Allah yang Maha Besar Lagi Maha Agung berfirman dalam Surah Annisa ayat 24:
“….Dan dihalalkan bagi kamu (selain perempuan yang
diharamkan untukmu) untukmencari istri-istri dengan hartamu untuk
dikawini demi melindungi dirimu (daridosa), bukan untuk berzina. Maka
istri-istri yang yang telah kamu nikmati(istamta’tum) setelah suatu
perjanjian, maka berikanlah kepada mereka maharnyasebagai suatu
kewajiban. Dan bukanlah dosa bagi kamu terhadap apa yang telahkalian
saling merelakannya (untuk memperpanjang perjanjian itu) setelah
memenuhikewajibanmu (yang pertama). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi mahaBijaksana.”.
Pada ayat tersebut, istilah bahasa Arab yang sama dengan
kata “nikah”ataupun istilah turunannya, belum pernah digunakan
sebelumnya. Tetapi, kata”mut’ah” yang berarti kenikmatan, kesenangan
atau nikah sementara telah digunakan di ayat ini yaitu pada kata
“Istamta’tum.” Kata “istamta’tum” adalah kata kerja ke sepuluh dari
akar kata m-t-a. Seperti yang akan kita lihat, katai stamta’ juga
telah banyak digunakan di dalam kumpulan tafsir Sunni tentang nikah
mut’ah. Tentunya, mut’ah juga merupakan salah satu bentuk pernikahan,tetapi peraturan-peraturannya berbeda dengan nikah da’im,
termasuk kebolehan pasangan dalam nikah mut’ah itu untuk
memperpanjang pernikahan mereka dengan perjanjian yang menguntungkan
keduanya seperti yang dinyatakan pada akhir ayat tersebut di atas.
Lebih jauh lagi, jika kita melihat beberapa komentar Sunni terhadap
masalah mut’ah, banyak mufassir seperti halnya Fakhr Ar Razi menyatakan bahwa ayat 4:24 itu diturunkan sehubungan dengan nikah mut’ah.Mereka
mengatakan dengan terang-terangan bahwa nikah mut’ah menjadi halal
berdasarkan ayat tersebut, tetapi kemudian menegaskan bahwa nikah
mut’ah dilarang setelah itu.
Suatu hal yang mengherankan adalah banyaknya mufassir Sunni
yang mengomentari ayat tersebut dengan menyebutkan sebuah hadits bahwa
Imam ‘Ali binAbi Thalib ra mengatakan: “Mut’ah adalah suatu karunia
dari Allah. Sekiranya tidak ada Umar yang melarangnya, maka tidak akan
orang yang berzina kecuali yang benar-benar bejat (shaqi).”
Silahkan merujuk pada beberapa kitab tafsirSunni berikut: 1. Tafsir
Al-Kabir, oleh al-Tsa’labi, komentar tentang ayat 2:242. Tafsir
Al-Kabir, oleh Fakhr al-Razi, V3, hal. 200, komentar tentang ayat2:24
3. Tafsir Al-Kabir, oleh Ibn Jarir al-Tabari, komentar tentang ayat
2:24 dengan silsilah perawi yang otentik, V8, hal. 178, hadits no. 9042
4. Tafsiral-Durr al-Mantsur, oleh al-Suyuti, V2, hal. 140, dari
beberapa perawi 5.Tafsir al-Qurtubi, V5, hal. 130, komentar tentang
ayat 2:24 6. Tafsir IbnHayyan, V3, hal. 218, komentar tentang ayat 2:24
7. Tafsir Nisaburi, olehAl-Nisaburi (abad kedelapan) 8. Ahkam
al-Quran, oleh Jassas, V2, hal. 179, komentar tentang ayat 2:24 9.
Beberapa sumber yang diceritakan oleh Ibn Abbas yang telah
disebutkan oleh Tabari dan Tha’labi dalam tafsir mereka. Hal yang
menarik untuk diperhatikan adalah bahwa Umar tidak menisbatkan
pelarangan Mut’ah kepada Rasulullah Saww,tetapi justru menisbatkan
pelarangan itu kepada dirinya sendiri. Banyak sahabat yang menyaksikan
bahwa Umar yang telah melakukan pelarangan tersebut. Umar dengan
jelas mengatakan: “Mut’ah telah diperbolehkan oleh Rasulullah (Saww)
dan kemudian saya melarangnya.”.
Seorang tokoh Sunni yang besar, Fakhr al-Razi yang digelari
Imam alMusyaqqiqin (pemimpin orang-orang ragu) di dalam sebuah
tafsirnya yang tebal ketika mengomentari ayat tentang nikah mut’ah
menjelaskan: Umar berkata: “Ada dua mut’ah yang diperbolehkan
pada zaman Rasulullah Saww dan saya melarang keduanya. Kedua mut’ah
itu adalah haji tamattu’ dan nikah mut’ah dengan perempuan.”
Silahkan merujuk pada referensi Sunni di dalam: 1. Tafsir al-Kabir
oleh Fakhr –al-razi,V3, hal. 201, pada ayat 4:24 2. Musnad Ahmad bin
hambal, V1, hal. 52.
Perhatikan bahwa mut’ah terdiri dari dua jenis yaitu nikah
mut’ah dan haji tamattu’. Jenis yang kedua ini adalah salah satu cara
pelaksanaan ibadah haji yang tidak ada hubungannya dengan tata cara
suatu pernikahan. Kedua jenis mut’ah ini dilakukan pada zaman
Rasulullah Saww, zaman pemerintahan Abu Bakar,dan kemudian keduanya
dilarang oleh Umar. Di dalam Alquran, ada ayat yang menjelaskan bahwa
haji tamattu’ dapat dilakukan. Namun, penjelasan haji tamattu’ atau
haji mut’ah ini bukanlah bidang kajian kita dalam tulisan ini.
Umar sendiri tidak mengatakan bahwa nikah mut’ah dilarang sendiri oleh Rasulullah Saww.
Jika sekiranya Rasulullah sendiri yang melarang nikah mut’ah
tersebut, maka semestinya Umar mengatakan:”Kedua mut’ah itu
diperbolehkan dan kemudian dilarang pada zaman Rasulullah,karnanya
saya memberitahukan kalian bahwa Rasulullah telah menetapkan hukum
kedua (tentang pelarangannya) yang menghapus hukum yang pertama
(tentang pembolehannya)”. Tetapi kita dapat melihat dengan jelas bahwa
Umar dengan terang-terangan menisbatkan pelarangan itu pada dirinya
sendiri dan menetapkan bahwa mut’ah itu haram.
Al-Zamakhsyari, seorang mufassir Sunni yang lain pada komentarnya tentang ayat 4:24 mengatakan bahwa ayat ini adalah ayat muhkamat dari Alquran. Beliau merujukkan pendapatnya pada pendapat Ibn Abbas. (Tafsir al-Kasysyaf oleh Zamakhsyari, V1,hal. 519).
Baik Ibn Jarir al-Tabari maupun Zamakhsyari menyebutkan bahwa: “al-Hakam Ibn Ayniyah pernah ditanyai apakah ayat tentang nikah mut’ah telah dimansukh. Saat itu beliau menjawab ‘Tidak’”.
Silahkan lihat di dalam sumber Sunni : 1. TafsirTabari, komentar
tentang ayat 2:24, V8, hal. 178 2. Tafsir al-Kasysyaf, komentar tentang
ayat 2:24, V1, hal. 519.
Ibn Katsir juga menjelaskan dalam tafsirnya: “Bukhari mengatakan bahwa Umar telah melarang setiap orang untuk melakukan nikah mut’ah”. Lihat referensi Sunni dalam Tafsir Ibn Katsir, V1, hal. 233. Di dalam tafsir Sunni yang lain disebutkan bahwa: Umar
suatu waktu berpidato di atas mimbar sambil mengatakan:”Wahai
sekalian manusia, ada tiga hal yang diperbolehkan di zaman Rasulullah
dan saya melarang dan mengharamkan semuanya. Ketiga hal itu adalah
nikah mut’ah, haji tamattu’ dan mengucapkan ‘Hayya ‘Al-khair
al-amal’.” ReferensiSunni: 1. Syarh al-Tajrid oleh al-Fadhil
al-Qosyaji (bagian Imamah) 2.Al-Mustaniran oleh Tabari 3. Al-Mustabin
oleh Tabari 4. Sekedar catatan, hal ketiga yang dilarang oleh Umar
seperti yang disebut dalam kutipan di atas adalah ucapan di dalam
adzan dan qamat setelah kalimat Hayya ala al-falah.
Meskipun ucapan ini telah dilarang oleh Umar di masa
pemerintahannya, tetapi mazhab Syi’ah masih mempraktekkannya sampai
saat ini. Kalimat itu berarti “mari berlomba-lomba
menuju amal yang baik.” Kalimat ini telah dihilangkan oleh Umar dan
kemudian digantikannya dengan kalimat: Ash-Shalatu Khairun min an-naum
yang berarti “shalat lebih baik daripada tidur” (khusus pada azan
shalat subuh,pent).
Menarik untuk diketahui, ada beberapa tokoh Sunni yang
menerima bahwa nikah mut’ah diperbolehkan dan dihalalkan
selama-lamanya berdasarkan ayat Alquran. Salah satu diantaranya adalah
seorang tokoh Tunisia, Syaikh al-Tahir Ibn Asyar pada tafsirnya
tentang ayat 4:24. (Lihat al-Tahrir wa al-Tanwir oleh Syaikhal-Tahir
Ibn Asyar, V3, hal. 5).
Di samping itu, banyak tokoh-tokoh lain yang berpikiran
terbuka dimana mereka tidak memperbolehkan otoritas
pemimpin-pemimpinnya mempengaruhi keputusan mereka. Beberapa orang ada
yang mencoba membuat keraguan arti kata”mut’ah” dengan mengatakan
bahwa secara literal, mut’ah berarti kesenangan dan tidak secara
spesifik menunjukkan suatu jenis pernikahan. Orang-orang ini,bukannya
mencari defenisi praktis tentang mut’ah di dalam sejarah, hadits,
ataupun hukum; justru mereka mencari kamus bahasa Arab.
Padahal, di dalam kamus bahasa Arab itu sendiri dituliskan
bahwa pengertian praktis mut’ah adalah pernikahan sementara atau nikah
mut’ah. Semua mazhab Syi’ah dan Sunni setuju dengan pengertian ini. Al-Qurtubi,
salah seorang mufassir terkenal dari mazhab Sunni menulis: “Tidak ada
perselisihan seluruh mazhab, apakah dari golongan Salaf ataupun
Khalaf, bahwa mut’ah adalah suatu pernikahan dalam interval waktu
tertentu yang tidak mencakup pemberian warisan.”.
Mengganti defenisi praktis dengan pengertian linguistik
adalah suatu hal yang sangat berbahaya dan dilarang oleh hukum agama
karena mempunyai implikasi yang luas. Misalnya, ketika seseorang
mengatakan bahwa shalat berarti pujian atau permohonan, maka hal itu
dapat diartikan bahwa seseorang tidak perlu melakukan pujian itu
setiap hari (padahal shalat itu wajib dilakukan lima kali sehari
semalam); atau ketika zakat berarti ‘mensucikan’, maka seseorang tidak
perlu mengeluarkan zakat dengan uang atau lainnya (karna penyucian
tidak berarti memberikan sesuatu dengan uang atau sejenisnya). Ini
benar-benar pengertian yang sangat rancu.
Kemungkinan, orang-orang tersebut tidak pernah membaca
riwayat yang berhubungan dengan “mut’ah” dalam pengertian yang sangat
praktis pada zaman Rasulullah dan zaman kekhalifahan awal, juga mereka
mungkin tidak mengetahui bagaimana sebagian sahabat Rasulullah
melakukan nikah mut’ah hanya dengan segenggam kurma sebagai maharnya.
Bahkan di dalam Shahih Bukhari yang berbahasa Inggris,”mut’ah
al-nisa’” diterjemahkan dengan arti ‘temporary marriage’ (pernikahan
sementara) dan “istimta’a” diartikan dengan ‘marrying temporarily’
(menikah sementara).
Di dalam dua kitab Shahih inilah dimuat riwayat-riwayat yang
menjelaskan pengertian ini secara terperinci. (Silahkan merujuk pada
Bagian Kedua untuk melihat secara lengkap riwayat masalah ini dalam
Shahih Bukhari dan Shahih Muslim). Apakah orang-orang tersebut memang
belum pernah mendengar tentang nikah mut’ah di dalam sejarah Islam?
Beberapa orang yang lain juga memberikan kerancuan tentang arti ayat
nikah mut’ah (4:24) dengan mengatakan bahwa, kata”istamta’a” dalam ayat
itu merujuk pada penyempurnaan pernikahan da’im setelah pemberian
mahar.
Pernyataan tersebut tidak benar. Cara yang terbaik untuk
mengerti tentang ayat tersebut adalah; pertama, mengerti bahasa Arab
dengan benar (karena kadang padanan yang benar-benar tepat dalam
bahasa yang lain tidak ditemukan); kedua, membandingkan
komentar-komentar yang ada sehubungan dengan masalah tersebut(tanpa
terlebih dahulu membuat pemihakan); dan yang ketiga, melihat kembali
semua riwayat yang berhubungan dengan nikah mut’ah untuk mengetahui
apakah istilah “istamta’a” itu sudah pernah digunakan. Jika kita telah
melalui ketiga tahapan ini dan telah memperhatikan semua pendapat
yang berbeda-beda, maka kita semakin dekat dengan sasaran klarifikasi
pengertian kita dalam masalah ini.
Kita telah melihat beberapa rujukan dari tafsir-tafsir Sunni
di mana para mufassir sepakat bahwa ayat 4:24 diturunkan untuk
menjelaskan tentang nikah mut’ah bahkan mereka juga telah menyebutkan
beberapa riwayat ketika mengomentari ayat tersebut. Lantas, bagaimana
mungkin ayat ini dimaksudkan untuk menjelaskan nikah da’im? Apakah
mungkin beberapa tokoh-tokoh Sunni itu sudah tidak bisa berfikir
secara logis lagi dalam melihat permasalahan ini ? Pada pembahasan
selanjutnya akan ditunjukkan riwayat-riwayat yang lebih banyak lagi
dari mazhab Sunni dalam komentar mereka tentang ayat 4:24 ini.
Di dalam Shahih Muslim disebutkan, seorang sahabat
Rasulullah Saww, Jabir Ibn Abdillah al-Ansari mengatakan : “Istamta’a
berarti menikah sementara”(Lihat Shahih Muslim, versi Bahasa Inggris,
V2, Bab DXLI dengan judul:Temporary Marriage (Nikah Mut’ah), hadits
3246. Juga silahkan merujuk pada bagian kedua untuk teks bahasa
Arabnya secara lengkap). Jabir ternyata tidak menghubungkan kata
“istamta’a” dengan penyempurnaan pernikahan secara umum.
Di dalam ayat 4:24 Allah berfirman : “……Dan bukanlah dosa
bagi kamu terhadap apa yang telah kalian saling merelakannya (untuk
memperpanjang perjanjian itu) setelah memenuhi kewajibanmu (yaitu
mahar pada perjanjian yang pertama)”. Kesepakatan kedua belah pihak
setelah kewajiban dipenuhi yang dimaksud dalam ayat di atas merujuk
pada perpanjangan masa pernikahan sementara setelah mahar yang pertama
telah diberikan kepada perempuan. Dengan demikian, perempuantersebut
dapat memilih dengan bebas apakah dia akan memperpanjang masa
pernikahan mereka atau tidak tanpa ada paksaan.
Dengan cara ini, Allah ingin mempertegas bahwa nikah
mut’ah akan memberikan manfaat yang lebih baik lagi jika pasangan
nikah mut’ah memperpanjang masanya (atau bahkan melanjutkannya ke
pernikahan da’im) dengan memberikan mahar yang baru setelah mahar yang
pertama telah ditunaikan.
Ibn Jarir al-Tabari dalam tafsirnya
menuliskan: “Beberapa riwayat menyebutkan bahwa arti dari ‘….Dan
bukanlah dosa bagi kamu terhadap apa yang telah kalian saling
merelakannya setelah memenuhi kewajibanmu…’ adalah: ‘Wahai sekalian
manusia, bukanlah dosa bagi kalian untuk saling menyetujui antara kamu
dan perempuan yang telah kalian merasakan kesenangan bersama-sama
dalam suatu pernikahan sementara, untuk memperpanjang masa pernikahan
kalian jika perjanjian yang pertama telah berakhir, dengan memberikan
mahar yang lebih banyak lagi sebagai kewajiban sebelum kalian
meninggalkan mereka.’
Al-Suddi RA menceritakan: “Dan bukanlah dosa bagi kalian
terhadap apa yang kalian sepakati setelah memenuhi persyaratan
perjanjian di antara kalian. Jika suami menginginkan untuk
memperpanjang perjanjiannya, maka dia dapat meminta istrinya untuk
membuat perjanjian yang baru setelah memberikan mahar yang pertama
sebelum masa nikah mut’ah itu berakhir. Dia dapat mengatakan kepada
istrinya: ‘Saya akan menikah mut’ah dengan kamu dengan syarat ini dan
syarat yang itu.’ Lalu dia memperpanjang masa nikah mut’ah mereka
sebelum dia meninggalkan istrinya karena perjanjian yang pertama telah
berakhir. Inilah yang dimaksud dalam ayat ini.”(Riwayat 9046).
Rujukan dari mazhab Sunni: Tafsir al-Tabari oleh Ibn Jariral-Tabari,
komentar tentang ayat 4:24, V8, hal. 180.
Alasan yang lain untuk menunjukkan bahwa mahar yang
disebutkan dalam ayat ini bukanlah untuk pernikahan da’im adalah karna
Alqur’an telah membicarakan tentang mahar untuk pernikahan da’im pada
bagian awal di surat yang sama dengan menyebutkan firman Allah:
“Nikahilah olehmu perempuan yang kamu senangi dua,tiga atau empat,
tetapi jika kamu merasa bahwa kamu tidak mampu berbuat adil (terhadap
mereka), maka pilihlah satu saja…..” (4:3) Demikian juga, Allah telah
menjelaskan ketika berfirman: “Dan berikanlah perempuan itu maharnya
(pada pernikahan da’im) sebagai hadiah buat mereka” (4:4) Ayat-ayat
ini menjelaskan tentang pernikahan da’im dan mahar yang berhubungan
dengannya. Sehingga, adalah suatu hal yang tidak perlu jika Allah harus
mengulangi masalah mahar ini di surat yang sama.
Tetapi, jika memang Allah ingin menjelaskan tentang nikah
mut’ah pada ayat 4:24, maka tentunya penjelasan mahar ini adalah untuk
masalah yang baru. Hal ini dapat dilihat dari kata yang digunakan
oleh Allah Swt pada ayat tentang nikah mut’ah (4:24) yang diambil dari
turunan akar kata “mut’ah” yang jelas berbeda dengan kata-kata yang
digunakan pada ayat yang lain di dalam surat An-Nisa. Allah berfirman:
” …(Kecuali perempuan-perempuan yang diharamkan bagimu untuk
menikahinya) Dan dihalalkan bagi kamu untuk mencari istri-istri dengan
hartamu untuk dikawini demi melindungi dirimu (dari dosa), bukan
untuk berzina. Maka istri-istri yang yang telah kamu nikmati
(istamta’tum) setelah suatu perjanjian, maka berikanlah kepada mereka
maharnya sebagai suatu kewajiban. Dan bukanlah dosa bagi kamu terhadap
apa yang telah kalian saling merelakannya (untuk memperpanjang
perjanjian itu) setelah memenuhi kewajibanmu (yang pertama).
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi maha Bijaksana.” (4:24).
Dengan demikian, Allah menjelaskan jenis-jenis pernikahan
yang berbeda-beda itu dengan membagi penjelasan dalam tiga bagian di
dalam surat An-Nisa’. Bagian pertama menjelaskan tentang nikah da’im
pada ayat sebelum 4:24, bagian kedua tentang pernikahan mut’ah pada
ayat 4:24, serta bagian ketiga tentang pernikahan dengan budak
perempuan pada ayat 4:25. Allah Swt berfirman: “Dan barangsiapa
diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk
mengawini perempuan merdeka dan beriman, maka ia boleh mengawini
perempuan beriman dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui
keimananmu, sebagian kamu dari sebagian yang lainnya; karena itu
kawinilah mereka (budak-budak itu) dengan seizin tuan mereka dan
berilah mahar kepada mereka dengan cara yang pantas sedang merekapun
adalah perempuan-perempuan yang memelihara dirinya, bukan pezina dan
bukan pula perempuan yang mengambil laki-laki sebagai peliharaannya.
Dan apabila mereka telah menjaga dirinya melalui pernikahan, tetapi
kemudian megerjakan perbuatan keji (zina), maka hukumannya adalah
setengan dari hukuman perempuan merdeka yang bersuami. (Kebolehan
menikahi budak-budak perempuan) itu adalah bagi orang-orang yang takut
kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) diantaramu, dan
kesabaran itu lebih baik bagimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (4:25) Pada ayat ini Allah menyebutkan mahar yang
berhubungan dengan budak perempuan.
Dengan demikian, Allah menyebutkan masalah mahar ini
sebanyak tiga kali dalam tiga bagian ayat-ayat di atas; pertama untuk
pernikahan da’im, kedua untuk pernikahan mut’ah dan terakhir untuk
pernikahan dengan budak perempuan.
Sekali lagi, untuk mempertegas bahwa ayat 4:24 diturunkan
sehubungan dengan nikah mut’ah, maka kami menunjukkan beberapa hadits
lagi dari mufassir Sunni.
Tabari meyebutkan bahwa Mujahid RA mengatakan: “Yang
dimaksud dengan ‘maka istri-istri yang yang telah kamu nikmati
(istamta’tum) setelah suatu perjanjian’dalam ayat (4:24) adalah nikah
mut’ah.” Referensi Sunni: Tafsir At-Tabari oleh Ibn Jarir al-Tabari,
komentar tentang ayat 4:24, V8, hal. 176, Hadits 9034.
Bahkan, di dalam banyak tafsir Sunni yang lain, disebutkan
hadits yang sama dengan yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari (lihat
Bagian Kedua) dengan penjelasan yang lebih terinci ketika menjelaskan
tentang ayat 4:24. Imran Ibn Husain menceritakan: “Ayat 4:24 tentang
nikah mut’ah telah diturunkan oleh Allah di dalam Alqur’an, dan tidak
ada satupun ayat yang diturunkan untuk me-mansukh-kannya; bahkan,
Rasulullah Saww menyuruh kami melakukan nikah mut’ah sehingga kamipun
melakukannya pada zaman Rasulullah masih hidup dan tidak pernah
sekalipun Rasulullah melarangnya sampai Beliau meninggal. Tetapi,
seseorang(yang telah melarang nikah mut’ah) menunjukkan keinginannya
sendiri.” Silahkan lihat dalam beberapa referensi Sunni: 1. Tafsir
al-Kabir, oleh al-Tsa’labi, komentar tentang ayat 4:24. 2. Tafsir
al-Kabir, oleh Fakhr al-Razi, komentar tentang ayat 4:24, V3, hal. 200
dan 202 3. Tafsir Ibn Hayyan, V3, hal. 218, komentar tentang ayat
4:24 4. Tafsir al-Nisaburi, oleh al-Nisaburi (abad kedelapan).
Karena itu sangat jelas bahwa, Imran Ibn Husain membicarakan
masalah nikah mut’ah dalam kutipan ini. Jika tidak, tidak mungkin
para mufassir Sunni tersebut menempatkan riwayat ini pada penjelasan
mereka tentang ayat 4:24. Beberapa hadits yang lainpun, dapat pula
dijadikan bukti-bukti bahwa ayat 4:24 menjelaskan tentang nikah mut’ah.
Di dalam banyak tafsir Sunni, kalimat “untuk waktu yang
tertentu” telah ditambahkan pada ayat 4:24 setelah kata “istamta’tum”
sehingga ayat itu terbaca’maka istri-istri yang yang telah kamu
nikmati (istamta’tum) setelah suatu perjanjian untuk waktu yang
tertentu.” Kalimat ini haruslah diartikan sebagai tafsiran terhadap
ayat Alqur’an, bukan bagian dari ayat tersebut. Seperti yang kita
ketahui, banyak ayat-ayat Allah yang diturunkan tetapi tidak
dimasukkan kedalam Alqur’an karena ayat-ayat tersebut hanyalah
penjelasan dan bukan merupakan bagian dari Alquran itu sendiri.
Seperti yang kita ketahui bahwa hadits Qudsi juga merupakan
firman Allahtetapi bukan bagian dari Alquran. Bahkan Alqur’an sendiri
mengatakan bahwa semua perkataan Rasulullah Saww adalah wahyu. Allah
berfirman: “Dan tiadalah yang diucapkan (Muhammad) itu menuruti
kemauan hawa nafsunya sendiri. Ucapannya itu tiada lain kecuali apa
yang telah diwahyukan (Allah) kepadanya” (53:3-4)
Oleh karena itu, semua perkataan Rasulullah Saww adalah
wahyu dan pasti tidak bertentangan dengan Alqur’an. Hal itu juga
mencakup penjelasan Beliau tentang Alqur’an dan sunnah Beliau.
Sekarang kita lihat kembali hadits yang ingin kami tunjukkan.
Diceritakan bahwa Abu Nadhra berkata: “Ibn Abbas (RA) membaca ayat4:24
dengan tambahan kalimat ‘untuk waktu yang tertentu.’ Saya kemudian
bertanya padanya: ‘Saya tidak membaca ayat itu seperti kamu
membacanya.’ Ibn Abbas menjawab: ‘Saya bersumpah dengan nama Allah,
seperti inilah Allah menurunkannya’ dan Ibn Abbas mengulangi
pernyataannya tiga kali.” Lihat dalam referensi Sunni: 1. Tafsir
al-Kabir, oleh Ibn Jarir al-Tabari, komentar tentang ayat 4:24, V8,
hal. 177, Hadits 9038 2. Tafsir al-Kabir, oleh al-Tsa’labi, komentar
tentang ayat 4:24 yang sama dengan hadits yang diriwayatkan oleh
Jubair.
Dan juga Abu Nadhra mengatakan: “Saya menanyakan kepada Ibn
Abbas tentang nikah mut’ah kemudian Ibn Abbas menjelaskan: ‘Pernahkah
kamu membaca ayat:….Maka istri-istri yang telah kamu nikmati
(istamta’tum) dengan perjanjian dalam suatu waktu tertentu…’ Maka saya
berkata: ‘Jika sekiranya saya membaca seperti caramu, maka pasti saya
tidak menanyakannya lagi kepadamu.’
Kemudian Ibn Abbas berkata : ‘Memang ayat itu untuk
menjelaskan tentang nikah mut’ah’”. Lihat referensi Sunni dalam
al-Kabir oleh Ibn Jarir al-Tabari pada komentar tentang ayat 4:24, V8,
hal. 177, Hadits 9036 – 9037.
Dan juga diceritakan bahwa al-Suddy RA mengatakan: “Ayat
yang berbunyi ‘Dan mereka yang telah kamu nikmati melalui perjanjian
dalam suatu waktu tertentu’ adalah menjelaskan tentang nikah mut’ah,
yaitu seorang laki-laki menikahi seorang perempuan dengan jumlah mahar
tertentu untuk suatu waktu yang tertentu pula dan disaksikan oleh dua
orang saksi. Dan jika perempuan itu masih gadis (perawan), maka
laki-laki tesebut harus meminta izin kepada wali perempuan. Ketika
periode pernikahan mereka sudah berakhir, maka mereka secara langsung
akan berpisah tanpa saling mewarisi satu sama lain.” Referensi Sunni
adalah Tafsir al-Kabiroleh Ibn al-Tabari, komentar tentang ayat 4:24,
V8, hal. 176, Hadits 9033.
Abu Karib menceritakan bahwa Yahya berkata: “Saya melihat
sebuah buku bersama Nasir yang menuliskan: ‘Dan mereka yang telah kamu
nikmati melalui perjanjian dalam suatu waktu tertentu.’” Lihat dalam
referensi Sunni: 1. Tafsiral-Kabir Ibn Jarir al-Tabari pada ayat 4:24,
hal. 176-177, Hadits 9035 2.Tafsir al-Kabir al-Tsa’labi pada ayat
4:24 yang menceritakan riwayat yang sama dari Abi Thabit. Salah
seorang sahabat Rasulullah yang lain yakni Ubay Ibn Ka’ab (yang dalam
sumber-sumber Sunni dikatakan bahwa Rasulullah memerintahkan para
sahabat untuk mempercayainya karna pemahamannya yang dalam tentang
Alqur’an, dimana beliau juga adalah sebagai salah seorang dari tiga
orang yang terpercaya dalam bidang ini, lihat Shahih Bukhari, edisi
Bahasa Inggris, V6,Hadits 521) juga menambahkan kalimat pada ayat 4:24
seperti penambahan yang dilakukan oleh Ibn Abbas. Qatadah ra
mengatakan: “Ubay ibn Ka’ab membaca ayat4:24 adalah ‘…. dan mereka
yang telah kamu nikmati melalui perjanjian dalam suatu waktu
tertentu.”’ Referensi Sunni adalah Tafsir al-Kabir Ibn Jarir
al-Tabari, komentar tentang ayat 4:24, V8, hal. 178, Hadits 9041.
Post a Comment
mohon gunakan email