Kepalsuan Penukilan Ucapan Imam Abu Hanifah!
Akidah tajsîm yang memposturisasi Allah SWT dengan menetapkan berbagai sifat jism untuk Allah adalah akidah yang menyimpang … Maha Suci Allah dari kekurangan sifat-sifat dan kebutuhan!
Kendati kefasadan dan kesesatan akidah tajsim telah nyata dari bukti-bukti Al-Qur’an dan Sunnah shahihah, namun demikian kaum Mujassimah tak henti-hentinya mempropagandakan akidah mereka melalui ayat-ayat Al-Qur’an tertentu yang mereka plesetkan artinya. Atau Sunnah shahihah yang mereka salah artikan…. Dan yang tidak jarang mereka lakukan adalah memalsu hadis-hadis atas nama Nabi suci Muhammad a saw. dan atau para sahabat mulia. Selain cara-cara kotor itu mereka tempuh, mereka juga tidak segan memalsu atas nama para imam dan ulama Salaf demi melariskan bidha’ah (barang dagangaan akidah murahan) mereka. nama-nama para imam besar mereka bawa-bawa, pernyataan para pembesar ulama mereka sebut-sebut agar kaum awam terkesima dan terpesona serta menganggap bahwa demikianlah akidah yang diyakini Salaful Ummah dan para imamul Ummah. Dan karena banyak pihak tertipu dengan lebel “Salaf” yang selalu ditempelkan pada setiap akidah porduk kaum penyimpang itu; kaum Mujassimah yang kini diwarisi dan diperjaungkan kaum Wahhabiyah, walau mereka sangat keberatan disebut Mujassimah, tetapi kenyataan yang akan membuktikan bahwa mereka benar-benar Mujassimah yang membungkus diri dengan nama Mazhab Salaf!!
Sedekedar sebagai contoh pemalsuan atas nama Salaf yang merupakan kejahatan kaum Mujassimah dalam membutakan umat Islam dari akidah shahihah yang jauh dari tasybîh dan tajsîsm, saya akan sebutkan beberapa contoh sebagai bukti akan hal itu.
Kaum Mujassimah Berbohong Atas Nama Abu Hanifah.
Mereka menyebut-nyebut bahwa Imam Besar Ahlusunnah Abu Hanifah –rh- berkata:
“Barang siapa berkata, ‘Aku tidak mengetahui apakah Allah di langit atau di bumi maka ia benar-benar telah kafir. Sebab Alllah telah berfirman:
“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arasy.” (QS. Thâhâ;5)
dan Arsy-Nya di atas tujuh lapis langit.”
Abu Salafy berkata:
Pernyataan yang mereka nisbahkan kepada Abu Hanifah di atas adalah kebohongan dan kepalsuan belaka!! Namun kaum Mujassimah memang gemar memalsu dan junûd, bala tentara mereka berbahagia dengan penemuan pernyataan-pernyataan palsu seperti contoh di atas!!
Pernyataan itu benar-benar telah dipalsukan atas nama Imam Abu Hanifah… perawi yang membawa berita itu adalah seorang gembong pembohong dan pemalsu ulung bernama Abu Muthî’ al Balkhi.
Adz Dzahabi berkata tentangnya, “ia seorang kadzdzâb (pembohong besar) wadhdhâ’ (pemalsu). Baca Mîzân al I’tidâl,1/574.
Ketika seorang perawi disebut sebagai kadzdzâb atau wadhdhâ’ itu berarti ia berada di atas puncak keburukan kualitas… ia adalah pencacat atas seorang perawi yang paling berat. Demikian diterangkan dalam kajian jarhi wa ta’dîl !
Imam Ahmad berkata tentangnya:
“Tidak sepatutnya diriwayatkan apapun darinya.”
Yahya ibn Ma’in berkata, “Orang itu tidak berharga sedikitpun.”
Ibnu Hajar al Asqallani menghimpun sederetan komentar yang mencacat perawi andalan kaum Mujassimah yang satu ini:
Abu Hatim ar Razi:
“Ia adalah seorang murjiah pembohong, kadzdzâb.”.
Adz Dzahabi telah memastikan bahwa ia telah memalsu hadis Nabi, maka untuk itu dapat dilihat pada biografi Utsman ibn Abdullah al-Umawi.” (Lisân al Mîzân,2/335).
Abu Salafy berkata:
Pembaca dapat memperhatikan kualitas perawi andalah kaum Wahhabiyah Mujassimah ini…! dan renungkan apa yang dikatakan Imam Ahmad di atas! Mungkinkah seorang yang dengan tanpa rasa takut kepada siksa Allah memalsu hadis atas nama Nabi suci saw. mungkinkah orang seperti itu akan segan memalsu atas nama orang biasa seperti Abu Hanifah… yang tentunya berbohong atas namanya lebih ringan konsekuensi dan dosanya (tentunya jika dia masih percaya dengan adanya siksa Allah!).
Dan yang sangat mengherankan ialah bahwa kaum Wahhabiyah Mujassimah, seperti Syeikh al-Albâni dkk. Keberatan menerima Abu Muthî’ sebagai periwayat kitab al Fiqhu al Akbar karya Abu Hanifah dengan alasan karena di dalamnya terdapat bagian-bagian yang menyelisihi akidah mereka, sementara itu mereka dengan tanpa malu membanggakan Abu Muthî’ sebagai yang menukil pernyataan Imam Abu Hanifah yang mengatakaan Allah di langit lapis ketujuh di atas Arysi-Nya!!
Ada pula kelinglungan kaum Wahhabiyah Mujassimah ketika mengatakan bahwa Abu Muthî’ dapat diandalkan dalam periwayatan pernyataan-pernyataan Abu Hanifah, tidak ketika menukil dari selainnya termasuk juga ketika menukil hadis Nabi saw.!!
Subhanallah! Ini adalah dagelan yang tidak lucu dalam agama! Sebab seorang yang berani memalsu atas nama Nabi suci saw., akankah ia segan memalsu atas nama selainnya?!
Tetapi memang beginilah kaum “Dagelan” itu! Mereka membangun pondasi akidah menyimpang mereka di atas “lelucon”!!
Sebagai bukti, berapa banyak Syeikh al-Albâni menolak menshahihkan sebuah pernyataan dari seorang imam/tokoh dikarenakan ada perawi yang dha’if menurutnya!! Seperti ketika ia menolak pernyataan Abu Hanifah dan Abu Yusuf (muridnya) melalui jalur Muhammad ibn Syujâ’ al Tsalji:
“Akan tetapi sanad/jalurnya adalah hâlik/binasa. Al Tsalji adalah perawi matrûk (dibuang periwayatannya) seperti disebutkan dalam at Taqrîb.”
Lebih lanjut saya persilahkan kaum wahhabiyah Mujassimah membaca Mukhtashar al ‘Uluw:156.
Dari sini dapat kita saksikan bahwa dalam keyakinna para tokoh Mujassimah itu tidak ada tempat bagi pembeda-bedaan antara membawa/meriwayatkan hadis Nabi saw. atau menukil riwayat pernyataan seorang ulama… jika ia cacat ya tetap cacat!
Akan tetapi beginilah kenyataaannya… kita selalu berhadaapan dengan kaum mutanâqidh, yang tak henti-hentiya memamerkan kontardiski akidah dan keyakinannya sendiri….
Dan akhirnya saya katakan…
Kepalsuan menjadi andalah dan acuan….
Kedangkalan sebagai modal utama penafsiran…
Kebohongan sebagai komoditas unggulan…
Kaum Mujassimah Berbohong Atas Nama Imam Malik.
Selain memalsu atas nama Abu Hanifah, kaum Mujassimah juga memalsu atas nama Imam Malik.
Mereka mangatakan bahwa Imam Malik berkata:
“Istiwâ’ sudah diketahui, kaif (cara/bentuk) tidak diketahui, beriman kepadanya adalah wajib dan bertanya tentangnya adalah bid’ah.”
Abu Salafy:
Ucapan itu tidak benar pernah diucapkan oleh Imam Malik, baik dengan sanad riwayat shahih, hasan maupun dhaif dengan kedha’ifan ringan. Barang siapa mengaku selain itu hendaknnya ia membawakan bukti dan menjelaskannya. Dan kami insyaallah siap mendiskusikannya di sini.
Stitmen benar pernah diucapkan Imam Malik adalah:
“Al kaif/bentuk/cara tidak masuk akal/tidak bisa diakal-akalkan, istiwâ’ tidak majhûl, beriman kepadanya adalah wajib dan bertanya tentangnya adalah bid’ah (baru dimana sebbelumnya tidak ada).”
Ucapan ini jelas membubarkan anggapan kaum Mujassimah.
Ibnu Lubbân dalam menafsirkan ucapan Imam Maliki di atas mengatakan, seperti disebutkan dalam Ithâf as Sâdah al Muttaqîn,2/82:
“Kaif tidak masuk akal, sebab ia termasuk sifat makhluk. Dan setiap sifat makhluk maka jika ditetapkan menjadi sifat –ta’ala- pasti menyalai apa yang wajib bagi-Nya berdasarkan hukum akal sehat, maka ia harus dipastikan untuk ditiadaakan dari Allah –ta’ala-. Ucapan beliau, “Istiwâ’ tidak majhûl” yaitu ia telah diketahui oleh ahli bahasa apa maknanya. Beriman sesuai dengan makna yang layak bagi Allah adalah wajib hukumnya, sebab ia termasuk beriman kepada Allah dan kitab-kitab-Nya. Dan “bertanya tentangnya adalah bid’ah” yaitu sesuatu yang dahulu tidak pernah muncul, sebab di masa sahabat, mereka sudah mengetahui maknanya yang layak sesuai dengan pemaknaan bahasa. Karenanya mereka tidak butuh untuk menanyakannya. Dan ketika datang orang yang tidak menguasai penggunaan bahasa mereka dan tidak memiliki cahaya seperti cahaya para sahabat yang akan membimbing mereka untuk mengenali sifat-sifat Tuhan mereka, muncullah pertanyaan tentangnya. Dan pertanyaan itu menjadi sebab kekaburan atas manusia dan penyimpangan mereka dari yang apa yang dimaksud.”
Diriwayatkan juga bahwa Imam Malik berkata:
“Ar Rahmân di atas Arys beristiwâ’ sebagaimana Dia mensifati Diri-Nya. Dan tidak boleh dikatakan: Bagaimana? Dan bagaimana itu terangkat dari-Nya… “ (Lebih lanjut baca: Ithâf as Sâdah,2/82, Daf’u Syubah at Tasybîh; Ibnu al Jawzi: 71-72).
Pernyataan di atas benar-benar tamparan keras ke atas wajah-wajah kaum Mujassimah!
Kaum Mujassimah Berbohong Atas Nama Imam Ahmad ibn Hanbal.
Kaum Wahhâbiyah yang secara palsu mengklaim sebagai pengikut Imam Ahmad ibn Hanbal, akan tetapi pada kenyataannya, mereka bertolak belakang dengan Imam Ahmad! Sebagai contoh nyata, Imam Ahmad tidak pernah dalam fatwa yang beliau keluarkan menghalalkan darah-darah kaum Muslimin yang berbeda pendapat dengannya… tidak juga ahli bid’ah!!
Dalam kitab Mukhtashar ar Rawdhah disebutkan:
“Pendapat yang benar bahwa orang yang mengucapkan dan meyakini dua kalimah syahadatain maka ia tidak boleh dikafirkan dengan sebab bid’ah yang ia sandang, apapun bentuk bid’ah itu selagi ia bersandar kepada ta’wil yang samar atas orang yang semisalnya. Pendapat ini yang dikuatkan Syeikh kami Abul Abbas Ibnu Taimiyah.” (Ash Shawâiq al Ilâhiyah; Sulaiman ibn Abdul Wahhab –saudara Pendiri sekte Wahhabi-:47).
Sementara itu, kaum Wahhâbiyah menghalalkan darah-darah kaum Muslimin yang berbeda pendapat dengan mereka dengan alasan mereka adalah ahli bid’ah!
Imam Ahmad telah dicemarkan oleh para pengikut yang jahil yang tak segan-segan memalsu atas nama Imam mereka!
Imam Allamah al Qannûbi berkata:
“Imam Ahmad ibn Hanbal telah diuji dengan adanya pengikut yang jahil yang berbohong atas namanya dan menisbatkan pendapat-pendapat yang tidak pernah ia ucapkan dalam akidah dan pendapat-pendapat murahan. Seperti dikatakan banyak ulama, di antaranya adalah Ibnu al Jawzi, Ibnu ash Shalâh, Ibnu Abdis Salâm, Imam as Subki dan putranya Tajiddîn as Subki serta adz Dzahabi dan para ulama lainya.” (Selanjutnya baca: as Saif al Hâd; Syeikh Allamah Sa’id ibn Mabrûk al Qannûbi:192).
Dan di antara kepalsuan atas nama Imam Ahmad adalah kitab Ar Raddu ‘Alâ al Jahmiyah yang mereka atas namakan Imam Ahmad dan selalu mereka banggakan dan andalkan dalam menegaskan akidah tajsîm dan tasybîh!
Imam adz Dzahabi berkata:
“… tidak seperti risalah al Ishthakhbari, dan juga ar Raddu ‘Alâ al Jahmiyah yang dipalsukan atas nama Abu Abdillah.” yaitu Imam Ahmad.
Dan setelah menyebutkan beberapa contoh penyimpangan akidah di dalamnya, adz Dzahabi berkata:
“Demi Allah, Imam Ahmad tidak pernah mengucapkannya, dan semoga Allah membunuh pamalsunya!”
Kemudian ia melanjutkan:
“Coba perhatikan kejahilan ahli hadis, bagaimana mereka meriwayatkan hadis khurafat seperti itu dan mendiamkannya (tanpa menjelaskan kepalsuannya).” (Lebih lanjut baca Siyar A’lâm an Nubalâ’; adz Dzahabi, 11/286).
Kaum Mujassimah Berbohong Atas Nama Imam Syafi’i.
Kaum Mujassimah juga telah memalsu atas nama Imam Syafi’i bahwa beliau mengatakan:
“Pendapat tentang Sunnah yang saya anut, dan aku saksikan teman-temanku menganutnya; Ahli hadis yang aku saksikan mereka dan aku timba ilmu dari mereka seperti Sufyân, Malik dan selain keduanya yaitu: Mengiqrarkan dua kalimah syahâtain; ‘Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah’. Dan sesungguhnya Allah berada di atas Arsy-Nya di dalam langit, Dia mendekat kepada hamba-Nya bagaimanapun Dia kehendaki, dan Dia turun ke langit terdekat dengan dunia bagaimanapun Dia kehendaaki… (dan kemudian kaum Mujassimah menyebutkan beberapa akidah yang mereka katakana diyakikini Imam Syaf’i).
Abu Salafy:
Pernyataan Imam Syafi’i di atas dapat Anda temukan dalam kitab Mukhtashar al ‘Uluw:176 tulisan pendekar hadis Wahhâbiyah; Syeikh Nâshiruddîn al Albani. Dia mengatakan bahwa pernyataan itu telah diriwayatkan oleh:
1) Syeikhul Islam Abul Hasan al Hakâri.
2) Al Hafidz Abu Muhammad ibn Idris asy Syafi’I al Maqdisi.
Uraian akidah atas nama Imam Syafi’i itu adalah palsu… mereka memalsunya atas nama Imam Syafi’i. Syeikh Nâshiruddîn al Albani bisa jadi telah mengetahui kepalsuan itu tetapi mendiamkannya atau ia tidak mengatahuinya, dan itu bukti kajahilannya! Namapun yang hendak dipilih kaum Wahhâbiyah, itu hak mereka, saya tidak memaksanya.
Bukti Kepalsuan!
Di antara bukti kepalsuan ucapan atas nama Imam Syafi’i itu adalah sebagai berikut:
A) Adapun Abul Hasan al Hakâri yang digelari Syeikhul Islam adalah seorang pembohong besar dan pemalsu! Anda tidak perlu terkejut, sebab banyak dari orang-orang yang digelari oleh kaum Wahabiyah dengan gelar Syeikhul Islam ternyata adalah pembohong besar!!
Adz Dzahabi berkata dalam Mîzân al I’tidâl,3/112 ketika menyebut datanya: Abul Qâsim Ibnu ‘Asâkir berkata:
“Dia (al Hakâri)tidak terpercaya.”
Ibnu Najjâr berkata:
“Ia tertuduh memalsu hadis dan membuat-buat sanad.”
Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Lisân al Mîzân-nya,4/159 mengatakan demikian:
“Dan kebanyakan hadis yang ia riwayatkan adalah gharîb dan munkar. Dan pada hadis riwayatnya terdapat banyak hadis palsu dan aku melihat dengan tulisan tangan sebagian Ahli hadis bahwa ia memalsu hadis di kota Isfahân.”
Abu Salafy berkata:
Tetapi anehnya, si pembohong besar dan pemalsu tak tau malu ini begitu disanjung oleh Ibnu Taimiyah; Syeikh dan imam besar kaum Wahhâbiyah Mujassimah! Baca Risalah Ibnu Taimiyah yang berjudul al Washiyyah al Kubra Fî al Aqîdah wa ad Da’wah, dan ia menggelarinya dengan Syeikhul Islam. Sementara ia adalah “pemaslu kelas kakap”. Sungguh luar biasa!! “Syeikhul Islam” menyanjung dan memuji “Syeikhul Islam”, si pembual menyanjung si pemalsu!!
B) Adapun orang kedua yang meriwayatkan uraian akidah Imam Syafi’i di atas adalah Abu Muhammad as Syafi’i, adalah seorang yang telah dihalalkan darahnya oleh pera karena kesesatan akidahnya. Ia seorang musyabbih murni!! Ketarangan tentangnya dapat And abaca dalam adz Dzail ‘alâ ar Rawdhatain atau yang dikenal juga dengan nama Tarâjim Rijâl al Qarnain tulisan al Hafidz Abu Syâmah al Maqdisi.
C) Selain itu, Abu Syu’aib perawi yang mereka aku sebagai yang meriwayatkan uraian akidah Imam Syafi’i di atas, ia baru lahir dua tahun setalah wafat Imam Stafi’i ! baca Târîkh Baghdâd,9/436.
Al Hafidz adz Dzahabi seperti dikutip al Hafidz Ibnu Hajar dalam Lisân al Mîzân,5/301 mengatakan bahwa uraian akidah itu adalah sesuatu yang disisipkan di luar kesadaran Abu Syu’aib:
“Mereka memasukkan kepadanya banyak riwayat, lalu ia sampaikan dengan keluguan jiwa. Di antaranya adalah hadis palsu tentang keutamaan malam Asyura’ dan di antaranya pula adalah akidah asy Syafi’i.”
Maka dengan demikian gugurlah apa yang dijadikan sandaran oleh kaum Mujassimah untuk mendukung akidah tajsîm dan tasybîh mereka! Wal hamdulillah!
Innâ Lillâhi wa Innâ Ilahi Râji’ûn.
Akidah tajsîm yang memposturisasi Allah SWT dengan menetapkan berbagai sifat jism untuk Allah adalah akidah yang menyimpang … Maha Suci Allah dari kekurangan sifat-sifat dan kebutuhan!
Kendati kefasadan dan kesesatan akidah tajsim telah nyata dari bukti-bukti Al-Qur’an dan Sunnah shahihah, namun demikian kaum Mujassimah tak henti-hentinya mempropagandakan akidah mereka melalui ayat-ayat Al-Qur’an tertentu yang mereka plesetkan artinya. Atau Sunnah shahihah yang mereka salah artikan…. Dan yang tidak jarang mereka lakukan adalah memalsu hadis-hadis atas nama Nabi suci Muhammad a saw. dan atau para sahabat mulia. Selain cara-cara kotor itu mereka tempuh, mereka juga tidak segan memalsu atas nama para imam dan ulama Salaf demi melariskan bidha’ah (barang dagangaan akidah murahan) mereka. nama-nama para imam besar mereka bawa-bawa, pernyataan para pembesar ulama mereka sebut-sebut agar kaum awam terkesima dan terpesona serta menganggap bahwa demikianlah akidah yang diyakini Salaful Ummah dan para imamul Ummah. Dan karena banyak pihak tertipu dengan lebel “Salaf” yang selalu ditempelkan pada setiap akidah porduk kaum penyimpang itu; kaum Mujassimah yang kini diwarisi dan diperjaungkan kaum Wahhabiyah, walau mereka sangat keberatan disebut Mujassimah, tetapi kenyataan yang akan membuktikan bahwa mereka benar-benar Mujassimah yang membungkus diri dengan nama Mazhab Salaf!!
Sedekedar sebagai contoh pemalsuan atas nama Salaf yang merupakan kejahatan kaum Mujassimah dalam membutakan umat Islam dari akidah shahihah yang jauh dari tasybîh dan tajsîsm, saya akan sebutkan beberapa contoh sebagai bukti akan hal itu.
Kaum Mujassimah Berbohong Atas Nama Abu Hanifah.
Mereka menyebut-nyebut bahwa Imam Besar Ahlusunnah Abu Hanifah –rh- berkata:
مَنْ قال لا أعْرِفُ ربِّي في السماء أم في الأرضِ فقد كفر، لأَنَّ اللهَ يقول: {الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى}، و عرشه فوق سبع سماواته.
“Barang siapa berkata, ‘Aku tidak mengetahui apakah Allah di langit atau di bumi maka ia benar-benar telah kafir. Sebab Alllah telah berfirman:
الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى.
“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arasy.” (QS. Thâhâ;5)
dan Arsy-Nya di atas tujuh lapis langit.”
Abu Salafy berkata:
Pernyataan yang mereka nisbahkan kepada Abu Hanifah di atas adalah kebohongan dan kepalsuan belaka!! Namun kaum Mujassimah memang gemar memalsu dan junûd, bala tentara mereka berbahagia dengan penemuan pernyataan-pernyataan palsu seperti contoh di atas!!
Pernyataan itu benar-benar telah dipalsukan atas nama Imam Abu Hanifah… perawi yang membawa berita itu adalah seorang gembong pembohong dan pemalsu ulung bernama Abu Muthî’ al Balkhi.
Adz Dzahabi berkata tentangnya, “ia seorang kadzdzâb (pembohong besar) wadhdhâ’ (pemalsu). Baca Mîzân al I’tidâl,1/574.
Ketika seorang perawi disebut sebagai kadzdzâb atau wadhdhâ’ itu berarti ia berada di atas puncak keburukan kualitas… ia adalah pencacat atas seorang perawi yang paling berat. Demikian diterangkan dalam kajian jarhi wa ta’dîl !
Imam Ahmad berkata tentangnya:
لا ينبغي أن يُروى عنه شيئٌ.
“Tidak sepatutnya diriwayatkan apapun darinya.”
Yahya ibn Ma’in berkata, “Orang itu tidak berharga sedikitpun.”
Ibnu Hajar al Asqallani menghimpun sederetan komentar yang mencacat perawi andalan kaum Mujassimah yang satu ini:
Abu Hatim ar Razi:
كان مُرجِئا كَذَّابا.
“Ia adalah seorang murjiah pembohong, kadzdzâb.”.
Adz Dzahabi telah memastikan bahwa ia telah memalsu hadis Nabi, maka untuk itu dapat dilihat pada biografi Utsman ibn Abdullah al-Umawi.” (Lisân al Mîzân,2/335).
Abu Salafy berkata:
Pembaca dapat memperhatikan kualitas perawi andalah kaum Wahhabiyah Mujassimah ini…! dan renungkan apa yang dikatakan Imam Ahmad di atas! Mungkinkah seorang yang dengan tanpa rasa takut kepada siksa Allah memalsu hadis atas nama Nabi suci saw. mungkinkah orang seperti itu akan segan memalsu atas nama orang biasa seperti Abu Hanifah… yang tentunya berbohong atas namanya lebih ringan konsekuensi dan dosanya (tentunya jika dia masih percaya dengan adanya siksa Allah!).
Dan yang sangat mengherankan ialah bahwa kaum Wahhabiyah Mujassimah, seperti Syeikh al-Albâni dkk. Keberatan menerima Abu Muthî’ sebagai periwayat kitab al Fiqhu al Akbar karya Abu Hanifah dengan alasan karena di dalamnya terdapat bagian-bagian yang menyelisihi akidah mereka, sementara itu mereka dengan tanpa malu membanggakan Abu Muthî’ sebagai yang menukil pernyataan Imam Abu Hanifah yang mengatakaan Allah di langit lapis ketujuh di atas Arysi-Nya!!
Ada pula kelinglungan kaum Wahhabiyah Mujassimah ketika mengatakan bahwa Abu Muthî’ dapat diandalkan dalam periwayatan pernyataan-pernyataan Abu Hanifah, tidak ketika menukil dari selainnya termasuk juga ketika menukil hadis Nabi saw.!!
Subhanallah! Ini adalah dagelan yang tidak lucu dalam agama! Sebab seorang yang berani memalsu atas nama Nabi suci saw., akankah ia segan memalsu atas nama selainnya?!
Tetapi memang beginilah kaum “Dagelan” itu! Mereka membangun pondasi akidah menyimpang mereka di atas “lelucon”!!
Sebagai bukti, berapa banyak Syeikh al-Albâni menolak menshahihkan sebuah pernyataan dari seorang imam/tokoh dikarenakan ada perawi yang dha’if menurutnya!! Seperti ketika ia menolak pernyataan Abu Hanifah dan Abu Yusuf (muridnya) melalui jalur Muhammad ibn Syujâ’ al Tsalji:
و لكنه إسنادٌ هالكٌ، الثلجي هذا متروك كما فِي التفريب.
