Sayidah Zainab al-Kubra as adalah sosok
wanita suci yang selalu sabar dalam menghadapi berbagai musibah dan
ujian berat. Putri Ali bin Abi Thalib as dan Sayidah Fatimah az-Zahra as
itu wafat pada tanggal 15 Rajab. Beliau lahir di kota Madinah pada
tahun ke-6 H. Sayidah Zainab as besar dalam keluarga orang-orang mulia,
suci dan tempat turunnya wahyu, yaitu keluarga yang dijamin kesuciannya
dalam al-Quran. Mereka adalah kakeknya, Nabi Muhammad Saw, ayahnya, Imam
Ali as, ibunya, Sayidah fatimah as, kedua saudaranya, Imam Hasan dan
Imam Husein as.
Sayidah Zainab as adalah sosok perempuan
yang tegar dalam menghadapi semua musibah dan penderitaan. Sejak kecil,
beliau telah menghiasi diri dengan kemuliaan dan kesempurnaan. Perkataan
dan perilaku beliau telah menjadi hiasan bagi ayahnya. Dalam riwayat
disebutkan bahwa martabat dan harga diri Sayidah Zainab as mirip dengan
Sayidah Khadijah, kesucian dan kesederhanaan serta kesopanan beliau
persis seperti Sayidah Fatimah as, kefasihan dan retorika beliau dalam
berpidato mirip dengan Imam Ali as, kelembutan dan kesabaran beliau
mirip Imam Hasan as, sedangkan keberanian dan kekuatan hati beliau mirip
dengan Imam Husein as. Dapat dikatakan bahwa semua kebaikan Ahlul Bait
as seakan-akan ada dalam diri beliau.
Sejak kecil, Sayidah Zainab as menghadapi
beragam fitnah dan musibah. Meski demikian, beliau telah menyiapkan diri
untuk menghadapi badai dahsyat yang dibuat oleh orang-orang zalim yang
haus dengan kekuasaan. Di usia yang belum genap lima tahun, beliau telah
kehilangan kakeknya, Rasulullah Saw, yang selalu memberikan kasih
sayang. Wafatnya Rasulullah Saw adalah musibah pertama yang telah
melukai jiwa lembut Sayidah Zainab as. Musibah ini bagi beliau, terutama
bagi ibunya, Sayidah Fatimah as, adalah ujian yang sangat berat.
Dari masa kanak-kanak, Sayidah Zainab as
telah menyaksikan penderitaan ibunya pasca wafatnya Rasulullah Saw, di
mana kesedihan tersebut telah menyebabkan Sayidah Fatimah as jatuh
sakit, dan beberapa bulan kemudian Putri Rasulullah Saw itu meninggal
dunia. Dengan demikian, Sayidah Zainab as menikmati kecintaan ibunya
tidak lebih dari lima tahun.
Kenangan-kenangan pahit dan manis di masa
singkat tersebut telah menjadikan beliau siap untuk terus bergerak dan
berjuang di jalan Allah Swt dan menyambut segala bentuk musibah dan
persoalan kehidupan. Suatu hari, Sayidah Fatimah as menyampaikan pidato
di masjid Rasulullah Saw untuk membela hak-hak Ahlul Bait as. Sayidah
Zainab as hadir dalam pidato ibunya tersebut dan beliau mencatat semua
perkataan ibundanya sehingga beliau terhitung sebagai salah satu perawi
khutbah terkenal Sayidah Fatimah as.
Kesedihan Sayidah Fatimah as pasca wafat
ayahandanya, Rasulullah Saw, sangat berat di hati mungil Sayidah Zainab
as, namun semangat dan kemampuan beliau dengan cepat menempati hati
Sayidah Fatimah as dan bahkan memulihkan hati ayahnya yang dipenuhi
dengan kesedihan.
Meski lebih muda dari kedua saudaranya,
namun Sayidah Zainab as mewarisi sifat-sifat ibundanya. Ikatan emosional
antara beliau dengan Imam Hasan dan Husein as sulit untuk digambarkan.
Hubungan emosional tersebut berlanjut hingga akhir usia beliau.
Sedetikpun Sayidah Zainab as tidak dapat menjauh dari kedua saudaranya,
beliau selalu memberikan cinta dan kasih sayang kepada kedua saudara itu
seperti seperti halnya yang dilakukan ibunya.
Setelah wafatnya Sayidah Fatimah as,
Sayidah Zainab as menyaksikan sikap diam ayahnya selama 25 tahun. Imam
Ali as di masa itu terpaksa diam ketika hak-haknya dirampas demi
kepentingan dan maslahat kaum Muslimin. Sayidah Zainab as juga melewati
masa kekhalifahan ayahnya selama kurang lebih lima tahun hingga pada
akhirnya Imam Ali as pada malam 19 Ramadhan 40 H meneguk cawan
kesyahidan di mihrab masjid Kufah.
Pasca wafatnya Rasulullah Saw dan Sayidah
Fatimah as, hati Sayidah Zainab as bergantung pada Imam Ali as. Kasih
sayang ayahnya itu telah menjadi pelipur lara dalam kesedihan, namun
setelah Imam Ali as tiada, maka tidak lagi seorang ayah yang menjadi
tumpuannya, sehingga perpisahan dengan ayahnya itu sangat sulit bagi
beliau.
Meski demikian, beliau tetap tegar dan
sabar dalam menghadapi segala musibah. Beliau adalah teladan kesabaran
dan ketegaran yang tidak akan runtuh hanya karena berpisah dengan
orang-orang yang dicintainya. Beliau datang untuk membuat sebuah epik
dan membuktikan hakikat dan kebenaran Ahlul Bait as. Beliau datang untuk
memberikan pelajaran keteguhan dan ketegaran hingga mencapai kemuliaan
dalam menghadapi semua fitnah dan musibah.
Setelah Imam Ali as wafat, Sayidah Zainab
as menyaksikan kezaliman terhadap saudaranya, Imam Hasan as. Penindasan
yang dialami Imam Hasan as sama seperti kezaliman yang menimpa ayahnya.
Sayidah Zainab as menyaksikan pembelotan masyarakat dan konspirasi musuh
serta propaganda luas Muawiyah bin Abu Sufyan terhadap saudaranya.
Dalam kondisi tersebut, beliau selalu menyertai Imam Hasan as dan pada
akhirnya menyaksikan kesyahidan saudaranya itu.
Sayidah Zainab as tetap bersabar dalam
menghadapi musibah besar tersebut. Pasca wafatnya Imam Hasan as, beliau
menyertai saudaranya, Imam Husein as, pergi ke Karbala pada tahun 60 H.
Peristiwa Karbala adalah puncak dari musibah yang dihadapi oleh Sayidah
Zainab as. Tidak lama setelah 18 orang dari keluarganya, termasuk
anak-anak dan saudaranya, gugur syahid, beliau menyaksikan kesyahidan
Imam Husein as, yaitu sebuah musibah yang langit dan bumi pun tidak
mampu menahannya. Dalam kondisi tersebut dan bahkan ketika beliau dan
keluarganya ditawan oleh musuh, Sayidah Zainab as tetap bersabar, dan
meyakini bahwa beliau harus melaksanakan kewajiban agama, politik, dan
sosial terbesar.
Setelah kesyahidan Imam Husein as di padang
Karbala, Sayidah Zainab as memikul sejumlah tugas penting: pertama,
merawat dan melindungi Imam Sajjad as, putra Imam Husein as, dari
serangan musuh. Kedua, melindungi para wanita dan anak-anak yang ditawan
musuh. Ketiga, menyampaikan berita kesyahidan Imam Husein as dan
sahabat-sahabatnya, serta mengungkap skandal dan kezaliman Yazid di
hadapan masyarakat.
Yazid dan pengikutnya menyebarkan
propaganda luas supaya langkah Imam Husein as dianggap sebagai gerakan
anti-agama dan bertentangan dengan kepentingan umat Islam. Yazid
menyebarkan fitnah bahwa Imam Husein as sedang mengejar kekuasaan dan
materi dalam revolusinya sehingga ia dengan mudah menumpas para
penentangnya. Namun Sayidah Zainab telah menjadi penghalang propaganda
itu, dan bahkan juga mengungkap kejahatan dan kebusukan Yazid dan
pengikutnya.
Dalam pidatonya yang berapi-api, Sayidah
Zainab telah mengguncang pemikiran keliru masyarakat di masa itu. Warga
Kufah yang hampir 20 tahun tidak mendengar pidato Imam Ali as, mereka
terhentak dengan suara Zainab as yang nadanya seperti perkataan Ali as.
Perkataan Sayidah Zainab as yang begitu fasih dan keberanian beliau
telah membuat takjub Hazlum Ibnu Katsir, seorang ahli balaghah. Ia
mengatakan, "Seakan-akan Zainab berbicara dengan bahasa Ali."
Selain kefasihan dalam berbicara, Sayidah
Zainab as juga menjaga kesuciannya sebagai seorang Muslimah. Salah satu
perawi yang meriwayatkan pidato beliau mengatakan, "Aku bersumpah demi
Allah, aku tidak melihat seorang perempuan pun yang lebih fasih dan
lebih berilmu dari perempuan yang menjaga kesuciannya ini."
Dalam waktu yang singkat, Sayidah Zainab as
mampu menyampaikan suara kebenaran dan anti-penindasan kepada
masyarakat. Beliau juga menyampaikan ketertindasan Imam Husein as yang
menuntut keadilan. Selain itu, tindakan beliau juga telah melindungi
agama dari penyimpangan.
Sumber: IRIB Indonesia
Post a Comment
mohon gunakan email