaca surah Al Baqarah dan surah Ali Imran dan ia seorang penulis wahyu untuk Rasulullah SAW. Kemudian ia pergi melarikan diri dan bergabung bersama Ahli Kitab yang menyanjungnya. Mereka berkata ”Orang ini pernah menjadi penulis wahyu bagi Muhammad” sehingga mereka pun mengaguminya. Tidak beberapa lama kemudian Allah menimpakan bencana pada orang itu hingga kematiannya. Mereka para ahli kitab menggali kuburan untuknya dan menguburkannya. Keesokan harinya bumi telah memuntahkan jasad orang itu ke permukaan. Mereka ahli kitab itu pun menggali kuburan kembali dan menguburkannya tetapi keesokan harinya bumi kembali memuntahkan jasad orang itu. Lagi-lagi mereka menggali kuburan dan menguburkan jasad orang itu dan begitu pula keesokan harinya bumi memuntahkan kembali jasad tersebut. Akhirnya mereka ahli kitab membiarkan jasad orang itu terbuang. [Shahih Muslim 4/ 2145 no 14].

Jadi keutamaan sebagai juru tulis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bukan keutamaan yang mutlak tetapi terikat dengan akhlak orang tersebut. Jika akhlak perbuatannya baik maka kedudukan itu menjadi keutamaan baginya jika tidak maka kedudukan itu tidak menjadi keutamaan apa-apa baginya. Sejarah mencatat kalau Mughirah bin Syu’bah juga dikenal sebagai salah satu juru tulis [penulis] Nabi tetapi sejarah juga membuktikan bahwa Mughirah adalah salah satu sahabat yang berkhutbah mencaci Imam Ali di atas mimbar, padahal terdapat hadis shahih kalau mencaci Ali berarti mencaci Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ini salah satu contoh kedudukan seseorang sebagai juru tulis Nabi tidak mencegahnya untuk melakukan perbuatan tercela.

Diantara sebagian orang juga ada yang berlebihan dengan logika piciknya kalau mencela Muawiyah dimana ia penulis wahyu berarti menodai kesucian Al Qur’an sebagai wahyu. Bagaimana mungkin wahyu ditulis oleh orang yang tercela?. Tidak perlu susah untuk menjawab logika parah seperti ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak hanya punya satu juru tulis Muawiyah, Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam punya banyak juru tulis [penulis]. Siapapun di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang memiliki kemampuan baca tulis akan mendapat kedudukan sebagai juru tulis Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Seandainya salah satu juru tulis tercela atau menjadi murtad maka tidak akan menodai tulisan atau wahyu yang ia tulis karena telah masyhur kalau wahyu ditulis oleh banyak sahabat. Apalagi jika dikatakan bagaimana mungkin wahyu ditulis oleh orang tercela, lha itu sama saja dengan perkataan bagaimana mungkin wahyu dibaca oleh orang tercela?. Jawabannya ya mungkin mungkin saja, gak ada korelasi khusus kalau ia penulis atau pembaca wahyu maka ia akan suci dari sifat-sifat tercela, semuanya kembali kepada manusianya masing-masing.

Mengenai perkataan syaikh kalau doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu tidak dimaksudkan untuk mencela dalam arti tidak diniatkan oleh Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam atau hanya sekedar bahasa gaya orang arab maka kami katakan perkataan ini keliru sama sekali. Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini maqbul sebagaimana yang disebutkan dalam salah satu riwayat diantaranya:

حدثنا أبو صالح الفراء ومحمد بن حاتم وإسحاق قالوا حدثنا الحجاج بن محمد الأعور حدثنا شعبة عن أبي حمزة قال سمعت ابن عباس يقول مر بي رسول الله صلى الله عليه وسلم وأنا ألعب مع الغلمان فاختبأت منه خلف باب فدعاني فحطأني حطأة ثم بعثني إلى معاوية فرجعت إليه فقلت هو يأكل، ثم بعثني إليه فقلت هو يأكل بعد فقال النبي صلى الله عليه وسلم لا أشبع الله بطنه قال أبو حمزة فكان معاوية بعد ذلك لا يشبع

Telah menceritakan kepada kami Abu Shalih Al Faraa’ dan Muhammad bin Haatim dan Ishaq [mereka] berkata telah menceritakan kepada kami Al Hajjaaj bin Muhammad Al A’war yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Abi Hamzah yang berkata aku mendengar Ibnu Abbas berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lewat dan aku sedang bermain bersama anak-anak maka aku bersembunyi dari beliau di belakang pintu, Beliau memanggilku dan menepuk pundakku kemudian mengutusku kepada Muawiyah, maka aku kembali kepada Beliau dan berkata “ia sedang makan” kemudian Beliau mengutusku lagi kepada Muawiyah dan aku berkata “ia sedang makan”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “semoga Allah tidak mengenyangkan perutnya”. Abu Hamzah berkata “maka Muawiyah setelah itu tidak pernah kenyang” [Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 5/134].

Hadis ini sanadnya shahih sesuai syarat Muslim. Semuanya adalah para perawi tsiqat kecuali Abu Hamzah ia seorang tabiin yang dijadikan hujjah oleh Muslim dalam Shahihnya.
1. Abu Shalih Al Faraa’ adalah Mahbub bin Musa Abu Shalih Al Antakiy perawi Abu Dawud dan Nasa’i. Al Ijli menyatakan ia tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan berkata “mutqin memiliki keutamaan”. Abu Dawud menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 10 no 85]. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq [At Taqrib 2/161]. Adz Dzahabi menyatakan ia tsiqat [Al Kasyf no 5303]
2. Muhammad bin Hatim bin Maimun Al Baghdadi adalah syaikh [gurunya] Muslim, Abu Zur’ah, Abu Hatim dan Abu Dawud. Ibnu Qani’ berkata “shaduq”. Ibnu Adiy dan Daruquthni menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib juz 9 no 135].
3. Ishaq bin Abi Israil adalah seorang yang tsiqat. Ibnu Ma’in, Ahmad bin Hanbal, Daruquthni, Al Baghawi menyatakan ia tsiqat. Yaqub bin Syaibah berkata “Syuraih bin Yunus seorang syaikh yang shalih shaduq dan 4. Ishaq bin Abi Israil lebih tsabit darinya”. Shalih Al Jazarah menyatakan ia shaduq dalam hadis. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib juz 1 no 415]. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq tetapi dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau ia seorang yang tsiqat ma’mun [Tahrir At Taqrib no 338].
Hajjaj bin Muhammad Al A’war adalah perawi yang tsiqat. Diantara yang meriwayatkan darinya adalah Ahmad bin Hanbal. Ahmad menyatakan kalau Hajjaj lebih tsabit dari Aswad bin ‘Amir. Ali bin Madini menyatakan Hajjaaj bin Muhammad tsiqat. Abu Hatim menyatakan ia shaduq [Al Jarh Wat Ta’dil juz 3 no 708].
5. Syu’bah bin Hajjaj adalah perawi kutubus sittah yang disepakati tsiqat. Ia seorang hafizh, tsiqat mutqin dan Ats Tsawri menyatakan kalau ia amirul mukminin dalam hadis [At Taqrib 1/418].
6. Abu Hamzah Al Qashaab adalah ‘Imraan bin Abi ‘Athaa’ tabiin yang dijadikan hujjah oleh Muslim dalam Shahihnya. Telah meriwayatkan darinya Syu’bah yang berarti Syu’bah menganggapnya tsiqat. Ahmad bin Hanbal berkata “tidak ada masalah padanya shalih al hadits”. Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ibnu Numair menyatakan ia tsiqat. Abu Hatim dan Nasa’i berkata “tidak kuat” [At Tahdzib juz 8 no 234]. Pendapat yang rajih ia seorang tsiqat yang hadisnya hasan, jarh Abu Hatim dan Nasa’i tidak bersifat menjatuhkan apalagi ia telah ditsiqatkan oleh yang lain maka hadisnya hasan.

Riwayat ini merupakan bukti nyata yang membantah semua penakwilan untuk membela Muawiyah karena di dalam riwayat ini Abu Hamzah sebagai perawi yang mendengar langsung dari Ibnu Abbas menyatakan bahwa setelah doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu Muawiyah tidak pernah kenyang. Itu berarti doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dikabulkan oleh Allah SWT. Jadi perkataan syaikh kalau doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu hanyalah perkataan yang tidak diniatkan jelas tertolak sama sekali.


Pembelaan Yang Tidak Nyambung.

Hujjah yang lebih aneh lagi adalah hujjah sebagian orang yang menggunakan hadis dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan kalau siapa saja yang beliau cela atau laknat dan orang tersebut tidak layak mendapatkannya maka celaan dan laknat itu menjadi rahmat baginya.

حدثنا محمد بن عبدالله بن نمير حدثنا أبي حدثنا الأعمش عن أبي صالح عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم اللهم إنما أنا بشر فأيما رجل من المسلمين سببته أو لعنته أو جلدته فاجعلها له زكاة ورحمة

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdullah bin Numair yang berkata telah menceritakan kepada kami ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Al A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah yang berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “ Ya Allah sesungguhnya aku hanyalah manusia, laki-laki mana saja dari kalangan kaum muslimin yang aku caci atau laknat atau cambuk maka jadikanlah itu sebagai pembersih dan rahmat baginya” [Shahih Muslim 4/2007 no 2601].

Berhujjah dengan hadis ini untuk membela Muawiyah jelas tidak mengena [alias gak nyambung]. Mereka yang berhujjah dengan hadis ini berarti mereka menganggap kalau Muawiyah itu tidak layak mendapatkan doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar Allah tidak mengenyangkan perut Muawiyah. Disinilah letak keanehannya?. Apa ukuran atau dalil mereka mengatakan Muawiyah tidak layak untuk mendapatkan celaan atau doa dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut?. Kami tidak menafikan hadis ini tetapi hadis ini harus dipahami dengan benar, masalah tidak layak untuk mendapatkan celaan atau laknat, itu semuanya harus dikembalikan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.

Terkait dengan hadis Abu Hurairah [dan hadis serupa lainnya] di atas hanya Allah SWT dan Rasul-Nya yang berhak menentukan apakah seseorang itu tidak layak mendapatkan celaan yang dimaksud sehingga celaan itu menjadi rahmat baginya. Jadi hadis di atas tidak bisa dikenakan sekenanya untuk membela Muawiyah. Siapapun dapat bertanya apa buktinya Muawiyah tidak layak mendapatkan doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang berupa celaan itu?. Jika kita melihat hadis itu dengan baik maka Muawiyah sangat layak mendapatkan doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar Allah tidak mengenyangkan perutnya karena Muawiyah lebih mementingkan makan daripada mentaati Allah SWT dan Rasul-Nya. Apalagi telah terbukti dalam riwayat kalau doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu dikabulkan maka sangat jelas kalau Muawiyah layak mendapatkan doa tersebut.


Muawiyah Pasca Doa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam

Selepas peristiwa ini Muawiyah tidak pernah kenyang seberapapun banyak dan seringnya ia makan. Ibnu Katsir dalam Al Bidayah menyebutkan kalau Muawiyah makan sampai tujuh kali dalam sehari. Bisa dibayangkan jika seseorang terjebak dalam keadaan seperti ini maka semakin lama tubuhnya akan semakin gemuk dan perutnya semakin lama akan semakin besar. Fakta sejarah membuktikan memang begitulah kondisi Muawiyah bahkan karena tubuhnya yang seperti itu, ia mengalami kesulitan untuk menyampaikan khutbah di hadapan kaum muslimin. Sehingga masyhur dalam sejarah kalau Muawiyah adalah orang yang pertama kali menyampaikan khutbah sambil duduk karena tubuhnya yang kegemukan dan perutnya yang besar.

حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مُغِيرَةَ عَنِ الشَّعْبِيِّ قَالَ أَوَّلُ مَنْ خَطَبَ جَالِسًا مُعَاوِيَةُ حِينَ كَبِرَ وَكَثُرَ شَحْمُهُ وَعَظُمَ بَطْنُهُ

Telah menceritakan kepada kami Jarir dari Mughirah dari Asy Sya’bi yang berkata “orang yang pertama kali khutbah sambil duduk adalah Muawiyah, [ia melakukannya] ketika badannya kegemukan dan perutnya begitu besar [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 14/68 no 36885].

Atsar Asy Sya’bi ini shahih dan Asy Sya’bi lahir di masa Umar jadi ia menyaksikan dan bertemu langsung Muawiyah bin Abi Sufyan. Asy Sya’bi adalah seorang yang dikenal tsiqat faqih dan memiliki keutamaan [At Taqrib 1/461]. Yang meriwayatkan dari Asy Sya’bi adalah Mughirah bin Muqsim Adh Dhabiy seorang yang tsiqat dan mutqin [At Taqrib 2/208] dan yang meriwayatkan dari Mughirah adalah Jarir bin Abdul Hamid perawi kutubus sittah yang tsiqat [At Taqrib 1/158].

Kami tidak perlu berkomentar lebih jauh, atsar di atas membuktikan bagaimana keadaan Muawiyah pasca makbulnya doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar Allah tidak mengenyangkan perutnya. Sebelum kami akhiri pembahasan ini kami sempat membaca sebagian kaum awam yang ikut-ikutan mencari takwil untuk membela Muawiyah. Diantara pernyataan mereka adalah ungkapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam semoga Allah SWT tidak mengenyangkan perutnya itu berarti semoga rezekinya Muawiyah tidak berujung. Mereka berdalih dengan mengatakan begitulah orang arab menggunakan ungkapan untuk menyatakan orang yang banyak rezekinya. Perkataan seperti ini cuma mengada-ada dan tidak bernilai hujjah selain klaim-klaim mengatasnamakan orang arab atau bahasa arab padahal yang bersangkutan justru tidak paham bahasa arab sedikitpun.


Sikap Kami terhadap Muawiyah

Bagian ini kami tujukan kepada mereka yang merasa keberatan soal tulisan tulisan kami yang terkesan menyudutkan Muawiyah. Kami pribadi tidak memiliki hak untuk mencela atau menghukum perbuatan seseorang atau kedudukan seseorang. Apa yang kami katakan tentang Muawiyah sama seperti pembahasan tentang sahabat lainnya adalah berlandaskan pada hadis-hadis shahih. Jika hadis-hadis tersebut menyiratkan sesuatu yang buruk maka itulah adanya begitu pula sebaliknya jika hadis-hadis tersebut menyiratkan hal yang baik maka itu pulalah adanya.

Kami tidak punya keinginan untuk mencela Muawiyah. Berbagai tulisan yang kami tulis tentang penyimpangan Muawiyah adalah untuk meluruskan berbagai distorsi sejarah yang gencar dilakukan salafiyun [terkait dengan kedudukan Muawiyah]. Dimana sebagian mereka menganggap kalau Muawiyah adalah sahabat yang memiliki banyak keutamaan sehingga tidak jarang mereka menulis thread khusus untuk membuktikan keutamaan Muawiyah dan mendistorsi hadis-hadis yang dikatakan menyudutkan Muawiyah. Hadis di atas adalah salah satu contoh hadis yang disimpangkan artinya oleh sebagian ulama demi membela Muawiyah.

Kami juga tidak menganjurkan siapapun untuk melaknat atau mencela Muawiyah. Bagi kami perkara seperti itu tidak ada gunanya. Agama islam tidak tegak atas dasar mencela. Kecintaan terhadap Ahlul Bait juga tidak tegak atas dasar mencela. Muawiyah dan putranya Yazid telah menghadap Allah SWT dan bagaimana keadaan mereka, semuanya kembali kepada Allah SWT. Yang kami bahas dalam blog ini hanyalah hadis-hadis shahih yang berbicara tentang Muawiyah dan kami tidak akan memanjangkan lisan kami lebih dari apa yang tertulis pada hadisnya.

Jadi kepada saudara kami pengikut syiah, kami sarankan agar tidak mengisi komentar di blog ini dengan berbagai celaan yang tidak perlu. Begitu pula buat saudara kami yang sunni dan yang salafy tidak perlu mengumbar tuduhan bahwa blog ini syiah atau rafidhah. Tulisan ini hanya memaparkan dalil jika tidak setuju maka silakan ditanggapi dengan dalil. Mengungkap tentang Muawiyah bukanlah penentu syiah atau tidaknya seseorang, cukup banyak para ulama sunni yang menyudutkan Muawiyah seperti Syaikh Al Ghumari, Syaikh Hasan As Saqqaf, Syaikh Muhammad bin Aqil Al Alawiy, Syaikh Hasan bin Farhan Al Maliki dan yang lainnya. Merekapun juga memiliki salaf dalam perkara ini diantaranya Ubaidillah bin Musa, Abdurrazaq, An Nasa’i dan yang lainnya. Apakah mereka semua adalah syiah rafidhah?. Akhir kata jangan biarkan kebencian kalian terhadap suatu kaum membuat kalian berlaku zalim.


Muawiyah dan Mimbar Nabi

Kecenderungan adalah hal yang ternyata cukup sulit untuk dipahami. Terkadang seseorang begitu mudah percaya dengan suatu kabar karena kabar itu sesuai dengan pikirannya, sesuai dengan seleranya dan sesuai dengan keyakinannya. Begitu pula, terkadang ada orang yang buru-buru menolak suatu kabar karena hal itu tidak masuk akal dalam pikirannya, tidak sreg di hatinya, dan yah mungkin tidak sesuai dengan keyakinannya.

Fenomena seperti ini saya sebut sebagai Subjektivitas Informasi yaitu informasi dinilai sesuai dengan persepsi mereka yang menerima informasi tersebut. Sisi ini bisa dilihat dengan jelas dan tidak perlu dipungkiri tetapi ada hal yang seharusnya tidak patut dilupakan yaitu Independensi atau Objektivitas Informasi. Independensi yang saya maksud adalah bahwa suatu informasi memiliki nilai yang tidak tergantung dengan persepsi individu. Informasi bisa bernilai benar atau salah dan bisa bernilai sesuai dengan faktanya atau tidak.

Begitu pula jika kita bicara soal riwayat atau hadis. Ada hadis-hadis yang bisa dibilang memiliki makna yang beragam tergantung dengan interpretasi bermacam-macam orang. Suatu hadis bisa diarahkan maknanya tergantung kelihaian mereka yang menafsirkannya. Sehingga jangan terkejut jika banyak hadis yang terkesan menjadi rebutan, hadis yang sama diarahkan maknanya oleh seseorang untuk mendukung keyakinannya, hadis yang sama diarahkan maknanya untuk mencela keyakinan orang lain padahal orang lain tersebut justru menggunakan hadis itu untuk mendukung keyakinannya. Jadi Sepertinya Hadis-hadis memiliki nilai Subjektivitas Mahzab tergantung di mahzab mana hadis tersebut dibahas.

Selain dalam Menafsirkan hadis, masalah serupa juga ditemukan dalam Menerima atau Menolak suatu hadis. Hadis tertentu seolah-olah bermuka dua, ia terkadang valid di tempat tertentu dan dikatakan dusta atau palsu di tempat lain. Hal ini cukup membingungkan bagi sebagian orang yang sangat awam dalam masalah ini.

Salah satu yang akan dibicarakan disini adalah mengenai hadis yang diriwayatkan oleh para perawi yang bermahzab Syiah atau dikatakan Rafidhah. Mereka para perawi ini bisa dibilang adalah korban kecurigaan dan sinisme sepanjang masa oleh kebanyakan para Ahli Hadis Sunni. Tentu saja saya tidak akan menggeneralisasi seenaknya karena Ahli hadis itu sangat banyak dan mereka pun punya gaya yang bermacam-macam dalam menunjukkan sinisme yang saya maksud.

Hadis mengenai tokoh tertentu seperti Muawiyah cukup memberikan gambaran jelas apa yang saya maksud. Pada dua sisi yang berbeda terdapat sisi yang begitu mengagungkan Muawiyah seperti para Salafy dan Oknumnya dan di sisi lain terdapat sisi yang begitu mengecam Muawiyah oleh sebagian orang yang dikatakan Salafy sebagai Rafidhah. Dua sisi ini memiliki dampak yang cukup signifikan:
1. Hadis Keutamaan Muawiyah, jelas sangat dibanggakan oleh para Salafy dan ditolak habis-habisan oleh yang lain.
2. Hadis Mencela Muawiyah, jelas ditolak bahkan dikatakan palsu oleh Salafy tetapi sering sekali dibicarakan oleh mereka yang dikatakan Rafidhah.

Kecenderungan seperti ini juga tidak selalu berarti seenaknya saja. Justru kecenderungan ini memiliki seni khusus yang bahkan masuk kedalam dunia metodologi hadis yang dikatakan ilmiah. Ah cukup basa basinya, saya contohkan hadis berikut, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:

إذا رأيتم معاوية يخطب على منبري فاقتلوه

Jika kalian melihat Muawiyah berkhutbah di MimbarKu maka bunuhlah ia.

Hadis ini antara lain terdapat dalam kitab Mizan Al ’Itidal Adz Dzahabi biografi no 4149, Tahdzib At Tahdzib Ibnu Hajar juz 5 no 183, Al Kamil Ibnu Ady juz 2 hal 209, Al Majruhin Ibnu Hibban juz 2 biografi no 797(Abbad bin Ya’qub) dan Fawaid Al Majmu’ah Asy Syaukani hadis no 163. Asy Syaukani berkata tentang hadis ini:

رواه ابن عدي عن ابن مسعود مرفوعاً وهو موضوع ، وفي إسناده عباد بن يعقوب ، وهو رافضي ، آخر كذاب .

Hadis riwayat Ibnu Ady dari Ibnu Mas’ud secara marfu’ dan hadis tersebut maudhu’(palsu). Di dalam sanadnya ada Abbad bin Ya’qub dan dia seorang Rafidhah pendusta.

Abbad bin Ya’qub memang dinyatakan sebagai Rafidhah tetapi rasanya terlalu berlebihan jika mengatakan ia pendusta karena sebenarnya beliau adalah seorang yang jujur.

Ibnu Hajar berkata dalam Hady As Sari Muqaddimah Fath Al Bari hal 412:

عباد بن يعقوب الرواجني الكوفي أبو سعيد رافضي مشهور إلا أنه كان صدوقا وثقة أبو حاتم وقال الحاكم كان بن خزيمة إذا حدث عنه يقول حدثنا الثقة في روايته المتهم في رأيه عباد بن يعقوب وقال بن حبان كان رافضيا داعية وقال صالح بن محمد كان يشتم عثمان رضي الله عنه

Abbad bin Ya’qub Ar Rawajini Al Kufi Abu Sa’id seorang Rafidhah yang masyhur tetapi beliau seorang yang Shaduq(jujur), Ia telah dinyatakan tsiqat oleh Abu Hatim dan Al Hakim berkata Ibnu Khuzaimah berkata tentang Abbad bin Yaqub “ Ia tsiqat atau terpercaya riwayatnya tetapi pendapatnya diragukan”. Ibnu Hibban berkata ”Ia Rafidhah yang menyebarkan pahamnya” dan berkata Shalih bin Muhammad “Ia memaki Usman RA”.

Dalam At Taqrib juz 1 hal 469, Ibnu Hajar juga menegaskan bahwa Abbad bin Yaqub adalah seorang yang Shaduq. Beliau perawi hadis dalam Shahih Bukhari, Sunan Tirmidzi dan Sunan Ibnu Majah. Ad Daruquthni juga menyatakan Abbad sebagai Shaduq, sebagaimana yang dikutip Ibnu Hajar dalam Tahdzib At Tahdzib juz 5 biografi no 183

قال الدارقطني شيعي صدوق

Daruquthni berkata “Ia seorang Syiah yang Shaduq”

Dalam Kitab Tahdzib Al Kamal juz 14 hal 175-178 biografi no 3104, Tahdzib At Tahdzib juz 5 biografi no 183 dan Mizan Al I’tidal juz 2 biografi no 4149 tidak ada yang menyatakan kalau Abbad bin Ya’qub sebagai seorang pendusta. Oleh karena itu pernyataan Asy Syaukani di atas bisa dibilang kecenderungan yang berlebihan.

Kembali ke hadis di atas, hadis tersebut diriwayatkan oleh Abu Sa’id RA, Ibnu Mas’ud RA, Jabir bin Abdullah RA, Sahl bin Hunaif RA semuanya dengan sanad yang marfu’, dan juga diriwayatkan oleh Hasan Basri secara mursal. Semua sanad hadis ini tidak satupun lepas dari pembicaraan Ulama hadis. Hanya saja para Ulama tersebut sebelum membahas sanad-sanad hadis tersebut mereka telah memiliki prakonsepsi bahwa hadis tersebut batil dan tidak layak disandarkan kepada Nabi SAW. Hal ini tentu saja dengan alasan bahwa Hadis tersebut telah merendahkan sahabat Nabi SAW. Dan sudah bisa diperkirakan bahwa kebanyakan mereka yang menolak hadis ini berdalih dengan ”hadis ini diriwayatkan oleh Rafidhah yang pendusta”.

Padahal mungkin tidak sepenuhnya begitu, karena di antara sanad-sanadnya ada juga yang tidak diriwayatkan oleh Perawi yang dikatakan Rafidhah. Dalam Ansab Al Ashraf Al Baladzuri juz 5 hal 128, hadis ini telah diriwayatkan oleh para perawi shahih hanya saja hadis tersebut mursal. Dalam salah satu riwayat Abu Sa’id, hadis tersebut telah diriwayatkan oleh para perawi shahih hanya saja salah satu perawinya adalah Ali bin Za’id. Beliau dinyatakan dhaif oleh sebagian orang karena buruk hafalannya tetapi beliau dita’dilkan oleh Imam Tirmidzi, Yaqub bin Syaibah dan Syaikh Ahmad Syakir.

Dalam Tahdzib At Tahdzib juz 7 biografi no 545, Imam Tirmidzi telah menyatakan Ali bin Zaid Shaduq, Yaqub bin Syaibah menyatakan Ia tsiqat dan hadisnya baik. Beliau adalah perawi Bukhari dalam Adab Al Mufrad, perawi Shahih Muslim, Sunan Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah, Sunan Abu Dawud dan Sunan Nasa’i.

Imam Tirmidzi telah menghasankan hadis Ali bin Za’id, salah satunya beliau berkata mengenai hadis yang di dalam sanadnya terdapat Ali bin Za’id

حديث حسن صحيح

Hadis Hasan Shahih.

(Hadis no 109 dalam Sunan Tirmidzi Tahqiq Syaikh Ahmad Syakir dan beliau Syaikh Ahmad Syakir menyatakan hadis tersebut shahih).

Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid juz 3 hal 678 hadis no 5881 yang didalam sanadnya ada Ali bin Za’id telah menyatakan:

رواه أحمد وأبو يعلى والبزار وفيه علي بن زيد وفيه كلام وقد وثق

Riwayat Ahmad, Abu Ya’la dan Al Bazzar, di dalam sanadnya ada Ali bin Za’id, beliau dibicarakan, juga dinyatakan tsiqah.

Syaikh Ahmad Syakir telah dengan jelas menyatakan bahwa Ali bin Za’id sebagai perawi yang tsiqah. Hal ini dapat dilihat dalam Musnad Ahmad tahqiq Syaikh Ahmad Syakir catatan kaki hadis no 783.

Tulisan ini hanya menunjukkan kecenderungan dalam menilai kedudukan suatu hadis. Saya pribadi masih bertawaqquf(berdiam diri) mengenai kedudukan hadis ini, sejauh ini saya cuma menyinggung:
1. Hadis Mursal Shahih riwayat Hasan Basri.
2. Hadis Riwayat Abbad bin Yaqub.
3. Hadis Riwayat Ali bin Zaid.

Sebagai informasi hadis ini telah ditolak oleh Ibnu Ady dalam Al Kamil, Al Uqaili dalam kitabnya Ad Dhua’fa Al Kabir, Asy Syaukani dalam Fawaid Al Majmu’ah, Syaikh Al Albani dalam Silsilah Al Hadis Ad Dhaifah Al Maudhu’ah dan lain-lain. Bisa dibilang kebanyakan ulama hadis menilai hadis ini batil dan palsu.

Walaupun begitu ternyata ada juga ulama hadis yang menyatakan hadis tersebut Shahih yaitu Sayyid Muhammad bin Aqil Al Alawi dalam kitabnya Al Atab Al Jamil Ala Ahlul Jarh Wat Ta’dil hal 63(sejujurnya saya penasaran dengan syaikh satu ini). Beliau menyebutkan hadis ini dalam pembahasannya terhadap perawi Abbad bin Ya’qub dan Ali bin Zaid, beliau berkata:

حديث إذا رأيتم معاوية على منبري فاقتلوه وقد تقدم إن هذا الحديث صحيح ثابت لا شك فيه

Hadis “Jika kamu melihat Muawiyah di atas mimbarKu maka bunuhlah ia” seperti telah dinyatakan sebelumnya bahwa hadis ini Shahih, tsabit(kuat) dan tidak ada keraguan padanya.


Hadis Muawiyah bin Abu Sufyan Seorang Yang Dilaknat Allah SWT

Terdapat hadis shahih yang menunjukkan kalau Muawiyah bin Abu Sufyan adalah salah seorang yang dilaknat oleh Allah SWT. Hal ini diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sanad yang jayyid.

حدثنا خلف حدثنا عبد الوارث بن سعيد بن جمهان عن سفينة مولى أم سلمة أن النبي صلى الله عليه وسلم كان جالساً فمر أبو سفيان على بعير ومعه معاوية وأخ له أحدهما يوقود البعير والآخر يسوقه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم لعن الله الحامل والمحمول والقائد والسائق

Telah menceritakan kepada kami Khalaf yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Waarits dari Sa’id bin Jumhan dari Safinah mawla Ummu Salamah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang duduk kemudian melintaslah Abu Sufyan di atas hewan tunggangan dan bersamanya ada Muawiyah dan saudaranya, salah satu dari mereka menuntun hewan tunggangan tersebut dan yang lainnya menggiringnya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “laknat Allah bagi yang memikul dan yang dipikul, yang menuntun dan yang menggiring” [Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 2/121]

Dalam hadis di atas tertulis ‘Abdul Warits bin Sa’id bin Jumhan, ini adalah tashif yang benar adalah ‘Abdul Warits ‘an Sa’id bin Jumhan. Karena telah ma’ruf kalau yang meriwayatkan dari Safinah adalah Sa’id bin Jumhan dan yang meriwayatkan dari Sa’id bin Jumhan adalah ‘Abdul Warits yaitu ‘Abdul Warits bin Sa’id bin Dzakwan.
1. Dalam biografi Sa’id bin Jumhan Al Aslamiy disebutkan kalau ia meriwayatkan dari Safinah dan telah meriwayatkan darinya ‘Abdul Warits bin Sa’id [Tahdzib Al Kamal 10/376 no 2246]
2. Dalam biografi ‘Abdul Warits bin Sa’id bin Dzakwan disebutkan kalau ia meriwayatkan dari Sa’id bin Jumhan Al Aslamiy [Tahdzib Al Kamal 18/478 no 3595]


Hadis ‘Abdul Warits dari Sa’id bin Jumhan dari Safinah telah diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya dan Nasa’i dalam kitab Sunan-nya dengan sanad berikut:

حدثنا مسدد بن مسرهد قال ثنا عبد الوارث عن سعيد بن جمهان عن سفينة قال

Telah menceritakan kepada kami Musaddad bin Musarhad yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Warits dari Sa’id bin Jumhan dari Safinah yang berkata –al hadits- [Sunan Abu Dawud 2/416 no 3932]

أخبرنا قتيبة بن سعيد قال ثنا عبد الوارث عن سعيد بن جمهان عن سفينة قال

Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah bin Sa’id yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Warits dari Sa’id bin Jumhan dari Safinah yang berkata –al hadits- [Sunan Nasa’i 3/190 no 4995]

Al Baladzuri termasuk ulama besar, Adz Dzahabi menuliskan keterangan tentang Al Baladzuri dalam kitabnya As Siyar dan Tadzkirah Al Huffazh. Adz Dzahabi menyebut ia seorang penulis Tarikh yang masyhur satu thabaqat dengan Abu Dawud, seorang Hafizh Akhbari Allamah [Tadzkirah Al Huffazh 3/893]. Di sisi Adz Dzahabi penyebutan hafizh termasuk ta’dil yaitu lafaz ta’dil tingkat pertama. Disebutkan Ash Shafadi kalau Al Baladzuri seorang yang alim dan mutqin [Al Wafi bi Al Wafayat 3/104]. Tidak ada alasan untuk menolak atau meragukan Al Baladzuri, Ibnu Hajar telah berhujjah dengan riwayat-riwayat Al Baladzuri dalam kitabnya diantaranya dalam Al Ishabah, Ibnu Hajar pernah berkata “dan diriwayatkan oleh Al Baladzuri dengan sanad yang la ba’sa bihi” [Al Ishabah 2/98 no 1767]. Penghukuman sanad la ba’sa bihi oleh Ibnu Hajar berarti ia sendiri berhujjah dan menta’dil Al Baladzuri. Soal kedekatan kepada penguasa itu tidaklah merusak hadisnya karena banyak para ulama yang dikenal dekat dengan penguasa tetapi tetap dijadikan hujjah seperti Az Zuhri dan yang lainnya. Para ulama baik dahulu maupun sekarang tetap menjadikan kitab Al Balazuri sebagai sumber rujukan baik sirah ansab maupun hadis.

Riwayat Al Baladzuri di atas terdiri dari para perawi tsiqat dimulai dari Khalaf syaikh [guru] Al Baladzuri adalah Khalaf bin Hisyam Al Bazzar, ‘Abdul Warits bin Sa’id bin Dzakwan dan Sa’id bin Jumhan Al Aslamiy. Sedangkan Safinah mawla Ummu Salamah yang juga dikenal mawla Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam adalah sahabat Nabi.
1. Khalaf bin Hisyam Al Bazzar adalah perawi Muslim dan Abu Dawud. Disebutkan bahwa diantara yang meriwayatkan darinya adalah Ahmad bin Yahya bin Jabir Al Baladzuri. Imam Muslim juga meriwayatkan darinya itu artinya ia tsiqat menurut Muslim. Ahmad bin Hanbal dan Nasa’i menyatakan tsiqat. Daruquthni berkata ahli ibadah yang memiliki keutamaan. Ibnu Hibban berkata “baik, memiliki keutamaan, alim dalam qiraat dan telah menulis darinya Ahmad bin Hanbal” [At Tahdzib juz 3 no 297]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/272]. Al Khalili menyatakan ia disepakati tsiqat [Al Irshad 1/95]
2. ‘Abdul Warits bin Sa’id bin Dzakwan adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Abu Zur’ah, Ibnu Ma’in, Al Ijli dan Ibnu Numair menyatakan ia tsiqat. Abu Hatim menyatakan ia shaduq. Nasa’i berkata “tsiqat tsabit”. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat hujjah”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan berkata “mutqin dalam hadis”. [At Tahdzib juz 6 no 826]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat tsabit [At Taqrib 1/625].
3. Sa’id bin Jumhan Al Aslamiy adalah perawi Ashabus Sunan. Ibnu Ma’in berkata “tsiqat”. Abu Hatim berkata “ditulis hadisnya tetapi tidak dijadikan hujjah”. Abu Dawud menyatakan ia tsiqat. Ahmad bin Hanbal menyatakan ia tsiqat. Nasa’i berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. As Saji berkata “tidak diikuti hadisnya” [At Tahdzib juz 4 no 15]. Yaqub bin Sufyan Al Fasawi menyatakan ia tsiqat [Al Ma’rifat Wal Tarikh 2/182]. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq dan memiliki riwayat yang menyendiri, tetapi pernyataan ini dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau Sa’id bin Jumhan seorang yang tsiqat [Tahrir At Taqrib no 2279].

Jadi riwayat ini memiliki sanad yang shahih dan menunjukkan kalau Mu’awiyah adalah salah seorang yang dilaknat oleh Allah SWT. Apapun alasannya, kami tidak bisa memastikan tetapi jika melihat bagaimana pribadi Mu’awiyah dan pemerintahan yang dipimpin olehnya maka riwayat ini tidaklah mengherankan. Cukup banyak penyimpangan yang dilakukan Mu’awiyah diketahui oleh mereka yang mengetahuinya dan dibela mati-matian oleh mereka yang mencintai Muawiyah. Bagi yang ingin melihat berbagai penyimpangan Muawiyah, dipersilahkan untuk melihat tulisan kami yang lain tentang Muawiyah. Akhir kata jika ada yang tidak setuju cukuplah sampaikan bantahan dan tidak perlu mencela kami. Kami tidak tertarik main tuduh-menuduh cela mencela, kalau kami keliru silakan dikoreksi tetapi kalau tidak mampu maka cukuplah berdiam diri. Salam Damai


Sedikit Tambahan:

Sebagian orang yang merasa berat hatinya ketika membaca hadis ini berusaha melemahkan hadis ini dengan syubhat kalau Abdul Warits bin Said bin Jumhan seorang yang majhul. Syubhat ini hanya dilontarkan oleh mereka yang tidak akrab dengan kitab-kitab hadis. Telah dibahas sebelumnya kalau penulisan itu adalah keliru alias terjadi salah tulis. Lafaz “bin” dalam sanad itu seharusnya “an” [kedua lafaz ini memang agak mirip tulisan arabnya] karena telah ma’ruf dalam kitab biografi perawi dan juga kitab hadis kalau yang meriwayatkan dari Safinah adalah Sa’id bin Jumhan dan diantara yang meriwayatkan dari Sa’id bin Jumhan adalah Abdul Warits. Perkara tashif seperti ini cukup banyak dalam kitab hadis.

Mengenai pribadi Muawiyah dimana ia termasuk salah seorang yang dilaknat Allah SWT. Kali ini kami akan membawakan hadis yang mirip dengan hadis sebelumnya,

قال قيس بن حفص نا غسان بن مضر عن سعيد بن يزيد عن نصر بن عاصم الليثي عن أبيه قال دخلت مسجد رسول الله صلى الله عليه و سلم وأصحابه يقولون نعوذ بالله عز و جل من غضب الله ورسوله قلت ما شأنكم قالوا قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لعن الله القائد والمقود به

Telah berkata Qais bin Hafsh yang berkata telah menceritakan kepada kami Ghassaan bin Mudhar dari Sa’id bin Yazid dari Nashr bin ‘Aashim Al Laitsiy dari ayahnya yang berkata “aku pernah masuk ke masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan ketika itu para sahabat Beliau berkata kami berlindung kepada Allah ‘azza wa jalla dari kemurkaan Allah dan Rasul-Nya. Aku berkata “apa masalah kalian?”. Mereka berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “laknat Allah bagi orang yang menuntun dan yang dituntunnya” [Al Ahaad Al Matsaaniy 2/192 no 938 bab Dzikru ‘Aashim Al Laitsiy radiallahu ‘anhu Abu Nashr bin ‘Aashim].

Hadis ini shahih diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat sedangkan ‘Aashim Al Laitsiy adalah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
1. Qais bin Hafsh adalah Qais bin Hafsh Al Qa’qa’ At Tamimi Al Bashriy seorang yang tsiqat. Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat. Al Ijli berkata “tidak ada masalah padanya”. Abu Hatim berkata “syaikh”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Daruquthni menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 8 no 694]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat dan memiliki riwayat yang menyendiri [At Taqrib 2/33].
2. Ghassaan bin Mudhar adalah perawi Nasa’i yang tsiqat. Ahmad berkata “syaikh tsiqat tsiqat”. Ibnu Ma’in, Nasa’i dan Abu Dawud menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Abu Zur’ah berkata “shaduq”. Abu Hatim berkata “tidak ada masalah padanya, shalih al hadist” [At Tahdzib juz 8 no 459]. Ibnu Hajar menyatakan “tsiqat” [At Taqrib 2/5].
3. Sa’id bin Yazid adalah Sa’id bin Yazid bin Maslamah Al Azdiy adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in, Nasa’i, Ibnu Sa’ad, Al Ijli dan Al Bazzar menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkan dalam Ats Tsiqat dan Abu Hatim berkata “shalih” [At Tahdzib juz 4 no 168].
4. Nashr bin ‘Ashim Al Laitsiy adalah perawi Bukhari dalam Raf’ul Yadain, Muslim, Abu Dawud, Nasa’i dan Ibnu Majah. Nasa’i menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 10 no 774]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 2/243] dan Adz Dzahabi juga menyatakan tsiqat [Al Kasyf no 5812].

Qais bin Hafsh dalam periwayatannya dari Ghassaan bin Mudhar memiliki mutaba’ah yaitu dari Katsir bin Yahya Abu Malik Al Bashri sebagaimana yang disebutkan Ibnu Sa’ad dalam Ath Thabaqat 7/78. Dari Musa bin Ismail dan Uqbah bin Sinan sebagaimana diriwayatkan Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir 17/176 no 465 dan Adh Dhiya’ dalam Al Mukhtarah 3/278. Kemudian dari Muhammad bin ‘Abdurrahman Al ‘Allaaf sebagaimana yang diriwayatkan Abu Nu’aim dalam Ma’rifat Ash Shahabah no 4810 biografi ‘Aashim Abu Nashr Al Laitsiy.
1. Katsir bin Yahya Abu Malik Al Bashri adalah seorang yang tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 9 no 14996]. Abu Hatim dan Abu Zur’ah meriwayatkan darinya dimana Abu Hatim berkata “tempat kejujuran dan bertasyayyu’” dan Abu Zur’ah menyatakan ia shaduq [Al Jarh Wat Ta’dil 7/158 no 885] dan telah ma’ruf bahwa Abu Hatim dan Abu Zur’ah hanya meriwayatkan dari perawi yang mereka anggap tsiqat oleh karena itu Syaikh Al Albaniy menyatakan Katsir bin Yahya tsiqat [Silsilah Ash Shahihah 2/263 no 658].
2. Musa bin Ismail Al Bashriy adalah seorang perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in, Abu Hatim, Abu Walid Ath Thayalisi dan Al Ijli menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 10 no 585].
3. Uqbah bin Sinan Al Bashri yang meriwayatkan dari Ghassaan bin Mudhar disebutkan biografinya oleh Ibnu Abi Hatim dimana ayahnya Abu Hatim meriwayatkan darinya dan mengatakan kalau ia seorang yang shaduq [Al Jarh Wat Ta’dil 6/311 no 1734].
4. Muhammad bin ‘Abdurrahman Al ‘Allaaf disebutkan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 9 no 15936]. Al Haitsami berkata “tidak dikenal” [Majma’ Az Zawaid 6/459 no 10753]. Riwayatnya disini bisa dijadikan mutaba’ah.

Pada riwayat di atas memang tidak disebutkan siapa sebenarnya orang yang dimaksud Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut tetapi dalam riwayat Katsir bin Yahya Abu Malik Al Bashri disebutkan kalau orang yang dimaksud adalah Muawiyah dan ayahnya Abu Sufyan. Tentu saja tidak ada pertentangan disini yang ada justru hadis-hadis tersebut saling menjelaskan satu sama lain. Riwayat yang tidak menyebutkan nama orang yang dimaksud dijelaskan dalam riwayat lain kalau orang tersebut adalah Muawiyah.

Sebagian orang berusaha membela Muawiyah dengan menyatakan kalau Katsir bin Yahya Abu Malik adalah seorang syiah dan riwayat yang menguatkan akidahnya [syiah] yang katanya aqidah itu adalah menggelorakan kebencian kepada sahabat harus ditolak. Jadi menurut orang tersebut penyebutan nama Muawiyah itu tidak shahih.

Penolakan ini jelas mengada-ada dan sebenarnya cuma cari-cari alasan untuk menolak hadis yang tidak sesuai dengan keyakinannya. Perkataannya kalau riwayat Katsir bin Yahya tertolak karena menggelorakan kebencian sahabat tidak bisa diterima dan sebenarnya muncul dari ketidakpahaman dirinya terhadap matan riwayat. Memang dari riwayat Qais bin Hafsh di atas tidak diketahui apakah orang yang dilaknat tersebut adalah dari kalangan sahabat? Atau dari kalangan orang kafir?. Tetapi dalam riwayat lain dapat dipahami kalau orang tersebut termasuk dari kalangan sahabat,

حدثنا العباس بن الفضل الأسفاطي ثنا موسى بن اسماعيل و حدثنا عبد الرحمن بن الحسين العابوري التستري ثنا عقبة بن سنان الدارع قالا ثنا غسان بن مضر عن سعيد بن يزيد أبي مسلمة عن نصر بن عاصم الليثي عن أبيه قال دخلت مسجد المدينة فاذا الناس يقولون نعوذ بالله من غضب الله و غضب رسول الله قال قلت : ماذا ؟ قالوا : كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يخطب على منبره فقام رجل فأخذ بيد ابنه فأخرجه من المسجد فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم لعن الله القائد و المقود

Telah menceritakan kepada kami ‘Abbas bin Fadhl Al Isfaathiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Musa bin Ismail dan telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin Husain Al Tusturiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Uqbah bin Sinan Adz dzaraa’ yang keduanya [Musa bin Ismail dan Uqbah bin Sinan] berkata telah menceritakan kepada kami Ghassaan bin Mudhaar dari Sa’id bin Yazid Abi Maslamah dari Nashr bin ‘Aashiim Al Laitsiy dari ayahnya yang berkata aku masuk ke masjid Madinah dimana orang-orang berkata “kami berlindung kepada Allah dari kemurkaan Allah dan Rasul-Nya. Aku berkata “ada apa?” mereka menjawab “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang berkhutbah di atas mimbar kemudian seorang laki-laki berdiri memegang tangan anaknya dan keduanya keluar dari masjid maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “laknat Allah bagi orang yang menuntun dan yang dituntun…[Mu’jam Al Kabir Ath Thabrani 17/176 n0 465].

‘Abbas bin Fadhl Al Isfaathy adalah seorang yang shaduq [Su’alat Al Hakim no 143] dan ‘Abdurrahman bin Husain Al Tusturiy juga seorang yang shaduq [Irsyad Al Qadhi no 533] sedangkan para perawi lain telah disebutkan sebelumnya. Kalau riwayat di atas dipahami dengan baik maka sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini terkait dengan peristiwa dimana para sahabat sedang mendengarkan khutbah Nabi di dalam masjid madinah. Tampak jelas kalau orang yang dimaksud juga berada di dalam masjid dan awalnya ikut mendengarkan khutbah Nabi. Kemudian orang tersebut [ayah dan anak] keduanya keluar dari masjid ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang berkhutbah. Saat itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan sabda tersebut dihadapan para sahabat lainnya yang masih berada di dalam masjid.

Jika orang yang dimaksud saat itu adalah orang kafir maka tidak akan mungkin ia masuk ke dalam masjid dan ikut mendengarkan khutbah Nabi. Jadi kedua orang tersebut pada saat itu sudah masuk islam dan termasuk sahabat Nabi. Jadi tidak ada alasan mencela riwayat Katsir bin Yahya Abu Malik dengan alasan membenci sahabat atau mengungkap aib sahabat toh justru riwayat Musa bin Ismail dan Uqbah bin Sinan menyatakan dengan jelas bahwa orang yang dimaksud adalah dari kalangan sahabat. Apakah kedua riwayat ini mesti ditolak juga?. Kalau begitu alangkah mudahnya menolak hadis-hadis shahih hanya dengan alasan “membela sahabat”. Kemudian mari diperhatikan riwayat Katsir bin Yahya yang dikatakan “menggelorakan kebencian kepada sahabat” sebagaimana disebutkan Ibnu Sa’ad,

قال أخبرت عن أبي مالك كثير بن يحيى البصري قال حدثنا غسان بن مضر قال حدثنا سعيد بن يزيد عن نصر بن عاصم الليثي عن أبيه قال دخلت مسجد رسول الله صلى الله عليه وسلم وأصحاب النبي صلى الله عليه وسلم يقولون نعوذ بالله من غضب الله وغضب رسوله قلت ما هذا قالوا معاوية مر قبيل أخذ بيد أبيه ورسول الله صلى الله عليه وسلم على المنبر يخرجان من المسجد فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم فيهما قولا

[Ibnu Sa’ad] berkata aku mendapat kabar dari Abi Malik Katsir bin Yahya Al Bashri yang berkata telah menceritakan kepada kami Ghassaan bin Mudhaar yang berkata telah menceritakan kepada kami Sa’id bin Yazid dari Nashr bin ‘Aashim Al Laitsiy dari ayahnya yang berkata aku masuk ke masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan sahabat-sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “kami berlindung kepada Allah dari kemurkaan Allah dan Rasul-Nya, maka aku berkata “ada apa ini?” mereka menjawab “Muawiyah berjalan sambil memegang tangan ayahnya dan ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang berada di atas mimbar, keduanya keluar dari masjid maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang mereka berdua suatu perkataan [Thabaqat Ibnu Sa’ad 7/78].

Silakan diperhatikan dengan baik, dalam riwayat Katsir bin Yahya justru tidak ada pernyataan yang menunjukkan kebencian terhadap sahabat sebagaimana yang dimaksud oleh sebagian orang. Riwayat Katsir bin Yahya yang disebutkan di atas justru tidak menyebutkan lafaz soal laknat. Jadi apanya yang menggelorakan kebencian kepada sahabat?. Riwayat-riwayat lain yang menyebutkan soal laknat merupakan pelengkap bagi riwayat Katsir bin Yahya. Jadi sebagaimana yang kami sebutkan riwayat Katsir bin Yahya dan riwayat Musa bin Ismail, Uqbah bin Sinan dan Qais bin Hafsh saling melengkapi satu sama lain.

Celaan terhadap Muawiyah ini juga dikuatkan oleh riwayat Bara’ bin ‘Azib sebagaimana yang disebutkan Muhammad bin Harun Ar Ruuyani dengan jalan sanad dari Muhammad bin Ishaq dari Ishaq bin Ibrahim Ar Raziy dari Salamah bin Fadhl dari Muhammad bin Ishaq dari Ibrahim bin Barra’ bin ‘Aazib dari ayahnya dengan matan yang menyebutkan nama Muawiyah dan Abu Sufyan [Musnad Ar Ruuyani 1/389].
1. Muhammad bin Ishaq adalah Abu Bakar As Shaghaniy termasuk syaikh-nya Ar Ruuyani seorang yang tsiqat hafizh. Abu Hatim berkata “tsabit shaduq”. Nasa’i berkata “tidak ada masalah” terkadang berkata “tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ibnu Khirasy dan Daruquthni menyatakan tsiqat [Tahdzib Al Kamal no 5053].
2. Ishaq bin Ibrahim Ar Razy termasuk salah seorang syaikh [guru] Ahmad bin Hanbal dimana telah ma’ruf kalau Ahmad hanya meriwayatkan dari perawi yang tsiqat menurutnya. Ibnu Ma’in juga telah memuji Ishaq bin Ibrahim Ar Razy [Al Jarh Wat Ta’dil 2/208 no 709].
3. Salamah bin Fadhl Al Abrasy seorang yang diperselisihkan. Bukhari menyatakan ia meriwayatkan hadis-hadis mungkar. Abu Hatim berkata “tempat kejujuran didalam hadisnya terdapat hal-hal yang diingkari, ditulis hadisnya tetapi tidak dijadikan hujjah”. Nasa’i berkata “dhaif”. Ibnu Ma’in menyatakan ia tsiqat. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat shaduq”. Jarir menyatakan kalau dari Baghdad hingga khurasan tidak ada yang lebih tsabit dalam riwayat dari Ibnu Ishaq selain Salamah. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan berkata “sering salah dan keliru”. Al Hakim berkata “tidak kuat”. Abu Dawud menyatakan tsiqat. Ibnu Khalfun mengutip dari Ahmad yang berkata tentangnya “tidak kuketahui tentangnya kecuali yang baik” [At Tahdzib juz 4 no 265]. Ibnu Hajar berkata “shaduq banyak salahnya” [At Taqrib 1/378]. Pendapat yang rajih ia adalah seorang yang shaduq tetapi banyak melakukan kesalahan sehingga sebagian riwayatnya diingkari tetapi riwayatnya dari Ibnu Ishaq dinilai hasan.
4. Muhammad bin Ishaq bin Yasar adalah penulis kitab sirah yang terkenal. Ibnu Hajar mengatakan ia seorang yang imam dalam sejarah, shaduq melakukan tadlis dan bertasyayyu’ [At Taqrib 2/54]. Disini riwayat Ibnu Ishaq dengan an’anah padahal ia seorang yang melakukan tadlis maka riwayatnya lemah tetapi riwayat ini bisa dijadikan i’tibar. 
5. Ibrahim bin Barra’ bin ‘Aazib adalah seorang tabiin yang tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 4 no 1598]. Ibnu Hajar dalam biografi Ibrahim bin Barra’ bin Nadhr bin Anas bin Malik menyatakan kalau Ibrahim bin Barra’ bin ‘Aazib seorang yang tsiqat [Lisan Al Mizan juz 1 no 73]

Riwayat Barra’ bin ‘Aazib lemah karena tadlis Ibnu Ishaq tetapi bisa dijadikan i’tibar. Kembali ke hadis ‘Aashim Al Laitsiy di atas dengan mengumpulkan semua riwayat ‘Aashim Al Laitsiy maka diketahui bahwa peristiwa yang dimaksud terjadi di masjid Madinah ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkhutbah di atas mimbar. Di tengah khutbah, Abu Sufyan dan Muawiyah beranjak keluar dari masjid meninggalkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang berkhutbah maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda melaknat mereka berdua. Setelah itu di dalam masjid para sahabat mengucapkan “kami berlindung kepada Allah SWT dari kemurkaan Allah dan Rasul-Nya”. Doa para sahabat tersebut bisa dimaklumi mengingat sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu tertuju kepada dua orang yang pada saat itu sudah masuk islam dan notabene-nya termasuk sahabat Nabi juga.


Doa Qunut Imam Ali Terhadap Muawiyah dan Amru bin Ash Beserta Pengikut Mereka

Tulisan ini kami persembahkan kepada para pendengki Ahlul Bait yang senang sekali memuliakan orang-orang yang menyimpang dari Ahlul Bait. Tentu saja mereka tidak akan mau menunjukkan wajah asli kedengkian mereka terhadap Ahlul Bait. Mereka tidak mau menunjukkan terang-terangan kebencian mereka kepada Ahlul Bait oleh karena itu mereka melampiaskan kebencian itu dengan memuliakan musuh-musuh Ahlul Bait.

Mereka memuliakan orang-orang yang menyakiti Ahlul bait. Membela kesalahan mereka seraya berkata “itu cuma ijtihad” yang walaupun salah tetap mendapat pahala. Berbeda dengan mereka, Imam Ali justru mengakui kalau orang-orang yang menyimpang[pembangkang] seperti Muawiyah dan Amru bin Ash layak dihukum untuk kesalahan mereka.

حدثنا هشيم قال أخبرنا حصين قال حدثنا عبد الرحمن بن معقل قال صليت مع علي صلاة الغداة قال فقنت فقال في قنوته اللهم عليك بمعاوية وأشياعه وعمرو بن العاص وأشياعه وأبا السلمي وأشياعه وعبد الله بن قيس وأشياعه

Telah menceritakan kepada kami Husyaim yang berkata telah mengabarkan kepada kami Hushain yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ma’qil yang berkata Aku shalat bersama Ali dalam shalat fajar dan kemudian ketika Qunut Beliau berkata “Ya Allah hukumlah Muawiyah dan pengikutnya, Amru bin Ash dan pengikutnya, Abu As Sulami dan pengikutnya, Abdullah bin Qais dan pengikutnya”.[Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 2/108 no 7050].

Atsar ini diriwayatkan dengan sanad yang shahih sampai ke Ali bin Abi Thalib Alaihis Salam.
1. Husyaim adalah Husyaim bin Basyiir seorang perawi kutubus sittah. Ibnu Hajar menyebutkan biografinya dalam At Tahdzib juz 11 no 100 dan menyebutkan kalau ia dinyatakan tsiqat oleh Al Ajli, Ibnu Saad dan Abu Hatim. Ibnu Mahdi, Abu Zar’ah dan Abu Hatim memuji hafalannya. Dalam At Taqrib 2/269 Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat tsabit. Adz Dzahabi dalam Al Kasyf no 5979 menyebutkan kalau Husyaim seorang Hafiz Baghdad Imam yang tsiqat.
2. Hushain adalah Hushain bin Abdurrahman As Sulami Al Kufi seorang perawi kutubus sittah. Ibnu Hajar menyebutkan biografinya dalam At Tahdzib juz 2 no 659 dan menyebutkan kalau ia dinyatakan tsiqat oleh Ahmad, Al Ajli, Abu Hatim, Abu Zur’ah, Ibnu Ma’in dan Ibnu Hibban. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/222 menyatakan ia tsiqat dan Adz Dzahabi dalam Al Kasyf no 1124 menyatakan ia tsiqat hujjah.
3. Abdurrahman bin Ma’qil Al Muzanni adalah perawi Abu Dawud seorang tabiin [walaupun ada yang mengatakan ia sahabat]. Ibnu Hajar menuliskan biografinya dalam At Tahdzib juz 6 no 543 dan ia dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Hibban dan Abu Zur’ah. Dalam At Taqrib 1/591 ia dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Hajar.

Atsar ini adalah sebaik-baik dalil yang menunjukkan bagaimana pandangan Imam Ali terhadap Muawiyah, Amru bin Ash dan para pengikutnya. Tentu saja para nashibi yang adalah Syiah-nya Muawiyah tidak akan senang melihat Atsar ini. Dan untuk mereka kita katakan “Matilah dengan kemarahanmu”.

(Scondprince/Syiah-Ali/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: