Pesan Rahbar

Home » » FAKTA HAYALAN WAHABI SAJA PENYIMPANGAN SYIAH YANG TIDAK PAHAM KERANGKA KEILMUAN MAZHAB SYIAH

FAKTA HAYALAN WAHABI SAJA PENYIMPANGAN SYIAH YANG TIDAK PAHAM KERANGKA KEILMUAN MAZHAB SYIAH

Written By Unknown on Monday 7 July 2014 | 00:16:00

Penyimpangan Syiah dan Bahaya Syiah Cuma Halusinasi Ulama Dungu yang tidak paham kerangka keilmuan mazhab Syi’ah

Kata wahabi : “Tatkala kami membawakan fatwa ulama syiah, dan fatwa tersebut ada dalam kitabnya sendiri, para penganut syiah mengelak dan beralasan yang bla bla bla.”







Deklarasi anti-Syiah dari perwakilan ulama seluruh Indonesia dan MUI di Bandung

juru bicara komunitas Syiah Al-Muntazar, Abdi M. Soeherman mengatakan, Deklarasi Anti Syiah tidak layak digelar karena melanggar hukum, Undang-Undang Dasar 1945, serta nilai dan semangat Pancasila. Pernyataan anti-agama atau mazhab tertentu secara luas di hadapan publik merupakan pelanggaran hukum dalam pidana kebencian.
Wahai wahabi Belajarlah dari Iblis,ribuan tahun ibadahnya hangus hanya karena ia menolak bersujud pada Adam as.




Dulu ketika saya masih belum syiah, saya juga sama seperti anda, tapi ketika saya berkenalan dengan seorang syiah, sy menemukan kelembutan seperti kelembutan sentuhan suapan Rasulullah kepada yahudi yang menyumpahinya.
Adakah niatmu menulis ini utk mencari kebenaran ?
Tidak kah merasa aneh ribuan tahun sudah permusuhan sunni syiah ini namun Iran tetap dianggap negara islam ?????
Apakah bisa disebut sebagai sahabat Rasulullah orang-orang yang merampas wasiat Nabi, merampok warisannya, dan membunuh cucu-cucu yang paling beliau sayangi?







  1. Jika mereka berhujjah dengan riwayat dhaif [di sisi mazhab Syi’ah] yang mengandung kemungkaran kemudian mengatasnamakan kemungkaran tersebut atas nama Syi’ah maka orang Syi’ah pun bisa berhujjah dengan riwayat dhaif [di sisi mazhab Ahlus Sunnah] yang mengandung kemungkaran kemudian mengatasnamakan kemungkaran tersebut atas nama Ahlus Sunnah
  2. Jika mereka berhujjah dengan riwayat shahih [di sisi mazhab Syi’ah] yang mengandung sesuatu yang gharib untuk mencela mazhab Syi’ah maka orang Syi’ah pun bisa berhujjah dengan riwayat shahih [di sisi mazhab Ahlus Sunnah] yang mengadung sesuatu yang gharib untuk mencela mazhab Ahlus Sunnah
  3. Jika mereka berhujjah dengan qaul atau pendapat ulama yang menyimpang atau gharib dalam mazhab Syi’ah untuk merendahkan Syi’ah maka orang Syi’ah pun bisa berhujjah dengan qaul ulama ahlus sunnah yang menyimpang atau gharib untuk merendahkan mazhab Ahlus Sunnah.
Mereka para pendusta tersebut tidak akan pernah sadar bahwa dalam hal kerangka keilmuan mazhab Syi’ah sudah seperti mazhab Ahlus Sunnah. Syi’ah memiliki kitab-kitab rujukan sama seperti Ahlus Sunnah baik dalam hal ilmu hadis, ilmu rijal, ilmu fiqih, ilmu tafsir dan sebagainya. Syi’ah memiliki banyak ulama beserta kitab-kitab mereka sama seperti Ahlus Sunnah memiliki banyak ulama beserta kitab-kitab mereka. Baik ulama-ulama Syi’ah dan Ahlus Sunnah bukanlah orang-orang yang terbebas dari kesalahan.

Bisa saja diantara ulama Syi’ah dan Ahlus Sunnah terdapat ulama dengan pendapat yang menyimpang, ketidaktahuan akan dalil [dalam masalah tertentu], dan fanatisme terhadap mazhab. Apakah hal ini menjadi dasar untuk merendahkan mazhab Syi’ah dan mazhab Ahlus Sunnah?

Jawabannya jelas tidak, kalau para pendusta tersebut tidak paham akan hal ini maka menunjukkan bahwa mereka jahil dan bodoh tetapi jika mereka paham akan hal ini dan tetap melakukannya maka mereka kualitasnya tidak lebih dari pendusta dan penipu yang menghalalkan kedustaan demi membela mazhabnya dan merendahkan mazhab lain.

Syi’ah Adalah Ahlusunnah Yang Sesungguhnya.

Mengapa Syiah dipandang sebagai ajaran sesat?

jawaban :
Untuk menjelaskan masalah ini kiranya beberapa poin di bawah ini perlu mendapat perhatian:

1. Apabila yang Anda maksud dengan “Syiah” adalah kesalahan yang dilakukan oleh sebagian para pemeluk Syiah, penyandaran pelbagai kesalahan ini terhadap mazhab Syiah bukan merupakan sebuah tindakan yang fair. Karena sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah syair:
Islam pada dasarnya tidak memiliki cela,
Setiap cela sesungguhnya berasal dari penganutnya.

2. Apa yang menjadi kriteria dan bahan perbandingan Anda? Dengan apa Anda membandingkan Syiah sehingga Anda memahaminya bahwa ia telah mengalami kesesatan?
Dalam masalah ini, dudukkan Al-Qur’an dan Sunnah – qathi’ al-shudur – kemduian bandingkan mazhab-mazhab Islam dengan keduanya? Sehingga Anda dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa setiap mazhab yang sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah adalah mazhab yang benar dan selainnya mazhab yang batil.
Apabila Anda sandingkan dan bandingkan Syiah dengan al-Qur’an, tolong Anda sebutkan sisi akidah, hukum-hukum fikih, atau aturan-aturan moral Syiah yang tidak sejalan dengan al-Qur’an? Mengapa Anda pandang bahwa mazhab Syiah merupakan mazhab yang salah dan keliru yang sebenarnya semata-mata mengikuti jalan, akidah dan hukum-hukum Ahlulbait dengan lisan, hati dan perbuatannya?
Apabila dalam Syiah Anda saksikan terdapat sejenis pertentangan, kontradiksi dengan akidah dan aturan-aturan Ahlulbait As, tolong Anda sebutkan secara tepat dalam hal apa saja pertentangannya?
Ulama Syiah berkata: Kami tidak akan melintasi jalan yang berseberangan dengan Sunnah Rasulullah Saw; karena kebanyakan ayat dan riwayat yang disepakati oleh semua mazhab Islam dipahami bahwa:

1. Nabi Saw tidak dapat melepaskan begitu saja umat tanpa pengganti setelah wafatnya.
2. Pengganti dan khalifah Nabi Saw sesuai dengan bukti-bukti standar hanyalah Amirulmukminin As.
3. Bahkan non-Syiah (Ahlusunnah) tidak memiliki satu dalil pun yang menegaskan bahwa Nabi Saw mewasiatkan khilafah kepada selain Ali As. []

MUI: Syiah Bukan Aliran Sesat ! Provokasi sektarian dipicu salafi wahabi najad.

 “Ternyata masih terjadi provokasi anti Syiah di Bangil …”

Wawancara Andito—Majalah Syiardengan Prof.Dr. KH Umar Shihab.
Beberapa waktu lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengadakan siaran pers sehubungan dengan maraknya aliran sesat yang meresahkan umat Islam. Dalam catatan dikatakan bahwa MUI telah mengeluarkan sembilan fatwa mengenai aliran sesat, di antaranya Islam Jama’ah, Ahmadiyah, Inkar Sunnah, Komunitas Eden yang dipimpin Lia Aminuddin, shalat dua bahasa di Malang dan Al Qiyadah Al-Islamiyah, serta aliran sesat lainnya yang sifatnya lokal atau kedaerahan.

Dalam upaya mencari pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana MUI memandang aliran sesat, Redaksi SYIAR melakukan wawancara dengan Prof. DR. KH. Umar Shihab, Ketua MUI Pusat. Ditemui di rumahnya yang asri di bilangan Kelapa Gading, ulama asal Rapparang Sulsel ini memprihatinkan tentang kondisi kerukunan antar umat Islam di Indonesia.read more

MUI dan fatwa.

Syiar: Bagaimana proses keluarnya sebuah fatwa MUI?
Umar Shihab: Fatwa itu bisa keluar apabila disepakati oleh semua komisi fatwa, yang unsur-unsurnya terdiri dari ormas-ormas Islam dan perwakilan MUI, misalnya Muhammadiyah, Dewan Dakwah, Al-Irsyad, Tarbiyah Islamiyah, dll. Ini berlaku di seluruh Indonesia. HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) juga sudah masuk MUI, ini organisasi baru yang orang anggap “ekstrim”. Semua organisasi Muslim yang sudah dikenal di Indonesia kita rangkul dan bisa masuk MUI, termasuk Syiah/Ahlulbat, tidak perlu dilarang.
Syiar: Mungkinkah MUI daerah mengeluarkan fatwa yang berbeda atau bertentangan dengan fatwa MUI Pusat?
Umar Shihab: Tidak boleh ada fatwa daerah yang bertentangan dengan pusat. Fatwa MUI Pusat berlaku nasional, meliputi seluruh Indonesia. Fatwa daerah hanya khusus untuk masalah-masalah lokal. Misalnya fatwa tentang salat dengan menggunakan bahasa Indonesia, MUI daerah bikin fatwa kemudian diangkat ke tingkat pusat.
Syiar: Ada anggapan bahwa fatwa MUI lebih banyak mengurusi akidah atau keyakinan tapi tidak untuk masalah-masalah sosial.
Umar Shihab: Tidak benar. Kita juga membahas masalah-masalah yang mencuat dalam kehidupan masyarakat. Fatwa tentang korupsi sudah pernah ada, suap juga ada, pornografi juga ada.
Syiar: Mengapa tidak ada fatwa mati untuk koruptor?
Umar Shihab: Kita mempunyai komisi hukum dan perundang-undangan. Tapi MUI tidak pernah mengatakan menolak hukuman mati. Tidak pernah ada statement seperti itu. Karena kita tidak mau bertentangan dengan hukum al-Quran. Di dalam al-Quran itu ada qishash. Cuma kita tidak meminta supaya berlaku sepenuhnya. Kita lihat kondisi.
Syiar: Bagaimana hubungan antara MUI dan pemerintah?
Umar Shihab: Kita tidak mau berhadap-hadapan dengan pemerintah. Ini prinsip yang juga bagian dari dakwah kita. Ud’u ila sabili rabbika bil hikmah wal mauizatil hasanah. Kita dakwah dengan cara bijaksana. Kalau ada hal-hal yang tidak dilakukan oleh pemerintah, barulah kita tampil ke depan dan menyampaikan kepada pemerintah.
Misalnya saja RUU pengasuhan anak, rancangannya sudah hampir selesai tapi kita minta agar disesuaikan dengan aturan Islam. Contoh lain RUU pendidikan, sampai demonstrasi besar di kalangan umat Islam karena kita nilai hal itu bertentangan dengan ajaran Islam. Begitu juga dengan undang-undang pornografi dan pornoaksi.
Sayangnya, ada golongan umat Islam sendiri yang menolak. Ini yang kita sesalkan. Jangankan itu. Fatwa kita tentang sesatnya Al-Qiyadah Islamiyah yang menyatakan adanya nabi, masih saja ada orang Islam yang menyatakan bahwa itu tidak sesat, malah menuduh MUI yang sesat.
Fatwa aliran sesat.

Syiar:
Apa kriteria MUI tentang sesat atau tidaknya suatu ajaran?
Umar Shihab: Ada kerangkanya. Dia harus percaya bahwa Allah Swt itu Esa, Nabi Muhammad saw adalah rasul dan nabi terakhir, Al-Quran itu adalah kitab suci. Intinya yang ada di rukun Iman. Begitu juga dengan rukun Islam, adalah prinsip bahwa shalat itu lima kali sehari, puasa Ramadhan, haji ke baitullah. Kalau bertentangan dengan rukun iman dan Islam maka ia bisa dianggap sesat.
Kita anggap Lia Aminuddin sesat karena menganggap dirinya mendapat wahyu dari Jibril. Nah, masih banyak lagi kelompok yang sekarang masuk kajian MUI. Tapi kita tidak pernah anggap sesat masalah khilafiyah.
Syiar: Ada pihak yang menilai bahwa keyakinan tidak bisa diadili.
Umar Shihab: Keyakinan memang tidak mungkin diadili. Tapi yang mungkin diadili adalah orang-orangnya karena dia melakukan dan percaya pada suatu keyakinan yang bertentangan dengan ajaran agama.
Misalnya Ahmadiyah, kita anggap sesat karena dia meyakini adanya nabi setelah Nabi Muhammad. Tapi sampai sekarang prosesnya belum selesai karena mereka sudah terlanjur mendapatkan izin sebagai yayasan, sebagai organisasi.
Fatwa sesatnya Syiah.

Syiar: Bagaimanakah MUI menilai ajaran Syiah?
Umar Shihab: MUI tidak penah berbicara tentang mazhab. Bagi kami di MUI, masalah khilafiyah itu adalah suatu rahmat. Kita tidak mau kembali lagi ke masa lalu di mana perkelahian dan pembunuhan mudah terjadi hanya karena perbedaan mazhab.
Masalah mazhab tidak bisa di selesaikan. Biarlah Allah Swt yang mengadilinya. MUI tidak menganggap bahwa salah satu mazhab itu benar. Kita berdiri di semua pendapat bahwa semua mazhab itu benar. Begitu juga terhadap mazhab lain, mazhab Syiah misalnya. MUI berprinsip, bahwa kalau dunia Islam sudah mengakui Syiah sebagai mazhab yang benar, lalu kenapa MUI harus menolak?
Syiar: Pada Maret 1984 MUI pernah mengeluarkan fatwa yang isinya agar waspada terhadap ajaran Syiah.
Umar Shihab: Ya, itu pada tahun 84. Sekarang eranya sudah lain. Fatwa itu bisa berubah karena perubahan kondisi. Di Sunni sendiri juga ditetapkan seperti itu, bahwa fatwa bisa berubah karena perbedaan kondisi. Karena perbedaan tempat, Imam Syafii sendiri pernah mengubah fatwanya ketika beliau pindah ke Mesir dari Irak.
Begitu juga dengan beberapa fatwa lain di MUI. Saya bisa kasih contoh fatwa tentang aborsi. Semua aborsi itu dilarang. Islam tidak pernah membenarkan aborsi. Tapi, kemudian terjadi perubahan kondisi di mana terjadi kehamilan akibat perkosaan, sehingga aborsi pada kondisi tersebut dikecualikan.
Syiar: Dalam beberapa kasus, ulama daerah menisbahkan dirinya kepada fatwa MUI Pusat tahun 1984 atau fatwa ulama lain yang menyatakan Syiah itu sesat.
Umar Shihab: Sekali lagi, kita tidak pernah menyatakan Syiah itu sesat. Kita menganggap Syiah itu salah satu mazhab dalam Islam yang dianggap benar. Mengapa saya nyatakan demikian? Karena dunia Islam sendiri mengakui keabsahan mazhab ini. Apabila ia sesat, mustahil dan tidak boleh ia masuk ke Masjdil Haram. Kenapa mereka boleh masuk ke Masjidil Haram? Itu artinya orang Saudi sendiri mengakui bahwa mereka tidak sesat. Ia tetap Muslim, hanya saja mazhabnya berbeda dengan kita.
Kita harus membedakan dengan cermat antara istilah “sesat” dengan “beda”. Sesat itu bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Dan sesat itu perlu diperbaiki melalui dakwah yang benar. Apabila sekadar beda ya boleh-boleh saja. Yang sesat itu jelas beda. Tapi tidak semua yang beda itu sesat. Di dalam Sunni sendiri banyak perbedaan.
Di Indonesia ini banyak hal yang beda. Cara wudhu, posisi tangan saat salat, dll. Kenapa mesti dipersoalkan? Bahkan penentuan waktu 1 Syawal pun berbeda. Ini hal yang sangat berbeda. Yang berpuasa pada hari lebaran itu haram. Sedangkan pihak lain meyakini berlebaran pada hari puasa itu haram karena ia makan. Banyak hal yang beda di lapangan tapi kita tolerir. Ini semua masalah furuiyah.
Syiar: Dengan komposisi ormas Islam “ekstrem” dan “tidak toleran” di MUI, apakah fatwa yang dikeluarkan oleh MUI itu tidak bias sehingga terkesan tidak hati-hati? Di antara organisasi tersebut ada yang menggunakan kriteria sesat untuk menyerang kelompok lain yang sebenarnya tidak sesat.
Umar Shihab: Mereka tidak boleh memberi interpretasi sendiri. Interpretasi itu hanya dari MUI. Seperti kasus di Sumatra Barat, MUI setempat menyesatkan suatu organisasi. Kemudian mereka datang ke Jakarta untuk klarifikasi. Setelah kita kaji, kita ketahui bahwa sesatnya mereka karena beranggapan pergi haji itu tidak perlu ke Masjidil Haram bagi yang tidak mampu. Ada haji bagi orang miskin. Ini tidak ada dasarnya dalam agama. Setelah diklarifikasi, kita nyatakan bahwa pemahaman, pedoman dan pernyataan ini harus dibersihkan dari organisasi tersebut.
Syiar: Jadi bisa disimpulkan bahwa pandangan Islam yang komprehensif dan baik tidak merata di daerah sehingga mereka tidak bisa membedakan mana yang sesat dan mana yang beda. Bagaimana menyikapi hal ini?
Umar Shihab: Saya selalu jelaskan, termasuk dalam rakernas baru-baru ini. Kita tidak perlu mempermasalahkan khilafiyah karena tidak ada hakim yang bisa memutuskan yang mana yang benar. Kita serahkan kepada Allah di hari kemudian nanti. Kita kembali kepada prinsip bahwa bila mujtahid itu salah dapat pahala satu, kalau benar dapat pahala dua. Nah, kita ini bukan mujtahid. Tidak ada sama sekali.
Memang dalam rapat itu ada orang yang ingin mengatakan lebih terperinci supaya orang yang salatnya boleh tiga waktu itu sesat. Saya katakan itu bukan masalah prinsip karena dasarnya ada dalam Quran dan hadis. Janganlah bawa sejauh itu karena nanti efeknya lebih jauh lagi, mereka yang salatnya tangannya turun ke bawah itu sesat juga. Masalah khilafiyah tidak boleh membawa pada perpecahan.
MUI menganggap bahwa Syiah adalah mazhab yang benar sebagaimana yang diakui oleh Rabithah Alam Islamy dan itu diakui oleh Al-Azhar. Bukti konkretnya, jamaah haji Syiah boleh masuk ke Masjidil Haram. Kalau mereka memang sesat, seharusnya tidak boleh masuk.
Perbedaan mazhab tidak bisa diselesaikan karena masing-masing punya argumentasi yang semuanya benar. Yang penting mereka mengakui dan meyakini keesaan tuhan, kesucian dan keotentikan Al-Quran, dan Muhammad sebagai nabi terakhir.
Indonesia itu mayoritas Sunni Syafii. Tidak semua mazhab itu ada di Indonesia, tapi bukan berarti ia tidak diterima. Bila semua ini tidak bisa disikapi secara arif akan bisa bermasalah. Misalnya dalam haji. Wahabi tidak mau berpakaian ihram di Jeddah, tapi di Miqat. Kalau kita naik pesawat Saudia Airline diumumkan bahwa kita sekarang sudah ada di Miqat, niatlah dari sekarang. Jadi orang-orang ramai berganti pakaian.
Nah, paham Wahabi sekarang sudah masuk di indonesia. Tapi fatwa MUI mengatakan bahwa boleh berpakaian ihram di Jeddah. Fatwa MUI ini juga diakui di beberapa negara Islam. Tapi ada juga pihak lain yang tidak mau pakai fatwa MUI, ya silakan.
Wahabi sendiri barang baru di Indonesia. Kalau semua yang beda dianggap sesat, maka Wahabi pun bisa masuk kategori sesat. Berbahaya sekali kalau yang beda dianggap sesat. Kalau pemerintah sekarang berpaham Wahabi, maka bisa-bisa mazhab Syafii pun dianggap sesat. Yang dianggap sesat itu adalah berbeda dalam hal akidah dan syariah.
Syiar: Bagaimana menjembatani kesenjangan mazhab Sunnah dan Syiah dewasa ini?
Umar Shihab: Saya kira melalui pertemuan-pertemuan di antara kedua belah pihak. Dakwah yang dilakukan satu sama lain tidak boleh saling menyerang. Orang yang memaki-maki orang lain itu sudah salah.
Saya pernah ke Iran dan saya lihat hal-hal luar biasa di sana. Saya juga pernah pergi ke Najaf dan Karbala. Saya bertemu dengan ulama-ulama Syiah. Mereka salat sama seperti kita juga. Cuma beda di azan. Saya bertanya, mengapa Anda menambah azan dengan “hayya alal khairil amal”? Mereka menjawab, sama halnya seperti Anda, mengapa Sunni menambah azan dengan “ashalatu khairum minan naum”?
Mereka malah bertanya balik, mengapa Anda mau tarawih padahal Rasulullah tidak tarawih? Bukankah itu datang dari Sayyidina Umar? Mengapa Anda tidak mengikuti apa yang datang dan diajarkan oleh Sayyidina Ali? Saya tidak bisa berkata apa-apa.
Kita perlu cari pendekatan-pendekat an, yang penting jangan saling serang dan menyalahkan. Nah, orang yang tidak tahu masalah mazhab inilah yang saling menyalahkan. Dia tidak mau memahami mazhab orang lain. Kita tidak sedang bicara politik. Yang terjadi di Irak itu bukan masalah mazhab, tapi politik. Ada kekuatan eksternal yang mempengaruhi konflik antar mazhab tersebut.
Kita di Indonesia tidak perlu terjadi seperti itu. Silakan kalau Anda mau jadi Syiah. Kenapa kita tidak lihat (konflik) di Saudi Arabia, di Makkah misalnya. Orang salat dengan beragam cara tidak dipersoalkan. Kenapa ada orang salat di hotel mengikuti kiblat masjidil haram? Apakah ada yang mempersoalkan? Kita harus bersatu. Kalau sesama Muslim gontok-gontokan, orang luar akan tertawa.
Kekerasan terhadap Syiah.

