Pesan Rahbar

Home » » Dalam Syiah, Mut’ah Lebih Utama daripada Shalat, Haji, dan Umroh

Dalam Syiah, Mut’ah Lebih Utama daripada Shalat, Haji, dan Umroh

Written By Unknown on Sunday, 6 July 2014 | 12:44:00


SEPERTI  telah kita ketahui bahwa Mut’ah adalah suatu per­kawinan yang mempunyai syarat-syarat tertentu, tetapi hanya berlangsung dalam waktu sementara, sesuai dengan persetujuan dalam kontrak, apakah satu jam, sehari, sebulan atau selama se­tahun, masing-masing mempunyai tarif tersendiri berapa harus dibayar. Kawin Mut’ah ini pernah diperbolehkan oleh Rasulullah dalam suatu pertempuran mengingat keadaan psikologis tentara, kemudian dilarang dan akhirnya diharamkan menurut Ahlus Sunnah. Tetapi orang Syi’ah tidak mengakui bahwa Rasulullah telah melarangnya. Mereka mengatakan diperbolehkan berlang­sung terus.
Dan oleh karena Umar r.a. melarang sangat keras perkawinan mut’ah, maka orang Syi’ah memperbolehkannya dengan tegas pula, bahkan mereka memberikan dorongan dan dukungan diser­tai pemberian berbagai masalah kepada barangsiapa yang melaku­kannya, padahal perkawinan biasa seperti yang kita kenal tidak mendapat dorongan. Hal ini aneh sekali, mengapa kawin mut’ah yang mendapat pahala besar?

Maulana Manzur An-’Nu’mani mengutip dari tafsir induk “Minhajus Shadiqin” berdasarkan riwayat mereka dari Rasulullah saw., dikatakan bahwa Rasuluilah bmengatakan ”Barangsiapa menjalani kawin mut ‘ah satu kali dia akan mendapatkan tingkat Al-Hasan, barangsiapa yang menjalani kawin mut’ah dua kali, maka dia akan mendapat tingkat Al-Husein, barangsiapa menjalani kawin mut’ah tiga kali, maka dia akan mendapat tingkat Amirul Mukminin Ali, dan barangsiapa yang menjalani kawin mut’ah empat kali, maka dia akan mendapat derajatku.”.

Apakah kita menilai bahwa pahala suatu kerja keras sama dengan pahala pekerjaan yang mengecap kelezatan dan kenikmat­an? Sungguh aneh!

Maulana Manzur mengatakan dalam kitabnya halaman 218 bahwasanya seorang ulama besar Syi’ah Baqir Majlisi mujtahid besar Syi’ah pada abad 10 dan 11 Masehi mempunyai banyak karangan, kitab-kitabnya dianjurkan oleh Khomaini supaya di­baca dan dimanfaatkan, antara lain kitab Kasyful Asrar.

Pengarang besar Syiah tersebut menulis suatu makalah mengenai kawin mut’ah yang ditulis dalam bahasa Persia dan di­terjemahkan ke dalam bahasa Urdu dengan judul “Ujalah Hasa­nah” (= Keterburuan yang bagus). Makalah ini telah diterbitkan oleh ulama besar Syi’ah sejak 70 tahun yang lalu, kemudian di­cetak ulang di Lahore. Dalam makalah tersebut dikutip hadits-hadits Rasulullah tentang mut’ah, antara lain seperti telah kita jelaskan di atas.

Yang mulia Salman Al-Farisi dan yang Mulia Miqdad bin Al-Aswad Al-Kindi dan Amr bin Yasir r.a. menceritakan sebuah hadits sahih bahwa terakhir Nabi mengatakan: “Sesungguhnya orang yang melakukan kawin mut’ah sekali dalam hidupnya adalah termasuk ahli surga. Ketika dia duduk dengan perempuan itu, turunlah malaikat dari langit untuk melindunginya sampai keduanya berpisah obrolan antara keduanya (laki-laki dan perempuan) kedudukannya sama dengan tasbih (membaca subhanallah ), ketika tengah ber­pegang, maka jari jemarinya dibebaskan dari dosa, ketika berciuman Allah menghibahkan setiap kecupan dengan pahala haji dan Umrah, dan ketika bersenggama Allah memberikan untuk setiap denyut kelezatan dan birahii pahala sebesar gunung, ketika ejakulasi (keluar mani) dan lalu mandi dengan syarat beriman, bahwa Allah itu benar dan bahwa mut’ah itu sunnah Rasul, maka Allah akan berbicara kepada ma­laikat-malaikat: “Lihatlah kepada hambaku ini, dia telah melaksanakan mandi dan mengakui Aku sebagai Tuhannya, saksikanlah bahwa Aku telah mengampuninya dari segala dosanya, nanti Aku akan menghibahkan pahala sebanyak hitungan rambut di badannya, kumaafkan dia dari puluhan dosa dan Ku angkat dia puluhan derajat.”

Para perawi hadits tersebut di atas mengatakan bahwa Ali r.a. mendengar keistimewaan-keistimewaan kawin mut’ah, lalu katanya:. “Apakah pahala orang yang melakukan perbuatan baik itu?” Lalu Rasulullah menjawab: “Ketika selesai (bersetubuh) lalu mandi, Allah menciptakan setiap tetes yang jatuh dari tubuh­nya menjadi malaikat yang terus menerus bertasbih dan mensuci­kan Allah, lalu dia mendapat pahalanya, pahala tasbih yang di­lakukan para malaikat itu.”

Kemudian ulama besar Baqir Majlisi menyebutkan hadits lain, bahwa Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang mengawini perempuan secara mut’ah, maka dia seolah-olah menziarahi ka’bah tujuh puluh kali.

Selanjutnya dia menyebutkan hadits-hadits lain mengenai keistimewaan kawin Mut’ah. Sampai ada suatu hadits yang aneh sekali di mana disebutkan: “Barangsiapa melakukan perbuatan baik ini (kawin mut’ah) maka Allah akan mengangkatnya ke darajat yang paling tinggi, lalu akan dapat menyeberangi jembatan (siratol mustaqim) dengan cepat sekali seperti kilat dan akan diiringi oleh 70 barisan malaikat” dan seterusnya.

Betapa mudahnya mendapatkan pahala tersebut, betapa enak dan betapa lezatnya untuk melakukannya, dengan men­dapatkan pahala yang lebih tinggi dari ibadah shalat, puasa dan haji, lebih tinggi dari jihad dan zakat dan seterusnya . . . .

Demi kawin mut’ah itulah oleh seorang laki-laki dengan seorang perem­puan sekalipun hanya satu jam atau hanya satu kali mendapatkan pahala yang besar. Betapa murahnya dan betapa gampangnya amal itu dilakukan untuk mendapatkan pahala yang begitu besar, yaitu hanya sekedar kontrak yang dilakukan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, dibayar atas dasar persetujuan sekalipun hanya satu jam.
Kemudian perempuan itu dibawa masuk ke dalam kamar untuk mendapatkan pahala yang maha besar seperti diterangkan hadits yang lalu yang diriwayatkan tiga orang sahabat yang paling dipercaya di antara sahabat-sahabat yang lain!!!

Katakanlah kepada kita, demi Tuhan, silakan!, apakah dapat dirasakan dengan hati kita yang murni, bahwa hadits-hadits itu diucapkan oleh Rasulullah? Apakah demikian Islam, Rasul dan syariatnya?
Apakah Yang Maha Besar itu “cuma-cuma saja” memberi pahala seperti itu? [al-ahkam]

APABILA demikian duduknya mut’ah dan demikian pula ke­utamaannya, namun Imam Khomaini dalam kitabnya ‘Tahrirul Wasilah” mengatakan: “Kawin mut’ah itu mungkin saja bersa­maan dengan pelacuran dan mungkin saja berlangsung satu jam atau dua jam.” Lalu mengapa orang-orang terhormat Syi’ah dan para alim ulamanya marah apabila ada orang di antara mereka minta anak perempuannya dikawini secara mut’ah?, seperti yang saya saksikan sendiri dan yang saya dengar dengan telinga saya sendiri. Peristiwa itu terjadi pada waktu diadakan diskusi (seminar) mengenai kawin mut’ah, di mama seorang ulama Syi’ah tetap ber­pegang teguh akan legalitas kawin mut’ah dan memuji-muji per­kawinan secara mut’ah, Tiba-tiba ada seseorang yang meminta kawin mut’ah (dengan anak perempuannya = Pent). dengan seketika dia marah dan murka lalu pergi meninggalkan ruangan diskusi, padahal hanya beberapa menit yang lalu dia begitu antu­sias membela perkawinan mut’ah.

Apakah ini bukan suatu bukti yang pasti; bahwa perkawinan mut’ah itu suatu perbuatan yang sangat berlawanan dengan pikir­an sehat, bertentangan dengan naluri, dan jatmika. Rasulullah ketika membolehkan kawin mut’ah pada waktu itu adalah karena terdesak oleh keterpaksaan dalam situasi peperangan, banyak kaum Iaki-laki yang berpisah dari isterinya dalam jangka waktu tertentu, sehingga mempengaruhi perangainya. Seperti juga telah dihalalkan makan daging Keledai peliharaan karena keterpaksaan, lalu kemudian perkawinan mut’ah dan daging keledai peliharaan diharamkan kembali. Periuk tempat untuk memasaknya disuci kembali hingga hampir saja pecah, dan kembalilah manusia pada keadaan yang normal.
Sedangkan teman-teman kita orang Syi’ah tetap berpegang teguh, bukan hanya mengenai membolehkannya (kemubahannya) saja, tetapi sampai kepada meriwayatkan hadits-hadits seperti tersebut di atas, dengan menghimbau supaya orang melakukannya dan nanti dijanjikan akan diberi pahala besar sekali, yang sama sekali tidak diimpikan akan mendapatkannya melalui ibadah shalat dan puasa.

Yang aneh mereka tidak menyebut-nyebut pahala sebesar itu untuk perkawinan yang wajar dan langgeng, yang tidak dibatasi dengan waktu, dan tidak akan merusak moral yang luhur.

Seorang teman kita yang terpercaya Dr. A.H. guru besar sastera Persia di salah satu Universitas kita mengatakan “Saya pergi ke Teheran, dan risalah (disertasi) saya mengenai sastera Persia telah saya siapkan untuk mendapat ijazah dalam bahasa Persia. Saya tinggal di kota itu beberapa lama dan terbetiklah da­lam pikiran saya ingin tahu mengenai perkawinan mut’ah itu, setelah saya mengetahui banyak kantor-kantor jasa khusus untuk melayani hal itu. Saya ditunjukkan orang untuk menemukan kantor-kantor tersebut. Saya masuki sebuah kantor, seorang Mullah (Sheikh) saya jumpai sedang duduk di meja kerjanya, lalu saya utarakan kepadanya maksud kedatangan saya, yaitu ingin melakukan kawin mut’ah. Lalu serta merta dia menyambut “Selamat datang, saya gembira menerima tuan, silakan.” Kemudi­an selanjutnya dia menanyakan saya, mengenai jangka waktu yang hendak saya tentukan. Saya pura-pura menanyakan beberapa hal supaya dia percaya dan yakin, lalu saya katakan: “Tergantung rupa perempuan yang akan saya kawini . . . kalau memang cantik dan menarik” . . . dan seterusnya.

Kemudian katanya: “Silakan tuan masuk ke dalam.” Saya masuk ke dalam dan saya jumpai di dalamnya banyak perempuan yang sudah siap berdandan rapih. Mereka diperintah satu-persatu untuk beratraksi di depan saya. Perempuan-perempuan itu sudah kulihat semua. Tujuan saya adalah seperti tadi bukan untuk kawin, tetapi hanya sekedar ingin tahu dan ingin mengerti lebih dalam. Akhirnya saya berpura-pura dengan cara mengajukan suatu alasan yang baik, yaitu bahwa tak satupun berkenan di hati. Padahal mereka pada waktu itu mengadakan atraksi di hadapan saya dan tampaknya sudah berusaha sedapat mungkin dengan cara-cara yang dapat merangsang dan menimbulkan birahi . . . .

Kemudian saya pergi ke kantor lain, untuk sekedar mencari pengetahuan. Maka terjadilah sesuatu yang serupa dengan apa yang telah terjadi di kantor yang pertama tadi. Hanya saja saya telah semakin berani dan melangkah lebih maju. Saya pilih seorang perempuan dan kemudian saya ajak dia untuk duduk-duduk.
Perempuan yang saya pilih itu menanyakan mengenai jangka waktu yang saya inginkan, karena setiap jangka waktu mem­punyai harga sendiri. Dia bertanya: “Apakah saya tinggal di rumah Tuan ataukah Tuan ingin tinggal di rumah saya? memang berbeda harganya dan kemungkinan mengingat pembiayaannya. Setelah saya terdesak dalam situasi itu dengan sengaja saya ciptakan se­sesuatu yang dapat menimbulkan pertengkaran. Saya berhasil men­ciptakannya, lalu saya pergi kepada pemilik kantor jasa tersebut dan saya menyatakan penyesalan dan rasa kecewa.”

Demikian teman kita menceritakan pengalamannya, bahwa kantor-kantor kawin mut’ah di sana, sama dengan kantor tenaga kerja wanita di negeri-negeri kita. Pemilik kantor menyelesaikan surat-surat kontrak dan mengambil upah (komisi) dari transaksi tersebut. Kemudian perempuan yang telah dipilihnya boleh di­bawa pulang ke rumahnya, atau ke rumah perempuan itu, dan dapat juga dibawa ke tempat lain seperti ke hotel. Setelah jangka waktu habis sesuai dengan isi kontrak, keduanya boleh memper­panjang lagi kontraknya atau berpisah hanya sampai di situ setelah upah yang telah disepakati bersama dilunasi.

Saya menanyakan lebih lanjut kepada teman kita ini: “Bagai­mana pandangan orang-orang di sana terhadap kantor-kantor seperti itu dan praktek-praktek yang dilakukannya?”
Dia menjawab: “Mereka melihatnya dengan rasa jijik. Bahkan saya pernah minta pada seorang Persia, teman saya sendiri yang terhormat, supaya mengawinkan putrinya dengan saya secara mut’ah selama saya berada di Teheran, dia tersinggung mendengar maksud saya dan marah sekali akhirnya dia tidak mau kenal dengan saya lagi.”

Teman kita menambahkan lagi: “Mereka melaksanakan kawin mut’ah di sana seperti upacara perkawinan yang kita ke­tahui di sini, yaitu dengan ada ijab, qobul dan mahar. Perbedaan­nya hanya saja menyebutkan jangka waktunya sesuai dengan persetujuan kedua belah pihak.”

Kita bertanya lagi: “Apakah yang Anda ketahui mengenai nasib dan masa depan anak-anak yang lahir dari perkawinan se­perti itu?”

Jawabnya: “Anda mengadakan kontrak, dan biasanya anak-­anak yang lahir ikut bapaknya dan menyandang nama bapaknya dan menyandang nama keluarga (nasab 3 = nama famili) dari bapaknya baik bapaknya ada di tempat itu maupun tidak ada.

Kita menanyakan lebih lanjut: “Bagaimana mengenai hak-hak anak mereka setelah dilahirkan?”
Jawabnya: ‘Pada umumnya wanita yang dikawini itu meng­gunakan alat pencegah kehamilan… Saya tidak tahu sebenarnya apabila ternyata sampai hamil dan melahirkan, siapa yang menanggung biaya hidup anak itu?, saya kurang mendalami masalah itu.”

Kita tambahkan: “Pada umumnya anak-anak yang lahir dari perkawinan itu menjadi gelandangan. Apakah Anda telah mende­ngar mungkinkah pihak pemerintah bermaksud untuk menghapus­kan kantor-kantor seperti itu?

Jawabnya: “Kantor-kantor seperti itu adalah legal sesuai de­ngan madzhab mereka dan para Mullah di sana fanatik sekali de­ngan mut’ah tersebut. Pemerintah tidak mau bentrokan dengan mereka, itu menurut dugaan saya, sekalipun kantor-kantor ter­sebut mempunyai dampak yang negatif.

Teman kita itu pergi ke Teheran pada waktu dia masih ber­usia muda, sekarang dia sudah menginjak usia 70 tahun. Beliau seorang Profesor yang telah menulis tafsir Al-Qur’an dalam bahasa Persia, beliau selalu diminta bantuan untuk mendampingi kunjung­an delegasi resmi ke Iran dan dalam pembicaraan-pembicaraan resmi. Beliau telah menunjukkan dedikasinya sejak bertahun­tahun melakukan dakwah Islam . . . . Semoga Allah memberikan manfaat. [sumber: Buku Sejarah Dan Dokumen-dokumen Syiah, oleh al-Syeikh Dr Abdul Mun'iem al-Nemr, Mantan Menteri Wakaf Mesir].

Sumber:  http://www.islampos.com/
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: