Sidoarjo – Komisi Pemilihan Umum Jawa Timur menyiapkan dua skenario bagi para pengungsi Syiah Sampang di Rusunawa Puspa Agro Jemundo, Sidoarjo, agar bisa berpartisipasi dalam pemilu legislatif. KPU menjamin mereka tidak akan kehilangan hak pilihnya pada 9 April 2014 nanti.
Komisioner
KPU Jawa Timur Divisi Sosialisasi dan Hubungan Masyarakat, Gogot Cahyo
Baskoro, mengatakan semula pengungsi Syiah Sampang diarahkan supaya
menyalurkan hak pilihnya di Sidoarjo dengan menggunakan formulir A5 atau
surat pindah pilih. “Tapi, ternyata mereka tidak mengurus (surat pindah
pilih),” kata Gogot saat dihubungi, Rabu, 2 April 2014.
Saat
ini, jumlah pengungsi yang tinggal di Jemundo sebanyak 235 jiwa,
terdiri atas orang dewasa dan anak-anak. Dari jumlah itu, 147 warga
mempunyai hak pilih, terbagi menjadi 71 laki-laki dan 76 perempuan.
Setelah didata, ternyata 62 orang ditolak Sistem Pendataan Pemilih
(Sisdalih). Penolakan ini mungkin disebabkan adanya kesalahan atau
kesamaan data yang dimasukkan, seperti nama yang sama atau alamat yang
sama.
Atas
kondisi itu, KPU memberikan dua solusi skenario. Pertama, para
pengungsi diminta mengurus sendiri formulir A5 di KPU Kabupaten Sidoarjo
untuk dibawa ke tempat pemungutan suara. Tapi pengurusan ini dibatasi
10 hari sebelum hari pencoblosan. Hingga batas waktu yang ditetapkan,
ternyata para pengungsi belum juga ada yang mengurus.
Dengan
demikian, KPU pun menyodorkan skenario kedua. Menurut Gogot, KPU
Kabupaten Sampang akan menguruskan formulir A5 untuk kemudian dikirim ke
KPU Kabupaten Sidoarjo. Adapun untuk 62 orang yang ditolak Sisdalih,
KPU Sidoarjo akan mendata ulang by name by address yang selanjutnya dikirim ke KPU Sampang untuk dibuatkan formulir A5, yang kemudian dikembalikan lagi ke KPU Sidoarjo.
Pemerintah
Provinsi Jawa Timur akan menyediakan sarana transportasi bagi KPU untuk
mengurus formulir A5 tersebut. “Karena sifatnya pengungsi, jadi ada
perlakuan khusus,” kata dia.
Gogot
mengatakan formulir A5 itu akan diterima para pengungsi maksimal pada
H-3 pemilu. Selama masa tenang, KPU akan memberikan sosialisasi kepada
para pengungsi. “Ini untuk menjamin, jangan sampai kendala administratif
ini membuat pengungsi kehilangan hak suaranya,” kata dia.
Berbekal
A5, para pengungsi bisa memilih di tempat pemungutan suara terdekat
dari tempat pengungsian. Sebagaimana pada pemilu gubernur pada Agustus
2013 lalu, mereka bisa memilih di TPS 9 dan TPS 11 yang bertempat tidak
jauh dari Puspa Agro.
Solusi
yang disiapkan KPU ini merupakan hasil rapat koordinasi dengan
Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, KPU
Sidoarjo, Badan Penanggulangan Bencana dan Daerah, serta Badan Kesatuan
Bangsa dan Politik Jawa Timur. (Sumber : tempo.co)
Kronologi Tragedi Kemanusiaan Syiah Sampang.
Tragedi
Syiah Sampang merupakan tragedy kemanusiaan yang bukan saja merupakan
raport merah pemerintahan SBY, melainkan juga aib bagi bangsa Indonesia.
Betapa tidak, konstitusi yang seharusnya menjamin setiap warga negara berhak hidup serta mendapat jaminan dari negara, dimana tidak
ada seorangpun yang berhak mencabut hak dasar hidup, bertempat tinggal
dan memilih keyakinannya malah mengalami pembunuhan, pembakaran tempat
tinggal dan pengusiran dari kampung halamannya namun negara seakan tak
berdaya dan hanya sebagian kecil elemen masyarakat yang bersedia
memasang badan membela mereka.
Sejak
meletusnya peristiwa Sampang 1 dan 2 negara yang seharusnya melindungi
pihak yang terzalimi, malah mereka harus diungsikan dengan dalih
relokasi. Bahkan pemimpin kelompok yang terusir ini, Ustadz Tajul Muluk
malah divonis bersalah dan dijerat UU pasal penodaan agama.
Satu Islam memperoleh kronologi peristiwa tragedi kemanusiaan Syiah Sampang dari DPP ABI saat Konferensi Persnya Rabu, 19 Maret 2014.
Berikut Kronologi kasus tersebut:
1.
Tragedi Sampang I: tanggal 29 Desember 2011 sekelompok orang (laporan
menyebutkan sekitar 500 orang) di siang bolong menyerang perkampungan
Muslim Syiah dan membakar rumah ustadz Tajul Muluk. Pesantren beserta
seluruh isinya (al-Qur’an, kitab-kitab pelajaran agama, dan fasilitas
belajar santri), dan rumah ibu ustadz Tajul Muluk dirusak dan dibakar.
2.
Sejumlah 320 warga diungsikan ke Gedung Olah Raga (GOR) Wijaya
kabupaten Sampang. Tanggal 17 Januari 2012, dengan pemaksaan warga
dikembalikan ke kampung halaman tanpa ada proses reintegrasi. Warga
Muslim Syiah hampir setiap hari melalui mimbar-mimbar mesjid mendapatkan
teror dan ancaman.
3.
Kriminalisasi ustadz Tajul Muluk dimulai. Pada tanggal 3 Januari,
Roisul Hukama melaporkan ustadz Tajul Muluk yang sebelumnya menjadi
korban pembakaran rumah atas tuduhan penodaan agama dan perbuatan tidak
menyenangkan.
4. Tanggal 12 April 2012, ustadz Tajul ditetapkan sebagai tersangka dan resmi menjadi tahanan Kejaksaan Negeri Sampang.
5.
