SIKAP SYIAH TERHADAP AHLUS SUNNAH.
Dibolehkan pernikahan antara Sunni dan Syiah, saling mewarisi , dan halalnya sembelihan mereka.
Beberapa buku Syiah yang saya punya, masih ada yang lain.
Menurut nash-nash Syiah, keislaman Ahlus Sunnah adalah sah, dan bahwa kedudukan mereka sama seperti kaum Syiah, dalam segala konsekuensi yang timbul akibat keislamannya itu.
Memang, pandangan mazhab Syiah mengenai hal ini sungguh amat jelas.
Tak seorang pun dari Syiah—yang berpandangan adil dan moderat—meragukannya.
Al-Imam Abu Abdillah, Ja’far Ash-Shadiq a.s., berkata, sebagaimana dirawikan oleh Sufyan ibn As-Samath mengatakan: “Agama Islam itu ialah seperti yang tampak pada diri manusia (yakni, kaum Muslim secara umum), yaitu mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah pesuruh Allah, mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat, melaksanakan ibadah haji, dan berpuasa di bulan Ramadhan.”
Berkata pula beliau sebagaimana dirawikan oleh Sama’ah: “Agama Islam itu adalah kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan pembenaran kepada Rasulullah Saw. Atas dasar itulah, nyawa manusia dijamin keselamatannya. Dan atas dasar itulah berlangsung pernikahan dan pewarisan dan atas dasar itu pula terbina kesatuan jamaah (kaum Muslim).”.
Ada dua macam klasifikasi Muslim menurut Syiah:
1. Mukhalif adalah sekelompok kaum Muslim yang berbeda pandangan dengan Syiah.
2. Nashibi adalah sekelompok kaum Muslim yang mengibarkan bendera permusuhan terhadap para Imam Suci Ahlul Bait dengan cara melaknat dan mencaci-maki mereka.
Sikap Syiah terhadap yang pertama adalah tetap menganggap mereka Muslim dan mukmin dan tetap memiliki hak-hak sebagai seorang Muslim yang harus dihormati jiwa, harta, dan kehormatannya. Adapun untuk kelompok yang kedua, Syiah menganggapnya sebagai kafir.
Saat ini, kaum Syiah menganggap bahwa kelompok seperti ini tidak akan ditemui. Kalaupun disebut oleh para ulama, khususnya para fuqahadalam buku-buku fatwa mereka, itu tidak lebih dari sekadar informasi dan kepastian hukum yang tidak melazimkan keberadaan mereka saat ini.
Hubungan Baik di Antara Syiah dan Ahlus Sunnah dalam Hal Pernikahan, Waris, dan Lain-Lain
Al-Imam Abu Ja’far, Muhammad Al-Baqir a.s. berkata, seperti tercantum dalam Sahih Hamran ibn A’yan: “Agama Islam dinilai dari segala yang tampak dari perbuatan dan ucapan. Yakni yang dianut oleh kelompok-kelompok kaum Muslim dari semua firqah (aliran). Atas dasar itu terjamin nyawa mereka, dan atas dasar itu berlangsung pengalihan harta warisan. Dengan itu pula dilangsungkan hubungan pernikahan. Demikian pula pelaksanaan shalat, zakat, puasa, dan haji. Dengan semua itu, mereka keluar dari kekufuran dan dimasukkan ke dalam keimanan.”.
Masih banyak lagi riwayat dari para Imam itu yang mengandung makna-makna seperti tersebut di atas, yang tak mungkin dinukilkan semuanya.
Karena itu pulalah, para ulama Syiah memfatwakan kebolehan pernikahan
antara Sunni dan Syiah, saling mewarisi di antara mereka, dan halalnya
sembelihan mereka. Imam Khomeini menyebutkan hal itu secara tegas dalam
kumpulan fatwanya, yakni Kitab Tahrir Al Wasilah sebagai berikut:
1. Dalam Bab Warisan, di saat menjelaskan kafir (non-Muslim) tidak berhak mendapatkan warisan dari seorang Muslim, pada masalah ke-8, beliau menyebutkan:
Kaum Muslim saling mewarisi di antara mereka, walaupun mereka berbeda dalam mazhab….
2. Dalam Bab Nikah, di saat menjelaskan tentang kafir (non-Muslim) pada masalah ke-8, beliau menyebutkan:
Tidak bermasalah seorang mukmin mengawini seorang perempuan yang berbeda (non-Syiah) yang bukan Nashibi, (yakni, yang tidak melaknat dan memusuhi para imam suci Ahlul Bait).
3. Dalam Bab Penyembelihan, masalah pertama, dinyatakan pula:
Disyaratkan kepada pelaku penyembelihan keharusan bahwa yang bersangkutan adalah seorang Muslim… “Maka halal sembelihan (penganut) seluruh kelompok Islam.”.
Begitu juga Imam Ali Khamene’i memfatwakan secara tegas keabsahan bermakmum kepada Ahlus Sunnah (Fatwa-Fatwa, terbitan Al Huda, Jakarta).
Dalam mazhab Syi’ah, Para sahabat Nabi yang tidak membaiat Imam Aliy ['alaihis salaam] telah tersesat , Imamah Aliy bin Abi Thalib telah ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Tetapi walaupun begitu disebutkan juga dalam hadis shahih mazhab Syi’ah bahwa kesesatan para sahabat tersebut tidaklah mengeluarkan mereka dari islam.
Riwayat ini dan riwayat-riwayat sebelumnya menjadi bukti yang menyatakan bahwa hadis semua sahabat murtad kecuali tiga adalah hadis mungkar karena bertentangan dengan hadis shahih di sisi mazhab Syi’ah
Tuduhan bahwa mazhab Syi’ah mengkafirkan mayoritas sahabat Nabi adalah tuduhan yang tidak benar. Dalam kitab mazhab Syi’ah juga terdapat pujian terhadap para sahabat baik secara umum ataupun terkhusus sahabat tertentu. Walaupun memang terdapat juga riwayat yang memuat celaan terhadap sahabat tertentu. Perkara seperti ini juga dapat ditemukan dalam riwayat Ahlus Sunnah yaitu terdapat berbagai hadis shahih yang juga mencela sebagian sahabat.
Dibolehkan pernikahan antara Sunni dan Syiah, saling mewarisi , dan halalnya sembelihan mereka.
Beberapa buku Syiah yang saya punya, masih ada yang lain.
Menurut nash-nash Syiah, keislaman Ahlus Sunnah adalah sah, dan bahwa kedudukan mereka sama seperti kaum Syiah, dalam segala konsekuensi yang timbul akibat keislamannya itu.
Memang, pandangan mazhab Syiah mengenai hal ini sungguh amat jelas.
Tak seorang pun dari Syiah—yang berpandangan adil dan moderat—meragukannya.
Al-Imam Abu Abdillah, Ja’far Ash-Shadiq a.s., berkata, sebagaimana dirawikan oleh Sufyan ibn As-Samath mengatakan: “Agama Islam itu ialah seperti yang tampak pada diri manusia (yakni, kaum Muslim secara umum), yaitu mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah pesuruh Allah, mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat, melaksanakan ibadah haji, dan berpuasa di bulan Ramadhan.”
Berkata pula beliau sebagaimana dirawikan oleh Sama’ah: “Agama Islam itu adalah kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan pembenaran kepada Rasulullah Saw. Atas dasar itulah, nyawa manusia dijamin keselamatannya. Dan atas dasar itulah berlangsung pernikahan dan pewarisan dan atas dasar itu pula terbina kesatuan jamaah (kaum Muslim).”.
Salah satu propaganda para Pembenci Syi’ah untuk merendahkan mazhab Syi’ah adalah mereka menuduh bahwa Syi’ah telah mengkafirkan Ahlus sunnah.
Kami tidak menafikan bahwa ada sebagian ulama Syi’ah yang bersikap
berlebihan dalam perkara ini [terutama dari kalangan akhbariyun]
menyatakan baik itu dengan isyarat atau dengan jelas mengindikasikan
kekafiran ahlus sunnah. Tetapi terdapat juga sebagian ulama Syi’ah yang
justru menegaskan keislaman Ahlus sunnah dan tidak menyatakan kafir.
Perkara ini sama hal-nya dengan sebagian
ulama ahlus sunnah yang mengkafirkan Syi’ah baik itu secara isyarat
ataupun dengan jelas dan memang terdapat pula sebagian ulama ahlus
sunnah yang tetap mengakui Syi’ah walaupun menyimpang tetap Islam bukan kafir. Kebenarannya
adalah baik Ahlus Sunnah dan Syi’ah keduanya adalah Islam. Silakan
mazhab yang satu merendahkan atau menyatakan mazhab yang lain sesat
tetapi hal itu tidak mengeluarkan salah satu mereka dari Islam. .
1. Mukhalif adalah sekelompok kaum Muslim yang berbeda pandangan dengan Syiah.
2. Nashibi adalah sekelompok kaum Muslim yang mengibarkan bendera permusuhan terhadap para Imam Suci Ahlul Bait dengan cara melaknat dan mencaci-maki mereka.
Sikap Syiah terhadap yang pertama adalah tetap menganggap mereka Muslim dan mukmin dan tetap memiliki hak-hak sebagai seorang Muslim yang harus dihormati jiwa, harta, dan kehormatannya. Adapun untuk kelompok yang kedua, Syiah menganggapnya sebagai kafir.
Saat ini, kaum Syiah menganggap bahwa kelompok seperti ini tidak akan ditemui. Kalaupun disebut oleh para ulama, khususnya para fuqahadalam buku-buku fatwa mereka, itu tidak lebih dari sekadar informasi dan kepastian hukum yang tidak melazimkan keberadaan mereka saat ini.
Hubungan Baik di Antara Syiah dan Ahlus Sunnah dalam Hal Pernikahan, Waris, dan Lain-Lain
Al-Imam Abu Ja’far, Muhammad Al-Baqir a.s. berkata, seperti tercantum dalam Sahih Hamran ibn A’yan: “Agama Islam dinilai dari segala yang tampak dari perbuatan dan ucapan. Yakni yang dianut oleh kelompok-kelompok kaum Muslim dari semua firqah (aliran). Atas dasar itu terjamin nyawa mereka, dan atas dasar itu berlangsung pengalihan harta warisan. Dengan itu pula dilangsungkan hubungan pernikahan. Demikian pula pelaksanaan shalat, zakat, puasa, dan haji. Dengan semua itu, mereka keluar dari kekufuran dan dimasukkan ke dalam keimanan.”.
Masih banyak lagi riwayat dari para Imam itu yang mengandung makna-makna seperti tersebut di atas, yang tak mungkin dinukilkan semuanya.
Riwayat-riwayat shahih dalam mazhab
Syi’ah tetap menyatakan keislaman ahlus sunnah dan memang terdapat
riwayat shahih yang seolah-olah menyatakan kekafiran orang-orang selain
mazhab Syi’ah tetapi pada hakikatnya hal itu bukanlah kekafiran yang
mengeluarkan mereka dari islam, sebagaimana telah berlalu penjelasannya
di atas.
1. Dalam Bab Warisan, di saat menjelaskan kafir (non-Muslim) tidak berhak mendapatkan warisan dari seorang Muslim, pada masalah ke-8, beliau menyebutkan:
Kaum Muslim saling mewarisi di antara mereka, walaupun mereka berbeda dalam mazhab….
2. Dalam Bab Nikah, di saat menjelaskan tentang kafir (non-Muslim) pada masalah ke-8, beliau menyebutkan:
Tidak bermasalah seorang mukmin mengawini seorang perempuan yang berbeda (non-Syiah) yang bukan Nashibi, (yakni, yang tidak melaknat dan memusuhi para imam suci Ahlul Bait).
3. Dalam Bab Penyembelihan, masalah pertama, dinyatakan pula:
Disyaratkan kepada pelaku penyembelihan keharusan bahwa yang bersangkutan adalah seorang Muslim… “Maka halal sembelihan (penganut) seluruh kelompok Islam.”.
Begitu juga Imam Ali Khamene’i memfatwakan secara tegas keabsahan bermakmum kepada Ahlus Sunnah (Fatwa-Fatwa, terbitan Al Huda, Jakarta).
Dalam mazhab Syi’ah, Para sahabat Nabi yang tidak membaiat Imam Aliy ['alaihis salaam] telah tersesat , Imamah Aliy bin Abi Thalib telah ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Tetapi walaupun begitu disebutkan juga dalam hadis shahih mazhab Syi’ah bahwa kesesatan para sahabat tersebut tidaklah mengeluarkan mereka dari islam.
Riwayat ini dan riwayat-riwayat sebelumnya menjadi bukti yang menyatakan bahwa hadis semua sahabat murtad kecuali tiga adalah hadis mungkar karena bertentangan dengan hadis shahih di sisi mazhab Syi’ah
Tuduhan bahwa mazhab Syi’ah mengkafirkan mayoritas sahabat Nabi adalah tuduhan yang tidak benar. Dalam kitab mazhab Syi’ah juga terdapat pujian terhadap para sahabat baik secara umum ataupun terkhusus sahabat tertentu. Walaupun memang terdapat juga riwayat yang memuat celaan terhadap sahabat tertentu. Perkara seperti ini juga dapat ditemukan dalam riwayat Ahlus Sunnah yaitu terdapat berbagai hadis shahih yang juga mencela sebagian sahabat.
Syiah lahir di awal sejarah Islam,
lahirnya pun karena pertikaian politik. Sejarah Syiah dipenuhi dengan
penindasan dari penguasa saat itu terhadap kaum Syiah (karena masalah
politik). Tidak heran jika Syiah menyimpan kebencian yang mendalam pada
Islam mainstream sejak kelahirannya. Kata-kata cacian dari Syiah
terhadap sosok-sosok terhormat dalam mainstream Islam (sunni) begitu
banyak.
Respon Sunni.
Respon dari kalangan Sunni terhadap
Syiah, dari masa klasik hingga sekarang pada umumnya adalah menganggap
Syiah telah melenceng dari Islam. Ada yang mengatakan sesat, ada juga
yang mengatakan Syiah telah kafir.
Perlakuan para pemimpin negara yang
berfaham Sunni terhadap Syiah berbeda-beda. Para Khalifah atau Sultan
Sunni yang membenci Syiah, umumnya karena masalah politik.
Mungkinkah Berdamai?
Kondisi sekarang tidak lagi sama dengan
masa dahulu. Usaha perdamaian antara Sunni dengan Syiah, telah banyak
digagas oleh tokoh-tokoh Islam dunia dari kedua kubu.
Bagi saya, usaha perdamaian antara
kedua kubu adalah mutlak dan harus dilakukan, mengingat konflik keduanya
telah menimbulkan banyak korban.
Pertimbangan Sebelum Menentukan Sikap.
Pertimbangan saya sebagai WNI:
- Menjalankan agama/kepercayaan adalah hak setiap orang di Indonesia.
- Menjaga persatuan adalah kewajiban setiap orang di Indonesia.
- Bahwa kewajiban harus senantiasa didahulukan daripada hak.
- Kekerasan adalah tindak kriminal.
Pertimbangan saya sebagai Muslim:
- Keyakinan bukanlah hal yang bisa dipaksakan (Laa ikraha fid diin).
- Orang yang sudah mengucap syahadat wajib dilindungi jiwa, kehormatan, dan hartanya.
- Orang kafir yang mau hidup damai dan dilindungi pemerintah, adalah wajib untuk dilindungi jiwa, kehormatan, dan hartanya.
- Antara Sunni dengan Syiah terdapat banyak perbedaan yang tidak bisa disatukan, namun juga terdapat hal-hal yang disepakati kedua kubu.
Sikap Saya.
- Menolak segala bentuk kekerasan yang tidak dibenarkan oleh hukum Indonesia.
- Melarang ajaran Syiah bukanlah solusi karena bertentangan dengan UUD.
- Kemerdekaan untuk mengamalkan ajaran Syiah adalah hak bagi pemeluknya.
Benarkah Mazhab Syi’ah Mengkafirkan Mayoritas Sahabat Nabi?
Salah satu diantara Syubhat para pembenci
Syi’ah [baik dari kalangan nashibiy atau selainnya] adalah Syi’ah
mengkafirkan mayoritas sahabat Nabi kecuali tiga orang. Mereka mengutip
beberapa hadis dalam kitab Syi’ah untuk menunjukkan syubhat tersebut.
Dalam tulisan ini akan kami tunjukkan bahwa syubhat tersebut dusta, yang benar di sisi mazhab Syi’ah adalah para
sahabat Nabi telah tersesat dalam perkara Imamah Aliy bin Abi Thalib
[‘alaihis salaam] tetapi itu tidak mengeluarkan mereka dari Islam dan terlepas dari perkara Imamah cukup banyak para sahabat Nabi yang dipuji oleh Imam Ahlul Bait [‘alaihis salaam]
Dalam pembahasan ini akan dibahas
hadis-hadis mazhab Syi’ah yang sering dijadikan hujjah untuk menunjukkan
kekafiran mayoritas sahabat Nabi. Hadis-hadis tersebut terbagi menjadi
dua yaitu
- Hadis yang dengan jelas menggunakan lafaz “murtad”
- Hadis yang tidak menggunakan lafaz “murtad”
.
Hadis Dengan Lafaz Murtad.
Hadis yang menggunakan lafaz murtad dalam
masalah ini ada lima hadis, empat hadis kedudukannya dhaif dan satu
hadis mengandung illat [cacat] sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.
Berikut hadis-hadis yang dimaksud.
Riwayat Pertama:
علي بن الحكم عن سيف بن عميرة عن أبي بكر الحضرمي قال قال أبو جعفر (عليه السلام) ارتد الناس إلا ثلاثة نفر سلمان و أبو ذر و المقداد. قال قلت فعمار ؟ قال قد كان جاض جيضة ثم رجع، ثم قال إن أردت الذي لم يشك و لم يدخله شيء فالمقداد، فأما سلمان فإنه عرض في قلبه عارض أن عند أمير المؤمنين (عليه السلام) اسم الله الأعظم لو تكلم به لأخذتهم الأرض و هو هكذا فلبب و وجئت عنقه حتى تركت كالسلقة فمر به أمير المؤمنين (عليه السلام) فقال له يا أبا عبد الله هذا من ذاك بايع فبايع و أما أبو ذر فأمره أمير المؤمنين (عليه السلام) بالسكوت و لم يكن يأخذه في الله لومة لائم فأبى إلا أن يتكلم فمر به عثمان فأمر به، ثم أناب الناس بعد فكان أول من أناب أبو ساسان الأنصاري و أبو عمرة و شتيرة و كانوا سبعة، فلم يكن يعرف حق أمير المؤمنين (عليه السلام) إلا هؤلاء السبعة
Aliy bin Al Hakam dari Saif bin Umairah dari Abi Bakar Al Hadhramiy yang berkata Abu Ja’far [‘alaihis salaam] berkata orang-orang murtad kecuali tiga yaitu Salman, Abu Dzar dan Miqdaad.
Aku berkata ‘Ammar?. Beliau berkata “sungguh ia telah berpaling
kemudian kembali” kemudian Beliau berkata “sesungguhnya orang yang tidak
ada keraguan didalamnya sedikitpun adalah Miqdaad, adapun Salman
bahwasanya ia nampak dalam hatinya nampak bahwa di sisi Amirul Mukminin
[‘alaihis salaam] terdapat nama Allah yang paling agung yang seandainya
ia meminta dengannya maka bumi akan menelan mereka. Dia ditangkap dan
diikat lehernya sampai meninggalkan bekas, ketika Amirul mukminin
melintasinya, Ia berkata kepadanya [Salman] “wahai Abu ‘Abdullah, inilah
akibat perkara ini, berbaiatlah” maka ia berbaiat. Adapun Abu Dzar maka
Amirul Mukminin [‘alaihis salaam] memerintahkannya untuk diam dan tidak
terpengaruh dengan celaan para pencela di jalan Allah, ia menolak dan
berbicara maka ketika Utsman melintasinya ia memerintahkan dengannya,
kemudian orang-orang kembali setelah itudan mereka yang pertama kembali
adalah Abu Saasaan Al Anshariy, Abu ‘Amrah dan Syutairah maka mereka
jadi bertujuh, tidak ada yang mengenal hak Amirul Mukminin [‘alaihis
salaam] kecuali mereka bertujuh [Rijal Al Kasyiy 1/47 no 24].
Riwayat Al Kasyiy di atas sanadnya dhaif
karena terputus Antara Al Kasyiy dan Aliy bin Al Hakaam. Syaikh Ja’far
Syubhaaniy berkata:
وكفى في ضعفها أن الكشي من أعلام القرن الرابع الهجري القمري ، فلا يصح أن يروي عن علي بن الحكم ، سواء أكان المراد منه الأنباري الراوي عن ابن عميرة المتوفى عام ( 217 ه) أو كان المراد الزبيري الذي عده الشيخ من أصحاب الرضا ( عليه السلام ) المتوفى عام 203
Dan cukup untuk melemahkannya bahwa
Al Kasyiy termasuk ulama abad keempat Hijrah maka tidak shahih ia
meriwayatkan dari Aliy bin Al Hakam, jika yang dimaksud adalah Al
Anbariy yang meriwayatkan dari Ibnu Umairah maka ia wafat tahun 217 atau
jika yang dimaksud adalah Az Zubairiy yang disebutkan Syaikh dalam
sahabat Imam Ar Ridha [‘alaihis salaam] maka ia wafat tahun 203 H
[Adhwaa ‘Ala ‘Aqa’id Syi’ah Al Imamiyah, Syaikh Ja’far Syubhaaniy hal
523].
Disebutkan riwayat di atas oleh Al Mufiid
dalam Al Ikhtishaash dengan sanad yang bersambung hingga Aliy bin Al
Hakam, berikut sanadnya.
علي بن الحسين بن يوسف، عن محمد بن الحسن، عن محمد بن الحسن الصفار، عن محمد بن إسماعيل، عن علي بن الحكم، عن سيف بن عميرة، عن أبي بكر الحضرمي قال: قال أبوجعفر عليه السلام: ارتد الناس إلا ثلاثة نفر: سلمان وأبوذر، والمقداد
Aliy bin Husain bin Yuusuf dari
Muhammad bin Hasan dari Muhammad bin Hasan Ash Shaffaar dari Muhammad
bin Isma’iil dari ‘Aliy bin Al Hakam dari Saif bin ‘Umairah dari Abu
Bakar Al Hadhramiy yang berkata Abu Ja’far [‘alaihis salaam] berkata “orang-orang telah murtad kecuali tiga yaitu Salmaan, Abu Dzar dan Miqdaad…[Al Ikhtishaash Syaikh Mufiid hal 10].
Terlepas dari kontroversi mengenai kitab
Al Ikhtishaash Syaikh Mufiid. Riwayat Al Mufiid di atas sanadnya dhaif
sampai Aliy bin Al Hakam karena Aliy bin Husain bin Yuusuf dan Muhammad
bin Isma’iil majhul
- Aliy bin Husain bin Yusuf, Syaikh Asy Syahruudiy dalam biografinya menyatakan “mereka tidak menyebutkannya” [Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadits, Syaikh Aliy Asy Syahruudiy 5/359 no 9957].
- Muhammad bin Isma’iil Al Qummiy meriwayatkan dari Aliy bin Al Hakam dan telah meriwayatkan darinya Muhammad bin Yahya [Mu’jam Rijal Al Hadits 16/118 no 10293]. Disebutkan bahwa ia majhul [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 502].
Kesimpulannya riwayat di atas dhaif tidak tsabit sanadnya sampai ke Aliy bin Al Hakam maka tidak bisa dijadikan hujjah.
.
Riwayat Kedua:
محمد بن إسماعيل، قال حدثني الفصل بن شاذان، عن ابن أبي عمير عن إبراهيم بن عبد الحميد، عن أبي بصير، قال: قلت لأبي عبد الله ارتد الناس الا ثلاثة أبو ذر وسلمان والمقداد قال: فقال أبو عبد الله عليه السلام: فأين أبو ساسان وأبو عمرة الأنصاري؟
Muhammad bin Isma’iil berkata telah
menceritakan kepadaku Al Fadhl bin Syadzaan dari Ibnu Abi ‘Umair dari
Ibrahiim bin ‘Abdul Hamiid dari Abi Bashiir yang berkata aku berkata
kepada Abu ‘Abdullah “orang-orang telah murtad kecuali tiga yaitu Abu Dzar, Salmaan dan Miqdaad”.
Maka Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] berkata “maka dimana Abu Saasaan
dan Abu ‘Amrah Al Anshaariy?” [Rijal Al Kasyiy 1/38 no 17].
Riwayat ini sanadnya dhaif karena Muhammad bin Isma’iil An Naisaburiy yang meriwayatkan dari Fadhl bin Syadzaan adalah seorang yang majhul [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 500].
.
Riwayat Ketiga:
عدة من أصحابنا، عن محمد بن الحسن عن محمد بن الحسن الصفار، عن أيوب بن نوح، عن صفوان بن يحيى، عن مثنى بن الوليد الحناط، عن بريد بن معاوية، عن أبي جعفر عليه السلام قال: ارتد الناس بعد النبي صلى الله عليه وآله إلا ثلاثة نفر: المقداد بن الأسود، وأبو ذر الغفاري وسلمان الفارسي، ثم إن الناس عرفوا ولحقوا بعد
Sekelompok dari sahabat kami dari
Muhammad bin Hasan dari Muhammad bin Hasan Ash Shaffaar dari Ayuub bin
Nuuh dari Shafwaan bin Yahya dari Mutsanna bin Waliid Al Hanaath dari
Buraid bin Mu’awiyah dari Abi Ja’far [‘alaihis salaam] yang berkata “orang-orang
telah murtad sepeninggal Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] keucali
tiga yaitu Miqdaad bin Aswad, Abu Dzar Al Ghifaariy, dan Salman Al
Faarisiy kemudian orang-orang mengenal dan mengikuti setelahnya [Al Ikhtishaas Syaikh Mufiid hal 6].
Riwayat Al Mufiid di atas kedudukannya
dhaif karena tidak dikenal siapakah “sekelompok sahabat” yang
dimaksudkan dalam sanad tersebut.
.
Riwayat Keempat:
وعنه عن محمد بن الحسن، عن محمد بن الحسن الصفار، عن محمد بن الحسين، عن موسى بن سعدان، عن عبد الله بن القاسم الحضرمي، عن عمرو بن ثابت قال سمعت أبا عبد الله عليه السلام يقول إن النبي صلى الله عليه وآله لما قبض ارتد الناس على أعقابهم كفارا ” إلا ثلاثا ” سلمان والمقداد، وأبو ذر الغفاري، إنه لما قبض رسول الله صلى الله عليه وآله جاء أربعون رجلا ” إلى علي بن أبي طالب عليه السلام فقالوا لا والله لا نعطي أحدا ” طاعة بعدك أبدا “، قال ولم؟ قالوا إنا سمعنا من رسول الله صلى الله عليه وآله فيك يوم غدير [خم]، قال وتفعلون؟ قالوا نعم قال فأتوني غدا ” محلقين، قال فما أتاه إلا هؤلاء الثلاثة، قال وجاءه عمار بن ياسر بعد الظهر فضرب يده على صدره، ثم قال له مالك أن تستيقظ من نومة الغفلة، ارجعوا فلا حاجة لي فيكم أنتم لم تطيعوني في حلق الرأس فكيف تطيعوني في قتال جبال الحديد، ارجعوا فلا حاجة لي فيكم
Dan darinya dari Muhammad bin Hasan
dari Muhammad bin Hasan Ash Shaffaar dari Muhammad bin Husain dari Muusa
bin Sa’dan dari ‘Abdullah bin Qaasim Al Hadhramiy dari ‘Amru bin Tsabit
yang berkata aku mendengar ‘Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] mengatakan “Sesungguhnya
setelah Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] wafat, maka orang-orang
murtad kecuali tiga orang yaitu Salman, Miqdad dan Abu Dzar Al Ghiffariy.
Sesungguhnya setelah Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] wafat,
datanglah empat puluh orang lelaki kepada Aliy bin Abi Talib. Mereka
berkata “Tidak, demi Allah! Selamanya kami tidak akan mentaati
sesiapapun kecuali kepadamu. Beliau berkata Mengapa?. Mereka berkata
“Sesungguhnya kami telah mendengar Rasulullah [shallallahu 'alaihi
wasallam] menyampaikan tentangmu pada hari Ghadir [Khum]. Beliau berkata
“apakah kamu semua akan melakukannya?” Mereka berkata “ya”. Beliau
berkata “datanglah kamu besok dengan mencukur kepala”. [Abu ‘Abdillah]
berkata “Tidak datang kepada Ali kecuali mereka bertiga. [Abu ‘Abdillah]
berkata: ‘Ammar bin Yasir datang setelah Zuhur. Beliau memukul tangan
ke atas dadanya dan berkata kepada Ammar Mengapa kamu tidak bangkit
daripada tidur kelalaian? Kembalilah kamu, kerana aku tidak memerlukan
kamu. Jika kamu tidak mentaati aku untuk mencukur kepala, lantas
bagaimana kamu akan mentaati aku untuk memerangi gunung besi, kembalilah
kamu, aku tidak memerlukan kamu” [Al Ikhtishaash Syaikh Mufiid hal 6].
Riwayat Syaikh Al Mufiid di atas
berdasarkan Ilmu Rijal Syi’ah sanadnya dhaif jiddan karena Musa bin
Sa’dan dan ‘Abdullah bin Qaasim Al Hadhramiy.
- Muusa bin Sa’dan Al Hanath ia adalah seorang yang dhaif dalam hadis [Rijal An Najasyiy hal 404 no 1072].
- ‘Abdullah bin Qaasim Al Hadhramiy seorang pendusta dan ghuluw [Rijal An Najasyiy hal 226 no 594].
.
Riwayat Kelima:
حنان، عن أبيه، عن أبي جعفر (ع) قال: كان الناس أهل ردة بعد النبي (صلى الله عليه وآله) إلا ثلاثة فقلت: ومن الثلاثة؟ فقال: المقداد بن الاسود وأبوذر الغفاري و سلمان الفارسي رحمة الله وبركاته عليهم ثم عرف اناس بعد يسير وقال: هؤلاء الذين دارت عليهم الرحا وأبوا أن يبايعوا حتى جاؤوا بأمير المؤمنين (ع) مكرها فبايع وذلك قول الله تعالى: ” وما محمد إلا رسول قد خلت من قبله الرسل أفإن مات أو قتل انقلبتم على أعقابكم ومن ينقلب على عقبيه فلن يضر الله شيئا وسيجزي الله الشاكرين
Hannan dari ayahnya [Sadiir], dari Abu Ja‘far ['alaihis salaam] yang berkata
“Sesungguhnya orang-orang adalah Ahli riddah [murtad] setelah Nabi
[shallallahu 'alaihi wa alihi] wafat kecuali tiga orang. [Sadiir]
berkata ‘Siapa ketiga orang itu?’ Maka Beliau berkata ‘Miqdaad bin
Aswad, Abu Dzar Al Ghifariy dan Salman Al Farisiy [semoga Allah
memberikan rahmat dan barakah kepada mereka]. Kemudian
orang-orang mengetahui sesudah itu. Beliau berkata mereka itulah yang
menghadapi segala kesulitan dan tidak memberikan ba’iat sampai mereka
mendatangi Amirul Mukminin ['alaihissalaam] yang dipaksa mereka memberi
ba’iat. Demikianlah yang difirmankan Allah SWT “Muhammad itu tidak lain
hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang
Rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang,
barang siapa yang berbalik ke belakang maka ia tidak dapat mendatangkan
mudharat kepada Allah sedikitpun dan Allah akan memberi balasan kepada
orang yang bersyukur [Al Kafiy Al Kulainiy 8/246 no 341]
Sebagian orang mendhaifkan sanad ini
dengan mengatakan bahwa riwayat Al Kulainiy terputus Antara Al Kulainiy
dan Hanaan bin Sadiir. Nampaknya hal ini tidak benar berdasarkan
penjelasan berikut:
Riwayat di atas juga disebutkan Al Kasyiy dalam kitab Rijal-nya dengan sanad Dari Hamdawaih dan Ibrahim bin Nashiir dari Muhammad bin ‘Utsman dari Hannan dari Ayahnya dari Abu Ja’far
[Rijal Al Kasyiy 1/26 no 12]. Al Majlisiy dalam kitabnya Bihar Al Anwar
mengutip hadis Al Kasyiy tersebut kemudian mengutip sanad Al Kafiy
dengan perkataan berikut
الكافي: علي عن أبيه عن حنان مثله
Al Kafiy : Aliy [bin Ibrahim] dari Ayahnya dari Hanaan seperti di atas [Bihar Al Anwar 28/237]
Al Kulainiy menyebutkan dalam Al Kafiy pada riwayat sebelumnya sanad yang sama yaitu nampak dalam riwayat berikut
علي بن ابراهيم، عن أبيه، عن حنان بن سدير، ومحمد بن يحيى، عن أحمد بن محمد عن محمد بن إسماعيل، عن حنان بن سدير، عن أبيه قال: سألت أبا جعفر
Aliy bin Ibrahim dari Ayahnya dari
Hanaan bin Sadiir dan Muhammad bin Yahya dari Ahmad bin Muhammad dari
Muhammad bin Isma’iil dari Hanaan bin Sudair dari Ayahnya yang berkata
aku bertanya kepada Abu Ja’far [‘alaihis salaam]… [Al Kafiy Al Kulainiy
8/246 no 340].
Maka disini dapat dipahami bahwa dalam pandangan Al Majlisiy sanad utuh riwayat tersebut adalah Aliy bin Ibrahim dari Ayahnya dari Hanaan dari Ayahnya dari Abu Ja’far [‘alaihis salaam]
Sanad ini para perawinya tsiqat selain Sadiir bin Hakiim Ash Shairaafiy,
ia tidak dikenal tautsiq-nya dari kalangan ulama mutaqaddimin Syi’ah
tetapi Allamah Al Hilliy telah menyebutkannya dalam bagian pertama
kitabnya yang memuat perawi yang terpuji dan diterima di sisi-nya. Dalam
kitabnya tersebut Al Hilliy juga menukil Sayyid Aliy bin Ahmad Al
Aqiiqiy yang berkata tentang Sadiir bahwa ia seorang yang mukhalith
[kacau atau tercampur] [Khulashah Al Aqwaal hal 165 no 3]. Pentahqiq
kitab Khulashah Al Aqwal berkata bahwa lafaz mukhalith tersebut bermakna
riwayatnya ma’ruf dan mungkar.
Dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan
Allamah Al Hilliy, Sadiir bin Hakiim termasuk perawi yang diterima hanya
saja dalam sebagian riwayatnya kacau sehingga diingkari. Kedudukan
perawi seperti ini tidak bisa dijadikan hujjah jika tafarrud dan tidak
diterima hadisnya jika bertentangan dengan riwayat perawi tsiqat.
Berikut riwayat shahih dari Abu Ja’far [‘alaihis salaam] yang
membuktikan keislaman para sahabat pada saat itu.
أبى رحمه الله قال: حدثنا سعد بن عبد الله قال: حدثنا أحمد بن محمد ابن عيسى، عن العباس بن معروف، عن حماد بن عيسى، عن حريز، عن بريد بن معاوية، عن أبي جعفر ” ع ” قال: إن عليا ” ع ” لم يمنعه من أن يدعو الناس إلى نفسه إلا انهم ان يكونوا ضلالا لا يرجعون عن الاسلام أحب إليه من أن يدعوهم فيأبوا عليه فيصيرون كفارا كلهم
Ayahku [rahimahullah] berkata telah
menceritakan kepada kami Sa’d bin ‘Abdullah yang berkata telah
menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Iisa dari ‘Abbaas bin
Ma’ruuf dari Hammad bin Iisa dari Hariiz dari Buraid bin Mu’awiyah dari
Abi Ja’far [‘alaihis salaam] yang berkata sesungguhnya Aliy [‘alaihis
salaam], tidak ada yang mencegahnya mengajak manusia kepadanya kecuali
bahwa mereka dalam keadaan tersesat tetapi tidak keluar dari Islam
lebih ia sukai daripada ia mengajak mereka dan mereka menolaknya maka
mereka menjadi kafir seluruhnya [Ilal Asy Syara’i Syaikh Ash Shaduq
1/150 no 10].
Riwayat Syaikh Ash Shaduq di atas sanadnya shahih berdasarkan standar Ilmu Rijal Syi’ah berikut keterangan para perawinya.
- Ayah Syaikh Shaduq adalah ‘Aliy bin Husain bin Musa bn Babawaih Al Qummiy disebutkan oleh An Najasyiy Syaikh yang faqih dan tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 261 no 684]
- Sa’d bin ‘Abdullah Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 135]
- Ahmad bin Muhammad bin Iisa Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 351]
- ‘Abbaas bin Ma’ruf Abu Fadhl Al Qummiy seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 281 no 743]
- Hammaad bin Iisa Abu Muhammad Al Juhaniy seorang yang tsiqat dalam hadisnya shaduq [Rijal An Najasyiy hal 142 no 370]
- Hariiz bin ‘Abdullah As Sijistaniy orang kufah yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 118]
- Buraid bin Mu’awiyah meriwayatkan dari Abu Ja’far [‘alaihis salaam] dan Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam], seorang yang tsiqat faqiih [Khulashah Al Aqwaal Allamah Al Hilliy hal 81-82]
Riwayat Syaikh Ash Shaduq dengan jelas
menyatakan bahwa para sahabat yang tidak membaiat Imam Aliy [‘alaihis
salaam] pada saat itu memang dalam keadaan tersesat tetapi tidak keluar
dari Islam.
.
Hadis Yang Tidak Ada Lafaz Murtad.
Ada dua hadis yang tidak mengandung lafaz
“murtad” hanya menunjukkan bahwa mereka para sahabat meninggalkan baiat
atau telah tersesat dan celaka kecuali tiga orang. Dan berdasarkan
hadis shahih sebelumnya [riwayat Syaikh Ash Shaduq] mereka para sahabat
yang tidak membaiat Imam Aliy adalah orang-orang yang tersesat tetapi
tidak keluar dari Islam
.
Riwayat Pertama:
محمد بن مسعود، قال حدثني علي بن الحسن بن فضال، قال حدثني العباس ابن عامر، وجعفر بن محمد بن حكيم، عن أبان بن عثمان، عن الحارث النصري بن المغيرة، قال سمعت عبد الملك بن أعين، يسأل أبا عبد الله عليه السلام قال فلم يزل يسأله حتى قال له: فهلك الناس إذا؟ قال: أي والله يا ابن أعين هلك الناس أجمعون قلت من في الشرق ومن في الغرب؟ قال، فقال: انها فتحت على الضلال أي والله هلكوا الا ثلاثة ثم لحق أبو ساسان وعمار وشتيرة وأبو عمرة فصاروا سبعة
Muhammad bin Mas’ud berkata telah
menceritakan kepadaku Aliy bin Hasan bin Fadhl yang berkata telah
menceritakan kepadaku ‘Abbas Ibnu ‘Aamir dan Ja’far bin Muhammad bin
Hukaim dari Aban bin ‘Utsman dari Al Harits An Nashriy bin Mughiirah
yang berkata aku mendengar ‘Abdul Malik bin ‘A’yun bertanya kepada Abu
‘Abdullah [‘alaihis salaam], ia tidak henti-hentinya bertanya kepadanya
sampai ia berkata kepadanya “maka orang-orang telah celaka?”. Beliau
berkata “demi Allah, wahai Ibnu A’yun orang-orang telah celaka
seluruhnya”. Aku berkata “orang-orang yang di Timur dan orang-orang yang
di Barat?”. Beliau berkata “sesungguhnya
mereka berada dalam kesesatan, demi Allah mereka celaka kecuali tiga
kemudian diikuti Abu Saasaan, ‘Ammar, Syutairah dan Abu ‘Amrah hingga
mereka jadi bertujuh [Rijal Al Kasyiy 1/34-35 no 14].
Riwayat Al Kasyiy di atas sanadnya
muwatstsaq para perawinya tsiqat hanya saja Aliy bin Hasan bin Fadhl
disebutkan bahwa ia bermazhab Fathahiy dan Aban bin ‘Utsman bermazhab
menyimpang.
- Muhammad bin Mas’ud termasuk guru Al Kasyiy dan ia seorang yang tsiqat shaduq [Rijal An Najasyiy hal 350 no 944].
- Aliy bin Hasan bin Fadhl orang Kufah yang faqih, terkemuka, tsiqat dan arif dalam ilmu hadis [Rijal An Najasyiy hal 257 no 676].
- ‘Abbaas bin ‘Aamir bin Rabah, Abu Fadhl Ats Tsaqafiy seorang syaikh shaduq tsiqat banyak meriwayatkan hadis [Rijal An Najasyiy hal 281 no 744].
- Abaan bin ‘Utsman Al Ahmar, Al Hilliy menukil dari Al Kasyiy bahwa terdapat ijma’ menshahihkan apa yang shahih dari Aban bin ‘Utsman, dan Al Hilliy berkata “di sisiku riwayatnya diterima dan ia jelek mazhabnya” [Khulashah Al ‘Aqwaal Allamah Al Hilliy hal 74 no 3].
- Al Harits bin Mughiirah meriwayatkan dari Abu Ja’far, Ja’far, Musa bin Ja’far dan Zaid bin Aliy, tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 139 no 361].
- Abdul Malik bin A’yun termasuk sahabat Imam Baqir [‘alaihis salaam] dan Imam Shadiq [‘alaihis salaam], disebutkan dalam riwayat shahih oleh Al Kasyiy mengenai kebaikannya dan istiqamah-nya [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 356]. Allamah Al Hilliy memasukkannya ke dalam daftar perawi yang terpuji atau diterima di sisinya [Khulashah Al Aqwaal hal 206 no 5].
Riwayat Al Kasyiy di atas tidak bisa
dijadikan hujjah untuk mengkafirkan mayoritas sahabat Nabi karena dalam
lafaz riwayat-nya memang tidak terdapat kata-kata kafir atau murtad.
Riwayat diatas menjelaskan bahwa para sahabat telah celaka dan mengalami
kesesatan [karena perkara wilayah] tetapi hal ini tidaklah mengeluarkan
mereka dari Islam sebagaimana telah ditunjukkan riwayat shahih
sebelumnya.
.
.
Riwayat Kedua:
حمدويه، قال حدثنا أيوب عن محمد بن الفضل وصفوان، عن أبي خالد القماط، عن حمران، قال: قلت لأبي جعفر عليه السلام ما أقلنا لو اجتمعنا على شاة ما أفنيناها! قال، فقال: الا أخبرك بأعجب من ذلك؟ قال، فقلت: بلي. قال: المهاجرون والأنصار ذهبوا (وأشار بيده) الا ثلاثة
Hamdawaih berkata telah menceritakan
kepada kami Ayuub dari Muhammad bin Fadhl dan Shafwaan dari Abi Khalid
Al Qamaath dari Hamran yang berkata aku berkata kepada Abu Ja’far
[‘alaihis salaam] “betapa sedikitnya jumlah kita, seandainya kita
berkumpul pada hidangan kambing maka kita tidak akan menghabiskannya”.
Maka Beliau berkata “maukah aku kabarkan kepadamu hal yang lebih
mengherankan daripada itu?”. Aku berkata “ya”. Beliau berkata “Muhajirin dan Anshar meninggalkan [dan ia berisyarat dengan tangannya] kecuali tiga [Rijal Al Kasyiy 1/37 no 15].
Riwayat Al Kasyiy di atas sanadnya shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah berikut keterangan mengenai para perawinya.
- Hamdawaih bin Nashiir dia seorang yang memiliki banyak ilmu dan riwayat, tsiqat baik mazhabnya [Rijal Ath Thuusiy hal 421].
- Ayuub bin Nuuh bin Daraaj, agung kedudukannya di sisi Abu Hasan dan Abu Muhammad [‘alaihimus salaam], ma’mun, sangat wara’, banyak beribadah dan tsiqat dalam riwayatnya [Rijal An Najasyiy hal 102 no 254].
- Shafwaan bin Yahya Abu Muhammad Al Bajalliy seorang yang tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 197 no 524].
- Yaziid Abu Khalid Al Qammaath seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 452 no 1223].
- Hamran bin A’yun termasuk diantara Syaikh-syaikh Syi’ah yang agung dan memiliki keutamaan yang tidak diragukan tentang mereka [Risalah Fii Alu A’yun Syaikh Abu Ghalib hal 2].
Riwayat Al Kasyiy di atas juga tidak bisa
dijadikan hujjah untuk mengkafirkan mayoritas sahabat Nabi karena tidak
ada dalam riwayat tersebut lafaz kafir atau murtad. Riwayat ini
menunjukkan bahwa para sahabat meninggalkan Imam Aliy dan membaiat
khalifah Abu Bakar [radiallahu 'anhu] sepeninggal Nabi [shallallahu
'alaihi wasallam]. Dan sebagaimana disebutkan dalam riwayat shahih
sebelumnya bahwa mereka telah tersesat tetapi hal itu tidak mengeluarkan
mereka dari Islam.
.
Kesimpulan:
Dalam mazhab Syi’ah, Para sahabat Nabi
yang tidak membaiat Imam Aliy ['alaihis salaam] telah tersesat [kecuali
tiga orang] karena menurut mazhab Syi’ah, Imamah Aliy bin Abi Thalib
telah ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Tetapi walaupun begitu
disebutkan juga dalam hadis shahih mazhab Syi’ah bahwa kesesatan para
sahabat tersebut tidaklah mengeluarkan mereka dari islam.
Mari kita lihat sejarah.
Tiga Kelompok Penyeleweng Kebenaran.
Pertama:
PARA SEJARAHWAN.
Peranan Sejarah Di Dalam Membangkitkan Umat.
Sesungguhnya
umat yang maju adalah umat yang mengambil pelajaran dari sejarah, dan
menghadirkan pengalaman-pengalaman sejarah di hadapannya, setelah
sebelumnya menyadari hukum-hukum sejarah yang akan menuntun umat menuju
peradaban. Di samping juga mengetahui sebab-sebab kehancuran dan
kemunduran umat-umat terdahulu. Allah SWT tidak mengkhususkan satu hukum
untuk sebuah kaum dan tidak bagi kaum yang lain, melainkan Allah
menjadikannya sebagai satu sunah yang tidak berubah. Allah SWT
berfirman, "Maka sekali-kali kamu tidakakan mendapatpenggantian bagi
sunah Allah, dan sekali-kali tidak pula akan menemui penyimpangan bagi
sunah Allah itu.
Kehidupan
berdiri di atas satu hakikat, yaitu pertarungan yang terus-menerus di
antara yang hak dengan yang batil. Seluruh peristiwa yang terjadi di
dalam sejarah manusia tidak keluar dari konteks pertarungan ini. Dengan
hati nurani kita dapat menyelami sejarah dan menjadikannya hidup serta
berinteraksi dengan kehidupan kita sekarang. Kita dapat menyelami lebih
dalam tentang terjadinya berbagai perpecahan mazhab di dalam sejarah
umat Islam. Untuk mengkaji ini mau tidak mau kita harus mengesampingkan
berbagai emosi dan kecenderungan pribadi, dan mendasarkan diri kepada
kaidah-kaidah Al-Qur'an. Sehingga kita mampu melakukan analisa yang
objektif, dan mampu melihat berbagai peristiwa bukan hanya sebatas
permukaannya saja melainkan sampai ke substansinya. Dengan begitu kita
akan bisa sampai kepada penglihatan yang jelas dan objektif, dan bukan
penglihatan yang salah dan rancu.
Untuk
itu, marilah kita mulai sebagaimana seolah-olah Al-Qur’an al-Karim baru
diturunkan kepada kita. Kita membaca di dalam Al-Qur'an, "Dan apakah
mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan
bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang yang sebelum mereka?
Orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah
mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang
telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul
mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali
tidak berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku
zalim kepada diri sendiri." (QS. ar-Rum: 9).
Sebaliknya,
umat yang beku tidak mampu memahami sejarah beserta hukum-hukum dan
pengalaman-pengalamannya. Oleh karena itu, mereka kehilangan kemampuan
penglihatan yang menjadikan mereka mampu menguasai peristiwa-peristiwa
sekarang dan berjalan menyongsong masa depan.
Kekuasaan Dan Penyelewengan Sejarah.
Jika
demikian, maka setiap penolakan untuk melakukan pengkajian sejarah,
dengan alasan akan membangkitkan fitnah-fitnah yang telah lalu, atau
alasan-alasan lainnya, tidaklah pada tempatnya. Penolakan itu tidak lain
hanya menunjukkan kebodohan orang yang ber-sangkutan. Pada hakikatnya,
seandainya pun di sana terdapat fitnah, maka fitnah itu disebabkan
pemalsuan dan penyelewengan yang dilakukan terhadap sejarah. Karena
sejarah sebagai sebuah sejarah, dia tidak lebih hanya merupakan sebuah
cermin yang memantulkan peristiwa-peristiwa yang telah lalu bagi
orang-orang yang sekarang, dengan tanpa adanya rekayasa dan pemalsuan.
Namun, manakala sejarah jatuh ke tangan para politikus kotor maka dia
akan berubah bentuknya dan akan rusak wajahnya. Dari sinilah kemudian
timbulnya berbagai pandangan dan mazhab. Karena, jika sejarah
lurus-lurus saja dan tidak ada rekayasa maka tentu akan tersingkap
kepalsuan berbagai mazahab yang ada dan akan diketahui kebatilannya.
Apa
yang diderita oleh kaum Muslimin sekarang, berupa terkotak-kotaknya
mereka ke dalam beberapa mazhab dan kelompok, itu tidak lain merupakan
buah dari berbagai penyelewengan yang terjadi di dalam sejarah Islam,
yaitu berupa pemalsuan dan penyembunyian kebenaran yang dilakukan oleh
para sejarahwan. Mereka adalah bagian yang tidak terpisahkan dari para
perencana yang hendak mendiskredirkan mazhab Ahlul Bait untuk
kepentingan politik. Para perencana ini telah bermain di semua
tingkatan, untuk membentuk arus lain yang mempunyai tampilan Islam,
sebagai lawan dari Islam yang sesungguhnya. Oleh karena sejarah
menceritakan seluruh apa yang dilihatnya, maka para perencana ini mau
tidak mau harus membungkam dan membutakannya, sehingga tidak dapat
menyingkap tipu daya yang dilakukannya. Oleh karena itu, mereka
menempatkan sejarah di dalam gengaman tangan penguasa, supaya sejarah
itu ber-gerak ke arah mana saja penguasa bergerak.
Maka
para sejarahwan pun berada di bawah ancaman dan bujukan para penguasa.
Bulu-bulu tangan mereka bergetar karena harus memalsukan kebenaran.
Kebijakan politik yang diikuti para penguasa Bani Umayyah, dan kemudian
dilanjutkan oleh para penguasa Bani Abbas, sejak awal adalah bertujuan
untuk mencemarkan wajah Ahlul Bait as. Semata-mata menyatakan kecintaan
kepada Ali bin Abi Thalib dan Ahlul Baitnya, cukup menjadi alasan
seseorang untuk dihancurkan rumahnya dan diputus bagiannnya dari baitul
mal. Bahkan Mu'awiyah senantiasa mengintai Syi'ah Ali dengan mengatakan,
"Bunuh mereka, meski mereka hanya baru disangka syi'ahnya Ali."
Sehingga menyebutkan keutaman-keutamaan m Ahlul Bait as merupakan sebuah
kejahatan yang tidak dapat diampuni. Untuk mengetahui tragedi-tragedi
yang menimpa para Imam Ahlul Bait dan para syi'ah mereka, silahkan Anda
merujuk kepada kitab Magatil ath-Thalibiyin, karya Abul Faraj
al-Isfahani.
Apalagi
dengan para sejarahwan. Tidak mudah bagi mereka pada kondisi yang keras
ini menuliskan keutamaan-keutamaan Ahlul Bait dan menyebutkan sejarah
kehidupan mereka yang cemerlang.
Demikianlah,
generasi demi generasi mewariskan kebenaran yang telah diselewengkan.
Bahkan, keadaan berkembang lebih jauh dari itu manakala para ulama
terkemudian (muta'akhkhir) membenarkan para pendahulunya, dan menukil
segala sesuatu dari mereka dengan tanpa melakukan pengkajian dan
perenungan. Maka rasa permusuhan kepada Ahlul Bait dan Syi'ah mereka pun
menjadi berakar, dan demikian juga kebodohan terhadap pihak lain.
Tidaklah aneh mana-kala Ibnu Katsir menceritakan Ja'far bin Muhammad
ash-Shadiq as di dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun
seratus empat puluh delapan Hijrah, dia tidak lebih hanya mengatakan,
"Pada tahun itu Ja'far bin Muhammad ash-Shadiq wafat." Dia hanya
menyebutkan tahun wafatnya, namun tidak sedikit pun menyebutkan sesuatu
dari kehidupannya. Banyak sekali bukti-bukti penyeleweangan yang
dilakukan oleh para sejarahwan. Kita cukupkan dengan hanya menyebut
beberapa contoh darinya.
PARA SAHABAT DAN AYAT INQILAB.
"Muhammad
itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya
beberapa orang rasul. Apakahjika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik
ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia
tidak dapat mendatangkan madharat kepada Allah sedikit pun; dan Allah
akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur." (QS. Ali Imran:
144).
Sesungguhnya
titik berat ayat yang mulia ini berbicara tentang wafatnya Rasulullah
saw dan peristiwa pembelotan yang terjadi sesudahnya. Titik berat
pembicaraan ayat ini terkumpul di dalam tiga ungkapan, yaitu ungkapan
"Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul", "Apakah jika dia wafat
atau dibunuh", dan "Kamu akan berbalik ke belakang?" Untuk mendalami
ayat ini dan membahasnya secara rinci, mau tidak mau kita harus
melontarkan beberapa pertanyaan yang tajam, untuk menggali pemikiran dan
berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Mengapa
Allah SWT tidak cukup hanya dengan mengatakan "Muhammad itu tidak lain
hanyalah seorang rasul", melainkan melanjutkannya secara langsung dengan
kata-kata "Apakahjika dia wafat atau dibunuh", padahal konteks ayat di
atas berdiri tegak dengan ungkapan pertama?
Apa
perbedaan antara mati dan terbunuh? Huruf "aw" athaf (atau) memberikan
arti pemisahan antara ma'thuf dengan ma'thuf 'alaih, lantas apa
perbedaan di antara keduanya? Mengapa pengulangan ini muncul dari Allah
SWT, padahal Dia mengetahui bahwa Rasulullah akan mati? Siapa orang yang
disinggung di dalam firman-Nya "Jika kamu berbalik ke belakang"! Dari
apa mereka berbalik ke belakang? Dan apa hubungannya antara pembelotan
(berbalk ke belakang) dengan wafatnya Rasulullah saw?
Konteks
ayat ini berbicara tentang sikap istiqamah, lantas kenapa ayat ini
menggunakan kata-kata "Dan Allah akan memberikan balasan kepada
orang-orang yang bersyukur", dan tidak mengatakan "Dan Allah akan
memberikan balasan kepada orang-orang yang istiqamah, orang-orang
Muslim, atau orang-orang Mukmin?"
Sebelum kita menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, mau tidak mau kita harus menyebutkan dua mukaddimah berikut:
Pertama,
tentang sebab-sebab turunnya ayat ini. Para mufassir menyebutkan bahwa
yang menjadi sebab turunnya ayat ini ialah kekalahan yang diderita oleh
kaum Muslimin setelah peperangan Uhud, di mana kaum musyrikin
menyebarkan berita bahwa Rasulullah saw telah terbunuh di dalam
peperangan. Berita ini telah menciptakan kerapuhan, kemunduran dan
keraguan pada sebagian kaum Muslimin. Maka Allah SWT menurunkan ayat ini
sebagai teguran terhadap kaum Muslimin atas yang demikian.
Kedua,
mana yang pokok di dalam ayat-ayat Al-Qur'an? Apakah yang pokok ialah
bahwa ayat-ayat Al-Qur'an cocok untuk seluruh jaman, kecuali yang
dikecualikan oleh suatu dalil? Atau, apakah justru sebaliknya?
Maksudnya
ialah, jika ayat-ayat Al-Qur'an cocok untuk seluruh jaman, maka kita
dapat mengumumkan makna ayat di atas kepada jaman-jaman yang lain selain
dari jaman yang menjadi sebab-sebab turunnya ayat. Jika tidak, maka
berarti kita terikat dengan sebab-sebab yang melatar belakangi turunnya
ayat di atas, dan penggenaralisiran ayat di atas kepada jaman-jaman yang
lain selain dari jamannya itulah yang memerlukan alasan.
Para
ulama Islam, baik dari kalangan Ahlus Sunnah maupun Syi'ah sepakat
bahwa pengambilan pelajaran berdasarkan keumuman lafaz, bukan
berdasarkan kekhususan sebab. Jika yang menjadi pokok ialah tidak
berlakunya ayat-ayat Al-Qur'an pada setiap jaman, niscaya akan batallah
pelaksanaan Al-Qur'an pada jaman-jaman berikut, atau kita akan
meninggalkan sebagian besar ayat Al-Qur'an di dalam kebekuan dan
ketidak-sesuaian dengan jaman. Hal ini jelas tidak sejalan dengan ruh
Islam, dan juga tidak sejalan dengan ajaran-ajarannya serta keumumannya.
Ini adalah dalil akal. Dan sebagian besar ayat Al-Qur'an mendukung
dalil ini, dimana ayat-ayat tersebut mendorong manusia untuk mau
bertadabbur dan mengamalkan Al-Qur'an, serta mengecam perbuatan
sebaliknya.
Jika
kita membenarkan pendapat yang kedua, niscaya tidak akan ada artinya
firman Allah SWT yang berbunyi, "Dan apabila dibacakan Al-Qur'an, maka
dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu
mendapat rahmat." Karena, ayat ini mengisyaratkan kepada seluruh
Al-Qur'an, dan tidak mengkhususkan kepada sebagian dari ayat-ayat
Al-Qur'an, melainkan kita harus berusaha untuk bisa memahami seluruh
ayat-ayat Al-Qur'an, memperhatikannya dan me-metik pelajaran darinya.
Hal ini sebagaimana yang Allah perintahkan kepada kita untuk
mentadabburinya, "Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an
ataukah hati mereka terkunci?"
Al-Qur'an
al-Karim mengecam orang yang mengimani sebagian Al-Qur'an dan tidak
mengimani sebagian lainnya, "(Yaitu) orang-orang yang telah menjadikan
Al-Qur'an itu terbagi-bagi.
"(Yaitu) orang-orang beriman kepada sebagian al-Kitab (Al-Qur'an) dan kafir kepada sebagian yang lain."
Allah SWT berfirman,
"Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al-Qur'an ini bermacam-macam perumpamaan." (QS. al-Kahfi: 54).
"Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur'an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?" (QS. al-Qamar: 17).
"Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui. " (QS. Fushshilat: 3).
"Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Qur'an dalam bahasa Arab supaya kamu memahaminya." (QS. az-Zukhruf: 3).
Ayat-ayat ini mendorong kita untuk berpegang kepada Al-Qur'an seluruhnya, tidak sebagiannya.
Alhasil,
jika kita berpegang kepada pendapat yang kedua, maka tidak ada seorang
pun dari kaum Muslimin yang menerimanya. Kalau pun seandainya kita
berpegang kepada pendapat yang kedua, sesungguhnya ayat yang sedang
menjadi pembahasan kita mempunyai dalil-dalil yang membuktikan bahwa dia
tidak hanya khusus bagi jaman pada saat dia turun, melainkan dia terus
berlaku sepanjang kehidupan Rasulullah saw, dan bahkan sesudahnya.
Adapun dalil-dalil tersebut adalah sebagai berikut:
Sesungguhnya
berita yang tersebar pada saat peperangan Uhud ialah berita terbunuhnya
Rasulullah saw. Dan ayat ini berbicara tentang kejadian wafatnya
Rasulullah saw, "Apakah jika dia wafat atau dibunuh... " Seandainya ayat
ini hanya dikhususkan bagi jaman pada saat dia diturunkan, maka tentu
Allah SWT akan berkata, "Apa-kah jika dia dibunuh ". Sepertinya,
penyebutan kata "wafat" adalah untuk menunjukkan bahwa perbuatan
berbalik ke belakang yang terjadi pada peperangan Uhud juga akan terjadi
pada saat setelah kematian Rasulullah saw.
Faidah
praktis dari mukaddimah ini dalam pembahasan kita ialah, kita tidak
dibebani kewajiban untuk mengemukakan sebuah dalil yang mengumumkan ayat
inqilab ini kepada kejadian yang bukan merupakan sebab turunnya ayat
ini, jika pendapat pertama yang benar, dan ini adalah pendapat yang
benar —sebagaimana yang Anda saksikan. Adapun berdasarkan pendapat yang
kedua, mau tidak mau harus ada sebuah dalil khusus untuk membuktikan
bahwa ayat ini tidak hanya dikhususkan bagi kejadian tempat dia
diturunkan, melainkan berlaku sepanjang kehidupan Rasulullah saw, dan
bahkan jaman sepeninggal beliau. Seandainya pendapat yang kedua itu yang
benar, maka dalil yang menunjukkan berlakunya ayat ini sepanjang
kehidupan Rasulullah saw dan bahkan jaman sepeninggal beliau, terdapat
di dalam ayat itu sendiri. Di mana, dan bagaimana?
Adapun
pertanyaan "di mana", maka jawabannya ialah di dalam firman Allah SWT
yang berbunyi "Apakah jika dia wafat atau dibunuh..." Sedangkan
pertanyaan "bagaimana", maka jawabannya ialah bahwa berita yang tersebar
luas di sekitar dan di dalam kota Madinah pada saat terjadi peperangan
Uhud ialah berita terbunuhnya Rasulullah saw, yang menyebabkan sebagian
dari para sahabat murtad dan berbalik ke belakang. Jika Allah SWT hendak
mengkhususkan ayat ini hanya bagi peperangan Uhud, niscaya Allah SWT
akan mengatakan, "Apakah jika dia terbunuh..." Namun penyebutan kata
"wafat" oleh Allah SWT di dalam ayat, "Apakahjika dia wafat atau
terbunuh...", memberikan pengertian yang pasti bahwa keadaan yang sama
benar-benar akan terulang pada saat Rasulullah saw meninggal dunia.
Insya
Allah, akan datang penjelasan lebih rinci kepada Anda yang menguatkan
bahwa ayat ini tidak hanya terbatas kepada peristiwa perang Uhud,
melainkan juga mencakup jaman hingga meninggalnya Rasulullah saw, dan
bahkan jaman sesudahnya.
Ketahuilah, sesungguhnya mati mempunyai dua arti: Mati dalam arti umum, yaitu peristiwa dicabutnya ruh,
"Di
mana saja kamu berada, kematian akan mendatangi kamu, meski pun kamu
berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh." (QS. an-Nisa: 78).
"Dan Dialah Allah yang telah menghidupkan kamu, kemudian mematikan kamu, kemudian menghidupkan kamu (lagi)." (QS. al-Hajj: 66).
Juga
terdapat mati dalam arti khusus, sebagai lawan dari terbunuh. Yaitu
orang yang mati disebabkan telah rusaknya bangunan kehidupannya. Dan
ayat mana saja yang menyebutkan kedua kata tersebut secara bersamaan,
yaitu kata mati dan terbunuh, maka yang dimaksud dengan mati adalah mati
dalam arti khusus. Pengertian ini lebih bertambah kuat lagi manakala
digunakan kata aw (atau), yang memberikan arti pemisahan di antara
ma'thuf dan ma'thuf 'alaih. Contohnya ialah firman Allah SWT yang
berbunyi,
"Dan
sungguh kalau kamu terbunuh di jalan Allah atau meninggal dunia,
tentulah ampunan Allah dan rahmat-Nya lebih baik (bagimu) dari harta
rampasan yang mereka kumpulkan." (QS. Ali Imran: 157).
"Dan sungguh jika kamu meninggal dunia atau terbunuh, tentulah kepada Allah saja kamu dikumpulkan." (QS. Ali Imran: 158).
"Kalau mereka tetap bersama-sama kita tentulah mereka tidak mati dan tidak dibunuh." (QS. Ali Imran: 156).
Karena,
jika kata "mati" di dalam ayat-ayat ini bermakna umum maka tentu tidak
diperbolehkan menggunakan kata "terbunuh", karena sudah tercakup di
dalamnya. Dan jika hal itu dilakukan, maka ini berarti bertentangan
dengan kefasihan bahasa. Dari sini kita dapat membuktikan bahwa yang
dimaksud dengan mati di dalam ayat Inqilab ialah mati dalam arti khusus,
yang merupakan lawan dari kata terbunuh.
Kenapa
Allah SWT menekankan kepada sifat kerasulan pada diri Rasul-Nya, dengan
mengatakan bahwa dia adalah seorang rasul, sebagaimana telah berlalu
sebelumnya beberapa orang rasul. Untuk tujuan itu sebenarnya Allah SWT
cukup dengan hanya mengatakan, "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang
rasul", namun kenapa Allah SWT melanjutkannya secara langsung dengan
mengatakan, "Apabila dia wafat atau dia dibunuh"?
Yang
terbayang pertama kali di dalam menjawab pertanyaan ini adalah
sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian para mufassir, yaitu bahwa
Allah SWT hendak menarik perhatian kaum Muslimin kepada sebuah hakikat,
bahwasannya Nabi Muhammad saw itu tidak kekal. Dia itu akan mati dan
berlalu. Keadaannya persis sebagaimana rasul-rasul yang lain yang telah
mati dan berlalu. Makna ini adalah makna yang tampak, namun bukan
satu-satunya makna. Karena kalau sekiranya maksud Allah SWT hanya
sebatas hendak menetapkan sifat kematian bagi Rasulullah saw, maka
tentunya Allah SWT akan me-ngatakan, "Muhammad itu tidak lain hanyalah
seorang manusia, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang
manusia." Untuk menekankan kepada kefanaan dan ketidak-langgengan yang
sudah merupakan tabiat manusia. Juga terdapat beberapa arti yang lebih
luas dan lebih dalam dari arti ini, yang menuntut dikemukakannya dan
ditekankannya sifat kerasulan. Yaitu,
Pertama,
sebagaimana keberadaan agama tidak digantungkan kepada kehidupan
rasul-rasul yang lalu, maka demikian juga keberadaan agama ini tidak
digantungkan kepada kehidupan Rasulullah saw. Sebagaimana para nabi
terdahulu meninggal dunia dan agama tetap berlangsung sepeninggal
mereka, maka demikian pula manakala Rasulullah saw meninggal dunia atau
terbunuh, agama akan tetap berlangsung sepeninggalnya.
Kedua,
ini merupakan arti yang paling dalam dan paling mencakup, yaitu
penekanan terhadap hakikat kesesuaiaan sunah-sunah di antara umat
sepeninggal rasul-rasulnya. Maka apa yang telah terjadi atas umat-umat
tersebut, akan terjadi pula atas umat ini. Al-Qur'an, sunah Rasulullah
saw dan kenyataan menguatkan hakikat ini. Adapun Al-Qur'an al-Karim
mengatakan,
"Rasul-rasul
itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain. Di
antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan
sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat. Dan Kami berikan
kepada Isa putra Maryam beberapa mukjizat serta Kami perkuat dia dengan
ruhul qudus. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah
berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu,
sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akn tetapi
mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula)
di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah
mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang
dikehendaki-Nya." (QS. al-Baqarah: 253).
Dhamir
(kata ganti) hum kembali kepada kata ar-rusul (rasul-rasul). Jika yang
dikehendaki oleh Allah SWT hanyalah Isa as maka tentu Allah SWT akan
menggunakan ungkapan "min ba'dih" (sesudahnya). Juga tidak bisa
dikatakan bahwa yang dikehendaki oleh Allah dengan dhamir "hum" (mereka)
adalah Isa as, sebagai penghormatan. Karena kedudukan dhamir "hum" pada
kata "min ba'dihim" (sesudah mereka) dengan maksud sebagai pengagungan,
itu bertentangan dengan kefasihan. Adapun berkenaan dengan orang yang
mengatakan bahwa dhamir "hum" hanya merupakan makna majazi (kiasan),
maka kita katakan, sesungguhnya jika terjadi keraguan apakah suatu lafaz
itu digunakan dalam arti majazi (kiasan) atau hakiki (arti sebenarnya)
maka kita berpegang kepada arti hakiki. Pada penggunaan dhamir hum dalam
arti hakiki maka dhamir hum kembali kepada "rasul-rasul itu", yang
salah satu di antaranya adalah Rasulullah saw, berdasarkan petunjuk ayat
sebelumnya yang berbunyi, "Itu adalah ayat-ayat Allah. Kami bacakan
kepadamu dengan benar, dan sesungguhnya kamu benar-benar salah seorang
di antara nabi-nabi yang diutus." Kemu-dian Allah SWT melanjutkan,
"Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagi-an dari mereka atas sebagian yang
lain."
Kemudian,
sesungguhnya perihal kesesuaian sunah-sunah juga ditunjukan oleh banyak
riwayat yang masyhur dan sahih, yang disepakati oleh kaum Muslimin.
Seperti sabda Rasulullah saw yang berbunyi, "Niscaya kamu akan mengikuti
sunah-sunah orang sebelummu. Bulu anak panah dengan bulu anak panah,
dan sandal dengan sandal. Bahkan jika mereka memasuki lubang biawak,
niscaya kamu pun akan memasukinya." Dalam sebuah hadis yang lain
Rasulullah saw bersabda, "Janganlah sepeninggalku engkau kembali menjadi
orang-orang kafir, yang sebagianmu memenggal sebagian leher yang lain."
Rasulullah saw juga telah bersabda, "Orang-orang Yahudi telah berpecah
belah menjadi tujuh puluh satu golongan, sementara orang-orang Kristen
telah berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan umatku akn
berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Tujuh puluh dua
golongan darinya berada di dalam neraka, dan hanya satu golongan yang
selamat." Bahkan, banyak sekali ayat-ayat Al-Qur'an yang menunjukkan
kepada fenomena ini. Seperti firman Allah SWT yang berbunyi,
"Mereka
tidak menunggu-nunggu kecuali kejadian-kejadian yang sama dengan
kejadian-kejadian yang menimpa orang-orang yang telah terdahulu sebelum
mereka." (QS. Yunus: 102)
"Manusia
itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah
mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi
peringatan, danAllah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk
memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka
perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang
yang telah didatangkan Kitab kepada mereka, yaitu setelah datang kepada
mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki di antara mereka
sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada
kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan
kehendak-Nya." (QS. al-Baqarah: 213).
"Apakah
manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan, 'Kami telah
beriman', sedang mereka tidak diuji lagi?" (QS. al-Ankabut: 2).
Sesunggunya
dalil terbesar yang menunjukkan kepada kesesuaian di antara sunah-sunah
umat terdahulu dan umat kemudian ialah kenyataan yang terjadi pada para
sahabat sepeninggal Rasulullah saw, yaitu di mana sebagian mereka
mengkafirkan sebagian mereka yang lain, dan masing-masing dari mereka
memfasikkan yang lainnya, hingga berakhir dengan terjadinya peperangan
yang dahsyat di antara mereka, yang menelan korban lebih dari seratus
ribu kaum Muslimin. Inilah ekstensi dari ayat yang berbunyi, "Dan kalau
Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang yang
datang sesudah rasul-rasul itu." (QS. al-Baqarah: 253).
Setelah
ini, tidak bisa seseorang mengatakan, bagaimana mungkin para sahabat
berbalik ke belakang padahal merekalah yang telah mengorbankan harta dan
diri mereka, dan telah memerangi keluarga mereka serta telah berdiri
tegar di sisi Rasulullah saw dalam keadaan susah dan lapar, serta mereka
telah melihat ayat-ayat dan mukjizat-mukjizatnya!! Karena di samping
alasan-alasan yang telah disebutkan di atas, keragu-raguan ini dapat
dijawab dengan hal-hal berikut,
a.
Sesungguhnya kata ganti orang kedua di dalam ungkapan "inqalabtum"
(kamu berbalik ke belakang) ditujukan kepada mereka para sahabat. Karena
tidak logis jika yang dimaksud adalah orang-orang kafir atau
orang-orang munafik, karena mereka adalah orang-orang yang menyimpang
atau berbalik ke belakang sejak awal.
b.
Ilmu tidak menjamin pemiliknya untuk lurus. Betapa banyak manusia yang
mengetahui bahwa kebenaran berada di suatu tepian, namun disebabkan hawa
nafsunya dia justru cenderung kepada tepian yang lain. Bahkan,
kebanyakan pembangkangan terjadi setelah datangnya pengetahuan tentang
kebenaran. Allah SWT berfirman,
"Dan
tiada berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali sesudah
datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian yang ada di antara
mereka." (QS. Ali Imran: 19).
"Dan
tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang-orang yang telah
didatangkan Kitab kepada mereka, yaitu setelah datang kepada mereka
keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki di antara mereka
sendiri." (QS. al-Baqarah: 213).
Segala
sesuatunya terang dan jelas, namun mereka berselisih dan saling
berbunuh-bunuhan, "Dan kalaulah Allah menghendaki, niscaya tidaklah
berbunuh-bunuhan orang-orang yang datang sesudah rasul-rasul itu,
sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan." (QS.
al-Baqarah: 253).
"Maka
pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
Tuhannya, dan kemudian Allah membiarkannya sesat atas ilmunya. " (QS.
al-Jatsiyah: 23).
c.
Sesungguhnya pengorbanan-pengorbanan yang lalu dan kesabaran atas
berbagai musibah, tidak menjamin manusia untuk tidak jatuh ke dalam
penyimpangan di masa yang akan datang. Pengorbanan dan kesabaran yang
mereka (para sahabat) tunjukkan tidak lebih besar dari pengorbanan dan
kesabaran yang ditunjukkan oleh Bani Israil manakala Fir'aun memotong
kaki dan tangan mereka, menyalib mereka, membiarkan hidup
perempuan-perempuan mereka dan anak-anak perempuan mereka, dan membunuh
kaum laki-laki dari mereka, namun mereka tetap sabar berpegang kepada
seruan Nabi Musa as, dan mereka melihat dengan jelas mukjizat-mukjizat
besar yang ditunjukkan oleh Nabi Musa as, yang mana yang terbesar
darinya ialah membelah lautan menjadi dua bagian, sehingga tidak ubahnya
menjadi dua buah gunung yang besar. Namun, tatkala Nabi Musa as
meninggalkan mereka beberapa hari, mereka kembali menyembah patung anak
sapi. Sehingga sepertinya sudah menjadi watak manusia melakukan
pelanggaran manakala dia merasa cukup dan aman,
"Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas." (QS. al-'Alaq: 6).
d.
Betapa pun seorang manusia telah tinggi di dalam derajat keimanan, dia
tetap tidak dimaksum oleh Allah SWT, sehingga bisa saja dia berbalik ke
belakang dan kembali kafir. Tidak ada contoh yang lebih besar dari
Bal'am bin Ba'ura,
"Dan
bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya
ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi al-Kitab), kemudian dia
melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai
dia tergoda), makajadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau
Kami menghendaki, sesunggunya Kami tinggikan derajatnya dengan
ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa
nafsunya yang rendah, maka perumpamannya seperti anjing jika kamu
menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia
mengulurkan lidahnya juga. Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kepada mereka kisah-kisah
itu agar mereka berpikir. Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah mereka
berbuat zalim. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah
yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka
merekalah orang-orang yang merugi." (QS. al-A'raf: 175-178).
Post a Comment
mohon gunakan email