SYi’AH YANG MEYAKiNi TAHRiF BUKANLAH SYi”AH YANG ASLi
ketika Ali diperangi, Ali menyuruh
sahabatnya untuk membawa mushaf Quran kepada para musuh yang
membencinya (kubu Muawiyah), atas nama kitabullah, utusan Ali
menyampaikan pesan dan ajakan damai dari Ali, tapi apa yang dilakukan
oleh orang-orang yang menyebut dirinya kaum muslimin tersebut, utusan
yang membawa kitabullah itu diputuskan tangannya dengan pedang.
Ali tiada berputus asa, berkali-kali
mengirimkan utusan untuk mengajak kepada perdamaian! Ali tidak akan
menganggu mereka dengan apa yang mereka yakini, tapi meminta mereka
untuk melakukan peperangan, tapi sudah tidak ada yang mereka inginkan
kecuali kematian Ali. Maka setiap utusan perdamaian itupun dilukai atau
dibunuh.
Sampai akhirnya Ali memutuskan untuk melakukan perlawanan dengan pengikutnya.
‘Ali bin Abu Thalib radhiyallaahu ‘anhu
sendiri-pun sewaktu menjadi Khalifah sama sekali tidak mempermasalahkan
Al-Quran mushaf ‘Utsmani ini. Tidak mencoba untuk mengoreksinya, tidak
menambahnya, tidak menguranginya, tidak pula mencoba mengubahnya. Sama
sekali tidak, bahkan walau hanya satu surat, bahkan walau hanya satu
huruf. Padahal, beliau sangat sangat-lah mampu untuk melakukannya jika
memang Al-Quran itu ada yang keliru.
Hal ini benar benar menunjukkan kalau
Al-Quran mushaf ‘Utsmani itu memang tidak ada masalah.Maka dengan itu,
tidak ada hujjah untuk mengingkari keotentikan Al-Quran.Menghindari
siksa dari Allah karena menyembunyikan ayat2 Al-Quran adalah suatu
alasan yang sangat lebih dari cukup bagi ‘Ali bin Abu Thalib
radhiyallaahu ‘anhu untuk menyampaikan ayat2 Allah yang benar jika
memang Mushaf Utsmani itu keliru.
Dan sangat tidak masuk akal sekali, kalau
‘Ali radhiyallaahu ‘anhu lebih memilih untuk menyembunyikannya, padahal
beliau tahu apa ancaman Allah bagi orang yang menyembunyikan ayat ayat
Allah??
Mustahil Ali membiarkan kaum muslimin
tersesat hingga akhir jaman karena mengimani al-Quran yg telah
dirubah-rubah, serta mengabaikan ancaman Allah kelak di akhirat…. Jadi,
apapun alasannya, tak ubahnya Ali ra. bahu membahu dalam kesesatan
karena melakukan pembiaran terhadap al-Quran yg dirubah-rubah, padahal
dia punya kekuatan dan kemampuan untuk memperbaikinya.
Dan justru dengan lebih memilih untuk
menyembunyikan ayat2 Allah daripada menyampaikannya, maka berarti beliau
radhiyallaahu ‘anhum telah melakukan satu dosa besar yang diancam
dengan siksa yang berat.
Dan Allah juga berfirman tentang diri Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.”(Q.S Al-Maidah ayat 67).
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.”(Q.S Al-Maidah ayat 67).
Dan dengan lebih memilih untuk
menyembunyikan ayat2 Allah daripada menyampaikannya, maka berarti beliau
telah menyelisihi dari jalan yang telah ditempuh oleh Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam sebagaiamana diperintahkan oleh Allah, yaitu untuk
menyampaikan Al-Quran yang Allah turunkan.
sedangkan telah Allah mengancam
:”Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami
turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah
Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila’nati
Allah dan dila’nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat
mela’nati,”(Q.S Al-Baqarah ayat 159).
Dan Allah mengancam :”Sesungguhnya
orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu
Al Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu
sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan
api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan
tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih” (Q.S
Al-Baqarah ayat 174).
Dan bagi seorang Syi’ah, satu orang ‘Ali bin
Abu Thalib radhiyallaahu ‘anhu yang diam dan tidak merevisi kembali
Mushaf ‘Ustmani itu saat beliau menjadi khalifah, seharusnya sudah
cukup menjadi hujjah. Al Quran Ali sama dengan Al Quran Usmani.
Dalam referensi ahlusunnah sendiri banyak ayat Al Qur’an yang hilang.
Ibnu Majah meriwayatkan dari A’isyah, yang
mengatakan bahwa Ayat Rajam dan Ayat Radha’ah yang ia simpan di bawah
ranjang telah dimakan kambing dan tidak ada lagi dalam Al-Qur’an.
“Ta’wil Mukhtalaf Al-hadits” oleh Ibn Qutaibah, hal. 310. Musnad Ahmad, jilid 6, hal. 269.
Aisyah mengatakan : “Pada masa Nabi, Surat
Al-Ahzab dibaca sebanyak 200 ayat, tetapi ketika Utsman menulis mushaf
ia tidak bisa mendapatkannya kecuali yang ada sekarang”.
1. Suyuthi, dalam “Al-Itqan”, jilid 2, hal. 25.
2. Muntakhab Kanzul Ummal pada Musnad Ahmad, jilid 2, hal. 1.
3. Musnad Ahmad, jilid 5, hal. 132.
2. Muntakhab Kanzul Ummal pada Musnad Ahmad, jilid 2, hal. 1.
3. Musnad Ahmad, jilid 5, hal. 132.
Umar bin Khattab mengatakan : “Apabila bukan
karena orang-orang akan mengatakan bahwa Umar menambah-nambah ayat ke
dalam Kitabullah, akan aku tulis ayat rajam dengan tanganku sendiri”
a. Shohih Bukhori bab “shahadah indal hakim fi wilayatil Qadla”.
b. “Al-itqan” oleh Suyuthi, jilid 2, hal. 25 dan 26.
c. Nailul Authar, kitab hudud ayat rajam, jilid 5, hal. 105.
d. Tafsir Ibnu Katsir, jilid 3, hal. 260.
e. “Hayatus Shohabah” oleh Kandahlawi, jilid 2, hal. 12.
b. “Al-itqan” oleh Suyuthi, jilid 2, hal. 25 dan 26.
c. Nailul Authar, kitab hudud ayat rajam, jilid 5, hal. 105.
d. Tafsir Ibnu Katsir, jilid 3, hal. 260.
e. “Hayatus Shohabah” oleh Kandahlawi, jilid 2, hal. 12.
Bila anda belum tahu mengenai ayat rajam, berikut bunyinya :
“Idzaa Zanaya Syaikhu wa Syaikhotu Farjumuuhuma Al-battatan Minallaahi Wallaahu ‘Aziizun Hakiim”
lihat :
a. Suyuthi, dalam “Al-Itqan”, jilid 2, hal. 25.
b. Abdur Rozaq, dalam “Mushannif”, jilid 7, hal. 320.
c. Muntakhab Kanzul Ummal pada Musnad Ahmad, jilid 2, hal. 1.
“Idzaa Zanaya Syaikhu wa Syaikhotu Farjumuuhuma Al-battatan Minallaahi Wallaahu ‘Aziizun Hakiim”
lihat :
a. Suyuthi, dalam “Al-Itqan”, jilid 2, hal. 25.
b. Abdur Rozaq, dalam “Mushannif”, jilid 7, hal. 320.
c. Muntakhab Kanzul Ummal pada Musnad Ahmad, jilid 2, hal. 1.
Al-Bukhari di dalam Sahihnya, VI, hlm. 210
menyatakan (Surah al-Lail (92):3 telah ditambah perkataan “Ma Khalaqa”
oleh itu ayat yang asal ialah “Wa al-Dhakari wa al-Untha” tanpa “Ma
Khalaqa”. Hadith ini diriwayatkan oleh Abu al-Darda’, kemudian ianya
dicatat pula oleh Muslim, Sahih,I,hlm. 565; al-Turmudhi, Sahih, V, hlm.
191.
Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, I, hlm. 394;
al-Turmudhi, Sahih, V, hlm. 191 menyatakan (Surah al-Dhariyat (51):58
telah diubah dari teks asalnya “Inni Ana r-Razzaq” kepada “Innallah Huwa
r-Razzaq” yaitu teks sekarang.
Muslim, Sahih, I, hlm. 726; al-Hakim,
al-Mustadrak, II, hlm. 224 meriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari,”Kami
membaca satu surah seperti Surah al-Bara’ah dari segi panjangnya, tetapi
aku telah lupa, hanya aku mengingati sepotong dari ayatnya,”Sekiranya
anak Adam (manusia) mempunyai dua wadi dari harta, niscaya dia akan
mencari wadi yang ketiga dan perutnya tidak akan dipenuhi melainkan
dengan tanah.”
Al-Suyuti, al-Itqan, II, hlm. 82,
meriwayatkan bahwa ‘Aisyah menyatakan Surah al-Ahzab (33):56 pada masa
Nabi SAWW adalah lebih panjang yaitu dibaca “Wa’ala al-Ladhina Yusaluna
al-Sufuf al-Uwal” setelahnya “Innalla ha wa Mala’ikatahu Yusalluna ‘Ala
al-Nabi…” Aisyah berkata,”Yaitu sebelum Uthman mengubah mushaf-mushaf.”
al-Muslim, Sahih, II, hlm. 726, meriwayatkan
bahwa Abu Musa al-Asy’ari membaca setelah Surah al-Saf (61):2,
“Fatuktabu syahadatan fi A’naqikum…”tetapi itu tidak dimasukkan ke dalam
al-Qur’an sekarang.
Al-Suyuti, al-Itqan, I, hlm. 226 menyatakan
bahwa dua surah yang bernama “al-Khal” dan “al-Hafd” telah ditulis dalam
mushaf Ubayy bin Ka’b dan mushaf Ibn ‘Abbas, sesungguhnya ‘Ali AS
mengajar kedua-dua surah tersebut kepada Abdullah al-Ghafiqi, ‘Umar dan
Abu Musa al-Asy’ari juga membacanya.
Malik, al-Muwatta’, I, hlm. 138 meriwayatkan
dari ‘Umru bin Nafi’ bahwa Hafsah telah meng’imla’ “Wa Salati al-Asr”
selepas Surah al-Baqarah (2): 238 dan ianya tidak ada dalam al-Qur’an
sekarang. Penambahan itu telah diriwayatkan juga oleh Muslim, Ibn,
Hanbal, al-Bukhari, dan lain-lain.
Al-Bukhari, Sahih, VIII, hlm. 208
mencatatkan bahwa ayat al-Raghbah adalah sebahagian daripada al-Qur’an
iaitu “La Targhabu ‘an Aba’ikum” tetapi ianya tidak wujud di dalam
al-Qur’an yang ada sekarang.
Al-Suyuti, al-Durr al-Manthur, V, hlm. 192
mencatatkan bahwa di sana terdapat ayat yang tertinggal selepas Surah
al-Ahzab (33):25 iaitu “Bi ‘Ali bin Abi Talib”. Jadi ayat yang dibaca,
“Kafa Llahul Mu’minin al-Qital bi ‘Ali bin Abi Talib.”
Ibn Majah, al-Sunan, I, hlm. 625 mencatat
riwayat daripada ‘Aisyah, dia berkata: ayat al-Radha’ah sebanyak 10 kali
telah diturunkan oleh Allah dan ianya ditulis dalam mushaf di bawah
katilku, tetapi manakala wafat Rasulullah SAWW dan kami sibuk dengan
kewafatannya, maka ianya hilang.
Al-Suyuti, al-Itqan, III, hlm. 41
mencatatkan riwayat daripada ‘Abdullah bin ‘Umar, daripada bapanya ‘Umar
bin al-Khattab, dia berkata,”Janganlah seorang itu berkata aku telah
mengambil keseluruhan al-Qur’an, apakah dia tahu keseluruhan al-Qur’an
itu? Sesungguhnya sebahagian al-Qur’an telah hilang dan katakan sahaja
aku telah mengambil al-Qur’an mana yang ada.” Ini bererti sebahagian
al-Qur’an telah hilang.
itu hanya segelintir riwayat.
masih jauh lebih banyak lagi riwayat-riwayat tentang “prahara” penyusunan Quran mushaf utsmani.
sesudah jelas banyak riwayat yang
menjelaskan bahwa tidak semua ayat al Quran tertulis di dalam mushaf
Quran utsmani, lalu mari kita amati, bagaimana kaum sunni mengingkari
hal itu dan bersikukuh bahwa mushaf utsmani adalah kitab yang utuh, yang
terpelihara, yang ssuai redaksi aslinya, tidak berkurang atau tidak
bertambah sedikitpun dari yang seharusnya.
saya telah melihat, mereka menutup mata dari riwayat-riwayat tersebut. karena tidak sanggup menerima kenyataan:
Bagaimana menyikapinya? Silahkan pilih 3 cara…
A. Menolak isu tahrif tersebut karena
bertentangan dengan ayat “ Dan sesungguhnya Kami benar – benar
memeliharanya “ ( QS 15 : 9 ).
B. Menerima isu tahrif itu adalah kehendak Allah dikarenakan ayat “Al Baqarah ayat 106: “ Apa saja ayat yang Kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya ,
Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding
dengannya. Bukankah kamu mengetahui bahwa Allah swt. berkuasa atas
segala sesuatu.”
C. Menerima kedua pendapat tersebut. Bahwa Allah menasakh dan membuat lupa beberapa ayat, kemudian menjaganya.
Syi’ah meyakini Al Quran Syi’ah sama dengan Al Quran Sunni karena :
Allah telah berfirman :”Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya.”(Q.S Al-Hijr ayat 9).
Ini adalah jaminan Allah mengenai
keterjagaan Al-Quran. Jika ada lembaran kertas yang berisikan catatan
ayat Al-Quran yang hilang, atau rusak, atau hancur dengan sebab apapun,
maka itu sama sekali tidaklah menghilangkan ayat Al-Quran-nya.
Sebab dahulu, yang menuliskan ayat2 Al-Quran, bukanlah hanya ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha saja, akan tetapi banyak sekali sahabat2 Nabi lainnnya, sehingga kalaulah ada yang rusak atau hilang atau hancur salah satu diantaranya, maka masih banyak lagi catatan2 yang lainnya.
Zaid bin Tsabit radhiyallaahu ‘anhu pernah mengatakan :
فَتَتَبَّعْتُ الْقُرْآنَ أَجْمَعُهُ مِنْ الْعُسُبِ وَالرِّقَاعِ وَاللِّخَافِ وَصُدُورِ الرِّجَالِ
“Maka kutelusuri ayat2 Al-Quran yang terpisah-pisah dan aku kumpulkan
dari pelepah kurma, kertas/kain, tembikar, dan dari dada para
penghafal….”(Shahih al-Bukhari 9/47 no.7191).
Sebagai bukti bahwa ayat2 Al-Quran itu benar2 dicatat oleh banyak sekali sahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada berbagai media dan sekaligus juga dihafal oleh beliau semua radhiyallaahu ‘anhum.Sehingga -sekali lagi- bahwa hilangnya atau hancurnya atau rusaknya salah satu catatan sama sekali tidak mengubah apa-apa.
Hal ini sebagaimana jika anda memiliki satu mushaf Al-Quran dan kemudian hilang, atau terbakar habis, atau dirobek oleh anak anda, atau dimakan oleh rayap, maka itu sama sekali bukan berarti kalau ayat2 Al-Quran juga ikut hilang, sebab masih banyak lagi jutaan mushaf yang lainnya yang menuliskan ayat2 yang sama di dalamnya, dan masih banyak jutaan orang penghafal Al-Quran yang menghafal apa2 yang terdapat dalam mushaf.
Maka, salah besar jika misalnya ada yang menyangka bahwa dengan
hilangnya atau terbakarnya, atau robeknya atau rusaknya mushaf milik
anda, itu berarti hilangnya pula ayat Al-Quran, sebagaimana salah pula
orang yang membawakan riwayat ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha di atas lalu
menyangka bahwa ayat Al-Quran itu ada yang hilang hanya karena salah
satu lembar catatannya dimakan oleh binatang.
yang bilang bahwa Quran itu
dijaga…ya Allah sendiri. Tapi kita juga harus toleran jika ada
sekelompok kaum syiah yang meyakini bahwa penyusunan surah serta
penempatan ayatnya adalah tidak sesuai dengan urutan turunnya al-Quran.
Sebab Al-Quran itu dikumpulkan dari semua
orang yang pernah mendengar, atau menghafal, ataupun menuliskan ayat2
Al-Quran itu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Sebenarnya dari jaman Abu Bakar ra jg sudah
dimulai koq pengumpulan ‘catatan’ Al-Quran, dan pada masa Umar semua yg
punya cataan mushaf al-Quran di setor dan di tampung, termasuk semua
catatan pihak saidina Ali ra, pada masa Utsman lah diseragamkan semua
“catatan”, ingat hanya “catatan”, sementara sudah bejibun hafidz Quran
dari 3masa khalifah tsb, klo ada beda ngapain aja tuh hafidz Quran,
pastinya mereka duluan yg pada mengkoreksinya.
Seperti kita ketahui bahwa al-Quran yg turun
secara berangsur-angsur selama 22 tahun lebih itu adalah dalam bentuk
serangkaian kalimat yg dibaca (lisan), dan bukan dalam bentuk tulisan
(teks), sebagaimana dijelasakan dalam firman Allah swt,
“Dan Al-Quran itu telah Kami turunkan dengan
berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia
dan Kami menurunkannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami
menurunkannya bagian demi bagian. “ (QS. Al- Isra’: 106).
Jadi, al-Quran diwahyukan kepada Rosulullah
untuk disampaikan kepada umat dg cara disampaikan secara lisan, bukan
berupa teks tertulis. Kemudian para sahabat menerimanya dg cara
menghafalkannya, sebagian yg mempunyai kemampuan baca tulis,
menuliskannya dlm berbagai media. Tulisan wahyu yg disimpan oleh para
sahabat inilah kemudian dikenal dg “mushaf.” Maka wajar bila jumlah
mushaf sahabat cukup banyak.
Pada periode Madinah, Islam berkembang
sangat cepat hingga ke berbagai pelosok daerah. Demi mudahnya dakwah
al-Quran, Nabi SAW memberikan ruksah (kemudahan) untuk memahami al-Quran
dg bahasa & qira’at yg mereka kuasai selain bahasa Quraisy sebagai
bahasa Quran.
Hal inilah yg menyebabkan perbedaan diantara mushaf
sahabat. Setelah Rosulullah wafat, dalam perkembangannya kemudian,
Ustman menemukan adanya saling klaim ditengah2 umat bahwa bacaanya
masing2 yg paling baik. Karena berpotensi perpecahan diantara umat
karena saling klaim, maka Ustman mempunyai upaya mengembalikan bacaan
al-Quran menjadi satu bacaan dg membentuk semacam panitia pengumpulan
dan punilisan al-Quran yg dipercayakan kepada Zaid bin Tsabit, juru
tulils wahyu Nabi SAW bersama para sahabat lainnya dan para hufadz
berdasar pada mushaf Abu Bakar. Ustman kemudian memusnahkan
mushaf-mushaf sahabat dan menyatukan bacaan mereka dalam mushaf Ustmani.
Demikian sekelumit sejarah kodifikasi al-Quran yg dilakukan pada era Khalifah Ustman.
Mengutip pendapat Muhammad Al Ghazali
mengenai tuduhan perubahan al-Quran ini…. Jadi bagaimana mungkin terjadi
pengubahan atas Al Qur’an sementara ada sekian banyak orang yang
menghafal dan mempelajarinya di berbagai tempat yang berbeda? Artinya,
pengubahan terhadap Al Qur’an hanya mungkin terjadi ketika seluruh orang
yang menghafal Al Qur’an yang hidup di berbagai tempat yang berbeda itu
sama-sama sepakat untuk melakukan perubahan terhadap Al Qur’an.
Dan itu
mustahil, karena umat islam tidak akan mungkin sepakat dalam kekufuran.
Maka, jika benar Umar atau Usman telah mengubah Al Qur’an, niscaya para
hufadz di ( orang yg hafal Al Quran ) kalangan sahabat yang jumlahnya
sangat banyak, akan menyadari penyelewengan itu. Jika mereka semua diam
atas penyelewengan itu, maka itu mustahil.
Tapi jangan lupa bahwa Al Quran dan itrah ahlul bait adalah satu kesatuan !
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman yang artinya: “Tidak akan menyentuhnya kecuali orang-orang
yang disucikan“. (Al-Waqi`ah: 79).
yang disucikan“. (Al-Waqi`ah: 79).
dan Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku
hendak mensucikan kamu dari ar-rijs dengan sesuci-sucinya, hai ahlul
bait.” (Q.S al Ahzab : 33).
jadi, jelas bukan, bahwa yang telah
ditentukan oleh Allah yang bisa menyentuh al Quran itu adalah orang yang
telah disucikan, yaitu ahlul bait-nabi.
sebagaimana kata Ibn Hajar al-Haitsami,
“Mazhab kami benar, tetapi mengandung kekeliruan. Mazhab selain kami
keliru, tetapi mengandung kebenaran.”
Isu tahrif (distorsi) Al-Qur’an selalu dituduhkan kepada Syiah, meskipun masalah tahrif ini telah dibantah oleh para ulama Syiah di setiap masa dan generasi sejak ratusan tahun yang lalu.
Sebab, yang penting adalah keyakinan bahwa tidak ada ayat lain selain yang terdapat dalam Al-Quran di tangan kita”.[Syaikh Rasul Ja'fariyan, "Ukdzubah Tahrif al-Qur'an Baina asy-Syiah wa as-Sunnah", hal. 137]
Mengenai riwayat-riwayat lainnya, sebagian mesti dipahami sebagai tahrif maknawi (distorsi kontekstual), bukan tahrif lughawi (distorsi tekstual). Hal ini tampak pada riwayat dari Imam Muhammad al-Baqir, “Di antara ulah mereka yang suka membuang Al-Qur’an adalah membiarkan huruf-hurufnya, tetapi mengubah hukum-hukumnya.”[Al-Kulaini, Al-Kafi, jil. 8, hal. 53].
Namun demikian, bila ada riwayat yang mengindikasikan tahrif lughawi, maka hal ini telah dibantah oleh jumhur ulama Syiah. Sayid Muhsin al-Amin mengatakan tentang tahrif yang dinisbatkan pada Syiah, “Itu adalah bohong dan dusta. Para ulama Syiah dan para muhadis mereka menyatakan yang sebaliknya.” [Sayid Muhsin al-Amin, yan asy-Syi'ah, jil. 1, hal. 46 dan 51].
Bahkan hal ini ditegaskan pula oleh seorang ulama besar Ahlusunah, Rahmatullah al-Hindi, “Sesungguhnya Al-Qur’an al-Majid, di kalangan jumhur Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah, adalah terjaga dari perubahan dan pergantian. Apabila ada di antara mereka yang mengatakan adanya tahrif pada Al-Qur’an, maka yang demikian itu telah mereka tolak dan tidak mereka terima.” [Rahmatullah al-Hindi, Izh-harul Haq, jil. 2, hal. 128].
Saya senang mendengar bahwa isu tahrif di kalangan Ahlusunah, seperti riwayat Ibnu Majah tersebut, telah dibantah. Untuk itu, saya juga menunggu argumen bantahan lanjutan untuk riwayat-riwayat Ahlusunah berikut:
1. Khudzaifah berkata, “Pada masa Nabi, Saya pernah membaca Surat Al-Ahzab. Tujuh puluh ayat darinya saya sudah agak lupa bunyinya, namun saya tidak mendapatinya di dalam Al-Qur’an yang ada saat ini.”[Suyuthi, Durr al-Mantsur, jil. 5, hal. 180].
2. Ibn Mas’ud telah membuang surat Muawidzatain (an-Nas dan al-Falaq) dari mushafnya dan mengatakan bahwa keduanya tidak termasuk ayat Al-Qur’an. [Al-Haitsami, Majma az-Zawa'id, jil. 7, hal 149; Suyuthi, Al-Itqan, jil. 1, hal. 79].
3. Umar bin Khattab berkata, “Apabila bukan karena orang-orang akan mengatakan bahwa Umar menambah ayat ke dalam Kitabullah, maka akan aku tulis ayat rajam dengan tanganku sendiri.” [Shahih Bukhari, bab Syahadah Indal Hakim Fi Wilayatil Qadha; Suyuthi, Al-Itqan, jil. 2, hal. 25 dan 26; Asy-Syaukani, Nailul Authar, jil. 5, hal. 105; Tafsir Ibnu Katsir, jil. 3, hal. 260].
Laknat Bani Umayah Terhadap Ali bin Abi Thalib Sekali lagi, Bung Fahmi terlalu pede dengan hanya mengutip tulisan Shallabi. Mengenai Al-Madaini yang kata Shallabi dinilai tak bisa dipercaya oleh hampir semua pakar dan imam hadis Ahlusunah, adz-Dzahabi dalam kitabnya Siyar A’lami Nubala justru berkata sebaliknya, “Ia memiliki pengetahuan yang menakjubkan tentang sejarah, peperangan, nasab, dan peristiwa-peristiwa di tanah Arab. Ia jujur (shadiq) dalam menyampaikannya. Ia seorang alim dalam isu seputar penaklukan (futuh), peperangan (maghazi), dan syair. Ia seorang yang jujur (shadiq) dalam hal itu.”.
Saya rasa Bung Fahmi tentu tahu bahwa Adz-Dzahabi adalah salah seorang imam rijal hadis Ahlusunah kenamaan. Namun demikian, saya juga ingin menambahkan riwayat tentang pelaknatan Ali tersebut dari sumber-sumber yang lain, di antaranya:
1. Suyuthi berkata, “Pada zaman Bani Umayyah terdapat lebih dari tujuh puluh ribu mimbar untuk melaknat Ali bin Abi Thalib, sebagaimana yang telah ditetapkan Muawiyah.” [Ibn Abil Hadid al-Mu'tazili, Syarh Nahjul Balaghah, jil. 1, hal. 356].
2. Ibn Abdu Rabbih berkata, “Ketika Muawiyah melaknat Ali dalam khutbahnya di Masjid Madinah, Ummu Salamah segera menyurati Muawiyah, “Sungguh engkau telah melaknat Ali bin Abi Thalib. Padahal, aku bersaksi, Allah dan Rasul-Nya mencintainya.” Namun, Muawiyah tidak peduli dengan kata-kata Ummu Salamah itu. [Ibn Abdu Rabbih, Al-Iqdu al-Farid, jil. 2, hal. 301 dan jil. 3, hal. 127].
3. Yaqut al-Hamawi berkata, “Atas perintah Muawiyah, Ali dilaknat selama masa kekuasaan Bani Umayyah dari Timur hingga Barat, di mimbar-mimbar masjid.” [Yaqut al-Hamawi, Mu'jam al-Buldan, jil. 1, hal. 191]
ingatlah kepada kisah Harits di dalam perang Jamal.
Harits kebingungan, karena dua pihak yang hendak berperang itu adalah sama-sama orang yang dicintai nabi.
Harits tampak bingung dan bersedih, ia
berkata, “Wahai Amirul mukminin, saya jadi bingung, di satu sisi ada
Anda, menantu Rasulullah, Sahabat Rasulullah, sepupu Nabi saw,
sedangkan di pihak lain ada Aisyah, Ummul Mukimin, Istri Nabi, Putri Abu
Bakar, siapa yang benar dan siapa yang harus saya bela?”
Ali berkata, “Wahai Harits, cara berpikir mu itu terbalik! kebenaran tidaklah dapat dilihat dari siapa orangnya.”.
Post a Comment
mohon gunakan email