Pesan Rahbar

Home » » Salah satu perbuatan Umar dalam menentang al-Qur’an (an-Nisa : 24) yang tercatat pada Kitab-Kitab Ahlus Sunnah.

Salah satu perbuatan Umar dalam menentang al-Qur’an (an-Nisa : 24) yang tercatat pada Kitab-Kitab Ahlus Sunnah.

Written By Unknown on Tuesday, 8 July 2014 | 04:45:00


Allah yang Maha Besar Lagi Maha Agung berfirman dalam Surah Annisa ayat 24:
….Dan dihalalkan bagi kamu (selain perempuan yang diharamkan untukmu) untukmencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini demi melindungi dirimu (daridosa), bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang yang telah kamu nikmati(istamta’tum) setelah suatu perjanjian, maka berikanlah kepada mereka maharnyasebagai suatu kewajiban. Dan bukanlah dosa bagi kamu terhadap apa yang telahkalian saling merelakannya (untuk memperpanjang perjanjian itu) setelah memenuhikewajibanmu (yang pertama). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi mahaBijaksana.”.
 
Pada ayat tersebut, istilah bahasa Arab yang sama dengan kata “nikah”ataupun istilah turunannya, belum pernah digunakan sebelumnya. Tetapi, kata”mut’ah” yang berarti kenikmatan, kesenangan atau nikah sementara telah digunakan di ayat ini yaitu pada kata “Istamta’tum.” Kata “istamta’tum” adalah kata kerja ke sepuluh dari akar kata m-t-a. Seperti yang akan kita lihat, katai stamta’ juga telah banyak digunakan di dalam kumpulan tafsir Sunni tentang nikah mut’ah. Tentunya, mut’ah juga merupakan salah satu bentuk pernikahan,tetapi peraturan-peraturannya berbeda dengan nikah da’im, termasuk kebolehan pasangan dalam nikah mut’ah itu untuk memperpanjang pernikahan mereka dengan perjanjian yang menguntungkan keduanya seperti yang dinyatakan pada akhir ayat tersebut di atas. Lebih jauh lagi, jika kita melihat beberapa komentar Sunni terhadap masalah mut’ah, banyak mufassir seperti halnya Fakhr Ar Razi menyatakan bahwa ayat 4:24 itu diturunkan sehubungan dengan nikah mut’ah.Mereka mengatakan dengan terang-terangan bahwa nikah mut’ah menjadi halal berdasarkan ayat tersebut, tetapi kemudian menegaskan bahwa nikah mut’ah dilarang setelah itu.
 
Suatu hal yang mengherankan adalah banyaknya mufassir Sunni yang mengomentari ayat tersebut dengan menyebutkan sebuah hadits bahwa Imam ‘Ali binAbi Thalib ra mengatakan: “Mut’ah adalah suatu karunia dari Allah. Sekiranya tidak ada Umar yang melarangnya, maka tidak akan orang yang berzina kecuali yang benar-benar bejat (shaqi).” Silahkan merujuk pada beberapa kitab tafsirSunni berikut: 1. Tafsir Al-Kabir, oleh al-Tsa’labi, komentar tentang ayat 2:242. Tafsir Al-Kabir, oleh Fakhr al-Razi, V3, hal. 200, komentar tentang ayat2:24 3. Tafsir Al-Kabir, oleh Ibn Jarir al-Tabari, komentar tentang ayat 2:24 dengan silsilah perawi yang otentik, V8, hal. 178, hadits no. 9042 4. Tafsiral-Durr al-Mantsur, oleh al-Suyuti, V2, hal. 140, dari beberapa perawi 5.Tafsir al-Qurtubi, V5, hal. 130, komentar tentang ayat 2:24 6. Tafsir IbnHayyan, V3, hal. 218, komentar tentang ayat 2:24 7. Tafsir Nisaburi, olehAl-Nisaburi (abad kedelapan) 8. Ahkam al-Quran, oleh Jassas, V2, hal. 179, komentar tentang ayat 2:24 9.
 
Beberapa sumber yang diceritakan oleh Ibn Abbas yang telah disebutkan oleh Tabari dan Tha’labi dalam tafsir mereka. Hal yang menarik untuk diperhatikan adalah bahwa Umar tidak menisbatkan pelarangan Mut’ah kepada Rasulullah Saww,tetapi justru menisbatkan pelarangan itu kepada dirinya sendiri. Banyak sahabat yang menyaksikan bahwa Umar yang telah melakukan pelarangan tersebut. Umar dengan jelas mengatakan: “Mut’ah telah diperbolehkan oleh Rasulullah (Saww) dan kemudian saya melarangnya.”.
 
Seorang tokoh Sunni yang besar, Fakhr al-Razi yang digelari Imam alMusyaqqiqin (pemimpin orang-orang ragu) di dalam sebuah tafsirnya yang tebal ketika mengomentari ayat tentang nikah mut’ah menjelaskan: Umar berkata: “Ada dua mut’ah yang diperbolehkan pada zaman Rasulullah Saww dan saya melarang keduanya. Kedua mut’ah itu adalah haji tamattu’ dan nikah mut’ah dengan perempuan.” Silahkan merujuk pada referensi Sunni di dalam: 1. Tafsir al-Kabir oleh Fakhr –al-razi,V3, hal. 201, pada ayat 4:24 2. Musnad Ahmad bin hambal, V1, hal. 52.
 
Perhatikan bahwa mut’ah terdiri dari dua jenis yaitu nikah mut’ah dan haji tamattu’. Jenis yang kedua ini adalah salah satu cara pelaksanaan ibadah haji yang tidak ada hubungannya dengan tata cara suatu pernikahan. Kedua jenis mut’ah ini dilakukan pada zaman Rasulullah Saww, zaman pemerintahan Abu Bakar,dan kemudian keduanya dilarang oleh Umar. Di dalam Alquran, ada ayat yang menjelaskan bahwa haji tamattu’ dapat dilakukan. Namun, penjelasan haji tamattu’ atau haji mut’ah ini bukanlah bidang kajian kita dalam tulisan ini.
 
Umar sendiri tidak mengatakan bahwa nikah mut’ah dilarang sendiri oleh Rasulullah Saww. Jika sekiranya Rasulullah sendiri yang melarang nikah mut’ah tersebut, maka semestinya Umar mengatakan:”Kedua mut’ah itu diperbolehkan dan kemudian dilarang pada zaman Rasulullah,karnanya saya memberitahukan kalian bahwa Rasulullah telah menetapkan hukum kedua (tentang pelarangannya) yang menghapus hukum yang pertama (tentang pembolehannya)”. Tetapi kita dapat melihat dengan jelas bahwa Umar dengan terang-terangan menisbatkan pelarangan itu pada dirinya sendiri dan menetapkan bahwa mut’ah itu haram.
 
Al-Zamakhsyari, seorang mufassir Sunni yang lain pada komentarnya tentang ayat 4:24 mengatakan bahwa ayat ini adalah ayat muhkamat dari Alquran. Beliau merujukkan pendapatnya pada pendapat Ibn Abbas. (Tafsir al-Kasysyaf oleh Zamakhsyari, V1,hal. 519).
 
Baik Ibn Jarir al-Tabari maupun Zamakhsyari menyebutkan bahwa: “al-Hakam Ibn Ayniyah pernah ditanyai apakah ayat tentang nikah mut’ah telah dimansukh. Saat itu beliau menjawab ‘Tidak’”. Silahkan lihat di dalam sumber Sunni : 1. TafsirTabari, komentar tentang ayat 2:24, V8, hal. 178 2. Tafsir al-Kasysyaf, komentar tentang ayat 2:24, V1, hal. 519.
 
Ibn Katsir juga menjelaskan dalam tafsirnya: “Bukhari mengatakan bahwa Umar telah melarang setiap orang untuk melakukan nikah mut’ah”. Lihat referensi Sunni dalam Tafsir Ibn Katsir, V1, hal. 233. Di dalam tafsir Sunni yang lain disebutkan bahwa: Umar suatu waktu berpidato di atas mimbar sambil mengatakan:”Wahai sekalian manusia, ada tiga hal yang diperbolehkan di zaman Rasulullah dan saya melarang dan mengharamkan semuanya. Ketiga hal itu adalah nikah mut’ah, haji tamattu’ dan mengucapkan ‘Hayya ‘Al-khair al-amal’.” ReferensiSunni: 1. Syarh al-Tajrid oleh al-Fadhil al-Qosyaji (bagian Imamah) 2.Al-Mustaniran oleh Tabari 3. Al-Mustabin oleh Tabari 4. Sekedar catatan, hal ketiga yang dilarang oleh Umar seperti yang disebut dalam kutipan di atas adalah ucapan di dalam adzan dan qamat setelah kalimat Hayya ala al-falah.
 
Meskipun ucapan ini telah dilarang oleh Umar di masa pemerintahannya, tetapi mazhab Syi’ah masih mempraktekkannya sampai saat ini. Kalimat itu berarti “mari berlomba-lomba menuju amal yang baik.” Kalimat ini telah dihilangkan oleh Umar dan kemudian digantikannya dengan kalimat: Ash-Shalatu Khairun min an-naum yang berarti “shalat lebih baik daripada tidur” (khusus pada azan shalat subuh,pent).
 
Menarik untuk diketahui, ada beberapa tokoh Sunni yang menerima bahwa nikah mut’ah diperbolehkan dan dihalalkan selama-lamanya berdasarkan ayat Alquran. Salah satu diantaranya adalah seorang tokoh Tunisia, Syaikh al-Tahir Ibn Asyar pada tafsirnya tentang ayat 4:24. (Lihat al-Tahrir wa al-Tanwir oleh Syaikhal-Tahir Ibn Asyar, V3, hal. 5).
 
Di samping itu, banyak tokoh-tokoh lain yang berpikiran terbuka dimana mereka tidak memperbolehkan otoritas pemimpin-pemimpinnya mempengaruhi keputusan mereka. Beberapa orang ada yang mencoba membuat keraguan arti kata”mut’ah” dengan mengatakan bahwa secara literal, mut’ah berarti kesenangan dan tidak secara spesifik menunjukkan suatu jenis pernikahan. Orang-orang ini,bukannya mencari defenisi praktis tentang mut’ah di dalam sejarah, hadits, ataupun hukum; justru mereka mencari kamus bahasa Arab.
 
Padahal, di dalam kamus bahasa Arab itu sendiri dituliskan bahwa pengertian praktis mut’ah adalah pernikahan sementara atau nikah mut’ah. Semua mazhab Syi’ah dan Sunni setuju dengan pengertian ini. Al-Qurtubi, salah seorang mufassir terkenal dari mazhab Sunni menulis: “Tidak ada perselisihan seluruh mazhab, apakah dari golongan Salaf ataupun Khalaf, bahwa mut’ah adalah suatu pernikahan dalam interval waktu tertentu yang tidak mencakup pemberian warisan.”.

Mengganti defenisi praktis dengan pengertian linguistik adalah suatu hal yang sangat berbahaya dan dilarang oleh hukum agama karena mempunyai implikasi yang luas. Misalnya, ketika seseorang mengatakan bahwa shalat berarti pujian atau permohonan, maka hal itu dapat diartikan bahwa seseorang tidak perlu melakukan pujian itu setiap hari (padahal shalat itu wajib dilakukan lima kali sehari semalam); atau ketika zakat berarti ‘mensucikan’, maka seseorang tidak perlu mengeluarkan zakat dengan uang atau lainnya (karna penyucian tidak berarti memberikan sesuatu dengan uang atau sejenisnya). Ini benar-benar pengertian yang sangat rancu.
 
Kemungkinan, orang-orang tersebut tidak pernah membaca riwayat yang berhubungan dengan “mut’ah” dalam pengertian yang sangat praktis pada zaman Rasulullah dan zaman kekhalifahan awal, juga mereka mungkin tidak mengetahui bagaimana sebagian sahabat Rasulullah melakukan nikah mut’ah hanya dengan segenggam kurma sebagai maharnya. Bahkan di dalam Shahih Bukhari yang berbahasa Inggris,”mut’ah al-nisa’” diterjemahkan dengan arti ‘temporary marriage’ (pernikahan sementara) dan “istimta’a” diartikan dengan ‘marrying temporarily’ (menikah sementara).
Di dalam dua kitab Shahih inilah dimuat riwayat-riwayat yang menjelaskan pengertian ini secara terperinci. (Silahkan merujuk pada Bagian Kedua untuk melihat secara lengkap riwayat masalah ini dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim). Apakah orang-orang tersebut memang belum pernah mendengar tentang nikah mut’ah di dalam sejarah Islam? Beberapa orang yang lain juga memberikan kerancuan tentang arti ayat nikah mut’ah (4:24) dengan mengatakan bahwa, kata”istamta’a” dalam ayat itu merujuk pada penyempurnaan pernikahan da’im setelah pemberian mahar.
 
Pernyataan tersebut tidak benar. Cara yang terbaik untuk mengerti tentang ayat tersebut adalah; pertama, mengerti bahasa Arab dengan benar (karena kadang padanan yang benar-benar tepat dalam bahasa yang lain tidak ditemukan); kedua, membandingkan komentar-komentar yang ada sehubungan dengan masalah tersebut(tanpa terlebih dahulu membuat pemihakan); dan yang ketiga, melihat kembali semua riwayat yang berhubungan dengan nikah mut’ah untuk mengetahui apakah istilah “istamta’a” itu sudah pernah digunakan. Jika kita telah melalui ketiga tahapan ini dan telah memperhatikan semua pendapat yang berbeda-beda, maka kita semakin dekat dengan sasaran klarifikasi pengertian kita dalam masalah ini.
 
Kita telah melihat beberapa rujukan dari tafsir-tafsir Sunni di mana para mufassir sepakat bahwa ayat 4:24 diturunkan untuk menjelaskan tentang nikah mut’ah bahkan mereka juga telah menyebutkan beberapa riwayat ketika mengomentari ayat tersebut. Lantas, bagaimana mungkin ayat ini dimaksudkan untuk menjelaskan nikah da’im? Apakah mungkin beberapa tokoh-tokoh Sunni itu sudah tidak bisa berfikir secara logis lagi dalam melihat permasalahan ini ? Pada pembahasan selanjutnya akan ditunjukkan riwayat-riwayat yang lebih banyak lagi dari mazhab Sunni dalam komentar mereka tentang ayat 4:24 ini.
 
Di dalam Shahih Muslim disebutkan, seorang sahabat Rasulullah Saww, Jabir Ibn Abdillah al-Ansari mengatakan : “Istamta’a berarti menikah sementara”(Lihat Shahih Muslim, versi Bahasa Inggris, V2, Bab DXLI dengan judul:Temporary Marriage (Nikah Mut’ah), hadits 3246. Juga silahkan merujuk pada bagian kedua untuk teks bahasa Arabnya secara lengkap). Jabir ternyata tidak menghubungkan kata “istamta’a” dengan penyempurnaan pernikahan secara umum.
 
Di dalam ayat 4:24 Allah berfirman : “……Dan bukanlah dosa bagi kamu terhadap apa yang telah kalian saling merelakannya (untuk memperpanjang perjanjian itu) setelah memenuhi kewajibanmu (yaitu mahar pada perjanjian yang pertama)”. Kesepakatan kedua belah pihak setelah kewajiban dipenuhi yang dimaksud dalam ayat di atas merujuk pada perpanjangan masa pernikahan sementara setelah mahar yang pertama telah diberikan kepada perempuan. Dengan demikian, perempuantersebut dapat memilih dengan bebas apakah dia akan memperpanjang masa pernikahan mereka atau tidak tanpa ada paksaan.
 
Dengan cara ini, Allah ingin mempertegas bahwa nikah mut’ah akan memberikan manfaat yang lebih baik lagi jika pasangan nikah mut’ah memperpanjang masanya (atau bahkan melanjutkannya ke pernikahan da’im) dengan memberikan mahar yang baru setelah mahar yang pertama telah ditunaikan.
 
Ibn Jarir al-Tabari dalam tafsirnya menuliskan: “Beberapa riwayat menyebutkan bahwa arti dari ‘….Dan bukanlah dosa bagi kamu terhadap apa yang telah kalian saling merelakannya setelah memenuhi kewajibanmu…’ adalah: ‘Wahai sekalian manusia, bukanlah dosa bagi kalian untuk saling menyetujui antara kamu dan perempuan yang telah kalian merasakan kesenangan bersama-sama dalam suatu pernikahan sementara, untuk memperpanjang masa pernikahan kalian jika perjanjian yang pertama telah berakhir, dengan memberikan mahar yang lebih banyak lagi sebagai kewajiban sebelum kalian meninggalkan mereka.’
Al-Suddi RA menceritakan: “Dan bukanlah dosa bagi kalian terhadap apa yang kalian sepakati setelah memenuhi persyaratan perjanjian di antara kalian. Jika suami menginginkan untuk memperpanjang perjanjiannya, maka dia dapat meminta istrinya untuk membuat perjanjian yang baru setelah memberikan mahar yang pertama sebelum masa nikah mut’ah itu berakhir. Dia dapat mengatakan kepada istrinya: ‘Saya akan menikah mut’ah dengan kamu dengan syarat ini dan syarat yang itu.’ Lalu dia memperpanjang masa nikah mut’ah mereka sebelum dia meninggalkan istrinya karena perjanjian yang pertama telah berakhir. Inilah yang dimaksud dalam ayat ini.”(Riwayat 9046). Rujukan dari mazhab Sunni: Tafsir al-Tabari oleh Ibn Jariral-Tabari, komentar tentang ayat 4:24, V8, hal. 180.
 
Alasan yang lain untuk menunjukkan bahwa mahar yang disebutkan dalam ayat ini bukanlah untuk pernikahan da’im adalah karna Alqur’an telah membicarakan tentang mahar untuk pernikahan da’im pada bagian awal di surat yang sama dengan menyebutkan firman Allah: “Nikahilah olehmu perempuan yang kamu senangi dua,tiga atau empat, tetapi jika kamu merasa bahwa kamu tidak mampu berbuat adil (terhadap mereka), maka pilihlah satu saja…..” (4:3) Demikian juga, Allah telah menjelaskan ketika berfirman: “Dan berikanlah perempuan itu maharnya (pada pernikahan da’im) sebagai hadiah buat mereka” (4:4) Ayat-ayat ini menjelaskan tentang pernikahan da’im dan mahar yang berhubungan dengannya. Sehingga, adalah suatu hal yang tidak perlu jika Allah harus mengulangi masalah mahar ini di surat yang sama.
 
Tetapi, jika memang Allah ingin menjelaskan tentang nikah mut’ah pada ayat 4:24, maka tentunya penjelasan mahar ini adalah untuk masalah yang baru. Hal ini dapat dilihat dari kata yang digunakan oleh Allah Swt pada ayat tentang nikah mut’ah (4:24) yang diambil dari turunan akar kata “mut’ah” yang jelas berbeda dengan kata-kata yang digunakan pada ayat yang lain di dalam surat An-Nisa. Allah berfirman: ” …(Kecuali perempuan-perempuan yang diharamkan bagimu untuk menikahinya) Dan dihalalkan bagi kamu untuk mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini demi melindungi dirimu (dari dosa), bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang yang telah kamu nikmati (istamta’tum) setelah suatu perjanjian, maka berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban. Dan bukanlah dosa bagi kamu terhadap apa yang telah kalian saling merelakannya (untuk memperpanjang perjanjian itu) setelah memenuhi kewajibanmu (yang pertama). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi maha Bijaksana.” (4:24).
 
Dengan demikian, Allah menjelaskan jenis-jenis pernikahan yang berbeda-beda itu dengan membagi penjelasan dalam tiga bagian di dalam surat An-Nisa’. Bagian pertama menjelaskan tentang nikah da’im pada ayat sebelum 4:24, bagian kedua tentang pernikahan mut’ah pada ayat 4:24, serta bagian ketiga tentang pernikahan dengan budak perempuan pada ayat 4:25. Allah Swt berfirman: “Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini perempuan merdeka dan beriman, maka ia boleh mengawini perempuan beriman dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu, sebagian kamu dari sebagian yang lainnya; karena itu kawinilah mereka (budak-budak itu) dengan seizin tuan mereka dan berilah mahar kepada mereka dengan cara yang pantas sedang merekapun adalah perempuan-perempuan yang memelihara dirinya, bukan pezina dan bukan pula perempuan yang mengambil laki-laki sebagai peliharaannya. Dan apabila mereka telah menjaga dirinya melalui pernikahan, tetapi kemudian megerjakan perbuatan keji (zina), maka hukumannya adalah setengan dari hukuman perempuan merdeka yang bersuami. (Kebolehan menikahi budak-budak perempuan) itu adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) diantaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (4:25) Pada ayat ini Allah menyebutkan mahar yang berhubungan dengan budak perempuan.
 
Dengan demikian, Allah menyebutkan masalah mahar ini sebanyak tiga kali dalam tiga bagian ayat-ayat di atas; pertama untuk pernikahan da’im, kedua untuk pernikahan mut’ah dan terakhir untuk pernikahan dengan budak perempuan
 
Sekali lagi, untuk mempertegas bahwa ayat 4:24 diturunkan sehubungan dengan nikah mut’ah, maka kami menunjukkan beberapa hadits lagi dari mufassir Sunni.
Tabari meyebutkan bahwa Mujahid RA mengatakan: “Yang dimaksud dengan ‘maka istri-istri yang yang telah kamu nikmati (istamta’tum) setelah suatu perjanjian’dalam ayat (4:24) adalah nikah mut’ah.” Referensi Sunni: Tafsir At-Tabari oleh Ibn Jarir al-Tabari, komentar tentang ayat 4:24, V8, hal. 176, Hadits 9034.
 
Bahkan, di dalam banyak tafsir Sunni yang lain, disebutkan hadits yang sama dengan yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari (lihat Bagian Kedua) dengan penjelasan yang lebih terinci ketika menjelaskan tentang ayat 4:24. Imran Ibn Husain menceritakan: “Ayat 4:24 tentang nikah mut’ah telah diturunkan oleh Allah di dalam Alqur’an, dan tidak ada satupun ayat yang diturunkan untuk me-mansukh-kannya; bahkan, Rasulullah Saww menyuruh kami melakukan nikah mut’ah sehingga kamipun melakukannya pada zaman Rasulullah masih hidup dan tidak pernah sekalipun Rasulullah melarangnya sampai Beliau meninggal. Tetapi, seseorang(yang telah melarang nikah mut’ah) menunjukkan keinginannya sendiri.” Silahkan lihat dalam beberapa referensi Sunni: 1. Tafsir al-Kabir, oleh al-Tsa’labi, komentar tentang ayat 4:24. 2. Tafsir al-Kabir, oleh Fakhr al-Razi, komentar tentang ayat 4:24, V3, hal. 200 dan 202 3. Tafsir Ibn Hayyan, V3, hal. 218, komentar tentang ayat 4:24 4. Tafsir al-Nisaburi, oleh al-Nisaburi (abad kedelapan).
 
Karena itu sangat jelas bahwa, Imran Ibn Husain membicarakan masalah nikah mut’ah dalam kutipan ini. Jika tidak, tidak mungkin para mufassir Sunni tersebut menempatkan riwayat ini pada penjelasan mereka tentang ayat 4:24. Beberapa hadits yang lainpun, dapat pula dijadikan bukti-bukti bahwa ayat 4:24 menjelaskan tentang nikah mut’ah.
 
Di dalam banyak tafsir Sunni, kalimat “untuk waktu yang tertentu” telah ditambahkan pada ayat 4:24 setelah kata “istamta’tum” sehingga ayat itu terbaca’maka istri-istri yang yang telah kamu nikmati (istamta’tum) setelah suatu perjanjian untuk waktu yang tertentu.” Kalimat ini haruslah diartikan sebagai tafsiran terhadap ayat Alqur’an, bukan bagian dari ayat tersebut. Seperti yang kita ketahui, banyak ayat-ayat Allah yang diturunkan tetapi tidak dimasukkan kedalam Alqur’an karena ayat-ayat tersebut hanyalah penjelasan dan bukan merupakan bagian dari Alquran itu sendiri.
 
Seperti yang kita ketahui bahwa hadits Qudsi juga merupakan firman Allahtetapi bukan bagian dari Alquran. Bahkan Alqur’an sendiri mengatakan bahwa semua perkataan Rasulullah Saww adalah wahyu. Allah berfirman: “Dan tiadalah yang diucapkan (Muhammad) itu menuruti kemauan hawa nafsunya sendiri. Ucapannya itu tiada lain kecuali apa yang telah diwahyukan (Allah) kepadanya” (53:3-4)
Oleh karena itu, semua perkataan Rasulullah Saww adalah wahyu dan pasti tidak bertentangan dengan Alqur’an. Hal itu juga mencakup penjelasan Beliau tentang Alqur’an dan sunnah Beliau. Sekarang kita lihat kembali hadits yang ingin kami tunjukkan. Diceritakan bahwa Abu Nadhra berkata: “Ibn Abbas (RA) membaca ayat4:24 dengan tambahan kalimat ‘untuk waktu yang tertentu.’ Saya kemudian bertanya padanya: ‘Saya tidak membaca ayat itu seperti kamu membacanya.’ Ibn Abbas menjawab: ‘Saya bersumpah dengan nama Allah, seperti inilah Allah menurunkannya’ dan Ibn Abbas mengulangi pernyataannya tiga kali.” Lihat dalam referensi Sunni: 1. Tafsir al-Kabir, oleh Ibn Jarir al-Tabari, komentar tentang ayat 4:24, V8, hal. 177, Hadits 9038 2. Tafsir al-Kabir, oleh al-Tsa’labi, komentar tentang ayat 4:24 yang sama dengan hadits yang diriwayatkan oleh Jubair.
 
Dan juga Abu Nadhra mengatakan: “Saya menanyakan kepada Ibn Abbas tentang nikah mut’ah kemudian Ibn Abbas menjelaskan: ‘Pernahkah kamu membaca ayat:….Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (istamta’tum) dengan perjanjian dalam suatu waktu tertentu…’ Maka saya berkata: ‘Jika sekiranya saya membaca seperti caramu, maka pasti saya tidak menanyakannya lagi kepadamu.’
 
Kemudian Ibn Abbas berkata : ‘Memang ayat itu untuk menjelaskan tentang nikah mut’ah’”. Lihat referensi Sunni dalam al-Kabir oleh Ibn Jarir al-Tabari pada komentar tentang ayat 4:24, V8, hal. 177, Hadits 9036 – 9037.
 
Dan juga diceritakan bahwa al-Suddy RA mengatakan: “Ayat yang berbunyi ‘Dan mereka yang telah kamu nikmati melalui perjanjian dalam suatu waktu tertentu’ adalah menjelaskan tentang nikah mut’ah, yaitu seorang laki-laki menikahi seorang perempuan dengan jumlah mahar tertentu untuk suatu waktu yang tertentu pula dan disaksikan oleh dua orang saksi. Dan jika perempuan itu masih gadis (perawan), maka laki-laki tesebut harus meminta izin kepada wali perempuan. Ketika periode pernikahan mereka sudah berakhir, maka mereka secara langsung akan berpisah tanpa saling mewarisi satu sama lain.” Referensi Sunni adalah Tafsir al-Kabiroleh Ibn al-Tabari, komentar tentang ayat 4:24, V8, hal. 176, Hadits 9033.
 
Abu Karib menceritakan bahwa Yahya berkata: “Saya melihat sebuah buku bersama Nasir yang menuliskan: ‘Dan mereka yang telah kamu nikmati melalui perjanjian dalam suatu waktu tertentu.’” Lihat dalam referensi Sunni: 1. Tafsiral-Kabir Ibn Jarir al-Tabari pada ayat 4:24, hal. 176-177, Hadits 9035 2.Tafsir al-Kabir al-Tsa’labi pada ayat 4:24 yang menceritakan riwayat yang sama dari Abi Thabit. Salah seorang sahabat Rasulullah yang lain yakni Ubay Ibn Ka’ab (yang dalam sumber-sumber Sunni dikatakan bahwa Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk mempercayainya karna pemahamannya yang dalam tentang Alqur’an, dimana beliau juga adalah sebagai salah seorang dari tiga orang yang terpercaya dalam bidang ini, lihat Shahih Bukhari, edisi Bahasa Inggris, V6,Hadits 521) juga menambahkan kalimat pada ayat 4:24 seperti penambahan yang dilakukan oleh Ibn Abbas. Qatadah ra mengatakan: “Ubay ibn Ka’ab membaca ayat4:24 adalah ‘…. dan mereka yang telah kamu nikmati melalui perjanjian dalam suatu waktu tertentu.”’ Referensi Sunni adalah Tafsir al-Kabir Ibn Jarir al-Tabari, komentar tentang ayat 4:24, V8, hal. 178, Hadits 9041.
 
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: