Ibnu Saba' Tokoh Fiktif Yang Dilaknat Oleh Ahlusunnah Dan Syiah.
Metode logika yang benar dalam menilai.
Seorang pendiri suatu aliran agama pasti namanya selalu dipuja-puji
oleh para pengikutnya. Ini adalah sebuah keniscayaan yang tidak mungkin
bisa dibantah. Namun keniscayaan ini dilanggar oleh para pembenci aliran
Syiah dengan memaksakan pendapat bahwa aliran tersebut didirikan oleh
Ibnu Saba, tokoh fiktif yang namanya tidak pernah disebutkan dalam
kitab-kitab awal Islam seperti kitab-kitab hadits "Shahih", "Musnad"
maupun "Sunan". Nama itu bahkan tidak pernah disebut dalam kitab-kitab
awal sejarah Islam seperti "Tarikh"-nya Ibnu Ishak. Adalah hal yang
sangat- sangat aneh seseorang yang dianggap telah menciptakan salah satu
mazhab Islam terbesar dan pengaruhnya masih terasa sampai sekarang,
tidak disebut namanya dalam kitab-kitab awal Islam tersebut di atas.
Padahal menurut mereka yang percaya keberadaan Ibnu Saba, yang
bersangkutan melakukan aktifitas provokasi dan konspirasinya pada jaman
khalifah ketiga Usman bin Affan, sementara kitab-kitab tersebut di atas
ditulis jauh setelahnya. Umat Shiah telah membantah tuduhan tersebut dan
menganggap Ibnu Saba sebagai tokoh fiktif yang tidak pernah ada. Namun
tuduhan itu tidak pernah berhenti dilancarkan kepada mereka.
Seandainya Anda seorang pengikut Kristen dan kemudian seseorang menuduh
agama tersebut didirikan oleh Hitler, tentu Anda akan marah. Namun orang
itu terus saja melontarkan tuduhan bahwa agama Kristen didirikan oleh
Hitler meski telah berulangkali Anda bantah, diantaranya dengan
menyebutkan bahwa sebagian besar orang kristen membenci Hitler. Tentu
Anda akan menganggap penuduh tersebut sebagai "orang gila".
Demikian juga sebenarnya orang- orang yang menuduh Syiah didirikan oleh
Ibnu Saba adalah "orang gila" karena terus saja melontarkan tuduhan
tersebut meski telah diberi penjelasan segamblang- gamblangnya bahwa
orang Syiah tidak pernah menganggap Ibnu Saba sebagai manusia yang
benar- benar ada. Bekas- bekas keberadaannya pun tidak pernah ditemukan,
termasuk silsilah keluarganya.
Yang tidak kalah menggelikan
adalah anggapan bahwa Ibnu Saba berhasil mengelabuhi sebagian besar
sahabat nabi untuk mendukung Ali bin Thalib dan memberontak terhadap
khalifah Usman bin Affan. Bagaimana mungkin seorang yahudi mu'alaf
(kalau memang benar adanya) mengelabui para sahabat Rosul yang tentunya
jauh lebih mengerti tentang Al Qur'an dan Sunnah Rosul. Padahal para
sahabat sangat hati-hati dalam bergaul dengan orang-orang yahudi meski
mereka telah masuk Islam. Dalam hal ini bahkan bisa dikatakan para
sahabat bersikap agak rasialistis terhadap orang-orang yahudi,
berdasarkan ayat-ayat Al Qur'an yang memerintahkan umat Islam untuk
berhati-hati terhadap "kelicikan" mereka.
Para pembenci
Syiah, yang para pelopornya adalah para pembenci ahlul bayt keluarga
Rosulullah menuduh bahwa Syi’ah tercipta dari kreasi seorang Yahudi yang
memiliki dendam kusumat terhadap Islam, orang tersebut kemudian memeluk
Islam guna menghancurkan Islam dari dalam. Orang Yahudi tersebut
bernama Abdullah bin Saba’ (Ibnu Saba). Penyebutan Abdullah bin Saba’
sebagai orang Yahudi sebetulnya tidak tepat, sebab namanya dan nama
ayahnya jelas menunjukan nama Arab bukan nama-nama Yahudi. Nasab
Abdullah bin Saba’ tidak diketahui dan masa lalunya pun gelap pula.
Cerita Abdulah bin Saba’ ini lebih tepat di sebut dongeng ketimbang
cerita kenyataan. Ada beberapa sebab yang menjadi alasan bahwa kisah
Abdulah bin saba’ ini disebut sebagai ”mitos”, yang secara sengaja
diciptakan untuk melakukan pembunuhan karakter dan pendiskriditan
terhadap para pengikut Imam Ali dan Ahlul Ba’it Rasulullah Beberapa.
alasan akan menjadi obyek kajian tulisan ini. Kejanggalan dari cerita
Abdullah bin Saba’ ini setidaknya dapat dilihat dari tiga hal :
[1] Bagi manusia yang berakal sehat tanpa dikotori kepicikan berfikir,
tak mungkin menganggapnya kisah Abdullah bin Saba’ dapat dipercaya,
bagaimana mungkin seorang Yahudi yang baru masuk Islam memiliki
keterampilan politik yang luar biasa dan dengan kemampuanya mempengaruhi
pribadi-pribadi kaum muslim yang mulia seperti Abu Dzar al Ghifari,
Muhammad bin Abu Bakar (putra khalifah pertama Abu Bakar dan adik
kandung Ummul Mukminin Aisyah), Ammar bin Yasir (salah satu sahabat yang
telah dijanjikan surga oleh Rosulullah), Sha’sha’ah bin Shauhan,
Muhammad bin Abu Hudzaifah, Abdurahman bin Udais, Malik Asytar, untuk
melakukan agitasi dan propaganda pemberontakan pada khalifah Usman bin
Affan dan para sahabat yang mulia ini mengekor begitu saja.
[
2 ] Adalah hal yang mustahil orang yang baru saja masuk Islam, apalagi
dari kalangan Yahudi, kemudian menjalankan dan mengorganisasikan
pemberontakan tanpa para sahabat bertindak keras mencegahnya.
[3 ] Adalah hal yang aneh Seorang yahudi yang baru masuk Islam bisa
memulai menghancurkan agama islam tanpa seorang muslim pun peduli.
Dari mana sumber cerita Abdullah bin Saba’?
Seorang sarjana muslim bernama As Sayyid Murthadha al Askari, telah
melakukan penelitian terhadap kisah Abdullah bin Saba dan hasil
penelitiannya dibukukan dengan judul "Abdullah bin Saba’ wa Asathir
Ukhra (Abdullah bin Saba’ dan Dongeng- Dongeng Lain)" serta buku yang
diberi judul ”Khamsun wa Mi’ah Shahabi Mukhthalaq” (Seratus Lima Puluh
Sahabat Fiktif). Menurut al Askari, sumber utama terciptanya kisah
Abdullah bin Saba’ adalah seseorang yang bernama Sayf Ibn Umar at Tamimi
(meninggal 170 H). Say ibn Umar at Tamimi telah menciptakan tokoh
fiktif bernama Abdullah bin Saba’ dalam bukunya "Al Jamal wa mashiri Ali
wa Aisyah" dan "Al Futuh al Kabir wa ar Riddah". Dari buku tersebut
lalu menyebarlah cerita tentang Abdullah bin Saba’ ke penulis- penulis
Islam sesudahnya. Penyebaran kisah Abdullah bin Saba’ sedemikian massif,
sehingga buku-buku sejarah Islam banyak yang diwarnai oleh cerita palsu
tentang Abdullah bin Saba itu.
Bagaimana Dongeng Abdullah bin Saba’ dapat beredar luas ?
Peredaran dongeng Abdullah bin Saba’ tersebar melalui penulis sejarah
seperti Thabari (wafat 310 H), Ibn ’Asakir (wafat 571 H), Ibn Abi Bakr
(wafat 741 H) dan adz Dzahabi (wafat 748). Dari merekalah kemudian
dongeng Abdullah bin Saba’ tersebar ke generasi- generasi sesudahnya.
Kecuali Thabari yang mengambil cerita Ibnu Saba dari Syaif Ibn Umar at
Tamimi, penulis lainnya mengutip dari Thabari. Mereka semuanya hidup
jauh setelah para penulis kitab-kitab awal "Shahih", "Musnad", "Sunan"
dan "Tarikh".
Para penulis sejarah kontemporer pada akhirnya
banyak yang mengutip cerita- cerita Abdullah bin Saba’ melalui penulis
di atas, sekedar menyebutkan sebagian buku yang terkenal yang menuliskan
Abdullah bin Saba’ dan syiah diantaranya adalah sebagai berikut :
[1]. Muhammad Rasyid Ridha, dalam bukuya As Sunnah wa Asy Syi’ah, ia
mengatakan: ”Tasyayyu terhadap khalifah ke empat Ali bin Abi Thalib
adalah pangkal perpecahan umat Muhammad dalam agama dan politik mereka.
Pencetus dasar- dasarnya adalah seorang Yahudi bernama Abdullah bin
Saba’, ia menganjurkan kepada yang berlebih-lebihan (ghuluw) tehadap Ali
dengan tujuan memecah belah umat ini serta merusak agama dan urusan
dunia”. Rasyid Ridha mengambil rujukan kisah Abdullah bin Saba’ ini dari
Ath Thabari.
[2]. Ahmad Amin dalam buku "Fajar Islam dan
Dhuha Islam" menuliskan: ”Akidah Syi’ah tentang wasiat dan Raja’ah
diambil dari Ibnu Saba’ adapun konsep Mahdi al Muntazhar diambil dari
ajaran Yahudi melalui Ibnu Saba’. Abu Dzar al Ghifari mengambil
pemikiran tentang sosialisme dari Ibnu Saba’, dan Ibnu saba’
mengambilnya dari ajaran Mazdakiyah yang tersebar di masa kekuasaan bani
Umayyah. Dari semua itu dapat ditarik kesimpulan bahwa Syiah adalah
benteng bagi semua orang yang ingin menghancurkan agama Islam”. Tetapi
kemudian Ahmad Amin meralat pendapatnya setelah ia bertemu dengan
Ayatullah Muhammad Husain Kasyif al Ghitha. Ia kemudian menyatakan
permintaan maaf kepada kaum Muslim Syiah. Ahmad Amin menyebutkan ia
mengambil sumber rujukan kisah Abdullah bin Saba’ ini dari Ath Thabari.
[3]. Dr Hasan Ibrahim Hasan dalam bukunya "Tarikh al islam as Siyasi".
Ia menuliskan dalam bukunya sebagai berikut: ” Abdullah bin Saba
mempengaruhi seorang sahabat besar ahli hadis Abu Dzar al Ghifari untuk
melakukan pemberontakan menentang Utsman dan Muawiyyah.” Ia menyebutkann
sumber cerita Abdullah bin Saba’ dari Ath Thabari.
[4].
Syekh Abu Zuhrah dalam ”Tarikh al Madzahib al islamiyah" menuliskan
dalam bukunya: ”Abdullah bin Saba mengatakan bahwa ada seribu nabi dan
setiap nabi memiliki wasi, dan Ali adalah wasi Muhammad. Muhammad adalah
penutup para nabi dan Ali penutup para washi.” Ia mengutip cerita
Abdullah bin Saba’ dari Ath Thabari.
[5]. Farid Wajdi dalam
bukunya "Dairah Ma’arif al Qarn’Isyrn” juga menulis cerita tentang
Abdullah bin saba’ yang diambil dari sumber yang sama yakni Ath Thabari.