“Akan tetapi sanad/jalurnya adalah hâlik/binasa. Al Tsalji adalah perawi matrûk (dibuang periwayatannya) seperti disebutkan dalam at Taqrîb.”
Lebih lanjut saya persilahkan kaum wahhabiyah Mujassimah membaca Mukhtashar al ‘Uluw:156.
Dari sini dapat kita saksikan bahwa dalam keyakinna para tokoh Mujassimah itu tidak ada tempat bagi pembeda-bedaan antara membawa/meriwayatkan hadis Nabi saw. atau menukil riwayat pernyataan seorang ulama… jika ia cacat ya tetap cacat!
Akan tetapi beginilah kenyataaannya… kita selalu berhadaapan dengan kaum mutanâqidh, yang tak henti-hentiya memamerkan kontardiski akidah dan keyakinannya sendiri….
Dan akhirnya saya katakan…
Kepalsuan menjadi andalah dan acuan….
Kedangkalan sebagai modal utama penafsiran…
Kebohongan sebagai komoditas unggulan…
Kaum Mujassimah Berbohong Atas Nama Imam Malik.
Selain memalsu atas nama Abu Hanifah, kaum Mujassimah juga memalsu atas nama Imam Malik.
Mereka mangatakan bahwa Imam Malik berkata:
الاستواء معلوم والكيف مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة.
“Istiwâ’ sudah diketahui, kaif (cara/bentuk) tidak diketahui, beriman kepadanya adalah wajib dan bertanya tentangnya adalah bid’ah.”
Abu Salafy:
Ucapan itu tidak benar pernah diucapkan oleh Imam Malik, baik dengan sanad riwayat shahih, hasan maupun dhaif dengan kedha’ifan ringan. Barang siapa mengaku selain itu hendaknnya ia membawakan bukti dan menjelaskannya. Dan kami insyaallah siap mendiskusikannya di sini.
Stitmen benar pernah diucapkan Imam Malik adalah:
الكيف غير معقول والاستواء منه غير مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة.
“Al kaif/bentuk/cara tidak masuk akal/tidak bisa diakal-akalkan, istiwâ’ tidak majhûl, beriman kepadanya adalah wajib dan bertanya tentangnya adalah bid’ah (baru dimana sebbelumnya tidak ada).”
Ucapan ini jelas membubarkan anggapan kaum Mujassimah.
Ibnu Lubbân dalam menafsirkan ucapan Imam Maliki di atas mengatakan, seperti disebutkan dalam Ithâf as Sâdah al Muttaqîn,2/82:
كيف
غير معقول أي كيف من صفات الحوادث وكل ما كان من صفات الحوادث فإثباته في
صفات الله تعالى ينافي ما يقتضيه العقل فيجزم بنفيه عن الله تعالى ، قوله :
والاستواء غير مجهول أي أنه معلوم المعنى عند أهل اللغة ، والإيمان به على
الوجه اللائق به تعالى واجب ؛ لأنه من الإيمان بالله وبكتبه ، والسؤال عنه
بدعة ؛ أي حادث لأن الصحابة كانوا عالمين بمعناه اللائق بحسب وضع اللغة
فلم يحتاجوا للسؤال عنه ، فلما جاء من لم يحط بأوضاع لغتهم ولا له نور
كنورهم يهديه لصفات ربه يسأل عن ذلك، فكان سؤاله سببا لاشتباهه على الناس
وزيغهم عن المراد.
“Kaif tidak masuk akal, sebab ia termasuk sifat makhluk. Dan setiap sifat makhluk maka jika ditetapkan menjadi sifat –ta’ala- pasti menyalai apa yang wajib bagi-Nya berdasarkan hukum akal sehat, maka ia harus dipastikan untuk ditiadaakan dari Allah –ta’ala-. Ucapan beliau, “Istiwâ’ tidak majhûl” yaitu ia telah diketahui oleh ahli bahasa apa maknanya. Beriman sesuai dengan makna yang layak bagi Allah adalah wajib hukumnya, sebab ia termasuk beriman kepada Allah dan kitab-kitab-Nya. Dan “bertanya tentangnya adalah bid’ah” yaitu sesuatu yang dahulu tidak pernah muncul, sebab di masa sahabat, mereka sudah mengetahui maknanya yang layak sesuai dengan pemaknaan bahasa. Karenanya mereka tidak butuh untuk menanyakannya. Dan ketika datang orang yang tidak menguasai penggunaan bahasa mereka dan tidak memiliki cahaya seperti cahaya para sahabat yang akan membimbing mereka untuk mengenali sifat-sifat Tuhan mereka, muncullah pertanyaan tentangnya. Dan pertanyaan itu menjadi sebab kekaburan atas manusia dan penyimpangan mereka dari yang apa yang dimaksud.”
Diriwayatkan juga bahwa Imam Malik berkata:
الرحمن على العرش استوى كما وصف به نفسه ولا يقال كيف ، وكيف عنه مرفوع…
“Ar Rahmân di atas Arys beristiwâ’ sebagaimana Dia mensifati Diri-Nya. Dan tidak boleh dikatakan: Bagaimana? Dan bagaimana itu terangkat dari-Nya… “ (Lebih lanjut baca: Ithâf as Sâdah,2/82, Daf’u Syubah at Tasybîh; Ibnu al Jawzi: 71-72).
Pernyataan di atas benar-benar tamparan keras ke atas wajah-wajah kaum Mujassimah!
Kaum Mujassimah Berbohong Atas Nama Imam Ahmad ibn Hanbal.
Kaum Wahhâbiyah yang secara palsu mengklaim sebagai pengikut Imam Ahmad ibn Hanbal, akan tetapi pada kenyataannya, mereka bertolak belakang dengan Imam Ahmad! Sebagai contoh nyata, Imam Ahmad tidak pernah dalam fatwa yang beliau keluarkan menghalalkan darah-darah kaum Muslimin yang berbeda pendapat dengannya… tidak juga ahli bid’ah!!
Dalam kitab Mukhtashar ar Rawdhah disebutkan:
الصحيح
أن من كان من أهل الشهادتين فإنه لا يكفر ببدعة على الإطلاق ما استند فيها
إلى تأويل يلتبس به الأمر على مثله وهو الذي رجحه شيخنا أبو العباس ابن
تيمية.
“Pendapat yang benar bahwa orang yang mengucapkan dan meyakini dua kalimah syahadatain maka ia tidak boleh dikafirkan dengan sebab bid’ah yang ia sandang, apapun bentuk bid’ah itu selagi ia bersandar kepada ta’wil yang samar atas orang yang semisalnya. Pendapat ini yang dikuatkan Syeikh kami Abul Abbas Ibnu Taimiyah.” (Ash Shawâiq al Ilâhiyah; Sulaiman ibn Abdul Wahhab –saudara Pendiri sekte Wahhabi-:47).
Sementara itu, kaum Wahhâbiyah menghalalkan darah-darah kaum Muslimin yang berbeda pendapat dengan mereka dengan alasan mereka adalah ahli bid’ah!
Imam Ahmad telah dicemarkan oleh para pengikut yang jahil yang tak segan-segan memalsu atas nama Imam mereka!
Imam Allamah al Qannûbi berkata:
وقد
ابتلي الإمام أحمد بن حنبل بأصحاب جهلة كذبوا عليه ونسبوا إليه ما لم يقله
من العقائد والآراء الكاسدة ؛ كما ذكر ذلك جماعة كبيرة من العلماء منهم
ابن الجوزي وابن الصلاح وابن عبد السلام والإمام السبكي وابنه التاج
والذهبي وآخرون.
“Imam Ahmad ibn Hanbal telah diuji dengan adanya pengikut yang jahil yang berbohong atas namanya dan menisbatkan pendapat-pendapat yang tidak pernah ia ucapkan dalam akidah dan pendapat-pendapat murahan. Seperti dikatakan banyak ulama, di antaranya adalah Ibnu al Jawzi, Ibnu ash Shalâh, Ibnu Abdis Salâm, Imam as Subki dan putranya Tajiddîn as Subki serta adz Dzahabi dan para ulama lainya.” (Selanjutnya baca: as Saif al Hâd; Syeikh Allamah Sa’id ibn Mabrûk al Qannûbi:192).
Dan di antara kepalsuan atas nama Imam Ahmad adalah kitab Ar Raddu ‘Alâ al Jahmiyah yang mereka atas namakan Imam Ahmad dan selalu mereka banggakan dan andalkan dalam menegaskan akidah tajsîm dan tasybîh!
Imam adz Dzahabi berkata:
لا كرسالة الاصطخبري ، ولا كالرد على الجهمية الموضوع على أبي عبد الله
“… tidak seperti risalah al Ishthakhbari, dan juga ar Raddu ‘Alâ al Jahmiyah yang dipalsukan atas nama Abu Abdillah.” yaitu Imam Ahmad.
Dan setelah menyebutkan beberapa contoh penyimpangan akidah di dalamnya, adz Dzahabi berkata:
والله ما قالها الإمام أحمد ، فقاتل الله واضعها.
“Demi Allah, Imam Ahmad tidak pernah mengucapkannya, dan semoga Allah membunuh pamalsunya!”
Kemudian ia melanjutkan:
فانظر إلى جهل المحدثين كيف يروون مثل هذه الخرافة ويسكتون عليها.
“Coba perhatikan kejahilan ahli hadis, bagaimana mereka meriwayatkan hadis khurafat seperti itu dan mendiamkannya (tanpa menjelaskan kepalsuannya).” (Lebih lanjut baca Siyar A’lâm an Nubalâ’; adz Dzahabi, 11/286).
Kaum Mujassimah Berbohong Atas Nama Imam Syafi’i.
Kaum Mujassimah juga telah memalsu atas nama Imam Syafi’i bahwa beliau mengatakan:
القول
في السنة التي أنا عليها ورأيت أصحابنا عليها أهل الحديث الذين رأيتهم
وأخذت عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما الإقرار بالشهادة أن لا إله إلا الله
وأن محمدا رسول الله ، وأن الله تعالى على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف
شاء وأن الله ينـزل إلى السماء الدنيا كيف شاء …
“Pendapat tentang Sunnah yang saya anut, dan aku saksikan teman-temanku menganutnya; Ahli hadis yang aku saksikan mereka dan aku timba ilmu dari mereka seperti Sufyân, Malik dan selain keduanya yaitu: Mengiqrarkan dua kalimah syahâtain; ‘Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah’. Dan sesungguhnya Allah berada di atas Arsy-Nya di dalam langit, Dia mendekat kepada hamba-Nya bagaimanapun Dia kehendaki, dan Dia turun ke langit terdekat dengan dunia bagaimanapun Dia kehendaaki… (dan kemudian kaum Mujassimah menyebutkan beberapa akidah yang mereka katakana diyakikini Imam Syaf’i).
Abu Salafy:
Pernyataan Imam Syafi’i di atas dapat Anda temukan dalam kitab Mukhtashar al ‘Uluw:176 tulisan pendekar hadis Wahhâbiyah; Syeikh Nâshiruddîn al Albani. Dia mengatakan bahwa pernyataan itu telah diriwayatkan oleh:
1) Syeikhul Islam Abul Hasan al Hakâri.
2) Al Hafidz Abu Muhammad ibn Idris asy Syafi’I al Maqdisi.
Uraian akidah atas nama Imam Syafi’i itu adalah palsu… mereka memalsunya atas nama Imam Syafi’i. Syeikh Nâshiruddîn al Albani bisa jadi telah mengetahui kepalsuan itu tetapi mendiamkannya atau ia tidak mengatahuinya, dan itu bukti kajahilannya! Namapun yang hendak dipilih kaum Wahhâbiyah, itu hak mereka, saya tidak memaksanya.
Bukti Kepalsuan!
Di antara bukti kepalsuan ucapan atas nama Imam Syafi’i itu adalah sebagai berikut:
A) Adapun Abul Hasan al Hakâri yang digelari Syeikhul Islam adalah seorang pembohong besar dan pemalsu! Anda tidak perlu terkejut, sebab banyak dari orang-orang yang digelari oleh kaum Wahabiyah dengan gelar Syeikhul Islam ternyata adalah pembohong besar!!
Adz Dzahabi berkata dalam Mîzân al I’tidâl,3/112 ketika menyebut datanya: Abul Qâsim Ibnu ‘Asâkir berkata:
لم يكن موثوقاً به.
“Dia (al Hakâri)tidak terpercaya.”
Ibnu Najjâr berkata:
متهم بوضع الحديث وتركيب الأسانيد.
“Ia tertuduh memalsu hadis dan membuat-buat sanad.”
Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Lisân al Mîzân-nya,4/159 mengatakan demikian:
وكان الغالب على حديثه الغرائب والمنكرات ، وفي حديثه أشياء موضوعة ورأيت بخط بعض أصحاب الحديث أنه كان يضع الحديث بأصبهان.
“Dan kebanyakan hadis yang ia riwayatkan adalah gharîb dan munkar. Dan pada hadis riwayatnya terdapat banyak hadis palsu dan aku melihat dengan tulisan tangan sebagian Ahli hadis bahwa ia memalsu hadis di kota Isfahân.”
Abu Salafy berkata:
Tetapi anehnya, si pembohong besar dan pemalsu tak tau malu ini begitu disanjung oleh Ibnu Taimiyah; Syeikh dan imam besar kaum Wahhâbiyah Mujassimah! Baca Risalah Ibnu Taimiyah yang berjudul al Washiyyah al Kubra Fî al Aqîdah wa ad Da’wah, dan ia menggelarinya dengan Syeikhul Islam. Sementara ia adalah “pemaslu kelas kakap”. Sungguh luar biasa!! “Syeikhul Islam” menyanjung dan memuji “Syeikhul Islam”, si pembual menyanjung si pemalsu!!
B) Adapun orang kedua yang meriwayatkan uraian akidah Imam Syafi’i di atas adalah Abu Muhammad as Syafi’i, adalah seorang yang telah dihalalkan darahnya oleh pera karena kesesatan akidahnya. Ia seorang musyabbih murni!! Ketarangan tentangnya dapat And abaca dalam adz Dzail ‘alâ ar Rawdhatain atau yang dikenal juga dengan nama Tarâjim Rijâl al Qarnain tulisan al Hafidz Abu Syâmah al Maqdisi.
C) Selain itu, Abu Syu’aib perawi yang mereka aku sebagai yang meriwayatkan uraian akidah Imam Syafi’i di atas, ia baru lahir dua tahun setalah wafat Imam Stafi’i ! baca Târîkh Baghdâd,9/436.
Al Hafidz adz Dzahabi seperti dikutip al Hafidz Ibnu Hajar dalam Lisân al Mîzân,5/301 mengatakan bahwa uraian akidah itu adalah sesuatu yang disisipkan di luar kesadaran Abu Syu’aib:
أدخلوا عليه أشياء فحدث بها بسلامة باطن ، منها : حديث موضوع في فضل ليلة عاشوراء ، ومنها عقيدة الشافعي …
“Mereka memasukkan kepadanya banyak riwayat, lalu ia sampaikan dengan keluguan jiwa. Di antaranya adalah hadis palsu tentang keutamaan malam Asyura’ dan di antaranya pula adalah akidah asy Syafi’i.”
Maka dengan demikian gugurlah apa yang dijadikan sandaran oleh kaum Mujassimah untuk mendukung akidah tajsîm dan tasybîh mereka! Wal hamdulillah!
Innâ Lillâhi wa Innâ Ilahi Râji’ûn.
Post a Comment
mohon gunakan email