Baca disini: Syiah adalah Pembunuh Sayyidina Husain di Karbala. Benarkah?????
_________________________________________________________________
_________________________________________________________________
Syiah adalah Pembunuh Sayyidina Husain di Karbala. Benarkah?????
Seorang tokoh Islam yang terkenal di
Pakistan, Maulana Ali Ahmad Abbasi menulis di dalam bukunya “Hazrat
Mu’aawiah Ki Siasi Zindagi” bahwa di dalam sejarah Islam, ada dua orang
yang sungguh kontroversial. Seorang di antaranya adalah Amirul Mukminin
Yazid yang makin lama makin dimusnahkan image-nya walaupun
semasa hayatnya beliau diterima baik oleh tokoh-tokoh utama di zaman
itu. Seorang lagi ialah Manshur Al Hallaj.
Di zamannya dia telah dihukum
sebagai mulhid, zindiq, dan salah seorang daripada golongan Qaramithah
oleh masyarakat Islam yang membawanya disalib. Amirul Mukminin Al
Muqtadir Billah telah menghukumkan beliau murtad berdasarkan fatwa
sekalian ulama dan fuqaha’ yang hidup pada waktu itu, tetapi image-nya
semakin cerah tahun demi tahun sehingga akhirnya telah dianggap sebagai
salah seorang ‘Aulia Illah’.
Bagaimanapun semua ini adalah permainan
khayalan dan fantasi manusia yang jauh dari berpijak di bumi yang nyata.
Semua ini adalah akibat dari tidak menghargai dan memberikan penilaian
yang sewajarnya kepada pendapat orang-orang pada zaman mereka
masing-masing.
Pendapat tokoh-tokoh dari kalangan
sabahat dan tabi’in yang sezaman dengan Yazid, berdasarkan
riwayat-riwayat yang muktabar dan sangat kuat kedudukannya, menjelaskan
kepada kita bahwa Yazid adalah seorang anak muda yang bertaqwa, alim,
budiman, shalih, dan pemimpin ummah yang sah dan disepakati
kepemimpinannya. Baladzuri umpamanya dalam “Ansabu Al Asyraf”
mengatakan bahwa, “Bila Yazid dilantik menjadi khalifah maka Abdullah
bin Abbas, seorang tokoh dari Ahlul Bait berkata: “Sesungguhnya anaknya
Yazid adalah dari keluarga yang shalih. Oleh karena itu, tetaplah kamu
berada di tempat-tempat duduk kamu dan berilah ketaatan dan bai’at kamu
kepadanya” (Ansabu Al Asyraf, jilid 4, halaman 4).
Sejarawan Baladzuri adalah di antara
ahli sejarah yang setia kepada para Khulafa Al Abbasiyah. Beliau telah
mengemukakan kata-kata Ibnu Abbas ini di hadapan mereka dan menyebutkan
pula sebelum nama Yazid sebutan ‘Amirul Mukminin’.
Abdullah Ibnu Umar yang dianggap sebagai
orang tua di kalangan sahabat pada masa itu pun bersikap tegas terhadap
orang-orang yang menyokong pemberontakan yang dipimpin oleh Ibnu Zubair
terhadap kerajaan Yazid, dan sikap yang begini disebut di dalam Shahih Bukhari
bahwa, bila penduduk Madinah membatalkan bai’at mereka terhadap Yazid
bin Muawiyah maka Ibnu Umar mengumpulkan anak pinak dan sanak saudaranya
lalu berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda, “Akan dipacakkan bendera untuk setiap orang yang curang
(membatalkan bai’atnya) pada hari kiamat. Sesungguhnya kita telah
berbai’at kepadanya dengan nama Allah dan RasulNya. Sesungguhnya saya
tidak mengetahui kecurangan yang lebih besar daripada kita berbai’at
kepada seseorang dengan nama Allah dan RasulNya, kemudian kita bangkit
pula memeranginya. Kalau saya tahu ada siapa saja dari kamu membatalkan
bai’at kepadanya, dan turut serta di dalam pemberontakan ini, maka
terputuslah perhubungan di antaraku dengannya.” (Shahih Bukhari – Kitabu Al Fitan).
Sebenarnya jika dikaji sejarah permulaan
Islam, kita dapati pembunuhan Sayyidina Husain di zaman pemerintahan
Yazid-lah yang merupakan fakta terpenting mendorong segala fitnah dan
keaiban yang dikaitkan dengan Yazid tidak mudah ditolak oleh generasi
kemudian. Hakikat inilah yang mendorong lebih banyak cerita-cerita palsu
tentang Yazid yang diada-adakan oleh musuh-musuh Islam. Tentu saja,
orang yang membunuh menantu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang
tersayang- dibelai oleh Rasulullah dengan penuh kasih sayang semasa
hayatnya kemudian dijunjung pula dengan menyebutkan kelebihan dan
keutamaan-keutamaannya di dalam hadits-hadits Baginda- tidak akan
dipandang sebagai seorang yang berperi kemanusiaan apalagi untuk
mengatakannya seorang shalih, budiman, bertaqwa ,dan pemimpin umat
Islam.
Karena itulah cerita-cerita seperti
Yazid sering kali minum arak, seorang yang suka berfoya-foya, suka
mendengar musik, dan menghabiskan waktu dengan penari-penari, begitu
juga beliau adalah orang terlalu rendah jiwanya sehingga suka bermain
dengan monyet dan kera, terlalu mudah diterima oleh umat Islam kemudian.
Tetapi soalnya, benarkah Yazid membunuh
Sayyidina Husain? Atau benarkah Yazid memerintahkan supaya Sayyidina
Husain dibunuh di Karbala?
Selagi tidak dapat ditentukan siapakah
pembunuh Sayyidina Husain yang sebenarnya dan terus diucapkan, “Yazidlah
pembunuhnya,” tanpa soal selidik yang mendalam dan teliti, maka selama
itulah nama Yazid akan terus tercemar dan dia akan dipandang sebagai
manusia yang paling malang. Tetapi bagaimana jika yang membunuh
Sayyidina Husain itu bukan Yazid? Kemanakah pula akan kita bawakan
segala tuduhan-tuduhan liar, fitnah, dan caci maki yang selama ini telah
kita sandarkan pada Yazid itu?
Jika kita seorang yang cintakan
keadilan, berlapang dada, sudah tentu kita akan berusaha untuk
membincangkan segala keburukan yang dihubungkan kepada Yazid selama ini
dan kita pindahkannya ke halaman rumah pembunuh- pembunuh Sayyidina
Husain yang sebenarnya. Apalagi jika kita seorang Ahlus Sunnah wal
Jamaah, sudah tentu dengan dengan adanya bukti-bukti yang kuat dan kukuh
daripada sumber-sumber rujukan muktabar dan berdasarkan prinsip-prinsip
aqidah yang diterima di kalangan Ahlus Sunnah, kita akan terdorong
untuk membersihkan Yazid daripada segala tuduhan dan meletakkannya
ditempat yang istimewa dan selayak dengannya di dalam rentetan sejarah
awal Islam.
Sekarang marilah kita pergi ke
tengah-tengah medan penyelidikan tentang pembunuhan Sayyidina Husain di
Karbala bersama-sama dengan sekian banyak anggota keluarganya.
Pembunuh Sayyidina Husain Adalah Syiah Kufah.
Terlebih dahulu kita akan menyatakan
dakwaan kita secara terus terang dan terbuka bahwa pembunuh Sayyidina
Husain yang sebenarnya bukanlah Yazid, tetapi adalah golongan Syiah
Kufah.
Dakwaan ini berdasarkan beberapa fakta
dan bukti-bukti daripada sumber-sumber rujukan sejarah yang muktabar.
Kita akan membahagi-bahagikan bukti-bukti yang akan dikemukakan nanti
kepada dua bahagian :
- Bukti-bukti utama
- Bukti-bukti sokongan
I. Bukti-bukti Utama
Dengan adanya bukti-bukti utama ini,
tiada mahkamah pengadilan yang dibangunkan untuk mencari kebenaran dan
mendapatkan keadilan akan memutuskan Yazid sebagai terdakwa dan sebagai
penjahat yang bertanggungjawab di dalam pembunuhan Sayyidina Husain.
Bahkan Yazid akan dilepaskan dengan penuh penghormatan dan akan
terbongkarlah rahasia yang selama ini menutupi pembunuh-pembunuh
Sayyidina Husain yang sebenarnya di Karbala.
Bukti pertamanya ialah pengakuan Syiah
Kufah sendiri bahwa merekalah yang membunuh Sayyidina Husain. Golongan
Syiah Kufah yang mengaku telah membunuh Sayyidina Husain itu kemudian
muncul sebagai golongan “At Tawwaabun” yang kononnya menyesali
tindakan mereka membunuh Sayyidina Husain. Sebagai cara bertaubat,
mereka telah berbunuh-bunuhan sesama mereka seperti yang pernah
dilakukan oleh orang-orang Yahudi sebagai pernyataan taubatnya kepada
Allah karena kesalahan mereka menyembah anak lembu sepeninggalan Nabi
Musa ke Thur Sina.
Air mata darah yang dicurahkan oleh golongan “At Tawaabun”
itu masih kelihatan dengan jelas pada lembaran sejarah dan tetap tidak
hilang walaupun coba dihapuskan oleh mereka dengan beribu-ribu cara.
Pengakuan Syiah pembunuh-pembunuh
Sayyidina Husain ini diabadikan oleh ulama-ulama Syiah yang merupakan
tunggak dalam agama mereka seperti Baqir Majlisi, Nurullah Syustri, dan
lain-lain di dalam buku mereka masing-masing. Baqir Majlisi menulis :
“Sekumpulan orang-orang Kufah terkejut
oleh satu suara ghaib. Maka berkatalah mereka, “Demi Tuhan! Apa yang
telah kita lakukan ini tak pernah dilakukan oleh orang lain. Kita telah
membunuh “Penghulu Pemuda Ahli Surga” karena Ibnu Ziad anak haram itu.
Di sini mereka mengadakan janji setia di antara sesama mereka untuk
memberontak terhadap Ibnu Ziad tetapi tidak berguna apa-apa.” (Jilaau Al ‘Uyun, halaman 430).
Qadhi Nurullah Syustri pula menulis di dalam bukunya Majalisu Al Mu’minin
bahwa setelah sekian lama (lebih kurang 4 atau 5 tahun) Sayyidina
Husain terbunuh, ketua orang-orang Syiah mengumpulkan orang-orang Syiah
dan berkata, “Kita telah memanggil Sayyidina Husain dengan memberikan
janji akan taat setia kepadanya, kemudian kita berlaku curang dengan
membunuhnya. Kesalahan kita sebesar ini tidak akan diampunkan kecuali
kita berbunuh-bunuhan sesama kita.” Dengan itu berkumpullah sekian
banyak orang Syiah di tepi Sungai Furat sambil mereka membaca ayat yang
bermaksud, “Maka bertaubatlah kepada Tuhan yang telah menjadikan kamu
dan bunuhlah dirimu. Itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Tuhan yang
menjadikan kamu.” (Al Baqarah :54). Kemudian mereka berbunuh-bunuhan
sesama sendiri. Inilah golongan yang dikenali dalam sejarah Islam dengan
gelaran “At Tawaabun.”
Sejarah tidak melupai dan tidak akan
melupai peranan Syits bin Rab’i di dalam pembunuhan Sayyidina Husain di
Karbala. Tahukah Anda siapa itu Syits bin Rab’i? Dia adalah seorang
Syiah tulen, pernah menjadi duta ke Sayyidina Ali di dalam peperangan
Shiffin, sentiasa bersama Sayyidina Husain. Dialah juga yang menjemput
Sayyidina Husain ke Kufah untuk mencetuskan pemberontakan terhadap
kerajaan pimpinan Yazid, tetapi apakah yang telah dilakukan olehnya?
Sejarah memaparkan bahwa dialah yang
mengepalai 4.000 orang bala tentera untuk menentang Sayyidina Husain dan
dialah orang yang mula-mula turun dari kudanya untuk memenggal kepala
Sayyidina Husain. (Jilaau Al Uyun dan Khulashatu Al Mashaaib, halaman 37).
Adakah masih ada orang yang ragu-ragu
tentang Syiahnya Syits bin Rab’i dan tidakkah orang yang menceritakan
perkara ini ialah Mullah Baqir Majlisi, seorang tokoh Syiah terkenal?
Secara tidak langsung ia bermakna pengakuan daripada pihak Syiah sendiri
tentang pembunuhan itu.
Lihatlah pula kepada Qais bin Asy’ats,
ipar Sayyidina Husain, yang tidak diragui tentang Syiahnya tetapi apa
kata sejarah tentangnya? Bukankah sejarah menjelaskan kepada kita bahwa
itulah orang yang merampas selimut Sayyidina Husain dari tubuhnya
selepas selesai pertempuran? (Khulashatu Al Mashaaib, halaman 192)
Selain dari pengakuan mereka sendiri
yang membuktikan merekalah sebenarnya pembunuh- pembunuh Sayyidina
Husain, pernyataan saksi-saksi yang turut serta di dalam rombongan
Sayyidina Husain sebagai saksi-saksi hidup di Karbala, yang terus hidup
selepas peristiwa ini, juga membenarkan dakwaan ini termasuk pernyataan
Sayyidina Husain sendiri yang sempat direkam oleh sejarah sebelum beliau
terbunuh. Sayyidina Husain berkata dengan menujukan kata-katanya kepada
orang- orang Syiah Kufah yang siap sedia bertempur dengan beliau:
“Wahai orang-orang Kufah! Semoga kamu
dilaknat sebagaimana dilaknat maksud- maksud jahatmu. Wahai orang-orang
yang curang, zalim, dan pengkhianat! Kamu telah menjemput kami untuk
membela kamu di waktu kesempitan tetapi bila kami datang untuk memimpin
dan membela kamu dengan menaruh kepercayaan kepadamu maka sekarang kamu
hunuskan pedang dendammu kepada kami dan kamu membantu musuh-musuh di
dalam menentang kami.” (Jilaau Al Uyun, halaman 391).
Beliau juga berkata kepada Syiah:
“Binasalah kamu! Bagaimana boleh kamu
menghunuskan perang dendammu dari sarung-sarungnya tanpa sebarang
permusuhan dan perselisihan yang ada di antara kamu dengan kami?
Kenapakah kamu siap sedia untuk membunuh Ahlul Bait tanpa sebarang
sebab?” (Ibid).
Akhirnya beliau mendoakan keburukan untuk golongan Syiah yang sedang berhadapan untuk bertempur dengan beliau:
“Ya Allah! Tahanlah keberkatan bumi dari
mereka dan selerakkanlah mereka. Jadikanlah hati-hati pemerintah terus
membenci mereka karena mereka menjemput kami dengan maksud membela kami
tetapi sekarang mereka menghunuskan pedang dendam terhadap kami.” (Ibid)
Beliau juga dicatat telah mendoakan
keburukan untuk mereka dengan kata-katanya: “Binasalah kamu! Tuhan akan
membalas bagi pihakku di dunia dan di akhirat… Kamu akan menghukum diri
kamu sendiri dengan memukul pedang-pedang di atas tubuhmu dan mukamu
akan menumpahkan darah kamu sendiri. Kamu tidak akan mendapat
keberuntungan di dunia dan kamu tidak akan sampai kepada hajatmu.
Apabila mati nanti sudah tersedia adzab Tuhan untukmu di akhirat. Kamu
akan menerima azab yang akan diterima oleh orang-orang kafir yang paling
dahsyat kekufurannya.” (Mullah Baqir Majlisi – Jilaau Al Uyun, halaman 409).
Dari kata-kata Sayyidina Husain yang dipaparkan oleh sejarawan Syiah sendiri, Mullah Baqir Majlisi, dapat disimpulkan bahwa:
- Propaganda yang disebarkan oleh musuh-musuh Islam melalui penulisan sejarah bahwa pembunuhan Ahlul Bait di Karbala merupakan balas dendam dari Bani Umayyah terhadap Ahlul Bait yang telah membunuh pemimpin-pemimpin Bani Umayyah yang kafir di dalam peperangan Badar, Uhud, Shiffin, dan lain-lain tidak lebih daripada propaganda kosong semata-mata karena pembunuh-pembunuh Sayyidina Husain dan Ahlul Bait di Karbala bukannya datang dari Syam, bukan juga dari kalangan Bani Umayyah tetapi dari kalangan Syiah Kufah.
- Keadaan Syiah yang sentiasa diburu dan dihukum oleh kerajaan-kerajaan Islam di sepanjang sejarah membuktikan termakbulnya doa Sayyidina Husain di medan Karbala atas Syiah.
- Upacara menyiksa badan dengan memukul tubuhnya dengan rantai, pisau, dan pedang pada 10 Muharram dalam bentuk perkabungan yang dilakukan oleh golongan Syiah itu sehingga mengalir darah juga merupakan bukti diterimanya doa Sayyidina Husain dan upacara ini dengan jelas dapat dilihat hingga sekarang di dalam masyarakat Syiah. Adapun di kalangan Ahlus Sunnah tidak pernah wujud upacara yang seperti ini dan dengan itu jelas menunjukkan bahwa merekalah golongan yang bertanggungjawab membunuh Sayyidina Husain.
- Betapa kejam dan kerasnya hati golongan ini dapat dilihat pada tindakan mereka menyembelih dan membunuh Sayyidina Husain bersama dengan sekian banyak ahli keluarganya, walaupun setelah mendengar ucapan dan doa keburukan untuk mereka yang dipinta oleh beliau. Itulah dia golongan yang buta mata hatinya dan telah hilang kewarasan pemikirannya karena sebaik saja mereka selesai membunuh, mereka melepaskan kuda Dzuljanah yang ditunggangi Sayyidina Husain sambil memukul-mukul tubuh untuk menyatakan penyesalan. Dan inilah dia upacara perkabungan pertama terhadap kematian Sayyidina Husain yang pernah dilakukan di atas muka bumi ini sejauh pengetahuan sejarah. Dan hari ini tidakkah anak cucu golongan ini meneruskan upacara perkabungan ini setiap kali tibanya 10 Muharram?
Ali Zainal Abidin anak Sayyidina Husain
yang turut serta di dalam rombongan ke Kufah dan terus hidup selepas
berlakunya peristiwa itu pula berkata kepada orang-orang Kufah lelaki
dan perempuan yang merentap dengan mengoyak-ngoyakkan baju mereka sambil
menangis, dalam keadaan sakit beliau dengan suara yang lemah berkata
kepada mereka, “Mereka ini menangisi kami. Tidakkah tidak ada orang lain
yang membunuh kami selain mereka?” (At Thabarsi, Al Ihtijaj, halaman 156).
Pada halaman berikutnya Thabarsi
menukilkan kata-kata Imam Ali Zainal Abidin kepada orang-orang Kufah.
Kata beliau, “Wahai manusia (orang-orang Kufah)! Dengan nama Allah aku
bersumpah untuk bertanya kamu, ceritakanlah! Tidakkah kamu adar bahwa
kamu mengutuskan surat kepada ayahku (menjemputnya datang), kemudian
kamu menipunya? Bukankah kamu telah memberikan perjanjian taat setia
kamu kepadanya? Kemudian kamu membunuhnya, membiarkannya dihina.
Celakalah kamu karena amalan buruk yang telah kamu dahulukan untuk
dirimu.”
Sayyidatina Zainab, saudara perempuan
Sayyidina Husain yang terus hidup selepas peristiwa itu juga mendoakan
keburukan untuk golongan Syiah Kufah. Katanya, ” Wahai orang-orang Kufah
yang khianat, penipu! Kenapa kamu menangisi kami sedangkan air mata
kami belum lagi kering karena kezalimanmu itu. Keluhan kami belum lagi
terputus oleh kekejamanmu. Keadaan kamu tidak ubah seperti perempuan
yang memintal benang kemudian dirombaknya kembali. Kamu juga telah
merombak ikatan iman dan telah berbalik kepada kekufuran…Adakah kamu
meratapi kami padahal kamu sendirilah yang membunuh kami. Sekarang kamu
pula menangisi kami. Demi Allah! Kamu akan banyak menangis dan sedikit
ketawa. Kamu telah membeli keaiban dan kehinaan untuk kamu. Tompokan
kehinaan ini sama sekali tidak akan hilang walau dibasuh dengan air
apapun.” (Jilaau Al Uyun, halaman 424).
Doa anak Sayyidatina Fatimah ini tetap menjadi kenyataan dan berlaku di kalangan Syiah hingga ke hari ini.
Ummu Kultsum anak Sayyidatina Fatimah
pula berkata sambil menangis di atas segedupnya, “Wahai orang-oang
Kufah! Buruklah hendaknya keadaanmu. Buruklah hendaklah rupamu. Kenapa
kamu menjemput saudaraku, Husain, kemudian tidak membantunya, bahkan
membunuhnya, merampas harta bendanya dan menawan orang-orang perempuan
dari Ahli Bait-nya. Laknat Allah ke atas kamu dan semoga kutukan Allah
mengenai mukamu.”
Beliau juga berkata, ” Wahai orang-orang
Kufah! Orang-orang lelaki dari kalangan kamu membunuh kami sementara
orang-orang perempuan pula menangisi kami. Tuhan akan memutuskan di
antara kami dan kamu di hari kiamat nanti.” (Ibid, halaman 426-428).
Sementara Fatimah anak perempuan
Sayyidina Husain pula berkata, “Kamu telah membunuh kami dan merampas
harta benda kami, kemudian telah membunuh kakekku Ali (Sayyidina Ali).
Senantiasa darah-darah kami menitis dari hujung-hujung pedangmu……Tak
lama lagi kamu akan menerima balasannya. Binasalah kamu! Tunggulah nanti
azab dan kutukan Allah akan terus menerus menghujani kamu. Siksaan dari
langit akan memusnahkan kamu akibat perbuatan terkutukmu. Kamu akan
memukul tubuhmu dengan pedang-pedang di dunia ini dan di akhirat nanti
kamu akan terkepung dengan azab yang pedih.”
Apa yang dikatakan oleh Sayyidatina
Fatimah binti Husain ini dapat dilihat dengan mata kepala kita sendiri
di mana-mana Syiah berada.
Dua bukti utama yang telah kita
kemukakan tadi, sebenarnya sudah mencukupi untuk kita memutuskan
siapakah sebenarnya pembunuh Sayyidina Husain di Karbala. Daripada
keterangan dalam kedua-dua bukti yang lalu dapat kita simpulkan beberapa
perkara :
- Orang-orang yang menjemput Sayyidina Husain ke Kufah untuk memberontak adalah Syiah.
- Orang-orang yang tampil untuk bertempur dengan rombongan Sayyidina Husain di Karbala itu juga Syiah.
- Sayyidina Husain dan orang-orang yang ikut serta di dalam rombongannya terdiri daripada saudara- saudara perempuannya dan anak-anaknya menyaksikan bahwa Syiah-lah yang telah membunuh mereka.
- Golongan Syiah Kufah sendiri mengakui merekalah yang membunuh di samping menyatakan penyesalan mereka dengan meratap dan berkabung karena kematian orang-orang yang dibunuh oleh mereka.
Mahkamah di dunia ini menerima
keempat-empat perkara yang tersebut tadi sebagai bukti yang kukuh dan
jelas menunjukkan siapakah pembunuh sebenarnya di dalam suatu kasus
pembunuhan, yaitu bila pembunuh dan yang terbunuh berada di suatu
tempat, ada orang menyaksikan ketika mana pembunuhan itu dilakukan.
Orang yang terbunuh sendiri menyaksikan tentang pembunuhnya dan
puncaknya ialah pengakuan pembunuh itu sendiri. Jika keempat-empat
perkara ini sudah terbukti dengan jelas dan diterima oleh semua mahkamah
sebagai kasus pembunuhan yang cukup bukti-buktinya, maka bagaimana
mungkin diragui lagi tentang pembunuh- pembunuh Sayyidina Husain itu?
Ii. Bukti-bukti Sokongan.
Walau bagaimanapun kita akan
mengemukakan lagi beberapa bukti sokongan supaya lebih menyakinkan kita
tentang golongan Syiah itulah sebenarnya pembunuh Sayyidina Husain. Di
antaranya ialah:
1. Tidak sukar untuk kita terima mereka
sebagai pembunuh Sayyidina Husain apabila kita melihat kepada sikap
mereka yang biadab terhadap Sayyidina Ali dan Sayyidina Hasan sebelum
itu. Begitu juga sikap mereka yang biadap terhadap orang-orang yang
dianggap oleh mereka sebagai Imam selepas Sayyidina Husain. Bahkan
terdapat banyak pula bukti yang menunjukkan merekalah yang
bertanggungjawab terhadap pembunuhan beberapa orang Imam walaupun mereka
menuduh orang lain sebagai pembunuh Imam- imam itu dengan menyebar
luaskan propaganda-propaganda mereka terhadap tertuduh itu.
Di antara kebiadaban mereka terhadap
Sayyidina Ali ialah mereka menuduh Sayyidina Ali berdusta dan mereka
pernah mengancam untuk membunuh Sayyidina Ali. Bahkan Ibnu Muljim yang
kemudian membunuh Sayyidina Ali itu juga mendapat latihan serta didikan
untuk menentang Sayyidina Utsman di Mesir dan berpura-pura mengasihi
Sayyidina Ali. Dia pernah berkhidmat sebagai pengawal Sayyidina Ali
selama beberapa tahun di Madinah dan Kufah.
Di dalam Jilaau Al Uyun
disebutkan bahwa Abdul Rahman ibnu Muljim adalah salah seorang dari
kelompok yang terhormat yang telah dikirimkan oleh Muhammad bin Abu Bakr
dari Mesir. Dia juga telah berbai’at dengan memegang tangan Sayyidina
Ali dan dia juga berkata kepada Sayyidina Hasan, ” Bahwa aku telah
berjanji dengan Tuhan untuk membunuh bapakmu dan sekarang aku
menunaikannya. Sekarang wahai Hasan jika engkau mau membunuhku,
bunuhlah. Tetapi kalau engkau maafkan aku, aku akan pergi membunuh
Muawiyah pula supaya engkau terselamat daripada kejahatannya.” (Jilaau Al Uyun, halaman 218).
Tetapi setelah golongan Syiah pada
ketika itu merasakan rencana mereka semua akan gagal apabila perjanjian
damai di antara pihak Sayyidina Ali dan Muawiyah disetujui, maka
golongan Syiah yang merupakan musuh-musuh Islam yang menyamar atas nama
Islam itu memikirkan diri mereka tidak selamat apabila perdamaian antara
Sayyidina Ali dan Muawiyah terjadi. Maka segolongan dari mereka telah
mengasingkan diri daripada mengikuti Sayyidina Ali dan mereka menjadi
golongan Khawarij sementara segolongan lagi tetap berada bersama
Sayyidina Ali. Perpecahan yang berlaku ini sebanarnya satu taktik mereka
untuk mempergunakan Sayyidina Ali demi kepentingan mereka yang jahat
itu dan untuk berselindung di balik beliau dari hukuman karena
pembunuhan Khalifah Utsman.
Sayyidina Hasan pula pernah ditikam oleh
golongan Syiah pahanya hingga tembus kemudian mereka menunjukkan pula
kebiadabannya terhadap Sayyidina Hasan dengan merampas harta bendanya
dan menarik kain sajadah yang diduduki oleh Sayyidina Hasan. Ini semua
tidak lain melainkan karena Sayyidina Hasan telah bersedia untuk
berdamai dengan pihak Sayyidina Muawiyah. Bahkan bukan sekadar itu saja
mereka telah menuduh Sayyidina Hasan sebagai orang yang menghinakan
orang-orang Islam dan sebagai orang yang menghitamkan muka orang-orang
Mukmin.
Kebiadaban Syiah dan kebusukan hatinya
ditujukan juga kepada Imam Ja’far Ash Shadiq bila seorang Syiah yang
sangat setia kepada Imam Ja’far Ash Shadiq, yaitu Rabi’, menangkap Imam
Ja’far Ash Shadiq dan membawanya kehadapan Khalifah Al Mansur supaya
dibunuh. Rabi’ telah memerintahkan anaknya yang paling keras hati supaya
menyeret Imam Ja’far Ash Shadiq dengan kudanya. Ini tersebut di dalam
kitab Jilaau Al Uyun karangan Mullah Baqir Majlisi.
Di dalam kitab yang sama, pengarangnya
juga menyebutkan kisah pembunuhan Ali Ar Ridha yaitu Imam yang ke
delapan di sisi Syiah, bahwa beliau telah dibunuh oleh Sabih Dailamy,
seorang Syiah tulen atas perintah Al Makmun. Bagaimanapun diceritakan
bahwa selepas dibunuh itu, Imam Ar Ridha dengan mukjizatnya terus hidup
kembali dan tidak ada langsung bekas-bekas pedang di tubuhnya.
Bagaimanapun Syiah telah menyempurnakan
tugasnya untuk membunuh Imam Ar Ridha. Oleh itu tidaklah heran golongan
yang sampai begini biadabnya terhadap Imam-imam bisa membunuh Sayyidina
Husain tanpa belas kasihan di medan Karbala.
Boleh jadi kita akan mengatakan
bagaimana mungkin pengikut-pengikut setia Imam-imam ini yang dikenali
dengan ‘Syiah’ bisa bertindak kejam pula terhadap Imam-imamnya? Tidakkah
mereka sanggup mempertahankan nyawa demi mempertahankan Iman-imam
mereka? Secara ringkas, bolehlah kita katakan bahwa ‘perasaan keheranan’
yang seperti ini mungkin timbul dari dalam fikiran Syiah, yang tidak
mengetahui latar belakang terbentuknya Syiah itu sendiri. Mereka hanya
menerima secara membabi buta daripada orang-orang terdahulu. Adapun
orang-orang yang mengadakan sesuatu fahaman dengan tujuan-tujuan yang
tertentu dan masih hidup ketika mana ajaran dan fahaman itu mula
dikembangkan tentu sekali mereka sedar maksud dan tujuan mereka
mengadakan ajaran tersebut. Pada lahirnya mereka menunjukkan taat setia
dan kasih sayang kepada Imam-imam itu, tetapi pada hakikatnya adalah
sebaliknya.
2. Di antara bukti yang menunjukkan
tidak ada peranan Yazid dalam pembunuhan Sayyidina Husain di Karbala,
bahkan golongan Syiah-lah yang bertanggungjawab membunuh beliau bersama
dengan ramai orang-orang yang ikut serta di dalam rombongan itu, ialah
adanya hubungan perbesanan di antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah,
selepas terjadinya peperangan Sgiffin dan juga selepas terjadinya
peristiwa pembunuhan Sayyidina Husain di Karbala.
Tidak mungkin orang-orang yang memiliki
kehormatan seperti kalangan Ahlul Bait akan menikah dengan orang-orang
yang diketahui oleh mereka sebagai pembunuh-pembunuh atau orang-orang
yang bertanggungjawab di dalam membunuh ayah, kakek, atau paman mereka
Sayyidina Husain. Hubungan ini selain menunjukkan pemerintah-pemerintah
dari kalangan Bani Muawiyah dan Yazid sebagai orang yang tidak bersalah
di dalam pembunuhan ini, ia juga menunjukkan mereka adalah golongan yang
banyak berbudi kepada Ahlul Bait dan sentiasa menjalinkan ikatan kasih
sayang di antara mereka dan Ahlul Bait.
Di antara contoh hubungan perbesanan ini ialah:
- Anak perempuan Sayyidina Ali sendiri bernama Ramlah telah menikah dengan anak Marwan bin Al Hakam yang bernama Muawiyah yaitu saudara Amirul Mukminin Abdul Malik bin Marwan. (Ibn Hazm, Jamharatu Al Ansab, halaman 80)
- Seorang lagi anak perempuan Sayyidina Ali menikah dengan Amirul Mukminin Abdul Malik sendiri yaitu khalifah yang ke empat dari kerajaan Bani Umayah. (Al Bidayah Wa An Nihayah, jilid 9 halaman 69)
- Seorang lagi anak perempuan Sayyidina Ali yaitu Khadijah menikah dengan anak gubernur ‘Amir bin Kuraiz dari Bani Umayah bernama Abdul Rahman. (Jamharatu An Ansab, halaman 68). ‘Amir bin Kuraiz adalah gubernur bagi pihak Muawiyah di Basrah dan dalam peperangan Jamal dia berada di pihak lawan Sayyidina Ali.
Cucu Sayyidina Hasan pula bukan seorang
dua yang telah menikah dengan pemimpin-pemimpin kerajaan Bani Umayah
bahkan sejarah telah mencatatkan 6 orang daripada cucu beliau telah
menikah dengan mereka yaitu:
- Nafisah binti Zaid bin Hasan menikah dengan Amirul Mukminin Al Walid bin Abdul Malik bin Marwan.
- Zainab binti Hasan Al Mutsanna bin Hasan bin Ali juga telah menikah dengan Khalifah Al Walid bin Abdul Malik. Zainab ini adalah di antara orang yang turut serta di dalam rombongan Sayyidina Husain ke Kufah dan dia adalah salah seorang yang menyaksikan peristiwa pembunuhan Sayyidina Husain di Karbala dengan mata kepalanya sendiri.
- Ummu Qasim binti Hasan Al Mutsanna bin Hasan bin Ali menikah dengan cucu Sayyidina Uthman yaitu Marwan bin Aban. Ummu Qasim ini selepas kematian suaminya Marwan menikah pula dengan Ali Zainal Abidin bin Al Husain.
- Cucu perempuan Sayyidina Hasan yang keempat telah menikah dengan anak Marwan bin Al Hakam yaitu Muawiyah.
- Cucu Sayyidina Hasan yang kelima bernama Hammaadah binti Hasan Al Mutsanna menikah dengan anak saudara Amirul Mukminin Marwan bin Al Hakam yaitu Ismail bin Abdul Malik.
- Cucu Sayyidina Hasan yang keenam bernama Khadijah binti Husain bin Hasan bin Ali juga pernah menikah dengan Ismail bin Abdul Malik yang tersebut tadi sebelum sepupunya Hammaadah.
Perlu diingat bahwa semua mereka yang tersebut ada meninggalkan keturunan.
Dari kalangan anak cucu Sayyidina Husain
pula ramai yang telah menjalinkan perkahwinan dengan individu-individu
dari keluarga Bani Umayah, antaranya ialah:
- Anak perempuan Sayyidina Husain yang terkenal bernama Sakinah. Setelah beberapa lama terbunuh suaminya, Mush’ab bin Zubair, beliau telah menikah dengan cucu Amirul Mukminin Marwan yaitu Al Asbagh bin Abdul Aziz bin Marwan. Asbagh ini adalah saudara dari Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz, sedangkan isteri Asbagh yang kedua ialah anak dari Amirul Mukminin Yazid yaitu Ummu Yazid. (Jamharatu Al Ansab)
- Sakinah anak Sayyidina Husain yang tersebut tadi pernah juga menikah dengan cucu Sayyidina Uthman yang bernama Zaid bin Amar bin Utsman.
Sementara anak cucu kepada
saudara-saudara Sayyidina Husain yaitu Abbas bin Ali dan lain-lain juga
telah mengadakan perhubungan perbesanan dengan keluarga Umayah. Di
antaranya yang boleh disebutkan ialah:
Cucu perempuan dari saudara Sayyidina
Husain yaitu Abbas bin Ali bernama Nafisah binti Ubaidillah bin Abbas
bin Ali menikah dengan cucu Amirul Mukminin Yazid yang bernama Abdullah
bin Khalid bin Yazid bin Muawiyah. Datuk kepada Nafisah ini yaitu Abbas
bin Ali adalah di antara orang yang ikut serta dalam rombongan Sayyidina
Husain ke Kufah. Beliau terbunuh dalam pertempuran di medan Karbala .
Sekiranya benar cerita yang diambil oleh
ahli -ahli sejarah dari Abu Mukhnaf, Hisyam dan lain–lain tentang
kezaliman Yazid di Karbala yang dikatakan telah memerintah supaya tidak
dibenarkan setitik pun air walaupun kepada kanak–kanak yang ikut serta
dalam rombongan Sayyidina Husain itu sehingga mereka mati kehausan
apakah mungkin perkawinan di antara cucu kepada Abbas ini terjadi dengan
cucu Yazid. Apakah kekejaman–kekejaman yang tidak ada tolak bandingnya
seperti yang digambarkan di dalam sejarah boleh dilupakan begitu mudah
oleh anak – anak cucu orang–orang yang teraniaya di medan Karbala itu?
Apa lagi jika dilihat kepada zaman berlakunya perkawinan mereka ini,
bukan lagi di zaman kekuasaan keluarga Yazid, bahkan yang berkuasa pada
ketika itu ialah keluarga Marwan. Di sana tidak terdapat satu pun alasan
untuk kita mengatakan perkahwinan itu berlaku secara kekerasan atau
paksaan.
Perkawinan mereka membuktikan
kisah–kisah kezaliman yang dilakukan oleh tentara Yazid kepada rombongan
Sayyidina Husain itu cerita–cerita rekaan oleh Abu Mukhnaf, Al Kalbi
dan anaknya Hisyam dan lain–lain.
Cucu perempuan dari saudara Sayyidina
Husain, Muhammad bin Ali (yang terkenal dengan Muhammad bin Hanafiyah)
bernama Lubabah menikah dengan Said bin Abdullah bin Amr bin Said bin Al
Ash bin Umayah. Ayah kepada Lubabah ini ialah Abu Hisyam Abdullah yang
dipercayai sebagai imam oleh Syiah Kaisamyyah .
Demikianlah serba ringkasnya dikemukakan
hubungan persemendaaan yang berlaku di antara Bani Umaiyyah dan Bani
Hasyim terutamanya dari anak cucu Sayyidina Ali, Hasan dan Husain.
Hubungan persemendaan di antara mereka sangat banyak terdapat di dalam
kitab-kitab Ansab dan sejarah. Maklumat lebih lanjut boleh dirujuk dari
kitab–kitab seperti Jamratu Al Ansab, Nasbu Quraisy, Al Bidayah wa An Nihayah, Umdatu Al Thalib Fi Ansab Aal Abi Thalib, dan lain–lain.
_________________________________________________________________________________
Bantahan atas Tulisan: Siapa Pembunuh Al Husain Radhiyallahu ‘anhuma?
Yazid dalam Timbangan Al-Qur’an dan As-Sunnah
Selain tujuh ratus tokoh Muhajirin dan Anshar, sepuluh ribu kaum
muslimin penduduk Madinah terbantai secara mengerikan dalam peristiwa
tersebut. Yazid dalam perintahnya menghalalkan apapun yang dilakukan
pasukannya terhadap penduduk Madinah selama 3 hari. Sekedar untuk
memberikan gambaran kekejian yang mereka lakukan, Abu Al Hasan Al Madani
mengatakan, “Setelah peristiwa Harrah di kota Madinah, sebanyak seribu
wanita melahirkan tanpa suami.”
|
Ismail Amin
Pada tahun 62 H sekelompok warga Madinah pergi ke Syam. Dengan mata
kepala mereka sendiri mereka menyaksikan perbuatan mungkar Yazid bin
Muawiyah. Dari sinilah mereka sadar bahwa khalifah yang berkuasa atas
kaum muslimin adalah orang yang tidak mengenal agamanya. Setibanya di
kota Madinah, mereka menceritakan apa yang terjadi di Syam kepada
penduduk Madinah. Mereka mengutuk Yazid. Abdullah bin Handhalah ra yang
juga ikut pegi ke Syam berkata, “Wahai penduduk Madinah, kami baru saja
tiba dari Syam. Kami sempat bertemu dan bertatap muka langsung dengan
Yazid. Ketahuilah bahwa dia adalah seorang yang tidak mengenal agamanya.
Dia adalah seorang yang meniduri ibu, anak dan saudara sekaligus. Yazid
adalah seorang peminum khamar, yang tidak melaksanakan kewajiban shalat
dan bahkan membantai anak keturunan Nabi.”
Mendengar hal itu, penduduk Madinah bertekad menarik kembali baiat mereka kepada Yazid. Tak cukup sampai disitu, mereka juga mengusir guberbur Madinah yang bernama Utsman bin Muhammad bin Abu Sufyan. Berita pembangkangan penduduk kota Madinah sampai ke telinga Yazid. Yazid mengirimkan bala tentaranya dalam jumlah besar dipimpin oleh Muslim bin Uqbah untuk menumpas gerakan Warga Madinah. Selama tiga hari pasukan Yazid membantai warga Madinah. Darah membanjiri lorong-lorong kota Madinah hingga membasahi makam suci Rasulullah dan Masjid Nabawi.
Selain tujuh ratus tokoh Muhajirin dan Anshar, sepuluh ribu kaum muslimin penduduk Madinah terbantai secara mengerikan dalam peristiwa tersebut. Yazid dalam perintahnya menghalalkan apapun yang dilakukan pasukannya terhadap penduduk Madinah selama 3 hari. Sekedar untuk memberikan gambaran kekejian yang mereka lakukan, Abu Al Hasan Al Madani mengatakan, “Setelah peristiwa Harrah di kota Madinah, sebanyak seribu wanita melahirkan tanpa suami.”
Kisah yang bukan dongeng ini ditulis oleh banyak sejarahwan muslim, diantaranya, Sibt Ibn Al-Jauzi dalam kitabnya Al-Tadzkirah hal 63. Ibnu Katsir—rahimahullah—berkata, “Yazid telah bersalah besar dalam peristiwa Al Harrah dengan berpesan kepada pemimpin pasukannya, Muslim bin Uqbah untuk membolehkan pasukannya memanfaatkan semua harta benda, kendaraan, senjata, ataupun makanan penduduk Madinah selama tiga hari”. Yang dalam peristiwa tersebut terbunuh sejumlah sahabat nabi dan anak-anak mereka. Bagaimanakah Islam menyikapi tragedi ini?
Sikap Islam terhadap Pembunuh Sahabat Nabi.
Tragedi Al-Harrah adalah tragedi besar pasca tragedi terbantainya keluarga nabi di Karbala. Yazid tidak merasa puas berusaha menghabisi keluarga nabi namun juga berupaya menumpas habis sahabat-sahabat nabi dan anak-anak mereka. Dalam peristiwa tersebut terbunuh sekitar tujuh ratus sahabat nabi, yang mengantongi curicullumvitae keutamaan berjihad bersama nabi. Diantaranya, Abdullah bin Handhalah ra, anak sahabat nabi yang dimandikan oleh malaikat setelah syahid dalam perang. Menyikapi Yazid, PP Wahdah Islamiyah (selanjutnya dibaca WI) dalam situs resminya memposting artikel, bahwa sikap Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadap Yazid bin Muawiyah adalah tidak mencela tapi tidak pula mencintainya dengan dalih agama Islam tidak dibangun di atas celaan melainkan dibangun di atas akhlak mulia. Maka celaan dan para pencela, tidak memiliki tempat sedikitpun dalam agama Islam.. Sesuaikah sikap tersebut dengan prinsip-prinsip dalam Islam? Mari kita lihat sikap Islam yang berdasar pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Imam Bukhari dan Imam Muslim menulis dalam kitab shahih mereka, Rasulullah saww bersabda, “Barang siapa menakut-nakuti penduduk Madinah dengan kedzalimannya, maka Allah akan membuatnya takut. Baginya laknat Allah, para malaikat dan seluruh manusia. Di hari kiamat kelak, Allah SWT tidak akan menerima amal perbuatannya.”
Pertanyaannya, apakah melakukan pembunuhan massal, merampas harta dan kehormatan kaum muslimah pada peristiwa Al-Harrah tidak termasuk menakut-nakuti penduduk Madinah?. Berdasarkan hadits ini, Yazid adalah orang yang dikutuk oleh Allah, para malaikat dan seluruh umat manusia. Selanjutnya, pada peristiwa tersebut terbunuh ratusan sahabat nabi, bagaimanakah sikap Rasulullah saww terhadap pembunuh sahabat-sahabatnya?. Pada Shahih Bukhari Jilid 5 hal 132 bab Ghaswah Ar-Raji’i wa ri’li wa dzakwan. Riwayat ini diceritakan oleh Anas bin Malik bahwa Bani Raji’i, Dzakwan, Ushayyah dan Bani Hayan meminta bantuan Rasulullah saww untuk membantu mereka menghadapi musuh. Rasulullah saww mengirimkan 70 sahabat terbaik dari kalangan Anshar yang terkenal sebagai Al-Qurra’ (pembaca Al-Qur’an). Namun ketika mereka sampai pada sumber mata air yang bernama Bi-ir Ma’unah, dengan licik 70 sahabat Anshar tersebut mereka bunuh. Rasulullah sangat berduka atas peristiwa ini, dan selama satu bulan beliau membaca qunut melaknat pembunuh sahabat-sahabatnya. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana perasaan Rasulullah saww, sahabat-sahabatnya dibantai oleh yang mengaku sebagai khalifah Rasulullah.
Lalu kemudian, generasi selanjutnya datang mengaku sebagai pengikut dan pembela sunnah nabi namun kemudian menyebarkan ajaran Islam yang dibangun di atas akhlak yang mulia, saking mulianya mereka menulis, “…maka celaan dan para pencela, tidak memiliki tempat sedikitpun dalam agama Islam”. Tidak adakah tempat dalam Islam bagi Rasulullah saww yang mencela dan melaknat pembunuh sahabat-sahabatnya?. Bahkan Allah SWT sendiri, Penguasa alam semesta, bagi mereka tidak memiliki tempat dalam Islam, sebab Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya (terhadap) orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatnya di dunia dan akhirat, dan menyediakan azab yang menghinakan bagi mereka.” (Qs. Al-Ahzab : 57). Ayat ini menegaskan Allah SWT melaknat dan mencela orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah melaknat mereka di dunia dan akhirat, sedangkan bagi Ahlus Sunnah wal Jama’ah (versi WI) Islam tidak memberi tempat sedikitpun bagi para pencela.
Keterlibatan Yazid dalam Tragedi Karbala.
Dalam artikel tersebut ada upaya jelas untuk mengarahkan opini kaum muslimin agar menyalahkan pengkhianatan penduduk Kufah yang terlibat tidak langsung dibanding mereka yang terlibat langsung membantai keluarga Nabi di Karbala. Lebih mengerikannya lagi, mereka menyebut penduduk Kufah yang berkhianat dan tidak menolong Imam Husain as, keluarga dan pengikutnya adalah kelompok Syiah. Inilah fitnah terbesar mereka terhadap Syiah. Apakah mereka tidak tahu, bahwa dalam makna lafadsnya saja sudah jelas, Syiah berarti pengikut, pembela dan golongan?. Fairuzabadi dalam al-Qamus mengenai kata Sya’a mengatakan Syi’aturrajul adalah , golongan, pengikut dan pembela seseorang. Dalam Al-Qur’an Surah As-Saffat ayat 83 tertulis, “Wa inna min syiah tihi laa ibrahima” artinya “Dan sesungguhnya Ibrahim termasuk golongannya (Nuh)”.
Ketika ada yang mengatakan sebagai Syiah Nabi maka berarti pengikut dan pembela Nabi. Begitu juga dengan Syiah Imam Husain as. Karenanya dimana Syiah pada waktu terjadi tragedi Karbala?. Mereka turut terbantai bersama Imam Husain as, mereka meneguk cawan syahadah bersama penghulu pemuda surga. Lalu siapakah orang-orang Kufah yang mengundang Imam Husain as dan menyatakan kesediaan meraka berbaiat dan rela mati bersama Al-Husain?. Kalaupun mereka mengaku dan bersaksi sebagai Syiah Imam Husain as, maka persaksian mereka akan tertolak secara sendirinya kalau ternyata mereka tidak mampu memberikan bukti atas kesaksian tersebut. Menghukumi pengkhianatan orang-orang Kufah sebagai pengkhianatan orang-orang Syiah adalah tidak adil dan termasuk kejahatan intelektual sebab Syiah sendiri berlepas dari mereka. Lalu kemana Ahlus Sunnah pada waktu itu?. Ini yang secara pribadi ingin saya gugat, apa bedanya mereka dengan penduduk Kufah yang tidak memberi pembelaan dan pertolongan kepada keluarga nabi?. Mereka tidak memberi respon apa-apa terhadap peristiwa tersebut. Ya, mereka bisa jadi tidak memiliki tenaga yang cukup untuk berjihad bersama Imam Husain as sebab mereka hari itu berpuasa sesuai ‘perintah’ nabi, “Ia (puasa) ‘Asyura, menghapus dosa tahun lalu.” (HR. Muslim). Atau mereka menganggap Imam Husain as tidak layak mendapat pertolongan, sementara mereka sendiri mengakui Imam Husain as terbunuh secara dzalim.
Mereka yang mengaku Ahlus Sunnah (padahal jauh dari sunnah) berupaya mengubur dalam-dalam tragedi ini, agar tidak lagi diperbincangkan dan menjadi ingatan bagi kaum muslimin. Di hari Asyura mereka melakukan tiga hal, berpuasa, mengecam Syiah dan membela Yazid, tidak melaknat dan juga tidak mencintainya. Mereka berupaya mengampuni Yazid dengan dalil hadits dari Rasulullah saww, “Pasukan yang paling pertama menyerang Romawi diampuni.” (HR. Bukhari). Kalaupun benar hadits ini shahih dan ekspedisi ini dipimpin oleh Yazid bin Muawiyah, itu tidak memberi dampak apa-apa terhadap pengampunan kedzalimannya kepada keluarga dan sahabat-sahabat nabi. Sebab penyerangan tersebut terjadi pada tahun 49 H, pengampunan dimaknai sebagai terhapusnya dosa-dosa yang telah dilakukan, seseorang tidak diampuni karena dosa-dosa yang belum dilakukannya. Sementara tragedi Karbala terjadi pada tahun 61 H dan tragedi Al-Harrah pada tahun 63 H, jauh setelah ekspedisi Yazid ke Romawi. Kalau mau tetap memaksakan diri menafsirkan hadits Rasulullah saww tersebut bahwa yang dimaksud diampuni adalah dosa setelah dan yang akan datang, maka harus kita akui, Yazid lebih tinggi keutamaannya dibanding sahabat-sahabat utama nabi (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali –ridha Allah atas mereka-) sebab tidak ada pernyataan nabi yang menggambarkan keutamaan sebagaimana yang dimiliki Yazid sebagai pemimpin pasukan menyerang Romawi, yang terampuni dosa-dosanya sebesar dan sedzalim apapun.
Apakah dosa membunuh keluarga nabi dan sahabat-sahabatnya akan terampuni sementara Allah SWT berfirman, “Barangsiapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahannam. Dia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (Qs. An-Nisa : 93). Di ayat yang lain, “Yaitu hari yang tidak berguna bagi orang-orang dzalim permintaan maaf mereka, bagi mereka laknat dan bagi merekalah tempat tinggal yang buruk.” (Qs. Al-Mu’min : 52). Ayat lainnya, “Ingatlah, laknat Allah ditimpakan atas orang-orang yang dzalim.” (Qs. Hud: 18) dan masih banyak ayat lain yang bernada serupa.
Kalau dikatakan Yazid menyesali terbunuhnya Imam Husain as dan nampak terlihat kesedihan di wajahnya dan suara tangisan pun memenuhi rumahnya, lalu apa tindakannya terhadap pembunuh Imam Husain as, apakah dia memberikan hukuman kepada Ubaidillah bin Ziyad? Memecatnya sebagai gubernur pun tidak sama sekali. Tindakan memulangkan secara hormatpun keluarga nabi yang tersisa ke Madinah, tidak memiliki arti apa-apa, tanpa memberikan hukuman kepada pembunuh Imam Husain as. Bahkan tahun selanjutnya Yazid memerintahkan untuk menyerang kota Madinah. Kenyataan ini menunjukkan keterlibatan Yazid dalam tragedi Karbala, sebagai khalifah saat itu, dia bertanggungjawab penuh atas tragedi tersebut.
Tentang hadits “Janganlah kalian mencela orang yang telah meninggal dunia, karena mereka telah menyerahkan apa yang telah mereka perbuat.” (HR. Bukhari). Benar-benar sangat meragukan telah diucapkan oleh Rasulullah saww sebab itu berarti, kita dilarang membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang bernada celaan dan laknat kepada mereka yang kafir dan dzalim. Bukankah laknat dan celaan Allah SWT tersebar dibanyak ayat kepada Firaun, Qarun, kaum A’ad, Tsamud, Abu Lahab dan secara umum kepada orang-orang kafir, yang kesemuanya adalah orang-orang terdahulu. Meskipun hadits tersebut berkenaan dengan Abu Jahal, namun teks hadits tersebut bermakna umum, yang artinya kita tidak boleh mencela Firaun, Qarun, Abu Lahab dan orang-orang kafir karena telah meninggal dunia dan telah menyerahkan apa yang telah diperbuatnya. Bagaimanapun menurut ijma kaum muslimin, kedudukan Al-Qur’an lebih tinggi dari hadits, karenanya jika matan sebuah hadits bertentangan dengan pesan-pesan Al-Qur’an maka hadits tersebut harus ditolak. Hatta diriwayatkan oleh Imam Bukhari sekalipun.
Apakah dengan dalil-dalil di atas membuat kita tetap bersedia terpengaruh dengan ajakan ustadz-ustadz WI untuk bersikap sama dengan Adz-Dzahabi, “Kita tidak mencela Yazid, tapi tidak pula mencintainya.”? Atau bersedia melaknat Yazid, sebagaimana Allah SWT melaknat mereka yang telah menyakiti Rasulullah?. Pilihan anda menunjukkan derajat keimanan anda.
Saya merasa perlu menulis ini, sebab postingan “Siapa Pembunuh Al Husain Radhiyallahu ‘anhuma?” di situs resmi Wahdah Islamiyah menurut saya sangat tidak Islami dan menyimpang dari sunnah.
Wallahu ‘alam bishshawwab
Mendengar hal itu, penduduk Madinah bertekad menarik kembali baiat mereka kepada Yazid. Tak cukup sampai disitu, mereka juga mengusir guberbur Madinah yang bernama Utsman bin Muhammad bin Abu Sufyan. Berita pembangkangan penduduk kota Madinah sampai ke telinga Yazid. Yazid mengirimkan bala tentaranya dalam jumlah besar dipimpin oleh Muslim bin Uqbah untuk menumpas gerakan Warga Madinah. Selama tiga hari pasukan Yazid membantai warga Madinah. Darah membanjiri lorong-lorong kota Madinah hingga membasahi makam suci Rasulullah dan Masjid Nabawi.
Selain tujuh ratus tokoh Muhajirin dan Anshar, sepuluh ribu kaum muslimin penduduk Madinah terbantai secara mengerikan dalam peristiwa tersebut. Yazid dalam perintahnya menghalalkan apapun yang dilakukan pasukannya terhadap penduduk Madinah selama 3 hari. Sekedar untuk memberikan gambaran kekejian yang mereka lakukan, Abu Al Hasan Al Madani mengatakan, “Setelah peristiwa Harrah di kota Madinah, sebanyak seribu wanita melahirkan tanpa suami.”
Kisah yang bukan dongeng ini ditulis oleh banyak sejarahwan muslim, diantaranya, Sibt Ibn Al-Jauzi dalam kitabnya Al-Tadzkirah hal 63. Ibnu Katsir—rahimahullah—berkata, “Yazid telah bersalah besar dalam peristiwa Al Harrah dengan berpesan kepada pemimpin pasukannya, Muslim bin Uqbah untuk membolehkan pasukannya memanfaatkan semua harta benda, kendaraan, senjata, ataupun makanan penduduk Madinah selama tiga hari”. Yang dalam peristiwa tersebut terbunuh sejumlah sahabat nabi dan anak-anak mereka. Bagaimanakah Islam menyikapi tragedi ini?
Sikap Islam terhadap Pembunuh Sahabat Nabi.
Tragedi Al-Harrah adalah tragedi besar pasca tragedi terbantainya keluarga nabi di Karbala. Yazid tidak merasa puas berusaha menghabisi keluarga nabi namun juga berupaya menumpas habis sahabat-sahabat nabi dan anak-anak mereka. Dalam peristiwa tersebut terbunuh sekitar tujuh ratus sahabat nabi, yang mengantongi curicullumvitae keutamaan berjihad bersama nabi. Diantaranya, Abdullah bin Handhalah ra, anak sahabat nabi yang dimandikan oleh malaikat setelah syahid dalam perang. Menyikapi Yazid, PP Wahdah Islamiyah (selanjutnya dibaca WI) dalam situs resminya memposting artikel, bahwa sikap Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadap Yazid bin Muawiyah adalah tidak mencela tapi tidak pula mencintainya dengan dalih agama Islam tidak dibangun di atas celaan melainkan dibangun di atas akhlak mulia. Maka celaan dan para pencela, tidak memiliki tempat sedikitpun dalam agama Islam.. Sesuaikah sikap tersebut dengan prinsip-prinsip dalam Islam? Mari kita lihat sikap Islam yang berdasar pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Imam Bukhari dan Imam Muslim menulis dalam kitab shahih mereka, Rasulullah saww bersabda, “Barang siapa menakut-nakuti penduduk Madinah dengan kedzalimannya, maka Allah akan membuatnya takut. Baginya laknat Allah, para malaikat dan seluruh manusia. Di hari kiamat kelak, Allah SWT tidak akan menerima amal perbuatannya.”
Pertanyaannya, apakah melakukan pembunuhan massal, merampas harta dan kehormatan kaum muslimah pada peristiwa Al-Harrah tidak termasuk menakut-nakuti penduduk Madinah?. Berdasarkan hadits ini, Yazid adalah orang yang dikutuk oleh Allah, para malaikat dan seluruh umat manusia. Selanjutnya, pada peristiwa tersebut terbunuh ratusan sahabat nabi, bagaimanakah sikap Rasulullah saww terhadap pembunuh sahabat-sahabatnya?. Pada Shahih Bukhari Jilid 5 hal 132 bab Ghaswah Ar-Raji’i wa ri’li wa dzakwan. Riwayat ini diceritakan oleh Anas bin Malik bahwa Bani Raji’i, Dzakwan, Ushayyah dan Bani Hayan meminta bantuan Rasulullah saww untuk membantu mereka menghadapi musuh. Rasulullah saww mengirimkan 70 sahabat terbaik dari kalangan Anshar yang terkenal sebagai Al-Qurra’ (pembaca Al-Qur’an). Namun ketika mereka sampai pada sumber mata air yang bernama Bi-ir Ma’unah, dengan licik 70 sahabat Anshar tersebut mereka bunuh. Rasulullah sangat berduka atas peristiwa ini, dan selama satu bulan beliau membaca qunut melaknat pembunuh sahabat-sahabatnya. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana perasaan Rasulullah saww, sahabat-sahabatnya dibantai oleh yang mengaku sebagai khalifah Rasulullah.
Lalu kemudian, generasi selanjutnya datang mengaku sebagai pengikut dan pembela sunnah nabi namun kemudian menyebarkan ajaran Islam yang dibangun di atas akhlak yang mulia, saking mulianya mereka menulis, “…maka celaan dan para pencela, tidak memiliki tempat sedikitpun dalam agama Islam”. Tidak adakah tempat dalam Islam bagi Rasulullah saww yang mencela dan melaknat pembunuh sahabat-sahabatnya?. Bahkan Allah SWT sendiri, Penguasa alam semesta, bagi mereka tidak memiliki tempat dalam Islam, sebab Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya (terhadap) orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatnya di dunia dan akhirat, dan menyediakan azab yang menghinakan bagi mereka.” (Qs. Al-Ahzab : 57). Ayat ini menegaskan Allah SWT melaknat dan mencela orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah melaknat mereka di dunia dan akhirat, sedangkan bagi Ahlus Sunnah wal Jama’ah (versi WI) Islam tidak memberi tempat sedikitpun bagi para pencela.
Keterlibatan Yazid dalam Tragedi Karbala.
Dalam artikel tersebut ada upaya jelas untuk mengarahkan opini kaum muslimin agar menyalahkan pengkhianatan penduduk Kufah yang terlibat tidak langsung dibanding mereka yang terlibat langsung membantai keluarga Nabi di Karbala. Lebih mengerikannya lagi, mereka menyebut penduduk Kufah yang berkhianat dan tidak menolong Imam Husain as, keluarga dan pengikutnya adalah kelompok Syiah. Inilah fitnah terbesar mereka terhadap Syiah. Apakah mereka tidak tahu, bahwa dalam makna lafadsnya saja sudah jelas, Syiah berarti pengikut, pembela dan golongan?. Fairuzabadi dalam al-Qamus mengenai kata Sya’a mengatakan Syi’aturrajul adalah , golongan, pengikut dan pembela seseorang. Dalam Al-Qur’an Surah As-Saffat ayat 83 tertulis, “Wa inna min syiah tihi laa ibrahima” artinya “Dan sesungguhnya Ibrahim termasuk golongannya (Nuh)”.
Ketika ada yang mengatakan sebagai Syiah Nabi maka berarti pengikut dan pembela Nabi. Begitu juga dengan Syiah Imam Husain as. Karenanya dimana Syiah pada waktu terjadi tragedi Karbala?. Mereka turut terbantai bersama Imam Husain as, mereka meneguk cawan syahadah bersama penghulu pemuda surga. Lalu siapakah orang-orang Kufah yang mengundang Imam Husain as dan menyatakan kesediaan meraka berbaiat dan rela mati bersama Al-Husain?. Kalaupun mereka mengaku dan bersaksi sebagai Syiah Imam Husain as, maka persaksian mereka akan tertolak secara sendirinya kalau ternyata mereka tidak mampu memberikan bukti atas kesaksian tersebut. Menghukumi pengkhianatan orang-orang Kufah sebagai pengkhianatan orang-orang Syiah adalah tidak adil dan termasuk kejahatan intelektual sebab Syiah sendiri berlepas dari mereka. Lalu kemana Ahlus Sunnah pada waktu itu?. Ini yang secara pribadi ingin saya gugat, apa bedanya mereka dengan penduduk Kufah yang tidak memberi pembelaan dan pertolongan kepada keluarga nabi?. Mereka tidak memberi respon apa-apa terhadap peristiwa tersebut. Ya, mereka bisa jadi tidak memiliki tenaga yang cukup untuk berjihad bersama Imam Husain as sebab mereka hari itu berpuasa sesuai ‘perintah’ nabi, “Ia (puasa) ‘Asyura, menghapus dosa tahun lalu.” (HR. Muslim). Atau mereka menganggap Imam Husain as tidak layak mendapat pertolongan, sementara mereka sendiri mengakui Imam Husain as terbunuh secara dzalim.
Mereka yang mengaku Ahlus Sunnah (padahal jauh dari sunnah) berupaya mengubur dalam-dalam tragedi ini, agar tidak lagi diperbincangkan dan menjadi ingatan bagi kaum muslimin. Di hari Asyura mereka melakukan tiga hal, berpuasa, mengecam Syiah dan membela Yazid, tidak melaknat dan juga tidak mencintainya. Mereka berupaya mengampuni Yazid dengan dalil hadits dari Rasulullah saww, “Pasukan yang paling pertama menyerang Romawi diampuni.” (HR. Bukhari). Kalaupun benar hadits ini shahih dan ekspedisi ini dipimpin oleh Yazid bin Muawiyah, itu tidak memberi dampak apa-apa terhadap pengampunan kedzalimannya kepada keluarga dan sahabat-sahabat nabi. Sebab penyerangan tersebut terjadi pada tahun 49 H, pengampunan dimaknai sebagai terhapusnya dosa-dosa yang telah dilakukan, seseorang tidak diampuni karena dosa-dosa yang belum dilakukannya. Sementara tragedi Karbala terjadi pada tahun 61 H dan tragedi Al-Harrah pada tahun 63 H, jauh setelah ekspedisi Yazid ke Romawi. Kalau mau tetap memaksakan diri menafsirkan hadits Rasulullah saww tersebut bahwa yang dimaksud diampuni adalah dosa setelah dan yang akan datang, maka harus kita akui, Yazid lebih tinggi keutamaannya dibanding sahabat-sahabat utama nabi (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali –ridha Allah atas mereka-) sebab tidak ada pernyataan nabi yang menggambarkan keutamaan sebagaimana yang dimiliki Yazid sebagai pemimpin pasukan menyerang Romawi, yang terampuni dosa-dosanya sebesar dan sedzalim apapun.
Apakah dosa membunuh keluarga nabi dan sahabat-sahabatnya akan terampuni sementara Allah SWT berfirman, “Barangsiapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahannam. Dia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (Qs. An-Nisa : 93). Di ayat yang lain, “Yaitu hari yang tidak berguna bagi orang-orang dzalim permintaan maaf mereka, bagi mereka laknat dan bagi merekalah tempat tinggal yang buruk.” (Qs. Al-Mu’min : 52). Ayat lainnya, “Ingatlah, laknat Allah ditimpakan atas orang-orang yang dzalim.” (Qs. Hud: 18) dan masih banyak ayat lain yang bernada serupa.
Kalau dikatakan Yazid menyesali terbunuhnya Imam Husain as dan nampak terlihat kesedihan di wajahnya dan suara tangisan pun memenuhi rumahnya, lalu apa tindakannya terhadap pembunuh Imam Husain as, apakah dia memberikan hukuman kepada Ubaidillah bin Ziyad? Memecatnya sebagai gubernur pun tidak sama sekali. Tindakan memulangkan secara hormatpun keluarga nabi yang tersisa ke Madinah, tidak memiliki arti apa-apa, tanpa memberikan hukuman kepada pembunuh Imam Husain as. Bahkan tahun selanjutnya Yazid memerintahkan untuk menyerang kota Madinah. Kenyataan ini menunjukkan keterlibatan Yazid dalam tragedi Karbala, sebagai khalifah saat itu, dia bertanggungjawab penuh atas tragedi tersebut.
Tentang hadits “Janganlah kalian mencela orang yang telah meninggal dunia, karena mereka telah menyerahkan apa yang telah mereka perbuat.” (HR. Bukhari). Benar-benar sangat meragukan telah diucapkan oleh Rasulullah saww sebab itu berarti, kita dilarang membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang bernada celaan dan laknat kepada mereka yang kafir dan dzalim. Bukankah laknat dan celaan Allah SWT tersebar dibanyak ayat kepada Firaun, Qarun, kaum A’ad, Tsamud, Abu Lahab dan secara umum kepada orang-orang kafir, yang kesemuanya adalah orang-orang terdahulu. Meskipun hadits tersebut berkenaan dengan Abu Jahal, namun teks hadits tersebut bermakna umum, yang artinya kita tidak boleh mencela Firaun, Qarun, Abu Lahab dan orang-orang kafir karena telah meninggal dunia dan telah menyerahkan apa yang telah diperbuatnya. Bagaimanapun menurut ijma kaum muslimin, kedudukan Al-Qur’an lebih tinggi dari hadits, karenanya jika matan sebuah hadits bertentangan dengan pesan-pesan Al-Qur’an maka hadits tersebut harus ditolak. Hatta diriwayatkan oleh Imam Bukhari sekalipun.
Apakah dengan dalil-dalil di atas membuat kita tetap bersedia terpengaruh dengan ajakan ustadz-ustadz WI untuk bersikap sama dengan Adz-Dzahabi, “Kita tidak mencela Yazid, tapi tidak pula mencintainya.”? Atau bersedia melaknat Yazid, sebagaimana Allah SWT melaknat mereka yang telah menyakiti Rasulullah?. Pilihan anda menunjukkan derajat keimanan anda.
Saya merasa perlu menulis ini, sebab postingan “Siapa Pembunuh Al Husain Radhiyallahu ‘anhuma?” di situs resmi Wahdah Islamiyah menurut saya sangat tidak Islami dan menyimpang dari sunnah.
Wallahu ‘alam bishshawwab
Seri Asyura:
Falsafah Menangis atas Imam Husain as
|
Ismail Amin
Karbala, nama hamparan sahara dekat sungai Eufrat yang menjadi
panggung drama nyata tragedi kemanusiaan terbesar sepanjang sejarah.
Sebuah padang pasir yang di beritakan dalam Al-Kitab, bahwa di tempat
ini terjadi penyembelihan yang teramat dahsyat, yang digambarkan pedang
akan makan sampai kenyang dan akan puas minum darah mereka (Yeremia
46:1).
Dari sekian tragedi kemanusiaan yang terjadi, tragedi di Karbalalah yang terbesar. Bukan dilihat dari jumlah korban, melainkan siapa yang telahmenjadi korban dan bergelimang darah. Jumlah mereka tidak seberapa, ‘hanya’ kurang lebih 72 orang. Yang menjadikan peristiwa ini sulit untuk terlupakan adalah Karbala menjadi samudera pasir yang menyuguhkan genangan darah dan air mata suci putera-puteri Rasul. 10 Muharram 61 Hijriah, Imam Husain bersama 72 pengikutnya — termasuk di dalamnya anak-anak — syahid dibantai oleh sekitar 30.000 tentara Yazid bin Muawiyyah di padang Karbala , Irak. Kepala Imam dan para syuhada dipenggal dan diarak keliling kota .
Tragedi Karbala merupakan tragedi terbesar sepanjang sejarah Islam. Meski telah berlalu berabad-abad lamanya, namun masih sangat membekas dan berpengaruh dalam benak umat manusia, seakan-akan peristiwa ini terjadi kemarin sore. Kita tidak menemukan peristiwa apapun di dunia ini yang dikenang sedemikian rupa melebihi kenangan atas tragedi Karbala. Tragedi Karbala benar-benar menggelitik nalar dan nurani kita untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan; mengapa tragedi ini harus selalu dikenang ? Mengapa kematian sekelompok orang yang sudah berlalu sekian abad masih terus ditangisi? Mengapa perasaan benci terhadap para pembantai keluarga Nabi masih terus dipelihara? Bukankah sebagai seorang muslim sudah seharusnya melupakan masa lalu dan memaafkan segala kesalahan mereka? Bukankah membahas peristiwa ini hanya akan menyulut benih-benih perpecahan antara kaum muslimin, antara kelompok yang pro dengan kebangkitan dan kesyahidan Imam Husain as, dengan kelompok yang kontra dan menganggap Imam Husain as adalah agitor dan pemberontak terhadap penguasa yang sah ?. Masihkah relevan kita memperbincangkan tentang kesyahidan Imam Husain di padang Karbala di abad yang justru orang-orang membincangkan perdebatan antar budaya dan peradaban melalui dunia maya? Apa faedah kita mengungkit-ngungkit tragedi yang telah menjadi masa lalu ini, dan buat apa kita menangisinya ?. Bukankah semestinya kita berpikir tentang upaya mendirikan peradaban yang lebih manusiawi dan membangun masyarakat yang inklusif-prularis di tengah perseteruan yang tajam antar penganut agama?
Saya pribadi, menganggap hal ini sangat penting untuk kita perbincangkan. Terlepas dari tragedi Karbala, di Indonesia, atas nama suku, agama, ras dan golongan, nyawa manusia tidak lebih mahal dari sebungkus rokok. Aceh, Ambon , Sambas, Sampit, Poso, Papua adalah sebagian diatara kota-kota yang telah menjadi saksi prahara itu. Kitapun menyaksikan sampai detik ini, Jet-jet tempur Rezim Zionis Israel tak henti-hentinya menggempur sejumlah kawasan di Jalur Gaza yang menjadikan ratusan orang hancur menjadi debu dan darah dalam waktu singkat. Genangan darah, tumpukan mayat diantara bangunan yang roboh, jerit tangis dan air mata telah menjadi saksi atas kebiadaban segelintir manusia atas manusia lainnya. Lalu, di manakah kemanusiaan kita? Tersentuhkah kita dengan derita-derita mereka? Sayyid Muhammad Husain Fadhlullah pernah berkata, “Mereka yang tidak pernah tersentuh dengan tragedi Karbala, tidak akan pernah tersentuh dengan tragedi kemanusiaan yang lain.” Tragedi Karbala menjadi ukuran. Kepedulian kita atas tragedi kemanusiaan, khususnya di bumi Nusantara maupun yang terjadi di Gaza saat ini akan terukur dari kepedulian kita pada Karbala . Imam Ja;far Ash-Shadiq as pernah berkata, “Sungguh kesyahidan Husain senantiasa membakar hati-hati orang-orang yang beriman.” Dari sini, saya melihat tragedi Karbala sangat relevan untuk kita kenang.
Hakikat Tangisan.
Pertama-tama, kami tegaskan bahwa masalah memperingati tragedi Karbala (10 Muharram) bukanlah masalah khas Syi’ah saja, tetapi masalah islami. Meskipun muslim yang bermadhzab Syi’ah lebih memberikan prioritas terhadap peristiwa ini dibanding kelompok muslim lainnya. Sebab, Imam Husain ra tokoh utama dibalik tragedi ini, bukanlah pelita bagi kaum Syi’ah saja, melainkan lentera hati setiap mukmin, apapun madhzabnya. Karenanya, kami tegaskan lagi, apapun yang berkaitan dengan peristiwa karbala pada hakikatnya adalah fenomena islami. Yang akan saya ketengahkan adalah, tangisan dan perilakunya terhadap manusia. Kami berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis seputar tangisan yang biasa dilakukan orang-orang Syi’ah saat mengenang peristiwa Karbala. Peringatan akan tragedi Karbala dengan tangisan dan ratapan yang mereka lakukan bagi sebagian muslim yang lain adalah bid’ah bahkan cenderung kepada kesyirikan. Manusia manapun pasti mengalami kegetiran hidup yang membuatnya harus menangis. Bahkan lembaran kehidupan manusia diawali dengan tangisan dan diakhiri pula dengan tangisan perpisahan. Tangisan sesuatu yang alamiah, sesuatu yang telah menjadi fitrah kemanusiaan. Menurut Syaikh Taqi Misbah Yazdi, menangis disebabkan empat tingkatan spiritual : keridhaan (ar-rida’), kebenaran (ash-shidiq), petunjuk (al-hidayah) dan pemilihan (al-isthifa’). Dan para nabi telah mencapai empat tingkatan spiritual yang tinggi ini. “Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al-Qur’an al-Karim dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata, “Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi.” Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk.” (Qs. Al-Isra’ : 107-109). Melalui ayat ini, disimpulkan bahwa ilmu dan makrifat adalah penyebab timbulnya tangisan. Setiap orang yang mengetahui hakikat sesuatu, mengetahui hakikat kenabian Rasulullah SAW dan mengetahui hakikat kesyahidan Imam Husain as, maka hatinya sangat peka dan matanya muda mengucurkan air mata. Rasul bersabda, “Seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” Di ayat lain Allah SWT berfirman, “Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul, kamu melihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran yang telah mereka ketahui (Qs. Al-Maidah : 83).
Seseorang yang menjadikan Imam Husain sebagai kekasihnya dan mendengar sang kekasih mengalami musibah dan bencana, apa layak hanya menanggapinya dengan dingin dan tidak menangis ?. Imam Husain adalah adalah kekasih bagi setiap muslim, beliau gugur dalam keadaan kehausan dan tidak cukup dibantai, tapi kepala beliau dipisahkan dari tubuhnya dan ditancapkan di atas tombak serta di bawa untuk dipersembahkan kepada raja Yazid yang bermukim di Syuriah. Oleh karenanya bagi yang ingin menziarahi tubuh Imam Husain, maka hendaknya pergi ke Karbala Irak dan bagi yang ingin menziarahi kepalanya, maka hendaknya pergi ke Suriah. Ini bukan cerita dongeng, sejarahnya sangat masyhur dan ditulis dalam kitab-kitab ahli sejarah. Tidak ada yang memungkiri, Imam Husain adalah cucu kesayangan nabi, dan berkali-kali menyampaikan kepada para sahabat untuk juga menyayanginya. Abu Hurairah bercerita, “Rasulullah SAW datang kepada kami bersama kedua cucu beliau, Hasan dan Husain. Yang pertama di bahu beliau yang satu, yang kedua di bahu beliau yang lain. Kemudian beliau bersabda, ‘Barang siapa mencintai keduanya (Hasan dan Husain) berarti juga mencintai daku; barang siapa membenci keduanya berarti juga membenci daku.” Imam Husain adalah kekasih setiap mukmin dan mukminah dan teman dekat setiap Muslim dan Muslimah, sehingga setiap orang mukmin akan merasa sedih atas kepergiannya. Tidak sedikit rakyat Pakistan yang menangisi kematian Benazir Bhutto yang tragis ataupun mahasiswa Makassar yang tidak bosan-bosannya memperingati tragedi AMARAH tiap tahunnya, maka bagaimana mungkin kita tidak menangis atas kematian Imam Husain yang mengajari dan menjaga nilai-nilai dan prinsip-prinsip kebenaran! Seandainya kalau bukan karena jihad sucinya, niscaya Islam akan lenyap bahkan namanya pun tidak akan terdengar. “Jikalau raga diciptakan untuk menyongsong kematian, maka kematian di ujung pedang di jalan Allah jauh lebih baik dan mulia ketimbang mati di atas ranjang.” (Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib).
Menangis atas Imam Husain, Sunnah atau Bid’ah?
Allah SWT berfirman tentang nabi Yaqub as yang menangisi kepergian anaknya, Nabi Yusuf as, “…Aduhai duka citaku terhadap Yusuf; dan kedua matanya menjadi putih (buta) karena kesedihan dan dialah yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya).” (Qs. Yusuf : 85). Dari ayat ini, kita bisa bertanya, apakah tangisan Nabi Yaqub as karena terpisah dengan anaknya sampai matanya menjadi buta adalah bentuk jaza’ (keluh kesah) yang dilarang ? apakah Nabi Yaqub as melakukan sesuatu yang menjemuruskan dia dalam kebinasaan sampai anak-anaknya bertanya, ” Demi Allah, senantiasa kamu mengingat Yusuf, sehingga kamu mengidap penyakit yang berat atau termasuk orang yang binasa ?” (Qs. Yusuf : 86). Alhasil, Al-Qur’an menceritakan bahwa ketika Yusuf dijauhkan Allah SWT dari pandangan Yaqub serta merta Yaqub menangis sampai air matanya mengering karena sangat sedihnya. Tentu saja tangisan Nabi Yaqub as bukanlah tangisan keluh kesah yang sia-sia, melainkan ungkapan kesedihan atas kebenaran yang telah dikotori, atas anaknya Yusuf yang telah di dzalimi. Hakim an-Naisaburi dalam Mustadrak Shahih Muslim dan Bukhari meriwayatkan, bahwa Rasulullah keluar menemui para sahabatnya setelah malaikat Jibril memberitahunya tentang terbunuhnya Imam Husain dan ia membawa tanah Karbala. Beliau menangis tersedu-sedu di hadapan para sahabatnya sehingga mereka menanyakan hal tersebut. Beliau memberitahu mereka, “Beberapa saat yang lalu Jibril mendatangiku dan membawa tanah Karbala , lalu ia mengatakan kepadaku bahwa di tanah itulah anakku Husain akan terbunuh.” Kemudian beliau menangis lagi, dan para sahabatpun ikut menangis. Oleh karena itu, para ulama mengatakan bahwa inilah acara ma’tam (acara kesedihan dan belasungkawa untuk Imam Husain).
Jika ketika mendengar kisah terbunuhnya Imam Husain lalu tidak mengucurkan air mata, maka kitapun akan dingin terhadap tragedi-tragedi kemanusiaan lainnya. Karenanya wajar, hati masyarakat kita tidak tersentuh ketika mendengar berita seorang suami membakar istrinya, seseorang membunuh dengan dalih yang sepele dan sebagainya. Mayoritas kita kehilangan kepekaan kemanusiaan dan empati sosial ketika menatap korban-korban di Jalur Gaza yang berlumuran darah dan debu bangunan. Masyarakat kita tidak terbiasa menangis tetapi terbiasa untuk tertawa. Hati kita cenderung keras dan menganggap tangisan adalah bentuk kekalahan. Tangisan atas Imam Husain bukanlah tangisan kehinaan dan kekalahan, namun adalah protes keras atas segala bentuk kebatilan dan sponsornya di sepanjang masa. Orang-orang mukmin merasakan gelora dalam jiwanya ketika mengenang terbunuhnya Imam Husain, bahkan Mahatma Ghandi berkali-kali mengatakan semangat perjuangannya terinspirasi dari revolusi Imam Husain ra.
Kullu Yaumin As-Syura , Kullu ardin Karbala, semua hari adalah As-Syura, semua tempat adalah Karbala. Hari asy-Syura sesungguhnya termasuk hari-hari Allah, tentangnya Allah berfirman: “Keluarkanlah kaummu dari kegelapan kepada cahaya terang benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah.” (Qs. 14:5). Meskipun ada usaha-usaha untuk memadamkan gelora perlawanan akan ketertindasan dan kedzaliman. Tetapi Allah Maha Perkasa, Dia tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun musuh-musuh-Nya tidak suka. Allah tetap menjaga gelora spiritual itu tetap menyala di hati-hati orang mukmin dan tidak akan pernah padam sampai hari kiamat. Semua mukminin wajib mengenang tragedi ini dan menangis atasnya, “Apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu menertawakan dan tidak menangis?” (QS. An-Najm: 59-60).
Wallahu’alam bishshawwab
Dari sekian tragedi kemanusiaan yang terjadi, tragedi di Karbalalah yang terbesar. Bukan dilihat dari jumlah korban, melainkan siapa yang telahmenjadi korban dan bergelimang darah. Jumlah mereka tidak seberapa, ‘hanya’ kurang lebih 72 orang. Yang menjadikan peristiwa ini sulit untuk terlupakan adalah Karbala menjadi samudera pasir yang menyuguhkan genangan darah dan air mata suci putera-puteri Rasul. 10 Muharram 61 Hijriah, Imam Husain bersama 72 pengikutnya — termasuk di dalamnya anak-anak — syahid dibantai oleh sekitar 30.000 tentara Yazid bin Muawiyyah di padang Karbala , Irak. Kepala Imam dan para syuhada dipenggal dan diarak keliling kota .
Tragedi Karbala merupakan tragedi terbesar sepanjang sejarah Islam. Meski telah berlalu berabad-abad lamanya, namun masih sangat membekas dan berpengaruh dalam benak umat manusia, seakan-akan peristiwa ini terjadi kemarin sore. Kita tidak menemukan peristiwa apapun di dunia ini yang dikenang sedemikian rupa melebihi kenangan atas tragedi Karbala. Tragedi Karbala benar-benar menggelitik nalar dan nurani kita untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan; mengapa tragedi ini harus selalu dikenang ? Mengapa kematian sekelompok orang yang sudah berlalu sekian abad masih terus ditangisi? Mengapa perasaan benci terhadap para pembantai keluarga Nabi masih terus dipelihara? Bukankah sebagai seorang muslim sudah seharusnya melupakan masa lalu dan memaafkan segala kesalahan mereka? Bukankah membahas peristiwa ini hanya akan menyulut benih-benih perpecahan antara kaum muslimin, antara kelompok yang pro dengan kebangkitan dan kesyahidan Imam Husain as, dengan kelompok yang kontra dan menganggap Imam Husain as adalah agitor dan pemberontak terhadap penguasa yang sah ?. Masihkah relevan kita memperbincangkan tentang kesyahidan Imam Husain di padang Karbala di abad yang justru orang-orang membincangkan perdebatan antar budaya dan peradaban melalui dunia maya? Apa faedah kita mengungkit-ngungkit tragedi yang telah menjadi masa lalu ini, dan buat apa kita menangisinya ?. Bukankah semestinya kita berpikir tentang upaya mendirikan peradaban yang lebih manusiawi dan membangun masyarakat yang inklusif-prularis di tengah perseteruan yang tajam antar penganut agama?
Saya pribadi, menganggap hal ini sangat penting untuk kita perbincangkan. Terlepas dari tragedi Karbala, di Indonesia, atas nama suku, agama, ras dan golongan, nyawa manusia tidak lebih mahal dari sebungkus rokok. Aceh, Ambon , Sambas, Sampit, Poso, Papua adalah sebagian diatara kota-kota yang telah menjadi saksi prahara itu. Kitapun menyaksikan sampai detik ini, Jet-jet tempur Rezim Zionis Israel tak henti-hentinya menggempur sejumlah kawasan di Jalur Gaza yang menjadikan ratusan orang hancur menjadi debu dan darah dalam waktu singkat. Genangan darah, tumpukan mayat diantara bangunan yang roboh, jerit tangis dan air mata telah menjadi saksi atas kebiadaban segelintir manusia atas manusia lainnya. Lalu, di manakah kemanusiaan kita? Tersentuhkah kita dengan derita-derita mereka? Sayyid Muhammad Husain Fadhlullah pernah berkata, “Mereka yang tidak pernah tersentuh dengan tragedi Karbala, tidak akan pernah tersentuh dengan tragedi kemanusiaan yang lain.” Tragedi Karbala menjadi ukuran. Kepedulian kita atas tragedi kemanusiaan, khususnya di bumi Nusantara maupun yang terjadi di Gaza saat ini akan terukur dari kepedulian kita pada Karbala . Imam Ja;far Ash-Shadiq as pernah berkata, “Sungguh kesyahidan Husain senantiasa membakar hati-hati orang-orang yang beriman.” Dari sini, saya melihat tragedi Karbala sangat relevan untuk kita kenang.
Hakikat Tangisan.
Pertama-tama, kami tegaskan bahwa masalah memperingati tragedi Karbala (10 Muharram) bukanlah masalah khas Syi’ah saja, tetapi masalah islami. Meskipun muslim yang bermadhzab Syi’ah lebih memberikan prioritas terhadap peristiwa ini dibanding kelompok muslim lainnya. Sebab, Imam Husain ra tokoh utama dibalik tragedi ini, bukanlah pelita bagi kaum Syi’ah saja, melainkan lentera hati setiap mukmin, apapun madhzabnya. Karenanya, kami tegaskan lagi, apapun yang berkaitan dengan peristiwa karbala pada hakikatnya adalah fenomena islami. Yang akan saya ketengahkan adalah, tangisan dan perilakunya terhadap manusia. Kami berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis seputar tangisan yang biasa dilakukan orang-orang Syi’ah saat mengenang peristiwa Karbala. Peringatan akan tragedi Karbala dengan tangisan dan ratapan yang mereka lakukan bagi sebagian muslim yang lain adalah bid’ah bahkan cenderung kepada kesyirikan. Manusia manapun pasti mengalami kegetiran hidup yang membuatnya harus menangis. Bahkan lembaran kehidupan manusia diawali dengan tangisan dan diakhiri pula dengan tangisan perpisahan. Tangisan sesuatu yang alamiah, sesuatu yang telah menjadi fitrah kemanusiaan. Menurut Syaikh Taqi Misbah Yazdi, menangis disebabkan empat tingkatan spiritual : keridhaan (ar-rida’), kebenaran (ash-shidiq), petunjuk (al-hidayah) dan pemilihan (al-isthifa’). Dan para nabi telah mencapai empat tingkatan spiritual yang tinggi ini. “Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al-Qur’an al-Karim dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata, “Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi.” Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk.” (Qs. Al-Isra’ : 107-109). Melalui ayat ini, disimpulkan bahwa ilmu dan makrifat adalah penyebab timbulnya tangisan. Setiap orang yang mengetahui hakikat sesuatu, mengetahui hakikat kenabian Rasulullah SAW dan mengetahui hakikat kesyahidan Imam Husain as, maka hatinya sangat peka dan matanya muda mengucurkan air mata. Rasul bersabda, “Seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” Di ayat lain Allah SWT berfirman, “Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul, kamu melihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran yang telah mereka ketahui (Qs. Al-Maidah : 83).
Seseorang yang menjadikan Imam Husain sebagai kekasihnya dan mendengar sang kekasih mengalami musibah dan bencana, apa layak hanya menanggapinya dengan dingin dan tidak menangis ?. Imam Husain adalah adalah kekasih bagi setiap muslim, beliau gugur dalam keadaan kehausan dan tidak cukup dibantai, tapi kepala beliau dipisahkan dari tubuhnya dan ditancapkan di atas tombak serta di bawa untuk dipersembahkan kepada raja Yazid yang bermukim di Syuriah. Oleh karenanya bagi yang ingin menziarahi tubuh Imam Husain, maka hendaknya pergi ke Karbala Irak dan bagi yang ingin menziarahi kepalanya, maka hendaknya pergi ke Suriah. Ini bukan cerita dongeng, sejarahnya sangat masyhur dan ditulis dalam kitab-kitab ahli sejarah. Tidak ada yang memungkiri, Imam Husain adalah cucu kesayangan nabi, dan berkali-kali menyampaikan kepada para sahabat untuk juga menyayanginya. Abu Hurairah bercerita, “Rasulullah SAW datang kepada kami bersama kedua cucu beliau, Hasan dan Husain. Yang pertama di bahu beliau yang satu, yang kedua di bahu beliau yang lain. Kemudian beliau bersabda, ‘Barang siapa mencintai keduanya (Hasan dan Husain) berarti juga mencintai daku; barang siapa membenci keduanya berarti juga membenci daku.” Imam Husain adalah kekasih setiap mukmin dan mukminah dan teman dekat setiap Muslim dan Muslimah, sehingga setiap orang mukmin akan merasa sedih atas kepergiannya. Tidak sedikit rakyat Pakistan yang menangisi kematian Benazir Bhutto yang tragis ataupun mahasiswa Makassar yang tidak bosan-bosannya memperingati tragedi AMARAH tiap tahunnya, maka bagaimana mungkin kita tidak menangis atas kematian Imam Husain yang mengajari dan menjaga nilai-nilai dan prinsip-prinsip kebenaran! Seandainya kalau bukan karena jihad sucinya, niscaya Islam akan lenyap bahkan namanya pun tidak akan terdengar. “Jikalau raga diciptakan untuk menyongsong kematian, maka kematian di ujung pedang di jalan Allah jauh lebih baik dan mulia ketimbang mati di atas ranjang.” (Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib).
Menangis atas Imam Husain, Sunnah atau Bid’ah?
Allah SWT berfirman tentang nabi Yaqub as yang menangisi kepergian anaknya, Nabi Yusuf as, “…Aduhai duka citaku terhadap Yusuf; dan kedua matanya menjadi putih (buta) karena kesedihan dan dialah yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya).” (Qs. Yusuf : 85). Dari ayat ini, kita bisa bertanya, apakah tangisan Nabi Yaqub as karena terpisah dengan anaknya sampai matanya menjadi buta adalah bentuk jaza’ (keluh kesah) yang dilarang ? apakah Nabi Yaqub as melakukan sesuatu yang menjemuruskan dia dalam kebinasaan sampai anak-anaknya bertanya, ” Demi Allah, senantiasa kamu mengingat Yusuf, sehingga kamu mengidap penyakit yang berat atau termasuk orang yang binasa ?” (Qs. Yusuf : 86). Alhasil, Al-Qur’an menceritakan bahwa ketika Yusuf dijauhkan Allah SWT dari pandangan Yaqub serta merta Yaqub menangis sampai air matanya mengering karena sangat sedihnya. Tentu saja tangisan Nabi Yaqub as bukanlah tangisan keluh kesah yang sia-sia, melainkan ungkapan kesedihan atas kebenaran yang telah dikotori, atas anaknya Yusuf yang telah di dzalimi. Hakim an-Naisaburi dalam Mustadrak Shahih Muslim dan Bukhari meriwayatkan, bahwa Rasulullah keluar menemui para sahabatnya setelah malaikat Jibril memberitahunya tentang terbunuhnya Imam Husain dan ia membawa tanah Karbala. Beliau menangis tersedu-sedu di hadapan para sahabatnya sehingga mereka menanyakan hal tersebut. Beliau memberitahu mereka, “Beberapa saat yang lalu Jibril mendatangiku dan membawa tanah Karbala , lalu ia mengatakan kepadaku bahwa di tanah itulah anakku Husain akan terbunuh.” Kemudian beliau menangis lagi, dan para sahabatpun ikut menangis. Oleh karena itu, para ulama mengatakan bahwa inilah acara ma’tam (acara kesedihan dan belasungkawa untuk Imam Husain).
Jika ketika mendengar kisah terbunuhnya Imam Husain lalu tidak mengucurkan air mata, maka kitapun akan dingin terhadap tragedi-tragedi kemanusiaan lainnya. Karenanya wajar, hati masyarakat kita tidak tersentuh ketika mendengar berita seorang suami membakar istrinya, seseorang membunuh dengan dalih yang sepele dan sebagainya. Mayoritas kita kehilangan kepekaan kemanusiaan dan empati sosial ketika menatap korban-korban di Jalur Gaza yang berlumuran darah dan debu bangunan. Masyarakat kita tidak terbiasa menangis tetapi terbiasa untuk tertawa. Hati kita cenderung keras dan menganggap tangisan adalah bentuk kekalahan. Tangisan atas Imam Husain bukanlah tangisan kehinaan dan kekalahan, namun adalah protes keras atas segala bentuk kebatilan dan sponsornya di sepanjang masa. Orang-orang mukmin merasakan gelora dalam jiwanya ketika mengenang terbunuhnya Imam Husain, bahkan Mahatma Ghandi berkali-kali mengatakan semangat perjuangannya terinspirasi dari revolusi Imam Husain ra.
Kullu Yaumin As-Syura , Kullu ardin Karbala, semua hari adalah As-Syura, semua tempat adalah Karbala. Hari asy-Syura sesungguhnya termasuk hari-hari Allah, tentangnya Allah berfirman: “Keluarkanlah kaummu dari kegelapan kepada cahaya terang benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah.” (Qs. 14:5). Meskipun ada usaha-usaha untuk memadamkan gelora perlawanan akan ketertindasan dan kedzaliman. Tetapi Allah Maha Perkasa, Dia tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun musuh-musuh-Nya tidak suka. Allah tetap menjaga gelora spiritual itu tetap menyala di hati-hati orang mukmin dan tidak akan pernah padam sampai hari kiamat. Semua mukminin wajib mengenang tragedi ini dan menangis atasnya, “Apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu menertawakan dan tidak menangis?” (QS. An-Najm: 59-60).
Wallahu’alam bishshawwab
Post a Comment
mohon gunakan email