Tanggal 9 Juli 2012 ustadz Tajul Muluk membacakan Pledoi setebal 250
halaman. Namun, 12 Juli 2012, ustadz Tajul Muluk diputus bersalah oleh
Pengadilan Negeri Sampang atas tuduhan Penodaan Agama dengan hukuman dua
tahun penjara dengan tuduhan memiliki al-Quran berbeda tanpa bukti di
pengadilan.
6.
Tragedi Sampang II: seminggu setelah Idul Fitri 1433 H., bertepatan
dengan tanggal 26 Agustus 2012, atau 10 hari setelah peringatan
kemerdekaan Republik Indonesia, sekelompok orang dengan slogan dan
simbol yang sama kembali melakukan penyerangan dengan kekuatan yang
lebih besar (laporan menyebutkan sekitar 1.000 orang) dan secara brutal
membakar 46 unit rumah warga Muslim Syiah dan mengakibatkan 1 orang
meninggal dunia dengan bacokan celurit, serta puluhan lainnya lika parah
dan ringan.
7.
Sejak tanggal 26 Agusutus 2012, warga Muslim Syiah diungsikan kembali
ke gedung Olah Raga kabupaten Sampang sejumlah 72 KK yang terdiri dari
orangtua dan anak-anak hidup mengenaskan dengan nasib tidak menentu.
8.
Sejak masa pengungsian, sudah 3 (tiga) kali mereka dengan rentang waktu
yang berbeda tidak diberi makanan, air minum dan kebutuhan MCK.
Pemerintah Kabupaten Sampang beralasan pemerintah kehabisan dana.
9.
Tanggal 5 September 2012, ABI bertemu dengan Gubernur Jawa Timur,
Soekarwo di kediaman beliau bersama dengan Kanwil Kemenag Jatim dan
Asisten III Eddy Pur membahas rekonsiliasi.
10.
Tanggal 9 September 2012, terjadi delapan butir kesepakatan antara
Gubernur Jawa Timur, Bupati Sampang saat itu Noer Tjahja, MUI diwakili
oleh Slamet Effendy Yusuf, PBNU diwakili K.H A. Malik Madaniy, Ikatan
Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) diwakili oleh Jalaluddin Rakhmat dan
Ahlul Bait Indonesia (ABI) diwakili oleh Umar Shahab. Turut bertanda
tangan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi dan Menteri Agama,
Suryadharma Ali. Di antara kesepakatan penting itu adalah tidak ada
relokasi dan mengutamakan rekonsiliasi antar warga.
11.
Tanggal 9 September 2012, warga Sampang tidak bisa memanen ratusan ribu
batang tembakau di kebun mereka sendiri akibat terpenjara di GOR
Sampang dan tak bisa menjualnya tanpa penggantian dari pihak pemerintah.
12.
Tanggal 10 September 2012, Pengadilan Tinggi Surabaya menolak banding
ustadz Tajul Muluk bahkan menjatuhkan pidana penjara selama 4 (empat)
tahun.
13.
Sejak tanggal 22 Desember 2012, pemerintah kabupaten Sampang menyatakan
Masa Tanggap Darurat telah berakhir; warga di pengungsian tidak lagi
mendapatkan hak-haknya, seperti; makanan yang semakin dibatasi,
pelayanan kesehatan, pendidikan anak-anak usia sekloah, dan lain
sebagainya tidak diperoleh.
14.
Janji pemerintah untuk membangunkan kembali rumah-rumah mereka yang
hangus terbakar hingga sekarang tidak kunjung direalisasikan. Kunjungan
sejumlah menteri dan pejabat negera setingkat menteri tidak sedikitpun
memberi dampak dan memenuhi rasa keadilan sebagai warga negera Indonesia
yang dilindungi hak-haknya oleh UUD 1945.
15.
Hak-hak konstitusi mereka berupa penggantian seluruh surat berharga
(KTP, IJAZAH, KARTU KELUARGA, dan yang lain) hingga sekarang tidak
pernah diproses oleh pemerintah daerah.
16. Tanggal 16 April 2013, Roisul Hukama divonis bebas dari segala tuduhan.
17.
Tanggal 7 Mei 2013, sebuah demonstrasi yang dipelopori oleh sejumlah
kyai intoleran mendesak Bupati dan DPRD kabupaten Sampang untuk mengusir
warga Muslim Syiah jika tidak ingin bertobat, dan kembali kepada ajaran
Sunni.
18.
Tanggal 14 Mei 2013, Ahlulbait Indonesia melakukan pertemuan dengan
Ketua DPR RI, Marzuki Ali dan beberapa Komisi DPR RI untuk menyampaikan
penolakan relokasi warga Syiah Sampang dari GOR Sampang dan
mengembalikan ke kampung halaman mereka. Marzuki Ali secara tegas
menyatakan pengusiran warga Syiah tidak sesuai dengan kehidupan
berbangsa, Pancasila dan dan amanat konstitusi.
19.
Seminggu berikutnya Marzuki Ali bertemu dengan Soekarwo, Gubernur Jawa
Timur dan Fanan Hasib, Bupati Sampang dan berjanji tidak akan ada
pengusiran warga Syiah Sampang dari GOR tempat pengungsian.
20.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Kamis (30/5/2013) malam waktu
setempat atau Jumat (31/5) pagi WIB, menerima penghargaan World
Statesman Award 2013 dari Appeal of Conscience Foundation (ACF) di
Garden Foyer, Hotel The Pierre, New York, Amerika Serikat.
21.
Tanggal 1 Juni 2013 bertepatan dengan hari kesaktian Pancasila, sepuluh
orang perwakilan pengungsi Syiah Sampang menggowes sepeda dari Surabaya
ke Jakarta ingin bertemu Presiden RI.
22.
Tanggal 16 Juni 2013, para pegowes sepeda kemanusiaan tiba di Jakarta
dan menggelar aksi damai di depan Istana Negara selama berhari-hari.
23.
Dengan tameng istighosah, tanggal 20 Juni 2013 wakil bupati Sampang
memobilisasi kyai dan warga merelokasi pengungsi Syiah dari GOR Sampang
ke Rusunawa Puspo Agro, Sidoarjo, Jawa Timur.
24.
Pegowes sepeda kemanusiaan terus menerus melakukan aksi damai di depan
Istana Negara menolak relokasi keluarga mereka ke Rusunawa dan menuntut
bertemu Presiden SBY.
25.
Tanggal 6 Juni 2013, pegowes sepeda kemanusiaan menggelar demonstrasi
terakhir di depan Istana Negara dan melakukan doa bersama untuk bangsa.
26.
Tanggal 14 Juli 2013, perwakilan pengungsi Syiah Sampang dan ABI
bertemu dengan Presiden RI. SBY kemudian menjanjikan pemulangan dan
pembangunan rumah warga Syiah Sampang sebelum Idul Fitri 1434 H dengan
menjanjikan anggaran Rp 1 triliun asal bisa hidup damai di kampung
halaman.
27.
Tanggal 1 Agustus 2013, perwakilan ABI bertemu kembali dengan Bapak
Presiden SBY, sejumlah Menteri Kabinet, Gubernur Jawa Timur, Bupati
Sampang, yang melahirkan instruksi langsung Bapak Presiden SBY untuk
memulangkan pengungsi Syiah Sampang sebelum bulan Desember 2013 dengan
penunjukkan Prof. Abdul A’la sebagai ketua Tim Rekonsiliasi.
28.
Sejak Agustus 2013 Tim Islah (K.H. Nurut Tamam, Seningwar, dan Mujahid)
berkoordinasi dengan Ketua Tim Rekonsiliasi, Prof. Abdul A’la yang
ditunjuk oleh Presiden SBY berkomitmen mendamaikan pihak-pihak yang
bertikai dari kedua belah pihak, yaitu pihak para aktor lapangan
peristiwa Sampang I dan II dengan pihak Syiah Sampang yang ada di
Rusunawa Sidoarjo.
29.
Tanggal 29 Agustus 2013, pihak pengungsi Syiah mengirimkan surat kepada
para aktor lapangan dan warga kampung menyampaikan pesan dan janji
damai.
30.
Tanggal 3 September 2013, bersama Tim Islah, sebanyak sembilan aktor
lapangan peristiwa Sampang I dan II mengunjungi warga pengungsi Syiah
Sampang di Rusunawa Puspo Agro.
31. Tanggal 9 September 2013, kunjungan kedua dari pihak aktor lapangan.
32.
Tanggal 23 September 2013 terjadi penandatanganan dan Deklarasi Piagam
Islah dan ikrar damai oleh 34 orang dari pengungsi Syiah Sampang dan 73
orang dari warga kampung dilaksanakan di Rusunawa Puspo Agro, Sidoarjo.
33. Setelah terjadinya rekonsiliasi dari akar rumput, SBY menyambutnya dengan dingin.
34.
Tanggal 3 Oktober 2013, Tim Islah bertemu dengan Wantimpres bidang
Hukum dan HAM, Dr. Albert Hasibuan untuk mensosialisasikan yang terjadi
di akar rumput dan menyampaikan keinginan mereka bertemu dengan Presiden
RI.
35.
Tanggal 18 Nopember 2013, Tim Islah bertemu dengan Ketua MPR RI,
Sidarto Danusubroto untuk menyampaikan perkembangan rekonsiliasi Sampang
yang meniscayakan faktor keamanan bagi pengungsi Syiah Sampang untuk
kembali ke kampung halaman.
36.
Tanggal 6 Februari 2014, para ulama Madura di antaranya K.H Ali Karrar
dan K.H Syafiuddin Wahid mensyaratkan dilakukan pembinaan untuk
pengungsi di Ponpes Assiddiqiyyah asuhan K.H. Noer Iskandar S.Q. sebelum
pembangunan perumahan warga Syiah Sampang.
37.
Tanggal 3 Maret 2014, DPP Ahlulbait Indonesia mengirimkan Surat Resmi
ke Bapak Presiden SBY menyatakan persetujuan pemondokan atas warga Syiah
Sampang.
38. SBY menjanjikan realisasi setelah Pemilihan Umum.
Amnesti Internasional Desak RI Lindungi Syiah dan Ahmadiyah.
Lembaga Ham Internasional, Amnesti Internasional mendesak agar pemerintah Indonesia menjalankan rekomendasi Pelapor Khusus PBB. Rekomendasi ini terkait perlindungan kaum minoritas Syiah dan Ahmadiyah.
Duta Amnesty Internasional kawasan Indonesia – Timor Leste, Josef Roy Benedict mengatakan Indonesia harus memberikan perumahan yang Layak untuk memastikan bahwa kelompok minoritas agama yang telah diusir secara paksa dapat kembali secara aman ke rumah-rumah mereka. Selain itu menjamin bahwa pihak-pihak yang berwenang mengambil langkah-langkah untuk melindungi para kelompok minoritas agama dari pengusiran paksa dan kekerasan.“Dalam sebuah laporan yang dipresentasikan kepada Dewan HAM PBB pada 10 Maret 2014, Pelapor Khusus PBB tentang Perumahan yang Layak menyoroti kekhawatirannya akan relokasi paksa terhadap kelompok minoritas agama, khususnya komunitas Syiah dan Ahmadiyah, yang dipicu oleh sekelompok massa dan didasari oleh kebencian agama,” kata Benedict dalam keterangan persnya yang diterima Jaringnews.com di Jakarta, Senin (17/3).
Benedict mencatat Pelapor Khusus PBB menemukan selama kunjungannya di Juni 2013, rumah, sekolah, dan tempat ibadat telah dibakar dalam berbagai serangan. Ini menyebabkan ratusan keluarga di berbagai komunitas berbeda terusir dari rumah mereka ke tempat tinggal. Mereka pun tinggal di penampungan sementara tanpa mendapat akses kepada fasilitas-fasilitas dasar, pelayanan, dan keamanan.
Sebelumnyadi Lombok, Nusa Tenggara Barat, sekitar 130 orang, termasuk perempuan dan anak-anak dari komunitas Ahmadiyah tinggal di tempat penampungan sementara di Mataram selama lebih dari delapan tahun. Pada 4 Februari 2006 mereka terpaksa lari dari rumah mereka di Ketapang, Lombok Barat setelah sekelompok massa menghancurkan rumah-rumah mereka, menyerang komunitas tersebut karena keyakinan agama mereka. Tidak ada satu pun yang terlibat dalam serangan itu dibawa ke muka hukum.
Kasus intoleransi juga terjadi pada 26 Agustus 2012. Ada 168 pengikut Syiah dari Sampang, Jawa Timur diusir secara paksa setelah sekelompok massa anti-Syiah menyerang kampung mereka. Sejak saat itu, pihak berwenang setempat menghalang-halangi komunitas ini untuk kembali ke kampungnya.
Mereka dipindahkan ke tempat penampungan sementara dengan fasilitas minim di sebuah gedung olahraga di Sampang, di mana mereka tinggal selama sepuluh bulan. Komunitas itu menghadapi intimidasi dan gangguan dari aparat pemerintahan setempat untuk mengubah keyakinan mereka ke Islam Suni jika mereka mau pulang kembali ke rumah-rumah mereka. Pada 21 Juni 2013, pihak berwenang kabupaten Sampang memindahkan secara paksa komunitas ini ke fasilitas perumahan di Sidoarjo, Jawa Timur.
“Sebagai Negara Pihak, Indonesia mempunyai kewajiban di bawah pasal 11 Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) untuk melindungi dan memenuhi hak atas perumahan yang layak bagi semua warganya, termasuk mencegah pengusiran paksa dari pihak ketiga dan menyediakan para korban sebuah pemulihan yang efektif,” papar Benedict.
“Amnesty International mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam masa bulan-bulan terakhir jabatannya, untuk mengimplementasikan rekomendasi-rekomendasi Pelapor Khusus PBB tentang Perumahan yang Layak dan untuk mengembangkan strategi yang konkrit untuk memastikan bahwa semua kelompok minoritas agama dilindungi dan diperbolehkan untuk menjalankan kepercayaan mereka bebas dari rasa takut, intimidasi, dan serangan,” tutup Benedict. (Sumber : jaringnews.com)
SBY Urung Pulangkan Syiah Sampang Akibat Tersandera Kepentingan Politik.
Sejak dijanjikan pemulangan ke kampung halamannya bagi pengungsi Syiah Sampang yang kini masih di pengungsian Rusunawa Puspoagro Jemundo Sidoarjo, Jawa Timur, oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sampai saat ini belum direalisasikan.
Padahal
modal sosial di akar rumput telah siap sejak mulainya rekonsiliasi di
tingkat warga antara Sunni dengan Syiah. Rekonsialiasi itu dikukuhkan
dengan penandatanganan Deklarasi Piagam Islam dan Ikrar Damai tanggal 23
Septeber 2013. Hal
itu disampaikan oleh Sekretaris Jendral (Sekjen) DPP Ahlulbait
Indonesia (ABI), Ahmad Hidayat dalam konferensi persnya di Jakarta,
Rabu, 19 Maret 2014 dalam rangka menagih janji Presiden SBY memulangkan
pengungsi Syiah sampang sebelum Hari Raya Idul Fitri kemudian berubah
sebelum akhir Desember 2013.
Konferensi
Pers itu, kata Ahmad Hidayat, dimaksudkan untuk menagih janji presiden
SBY yang berjanji menjalankan peran negara dengan memulangkan pengungsi
Syiah Sampang ke kampung halamannya. “Kita
masih bersyukur pemerintah berjanji memulangkan pengungsi Syiah Sampang
ke kampung halamannya. Dalam hal ini pemerintah mulai Presiden sampai
tingkat Lurah sepakat intoleransi bertentangan dengan konstitusi,” ujar
Ahmad Hidayat berharap. Ahmad
Hidayat mengatakan upaya yang dilakukan ABI dengan melakukan seluruh
pendampingan sejak meletusnya sampang 1 dn 2, untuk membantu negara
menuntaskan intoleransi tidak terjadi lagi di kemudian hari.“Ini tragedi kemanusiaan yang tak boleh dibiarkan terjadi di Indonesia,” ujar Ahmad Hidayat.
Presiden, lanjut Ahmad Hidayat telah 2 kali menjanjikan pemulangan pengungsi Syiah. Namun hingga kini janji itu urung ditepati. Sejauh
ini rekonsiliasi di akar rumput terus menguat. Tanggal 6 Februari 2014
para ulama Madura di antaranya KH. Ali Karrar dan KH. Syafiuddin Wahid
bisa menerima kepulangan warga Syiah dengan mensyaratkan dilakukannya
pembinaan untuk pengungsi di Ponpes Assiddiqiyyah asuhan KH. Noer
Iskandar S.Q. sebelum pembangunan perumahan warga Syiah Sampang.
Oleh
karena itu tanggal 3 Maret 2014 lalu DPP ABI melayangkan Surat Resmi ke
Presiden SBY. ABI setuju pemondokan atas warga Syiah Sampang, namun SBY
menjanjikan realisasi setelah Pemilu. Dimundurkannya
realisasi pemulangan warga Syiah Sampang, lanjut Ahmad Hidayat, karena
saat ini Presiden SBY sedang tersandera kepentingan politik. Ini
terjadi bermula dari tokoh-tokoh agama yang menanamkan cara hidup
beragama dengan menebar kebencian dan antipasti. Mereka yang menentang
konstitusi dibiarkan sewenang-wenang. Pembiaran itu dilakukan adanya
kepentingan politik menjelang pemilu 2014.
Ahmad Hidayat mengatakan ketidakmampuan SBY menertibkan hal itu menyebabkan negara kehilangan wibawa. “SBY
telah gagal sebagai negarawan dan ia zalim terhadap rakyatnya sendiri.
SBY membiarkan kelompok radikal intoleran tak tersentuh hukum,” ujar
Ahmad Hidayat. Sementara itu Direktur Eksekutif Yayasan Bantuan Hukum Universalia (YLBHU)
Hertasning Ichlas atau Herta menyikapi atas janji SBY yang urung
direalisasikan sementara masa jabatannya hampir berakhir. Ia mengatakan
suara pemulangan pengungsi Syiah Sampang lama kelamaan hilang ditelan
hiruk pikuk politik.
Herta
mengatakan, sejak pegowes yang mewakili pengungsi Syiah Sampang bertemu
SBY di Cikeas bulan Juli 2013, di depan para Pegowes, SBY menjanjikan
pemulangan sebelum lebaran Idul Fitri. “Saat
itu SBY mengatakan; jangan dengarkan siapa-siapa, dengarkanlah saya,
saya menjanjikan pemulangan pengungsi Syiah Sampang sebelum lebaran Idul
Fitri,” ujar Herta menirukan SBY. Menurut Herta, menuntaskan persoalan Sampang sangat gampang selama ada keinginan dari pemerintah. “Asal Presiden tidak tersandera oleh dagang politiknya,” ujar Herta.
Pemerintah Masih Cari Solusi Permanen untuk Kasus Syiah Sampang.
Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih optimistis jika konflik Syiah Sampang, Jawa Timur, bisa diselesaikan.
“Cukup tenang sekarang ini mereka, juga anak-anaknya sekolah. Baru kita cari solusi permanen,” kata Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi di kompleks gedung Nusantara V Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Jakarta, Kamis (20/3).
Pemerintah,
kata dia, juga terus berkomunikasi mengenai perkembangan kehidupan para
pengungsi Syiah dengan rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
setempat yang merupakan ketua rekonsiliasi penyelesaian konflik ini
serta dengan pemerintah daerah.
“Akan diusahakanlah kita cari solusi nanti. Ini sedang dicari,” kata Gamawan.
Saat
ini pengungsi Syiah Sampang belum bisa kembali ke kampungnya setelah
terjadi pembakaran ratusan rumah warga Syiah pada Agustus 2012. (Sumber : Berita Satu)
Konvensi Rakyat Capres: Belum Ada Kandidat yang Berani Jamin Ahmadiyah dan Syiah.
Konvensi Rakyat Calon Presiden telah selesai kemarin. Dalam debat publik yang dilaksanakan di Balai Sudirman tersebut, belum ada peserta yang secara tegas menjawab mengenai kebebasan beragama khususnya menyangkut Ahmadiyah dan Syiah.
Saat
itu panelis Frans Magniz Suseno memberikan pertanyaan kepada Ricky
Sutanto apakah akan memberikan rasa hormat dan aman apabila menjadi
presiden.
Ricky
malah tidak menjawab pertanyaan Franz secara langsung. Ricky mengatakan
jadi atau tidak menjadi presiden, Ricky akan membangun taman berdoa
raksasa (Garden of prayers) untuk semua agama.
“Pancasila
sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Beragama kita diberi
kebebasan. Saya katakan Indonesia harus memiliki terobosan luar biasa.
Sebagai pemimpin bangsa harus bisa menciptakan proyek-proyek raksasa
seperti Garden Of Prayers,” ujar Ricky.
Ricky akan membangun taman berdoa dengan diameter 2 KM dan akan dibangun 6 Juni 2015 mendatang.
“Tidak terkait saya terpilih atau tidak, taman berdoa akan tetap dibangun,” kata dia.
Peserta
lain, Isran Noor, menegaskan agama adalah hak semua warga negara tanpa
terkecuali. Oleh karena itu semua pemeluk agama wajib dilindungi negara
dengan catatan sebagai agama resmi dan jelas haluannya.
“Islam
kan jelas. Kristen, Katolik, Budha jelas. Konghucu jelas. Tapi kalau
mungkin tidak jelas misalnya ada Islam yang nabinya bukan Nabi Muhammad
ya nggak jelas kan?” ujar Isran ketika dikonfirmasi usai debat publik
tersebut.
Jika
kelak terpilih menjadi presiden, bupati Kutai Kartanegara tersebut
tidak memberikan harapan cerah bagi warga Syiah dan Ahmadiyah kecuali
mereka mendirikan agama baru atau mengakui Nabi Muhammad sebagai
nabinya.
“Diperjelas
dulu status dia. Kalau dia mau mengaku bukan agama Islam silahkan. Tapi
kalau dia mengaku Islam jangan dong karena Islam jelas bilang Nabi
Muhammad. Kalau dia bukan mengaku Islam slahkan, kita lindungi, saya
amankan,” ujar dia.
Koordinator
Gerakan Indonesia Bersih, Adhie Massardi, mengatakan memang belum ada
peserta yang berani menjawab secara tegas dan lugas persoalan Ahmadiyah
dan Syiah.
Adhie
menilai para peserta tersebut cari aman dengan memberikan jawaban
mengambang karena persoalan agama di Indonesia adalah persoalan
sensitif.
“Saya
melihat memang agama ini bagi beberapa tokoh riskan dijawab karena
dianggap sensitif. Menurut saya ini persoalan keagamaan ini bukan
persoalan agama tetapi persoalan hukum. Ketika hukum tidak bisa menindak
kepada para penghujat agama, kepada yang mendiskreditkan agama lain dan
merusak tempat ibadah ini kan persoalan hukum,”ujar Adhie.
Adhie
yang pernah menjadi juru bicara kepresidenan era Pemerintahan Gus Dur
mengaku sebenarnya peserta Konvensi Rakyat menjawabnya implisit.
Adhie
tetap yakin jika memang peserta Konvensi Rakyat terpilih, tentu mereka
memiliki kebijakan tersendiri mengenai persoalan Ahmadiyah dan Syiah.
“Berbeda
dengan misalnya Gus Dur yang tidak pernah mempunyai masalah apa-apa dan
dia yakin apa yang dipikirannya dia sampaikan saja,”ujar Adhie.
Akankah Pengungsi Syiah Sampang Diwajibkan Bayar Sewa Rusunawa?
Warga
Muslim Syiah Sampang yang mengungsi dan terusir dari kampung halaman
mereka selama 20 bulan lebih, kini dalam kondisi terancam kelangsungan
hidupnya sebagai pengungsi di Rusunawa, Jemundo Sidoarjo. Hal ini
terjadi semenjak keputusan Pemprov Jatim melalui Biro Kesra pada hari
Sabtu, 12 April 2014 kepada pengungsi bahwa para pengungsi Syiah tidak
akan lagi mendapatkan pemberian jatah makan dari Pemerintah Provinsi
Jawa Timur.
Demikian bunyi siaran pers Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Universalia (YLBHU) yang selama ini menjadi
pendamping Muslim Syi’ah Sampang yang menjadi korban diskriminasi, yang
dirilis melalui laman resminya, Senin, 14 April 2014.Dalam siaran persnya itu, lebih lanjut YLBHU menyatakan, sebagai kompensasi, Pemprov Jatim melalui Biro Kesra memberitahu Koordinator Pengungsi Iklil Al Milal bahwa Pemprov Jatim akan mengganti jatah makan dengan menjatah uang makan Rp 750 ribu per bulan, per KK kepada 200 pengungsi yang ada di Rusunawa Jemundo Sidoarjo dengan batasan waktu hanya sampai akhir 2014. Setelah itu, Pemprov mengatakan tak bisa lagi menanggung jatah uang makan pengungsi.
Dengan mengikuti logika pemerintah, maka pada tahun 2015 pengungsi harus membayar sendiri urusan makan mereka, bahkan mungkin ongkos sewa mereka di Rusunawa yang notabene seharusnya adalah tempat pengungsian sementara yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Pemprov Jatim memberi alasan yang sangat tidak bertanggung jawab kepada pengungsi, keputusan ini dilakukan agar pengungsi benar-benar mandiri selama di pengungsian.
Sejak pengungsi Muslim Syiah Sampang terusir dari kampung halaman mereka ke GOR Sampang 26 Agustus tahun 2012, dan direlokasi lebih jauh ke Rusunawa Sidoarjo 20 Juni 2013, Pemrov Jatim selalu berjanji bahwa status pengungsian bersifat sementara sampai rekonsiliasi tercapai dan pengungsi dapat kembali dipulangkan ke kampung halaman. Namun kenyataan yang terjadi, pemerintah nasional dan provinsi tidak pernah serius menyelesaikan masalah dan membangun rekonsiliasi.
Sekarang pemerintah bukan hanya menggantung nasib pengungsi, namun pemerintah ingin berlepas tangan dan cendrung membebani pengungsi yang seharusnya menjadi kewajiban pemerintah justru karena pemerintah tak bisa menyelesaikan masalah.
Dalam keterangannya, YLBHU berpendapat Pemprov Jatim dalam hal ini Gubernur Jawa Timur Soekarwo telah gagal menyelesaikan tanggung jawabnya dan tanpa Soekarwo harus katakan, Soekarwo sebenarnya mendorong pilihan relokasi di Rusunawa Sidoarjo sebagai solusi permanen dan bukan sementara.
“Pengungsi lambat laun akan diwajibkan membayar ongkos makan mereka dan uang sewa di tempat pengungsian yang sebenarnya tak pernah mereka inginkan,” kata Direktur Eksekutif YLBHU Hertasning Ichlas.
Satu-satunya yang pengungsi Syiah Sampang inginkan adalah pulang ke kampung halaman mereka, untuk kembali hidup damai dan mencari nafkah.
“Namun keinginan ini tak pernah bisa dipenuhi oleh Soekarwo selaku Gubernur Jawa Timur selama 20 bulan lebih.”
Ulama NU Ragukan Aher Hadiri Deklarasi Anti-Syiah.
Kemungkinan akan hadirnya Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan (Aher) dalam sebuah acara yang bertajuk Deklarasi Aliansi Nasional Anti Syiah di Bandung pada hari Minggu 20 April ini telah menjadi perbincangan luas, termasuk di jejaring sosial. Dalam undangan dan pamflet-pamflet mengenai acara itu, nama Aher dicantumkan sebagai salah satu yang bakal hadir. Sampai saat ini belum ada klarifikasi tentang hal itu dari pihak Aher, walaupun diskusi publik sudah berlangsung beberapa hari belakangan ini, khususnya yang membicarakan tentang kehadirannya.
Ulama Nahdhlatul Ulama (NU), KH. Alawi Nurul Alam Al Bantani, termasuk yang meragukan bakal hadirnya Aher dalam acara yang dianggap intoleran terhadap keberagaman ini.“Saya yakin gubernur tidak akan hadir di acara itu karena kehadirannya di acara itu akan membuat stigma bahwa dirinya adalah penasehat Wahabi takfiri di Bandung dan Jawa Barat, dan itu tidak menguntungkan dirinya,” kata KH Alawi dalam orasinya di Bandung, sebagaimana dikutip oleh liputanislam.comAlawi menilai acara yang disebut sebagai deklarasi nasional itu mengandung beberapa kejanggalan. Ia menunjuk salah satunya adalah perihal tempat. “Jika deklarasi ini memang berskala nasional, mengapa tidak menggunakan Mesjid Raya Bandung? Mengapa acara tingkat nasional itu hanya menggunakan mesjid tingkat RW?” tanya dia.
Kedua, konotasi dari kata tingkat nasional juga ia anggap janggal. Jika menggunakan kata nasional, tutur dia, berarti semua elemen masyarakat dan ormas muslim diikutsertakan. Namun, lanjut dia, dari pembicara yang disebut dalam berbagai poster, tidak ada satu elemen penting ormas muslim yang hadir. Menurut dia, semua pembicara yang dicantumkan namanya adalah Wahabi, tak satupun ulama Ahlu Sunnah. Selain itu, ulama yang disebutkan akan hadir, tidak ada yang berasal dari Jawa Barat.
Di mata KH Alawi, acara deklarasi ini berpotensi membenturkan masyarakat awam dengan para penganut Syiah. Hal ini terkait dengan rencana panitia yang akan membagikan kaos bertuliskan kebencian terhadap Syiah kepada para tukang becak. Menurut KH Alawi, upaya ini menunjukkan bahwa pihak penyelenggara ingin menjadikan masyarakat yang tidak paham tentang Sunni dan Syiah jadi tameng untuk menghantam Syiah.
Rencana deklarasi kontroversial ini, menurut berbagai pengumuman di jejaring sosial, akan berlangsung dimasjid Al Fajr, Jalan Cijagra Raya, Buah Batu, Bandung. Puluhan tokoh dijadwalkan berbicara termasuk K.H.Abdul Hamid Baidlowi tokoh NU dari Rembang, Jawa Tengah dan Prof Dr. M. Baharum, Ketua MUI bidang Hukum Perundang-undangan.
Namun MUI sendiri sudah membantah keterlibatan organisasi dalam acara tersebut. Menurut Ketua Ukhuwah Islamiyah MUI, Umar Shihab, bila ada pengurus MUI yang hadir bukan mengatasnamakan Ormas MUI. (Jaring News)
Di Balik Merebaknya Konflik Sunni-Syiah di Jawa Timur.
Saat ini publik Jawa Timur (Jatim) kembali dicengangkan oleh sebuah peristiswa kekerasan yang berbalut agama. Peristiswa berdarah yang terjadi di Puger ini sungguh sangat mengejutkan, memprihatinkan sekaligus mengkhawatirkan banyak pihak.
Belum lama dari meletusnya peristiwa puger ini, masih segar dalam ingatan publik akan kasus konflik dan isu serupa yang terjadi di desa Karanggayam dan desa Bluuran kabupaten Sampang. Konflik yang berujung pada aksi kekerasan massa ini telah menyebabkan diungsikannya ratusan warga yang diduga pengikut aliran syiah ke Sidoarjo dengan alasan untuk menjaga stabilitas dan kondusifitas masyarakat.
Keterkejutan dan kekhwatiran publik ini sangatlah beralasan, peristiwa Puger ini meledak di saat proses rekonsiliasi konflik Sampang masih dalam tahap pematangan. Walaupun sebenarnya penyelesaian konflik di Puger sudah dilakukan di awal tahun 2012 dengan ditandatanagninya perundingan damai antar kedua belah pihak. Namun nyatanya diluar dugaan semua pihak, eskalasi konflik yang melibatkan kelomok sunni dan kelompok syiah ini meninggi dan terjadilah peristiwa karnaval berdarah.
Di Jawa Timur, peristiwa konflik bertema sunni-syiah baik yang terjadi di Jember maupun Sampang ini sepertinya sebuah kelanjutan mata rantai dari peristiwa serupa yang terjadi di berbagai daerah di tahun-tahun sebelumnya. Sebut saja, mulai dari penyerangan sekelompok massa terhadap para pengikut IJABI yang terjadi di Desa Jambesari Kecamatan Jambesari Darussolah Kabupaten Bondowoso, pada tanggal 23 Desember2006, insiden penyerangan pesantren YAPI yang berpaham syiah oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan laskar Aswaja ada tahun 2010-211 di Bangil Pasuruan dan ketegangan-ketengan berskala kecil yang terjadi Malang.
Fenomena ini sungguh sangat menarik, dalam artian meskipun ajaran Syiah ini banyak tersebar di Indonesia dan juga pernah mengalam resistensi di daerah lain seperti di Pandeglang Provinsi Jawa Barat (6/2/2011) dan Temanggung Provinsi Jawa Tengah (8/2/2011) namun tidak separah dan sebesar di Jawa Timur. Di Provinsi ini, eskalasi konflik dengan isu Sunni-Syiah semakin tahun mengalami peningkatan dan resistensi tehadap ajaran syiah semakin menguat dan meluas di tengah masyarakat.
Dengan demikian, maka sangatlah wajar bila kemudian muncul asumsi-asumsi konspiratif yang mengitari rentetan letusan konflik bertema Sunni-Syiah di Jawa Timur. Bahwa ada unsur kesengejaan untuk menciptakan dan memelihara konflik Sunni-Syiah yang melibatkan kekuatan transnasional. Pertanyaannya kemudian “ Benarkah ada keterlibatan kekuatan transnasional di balik konflik bertema Sunni-Syiah ini serta Mengapa percepatan dan penguatan konflik berada di Jawa Timur?”
Adalah Dr. Michael Brant, salah seorang mantan tangan kanan direktur CIA, Bob Woodwards yang mengawali adanya kepentingan Transnasional dalam menciptakan konflik Sunni-Syiah. Dalam sebuah buku berjudul “A Plan to Devide and Destroy the Theology”, Michael mengungkapkan bahwa CIA telah mengalokasikan dana sebesar 900 juta USD untuk melancarkan berbagai aktivitas anti-Syiah. Hal ini kemudian diperkuat oleh publikasi laporan RAND Corporation di tahun 2004, dengan judul “US Strategy in The Muslim World After 9/11“. Laporan ini dengan jelas dan eksplisit menganjurkan untuk terus mengekploitasi perbedaan antara Ahlu Sunnah dan Syiah demi kepentingan AS di Timur Tengah.
Kemenangan Revolusi Iran tahun 1979 telah menggagalkan politik-politik Barat yang sebelumnya menguasai kawasan negara Islam. Iran yang sebelumnya tunduk dan patuh terhadap AS, pasca revolusi, justru lebih banyak menampilkan sikap yang berseberangan dengan negeri “Paman Sam” itu. Karenanya, AS merasa berkepentingan untuk menjaga agar konflik Sunni-Syiah itu tetap ada di wilayah Timteng demi melanjutkan hegemoninya di kawasan tersebut.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa apa yang dinyatakan oleh Michael Brant bukanlah sebagai sebuah halusinasi. Jauh sebelum revolusi Iran tahun 1979, sangat jarang ditemukan konflik terbuka antara Syiah dan Ahlus Sunnah, kecuali konflik yang bersifat sporadis di antara kelompok-kelompok kecil dari kedua kalangan di Irak, Libanon dan Suriah.
Sementara itu, khusus di Indonesia, keberadaan kaum Syiah bukan barang baru. Syiah telah ada sejak dahulu kala. Namun, seperti layaknya secara umum, di Indonesia hampir tak pernah ditemui konflik sektarian yang melibatkan antara Sunni-Syiah. Karenanya bagi sebagian pengamat, sangatlah mengherankan jika tiba-tiba Sunni-Syiah turut mewarnai konflik bernuansa SARA di Indonesia. Bila kita tarik apa yang dinyatakan oleh Michael Brant tersebut ke ranah domestik, maka jelas ada kepentingan di luar SARA yang turut berperan -bahkan mengambil porsi lebih besar- dalam konflik Sunni-Syiah di Indonesia.
Selanjutnya, di Indonesia kepentingan tranasional Barat ini bersimbiosis dengan kekuatan kelompok Islam transnasional yang kemudian banyak diidentikan dengan gerakan Wahabisasi Global. Tujuan utama kelompok ini adalah dengan membuat dan medukung kelompok-kelompok lokal untuk membuat wajah Islam lebih keras dan radikal serta berusaha memusnahkan pengamalan-pengamalan Islam yang lebih toleran yang lebih lama ada dan dominan di Indonesia. Kelompok ini berusaha keras untuk menginfiltrasi berbagai sendi kehidupan umat Islam Indonesia dalam beragam cara baik secara halus mapun kasar.
Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh K.H. Abdurrahman Wahid dalam pengantar buku Ilusi Negara Islam bahwa Gerakan asing Wahabi/Ikhwanul Muslimin dan kaki tangannya di Indonesia menggunakan petrodollar dalam jumlah yang fantastis untuk melakukan Wahabisasi, merusak Islam Indonesia yang spiritual, toleran, dan santun, dan mengubah Indonesia sesuai dengan ilusi mereka tentang negara Islam yang di Timur Tengah pun tidak ada. Mereka akan mudah menuduh kelompok Islam lain yang tidak sepaham dengan ajaran wahabi sebagai kafir, sesat dan murtad.
Analisis ini juga dikuatkan oleh sebuah realitas pergerakan politik di Timur Tengah, dikonflik Internasional kita lihat perang Saudara di Irak, Suriah, Pakistan dan Afgahnaistan semuanya ditarik pada perang antara Sunni dan Syiah, belum lagi ancaman serangan ke Iran yg notebene adalah pusat Syiah. Arab Saudi sebagai Poros Wahabi dunia ini sangat ingin punya pengaruh d Timur Tengah, namun kalah pamor dengan Iran yang lebih mempunyai Sumber Daya Alam maupun sumber daya manusia yang pintar-pintar, sejak jaman persia dahulu kala. Sedangkan di Indonesia sendiri, konflik Sunni-Syiah tidak mempunyai akar sejarah politik.
Rupanya kelompok Wahabisasi global ini pun memahami bahwa NU merupakan penghalang utama pencapaian target idiologis dan politik mereka. Sebagai organisasi Sunni terbesar di Indonesia selama ini NU begitu gencar dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam yang moderat, humanis dan toleran. Bahkan dalam pergaulan internasional di bidang keagamaan pemikiran-pemikiran NU berikut tokoh-tokohnya menjadi refrensi umat Islam dunia. Citra sebagai gerakan Islam moderat, diakui atau tidak, adalah milik NU. Praksis, upaya-upaya untuk mendiskreditkan, merusak citra NU sebagai organisasi kaum sunni dengan ajaran Islam yang lembut dan toleran kerap dilakukan salah satunya dengan membenturkan kaum Nahdliyin dengan kaum syii di Indonesia.
Untuk melakukannya lalu dipilihlah Jawa Timur sebagai lokasi pabrik yang memproduksi konflik-konflik bertema Sunni-Syiah. Pilihan ini sangatlah strategis, publik tahu bahwa Jawa Timur merupakan basis utama para penganut paham ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah . Di Jawa Timur lah, NU sebagai organisasi masyarakat terbesar di Indonesia yang berpahamkan Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah dideklarasikan dan didirikan yang kemudian berkembang pesat dan cepat ke seluruh penjuru nusantara. Di Jawa Timur pulalah, dinamika pergerakan NU menjadi barometer politik nasional.
Di samping itu, pilihan lokasi konflik seperti Jember, Pasuruan, Malang dan Sampang juga bukan tanpa kalkulasi yang strategis. Publik pun tahu, bahwa di daerah-daerah tersebut karakter masyarakatnya sangat lekat dengan kultur Madura. Selain dikenal sebagai pengikut NU yang fanatik, masyarakat dengan kultur madura ini telah menjadikan Islam sebagai salah satu unsur penanda identitas etnik Madura. Sebagai unsur identitas etnik, agama merupakan bagian integral dari harga diri orang Madura.
Oleh karena itu, pelecehan terhadap ajaran agama atau perilaku yang tidak sesuai dengan agama, mengkritik kiai serta mengkritik perilaku keagamaan orang Madura, merupakan pelecehan terhadap harga diri orang Madura. Maka janganlah heran jika, warga Nahdliyin Madura dimanfaatkan dan mudah disulut sebagai pengobar api kerusuhan dengan isu sentimen beda aliran agama. Walhasil, eskalasi percepatan isu dan penguatan konflik terbesar berada di wilayah Madura dan Tapal Kuda dan jarang sekali berada di zona lainnya seperti pantura maupun zona matraman. Wallahu alam bis showab (* Penulis adalah Ketua Lakpesdam NU Sampang).
Besok, Pengungsi Syiah Sampang Dibidik Sosialisasi Pilpres.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Timur Sudarmawan menyatakan, pengungsi Syiah yang tinggal di Rusunawa Desa Jemundo Kecamatan Taman, Sidoarjo, akan menerima Sosialisasi terkait pemilihan Presiden (Pilpres).
“Besok Jumat (4 Juli) akan dilakukan sosialisasi pada pukul 09.00 WIB. Pihak yang melakukan adalah KPU dan Panwaslu Kabupaten Sidoarjo,” kata Sudarmawan, Kamis 3 Juli 2014.Dalam sosialisasi itu, selain dari pihak BPBD Jatim juga didampingi sejumlah steakholder Pemprov jatim seperti Biro Pemerintahan, Bakesbangpol dan lain-lain. Tujuan dari sosialisasi ini adalah memberikan pemahaman kepada warga tersebut terkait Pilpres yang akan digelar pada 9 Juli mendatang karena mereka sebagai warga negara yang juga punya hak pilih.
“Untuk teknisnya nanti bagian dari KPU sidoarjo dan Panwaslu,” katanya.
Sudarmawan juga menjelaskan, di Rusunawa tersebut terdapat 138 Jiwa yang memiliki hak pilih dan terdaftar sebagai Daftar Pemilih Tetap (DPT) di KPU Sidoarjo. Sedangkan total warga yang tinggal di Rusunawa tersebut sebanyak 235 Jiwa dari 74 Kepala Keluarga. Meraka merupakan, warga Syiah asal Omben, Sampang.
“Mereka itulah yang dalam pemilihan legislatif April lalu menggunakan hak pilihnya,” jelasnya.
Seperti diketahui, tragedi Kerusuhan di Kabupaten Sampang, Madura, pecah pada Agustus 2012 silam. Belasan rumah milik pengikut Syiah di Desa karang gayam kecamatan Omben dan Desa Bluuran Kecamatan Karang Penang, Sampang hangus terbakar.
Akibat dari kerusuhan, ratusan warga kini tinggal di pengungsian Rusunawa Jemundo. Mereka masih menunggu Tim rekonsiliasi agar warga di pengungsian itu bisa kembali ke kampung halaman. Para pengungsi ini merupakan berasal dari kerusuhan Sampang jilid II.
Post a Comment
mohon gunakan email