[6]. Ahmad ’Athiyatullah dalam bukunya ”Al Qamus al islami”
menuliskan: “Ibnu Saba’ adalah pimpinan sekte as saba’iyah dari kalangan
Syi’ah. Ia dikenal dengan nama Ibnu as Sawda”. Ia pun mengambil sumber
cerita Abdullah bin Saba’ dari Ath Thabari.
Sedangkan
kutipan- kutipan cerita Abdullah bin Saba’ yang beredar di Indonesia
dalam bentuk artikel di majalah ataupun buku-buku relatif banyak,
terutama buku-buku yang diterbitkan oleh kelompok-kelompok "nawashib"
yang membenci Ahlul Ba’it, seperti buku "Mengapa Kita Menolak Syi’ah"
yang diterbitkan oleh LPPI, "Tikaman Syi’ah", "Gen Syi’ah" dan lain
sebagainya. Dari sekian artikel kami hanya akan menyebut dua saja,
karena kedua artikel inilah yang akan di bahas dalam tulisan ini,
sekaligus meluruskan kisah Abdullah bin Saba’ yang terdapat dalam
buku-buku lain.
Kebohongan yang dijadikan rujukan.
[1]. Artikel berjudul : "Abdullah Bin Saba’ Tokoh Fiktif?” ditulis oleh
Majalah al Muslimun – majalah Hukum dan Pengetahuan Islam, Bangil No 217
Sya’ban/ Ramadhan 1408 April 1988.
[2]. Artikel berjudul : "Abdullah Bin Saba’ Bukan Tokoh Fiktif" Karya Dr Sa’diy Hasyimi yang dimuat di Majalah Suara Masjid.
Telah kami sebutkan di atas secara singkat bahwa Abdullah bin Saba’
adalah tokoh fiktif hasil rekayasa dari orang yang bernama Syaif Ibnu
Umar at Tamimi. ia meninggal pada masa khalifah Harun al Rasyid. Ia
dikenal sebagai orang yang membenci ahlul ba’it (nawashib). Seperti
telah kami sebutkan di atas, ia menulis dua buah buku yang di dalamnya
terdapat tokoh yang bernama Abdullah bin Saba’: "al Jamal wa mashiri Ali
wa Aisyah" dan "Al Futuh al Kabir wa ar Riddah". Murthadha Al Askari
menyebutkan dalam bukunya “Syaif at Tamimi telah memalsukan riwayat Nabi
SAW dengan menciptakan sahabat- sahabat yang tidak pernah ada dalam
sejarah. Nama-nama tersebut adalah nama fiktif yang tidak pernah ada
orangnya” Murthada al Askari menyebutkan ada 150 sahabat fiktif karangan
Tamimi, di antaranya bernama Sa’r, Al Hazhhaz, Uth, Hamdhan dan lain
sebagainya termasuk Abdullah bin Saba.
Kitab "Tarikh al Umm
wa al Muluk" karya Ibnu Jarir Ath Thabari adalah sumber tertua kisah
Abdullah bin Saba’. Ath Thabari hanya bersandar pada perawi tunggal,
Syaif Ibnu Umar at Tamimi. Sedangkan jalur yang menyambungkannya kepada
Syaif hanya dua yaitu :
[1]. Ubaidullah bin Sa’id az Zuhri
dari pamanya yang bernama Ya’qub bin Ibrahim dari Syaif Ibnu Umar at
Tamimi. Kisah Abdullah bin Saba’ ia nukil dari jalur ini secara lisan.
[2]. As Surri (Abu Ubaidah) bin Yahya dari Syu’aib bin Ibrahim dari
Syaif Ibnu Umar at Tamimi. Kisah Abdullah bin Saba’ ia nukil melalui
kitab "Al Futuh wa Ar riddah" dan kitab "al Jamal wa Masir ‘Aisyah"
karya syaif ibnu Umar at Tamimi, dan terkadang ia mengutip secara lisan.
As Surri bin Yahya yang dimaksud dalam jalur
periwayatan di atas bukanlah Ats Surri bin Yahya, seotang perawi yang
terkenal tsiqah. Sebab masa hidup Ats Surri bin Yahya yang tsiqah itu
lebih awal dari ath Thabari. Ia wafat tahun 167 H, sementara Ath Thabari
baru lahir tahun 224 H. Selisih antara wafat As Surri dan kelahiran ath
Thabari adalah 57 tahun. Penelusuran para ulama menyebutkan bahwa,
tidak ada seorang perawi yang bernama As Surri bin Yahya selain dia.
Oleh karenanya, ada yang mengasumsikan bahwa as Surri yang menjadi
perantara periwayatan ath Thabari adalah salah satu dari dua perawi yang
keduanya adalah pembohong dan cacat di mata ulama :
[1]. As Surri bin Ismail al Hamdani al Kufi.
[2]. As Surri bin ’Ashim al Hamdani (seorang imigran yang tinggal di
kota Bghdad) wafat tahun 258 H dan ath Thabari hidup sezaman denganya
selama tiga puluh tahun lebih.
Mayoritas ulama ahlu Sunnah
sendiri memandang kredibilitas Syaif Ibnu Umar at Tamimi sebagai tidak
bernilai. Diantara komentar para ulama tentang at Tamimi adalah sebagi
berikut:
[1]. Yahya bin Muin (wafat 233 H): "Riwayatnya lemah dan tidak berguna, uang sesen lebih berharga daripada dirinya”.
[2]. Abu Daud (wafat 316 H): ”Syaif bukan seorang yang dapat dipercaya.
Ia adalah seorang pembohong (al Kadzdzab), ia tidak berarti sedikitpun,
beberapa hadis yang ia sampaikan sebagian besarnya tertolak”.
[3]. Ibn Hibban (wafat 354 H): ”Sayf meriwayatkan hadis- hadis palsu
dan menisbahkan pada perawi–perawi yang sahih. Ia dianggap sebagai
seorang pembid’ah dan pembohong serta pemalsu hadits”.
[4]. Ibn Abd Barr (wafat 462 H): ”beliau menulis tentang al Qa’qa, di mana Syaif berbohong”.
[5]. Al Daruquthni (wafat 385 H): ”Riwayat yang disampaikan Syaif lemah”.
[6]. Firuzabadi (wafat 817 H) : ”Riwayat yang Syaif sampaikan lemah”.
[7]. Ibn al Sakan (wafat 353 H): ”Riwayat syaif lemah”.
[8]. Ibn Adi (wafat 365 H): ”Ia lemah, sebagian hadisnya mashut akan
tetapi sebagian besar darinya tidak terdukung riwayat yang ia sampaikan
lemah dan tidak digunakan”.
[9]. Al Suyuthi (wafat 900 H): ”Hadis yang disampaikannya lemah”.
[10]. Ibnu Hajar al Asqalani (wafat 852): ”Dalam hadis banyak perawi
lemah dan yang paling lemah di antara mereka adalah Sayf”.
[11]. Ibn Abi Hatam (wafat 327 H): ”Para ulama telah mengabaikan riwayat yang disampaikan Syaif”.
[12]. Safi al Din (wafat 923 H): ”Riwayat yang disampaikan Sayf dianggap lemah (dhaif)”.
[13]. Al Hakim (wafat 450 H): ”Sayf adalah seorang ahli bid’ah riwayatnya diabaikan”.
[14]. Al Nas’i (wafat 303 H): ”Riwayat yang disampaikan Syaif lemah dan
riwayat tersebut harus diabaikan karena tidak dapat dipercaya dan tidak
berdasar”.
[15]. Abu Hatam (277 H) : ”Hadis yang diriwayatkan Sayf harus ditolak”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa cerita Abdullah bin Saba’
adalah sebuah kebohongan yang diciptakan oleh Syaif ibnu Umar at Tamimi.
Sebagaimana dinyatakan oleh Dr Ahmad al Wa’ili: ”Para peneliti
menyebutkan bahwa ath Thabari menukil 701 riwayat sejarah yang meliputi
berbagai peristiwa yang mewarnai masa kekhalifahan ketiga khalifah
pertama. Kesemuanya ia nukil dari jalur As Surri si pembohong, dari
Syu’aib yang misterius keperibadianya dan dari Syaif yang ditolak oleh
para ulama”.
Penelitian ulama Ahlusunah dari berbagai negara .
Selain pengujian melalui jalur periwayatan dan sumber periwayatan yang
telah kami sebutkan di atas, seorang sarjana Muslim bernama S.H.M Jafri
menggunakan metode lain untuk meneliti asal-usul Syi’ah. Beliau
menuliskan hasil penelitianya dalam buku berjudul "Origin and Early
Development Of Shi’a Islam". Pengujian yang ia gunakan adalah dengan
kajian historiografi dengan melakukan studi komparatif sejarah, yakni
membandingkan seluruh penulis sejarah Islam dari generasi paling awal.
Ia menuliskan: “keberadaan Abdullah bin Saba tidak ditemukan dalam
naskah-naskah sejarah tertua seperti Muhammad bin Ibn Ishaq bin Yasar
(wafat tahun 151 H), Abu Abdullah Muhammad bin Sa’ad ( wafat tahun 168
H), Ahmad bin Yahya al Baladzuri (wafat tahun 279 H), Ibn Wadhih al
Ya’qubi (wafat tahun 284 H), Abu Bakar ahmad bin Abdullah al Aziz al
Jauhari (wafat tahun 298 H), dan Mas’udi (wafat tahun 344 H).
Sejarah seputar masa krisis kekhalifahan Utsman bin Affan hingga
terbunuhnya beliau yang ditulis para sejahrawan tertua tersebut tidak
disebut-sebut keterlibatan Abdullah bin Saba. Bahkan nama Abdullah bin
Saba’ tidak ditemukan dalam naskah "Ansab al Asyraf" karya Baladzuri,
padahal kitab tersebut yang paling detail bercerita tentang krisis pada
masa kekhalifahan Utsman. Memang dalam kitab Baladzuri terdapat nama
Ibnu Saba’, tetapi dia merujuk pada nama Abdullah bin Wahab al Hamdani
atau dikenal dengan sebutan Abd Allah al Wahab al Saba’i pemimpin
kelompok Khawarij, bukan merujuk pada Ibn Sawda atau Abdullah bin Saba.
Berpijak dari hasil penelitian tersebut dapatlah kita sebutkan bahwa
eksistensi tentang Abdullah bin Saba baru muncul pada naskah-naskah
sejarah setelahnya, dengan kata lain muncul pada masa Ath Thabari yang
merujuk pada si pencipta tokohnya yang bernama Syaif Ibnu Umar at Tamimi
yang kemudian beredar secara luas dikutip oleh kalangan sejarahwan ahlu
Sunnah, termasuk sebagian sejarahwan Shiah yang terjebak dalam cerita
fiksi itu.
Beberapa sejahrawan modern banyak pula yang telah
melakukan penelitian tentang Syi’ah (beserta asal- usulnya) dan
kesimpulan mereka adalah meragukan keberadaan figur fiktif bernama
Abdullah bin Saba tersebut diantaranya adalah :
[1].
Penelitian yang dilakukan oleh tim yang dibentuk lembaga ahlu sunnah
dari Damaskus yang bernama "Al majma’ al ‘Ilmi al ‘Arabi", telah
membentuk tim dibawah pimpinan Profesor Muhammad Kurdi Ali untuk
melakukan penelitian tentang Syi’ah. Hasilnya penelitian telah
diterbitkan dalam bentuk buku berjudul "Khtath al Syam". Dalam kitab
tersebut dijelaskan tentang asal usul Syi’ah yang dilahirkan justru dari
lisan Rasulullah SAW, bukan dari Abdullah bin Saba. Dalam buku itu
disebutkan pula nama-nama sahabat Syi’ah awal.
[2]. Ulama
dari Indonesia yang meneliti Syi’ah di antaranya adalah Prof Dr H Abu
Bakar Atjeh (beliau adalah seorang ahlu sunnah) yang karyanya
diterbitkan dengan judul "Syi’ah Rasionalisme dalam Islam" yang dalam
bukunya beliau mengutip pendapat Prof. Hamka yang menyebutkan bahwa
madzhab Syafi’i yang dianut mayoritas muslim Indonesia lebih dekat
dengan madzhab Syi’ah. Dalam bukunya tidak disebutkan peran Abdullah bin
Saba’ dalam pendirian Islam, malah beliau menunjukkan bahwa syi’ah
dilahirkan oleh Rasulullah S.A.W.
[3]. Ulama dari Indonesia
lainya adalah H Abdullah bin Nuh beliau (seorang ahlu sunnah) , yang
banyak melakukan penelitian tentag Syi’ah, dan beliau menyebutkan bahwa
penyebar Islam di Indonesia yang pertama adalah orang-orang syi’ah.
[4]. Dr Thoha Husein, ia menyatakan tentang keraguanya akan keberadaan
Abdullah bin Saba’ dan menganggapnya tokoh fiktif. Sebagaimaa dituliskan
dalam "Al Fitnatul Kubra jilid II", Thoha Husein meneliti kitab-kitab
sejarah awal Shiah dan tidak ditemukan nama Abdullah bin Saba.
[5]. Asyaikh Universitas Al azar Syaikh Mahmud Syaltut, beliau bahkan
mengeluarkan fatwa bolehnya berpegang dengan madzhab syi’ah. Tentu saja
mereka semua dikecam habis- habisan oleh para pembenci ahlul bayt.
Sebagian bahkan dikafirkan dan dihalalkan darahnya.
Kecurangan- kecurangan dalam pengutipan.
Ditengarai para pembenci ahlul bayt (nawashib) telah melakukan
kecurangan- kecurangan terhadap karya-karya sejahrawan awal. Modusnya
adalah dengan melakukan perubahan ataupun pemalsuan terhadap redaksional
dengan dibelokan dari makna aslinya. Tindakan itu dimaksudkan untuk
menunjukan kepada khalayak awam bahwa dalam kitab- kitab sejarah paling
awal yang ditulis sejahrawan muslim terdapat figur Abdullah bin Saba’
dan itu membuktikan kepada khalayak ramai, bahwa Abdullah binn Saba’
bukanlah tokoh fiktif. Salah satu contohnya adalah sebagai berikut :
“Ahmad bin Ya’qub, …, Dia mengutip perkataan Sayyidina Utsman ketika
beliau marah kepada sahabat Ammar bin Yasir karena telah merahasiakan
wafatnya Abdullah bin Mas’ud dan Miqdad “celakalah Ibnu as- Sauda’
(Abdullah bin Saba’) itu. Sungguh aku benar-benar mengetahuinya.” .
Tindak pemalsuan di atas adalah dengan pemberian makna lain dari
redaksi yang sebenarnya, pada tulisan di atas (yang dipalsukan) kata
dalam kurung yang tertulis (Abdullah bin Saba’) tidak terdapat dalam
kitab Tarikh Ya’qubi, kata tersebut adalah tambahan dari si pengutip.
Pihak pengutip sengaja menghilangkan informasi sebelum dan sesudahnya
yang menunjukkan bahwa Ibnu Sa’uda yang dimaksud adalah Ammar bin
Yassir, mari kami kutipkan secara utuh :
“ Ketika Ibnu Mas’ud
datang ke Madinah dari Kuffah, dan menyerahkan kunci ba’it al mal
dengan sikap sedemikian rupa, lalu Utsman bin Affan mengeluarkan
perintah agar Ibn Mas’ud dihajar dan dikeluarkan dari masjid. Karena
tidak senang dengan perbuatan Utsman, maka Ali membawa Ibn Mas’ud (yang
terluka parah) ke rumahnya. Ibnu Mas’ud meninggal dua tahun sebelum
Utsman. Dalam Wasiatnya Ibnu Mas’ud minta supaya Ammar mendo’akan dan
menshalatkan jenazahnya, dan meminta supaya Usman tidak mensholatkan
jenazahnya. Miqdad (sebelum meninggal) juga bersikap demikian…. Utsman
bin Affan marah kepada Ammar bin Yassir yang telah merahasiakan wafatnya
Abdullah bin Mas’ud dan Miqdad bin Amr, ia berkata kepada Ammar:
“Celakalah engkau Ibnu as Sauda, sungguh aku benar-benar
mengetahuinya…". Ammar bin Yassir oleh kaum Qurasy memang digelari "Ibnu
Sawda" yang artinya sebagai putra wanita hitam dan "Al Abd" yang
artinya si budak”.
Dengan demikian jelas bahwa si pengutip
bermaksud membelokkan arti dari Ibnu Sawda diatas. Sebagaimana telah
kami sampaikan diatas melalui penelitian bahwa Abdullah bin Saba’ tidak
diketemukan dalam kitab-kitab sejahrawan Islam paling awal.
Sebetulnya kalau kita jeli melihat kalimat yang dipalsukan tersebut,
bahwa sebetulnya yang disebut Ibnu Sa’uda adalah Ammar bin Yasir,
perhatikan: di atas diceritakan Khalifah Utsman bin Affan marah kepada
Ammar bin Yassir karena telah merahasiakan wafatnya Abdullah bin Mas’ud
dan Miqdad padahal Khalifah Utsman tahu, kemarahan khalifah diujudkan
dengan mengatakan “celakalah Ibnu as Sauda” tentu saja kemarahan itu
ditujukan kepada Ammar karena di situ Khalifah sedang berbicara dengan
Ammar.
Biasanya orang-orang nawashib sangat lihai dalam
memotong dan memalsukan informasi. Tapi sepandai-pandai tupai melompat
pasti suatu saat jatuh juga. Dan karena terlalu bersemangat untuk
memberikan tuduhan bahwa Syi’ah adalah produk Abdullah bin Saba,
akhirnya mereka terperangkap dalam tindak pemalsuannya sendiri.
Bentuk pembiasan informasi lain adalah terdapatnya nama Ibnu Saba yang
tertulis dalam kitab Ansab al Asyraf karya Baladzuri. Dalam kitab
tersebut tertulis “…Dan Ibnu Saba memiliki satu naskah dari surat
tersebut lalu ia mengubah- ubahnya”. Jika informasi ini dipotong sampai
di sini saja maka dampaknya adalah bahwa bukti Abdullah bin Saba’
tertulis di kitab sejarah Islam awal adalah benar. Tetapi kalimat
tersebut masih memiliki keterangan, bahwa yang dimaksud al Baladzuri
dengan Ibnu Saba’ di situ adalah ‘Abd Allah Ibn Wahab al Saba’i atau
dikenal juga dengan Abdullah bin Wahab al Hamdani, seorang pemimpin
utama Khawarij dari suku Sabaiyah atau Qathan. Penyematan nama saba’iyah
ini disebabkan oleh gesekan antara suku Adnan dan Qathan, sehingga
orang-orang Adnani memanggil orang-orang dari suku Qathan dengan sebutan
sabaiyah.
Dengan demikian pemerkosaan pada kedua kitab awal
yang dipaksa untuk membuktikan adanya tokoh Abdullah bin Saba sebetulnya
adalah tindakan kejahatan. Kedua kitab tersebut memang berbicara secara
detail berkenaan krisis di masa khalifah Utsman sehingga beliau wafat,
namun tidak diketemukan nama Abdullah bin Saba’ sebagimana yang
dituduhkan sebagai pendiri Madzab syi’ah. (Wallahu'alam)
Ahlus Sunnah Mengambil Hadis Dari Pengikut Saba’iyyah?
Tulisan ini tidak usah
dianggap serius, hanya sekedar selingan untuk menyentil akal para
nashibiy yang sudah keracunan Abdullah bin Saba’. Nashibiy tidak
henti-hentinya menuduh bahwa Syi’ah adalah pengikut ‘Abdullah bin Saba’
tetapi mereka tidak menyadari bahwa dalam kitab hadis Ahlus Sunnah [yang
entah menjadi pegangan mereka atau tidak] juga terdapat perawi hadis
yang ternyata dikatakan sebagai pengikut Saba’iyyah.
Menurut sebagian ulama ahlus sunnah,
Saba’iyyah adalah penisbatan terhadap kaum atau kelompok yang mengikuti
Abdullah bin Saba’. Tidak usah berpanjang lebar berikut nukilan dari Al
Jauzjaniy dalam salah satu kitab-nya:
ثم السبئية غلت في الكفر فزعمت أن علياً إلهاً حتى حرقهم بالنار إنكاراً عليهم
Kemudian As Saba’iyyah ghuluw dalam
kekufuran, mereka menganggap Aliy sebagai Tuhan sehingga [Aliy]
membakar mereka dengan api sebagai pengingkaran terhadap mereka [Ahwal
Ar Rijaal Abu Ishaaq Al Jauzjaaniy hal 37].
Kami tidak perlu meneliti nukilan ini
karena para nashibi sangat mempercayainya dan berhujjah dengan nukilan
ini untuk merendahkan Syi’ah. Bahkan Asy Sya’biy pernah berkata tentang
As Saba’iyyah
فلم أر قوما أحمق من هذه السبئية
Aku tidak pernah melihat kaum yang lebih tolol dari kelompok Saba’iyyah ini [Al Kamil Ibnu Adiy 6/116].
Jadi menurut anggapan para nashibi
tersebut pengikut Saba’iyyah tergolong orang yang tolol dan ghuluw dalam
kekufuran. Kemudian perhatikan apa yang ditulis Bukhariy berikut:
عبد الله بن محمد ابن الحنفية ومحمد هو ابن على بن ابى طالب الهاشمي أبو هاشم اخو الحسن، سمع اباه، يعد في اهل المدينة، قال عبد الله بن محمد عن ابن عيينة حدثنا الزهري كان الحسن اوثقهما في انفسنا وكان عبد الله يتبع السبائية
‘Abdullah bin Muhammad Ibnu Al
Hanafiah -dan Muhammad ia putra Aliy bin Abi Thalib Al Haasyimiy- Abu
Haasyim saudara Hasan, mendengar dari Ayahnya termasuk penduduk
Madiinah, Abdullah bin Muhammad berkata dari Ibnu Uyainah yang berkata
telah menceritakan kepada kami Az Zuhriy yang berkata Al Hasan yang paling tsiqat diantara keduanya bagi diri kami dan Abdullah ia mengikuti As Saba’iyyah [Tarikh Al Kabir Al Bukhariy 5/187].
Sanad riwayat Bukhari kedudukannya
shahih, para perawinya tsiqat termasuk Az Zuhriy dan dia adalah murid
Abdullah bin Muhammad Al Hanafiah.
- Abdullah bin Muhammad, gurunya Bukhariy adalah Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Ja’far Al Ju’fiy seorang yang tsiqat hafizh [At Taqrib Ibnu Hajar 1/321].
- Sufyan bin Uyainah adalah seorang imam tsiqat, termasuk sahabat Az Zuhriy yang paling tsabit dan ia lebih alim dalam riwayat ‘Amru bin Diinar daripada Syu’bah. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Abu Hatim [Al Jarh Wat Ta’dil 1/35].
- Az Zuhriy adalah Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihaab Az Zuhriy seorang faqih hafizh disepakati kebesaran dan keitqanannya termasuk pemimpin thabaqat keempat [At Taqrib Ibnu Hajar 1/506].
Faktanya Abdullah bin Muhammad Al Hanafiah
atau Abdullah bin Muhammad bin Aliy bin Abi Thalib adalah perawi hadis
kutubus sittah [Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu
Majah], sebagaimana telah ditegaskan oleh Ibnu Hajar dalam At Taqrib
[Taqrib At Tahdzib Ibnu Hajar 1/321].
Bukankah Saba’iyyah itu kelompok
orang-orang tolol dan ghuluw dalam kekufuran lantas mengapa Abdullah bin
Muhammad Al Hanafiah diambil hadisnya dalam kutubus sittah?. Kalau ada
yang berdalih hadisnya hanya sebagai mutaba’ah dan ia dikuatkan oleh
saudaranya Hasan bin Muhammad Al Hanafiah, maka itupun tetap bermasalah.
Untuk apa mengambil hadis sebagai mutaba’ah perawi yang tolol dan
ghuluw dalam kekufuran.
Dan masalah utamanya adalah Abdullah bin Muhammad Al Hanafiah ini telah ditsiqatkan oleh para ulama ahlus sunnah seperti:
- Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat sedikit hadisnya” [Thabaqat Ibnu Sa’ad 7/322].
- Al Ijliy mengatakan bahwa Abdullah bin Muhammad tsiqat dan dia seorang syi’ah [Ma’rifat Ats Tsiqat 2/58].
- An Nasa’iy berkata bahwa Abdullah bin Muhammad tsiqat [At Tahdzib Ibnu Hajar 5/612].
- Ibnu Hibban memasukkan Abdullah bin Muhammad bin Aliy bin Abi Thalib dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat Ibnu Hibban 7/2].
- Adz Dzahabiy menyatakan ia tsiqat dalam Al Miizan [Miizan Al I’tidal Adz Dzahabiy 2/483 no 4533].
Jika dikatakan mereka yang menyatakan
tsiqat kepada Abdullah bin Muhammad tidak mengetahui bahwa ia pengikut
As Saba’iyyah maka inipun keliru, Ibnu Hajar dalam At Tahdzib telah
menukil riwayat dari Az Zuhriy kalau ia pengikut Saba’iyyah tetapi dalam
At Taqrib ia tetap menyatakan tsiqat. Dan Az Zuhriy sebagai muridnya
yang mengakui kalau ia pengikut Saba’iyyah tetap meriwayatkan hadis
Abdullah bersama saudaranya Hasan sebagaimana dapat dilihat dalam kitab
hadis diantaranya Shahih Bukhariy.
Mungkin dalam pandangan mereka menjadi
pengikut As Saba’iyyah tidak menjatuhkan kredibilitas Abdullah bin
Muhammad, ia tetap seorang yang tsiqat. Sebagaimana banyak perawi hadis
yang ternyata khawarij, nashibi, rafidhah, murji’ah, qadariyah dan
sebagainya yang dianggap sebagai firqah sesat tetapi tetap diambil
hadisnya jika mereka termasuk orang-orang tsiqat. Hal ini juga ditemukan
dalam kitab hadis Syi’ah yaitu perawi yang dikenal bermazhab menyimpang
seperti waqifiy, fathhiy tetap diambil hadisnya jika yang bersangkutan
memang tsiqat.
Tetapi masalah-nya firqah-firqah sesat di
sisi Ahlus Sunnah seperti khawarij, nashibi, rafidhah, murjiah dan
firqah sesat di sisi Syi’ah seperti waqifiy dan fathahiy, semuanya tetap
menyembah Allah SWT, tidak ada yang dikatakan menuhankan Imam Aliy
seperti apa yang dinisbatkan pada As Saba’iyyah.
Atau akan ada dalih bahwa As Saba’iyyah
disana bukan bermakna sebagai pengikut Abdullah bin Saba’ yang
menuhankan Imam Aliy. Kalau begitu ada berapa macam makna As Saba’iyyah
dan Abdullah bin Muhammad ini termasuk As Saba’iyyah jenis yang mana?.
Akhir kata seperti yang kami katakan tulisan ini cuma sekedar selingan
dan kalau dipikirkan dengan serius hanya menimbulkan kebingungan saja.
Kisah Abdullah bin Saba’ Selain Riwayat Saif bin Umar.
Siapa yang tidak mengenal Abdullah bin
Saba’?. Sosoknya sering dijadikan bahan celaan oleh nashibi untuk
mengkafirkan Syiah. Menurut khayalan para nashibi, Abdullah bin Saba’ adalah pendiri Syiah,
seorang Yahudi yang berpura-pura memeluk Islam dan menyebarkan
keyakinan yang menyimpang dari Islam. Diantara keyakinan yang menyimpang
tersebut adalah:
- Penunjukkan Imam Ali sebagai khalifah setelah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]
- Mencela sahabat Nabi yaitu Abu Bakar [radiallahu ‘anhu], Umar bin Khaththab [radiallahu ‘anhu] dan Utsman bin ‘Affan [radiallahu’anhu]
- Upaya pembunuhan Khalifah Utsman bin ‘Affan [radiallahu ‘anhu]
- Sikap ghuluw terhadap Ali [radiallahu ‘anhu] dan Ahlul Bait
- Mencetuskan aqidah bada’ dan tidak meninggalnya Ali [radiallahu ‘anhu]
Nashibi tersebut melanjutkan fitnahnya
dengan menyatakan bahwa Syiah mengambil aqidah-aqidah mereka dari
Abdullah bin Saba’ dan sampai sekarang masih meyakini aqidah-aqidah
tersebut dan membelanya.
Jika diteliti dengan baik maka sebenarnya
nashibi tersebut tidak memiliki landasan kokoh atau dasar yang shahih
dalam tuduhan mereka tentang Abdullah bin Saba’. Peran Abdullah bin
Saba’ yang luar biasa sebagaimana disebutkan nashibi di atas tidaklah
ternukil dalam riwayat yang shahih. Nashibi mengais-ngais riwayat dhaif
dalam kitab Sirah yaitu riwayat Saif bin Umar At Tamimiy seorang yang
dikatakan matruk, zindiq, pendusta bahkan pemalsu hadis.
Dari orang seperti inilah nashibi mengambil aqidah mereka tentang
Abdullah bin Saba’. Maka tidak berlebihan kalau nashibi yang ngaku-ngaku
salafy tersebut kita katakan sebagai pengikut Saif bin Umar.
Syiah sebagai pihak yang difitnah
membawakan pembelaan. Para ulama Syiah telah banyak membuat kajian
tentang Abdullah bin Saba’. Secara garis besar pembelaan mereka terbagi
menjadi dua golongan
- Golongan yang menafikan keberadaan Abdullah bin Saba’, dengan kata lain mereka menyatakan bahwa Abdullah bin Saba’ adalah tokoh fiktif yang dimunculkan oleh Saif bin Umar
- Golongan yang menerima keberadaan Abdullah bin Saba’ tetapi mereka membantah kalau ia adalah pendiri Syiah, bahkan menurut mereka Abdullah bin Saba’ adalah seorang ekstrim ghulat yang dilaknat oleh para Imam Ahlul Bait.
Bukan nashibi namanya kalau diam saja
terhadap Syiah. Nashibi tersebut membantah dengan menyatakan bahwa
Abdullah bin Saba’ bukan tokoh fiktif dan tidak hanya muncul dalam
riwayat Saif bin Umar tetapi juga ada dalam riwayat-riwayat lain yang
mereka katakan shahih. Riwayat-riwayat itulah yang akan dibahas dalam
tulisan ini.
Riwayat Abdullah bin Sabaa’ Dalam Kitab Sunniy.
حَدَّثَنَا عَمْرِو بْنِ مَرْزُوقٍ ، قَالَ : أنا شُعْبَةُ ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ ، عَنْ زَيْدِ بْنِ وَهْبٍ ، قَالَ : قَالَ عَلِيٌّ : مَا لِي وَلِهَذَا الْحَمِيتِ الأَسْوَدِ ، يَعْنِي : عَبْدَ اللَّهِ بْنَ سَبَإٍ ، وَكَانَ يَقَعُ فِي أَبِي بَكْرٍ ، وَعُمَرَ
Telah menceritakan kepada kami ‘Amru
bin Marzuuq yang berkata telah mengabarkan kepada kami Syu’bah dari
Salamah bin Kuhail dari Zaid bin Wahb yang berkata Ali berkata apa
urusanku dengan orang jelek yang hitam ini? Yakni ‘Abdullah bin Saba’ dia mencela Abu Bakar dan Umar [Tarikh Ibnu Abi Khaitsamah 3/177 no 4358].
‘Amru bin Marzuuq
terdapat perbincangan atasnya. Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Ma’in berkata
“tsiqat ma’mun”. Abu Hatim dan Ibnu Sa’ad menyatakan ia tsiqat. As Sajiy
berkata shaduq. Ali bin Madini meninggalkan hadisnya. Abu Walid
membicarakannya. Yahya bin Sa’id tidak meridhai ‘Amru bin Marzuuq. Ibnu
‘Ammar Al Maushulliy berkata “tidak ada apa-apanya”. Al Ijliy berkata
“Amru bin Marzuuq dhaif, meriwayatkan hadis dari Syu’bah yang tidak ada
apa-apanya”. Daruquthni berkata “shaduq banyak melakukan kesalahan”. Al
Hakim berkata “buruk hafalannya”. Ibnu Hibban berkata “melakukan
kesalahan” [At Tahdzib juz 8 no 160].
‘Amru bin Marzuuq tafarrud dalam penyebutan lafaz “yakni Abdullah bin Saba’ dia mencela Abu Bakar dan Umar”. Muhammad bin Ja’far Ghundar seorang yang paling tsabit riwayatnya dari Syu’bah tidak menyebutkan lafaz tersebut.
أخبرنا أبو القاسم يحي بن بطريق بن بشرى وأبو محمد عبد الكريم ابن حمزة قالا : أنا أبو الحسين بن مكي ، أنا أبو القاسم المؤمل بن أحمد بن محمد الشيباني ، نا يحيى بن محمد بن صاعد، نا بندار ، نا محمد بن جعفر ، نا شعبة ، عن سلمة ، عن زيد بن وهب عن علي قال : مالي وما لهذا الحميت الأسود ؟ قال: ونا يحي بن محمد ، نا بندار ، نا محمد بن جعفر ، نا شعبة عن سلمة قال: سمعت أبا الزعراء يحدث عن علي عليه السلام قال: مالي وما لهذا الحميت الأسود
Telah mengabarkan kepada kami Abu
Qaasim Yahya bin Bitriiq bim Bisyraa dan Abu Muhammad Abdul Kariim bin
Hamzah keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Abu Husain bin
Makkiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Qaasim Mu’ammal
bin Ahmad bin Muhammad Asy Syaibaniy yang berkata telah menceritakan
kepada kami Yahya bin Muhammad bin Shaa’idi yang berkata telah
menceritakan kepada kami Bundaar yang berkata telah menceritakan kepada
kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami
Syu’bah dari Salamah dari Zaid bin Wahb dari Aliy yang berkata “apa urusanku dengan orang jelek hitam ini?”.
[Mu’ammal] berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Muhammad
yang berkata telah menceritakan kepada kami Bundaar yang berkata telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah
menceritakan kepada kami Syu’bah dari Salamah yang berkata aku mendengar
Abu Az Za’raa menceritakan hadis dari Ali [‘alaihis salaam] yang
berkata “apa urusanku dengan orang jelek yang hitam ini?” [Tarikh Ibnu Asakir 29/7].
Riwayat Ibnu Asakir ini sanadnya shahih.
Abu Muhammad Abdul Kariim bin Hamzah disebutkan Adz Dzahabiy bahwa ia
syaikh tsiqat musnad dimasyiq [As Siyar 19/600]. Abu Husain bin Makkiy
adalah Muhammad bin Makkiy Al Azdiy Al Mishriy muhaddis musnad yang
tsiqat [As Siyaar 18/253]. Mu’ammal bin Ahmad Asy Syaibaniy dinyatakan
tsiqat oleh Al Khatib [Tarikh Baghdad 13/183]. Yahya bin Muhammad bin
Shaa’idi seorang imam hafizh musnad iraaq dinyatakan tsiqat oleh Al
Khaliliy [As Siyaar 14/501]. Bundaar adalah Muhammad bin Basyaar perawi
kutubus sittah yang tsiqat [At Taqrib 2/58].
Muhammad bin Ja’far Ghundaar
adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ia termasuk perawi yang
paling tsabit riwayatnya dari Syu’bah. Ibnu Madini berkata “ia lebih aku
sukai dari Abdurrahman bin Mahdiy dalam riwayat Syu’bah”. Ibnu Mahdiy
sendiri berkata “Ghundaar lebih tsabit dariku dalam riwayat Syu’bah”. Al
Ijliy berkata orang Bashrah yang tsiqat, ia termasuk orang yang paling
tsabit dalam hadis Syu’bah” [At Tahdzib juz 9 no 129].
Lafaz Abdullah bin Saba’ dalam riwayat
Ibnu Abi Khaitsamah mengandung illat [cacat] yaitu tafarrud ‘Amru bin
Marzuuq. Ghundaar perawi yang lebih tsabit darinya tidak menyebutkan
lafaz ini. ‘Amru bin Marzuuq adalah perawi yang shaduq tetapi bukanlah
hujjah jika ia tafarrud sebagaimana telah ternukil jarh terhadapnya dan
lafaz “yakni ‘Abdullah bin Saba’ dia mencela Abu Bakar dan Umar” adalah tambahan lafaz dari ‘Amru bin Marzuuq.
Riwayat selanjutnya yang dijadikan hujjah
oleh para nashibi adalah riwayat yang menyebutkan bahwa orang hitam
jelek itu adalah Ibnu Saudaa’.
حدثنا محمد بن عباد ، قال : حدثنا سفيان ، عن عمار الدهني ، قال : سمعت أبا الطفيل يقول : رأيت المسيب بن نجية أتى به ملببه ؛ يعني : ابن السوداء ، وعلي على المنبر ، فقال علي : ما شأنه ؟ فقال : يكذب على الله وعلى رسوله صلى الله عليه وسلم
Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin ‘Abbaad yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyaan
dari ‘Ammaar Ad Duhniy yang berkata aku mendengar Abu Thufail
mengatakan “aku melihat Musayyab bin Najbah
datang menyeretnya yakni Ibnu Saudaa’ sedangkan Ali berada di atas
mimbar. Maka Ali berkata “ada apa dengannya?”. Ia berkata “ia berdusta
atas nama Allah dan Rasul-Nya” [Tarikh Ibnu Abi Khaitsamah 3/177 no 4360].
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبَّادٍ الْمَكِّيُّ ، نا سُفْيَانُ ، قَالَ : نا عَبْدُ الْجَبَّارِ بْنُ عَبَّاسٍ الْهَمْدَانِيُّ ، عَنْ سَلَمَةَ ، عَنْ حُجَيَّةَ الْكِنْدِيِّ ، رَأَيْتُ عَلِيًّا عَلَى الْمِنْبَرِ ، وَهُوَ يَقُولُ : مَنْ يَعْذِرُنِي مِنْ هَذَا الْحَمِيتِ الأَسْوَدِ الَّذِي يَكْذِبُ عَلَى اللَّهِ ، يَعْنِي : ابْنَ السَّوْدَاءِ
Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin ‘Abbaad Al Makkiy yang berkata telah menceritakan kepada
kami Sufyan yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Jabbar
bin ‘Abbas Al Hamdaniy dari Salamah dari Hujayyah Al Kindiy yang berkata
“aku melihat Ali di atas mimbar dan ia
berkata “siapa yang dapat membebaskan aku dari orang jelek hitam ini ia
berdusta atas nama Allah, yakni Ibnu Saudaa’ [Tarikh Ibnu Abi Khaitsamah 3/177 no 4359].
Kedua riwayat ini bersumber dari Muhammad bin ‘Abbaad Al Makkiy
termasuk perawi Bukhari dan Muslim. Ia seorang yang shaduq hasanul
hadis, sering salah dalam hadis. Ibnu Ma’in dan Shalih Al Jazarah
berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Qani’ berkata “tsiqat”. Ibnu
Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Tahrir At Taqrib no 5993].
Diantara kesalahannya dalam hadis telah dinukil oleh Ibnu Hajar dalam At
Tahdzib yaitu hadis-hadisnya dari Sufyan yang diingkari bahkan ada
hadisnya yang dinyatakan batil dan dusta oleh Ali bin Madini [At Tahdzib
juz 9 no 394]. Riwayat di atas termasuk riwayatnya dari Sufyan.
Jika kedua riwayat tersebut selamat dari
kesalahan Muhammad bin ‘Abbaad Al Makkiy maka kedudukannya hasan. Tetapi
riwayat ini bukanlah hujjah bagi nashibi. Siapakah Ibnu Saudaa’ yang
dimaksud dalam riwayat tersebut?. Apakah ia adalah Abdullah bin Sabaa’?.
Kalau memang begitu mana dalil shahihnya bahwa Abdullah bin Sabaa’ adalah Ibnu Saudaa’.
Orang yang pertama kali menyatakan Abdullah bin Sabaa’ disebut juga
Ibnu Saudaa’ adalah Saif bin Umar At Tamimiy dan ia seperti yang telah
dikenal seorang yang dhaif zindiq, matruk, kadzab dan pemalsu hadis. Ada
sebagian ulama yang mengutip Abdullah bin Sabaa’ sebagai Ibnu Saudaa’
tetapi pendapat ini tidak ada dasar riwayat shahih kecuali mengikuti
apa yang dikatakan oleh Saif bin Umar.
Lafaz Ibnu Saudaa’ pada dasarnya bermakna
anak budak hitam, dan ini bisa merujuk pada siapa saja yang memang anak
dari budak hitam. Kalau para nashibi atau orang yang sok ngaku ulama
nyalafus shalih ingin menyatakan bahwa Ibnu Saudaa’ yang dimaksud adalah
Abdullah bin Sabaa’ maka silakan bawakan dalil shahihnya. Silakan
berhujjah dengan kritis jangan meloncat sana meloncat sini dalam
mengambil kesimpulan. Apalagi dengan atsar seadanya di atas ingin
menarik kesimpulan Ibnu Sabaa’ sebagai pendiri Syiah. Sungguh jauh
sekali.
Matan kedua riwayat Muhammad bin ‘Abbad
tersebut juga tidak menjadi hujjah bagi nashibi. Perhatikan apa yang
disifatkan kepada Ibnu Saudaa’ dalam riwayat tersebut yaitu ia berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya.
Tidak ada sedikitpun disini qarinah yang menunjukkan kaitan antara Ibnu
Saudaa’ dengan Syiah atau aqidah yang ada di sisi Syiah.
أخبرنا أبو البركات الأنماطي أنا أبو طاهر أحمد بن الحسن وأبو الفضل أحمد بن الحسن قالا أنا عبد الملك بن محمد بن عبد الله أنا أبو علي بن الصواف نا محمد بن عثمان بن أبي شيبة نا محمد بن العلاء نا أبو بكر بن عياش عن مجالد عن الشعبي قال أول من كذب عبد الله بن سبأ
Telah mengabarkan kepada kami Abul
Barakaat Al Anmaathiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu
Thaahir Ahmad bin Hasan dan Abu Fadhl Ahmad bin Hasan keduanya berkata
telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Malik bin Muhammad bin ‘Abdullah
yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aliy bin Shawwaaf yang
berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Utsman bin Abi
Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al
‘Alla’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin ‘Ayyasy
dari Mujalid dari Asy Sya’biy yang berkata “orang pertama yang berbuat kedustaan adalah ‘Abdullah bin Sabaa’ [Tarikh Ibnu Asakir 29/7].
Atsar ini sanadnya dhaif. Muhammad bin Utsman bin Abi Syaibah
adalah perawi yang diperbincangkan kedudukannya. Shalih Al Jazarah
berkata “tsiqat”. Abdaan berkata “tidak ada masalah padanya”. Abdullah
bin ‘Ahmad berkata “kadzab” Ibnu Khirasy berkata “pemalsu hadis” [As
Siyaar 14/21]. Tuduhan dusta dan pemalsu hadis sebagaimana dikatakan
Abdullah bin Ahmad dan Ibnu Khirasy ternyata bersumber dari Ibnu Uqdah
seorang yang tidak bisa dijadikan sandaran perkataannya.
Tetapi sebagian ulama lain telah
memperbincangkan Muhammad bin Utsman bin Abi Syaibah. Daruquthni berkata
“dhaif” [Su’alat Al Hakim no 172]. Al Khaliliy berkata “mereka para
ulama mendhaifkannya” [Al Irsyad 2/576]. Baihaqi berkata “tidak kuat”
[Sunan Baihaqi 6/174 no 11757]. Adz Dzahabiy sendiri walaupun memujinya
dengan sebutan imam hafizh musnad sebagaimana dinyatakan dalam As
Siyaar, di kitabnya yang lain Adz Dzahabiy berkata “dhaif” [Tarikh Al
Islam 1/25].
Abu Bakar bin ‘Ayyasy
juga termasuk perawi yang diperbincangkan. Ahmad terkadang berkata
“tsiqat tetapi melakukan kesalahan” dan terkadang berkata “sangat banyak
melakukan kesalahan”, Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat, Utsman Ad Darimi
berkata “termasuk orang yang jujur tetapi laisa bidzaka dalam hadis”.
Muhammad bin Abdullah bin Numair mendhaifkannya, Al Ijli menyatakan ia
tsiqat tetapi sering salah. Ibnu Sa’ad juga menyatakan ia tsiqat shaduq
tetapi banyak melakukan kesalahan, Al Hakim berkata “bukan seorang yang
hafizh di sisi para ulama” Al Bazzar juga mengatakan kalau ia bukan
seorang yang hafizh. Yaqub bin Syaibah berkata “hadis-hadisnya
idhthirab”. As Saji berkata “shaduq tetapi terkadang salah”. [At Tahdzib
juz 12 no 151]. Ibnu Hajar berkata “tsiqah, ahli ibadah, berubah
hafalannya di usia tua, dan riwayat dari kitabnya shahih” [At Taqrib
2/366]. Ia dikatakan mengalami ikhtilath di akhir umurnya dan tidak
diketahui apakah Muhammad bin Al ‘Alla’ meriwayatkan darinya sebelum
atau sesudah mengalami ikhtilath. Maka hal ini menjadi illat [cacat]
yang menjatuhkan derajat riwayat tersebut.
Riwayat tersebut juga lemah karena Mujalid bin Sa’id Al Hamdaniy
ia seorang yang dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar. Ibnu Ma’in berkata
“tidak bisa dijadikan hujjah”. Nasa’i berkata “tidak kuat”. Daruquthni
berkata “dhaif”. Yahya bin Sa’id mendhaifkannya [Mizan Al I’tidal juz 3
no 7070]. Al Ijliy menyatakan ia hasanul hadis [Ma’rifat Ats Tsiqat no
1685]. Ibnu Hajar berkata “tidak kuat” [At Taqrib 2/159]. Mujallid tidak
memiliki penguat dalam riwayat di atas maka kedudukan riwayat tersebut
dhaif.
Matan riwayat Asy Sya’biy tersebut juga
mungkar karena bagaimana mungkin dikatakan Ibnu Sabaa’ adalah orang
pertama yang berbuat kedustaan padahal sebelumnya sudah ada para
pendusta yang mengaku sebagai Nabi seperti Musailamah dan pengikutnya.
Mustahil dikatakan Asy Sya’biy tidak mengetahui perkara Musailamah.
حَدَّثَنِي أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلاءِ الْهَمْدَانِيُّ ، نا مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ الأَسَدِيُّ ، نا هَارُونُ بْنُ صَالِحٍ الْهَمْدَانِيُّ ، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ ، عَنْ أَبِي الْجُلاسِ ، قَالَ : سَمِعْتُ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، يَقُولُ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَبَأٍ : ” وَيْلَكَ ، مَا أَفْضَى إِلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا كَتَمَهُ أَحَدًا مِنَ النَّاسِ وَلَقَدْ سَمِعْتُهُ يَقُولُ : إِنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ ثَلاثِينَ كَذَّابًا وَإِنَّكَ لأَحَدُهُمْ؟
Telah menceritakan kepadaku Abu
Kuraib Muhammad bin Al ‘Allaa’ Al Hamdaaniy yang berkata telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Hasan Al Asadiy yang berkata telah
menceritakan kepada kami Haarun bin Shaalih Al Hamdaaniy dari Al
Haarits bin ‘Abdurrahman dari Abul Julaas yang berkata aku mendengar Aliy
[radiallahu ‘anhu] berkata kepada ‘Abdullah bin Saba’ “celaka engkau,
Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak pernah menyampaikan
kepadaku sesuatu yang Beliau sembunyikan dari manusia dan sungguh aku
telah mendengar Beliau berkata “sesungguhnya sebelum kiamat akan ada
tiga puluh pendusta” dan engkau adalah salah satu dari mereka [As Sunnah Abdullah bin Ahmad no 1325].
Abu Ya’la juga membawakan hadis ini dalam
Musnad-nya 1/350 no 449 dengan jalan Abu Kuraib di atas. Abu Kuraib
memiliki mutaba’ah yaitu Abu Bakar bin Abi Syaibah sebagaimana yang
disebutkan Ibnu Abi Ashim dalam As Sunnah no 982 dan Abu Ya’la dalam
Musnad-nya 1/350 no 450. Nashibi menyatakan bahwa atsar ini tsabit
(kokoh) dan mengutip Al Haitsamiy yang berkata “diriwayatkan Abu Ya’la
dan para perawinya tsiqat” [Majma’ Az Zawaid 7/333 no 12486].
Pernyataan nashibi keliru dan menunjukkan kejahilan yang nyata. Atsar ini kedudukannya dhaif jiddan.
- Muhammad bin Hasan Al Asadiy ia seorang yang diperbincangkan. Ibnu Hajar berkata “shaduq ada kelemahan padanya” dan dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib bahwa ia seorang yang dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar. Ia telah didhaifkan oleh Ibnu Ma’in, Yaqub bin Sufyan, Al Uqailiy, Ibnu Hibban, Abu Ahmad Al Hakim dan As Sajiy. Abu Hatim berkata “syaikh”. Abu Dawud berkata “shalih ditulis hadisnya”. Al Ijliy, Ibnu Adiy dan Daruquthni berkata “tidak ada masalah padanya”. Ditsiqatkan Al Bazzar dan dinukil dari Abu Walid bahwa Ibnu Numair mentsiqatkannya. [Tahrir At Taqrib no 5816].
- Haarun bin Shalih Al Hamdaaniy adalah perawi majhul, yang meriwayatkan darinya hanya Muhammad bin Hasan Al Asadiy [Tahrir At Taqrib no 7233]. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 9 no 16198]. Tautsiq Ibnu Hibban tidak memiliki qarinah yang menguatkan.
- Harits bin ‘Abdurrahman disebutkan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat bahwa ia meriwayatkan dari Abu Julaas dan meriwayatkan darinya Harun bin Shalih [Ats Tsiqat Ibnu Hibban juz 6 no 7232]. Tautsiq Ibnu Hibban tidak memiliki qarinah yang menguatkan maka kedudukannya majhul.
- Abu Julaas adalah perawi yang majhul sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar dan disepakati dalam Tahrir At Taqrib [Tahrir At Taqrib no 8029].
Ibnu Hajar dalam kitab Lisan Al Mizan mengutip salah satu riwayat dari Abu Ishaq Al Fazari, Ibnu Hajar berkata:
وقال أبو إسحاق الفزاري عن شعبة عن سلمة بن كهيل عن أبي الزعراء عن زيد بن وهب أن سويد بن غفلة دخل على علي في غمارته فقال إني مررت بنفر يذكرون أبا بكر وعمر يرون أنك تضمر لهما مثل ذلك منهم عبد الله بن سبأ وكان عبد الله أول من أظهر ذلك فقال علي ما لي ولهذا الخبيث الأسود ثم قال معاذ الله أن أضمر لهما إلا الحسن الجميل ثم أرسل إلى عبد الله بن سبأ فسيره إلى المدائن وقال لا يساكنني في بلدة أبدا ثم نهض إلى المنبر حتى اجتمع الناس فذكر القصة في ثنائه عليهما بطوله وفي آخره إلا ولا يبلغني عن أحد يفضلني عليهما إلا جلدته حد المفتري
Abu Ishaaq Al Fazaariy berkata dari
Syu’bah dari Salamah bin Kuhail dari Abi Az Za’raa dari Zaid bin Wahb
bahwa Suwaid bin Ghaffalah masuk menemui ’Ali [radiallahu ‘anhu] di masa
kepemimpinannya. Lantas dia berkata,”Aku melewati sekelompok orang
menyebut-nyebut Abu Bakar dan ’Umar. Mereka berpandangan bahwa engkau
juga menyembunyikan perasaan seperti itu kepada mereka berdua. Diantara
mereka adalah ’Abdullah bin Saba’ dan dialah orang pertama yang
menampakkan hal itu”. Lantas ’Ali berkata,”Aku berlindung kepada Allah
untuk menyembunyikan sesuatu terhadap mereka berdua kecuali kebaikan”. Kemudian beliau mengirim utusan kepada ’Abdullah bin Saba’ dan mengusirnya ke Al-Madaain.
Beliau juga berkata,”Jangan sampai engkau tinggal satu negeri bersamaku
selamanya”. Kemudian beliau bangkit menuju mimbar sehingga manusia
berkumpul. Lantas beliau menyebutkan kisah secara panjang lebar yang
padanya terdapat pujian terhadap mereka berdua [Abu Bakar dan ’Umar],
dan akhirnya berliau berkata,”Ketahuilah, jangan pernah sampai kepadaku
dari seorangpun yang mengutamakan aku dari mereka berdua melainkan aku
akan mencambuknya sebagai hukuman untuk orang yang berbuat dusta. [Lisan
Al Mizan juz 3 no 1225].
Nashibi berkata tentang riwayat ini bahwa
kedudukannya tsabit. Pernyataan ini keliru, bahkan bisa dikatakan
riwayat ini khata’ [salah]. Asal mula riwayat ini adalah apa yang
disebutkan Abu Ishaaq Al Fazari dalam kitabnya As Siyar dan Al Khatib
dalam Al Kifaayah.
أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ غَالِبٍ الْخُوَارَزْمِيُّ قَالَ : ثنا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ حَمْدَانَ النَّيْسَابُورِيُّ بِخُوَارَزْمَ ، قَالَ : أَمْلَى عَلَيْنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْبُوشَنْجِيُّ ، قَالَ : ثنا أَبُو صَالِحٍ الْفَرَّاءُ مَحْبُوبُ بْنُ مُوسَى ، قَالَ : أنا أَبُو إِسْحَاقَ الْفَزَارِيُّ ، قَالَ : ثنا شُعْبَةُ ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ ، عَنْ أَبِي الزَّعْرَاءِ ، أَوْ عَنْ زَيْدِ بْنِ وَهْبٍ ، أَنَّ سُوَيْدَ بْنَ غَفَلَةَ الْجُعْفِيَّ ، دَخَلَ عَلَى عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، فِي إِمَارَتِهِ ، فَقَالَ : يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنِّي مَرَرْتُ بِنَفَرٍ يَذْكُرُونَ أَبَا بَكْرٍ ، وَعُمَرَ بِغَيْرِ الَّذِي هُمَا لَهُ أَهْلٌ مِنَ الإِسْلامِ ، لأَنَّهُمْ يَرَوْنَ أَنَّكَ تُضْمِرُ لَهُمَا عَلَى مِثْلِ ذَلِكَ ، وَإِنَّهُمْ لَمْ يَجْتَرِئُوا عَلَى ذَلِكَ إِلا وَهُمْ يَرَوْنَ أَنَّ ذَلِكَ مُوَافِقٌ لَكَ ، وَذَكَرَ حَدِيثَ خُطْبَةِ عَلِيٍّ وَكَلامِهِ فِي أَبِي بَكْرٍ ، وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ ، وَقَوْلِهِ فِي آخِرِهِ ” أَلا : وَلَنْ يَبْلُغَنِي عَنْ أَحَدٍ يُفَضِّلُنِي عَلَيْهِمَا إِلا جَلَدْتُهُ حَدَّ الْمُفْتَرِي
Telah mengabarkan kepada kami Abu
Bakar Ahmad bin Muhammad bin Ghaalib Al Khawarizmiy yang berkata telah
menceritakan kepada kami Abu ‘Abbas Muhammad bin Ahmad bin Hamdaan An
Naisaburiy di Khawarizm yang berkata imla’ kepada kami Abu ‘Abdullah
Muhammad bin Ibrahiim Al Buusyanjiy yang berkata telah menceritakan
kepada kami Abu Shalih Al Farra Mahbuub bin Muusa yang berkata telah
menceritakan kepada kami Abu Ishaaq Al Fazariy yang berkata telah
menceritakan kepada kami Syu’bah dari Salamah bin Kuhail dari Abi Az
Za’raa’ atau dari Zaid bin Wahb bahwa Suwaid bin Ghafallah Al Ju’fiy
menemui Ali bin Abi Thalib [radiallahu ‘anhu] pada masa kepemimpinannya
dan berkata “wahai amirul mukminin aku melewati sekelompok orang yang
menyebut-nyebut Abu Bakar dan Umar sesuatu dalam islam yang tidak ada
pada diri mereka. Mereka berpandangan bahwa engkau juga menyembunyikan
perasaan seperti itu kepada mereka berdua dan bahwa mereka tidaklah
menyatakan hal itu kecuali mereka berpandangan bahwa hal itu diakui
olehmu kemudian disebutkan hadis khutbah Ali yang berbicara tentang Abu
Bakar dan Umar akhirnya berkata,”Ketahuilah, jangan pernah sampai
kepadaku dari seorangpun yang mengutamakan aku dari mereka berdua
melainkan aku akan mencambuknya sebagai hukuman untuk orang yang berbuat
dusta [Al Kifaayah Al Khatib 3/333 no 1185].
Riwayat dengan matan yang sama di atas
juga disebutkan Abu Ishaaq Al Fazari dalam kitabnya As Siyar hal 327 no
647. Kalau kita membandingkan riwayat Abu Ishaaq Al Fazaariy ini dengan
apa yang dinukil oleh Ibnu Hajar maka terdapat kesalahan penukilan yang
dilakukan Ibnu Hajar.
- Kesalahan pada sanad yaitu Ibnu Hajar menuliskan dari Abu Ishaq dari Syu’bah dari Salamah dari Abu Az Za’raa’ dari Zaid bin Wahb dari Suwaid. Sedangkan riwayat Abu Ishaq sebenarnya adalah dari Syu’bah dari Salamah dari Abu Az Za’raa’ atau dari Zaid bin Wahb dari Suwaid.
- Kesalahan pada matan yaitu Ibnu Hajar menuliskan lafaz bahwa diantara mereka ada Ibnu Sabaa’ dan dialah yang pertama kali menampakkan hal itu sehingga Ali [radiallahu ‘anhu] mengusirnya ke Mada’in. Sedangkan riwayat Abu Ishaq sebenarnya tidak ada keterangan tentang Abdullah bin Saba’.
Maka riwayat Abu Ishaaq Al Fazaariy tidak
bisa dijadikan hujjah untuk membuktikan khayalan nashibi tentang
‘Abdullah bin Sabaa’. Ada baiknya mereka mengais-ngais riwayat lain
karena sepertinya mereka sudah kehabisan hujjah riwayat.
Riwayat Abu Ishaq Al Fazaariy di atas mengandung lafaz syaak [ragu] yaitu Salamah bin Kuhail berkata dari Abi Az Za’raa’ atau dari Zaid bin Wahb.
Zaid bin Wahb adalah seorang yang tsiqat dan Abu Az Za’raa’ Abdullah
bin Haani’ Al Kuufiy adalah perawi yang dhaif tetapi bisa dijadikan
i’tibar. Al Ijli dan Ibnu Sa’ad menyatakan ia tsiqat. Tetapi Al Bukhari
berkata “tidak memiliki mutaba’ah dalam hadisnya”. Al Uqailiy
memasukkannya dalam Adh Dhu’afa. Dan tidak meriwayatkan darinya kecuali
Salamah bin Kuhail [Tahrir At Taqrib no 3677]. Adz Dzahabi memasukkannya
dalam Diwan Adh Dhu’afa no 2337.
Jika kedua orang ini adalah perawi yang
tsiqat maka lafaz syaak seperti itu tidaklah menjatuhkan kedudukan
hadisnya tetapi jika salah satu dari kedua perawi itu dhaif maka ini
menjadi illat [cacat] bagi riwayat tersebut. Apakah riwayat tersebut
berasal dari perawi yang tsiqat ataukah dari perawi yang dhaif?. Bisa
saja riwayat tersebut sebenarnya berasal dari perawi yang dhaif.
Kesimpulan dari pembahasan di atas adalah riwayat-riwayat
tentang Abdullah bin Sabaa’ yang diriwayatkan melalui jalur selain Saif
bin Umar ternyata sanadnya juga tidak shahih. Jikapun ada yang hasan riwayatnya maka penunjukkannya tidak jelas sebab yang tertera dalam riwayat tersebut adalah Ibnu Saudaa’
dan tidak ada bukti shahih bahwa Ibnu Saudaa’ yang dimaksud adalah
‘Abdullah bin Saba’. Ibnu Saudaa’ berarti anak budak hitam. Jadi riwayat
tersebut hanya menunjukkan bahwa di masa Imam Ali terdapat anak budak
hitam yang berdusta atas nama Allah SWT dan Rasul-Nya.
Sebagian orang melebih-lebihkan dan
mengada-ada tanpa dalil shahih bahwa Ibnu Saudaa’ yang dimaksud adalah
‘Abdullah bin Saba’. Kemudian mereka dengan nafsu kejinya
menambah-nambahkan lagi bahwa ‘Abdullah bin Sabaa’ adalah pendiri Syiah
menyebarkan keyakinan Imamah Ali bin Abi Thalib, menyebarkan akidah
raja’ dan bada’, mencela Abu Bakar dan Umar. Padahal mereka tidak mampu
membawakan satu dalil shahihpun yang menguatkan hujjah mereka.
Analogi yang pas untuk dongeng ‘Abdullah
bin Sabaa’ seperti kisah berikut ada seorang yang dikenal pendusta di
sebuah dusun dalam suatu negri. Kemudian negri tersebut terjatuh dalam
kekacauan karena ulah pemimpinnya yang korup. Seiring dengan waktu
terdapat orang-orang yang punya kepentingan melindungi aib sang pemimpin
sehingga menyebarkan syubhat dengan mencatut nama si pendusta dari
dusun kecil sebagai penyebab kekacauan negri tersebut. Kemudian para
ahli sejarah yang kritis menelaah dan membuktikan bahwa sebenarnya si
pendusta ini adalah tokoh fiktif yang dijadikan tameng untuk melindungi
aib sang pemimpin. Para ahli lain yang dibayar oleh pihak yang
berkepentingan berhasil membuktikan bahwa pendusta yang dimaksud memang
ada dan tinggal di dusun tersebut jadi ia tidaklah fiktif maka kaum
bayaran itu berbangga hati berhasil membuktikan bahwa ahli sejarah
tersebut keliru.
Padahal orang yang punya akal pikiran dan waras pemahamannya akan berkata membuktikan adanya si pendusta bukan berarti membuktikan bahwa si pendusta itu yang mengacaukan negri tersebut. Itu adalah dua hal berbeda yang masing-masing memerlukan pembuktian. Nah begitulah, membuktikan adanya ‘Abdullah bin Sabaa’ bukan menjadi bukti bahwa ‘Abdullah bin Sabaa’ adalah pendiri Syiah.
Itu adalah dua hal berbeda yang masing-masing membutuhkan pembuktian.
Apakah para nashibi itu mengerti? Jawabannya tidak, mereka adalah
orang-orang yang lemah akalnya hampir-hampir tidak mengerti pembicaraan
dan suka mencela untuk mengacaukan persatuan umat.
Nashibi yang kehabisan akal akhirnya
kembali mengandalkan Saif bin Umar At Tamimiy. Hanya saja mereka sedikit
melakukan akrobat dengan mengatakan Saif memang dhaif dalam hadis tetapi menjadi pegangan dalam sejarah.
Dan riwayat tentang Ibnu Sabaa’ termasuk sejarah bukan hadis.
Diantaranya mereka mengutip perkataan Ibnu Hajar tentang Saif “dhaif
dalam hadis dan pegangan dalam tarikh” [At Taqrib 1/408].
Pembelaan ini tidak bernilai bahkan bisa
dibilang inkonsisten. Kalau memang para ulama menjadikan Saif bin Umar
sebagai pegangan dalam tarikh maka mengapa banyak para ulama yang
melemahkan riwayat Saif bin Umar tentang tarikh ketika Saif menceritakan
aib para sahabat Nabi misalnya Utsman bin ‘Affan. Jika untuk menuduh
Syiah, Saif bin Umar dijadikan pegangan tetapi jika Saif menyatakan aib
sahabat ia dicela habis-habisan. Bukankah ini gaya berhujjah model
hipokrit aka munafik.
Saif bin Umar
adalah seorang yang dhaif matruk bahkan dikatakan pemalsu hadis. Hal
ini menunjukkan bahwa ia seorang pendusta yang tidak segan-segan untuk
memalsukan hadis atas nama Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Kalau untuk hadis saja ia berani berdusta maka apalagi tarikh yang
kedudukannya lebih rendah dari hadis.
Maka sangat terlihat betapa rendah akal
para nashibi dalam berhujjah. Mereka tidak bisa menggunakan akal mereka
dengan benar. Hawa nafsu telah menuntun mereka dalam kontradiksi yang
nyata. Demi melancarkan tuduhan terhadap Syiah mereka rela menghalalkan
apa saja bahkan rela merendahkan akal mereka sendiri.
Bukankah para ulama Sunniy telah banyak
mengutip biografi ‘Abdullah bin Saba’ dan menyatakan bahwa ia pendiri
Syiah?. Memang tetapi perlu diingat bahwa para ulama ketika menuliskan
biografi terkadang mencampuradukkan riwayat yang shahih dan dhaif atau
bahkan ada yang hanya bersandar pada riwayat dhaif. Jadi apa yang mereka
tulis bukanlah hujjah shahih jika ternyata hanya bersandar pada riwayat
dhaif atau tidak didukung oleh riwayat yang shahih.
Akibatnya jika kita meneliti dengan baik
banyak perkataan para ulama yang bertentangan satu sama lain tentang
‘Abdullah bin Sabaa’. Misalnya ada yang mengatakan bahwa ia dibakar Imam
Ali tetapi ada yang menyatakan ia diusir Imam Ali ke Mada’in. Ada yang
mengatakan bahwa ia disebut juga Ibn Saudaa’ tetapi ada yang menyatakan
ia bukan Ibnu Saudaa’ atau menyatakan ia sebenarnya adalah Abdullah bin
Wahb Ar Rasibiy pemimpin khawarij. Jadi tidak ada gunanya kalau
berhujjah dengan model “katanya” buktikan hujjah dengan riwayat shahih,
itulah kaidah ilmiah.
Tinjauan Riwayat Abdullah bin Sabaa’ Dalam Kitab Syiah.
Nashibi dalam menegakkan hujjah tuduhan
dan celaan mereka bahwa ‘Abdullah bin Sabaa’ pendiri Syiah, mereka juga
mengutip berbagai riwayat Syiah dan nukilan Ulama syiah yang mengakui
keberadaan ‘Abdullah bin Sabaa’. Secara pribadi kami tidak memiliki
kompetensi untuk meneliti kitab-kitab Syiah jadi pembahasan bagian ini
merujuk pada tulisan-tulisan sebagian pengikut Syiah.
Berulang kali kami katakan bahwa kami
bukan penganut Syiah dan tulisan ini hanya ingin menunjukkan pada orang
awam bahwa syubhat salafy nashibi yang mencela Syiah adalah tidak
berdasar dan dusta. Kami pribadi mengakui Syiah sebagai salah satu
mazhab dalam Islam. Berbagai perbedaan antara Sunni dan Syiah tidak
membuat salah satu layak untuk mengkafirkan yang lainnya. Kami mengajak
kepada para pembaca untuk bersikap adil tanpa dipengaruhi mazhab
manapun, kami tidak pula mengajak para pembaca agar menjadi penganut
Syiah atau penganut Sunni. Apapun mazhab Islam yang dianut, hendaknya
kita menjaga persatuan, saling menghormati dan menjaga kerukunan sesama
muslim.
Telah kami bahas sepintas sebelumnya bahwa di sisi Syiah terkait dengan ‘Abdullah bin Sabaa’ terbagi menjadi dua pendapat
- Pendapat yang menganggap ‘Abdullah bin Sabaa’ sebagai tokoh fiktif. Pendapat ini dipopulerkan oleh ulama syiah kontemporer dan diikuti oleh sebagian yang lain.
- Pendapat yang mengakui keberadaan ‘Abdullah bin Sabaa’ dan menyatakan bahwa ia seorang yang ghuluw ekstrim bahkan jatuh dalam kekafiran. Hal ini diakui oleh ulama syiah terdahulu dalam kitab-kitab mereka.
Walaupun begitu kedua pendapat ini
sepakat menolak tuduhan nashibi ‘Abdullah bin Sabaa’ sebagai pendiri
Syiah. Ada yang menolak dengan memfiktifkan tokoh tersebut dan ada yang
menolak dengan membawakan riwayat shahih bahwa ‘Abdullah bin Sabaa’
seorang yang dilaknat oleh Imam Ahlul Bait karena mendakwakan ketuhanan
Ali [radiallahu ‘anhu].
عن أبان بن عثمان قال سمعت أبا عبد الله يقول لعن الله عبد الله بن سبإ إنه ادعى الربوبية في أمير المؤمنين و كان و الله أمير المؤمنين عبدا لله طائعا الويل لمن كذب علينا و إن قوما يقولون فينا ما لا نقوله في أنفسنا نبرأ إلى الله منهم نبرأ إلى الله منهم
Dari ‘Aban bin Utsman yang berkata aku mendengar Abu ‘Abdillah mengatakan Allah melaknat ‘Abdullah bin Saba’. Sesungguhnya ia mendakwakan Rububiyyah [ketuhanan] kepada Amiirul Mukminiin [Imam Ali],
sedangkan Amiirul Mukminiin demi Allah hanyalah seorang hamba yang
mentaati Allah. Neraka Wail adalah balasan bagi siapa saja yang berdusta
atas nama kami. Sesungguhnya telah ada satu kaum berkata-kata tentang
kami sesuatu yang kami tidak mengatakannya. Kami berlepas diri kepada
Allah atas apa yang mereka katakan itu, kami berlepas diri kepada Allah
atas apa yang mereka katakan itu [Rijal Al Kasysyiy hal 107 no 172].
Riwayat-riwayat semisal inilah yang
dikutip oleh para nashibi dan disisi kelimuan Syiah riwayat Al Kasysyiy
di atas shahih. Tetapi shahih-nya riwayat di atas tidak menjadi bukti
akan kebenaran tuduhan nashibi bahwa ‘Abdullah bin Sabaa’ pendiri Syiah. Riwayat yang shahih di sisi Syiah menunjukkan bahwa ‘Abdullah bin Sabaa’ adalah seorang kafir yang dilaknat yang mendakwakan ketuhanan Ali [radiallahu ‘anhu].
Tentu saja di sisi Syiah tidak ada sedikitpun ajaran yang menuhankan
Imam Ali. Syiah berlepas diri dari ‘Abdullah bin Saba’ dan tidak jarang
ulama syiah mensifatkan ‘Abdullah bin Sabaa’ dengan kekafiran dan ghuluw
ekstrim.
Dengan berpikir secara rasional sungguh
sangat tidak mungkin jika ‘Abdullah bin Sabaa’ dikatakan pendiri Syiah
karena di dalam kitab Syiah sendiri ia dikenal sebagai seorang ghuluw
ekstrim bahkan kafir. Dan tidak ada satupun riwayat shahih dalam kitab
Syiah bahwa ada salah satu ajaran Syiah yang bermula atau diambil dari
‘Abdullah bin Sabaa’. Para pengikut Syiah mengambil ajaran mereka dari
para Imam Ahlul Bait dan Imam Ahlul Bait sendiri ternyata melaknat
‘Abdullah bin Sabaa’. Anehnya para nashibi tidak mampu berpikir secara
rasional, mereka mengutip sesuka hati melompat-lompat dalam menarik
kesimpulan, menegakkan waham di atas waham.
Seperti halnya para ulama sunni, ulama syiah juga mengalami kesimpangsiuran dalam kabar yang terkait Abdullah bin Sabaa’.
- At Thuusiy berkata bahwa Abdullah bin Sabaa’ kufur dan ghuluw [Rijal Ath Thuusiy hal 80].
- Al Hilliy berkata Abdullah bin Sabaa’ ghuluw terlaknat, ia menganggap Aliy Tuhan dan dirinya adalah Nabi [Rijal Al Hilliy hal 237].
- Al Mamqaniy berkata “Abdullah bin Sabaa’ dikembalikan padanya kekafiran dan ghuluw yang nyata” ia juga berkata “Abdullah bin Sabaa’ ghuluw terlaknat, Imam Ali membakarnya dengan api, ia mengatakan Ali adalah Tuhan dan ia sendiri adalah Nabi [Tanqiihul Maqaal Fii Ilm Rijaal 2/183-184]. Kami menukil ini dari situs nashibi dan sebagian pengikut syiah berkata bahwa ini bukan perkataan Al Mamqaniy tetapi perkataan Ath Thuusiy dan Al Hilliy sebelumnya.
- Sayyid Ni’matullah Al Jaza’iriy berkata bahwa Abdullah bin Sabaa’ mengatakan Ali adalah Tuhan sehingga Imam Ali mengasingkannya di Mada’in [Anwaar An Nu’maniyah 2/234].
- An Naubakhtiy berkata bahwa dihikayatkan oleh sekelompok ahli ilmu bahwa Abdullah bin Sabaa’ adalah yahudi yang masuk islam dan menunjukkan loyalitas pada Imam Ali, dan ia yang pertama kali menyatakan Imamah Ali [radiallahu ‘anhu] [Firaq Asy Syiiah hal 32-44].
- Sa’d bin ‘Abdullah Al Qummiy menyatakan bahwa kelompok Saba’iyyah adalah pengikut ‘Abdullah bin Sabaa’ ia adalah Abdullah bin Wahb Ar Raasibiy Al Hamdaniy. Dia adalah orang yang pertama kali menampakkan celaan pada Abu Bakar, Umar, Utsman dan sahabat lainnya serta berlepas diri dari mereka [Al Maqaalaat Wal Firaq hal 20]. Dikenal dalam sejarah bahwa Abdullah bin Wahb Ar Raasibiy adalah pemimpin kaum khawarij dan ia disebutkan terbunuh di Nahrawan.
Nampak kabar yang simpang siur jika kita
memperhatikan perkataan para ulama syiah tersebut. Ada yang mengatakan
ia dibakar dengan api, ada yang mengatakan ia diasingkan ke Mada’in. Ada
yang mengatakan ia yahudi yang masuk islam, ada yang mengatakan ia
Abdullah bin Wahb pimpinan kaum khawarij. Simpang siur ini terjadi
karena ulama syiah kebanyakan hanya menukil dan mencampuradukkan antara
riwayat yang shahih dengan riwayat dhaif. [sama seperti ulama Sunniy].
Satu-satunya keterangan yang disampaikan dari riwayat Syiah yang shahih perihal Abdullah bin Sabaa’ adalah bahwa ia ghuluw terlaknat meyakini ketuhanan Imam Ali.
Tidak benar jika dikatakan bahwa ‘Abdullah bin Sabaa’ yang pertama kali
menyatakan imamah Ali [radiallahu ‘anhu] karena tidak ternukil dalam
riwayat yang shahih di sisi Syiah.
Perkataan atau nukilan dari Naubakhtiy
bahwa sekelompok ahli ilmu menyatakan Abdullah bin Sabaa’ yang pertama
menyatakan Imamah Ali [radiallahu ‘anhu] adalah tidak berdasar dan tidak
ada riwayat shahih di sisi Syiah yang mengatakannya bahkan tidak
dikenal siapa saja ahli ilmu yang menyatakan demikian. Justru banyak
ahli ilmu [di sisi Syiah] yang menyatakan ‘Abdullah bin Sabaa’ ghuluw
kafir terlaknat.
Apa yang dapat disimpulkan dari
pembahasan sejauh ini tentang ‘Abdullah bin Sabaa’?. Kita akan
merincikan hal ini dalam kedua bagian yaitu keberadaan ‘Abdullah bin
Sabaa’ dan Peran ‘Abdullah bin Sabaa’.
Keberadaan Abdullah bin Sabaa’.
- Tidak ada riwayat shahih di sisi Sunniy yang menyatakan keberadaan ‘Abdullah bin Sabaa’. Riwayat yang dijadikan hujjah nashibi telah dikemukakan illat [cacatnya]. Ada riwayat yang hasan [jika selamat dari illat] bahwa ada seorang yang dicela Imam Ali karena berdusta atas nama Allah SWT yaitu Ibnu Saudaa’ dan tidak ada bukti shahih bahwa ia adalah ‘Abdullah bin Sabaa’
- Ada riwayat shahih di sisi Syiah yang menyatakan keberadaan ‘Abdullah bin Sabaa’ bahwa ia ghuluw jatuh dalam kekafiran dan menyebarkan paham ketuhanan Ali [radiallahu ‘anhu]
Peran Abdullah bin Sabaa’
- Tidak ada riwayat shahih di sisi Sunniy dan di sisi Syiah yang menyatakan bahwa Abdullah bin Sabaa’ adalah orang yang pertama kali mengenalkan konsep Imamah Ali [radiallahu ‘anhu], celaan terhadap sahabat Abu Bakar dan Umar, konsep rajaa’ dan bada’, dan perannya dalam pembunuhan khalifah Utsman.
- Ternukil riwayat-riwayat dhaif baik di sisi Sunni dan di sisi Syiah yang menyatakan peran ‘Abdullah bin Sabaa’ misalnya riwayat Saif bin Umar bahwa Abdullah bin Sabaa’ mengenalkan konsep Imamah Ali dan perannya dalam pembunuhan khalifah Utsman. Begitu juga ternukil tanpa sanad riwayat syiah seperti yang dinukil An Naubakhtiy dan nukilan ulama yang diklaim menyatakan Abdullah bin Sabaa’ yang pertama mengenalkan konsep Imamah Aliy dan mencela Abu Bakar dan Umar. Nukilan ini tidak valid alias tidak terbukti siapa ahli ilmu di sisi Syiah yang menyatakannya dan riwayat tanpa sanad jelas dhaif kedudukannya.
- Sebagian ulama Sunni dan ada juga ulama Syiah yang menukil dalam kitab mereka peran ‘Abdullah bin Sabaa’ misalnya anggapan bahwa ia yahudi, mencela Abu Bakar dan Umar, terlibat pembunuhan Utsman, pertama kali mengenalkan Imamah Ali dan sebagainya. Nukilan mereka tidak bisa dijadikan hujjah karena tidak berlandaskan pada riwayat shahih atau mencampuradukkan antara yang shahih dan dhaif. Dalam perkara ini yang menjadi hujjah adalah bukti riwayat shahih bukan nukilan ulama yang terkadang berasal dari riwayat dhaif.
Penelitian yang baik dan ilmiah tentang Abdullah bin Sabaa’ akan menghasilkan kesimpulan bahwa Nashibi telah berdusta atas tuduhan Abdullah bin Sabaa’ pendiri Syiah.
ABDULLAH BIN SABA’ BENAR TOKOH FIKTIF (Skema pembuktian riwayat sunni dan syi’ah).
Pembahasan tentang fiktifnya Abdullah bin Saba’ dengan mebuat skema-skema yang jauh lebih sederhana. Denganya para pembaca diharapkan akan dengan cepat memahami penjelasan kedudukan riwayat Abdullah bin saba’ yang diriwayatkan melalui jalur Syaif Ibnu Umar at Tamimi, melalui jalur periwayatan yang tidak melalui Syaif Ibnu Umar at Tamimi mapun riwayat Abdullah bin saba’ yang melalui jalur syi’ah.
Selamat mengikuti.
SKEMA JALUR PERIWAYATAN KISAH ABDULLAH BIN SABA’ MELALUI SYIA’F IBNU UMAR AT TAMIMI
SKEMA PENILAIAN ULAMA AHLU SUNNAH TERHADAP SYAIF IBNU UMAR AT TAMIMI
SKEMA KISAH ABDULLAH BIN SABA’ DALAM TIMBANGAN IBNU HAJAR ASQOLANI
SKEMA KISAH ABDULLAH BIN SABA’ DALAM PERIWAYATAN SEJAHRAWAN SUNNI
SKEMA KISAH ABDULLAH BIN SABA’ DALAM PERIWAYATAN SEJAHRAWAN SYI’AH
SKEMA KISAH ABDULLAH BIN SABA’ DALAM RIWAYAT al KUSYSI
SKEMA PERIWAYATAN ABDULLAH BIN SABA’ OLEH SEJAHRAWAN SYI’AH al QUMMI
PENELUSURAN ABDULLAH PADA NASKAH-NASKAH SEJAHRAWAN MUSLIM AWAL
(Syiah-News/Secondprince/Syiahali/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email