Syiar: Apakah tindakan kekerasan yang dilakukan masyarakat terhadap komunitas Syiah di daerah-daerah bisa dibenarkan karena mereka mengklaim ikut fatwa MUI?
Umar Shihab: Tidak pernah bisa dibenarkan. Semua tindak kekerasan tidak pernah bisa ditolerir. Jangankan terhadap Syiah, terhadap aliran sesat pun kita tidak pernah tolerir tindak kekerasan.
MUI tidak pernah mentolerir aksi-aksi kekerasan seperti itu. Aliran sesat pun tidak pernah ditolerir untuk dirusak. Apalagi yang masih tidak sesat. Pelacuran saja, yang jelas-jelas tempat maksiat, kita tidak pernah mengatakan setuju untuk main hakim sendiri. Ini negara hukum, semua harus melalui proses hukum. Jadi kalau ada orang yang mau merusak rumah, masjid dan pesantren orang lain, itu bertentangan dengan undang-undang. Beritahukanlah polisi.
Syiar: Dalam beberapa kasus, MUI daerah pernah mengeluarkan surat pernyataan yang negatif tentang Syiah..
Umar Shihab: Itu keliru. Sangat keliru. Kita bisa tegur mereka kalau kedapatan mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan fatwa MUI Pusat. Tapi memang hal ini (surat pernyataan/edaran MUI daerah) susah dipantau. Kalau MUI provinsi di tingkat satu mungkin bisa dipantau. Tapi sulit kalau sudah di bawah. Kalau ada data-data itu, tolong kasih saya.
Syiar: Kenyataannya ada ulama daerah yang meminta pembubaran Syiah dan pengusiran orang-orang Syiah atas nama MUI.
Umar Shihab: Tidak pernah. Itu adalah aktivitas personal yang tidak pernah kita tolerir dan tidak pernah kita benarkan. Aksi kekerasan itu karena kebodohan, fanatisme buta. Sebenarnya kita tidak ingin ada clash antara Sunni dan Syiah. Kita ingin damai, tidak ingin ada kekerasan.
Ketika tempo hari ada penyerangan atas komunitas Syiah di Bangil, saya sendiri langsung telpon kapolda dan kapolres supaya segera diambil tindakan, karena sesungguhnya MUI tidak pernah mentolerir adanya pengrusakan. Kapolri Jendral Sutanto pun mengatakan tidak boleh adanya pengrusakan. Anda bisa lihat sendiri di televisi bagaimana pernyataan saya.
Syiar: Sekarang ini ada oknum mengatasnamakan Ahlusunah yang memprovokasi umat Islam di daerah-daerah untuk membenci Syiah. Mereka juga menuding orang-orang yang moderat dan berpandangan objektif juga sebagai Syiah. Bagaimana mengantisipasi konflik horizontal antar mazhab di Indonesia?
Umar Shihab: Prinsip Islam itu satu. Janganlah kita ini gontok-gontokan. Orang yang melakukan provokasi itu bodoh, tidak tahu hakikat Islam. Kita akan minta kesadaran semua orang yang memprovokasi dan memecah belah umat bahwa pekerjaannya itu salah. Tindakan-tindakanny a tidak pernah dibenarkan dalam Islam. Tolong ini dicatat.
Sikap kita kepada mereka hendaknya mengikuti sikap Nabi Muhammad tatkala dilempari batu oleh penduduk Thaif. Saat malaikat menyediakan diri menghukum mereka, Nabi malah mendoakan mereka dengan dalih bahwa mereka berbuat demikian karena tidak tahu.
Ada skenario besar yang ingin menghancurkan, bukan hanya umat Islam, tapi kesatuan bangsa Indonesia. Karena apabila umat Islam terpecah, otomatis bangsa Indonesia juga terpecah. Mereka sulit menyerang Islam dengan memakai agama-agama lain. Maka digunakanlah orang-orang Islam sendiri.
Haji Indonesia dan Syiah di Makkah.

Syiar: Kuota jamaah haji tahun 2007 untuk Indonesia adalah 210 ribu orang, naik 5% dari tahun 2006 yang hanya 200 ribu jamaah. Namun masih banyak calon jamaah haji yang tidak terangkut dan kini masuk dalam waiting list. Bagaimana menjelaskan fenomena ini?
Umar Shihab: Ada tiga kemungkinan. Pertama, banyaknya orang yang ingin menunaikan ibadah haji adalah suatu indikasi bahwa kesadaran orang terhadap ajaran agama lebih baik dari masa-masa yang lalu. Kemungkinan kedua, ekonomi umat Islam Indonesia sudah lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.
Kemungkinan ketiga, orang-orang Islam yang ingin berwisata atau jalan-jalan keluar negeri kini mengalihkan tujuan wisata, tidak lagi ke Eropa atau negara-negara lain, melainkan ke Makkah dan Madinah. Mereka berpikir, daripada ke Eropa lebih baik naik haji atau umrah. Niatnya sudah tidak murni ibadah lagi. Kemungkinan ketiga ini yang sangat disayangkan. Tapi, dari semua kemungkinan tersebut, motif yang paling banyak dan dominan adalah berangkat haji atas dasar ibadah.
Syiar: Jamaah haji di Indonesia terbesar di dunia tapi budaya korupsi marak di mana-mana. Bagaimana menyikapi hal ini?
Umar Shihab: Tidak usah dihubung-hubungkan. Saya tidak setuju.
Syiar: Ada pendapat yang menyatakan bahwa tempat-tempat suci umat Islam perlu diinternasionalisas i sehingga dana yang luar biasa besar jumlahnya tersebut dapat dioptimalkan untuk kesejahteraan dan pemberdayaan umat Islam di seluruh dunia.
Umar Shihab: Sebenarnya gagasan itu bisa dilihat dari dua sisi. Sisi pertama, bahwa tujuannya untuk mendapatkan imbalan dari umat Islam. Dana terkumpul yang begitu besar bisa dimanfaatkan untuk kepentingan umat Islam. Di sisi lain, kita punya aturan-aturan internasional yang membuat ide internasionalisasi Makkah dan Madinah itu menjadi mustahil. Karena kedua tempat itu masuk wilayah Saudi Arabia, jadi dilema.
Menurut saya, kita biarkan saja seperti sekarang, tidak harus diinternasionalisas i. Apalagi salah satu gelar raja-raja di Saudi itu adalah khadim al-haramain, penjaga wilayah kedua tanah Haram. Kita hanya mengharap bahwa pengaturan haji itu setiap tahun lebih ditingkatkan. Kalau memang sudah baik, kenapa kita harus buat satu aturan baru (internasionalisasi itu). Yang penting jangan ada halangan entah itu terkait unsur politik atau mazhab sehingga setiap orang bisa pergi ke sana. Alhamdulillah, sampai sekarang tidak ada masalah.
Syiar: Artinya, haji itu berlaku untuk semua umat Islam dari mazhab manapun, termasuk juga mazhab yang berbeda dengan mazhab pemerintah Saudi sendiri?
Umar Shihab: Pokoknya semua mazhab tanpa kecuali. Pemerintah Saudi bisa jadi menggunakan mazhab dari sebagian ajaran Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad atau Imam Malik. Tapi tetap saja mereka yang tidak bermazhab bebas masuk ke Makkah dan Madinah. Alhamdulillah, itu kenyataan hingga sekarang. Mazhab Syiah juga bebas masuk ke Saudi Arabia dan tidak dilarang.
Setiap saya berangkat ke sana, saya melihat banyak orang Syiah. Kadang-kadang, mereka malah diberikan tempat yang lebih istimewa. Misalnya, dalam fikih Syiah dikatakan bahwa kalau orang berihram itu tidak boleh tutup kepala. Sehingga ada juga mobil yang disiapkan tanpa penutup atau atap. Ini sekadar bukti bahwa pemerintah Saudi juga memberikan kesempatan kepada orang-orang yang bermazhab selainnya.
Biodata:
  • Prof. DR. KH. Umar Shihab lahir di Rapparang, Sulsel, pada 2 Juli 1939.
  • Beliau menamatkan S1 di IAIN Alaudin Makassar (1966), S2 di Universitas Al-Azhar Kairo (1968), dan S3 Universitas Hasanuddin dalam Studi Hukum Islam (1988).
  • Banyak jabatan organisasi yang dilakoninya, antara lain: Ketua PII (Pelajar Islam Indonesia) Sulsel, HMI Cabang Makassar, Dewan Mahasiswa UMI Makassar, Dewan Mahasiswa IAIN Alauddin.
  • Selain itu, dia juga banyak mengemban jabatan akademik, antara lain: Wakil dekan IAIN, Dekan di UMI, anggota DPRD Propinsi Sulsel, anggota MPR-RI, Ketua MUI Sulsel, dan kini Ketua MUI Pusat.
  • Karya ilmiah yang dipublikasikan, antara lain: “Al-Quran dan Rekayasa Sosial”, “Transformasi Pemikiran dalam Hukum Islam”, “Elastisitas Hukum Islam“, “Kontekstualitas Al-Quran”, dan lain-lain.

 Sumber: http://syiahali.wordpress.com/

Shahih Riwayat Syi’ah : Pengakuan Keislaman Ahlus Sunnah.

Salah satu propaganda para Pembenci Syi’ah untuk merendahkan mazhab Syi’ah adalah mereka menuduh bahwa Syi’ah telah mengkafirkan Ahlus sunnah. Kami tidak menafikan bahwa ada sebagian ulama Syi’ah yang bersikap berlebihan dalam perkara ini [terutama dari kalangan akhbariyun] menyatakan baik itu dengan isyarat atau dengan jelas mengindikasikan kekafiran ahlus sunnah. Tetapi terdapat juga sebagian ulama Syi’ah yang justru menegaskan keislaman Ahlus sunnah dan tidak menyatakan kafir.

Perkara ini sama hal-nya dengan sebagian ulama ahlus sunnah yang mengkafirkan Syi’ah baik itu secara isyarat ataupun dengan jelas dan memang terdapat pula sebagian ulama ahlus sunnah yang tetap mengakui Syi’ah walaupun menyimpang tetap Islam bukan kafir. Kebenarannya adalah baik Ahlus Sunnah dan Syi’ah keduanya adalah Islam. Silakan mazhab yang satu merendahkan atau menyatakan mazhab yang lain sesat tetapi hal itu tidak mengeluarkan salah satu mereka dari Islam. 
.
Riwayat Pengakuan Keislaman Ahlus Sunah.

Berikut adalah riwayat-riwayat Syi’ah yang menunjukkan pengakuan akan keislaman Ahlus sunnah. Kami cukupkan pada riwayat-riwayat yang kedudukannya shahih dan muwattsaq berdasarkan ilmu hadis Syi’ah, walaupun sebenarnya cukup banyak riwayat yang dhaif dari segi sanad yang membuktikan keislaman ahlus sunnah. Sengaja riwayat tersebut tidak kami nukilkan karena riwayat shahih dalam mazhab Syi’ah lebih baik kedudukannya sebagai hujjah.
.
Riwayat Pertama:

أبي (ره) قال حدثنا سعد بن عبد الله عن يعقوب بن يزيد عن محمد ابن أبي عمير عن محمد بن حمران عن أبي عبد الله عليه السلام قال من قال لا إله إلا الله مخلصا دخل الجنة وإخلاصه بها ان يحجزه لا إله إلا الله عما حرم الله

Ayahku [rahimahullah] mengatakan telah menceritakan kepada kami Sa’d bin ‘Abdullah dari Ya’qub bin Yaziid dari Muhammad Ibnu Abi Umair dari Muhammad bin Hamraan dari Abi ‘Abdullah [‘alaihis salaam] yang berkata barang siapa mengatakan “laa ilaaha illallah dengan ikhlas maka ia masuk surga dan ikhlas dengannya adalah ia menjaga laa ilaaha illaallah dari perkara yang diharamkan Allah” [Tsawab Al A’maal Syaikh Ash Shaaduq hal 24 no 1].

Riwayat ini sanadnya shahih sesuai standar ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan para perawinya.
  1. Aliy bin Husain bin Musa bin Babawaih Al Qummiy Ayah Syaikh Ash Shaaduq adalah Syaikh di Qum terdahulu faqih dan tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 261 no 684].
  2. Sa’d bin ‘Abdullah Al Qummiy seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 135].
  3. Yaqub bin Yaziid bin Hamaad seorang yang tsiqat shaduq [Rijal An Najasyiy hal 450 no 1215].
  4. Muhammad bin Abi Umair, ia termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah] maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218].
  5. Muhammad bin Hamraan An Nahdiy seorang yang tsiqat termasuk yang meriwayatkan dari Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] [Rijal An Najasyiy hal 359 no 965].
Riwayat serupa ini juga terdapat dalam kitab ahlus sunnah dan menjadi dalil bahwa syahadat adalah pintu yang membedakan antara seorang muslim dengan nonmuslim dan akan memasukkan seseorang ke dalam surga.
.
Riwayat Kedua:

حدثني أبي رضي الله عنه قال: حدثنا سعد بن عبد الله عن إبراهيم بن هاشم، عن محمد بن أبي عمير، عن جعفر بن عثمان، عن أبي بصير قال: كنت عند أبي جعفر عليه السلام فقال له رجل: أصلحك الله إن بالكوفة قوما يقولون مقالة ينسبونها إليك فقال: وماهي؟ قال: يقولون: الايمان غير الاسلام، فقال أبوجعفر عليه السلام: نعم، فقال الرجل: صفه لي قال: من شهد أن لاإله إلا الله وأن محمدا رسول الله صلى الله عليه وآله وأقر بما جاء من عند الله وأقام الصلاة وآتى الزكاة وصام شهر رمضان وحج البيت فهو مسلم، قلت: فالايمان؟ قال: من شهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وأقر بما جاء من عند الله وأقام الصلاة وآتى الزكاة وصام شهر رمضان وحج البيت ولم يلق الله بذنب أو عد عليه النار فهو مؤمن قال أبو بصير: جعلت فداك، وأينا لم يلق الله بذنب أو عد عليه النار؟ فقال: ليس هو حيث تذهب إنما هو لم يلق الله بذنب أو عد عليه النار ولم يتب منه

Telah menceritakan kepadaku Ayahku [radiallahu ‘anhu] yang berkata telah menceritakan kepada kami Sa’d bin ‘Abdullah dari Ibrahim bin Haasyim dari Muhammad bin Abi Umair dari Ja’far bin ‘Utsman dari Abi Bashiir yang berkata aku berada di sisi Abu Ja’far [‘alaihis salaam] maka seorang laki-laki berkata kepadanya “semoga Allah memberikan kebaikan kepadamu, sesungguhnya di Kufah terdapat kaum yang mengatakan sesuatu dengan menisbatkan kepadamu?. Beliau berkata “apa itu?”. Orang tersebut berkata “mereka mengatakan bahwa Iman bukanlah Islam”. Abu Ja’far [‘alaihis salaam] berkata “benar”. Orang tersebut berkata “jelaskan kepadaku”. Beliau berkata “barang siapa yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad adalah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wa alihi], dan meyakini apa yang datang dari sisi Allah, menunaikan shalat, memberikan zakat, puasa di bulan Ramadhan, haji ke baitullah maka ia adalah Muslim. Aku berkata “maka Iman?”. Beliau berkata “barang siapa yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad adalah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wa alihi], dan meyakini apa yang datang dari sisi Allah, menunaikan shalat, memberikan zakat, puasa di bulan Ramadhan, haji ke baitullah dan tidak menghadap Allah dengan dosa yang dapat memasukkannya ke neraka maka ia adalah Mu’min. Abu Bashiir berkata “aku menjadi tebusanmu, siapakah diantara kita yang tidak menghadap Allah dengan dosa yang dapat memasukkannya ke neraka?. Maka Beliau berkata “itu bukan seperti yang kau pikirkan, sesungguhnya yang dimaksud hanyalah ia tidak menghadap Allah dengan dosa yang dapat memasukkannya ke neraka dimana ia tidak bertaubat dari dosa tersebut” [Al Khisaal Syaikh Shaaduq 2/411 no 14].

Riwayat Syaikh Shaaduq di atas sanadnya shahih sesuai standar ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan para perawinya.
  1. Aliy bin Husain bin Musa bin Babawaih Al Qummiy Ayah Syaikh Ash Shaaduq adalah Syaikh di Qum terdahulu faqih dan tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 261 no 684].
  2. Sa’d bin ‘Abdullah Al Qummiy seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 135].
  3. Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222].
  4. Muhammad bin Abi Umair, ia termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah] maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218].
  5. Ja’far bin Utsman sahabat Abu Bashiir adalah seorang yang tsiqat [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 108].
  6. Abu Bashiir Al Asdiy yaitu Yahya bin Qaasim ia meriwayatkan dari Abu Ja’far [‘alaihis salaam] dan Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam], ia seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 441 no 1187].
.
Riwayat Ketiga:

محمد بن يحيى عن أحمد بن محمد عن الحسن بن محبوب عن جميل بن صالح عن سماعة قال قلت لأبي عبد الله (عليه السلام) أخبرني عن الاسلام والايمان أهما مختلفان؟ فقال إن الايمان يشارك الاسلام والاسلام لا يشارك الايمان فقلت فصفهما لي فقال الاسلام شهادة أن لا إله إلا الله والتصديق برسول الله (صلى الله عليه وآله) به حقنت الدماء وعليه جرت المناكح والمواريث وعلى ظاهره جماعة الناس، والايمان الهدى وما يثبت في القلوب من صفة الاسلام وما ظهر من العمل به والايمان أرفع من الاسلام بدرجة إن الايمان يشارك الاسلام في الظاهر والاسلام لا يشارك الايمان في الباطن وإن اجتمعا في القول والصفة

Muhammad bin Yahya dari Ahmad bin Muhammad dari Hasan bin Mahbuub dari Jamiil bin Shalih dari Sama’ah yang berkata aku berkata kepada Abi Abdullah [‘alaihis salaam] “kabarkanlah kepadaku tentang islam dan iman apakah keduanya berbeda?. Maka Beliau berkata “sesungguhnya iman mencakup islam dan islam belum mencakup iman”. Aku berkata “jelaskanlah keduanya kepadaku”. Maka Beliau berkata “Islam adalah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan membenarkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wa alihi], dengannya darah terlindungi, dan karenanya bisa terjadi pernikahan dan pewarisan, dan itulah yang nampak pada jama’ah manusia. Sedangkan Iman adalah petunjuk, apa yang ada di dalam hati dari yang disifatkan islam dan apa yang nampak dari amal perbuatan dengannya, iman lebih tinggi derajatnya dari islam, iman mencakup islam dalam zahir dan islam belum mencakup iman dalam bathin dan sesungguhnya keduanya bergabung dalam perkataan dan sifat [Al Kafiy Al Kulainiy 2/19 no 1].

Riwayat Al Kulainiy di atas sanadnya muwatstsaq sesuai standar ilmu Rijal Syi’ah, para perawinya tsiqat hanya saja Sama’ah bin Mihraan disebutkan ia bermazhab waqifiy, berikut keterangan para perawinya
  1. Muhammad bin Yahya Al Aththaar seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 353 no 946].
  2. Ahmad bin Muhammad bin Iisa seorang yang tsiqat [Mu’jam Rijal Al Hadits Sayyid Al Khu’iy 3/85 no 902].
  3. Hasan bin Mahbuub seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 354].
  4. Jamil bin Shalih Al Asadiy seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 127 no 329].
  5. Sama’ah bin Mihraan seorang yang tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 193 no 517]. Disebutkan bahwa ia bermazhab waqifiy [Rijal Ath Thuusiy hal 337].
.
Riwayat Keempat:

عدة من أصحابنا، عن سهل بن زياد; ومحمد بن يحيى، عن أحمد بن محمد جميعا، عن ابن محبوب، عن علي بن رئاب، عن حمران بن أعين، عن أبي جعفر (عليه السلام) قال: سمعته يقول: الايمان ما استقر في القلب وأفضى به إلى الله عز وجل وصدقه العمل بالطاعة لله والتسليم لامره والاسلام ما ظهر من قول أو فعل وهو الذي عليه جماعة الناس من الفرق كلها وبه حقنت الدماء وعليه جرت المواريث وجاز النكاح واجتمعوا على الصلاة والزكاة والصوم والحج، فخرجوا بذلك من الكفر وأضيفوا إلى الايمان،

Sekelompok sahabat kami dari Sahl bin Ziyaad, dan Muhammad bin Yahya dari Ahmad bin Muhammad, keduanya [Sahl bin Ziyaad dan Ahmad bin Muhammad] dari Ibnu Mahbuub dari Aliy bin Ri’ab dari Hamran bin ‘A’yan dari Abu Ja’far [‘alaihis salaam], [Hamraan] berkata aku mendengarnya mengatakan Iman adalah apa yang ada di dalam hati dan menuju kepada Allah ‘azzawajalla dan dibenarkan dengan amal taat kepada Allah dan berserah diri pada perintahnya, sedangkan Islam adalah apa yang nampak dari perkataan dan perbuatan, ia yang dianut oleh jama’ah manusia dari semua Firqah [golongan], dan dengannya darah terlindungi dan karenanya berlangsung pewarisan dan bolehnya pernikahan, dan bergabung dengan shalat, zakat, puasa dan haji maka dengan semua itu mereka keluar dari kekafiran dan dimasukkan kedalam iman…[Al Kafiy Al Kulainiy 2/20 no 5].

Riwayat Al Kulainiy di atas sanadnya shahih sesuai standar ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan para perawinya.
  1. Muhammad bin Yahya Al Aththaar seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 353 no 946].
  2. Ahmad bin Muhammad bin Iisa seorang yang tsiqat [Mu’jam Rijal Al Hadits Sayyid Al Khu’iy 3/85 no 902].
  3. Hasan bin Mahbuub seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 354].
  4. Aliy bin Ri’aab Al Kuufiy seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 151].
  5. Hamraan bin ‘A’yun ia dikatakan hawaariy Imam Abu Ja’far Al Baqir [‘alaihis salaam], ia seorang yang tsiqat [Al Fa’iq Fii Ruwah Wa Ashabul Imam Shadiq 1/475-476 no 975]. Ia termasuk diantara Syaikh-syaikh Syi’ah yang agung dan memiliki keutamaan yang tidak diragukan tentang mereka [Risalah Fii Alu A’yun Syaikh Abu Ghalib hal 2].
.
Riwayat Kelima:

علي، عن أبيه، عن ابن أبي عمير، عن جميل بن دراج، عن فضيل بن يسار قال: سمعت أبا عبد الله (عليه السلام) يقول: إن الايمان يشارك الاسلام ولا يشاركه الاسلام، إن الايمان ما وقر في القلوب والاسلام ما عليه المناكح والمواريث و حقن الدماء، والايمان يشرك الاسلام والاسلام لا يشرك الايمان

Aliy dari Ayahnya dari Ibnu Abi ‘Umair dari Jamiil bin Daraaj dari Fudhail bin Yasaar yang berkata aku mendengar Aba ‘Abdullah [‘alaihis salaam] mengatakan sesungguhnya Iman mencakup Islam dan Islam belum mencakup Iman, Iman adalah apa yang diyakini di dalam hati dan Islam apa yang diatasnya berlaku pernikahan, pewarisan dan terlindung darahnya, Iman mencakup Islam dan Islam belum mencakup Iman [Al Kafiy Al Kulainiy 2/26 no 3].

Riwayat di atas sanadnya shahih berdasarkan standar Ilmu Rijal Syi’ah berikut keterangan mengenai para perawinya.
  1. Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680].
  2. Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222].
  3. Muhammad bin Abi Umair, ia termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah] maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218].
  4. Jamil bin Daraaj, ia termasuk orang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 126 no 328].
  5. Fudhail bin Yasaar An Nahdiy seorang yang tsiqat meriwayatkan dari Abu Ja’far dan Abu ‘Abdullah [Rijal An Najasyiy hal 309 no 846].
Matan riwayat menunjukkan bahwa Islam di dalamnya berlaku bolehnya pernikahan, pewarisan dan terjaga darahnya. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa dibolehkan menikahi orang yang tidak meyakini perkara Wilayah.

علي بن إبراهيم، عن أبيه، عن ابن أبي عمير، عن جميل بن دراج، عن زرارة قال: قلت لأبي جعفر (عليه السلام) إني أخشى أن لا يحل لي أن أتزوج من لم يكن على أمري فقال: ما يمنعك من البله من النساء؟ قلت: وما البله؟ قال: هن المستضعفات من اللاتي لا ينصبن ولا يعرفن ما أنتم عليه

Aliy bin Ibrahim dari Ayahnya dari Ibnu Abi Umair dari Jamiil bin Daraaj dari Zurarah yang berkata aku berkata kepada Abu Ja’far [‘alaihis salaam] aku khawatir tidak dihalalkan bagiku menikahi wanita yang tidak berdiri di atas urusanku [wilayah]. Maka Beliau berkata “apa yang mencegahmu dari wanita al balah?”.Aku berkata “apa itu al balah?” Beliau berkata “mereka adalah kaum yang lemah tidak melakukan nashb dan tidak pula mereka mengenal apa yang engkau berada di atasnya [wilayah]” [Al Kafiy Al Kulainiy 5/349 no 7].

Riwayat di atas sanadnya shahih berdasarkan standar Ilmu Rijal Syi’ah berikut keterangan mengenai para perawinya.
  1. Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680].
  2. Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222].
  3. Muhammad bin Abi Umair, ia termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah] maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218].
  4. Jamil bin Daraaj, ia termasuk orang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 126 no 328].
  5. Zurarah bin A’yun Asy Syaibaniy seorang yang tsiqat, meriwayatkan dari Abu Ja’far dan Abu Abdullah [Rijal Ath Thuusiy hal 337].
Hadis di atas menjadi bukti bahwa mereka yang tidak mengenal Imamah juga merupakan seorang Muslim menurut hadis shahih riwayat Ahlul Bait dalam mazhab Syi’ah. Dibolehkannya menikahi wanita yang tidak meyakini Imamah menunjukkan bahwa mereka masih tergolong ke dalam Islam.
.
Riwayat Yang Dijadikan Hujjah Dalam Mengkafirkan Ahlus Sunnah.
 
Sebagian nashibiy mengutip berbagai riwayat dalam kitab mazhab Syi’ah yang menurut mereka mengkafirkan ahlus sunnah, berikut riwayat yang dimaksud.

Riwayat Pertama

أبو علي الأشعري، عن الحسن بن علي الكوفي، عن عباس بن عامر، عن أبان بن عثمان، عن فضيل بن يسار، عن أبي جعفر (عليه السلام) قال: بني الاسلام على خمس: على الصلاة والزكاة والصوم والحج والولاية ولم يناد بشئ كما نودي بالولاية، فأخذ الناس بأربع وتركوا هذه يعني الولاية

Abu ‘Aliy Al ‘Asyariy dari Hasan bin Aliy Al Kuufiy dari ‘Abbas bin ‘Aamir dari Aban bin ‘Utsman dari Fudhail bin Yasaar dari Abu Ja’far [‘alaihis salaam] yang berkata rukun islam itu ada lima yaitu shalat, zakat, puasa, haji dan wilayah, dan tidak diserukan sesuatu seperti diserukan tentang wilayah maka orang-orang mengambil yang empat dan meninggalkan yang ini yaitu wilayah [Al Kafiiy Al Kulainiy 2/18 no 3].

Riwayat di atas sanadnya muwatstsaq berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan mengenai para perawinya.
  1. Abu ‘Aliy Al Asy’ariy adalah Ahmad bin Idris bin Ahmad adalah seorang tsiqat faqih banyak meriwayatkan hadis, shahih riwayatnya [Rijal An Najasyiy hal 92 no 228].
  2. Hasan bin Aliy Al Kuufiy adalah Hasan bin Aliy bin ‘Abdullah bin Mughiirah Al Bajalliy seorang yang tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy 62 no 147].
  3. ‘Abbaas bin ‘Aamir bin Rabah, Abu Fadhl Ats Tsaqafiy seorang syaikh shaduq tsiqat banyak meriwayatkan hadis [Rijal An Najasyiy hal 281 no 744].
  4. Abaan bin ‘Utsman Al Ahmar, Al Hilliy menukil dari Al Kasyiy bahwa terdapat ijma’ menshahihkan apa yang shahih dari Aban bin ‘Utsman, dan Al Hilliy berkata “di sisiku riwayatnya diterima dan ia jelek mazhabnya” [Khulashah Al ‘Aqwaal Allamah Al Hilliy hal 74 no 3].
  5. Fudhail bin Yasaar An Nahdiy seorang yang tsiqat meriwayatkan dari Abu Ja’far dan Abu ‘Abdullah [Rijal An Najasyiy hal 309 no 846].
Riwayat di atas muwatstaq karena Aban bin ‘Utsman yang kendati mendapat predikat ta’dil ia seorang yang mazhabnya menyimpang. Riwayat ini juga dikuatkan oleh riwayat shahih lainnya yang menyebutkan bahwa wilayah termasuk rukun islam dalam mazhab Syi’ah yaitu riwayat Zurarah sebagaimana yang disebutkan dalam Al Kafiy dengan riwayat yang panjang [Al Kaafiy Al Kulainiy 2/18-19 no 5]. Dan dalam riwayat Zurarah setelah menyebutkan kelima rukun Islam [termasuk wilayah] maka terdapat tambahan bahwa mereka yang tidak mengenal Wilayah tidak berhak atas pahala amal perbuatannya dan bukan termasuk ahlul iman.

Disini kami hanya akan menampilkan ringkasan riwayat tersebut sebagaimana dinukil Syaikh Al Hurr Al Amiliy dalam kitabnya Wasa’il Syi’ah.

وعن علي بن إبراهيم، عن أبيه، وعبد الله بن الصلت جميعا، عن حماد بن عيسى، عن حريز، عن زرارة، عن أبي جعفر (عليهالسلام) – في حديث في الإمامة – قال: أما لو أن رجلا قام ليله وصام نهاره وتصدق بجميع ماله وحج جميع دهره ولم يعرف ولاية ولي الله فيواليه ويكون جميع أعماله بدلالته إليه ما كان له على الله حق في ثوابه ولا كان من أهل الايمان

Dan dari Aliy Ibrahim dari Ayahnya dan ‘Abdullah bin Ash Shalt keduanya dari Hammaad bin Iisa dari Hariiz dari Zuraarah dari Abi Ja’far [‘alaihis salaam] hadis tentang Imamah, Beliau berkata “adapun seandainya seseorang menegakkan shalat di waktu malam, puasa di waktu siang, bersedekah dengan seluruh hartanya, haji dengan seluruh umurnya tetapi ia tidak mengenal wilayah waliy Allah, berwala’ kepadanya, dan menjadikan seluruh amalnya atas petunjuknya maka ia tidak berhak atas Allah tentang pahala amalnya dan bukanlah ia termasuk ahlul Iman [Wasa’il Syi’ah Syaikh Al Hurr Al Aamiliy 27/65-66].

Riwayat di atas sanadnya shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan mengenai para perawinya.
  1. Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680].
  2. Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222].
  3. ‘Abdullah bin Ash Shalt Abu Thalib Al Qummiy seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 217 no 564].
  4. Hammad bin Iisa Abu Muhammad Al Juhaniy ia seorang yang tsiqat dalam hadisnya shaduq [Rijal An Najasyiy hal 142 no 370].
  5. Hariiz bin ‘Abdullah As Sijistaniy seorang penduduk Kufah yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 118].
  6. Zurarah bin A’yun Asy Syaibaniy seorang yang tsiqat, meriwayatkan dari Abu Ja’far dan Abu Abdullah [Rijal Ath Thuusiy hal 337].
Mengenai lafaz “tidak berhak atas pahala dan bukan termasuk ahlul iman” maka lafaz ini tidak menyatakan kekafiran bagi mereka yang tidak meyakini Wilayah. Tidak diragukan bahwa dalam mazhab Syi’ah, Wilayah termasuk rukun Islam tetapi riwayat-riwayat sebelumnya telah membuktikan bahwa mazhab lain yang menyimpang dari Syi’ah termasuk ahlus sunnah masih masuk dalam batasan Islam walaupun dikatakan dalam mazhab Syi’ah bahwa mereka adalah muslim yang tersesat bukan tergolong mukmin dan bukan pula kafir. Dan ma’ruf dalam mazhab Syi’ah bahwa mereka membedakan terminologi muslim dan mu’min.

علي بن إبراهيم، عن أبيه، عن ابن محبوب، عن ابن رئاب، عن أبي عبد الله (عليه السلام) قال: إنا لا نعد الرجل مؤمنا حتى يكون بجميع أمرنا متبعا مريدا، ألا وإن من اتباع أمرنا وإرادته الورع، فتزينوا به، يرحمكم الله وكبدوا أعدائنا [به] ينعشكم الله

Aliy bin Ibrahim dari Ayahnya dari Ibnu Mahbuub dari Ibnu Ri’aab dari Abi ‘Abdullah [‘alaihis salaam] yang berkata sesungguhnya kami tidak menganggap seseorang sebagai mu’min sampai ia mengikuti semua perintah kami dengan taat dan ridha, dan sungguh ia mengikuti perintah kami dan memenuhinya dengan wara’, maka hiasilah diri kalian dengannya [wara’] semoga Allah merahmati kalian dan hadapilah musuh kami dengannya [wara’] semoga Allah mengangkat kalian [Al Kafiy Al Kulainiy 2/78 no 13].

Riwayat di atas sanadnya shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan mengenai para perawinya.
  1. Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680].
  2. Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222].
  3. Hasan bin Mahbuub As Saraad seorang penduduk kufah yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 354]
  4. Aliy bin Ri’aab Al Kuufiy seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 151].
Nampak dalam riwayat Al Kaafiy di atas bahwa seseorang dikatakan mu’min sampai ia memenuhi Wilayah ahlul bait dalam arti mengikuti semua perintah ahlul bait dengan taat dan ridha.

وروى الحسن بن محبوب، عن يونس بن يعقوب، عن حمران بن أعين ” وكان بعض أهله يريد التزويج فلم يجد امرأة يرضاها، فذكر ذلك لأبي عبد الله عليه السلام فقال: أين أنت من البلهاء واللواتي لا يعرفن شيئا؟ قلت: إنما يقول: إن الناس على وجهين كافر ومؤمن، فقال: فأين الذين خلطوا عملا صالحا وآخر سيئا؟! وأين المرجون لأمر الله؟! أي عفو الله “

Dan riwayat Hasan bin Mahbuub dari Yunus bin Ya’qub dari Hamraan bin A’yun bahwa sebagian dari keluarganya ingin menikah maka mereka tidak menemukan wanita yang diridhainya, disebutkan hal itu kepada Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] maka Beliau berkata “kemana engkau dari wanita-wanita al balah yang tidak mengenal sesuatu [wilayah]?. Maka aku berkata “sesungguhnya kami mengatakan bahwa orang-orang hanya terbagi menjadi dua yaitu kafir dan mu’min. Maka Beliau berkata “lantas dimana orang-orang yang mencampuradukkan amal shalih dengan amal yang buruk? Dimana orang-orang yang dikembalikan urusannya kepada Allah SWT?. Dimana ampunan Allah SWT?. [Man Laa Yahdhuruh Al Faqiih Syaikh Shaduq 3/408 no 4427].

Riwayat Syaikh Shaduq dalam kitab Man Laa Yahdhuruh Al Faqiih telah dishahihkan oleh Syaikh Shaduq sebagaimana dikatakannya dalam muqaddimah kitab. Tetapi tentu saja yang paling baik dalam perkara ini adalah melihat sanad lengkap atau jalan sanad Syaikh Ash Shaduq sampai Hasan bin Mahbuub.

وما كان فيه عن الحسن بن محبوب فقد رويته عن محمد بن موسى بن المتوكل رضي الله عنه عن عبد الله بن جعفر الحميري، وسعد بن عبد الله، عن أحمد بن محمد ابن عيسى، عن الحسن بن محبوب

Adapun yang kami sebutkan tentangnya dari Hasan bin Mahbuub maka sungguh itu diriwayatkan dari Muhammad bin Muusa bin Mutawakil [radiallahu ‘anhu] dari ‘Abdullah bin Ja’far Al Himyariy dan Sa’d bin ‘Abdullah dari Ahmad bin Iisa dari Hasan bin Mahbuub. [Man Laa Yahdhuruh Al Faqiih Syaikh Shaduq 4/453].

Riwayat Syaikh Shaduq di atas sanadnya shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan mengenai para perawinya.
  1. Muhammad bin Musa bin Mutawakil [radiallahu ‘anhu] adalah salah satu dari guru Ash Shaduq, ia seorang yang tsiqat [Khulashah Al Aqwaal Allamah Al Hilliy hal 251 no 59]
  2. ‘Abdullah bin Ja’far Al Himyariy adalah seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 400]
  3. Sa’d bin ‘Abdullah Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 135]
  4. Ahmad bin Muhammad bin Iisa Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 351]
  5. Hasan bin Mahbuub As Saraad seorang penduduk kufah yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 354]
  6. Yunus bin Ya’qub seorang yang tsiqat, termasuk sahabat Abu Abdullah [‘alaihis salaam] [Rijal Ath Thuusiy hal 368]
  7. Hamran bin A’yun termasuk diantara Syaikh-syaikh Syi’ah yang agung dan memiliki keutamaan yang tidak diragukan tentang mereka [Risalah Fii Alu A’yun Syaikh Abu Ghalib hal 2]. Ia dikatakan hawaariy Imam Abu Ja’far Al Baqir [‘alaihis salaam], ia seorang yang tsiqat [Al Fa’iq Fii Ruwah Wa Ashabul Imam Shadiq 1/475-476 no 975]
Riwayat Syaikh Ash Shaduuq menyebutkan bahwa dalam pandangan Imam Abu ‘Abdullah manusia itu tidak hanya terbagi menjadi dua golongan mu’min dan kafir tetapi terdapat juga mereka orang muslim yang mencampuradukkan amal shalih dengan keburukan, yang kedudukannya dikembalikan kepada Allah SWT atau akan diampuni oleh Allah SWT. Termasuk di dalamnya adalah mereka yang tidak mengenal wilayah ahlul bait. Inilah yang dimaksud mereka tidak berhak akan pahala yaitu kedudukan amal shalihnya akan diserahkan keputusannya kepada Allah SWT. Dan mereka dikatakan “bukan termasuk ahlul iman” tetapi tetap dikatakan muslim karena berdasarkan riwayat shahih, lafaz mu’min di sisi Syi’ah disifatkan pada mereka yang meyakini dan mentaati Wilayah ahlul bait.
.
Riwayat Kedua:

علي بن إبراهيم، عن صالح بن السندي، عن جعفر بن بشير، عن أبي سلمة عن أبي عبد الله عليه السلام قال: سمعته يقول: نحن الذين فرض الله طاعتنا، لا يسع الناس إلا معرفتنا ولا يعذر الناس بجهالتنا، من عرفنا كان مؤمنا، ومن أنكرنا كان كافرا، ومن لم يعرفنا ولم ينكرنا كان ضالا حتى يرجع إلى الهدى الذي افترض الله عليه من طاعتنا الواجبة فإن يمت على ضلالته يفعل الله به ما يشاء

Aliy bin Ibrahim dari Shalih bin As Sindiy dari Ja’far bin Basyiir dari Abi Salamah dari Abi ‘Abdullah [‘alaihis salaam] yang berkata aku mendengarnya mengatakan kami adalah orang-orang yang Allah SWT wajibkan ketaatan kepada kami, tidak diberi pilihan orang-orang kecuali mengenal kami, tidak diberikan udzur orang-orang yang jahil terhadap kami, barang siapa yang mengenal kami maka ia mu’min dan barang siapa yang mengingkari kami maka ia kafir, barang siapa yang tidak mengenal kami dan tidak pula mengingkari kami maka ia tersesat sampai ia kembali kepada petunjuk dimana Allah SWT mewajibkan atasnya ketaatan kepada kami, dan jika ia mati dalam keadaan tersesat tersebut maka Allah SWT akan menetapkan sesuai dengan kehendaknya [Al Kaafiy Al Kulainiy 1/187 no 11]

Riwayat di atas berdasarkan pendapat yang rajih kedudukannya dhaif karena Shalih bin As Sindiy seorang yang majhul [Al Muufid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 282]. Terdapat sebagian ulama muta’akhirin yang mengisyaratkan tautsiq terhadapnya seperti Syaikh Muhammad bin Ismaiil Al Mazandaraniy menukil dalam kitabnya biografi Shalih bin Sindiy bahwa ia meriwayatkan Kitab Yunus bin ‘Abdurrahman dan Ibnu Walid telah mempercayainya [Muntaha Al Maqal 4/13 no 1447].

Shalih bin As Sindiy memang termasuk diantara perawi yang meriwayatkan kitab Yunus bin ‘Abdurrahman sebagimana disebutkan oleh Syaikh Ath Thuusiy [Al Fahrasat hal 266 biografi Yunus bin ‘Abdurrahman] kemudian Syaikh Ath Thuusiy menyebutkan:

قال أبو جعفر بن بابويه: سمعت ابن الوليد رحمه الله يقول كتب يونس بن عبد الرحمن التي هي بالروايات كلها صحيحة يعتمد عليها الا ما ينفرد به محمد بن عيسى بن عبيد عنه ولم يروه غيره وانا لا نعتمد عليه ولا نفتي به

Abu Ja’far bin Babawaih berkata aku mendengar Ibnu Walid [rahimahullah] mengatakan Kitab Yunus bin ‘Abdurrahman yang datang dengan riwayat semuanya shahih dapat berpegang dengannya kecuali apa yang diriwayatkan secara tafarrud Muhammad bin Isa bin ‘Ubaid darinya dan tidak diriwayatkan oleh selainnya, maka aku tidak berpegang dengannya dan tidak berfatwa dengannya [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 266].

Dari perkataan Ibnu Walid ini tidak ada tautsiq terhadap Shalih bin Sindiy, disini Ibnu Walid menyatakan bahwa kitab Yunus bin ‘Abdurrahman semuanya shahih kecuali riwayat Muhammad bin Isa bin Ubaid secara tafarrud maka bukan berarti semua perawi Kitab Yunus selain Muhammad bin Isa statusnya tsiqat dalam pandangan Ibnu Walid. Apalagi Shalih bin Sindiy bukan satu-satunya perawi yang meriwayatkan kitab Yunus selain Muhammad bin Iisa.

Ibnu Walid termasuk ulama mutaqaddimin dimana ulama mutaqaddimin ketika menyatakan shahih suatu riwayat atau kitab tidak selalu bermakna semua perawi dalam sanad atau kitab tersebut shahih. Karena bisa saja bermakna bahwa riwayat tersebut atau kitab tersebut shahih matannya, diriwayatkan secara mutawatir atau terdapat dalam kitab Usul dan alasan lainnya. Masih mungkin untuk dikatakan Shalih bin Sindiy ini dhaif atau majhul tetapi karena riwayatnya bersesuaian dengan perawi lain maka riwayatnya Kitab Yunus bin ‘Abdurrahman shahih dalam pandangan Ibnu Walid.

Maka dari itu pendapat yang rajih isyarat tautsiq terhadap Shalih bin Sindiy disini tidak jelas penunjukkannya hanya bersifat kemungkinan dimana ada banyak kemungkinan lain yang menafikannya.
.
Riwayat Ketiga:

يونس، عن داود بن فرقد، عن حسان الجمال، عن عميرة، عن أبي عبد الله (عليه السلام) قال: سمعته يقول: أمر الناس بمعرفتنا والرد إلينا والتسليم لنا، ثم قال: وإن صاموا وصلوا وشهدوا أن لا إله إلا الله وجعلوا في أنفسهم أن لا يردوا إلينا كانوا بذلك مشركين

Yunus dari Dawud bin Farqad dari Hasan Al Jamaal dari ‘Umairah dari Abi ‘Abdullah [‘alaihis salaam] [‘Umairah] berkata aku mendengarnya mengatakan orang-orang diperintahkan mengenal kami mengembalikan [permasalahan] kepada kami dan tunduk sepenuhnya kepada kami kemudian Beliau berkata meskipun mereka puasa, shalat dan bersaksi tiada Tuhan selain Allah tetapi mereka tidak mengembalikan [permasalahan] kepada kami maka mereka musyrik [Al Kafiy Al Kulainiy 2/398 no 5].

Riwayat Al Kafiy di atas sanadnya dhaif karena Umairah seorang yang majhul sebagaimana disebutkan dalam Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits

عميرة: مجهول – روى رواية عن أبي عبد الله (ع) في الكافي ج 2 كتاب الايمان والكفر، باب الشرك

Umairah majhul perawi yang meriwayatkan dari Abi ‘Abdullah [‘alaihis sallam] dalam Al Kaafiy juz 2 Kitab Iman dan Kafir Bab Syirik [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 443].
.
Riwayat Keempat:

محمد بن يحيى، عن محمد بن الحسين، عن صفوان بن يحيى، عن العلاء بن رزين عن محمد بن مسلم قال: سمعت أبا جعفر عليه السلام يقول: كل من دان الله عز وجل بعبادة يجهد فيها نفسه ولا إمام له من الله فسعيه غير مقبول، وهو ضال متحير والله شانئ  لاعماله، ومثله كمثل شاة ضلت عن راعيها وقطيعها، فهجمت ذاهبة وجائية يومها، فلما جنها الليل بصرت بقطيع غنم مع راعيها، فحنت إليها واغترت بها، فباتت معها في مربضها فلما أن ساق الراعي قطيعه أنكرت راعيها وقطيعها، فهجمت متحيرة تطلب راعيها وقطيعها،فبصرت بغنم مع راعيها فحنت إليها واغترت بها فصاح بها الراعي: الحقي براعيك، وقطيعك فأنت تائهة متحيرة عن راعيك وقطيعك، فهجمت ذعرة، متحيرة، تائهة، لا راعي لها يرشدها إلى مرعاها أو يردها، فبينا هي كذلك إذا اغتنم الذئب ضيعتها، فأكلها، وكذلك والله يا محمد من أصبح من هذه الأمة لا إمام له من الله عز وجل ظاهر عادل، أصبح ضالا تائها، وإن مات على هذه الحالة مات ميتة كفر ونفاق، و اعلم يا محمد أن أئمة الجور وأتباعهم لمعزولون عن دين الله قد ضلوا وأضلوا فأعمالهم التي يعملونها كرماد اشتدت به الريح في يوم عاصف، لا يقدرون مما كسبوا على شئ، ذلك هو الضلال البعيد

Muhammad bin Yahya dari Muhammad bin Husain dari Shafwaan bin Yahya dari Al A’laa bin Raziin dari Muhammad bin Muslim yang berkata aku mendengar Abu Ja’far [‘alaihis salaam] mengatakan “Semua yang beribadah kepada Allah ‘azza wajalla dengan mengharapkan imbalan dan berjuang dalam melakukannya, tetapi tanpa memiliki Imam dari Allah maka usahanya tidak diterima. Dan dia adalah orang yang tersesat, Allah tidak menyukai amal perbuatannya. Permisalannya seperti domba yang hilang yang menyimpang jauh dari gembala dan kawanannya . Dia mengembara di siang hari dan pada malam hari dia menemukan kawanan domba dengan gembala yang berbeda .Dia tertarik kepadanya dan tertipu olehnya, jadi dia bergabung dengan mereka di gudang mereka, tetapi ketika gembala mengeluarkan mereka, dia tidak mengakui gembala dan kawanan tersebut.Maka dia mengembara bingung dalam mencari gembala dan kawanannya.Kemudian dia menemukan kembali kawanan domba dengan gembala, dia tertarik dengannya dan tertipu olehnya tetapi gembala tersebut berteriak kepadanya “carilah kawanan dan gembalamu sendiri, karena engkau hilang dan tersesat dari gembala dan kawananmu”.Jadi dia mengembara sedih, bingung dan tersesat, dengan tidak ada gembala untuk membimbingnya ke tempat gembala dan gudang. Kemudian pada saat itu serigala mengambil kesempatan dan memakannya. Demi Allah, begitulah wahai Muhammad hal yang sama terjadi pada umat ini tanpa memiliki Imam dari Allah ‘azza wajalla yang zhahir lagi adil, mereka seperti hilang dan tersesat. Dan jika mati pada keadaan seperti ini, maka ia mati seperti kematian orang kafir dan munafik. Dan ketahuilah wahai Muhammad, bahwa Imam yang tidak adil dan pengikut mereka terputus dari agama Allah. Mereka telah sesat dan menyesatkan, sehingga perbuatan mereka yang telah mereka lakukan seperti debu yang diterbangkan oleh angin ketika badai. Mereka tidak mampu mendapatkan keuntungan dari perbuatan mereka begitulah keadaan yang tersesat jauh. [Al Kafiy Al Kulainiy 1/183-184 no 8].

Riwayat Al Kafiy di atas sanadnya shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan mengenai para perawinya
  1. Muhammad bin Yahya Al Aththaar seorang yang tsiqat [Mu’jam Rijal Al Hadits Sayyid Al Khu’iy 19/33 no 12010]
  2. Muhammad bin Husain bin Abi Khaththab seorang yang tsiqat dan banyak meriwayatkan hadis [Rijal An Najasyiy hal 334 no 897]
  3. Shafwaan bin Yahya Abu Muhammad Al Bajalliy seorang yang tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 197 no 524]
  4. Al A’laa bin Raziin termasuk sahabat Muhammad bin Muslim, seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 298 no 811]
  5. Muhammad bin Muslim bin Rabah termasuk orang yang paling terpercaya [Rijal An Najasyiy hal 323-324 no 882]

أحمد بن إدريس، عن محمد بن عبد الجبار، عن صفوان، عن الفضيل، عن الحارث بن المغيرة قال: قلت لأبي عبد الله عليه السلام: قال رسول الله صلى الله عليه وآله: من مات لا يعرف إمامه مات ميتة جاهلية؟ قال: نعم، قلت: جاهلية جهلاء أو جاهلية لا يعرف إمامه؟ قال جاهلية كفر ونفاق وضلال

Ahmad bin Idriis dari Muhammad bin ‘Abdul Jabbaar dari Shafwaan dari Fudhail dari Al Harits bin Mughiirah yang berkata aku berkata kepada Abi ‘Abdullah [‘alaihis salaam] Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wa alihi] berkata “barang siapa yang mati dalam keadaan tidak mengenal Imamnya maka ia mati seperti kematian jahiliyah”?. Beliau berkata “benar”. Aku berkata “Jahiliyah orang-orang bodoh atau jahiliiyah tidak mengenal Imamnya?. Beliau berkata Jahiliyah orang-orang kafir, munafik dan tersesat [Al Kafiy Al Kulainiy 1/377 no 3].

Riwayat Al Kafiy di atas sanadnya shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan mengenai para perawinya
  1. Ahmad bin Idris bin Ahmad Abu ‘Aliy Al Asy’ariy adalah seorang tsiqat faqih banyak meriwayatkan hadis, shahih riwayatnya [Rijal An Najasyiy hal 92 no 228]
  2. Muhammad bin ‘Abdul Jabbaar ia adalah Ibnu Abi Ashabaan seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 391]
  3. Shafwaan bin Yahya Abu Muhammad Al Bajalliy seorang yang tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 197 no 524]
  4. Fudhail bin Utsman atau Fadhl bin Utsman Al Muraadiy seorang yang tsiqat tsiqat [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 456]
  5. Al Harits bin Mughiirah meriwayatkan dari Abu Ja’far, Ja’far, Musa bin Ja’far dan Zaid bin Aliy, tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 139 no 361]
Makna mati seperti kematian orang kafir dan munafik dalam riwayat di atas sama maknanya dengan mati seperti kematian orang-orang jahiliyah. Dan jahiliyah disini bukan bermakna orang-orang bodoh atau jahil tetapi bermakna seperti orang-orang di zaman Jahiliyah dahulu yang mana mereka adalah orang-orang kafir yang tersesat karena tidak memiliki Imam yang memberikan petunjuk kepada mereka. Jadi bukan bermakna mereka yang tidak mengenal wilayah berarti kafir dan pasti masuk neraka. Makna seperti ini sesuai dengan hadis-hadis sebelumnya yang menegaskan keislaman mereka yang tidak mengenal Wilayah ahlul bait.
 
Disebutkan dalam riwayat shahih mazhab Syi’ah bahwa kedudukan mereka akan dikembalikan nanti urusannya kepada Allah SWT. Sebagaimana nampak dalam riwayat panjang dari Dhurais Al Kanaasiy yang bertanya kepada Abu Ja’far [‘alaihis salaam], dalam riwayat panjang tersebut terdapat penggalan berikut

قلت أصلحك الله فما حال الموحدين المقرين بنبوة محمد (صلى الله عليه وآله) من المسلمين المذنبين الذين يموتون وليس لهم إمام ولا يعرفون ولايتكم؟ فقالأما هؤلاء فإنهم في حفرتهم لا يخرجون منها فمن كان منهم له عمل صالح ولم يظهر منه عداوة فإنه يخد له خد إلى الجنة التي خلقها الله في المغرب فيدخل عليه منها الروح في حفرته إلى يوم القيامة فيلقى الله فيحاسبه بحسناته وسيئاته فإما إلى الجنة وإما إلى النار فهؤلاء موقوفون لأمر الله، قال: وكذلك يفعل الله بالمستضعفين والبله والأطفال وأولاد المسلمين الذين لم يبلغوا الحلم

Aku [Dhurais] berkata [kepada Abu Ja’far] “semoga Allah memberikan kebaikan kepadamu, maka bagaimana keadaan orang-orang Islam yang bertauhid dan meyakini Kenabian Muhammad [shallallahu ‘alaihi wasallam] sedangkan mereka mati dalam keadaan tidak memiliki Imam dan tidak mengenal Wilayah kalian?. Maka Beliau [Abu Ja’far] berkata “adapun mereka di dalam kubur mereka dan tidak keluar darinya, maka barang siapa diantara mereka yang memiliki amal shalih dan tidak nampak dari mereka permusuhan [kepada ahlul bait] maka ia akan diberikan ruangan yang terhubung ke surga [taman surga] yang diciptakan Allah di Barat  maka akan masuk dari sana wewangian surga ke dalam kuburnya hingga hari kiamat ia bertemu Allah dan Allah akan menghisabnya sesuai dengan amal kebaikan dan keburukannya, adapun apakah ia ke surga atau ke neraka maka semua mereka diserahkan urusannya kepada Allah. Beliau berkata “begitu pula yang akan ditetapkan Allah atas orang-orang mustadha’ifiin, albalah [orang bodoh], anak yang baru lahir atau anak-anak kaum muslimin yang belum mencapai baligh” [Al Kafiy Al Kulainiy 3/247].

Riwayat Al Kafiy di atas adalah riwayat yang panjang, sanad lengkap riwayat tersebut adalah sebagai berikut

عدة من أصحابنا، عن أحمد بن محمد، وسهل بن زياد، وعلي بن إبراهيم، عن أبيه جميعا، عن ابن محبوب، عن علي بن رئاب، عن ضريس الكناسي قالسألت أبا جعفرعليه السلام

Sekelompok sahabat kami dari Ahmad bin Muhammad dan Sahl bin Ziyaad, Dan Aliy bin Ibrahiim dari Ayahnya, semuanya [Ahmad bin Muhammad, Sahl bin Ziyaad dan Ibrahim bin Haasyim] berkata dari Ibnu Mahbuub dari ‘Aliy bin Ri’ab dari Dhurais Al Kanaasiy yang berkata aku bertanya kepada Abu Ja’far [‘alaihis salaam]…[Al Kafiy Al Kulainiy 3/246].

Riwayat Al Kafiy di atas sanadnya shahih sesuai standar ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan mengenai para perawinya.
  1. Aliy bin Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680]
  2. Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222]
  3. Hasan bin Mahbuub As Saraad seorang penduduk kufah yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 354]
  4. Aliy bin Ri’aab Al Kuufiy seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 151]
  5. Dhurais bin ‘Abdul Malik Al Kanasiy seorang yang khair, fadhl, tsiqat [Rijal Al Kasyiy 2/601 no 566]
Riwayat Al Kafiy di atas menguatkan penafsiran bahwa makna mati dalam kematian jahiliah kafir musyrik tersesat itu bermakna kematian seperti orang-orang kafir dan sesat di zaman jahiliyah yang tidak memiliki Imam yang memberi petunjuk atas mereka. Bukan bermakna mati dalam keadaan kafir yang pasti masuk neraka karena riwayat shahih di atas menunjukkan dengan jelas bahwa orang islam yang tidak memiliki Imam dan tidak mengenal Wilayah kedudukannya diserahkan kepada Allah SWT apakah ke surga atau ke neraka.
.
Sebenarnya hadis dengan lafaz “mati dalam keadaan jahiliyah” tidak hanya ditemukan dalam kitab mazhab Syi’ah. Dalam kitab mazhab ahlus sunnah juga ditemukan hadis dengan lafaz demikian

حدثنا عبيدالله بن معاذ العنبري حدثنا أبي حدثنا عاصم وهو ابن محمد بن زيد عن زيد بن محمد عن نافع قالجاء عبدالله بن عمر إلى عبدالله بن مطيع حين كان من أمر الحرة ما كان زمن يزيد بن معاوية فقال اطرحوا لأبي عبدالرحمن وسادة فقال إني لم آتك لأجلس أتيتك لأحدثك حديثا سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقوله سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول من خلع يدا من طاعة لقي الله يوم القيامة لا حجة له ومن مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية

Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidillah bin Mu’adz Al ‘Anbariy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Aashim dan ia adalah Ibnu Muhammad bin Zaid dari Zaid bin Muhammad dari Nafi’ yang berkata ‘Abdullah bin Umar datang kepada ‘Abdullah bin Muthi’ dan ia adalah pemimpin Harrah pada zaman Yaziid bin Mu’awiyah. Ia berkata “berikan bantal kepada ‘Abu ‘Abdurrahman”. [Ibnu ‘Umar] berkata “aku datang bukan untuk duduk tetapi aku datang kepadamu untuk menceritakan kepadamu hadis yang aku dengar dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], [Abdullah bin ‘Umar] mengatakan aku mendengar Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan “barang siapa yang melepaskan tangannya dari ketaatan maka ia akan menemui Allah SWT pada hari kiamat dalam keadaan tidak memiliki hujjah dan barang siapa yang mati tanpa baiat di lehernya maka ia mati seperti kematian jahiliyah [Shahih Muslim 3/1478 no 1851].

Para ulama Ahlus sunnah menafsirkan makna kematian jahiliyah tersebut sebagai kematian orang-orang kafir pada masa jahiliyah yang tidak taat kepada pemimpin atau tidak memiliki pemimpin, para ulama Ahlus Sunnah tidak memaknai hadis tersebut sebagai mati dalam keadaan kafir.

وأخبرني محمد بن أبي هارون أن إسحاق حدثهم أن أبا عبد الله سئل عن حديث النبي صلى الله عليه وسلم من مات وليس له إمام مات ميتة جاهلية ما معناه ؟ قال أبو عبد الله تدري ما الإمام ؟ الإمام الذي يجمع المسلمون عليه كلهم يقول هذا إمام ، فهذا معناه

Telah mengabarkan kepadaku Muhammad bin Abi Haruun bahwa Ishaaq mengabarkan kepada mereka bahwa Abu ‘Abdullah ditanya tentang hadis Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] “barang siapa mati tanpa memiliki Imam maka ia mati seperti kematian Jahiliyah” apa maknanya?. Abu ‘Abdullah berkata “tahukah engkau yang disebut Imam?. Imam adalah orang yang berkumpul atasnya kaum muslimin seluruhnya dan mengatakan inilah Imam, maka inilah makna hadis tersebut [As Sunnah Al Khalaal no 11].

Muhammad bin Abi Haruun Abu Fadhl adalah seorang yang shalih, fadhl dan banyak memiliki ilmu [Tarikh Al Islam Adz Dzahabiy 21/291]. Ishaaq adalah Ishaaq bin Manshuur bin Bahraam dikatakan Muslim bahwa ia tsiqat ma’mun dan Nasa’iy berkata tsiqat [Tarikh Baghdad 6/362 no 3386] dan Abu ‘Abdullah adalah Ahmad bin Hanbal yang sudah dikenal keilmuannya di kalangan ulama Ahlus Sunnah. Pertanyaan terkait hadis ini adalah siapakah Imam kaum muslimin sekarang dimana jika kaum muslimin tidak membaiatnya dan mati dalam keadaan demikian maka mereka mati seperti kematian jahiliyah. Kalau lafaz “kematian jahiliyah” ini dimaknai sebagai kafir maka kaum muslimin [dari kalangan ahlus sunnah] akan menjadi kafir mengingat di zaman sekarang ini tidak ada Imam dimana berkumpul dan berbaiat atasnya seluruh kaum muslimin.

Dan terkadang zhahir lafaz “kafir” dalam suatu riwayat atau hadis tidak selalu bermakna kekafiran yang mengeluarkan seseorang dari Islam. Memang terdengar aneh, tetapi konsep kekafiran di bawah kekafiran ini cukup dikenal dalam mazhab Ahlus Sunnah. Silakan perhatikan hadis berikut

حدثنا أبو عبد الله قال ثنا عبد الرزاق قال ثنا معمر عن ابن طاوس عن أبيه قال سئل ابن عباس عن قوله ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون قال هي به كفر قال ابن طاوس وليس كمن كفر بالله وملائكته وكتبه ورسله

Telah menceritakan kepada kami ‘Abu ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazaaq yang berkata telah menceritakan kepada kami Ma’mar dari Ibnu Thawus dari Ayahnya yang berkata ‘Ibnu ‘Abbas ditanya tentang firman Allah “barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” [QS Al Ma’idah : 44]. Ibnu ‘Abbas berkata “Itu adalah Kafir”. Ibnu Thawus berkata “dan bukanlah itu seperti orang yang kafir kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-Nya dan Rasul-Nya” [As Sunnah Al Khalaal no 1443].

Riwayat di atas sanadnya shahih berdasarkan standar Ilmu hadis Ahlus Sunnah, berikut keterangan para perawinya
  1. Abu ‘Abdullah adalah Ahmad bin Hanbal salah seorang imam tsiqat hafizh faqiih hujjah [Taqrib At Tahdzib 1/84 no 96].
  2. ‘Abdurrazzaaq bin Hamaam Ash Shan’aniy seorang tsiqat hafizh, penulis kitab, buta di akhir umurnya bercampur hafalannya dan ia bertasyayyu’ [Taqrib At Tahdzib 1/354 no 4064]. Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dari ‘Abdurrazzaaq sebelum ia buta dan bercampur hafalannya.
  3. Ma’mar bin Rasyiid Al ‘Azdiy seorang tsiqat tsabit fadhl kecuali riwayatnya dari Tsaabit, A’masyiy, Hisyam bin ‘Urwah dan hadisnya di Bashrah [Taqrib At Tahdzib 1/541 no 6809]. Ini adalah riwayatnya dari ‘Abdullah bin Thawus Al Yamaniy yang dijadikan hujjah oleh Bukhariy Muslim.
  4. ‘Abdullah bin Thawus Al Yamaniy seorang yang tsiqat fadhl ahli ibadah [Taqrib At Tahdzib 1/308 no 3397].
  5. Thawus bin Kaisan Al Yamaniy seorang yang tsiqat faqiih fadhl [Taqrib At Tahdzib 1/281 no 3009].

حدثني يعقوب بن إبراهيم قال حدثنا هشيم قال أخبرنا عبد الملك بن أبي سليمان عن سلمة بن كهيل عن علقمة ومسروق أنهما سألا ابن مسعود عن الرشوة فقال من السحت قال فقالا أفي الحكم؟ قال ذاك الكفر ثم تلا هذه الآية ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون

Telah menceritakan kepada kami Ya’qub bin Ibrahiim yang berkata telah menceritakan kepada kami Husyaim yang berkata telah mengabarkan kepada kami ‘Abdul Malik bin Sulaiman dari Salamah bin Kuhail dari ‘Alqamah dan Masruuq bahwa keduanya bertanya kepada Ibnu Mas’ud tentang suap, Maka Ibnu Mas’ud berkata “itu perbuatan haram”, Keduanya berkata “bagaimana hukumnya?”. Ibnu Mas’ud berkata “itu kafir” kemudian Ia membaca ayat “barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” [QS Al Ma’idah : 44]. [Tafsir Ath Thabariy 10/357 no 12061]

Riwayat di atas sanadnya shahih berdasarkan standar Ilmu hadis Ahlus Sunnah, berikut keterangan para perawinya
  1. Ya’qub bin Ibrahiim Ad Dawraaqiy perawi kutubus sittah yang tsiqat dan termasuk hafizh [Taqrib At Tahdzib 1/607 no 7812]
  2. Husyaim bin Basyiir perawi kutubus sittah, seorang tsiqat tsabit banyak melakukan tadlis dan irsal khafiy [Taqrib At Tahdzib 1/574 no 7312]
  3. ‘Abdul Malik bin Abi Sulaiman, termasuk perawi Muslim seorang yang shaduq pernah melakukan kesalahan [Taqrib At Tahdzib 1/363 no 4184] kemudian disebutkan dalam Tahrir Taqrib At Tahdzib bahwa ia seorang yang tsiqat [Tahrir Taqrib At Tahdzib no 4184]
  4. Salamah bin Kuhail Al Hadhramiy perawi kutubus sittah yang tsiqat [Taqrib At Tahdzib 1/248 no 2508]
  5. Alqamah bin Qais An Nakha’iy perawi kutubus sittah, tsiqat tsabit faqiih ahli ibadah [Taqrib At Tahdzib 1/397 no 4681]
  6. Masruuq bin Al A’jda’ Al Hamdaaniy perawi kutubus sittah tsiqat faqiih ahli ibadah mukhadhramun [Taqrib At Tahdzib 1/528 no 6601]
Kedua riwayat di atas menunjukkan bahwa hadis dengan lafaz “kafir” tidak selalu bermakna keluar dari Islam atau murtad, para ulama ahlus sunnah [salafus shalih] menerima konsep kekafiran di bawah kekafiran atau kekafiran yang tidak mengeluarkan dari Islam atau kekafiran yang tidak seperti kafir kepada Allah SWT, Malaikat-Nya, Kitab-Nya dan Rasul-Nya. Kami membawakan riwayat-riwayat ahlus sunnah ini hanya ingin menunjukkan bahwa konsep kekafiran di bawah kekafiran atau kekafiran yang tidak mengeluarkan dari Islam juga dikenal dalam mazhab ahlus sunnah.
.
Kesimpulan
Riwayat-riwayat shahih dalam mazhab Syi’ah tetap menyatakan keislaman ahlus sunnah dan memang terdapat riwayat shahih yang seolah-olah menyatakan kekafiran orang-orang selain mazhab Syi’ah tetapi pada hakikatnya hal itu bukanlah kekafiran yang mengeluarkan mereka dari islam, sebagaimana telah berlalu penjelasannya di atas.




Sumber: http://secondprince.wordpress.com/

Silahkan Baca disini: Syiah Diakui Sebagai Mazhab Sah dalam Islam
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: