Pesan Rahbar

Home » » Kekejaman dan kesadisan Yazid dengan dukungan Abdullah bin Umar. Ia ikut menyiapkan pasukan dibawah pimpinan MUSLiM bin UQBAH untuk menyerbu Madinah.

Kekejaman dan kesadisan Yazid dengan dukungan Abdullah bin Umar. Ia ikut menyiapkan pasukan dibawah pimpinan MUSLiM bin UQBAH untuk menyerbu Madinah.

Written By Unknown on Tuesday, 8 July 2014 | 05:23:00

Tidak kurang dari 10 ribu orang SAHABAT tewas dalam penyerbuan disamping ribuan wanita yang menjadi korban perkosaan massal.

Abdullah bin Umar bin Khattab.

sering disebut Abdullah bin Umar atau Ibnu Umar saja (lahir 612 – wafat 693/696 atau 72/73 H) adalah seorang sahabat Nabi dan merupakan periwayat hadits yang terkenal. Ia adalah anak dari Umar bin Khattab
ibnu Umar masuk Islam bersama ayahnya saat ia masih kecil, dan ikut hijrah ke Madinah bersama ayahnya. Pada usia 13 tahun ia ingin menyertai ayahnya dalam Perang Badar, namun Rasulullah menolaknya. Perang pertama yang diikutinya adalah Perang Khandaq. Ia ikut berperang bersama Ja’far bin Abu Thalib dalam Perang Mu’tah, dan turut pula dalam pembebasan kota Makkah (Fathu Makkah). Setelah Nabi Muhammad meninggal, ia ikut dalam Perang Yarmuk dan dalam penaklukan Mesir serta daerah lainnya di Afrika. Pada masa Yazid, ia sempat terlibat konflik dengan Abdullah bin Zubair yang pada saat itu telah menjadi penguasa Makkah.

Periwayat hadits.

Ibnu Umar adalah seorang yang meriwayatkan hadist terbanyak kedua setelah Abu Hurairah, yaitu sebanyak 2.630 hadits.

Jika kita membuka lembaran lembaran sejarah buku Sunni, kita akan menemukan banyak pujian dan sanjungan ditujukan kepada Abdullah bin Umar. Hanya saja segala pujian dan sanjungan itu akan segera hilang manakala kita meneliti secara mendalam tentang sikap sikapnya yang tidak mencerminkan sebagai seorang sahabat yang pantas untuk mendapat pujian itu. Abdullah bin Umar harus dicatat sebagai orang zalim, pendusta sunnah rasul dan pendusta syari’at syari’at agama.

Bagaimana mungkin Abdullah bin Umar menyatakan : “Kami mengutamakan Abubakar, Umar dan Usman diantara semua sahabat pada masa Nabi” PADAHAL saat itu ia masih anak anak, usia yang masih sangat muda dan belum tau apa apa. Karena usianya yang masih muda itulah Nabi SAW melarangnya ikut berperang dalam PERANG KHANDAQ dan beberapa perang lain sesudahnya.

Karena kekurang tahuannya tentang Sunnah maka ia melarang wanita haid untuk memakai sandal, ciuman mewajibkan wudhu’ dan tangisan akan menjadi siksaan bagi mayit dalam kubur
Abdullah terpengaruh pemikiran bapaknya, Umar bin Khattab.

Maka tidak heran kalau Abdullah bin Umar termasuk salah satu sahabat YANG PALiNG KERAS MENOLAK Ali menjadi khalifah pasca Usman dan sebaliknya begitu setia mendukung pengangkatan MU’AWiYAH menjadi khalifah, ia menamakan tahun tersebut sebagai TAHUN PERSATUAN (Amm Al Jama’ah) dan ia bersama pengikut pengikutnya dari Bani Umayyah  mulai saat itu menamakan diri dan golongannya sebagai AHLUSUNNAH WAL JAMA’AH.

Abdullah bin Umar telah menjalin kesepakatan dengan Mu’awiyah untuk melakukan sejumlah “gerakan”  dalam upaya menghancurkan kekhalifahan Ali. Bahkan setelah menerima uang 100.000 dirham dari Mu’awiyah maka kemudian ia menyatakan persetujuannya terhadap  kepemimpinan Yazid bin Mu’awiyah.
Imam Bukhari dalam kitab hadisnya meriwayatkan bahwa Abdullah mengumpulkan anak anak dan pelayan pelayanannya lalu berkata pada mereka : “kami telah membai’at Yazid  berdasarkan bai’at Allah dan Rasul Nya.

Saya sendiri pernah mendengar Nabi SAW bersabda bahwa pada hari kiamat bendera akan dipasangkan untuk seorang pengkhianat seraya mengatakan ; Ini tipu daya si fulan. Dan pengkhianatan terbesar setelah syirik pada Allah adalah orang yang berbai’at pada Allah dan Rasul Nya kemudian ia memutuskan bai’at nya itu. Karena itu janganlah kamu memutuskan bai’at mu pada Yazid dan janganlah berusaha untuk mendapatkan kekhalifahan ini karena ia akan menjadi pedang antara diriku dan dirnya” ( HR.Bukhari juz 1 halaman 166 dan Musnad Ahmad juz 2 halaman 96 ).

Kekejaman dan kesadisan Yazid terus berlanjut dengan dukungan dan bantuan Abdullah bin Umar. Bukan hanya itu, ia pun ikut menyiapkan pasukan dibawah pimpinan MUSLiM bin UQBAH salah seorang fasik terbesar dalam sejarah BANi UMAYYAH untuk menyerbu Madinah dan mengizinkannya untuk melakukan apapun juga termasuk membunuh. Tidak kurang dari 10 ribu orang SAHABAT tewas dalam penyerbuan itu termasuk lebih dari 700 HUFFAZ disamping ribuan wanita yang menjadi korban perkosaan massal.
Dan lagi lagi Abdullah bin Umar termasuk yang harus bertanggung jawab atas semua kejadian tersebut karena ia ikut mendukung dan menyokong kejadian itu.

Dukungan Abdullah bin Umar ternyata tidak hanya sampai disitu saja, ia pun mendukung Marwan bin Hakam (seorang khalifah licik, fasik dan kejam yang berani memerangi Imam Ali dan membunuh Thalhah). Setelah itu ia ikut mendukung HAJJAJ BiN YUSUF AT TSAQAFi yang nyata nyata merupakan pembunuh berdarah dingin yang zindiq.

Bantahan atas Tulisan: Siapa Pembunuh Al Husain Radhiyallahu ‘anhuma?
 
Yazid dalam Timbangan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Selain tujuh ratus tokoh Muhajirin dan Anshar, sepuluh ribu kaum muslimin penduduk Madinah terbantai secara mengerikan dalam peristiwa tersebut. Yazid dalam perintahnya menghalalkan apapun yang dilakukan pasukannya terhadap penduduk Madinah selama 3 hari. Sekedar untuk memberikan gambaran kekejian yang mereka lakukan, Abu Al Hasan Al Madani mengatakan, “Setelah peristiwa Harrah di kota Madinah, sebanyak seribu wanita melahirkan tanpa suami.”

Pada tahun 62 H sekelompok warga Madinah pergi ke Syam. Dengan mata kepala mereka sendiri mereka menyaksikan perbuatan mungkar Yazid bin Muawiyah. Dari sinilah mereka sadar bahwa khalifah yang berkuasa atas kaum muslimin adalah orang yang tidak mengenal agamanya. Setibanya di kota Madinah, mereka menceritakan apa yang terjadi di Syam kepada penduduk Madinah. Mereka mengutuk Yazid. Abdullah bin Handhalah ra yang juga ikut pegi ke Syam berkata, “Wahai penduduk Madinah, kami baru saja tiba dari Syam. Kami sempat bertemu dan bertatap muka langsung dengan Yazid. Ketahuilah bahwa dia adalah seorang yang tidak mengenal agamanya. Dia adalah seorang yang meniduri ibu, anak dan saudara sekaligus. Yazid adalah seorang peminum khamar, yang tidak melaksanakan kewajiban shalat dan bahkan membantai anak keturunan Nabi.”.

Mendengar hal itu, penduduk Madinah bertekad menarik kembali baiat mereka kepada Yazid. Tak cukup sampai disitu, mereka juga mengusir guberbur Madinah yang bernama Utsman bin Muhammad bin Abu Sufyan. Berita pembangkangan penduduk kota Madinah sampai ke telinga Yazid. Yazid mengirimkan bala tentaranya dalam jumlah besar dipimpin oleh Muslim bin Uqbah untuk menumpas gerakan Warga Madinah. Selama tiga hari pasukan Yazid membantai warga Madinah. Darah membanjiri lorong-lorong kota Madinah hingga membasahi makam suci Rasulullah dan Masjid Nabawi.

Selain tujuh ratus tokoh Muhajirin dan Anshar, sepuluh ribu kaum muslimin penduduk Madinah terbantai secara mengerikan dalam peristiwa tersebut. Yazid dalam perintahnya menghalalkan apapun yang dilakukan pasukannya terhadap penduduk Madinah selama 3 hari. Sekedar untuk memberikan gambaran kekejian yang mereka lakukan, Abu Al Hasan Al Madani mengatakan, “Setelah peristiwa Harrah di kota Madinah, sebanyak seribu wanita melahirkan tanpa suami.”.

Kisah yang bukan dongeng ini ditulis oleh banyak sejarahwan muslim, diantaranya, Sibt Ibn Al-Jauzi dalam kitabnya Al-Tadzkirah hal 63. Ibnu Katsir—rahimahullah—berkata, “Yazid telah bersalah besar dalam peristiwa Al Harrah dengan berpesan kepada pemimpin pasukannya, Muslim bin Uqbah untuk membolehkan pasukannya memanfaatkan semua harta benda, kendaraan, senjata, ataupun makanan penduduk Madinah selama tiga hari”. Yang dalam peristiwa tersebut terbunuh sejumlah sahabat nabi dan anak-anak mereka. Bagaimanakah Islam menyikapi tragedi ini?.

Sikap Islam terhadap Pembunuh Sahabat Nabi
Tragedi Al-Harrah adalah tragedi besar pasca tragedi terbantainya keluarga nabi di Karbala. Yazid tidak merasa puas berusaha menghabisi keluarga nabi namun juga berupaya menumpas habis sahabat-sahabat nabi dan anak-anak mereka. Dalam peristiwa tersebut terbunuh sekitar tujuh ratus sahabat nabi, yang mengantongi curicullumvitae keutamaan berjihad bersama nabi. Diantaranya, Abdullah bin Handhalah ra, anak sahabat nabi yang dimandikan oleh malaikat setelah syahid dalam perang. Menyikapi Yazid, PP Wahdah Islamiyah (selanjutnya dibaca WI) dalam situs resminya memposting artikel, bahwa sikap Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadap Yazid bin Muawiyah adalah tidak mencela tapi tidak pula mencintainya dengan dalih agama Islam tidak dibangun di atas celaan melainkan dibangun di atas akhlak mulia. Maka celaan dan para pencela, tidak memiliki tempat sedikitpun dalam agama Islam.. Sesuaikah sikap tersebut dengan prinsip-prinsip dalam Islam? Mari kita lihat sikap Islam yang berdasar pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Imam Bukhari dan Imam Muslim menulis dalam kitab shahih mereka, Rasulullah saww bersabda, “Barang siapa menakut-nakuti penduduk Madinah dengan kedzalimannya, maka Allah akan membuatnya takut. Baginya laknat Allah, para malaikat dan seluruh manusia. Di hari kiamat kelak, Allah SWT tidak akan menerima amal perbuatannya.”.

Pertanyaannya, apakah melakukan pembunuhan massal, merampas harta dan kehormatan kaum muslimah pada peristiwa Al-Harrah tidak termasuk menakut-nakuti penduduk Madinah?. Berdasarkan hadits ini, Yazid adalah orang yang dikutuk oleh Allah, para malaikat dan seluruh umat manusia. Selanjutnya, pada peristiwa tersebut terbunuh ratusan sahabat nabi, bagaimanakah sikap Rasulullah saww terhadap pembunuh sahabat-sahabatnya?. Pada Shahih Bukhari Jilid 5 hal 132 bab Ghaswah Ar-Raji’i wa ri’li wa dzakwan. Riwayat ini diceritakan oleh Anas bin Malik bahwa Bani Raji’i, Dzakwan, Ushayyah dan Bani Hayan meminta bantuan Rasulullah saww untuk membantu mereka menghadapi musuh. Rasulullah saww mengirimkan 70 sahabat terbaik dari kalangan Anshar yang terkenal sebagai Al-Qurra’ (pembaca Al-Qur’an). Namun ketika mereka sampai pada sumber mata air yang bernama Bi-ir Ma’unah, dengan licik 70 sahabat Anshar tersebut mereka bunuh. Rasulullah sangat berduka atas peristiwa ini, dan selama satu bulan beliau membaca qunut melaknat pembunuh sahabat-sahabatnya. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana perasaan Rasulullah saww, sahabat-sahabatnya dibantai oleh yang mengaku sebagai khalifah Rasulullah.

Lalu kemudian, generasi selanjutnya datang mengaku sebagai pengikut dan pembela sunnah nabi namun kemudian menyebarkan ajaran Islam yang dibangun di atas akhlak yang mulia, saking mulianya mereka menulis, “…maka celaan dan para pencela, tidak memiliki tempat sedikitpun dalam agama Islam”. Tidak adakah tempat dalam Islam bagi Rasulullah saww yang mencela dan melaknat pembunuh sahabat-sahabatnya?. Bahkan Allah SWT sendiri, Penguasa alam semesta, bagi mereka tidak memiliki tempat dalam Islam, sebab Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya (terhadap) orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatnya di dunia dan akhirat, dan menyediakan azab yang menghinakan bagi mereka.” (Qs. Al-Ahzab : 57).

Ayat ini menegaskan Allah SWT melaknat dan mencela orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah melaknat mereka di dunia dan akhirat, sedangkan bagi Ahlus Sunnah wal Jama’ah (versi WI) Islam tidak memberi tempat sedikitpun bagi para pencela.

Keterlibatan Yazid dalam Tragedi Karbala
Dalam artikel tersebut ada upaya jelas untuk mengarahkan opini kaum muslimin agar menyalahkan pengkhianatan penduduk Kufah yang terlibat tidak langsung dibanding mereka yang terlibat langsung membantai keluarga Nabi di Karbala. Lebih mengerikannya lagi, mereka menyebut penduduk Kufah yang berkhianat dan tidak menolong Imam Husain as, keluarga dan pengikutnya adalah kelompok Syiah. Inilah fitnah terbesar mereka terhadap Syiah. Apakah mereka tidak tahu, bahwa dalam makna lafadsnya saja sudah jelas, Syiah berarti pengikut, pembela dan golongan?. Fairuzabadi dalam al-Qamus mengenai kata Sya’a mengatakan Syi’aturrajul adalah , golongan, pengikut dan pembela seseorang. Dalam Al-Qur’an Surah As-Saffat ayat 83 tertulis, “Wa inna min syiah tihi laa ibrahima” artinya “Dan sesungguhnya Ibrahim termasuk golongannya (Nuh)”.

Ketika ada yang mengatakan sebagai Syiah Nabi maka berarti pengikut dan pembela Nabi. Begitu juga dengan Syiah Imam Husain as. Karenanya dimana Syiah pada waktu terjadi tragedi Karbala?. Mereka turut terbantai bersama Imam Husain as, mereka meneguk cawan syahadah bersama penghulu pemuda surga. Lalu siapakah orang-orang Kufah yang mengundang Imam Husain as dan menyatakan kesediaan meraka berbaiat dan rela mati bersama Al-Husain?. Kalaupun mereka mengaku dan bersaksi sebagai Syiah Imam Husain as, maka persaksian mereka akan tertolak secara sendirinya kalau ternyata mereka tidak mampu memberikan bukti atas kesaksian tersebut. Menghukumi pengkhianatan orang-orang Kufah sebagai pengkhianatan orang-orang Syiah adalah tidak adil dan termasuk kejahatan intelektual sebab Syiah sendiri berlepas dari mereka. Lalu kemana Ahlus Sunnah pada waktu itu?.

Ini yang secara pribadi ingin saya gugat, apa bedanya mereka dengan penduduk Kufah yang tidak memberi pembelaan dan pertolongan kepada keluarga nabi?. Mereka tidak memberi respon apa-apa terhadap peristiwa tersebut. Ya, mereka bisa jadi tidak memiliki tenaga yang cukup untuk berjihad bersama Imam Husain as sebab mereka hari itu berpuasa sesuai ‘perintah’ nabi, “Ia (puasa) ‘Asyura, menghapus dosa  tahun lalu.” (HR. Muslim). Atau mereka menganggap Imam Husain as tidak layak mendapat pertolongan, sementara mereka sendiri mengakui Imam Husain as terbunuh secara dzalim.

Mereka yang mengaku Ahlus Sunnah (padahal jauh dari sunnah) berupaya mengubur dalam-dalam tragedi ini, agar tidak lagi diperbincangkan dan menjadi ingatan bagi kaum muslimin. Di hari Asyura mereka melakukan tiga hal, berpuasa, mengecam Syiah dan membela Yazid, tidak melaknat dan juga tidak mencintainya. Mereka berupaya mengampuni Yazid dengan dalil hadits dari Rasulullah saww, “Pasukan yang paling pertama menyerang Romawi diampuni.” (HR. Bukhari).

Kalaupun benar hadits ini shahih dan ekspedisi ini dipimpin oleh Yazid bin Muawiyah, itu tidak memberi dampak apa-apa terhadap pengampunan kedzalimannya kepada keluarga dan sahabat-sahabat nabi. Sebab penyerangan tersebut terjadi pada tahun 49 H, pengampunan dimaknai sebagai terhapusnya dosa-dosa yang telah dilakukan, seseorang tidak diampuni karena dosa-dosa yang belum dilakukannya. Sementara tragedi Karbala terjadi pada tahun 61 H dan tragedi Al-Harrah pada tahun 63 H, jauh setelah ekspedisi Yazid ke Romawi. Kalau mau tetap memaksakan diri menafsirkan hadits Rasulullah saww tersebut bahwa yang dimaksud diampuni adalah dosa setelah dan yang akan datang, maka harus kita akui,  Yazid lebih tinggi keutamaannya dibanding sahabat-sahabat utama nabi (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali –ridha Allah atas mereka-) sebab tidak ada pernyataan nabi yang menggambarkan keutamaan sebagaimana yang dimiliki Yazid sebagai pemimpin pasukan menyerang Romawi, yang terampuni dosa-dosanya sebesar dan sedzalim apapun.

Apakah dosa membunuh keluarga nabi dan sahabat-sahabatnya akan terampuni sementara Allah SWT berfirman, “Barangsiapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahannam. Dia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (Qs. An-Nisa : 93). Di ayat yang lain, “Yaitu hari yang tidak berguna bagi orang-orang dzalim permintaan maaf mereka, bagi mereka laknat dan bagi merekalah tempat tinggal yang buruk.” (Qs. Al-Mu’min : 52). Ayat lainnya, “Ingatlah, laknat Allah ditimpakan atas orang-orang yang dzalim.” (Qs. Hud: 18) dan masih banyak ayat lain yang bernada serupa.

Kalau dikatakan Yazid menyesali terbunuhnya Imam Husain as dan nampak terlihat kesedihan di wajahnya dan suara tangisan pun memenuhi rumahnya, lalu apa tindakannya terhadap pembunuh Imam Husain as, apakah dia memberikan hukuman kepada Ubaidillah bin Ziyad? Memecatnya sebagai gubernur pun tidak sama sekali. Tindakan memulangkan secara hormatpun keluarga nabi yang tersisa ke Madinah, tidak memiliki arti apa-apa, tanpa memberikan hukuman kepada pembunuh Imam Husain as. Bahkan tahun selanjutnya Yazid memerintahkan untuk menyerang kota Madinah. Kenyataan ini menunjukkan keterlibatan Yazid dalam tragedi Karbala, sebagai khalifah saat itu, dia bertanggungjawab penuh atas tragedi tersebut.

Tentang hadits “Janganlah kalian mencela orang yang telah meninggal dunia, karena mereka telah menyerahkan apa yang telah mereka perbuat.” (HR. Bukhari). Benar-benar sangat meragukan telah diucapkan oleh Rasulullah saww sebab itu berarti, kita  dilarang membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang bernada celaan dan laknat kepada mereka yang kafir dan dzalim. Bukankah laknat dan celaan Allah SWT tersebar dibanyak ayat kepada Firaun, Qarun, kaum A’ad, Tsamud, Abu Lahab dan secara umum kepada orang-orang kafir, yang kesemuanya adalah orang-orang terdahulu. Meskipun hadits tersebut berkenaan dengan Abu Jahal, namun teks hadits tersebut bermakna umum, yang artinya kita tidak boleh mencela Firaun, Qarun, Abu Lahab dan orang-orang kafir karena telah meninggal dunia dan telah menyerahkan apa yang telah diperbuatnya. Bagaimanapun menurut ijma kaum muslimin, kedudukan Al-Qur’an lebih tinggi dari hadits, karenanya jika matan sebuah hadits bertentangan dengan pesan-pesan Al-Qur’an maka hadits tersebut harus ditolak. Hatta diriwayatkan oleh Imam Bukhari sekalipun.

Apakah dengan dalil-dalil di atas membuat kita tetap bersedia terpengaruh dengan ajakan ustadz-ustadz WI untuk bersikap sama dengan Adz-Dzahabi, “Kita tidak mencela Yazid, tapi tidak pula mencintainya.”? Atau bersedia melaknat Yazid, sebagaimana Allah SWT melaknat mereka yang telah menyakiti Rasulullah?. Pilihan anda menunjukkan derajat keimanan anda.

Saya merasa perlu menulis ini, sebab postingan “Siapa Pembunuh Al Husain Radhiyallahu ‘anhuma?” di situs resmi Wahdah Islamiyah menurut saya sangat tidak Islami dan menyimpang dari sunnah.

Kenapa Tidak Engkau Biarkan Saja Dia Tenggelam?

Siapa tidak kenal Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi. Seorang Amir/Penguasa yang kejam, yang tangannya tidak pernah kering dari darah manusia. Kekejamannya ditakuti banyak manusia, terutama kaum muslimin. Tidak sedikit kaum yang mencoba melawan dan memberontak di masa kekuasaannya. Tak aneh jika banyak kalangan mengatakan bahwa dia adalah salah seorang manusia kejam dari Tsaqif yang disabdakan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Berikut sebuah kisah yang cukup menarik, menurut saya, yang pernah saya baca di buku: “Sosok Manusia Kejam yang Disabdakan Rasulullah” karya Muhammad Abdurahman Awwadh.

Berikut kisahnya:
“Pada suatu hari yang sangat panas, Hajjaj bin Yusuf ingin mendinginkan badannya. Maka dia berjalan menuju sungai Dajlah yang dekat dengan istananya. Ketika dia menceburkan dirinya, dia iangsung terbawa oleh arus, padahal dia tidak bisa berenang. Ketika dirinya sudah hampir tenggelam, dia berteriak-teriak minta tolong, “Tolong, toiong.”.

Seketika orang-orang datang, tapi ketika mereka tahu siapa yang tenggelam, tidak ada satu pun yang mau menolongnya. Mereka berkata, “Biarkan saja dia tenggelam agar kita berhenti merasakan kekejamannya.”.

Mereka semua menghendaki agar Hajjaj mati, karena selama ini mereka tidak sanggup (merasa ngeri) walaupun sekadar mendengar namanya. Mereka selama ini berkata, “Seandainya Fir’aun mempunyai saudara laki-laki. mungkin dia adalah Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi.”.

Hajjaj merupakan seorang hakim yang zhalim yang tidak ada bentuk kemaksiatan kepada Allah kecuali sudah dia lakukan. Seandainya hanya tinggal satu maksiat yang belum dia lakukan, sementara antara dirinya dengan kemaksiatan itu terdapat pintu yang tertutup, niscaya dia akan mendobrak pintu tersebut lalu melakukan kemaksiatan itu. Pcnduduk Irak selama ini berharap dirinya mati.

Ada seorang laki-laki yang ingin menolong Hajjaj, tetapi orang-orang segera memegangi dan memukulinya. Orang itu pun tidak kehabisan akal, dia menunggu saat mereka lengah, lalu dia melompat ke air dan menarik Hajjaj ke pinggir sungai Dajlah.
Orang-orang kemudian bertanya kepadanya, “Kenapa engkau lakukan hal itu wahai musuh Allah? Kenapa tidak engkau biarkan saja dia tenggelam?”
Orang itu menjawab, “Seandainya kita biarkan dia mati tenggelam, niscaya dia akan masuk surga. Bukankah Rasulullah SAW telah mengabarkan kepada kita bahwa orang yang mati tenggelam masuk dalam mati syahid?*“.

Di awal saya membaca kisah ini, saya pikir masih ada manusia (Irak) yang mencintai Hajjaj sehingga mau bersusah payah (bahkan dipukuli orang-orang) untuk menyelamatkan Al Mubir ini. Tapi setelah saya baca hingga akhir kisah, malah terpikir siapa sebenarnya yang lebih membenci Hajjaj ini, orang yang menolongnya atau kah orang yang mencegahnya untuk menolongnya dari tenggelam??
:).
.

Hajjaj dan Seorang Arab Badui

Pada suatu hari Hajjaj bin Yusuf pergi hendak menunaikan ibadah Haji, lalu ia melewati jalan antara Mekkah dan Madinah. Di tempat itu ia membuka perbekalannya dan berkata kepada pelayannya, “Lihatlah, mungkin ada orang yang bisa diajak makan bersamaku. “

Pelayan itu segera keluar, dan tiba-tiba ia melihat seorang Arab Badui yang sedang tertidur, maka ia membangunkannya dengan kakinya, dan berkata, “Amir memanggilmu, maka sambutlah panggilannya.”
Orang Arab Badui itu lalu berdiri, dan ketika telah sampai di hadapan Hajjaj, Hajjaj berkata, “Cucilah kedua tanganmu lalu makanlah bersamaku.”

Orang Arab Badui itu menjawab, “Engkau telah mengajakku (makan), tapi aku lebih tertarik memenuhi ajakan yang lebih baik darimu.”

Hajjaj bin Yusuf kemudian bertanya dengan nada heran, “Siapa yang mengajakmu (menyerumu)?”
Orang Arab Badui itu menjawab, “Allah ‘Azza wa Jalla menyeruku untuk berpuasa lalu aku memenuhi seruan itu.”

Hajjaj bin Yusuf bertanya lagi, “Engkau berpuasa pada hari yang sangat panas seperti ini?”
Orang Arab Badui itu menjawab, “Ya. Bahlan aku pernah berpuasa pada hari yang lebih panas dari hari ini.”
Hajjaj berkata, “Makanlah dan berpuasa lagi besok (di-qadla).”

Orang Arab Badui itu berkata, “Aku mau apabila engkau berani menjamin bahwa besok aku masih hidup.”
Hajjaj bin Yusuf berkata, ” Itu bukan hakku.”

Orang Arab itu berkata, ” Jika demikian maka bagaimana bisa engkau memintaku untuk menunda apa yang harus aku segerakan, padahal engkau tidak mampu memberikan jaminan kepadaku?”
Hajjaj bin Yusuf berkata, “Sungguh makanan kami sangat nikmat.”

Orang Arab Badui itu menjawab, “Yang membuat nikmat makanan bukanlah engkau dan makanannya, akan tetapi tubuh yang sehat.

Sumber:
Sosok Manusia Kejam yang Disabdakan Rasulullah. Hal. 77. Muhammad bin Abdurrahman Awwadh
:).

Segala Puji Bagi ALLAH Yang Telah Mengganti Dirhamku Dengan Dinar

Berikut ini adalah kisah seorang Hajjaj bin Yusuf, Amir Irak yang kejam di masa Kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan dari Bani Umayyah, dengan (mantan) isterinya, Ummu Salamah.
Pada suatu malam terjadi cekcok mulut antara Hajjaj dengan istrinya Ummu Salamah binti Abdurrahman bin Sahl bin Amr Al Quraisy (saudara Suhail bin Amr). Akhirnya percekcokan itu berakhir dengan keputusan Hajjaj untuk menthalak istrinya.

Ummu Salamah berkata, “Wahai Abu Muhammad, mudah-mudahan Allah memberiku ganti yang lebih baik.”
Hajjaj bin Yusuf berkata, “Siapa yang lebih baik dari amir (penguasa) Irak ini?”
Perlu diketahui, Ummu Salamah adalah perempuan yang sangat cantik. Oleh karena itu, ketika Amirul Mukminin Abdul Malik bin Marwan mengetahui bahwa dirinya telah dicerai oleh Hajjaj dan masa iddahnya telah selesai, beliau mengirim utusan untuk melamar Ummu Salamah.
Ummu Salamah berkata, “‘Sunggguh aku mau, tetapi ada syaratnya.”

Utusan Abdul Malik tersebut bertanya, “Apa syaratnya?”
Ummu Salamah binti Abdurrahman menjawab, “Pada hari perkawinanku nanti aku minta yang menjadi kusir kereta kudaku adalah Hajjaj”.

Ketika hal itu disampaikan kepada Amirul Mukminin Abdul Malik bin Marwan, dia tertawa dan berkata, “Itu hak dia (Ummu Salamah).”

Tibalah hari perkawinan itu dan Ummu Salamah menaiki sebuah kereta kuda yang dikendarai oleh amir Irak, yaitu Abu Muhammad (Hajjaj bin Yusuf, mantan suaminya). Di tengah jalan Ummu Salamah sengaja melempar sebuah uang dirham ke tanah, lalu dia menyuruh Hajjaj bin Yusuf untuk berhenti. Kemudian berkata, “Uang dirhamku jatuh ke tanah.”

Hajjaj pun segera turun dan mulai mencari uang dirham tersebut, tetapi dia tidak berhasil menemukannya, maka diam-diam dia merogoh kantongnya sendiri kemudian mengeluarkan sebuah uang dinar dari kantong tersebut, lalu berkata, “Ternyata uangmu yang terjatuh tadi bukan dirham (uang perak) akan tetapi uang dinar (uang emas).”.

Ummu Salamah pun menatap ke arah Hajjaj lalu memandangnya dengan pandangan penuh kemenangan. kemudian berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah mengganti uang dirhamku dengan uang dinar.”
Semoga bermanfaat
:)..

Marwan bin al-Hakam

Marwan bin al-Hakam bergelar Marwan I (623 – 685) ialah Khalifah Bani Umayyah yang mengambil alih tampuk kekuasaan setelah Muawiyah II menyerahkan jabatannya pada 684. Naiknya Marwan menunjukkan pada perubahan silsilah Bani Umayyah dari keturunan Abu Sufyan ke Hakam, mereka ialah cucu Umayyah (darinya nama Bani Umayyah diambil). Hakam ialah saudara sepupu Utsman bin Affan.

Selama masa pemerintahan Utsman, Marwan mengambil keuntungan dari hubungannya pada khalifah dan diangkat sebagai Gubernur Madinah. Bagaimanapun, ia diberhentikan dari posisi ini oleh Ali, hanya diangkat kembali oleh Muawiyah I. Akhirnya Marwan dipindahkan dari kota ini saat Abdullah bin Zubair memberontak terhadap Yazid I. Dari sini, Marwan pergi ke Damsaskus, di mana ia menjadi khalifah setelah Muawiyah II turun tahta.

Masa pemerintahan singkat Marwan diwarnai perang saudara di antara keluarga Umayyah, seperti perang terhadap Ibnu Zubair yang melanjutkan pemerintahan atas Hejaz, Irak, Mesir dan sebagian Suriah. Marwan sanggup memenangkan perang saudara Bani Umayyah, yang berakibat naiknya keturunan Marwan sebagai jalur penguasa baru dari Khalifah Umayyah. Ia juga sanggup merebut kembali Mesir dan Suriah dari Ibnu Zubair, namun tak sanggup sepenuhnya mengalahkannya.

Marwan bin al-Hakam digantikan sebagai khalifah oleh anaknya Abdul Malik bin Marwan.

Gelar kebangsawanan
Didahului oleh:
Marwan I
Khalifah Bani Umayyah
(684685)
Digantikan oleh:
Abdul Malik











Sunni bilang “Pedomanilah Sahabat”… Termasuk mempedomani Abdullah bin Umar yang tidak mau membaiat Ali di kemudian hari, malah membaiat Mu’awiyah dan Yazid bin Mu’awiyah dan gubernur Hajjaj bin Yusuf yang membuat buat hadis yang memojokkan Ali ????????????? Hadis Sunni Banyak Di Produksi Untuk Menjustifikasi Tindakan Para Khalifah / Sahabat… 
 
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: