SEJARAH SINGKAT TENTANG SUNNI DAN SYIAH
INDONESIA kita dan MALAYSiA serta banyak negara dunia diguncang oleh paham salafi wahabi …..
Salafi wahabi mengklaim Abu Hasan Al Asy’ari adalah salafi karena pada fase ketiga kehidupannya ia masuk mazhab ahlul hadis….
Salafi Wahabi menggila dengan menuding semua firqah Aswaja selain dia adalah ahlul bid’ah dan SESAT….
Benarkah Tudingan wahabi si tanduk setan dari najad ???
Sejarah Terbentuknya Mazhab Aswaja Sunni…
1.Aswaja hanyalah salah satu sekte atau aliran yang muncul dalam Islam..
Aswaja tidak muncul dari ruang hampa melainkan karena pengaruh faktor politik, missal : Koalisi Abu hurairah dan Abdullah bin Umar dengan mitra koalisi mereka yaitu Raja Mu’awiyah…..
Kemudian ulama bani umayyah dan ulama bani abbasiyah memoles mazhab ini agar pro raja.
2.Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah adalah islam murni yang dianggap palsu…
Ratusan tahun ulama aswaja sunni menuding syi’ah SESAT !!
Ustad syi’ah dilarang berdakwah agar aib aswaja sunni tidak terbongkar… Ustad syi’ah , buku syi’ah dan ajaran syi’ah dilarang beredar…
Syi’ah imamiyah itsna asyariah merupakan mazhab keluarga Nabi SAW yang selaras dengan Islam yang asli
Syi’ah imamiyah itsna asyariah tidak diakui oleh para raja karena para imam syi’ah yang merupakan pewaris Nabi SAW dianggap sebagai ancaman kekuasaan para raja !!!
Sejarah Terbentuknya Kristen Katholik
Kristen Katolik muncul karena koalisi antara SAULUS (PAULUS), lukas, markus, matius, yahya dengan raja konstantin…
Kristen Katolik muncul karena koalisi antara SAULUS (PAULUS), lukas, markus, matius, yahya dengan raja konstantin…
INJIL BARNABAS Injil Murni Yang Dianggap Palsu……
Masa kekaisaran Konstantin, Injil Barnabas tidak lagi diakui oleh kaum nasrani karena kandungan Injil ini :
a. SELARAS dengan ajaran tauhid yg dibawa oleh Nabi Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad SAW.
b. Tidak Mengakui TRINITAS.
c. Tidak mengakui bhw ISA / YESUS adalah ANAK TUHAN apalagi sebagai TUHAN.
d. Mengakui akan datangnya NABI SESUDAH ISA, MESIAS SESUNGGUHNYA YAITU AHMAD ATAU MUHAMMAD.
e. Tidak mengakui bahwa ISA mati dengan DISALIB.
Pada awalnya 12 murid nabi Isa menulis semua ajaran yg disampaikan nabi Isa. Risalah tsb pada awalnya DIAKUI termasuk salah satunya adalah Injil Barnabas. Barnabe atau Barnabas adalah salah 1 diantara 12 murid Nabi Isa a.s yg pertama yg dalam Al Qur’an disebut KAUM HAWARIYYUN. Ia adalah murid termuda Nabi Isa a.s. Nama aslinya YOSES atau YUSUF atau YOSEF. Lahir di CYPRUS, dari suku LEWI (YAHUDI)..
Nama BARNABAS diberikan oleh Nabi Isa a.s kepadanya yg artinya “si pelipur lara” atau “si pemberi peringatan” …
Ia lebih mengenal dan lebih dekat dengan Nabi Isa a.s dibanding kemenakannya MARKUS.
Namun pada tahun 325 M, kalangan gereja-termasuk gereja2 Alexandria-mulai goyah, setelah gereja PAULUS (Katholik) melalui Konsili di NICEA menetapkan TRINITAS sbg doktrin mutlak. Akibatnya 300 lebih manuskrip injil harus diseleksi, yg pada akhirnya tinggallah 4 “Injil Resmi” atau disebut “Injil Kanonik”, sementara ratusan sisa injil lainnya DIMUSNAHKAN.
Kemudian pihak gereja, didukung pihak kerajaan mengeluarkan statemen :
“Siapapun yg mmiliki -injil tdk resmi- dibunuh!”. Statemen ini sebagai upaya pelenyapan injil asli dimasa Nabi Isa a.s. Dan Akhirnya Kaum nasrani hanya -disuruh- mempercayai 4 Injil Kanonik yang ditulis oleh Lukas, Markus, Matius dan Yohanes. Pada 366 M, Paus Damaskus menegaskan untuk melarang membaca apalagi mmpelajari manuskrip manuskrip Apokrifa termasuk Injil Barnabas, tapi ia sendiri menyimpan salinan Injil Barnabas diperpustakaannya.
Al-Qur’an menyematkan atribut dan sifat-sifat negatif terhadap sebagian kaum muslimin yang sezaman dengan Nabiullah Muhammad saww. Al-Qur’an menginformasikan kepada kita ada dari mereka yang sezaman dengan Nabi sebagai orang-orang munafik, yang keterlaluan dalam kemunafikannya (Qs. At-Taubah: 101), berpenyakit dalam hatinya, tidak memiliki keteguhan iman, dan berprsangka jahiliyah terhadap Allah swt (Qs. Ali-Imran: 154), sangat enggan berjihad (Qs. An-Nisa’: 71-72 dan At-Taubah ayat 38), melakukan kekacauan dalam barisan (Qs. At-Taubah: 47), lari tunggang langgang ketika berhadapan dengan musuh (Qs. Ali-Imran: 153 dan At-Taubah : 25), bahkan sebagian mereka lebih memilih perdagangan dan permainan daripada mendengarkan Nabiullah Muhammad saww berkhutbah, “Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezki.” (Qs. Al-Jumu’ah: 11).
Pemalsuan Ajaran Islam Oleh Mazhab Aswaja Sunni Dimulai Dari Mana???????
Perlu anda ketahui bahwa pemalsuan Ajaran Islam oleh mazhab Aswaja Sunni dimulai dari Peristiwa Ghadirkum (wasiat lisan tentang Imamah Ali oleh Nabi SAW) yang didurhakai oleh Umar bin Khattab.
Setelah wasiat ghadirkum tidak ditaati Umar maka terjadilah :
a. Kejahatan Umar dengan menggagalkan wasiat tertulis Nabi SAW agar Imam Ali tidak menjadi khalifah…
Masih ada yang lebih mengejutkan lagi bahwa ada sahabat Rasulullah yang baik sekali pada awalnya namun berani memprotres Rasul sendiri ketika hendak menulis wasiatnya agar orang ramai tidak akan sesat selepasnya di kemudian hari kelak. Ternyata mereka itu memiliki konspirasi jahat yang mereka tandatangani dibelakang Ka’bah setelah mereka berbai’at terhadap orang yang diangkat Allah dan RasuNya..
Pembaca sekalian. Agar kita tidak heran pelajarilah kisah seorang ulama yang luarbiasa di masa Nabi Musa berhadapan dengan Fir’aun. Ulama itu sudah mencapai karamah hingga Nabi Musa menderita di lembah thuwa. Namun akhirnya karamah dicabutkan Allah disebabkan ulama tersebut memihak kelompok dhalaim
b. Diteruskan dengan menyembunyikan salah satu dari tiga wasiat lisan Nabi SAW
PERBANDINGAN MAZHAB SY I ‘ AH; RASIONALISME DALAM ISLAM
Oleh: H. ABOEBAKAR ATJEH.
Diterbitkan oleh : Jajasan Lembaga Penjelidikan Islam.
Djakarta 1965.
H.Aboebakar Atjeh menulis sebagai berikut:
Setengah sahabat menerangkan, bahwa wasiat jang akan ditulis itu terdiri dari tiga perkara, salah satunya bahwa Nabi akan mendjadikan Ali sebagai wali atau penggantinja. Tetapi keadaan politik dan perimbangan kekuatan ketika itu tidak mengizinkan, wasiat itu diumumkan. Sji’ah menuduh, bahwa banjak sahabat jang melupakannja. Buchari berkata pada penutup hadis wafat Rasulullah itu, bhw. ia berwasiat tiga perkara, jaitu mengeluarkan orang musjrik dari djazirah Arab, menerima utusan sebagaimana jang diterima, kemudian ia berkata, bahwa ia lupa wasiat jang ketiga. Demikian djuga pengakuan Muslim dan pengakuan semua pengarang Sunnan dan Musnad
c. Lalu berlanjut saat Abubakar dan Umar menjadi khalifah dengan menyelewengkan ketetapan ketetapan Nabi SAW.
Hal ini karena sebagian dari sunnahnya Abu Bakar, Umar dan Utsman bertentangan dengan sunnahnya Nabi bahkan membatalkannya sama sekali seperti yang nampak jelas.Contoh pertama yang bisa kita lihat adalah insident yang terjadi segera setelah wafatnya Nabi SAWW di mana Abu Bakar memerangi orang-orang yang disebutnya sebagai “penahan” harta zakat.).”QS. at-Taubah: 75-76).
Setelah ayat ini turun, Tsa’labah kemudian datang sambil menangis. Dia minta kepada Nabi untuk menerima zakatnya kembali. Tetapi Nabi enggan menerimanya, seperti yang dikatakan oleh riwayat. Jika Abu Bakar dan Umar benar-benar mengikuti Sunnah Rasul, kenapa ia menyalahinya dalam tindakan ini dan menghalalkan darah kaum muslimin yang tak berdosa semata-mata karena alasan enggan memberikan zakat.
Peristiwa lain yang terjadi pada periode pertama kekuasaan Abu Bakar adalah perselisihannya dengan Umar bin Khattab, ketika beliau menakwilkan nas-nas Al-Quran dan hadis-hadis Nabawi. Ringkas ceritanya, Khalid bin Walid membunuh Malik bin Nuwairah dan meniduri istrinya di malam itu juga.
Apa yang harus kukatakan tentang sahabat yang melakukan tindakan keji seperti ini: membunuh Malik bin Nuwairah, seorang sahabat agung, pemimpin Bani Tamim dan Bani Yarbu’; seorang yang dijadikan contoh dalam kemurahan dan keberanian.
Para ahli sejarah telah mencatat bahwa Khalid membunuh Malik dan sahabat-sahabatnya setelah mereka meletakkan senjata dan shalat berjamaah bersamanya. Sebelum dibunuh mereka diikat dengan tali. Bersama mereka hadir juga Laila binti Minhal, istri Malik, seorang wanita yang sangat terkenal cantik.
Khalid sangat terpikat dengan kecantikannya ini.
Malik berkata kepada Khalid: “wahai Khalid, bawa kami kepada Abu Bakar, biar dia yang memutuskan perkara kita ini.”
Abdullah bin Umar dan Abu Qatadah al-Anshori mendesak Khalid agar membawa mereka berjumpa dengan Abu Bakar. Tetapi ditolak. Katanya: “Allah tidak akan mengampuniku jika aku tidak membunuhnya.”.
Kemudian Malik melihat istrinya Laila dan berkata kepada Khalid: “karena dia kemudian engkau membunuhku.”
Lalu Khalid menyuruh untuk memancung leher Malik, kemudian menawan istrinya Laila. Dan pada malam yang sama, Khalid pun menidurinya.
Sayyidah Fatimah Keguguran Karena Penyerbuan Kerumahnya Oleh Abu Bakar dan Umar
Permasalahan sudah muncul ketika Abu Bakar dibaiat menjadi Khalifah di Saqifah. Beberapa sahabat Nabi jelas menganggap pengangkatan ini dilakukan secara terburu-buru dan dilakukan ketika para keluarga Rasul sedang mengurus jenazah Rasul. Mereka menganggap kekhalifahan harus tetap berada di tangan keluarga nabi (dari sinilah sebenarnya sudah muncul bibit-bibit pendukung/syiah Imam Ali).
Ketakpuasan ini ditunjukkan dgn jalan menolak memberikan baiat kepada Abu Bakar seperti yang dilakukan oleh Ali, Ibnu Abbas, Bilal, Salman al-Farisi, Abu Dzar, Zubair, Thalhah dll, sementara beberapa yang lainya menunjukkan ketaksetujuannya dengan menolak membayar zakat karena menganggap kekhalifahan yang ada tidak sah (seperti yang dilakukan oleh Malik bin Nuwairah, namun akhirnya Malik dibunuh dan istrinya diperkosa oleh Khalid bin Walid). Para penentang Abu Bakar berkumpul di rumah Imam Ali, bagaimanapun juga beberapa pendukung Abu Bakar seperti Umar, Khalid bin Walid, Mughirah bin Syu’bah dan lain-lain memaksa mereka memberikan baiat pada Abu Bakar, dan mengancamkan membakar rumah Imam Ali jika mereka menolak berbaiat.
Pembakaran memang tidak dilakukan, tetapi para pendukung Abu Bakar mendobrak pintu rumah tersebut, dan mengenai Fatimah yang mengakibatkan Fatimah keguguran bayi yang dikandungnya. TAk diragukan lagi Fatimah marah kepada Abu Bakar dan Umar karena mereka telah meninjak-injak hak keluarga Nabi dalam masalah Imamah/kepemimpinan dan juga dlm masalah waris (peristiwa Fadak, dimana Abu Bakar mengambil tanah Fadak yang dimiliki Fatimah karna menganggap Nabi tidak meninggalkan warisan). Sekitar 75 hari kemudian Fatimah wafat dengan membawa hati yang sakit.
Menjelang wafatnya, Fatimah berpesan agar dia dikuburkan dalam keadaan diam-diam dan tak ingin Abu Bakar maupun Umar melakukan shalat jenazah atas dirinya, Wasiat ini dilakukan oleh Imam Ali dengan menguburkan Fatimah pada malam hari.
Sikap penentangan yang ditunjukkan Fatimah sangat penting bagi reputasi khalifah di mata publik. Abu Bakar berusaha keras mencapai kata sepakat dengan Fatimah, namun Fatimah tak pernah menerimanya.
Sumber : Tarikh Yakubi, As-Saqifah wa Fadak, Al-Iqd al-FArid, Tarikh Abi Fida’, Syarh Nahj-al BAlaghah, nihayah-al-Irab, HAyat-al Shahabah, Kanz-al Ummal, masih banyak yg lainnya hingga saat ini semua yang berkenaan dengan sejarah perkembangan Khalifah Islam di era suksesi semuanya dilindungi dalil dalil hadis jaminan SURGA yang tentu menjadikannya ‘tabu’ untuk dibicarakan.
Kepemimpinan Muhammad seorang pembaharu dan penggerak reformasi di Timur Tengah di masa itu, tetap saja dia memimpin sebagai tokoh kharismatik yang disanjung . Dan sejarah mengajarkan kepada kita bahwa problem terbesar seorang tokoh sentral yg kharismatik seperti Muhammad adalah masalah SUKSESI.
Terlebih lagi batasan dan prosedur peralihan kekuasaan ..Hal inilah yg menjadi benih perpecahan di masa pengganti Muhammad.
d. Lalu ketika menjelang wafat Umar, ia mewasiatkan pembentukan sebuah tim dalam rangka pemilihan khalifah baru.
Mereka mencalonkan Imam Ali dan Usman dengan menyodorkan beberapa syarat keji kepada Imam Ali, tetapi Imam Ali menolak sedangkan Usman menerimanya.
- Menurut syi’ah: Setelah Abubakar wafat, Imam Ali tidak membai’at Umar dan Usman tetapi juga tidak memeranginya.
Imam Ali mengambil jalan abstain terhadap kepemimpinan Umar dan Usman .
Dalam pasal ini kami ingin menguraikan sesuatu yang terpenting yang bagi peneliti sangat perlu mencermatinya, agar terungkap tanpa kepalsuan bahwa orang-orang yang menamakan diri dengan Ahlussunnah, hakikatnya tidak memiliki layak disebut dari sunah Nabi saww. Dikarenakan mereka atau tepatnya, para pendahulu mereka dari kalangan sahabat dan Khulafah ar-Rasyidin menurut yang mereka ikuti, dan bertaqarrub pada Allah Swt, dengan jalan mencintai dan berwalikan pada mereka, telah mengambil peran sebagai perampas sunah Nabi saww, hingga pada tingkat pembakaran dan pencegahan terhadap penulisannya dan periwayatannya.
Sebagai tambahan dari uraian yang lalu, perlu dibuka tabir penutup persekongkolan tercela tersebut, yang bersikap angkuh melawan sunah Nabi saww, yang suci dalam mencegah tersebarnya dan memusnahkannya di masa itu serta menggantikannya dengan bid’ah-bid’ah para penguasa dan ijtihad mereka serta pendapat-pendapat para sahabat dan penakwilan mereka.
Para penguasa periode pertama telah berusaha :
Pertama. Membuat hadis-hadis dusta (palsu) yang menguatkan mazhab mereka dalam pencegahan terhadap penulisan seluruh sunah Nabi saww, dan hadis-hadis yang mulia.
Inilah Imam Muslim telah meriwayatkan dalam shahihnya berasal dari Haddad bin Khalid al-Azdi, dari Hammam dari Zaid bin Aslam dari Atha’ bin Yasar dari Abi Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah saww bersabda :
“Janganlah kalian menulis apa yang dariku, dan barangsiapa menulis dariku selain Al-Qur’an, maka hendaklah menghapusnya, dan riwayatkanlah, hal itu tidak mengapa.”( Muslim, VIII, hal.229.)
Maksud pembuatan hadis tersebut adalah sebagai pembelaan terhadap apa yang telah diperbuat oleh Abu Bakar dan Umar atas hadis-hadis Nabi saww, yang telah ditulis oleh sebagian sahabat dan mereka telah mengumpulkannya.
Dan hadis itu dibuat di zaman terakhir dari masa Khulafa ar-Rasyidin, dan para pembuat hadis palsu itu lengah dari beberapa perkara berikut ini :
a. Seandainya shahih ar-Risalah Rasulullah saww, telah mengatakan hadis tersebut niscaya para sahabat yang menulis dari beliau pasti mentaati perintah beliau dan mereka telah menghapusnya sebelum Abu Bakar dan Umar memerintahkan pembakarannya setelah beberapa tahun setelah wafat Nabi Muhammad saww.
b. Seandainya hadis tersebut shahih, niscaya Abu Bakar pada tahap pertama, pasti menjadikannya dalil, kemudian Umar pada tahap kedua, untuk menguatkan pencegahan keduanya terhadap penulis hadis-hadis dan penghapusannya, dan pasti para sahabat yang telah terlanjur menulisnya akan mengemukakan alasan tidak tahu atau lupa.
c. Seandainya hadis tersebut shahih, maka wajib atas Abu Bakar dan Umar untuk memerintahkan agar mereka menghapus hadis-hadis bukan membakarnya.
d. Seandainya hadis tersebut shahih, maka kaum Muslimin semenjak masa Umar bin Abdul Aziz sampai masa kita sekarang ini, semuanya berdosa karena mereka telah melanggar larangan Rasulullah saww, dan paling pokoknya adalah Umar bin Abdul Aziz yang telah memerintahkan para Ulama di masanya untuk mengumpulkan hadis-hadis dan penulisannya, begitu juga Bukhari Muslim yang telah mengesahkan hadis tersebut, kemudian mendurhakainya dan menulis beribu-ribu hadis dari Nabi Muhammad saww.
e. Akhirnya, seandainya hadis tersebut shahih, pasti ia tidak akan terlapaskan dari pintu kota ilmu, ‘Ali bin Abi Thalib yang telah mengumpulkan hadis-hadis Nabi saww, Dalam lembarannya yang panjangnya 70 hasta, dan dia menamakannya al-Jami’ah. (Pembicaraan ini akan datang pada gilirannya).
Kedua. Para penguasa Muawiyah telah berusaha menguatkan anggapan bahwa Rasulullah saww, itu tidak maksum dari kesalahan, dan beliau sebagaimana manusia biasa yang kadang salah dan kadang benar. Mereka telah meriwayatkan dalam perkara ini hadis-hadis yang banyak.
Sedang tujuan pembuatan hadis-hadis tersebut ialah untuk pengukuhan terhadap paham bahwa Nabi saww, itu melakukan ijtihad dengan pendapatnya, dan beliau sering keliru yang sebagian beliau serukan pada sebagian sahabat untuk meluruskan pendapat beliau. Sebagaimana hal itu telah diriwayatkan dalam hal pengcangkokan kurma, turunnya ayat hijab memintakan ampun buat orang Munafiqin, penerimaan fidyah tawanan Badar dan lain-lainnya yang telah didakwahkan oleh Ahlussunnah wal Jama’ah dalam shahih mereka dan yang mereka jadikan keyakinan terhadap shahib ar-Risalah (saww).
Kami katakan kepada Ahlussunnah wal Jama’ah, “Jika demikian itu agama dan aqidah kalian terhadap Rasulullah saww, maka bagaimana kalian menyeruhkan untuk berpegang pada sunahnya, sedang sunahnya menurut kalian dan menurut para pendahulu kalian tidaklah maksum, bahkan tidak dikenal dan tidak tertulis…! (Karena pengumpulan sunah Nabi tertunda sampai zaman Umar bin Abdul Aziz atau setelahnya, adapun khalifah sebelumnya telah membakarnya dan mencegah penulisan dan periwayatannya.).
Sudah tentu kami akan menolak tuduhan-tuduhan dan kedustaan-kedustaan tersebut dan membatalkannya berdasarkan dari kitab-kitab kalian sendiri da shahih kalian. (Yang anehnya, bahwa Ahlussunnah banyak meriwayatkan hadis dan juga membatalkannya dalam kitab itu sendiri, dan yang lebih aneh dari itu ialah mereka mengamalkan yang dusta dan meninggalkan yang shahih).
Bukhari telah meriwayatkan dalam shahih-nya dari kitab ilmu, bab penulis ilmu
Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Tidak ada seorang pun dari sahabat Nabi saww, yang telah banyak meriwayatkan hadis dari padaku, selain yang diriwayatkan dari Abdullah bin Amr, sesungguhnya dia dapat menulis sedang aku tidak.” (Shahih Bukhari, I, hal, 36, bab Kitab Ilmu.)
Dari riwayat ini dapat disimpulkan bahwa dari kalangan sahabat Nabi saww ada yang menulis hadis-hadisnya.
Apabila Abu Hurairah meriwayatkan lebih banyak dari 600 hadis dari Nabi saww secara lisan, maka sesungguhnya Abdullah bin Amr lebih banyak meriwayatkan hadis Nabi saww daripada dirinya karena dia dapat menulis, dan tidak dapat diragukan bahwa di kalangan para sahabat banyak yang menulis hadis-hadis dari Nabi saww, sedangkan Abu Hurairah tidak menyebutkan mereka, karena mereka tidak terkenal dengan periwayatan yang banyak dari Nabi saww.
Apabila kita tambahkan mereka itu dengan Imam ‘Ali bin Abi Thalib yang telah membentangkan dari atas mimbar satu lembaran yang dia namakan al-Jami’ah (kumpulan), yang telah terkumpul di dalamnya semua yang dibutuhkan umat manusia dari hadis Nabi saww, dan telah diwariskan kepada para Imam Ahlulbait (salam atas mereka) dan yang banyak diriwayatkan oleh mereka.
Imam Ja’far ash-Shadiq telah berkata, “Sesungguhnya pada kami satu lembaran yang panjangnya 70 hasta, yang merupakan pendekatan Rasulullah saww, dan tulisan ‘Ali dengan tangannya, yang tidak ada hal yang halal dan haram, dan tidak ada sesuatu yang dibutuhkan manusia dan tidak ada satu ketentuan kecuali semuanya telah tercantum di dalamnya sehingga perkara kecurangan terhadap lalat.”(Ushul Kafi, I, hal. 239).
Bukhari sendiri telah mengisyaratkan dalam shahih-nya kepada lembaran yang ada pada ‘Ali itu dalam banyak bab dari kitabnya. Tetapi sebagaimana kebiasaan Bukhari bahwa ia telah memotong banyak keistimewaan dan kandungannya.
Dan bab kitabatul-Ilmi, Bukhari mengatakan,
“Dari Syi’bi dari dari Abu Junafah dia berkata’ Saya bertanya pada ‘Ali, apakah pada kalian ada kitab?’
Dia menjawab, Tidak, kecuali Kitab Allah Swt, atau pengertian yang saya berikan pada seorang Muslim atau apa yang ada pada lembaran ini.
‘Saya bertanya, ‘Aapa yang di dalam lembaran itu?
Dia menjawab. ‘Akal dan pemecahan masalah tawanan dan tidak boleh orang Muslim dibunuh lantaran orang kafir.”(Shahih Bukhari, I, hal. 36).
Sebagaimana telah diriwayatkan dalam Shahih Bukhari di bagian lain:
Dari al-A’mas dari Ibrahim at-Taimy dari bapaknya dari ‘Ali, dia berkata, “Tidak ada pada kita sesuatu pun selain hanyalah Kitab Allah Swt, dan lembaran dari Nabi saww ini.”(Shahih Bukhari, II, hal. 221).
Juga dibagian lain shahih Bukhari telah diriwayatkan :
Dari Ibrahim at-Taimy dari bapaknya, dia berkata,”Tidak ada pada kami yang dibaca selain kitab Allah Swt dan apa yang ada dalam lembaran ini.”(Shahih Bukhari, IV, hal. 67. dan Shahih Muslim, IV, hal. 115).
Bukhari telah meriwayatkan dalam bab lain dari shahih-nya yakni :
Dari ‘Ali ra, dia berkata, “Kami tidak menulis dari Rasulullah saww selain Al-Qur’an dan apa yang ada dalam lembaran ini.” (Shahih Bukhari, IV, hal. 69).
Sebagaimana telah diriwayatkan pula oleh Bukhari dalam bab yang lain:
Dari Ibrahim at-Taimy dari bapaknya, dia berkata, Imam ‘Ali as pernah berkotbah di atas satu mimbar yang terbuat dari tanah dan dia memegang pedang yang terkait padanya suatu lembaran lalu dia berkata, “Demi Allah Swt, tidak ada pada kita satu kitab yang dapat dibaca selain kitab Allah Swt dan apa yang ada dalam lembaran ini.” (Shahih Bukhari, VIII, hal. 144).
Dan Bukhari tidak pernah meriwayatkan apa yang disampaikan oleh Imam Ja’far ash-Shadiq bahwa lembaran tersebut dinamakan al-Jami’ah (kumpulan), sebab telah tekumpul di dalamnya seluruh keterangan yang halal dan haram, dan terkandung di dalamnya segala yang dibutuhkan oleh manusia sehingga perkara kecurangan terhadap seekor lalat, dengan pendekatan dari Rasulullah saww dan tulisan ‘Ali bin Abi Thalib.
Bukhari hanyalah meringkas dengan kata-kata bahwa di dalamnya akal dan penyelesaian tawanan serta tidak boleh orang Muslim dibunuh lantaran orang kafir. Dalam kesempatan lain, dia menyatakan , ‘Ali telah menentangnya, maka di dalamnya ada gigi Unta, dan di dalamnya kota Madinah haram….
Dan di dalamnya jaminal orang-orang Muslimin satu dan di dalamnya barangsiapa memerintah suatu umat tanpa seizin penguasanya….”.
Sesungguhnya itu adalah merupakan pemalsuan kata-kata dan penyembunyian kebenaran, kalau tidak demikian, apakah masuk akal kalau ‘Ali menuliskan keempat bentuk kata-kata tersebut dalam lembarannya dan mengaitkannya pada pedangnya dan membiasakannya ketika berkotbah di atas mimbar dan menjadikannya sebagai rujukan kedua serelah kitab Allah Swt, dan dia berkata pada manusia,”Kami tidak menulis dari Nabi saww, selain Al-Qur’an dan apa yang ada di dalam lembaran ini…?”
Apakah akal Abu Hurairah itu lebih besar dari akal ‘Ali bin Aabi Thalib, yang mana ia dapat menghafal dari Rasulullah seratus ribu hadis tanpa tulisan …?
Sungguh mengherankan, demi Allah Swt, perihal mereka itu yang mau menerima seratus ribu hadis dari Abu Hurairah yang tidak menyertai Nabi kecuali hanyalah tiga tahun, sedangkan dia dapat membaca dan menulis, dan mereka menganggap ‘Ali sebagai pintu kotanya ilmu, yang darinya para sahabat mendapatkan bermacam-macam ilmu dan pengetahuan, kemudian dia membawa lembaran yang hanya berisi empat hadis itu, yang senantiasa menyertainya dari semasa hidup Rasulullah saww sampai masa kekhalifahannya, lalu ia membawanya naik mimbar dan dikaitkan pada pedangnya…?
Sungguh besar kata-kata yang keluar dari mulut mereka, mereka tidak berkata kecuali hanyalah kedustaan.
Atas apa yang diriwayatkan Bukhari itu, cukuplah bagi para peneliti dan cendekiawan, yaitu ketika dia menyebutkan bahwa di dalamnya akal. Ini adalah merupakan suatu dalil bahwa di dalam lembaran itu termuat banyak perkara yang mengistimewakan manusia dan pemikiran Islam.
Kami tidak akan menunjukkan dalil bagi apa yang ada dalam lembaran tersebut, penduduk Mekkah itu lebih tahu terhadap kandungan garis besarnya dan Ahlulbait itu lebih tahu terhadap kandungan garis besarnya dan Ahlulbait itu lebih tahu terhadap apa yan terkandung di dalamnya, dan mereka telah mengatakan bahwa di dalamnya terkandung semua apa yang dibutuhkan umat manusia dari hal halal dan haram sampai perkara kecurangan terhadap lalat.
Tetapi yang kami menghendaki pembahasan para sahabat itu, mereka telah menulis hadis-hadis Nabi saww. Ucapan Abu Hurairah bahwa Abdullah bin Amr menulis hadis-hadis Nabi saww, dan perkataan ‘Ali bin Abi Thalib, “Kami tidak menulis dari Rasulullah selain Al-Qur’an dan apa yang ada di dalam lembaran ini, adalah merupakan dalil yang pasti, bahwa Rasulullah saww, tidak pernah melarang penulisan hadis-hadisnya selama-lamanya, bahkan sebaliknya yang benar.”.
Hadis yang diriwayatkan Muslim dalam Shahih-nya, “Jangan kalian menulis dariku, dan siapa yang menulis dariku selain Al-Quran, hendaklah menghapusnya,” ini adalah hadis dusta yang telah dibuat oleh para pendukung Khulafa ar-Rasyidin untuk mengkokohkan dan membenarkan apa yang telah dilakukan Abu Bakar, Umar dan Utsman dalam pembakaran hadis-hadis Nabi saww, dan pencegahan terhadap tersiarnya sunah.
Perkara yang menambah kemantapan terhadap keyakinan bahwa Nabi saww, tidak pernah melarang penulisan hadis-hadisnya bahkan beliau memerintahkannya, ialah apa yang telah diucapkan oleh Imam “Ali, yakni orang yang terdekat dengan Nabi Saww, yaitu “Kami tidak menulis dari beliau selain Al-Qur’an dan apa yang ada dalam lembaran ini,” Dan juga hadis yang telah dishahihkan oleh Bukhari.
Dan bila ini ditambah dengan ucapan Imam Ja’far ash-Shadiq bahwa lembaran al-Jami’ah itu adalah merupakan pendekatan Rasulullah dan tulisan ‘Ali, maka berarti bahwa Nabi saww telah memerintah ‘Ali untuk penulisan itu.
Agar tidak ada keraguan yang tersisa dalam diri Anda, wahai para pembaca yang mulia!
Saya tambah dengan riwayat berikut ini : Al-Hakim telah meriwayatkan dalam Mustadrak-nya, dan Abu Daud dalam Shahih-nya, dan Imam Ahmad dalam Musnad-nya, dan Daramy dalam sunah-nya, mereka semuanya telah meriwayatkan satu hadis penting sekali tentang kekhususan Abdullah bin Amr yang disebut oleh Abu Hurairah bahwa ia adalah menulis dari Nabi Saww sebagai berikut :
Abdullah bin Amr berkata, “Aaku menulis semua yang aku dengar dari Rasulullah saww, maka orang Quraisy mencegahku dan mereka berkata, ‘Apakah engkau menulis segala sesuatu yang engkau dapat dari Rasulullah padahal dia adalah seorang manusia yang berbicara dalam situasi marah dan senang (rela).
‘Abdullah berkata, ”Aku pun menahan diri dari penulis, lalu aku adukan hal itu kepada Rasulullah saww. Maka beliau mengisyaratkan ke mulut beliau sambil berkata, ‘Tulislah, demi zat yang diriku berada dalam tangan-Nya, tidaklah keluar darinya yakni mulut Nabi saww selain hanyalah kebenaran.”(Mustadak Hakim, I, hal. 105, Sunan Abu Daud, II, hal.126, Sunan Daramy, I, hal.125, dan Musnad Ahmad, II, hal.162).
Kita perhatikan dari kandungan hadis tersebut bahwa Abdullah bin Amr adalah penulis segala yang didengar dari Nabi saww, dan Nabi saww pun tidak melarangnya, dan sesungguhnya pelarangan itu hanya darang dari orang-orang Quraisy, sedang Abdullah bin Amr tidak menjelaskan nama-nama orang yang telah melarang penulis itu, sebab dalam pelarangan tersebut mengandung pencelaan terhadap Rasulullah saww, sebagaimana yang tak dapat disembunyikan lagi, maka dia pun mengarahkan ucapannya bahwa mereka adalah orang-orang Quraisy. Yang dimaksud dengan Quraisy.
Yang dimaksud dengan Quraisy tersebut adalah para pemukanya dari kelompok Muhajirin, yang menjadi tokohnya Abu Bakar, Umar, Utsman, Abdurrahman bin Auf, Abu Ubaidah, Thalhah dan Zubeir serta orang-orang yang mengikuti pandangan mereka.
Sebagaimana yang dapat kita perhatikan bahwa pelarangan penulisan terhadap Abdullah adalah di masa hidup Nabi Saww. Ini adalah hal yang menguatkan dalam persekongkolan buruk tesebut dan kejahatannya. Kalau tidak begitu, mengapa mereka sengaja melarang Abdullah dari penulisan tanpa merujuk kepada Nabi saww sendiri?
Seperti apa yang dapat dipahami juga dari ucapan mereka, “Sesungguhnya Rasulullah itu seorang manusia yang berbicara dalam situasi marah dan senang, “ menunjukkan akidah mereka terhadap Nabi saww, sangatlah tercela sampai pada tingkat mereka meragukan beliau dengan anggapan bahwa beliau itu berkata salah dan menetapkan hukum secara zalim khususnya ketika marah.
Apa yang diucapkan Nabi saww ketika Abdullah bin Amr mengadukan pada beliau tentang pribadi beliau, lalu beliau bersabda, Tulislah, demi zat yang diriku pada tangan-Nya, tidaklah keluar darinya selain hanyalah kebenaran”– beliau sambil mengisyaratkan pada mulut beliau, ini adalah merupakan satu bukti yang lain bagi pengetahuan Rasul terhadap keraguan mereka tentang keadilan beliau dan bahwa mereka memungkinkan bagi beliau untuk berbuat salah dan berkata batil. Maka beliau pun bersumpah dengan atas nama Allah SWT, bahwa tidak pernah keluar dari mulut beliau kecuali hanyalah kebenaran.
Ini adalah merupakan penafsiran yang shahih dari yang telah dinyatakan dalam firman Allah SWT, Dan dia tidak berbicara karena hawa nafsu, Kecuali wahyu yang telah diwahyukan.” (QS. Najm:3-4).
Sesungguhnya beliau Saww, adalah maksum dari segala kesalahan dan perkataan yang batil. Dengan ini maka kami menetapkan bahwa seluruh hadis dan riwayat yang telah dibuat di zaman Umawiyin dan yang menyimpulkan bahwa beliau tidak maksum adalah tidak shahih sama sekali. Sebagaimna hadis yang disebutkan, menunjukkan pada kita bahwa pengaruh mereka terhadap diri Abdullah bin Amr sangat besar sehingga dia menahan diri dari penulisan seperti yang dia nyatakan sendiri tatkala dia berkata, “Maka aku menahan diri dari penulisan.”
Dan dia tetapkan begitu sehingga datang kesempatan baginya untuk menghadap Rasul sendiri dalam rangka menghilangkan keraguan yang menyangkut sekitar kemaksuman dan keadilan beliau, dan telah banyak menjangkit sehingga di hadapan beliau, seperti ucapan mereka kepada Nabi saww secara terang-terangan, “Apakah engkau Nabi saww yang sebenarnya…?’(Ucapan Umar ketika perdamaian Hudaibiyah, riwayat Bukhari, II, hal.122).
Atau ucapan,”Engkaulah yang mengaku Nabi ?”(Ucapan ‘Aisyah bin Abu Bakar dalam Ihya’ul Ulum, al-Ghazali, II, hal.29).
Atau kata-kata, “Demi Allah, dia tidak karena Allah Swt, dalam pembagian ini.”(Ucapan seorang sahabat Anshar, riwayat Bukhari, IV, hal. 47).
Atau seperti ucapan ‘Aisyah pada Nabi,” Sesungguhnya Tuhanmu menguatkan hawa nafsumu.”(Shahih Bukhari, VI, hal. 24).
Sebagian yang dapat menguatkan keyakinan kita, bahwa hadis, “Janganlah kalian menulis dariku…,” adalah hadis palsu atau dusta, yang tidak memiliki asas-asas keshahihannya dan tidak pernah diucapkan Rasulullah secara mutlak, yakni bahwa Abu Bakar sendiri telah menulis dari Rasulullah saww sebagaian hadis-hadis, yang telah ia kumpulkan di masa Nabi kemudian setelah dia memegang kekhalifahan, segera dia membakarnya demi satu kepentingan yang tidak dapat disembunyikan lagi bagi para peneliti, Inilah putrinya ‘Aisyah telah berkata,”Bapakku telah mengumpulkan hadis Rasulullah, jumlahnya 500 hadis, kemudian dia dalam kegelisahaan, lalu saya berkata, dia gelisah karena suatu pengaduan atau karena sesuatu telah sampai padanya. Maka ketika pagi hari dia berkata, ‘Hai putriku, bawalah ke sini hadis-hadis yang ada padamu, lalu sayapun datang membawanya, kemudian dia membakarnya.”(Kanzul Umal, V, hal. 237, dan Ibnu Katsir dalam Bidayah).
Dan juga inilah Umar bin Khathab di masa kekhalifahannya, dia berkhotbah pada suatu di hadapan umat manusia, dia mengatakan , “Tidak boleh seorang pun yang masih tinggal padanya kitab kecuali harus membawanya kepadaku, aku akan memeriksanya dengan penilaianku.” Tidak boleh seorang pun yang masih tinggal padanya kitab kecuali harus membawanya kepadaku, aku akan memeriksanya dengan penilaianku.”
Maka mereka –para sahabat– mengira bahwa ia akan memeriksa kandungannya untuk diluruskan agar tidak ada di dalamnya perkara yang saling bertentangan, lalu mereka menyerahkan kitab-kitab mereka kepadanya, kemudian ia membakarnya dengan api.(Thabaqat al-Kubra, Ibnu Sa’id, V, hal. 188).
Ia pun telah mengirim utusan ke kota-kota untuk memerintahkan siapa yang memiliki sesuatu tulisan, hendaklah menghapusnya.(Jami’ul Bayan al-Ilmi, Ibnu Abd al-Bar).
Itu adalah merupakan bukti terbesar bahwa para sahabat umumnya memiliki kitab-kitab yang di dalamnya terkumpul hadis-hadis Nabi yang ditulis di masa Nabi, kemudian semuanya dibakar dengan perintah Abu Bakar pada periode pertama, lalu Umar pada periode kedua dan dihapus sisa kitab yang masih ada di kota-kota lain dengan perintah Umar di masa kekhalifahannya.
Atas dasar ini, maka tidak mungkin bagi kita atau bagi siapa saja yang berakal untuk membenarkan bahwa Rasulullah telah melarang penulisan hadis setelah kita katahui bahwa kebanyakan sahabat memiliki kitab-kitab hadis, khususnya lembaran yang senantiasa bersama Imam ‘Ali yang panjangnya 70 hasta dan dia namakan al-Jami’ah, sebab ia mengumpulkan seluruhnya.
Karena penguasa yang memerintah dan politik yang berjalan, kemaslahatannya menghendaki penghapusan sunah Nabi saww dan pembakarannya serta meniadakan periwayatannya, maka para sahabat yang menjadi pendukung kekhalifahan tersebut, mereka mematuhi segala perintah itu dan menjalankannya, sehingga tidak ada yang tersisa pada mereka dan tidak pula pada pengikut mereka selain hanyalah ijtihad dengan pendapat atau mengikuti sunah Abu Bakar, sunah Umar, sunah Utsman, Muawiyah, Yazid, Marwan bin Hakam, Abdul Malik bin Marwan, al-Walid bin Abdul Malik, dan sunah Sulaiman bin Abdul Malik, sampai datangnya masa Umar bin Abdul Aziz. Lalu ia meminta kepada Abu Bakar al-Huzami untuk menulis baginya apa yang dari hadis Rasulullah atau sunahnya atau sunah Umar bin khathab.(Al-Muwatha, Imam Malik, I, hal. 5).
Demikian itu nyata bagi kita bahwa penulisan sunah itu tertunda sampai pada situasi yang memungkinkan dan setelah berlalunya ratusan tahun dalam penghapusan dan pelarangannya, baru kita dapat melihat penguasa Umawiy yang dianggap adil dan yang digolongkan oleh Ahlussunnah wal Jama’ah ke dalam Khulafa ar-Rasyidin, memerintahkan pengumpulan sunah Rasulullah saww, dan sunah Umar bin Khathab, sepertinya Umar bin Khathab itu dianggap sebagai pasangan Muhammad dalam kerasulan dan kenabiannya.
Mengapa Umar bin Abdul Aziz itu tidak mau meminta kepada para Imam Ahlulbait yang hidup di zamannya untuk memeberikan padanya tulisan dari lembaran al-Jami’ah, dan mengapa dia tidak menginginkan mereka untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi saww, padahal mereka adalah orang-orang yang paling tahu tentang hadis datuk mereka daripada selain mereka…?
Para Pengamat dan Peneliti Tentunya Mengetahui Rahasia Itu Semua
Bisakah kemantapan di dapat pada hadis-hadis yang telah dikumpulkan oleh Ahlussunnah wal Jama’ah dari Umayyah dan para pendukungnya itu, yang mereka adalah merupakan penguasa Quraisy, sedang kita telah ketahui hakikat Quraisy dan akidahnya terhadap Rasulullah saww, dan sunah beliau yang suci…?
Setelah ini, menjadi jelaslah bahwa penguasa yang memerintah dalam masa-masa pemerintahannya itu telah melakukan ijtihad dan qias serta musyawarah antara sebagaian mereka. Dan karena penguasa telah memojokkan Imam ‘Ali dari kebebasan hidup dan telah mengabaikannya, maka penguasa tidak mempunyai kemampuan memerintah atas dirinya untuk membakar apa yang telah dia tulis di masa kerasulan dengan pendektean dari Nabi saww, sendiri. ‘Ali bin Abi Thalib tetap masih memelihara lembaran tersebut yang tekumpul di dalamnya segala yang dibutuhkan manusia sehingga perkara lalat, dan tatkala ia memegang tampuk kekhalifahan, ia mengaitkannya pada pedangnya dan ia naik ke atas mimbar untuk berkotbah di hadapan umat manusia dan memperkenalkan pentingnya lembaran tersebut.
Riwayat tersebut sudah mutawatir (terkenal) dari para Imam Ahlulbait alaihimussalam, bahwa mereka saling mewarisi lembaran itu, bapak dari datuk, yang besar dari yang terbesar dan mereka memberi fatwa dalam masalah-masalah yang dibutuhkan oleh umat di masanya dengannya, dari kalangan orang yang mengikuti bimbingan mereka.
Oleh sebab itu Imam Ja’far ash-Shadiq dan Imam ar-Ridha serta lainnya dari para Imam, mereka selalu menyebut-nyebut kata-kata tersebut dengan keistimewaannya dan mereka berkata, “Sungguh kami tidak memberi fatwa pada manusia dengan pendapat kami, seandainya kami berfatwa pada manusia dengan pendapat kami dan keinginan nafsu kami niscaya kami termasuk orang-orang yang binasa, tetapi itu adalah peninggalan dari Rasulullah saww.
Pemilik ilmu kami saling mewarisi yang besar dari yang terbesar, dan kami menjaganya sebagaimana manusia menjaga emas dan perak mereka.”(Maalim al-Madrasatain, al-Allamah al-Askari, II, hal. 302).
Pada kali ini Imam Ja’far Shadiq as berkata, “Hadisku adalah hadis bapakku, hadis bapakku adalah hadis datukku, hadis datukku adalah hadis Husein, hadis Husein adalah hadis al-Hasan, hadis al-Hasan adalah hadis Amirul Mukminin, hadis Amirul Mukminin adalah hadis Rasulullah saww, dan hadis Rasulullah adalah firman Allah Azza wajalla.” (Ushul al-Kafi, I, hal. 53).
Dengan ini semua, maka hadis Tsaqalain yang telah Mutawatir yakni, “Aku tinggalkan pada kalian dua beban berharga yaitu Kitabullah dan keturunanku, selama kalian berpegang pada keduanya niscaya tidak akan sesat selama-lamanya setelahku,”(Shahih Muslim, V, hal. 122, dan Turmudzi, V, hal. 637).
Ini kebenaran yang tidak ada selainnya kecuali kesesatan, dan itu sunah Nabi saww, yang shahih tidak ada penjaga dan pemelihara serta penegak selain para Imam yang suci dari Ahlulbait al-Musthafa al-Mukhtar.
Seperti yang dapat disimpulkan dari sini, bahwa Syi’ah Ahlulbait yang berpegang pada Ahlulbait yang suci tersebut, mereka itu adalah Ahlussunnah Nabi saww yang sesungguhnya, dan Ahlussunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang mendakwahkan sesuatu yang tidak layak bagi mereka dan dakwaan mereka itu tidak berdasarkan hujah dan dalil.
12 Khalifah Syi’ah imamiyyah Dizalimi Rezim Umayyah Abbasiyah
Inilah Tahun Lahir dan wafat Khulafaur rasyidin Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah (kecuali Imam Mahdi):
1.KHALiFAH Ali bin Abi Thalib : 600–661 M atau 23–40 H.
Imam pertama dan pengganti yang berhak atas kekuasaan Nabi Muhammad saw. ..Dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam, seorang Khawarij di Kufah, Irak. Imam Ali ra. ditusuk dengan pisau beracun..
Pembunuhan beliau akibat politik adu domba (devide it impera) yang dilakukan Mu’awiyah bin Abu Sofyan untuk memecah belah pendukung Imam Ali…
Padahal meninggal kan itrah ahlul bait = meninggal kan QURAN, itrah ahlul bait dan Quran adalah satu tak terpisahkan ! Aswaja Sunni meninggalkan hadis 12 imam lalu berpedoman pada sahabat yang cuma sebentar kenal Nabi seperti Abu hurairah dan ibnu Umar.
Menurut ajaran sunni :
- Imam Ali berijtihad
- Mu’awiyah berijtihad
- Jadi keduanya benar ! Pihak yang salah dapat satu pahala ! Pihak yang benar ijtihad dapat dua pahala
Ajaran Sunni tersebut PALSU !!
Ijtihad yang salah lalu si mujtahid berpahala hanya pada PERKARA/MASALAH yang belum ada nash yang terang, misal :Apa hukum melakukan bayi tabung pada pasangan suami isteri yang baru setahun nikah dan belum punya anak ??
Mu’awiyah Membunuh Orang Tak Berdosa, Aisyah Membunuh Orang Yang Tak Berdosa !!
Dalam hukum Allah SWT : “”hukum membunuh orang yang tak berdosa adalah haram”” (nash/dalil nya sudah terang dan jelas tanpa khilafiyah apapun yaitu QS.An Nisa ayat 93 dan Qs. Al hujurat ayat 9).
Membunuh sudah jelas haram, jika saya membunuh ayah ibu anda yang tidak berdosa lalu saya katakan bahwa saya salah ijtihad, apakah murid TK tidak akan tertawa ???????
Nabi SAW saja pernah bersabda : “” Seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangan nya””.
Tidak Ada Istilah Kebal Hukum Didepan Nabi SAW
saudaraku….
Tanggapan syi’ah tentang bai’at Imam Ali:
Imam Ali r.a dan Syiah membai’at Abubakar sebagai sahabat besar dan pemimpin Negara secara the facto, seperti hal nya anda mengakui SBY sebagai Presiden R.I…
Saudaraku..
- Imam Ali terpaksa membai’at Abubakar karena ingin memelihara umat agar tidak mati sia sia dalam perang saudara melawan Pasukan Abubakar dibawah pimpinan Khalid Bin Walid yang haus darah
- Dengan mengalah Imam Ali telah menyelamatkan umat Islam dari kehancuran..Kalau perang saudara terjadi dan imam Ali tidak membai’at Abubakar maka tidak ada lagi Islam seperti yang sekarang ini
Akan tetapi…..
syi’ah dan Imam Ali tidak mengakui tiga khalifah sebagai pemimpin keagamaan dan pemimpin negara secara yuridis ( imamah ) seperti halnya anda menginginkan Presiden R.I mestinya adalah orang yang berhukum dengan hukum Allah..Karena keimamam itu bukanlah berdasarkan pemilihan sahabat Nabi SAW, tapi berdasarkan Nash dari Rasulullah SAW…
Apa bukti Ahlul bait sampai matipun menolak Abubakar sebagai pemimpin keagamaan dan pemimpin negara secara yuridis ???
Ya, buktinya Sayyidah FAtimah sampai mati pun tidak mau memaafkan Abubakar dan Umar cs.
2.KHALiFAH Hasan bin Ali : 624–680 M atau 3–50 H.
Diracuni oleh istrinya di Madinah atas perintah dari Muawiyah I
Hasan bin Ali adalah cucu tertua Nabi Muhammad lewat Fatimah az-Zahra. Hasan menggantikan kekuasaan ayahnya sebagai khalifah di Kufah. Berdasarkan perjanjian dengan Muawiyah I, Hasan kemudian melepaskan kekuasaannya atas Irak.
3.KHALiFAH Husain bin Ali : 626–680 M atau 4–61 H.
Husain adalah cucu dari Nabi Muhammad saw. yang dibunuh ketika dalam perjalanan ke Kufah di Karbala. Husain dibunuh karena menentang Yazid bin Muawiyah..Dibunuh dan dipenggal kepalanya di Karbala.
4.KHALiFAH Ali bin Husain : 658-712 M atau 38-95 H.
Pengarang buku Shahifah as-Sajadiyyah yang merupakan buku penting dalam ajaran Syi’ah…wafat karena diracuni oleh orang suruhan Khalifah al-Walid di Madinah,
5.KHALiFAH Muhammad al-Baqir : 677–732 M atau 57–114 H.
Muhammad al-Baqir diracuni oleh Ibrahim bin Walid di Madinah, Arab Saudi, atas perintah Khalifah Hisyam bin Abdul Malik
6. KHALiFAH Ja’far ash-Shadiq : 702–765 M atau 83–148 H.
beliau diracuni atas perintah Khalifah al-Mansur di Madinah..Beliau mendirikan ajaran Ja’fariyyah dan mengembangkan ajaran Syi’ah. Ia mengajari banyak murid dalam berbagai bidang, diantaranya Imam Abu Hanifah dalam fiqih, dan Jabar Ibnu Hayyan dalam alkimia
7.KHALiFAH Musa al-Kadzim : 744–799 M –atau 128–183 H.
Dipenjara dan diracuni oleh Harun ar-Rashid di Baghdad
8.KHALiFAH Ali ar-Ridha : 765–817 atau 148–203 H.
beliau diracuni oleh Khalifah al-Ma’mun di Mashhad, Iran.
9.KHALiFAH Muhammad al-Jawad : 810–835 M atau 195–220 H.
Diracuni oleh istrinya, anak dari al-Ma’mun di Baghdad, Irak atas perintah Khalifah al-Mu’tashim.
10.KHALiFAH Ali al-Hadi : 827–868 M atau 212–254 H.
beliau diracuni di Samarra atas perintah Khalifah al-Mu’tazz
11.KHALiFAH Hasan al-Asykari : 846–874 M atau 232–260 H.
beliau diracuni di Samarra, Irak atas perintah Khalifah al-Mu’tamid.
Pada masanya, umat Syi’ah ditekan dan dibatasi luar biasa oleh Kekhalifahan Abbasiyah dibawah tangan al-Mu’tamid
12.KHALiFAH Mahdi : Lahir tahun 868 M atau 255 H.
beliau adalah imam saat ini dan dialah Imam Mahdi yang dijanjikan yang akan muncul menjelang akhir zaman.. Sebelum beliau muncul, Iran menyiapkan “Fakih yang adil” sebagai pengganti sementara, misal : Ayatullah Khomeini dan Ayatullah Ali Khamenei .
Cara Sistematis Umayyah Abbasiyah Memalsu Agama
Doktrin Aswaja ikut dibentuk oleh Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah dengan cara :
(1) Melaknati dan memerintah kaum Muslim untuk mentradisikan pelaknatan Imam Ali as., seperti apaa yang ditradisikan oleh Mu’awiyah dan para raja bani Umayyah tekutuk!
(2) Mengejar-ngejar dan membantai para pecinta Imam Ali as. seperti apaa yang ditradisikan oleh Mu’awiyah dan para raja bani Umayyah tekutuk serta sebagian raja bani Abbas!
(3) Mengintimidasi dan menghukum siapa saja yang dituduh mencintai Imam Ali dan Ahlulbait as.
(4) Menuduh siapa saja yang mencintai Imam Ali dan Ahlulbait dengan berbagai tuduhan kejam, seperti Syi’ah atau Rafidhah!
(5) Mencacat siapa saja yang meriwayatkan hadis-hadis Nabi saw. tentang keutamaan Imam Ali dan Ahlulbait dengan berbagai pencacatan tidak berdasar dan palsudan sekaligus menuduhnya sebagai Syi’ah atau Rafidhah!
(6) Memusnahkan atau merahasiakan sebisa mungkin hadis-hadis Nabi saw. tentang keutamaan Imam Ali dan Ahlulbait as. agar tidak menyebar dan mengguga kesadaran umat Islam akan kemuliaan keistimewaan Ahlulbait as.
(7) Menyebarkan hadis-hadis palsu keutamaan musuh-musuh Imam Ali dan Ahlulbait as. sebagai usaha menandingi keisitimewaan Imam Ali dan Ahlulbait as.
(8) Menyetir perawi perawi hadis agar membuang hadis yang merugikan mereka dan membuat hadis hadis palsu untuk kepentingan mereka
(9) Membungkam perawi perawi yang tidak memihak mereka dengan segala cara
(10) Mereka secara turun temurun membantai anak cucu Nabi SAW , menteror dan menyiksa pengikut/pendukung mereka (syi’ah)
(11)Mereka mempropagandakan dan menanamkan dalam benak umat bahwa syi’ah itu rafidhah sesat berbahaya dan agar umat menjauhi anak cucu ahlul bait
(12) sebuah institusi sangat penting dalam sejarah perkembangan sekte Sunni, yakni Universitas Nizamiyya, lembaga pendidikan yang didirikan oleh Perdana Menteri Nizam al-Mulk yang berkuasa tahun 1063 M/465 H. Inilah universitas yang didirikan oleh perdana menteri dinasti Saljuk yang sangat cinta ilmu itu untuk menyebarkan doktrin Sunni, terutama Ash’ariyyah dan Syafi’i . Di universitas itu, beberapa ulama besar yang sudah kita kenal namanya sempat melewatkan waktu untuk mengajar, seperti Imam Ghazali dan gurunya, Imam al-Juwayni.
Karena faktor DUKUNGAN PENGUASA mazhab sunni bisa cepat tersebar
Mu’awiyyah selalu menindas pengikut-pengikut Syi’ah , seperti yang dilakukannya ketika ia memerintahkan Basyir bin Artha’ah yang dengan kejamnya membunuh 30.000 pengikut Syi’ah dan Bani Hasyim termasuk didalamnya putra paman Nabi SAW Ubaidillah bin Abbas di Yaman, juga penyiksaan sahabat-sahabat setia Nabi SAW dan pembakaran rumah-rumah mereka di Madinah, diantaranya adalah Abu Ayub Al Ansyari, dimana Abu Hurairah terlibat di dalamnya serta turut menyaksikannya, Mu’awiyyah kemudian mengangkatnya menjadi Gubernur, semua ini bersumber dari buku-buku Sunni sendiri, seperti Raudhah al Syafa al Nastir dan Muzakirah Safar karya Al Khawarizmi, Tarikh Tabarri, Ibnu Khaldun, Ibnu Khalikan Samhudi dan Ibnu Abil Hadid dalam syarh Nahjul Balaghah, begitu pula apa yang dilakukan oleh Yazid bin Mu’awiyyah bin Abu Sofyan yang membantai keluarga Nabi SAW di Karbala-Irak.
Cobalah anda perhatikan , kepentingan politik telah merubah segalnya, yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar. Kaum syi’ah yang memegang teguh wasiat Nabi dibilang pembangkang dan ahli bad’ah, sementara mereka yang tidak memegang teguh wasiat Nabi malah disebut pengikut sunnah Nabi.
“sunnah “ yang mereka maksudkan tidak lain adalah bid’ah ketika mengutuk Sayyidina Ali dan keluarga Nabi SAW di seluruh polosok negeri, Bid’ah tersebut berlangsung lebih dari 80 tahun.. Kalau mereka konsisten menjalankan sunnah Nabi SAW seharusnya mereka tidak akan membiarkan 80 tahun cacian-cacian terhadap keluarga Nabi SAW.
Bahkan tidak jarang mengkafirkan Syi’ah sebagaimana diperbuat di zaman Mu’awiyyah bin Abu Sufyan. Para Penulis itu menuduh bahwa Syi’ah itu adalah kelompok yang didirikan oleh Abdullah bin Saba, seorang yang konon beragama Yahudi dan jauh lebih berbahaya dari agama Yahudi itu sendiri.Dalam lain kesempatan mereka menuduh bahwa Syi’ah kelompok yang menyembah Sayyidina Ali dan para Imam Suci, Akibatnya asumsi dan persepsi orang-orang dari dulu hingga sekarang tidak pernah berubah sedikitpun, sehingga mereka menganggap Syi’ah bukan dari kelompok Islam.
Apakah mereka takut kalau mayoritas muslim akan beralih nantinya menjadi pengikut Syi’ah, jika kebenaran yang sesungguhnyan tersingkap. Tidaklah mengherankan kalau para ulama mereka mengharamkan pengikutnya untuk duduk bersama orang Syi’ah untuk mendiskusikan kebenaran…
Jelaslah bahwa pihak mereka adalah pihak yang paling termakan menjalankan sunnah rekayasa yang dibuat Bani Umayyah dan bukan Sunnah Rasul SAW serta berusaha memutarbalikkan fakta yang sebenarnya.
Riwayat dari Thabarani dari Ibni Abbas dan dikutip oleh Suyuthi dalam kitabnya Ihya Ul Mait dan Al Nabhani dalam Arba’in bahwa Nabi SAW bersabda “Tidak akan tegeser kedua kaki seseorang pada hari kiamat sebelum ia ditanya empat pertanyaan; tentang usianya untuk apa ia habiskan; tentang tubuhnya bagaimana ia menggunakannya; tentang hartanya dari mana ia dapatkan dan kemana ia belanjakan serta tentang kecintaannya terhadap Ahlul Bait.”
Salah satu bukti dari kebenaran Syi’ah ialah mereka berargumentasi atas kebenaran mereka dengan menggunakan kitab-kitab dan riwayat-riwayat ulama Ahlus Sunnah. Karena di dalamnya banyak sekali hal-hal yang menjelaskan kebenaran mereka dengan jelas sekali, karena di dalam kitab-kitab ini terdapat hadis-hadis yang menunjukkan wajibnya mengikuti ajaran Ahlul Bait as.. pengikut mereka dalam sejarahnya senantiasa lebih cerdas walau tertindas.
Syi’ah mempunyai sumber-sumber rujukan tersendiri, yang jumlahnya berkali-kali lipat dibandingkan sumber-sumber rujukan Ahlus Sunnah, dan semuanya diriwayatkan dari Ahlul Bait as dan dari Rasulullah saw. Namun demi-kian, mereka berargumentasi kepada Ahlus Sunnah dengan menggunakan riwayat-riwayat yang ada di dalam sumber-sumber rujukan Ahlus Sunnah, dikarenakan Ahlus Sunnah tidak percaya kepada apa yang ada pada sisi mereka, maka mau tidak mau mereka harus berhujjah dengan apa-apa yang diyakini oleh kalangan Ahlus Sunnah.
Beda utama Syi’ah – Sunni :
Sunni :
1. Nabi SAW tidak menunjuk siapa penggantinya.
2. Fokus pedoman: Sahabat.
3. Semua sahabat adil.
Mu’awiyah di dalam khutbahnya dishalat Jum’at telah mengutuk ’Ali, Hasan dan Hussein. Mu’awiyah juga mengintruksikan didalam semua forum jamaah ketika dia berkuasa supaya mengutuk manusia yang suci itu (baca keluarga Rasul) Justru itu siapapun yang bersatupadu dengan manusia yang terkutuk itu (baca Mu’awiyah) dan merasa senang dengan tindakan mereka (baca komunitas Mu’awiyah) tidak pantaskah untuk dikutuk?
Dan ketika dia sedang bersekutu dengan manusia seperti itu, jika dia membantu mereka dalam memalsukan Hadist dari Ahlulbayt (keluarga/keturunan Rasul) dan memaksakan manusia untuk melakukan kutukannya kepada manusia suci ini (baca ’Ali, Fatimah, Hasan dan Husen), Pengaruh fitnah mereka ini sangat besar sekali, sehingga tanpa disadari telah menyelinap ke kalangan sebagia Ahlusunnah dan mempengaruhi alur berpikir sebagian mereka.
Riwayat ini disampaikan oleh Ibnu Qutaibah seorang sejarawan terbesar dalam kitabnya Tarikh khulafa’ adalah bersumber dari Malik sendiri, maka hal ini perlu mendapat perhatian dan dijadikan materi pelajaran. Malik telah mengatakan, “Ketika saya berada di Mina, saya mendatangi beberapa kemah, dansaya sendiri meminta izin maka saya diberi izin. Kemudian orang yang memberi izin itu keluar menemuiku dan memasukkanku, saya berkata padanya, “Jika kamu dan saya telah sampai pada kemah di mana Amirul Mukminin berada maka beritahukanlah saya .” Lalu ia berjalan bersamaku dari suatu kemah kekemah lain, dalam setiap kemah terhadap kelompok lelaki yang pada tengah mereka padang-padang yang terkenal dan tangan-tangan terangkat, sehingga orang itu mengatakan pada saya, ‘Dia berada di kemah itu, lalu ia meninggalkan saya dan berada dibelakang saya.
“Kemudian saya berjalan sampai pada kemah yang dia berada di dalamnya, tiba-tiba ia telah turun dari tempat ia duduk menuju ke hampaaran di bahwahnya dan ia telah mengenakan pakaian sederhana sekali yang kurang layak bagi orang yang semisalnya sebagai sikap merendah karena kedatanganku dan tidak ada bersamanya selain sebuah pemancang yang pada ujungnya sebilah pedang yang tersarungkan. Ketika saya mendekat padanya, ia mempersilahkan dan mendekatkan saya lalu ia berkata, “Silahkan mendekat padaku, maka saya berisyarat mau duduk, ia mengatakan, ‘Ke sini! ia senantiasa memanggilku untuk mendekat, sehingga ia mendudukanku di depannya dan berhimpitan kedua lututku dengan kedua lututnya.
“Selanjutnya yang pertama kali dia ucapkan ialah, Demi Allah yang tidak ada Tuhan kecuali Dia, wahai Abu Abdullah! sungguh aku tidak pernah memerintahkan aapa yang telah terjadi itu dan aku tidak mengetahui sebelum terjadinya serta aku tidak pula merelakannya (Yakni peristiwa pemukulan).’ Malik berkata, maka saya memuji Allah SWT pada setiap saat dan saya bersalawat pada Rasulullah saww, kemudian saya membebaskan dia dari perkara tersebut dan menyatakan kerelaan tentangnya. Kemudian ia berkata, ‘wahai Abu Abdullah! penduduk Haramain senantiasa dalam kebaikan selama engkau di belakang mereka, sungguh aku mempercayakan padamu keamanan bagi mereka dari siksaan Allah dan kemurkaan-Nya dan denganmu Allah SWT telah menahan mereka dari bencana yang besar. Sesungguhnya mereka itu seperti yang aku ketahui adalah orang-orang yang paling cepat mendapat bencana dan yang paling lemah untuk terhindar dari padanya, semoga Allah membinasakan mereka di mana saja berada. Aku telah memerintahkan untuk menghadapkan musuh Allah SWT itu dari Madinah dalam keadaan terhina (yakni Ja’far bin Sulaiman) dan aku telah memerintahkan untuk mempersempit tempat duduknya serta secara terang-terangan penghinaannya, dan sepatutnyalah aku menimpahkan siksaan padanya yang melebihi dari apa yang telah engkau terima darinya.
“Maka saya pun menjawab, ‘Semoga Allah SWT memaafkan Amirul Mukminin dan memuliakan kedudukannya, sungguh saya telah memaafkan dirinya lantaran kekerabatannya dengan Rasulullah saww, dan denganmu.’ Abu Ja’far al-Manshur berkata, ‘Dan juga engkau semoga diampuni oleh Allah dan didekatkan. ’Malik berkata ‘Kemudian ia telah membeberkan padaku tentang orang yang telah lalu dari kalangan para pendahulu, maka saya dapati ia adalah seorang yang paling tahu terhadap perkara yang mereka sepakati dan yang mereka perselisihkan karena ia bersikap menjaga apa yang diriwayatkan dan menyadari apa yang didengar.’
“Lalu ia berkata kepadaku, ‘Wahai Abu Aabdullah! Letakkan ilmu ini dan catatlah, tulislah darinya menjadi beberapa kitab, jauhilah kekerasan Abdullah bin Umar, peringatan Abdullah bin Abbas dan keasingan Abdullah bin Mas’ud, ambilah jalan pertengahan dan yang telah disepakati oleh para pemimpin dan sahabat ra, supaya kami dapat membebani manusia insya Allah dengan ilmumu dan kitab-kitabmu dan kami kirimkan keseluruh kota-kota serta kami pesankan pada mereka agar mereka tidak menyimpang darinya dan tidak menentukan hukum dengan selainnya. Saya pun menyatakan padanya, ‘Semoga Allah memperbaiki keadaan Amirul Mukminin, sesungguhnya penduduk Iraq tidak mau menerima ilmu kami dan tidak mau memperhatikan pendapat kami dalam ilmu mereka.’ Maka Abu Ja’far al-Manshur menjawab, ‘Mereka akan dipaksa dengan dan kami akan memukul kemauan mereka dengan pedang serta memutuskan kekuatan punggung mereka dengan cambuk, maka segeralah perbuat dan tetapkanlah, anakku Muhammad al-Mahdi akan datang padamu tahun depan insya Allah di Madinah untuk mendengarnya darimu dan ia akan mendapatkanmu telah menyelesaikan kitab itu insya Allah.
“Malik berkata, ‘Tatkala kami tengah duduk, tiba-tiba muncul seorang anaknya yang kecil dari kemah sebelah belakang kemah temapat kami berada, dan ketika anak kecil itu melihat padaku maka ia ketakutan dan berbalik kebelakang, ia tidak mau maju ke depan,’ Lalu Abu Ja’far al-Manshur berkata padanya, ‘Majulah wahai sayangku, sesungguhnya ia ini adalah Abu Abdullah seorang faqih penduduk hijaz, ’kemudian ia berpaling kepadaku sambil berkata, ‘Hai Abu Abdullah, tahukah engkau mengapa anak itu takut dan tidak mau ke depan? ‘ Aku menjawab , ‘Tidak!’ Ia berkata, ‘Demi Allah, ia telah memungkiri kedekatan tempat dudukmu denganku, karena ia belum pernah melihat hal ini terhadap seseorang selain engkau sendiri, oleh sebab itu ia berbalik.’
“Selanjutnya Malik berkata, ’kemudian ia memerintahkan untuk memberikan uaang padaku seribu dinar berupa emas dan sebuah baju besar dan memerintahkan untuk memberi anakku seribu dinar, lalu saya mohon diri dan ia mempersilahkan. Maka saya pun berdiri dan ia melepasku serta mendoakan untukku. Saya berjalan keluar dan seorang pelayan menemuiku dengan membawa baju besar lalu meletakkannya pada bahuku, demikian itulah yang diperbuat terhadap orang yang diberi pakaian jika ia dimuliakan lalu keluar dengan baju tersebut ke kalangan manusia dan ia membawanya kemudian menyerahkannya kepada anaknya. Maka tatkala si pembantu itu meletakkan baju itu pada bahuku saya mengelah darinya karena tidak suka membawanya dan demi membebaskan diri darinya. Maka Abu Ja’far memanggilnya dengan berkata, ‘Antarkan ke kendaraan Abu Abdullah!’”[1]
Referensi:
[1] Lihat Tarikh Khulafa’ oleh Ibnu Qutaibah, II, hal.150.
Kekejaman Raja Mutawakkil (Sang Pembela Ahmad Bin Hambal)
Kekejaman para penguasa tiran terhadap para pecinta Nabi saw. dan keluarga suci kenabian tidak hanya terbatas pada para penguasa rezim Umayyah. Para penguasa rezim Abbasiyah juga tidak ketinggalan dalam menekan, mengintimidasi serta menyiksa siapa saja yang berani-berani berjuang dalam menyampaikan sunnah Nabi saw. tentang keutamaan Ahlulbait as.
Banyak kisah sedih kekejaman para penguasa dan aparatnya dalam rangka membrangus sabda-sabda suci Nabi saw. dan dalam usaha mereka untuk menyegel mulut-mulut para muhaddis agar tidak menyebar luaskannya.
Di bawah ini saya akan sebutkan kisah perjuangan Nashr ibn Ali (seorang ulama) dalam penyampaikan sebuah hadis suci Nabi saw. yang mendapat siksa keras agar membuatnya dan rekan-rekan sejawatnya jerah!
Kisah Perjuangan Nasr ibn Ali Dalam Menyebarkan Hadis Keutamaan Imam Ali as
At Turmudzi dan para muhaddis lain meriwayatkan dari Nashr ibn Ali al Jahdhami, ia berkata, Ali ibn Ja’far[1] telah mengabarkan kepada kami, ia berkata, ’saudaraku Musa mengabarkan kepadaku dari Ja’far ibn Muhammad ayah beliau dari ayah beliau Muhammad ibn Ali dari ayah beliau Ali ibn Husain dari ayah beliau dari kakek beliau Ali ibn Abi Thalib bahwa Rasulullah saw. memegang tangan Hasan dan Husain lalu bersabda:
“Barang siapa mencintaiku dan mencintai kedua anak ini, ayah dan ibu keduanya maka ia bersamaku satu derajat denganku kelak di hari kiamat.”[2]
Al Khathib al Baghdâdi dalam Tarikhnya meriwayatkan, “Abu Abd. Rahman ibn Abd. Allah berkata, ‘Ketika Nashr menyampaikan hadis ini, Al Mutawakkil[3] memerintahkan agar ia dicambuk seribu cambukan. Ja’fa ibn Abd. Al Wahid memohon kepada Al Mutawakkil agar membatalkan hukuman itu, ia berkata kepadanya, ‘Dia adalah seorang dari Ahlulsunnah!’
Al Mutawakkil tetap memerintahkan agar Nashr terus dicambuk, dan Ja’far pun terus memohon dan akhirnya cambukan itu dihentikan…
Al Khathib berkata, “Al Mutawakkil memerintahkan agar Nashr dihukum cambuk karena ia menyangkannya sebagai seorang rafidhi, namun setelah ia yakin bahwa Nashr dari Ahlusunnah ia hentikan.”[4]
Apa Yang Aneh dan Membuat Al Mutawakkil Begitu Murka!
Apakah kandungan hadis ini bertentangan dengan Al quran dan sunah Nabi saw?! Atau para perawi yang menjadi perantara periwayatan hadis ini para pembohong?! Bukankan mereka adalah para panutan umat dari keturunan Rasulullah saw. yang telah disepakati para ulama akan kejujuran dan keagungan mereka?!
Coba pembaca perhatikan kembali nama-nama perawi hadis ini! Bukankah Anda temukan nama-nama harum dari putra-putra Rasulullah saw.;
1) Ali ibn Ja’far (kakek seluruh dzurriyyah/para saadah asal Hadhramaut) yang sangat diagungkan umat,
2) Imam Musa Al Kadzim as.,
3) Imam Ja’far ash Shadiq as.,
4) Imam Muhammad Al Baqir as.,
5) Imam Ali Zainal Abidin ibn Husain as.,
6) Imam Husain as.,
7) Imam Ali as.
Inilah salah satu bukti kekejaman Al Mutawakkil. Dan apabila Anda bertanya kepada sebagian ulama, siapa sejatinya al Mutawakkil itu? Apa jasa-jasanya terhadap kemurnian sunnah? Pastilah mereka akan mengatakan, “Ia adalah Khalifah yang sangat besar perhatiannya terhadap sunnah Nabi!”.
Al Suyuthi berkata, Al Mutawakkil dibai’at setelah kematian Al Watsiq, bulan Dzul Hijjah tahun232 H. Segera setelah itu ia menampakkan kecenderungannya kepada sunnah, membela ahlinya dan meniadakan mihnah, ujian (penyiksaan/cobaan) atas mereka!….
Sampai-sampai orang-orang berkata, “Para Khalifah itu ada tiga; Abu Bakar dalam memerangi orang-orang murtad, Umar ibn Abd. Aziz dalam mengembalikan hak kepada orang yang dizalimi dan Al Mutawakkil dalam menghidupkan sunnah dan mematikan faham Tajahhum (Mu’tazilah)”.![5]
Apakah Sunnah yang sedang diperjuangkan oleh al Mutawakkil itu? Jika benar ia memperjuangkan Sunnah Nabi saw. mengapakah ia menyiksa seorang alim yang dengan hati tulus meriwayatkan hadis keutamaan Ahlulbait Nabi as.?! Atau Sunnah yang dimaksud adalah Sunnah bani Umayyah dan para Munafik?
Referensi:
[1] Ali ibn Ja’far adalah putra bungsu Imam Ja’far as., ia dikenal sangat alim, rendah hati, dan teladan dalam ketaqwaan. Ia diberkahi umurnya sehingga hidup sezaman dengan Imam Jawad putra Imam Ali Ar Ridha putra Imam Musa Al Kadzim (kakak Ali ibn Ja’far ra.) dan meyakini keimamahannya walaupun dari sisi kekeluargaan beliau adalah berpangkat kakek sepupu terhadap Imam Jawad as. Ditegaskan oleh para sejarawan dari kaum Sâdah sendiri, seperti Al Syilli dalam Masyra’ ar Râwi bahwa beliau bermazhab Syi’ah Imamiyah Ja’fariyah Itsnâsyariyah. Beliau adalah kakek para sâdah (para sayid keturunan Rasulullah saw.) yang tinggal di Hadhramaut dan kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia Islam, seperti Indonesia, Malaysia, beberapa negara di Asia Tenggara, Timur Tengah dan Afrika dll.
[2] At Tirmidzi dalam Sunan (dengan syarah al Mubârakfûri).10, 237, Manâqib Ali ibn Abi Thalib, bab 93 hadis 3816, Ahmad dalam Musnad,1.168 hadis 576, Fadhail al Shahabah.2,694 hadis 1185, Al Khathib, Tarikh Baghdad, 13/287, Ibnu Asakir, Tarikh Damaskus, pada biodata Imam Hasan: 52 hadis 95 dan 96 dan Al Khawarizmi dalam Manâqib:138 hadis 156, Ibnu Al Maghazili dalam Manâqib:370, Abu Nu’aim dalam Tarikh Ishfahan:1192,dll.
[3] Al Mutawakkil nama lengkapnya Ja’far Abu Al Fadhl ibnu Al Mu’tashim ibn Harun Ar Rasyid. Ia dibaiat sebagai Khalifah setelah Al Wastiq pada bulan Dzul Hijjah tahun 232H. Para Ulama Sunni menyebut Al Mutawakkil sebagai “Khalifah Rasulullah” yang sangat consen terhadap kemurnian sunnah Nabi saw. mereka memuja dan menyanjungnya dan menggelarinya sebagai penyegar sunah dan pemberantas bid’ah!! (Baca sebagai contoh Tarikh al Khulafâ’; As Suyuthi:320).
[4] Al Khathib, Tarikh Baghdad,13/288.
[5] Tarikh Al Khulafâ’:320.
Maka terciptalah mazhab aswaja sunni secara evolusi dengan menutup kitab kitab hadis dan fakta sejarah agar tidak diketahui umat.
Ketika Raja Dinasti Abbasiyah berkuasa yaitu Al Ma’mun (198 – 218 H / 813 – 833 M)lalu Al Mu’tashim (218 – 228 H / 833 – 842 M) lalu Al Watsiq ( 228 – 233 H / 842 – 847 M) paham kerajaan Abbasiyah adalah Mu’tazilah ! Terjadilah pertarungan antara Mu’tazilah melawan Ahlulhadis :
Tatkala Raja al-Mutawakil (847-864 M) berkuasa, ia melihat bahwa posisinya sebagai khalifah perlu mendapatkan dukungan mayoritas. Sementara, setelah peristiwa mihnah terjadi mayoritas masyarakat adalah pendukung dan simpatisan Ibn Hanbal. Oleh karenanya al-Mutawakil membatalkan paham Mu’tazilah sebagai paham negara dan menggantinya dengan paham Sunni.
Pada saat itulah Sunni mulai merumuskan ajaran-ajarannya. Salah seorang tokohnya, Syafi’i menyusun ‘Ushul al-Fiqh. Dalam bidang Hadis muncul tokoh Bukhari dan Muslim. Dalam bidang Tafsir, muncul al-Tabbari. Pada masa inilah kaum Sunni menegaskan sikapnya terhadap posisi terhadap 4 khalifah dengan mengatakan bahwa yang terbaik setelah Nabi adalah Abu Bakar, Umar, Uthman dan ‘Ali.
Raja Mutawakkil menyerahkan jabatan hakim agung (qdhi al qudat) kepada yahya bin Aktam seorang penganut mazhab syafi’i..Imam Ahmad bin Hambal yang sebelumnya terkurung dalam penjara dibebaskan dan nama baiknya direhabilitasi. Golongan Alawiyyah disingkirkan bahkan Imam Ali dicerca dalam khutbah jum’at dan kuburan keturunan nya dihancurkan…
Hal ini menunjukkan bahwa Mutawakkil memang anti syi’ah imamiyah dan sebaliknya malah ia membina basis dukungan dikalangan sunni terutama pengikut mazhab syafi’i dan hambali.
Upaya menindasan dan menghinaan terhadap Sayyidina Ali dan pengikutnya terus dilakukan oleh penguasa-penguasa baru Bani Abbasiah yang mencapai puncaknya pada masa khalifah Ja’far Al Muthasim Al Muttawakkil yang berusaha membongkar habis kuburan cucu Nabi SAW, yaitu Sayyidina Husein di Karbala dan melarang para peziarah untuk mengunjunginya (Karna demi kian beratnya hinaan, cacian dan siksaan yang harus ditanggung oleh pengikut Sayyidina Ali dari para penguasa saat itu , sampai-sampai mereka lebih baik mengaku Yahudi dari pada mengaku Syi’ah).
Khalifah Al Mutawakkil juga dikenal sebagai satu-satunya pengusa yang pernah membunuh semua bayi yang namanya Ali, karna ia membenci mendengar nama itu. Dan Khalifah Al Mutawakkil inilah yang oleh para ahli hadist Sunni disebut- sebagai pembangkit Sunnah.
Dari sini jelaslah bahwa kutukan dan cacian terhadap Sayyidina Ali dipandang sebagai dukungan terhadap simbul Ahlu Sunnah . Dan Mereka Menuduh Syi’ah yang mendukung kepemimpinan Sayyidina Ali dan menekankan kecintaan kepada Ahlul Bait as dan keharusan mengikuti mereka sebagai Ahli Bid’ah
untuk memperoleh pengakuan dari penguasa, pemikiran ulama Sunni menekankan pada ketaatan absolut terhadap khalifah yang sedang berkuasa, mereka berhasil mempengaruhi Khalifah Al Mutawakil (847-861 M), sekaligus merubah haluan aliran resmi pemerintahan menjadi sunni.
Langkah Al-Asy’ari dalam mengemas ASWAJA pada masa pasca pemerintahan Khalifah Al-Mutawakkil dari Dinasti Abbasiyah setelah puluhan tahun mengikuti Mu’tazilah kemudian disusul oleh Al-Maturidi, Al-Baqillani dan Imam Al-Juwaini sebagai murid Al-Asyari merumuskan kembali ajaran ASWAJA yang lebih condong pada rasional. Meskipun Aswaja mengklaim diri sebagai pengikut SAHABAT dan KHULAFAUR RASYiDiN.
Akan tetapi secara the facto Aswaja adalah kelompok yang dalam hal aqidah merujuk pada Imam Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi; dalam hal fiqh mengikuti pendapat salah satu imam mazhab yang empat (al-a’immah al-arba’ah), sedangkan dalam hal tasawwuf berafiliasi kepada Abu Hamid, Ahmad Al-Ghazali, dan Abu al-Qasim al-Junaid al-Baghdadi.. Al-Ghazali menolak filsafat dan memusatkan kajiannya dibidang tasawwuf.
Mazhab Aswaja Sunni Banyak Dipengaruhi Oleh Kepentingan-kepentingan Politik dan Kekuasaan
Mazhab ini dikodifikasi diakhir abad ke-3 dan ke-4 Hijriyyah yang dikaitkan dengan lahirnya konsep Aqidah yang dirumuskan kembali (direkonstuksi) oleh Asy’ari (Wafat : 324 H/935 M) dan Imam Maturidi (Wafat : 944 M/333 H) pada saat munculnya berbagai golongan pemahaman dibidang aqidah.. Dua ulama terakhir inilah permulaan faham Aswaja sering dinisbatkan.
Imam Abu Hanifah Al-Nu’man (w. 150 H), Imam Malik Ibn Anas (w. 179 H), Imam Syafi’i (w. 204 H), Ahmad Ibn Hanbal (w. 241 H)menjadi rujukan fikih yang mana ijtihad mereka kontradiktif…Kelenturan ASWAJA inilah barangkali yang bisa menghantarkan faham ini diterima umat.
Orang yang meneliti kitab-kitab sejarah dan apa yang dicatat oleh para penghulu, niscaya akan mendapatkan sesuatu yang tidak dapat diragukan bahwa terbesarnya mazhab-mazhab yang empat di masa itu adalah karena kehendak penguasa yang memerintah dan pengarahannya, oleh karena itu mendapat pengikut yang banyak, sebab manusia umumnya mengikut agama penguasa.
Sebagaimana yang didapati oleh peneliti bahwa di sana puluhan mazhab yang telah punah dan musnah, karena penguasa tidak berkenan padanya, seperti mazhab Auza’i, mazhab Hasan Bashri, Abu Uyainah, Ibnu Abi Dzuaib, Ssufyan as-Sauri, Ibnu Abi Daud, dan Laits bin Sa’ad serta lain-lainnya banyak sekali.
Sebagai misalnya, bahwa Laits bin Sa’ad adalah teman akrabnya Malik bin Anas dan dia lebih berilmu dan lebih faqih darinya sebagaimana yang telah diakui oleh Syafi’i.*(Lihat Manaqib Syaafi’i, hal. 524.) Tetapi mazhabnya telah punah dan fiqihnya musnah dan lenyap karena penguasa tidak berkenan padanya. Dan Ahmad bin Hambal telah menyatakan, “Ibnu Abi Dzuaib adalah lebih utama dari Malik bin Anas, hanya saja Malik orang yang ketat pemilihannya tentang rijal.
Bila kita kembali memerinytah sejarah, maka kita dapayi Malik pemilik mazhab tersebut telah mendekat pada kekuasaan dan pemerintah dan ia menerima mereka serta berjalan dalam program mereka maka dengan demikian ia menjadi tokoh yang disegani dan ulama yang mashur, dan berkembanglah mazhabnya dengan jalan paksaan dan rayuan khususnya di Andalus yang mana muridnya Yahya bin Yahya telah bekerja di dalam perwalian penguasa Andalus, sehingga ia menjadi orang terdekat dan ia diberi oleh penguasa pertanggungan jawab dalam penentukan para hakim, dan tidak ada yang menguasai pengadilan selain kawan-kawannya dari kelompok Malikiyah.
Demikian pula kita dapati sebab-sebab tersebarnya mazhab Abu Hanifah setelah wafatnya, yakni bahwa Abu Yusuf dan Syaibani yang keduanya itu adalah pengikut Abu Hanifah dan orang yang paling setia padanya, keduanya di waktu itu termasuk orang yang paling dekat dengan Harun Rasyid, Khalifah Abasiyah. Keduanya itu mempunyai peranan besar dalam pengukuhan kekuasaan penentang dan pembelaannya, sehingga Harun tidak mengizinkan seseorang untuk menguasai pengadilan dan fatwa kecuali setelah mendapat kesepakatan keduanya.
Maka kedua orang itu tidak mau mengangkat seorang Qadhi kecuali orang yang mengikuti mazhab Hanafi, dengan demikian Abu Hanifah menjadilah ulama terbesar dan mazhabnya menjadi mazhab termasyhur yang fiqihnya diikuti, betapa pun para ulama di masanya telah mengkafirkannya dan menganggap dirirnya sebagai orang zindiq, termasuk mereka yang mengkafirkan ialah Imam Ahmad bin Hanbal dan Abu al-Hasan al-Asy’ari.
Begitu juga mazhab Syafi’i telah terbesar dan menjadi kuat setelah hampir musnah, yang demikian itu setelah dikuatkan oleh penguasa yang zalim, dan setelah seluruh Mesir tadinya mengikuti Syi’ah di masa Shalahuddin al-Ayubi yang telah membunuh orang-orang Syi’ah dan menyembelih mereka seperti menyembelih kambing.
Begitu juga mazhab Hambali, ia tidak akan dikenal jikalau tidak karena didukung oleh kekuasaan Abasiyah di masa al-Mu’tashim ketika Ibnu Hanbal mau menarik kembali pendapatnya bahwa Al-Qur’an itu adalah mahluk dan bintangnya menjadi cemerlang di masa al-Mutawakkil si Nashibi (pembenci Ahlulbait). Dan ia menjadi kuat dan meluas ketika penguasa penindas memberi bantuan kepada Syekh Muhammad bin Abdul Wahab di abad yang lalu, dan yang terakhir ini bekerjasama dengan keluarga Saud dan mereka menguatkannya mazhabnya di Hijaz dan jazirah Arab.
Dan menjadikan mazhab Hambali itu merujuk pada tiga Imam, yang pertama Ahmad bin Hanbal yang dia sendiri tidak pernah mengaku sebagai seorang ahli fiqih, ia hanyalah seorang ahli hadis, kemudian Ibnu Taimiyah yang digelari sebagai Syekh Islam dan Pembaru sunah yang telah dikafirkan oleh pada ulama sezamannya karena ia telah menghukumkan seluruh kaum Muslimin dengan syirik kerena mereka bertabarruq dan bertawassul pada Nabi saww, selanjutnya di abad yang lalu datanglah Muhammad bin Abdul Wahhab yang merupakan boneka ciptaan penindas/penjajah Inggris di Timur Tengah. Maka yang terakhir ini telah melakukan pembaharuan mazhab Hambali dengan dasar pengambilan dari fatwa Ibnu Taimiyah, sehingga Ahmad bin Hambal hanyalah tersebut dalam riwayat, karena mazhab mereka sekarang ini dinamakan mazhab Wahabi.
Tidak dapat diragukan lagi bahwa tersebarnya mazhab-mazhab itu dan termasyhurnya serta meningginya kedudukannya adalah karena bantuan dan pengorbitan para penguasa.
Dan juga tidak diragukan lagi bahwa mereka para penguasa seluruhnya tanpa kecuali adalah memusuhi para imam dari Ahlulbait karena mereka selamanya berperasangka bahwa para imam itu membahayakan kedudukan mereka dan dapat menghancurkan kekuasaan mereka. Maka mereka selamanya berusaha untuk mengucilkannya dari kalangan umat dan menghinakan kedudukannya serta memusnahkan orang yang mengikutinya.
Maka sangatlah perlu bagi para penguasa itu untuk mengangkat sebagian ulama yang mendekat pada mereka dan yang berfatwa sesuai dengan peraturan dan kebenaran mereka. Yang demikian itu demi memenuhi kebutuhan manusia yang berkelanjutan terhadap pemecahan masalah-masalah syariat. dan tatkala para penguasa di setiap zaman tersebut tidak mengenal sedikit pun tentang syariat dan tidak memahami fiqih, maka nama mereka dan mereka menamakan pandangan pada manusia bahwa politik itu sesuatu yang lain dari agama.
Maka khalifah yang berkuasa itu adalah seorang politikus sedang faqih (ahli fiqih) itu adalah tokoh agama, sebagaimana hal itu yang dilakukan sekarang ini oleh seluruh pemerintahan diseluruh negara Islam, sehingga Anda dapat lihat pemerintah menentukan Negara atau dengan lambang lain yang menyatakan hal itu. Lalu membebaninya dengan penelitian tentang masalah fatwa, ibadah dan syi’ar agama.
Akan tetapi pada kenyataannya, orang itu boleh berfatwa atau menentukan hukum kecuali yang sesuai dengan kemauan penguasa dan yang disepakati oleh pemerintah atau setidak-tidaknya yang tidak bertentangan dengan politik penguasa dan kebijaksanaan peraturannya.
Kenyataan ini sebenarnya telah nampak dari masa ketiga khalifah yakni Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Mereka betapapun tidak memisahkan antara agama dan kekuasaan hanya saja mereka itu telah menguasakan diri mereka sendiri hak membuat syariat sejalan dengan kepentingan kekhalifahan dan jaminan pengaruhnya serta kelestariannya. Karena para khalifah yang ketiga itu telah mengalami masa Nabi saww dan persahabatan maka mereka telah mengambil daari beliau sebagian sunah yang tidak bertentangan dengan politik negara.
Sedang Muawiyah tidaklah masuk Islam kecuali pada tahun kesembilan Hijrah menurut riwayat masyhur yang tershahih. Maka ia tidak menyertai Nabi saww, kecuali hanyalah sebentar dan ia tidak mengetahui sunah sesuatu pun yang layak disebutkan.
Sehingga terpaksa ia menentukan Abu Hurairah dan Amr bin Ash serta sebagian sahabat yang mereka itu dibebani tugas untuk mengelurkan fatwa sesuai dengan apa yang ia inginkan. Lalu diikuti oleh Bani Umayah dan Bani Abas setelah sunah yang baik tersebut atau bid’ah hasanah itu, maka seluruh penguasa itu selalu didampingi oleh Qadhi yang diberi tugas dalam periodenya unutk mentukan para qadhi (hakim) yang dipandang baik menurutnya bagi kekuasaan dan mereka mau bekerja untuk mengukuhkan dan membantunya.
Selanjutnya, setelah itu semua, tidak ada keperluan lain kecuali hanyalah agar Anda mengetahui kedudukan para qadhi itu yang telah mendatangkan kemurkaan Allah demi mencari keridhaan tuan mereka dan penjamin kesenangan mereka yang telah mengangkat mereka. Dan setelah itu agar Anda memahami rahasia pengucilan terhadap para imam yang maksum dari Ahlulbait yang suci, sehingga sepanjang masa-masa tersebut Anda tidak mendapatkan seorang dari mereka yang telah ditentukan dan diangkat sebagai qadhi dan diikuti fatwanya.
Dan jika menginginkan tambahan sebagai penguat tentang bagaimana terbesarnya mazhab sunah yang empat dengan perantara para penguasa tersebut, maka kita dapat mengambil satu contoh dari antara penyingkapan rahasia mazhab imam Malik yang terhitung mazhab terbesar dari yang terkenal serta paling meluas fiqihnya. Malik menjadi terkenal khususnya dengan kitab Muawatha’ yang ia tulis sendiri dan menurut Ahlussunnah dinyatakan bahwa ia itu adalah merupakan kitab yang paling shahih setelah kitab Allah SWT dan ada sebagian ulama yang mengutamakannya dan menggunggulkannya di atas shahih Bukhari.
Kemasyhuran Malik itu sampai melampaui batas sehingga dikatakan, ‘Apakah boleh difatwakan sedangkan Malik masih ada di Madinah?” dan mereka menjulukinya dengan Imam Darul Hijrah. Dan kita tidak lewatkan untuk menyebutkan bahwa Malik telah berfatwah haramnya baiat secara paksa, lalu ia dipukul oleh Ja’far bin Sulaimaaan yang menjabat wali kota Madina dengan 70 kali pukulan. Inilah yang dijadikan hujah oleh pengikut Malik bahwa Malik memusuhi penguasa padahal itu adalah tidak benar, sebab orang yang meriwayatkan ketetapan tersebut adalah orang yang meriwayatkan hal berikut ini, kepada Anda saya utarakan penjelasan secara terperinci.
Ibnu Qutaibah telah berkata, “Mereka telah meriwayatkan bahwa tatkala telah sampai pada Abu Ja’far Manshur berita pemukulan terhadap Malik bin Anas dan apa yang dilakukan oleh Ja’far bin Sulaiman, ia murka dengan sangat dan menentangnya serta tidak rela, lalu ia menyingkirkan Ja’far bin Sulaiman dari Maddinah dan memerintahkan untuk dibawa ke Baqdad untuk dihardik. Kemudian ia meminta kepada Malik untuk menghadapkan kepadanya di Baghdad, tapi Malik tidak mau dan ia mengirim surat kepada Abu Ja’far agar memberikan maaf padanya tentang perkara itu dan ia mengutarakan beberapa alasan kepadanya. Maka Abu Ja’far pun mengirim surat kepadanya yang isinya, “Berilah aku kesempatan di waktu haji tahun depan insya Allah, karena aku akan menunaikan haji.”(Tarikh al-Khulafa’ oleh Ibnu qutaibah, II, hal. 149).
Jika Amirul Mukminin Abu Ja’far al-Manshur-khalifah Abasiyah itu telah mengasingkan anak pamannya Ja’far bin Sulaiman bin al-Abas dari perwalian Madinah karena memukul Malik, maka hal ini menumbuhkan suatu keraguan dan penelitian.
Sebab pemukulan Ja’far bin Sulaiman terhadap Malik itu tidak lain hanyalah untuk menguatkan kekhalifahan anak pamannya dan mengukuhkan kekuasaan dan pemerintahannya, maka seharusnya bagi Abu Ja’far al-Manshur menghargai walinya itu dan memuliakannya bukan mengasingkan dan merendahkannya untuk menghadapkannya dengan cara yang hina yakni mengikatnya dengan belenggu, kemudian khalifah sendiri mengirim surat untuk menyampaikan alasan pada Malik agar mau merelakan! Sungguh ini sangat aneh!
Dari itu dapat difahami bahwa wali Madinah itu yakni Ja’far bin Sulaiman telah melakukan perbuatan orang-orang yang bodoh yang tidak mengetahui politik dan kelicikan sedikit pun. Dan ia tidak mengetahui bahwa Malik itu adalah tiangnya khalifah dan orang yang ditanamkan di Haramain (Mekah dan Madinah). Kalau tidak demikian mana mungkin ia akan mengasingkan anak pamannya dari perwalian karena telah memukul Malik yang sepantasnya mendapat hukuman itu lantaran fatwanya tentang pengharaman baiat secara paksaan.
Inilah yang terjadi disekitar kita sekarang ini sewaktu sebagian wali-wali negeri menjatuhkan martabat seseorang dan memenjarakannya demi mengkokohkan pemerintahan dan keamanannya.
Hal itu berlaku terhadap seseorang yang membuka pintu kejatuhannya betapapun itu dari kerabat tuan menteri atau dari kenalan istri seorang pemimpin. Maka bila terhadap seorang wali, ia dibebaskan dari jabatannya dan dipanggil untuk suatu kepentingan lain yang sering kali tidak diketahui oleh wali itu sendiri.
Imaginasi tentang firqah najiyah yang dulu disematkan pada kelompok Ahlussunnah Waljama’ah ini terus berkembang. Ahlussunnah belakangan berhadapan dengan Syi’ah.
Label Aswaja kini menjadi identitas yang diperebutkan (contested identity).Buku yang ditulis Muhammad At-Tijani As-Samawi, doktor filsafat Universitas Sorbone, yang berjudul Asy-Syi’ah Hum Ahlu as-Sunnah [1993] menjadi contoh dari perebutan ini. Buku itu hendak menegaskan bahwa Syi’ah adalah Ahlussunnah, bahkan dinilai lebih Ahlussunnah ketimbang kelompok yang selama ini mendakwa dirinya Ahlussunnah.
Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya aku telah meninggalkan buat kalian dua hal yang berharga; Kitab Allah dan Itrah; Ahlul Baitku. Selama berpegang pada keduanya kalian tidak akan tersesat selama-lamanya. Dan keduanya juga tidak akan berpisah hingga menjumpaiku di telaga Kautsar kelak di Hari Kiamat.” (H.R. Sahih Muslim : jilid 7, hal 122. Sunan Ad-Darimi, jilid 2, hal 432. Musnad Ahad, jilid 3, hal 14, 17, 26 dan jilid 4, hal 371 serta jilid 5, hal 182 dan 189. Mustadrak Al-Hakim, jilid 3, hal 109, 147 dan 533.
Imam Mazhab 4 Ahlus Sunnah Telah Menyimpang Dari Kitabullah dan Sunnah Nabi Saw
Yang menunjukkan kita bahwa para Imam Mazhab yang empat dari Ahlussunnah mereka juga telah menyimpang dari Kitabullah dan sunah Nabi saww yang mewajibkan atas mereka untuk mengikuti keuarga Nabi saww yang suci ialah kita tidak mendapati satu orang dari mereka yang memuliakan dan menumpang pada perahu Ahlulbait dan mengenal imam zamannya. Inilah Abu Hanifah yang pernah belajar pada Imam Shadiq yang telah termasyhur dengan ucapannya, “Seandainya tidak karena dua tahun (yakni belajar pada Imam Shadiq) niscaya binasalah Nu’man (Abu Hanifah).”.
Kita dapati dia telah menciptakan satu mazhab yang berdiri atas qias dan beramal dengan dasar pendapat yang berlawanan dengan nas-nas yang jelas.
Dan inilah Malik yang pernah belajar dari Imam Shadiq, dan ucapannya telah diriwayatkan yakni, “Tidak ada mata yang dapat melihat dan tidak ada telinga yang dapat mendengar serta pikiran yang melintas akan adanya orang yang lebih pandai dan lebih berilmu selain dari Ja’far ash-Shadiq.”.
Kita dapati ia telah menciptakan satu mazhab dalam Islam dan ia meninggalkan Imam zamannya yang ia sendiri telah menyatakan bahwa dia lebih berilmu dan lebih pandai dimasanya. Dan ia telah tergoda oleh para penguasa zhalim Abasiyah dan mereka menamakan dirinya sebagai Imam Darul Hijrah (Imam Madinah). Maka selain itu Malik menjadi orang yang memiliki kebesaran dan kekuasaan serta pengaruh dan penghormatan.
Dan juga inilah Syafi’i mengaku ngaku bahwa dia mengikuti Ahlulbait, maka ia telah mengatakan tentang hak mereka dalam bait-bait syairnya yang termasyhur :
Hai Ahlulbait Rasulullah, mencintai kalian adalah fardu dari Allah, tersebut dalam Al-Qur’an yang telah diturunkan.
Cukuplah merupakan keagungan karunia bagi kalian, bahwa orang yang tidak berselawat atas kalian, tidaklah akan diterima shalatnya.
Sebagaimana pujiannya terhadap Ahlulbait as yang termasuk dalam bait berikut ini :
Tatkala aku melihat manusia binasa dengan mazhabnya dalam lautan kedurakaan dan kejahilan, maka atas nama Allah, aku menumpang bahtera keselamatan, yakni Ahlulbait al-Musthafa, Pengulu para Rasul. Dan aku pegang erat tali Allah, yaitu mencintai mereka, sebagaimana telah diperintahkan berpegang pada tali itu.
Dan ucapannya yang termasyhur yakni. “Jika Rafidhi itu adalah mencintai keluarga Nabi Muhammad saww, maka saksikanlah wahai jin dan manusia bahwa aku ini adalah Rafidhi.
Jika jin dan manusia menyaksikan bahwa dia Rafidhi, mengapa dia tidak menolak mazhab-mazhab yang berdiri menentang Ahlulbait, bahkan dia sendiri telah mengadakan mazhab lain yang menyangkut namanya dan dia meninggalkan para imam Ahlulbait yang sezamannya…?
Dan inilah Ahmad bin Hanbal yang telah memasukkan ‘Ali ke dalam empat Khalifah dan yang telah menggolongkan dalam kelompok Rasyidin setelah dulunya diingkari dan yang telah menulis tentangnya kitab Fadhail dan yang telah termasyhur ucapannya, “Tidak seorang dari para sahabat yang memiliki keutamaan dengan sanad yang shahih seperti Imam ‘Ali as.”
Tapi dia sendiri telah menciptakan satu mazhab di dalam Islam yang namanya mazhab Hambali, tetapa pun para ulama dimasanya menyatakan bahwa dia bukan orang yang faqih. Syekh Abu Zuhrah telah menyatakan, “Sesungguhnya kebanyakan orang-orang yang terkemuka tidaklah menganggap Ahmad bin Hanbal termasuk golongan fuqaha, seperti Ibnu Qutaibah padahal dia adalah orang yang sangat terdekat zamannya dan juga Ibnu Jari at-Thabari dan yang lainnya(Kitab Ahmad bin Hambal).
Kemudian datanglah Ibnu Taimiyah, dan ia mengangkat bendera mazhab Hambali dan ia memasukkan di dalamnya beberapa pandangan baru yang mengharamkan ziarah kubur dan mendirikan bangunan di atasnya, dan bertawassul dengan Nabi saww dan Ahlulbaitnya, menurutnya semuanya itu adalah syirik. Demikian itulah keempat mazhab beserta para Imam mereka dan ucapan-ucapan yang disandarkan pada mereka tentang hak keluarga suci dari Ahlulbait Nabi saww.
Adapun tentang apakah mereka telah mengatakan perkara yang mereka tidak laksanakan, dan itu adalah merupakan kemurkaan yang besar di sisi Allah, atau mereka sebenarnya tidak mengadakan mazhab-mazhab tersebut tapi para pengikutnya yang dari para pengekor Umawiyah dan Abasiyah adalah yang telah membina mazhab-mazhab itu dengan bantuan para penguasa zalim, kemudian mereka menyandarkannya kepada dirinya setelah wafat mereka. Inilah yang insya Allah akan kita ketahui dalam pembahasan mendatang.
Apakah kalian tidak heran terhadap mereka para imam itu yang hidup sezaman dengan para Imam al-Huda dari Ahlulbait, kemudian mereka menyimpang dari jalannya yang lurus dan tidak mengambil pelita dari cahayanya serta tidak mengemukakan hadis yang berasal dari datuknya Rasulullah saww, bahkan mereka mengutamakan Ka’ab seorang pendeta Yahudi dan Abu Hurairah ad-Dausi yang pribadinya telah dikatakan oleh Amirul Mukminin Imam ‘Ali as, dengan pernyataannya, “Sesungguhnya orang yang paling dusta pada Rasulullah adalah Abu Hurairah ad-Dausi.” Sebagaimana hal itu telah dikatakan pula oleh ‘Aisyah binti Abu Bakar.
Dan mereka lebih mengutamakan Abdullah bin Umar orang Nashibi yang terkenal kebenciannya ia membaiat pemimpin kesesatan al-Hajjaj bin Yusuf. Dan mereka mengutamakan Amr bin Ash mentrinya Muawiyah dalam kedurhakaan dan kemunafikan. Apakah Anda tidak heran, bagaimana mereka para imam itu dapat melapangkan diri mereka hak dalam penentuan syariat agama Allah dengan dasar pendapat dan ijtihad mereka sendiri, sehingga mereka merusak sunah Nabi saww dengan apa yang mereka diada-adakan dengan qias dan kebijaksanaan serta penutupan pintu syafa’at dan kemaslahatan yang meluas dan yang lainnya yang merupakan bid’ah mereka yang tidak ada wewenang dari Allah SWT.
Adakah Allah dan Rasul-Nya telah melangkahkan dari penyempurnaan agama dan membolehkan bagi mereka untuk menyempurnakannya dengan ijtihad mereka sehingga mereka boleh menghalalkan dan mengharamkan sebagaimana yang mereka lakukan…?
Apakah Anda tidak heran terhadap sebagian kaum Muslim yang mendakwahkan berpegang pada sunah, bagaimana mereka bertaqlid pada orang-orang yang tidak menganal Nabi saww dan tidak pula dikenalnya…?
Adakah mereka mempunyai dalil dari Kitabullah atau sunah Rasul-Nya untuk mengikuti dan bertaqlid pada ke empat Imam pemilik mazhab-mazhab itu? Saya berani menentang pada bangsa manusia dan jin untuk mendatangkan satu dalil/bukti atas hal itu dari Kitabullah atau sunah Rasul-Nya.
Demi Allah SWT, sekali-kali mereka tidak akan bisa menunjukkannya walaupun sebagian mereka saling bantu -membantu. Demi Allah, tidak ada satu dalil pun dalam Kitabullah dan sunah Rasul-Nya selain hanyalah untuk mengikuti dan bertaqlid pada para imam suci dari keluarga Nabi saww. Adapun tentang Ahlulbait banyak dalil dan hujjah yang terang serta kebenaran yang nyata.
Maka perhatikanlah wahai orang yang memiliki pandangan. (Qs. al-Hasr:2) Sesungguhnya ia tidak buta pengelihatan tetapi buta hati yang ada dalam dada. (QS. al-Haj:46).
Ahlussunnah wal Jama’ah telah memusatkan segala perhatiannya pada ke-empat Imam pemilik mazhab-mazhab yang terkenal, yakni Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal. Para Imam yang Empat itu adalah bukan dari kalangan sahabat Rasul saww dan bukan pula dari kalangan tabi’in. Maka mereka itu tidak dikenal oleh Rasulullah dan mereka pun tidak mengenal beliau serta tidak melihat mereka dan mereka pun tidak meliaht beliau. Orang yang tertua (terdahulu) di antara mereka ialah Abu Hanifah, jarak masa antara dia dengan Nabi saww adalah lebih dari seratus tahun, sebab kelahirannya pada tahun 80 H dan wafatnya tahun 150 H. Adapun orang yang termuda (terakhir) ialah Ahmad bin Hanbal, dia dilahirkan tahun 165 H, dan wafat tahun 241 H. Ini adalah dalam bidang Furu’uddin (cabang agama).
Adapun dalam bidang ushuluddin (pokok agama), maka Ahlussunnah wal Jama’ah itu merujuk (bersandarkan) kepada Imam Abu al-Hasan ‘Aali bin Isma’il al-Asy’ari yang dilahirkan tahun 270 H dan wafat tahun 335 H. Mereka itu semua adalah para Imam Ahlussunnah wal Jama’ah yang dijadikan rujukan mereka dalam bidang ushuluddin dan furu’uddin.
Adalah Anda lihat di antara mereka salah seorang dari kalangan para imam Ahlulbait, atau dari kalangan sahabat Rasul saww, atau salah seorang yang telah disebut-sebut oleh Rasul saww, dan beliau arahkan umat kepadanya? Tidak, sama sekali tidak ada. Dan jika Ahlussunnah wal Jama’ah telah menyeru untuk berperang pada sunah Nabi saww, mengapa mazhab-mazhab tersebut terlambat munculnya sampai zaman itu ? Di manakah Ahlussannah wal Jama’ah sebelum munculnya mazhab tersebut? Dengan mazhab apa mereka beribadah dan kepada siapa mereka bersandar…?
Kemudian bagimana mereka itu bersandar kepada orang-orang yang tidak mengalami hidup Nabi saww, dan tidak pula menenalnya dan mereka baru dilahirkan setelah terjadi fitnah dan setelah pertikaian di kalangan sahabat dan sebagian membunuh sebagiannya dan sebagian mengkafirkan yang lainnya, serta setelah berpalingnya para khulafa dari Al-Qur’an dan sunah dan mereka berijtihad dengan pendapat mereka dalam menentang keduanya.
Dan setelah Yazid bin Muawiyah menguasai kekhalifahan lalu ia membebaskan bala tentaranya di Madinah al-Munawarah untuk berbuat semau hatinya, sehingga tentaranya itu melakukan kerusakan di dalamnya dan membunuh para sahabat yang terbaik yang tidak mau membaiatnya dan kehormatan wanita dirusakkan serta pemerkosaan merajalela.
Bagaimana seorang yang berakal mau condong kepada para Imam itu dari kelompok orang-orang yang dilumpuri kekotoran fitnah dan minum air susunya yang tercampur dengan bermacam-macam kejahatan sehingga tumbuh dan berkembang dalam pembentukannya yang penuh kelicukan dan kedustaan serta telah diikuti oleh sebaik-baik pengetahuan yang penuh kepalsuan, maka sebagian mereka tidak dapat muncul kecuali orang-orang yang diridhai oleh penguasa dan mereka meridhainya.
Bagaimana orang yang mendakwahkan berpegang pada sunah bisa meninggalkan Imam ‘Ali as, dan Imam Hasan as, dan Imam Husein as, yang merupakan kedua pemuda ahlisurga serta meninggalkan para imam yang suci dari putra keturunan Nabi saww yang mewarisi seluruh ilmu datuk mereka yaitu Rasulullah saww, lalu mengikuti para imam yang mereka tidak memiliki ilmu tentang sunah Nabi saww bahkan mereka adalah merupakan hasil pembentukan politik Muawiyah.
Adakah seorang Muslim masih meragukan, berdasarkan sejarah Islam dan Al-Qur’an serta sunah, bahwa Ahlulssunnah wal Jama’ah itu adalah para pengikut Muawiyah dan Abasiyin?
Adakah seorang Muslim masih meragukan, berdasaekan Al-Qur’an dan sunah serta sejarah Islam, bahwa Syi’ah yang mengikuti putra keturunan Nabi saww dan berpimpinan pada mereka, adalah merupakan pengikut sunah Nabi saww dan tidak ada seorang pun selain mereka yang layak mendakwahkan?
Wahai pembaca yang mulia, bukankah Anda telah melihat bagaimana politik telah membalikkan perkara dan menjadikan yang batil dianggap benar dan yang benar dianggap batil! Maka bila orang-orang akan kepimpinan pada Nabi saww dan keturunannya mereka disebut dengan Rawafidh (pembangkang) dan ahli bid’ah. Dan ahli bid’ah yang membuang sunah Nabi saww dan keluarganya dan mereka mengikuti ijtihad para penguasa yang durhaka, mereka disebut dengan Ahlussunnah wal Jama’ah, sungguh ini adalah aneh…! Adapun saya pribadi meyakini dengan kuat bahwa suku Quraisy adalah di belakang pemberian nama tersebut dan itu merupakan salah satu dari rahasianya dan merupakan tipu-dayanya.
Sebagaimana kita telah ketahui di muka bahwa orang Quraisy itulah yang telah melarang Abdullah bin Amr dari penulisan sunah Nabi saww dengan anggapan bahwa Nabi saww itu tidak maksum. Maka Quraisy itulah sebenarnya yang merupakan orang-orang yang mengarahkan kedurhakaan dan ke-ashabiyah-an serta kekuatan yang dituju/dimaksud di tengah-tengah suku-suku Arab, dan mereka dinamakan oleh sebagian sejarahwan dengan para pakar Arab.
Karena mereka terkenal dengan kelicikan dan keuletan serta penguasaan dalam pengaturan urusan, dan sebagian sejarawan menyebut mereka dengan Ahl al-Halli wa al-Aqdi. Sebagian mereka ialah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Abu Sofyan, Muawiyah, Amr bin Ash, Mughirah bin Syu’bah, Marwan bin Hakam, Thalhah bin Ubaidillah, Abudurrahman bin Auf dan Abu Ubaidah Amir bin Jarrah, serta lainnya.
Dan mereka itu sering berkumpul untuk bermusyawarah dan menentukan suatu perkara yang mereka sepakati lalu mereka memutuskan perkara mereka itu dan menyebarkannya di kalangan umat agar nantinya menjadi keputusan yang nyata dan benar-benar diikuti tanpa diketahui oleh seluruh manusia rahasianya yang tersembunyi. Sebagian dari kelicikan yang telah mereka lakukan ialah ucapan mereka bahwa Muhammad saww itu tidak maksum dan beliau seperti kebanyakan manusia yang memungkinkan berbuat salah, sehingga mereka berani meremehkan dan menentangnya dalam kebenaran padahal mereka mengetahui.
Sebagian celaan mereka terhadap ‘Ali bin Abi Thalib dan kutukan mereka terhadapnya dengan sebutan Abu Turab dan penggambaran dirinya di hadapan manusia bahwa ia sebagai musuh Allah dan Rasul-Nya. Dan sebagian celaan dan kutukan mereka terhadap sahabat yang mulia Ammar bin Yasir dengan nama hinaan, mereka menyebutnya dengan Abdullah bin Saba’ atau dengan sebutan anak si hitam, hal itu dikarenakan ia menentang para khalifah dan menyeru manusia untuk berimamkan ‘Ali bin Abi Thalib.
Termasuk juga penambahan Syi’ah yang berkepimpinan Imam ‘Aali as, dengan nama Rawafidh (pembangkang), agar dapat mengesankan pada orang-orang bahwa mereka telah membangkang terhadap Nabi Muhammad saww dengan mengikuti Imam ‘Ali as. Dan juga penamaan diri mereka sendiri dengan Ahlussunnah wal Jama’ah, sehingga dapat mengesankan pada orang-orang mukmin yang tulus ikhlas bahwa mereka itu berpegang pada sunah Nabi saww sebagai penentang para pembangkang yang membangkang terhadapnya.
Padahal sebenarnya mereka memaksudkan dengan sunah itu ialah bid’ah yang sesat, yang mereka ciptakan demi mencela dan mengutuk Amirul Mukminin dan Ahlulbait Nabi saww di atas mimbar-mimbar di setiap mesjid kaum Muslimin dan di seluruh negeri dan kota-kota serta kampung, dan berlangsung bid’ah tersebut selama 80 tahun, sehingga apabila khatib mereka turun untuk shalat sebelum mengutuk Imam ‘Ali bin Abi Thalib maka yang ada di dalam mesjid berteriak, “Engkau telah meninggalkan sunah.”.
Dan ketika khalifah Umar bin Abdul Aziz hendak merubah sunah itu dengan firman Allah swt, “Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan berbuat baik serta memberi kaum kerabat…,” (QS. an-Nahl:90) maka mereka menentang dan membunuhnya karena ia telah mematikan sunah mereka dan dengan itu ia telah memotong ucapan-ucapan para pendahulunya yang telah menghantarkan dirinya para kekhalifahan, maka mereka pun berusaha membunuhnya dengan racun, kala itu ia baru berusia 28 tahun dan kekhalifahannya tidak lebih dari dua tahun, maka dia meninggal sebagai korban dalam usaha pelurusan , karena keturunan paman-pamannya yakni Umawiyin tidak menerima-sunah mereka dimatikan (dihapuskan) yang dengan itu akan terangkat kedudukan Abu turab dan para Imam dari anak keturunannya.
Setelah jatuhnya kekuasaan Muawiyah, datanglah Abasiyin, maka mereka pada gilirannya telah mendapat pengalaman dalam bertindak terhadap para Imam Ahlulbait as, dan Syi’ah, sehingga ketika datang periode Khalifah Ja’far bin Manshur yang berjulukan al-Mutawakkil, ia adalah orang yang paling memusuhi Imam ‘Ali as, dan anak-anaknya, kebencian dan kedengkiannya itu sampai memuncak sehingga berani membongkar kuburan Imam Hasan as dan Imam Husein as di karbala dan melarang manusia dari menziarahinya dan ia tidak mau memberi suatu pemberian dan tidak pula mau membelanjakan harta kecuali kepada orang yang mau mencela Imam ‘Ali as dan anak-anaknya.
Kisah al-Mutawakkil beserta Ibnu sikkit seorang alim nahwu yang terkenal itu adalah telah diketahui, dan ia telah membunuhnya dengan cara yang sangat keji. Ia telah memerintah memotong lidahnya dari mulutnya ketika diketahui bahwa dia menjadi Syi’ah Imam ‘Ali as dan Ahlulbaitnya yang mana ketika itu dia menjadi guru bagi anak-anaknya. Kedengkian al-Mutawakkil dan permusuhannya telah memuncak sampai memerintahkan pembunuhan terhadap setiap anak yang diberi nama oleh bapaknya dengan nama ‘Ali, karena nama tersebut adalah yang sangat dibencinya.
Sehingga ‘Ali bin Jahm seorang penyair tatkala berhadapan dengan al-Mutawakkil, dia berkata, “Hai Amirul Mukminin, sesungguhnya keluargaku telah menghinaku,” al-Mutawakkil berkata, Mengapa?” Dia menjawab, “Karena mereka menamakanku ‘Ali, sedangkan aku tidak menyukai nama itu dan aku tidak menyukai orang yang bernama dengannya.” Maka al-Mutawakkil terawa dan memberikan hadiah baginya.
Dalam majelisnya ia memunculkan seorang lelaki yang menyerupai ‘Ali bin Abi Thalib, lalu dia ditertawakan oleh orang-orang sambil berucap mengejek, ‘Si botak yang gendut telah hadir,” maka ahli majelis itu semuanya mengejeknya dan dengan itu al-Mutawakkil merasa gembira.
Di sini jangan sampai terlewatkan dari perhatian kita, bahwa al-Mutawakkil ini dan yang menunjukkan kebenciannya terhadap ‘Ali karena kemunafikkan dan kefasikannya adalah yang disukai oleh ahli hadis dan mereka telah menjulukinya dengan penghidup sunah. Dikarenakan ahli hadis itu sendiri adalah Ahlussunnah wal Jama’ah, maka telah ditetapkan dengan dalil yang tak diragukan bahwa sunah yang dimaksudkan menurut mereka ialah membenci Imam ‘Ali bin Abi Thalib dan mengutuknya serta berlepas diri darinya, itulah puncak tujuannya.
Sebagian yang dapat menambah kejelasan bagi kita dalam perkara tersebut ialah bahwa al-Khawarizmi menyatakan dalam kitabnya, “Sesungguhnya Harun bin al-Khaizarah dan Ja’far al-Mutawakkil adalah dalam genggaman setan bukan pada Tuhan Yang Rahman, keduanya tidak mau memberi suatu pemberian tidak mau mengeluarkan hadiah kecuali bagi orang yang mencela keluarga Abu Thalib dan membela mazhab Nawashib (penentang Ahlulbait).”.
Sebagaimana telah disebutkan oleh Ibnu Hajar dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, ia berkata,’Lantaran Nashr bin ‘Ali bin Shahban telah meriwayatkan hadis bahwa Rasulullah saww memegang tangan Hasan dan Husein dan beliau bersabda, ‘Siapa mencintai aku dan mencintai kedua anak ini beserta bapak dan ibunya niscaya ia berada dalam kekududkanku pada hari kiamat,’ lalu al-Mutawakkil memerintah untuk memukulnya dengan cambuk 1000 kali sehingga ia hampir binasa, lalu Ja’far bin Abdul Wahid mengatakan tentang dirinya dan ia berkata, ‘Hai Amirul Mukminin, orang ini adalah dari golongan Ahlussunnah, ia pun tetap menyiksanya sampai ia meninggalkannya.”[Kitab Ahmad bin Hambal].
Orang berakal akan dapat memahami dari ucapan Ja’far bin Abdul Wahid kepada al-Mutawakkil bahwa Nashr itu adalah dari golongan Ahlussunnah, hal itu untuk menyelamatkannya dari pembunuhan, ini merupakan bukti yang lain bahwa Ahlussunnah itu adalah musuh Ahlulbait yang dibenci oleh al-Mutawakkil dan dia berusaha untuk membunuh setiap orang yang menyebutkan keutamaan mereka betapa pun ia tidak mengikuti mereka.
Inilah Ibnu Hajar telah menyebutkan dalam kitabnya bahwa Abdullah bin Idris al-Azdi, seorang Ahlussunnah wal Jama’ah dan ia bersikap keras di dalam sunah secara-rela sedangkan ia adalah orang Utsmani. Dan juga Ibnu Hajar telah mengatakan tentang Abdullah bin Aun al-Bashari, “Sesungguhnya ia adalah orang yang terpercaya, ahli ibadah dan keras dalam sunah dan bersikap keras terhadap ahli bid’ah,” Ibnu Mas’ud telah mengatakan, “Ia adalah seorang Utsmani.” Ia telah menyebutkan pula bahwa Ibrahim bin Ya’kub al-Jauzjani adalah seorang pengikut mazhab Hariz bin Utsman ad-Damsiqi yang dikenal dengan penentang Ahlulbait, Ibu Hayyan menyatakan bahwa ia adalah orang keras dalam sunah.
Dengan ini tahulah kita bahwa penentang dan kebencian terhadap Imam ‘Ali as dan anak-anaknya, serta pencelaan keluarga Abu Thalib dan kutukkan terhadap Ahlulbait menurut mereka dianggap kekerasan/keteguhan dalam sunnah, dan kita telah mengetahui bahwa orang-orang Utsmani adalah golongan penentang dan musuh Ahlulbait dan mereka orang-orang yang bersikap keras terhadap orang yang berpimpinan pada Imam ‘Ali as, dan keturunannya.
Dan mereka memaksudkan dengan Ahlu bid’ah itu adalah golongan Syi’ah yang menyatakan keimamahan Imam ‘Ali as, karena menurut mereka itu adalah merupakan suatu bid’ah, yang mana hal itu bertentangan dengan yang dianut oleh para sahabat, dan Khulafa’ ar-Rasyiddin serta para pendahulu orang shaleh yang mereka itu telah mengucilkannya dan tidak mengakui keimamahannya serta ke-washiat-annya.
Saksi sejarah bagi kekuatan dalil tersebut adalah banyak sekali, tetapi apa yang telah kami sebutkan, cukuplah bagi yang menginginkan pembahasan dan penelitian, dan kami telah bertekad untuk meringkas sebagaimana biasanya, dan bagi para pembahas hendaklah dapat mencapai lebih banyak dari itu jika mau. Firman Aallah SWT, “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh pada kami, niscaya Kami bimbing mereka itu pada jalan-jalan Kami, dan sesungguhnya Allah itu bersama orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. al-Ankabut:69).
Menunjukkan kita bahwa para Imam Mazhab yang empat dari Ahlussunnah mereka juga telah menyimpang dari Kitabullah dan sunah Nabi saww yang mewajibkan atas mereka untuk mengikuti keuarga Nabi saww yang suci ialah kita tidak mendapati satu orang dari mereka yang memuliakan dan menumpang pada perahu Ahlulbait dan mengenal imam zamannya.
Inilah Abu Hanifah yang pernah belajar pada Imam Shadiq yang telah termasyhur dengan ucapannya, “Seandainya tidak karena dua tahun (yakni belajar pada Imam Shadiq) niscaya binasalah Nu’man (Abu Hanifah).” Kita dapati dia telah menciptakan satu mazhab yang berdiri atas qias dan beramal dengan dasar pendapat yang berlawanan dengan nas-nas yang jelas.
Dan inilah Malik yang pernah belajar dari Imam Shadiq, dan ucapannya telah diriwayatkan yakni, “Tidak ada mata yang dapat melihat dan tidak ada telinga yang dapat mendengar serta pikiran yang melintas akan adanya orang yang lebih pandai dan lebih berilmu selain dari Ja’far ash-Shadiq.”.
Kita dapati ia telah menciptakan satu mazhab dalam Islam dan ia meninggalkan Imam zamannya yang ia sendiri telah menyatakan bahwa dia lebih berilmu dan lebih pandai dimasanya. Dan ia telah tergoda oleh para penguasa zhalim Abasiyah dan mereka menamakan dirinya sebagai Imam Darul Hijrah (Imam Madinah). Maka selain itu Malik menjadi orang yang memiliki kebesaran dan kekuasaan serta pengaruh dan penghormatan.
Dan juga inilah Syafi’i yang disangkakan bahwa dia mengikuti Ahlulbait, maka ia telah mengatakan tentang hak mereka dalam bait-bait syairnya yang termasyhur :
Hai Ahlulbait Rasulullah, mencintai kalian adalah fardu dari Allah, tersebut dalam Al-Qur’an yang telah diturunkan.
Cukuplah merupakan keagungan karunia bagi kalian, bahwa orang yang tidak berselawat atas kalian, tidaklah akan diterima shalatnya.
Sebagaimana pujiannya terhadap Ahlulbait as yang termasuk dalam bait berikut ini :
Tatkala aku melihat manusia binasa dengan mazhabnya dalam lautan kedurakaan dan kejahilan, maka atas nama Allah, aku menumpang bahtera keselamatan, yakni Ahlulbait al-Musthafa, Pengulu para Rasul. Dan aku pegang erat tali Allah, yaitu mencintai mereka, sebagaimana telah diperintahkan berpegang pada tali itu.
Dan ucapannya yang termasyhur yakni. “Jika Rafidhi itu adalah mencintai keluarga Nabi Muhammad saww, maka saksikanlah wahai jin dan manusia bahwa aku ini adalah Rafidhi.
Jika jin dan manusia menyaksikan bahwa dia Rafidhi, mengapa dia tidak menolak mazhab-mazhab yang berdiri menentang Ahlulbait, bahkan dia sendiri telah mengadakan mazhab lain yang menyangkut namanya dan dia meninggalkan para imam Ahlulbait yang sezamannya…?
Dan inilah Ahmad bin Hanbal yang telah memasukkan ‘Ali ke dalam empat Khalifah dan yang telah menggolongkan dalam kelompok Rasyidin setelah dulunya diingkari dan yang telah menulis tentangnya kitab Fadhail dan yang telah termasyhur ucapannya, “Tidak seorang dari para sahabat yang memiliki keutamaan dengan sanad yang shahih seperti Imam ‘Ali as.” Tapi dia sendiri telah menciptakan satu mazhab di dalam Islam yang namanya mazhab Hambali, tetapa pun para ulama dimasanya menyatakan bahwa dia bukan orang yang faqih.
Syekh Abu Zuhrah telah menyatakan, “Sesungguhnya kebanyakan orang-orang yang terkemuka tidaklah menganggap Ahmad bin Hanbal termasuk golongan fuqaha, seperti Ibnu Qutaibah padahal dia adalah orang yang sangat terdekat zamannya dan juga Ibnu Jari at-Thabari dan yang lainnya.”[1]
Kemudian datanglah Ibnu Taimiyah, dan ia mengangkat bendera mazhab Hambali dan ia memasukkan di dalamnya beberapa pandangan baru yang mengharamkan ziarah kubur dan mendirikan bangunan di atasnya, dan bertawassul dengan Nabi saww dan Ahlulbaitnya, menurutnya semuanya itu adalah syirik. Demikian itulah keempat mazhab beserta para Imam mereka dan ucapan-ucapan yang disandarkan pada mereka tentang hak keluarga suci dari Ahlulbait Nabi saww.
Adapun tentang apakah mereka telah mengatakan perkara yang mereka tidak laksanakan, dan itu adalah merupakan kemurkaan yang besar di sisi Allah, atau mereka sebenarnya tidak mengadakan mazhab-mazhab tersebut tapi para pengikutnya yang dari para pengekor Umawiyah dan Abasiyah adalah yang telah membina mazhab-mazhab itu dengan bantuan para penguasa zalim, kemudian mereka menyandarkannya kepada dirinya setelah wafat mereka. Inilah yang insya Allah akan kita ketahui dalam pembahasan mendatang.
Aapakah kalian tidak heran terhadap mereka para imam itu yang hidup sezaman dengan para Imam al-Huda dari Ahlulbait, kemudian mereka menyimpang dari jalannya yang lurus dan tidak mengambil pelita dari cahayanya serta tidak mengemukakan hadis yang berasal dari datuknya Rasulullah saww, bahkan mereka mengutamakan Ka’ab seorang pendeta Yahudi dan Abu Hurairah ad-Dausi yang pribadinya telah dikatakan oleh Amirul Mukminin Imam ‘Ali as, dengan pernyataannya, “Sesungguhnya orang yang paling dusta pada Rasulullah adalah Abu Hurairah ad-Dausi.” Sebagaimana hal itu telah dikatakan pula oleh ‘Aisyah binti Abu Bakar.
Dan mereka lebih mengutamakan Abdullah bin Umar orang Nashibi yang terkenal kebenciannya ia membaiat pemimpin kesesatan al-Hajjaj bin Yusuf. Dan mereka mengutamakan Amr bin Ash mentrinya Muawiyah dalam kedurhakaan dan kemunafikan. Apakah Anda tidak heran, bagaimana mereka para imam itu dapat melapangkan diri mereka hak dalam penentuan syariat agama Allah dengan dasar pendapat dan ijtihad mereka sendiri, sehingga mereka merusak sunah Nabi saww dengan apa yang mereka diada-adakan dengan qias dan kebijaksanaan serta penutupan pintu syafa’at dan kemaslahatan yang meluas dan yang lainnya yang merupakan bid’ah mereka yang tidak ada wewenang dari Allah SWT.
Adakah Allah dan Rasul-Nya telah melangkahkan dari penyempurnaan agama dan membolehkan bagi mereka untuk menyempurnakannya dengan ijtihad mereka sehingga mereka boleh menghalalkan dan mengharamkan sebagaimana yang mereka lakukan…?
Apakah Anda tidak heran terhadap sebagian kaum Muslim yang mendakwahkan berpegang pada sunah, bagaimana mereka bertaqlid pada orang-orang yang tidak menganal Nabi saww dan tidak pula dikenalnya…?
Adakah mereka mempunyai dalil dari Kitabullah atau sunah Rasul-Nya untuk mengikuti dan bertaqlid pada ke empat Imam pemilik mazhab-mazhab itu? Saya berani menentang pada bangsa manusia dan jin untuk mendatangkan satu dalil/bukti atas hal itu dari Kitabullah atau sunah Rasul-Nya. Demi Allah SWT, sekali-kali mereka tidak akan bisa menunjukkannya walaupun sebagian mereka saling bantu -membantu. Demi Allah, tidak ada satu dalil pun dalam Kitabullah dan sunah Rasul-Nya selain hanyalah untuk mengikuti dan bertaqlid pada para imam suci dari keluarga Nabi saww. Adapun tentang Ahlulbait banyak dalil dan hujjah yang terang serta kebenaran yang nyata.
Maka perhatikanlah wahai orang yang memiliki pandangan. (Qs. al-Hasr:2) Sesungguhnya ia tidak buta pengelihatan tetapi buta hati yang ada dalam dada. (QS. al-Haj:46).
Pengikut Asy’ari seperti Nahdlatul Ulama tidak menyadari bahwa akidah Asy’ari yang asli mirip dengan salafi wahabi yang sekarang.
Di lain pihak, Salafi Wahabi tidak menyadari bahwa Abu Hasan Al Asy’ari ternyata “masih ahlul kalam”….
Petaka aswaja sunni karena salah pilih imam dibidang akidah…
Lebih aneh lagi ucapan yang terlontar dari Pensyarah kitab Ihya Ulumuddin, Imam Az Zabidi dalam kitabnya Ittihaf Sadatul Mutaqiin.
Apabila disebut kaum Ahlussunah wal jama’ah, maka maksudnya ialah orang–orang yang mengikuti rumusan (faham) Asy’ari dan faham Abu Manshur Al-Maturidi. (Lihat I’tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah, KH. Sirojuddin Abbas, hal. 16–17).
Dalam kitab Al Maqalat Al Islamiyyin disebutkan: Imam Ahmad bin Hambal (Ahlul hadis) dan Abu Hasan Al Asy’ari meyakini bahwa Allah memiliki anggota badan jasmaniah seperti: dua tangan, wajah, dua mata, mereka juga meyakini bahwa Allah bertempat di arsy dan turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang akhir. Dalam kitab itu juga disebutkan bahwa keutamaan sahabat besar adalah Abubakar lalu Umar lalu Usman lalu Ali. Juga disebutkan wajib taat pada pemimpin. Dan dikitab itu disebutkan bahwa orang mu’min boleh berimam shalat pada ahli bid’ah/orang fasik.
Dalam kitab Al Maqalat Al Islamiyyin disebutkan: Imam Ahmad bin Hambal (Ahlul hadis) dan Abu Hasan Al Asy’ari meyakini bahwa Allah memiliki anggota badan jasmaniah seperti: dua tangan, wajah, dua mata, mereka juga meyakini bahwa Allah bertempat di arsy dan turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang akhir. ARTiNYA walaupun mereka menganggap hal tersebut SEBAGAi BERBEDA DENGAN MAKHLUK, tetapi I’tiqad ahlul hadis hasywiyyah dan Abu Hasan Al Asy’ari adalah antropomorfis!!!!!!
Dalam kitab Maqalat Al Islamiyyin, tokoh sunni Abu HAsan Al Asy’ari menulis: “ Keagungan Allah mempunyai batas yang berdekatan dengan bagian tertinggi dari ‘arsy nya”. Abu Hasan menyatakan: “Allah mempunyai dua tangan, dua mata, dua kaki, semua akan binasa kecuali WAJAH nya (Kitab Maqalat Al islamiyyin hal.295).
Pertanyaan :
- Apakah keagungan ZAT Allah cuma sebatas bagian tertinggi dari arsy nya???
- Apakah tangan dan mata Allah akan binasa????
Bagi syi’ah: ini pelecehan...
Pada masa Rasululullah SAW: Kaum mujassimah dari kalangan Yahudi (ahlul kitab) memiliki i’tiqad MEMBADANKAN ALLAH, sehingga mereka terjerat kedalam ekstrimitas…
Namun hal tersebut menyusup kedalam ajaran Islam.
Abu Hurairah yang merupakan MANTAN YAHUDi (kemudian ia masuk Islam) memiliki beberapa orang sahabat karib dari kalangan mantan ahlul kitab yang masuk Islam seperti Ka’ab al Ahbar dan Wahab Munabbih memasukkan akidah israilliyat kedalam hadis sunni…
Penganut mazhab hambali (salafiah) menolak keras asy’ariyyah maturidiyyah karena dua aliran kalam ini dianggap bid’ah….
Pada akhirnya….
Aliran ASY’ARiYYAH MAMPU MENGALAHKAN DUA ALiRAN :
Aliran rasionalis mu’tazilah.
Aliran ahlul hadis hasywiyyah (anti ilmu kalam).
kedua aliran ini terkapar….
karena aliran kalam aswaja sunni dibentuk Abu hAsan al asy’ari dan abu manshur al maturidy…
Jadi asy’ari dan maturidy merupakan perintis awal aliran kalam aswaja sunni.
Pertanyaan: Dimanakah posisi Abu Hasan Al Asy’ari ???
Jawab: Asy’ari adalah tokoh aliran kalam yang mencoba memadukan aliran mu’tazilah dengan aliran ahlul hadis hasywiyyah
Pertanyaan: Wahabi mengklaim Abu HAsan Al Asy’ari mengalami 3 fase kehidupan, jadi asy’ari adalah salafi????
Jawab: Abu Hasan Al Asy’ari mencetuskan teori kasb, yang mana teori ini dikecam keras oleh iBNU TAiMIYYAH karena berbau jabariyah.
Itulah bukti Asy’ari adalah tokoh kalam dan asy’ari bukan salafi murni!!!!!!!!!!!!!!
Sebagaian Doktrin Aswaja Yang Sekarang Adalah Dibuat Pada Masa Dinasti Saljuq di Madrasah Nidzamiyah
Imam Ghazali adalah salah satu produk asli Madrasah Nidzamiyah, yang kemudian mengajar di Madrasah itu selama beberapa tahun. Bahkan beliau pernah menjadi Guru Besar/Syekh[1] di sana dan sampai akhirnya memperoleh gelar Hujjatul Islam. Nidzamiyah pula yang berhasil mengembangkan dan menyebar madzhab Sunni Syafi’iyyah di daerah yang merupakan pusat madzhab Syi’ah. Selain Hujjatul Islam, ada juga al-Juwaini, guru pembimbing yang tinggal serumah dengan al-Ghazali.
Madrasah Nidzamiyyah telah berjasa dalam banyak hal, diantaranya; berhasil memberhentikan meluasnya aliran Mu’tazilah dan aliran syi’ah, mengembangkan Sunni Syafi’iyyah, menyebar teologi Asy’ariyyah, dan juga turut menumbangkan teologi Mu’tazilah dan Syi’ah. Melihat kenyataan diatas, dalam tulisan ini akan dibahas beberapa hal terkait dengan madrasah Nidzamiyyah yang berdiri pada masa dinasti Bani Salajiqah (Bani saljuq: berkuasa pada tahun 429 H/1037M).
Seputar Bani Saljuk
Bani Saljuq merupakan kepanjangan dari kekhalifahan Bani Abbasiyyah di Baghdad, dinasti ini merupakan periode ke 2 setelah Bani Abbasiyyah berhasil menumbangkan Dinasti Buwaihi dan Dinasti Ghaznah. Dinasti saljuk didirikan oleh Tughri Beg, yang bertahan memerintah wilayah kekuasaannya selama sekitar dua abad. Kekhalifahan Abbasiyyah resmi berdiri 447-656 H/1055-1258 M dan menjadi bagian dari kerajaan-kerajaan kecil (Muluk al-Thawa’if) Abbasiyyah yang terakhir, sebab pasca kehancuran dinasti saljuq ini, kekhalifahan Abbasiyyah runtuh total dan berakhirlah masa kejayaan Islam.
Wilayah ini sebelum dikuasai Dinasti Saljuq merupakan wilayah kekuasaan Bani Buwaihi yang menganut aliran Syi’ah. Pusat pemerintahannya berada di kota Naisaphur yang kemudian di pindah ke wilayah Ray di Iran, dan selanjutnya kota Baghdad difungsikan sebagai kota keagamaan dan kerohanian.
Keberhasilan Bani Saljuq dalam mempertahankan kekuasaannya, tak lepas dari para wazir (pembantu sulthan/menteri) yang senantiasa loyal dan patuh terhadap sulthan serta kecintaan mereka terhadap ilmu pengetahuan. Diantara mereka yang telah berjasa dalam membangun dan mempertahankan dinasti Bani saljuq adalah:
1.Abu Muhammad bin Muhammad Fakhrul, Wazir pada masa Sulthanal-Qa’im.
2.Abu Syarwan bin Khalid al-Qasyani, Wazir pada masa Sulthan al-Mustarsyid.
3.Ibnu al-Attar, ia menjadi Wazir pada masa al-Nasir.
4.Abu Nasr Muhammad bin Manshural-Kundari, Wazir pada masa Sulthan Tghrul Beg dan Alb Arsalam.
5. Tajuddin Abu al-Ghanayim, Wazir pada masa Sulthan Sanjar.
6. Ali bin al-Hasan al-Tughra, Wazir pada masa Sulthan Sanjar.
7. Sa’ad bin Ali bin Isa, Wazir pada masa Sulthan Mahmud.
8. al-Ustadz al-Tughra’i, Wazir pada masa Sulthan Mas’ud bin Muhammad di Irak.
9. Nizam al-Mulk, Wazir Pada masa Sulthan Sultan Malik Syah.
Berdirinya Madrasah Nidzamiyyah
Sebagaimana diketahui, bahwa sebelum berdirinya Madrasah sebagai lembaga pendidikan, dalam agama Islam telah dikenal tempat belajar berupa Masjid3 dan Kuttab. Kuttab merupakan tempat belajar yang dikhususkan pada para pelajar Islam yang masih kecil, sebab dalam kuttab ini hanya diajarkan cara membaca dan cara menulis.[4]
Seiring dengan luasnya wilayah kekuasaan Islam, semakin banyak pula anak-anak muda Islam yang ingin belajar yang tentunya membutuhkan tempat memadai untuk menampung mereka. Atas dasar itulah di dirikan sebuah Madrasah.
Istilah madrasah pertama kali lahir di Naisapur berkat ‘sentuhan’ Syekh al-Baihaqi5. Kemudian dinasti Bani Saljuk pada masa Sulthan Malik Syah dengan Wazir Nidzam al-Mulk (465-485 H) membangun sebuah Madrasah dengan nama madrasah Nidzamiyyah, yang diambil dari nama pendirinya, Nidzam al-Mulk. Madrasah ini tidak didirikan disatu kota, melainkan menyebar pada setiap kota yang ada dibawah kekuasaan Dinasti Saljuq. Diantaranya adalah Baghdad, Naisaphur, Balk, Heart, Asfahan, Marwu, Annal dan Mausil (kalau sekarang mungkin: IAIN, MAN, MTsN dan sekolah lain yang berstatus Negeri, yang ada disetiap kota dan kabupaten).
Motif pendirin Madrasah ini menurut Ahmad Syalabi (1995) ialah karena dua hal. Pertama motif Politik. Dengan adanya madrasah ini, dinasti Saljuq bisa mengkontrol semua daerah dengan mudah, karena sistem yang dipakai Nidzamiyyah adalah sentralistik dari pusat kedaerah atau dari atas ke bawah. Motif kedua adalah ideologi/madzhab. Seperti keterangan diatas, bahwa Dinasti Buwaihi yang menganut Syi’ah serta sisa-sisa aliran Mu’tazilah telah ada sebelum Bani saljuq berdiri, pendirian madrasah Nidzamiyyah juga karena motif untuk menyebarkan aliran Sunni Syafi’iyyah.
Murid, Kurikulum dan Guru
Madrasah Nidzamiyyah merupakan lembaga pendidikan yang terstruktur, manajemen dan administrasinya sangat tertata dengan baik. Dengan sistem sentralistik, semua kurikulum, metode pembelajaran, sistem belajar, pengangkata guru dan semua keperluan madrasah diatur oleh Pusat. Hal itu menjadikan tidak sembarangan orang bisa menjadi guru di Madrasah Nidzamiyyah, karena pusat melakukan seleksi yang sangat ketat.
Menurut Toha Hamim (2007) jangankan melamar menjadi guru, melamar untuk menjadi murid-pun harus melalui seleksi yang tidak mudah, sehingga pelajar yang diterima Madrasah Nidzamiyyah adalah mereka yang betul-betul handal. Bahkan disebutkan, bahwa Imam al-Ghazali baru bisa masuk ke Madrasah Nidzamiyyah setelah umur 21 tahun dengan proses seleksi dan tes masuk yang sangat ketat, sehinga saat itu Madrasah Nidzamiyyah betul-betul menjadi madrasah yang favorit dan bonafit.
Para pelajar Madrasah Nidzamiyyah dimanjakan dengan berbagai fasilitas dan kemudahan, terlebih bagi mereka yang berprestasi. Aliran beasiswa sangat besar dari pemerintah siap menjamin kesejahteraannya.
Diantara fasilitas yang disediakan di Nidzamiyyah adalah perpustakaan yang menyediakan buku sebanyak 6000 judul.
Para guru (Syekh)pun mendapat perhatian khusus. Pihak Negara memberikan gaji yang sangat besar pada mereka. Guru pada saat itu dapat diklarifikasikan sebagai berikut;
1.al-Ustadz bil Kursi (Guru Besar yang memiliki gelar Profesor Doktor,guru Senior yang sudah teruji keilmuannya serta sudah mendapat gelar kehormatan). Disamping mendapat dana pensiun, Negara juga menjamin penuh kehidupan keluarga mereka.
2.al-Ustadz (guru dibawah al-Ustadz bil Kursi), mereka juga menerima gaji yang tidak sedikit dari pemerintah.
3.al-Ustadz al-Muntasib (Asisten Dosen/asisten Guru Besar yang senantiasa mendampingi Mahasiswa disaat menghadapi kesulitan dalam belajar), Negara juga memberikan mereka gaji.
4.al-Mudarris (guru, tenaga pengajar yang belum mendapat gelar Doktor), yang juga digaji oleh Negara.
Lalu diantara para ulama yang pernah mengajar di Nidzamiyyah adalah;
1.Imam Abu Ishaq al-Syerozy.
2.Imam al-Ghazali
3.Imam al-Qoswaini
4.Imam al-Juwaini
5.Imam Ibnul jauzi
6.Dan lain-lain.
Itulah para ulama yang menjadi tenaga pengajar di Madrasah Nidzamiyyah, mereka adalah para ilmuan handal yang teruji kemampuannya dalam bidang mereka masing-masing. Karena gaji yang besar inilah, para guru betul-betul perhatian terhadap pendidikan dimana mereka mengajar, sebab pemikirannya tidak terpecah untuk mencari penghasilan lain.
Gaji para Dosen Madrasah Nidzamiyyah sangatlah besar, bahkan Imam Ghazali pada saat beliau masih menjadi Guru Besar, dengan gaji yang beliau terima dapat membeli kuda yang sangat mahal. Bahkan paling mahal dan paling bagus kala itu. Sebab selain mengajar, Imam Ghazali tidak memiliki usaha lain sebagai pemasukan keuangan keluarga.
Pada waktu itu, pihak Negara juga menyediakan dana untuk melakukan penelitian. Hingga pada waktu itu sudah ditemukan mesin pendingin ruangan. (Toha Hamim, 2007) paling tidak ada lima hal yang dapat kita petik dari Madrasah Nidzamiyyah. Pertama, Nidzamiyyah telah berjasa dalam mengembangkan Sunni Syafi’iyyah. Kedua, Nidzamiyyah telah berhasil menumbangkan madzhab Syi’ah di daerah itu (meskipun Syi’ah sekarang masih ada, tapi minimal sudah berkurang). Ketiga, Nidzamiyyah sangat menghargai guru dengan gaji yang sangat besar, sehingga guru tidak perlu lagi berfikir mencari nafkah untuk keluarganya.
Keempat, Madrasah ini betul-betul menyeleksi calon Mahasiswanya dengan sangat ketat, sehingga betul-betul menjadi sekolah favorit sampai saat itu dan wajar jika banyak alumninya menjadi ulama handal. Kelima, Nidzamiyyah sangat mendukung kemajuan ilmu pengetahun, hal ini terbukti pengelola Nidzamiyyah menyediakan beasiswa/biaya bagi dosen yang mau mengadakan penelitian untuk menemukan teori-teori baru.
Nizam Al Mulk Adalah Tokoh Penyebar Mazhab Aswaja Terbesar
Sebuah institusi sangat penting dalam sejarah perkembangan sekte Sunni, yakni Universitas Nizamiyya, lembaga pendidikan yang didirikan oleh Perdana Menteri Nizam al-Mulk yang berkuasa tahun 1063 M/465 H. Inilah universitas yang didirikan oleh perdana menteri dinasti Saljuk yang sangat cinta ilmu itu untuk menyebarkan doktrin Sunni, terutama Ash’ariyyah dan Syafi’i . Di universitas itu, beberapa ulama besar yang sudah kita kenal namanya sempat melewatkan waktu untuk mengajar, seperti Imam Ghazali dan gurunya, Imam al-Juwayni. Karena faktor DUKUNGAN PENGUASA mazhab sunni bisa cepat tersebar
Ini menjadi contoh betapa label selamat dan sesat dengan mudah dialihkan, tergantung ‘selera’ rezim yang berkuasa.
Apa yang dikenal dengan ‘tragedi mihnah’ ini menjadi contoh tak terbantahkan bahwa antara keselamatan dan kesesatan yang semata dipagari dengan apa yang disebut kekuasaan. Ahli Sunnah Wa al-Jama’ah (Aswaja) selama ini difahami sebagai sebagai suatu sekte keagamaan terbesar dalam Islam…Pada masa Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim, dan Al-Wasiq, kelompok yang dianggap sesat adalah ahlul hadis dengan ikon intelektualnya Ahmad ibn Hanbal. Sebaliknya pada masa Al Mutawakkil, kelompok yang dianggap sesat adalah ahlu ar-ra’yi atau lebih populer disebut mu’tazilah.
Aswaja: Sebuah Penelusuran Historis
Aswaja (Ahlussunnah wal Jamaah) adalah satu di antara banyak aliran dan sekte yang bermuculan dalam tubuh Islam. Di antara semua aliran, kiranya aswajalah yang punya banyak pengikut, bahkan paling banyak di antara semua sekte. Hingga dapat dikatakan, Aswaja memegang peran sentral dalam perkembangan pemikiran keislaman.
Aswaja tidak muncul dari ruang hampa. Ada banyak hal yang mempengaruhi proses kelahirannya dari rahim sejarah. Di antaranya yang cukup populer adalah tingginya suhu konstelasi politik yang terjadi pada masa pasca Nabi wafat.
Lantas, melihat parahnya polarisasi yang ada di kalangan umat islam, akhirnya ulama mempopulerkan beberapa hadits yang mendorong umat Islam untuk bersatu. Tercatat ada 3 hadits (dua diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dan satu oleh Imam Tabrani). Dalam hadits ini diceritakan bahwa umat Yahudi akan terpecah ke dalam 71 golongan, Nasrani menjadi 72 golongan, dan Islam dalam 73 golongan. Semua golongan umat islam itu masuk neraka kecuali satu. “Siapa mereka itu, Rasul?” tanya sahabat. “Mâ ana Alaihi wa Ashâby,” jawab Rasul. Bahkan dalam hadist riwayat Thabrani, secara eksplisit dinyatakan bahwa golongan itu adalah Ahlussunnah wal Jamaah.
Ungkapan Nabi itu lantas menjadi aksioma umum. Sejak saat itulah kata aswaja atau Sunni menjadi sedemikian populer di kalangan umat Islam. Bila sudah demikian, bisa dipastikan, tak akan ada penganut Aswaja yang berani mempersoalkan sebutan, serta hadits yang digunakan justifikasi, kendati banyak terdapat kerancuan di dalamnya. Karena jika diperhatikan lebih lanjut, hadits itu bertentangan dengan beberapa ayat tentang kemanusiaan Muhammad, bukan peramal.
Lantas, sekarang mari kita dudukkan aswaja dalam sebuah tempat yang nyaman. Lalu mari kita pandang ia dari berbagai sudut. Dan di antara sekian sudut pandang, satu di antaranya, yakni aswaja sebagai mazhab (doktrin-ideologi), diakui dan dianggap benar oleh publik. Sementara, ada satu pandangan yang kiranya bisa digunakan untuk memandang aswaja secara lebih jernih, yakni memahami aswaja sebagai manhaj. Mari kita diskusikan.
Aswaja Sebagai Mazhab
Aswaja, selama ini sering dipandang hanya sebagai mazhab (aliran, sekte, ideologi, atau sejenisnya). Hal ini menyebabkan aswaja dianut sebagai sebuah doktrin yang diyakini kebenarannya, secara apriori (begitu saja). Kondisi ini menabukan kritik, apalagi mempertanyakan keabsahannya.
Jadi, tatkala menganut aswaja sebagai mazhab, seseorang hanya mengamalkan apa yang menjadi doktrin Aswaja. Doktrin-doktrin ini sedemikian banyak dan menyatu dalam kumpulan kitab yang pernah dikarang para ulama terdahulu.
Itu hanya salah sat di antara sekian pembakuan yang telah terjadi ratusan tahun sebelumnya. Akhirnya, kejumudan (stagnasi) melanda doktrin Aswaja. Dipastikan, tidak banyak pemahaman baru atas teks-teks keagamaan yang muncul dari para penganut Aswaja. Yang terjadi hanyalah daur ulang atas pemahaman ulama-ulama klasik, tanpa menambahkan metodologi baru dalam memahami agama.
Lebih lanjut, adanya klaim keselamatan (salvation claim) yang begitu kuat (karena didukung oleh tiga hadits) membuat orang takut untuk memunculkan hal baru dalam beragama meski itu amat dibutuhkan demi menjawab perkembangan jaman. Akhirnya, lama-kelamaan, aswaja menjadi lapuk termakan usia dan banyak ditinggal jaman.
Benarkah aswaja bakal ditinggalkan oleh jaman?. Nyatanya, hingga kini, Aswaja justru dianut oleh mayoritas umat Islam di dunia. Mengapa hal ini terjadi, bila memang aswaja telah mengalami stagnasi?
Jawabannya satu: aswaja adalah doktrin. Seperti yang dicantumkan di muka, ini menyebabkan orang hanya menerimanya secara apriori (begitu saja dan apa adanya). Inilah yang dinamakan taqlid. Karena itu, stagnasi tetap saja terjadi. Akan tetapi, karena sudah dianggap (paling) benar, maka, bila doktrin itu berbenturan dengan “kenyataan” (al-Waqâ’i’) —yang terus berkembang dan kadang tidak klop dengan ajaran—, maka yang keliru adalah kenyataannya. Realitalah yang harus menyesuaikan diri dengan teks.
Pemahaman semacam itu pada akhirnya, menyebabkan pemaksaan ajaran aswaja dalam realita untuk menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat. Hal ini menyebabkan peran aswaja tidak efektif dalam problem solving. Aswaja hanya akan menjadi duri dalam daging masyarakat yang amat membahayakan. Akibat lain yang biasa muncul, lebih banyak masalah yang timbul dari pada persoalan yang terpecahkan. Karenanya, taqlid buta seyogyanya diindari.
Akan tetapi, bagi masyarakat umum yang tingkat pemahamannya beragam, taqlid semacam ini menjadi jalan keluar alternatif dalam menghadapi persoalan dengan tetap berpegang pada Islam aswaja. Tetapi, pantaskah taqlid dilakukan oleh kalangan intelektual? Kiranya, kita bisa menjawabnya..
Aswaja diposisikan sebagai teks (baca: korpus) yang haram disentuh .
Gugat Definisi Aswaja Versi Ulama Sunni
Munculnya Aswaja tidak bisa lepas dari perjalanan sejarah yang amat panjang…
Ahlusunnah wa al-Jama’ah adalah mazhab yang secara praktis mengikuti:
1. Di bidang Ilmu Aqidah (Kalam), mengikuti faham Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi.
Imam dalam teologi Aswaja diwakili oleh Abu Hasan Al-Asy’ari, lantaran keberhasilannya menjatuhkan paham Mu’tazilah. Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara resmi menjadi bagian dari disiplin ilmu keislaman. Dalam hal akidah pengertiannya adalah Asy’ariyah atau Maturidiyah.
Imam Ibnu Hajar Al-Haytami berkata “Jika Ahlussunnah wal jamaah disebutkan, maka yang dimaksud adalah pengikut rumusan yang digagas oleh Imam Abu al-Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi “Dalam fiqh adalah madzhab empat, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Dalam tasawwuf adalah Imam Al-Ghozali, Abu Yazid al-Busthomi, Imam al-Junaydi dan ulama’-ulama’ lain yang sepaham. Semuanya menjadi diskursus islam paham Ahlussunnah wal jamaah.
Al-Asy’ari dan Al-Maturidi), mengaku telah menjelaskan ajaran ‘aswaja’ yang diyakini para sahabat Nabi SAW dan orang-orang yang mengikuti mereka, dengan mengemukakan dafili-dalil naqli (Al-Qur’an dan Al-Hadits) dan aqli (dalil rasional) dengan bantahan-bantahan terhadap syubhah-syubhah (sesuatu yang dilontarkan untuk mengaburkan hal yang sebenarnya) golongan Muktazilah. Jalan yang ditempuh oleh Al-Asy’ari dan Al- Maturidi dalam pokok-pokok aqidah adalah sama dan satu, sehingga ahlusunnah waljama’ah dinisbatkan terhadap keduanya. Mereka (kelompok ahlusunnah) akhirnya dikenal dengan nama Asy’ariyyah (para pengikut Al-Asyari), dan Maturidiyyah (para pengikut Al-Maturidi). Dan mereka adalah ratusan juta umat, golongan mayoritas. Pengikutnya banyak dan kalangan madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan orang-orang utama dari kalangan madzhab Hanbali (Fudhala’ al-Hanabilah).
NU lebih condong kepada Al-Asyariah. Hal ini tidak bisa dipungkiri, mengingat literatur ajaran al-Maturidi dan Miatundiyyah – tidak sebanyak literatur ajaran Al-Asy’ari dan Asy’anyyah. Di samping pula, tokoh-tokoh penerus Al-Asy’ari seperti, Al-Juwaini (Imam Haramain), Al-Baqillani. Al-Syahrastani, dan terutama Imam Ghazali yang sangat luas pengaruhnya di dunia Islam.
2. Di bidang Fiqih, mengikuti salah satu dari madzhab empat yaitu Imam Hanafi (w. 150 H), Imam Maliki (w. 179 H), Imam Syafi’i (w. 204 H), 2Hanbali (w. 241 H).
3. Di bidang tasawuf, mengikuti faham Imam Ghazali (w. 505 H), Imam Junaid al-Baghdadi (w. 297 H),
Ghazali adalah seorang tokoh pembela paling gigih paham Al-Asy’ari di bidang teologi. Sedangkan di bidang fiqih, ia mengikuti madzhab Imam Syafi’i. Imam Ghazali menjadikan ajaran tasawuf harus berada dalam garis syari’at. Demikian juga Junaid. Menurutnya, tasawuf harus menempel pada ketentuan syari’at atau tasawuf merupakan tahap lanjut kehidupan orang-orang yang telah mantap syari’atnya.
Ghazali, dipandang oleh kalangan tokoh Islam, sebagai salah satu tokoh yang telah berhasil mengkompromikan ajaran tasawuf dengan ajaran fiqih, yang sebelumnya sebagian dari umat Islam pengikut kedua ajaran tersebut saling mengunggulkan ajarannya masing-masing. Di mana para pengikut tasawuf telah lupa dengan ajaran syari’at, sementara pengikut fiqih telah mengabaikan ajaran-ajaran tasawuf. Kemudian Imam Ghazali berusaha menjembataninya dengan cara tasawuf dijadikan bagian dari fiqih. Hat ini dapat dilihat dari karya monumentalnya, Ihya’ Ulumuddin. Akhirnya fiqih yang ‘kosong’ dari pesan-pesan moral, menjadi lebih lengkap dengan diikutkannya tasawuf dalam masalah fiqih.
Karena seperti halnya Imam Al-Asy’ari, Imam Ghazali adalah seorang penengah. Ia berpendapat bahwa kebenaran terletak antara literalisme kaum Hanbali dan liberalisme kaum failasuf, sebagaimana faham Muktazilah.
Sementara Junaid, yang mempunyai nama lengkap Abu Al-Qasim Al-Junaidi bin Muhammad Ali Khazzaz al-Nahawandi,’`’ terkenal dengan julukannya ‘maha guru’ sufi pernah bercerita: “semua jalan (kebenaran) tertutup bagi manusia, kecuali orang yang mengikuti jejak Rasul SAW. Barang siapa tidak menghafal Al-Qur’an dan banyak mencatat banyak hadits, dia tidak boleh diteladani dalam unasan tasawuf, kecuali ilmu yang terkait dengan Al-Kitab dan Al-Sunah.
Dalam rumusannya, Junaid menyatakan, bahwa tasawuf tidak harus memberikan syarat seseorang untuk berkhalwat (mengasingkan diri), malah ia menekankan agar para sufi dapat memberikan nasihat dan bimbingan di tengah-tengah masyarakat.
Dan sinilah tasawuf yang tetap berada dalam garis ajaran aswaja menurut mayoritas umat Islam adalah yang dibawa oleh Imam Ghazali, Imam Junaid al-Baghdadi, dan tokoh-tokoh yang sealiran dengan mereka. Dan aswaja memilih ajaran tasawuf yang seperti ini.
GUGATAN:
dalam sejarah, tercatat para imam Aswaja di bidang akidah telah ada sejak zaman sahabat Nabi SAW, sebelum munculnya paham Mu’tazilah. Imam Aswaja pada saat itu diantaranya adalah Ali bin Abi Thalib KW, karena jasanya menentang penyimpangan khawarij tentang al-Wa’du wa al-Wa’id dan penyimpangan qodariyah tentang kehendak Allah SWT dan kemampuan makhluk. Di masa tabi’in juga tercatat ada beberapa imam Aswaja seperti ‘Umar bin Abdul Aziz dengan karyanya “Risalah Balighah fi Raddi ‘ala al-Qodariyah”. Para mujtahid fiqh juga turut menyumbang beberapa karya teologi (tauhid) untuk menentang paham-paham di luar Aswaja, seperti Abu Hanifah dengan kitabnya “Al-Fiqhu al-Akbar” dan Imam Syafi’i dengan kitabnya “Fi tashihi an-Nubuwwah wa Raddi ‘ala al-Barohimah” .
Dengan demikian dapat dipahami bahwa akidah Aswaja secara subtantif telah ada sejak masa para sahabat Nabi SAW. Artinya paham Aswaja tidak mutlak seperti yang dirumuskan oleh Imam Asy’ari dan Maturidi, tetapi beliau adalah dua diantara imam-imam yang telah berhasil menyusun dan merumuskan ulang doktrin paham akidah Aswaja secara sistematis sehingga menjadi pedoman akidah Aswaja.
Aswajanya orang NU dan Muhammadiyah sangat berbeda, begitu juga orang Arab saudi, Mesir… organisasi NU mempunyai karakteristik lokal yang berbeda dengan Arab, berbeda dalam penerapannya. Misalnya di Jawa ada mithoni, tahlil, dll. Di arab tidak ada… Apakah Islam Aswaja di Indonesia sama dengan Islam Aswaja di belahan dunia lain (Timur Tengah misalnya)?
Aswaja sebagai Manhaj berpikir ikut dirumuskan oleh akal manusia dan Aswaja muncul karena unsur politik seperti berkolisi nya Abdullah bin Umar PLUS Abu Hurairah untuk memproduksi aneka hadis Palsu demi raja Mu’awiyah sang mitra koalisi…
…. Lalu Syiah yang banyak dalil dari ahlul baitnya tidak layak masuk menjadi mazhab kelima ? Bagaimana dengan madzhab lainnya misal madzhab Ja’fari yang masih dzuriyah Rasul.
Bahwa yang dikenal oleh Aswaja itu adalah empat madzhab tersebut tanpa ada madzhab Imam Ja’fari yang masih dzuriyah Rasul.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Aswaja sebagai sebuah paham keagamaan (ajaran) maupun sebagai aliran pemikiran (manhajul fiqr) kemunculannya tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dinamika sosial politik pada waktu itu, lebih khusus sejak peristiwa Tahqim yang melibatkan Sahabat Ali dan sahabat Muawiyyah sekitar akhir tahun 40 H.
SYI’AH MAZHAB PRO SAiNS MODERN
Dalam bukunya Ayat-Ayat Semesta , Agus Purwanto mencatat tak kurang dari 800 ayat Al-Qur’an mengandung petunjuk ke arah sains. Ini lebih banyak dibandingkan hitungan Syekh Jauhari Tanthawi, guru besar Universitas Kairo, Mesir, dalam bukunya: Al-Jawahir, yang menyebut adanya 750 ayat semesta di dalam Al-Qur’an…Dan ia segera berpaling kepada kitab suci (Al-Quran) seraya menemukan keterkejutan, bahwa kitab itu memuat lebih dari seperlimanya ayat-ayat yang berbicara tentang sains. Ayat-ayat tentang Semesta.
Dan ayat tentang hukum ( fikih ) hanyalah 150 ayat saja !
Bagi syi’ah mempelajari sains sama wajibnya dengan shalat dan puasa yaitu wajib hukumnya….
Syiah berpendapat bahwa khalifah harus dari keturunan Fatimah ra, putri Rasulullah S.a.w , berdasarkan wasiat Rasulullao S.a.w. Di Ghadir kum dalam hadist Tsaqalain yang diyakini kebenarnya oleh Syi’ah.
wahabi antek yahudi.
Anda ingin berkumpul dengan bani umayyah di akhirat???
Atau berkumpul dengan itrah ahlul bait ???
silahkan pilih …
Mungkinkah ahlul tauhid bermesraan dengan Amerika dan Yahudi???
Salafi menghujat habis syi’ah dan UMAT iSLAM tapi doyan bekerjasama dengan orang kafir?????
(Fandylaposta/Syiah-Ali/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
INDONESIA kita dan MALAYSiA serta banyak negara dunia diguncang oleh paham salafi wahabi …..
Salafi wahabi mengklaim Abu Hasan Al Asy’ari adalah salafi karena pada fase ketiga kehidupannya ia masuk mazhab ahlul hadis….
Salafi Wahabi menggila dengan menuding semua firqah Aswaja selain dia adalah ahlul bid’ah dan SESAT….
Benarkah Tudingan wahabi si tanduk setan dari najad ???
Sejarah Terbentuknya Mazhab Aswaja Sunni…
1.Aswaja hanyalah salah satu sekte atau aliran yang muncul dalam Islam..
Aswaja tidak muncul dari ruang hampa melainkan karena pengaruh faktor politik, missal : Koalisi Abu hurairah dan Abdullah bin Umar dengan mitra koalisi mereka yaitu Raja Mu’awiyah…..
Kemudian ulama bani umayyah dan ulama bani abbasiyah memoles mazhab ini agar pro raja.
2.Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah adalah islam murni yang dianggap palsu…
Ratusan tahun ulama aswaja sunni menuding syi’ah SESAT !!
Ustad syi’ah dilarang berdakwah agar aib aswaja sunni tidak terbongkar… Ustad syi’ah , buku syi’ah dan ajaran syi’ah dilarang beredar…
Syi’ah imamiyah itsna asyariah merupakan mazhab keluarga Nabi SAW yang selaras dengan Islam yang asli
Syi’ah imamiyah itsna asyariah tidak diakui oleh para raja karena para imam syi’ah yang merupakan pewaris Nabi SAW dianggap sebagai ancaman kekuasaan para raja !!!
Sejarah Terbentuknya Kristen Katholik
Kristen Katolik muncul karena koalisi antara SAULUS (PAULUS), lukas, markus, matius, yahya dengan raja konstantin…
Kristen Katolik muncul karena koalisi antara SAULUS (PAULUS), lukas, markus, matius, yahya dengan raja konstantin…
INJIL BARNABAS Injil Murni Yang Dianggap Palsu……
Masa kekaisaran Konstantin, Injil Barnabas tidak lagi diakui oleh kaum nasrani karena kandungan Injil ini :
a. SELARAS dengan ajaran tauhid yg dibawa oleh Nabi Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad SAW.
b. Tidak Mengakui TRINITAS.
c. Tidak mengakui bhw ISA / YESUS adalah ANAK TUHAN apalagi sebagai TUHAN.
d. Mengakui akan datangnya NABI SESUDAH ISA, MESIAS SESUNGGUHNYA YAITU AHMAD ATAU MUHAMMAD.
e. Tidak mengakui bahwa ISA mati dengan DISALIB.
Pada awalnya 12 murid nabi Isa menulis semua ajaran yg disampaikan nabi Isa. Risalah tsb pada awalnya DIAKUI termasuk salah satunya adalah Injil Barnabas. Barnabe atau Barnabas adalah salah 1 diantara 12 murid Nabi Isa a.s yg pertama yg dalam Al Qur’an disebut KAUM HAWARIYYUN. Ia adalah murid termuda Nabi Isa a.s. Nama aslinya YOSES atau YUSUF atau YOSEF. Lahir di CYPRUS, dari suku LEWI (YAHUDI)..
Nama BARNABAS diberikan oleh Nabi Isa a.s kepadanya yg artinya “si pelipur lara” atau “si pemberi peringatan” …
Ia lebih mengenal dan lebih dekat dengan Nabi Isa a.s dibanding kemenakannya MARKUS.
Namun pada tahun 325 M, kalangan gereja-termasuk gereja2 Alexandria-mulai goyah, setelah gereja PAULUS (Katholik) melalui Konsili di NICEA menetapkan TRINITAS sbg doktrin mutlak. Akibatnya 300 lebih manuskrip injil harus diseleksi, yg pada akhirnya tinggallah 4 “Injil Resmi” atau disebut “Injil Kanonik”, sementara ratusan sisa injil lainnya DIMUSNAHKAN.
Kemudian pihak gereja, didukung pihak kerajaan mengeluarkan statemen :
“Siapapun yg mmiliki -injil tdk resmi- dibunuh!”. Statemen ini sebagai upaya pelenyapan injil asli dimasa Nabi Isa a.s. Dan Akhirnya Kaum nasrani hanya -disuruh- mempercayai 4 Injil Kanonik yang ditulis oleh Lukas, Markus, Matius dan Yohanes. Pada 366 M, Paus Damaskus menegaskan untuk melarang membaca apalagi mmpelajari manuskrip manuskrip Apokrifa termasuk Injil Barnabas, tapi ia sendiri menyimpan salinan Injil Barnabas diperpustakaannya.
*****
Ternyata Hubungan Kekeluargaan Bukan Penghalang Berbuat KejiAl-Qur’an menyematkan atribut dan sifat-sifat negatif terhadap sebagian kaum muslimin yang sezaman dengan Nabiullah Muhammad saww. Al-Qur’an menginformasikan kepada kita ada dari mereka yang sezaman dengan Nabi sebagai orang-orang munafik, yang keterlaluan dalam kemunafikannya (Qs. At-Taubah: 101), berpenyakit dalam hatinya, tidak memiliki keteguhan iman, dan berprsangka jahiliyah terhadap Allah swt (Qs. Ali-Imran: 154), sangat enggan berjihad (Qs. An-Nisa’: 71-72 dan At-Taubah ayat 38), melakukan kekacauan dalam barisan (Qs. At-Taubah: 47), lari tunggang langgang ketika berhadapan dengan musuh (Qs. Ali-Imran: 153 dan At-Taubah : 25), bahkan sebagian mereka lebih memilih perdagangan dan permainan daripada mendengarkan Nabiullah Muhammad saww berkhutbah, “Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezki.” (Qs. Al-Jumu’ah: 11).
Pemalsuan Ajaran Islam Oleh Mazhab Aswaja Sunni Dimulai Dari Mana???????
Perlu anda ketahui bahwa pemalsuan Ajaran Islam oleh mazhab Aswaja Sunni dimulai dari Peristiwa Ghadirkum (wasiat lisan tentang Imamah Ali oleh Nabi SAW) yang didurhakai oleh Umar bin Khattab.
Setelah wasiat ghadirkum tidak ditaati Umar maka terjadilah :
a. Kejahatan Umar dengan menggagalkan wasiat tertulis Nabi SAW agar Imam Ali tidak menjadi khalifah…
Masih ada yang lebih mengejutkan lagi bahwa ada sahabat Rasulullah yang baik sekali pada awalnya namun berani memprotres Rasul sendiri ketika hendak menulis wasiatnya agar orang ramai tidak akan sesat selepasnya di kemudian hari kelak. Ternyata mereka itu memiliki konspirasi jahat yang mereka tandatangani dibelakang Ka’bah setelah mereka berbai’at terhadap orang yang diangkat Allah dan RasuNya..
Pembaca sekalian. Agar kita tidak heran pelajarilah kisah seorang ulama yang luarbiasa di masa Nabi Musa berhadapan dengan Fir’aun. Ulama itu sudah mencapai karamah hingga Nabi Musa menderita di lembah thuwa. Namun akhirnya karamah dicabutkan Allah disebabkan ulama tersebut memihak kelompok dhalaim
b. Diteruskan dengan menyembunyikan salah satu dari tiga wasiat lisan Nabi SAW
*****
Dalam buku :PERBANDINGAN MAZHAB SY I ‘ AH; RASIONALISME DALAM ISLAM
Oleh: H. ABOEBAKAR ATJEH.
Diterbitkan oleh : Jajasan Lembaga Penjelidikan Islam.
Djakarta 1965.
H.Aboebakar Atjeh menulis sebagai berikut:
Setengah sahabat menerangkan, bahwa wasiat jang akan ditulis itu terdiri dari tiga perkara, salah satunya bahwa Nabi akan mendjadikan Ali sebagai wali atau penggantinja. Tetapi keadaan politik dan perimbangan kekuatan ketika itu tidak mengizinkan, wasiat itu diumumkan. Sji’ah menuduh, bahwa banjak sahabat jang melupakannja. Buchari berkata pada penutup hadis wafat Rasulullah itu, bhw. ia berwasiat tiga perkara, jaitu mengeluarkan orang musjrik dari djazirah Arab, menerima utusan sebagaimana jang diterima, kemudian ia berkata, bahwa ia lupa wasiat jang ketiga. Demikian djuga pengakuan Muslim dan pengakuan semua pengarang Sunnan dan Musnad
*****
c. Lalu berlanjut saat Abubakar dan Umar menjadi khalifah dengan menyelewengkan ketetapan ketetapan Nabi SAW.
Hal ini karena sebagian dari sunnahnya Abu Bakar, Umar dan Utsman bertentangan dengan sunnahnya Nabi bahkan membatalkannya sama sekali seperti yang nampak jelas.Contoh pertama yang bisa kita lihat adalah insident yang terjadi segera setelah wafatnya Nabi SAWW di mana Abu Bakar memerangi orang-orang yang disebutnya sebagai “penahan” harta zakat.).”QS. at-Taubah: 75-76).
Setelah ayat ini turun, Tsa’labah kemudian datang sambil menangis. Dia minta kepada Nabi untuk menerima zakatnya kembali. Tetapi Nabi enggan menerimanya, seperti yang dikatakan oleh riwayat. Jika Abu Bakar dan Umar benar-benar mengikuti Sunnah Rasul, kenapa ia menyalahinya dalam tindakan ini dan menghalalkan darah kaum muslimin yang tak berdosa semata-mata karena alasan enggan memberikan zakat.
Peristiwa lain yang terjadi pada periode pertama kekuasaan Abu Bakar adalah perselisihannya dengan Umar bin Khattab, ketika beliau menakwilkan nas-nas Al-Quran dan hadis-hadis Nabawi. Ringkas ceritanya, Khalid bin Walid membunuh Malik bin Nuwairah dan meniduri istrinya di malam itu juga.
Apa yang harus kukatakan tentang sahabat yang melakukan tindakan keji seperti ini: membunuh Malik bin Nuwairah, seorang sahabat agung, pemimpin Bani Tamim dan Bani Yarbu’; seorang yang dijadikan contoh dalam kemurahan dan keberanian.
Para ahli sejarah telah mencatat bahwa Khalid membunuh Malik dan sahabat-sahabatnya setelah mereka meletakkan senjata dan shalat berjamaah bersamanya. Sebelum dibunuh mereka diikat dengan tali. Bersama mereka hadir juga Laila binti Minhal, istri Malik, seorang wanita yang sangat terkenal cantik.
Khalid sangat terpikat dengan kecantikannya ini.
Malik berkata kepada Khalid: “wahai Khalid, bawa kami kepada Abu Bakar, biar dia yang memutuskan perkara kita ini.”
Abdullah bin Umar dan Abu Qatadah al-Anshori mendesak Khalid agar membawa mereka berjumpa dengan Abu Bakar. Tetapi ditolak. Katanya: “Allah tidak akan mengampuniku jika aku tidak membunuhnya.”.
Kemudian Malik melihat istrinya Laila dan berkata kepada Khalid: “karena dia kemudian engkau membunuhku.”
Lalu Khalid menyuruh untuk memancung leher Malik, kemudian menawan istrinya Laila. Dan pada malam yang sama, Khalid pun menidurinya.
Sayyidah Fatimah Keguguran Karena Penyerbuan Kerumahnya Oleh Abu Bakar dan Umar
Permasalahan sudah muncul ketika Abu Bakar dibaiat menjadi Khalifah di Saqifah. Beberapa sahabat Nabi jelas menganggap pengangkatan ini dilakukan secara terburu-buru dan dilakukan ketika para keluarga Rasul sedang mengurus jenazah Rasul. Mereka menganggap kekhalifahan harus tetap berada di tangan keluarga nabi (dari sinilah sebenarnya sudah muncul bibit-bibit pendukung/syiah Imam Ali).
Ketakpuasan ini ditunjukkan dgn jalan menolak memberikan baiat kepada Abu Bakar seperti yang dilakukan oleh Ali, Ibnu Abbas, Bilal, Salman al-Farisi, Abu Dzar, Zubair, Thalhah dll, sementara beberapa yang lainya menunjukkan ketaksetujuannya dengan menolak membayar zakat karena menganggap kekhalifahan yang ada tidak sah (seperti yang dilakukan oleh Malik bin Nuwairah, namun akhirnya Malik dibunuh dan istrinya diperkosa oleh Khalid bin Walid). Para penentang Abu Bakar berkumpul di rumah Imam Ali, bagaimanapun juga beberapa pendukung Abu Bakar seperti Umar, Khalid bin Walid, Mughirah bin Syu’bah dan lain-lain memaksa mereka memberikan baiat pada Abu Bakar, dan mengancamkan membakar rumah Imam Ali jika mereka menolak berbaiat.
Pembakaran memang tidak dilakukan, tetapi para pendukung Abu Bakar mendobrak pintu rumah tersebut, dan mengenai Fatimah yang mengakibatkan Fatimah keguguran bayi yang dikandungnya. TAk diragukan lagi Fatimah marah kepada Abu Bakar dan Umar karena mereka telah meninjak-injak hak keluarga Nabi dalam masalah Imamah/kepemimpinan dan juga dlm masalah waris (peristiwa Fadak, dimana Abu Bakar mengambil tanah Fadak yang dimiliki Fatimah karna menganggap Nabi tidak meninggalkan warisan). Sekitar 75 hari kemudian Fatimah wafat dengan membawa hati yang sakit.
Menjelang wafatnya, Fatimah berpesan agar dia dikuburkan dalam keadaan diam-diam dan tak ingin Abu Bakar maupun Umar melakukan shalat jenazah atas dirinya, Wasiat ini dilakukan oleh Imam Ali dengan menguburkan Fatimah pada malam hari.
Sikap penentangan yang ditunjukkan Fatimah sangat penting bagi reputasi khalifah di mata publik. Abu Bakar berusaha keras mencapai kata sepakat dengan Fatimah, namun Fatimah tak pernah menerimanya.
Sumber : Tarikh Yakubi, As-Saqifah wa Fadak, Al-Iqd al-FArid, Tarikh Abi Fida’, Syarh Nahj-al BAlaghah, nihayah-al-Irab, HAyat-al Shahabah, Kanz-al Ummal, masih banyak yg lainnya hingga saat ini semua yang berkenaan dengan sejarah perkembangan Khalifah Islam di era suksesi semuanya dilindungi dalil dalil hadis jaminan SURGA yang tentu menjadikannya ‘tabu’ untuk dibicarakan.
Kepemimpinan Muhammad seorang pembaharu dan penggerak reformasi di Timur Tengah di masa itu, tetap saja dia memimpin sebagai tokoh kharismatik yang disanjung . Dan sejarah mengajarkan kepada kita bahwa problem terbesar seorang tokoh sentral yg kharismatik seperti Muhammad adalah masalah SUKSESI.
Terlebih lagi batasan dan prosedur peralihan kekuasaan ..Hal inilah yg menjadi benih perpecahan di masa pengganti Muhammad.
d. Lalu ketika menjelang wafat Umar, ia mewasiatkan pembentukan sebuah tim dalam rangka pemilihan khalifah baru.
Mereka mencalonkan Imam Ali dan Usman dengan menyodorkan beberapa syarat keji kepada Imam Ali, tetapi Imam Ali menolak sedangkan Usman menerimanya.
- Menurut syi’ah: Setelah Abubakar wafat, Imam Ali tidak membai’at Umar dan Usman tetapi juga tidak memeranginya.
Imam Ali mengambil jalan abstain terhadap kepemimpinan Umar dan Usman .
*****
Aswaja Sunni Memalsukan Sunnah Nabi SawDalam pasal ini kami ingin menguraikan sesuatu yang terpenting yang bagi peneliti sangat perlu mencermatinya, agar terungkap tanpa kepalsuan bahwa orang-orang yang menamakan diri dengan Ahlussunnah, hakikatnya tidak memiliki layak disebut dari sunah Nabi saww. Dikarenakan mereka atau tepatnya, para pendahulu mereka dari kalangan sahabat dan Khulafah ar-Rasyidin menurut yang mereka ikuti, dan bertaqarrub pada Allah Swt, dengan jalan mencintai dan berwalikan pada mereka, telah mengambil peran sebagai perampas sunah Nabi saww, hingga pada tingkat pembakaran dan pencegahan terhadap penulisannya dan periwayatannya.
Sebagai tambahan dari uraian yang lalu, perlu dibuka tabir penutup persekongkolan tercela tersebut, yang bersikap angkuh melawan sunah Nabi saww, yang suci dalam mencegah tersebarnya dan memusnahkannya di masa itu serta menggantikannya dengan bid’ah-bid’ah para penguasa dan ijtihad mereka serta pendapat-pendapat para sahabat dan penakwilan mereka.
Para penguasa periode pertama telah berusaha :
Pertama. Membuat hadis-hadis dusta (palsu) yang menguatkan mazhab mereka dalam pencegahan terhadap penulisan seluruh sunah Nabi saww, dan hadis-hadis yang mulia.
Inilah Imam Muslim telah meriwayatkan dalam shahihnya berasal dari Haddad bin Khalid al-Azdi, dari Hammam dari Zaid bin Aslam dari Atha’ bin Yasar dari Abi Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah saww bersabda :
“Janganlah kalian menulis apa yang dariku, dan barangsiapa menulis dariku selain Al-Qur’an, maka hendaklah menghapusnya, dan riwayatkanlah, hal itu tidak mengapa.”( Muslim, VIII, hal.229.)
Maksud pembuatan hadis tersebut adalah sebagai pembelaan terhadap apa yang telah diperbuat oleh Abu Bakar dan Umar atas hadis-hadis Nabi saww, yang telah ditulis oleh sebagian sahabat dan mereka telah mengumpulkannya.
Dan hadis itu dibuat di zaman terakhir dari masa Khulafa ar-Rasyidin, dan para pembuat hadis palsu itu lengah dari beberapa perkara berikut ini :
a. Seandainya shahih ar-Risalah Rasulullah saww, telah mengatakan hadis tersebut niscaya para sahabat yang menulis dari beliau pasti mentaati perintah beliau dan mereka telah menghapusnya sebelum Abu Bakar dan Umar memerintahkan pembakarannya setelah beberapa tahun setelah wafat Nabi Muhammad saww.
b. Seandainya hadis tersebut shahih, niscaya Abu Bakar pada tahap pertama, pasti menjadikannya dalil, kemudian Umar pada tahap kedua, untuk menguatkan pencegahan keduanya terhadap penulis hadis-hadis dan penghapusannya, dan pasti para sahabat yang telah terlanjur menulisnya akan mengemukakan alasan tidak tahu atau lupa.
c. Seandainya hadis tersebut shahih, maka wajib atas Abu Bakar dan Umar untuk memerintahkan agar mereka menghapus hadis-hadis bukan membakarnya.
d. Seandainya hadis tersebut shahih, maka kaum Muslimin semenjak masa Umar bin Abdul Aziz sampai masa kita sekarang ini, semuanya berdosa karena mereka telah melanggar larangan Rasulullah saww, dan paling pokoknya adalah Umar bin Abdul Aziz yang telah memerintahkan para Ulama di masanya untuk mengumpulkan hadis-hadis dan penulisannya, begitu juga Bukhari Muslim yang telah mengesahkan hadis tersebut, kemudian mendurhakainya dan menulis beribu-ribu hadis dari Nabi Muhammad saww.
e. Akhirnya, seandainya hadis tersebut shahih, pasti ia tidak akan terlapaskan dari pintu kota ilmu, ‘Ali bin Abi Thalib yang telah mengumpulkan hadis-hadis Nabi saww, Dalam lembarannya yang panjangnya 70 hasta, dan dia menamakannya al-Jami’ah. (Pembicaraan ini akan datang pada gilirannya).
Kedua. Para penguasa Muawiyah telah berusaha menguatkan anggapan bahwa Rasulullah saww, itu tidak maksum dari kesalahan, dan beliau sebagaimana manusia biasa yang kadang salah dan kadang benar. Mereka telah meriwayatkan dalam perkara ini hadis-hadis yang banyak.
Sedang tujuan pembuatan hadis-hadis tersebut ialah untuk pengukuhan terhadap paham bahwa Nabi saww, itu melakukan ijtihad dengan pendapatnya, dan beliau sering keliru yang sebagian beliau serukan pada sebagian sahabat untuk meluruskan pendapat beliau. Sebagaimana hal itu telah diriwayatkan dalam hal pengcangkokan kurma, turunnya ayat hijab memintakan ampun buat orang Munafiqin, penerimaan fidyah tawanan Badar dan lain-lainnya yang telah didakwahkan oleh Ahlussunnah wal Jama’ah dalam shahih mereka dan yang mereka jadikan keyakinan terhadap shahib ar-Risalah (saww).
Kami katakan kepada Ahlussunnah wal Jama’ah, “Jika demikian itu agama dan aqidah kalian terhadap Rasulullah saww, maka bagaimana kalian menyeruhkan untuk berpegang pada sunahnya, sedang sunahnya menurut kalian dan menurut para pendahulu kalian tidaklah maksum, bahkan tidak dikenal dan tidak tertulis…! (Karena pengumpulan sunah Nabi tertunda sampai zaman Umar bin Abdul Aziz atau setelahnya, adapun khalifah sebelumnya telah membakarnya dan mencegah penulisan dan periwayatannya.).
Sudah tentu kami akan menolak tuduhan-tuduhan dan kedustaan-kedustaan tersebut dan membatalkannya berdasarkan dari kitab-kitab kalian sendiri da shahih kalian. (Yang anehnya, bahwa Ahlussunnah banyak meriwayatkan hadis dan juga membatalkannya dalam kitab itu sendiri, dan yang lebih aneh dari itu ialah mereka mengamalkan yang dusta dan meninggalkan yang shahih).
Bukhari telah meriwayatkan dalam shahih-nya dari kitab ilmu, bab penulis ilmu
Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Tidak ada seorang pun dari sahabat Nabi saww, yang telah banyak meriwayatkan hadis dari padaku, selain yang diriwayatkan dari Abdullah bin Amr, sesungguhnya dia dapat menulis sedang aku tidak.” (Shahih Bukhari, I, hal, 36, bab Kitab Ilmu.)
Dari riwayat ini dapat disimpulkan bahwa dari kalangan sahabat Nabi saww ada yang menulis hadis-hadisnya.
Apabila Abu Hurairah meriwayatkan lebih banyak dari 600 hadis dari Nabi saww secara lisan, maka sesungguhnya Abdullah bin Amr lebih banyak meriwayatkan hadis Nabi saww daripada dirinya karena dia dapat menulis, dan tidak dapat diragukan bahwa di kalangan para sahabat banyak yang menulis hadis-hadis dari Nabi saww, sedangkan Abu Hurairah tidak menyebutkan mereka, karena mereka tidak terkenal dengan periwayatan yang banyak dari Nabi saww.
Apabila kita tambahkan mereka itu dengan Imam ‘Ali bin Abi Thalib yang telah membentangkan dari atas mimbar satu lembaran yang dia namakan al-Jami’ah (kumpulan), yang telah terkumpul di dalamnya semua yang dibutuhkan umat manusia dari hadis Nabi saww, dan telah diwariskan kepada para Imam Ahlulbait (salam atas mereka) dan yang banyak diriwayatkan oleh mereka.
Imam Ja’far ash-Shadiq telah berkata, “Sesungguhnya pada kami satu lembaran yang panjangnya 70 hasta, yang merupakan pendekatan Rasulullah saww, dan tulisan ‘Ali dengan tangannya, yang tidak ada hal yang halal dan haram, dan tidak ada sesuatu yang dibutuhkan manusia dan tidak ada satu ketentuan kecuali semuanya telah tercantum di dalamnya sehingga perkara kecurangan terhadap lalat.”(Ushul Kafi, I, hal. 239).
Bukhari sendiri telah mengisyaratkan dalam shahih-nya kepada lembaran yang ada pada ‘Ali itu dalam banyak bab dari kitabnya. Tetapi sebagaimana kebiasaan Bukhari bahwa ia telah memotong banyak keistimewaan dan kandungannya.
Dan bab kitabatul-Ilmi, Bukhari mengatakan,
“Dari Syi’bi dari dari Abu Junafah dia berkata’ Saya bertanya pada ‘Ali, apakah pada kalian ada kitab?’
Dia menjawab, Tidak, kecuali Kitab Allah Swt, atau pengertian yang saya berikan pada seorang Muslim atau apa yang ada pada lembaran ini.
‘Saya bertanya, ‘Aapa yang di dalam lembaran itu?
Dia menjawab. ‘Akal dan pemecahan masalah tawanan dan tidak boleh orang Muslim dibunuh lantaran orang kafir.”(Shahih Bukhari, I, hal. 36).
Sebagaimana telah diriwayatkan dalam Shahih Bukhari di bagian lain:
Dari al-A’mas dari Ibrahim at-Taimy dari bapaknya dari ‘Ali, dia berkata, “Tidak ada pada kita sesuatu pun selain hanyalah Kitab Allah Swt, dan lembaran dari Nabi saww ini.”(Shahih Bukhari, II, hal. 221).
Juga dibagian lain shahih Bukhari telah diriwayatkan :
Dari Ibrahim at-Taimy dari bapaknya, dia berkata,”Tidak ada pada kami yang dibaca selain kitab Allah Swt dan apa yang ada dalam lembaran ini.”(Shahih Bukhari, IV, hal. 67. dan Shahih Muslim, IV, hal. 115).
Bukhari telah meriwayatkan dalam bab lain dari shahih-nya yakni :
Dari ‘Ali ra, dia berkata, “Kami tidak menulis dari Rasulullah saww selain Al-Qur’an dan apa yang ada dalam lembaran ini.” (Shahih Bukhari, IV, hal. 69).
Sebagaimana telah diriwayatkan pula oleh Bukhari dalam bab yang lain:
Dari Ibrahim at-Taimy dari bapaknya, dia berkata, Imam ‘Ali as pernah berkotbah di atas satu mimbar yang terbuat dari tanah dan dia memegang pedang yang terkait padanya suatu lembaran lalu dia berkata, “Demi Allah Swt, tidak ada pada kita satu kitab yang dapat dibaca selain kitab Allah Swt dan apa yang ada dalam lembaran ini.” (Shahih Bukhari, VIII, hal. 144).
Dan Bukhari tidak pernah meriwayatkan apa yang disampaikan oleh Imam Ja’far ash-Shadiq bahwa lembaran tersebut dinamakan al-Jami’ah (kumpulan), sebab telah tekumpul di dalamnya seluruh keterangan yang halal dan haram, dan terkandung di dalamnya segala yang dibutuhkan oleh manusia sehingga perkara kecurangan terhadap seekor lalat, dengan pendekatan dari Rasulullah saww dan tulisan ‘Ali bin Abi Thalib.
Bukhari hanyalah meringkas dengan kata-kata bahwa di dalamnya akal dan penyelesaian tawanan serta tidak boleh orang Muslim dibunuh lantaran orang kafir. Dalam kesempatan lain, dia menyatakan , ‘Ali telah menentangnya, maka di dalamnya ada gigi Unta, dan di dalamnya kota Madinah haram….
Dan di dalamnya jaminal orang-orang Muslimin satu dan di dalamnya barangsiapa memerintah suatu umat tanpa seizin penguasanya….”.
Sesungguhnya itu adalah merupakan pemalsuan kata-kata dan penyembunyian kebenaran, kalau tidak demikian, apakah masuk akal kalau ‘Ali menuliskan keempat bentuk kata-kata tersebut dalam lembarannya dan mengaitkannya pada pedangnya dan membiasakannya ketika berkotbah di atas mimbar dan menjadikannya sebagai rujukan kedua serelah kitab Allah Swt, dan dia berkata pada manusia,”Kami tidak menulis dari Nabi saww, selain Al-Qur’an dan apa yang ada di dalam lembaran ini…?”
Apakah akal Abu Hurairah itu lebih besar dari akal ‘Ali bin Aabi Thalib, yang mana ia dapat menghafal dari Rasulullah seratus ribu hadis tanpa tulisan …?
Sungguh mengherankan, demi Allah Swt, perihal mereka itu yang mau menerima seratus ribu hadis dari Abu Hurairah yang tidak menyertai Nabi kecuali hanyalah tiga tahun, sedangkan dia dapat membaca dan menulis, dan mereka menganggap ‘Ali sebagai pintu kotanya ilmu, yang darinya para sahabat mendapatkan bermacam-macam ilmu dan pengetahuan, kemudian dia membawa lembaran yang hanya berisi empat hadis itu, yang senantiasa menyertainya dari semasa hidup Rasulullah saww sampai masa kekhalifahannya, lalu ia membawanya naik mimbar dan dikaitkan pada pedangnya…?
Sungguh besar kata-kata yang keluar dari mulut mereka, mereka tidak berkata kecuali hanyalah kedustaan.
Atas apa yang diriwayatkan Bukhari itu, cukuplah bagi para peneliti dan cendekiawan, yaitu ketika dia menyebutkan bahwa di dalamnya akal. Ini adalah merupakan suatu dalil bahwa di dalam lembaran itu termuat banyak perkara yang mengistimewakan manusia dan pemikiran Islam.
Kami tidak akan menunjukkan dalil bagi apa yang ada dalam lembaran tersebut, penduduk Mekkah itu lebih tahu terhadap kandungan garis besarnya dan Ahlulbait itu lebih tahu terhadap kandungan garis besarnya dan Ahlulbait itu lebih tahu terhadap apa yan terkandung di dalamnya, dan mereka telah mengatakan bahwa di dalamnya terkandung semua apa yang dibutuhkan umat manusia dari hal halal dan haram sampai perkara kecurangan terhadap lalat.
Tetapi yang kami menghendaki pembahasan para sahabat itu, mereka telah menulis hadis-hadis Nabi saww. Ucapan Abu Hurairah bahwa Abdullah bin Amr menulis hadis-hadis Nabi saww, dan perkataan ‘Ali bin Abi Thalib, “Kami tidak menulis dari Rasulullah selain Al-Qur’an dan apa yang ada di dalam lembaran ini, adalah merupakan dalil yang pasti, bahwa Rasulullah saww, tidak pernah melarang penulisan hadis-hadisnya selama-lamanya, bahkan sebaliknya yang benar.”.
Hadis yang diriwayatkan Muslim dalam Shahih-nya, “Jangan kalian menulis dariku, dan siapa yang menulis dariku selain Al-Quran, hendaklah menghapusnya,” ini adalah hadis dusta yang telah dibuat oleh para pendukung Khulafa ar-Rasyidin untuk mengkokohkan dan membenarkan apa yang telah dilakukan Abu Bakar, Umar dan Utsman dalam pembakaran hadis-hadis Nabi saww, dan pencegahan terhadap tersiarnya sunah.
Perkara yang menambah kemantapan terhadap keyakinan bahwa Nabi saww, tidak pernah melarang penulisan hadis-hadisnya bahkan beliau memerintahkannya, ialah apa yang telah diucapkan oleh Imam “Ali, yakni orang yang terdekat dengan Nabi Saww, yaitu “Kami tidak menulis dari beliau selain Al-Qur’an dan apa yang ada dalam lembaran ini,” Dan juga hadis yang telah dishahihkan oleh Bukhari.
Dan bila ini ditambah dengan ucapan Imam Ja’far ash-Shadiq bahwa lembaran al-Jami’ah itu adalah merupakan pendekatan Rasulullah dan tulisan ‘Ali, maka berarti bahwa Nabi saww telah memerintah ‘Ali untuk penulisan itu.
Agar tidak ada keraguan yang tersisa dalam diri Anda, wahai para pembaca yang mulia!
Saya tambah dengan riwayat berikut ini : Al-Hakim telah meriwayatkan dalam Mustadrak-nya, dan Abu Daud dalam Shahih-nya, dan Imam Ahmad dalam Musnad-nya, dan Daramy dalam sunah-nya, mereka semuanya telah meriwayatkan satu hadis penting sekali tentang kekhususan Abdullah bin Amr yang disebut oleh Abu Hurairah bahwa ia adalah menulis dari Nabi Saww sebagai berikut :
Abdullah bin Amr berkata, “Aaku menulis semua yang aku dengar dari Rasulullah saww, maka orang Quraisy mencegahku dan mereka berkata, ‘Apakah engkau menulis segala sesuatu yang engkau dapat dari Rasulullah padahal dia adalah seorang manusia yang berbicara dalam situasi marah dan senang (rela).
‘Abdullah berkata, ”Aku pun menahan diri dari penulis, lalu aku adukan hal itu kepada Rasulullah saww. Maka beliau mengisyaratkan ke mulut beliau sambil berkata, ‘Tulislah, demi zat yang diriku berada dalam tangan-Nya, tidaklah keluar darinya yakni mulut Nabi saww selain hanyalah kebenaran.”(Mustadak Hakim, I, hal. 105, Sunan Abu Daud, II, hal.126, Sunan Daramy, I, hal.125, dan Musnad Ahmad, II, hal.162).
Kita perhatikan dari kandungan hadis tersebut bahwa Abdullah bin Amr adalah penulis segala yang didengar dari Nabi saww, dan Nabi saww pun tidak melarangnya, dan sesungguhnya pelarangan itu hanya darang dari orang-orang Quraisy, sedang Abdullah bin Amr tidak menjelaskan nama-nama orang yang telah melarang penulis itu, sebab dalam pelarangan tersebut mengandung pencelaan terhadap Rasulullah saww, sebagaimana yang tak dapat disembunyikan lagi, maka dia pun mengarahkan ucapannya bahwa mereka adalah orang-orang Quraisy. Yang dimaksud dengan Quraisy.
Yang dimaksud dengan Quraisy tersebut adalah para pemukanya dari kelompok Muhajirin, yang menjadi tokohnya Abu Bakar, Umar, Utsman, Abdurrahman bin Auf, Abu Ubaidah, Thalhah dan Zubeir serta orang-orang yang mengikuti pandangan mereka.
Sebagaimana yang dapat kita perhatikan bahwa pelarangan penulisan terhadap Abdullah adalah di masa hidup Nabi Saww. Ini adalah hal yang menguatkan dalam persekongkolan buruk tesebut dan kejahatannya. Kalau tidak begitu, mengapa mereka sengaja melarang Abdullah dari penulisan tanpa merujuk kepada Nabi saww sendiri?
Seperti apa yang dapat dipahami juga dari ucapan mereka, “Sesungguhnya Rasulullah itu seorang manusia yang berbicara dalam situasi marah dan senang, “ menunjukkan akidah mereka terhadap Nabi saww, sangatlah tercela sampai pada tingkat mereka meragukan beliau dengan anggapan bahwa beliau itu berkata salah dan menetapkan hukum secara zalim khususnya ketika marah.
Apa yang diucapkan Nabi saww ketika Abdullah bin Amr mengadukan pada beliau tentang pribadi beliau, lalu beliau bersabda, Tulislah, demi zat yang diriku pada tangan-Nya, tidaklah keluar darinya selain hanyalah kebenaran”– beliau sambil mengisyaratkan pada mulut beliau, ini adalah merupakan satu bukti yang lain bagi pengetahuan Rasul terhadap keraguan mereka tentang keadilan beliau dan bahwa mereka memungkinkan bagi beliau untuk berbuat salah dan berkata batil. Maka beliau pun bersumpah dengan atas nama Allah SWT, bahwa tidak pernah keluar dari mulut beliau kecuali hanyalah kebenaran.
Ini adalah merupakan penafsiran yang shahih dari yang telah dinyatakan dalam firman Allah SWT, Dan dia tidak berbicara karena hawa nafsu, Kecuali wahyu yang telah diwahyukan.” (QS. Najm:3-4).
Sesungguhnya beliau Saww, adalah maksum dari segala kesalahan dan perkataan yang batil. Dengan ini maka kami menetapkan bahwa seluruh hadis dan riwayat yang telah dibuat di zaman Umawiyin dan yang menyimpulkan bahwa beliau tidak maksum adalah tidak shahih sama sekali. Sebagaimna hadis yang disebutkan, menunjukkan pada kita bahwa pengaruh mereka terhadap diri Abdullah bin Amr sangat besar sehingga dia menahan diri dari penulisan seperti yang dia nyatakan sendiri tatkala dia berkata, “Maka aku menahan diri dari penulisan.”
Dan dia tetapkan begitu sehingga datang kesempatan baginya untuk menghadap Rasul sendiri dalam rangka menghilangkan keraguan yang menyangkut sekitar kemaksuman dan keadilan beliau, dan telah banyak menjangkit sehingga di hadapan beliau, seperti ucapan mereka kepada Nabi saww secara terang-terangan, “Apakah engkau Nabi saww yang sebenarnya…?’(Ucapan Umar ketika perdamaian Hudaibiyah, riwayat Bukhari, II, hal.122).
Atau ucapan,”Engkaulah yang mengaku Nabi ?”(Ucapan ‘Aisyah bin Abu Bakar dalam Ihya’ul Ulum, al-Ghazali, II, hal.29).
Atau kata-kata, “Demi Allah, dia tidak karena Allah Swt, dalam pembagian ini.”(Ucapan seorang sahabat Anshar, riwayat Bukhari, IV, hal. 47).
Atau seperti ucapan ‘Aisyah pada Nabi,” Sesungguhnya Tuhanmu menguatkan hawa nafsumu.”(Shahih Bukhari, VI, hal. 24).
Sebagian yang dapat menguatkan keyakinan kita, bahwa hadis, “Janganlah kalian menulis dariku…,” adalah hadis palsu atau dusta, yang tidak memiliki asas-asas keshahihannya dan tidak pernah diucapkan Rasulullah secara mutlak, yakni bahwa Abu Bakar sendiri telah menulis dari Rasulullah saww sebagaian hadis-hadis, yang telah ia kumpulkan di masa Nabi kemudian setelah dia memegang kekhalifahan, segera dia membakarnya demi satu kepentingan yang tidak dapat disembunyikan lagi bagi para peneliti, Inilah putrinya ‘Aisyah telah berkata,”Bapakku telah mengumpulkan hadis Rasulullah, jumlahnya 500 hadis, kemudian dia dalam kegelisahaan, lalu saya berkata, dia gelisah karena suatu pengaduan atau karena sesuatu telah sampai padanya. Maka ketika pagi hari dia berkata, ‘Hai putriku, bawalah ke sini hadis-hadis yang ada padamu, lalu sayapun datang membawanya, kemudian dia membakarnya.”(Kanzul Umal, V, hal. 237, dan Ibnu Katsir dalam Bidayah).
Dan juga inilah Umar bin Khathab di masa kekhalifahannya, dia berkhotbah pada suatu di hadapan umat manusia, dia mengatakan , “Tidak boleh seorang pun yang masih tinggal padanya kitab kecuali harus membawanya kepadaku, aku akan memeriksanya dengan penilaianku.” Tidak boleh seorang pun yang masih tinggal padanya kitab kecuali harus membawanya kepadaku, aku akan memeriksanya dengan penilaianku.”
Maka mereka –para sahabat– mengira bahwa ia akan memeriksa kandungannya untuk diluruskan agar tidak ada di dalamnya perkara yang saling bertentangan, lalu mereka menyerahkan kitab-kitab mereka kepadanya, kemudian ia membakarnya dengan api.(Thabaqat al-Kubra, Ibnu Sa’id, V, hal. 188).
Ia pun telah mengirim utusan ke kota-kota untuk memerintahkan siapa yang memiliki sesuatu tulisan, hendaklah menghapusnya.(Jami’ul Bayan al-Ilmi, Ibnu Abd al-Bar).
Itu adalah merupakan bukti terbesar bahwa para sahabat umumnya memiliki kitab-kitab yang di dalamnya terkumpul hadis-hadis Nabi yang ditulis di masa Nabi, kemudian semuanya dibakar dengan perintah Abu Bakar pada periode pertama, lalu Umar pada periode kedua dan dihapus sisa kitab yang masih ada di kota-kota lain dengan perintah Umar di masa kekhalifahannya.
Atas dasar ini, maka tidak mungkin bagi kita atau bagi siapa saja yang berakal untuk membenarkan bahwa Rasulullah telah melarang penulisan hadis setelah kita katahui bahwa kebanyakan sahabat memiliki kitab-kitab hadis, khususnya lembaran yang senantiasa bersama Imam ‘Ali yang panjangnya 70 hasta dan dia namakan al-Jami’ah, sebab ia mengumpulkan seluruhnya.
Karena penguasa yang memerintah dan politik yang berjalan, kemaslahatannya menghendaki penghapusan sunah Nabi saww dan pembakarannya serta meniadakan periwayatannya, maka para sahabat yang menjadi pendukung kekhalifahan tersebut, mereka mematuhi segala perintah itu dan menjalankannya, sehingga tidak ada yang tersisa pada mereka dan tidak pula pada pengikut mereka selain hanyalah ijtihad dengan pendapat atau mengikuti sunah Abu Bakar, sunah Umar, sunah Utsman, Muawiyah, Yazid, Marwan bin Hakam, Abdul Malik bin Marwan, al-Walid bin Abdul Malik, dan sunah Sulaiman bin Abdul Malik, sampai datangnya masa Umar bin Abdul Aziz. Lalu ia meminta kepada Abu Bakar al-Huzami untuk menulis baginya apa yang dari hadis Rasulullah atau sunahnya atau sunah Umar bin khathab.(Al-Muwatha, Imam Malik, I, hal. 5).
Demikian itu nyata bagi kita bahwa penulisan sunah itu tertunda sampai pada situasi yang memungkinkan dan setelah berlalunya ratusan tahun dalam penghapusan dan pelarangannya, baru kita dapat melihat penguasa Umawiy yang dianggap adil dan yang digolongkan oleh Ahlussunnah wal Jama’ah ke dalam Khulafa ar-Rasyidin, memerintahkan pengumpulan sunah Rasulullah saww, dan sunah Umar bin Khathab, sepertinya Umar bin Khathab itu dianggap sebagai pasangan Muhammad dalam kerasulan dan kenabiannya.
Mengapa Umar bin Abdul Aziz itu tidak mau meminta kepada para Imam Ahlulbait yang hidup di zamannya untuk memeberikan padanya tulisan dari lembaran al-Jami’ah, dan mengapa dia tidak menginginkan mereka untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi saww, padahal mereka adalah orang-orang yang paling tahu tentang hadis datuk mereka daripada selain mereka…?
Para Pengamat dan Peneliti Tentunya Mengetahui Rahasia Itu Semua
Bisakah kemantapan di dapat pada hadis-hadis yang telah dikumpulkan oleh Ahlussunnah wal Jama’ah dari Umayyah dan para pendukungnya itu, yang mereka adalah merupakan penguasa Quraisy, sedang kita telah ketahui hakikat Quraisy dan akidahnya terhadap Rasulullah saww, dan sunah beliau yang suci…?
Setelah ini, menjadi jelaslah bahwa penguasa yang memerintah dalam masa-masa pemerintahannya itu telah melakukan ijtihad dan qias serta musyawarah antara sebagaian mereka. Dan karena penguasa telah memojokkan Imam ‘Ali dari kebebasan hidup dan telah mengabaikannya, maka penguasa tidak mempunyai kemampuan memerintah atas dirinya untuk membakar apa yang telah dia tulis di masa kerasulan dengan pendektean dari Nabi saww, sendiri. ‘Ali bin Abi Thalib tetap masih memelihara lembaran tersebut yang tekumpul di dalamnya segala yang dibutuhkan manusia sehingga perkara lalat, dan tatkala ia memegang tampuk kekhalifahan, ia mengaitkannya pada pedangnya dan ia naik ke atas mimbar untuk berkotbah di hadapan umat manusia dan memperkenalkan pentingnya lembaran tersebut.
Riwayat tersebut sudah mutawatir (terkenal) dari para Imam Ahlulbait alaihimussalam, bahwa mereka saling mewarisi lembaran itu, bapak dari datuk, yang besar dari yang terbesar dan mereka memberi fatwa dalam masalah-masalah yang dibutuhkan oleh umat di masanya dengannya, dari kalangan orang yang mengikuti bimbingan mereka.
Oleh sebab itu Imam Ja’far ash-Shadiq dan Imam ar-Ridha serta lainnya dari para Imam, mereka selalu menyebut-nyebut kata-kata tersebut dengan keistimewaannya dan mereka berkata, “Sungguh kami tidak memberi fatwa pada manusia dengan pendapat kami, seandainya kami berfatwa pada manusia dengan pendapat kami dan keinginan nafsu kami niscaya kami termasuk orang-orang yang binasa, tetapi itu adalah peninggalan dari Rasulullah saww.
Pemilik ilmu kami saling mewarisi yang besar dari yang terbesar, dan kami menjaganya sebagaimana manusia menjaga emas dan perak mereka.”(Maalim al-Madrasatain, al-Allamah al-Askari, II, hal. 302).
Pada kali ini Imam Ja’far Shadiq as berkata, “Hadisku adalah hadis bapakku, hadis bapakku adalah hadis datukku, hadis datukku adalah hadis Husein, hadis Husein adalah hadis al-Hasan, hadis al-Hasan adalah hadis Amirul Mukminin, hadis Amirul Mukminin adalah hadis Rasulullah saww, dan hadis Rasulullah adalah firman Allah Azza wajalla.” (Ushul al-Kafi, I, hal. 53).
Dengan ini semua, maka hadis Tsaqalain yang telah Mutawatir yakni, “Aku tinggalkan pada kalian dua beban berharga yaitu Kitabullah dan keturunanku, selama kalian berpegang pada keduanya niscaya tidak akan sesat selama-lamanya setelahku,”(Shahih Muslim, V, hal. 122, dan Turmudzi, V, hal. 637).
Ini kebenaran yang tidak ada selainnya kecuali kesesatan, dan itu sunah Nabi saww, yang shahih tidak ada penjaga dan pemelihara serta penegak selain para Imam yang suci dari Ahlulbait al-Musthafa al-Mukhtar.
Seperti yang dapat disimpulkan dari sini, bahwa Syi’ah Ahlulbait yang berpegang pada Ahlulbait yang suci tersebut, mereka itu adalah Ahlussunnah Nabi saww yang sesungguhnya, dan Ahlussunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang mendakwahkan sesuatu yang tidak layak bagi mereka dan dakwaan mereka itu tidak berdasarkan hujah dan dalil.
*****
12 Khalifah Syi’ah imamiyyah Dizalimi Rezim Umayyah Abbasiyah
Inilah Tahun Lahir dan wafat Khulafaur rasyidin Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah (kecuali Imam Mahdi):
1.KHALiFAH Ali bin Abi Thalib : 600–661 M atau 23–40 H.
Imam pertama dan pengganti yang berhak atas kekuasaan Nabi Muhammad saw. ..Dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam, seorang Khawarij di Kufah, Irak. Imam Ali ra. ditusuk dengan pisau beracun..
Pembunuhan beliau akibat politik adu domba (devide it impera) yang dilakukan Mu’awiyah bin Abu Sofyan untuk memecah belah pendukung Imam Ali…
Padahal meninggal kan itrah ahlul bait = meninggal kan QURAN, itrah ahlul bait dan Quran adalah satu tak terpisahkan ! Aswaja Sunni meninggalkan hadis 12 imam lalu berpedoman pada sahabat yang cuma sebentar kenal Nabi seperti Abu hurairah dan ibnu Umar.
Menurut ajaran sunni :
- Imam Ali berijtihad
- Mu’awiyah berijtihad
- Jadi keduanya benar ! Pihak yang salah dapat satu pahala ! Pihak yang benar ijtihad dapat dua pahala
Ajaran Sunni tersebut PALSU !!
Ijtihad yang salah lalu si mujtahid berpahala hanya pada PERKARA/MASALAH yang belum ada nash yang terang, misal :Apa hukum melakukan bayi tabung pada pasangan suami isteri yang baru setahun nikah dan belum punya anak ??
Mu’awiyah Membunuh Orang Tak Berdosa, Aisyah Membunuh Orang Yang Tak Berdosa !!
Dalam hukum Allah SWT : “”hukum membunuh orang yang tak berdosa adalah haram”” (nash/dalil nya sudah terang dan jelas tanpa khilafiyah apapun yaitu QS.An Nisa ayat 93 dan Qs. Al hujurat ayat 9).
Membunuh sudah jelas haram, jika saya membunuh ayah ibu anda yang tidak berdosa lalu saya katakan bahwa saya salah ijtihad, apakah murid TK tidak akan tertawa ???????
Nabi SAW saja pernah bersabda : “” Seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangan nya””.
Tidak Ada Istilah Kebal Hukum Didepan Nabi SAW
saudaraku….
Tanggapan syi’ah tentang bai’at Imam Ali:
Imam Ali r.a dan Syiah membai’at Abubakar sebagai sahabat besar dan pemimpin Negara secara the facto, seperti hal nya anda mengakui SBY sebagai Presiden R.I…
Saudaraku..
- Imam Ali terpaksa membai’at Abubakar karena ingin memelihara umat agar tidak mati sia sia dalam perang saudara melawan Pasukan Abubakar dibawah pimpinan Khalid Bin Walid yang haus darah
- Dengan mengalah Imam Ali telah menyelamatkan umat Islam dari kehancuran..Kalau perang saudara terjadi dan imam Ali tidak membai’at Abubakar maka tidak ada lagi Islam seperti yang sekarang ini
Akan tetapi…..
syi’ah dan Imam Ali tidak mengakui tiga khalifah sebagai pemimpin keagamaan dan pemimpin negara secara yuridis ( imamah ) seperti halnya anda menginginkan Presiden R.I mestinya adalah orang yang berhukum dengan hukum Allah..Karena keimamam itu bukanlah berdasarkan pemilihan sahabat Nabi SAW, tapi berdasarkan Nash dari Rasulullah SAW…
Apa bukti Ahlul bait sampai matipun menolak Abubakar sebagai pemimpin keagamaan dan pemimpin negara secara yuridis ???
Ya, buktinya Sayyidah FAtimah sampai mati pun tidak mau memaafkan Abubakar dan Umar cs.
2.KHALiFAH Hasan bin Ali : 624–680 M atau 3–50 H.
Diracuni oleh istrinya di Madinah atas perintah dari Muawiyah I
Hasan bin Ali adalah cucu tertua Nabi Muhammad lewat Fatimah az-Zahra. Hasan menggantikan kekuasaan ayahnya sebagai khalifah di Kufah. Berdasarkan perjanjian dengan Muawiyah I, Hasan kemudian melepaskan kekuasaannya atas Irak.
3.KHALiFAH Husain bin Ali : 626–680 M atau 4–61 H.
Husain adalah cucu dari Nabi Muhammad saw. yang dibunuh ketika dalam perjalanan ke Kufah di Karbala. Husain dibunuh karena menentang Yazid bin Muawiyah..Dibunuh dan dipenggal kepalanya di Karbala.
4.KHALiFAH Ali bin Husain : 658-712 M atau 38-95 H.
Pengarang buku Shahifah as-Sajadiyyah yang merupakan buku penting dalam ajaran Syi’ah…wafat karena diracuni oleh orang suruhan Khalifah al-Walid di Madinah,
5.KHALiFAH Muhammad al-Baqir : 677–732 M atau 57–114 H.
Muhammad al-Baqir diracuni oleh Ibrahim bin Walid di Madinah, Arab Saudi, atas perintah Khalifah Hisyam bin Abdul Malik
6. KHALiFAH Ja’far ash-Shadiq : 702–765 M atau 83–148 H.
beliau diracuni atas perintah Khalifah al-Mansur di Madinah..Beliau mendirikan ajaran Ja’fariyyah dan mengembangkan ajaran Syi’ah. Ia mengajari banyak murid dalam berbagai bidang, diantaranya Imam Abu Hanifah dalam fiqih, dan Jabar Ibnu Hayyan dalam alkimia
7.KHALiFAH Musa al-Kadzim : 744–799 M –atau 128–183 H.
Dipenjara dan diracuni oleh Harun ar-Rashid di Baghdad
8.KHALiFAH Ali ar-Ridha : 765–817 atau 148–203 H.
beliau diracuni oleh Khalifah al-Ma’mun di Mashhad, Iran.
9.KHALiFAH Muhammad al-Jawad : 810–835 M atau 195–220 H.
Diracuni oleh istrinya, anak dari al-Ma’mun di Baghdad, Irak atas perintah Khalifah al-Mu’tashim.
10.KHALiFAH Ali al-Hadi : 827–868 M atau 212–254 H.
beliau diracuni di Samarra atas perintah Khalifah al-Mu’tazz
11.KHALiFAH Hasan al-Asykari : 846–874 M atau 232–260 H.
beliau diracuni di Samarra, Irak atas perintah Khalifah al-Mu’tamid.
Pada masanya, umat Syi’ah ditekan dan dibatasi luar biasa oleh Kekhalifahan Abbasiyah dibawah tangan al-Mu’tamid
12.KHALiFAH Mahdi : Lahir tahun 868 M atau 255 H.
beliau adalah imam saat ini dan dialah Imam Mahdi yang dijanjikan yang akan muncul menjelang akhir zaman.. Sebelum beliau muncul, Iran menyiapkan “Fakih yang adil” sebagai pengganti sementara, misal : Ayatullah Khomeini dan Ayatullah Ali Khamenei .
*****
Cara Sistematis Umayyah Abbasiyah Memalsu Agama
Doktrin Aswaja ikut dibentuk oleh Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah dengan cara :
(1) Melaknati dan memerintah kaum Muslim untuk mentradisikan pelaknatan Imam Ali as., seperti apaa yang ditradisikan oleh Mu’awiyah dan para raja bani Umayyah tekutuk!
(2) Mengejar-ngejar dan membantai para pecinta Imam Ali as. seperti apaa yang ditradisikan oleh Mu’awiyah dan para raja bani Umayyah tekutuk serta sebagian raja bani Abbas!
(3) Mengintimidasi dan menghukum siapa saja yang dituduh mencintai Imam Ali dan Ahlulbait as.
(4) Menuduh siapa saja yang mencintai Imam Ali dan Ahlulbait dengan berbagai tuduhan kejam, seperti Syi’ah atau Rafidhah!
(5) Mencacat siapa saja yang meriwayatkan hadis-hadis Nabi saw. tentang keutamaan Imam Ali dan Ahlulbait dengan berbagai pencacatan tidak berdasar dan palsudan sekaligus menuduhnya sebagai Syi’ah atau Rafidhah!
(6) Memusnahkan atau merahasiakan sebisa mungkin hadis-hadis Nabi saw. tentang keutamaan Imam Ali dan Ahlulbait as. agar tidak menyebar dan mengguga kesadaran umat Islam akan kemuliaan keistimewaan Ahlulbait as.
(7) Menyebarkan hadis-hadis palsu keutamaan musuh-musuh Imam Ali dan Ahlulbait as. sebagai usaha menandingi keisitimewaan Imam Ali dan Ahlulbait as.
(8) Menyetir perawi perawi hadis agar membuang hadis yang merugikan mereka dan membuat hadis hadis palsu untuk kepentingan mereka
(9) Membungkam perawi perawi yang tidak memihak mereka dengan segala cara
(10) Mereka secara turun temurun membantai anak cucu Nabi SAW , menteror dan menyiksa pengikut/pendukung mereka (syi’ah)
(11)Mereka mempropagandakan dan menanamkan dalam benak umat bahwa syi’ah itu rafidhah sesat berbahaya dan agar umat menjauhi anak cucu ahlul bait
(12) sebuah institusi sangat penting dalam sejarah perkembangan sekte Sunni, yakni Universitas Nizamiyya, lembaga pendidikan yang didirikan oleh Perdana Menteri Nizam al-Mulk yang berkuasa tahun 1063 M/465 H. Inilah universitas yang didirikan oleh perdana menteri dinasti Saljuk yang sangat cinta ilmu itu untuk menyebarkan doktrin Sunni, terutama Ash’ariyyah dan Syafi’i . Di universitas itu, beberapa ulama besar yang sudah kita kenal namanya sempat melewatkan waktu untuk mengajar, seperti Imam Ghazali dan gurunya, Imam al-Juwayni.
Karena faktor DUKUNGAN PENGUASA mazhab sunni bisa cepat tersebar
Mu’awiyyah selalu menindas pengikut-pengikut Syi’ah , seperti yang dilakukannya ketika ia memerintahkan Basyir bin Artha’ah yang dengan kejamnya membunuh 30.000 pengikut Syi’ah dan Bani Hasyim termasuk didalamnya putra paman Nabi SAW Ubaidillah bin Abbas di Yaman, juga penyiksaan sahabat-sahabat setia Nabi SAW dan pembakaran rumah-rumah mereka di Madinah, diantaranya adalah Abu Ayub Al Ansyari, dimana Abu Hurairah terlibat di dalamnya serta turut menyaksikannya, Mu’awiyyah kemudian mengangkatnya menjadi Gubernur, semua ini bersumber dari buku-buku Sunni sendiri, seperti Raudhah al Syafa al Nastir dan Muzakirah Safar karya Al Khawarizmi, Tarikh Tabarri, Ibnu Khaldun, Ibnu Khalikan Samhudi dan Ibnu Abil Hadid dalam syarh Nahjul Balaghah, begitu pula apa yang dilakukan oleh Yazid bin Mu’awiyyah bin Abu Sofyan yang membantai keluarga Nabi SAW di Karbala-Irak.
Cobalah anda perhatikan , kepentingan politik telah merubah segalnya, yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar. Kaum syi’ah yang memegang teguh wasiat Nabi dibilang pembangkang dan ahli bad’ah, sementara mereka yang tidak memegang teguh wasiat Nabi malah disebut pengikut sunnah Nabi.
“sunnah “ yang mereka maksudkan tidak lain adalah bid’ah ketika mengutuk Sayyidina Ali dan keluarga Nabi SAW di seluruh polosok negeri, Bid’ah tersebut berlangsung lebih dari 80 tahun.. Kalau mereka konsisten menjalankan sunnah Nabi SAW seharusnya mereka tidak akan membiarkan 80 tahun cacian-cacian terhadap keluarga Nabi SAW.
Bahkan tidak jarang mengkafirkan Syi’ah sebagaimana diperbuat di zaman Mu’awiyyah bin Abu Sufyan. Para Penulis itu menuduh bahwa Syi’ah itu adalah kelompok yang didirikan oleh Abdullah bin Saba, seorang yang konon beragama Yahudi dan jauh lebih berbahaya dari agama Yahudi itu sendiri.Dalam lain kesempatan mereka menuduh bahwa Syi’ah kelompok yang menyembah Sayyidina Ali dan para Imam Suci, Akibatnya asumsi dan persepsi orang-orang dari dulu hingga sekarang tidak pernah berubah sedikitpun, sehingga mereka menganggap Syi’ah bukan dari kelompok Islam.
Apakah mereka takut kalau mayoritas muslim akan beralih nantinya menjadi pengikut Syi’ah, jika kebenaran yang sesungguhnyan tersingkap. Tidaklah mengherankan kalau para ulama mereka mengharamkan pengikutnya untuk duduk bersama orang Syi’ah untuk mendiskusikan kebenaran…
Jelaslah bahwa pihak mereka adalah pihak yang paling termakan menjalankan sunnah rekayasa yang dibuat Bani Umayyah dan bukan Sunnah Rasul SAW serta berusaha memutarbalikkan fakta yang sebenarnya.
Riwayat dari Thabarani dari Ibni Abbas dan dikutip oleh Suyuthi dalam kitabnya Ihya Ul Mait dan Al Nabhani dalam Arba’in bahwa Nabi SAW bersabda “Tidak akan tegeser kedua kaki seseorang pada hari kiamat sebelum ia ditanya empat pertanyaan; tentang usianya untuk apa ia habiskan; tentang tubuhnya bagaimana ia menggunakannya; tentang hartanya dari mana ia dapatkan dan kemana ia belanjakan serta tentang kecintaannya terhadap Ahlul Bait.”
Salah satu bukti dari kebenaran Syi’ah ialah mereka berargumentasi atas kebenaran mereka dengan menggunakan kitab-kitab dan riwayat-riwayat ulama Ahlus Sunnah. Karena di dalamnya banyak sekali hal-hal yang menjelaskan kebenaran mereka dengan jelas sekali, karena di dalam kitab-kitab ini terdapat hadis-hadis yang menunjukkan wajibnya mengikuti ajaran Ahlul Bait as.. pengikut mereka dalam sejarahnya senantiasa lebih cerdas walau tertindas.
Syi’ah mempunyai sumber-sumber rujukan tersendiri, yang jumlahnya berkali-kali lipat dibandingkan sumber-sumber rujukan Ahlus Sunnah, dan semuanya diriwayatkan dari Ahlul Bait as dan dari Rasulullah saw. Namun demi-kian, mereka berargumentasi kepada Ahlus Sunnah dengan menggunakan riwayat-riwayat yang ada di dalam sumber-sumber rujukan Ahlus Sunnah, dikarenakan Ahlus Sunnah tidak percaya kepada apa yang ada pada sisi mereka, maka mau tidak mau mereka harus berhujjah dengan apa-apa yang diyakini oleh kalangan Ahlus Sunnah.
Beda utama Syi’ah – Sunni :
Sunni :
1. Nabi SAW tidak menunjuk siapa penggantinya.
2. Fokus pedoman: Sahabat.
3. Semua sahabat adil.
Mu’awiyah di dalam khutbahnya dishalat Jum’at telah mengutuk ’Ali, Hasan dan Hussein. Mu’awiyah juga mengintruksikan didalam semua forum jamaah ketika dia berkuasa supaya mengutuk manusia yang suci itu (baca keluarga Rasul) Justru itu siapapun yang bersatupadu dengan manusia yang terkutuk itu (baca Mu’awiyah) dan merasa senang dengan tindakan mereka (baca komunitas Mu’awiyah) tidak pantaskah untuk dikutuk?
Dan ketika dia sedang bersekutu dengan manusia seperti itu, jika dia membantu mereka dalam memalsukan Hadist dari Ahlulbayt (keluarga/keturunan Rasul) dan memaksakan manusia untuk melakukan kutukannya kepada manusia suci ini (baca ’Ali, Fatimah, Hasan dan Husen), Pengaruh fitnah mereka ini sangat besar sekali, sehingga tanpa disadari telah menyelinap ke kalangan sebagia Ahlusunnah dan mempengaruhi alur berpikir sebagian mereka.
*****
Pertemuan Malik dengan Abu Ja’far Al-Manshur
Riwayat ini disampaikan oleh Ibnu Qutaibah seorang sejarawan terbesar dalam kitabnya Tarikh khulafa’ adalah bersumber dari Malik sendiri, maka hal ini perlu mendapat perhatian dan dijadikan materi pelajaran. Malik telah mengatakan, “Ketika saya berada di Mina, saya mendatangi beberapa kemah, dansaya sendiri meminta izin maka saya diberi izin. Kemudian orang yang memberi izin itu keluar menemuiku dan memasukkanku, saya berkata padanya, “Jika kamu dan saya telah sampai pada kemah di mana Amirul Mukminin berada maka beritahukanlah saya .” Lalu ia berjalan bersamaku dari suatu kemah kekemah lain, dalam setiap kemah terhadap kelompok lelaki yang pada tengah mereka padang-padang yang terkenal dan tangan-tangan terangkat, sehingga orang itu mengatakan pada saya, ‘Dia berada di kemah itu, lalu ia meninggalkan saya dan berada dibelakang saya.
“Kemudian saya berjalan sampai pada kemah yang dia berada di dalamnya, tiba-tiba ia telah turun dari tempat ia duduk menuju ke hampaaran di bahwahnya dan ia telah mengenakan pakaian sederhana sekali yang kurang layak bagi orang yang semisalnya sebagai sikap merendah karena kedatanganku dan tidak ada bersamanya selain sebuah pemancang yang pada ujungnya sebilah pedang yang tersarungkan. Ketika saya mendekat padanya, ia mempersilahkan dan mendekatkan saya lalu ia berkata, “Silahkan mendekat padaku, maka saya berisyarat mau duduk, ia mengatakan, ‘Ke sini! ia senantiasa memanggilku untuk mendekat, sehingga ia mendudukanku di depannya dan berhimpitan kedua lututku dengan kedua lututnya.
“Selanjutnya yang pertama kali dia ucapkan ialah, Demi Allah yang tidak ada Tuhan kecuali Dia, wahai Abu Abdullah! sungguh aku tidak pernah memerintahkan aapa yang telah terjadi itu dan aku tidak mengetahui sebelum terjadinya serta aku tidak pula merelakannya (Yakni peristiwa pemukulan).’ Malik berkata, maka saya memuji Allah SWT pada setiap saat dan saya bersalawat pada Rasulullah saww, kemudian saya membebaskan dia dari perkara tersebut dan menyatakan kerelaan tentangnya. Kemudian ia berkata, ‘wahai Abu Abdullah! penduduk Haramain senantiasa dalam kebaikan selama engkau di belakang mereka, sungguh aku mempercayakan padamu keamanan bagi mereka dari siksaan Allah dan kemurkaan-Nya dan denganmu Allah SWT telah menahan mereka dari bencana yang besar. Sesungguhnya mereka itu seperti yang aku ketahui adalah orang-orang yang paling cepat mendapat bencana dan yang paling lemah untuk terhindar dari padanya, semoga Allah membinasakan mereka di mana saja berada. Aku telah memerintahkan untuk menghadapkan musuh Allah SWT itu dari Madinah dalam keadaan terhina (yakni Ja’far bin Sulaiman) dan aku telah memerintahkan untuk mempersempit tempat duduknya serta secara terang-terangan penghinaannya, dan sepatutnyalah aku menimpahkan siksaan padanya yang melebihi dari apa yang telah engkau terima darinya.
“Maka saya pun menjawab, ‘Semoga Allah SWT memaafkan Amirul Mukminin dan memuliakan kedudukannya, sungguh saya telah memaafkan dirinya lantaran kekerabatannya dengan Rasulullah saww, dan denganmu.’ Abu Ja’far al-Manshur berkata, ‘Dan juga engkau semoga diampuni oleh Allah dan didekatkan. ’Malik berkata ‘Kemudian ia telah membeberkan padaku tentang orang yang telah lalu dari kalangan para pendahulu, maka saya dapati ia adalah seorang yang paling tahu terhadap perkara yang mereka sepakati dan yang mereka perselisihkan karena ia bersikap menjaga apa yang diriwayatkan dan menyadari apa yang didengar.’
“Lalu ia berkata kepadaku, ‘Wahai Abu Aabdullah! Letakkan ilmu ini dan catatlah, tulislah darinya menjadi beberapa kitab, jauhilah kekerasan Abdullah bin Umar, peringatan Abdullah bin Abbas dan keasingan Abdullah bin Mas’ud, ambilah jalan pertengahan dan yang telah disepakati oleh para pemimpin dan sahabat ra, supaya kami dapat membebani manusia insya Allah dengan ilmumu dan kitab-kitabmu dan kami kirimkan keseluruh kota-kota serta kami pesankan pada mereka agar mereka tidak menyimpang darinya dan tidak menentukan hukum dengan selainnya. Saya pun menyatakan padanya, ‘Semoga Allah memperbaiki keadaan Amirul Mukminin, sesungguhnya penduduk Iraq tidak mau menerima ilmu kami dan tidak mau memperhatikan pendapat kami dalam ilmu mereka.’ Maka Abu Ja’far al-Manshur menjawab, ‘Mereka akan dipaksa dengan dan kami akan memukul kemauan mereka dengan pedang serta memutuskan kekuatan punggung mereka dengan cambuk, maka segeralah perbuat dan tetapkanlah, anakku Muhammad al-Mahdi akan datang padamu tahun depan insya Allah di Madinah untuk mendengarnya darimu dan ia akan mendapatkanmu telah menyelesaikan kitab itu insya Allah.
“Malik berkata, ‘Tatkala kami tengah duduk, tiba-tiba muncul seorang anaknya yang kecil dari kemah sebelah belakang kemah temapat kami berada, dan ketika anak kecil itu melihat padaku maka ia ketakutan dan berbalik kebelakang, ia tidak mau maju ke depan,’ Lalu Abu Ja’far al-Manshur berkata padanya, ‘Majulah wahai sayangku, sesungguhnya ia ini adalah Abu Abdullah seorang faqih penduduk hijaz, ’kemudian ia berpaling kepadaku sambil berkata, ‘Hai Abu Abdullah, tahukah engkau mengapa anak itu takut dan tidak mau ke depan? ‘ Aku menjawab , ‘Tidak!’ Ia berkata, ‘Demi Allah, ia telah memungkiri kedekatan tempat dudukmu denganku, karena ia belum pernah melihat hal ini terhadap seseorang selain engkau sendiri, oleh sebab itu ia berbalik.’
“Selanjutnya Malik berkata, ’kemudian ia memerintahkan untuk memberikan uaang padaku seribu dinar berupa emas dan sebuah baju besar dan memerintahkan untuk memberi anakku seribu dinar, lalu saya mohon diri dan ia mempersilahkan. Maka saya pun berdiri dan ia melepasku serta mendoakan untukku. Saya berjalan keluar dan seorang pelayan menemuiku dengan membawa baju besar lalu meletakkannya pada bahuku, demikian itulah yang diperbuat terhadap orang yang diberi pakaian jika ia dimuliakan lalu keluar dengan baju tersebut ke kalangan manusia dan ia membawanya kemudian menyerahkannya kepada anaknya. Maka tatkala si pembantu itu meletakkan baju itu pada bahuku saya mengelah darinya karena tidak suka membawanya dan demi membebaskan diri darinya. Maka Abu Ja’far memanggilnya dengan berkata, ‘Antarkan ke kendaraan Abu Abdullah!’”[1]
Referensi:
[1] Lihat Tarikh Khulafa’ oleh Ibnu Qutaibah, II, hal.150.
*****
Kekejaman Raja Mutawakkil (Sang Pembela Ahmad Bin Hambal)
Kekejaman para penguasa tiran terhadap para pecinta Nabi saw. dan keluarga suci kenabian tidak hanya terbatas pada para penguasa rezim Umayyah. Para penguasa rezim Abbasiyah juga tidak ketinggalan dalam menekan, mengintimidasi serta menyiksa siapa saja yang berani-berani berjuang dalam menyampaikan sunnah Nabi saw. tentang keutamaan Ahlulbait as.
Banyak kisah sedih kekejaman para penguasa dan aparatnya dalam rangka membrangus sabda-sabda suci Nabi saw. dan dalam usaha mereka untuk menyegel mulut-mulut para muhaddis agar tidak menyebar luaskannya.
Di bawah ini saya akan sebutkan kisah perjuangan Nashr ibn Ali (seorang ulama) dalam penyampaikan sebuah hadis suci Nabi saw. yang mendapat siksa keras agar membuatnya dan rekan-rekan sejawatnya jerah!
Kisah Perjuangan Nasr ibn Ali Dalam Menyebarkan Hadis Keutamaan Imam Ali as
At Turmudzi dan para muhaddis lain meriwayatkan dari Nashr ibn Ali al Jahdhami, ia berkata, Ali ibn Ja’far[1] telah mengabarkan kepada kami, ia berkata, ’saudaraku Musa mengabarkan kepadaku dari Ja’far ibn Muhammad ayah beliau dari ayah beliau Muhammad ibn Ali dari ayah beliau Ali ibn Husain dari ayah beliau dari kakek beliau Ali ibn Abi Thalib bahwa Rasulullah saw. memegang tangan Hasan dan Husain lalu bersabda:
مَنْ أَحَبَّنِيْ وَ أحبَّ هَذَيْنِ و أباهُما وَ اُمَّهُما كان مَعِيْ في درجَتِيْ يومَ القيامةِ
“Barang siapa mencintaiku dan mencintai kedua anak ini, ayah dan ibu keduanya maka ia bersamaku satu derajat denganku kelak di hari kiamat.”[2]
Al Khathib al Baghdâdi dalam Tarikhnya meriwayatkan, “Abu Abd. Rahman ibn Abd. Allah berkata, ‘Ketika Nashr menyampaikan hadis ini, Al Mutawakkil[3] memerintahkan agar ia dicambuk seribu cambukan. Ja’fa ibn Abd. Al Wahid memohon kepada Al Mutawakkil agar membatalkan hukuman itu, ia berkata kepadanya, ‘Dia adalah seorang dari Ahlulsunnah!’
Al Mutawakkil tetap memerintahkan agar Nashr terus dicambuk, dan Ja’far pun terus memohon dan akhirnya cambukan itu dihentikan…
Al Khathib berkata, “Al Mutawakkil memerintahkan agar Nashr dihukum cambuk karena ia menyangkannya sebagai seorang rafidhi, namun setelah ia yakin bahwa Nashr dari Ahlusunnah ia hentikan.”[4]
Apa Yang Aneh dan Membuat Al Mutawakkil Begitu Murka!
Apakah kandungan hadis ini bertentangan dengan Al quran dan sunah Nabi saw?! Atau para perawi yang menjadi perantara periwayatan hadis ini para pembohong?! Bukankan mereka adalah para panutan umat dari keturunan Rasulullah saw. yang telah disepakati para ulama akan kejujuran dan keagungan mereka?!
Coba pembaca perhatikan kembali nama-nama perawi hadis ini! Bukankah Anda temukan nama-nama harum dari putra-putra Rasulullah saw.;
1) Ali ibn Ja’far (kakek seluruh dzurriyyah/para saadah asal Hadhramaut) yang sangat diagungkan umat,
2) Imam Musa Al Kadzim as.,
3) Imam Ja’far ash Shadiq as.,
4) Imam Muhammad Al Baqir as.,
5) Imam Ali Zainal Abidin ibn Husain as.,
6) Imam Husain as.,
7) Imam Ali as.
Inilah salah satu bukti kekejaman Al Mutawakkil. Dan apabila Anda bertanya kepada sebagian ulama, siapa sejatinya al Mutawakkil itu? Apa jasa-jasanya terhadap kemurnian sunnah? Pastilah mereka akan mengatakan, “Ia adalah Khalifah yang sangat besar perhatiannya terhadap sunnah Nabi!”.
Al Suyuthi berkata, Al Mutawakkil dibai’at setelah kematian Al Watsiq, bulan Dzul Hijjah tahun232 H. Segera setelah itu ia menampakkan kecenderungannya kepada sunnah, membela ahlinya dan meniadakan mihnah, ujian (penyiksaan/cobaan) atas mereka!….
Sampai-sampai orang-orang berkata, “Para Khalifah itu ada tiga; Abu Bakar dalam memerangi orang-orang murtad, Umar ibn Abd. Aziz dalam mengembalikan hak kepada orang yang dizalimi dan Al Mutawakkil dalam menghidupkan sunnah dan mematikan faham Tajahhum (Mu’tazilah)”.![5]
Apakah Sunnah yang sedang diperjuangkan oleh al Mutawakkil itu? Jika benar ia memperjuangkan Sunnah Nabi saw. mengapakah ia menyiksa seorang alim yang dengan hati tulus meriwayatkan hadis keutamaan Ahlulbait Nabi as.?! Atau Sunnah yang dimaksud adalah Sunnah bani Umayyah dan para Munafik?
Referensi:
[1] Ali ibn Ja’far adalah putra bungsu Imam Ja’far as., ia dikenal sangat alim, rendah hati, dan teladan dalam ketaqwaan. Ia diberkahi umurnya sehingga hidup sezaman dengan Imam Jawad putra Imam Ali Ar Ridha putra Imam Musa Al Kadzim (kakak Ali ibn Ja’far ra.) dan meyakini keimamahannya walaupun dari sisi kekeluargaan beliau adalah berpangkat kakek sepupu terhadap Imam Jawad as. Ditegaskan oleh para sejarawan dari kaum Sâdah sendiri, seperti Al Syilli dalam Masyra’ ar Râwi bahwa beliau bermazhab Syi’ah Imamiyah Ja’fariyah Itsnâsyariyah. Beliau adalah kakek para sâdah (para sayid keturunan Rasulullah saw.) yang tinggal di Hadhramaut dan kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia Islam, seperti Indonesia, Malaysia, beberapa negara di Asia Tenggara, Timur Tengah dan Afrika dll.
[2] At Tirmidzi dalam Sunan (dengan syarah al Mubârakfûri).10, 237, Manâqib Ali ibn Abi Thalib, bab 93 hadis 3816, Ahmad dalam Musnad,1.168 hadis 576, Fadhail al Shahabah.2,694 hadis 1185, Al Khathib, Tarikh Baghdad, 13/287, Ibnu Asakir, Tarikh Damaskus, pada biodata Imam Hasan: 52 hadis 95 dan 96 dan Al Khawarizmi dalam Manâqib:138 hadis 156, Ibnu Al Maghazili dalam Manâqib:370, Abu Nu’aim dalam Tarikh Ishfahan:1192,dll.
[3] Al Mutawakkil nama lengkapnya Ja’far Abu Al Fadhl ibnu Al Mu’tashim ibn Harun Ar Rasyid. Ia dibaiat sebagai Khalifah setelah Al Wastiq pada bulan Dzul Hijjah tahun 232H. Para Ulama Sunni menyebut Al Mutawakkil sebagai “Khalifah Rasulullah” yang sangat consen terhadap kemurnian sunnah Nabi saw. mereka memuja dan menyanjungnya dan menggelarinya sebagai penyegar sunah dan pemberantas bid’ah!! (Baca sebagai contoh Tarikh al Khulafâ’; As Suyuthi:320).
[4] Al Khathib, Tarikh Baghdad,13/288.
[5] Tarikh Al Khulafâ’:320.
________________________
Maka terciptalah mazhab aswaja sunni secara evolusi dengan menutup kitab kitab hadis dan fakta sejarah agar tidak diketahui umat.
*****
Ketika Raja Dinasti Abbasiyah berkuasa yaitu Al Ma’mun (198 – 218 H / 813 – 833 M)lalu Al Mu’tashim (218 – 228 H / 833 – 842 M) lalu Al Watsiq ( 228 – 233 H / 842 – 847 M) paham kerajaan Abbasiyah adalah Mu’tazilah ! Terjadilah pertarungan antara Mu’tazilah melawan Ahlulhadis :
Tatkala Raja al-Mutawakil (847-864 M) berkuasa, ia melihat bahwa posisinya sebagai khalifah perlu mendapatkan dukungan mayoritas. Sementara, setelah peristiwa mihnah terjadi mayoritas masyarakat adalah pendukung dan simpatisan Ibn Hanbal. Oleh karenanya al-Mutawakil membatalkan paham Mu’tazilah sebagai paham negara dan menggantinya dengan paham Sunni.
Pada saat itulah Sunni mulai merumuskan ajaran-ajarannya. Salah seorang tokohnya, Syafi’i menyusun ‘Ushul al-Fiqh. Dalam bidang Hadis muncul tokoh Bukhari dan Muslim. Dalam bidang Tafsir, muncul al-Tabbari. Pada masa inilah kaum Sunni menegaskan sikapnya terhadap posisi terhadap 4 khalifah dengan mengatakan bahwa yang terbaik setelah Nabi adalah Abu Bakar, Umar, Uthman dan ‘Ali.
Raja Mutawakkil menyerahkan jabatan hakim agung (qdhi al qudat) kepada yahya bin Aktam seorang penganut mazhab syafi’i..Imam Ahmad bin Hambal yang sebelumnya terkurung dalam penjara dibebaskan dan nama baiknya direhabilitasi. Golongan Alawiyyah disingkirkan bahkan Imam Ali dicerca dalam khutbah jum’at dan kuburan keturunan nya dihancurkan…
Hal ini menunjukkan bahwa Mutawakkil memang anti syi’ah imamiyah dan sebaliknya malah ia membina basis dukungan dikalangan sunni terutama pengikut mazhab syafi’i dan hambali.
Upaya menindasan dan menghinaan terhadap Sayyidina Ali dan pengikutnya terus dilakukan oleh penguasa-penguasa baru Bani Abbasiah yang mencapai puncaknya pada masa khalifah Ja’far Al Muthasim Al Muttawakkil yang berusaha membongkar habis kuburan cucu Nabi SAW, yaitu Sayyidina Husein di Karbala dan melarang para peziarah untuk mengunjunginya (Karna demi kian beratnya hinaan, cacian dan siksaan yang harus ditanggung oleh pengikut Sayyidina Ali dari para penguasa saat itu , sampai-sampai mereka lebih baik mengaku Yahudi dari pada mengaku Syi’ah).
Khalifah Al Mutawakkil juga dikenal sebagai satu-satunya pengusa yang pernah membunuh semua bayi yang namanya Ali, karna ia membenci mendengar nama itu. Dan Khalifah Al Mutawakkil inilah yang oleh para ahli hadist Sunni disebut- sebagai pembangkit Sunnah.
Dari sini jelaslah bahwa kutukan dan cacian terhadap Sayyidina Ali dipandang sebagai dukungan terhadap simbul Ahlu Sunnah . Dan Mereka Menuduh Syi’ah yang mendukung kepemimpinan Sayyidina Ali dan menekankan kecintaan kepada Ahlul Bait as dan keharusan mengikuti mereka sebagai Ahli Bid’ah
untuk memperoleh pengakuan dari penguasa, pemikiran ulama Sunni menekankan pada ketaatan absolut terhadap khalifah yang sedang berkuasa, mereka berhasil mempengaruhi Khalifah Al Mutawakil (847-861 M), sekaligus merubah haluan aliran resmi pemerintahan menjadi sunni.
Langkah Al-Asy’ari dalam mengemas ASWAJA pada masa pasca pemerintahan Khalifah Al-Mutawakkil dari Dinasti Abbasiyah setelah puluhan tahun mengikuti Mu’tazilah kemudian disusul oleh Al-Maturidi, Al-Baqillani dan Imam Al-Juwaini sebagai murid Al-Asyari merumuskan kembali ajaran ASWAJA yang lebih condong pada rasional. Meskipun Aswaja mengklaim diri sebagai pengikut SAHABAT dan KHULAFAUR RASYiDiN.
Akan tetapi secara the facto Aswaja adalah kelompok yang dalam hal aqidah merujuk pada Imam Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi; dalam hal fiqh mengikuti pendapat salah satu imam mazhab yang empat (al-a’immah al-arba’ah), sedangkan dalam hal tasawwuf berafiliasi kepada Abu Hamid, Ahmad Al-Ghazali, dan Abu al-Qasim al-Junaid al-Baghdadi.. Al-Ghazali menolak filsafat dan memusatkan kajiannya dibidang tasawwuf.
Mazhab Aswaja Sunni Banyak Dipengaruhi Oleh Kepentingan-kepentingan Politik dan Kekuasaan
Mazhab ini dikodifikasi diakhir abad ke-3 dan ke-4 Hijriyyah yang dikaitkan dengan lahirnya konsep Aqidah yang dirumuskan kembali (direkonstuksi) oleh Asy’ari (Wafat : 324 H/935 M) dan Imam Maturidi (Wafat : 944 M/333 H) pada saat munculnya berbagai golongan pemahaman dibidang aqidah.. Dua ulama terakhir inilah permulaan faham Aswaja sering dinisbatkan.
Imam Abu Hanifah Al-Nu’man (w. 150 H), Imam Malik Ibn Anas (w. 179 H), Imam Syafi’i (w. 204 H), Ahmad Ibn Hanbal (w. 241 H)menjadi rujukan fikih yang mana ijtihad mereka kontradiktif…Kelenturan ASWAJA inilah barangkali yang bisa menghantarkan faham ini diterima umat.
Orang yang meneliti kitab-kitab sejarah dan apa yang dicatat oleh para penghulu, niscaya akan mendapatkan sesuatu yang tidak dapat diragukan bahwa terbesarnya mazhab-mazhab yang empat di masa itu adalah karena kehendak penguasa yang memerintah dan pengarahannya, oleh karena itu mendapat pengikut yang banyak, sebab manusia umumnya mengikut agama penguasa.
Sebagaimana yang didapati oleh peneliti bahwa di sana puluhan mazhab yang telah punah dan musnah, karena penguasa tidak berkenan padanya, seperti mazhab Auza’i, mazhab Hasan Bashri, Abu Uyainah, Ibnu Abi Dzuaib, Ssufyan as-Sauri, Ibnu Abi Daud, dan Laits bin Sa’ad serta lain-lainnya banyak sekali.
Sebagai misalnya, bahwa Laits bin Sa’ad adalah teman akrabnya Malik bin Anas dan dia lebih berilmu dan lebih faqih darinya sebagaimana yang telah diakui oleh Syafi’i.*(Lihat Manaqib Syaafi’i, hal. 524.) Tetapi mazhabnya telah punah dan fiqihnya musnah dan lenyap karena penguasa tidak berkenan padanya. Dan Ahmad bin Hambal telah menyatakan, “Ibnu Abi Dzuaib adalah lebih utama dari Malik bin Anas, hanya saja Malik orang yang ketat pemilihannya tentang rijal.
Bila kita kembali memerinytah sejarah, maka kita dapayi Malik pemilik mazhab tersebut telah mendekat pada kekuasaan dan pemerintah dan ia menerima mereka serta berjalan dalam program mereka maka dengan demikian ia menjadi tokoh yang disegani dan ulama yang mashur, dan berkembanglah mazhabnya dengan jalan paksaan dan rayuan khususnya di Andalus yang mana muridnya Yahya bin Yahya telah bekerja di dalam perwalian penguasa Andalus, sehingga ia menjadi orang terdekat dan ia diberi oleh penguasa pertanggungan jawab dalam penentukan para hakim, dan tidak ada yang menguasai pengadilan selain kawan-kawannya dari kelompok Malikiyah.
Demikian pula kita dapati sebab-sebab tersebarnya mazhab Abu Hanifah setelah wafatnya, yakni bahwa Abu Yusuf dan Syaibani yang keduanya itu adalah pengikut Abu Hanifah dan orang yang paling setia padanya, keduanya di waktu itu termasuk orang yang paling dekat dengan Harun Rasyid, Khalifah Abasiyah. Keduanya itu mempunyai peranan besar dalam pengukuhan kekuasaan penentang dan pembelaannya, sehingga Harun tidak mengizinkan seseorang untuk menguasai pengadilan dan fatwa kecuali setelah mendapat kesepakatan keduanya.
Maka kedua orang itu tidak mau mengangkat seorang Qadhi kecuali orang yang mengikuti mazhab Hanafi, dengan demikian Abu Hanifah menjadilah ulama terbesar dan mazhabnya menjadi mazhab termasyhur yang fiqihnya diikuti, betapa pun para ulama di masanya telah mengkafirkannya dan menganggap dirirnya sebagai orang zindiq, termasuk mereka yang mengkafirkan ialah Imam Ahmad bin Hanbal dan Abu al-Hasan al-Asy’ari.
Begitu juga mazhab Syafi’i telah terbesar dan menjadi kuat setelah hampir musnah, yang demikian itu setelah dikuatkan oleh penguasa yang zalim, dan setelah seluruh Mesir tadinya mengikuti Syi’ah di masa Shalahuddin al-Ayubi yang telah membunuh orang-orang Syi’ah dan menyembelih mereka seperti menyembelih kambing.
Begitu juga mazhab Hambali, ia tidak akan dikenal jikalau tidak karena didukung oleh kekuasaan Abasiyah di masa al-Mu’tashim ketika Ibnu Hanbal mau menarik kembali pendapatnya bahwa Al-Qur’an itu adalah mahluk dan bintangnya menjadi cemerlang di masa al-Mutawakkil si Nashibi (pembenci Ahlulbait). Dan ia menjadi kuat dan meluas ketika penguasa penindas memberi bantuan kepada Syekh Muhammad bin Abdul Wahab di abad yang lalu, dan yang terakhir ini bekerjasama dengan keluarga Saud dan mereka menguatkannya mazhabnya di Hijaz dan jazirah Arab.
Dan menjadikan mazhab Hambali itu merujuk pada tiga Imam, yang pertama Ahmad bin Hanbal yang dia sendiri tidak pernah mengaku sebagai seorang ahli fiqih, ia hanyalah seorang ahli hadis, kemudian Ibnu Taimiyah yang digelari sebagai Syekh Islam dan Pembaru sunah yang telah dikafirkan oleh pada ulama sezamannya karena ia telah menghukumkan seluruh kaum Muslimin dengan syirik kerena mereka bertabarruq dan bertawassul pada Nabi saww, selanjutnya di abad yang lalu datanglah Muhammad bin Abdul Wahhab yang merupakan boneka ciptaan penindas/penjajah Inggris di Timur Tengah. Maka yang terakhir ini telah melakukan pembaharuan mazhab Hambali dengan dasar pengambilan dari fatwa Ibnu Taimiyah, sehingga Ahmad bin Hambal hanyalah tersebut dalam riwayat, karena mazhab mereka sekarang ini dinamakan mazhab Wahabi.
Tidak dapat diragukan lagi bahwa tersebarnya mazhab-mazhab itu dan termasyhurnya serta meningginya kedudukannya adalah karena bantuan dan pengorbitan para penguasa.
Dan juga tidak diragukan lagi bahwa mereka para penguasa seluruhnya tanpa kecuali adalah memusuhi para imam dari Ahlulbait karena mereka selamanya berperasangka bahwa para imam itu membahayakan kedudukan mereka dan dapat menghancurkan kekuasaan mereka. Maka mereka selamanya berusaha untuk mengucilkannya dari kalangan umat dan menghinakan kedudukannya serta memusnahkan orang yang mengikutinya.
Maka sangatlah perlu bagi para penguasa itu untuk mengangkat sebagian ulama yang mendekat pada mereka dan yang berfatwa sesuai dengan peraturan dan kebenaran mereka. Yang demikian itu demi memenuhi kebutuhan manusia yang berkelanjutan terhadap pemecahan masalah-masalah syariat. dan tatkala para penguasa di setiap zaman tersebut tidak mengenal sedikit pun tentang syariat dan tidak memahami fiqih, maka nama mereka dan mereka menamakan pandangan pada manusia bahwa politik itu sesuatu yang lain dari agama.
Maka khalifah yang berkuasa itu adalah seorang politikus sedang faqih (ahli fiqih) itu adalah tokoh agama, sebagaimana hal itu yang dilakukan sekarang ini oleh seluruh pemerintahan diseluruh negara Islam, sehingga Anda dapat lihat pemerintah menentukan Negara atau dengan lambang lain yang menyatakan hal itu. Lalu membebaninya dengan penelitian tentang masalah fatwa, ibadah dan syi’ar agama.
Akan tetapi pada kenyataannya, orang itu boleh berfatwa atau menentukan hukum kecuali yang sesuai dengan kemauan penguasa dan yang disepakati oleh pemerintah atau setidak-tidaknya yang tidak bertentangan dengan politik penguasa dan kebijaksanaan peraturannya.
Kenyataan ini sebenarnya telah nampak dari masa ketiga khalifah yakni Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Mereka betapapun tidak memisahkan antara agama dan kekuasaan hanya saja mereka itu telah menguasakan diri mereka sendiri hak membuat syariat sejalan dengan kepentingan kekhalifahan dan jaminan pengaruhnya serta kelestariannya. Karena para khalifah yang ketiga itu telah mengalami masa Nabi saww dan persahabatan maka mereka telah mengambil daari beliau sebagian sunah yang tidak bertentangan dengan politik negara.
Sedang Muawiyah tidaklah masuk Islam kecuali pada tahun kesembilan Hijrah menurut riwayat masyhur yang tershahih. Maka ia tidak menyertai Nabi saww, kecuali hanyalah sebentar dan ia tidak mengetahui sunah sesuatu pun yang layak disebutkan.
Sehingga terpaksa ia menentukan Abu Hurairah dan Amr bin Ash serta sebagian sahabat yang mereka itu dibebani tugas untuk mengelurkan fatwa sesuai dengan apa yang ia inginkan. Lalu diikuti oleh Bani Umayah dan Bani Abas setelah sunah yang baik tersebut atau bid’ah hasanah itu, maka seluruh penguasa itu selalu didampingi oleh Qadhi yang diberi tugas dalam periodenya unutk mentukan para qadhi (hakim) yang dipandang baik menurutnya bagi kekuasaan dan mereka mau bekerja untuk mengukuhkan dan membantunya.
Selanjutnya, setelah itu semua, tidak ada keperluan lain kecuali hanyalah agar Anda mengetahui kedudukan para qadhi itu yang telah mendatangkan kemurkaan Allah demi mencari keridhaan tuan mereka dan penjamin kesenangan mereka yang telah mengangkat mereka. Dan setelah itu agar Anda memahami rahasia pengucilan terhadap para imam yang maksum dari Ahlulbait yang suci, sehingga sepanjang masa-masa tersebut Anda tidak mendapatkan seorang dari mereka yang telah ditentukan dan diangkat sebagai qadhi dan diikuti fatwanya.
Dan jika menginginkan tambahan sebagai penguat tentang bagaimana terbesarnya mazhab sunah yang empat dengan perantara para penguasa tersebut, maka kita dapat mengambil satu contoh dari antara penyingkapan rahasia mazhab imam Malik yang terhitung mazhab terbesar dari yang terkenal serta paling meluas fiqihnya. Malik menjadi terkenal khususnya dengan kitab Muawatha’ yang ia tulis sendiri dan menurut Ahlussunnah dinyatakan bahwa ia itu adalah merupakan kitab yang paling shahih setelah kitab Allah SWT dan ada sebagian ulama yang mengutamakannya dan menggunggulkannya di atas shahih Bukhari.
Kemasyhuran Malik itu sampai melampaui batas sehingga dikatakan, ‘Apakah boleh difatwakan sedangkan Malik masih ada di Madinah?” dan mereka menjulukinya dengan Imam Darul Hijrah. Dan kita tidak lewatkan untuk menyebutkan bahwa Malik telah berfatwah haramnya baiat secara paksa, lalu ia dipukul oleh Ja’far bin Sulaimaaan yang menjabat wali kota Madina dengan 70 kali pukulan. Inilah yang dijadikan hujah oleh pengikut Malik bahwa Malik memusuhi penguasa padahal itu adalah tidak benar, sebab orang yang meriwayatkan ketetapan tersebut adalah orang yang meriwayatkan hal berikut ini, kepada Anda saya utarakan penjelasan secara terperinci.
Ibnu Qutaibah telah berkata, “Mereka telah meriwayatkan bahwa tatkala telah sampai pada Abu Ja’far Manshur berita pemukulan terhadap Malik bin Anas dan apa yang dilakukan oleh Ja’far bin Sulaiman, ia murka dengan sangat dan menentangnya serta tidak rela, lalu ia menyingkirkan Ja’far bin Sulaiman dari Maddinah dan memerintahkan untuk dibawa ke Baqdad untuk dihardik. Kemudian ia meminta kepada Malik untuk menghadapkan kepadanya di Baghdad, tapi Malik tidak mau dan ia mengirim surat kepada Abu Ja’far agar memberikan maaf padanya tentang perkara itu dan ia mengutarakan beberapa alasan kepadanya. Maka Abu Ja’far pun mengirim surat kepadanya yang isinya, “Berilah aku kesempatan di waktu haji tahun depan insya Allah, karena aku akan menunaikan haji.”(Tarikh al-Khulafa’ oleh Ibnu qutaibah, II, hal. 149).
Jika Amirul Mukminin Abu Ja’far al-Manshur-khalifah Abasiyah itu telah mengasingkan anak pamannya Ja’far bin Sulaiman bin al-Abas dari perwalian Madinah karena memukul Malik, maka hal ini menumbuhkan suatu keraguan dan penelitian.
Sebab pemukulan Ja’far bin Sulaiman terhadap Malik itu tidak lain hanyalah untuk menguatkan kekhalifahan anak pamannya dan mengukuhkan kekuasaan dan pemerintahannya, maka seharusnya bagi Abu Ja’far al-Manshur menghargai walinya itu dan memuliakannya bukan mengasingkan dan merendahkannya untuk menghadapkannya dengan cara yang hina yakni mengikatnya dengan belenggu, kemudian khalifah sendiri mengirim surat untuk menyampaikan alasan pada Malik agar mau merelakan! Sungguh ini sangat aneh!
Dari itu dapat difahami bahwa wali Madinah itu yakni Ja’far bin Sulaiman telah melakukan perbuatan orang-orang yang bodoh yang tidak mengetahui politik dan kelicikan sedikit pun. Dan ia tidak mengetahui bahwa Malik itu adalah tiangnya khalifah dan orang yang ditanamkan di Haramain (Mekah dan Madinah). Kalau tidak demikian mana mungkin ia akan mengasingkan anak pamannya dari perwalian karena telah memukul Malik yang sepantasnya mendapat hukuman itu lantaran fatwanya tentang pengharaman baiat secara paksaan.
Inilah yang terjadi disekitar kita sekarang ini sewaktu sebagian wali-wali negeri menjatuhkan martabat seseorang dan memenjarakannya demi mengkokohkan pemerintahan dan keamanannya.
Hal itu berlaku terhadap seseorang yang membuka pintu kejatuhannya betapapun itu dari kerabat tuan menteri atau dari kenalan istri seorang pemimpin. Maka bila terhadap seorang wali, ia dibebaskan dari jabatannya dan dipanggil untuk suatu kepentingan lain yang sering kali tidak diketahui oleh wali itu sendiri.
Imaginasi tentang firqah najiyah yang dulu disematkan pada kelompok Ahlussunnah Waljama’ah ini terus berkembang. Ahlussunnah belakangan berhadapan dengan Syi’ah.
Label Aswaja kini menjadi identitas yang diperebutkan (contested identity).Buku yang ditulis Muhammad At-Tijani As-Samawi, doktor filsafat Universitas Sorbone, yang berjudul Asy-Syi’ah Hum Ahlu as-Sunnah [1993] menjadi contoh dari perebutan ini. Buku itu hendak menegaskan bahwa Syi’ah adalah Ahlussunnah, bahkan dinilai lebih Ahlussunnah ketimbang kelompok yang selama ini mendakwa dirinya Ahlussunnah.
Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya aku telah meninggalkan buat kalian dua hal yang berharga; Kitab Allah dan Itrah; Ahlul Baitku. Selama berpegang pada keduanya kalian tidak akan tersesat selama-lamanya. Dan keduanya juga tidak akan berpisah hingga menjumpaiku di telaga Kautsar kelak di Hari Kiamat.” (H.R. Sahih Muslim : jilid 7, hal 122. Sunan Ad-Darimi, jilid 2, hal 432. Musnad Ahad, jilid 3, hal 14, 17, 26 dan jilid 4, hal 371 serta jilid 5, hal 182 dan 189. Mustadrak Al-Hakim, jilid 3, hal 109, 147 dan 533.
*****
Imam Mazhab 4 Ahlus Sunnah Telah Menyimpang Dari Kitabullah dan Sunnah Nabi Saw
Yang menunjukkan kita bahwa para Imam Mazhab yang empat dari Ahlussunnah mereka juga telah menyimpang dari Kitabullah dan sunah Nabi saww yang mewajibkan atas mereka untuk mengikuti keuarga Nabi saww yang suci ialah kita tidak mendapati satu orang dari mereka yang memuliakan dan menumpang pada perahu Ahlulbait dan mengenal imam zamannya. Inilah Abu Hanifah yang pernah belajar pada Imam Shadiq yang telah termasyhur dengan ucapannya, “Seandainya tidak karena dua tahun (yakni belajar pada Imam Shadiq) niscaya binasalah Nu’man (Abu Hanifah).”.
Kita dapati dia telah menciptakan satu mazhab yang berdiri atas qias dan beramal dengan dasar pendapat yang berlawanan dengan nas-nas yang jelas.
Dan inilah Malik yang pernah belajar dari Imam Shadiq, dan ucapannya telah diriwayatkan yakni, “Tidak ada mata yang dapat melihat dan tidak ada telinga yang dapat mendengar serta pikiran yang melintas akan adanya orang yang lebih pandai dan lebih berilmu selain dari Ja’far ash-Shadiq.”.
Kita dapati ia telah menciptakan satu mazhab dalam Islam dan ia meninggalkan Imam zamannya yang ia sendiri telah menyatakan bahwa dia lebih berilmu dan lebih pandai dimasanya. Dan ia telah tergoda oleh para penguasa zhalim Abasiyah dan mereka menamakan dirinya sebagai Imam Darul Hijrah (Imam Madinah). Maka selain itu Malik menjadi orang yang memiliki kebesaran dan kekuasaan serta pengaruh dan penghormatan.
Dan juga inilah Syafi’i mengaku ngaku bahwa dia mengikuti Ahlulbait, maka ia telah mengatakan tentang hak mereka dalam bait-bait syairnya yang termasyhur :
Hai Ahlulbait Rasulullah, mencintai kalian adalah fardu dari Allah, tersebut dalam Al-Qur’an yang telah diturunkan.
Cukuplah merupakan keagungan karunia bagi kalian, bahwa orang yang tidak berselawat atas kalian, tidaklah akan diterima shalatnya.
Sebagaimana pujiannya terhadap Ahlulbait as yang termasuk dalam bait berikut ini :
Tatkala aku melihat manusia binasa dengan mazhabnya dalam lautan kedurakaan dan kejahilan, maka atas nama Allah, aku menumpang bahtera keselamatan, yakni Ahlulbait al-Musthafa, Pengulu para Rasul. Dan aku pegang erat tali Allah, yaitu mencintai mereka, sebagaimana telah diperintahkan berpegang pada tali itu.
Dan ucapannya yang termasyhur yakni. “Jika Rafidhi itu adalah mencintai keluarga Nabi Muhammad saww, maka saksikanlah wahai jin dan manusia bahwa aku ini adalah Rafidhi.
Jika jin dan manusia menyaksikan bahwa dia Rafidhi, mengapa dia tidak menolak mazhab-mazhab yang berdiri menentang Ahlulbait, bahkan dia sendiri telah mengadakan mazhab lain yang menyangkut namanya dan dia meninggalkan para imam Ahlulbait yang sezamannya…?
Dan inilah Ahmad bin Hanbal yang telah memasukkan ‘Ali ke dalam empat Khalifah dan yang telah menggolongkan dalam kelompok Rasyidin setelah dulunya diingkari dan yang telah menulis tentangnya kitab Fadhail dan yang telah termasyhur ucapannya, “Tidak seorang dari para sahabat yang memiliki keutamaan dengan sanad yang shahih seperti Imam ‘Ali as.”
Tapi dia sendiri telah menciptakan satu mazhab di dalam Islam yang namanya mazhab Hambali, tetapa pun para ulama dimasanya menyatakan bahwa dia bukan orang yang faqih. Syekh Abu Zuhrah telah menyatakan, “Sesungguhnya kebanyakan orang-orang yang terkemuka tidaklah menganggap Ahmad bin Hanbal termasuk golongan fuqaha, seperti Ibnu Qutaibah padahal dia adalah orang yang sangat terdekat zamannya dan juga Ibnu Jari at-Thabari dan yang lainnya(Kitab Ahmad bin Hambal).
Kemudian datanglah Ibnu Taimiyah, dan ia mengangkat bendera mazhab Hambali dan ia memasukkan di dalamnya beberapa pandangan baru yang mengharamkan ziarah kubur dan mendirikan bangunan di atasnya, dan bertawassul dengan Nabi saww dan Ahlulbaitnya, menurutnya semuanya itu adalah syirik. Demikian itulah keempat mazhab beserta para Imam mereka dan ucapan-ucapan yang disandarkan pada mereka tentang hak keluarga suci dari Ahlulbait Nabi saww.
Adapun tentang apakah mereka telah mengatakan perkara yang mereka tidak laksanakan, dan itu adalah merupakan kemurkaan yang besar di sisi Allah, atau mereka sebenarnya tidak mengadakan mazhab-mazhab tersebut tapi para pengikutnya yang dari para pengekor Umawiyah dan Abasiyah adalah yang telah membina mazhab-mazhab itu dengan bantuan para penguasa zalim, kemudian mereka menyandarkannya kepada dirinya setelah wafat mereka. Inilah yang insya Allah akan kita ketahui dalam pembahasan mendatang.
Apakah kalian tidak heran terhadap mereka para imam itu yang hidup sezaman dengan para Imam al-Huda dari Ahlulbait, kemudian mereka menyimpang dari jalannya yang lurus dan tidak mengambil pelita dari cahayanya serta tidak mengemukakan hadis yang berasal dari datuknya Rasulullah saww, bahkan mereka mengutamakan Ka’ab seorang pendeta Yahudi dan Abu Hurairah ad-Dausi yang pribadinya telah dikatakan oleh Amirul Mukminin Imam ‘Ali as, dengan pernyataannya, “Sesungguhnya orang yang paling dusta pada Rasulullah adalah Abu Hurairah ad-Dausi.” Sebagaimana hal itu telah dikatakan pula oleh ‘Aisyah binti Abu Bakar.
Dan mereka lebih mengutamakan Abdullah bin Umar orang Nashibi yang terkenal kebenciannya ia membaiat pemimpin kesesatan al-Hajjaj bin Yusuf. Dan mereka mengutamakan Amr bin Ash mentrinya Muawiyah dalam kedurhakaan dan kemunafikan. Apakah Anda tidak heran, bagaimana mereka para imam itu dapat melapangkan diri mereka hak dalam penentuan syariat agama Allah dengan dasar pendapat dan ijtihad mereka sendiri, sehingga mereka merusak sunah Nabi saww dengan apa yang mereka diada-adakan dengan qias dan kebijaksanaan serta penutupan pintu syafa’at dan kemaslahatan yang meluas dan yang lainnya yang merupakan bid’ah mereka yang tidak ada wewenang dari Allah SWT.
Adakah Allah dan Rasul-Nya telah melangkahkan dari penyempurnaan agama dan membolehkan bagi mereka untuk menyempurnakannya dengan ijtihad mereka sehingga mereka boleh menghalalkan dan mengharamkan sebagaimana yang mereka lakukan…?
Apakah Anda tidak heran terhadap sebagian kaum Muslim yang mendakwahkan berpegang pada sunah, bagaimana mereka bertaqlid pada orang-orang yang tidak menganal Nabi saww dan tidak pula dikenalnya…?
Adakah mereka mempunyai dalil dari Kitabullah atau sunah Rasul-Nya untuk mengikuti dan bertaqlid pada ke empat Imam pemilik mazhab-mazhab itu? Saya berani menentang pada bangsa manusia dan jin untuk mendatangkan satu dalil/bukti atas hal itu dari Kitabullah atau sunah Rasul-Nya.
Demi Allah SWT, sekali-kali mereka tidak akan bisa menunjukkannya walaupun sebagian mereka saling bantu -membantu. Demi Allah, tidak ada satu dalil pun dalam Kitabullah dan sunah Rasul-Nya selain hanyalah untuk mengikuti dan bertaqlid pada para imam suci dari keluarga Nabi saww. Adapun tentang Ahlulbait banyak dalil dan hujjah yang terang serta kebenaran yang nyata.
Maka perhatikanlah wahai orang yang memiliki pandangan. (Qs. al-Hasr:2) Sesungguhnya ia tidak buta pengelihatan tetapi buta hati yang ada dalam dada. (QS. al-Haj:46).
Ahlussunnah wal Jama’ah telah memusatkan segala perhatiannya pada ke-empat Imam pemilik mazhab-mazhab yang terkenal, yakni Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal. Para Imam yang Empat itu adalah bukan dari kalangan sahabat Rasul saww dan bukan pula dari kalangan tabi’in. Maka mereka itu tidak dikenal oleh Rasulullah dan mereka pun tidak mengenal beliau serta tidak melihat mereka dan mereka pun tidak meliaht beliau. Orang yang tertua (terdahulu) di antara mereka ialah Abu Hanifah, jarak masa antara dia dengan Nabi saww adalah lebih dari seratus tahun, sebab kelahirannya pada tahun 80 H dan wafatnya tahun 150 H. Adapun orang yang termuda (terakhir) ialah Ahmad bin Hanbal, dia dilahirkan tahun 165 H, dan wafat tahun 241 H. Ini adalah dalam bidang Furu’uddin (cabang agama).
Adapun dalam bidang ushuluddin (pokok agama), maka Ahlussunnah wal Jama’ah itu merujuk (bersandarkan) kepada Imam Abu al-Hasan ‘Aali bin Isma’il al-Asy’ari yang dilahirkan tahun 270 H dan wafat tahun 335 H. Mereka itu semua adalah para Imam Ahlussunnah wal Jama’ah yang dijadikan rujukan mereka dalam bidang ushuluddin dan furu’uddin.
Adalah Anda lihat di antara mereka salah seorang dari kalangan para imam Ahlulbait, atau dari kalangan sahabat Rasul saww, atau salah seorang yang telah disebut-sebut oleh Rasul saww, dan beliau arahkan umat kepadanya? Tidak, sama sekali tidak ada. Dan jika Ahlussunnah wal Jama’ah telah menyeru untuk berperang pada sunah Nabi saww, mengapa mazhab-mazhab tersebut terlambat munculnya sampai zaman itu ? Di manakah Ahlussannah wal Jama’ah sebelum munculnya mazhab tersebut? Dengan mazhab apa mereka beribadah dan kepada siapa mereka bersandar…?
Kemudian bagimana mereka itu bersandar kepada orang-orang yang tidak mengalami hidup Nabi saww, dan tidak pula menenalnya dan mereka baru dilahirkan setelah terjadi fitnah dan setelah pertikaian di kalangan sahabat dan sebagian membunuh sebagiannya dan sebagian mengkafirkan yang lainnya, serta setelah berpalingnya para khulafa dari Al-Qur’an dan sunah dan mereka berijtihad dengan pendapat mereka dalam menentang keduanya.
Dan setelah Yazid bin Muawiyah menguasai kekhalifahan lalu ia membebaskan bala tentaranya di Madinah al-Munawarah untuk berbuat semau hatinya, sehingga tentaranya itu melakukan kerusakan di dalamnya dan membunuh para sahabat yang terbaik yang tidak mau membaiatnya dan kehormatan wanita dirusakkan serta pemerkosaan merajalela.
Bagaimana seorang yang berakal mau condong kepada para Imam itu dari kelompok orang-orang yang dilumpuri kekotoran fitnah dan minum air susunya yang tercampur dengan bermacam-macam kejahatan sehingga tumbuh dan berkembang dalam pembentukannya yang penuh kelicukan dan kedustaan serta telah diikuti oleh sebaik-baik pengetahuan yang penuh kepalsuan, maka sebagian mereka tidak dapat muncul kecuali orang-orang yang diridhai oleh penguasa dan mereka meridhainya.
Bagaimana orang yang mendakwahkan berpegang pada sunah bisa meninggalkan Imam ‘Ali as, dan Imam Hasan as, dan Imam Husein as, yang merupakan kedua pemuda ahlisurga serta meninggalkan para imam yang suci dari putra keturunan Nabi saww yang mewarisi seluruh ilmu datuk mereka yaitu Rasulullah saww, lalu mengikuti para imam yang mereka tidak memiliki ilmu tentang sunah Nabi saww bahkan mereka adalah merupakan hasil pembentukan politik Muawiyah.
Adakah seorang Muslim masih meragukan, berdasarkan sejarah Islam dan Al-Qur’an serta sunah, bahwa Ahlulssunnah wal Jama’ah itu adalah para pengikut Muawiyah dan Abasiyin?
Adakah seorang Muslim masih meragukan, berdasaekan Al-Qur’an dan sunah serta sejarah Islam, bahwa Syi’ah yang mengikuti putra keturunan Nabi saww dan berpimpinan pada mereka, adalah merupakan pengikut sunah Nabi saww dan tidak ada seorang pun selain mereka yang layak mendakwahkan?
Wahai pembaca yang mulia, bukankah Anda telah melihat bagaimana politik telah membalikkan perkara dan menjadikan yang batil dianggap benar dan yang benar dianggap batil! Maka bila orang-orang akan kepimpinan pada Nabi saww dan keturunannya mereka disebut dengan Rawafidh (pembangkang) dan ahli bid’ah. Dan ahli bid’ah yang membuang sunah Nabi saww dan keluarganya dan mereka mengikuti ijtihad para penguasa yang durhaka, mereka disebut dengan Ahlussunnah wal Jama’ah, sungguh ini adalah aneh…! Adapun saya pribadi meyakini dengan kuat bahwa suku Quraisy adalah di belakang pemberian nama tersebut dan itu merupakan salah satu dari rahasianya dan merupakan tipu-dayanya.
Sebagaimana kita telah ketahui di muka bahwa orang Quraisy itulah yang telah melarang Abdullah bin Amr dari penulisan sunah Nabi saww dengan anggapan bahwa Nabi saww itu tidak maksum. Maka Quraisy itulah sebenarnya yang merupakan orang-orang yang mengarahkan kedurhakaan dan ke-ashabiyah-an serta kekuatan yang dituju/dimaksud di tengah-tengah suku-suku Arab, dan mereka dinamakan oleh sebagian sejarahwan dengan para pakar Arab.
Karena mereka terkenal dengan kelicikan dan keuletan serta penguasaan dalam pengaturan urusan, dan sebagian sejarawan menyebut mereka dengan Ahl al-Halli wa al-Aqdi. Sebagian mereka ialah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Abu Sofyan, Muawiyah, Amr bin Ash, Mughirah bin Syu’bah, Marwan bin Hakam, Thalhah bin Ubaidillah, Abudurrahman bin Auf dan Abu Ubaidah Amir bin Jarrah, serta lainnya.
Dan mereka itu sering berkumpul untuk bermusyawarah dan menentukan suatu perkara yang mereka sepakati lalu mereka memutuskan perkara mereka itu dan menyebarkannya di kalangan umat agar nantinya menjadi keputusan yang nyata dan benar-benar diikuti tanpa diketahui oleh seluruh manusia rahasianya yang tersembunyi. Sebagian dari kelicikan yang telah mereka lakukan ialah ucapan mereka bahwa Muhammad saww itu tidak maksum dan beliau seperti kebanyakan manusia yang memungkinkan berbuat salah, sehingga mereka berani meremehkan dan menentangnya dalam kebenaran padahal mereka mengetahui.
Sebagian celaan mereka terhadap ‘Ali bin Abi Thalib dan kutukan mereka terhadapnya dengan sebutan Abu Turab dan penggambaran dirinya di hadapan manusia bahwa ia sebagai musuh Allah dan Rasul-Nya. Dan sebagian celaan dan kutukan mereka terhadap sahabat yang mulia Ammar bin Yasir dengan nama hinaan, mereka menyebutnya dengan Abdullah bin Saba’ atau dengan sebutan anak si hitam, hal itu dikarenakan ia menentang para khalifah dan menyeru manusia untuk berimamkan ‘Ali bin Abi Thalib.
Termasuk juga penambahan Syi’ah yang berkepimpinan Imam ‘Aali as, dengan nama Rawafidh (pembangkang), agar dapat mengesankan pada orang-orang bahwa mereka telah membangkang terhadap Nabi Muhammad saww dengan mengikuti Imam ‘Ali as. Dan juga penamaan diri mereka sendiri dengan Ahlussunnah wal Jama’ah, sehingga dapat mengesankan pada orang-orang mukmin yang tulus ikhlas bahwa mereka itu berpegang pada sunah Nabi saww sebagai penentang para pembangkang yang membangkang terhadapnya.
Padahal sebenarnya mereka memaksudkan dengan sunah itu ialah bid’ah yang sesat, yang mereka ciptakan demi mencela dan mengutuk Amirul Mukminin dan Ahlulbait Nabi saww di atas mimbar-mimbar di setiap mesjid kaum Muslimin dan di seluruh negeri dan kota-kota serta kampung, dan berlangsung bid’ah tersebut selama 80 tahun, sehingga apabila khatib mereka turun untuk shalat sebelum mengutuk Imam ‘Ali bin Abi Thalib maka yang ada di dalam mesjid berteriak, “Engkau telah meninggalkan sunah.”.
Dan ketika khalifah Umar bin Abdul Aziz hendak merubah sunah itu dengan firman Allah swt, “Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan berbuat baik serta memberi kaum kerabat…,” (QS. an-Nahl:90) maka mereka menentang dan membunuhnya karena ia telah mematikan sunah mereka dan dengan itu ia telah memotong ucapan-ucapan para pendahulunya yang telah menghantarkan dirinya para kekhalifahan, maka mereka pun berusaha membunuhnya dengan racun, kala itu ia baru berusia 28 tahun dan kekhalifahannya tidak lebih dari dua tahun, maka dia meninggal sebagai korban dalam usaha pelurusan , karena keturunan paman-pamannya yakni Umawiyin tidak menerima-sunah mereka dimatikan (dihapuskan) yang dengan itu akan terangkat kedudukan Abu turab dan para Imam dari anak keturunannya.
Setelah jatuhnya kekuasaan Muawiyah, datanglah Abasiyin, maka mereka pada gilirannya telah mendapat pengalaman dalam bertindak terhadap para Imam Ahlulbait as, dan Syi’ah, sehingga ketika datang periode Khalifah Ja’far bin Manshur yang berjulukan al-Mutawakkil, ia adalah orang yang paling memusuhi Imam ‘Ali as, dan anak-anaknya, kebencian dan kedengkiannya itu sampai memuncak sehingga berani membongkar kuburan Imam Hasan as dan Imam Husein as di karbala dan melarang manusia dari menziarahinya dan ia tidak mau memberi suatu pemberian dan tidak pula mau membelanjakan harta kecuali kepada orang yang mau mencela Imam ‘Ali as dan anak-anaknya.
Kisah al-Mutawakkil beserta Ibnu sikkit seorang alim nahwu yang terkenal itu adalah telah diketahui, dan ia telah membunuhnya dengan cara yang sangat keji. Ia telah memerintah memotong lidahnya dari mulutnya ketika diketahui bahwa dia menjadi Syi’ah Imam ‘Ali as dan Ahlulbaitnya yang mana ketika itu dia menjadi guru bagi anak-anaknya. Kedengkian al-Mutawakkil dan permusuhannya telah memuncak sampai memerintahkan pembunuhan terhadap setiap anak yang diberi nama oleh bapaknya dengan nama ‘Ali, karena nama tersebut adalah yang sangat dibencinya.
Sehingga ‘Ali bin Jahm seorang penyair tatkala berhadapan dengan al-Mutawakkil, dia berkata, “Hai Amirul Mukminin, sesungguhnya keluargaku telah menghinaku,” al-Mutawakkil berkata, Mengapa?” Dia menjawab, “Karena mereka menamakanku ‘Ali, sedangkan aku tidak menyukai nama itu dan aku tidak menyukai orang yang bernama dengannya.” Maka al-Mutawakkil terawa dan memberikan hadiah baginya.
Dalam majelisnya ia memunculkan seorang lelaki yang menyerupai ‘Ali bin Abi Thalib, lalu dia ditertawakan oleh orang-orang sambil berucap mengejek, ‘Si botak yang gendut telah hadir,” maka ahli majelis itu semuanya mengejeknya dan dengan itu al-Mutawakkil merasa gembira.
Di sini jangan sampai terlewatkan dari perhatian kita, bahwa al-Mutawakkil ini dan yang menunjukkan kebenciannya terhadap ‘Ali karena kemunafikkan dan kefasikannya adalah yang disukai oleh ahli hadis dan mereka telah menjulukinya dengan penghidup sunah. Dikarenakan ahli hadis itu sendiri adalah Ahlussunnah wal Jama’ah, maka telah ditetapkan dengan dalil yang tak diragukan bahwa sunah yang dimaksudkan menurut mereka ialah membenci Imam ‘Ali bin Abi Thalib dan mengutuknya serta berlepas diri darinya, itulah puncak tujuannya.
Sebagian yang dapat menambah kejelasan bagi kita dalam perkara tersebut ialah bahwa al-Khawarizmi menyatakan dalam kitabnya, “Sesungguhnya Harun bin al-Khaizarah dan Ja’far al-Mutawakkil adalah dalam genggaman setan bukan pada Tuhan Yang Rahman, keduanya tidak mau memberi suatu pemberian tidak mau mengeluarkan hadiah kecuali bagi orang yang mencela keluarga Abu Thalib dan membela mazhab Nawashib (penentang Ahlulbait).”.
Sebagaimana telah disebutkan oleh Ibnu Hajar dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, ia berkata,’Lantaran Nashr bin ‘Ali bin Shahban telah meriwayatkan hadis bahwa Rasulullah saww memegang tangan Hasan dan Husein dan beliau bersabda, ‘Siapa mencintai aku dan mencintai kedua anak ini beserta bapak dan ibunya niscaya ia berada dalam kekududkanku pada hari kiamat,’ lalu al-Mutawakkil memerintah untuk memukulnya dengan cambuk 1000 kali sehingga ia hampir binasa, lalu Ja’far bin Abdul Wahid mengatakan tentang dirinya dan ia berkata, ‘Hai Amirul Mukminin, orang ini adalah dari golongan Ahlussunnah, ia pun tetap menyiksanya sampai ia meninggalkannya.”[Kitab Ahmad bin Hambal].
Orang berakal akan dapat memahami dari ucapan Ja’far bin Abdul Wahid kepada al-Mutawakkil bahwa Nashr itu adalah dari golongan Ahlussunnah, hal itu untuk menyelamatkannya dari pembunuhan, ini merupakan bukti yang lain bahwa Ahlussunnah itu adalah musuh Ahlulbait yang dibenci oleh al-Mutawakkil dan dia berusaha untuk membunuh setiap orang yang menyebutkan keutamaan mereka betapa pun ia tidak mengikuti mereka.
Inilah Ibnu Hajar telah menyebutkan dalam kitabnya bahwa Abdullah bin Idris al-Azdi, seorang Ahlussunnah wal Jama’ah dan ia bersikap keras di dalam sunah secara-rela sedangkan ia adalah orang Utsmani. Dan juga Ibnu Hajar telah mengatakan tentang Abdullah bin Aun al-Bashari, “Sesungguhnya ia adalah orang yang terpercaya, ahli ibadah dan keras dalam sunah dan bersikap keras terhadap ahli bid’ah,” Ibnu Mas’ud telah mengatakan, “Ia adalah seorang Utsmani.” Ia telah menyebutkan pula bahwa Ibrahim bin Ya’kub al-Jauzjani adalah seorang pengikut mazhab Hariz bin Utsman ad-Damsiqi yang dikenal dengan penentang Ahlulbait, Ibu Hayyan menyatakan bahwa ia adalah orang keras dalam sunah.
Dengan ini tahulah kita bahwa penentang dan kebencian terhadap Imam ‘Ali as dan anak-anaknya, serta pencelaan keluarga Abu Thalib dan kutukkan terhadap Ahlulbait menurut mereka dianggap kekerasan/keteguhan dalam sunnah, dan kita telah mengetahui bahwa orang-orang Utsmani adalah golongan penentang dan musuh Ahlulbait dan mereka orang-orang yang bersikap keras terhadap orang yang berpimpinan pada Imam ‘Ali as, dan keturunannya.
Dan mereka memaksudkan dengan Ahlu bid’ah itu adalah golongan Syi’ah yang menyatakan keimamahan Imam ‘Ali as, karena menurut mereka itu adalah merupakan suatu bid’ah, yang mana hal itu bertentangan dengan yang dianut oleh para sahabat, dan Khulafa’ ar-Rasyiddin serta para pendahulu orang shaleh yang mereka itu telah mengucilkannya dan tidak mengakui keimamahannya serta ke-washiat-annya.
Saksi sejarah bagi kekuatan dalil tersebut adalah banyak sekali, tetapi apa yang telah kami sebutkan, cukuplah bagi yang menginginkan pembahasan dan penelitian, dan kami telah bertekad untuk meringkas sebagaimana biasanya, dan bagi para pembahas hendaklah dapat mencapai lebih banyak dari itu jika mau. Firman Aallah SWT, “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh pada kami, niscaya Kami bimbing mereka itu pada jalan-jalan Kami, dan sesungguhnya Allah itu bersama orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. al-Ankabut:69).
Menunjukkan kita bahwa para Imam Mazhab yang empat dari Ahlussunnah mereka juga telah menyimpang dari Kitabullah dan sunah Nabi saww yang mewajibkan atas mereka untuk mengikuti keuarga Nabi saww yang suci ialah kita tidak mendapati satu orang dari mereka yang memuliakan dan menumpang pada perahu Ahlulbait dan mengenal imam zamannya.
Inilah Abu Hanifah yang pernah belajar pada Imam Shadiq yang telah termasyhur dengan ucapannya, “Seandainya tidak karena dua tahun (yakni belajar pada Imam Shadiq) niscaya binasalah Nu’man (Abu Hanifah).” Kita dapati dia telah menciptakan satu mazhab yang berdiri atas qias dan beramal dengan dasar pendapat yang berlawanan dengan nas-nas yang jelas.
Dan inilah Malik yang pernah belajar dari Imam Shadiq, dan ucapannya telah diriwayatkan yakni, “Tidak ada mata yang dapat melihat dan tidak ada telinga yang dapat mendengar serta pikiran yang melintas akan adanya orang yang lebih pandai dan lebih berilmu selain dari Ja’far ash-Shadiq.”.
Kita dapati ia telah menciptakan satu mazhab dalam Islam dan ia meninggalkan Imam zamannya yang ia sendiri telah menyatakan bahwa dia lebih berilmu dan lebih pandai dimasanya. Dan ia telah tergoda oleh para penguasa zhalim Abasiyah dan mereka menamakan dirinya sebagai Imam Darul Hijrah (Imam Madinah). Maka selain itu Malik menjadi orang yang memiliki kebesaran dan kekuasaan serta pengaruh dan penghormatan.
Dan juga inilah Syafi’i yang disangkakan bahwa dia mengikuti Ahlulbait, maka ia telah mengatakan tentang hak mereka dalam bait-bait syairnya yang termasyhur :
Hai Ahlulbait Rasulullah, mencintai kalian adalah fardu dari Allah, tersebut dalam Al-Qur’an yang telah diturunkan.
Cukuplah merupakan keagungan karunia bagi kalian, bahwa orang yang tidak berselawat atas kalian, tidaklah akan diterima shalatnya.
Sebagaimana pujiannya terhadap Ahlulbait as yang termasuk dalam bait berikut ini :
Tatkala aku melihat manusia binasa dengan mazhabnya dalam lautan kedurakaan dan kejahilan, maka atas nama Allah, aku menumpang bahtera keselamatan, yakni Ahlulbait al-Musthafa, Pengulu para Rasul. Dan aku pegang erat tali Allah, yaitu mencintai mereka, sebagaimana telah diperintahkan berpegang pada tali itu.
Dan ucapannya yang termasyhur yakni. “Jika Rafidhi itu adalah mencintai keluarga Nabi Muhammad saww, maka saksikanlah wahai jin dan manusia bahwa aku ini adalah Rafidhi.
Jika jin dan manusia menyaksikan bahwa dia Rafidhi, mengapa dia tidak menolak mazhab-mazhab yang berdiri menentang Ahlulbait, bahkan dia sendiri telah mengadakan mazhab lain yang menyangkut namanya dan dia meninggalkan para imam Ahlulbait yang sezamannya…?
Dan inilah Ahmad bin Hanbal yang telah memasukkan ‘Ali ke dalam empat Khalifah dan yang telah menggolongkan dalam kelompok Rasyidin setelah dulunya diingkari dan yang telah menulis tentangnya kitab Fadhail dan yang telah termasyhur ucapannya, “Tidak seorang dari para sahabat yang memiliki keutamaan dengan sanad yang shahih seperti Imam ‘Ali as.” Tapi dia sendiri telah menciptakan satu mazhab di dalam Islam yang namanya mazhab Hambali, tetapa pun para ulama dimasanya menyatakan bahwa dia bukan orang yang faqih.
Syekh Abu Zuhrah telah menyatakan, “Sesungguhnya kebanyakan orang-orang yang terkemuka tidaklah menganggap Ahmad bin Hanbal termasuk golongan fuqaha, seperti Ibnu Qutaibah padahal dia adalah orang yang sangat terdekat zamannya dan juga Ibnu Jari at-Thabari dan yang lainnya.”[1]
Kemudian datanglah Ibnu Taimiyah, dan ia mengangkat bendera mazhab Hambali dan ia memasukkan di dalamnya beberapa pandangan baru yang mengharamkan ziarah kubur dan mendirikan bangunan di atasnya, dan bertawassul dengan Nabi saww dan Ahlulbaitnya, menurutnya semuanya itu adalah syirik. Demikian itulah keempat mazhab beserta para Imam mereka dan ucapan-ucapan yang disandarkan pada mereka tentang hak keluarga suci dari Ahlulbait Nabi saww.
Adapun tentang apakah mereka telah mengatakan perkara yang mereka tidak laksanakan, dan itu adalah merupakan kemurkaan yang besar di sisi Allah, atau mereka sebenarnya tidak mengadakan mazhab-mazhab tersebut tapi para pengikutnya yang dari para pengekor Umawiyah dan Abasiyah adalah yang telah membina mazhab-mazhab itu dengan bantuan para penguasa zalim, kemudian mereka menyandarkannya kepada dirinya setelah wafat mereka. Inilah yang insya Allah akan kita ketahui dalam pembahasan mendatang.
Aapakah kalian tidak heran terhadap mereka para imam itu yang hidup sezaman dengan para Imam al-Huda dari Ahlulbait, kemudian mereka menyimpang dari jalannya yang lurus dan tidak mengambil pelita dari cahayanya serta tidak mengemukakan hadis yang berasal dari datuknya Rasulullah saww, bahkan mereka mengutamakan Ka’ab seorang pendeta Yahudi dan Abu Hurairah ad-Dausi yang pribadinya telah dikatakan oleh Amirul Mukminin Imam ‘Ali as, dengan pernyataannya, “Sesungguhnya orang yang paling dusta pada Rasulullah adalah Abu Hurairah ad-Dausi.” Sebagaimana hal itu telah dikatakan pula oleh ‘Aisyah binti Abu Bakar.
Dan mereka lebih mengutamakan Abdullah bin Umar orang Nashibi yang terkenal kebenciannya ia membaiat pemimpin kesesatan al-Hajjaj bin Yusuf. Dan mereka mengutamakan Amr bin Ash mentrinya Muawiyah dalam kedurhakaan dan kemunafikan. Apakah Anda tidak heran, bagaimana mereka para imam itu dapat melapangkan diri mereka hak dalam penentuan syariat agama Allah dengan dasar pendapat dan ijtihad mereka sendiri, sehingga mereka merusak sunah Nabi saww dengan apa yang mereka diada-adakan dengan qias dan kebijaksanaan serta penutupan pintu syafa’at dan kemaslahatan yang meluas dan yang lainnya yang merupakan bid’ah mereka yang tidak ada wewenang dari Allah SWT.
Adakah Allah dan Rasul-Nya telah melangkahkan dari penyempurnaan agama dan membolehkan bagi mereka untuk menyempurnakannya dengan ijtihad mereka sehingga mereka boleh menghalalkan dan mengharamkan sebagaimana yang mereka lakukan…?
Apakah Anda tidak heran terhadap sebagian kaum Muslim yang mendakwahkan berpegang pada sunah, bagaimana mereka bertaqlid pada orang-orang yang tidak menganal Nabi saww dan tidak pula dikenalnya…?
Adakah mereka mempunyai dalil dari Kitabullah atau sunah Rasul-Nya untuk mengikuti dan bertaqlid pada ke empat Imam pemilik mazhab-mazhab itu? Saya berani menentang pada bangsa manusia dan jin untuk mendatangkan satu dalil/bukti atas hal itu dari Kitabullah atau sunah Rasul-Nya. Demi Allah SWT, sekali-kali mereka tidak akan bisa menunjukkannya walaupun sebagian mereka saling bantu -membantu. Demi Allah, tidak ada satu dalil pun dalam Kitabullah dan sunah Rasul-Nya selain hanyalah untuk mengikuti dan bertaqlid pada para imam suci dari keluarga Nabi saww. Adapun tentang Ahlulbait banyak dalil dan hujjah yang terang serta kebenaran yang nyata.
Maka perhatikanlah wahai orang yang memiliki pandangan. (Qs. al-Hasr:2) Sesungguhnya ia tidak buta pengelihatan tetapi buta hati yang ada dalam dada. (QS. al-Haj:46).
*****
ABU HASAN AL ASY’ARi YANG MENJADi KONTROVERSi SALAFi WAHABi vs NAHDLATUL ULAMA
Pengikut Asy’ari seperti Nahdlatul Ulama tidak menyadari bahwa akidah Asy’ari yang asli mirip dengan salafi wahabi yang sekarang.
Di lain pihak, Salafi Wahabi tidak menyadari bahwa Abu Hasan Al Asy’ari ternyata “masih ahlul kalam”….
Petaka aswaja sunni karena salah pilih imam dibidang akidah…
Lebih aneh lagi ucapan yang terlontar dari Pensyarah kitab Ihya Ulumuddin, Imam Az Zabidi dalam kitabnya Ittihaf Sadatul Mutaqiin.
Apabila disebut kaum Ahlussunah wal jama’ah, maka maksudnya ialah orang–orang yang mengikuti rumusan (faham) Asy’ari dan faham Abu Manshur Al-Maturidi. (Lihat I’tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah, KH. Sirojuddin Abbas, hal. 16–17).
Dalam kitab Al Maqalat Al Islamiyyin disebutkan: Imam Ahmad bin Hambal (Ahlul hadis) dan Abu Hasan Al Asy’ari meyakini bahwa Allah memiliki anggota badan jasmaniah seperti: dua tangan, wajah, dua mata, mereka juga meyakini bahwa Allah bertempat di arsy dan turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang akhir. Dalam kitab itu juga disebutkan bahwa keutamaan sahabat besar adalah Abubakar lalu Umar lalu Usman lalu Ali. Juga disebutkan wajib taat pada pemimpin. Dan dikitab itu disebutkan bahwa orang mu’min boleh berimam shalat pada ahli bid’ah/orang fasik.
Dalam kitab Al Maqalat Al Islamiyyin disebutkan: Imam Ahmad bin Hambal (Ahlul hadis) dan Abu Hasan Al Asy’ari meyakini bahwa Allah memiliki anggota badan jasmaniah seperti: dua tangan, wajah, dua mata, mereka juga meyakini bahwa Allah bertempat di arsy dan turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang akhir. ARTiNYA walaupun mereka menganggap hal tersebut SEBAGAi BERBEDA DENGAN MAKHLUK, tetapi I’tiqad ahlul hadis hasywiyyah dan Abu Hasan Al Asy’ari adalah antropomorfis!!!!!!
Dalam kitab Maqalat Al Islamiyyin, tokoh sunni Abu HAsan Al Asy’ari menulis: “ Keagungan Allah mempunyai batas yang berdekatan dengan bagian tertinggi dari ‘arsy nya”. Abu Hasan menyatakan: “Allah mempunyai dua tangan, dua mata, dua kaki, semua akan binasa kecuali WAJAH nya (Kitab Maqalat Al islamiyyin hal.295).
Pertanyaan :
- Apakah keagungan ZAT Allah cuma sebatas bagian tertinggi dari arsy nya???
- Apakah tangan dan mata Allah akan binasa????
Bagi syi’ah: ini pelecehan...
Pada masa Rasululullah SAW: Kaum mujassimah dari kalangan Yahudi (ahlul kitab) memiliki i’tiqad MEMBADANKAN ALLAH, sehingga mereka terjerat kedalam ekstrimitas…
Namun hal tersebut menyusup kedalam ajaran Islam.
Abu Hurairah yang merupakan MANTAN YAHUDi (kemudian ia masuk Islam) memiliki beberapa orang sahabat karib dari kalangan mantan ahlul kitab yang masuk Islam seperti Ka’ab al Ahbar dan Wahab Munabbih memasukkan akidah israilliyat kedalam hadis sunni…
Penganut mazhab hambali (salafiah) menolak keras asy’ariyyah maturidiyyah karena dua aliran kalam ini dianggap bid’ah….
Pada akhirnya….
Aliran ASY’ARiYYAH MAMPU MENGALAHKAN DUA ALiRAN :
Aliran rasionalis mu’tazilah.
Aliran ahlul hadis hasywiyyah (anti ilmu kalam).
kedua aliran ini terkapar….
karena aliran kalam aswaja sunni dibentuk Abu hAsan al asy’ari dan abu manshur al maturidy…
Jadi asy’ari dan maturidy merupakan perintis awal aliran kalam aswaja sunni.
———————–
Pertanyaan: Dimanakah posisi Abu Hasan Al Asy’ari ???
Jawab: Asy’ari adalah tokoh aliran kalam yang mencoba memadukan aliran mu’tazilah dengan aliran ahlul hadis hasywiyyah
———————–
Pertanyaan: Wahabi mengklaim Abu HAsan Al Asy’ari mengalami 3 fase kehidupan, jadi asy’ari adalah salafi????
Jawab: Abu Hasan Al Asy’ari mencetuskan teori kasb, yang mana teori ini dikecam keras oleh iBNU TAiMIYYAH karena berbau jabariyah.
Itulah bukti Asy’ari adalah tokoh kalam dan asy’ari bukan salafi murni!!!!!!!!!!!!!!
*****
Sebagaian Doktrin Aswaja Yang Sekarang Adalah Dibuat Pada Masa Dinasti Saljuq di Madrasah Nidzamiyah
Imam Ghazali adalah salah satu produk asli Madrasah Nidzamiyah, yang kemudian mengajar di Madrasah itu selama beberapa tahun. Bahkan beliau pernah menjadi Guru Besar/Syekh[1] di sana dan sampai akhirnya memperoleh gelar Hujjatul Islam. Nidzamiyah pula yang berhasil mengembangkan dan menyebar madzhab Sunni Syafi’iyyah di daerah yang merupakan pusat madzhab Syi’ah. Selain Hujjatul Islam, ada juga al-Juwaini, guru pembimbing yang tinggal serumah dengan al-Ghazali.
Madrasah Nidzamiyyah telah berjasa dalam banyak hal, diantaranya; berhasil memberhentikan meluasnya aliran Mu’tazilah dan aliran syi’ah, mengembangkan Sunni Syafi’iyyah, menyebar teologi Asy’ariyyah, dan juga turut menumbangkan teologi Mu’tazilah dan Syi’ah. Melihat kenyataan diatas, dalam tulisan ini akan dibahas beberapa hal terkait dengan madrasah Nidzamiyyah yang berdiri pada masa dinasti Bani Salajiqah (Bani saljuq: berkuasa pada tahun 429 H/1037M).
Seputar Bani Saljuk
Bani Saljuq merupakan kepanjangan dari kekhalifahan Bani Abbasiyyah di Baghdad, dinasti ini merupakan periode ke 2 setelah Bani Abbasiyyah berhasil menumbangkan Dinasti Buwaihi dan Dinasti Ghaznah. Dinasti saljuk didirikan oleh Tughri Beg, yang bertahan memerintah wilayah kekuasaannya selama sekitar dua abad. Kekhalifahan Abbasiyyah resmi berdiri 447-656 H/1055-1258 M dan menjadi bagian dari kerajaan-kerajaan kecil (Muluk al-Thawa’if) Abbasiyyah yang terakhir, sebab pasca kehancuran dinasti saljuq ini, kekhalifahan Abbasiyyah runtuh total dan berakhirlah masa kejayaan Islam.
Wilayah ini sebelum dikuasai Dinasti Saljuq merupakan wilayah kekuasaan Bani Buwaihi yang menganut aliran Syi’ah. Pusat pemerintahannya berada di kota Naisaphur yang kemudian di pindah ke wilayah Ray di Iran, dan selanjutnya kota Baghdad difungsikan sebagai kota keagamaan dan kerohanian.
Keberhasilan Bani Saljuq dalam mempertahankan kekuasaannya, tak lepas dari para wazir (pembantu sulthan/menteri) yang senantiasa loyal dan patuh terhadap sulthan serta kecintaan mereka terhadap ilmu pengetahuan. Diantara mereka yang telah berjasa dalam membangun dan mempertahankan dinasti Bani saljuq adalah:
1.Abu Muhammad bin Muhammad Fakhrul, Wazir pada masa Sulthanal-Qa’im.
2.Abu Syarwan bin Khalid al-Qasyani, Wazir pada masa Sulthan al-Mustarsyid.
3.Ibnu al-Attar, ia menjadi Wazir pada masa al-Nasir.
4.Abu Nasr Muhammad bin Manshural-Kundari, Wazir pada masa Sulthan Tghrul Beg dan Alb Arsalam.
5. Tajuddin Abu al-Ghanayim, Wazir pada masa Sulthan Sanjar.
6. Ali bin al-Hasan al-Tughra, Wazir pada masa Sulthan Sanjar.
7. Sa’ad bin Ali bin Isa, Wazir pada masa Sulthan Mahmud.
8. al-Ustadz al-Tughra’i, Wazir pada masa Sulthan Mas’ud bin Muhammad di Irak.
9. Nizam al-Mulk, Wazir Pada masa Sulthan Sultan Malik Syah.
Berdirinya Madrasah Nidzamiyyah
Sebagaimana diketahui, bahwa sebelum berdirinya Madrasah sebagai lembaga pendidikan, dalam agama Islam telah dikenal tempat belajar berupa Masjid3 dan Kuttab. Kuttab merupakan tempat belajar yang dikhususkan pada para pelajar Islam yang masih kecil, sebab dalam kuttab ini hanya diajarkan cara membaca dan cara menulis.[4]
Seiring dengan luasnya wilayah kekuasaan Islam, semakin banyak pula anak-anak muda Islam yang ingin belajar yang tentunya membutuhkan tempat memadai untuk menampung mereka. Atas dasar itulah di dirikan sebuah Madrasah.
Istilah madrasah pertama kali lahir di Naisapur berkat ‘sentuhan’ Syekh al-Baihaqi5. Kemudian dinasti Bani Saljuk pada masa Sulthan Malik Syah dengan Wazir Nidzam al-Mulk (465-485 H) membangun sebuah Madrasah dengan nama madrasah Nidzamiyyah, yang diambil dari nama pendirinya, Nidzam al-Mulk. Madrasah ini tidak didirikan disatu kota, melainkan menyebar pada setiap kota yang ada dibawah kekuasaan Dinasti Saljuq. Diantaranya adalah Baghdad, Naisaphur, Balk, Heart, Asfahan, Marwu, Annal dan Mausil (kalau sekarang mungkin: IAIN, MAN, MTsN dan sekolah lain yang berstatus Negeri, yang ada disetiap kota dan kabupaten).
Motif pendirin Madrasah ini menurut Ahmad Syalabi (1995) ialah karena dua hal. Pertama motif Politik. Dengan adanya madrasah ini, dinasti Saljuq bisa mengkontrol semua daerah dengan mudah, karena sistem yang dipakai Nidzamiyyah adalah sentralistik dari pusat kedaerah atau dari atas ke bawah. Motif kedua adalah ideologi/madzhab. Seperti keterangan diatas, bahwa Dinasti Buwaihi yang menganut Syi’ah serta sisa-sisa aliran Mu’tazilah telah ada sebelum Bani saljuq berdiri, pendirian madrasah Nidzamiyyah juga karena motif untuk menyebarkan aliran Sunni Syafi’iyyah.
Murid, Kurikulum dan Guru
Madrasah Nidzamiyyah merupakan lembaga pendidikan yang terstruktur, manajemen dan administrasinya sangat tertata dengan baik. Dengan sistem sentralistik, semua kurikulum, metode pembelajaran, sistem belajar, pengangkata guru dan semua keperluan madrasah diatur oleh Pusat. Hal itu menjadikan tidak sembarangan orang bisa menjadi guru di Madrasah Nidzamiyyah, karena pusat melakukan seleksi yang sangat ketat.
Menurut Toha Hamim (2007) jangankan melamar menjadi guru, melamar untuk menjadi murid-pun harus melalui seleksi yang tidak mudah, sehingga pelajar yang diterima Madrasah Nidzamiyyah adalah mereka yang betul-betul handal. Bahkan disebutkan, bahwa Imam al-Ghazali baru bisa masuk ke Madrasah Nidzamiyyah setelah umur 21 tahun dengan proses seleksi dan tes masuk yang sangat ketat, sehinga saat itu Madrasah Nidzamiyyah betul-betul menjadi madrasah yang favorit dan bonafit.
Para pelajar Madrasah Nidzamiyyah dimanjakan dengan berbagai fasilitas dan kemudahan, terlebih bagi mereka yang berprestasi. Aliran beasiswa sangat besar dari pemerintah siap menjamin kesejahteraannya.
Diantara fasilitas yang disediakan di Nidzamiyyah adalah perpustakaan yang menyediakan buku sebanyak 6000 judul.
Para guru (Syekh)pun mendapat perhatian khusus. Pihak Negara memberikan gaji yang sangat besar pada mereka. Guru pada saat itu dapat diklarifikasikan sebagai berikut;
1.al-Ustadz bil Kursi (Guru Besar yang memiliki gelar Profesor Doktor,guru Senior yang sudah teruji keilmuannya serta sudah mendapat gelar kehormatan). Disamping mendapat dana pensiun, Negara juga menjamin penuh kehidupan keluarga mereka.
2.al-Ustadz (guru dibawah al-Ustadz bil Kursi), mereka juga menerima gaji yang tidak sedikit dari pemerintah.
3.al-Ustadz al-Muntasib (Asisten Dosen/asisten Guru Besar yang senantiasa mendampingi Mahasiswa disaat menghadapi kesulitan dalam belajar), Negara juga memberikan mereka gaji.
4.al-Mudarris (guru, tenaga pengajar yang belum mendapat gelar Doktor), yang juga digaji oleh Negara.
Lalu diantara para ulama yang pernah mengajar di Nidzamiyyah adalah;
1.Imam Abu Ishaq al-Syerozy.
2.Imam al-Ghazali
3.Imam al-Qoswaini
4.Imam al-Juwaini
5.Imam Ibnul jauzi
6.Dan lain-lain.
Itulah para ulama yang menjadi tenaga pengajar di Madrasah Nidzamiyyah, mereka adalah para ilmuan handal yang teruji kemampuannya dalam bidang mereka masing-masing. Karena gaji yang besar inilah, para guru betul-betul perhatian terhadap pendidikan dimana mereka mengajar, sebab pemikirannya tidak terpecah untuk mencari penghasilan lain.
Gaji para Dosen Madrasah Nidzamiyyah sangatlah besar, bahkan Imam Ghazali pada saat beliau masih menjadi Guru Besar, dengan gaji yang beliau terima dapat membeli kuda yang sangat mahal. Bahkan paling mahal dan paling bagus kala itu. Sebab selain mengajar, Imam Ghazali tidak memiliki usaha lain sebagai pemasukan keuangan keluarga.
Pada waktu itu, pihak Negara juga menyediakan dana untuk melakukan penelitian. Hingga pada waktu itu sudah ditemukan mesin pendingin ruangan. (Toha Hamim, 2007) paling tidak ada lima hal yang dapat kita petik dari Madrasah Nidzamiyyah. Pertama, Nidzamiyyah telah berjasa dalam mengembangkan Sunni Syafi’iyyah. Kedua, Nidzamiyyah telah berhasil menumbangkan madzhab Syi’ah di daerah itu (meskipun Syi’ah sekarang masih ada, tapi minimal sudah berkurang). Ketiga, Nidzamiyyah sangat menghargai guru dengan gaji yang sangat besar, sehingga guru tidak perlu lagi berfikir mencari nafkah untuk keluarganya.
Keempat, Madrasah ini betul-betul menyeleksi calon Mahasiswanya dengan sangat ketat, sehingga betul-betul menjadi sekolah favorit sampai saat itu dan wajar jika banyak alumninya menjadi ulama handal. Kelima, Nidzamiyyah sangat mendukung kemajuan ilmu pengetahun, hal ini terbukti pengelola Nidzamiyyah menyediakan beasiswa/biaya bagi dosen yang mau mengadakan penelitian untuk menemukan teori-teori baru.
*****
Nizam Al Mulk Adalah Tokoh Penyebar Mazhab Aswaja Terbesar
Sebuah institusi sangat penting dalam sejarah perkembangan sekte Sunni, yakni Universitas Nizamiyya, lembaga pendidikan yang didirikan oleh Perdana Menteri Nizam al-Mulk yang berkuasa tahun 1063 M/465 H. Inilah universitas yang didirikan oleh perdana menteri dinasti Saljuk yang sangat cinta ilmu itu untuk menyebarkan doktrin Sunni, terutama Ash’ariyyah dan Syafi’i . Di universitas itu, beberapa ulama besar yang sudah kita kenal namanya sempat melewatkan waktu untuk mengajar, seperti Imam Ghazali dan gurunya, Imam al-Juwayni. Karena faktor DUKUNGAN PENGUASA mazhab sunni bisa cepat tersebar
Ini menjadi contoh betapa label selamat dan sesat dengan mudah dialihkan, tergantung ‘selera’ rezim yang berkuasa.
Apa yang dikenal dengan ‘tragedi mihnah’ ini menjadi contoh tak terbantahkan bahwa antara keselamatan dan kesesatan yang semata dipagari dengan apa yang disebut kekuasaan. Ahli Sunnah Wa al-Jama’ah (Aswaja) selama ini difahami sebagai sebagai suatu sekte keagamaan terbesar dalam Islam…Pada masa Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim, dan Al-Wasiq, kelompok yang dianggap sesat adalah ahlul hadis dengan ikon intelektualnya Ahmad ibn Hanbal. Sebaliknya pada masa Al Mutawakkil, kelompok yang dianggap sesat adalah ahlu ar-ra’yi atau lebih populer disebut mu’tazilah.
*****
Aswaja: Sebuah Penelusuran Historis
Aswaja (Ahlussunnah wal Jamaah) adalah satu di antara banyak aliran dan sekte yang bermuculan dalam tubuh Islam. Di antara semua aliran, kiranya aswajalah yang punya banyak pengikut, bahkan paling banyak di antara semua sekte. Hingga dapat dikatakan, Aswaja memegang peran sentral dalam perkembangan pemikiran keislaman.
Aswaja tidak muncul dari ruang hampa. Ada banyak hal yang mempengaruhi proses kelahirannya dari rahim sejarah. Di antaranya yang cukup populer adalah tingginya suhu konstelasi politik yang terjadi pada masa pasca Nabi wafat.
Lantas, melihat parahnya polarisasi yang ada di kalangan umat islam, akhirnya ulama mempopulerkan beberapa hadits yang mendorong umat Islam untuk bersatu. Tercatat ada 3 hadits (dua diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dan satu oleh Imam Tabrani). Dalam hadits ini diceritakan bahwa umat Yahudi akan terpecah ke dalam 71 golongan, Nasrani menjadi 72 golongan, dan Islam dalam 73 golongan. Semua golongan umat islam itu masuk neraka kecuali satu. “Siapa mereka itu, Rasul?” tanya sahabat. “Mâ ana Alaihi wa Ashâby,” jawab Rasul. Bahkan dalam hadist riwayat Thabrani, secara eksplisit dinyatakan bahwa golongan itu adalah Ahlussunnah wal Jamaah.
Ungkapan Nabi itu lantas menjadi aksioma umum. Sejak saat itulah kata aswaja atau Sunni menjadi sedemikian populer di kalangan umat Islam. Bila sudah demikian, bisa dipastikan, tak akan ada penganut Aswaja yang berani mempersoalkan sebutan, serta hadits yang digunakan justifikasi, kendati banyak terdapat kerancuan di dalamnya. Karena jika diperhatikan lebih lanjut, hadits itu bertentangan dengan beberapa ayat tentang kemanusiaan Muhammad, bukan peramal.
Lantas, sekarang mari kita dudukkan aswaja dalam sebuah tempat yang nyaman. Lalu mari kita pandang ia dari berbagai sudut. Dan di antara sekian sudut pandang, satu di antaranya, yakni aswaja sebagai mazhab (doktrin-ideologi), diakui dan dianggap benar oleh publik. Sementara, ada satu pandangan yang kiranya bisa digunakan untuk memandang aswaja secara lebih jernih, yakni memahami aswaja sebagai manhaj. Mari kita diskusikan.
Aswaja Sebagai Mazhab
Aswaja, selama ini sering dipandang hanya sebagai mazhab (aliran, sekte, ideologi, atau sejenisnya). Hal ini menyebabkan aswaja dianut sebagai sebuah doktrin yang diyakini kebenarannya, secara apriori (begitu saja). Kondisi ini menabukan kritik, apalagi mempertanyakan keabsahannya.
Jadi, tatkala menganut aswaja sebagai mazhab, seseorang hanya mengamalkan apa yang menjadi doktrin Aswaja. Doktrin-doktrin ini sedemikian banyak dan menyatu dalam kumpulan kitab yang pernah dikarang para ulama terdahulu.
Itu hanya salah sat di antara sekian pembakuan yang telah terjadi ratusan tahun sebelumnya. Akhirnya, kejumudan (stagnasi) melanda doktrin Aswaja. Dipastikan, tidak banyak pemahaman baru atas teks-teks keagamaan yang muncul dari para penganut Aswaja. Yang terjadi hanyalah daur ulang atas pemahaman ulama-ulama klasik, tanpa menambahkan metodologi baru dalam memahami agama.
Lebih lanjut, adanya klaim keselamatan (salvation claim) yang begitu kuat (karena didukung oleh tiga hadits) membuat orang takut untuk memunculkan hal baru dalam beragama meski itu amat dibutuhkan demi menjawab perkembangan jaman. Akhirnya, lama-kelamaan, aswaja menjadi lapuk termakan usia dan banyak ditinggal jaman.
Benarkah aswaja bakal ditinggalkan oleh jaman?. Nyatanya, hingga kini, Aswaja justru dianut oleh mayoritas umat Islam di dunia. Mengapa hal ini terjadi, bila memang aswaja telah mengalami stagnasi?
Jawabannya satu: aswaja adalah doktrin. Seperti yang dicantumkan di muka, ini menyebabkan orang hanya menerimanya secara apriori (begitu saja dan apa adanya). Inilah yang dinamakan taqlid. Karena itu, stagnasi tetap saja terjadi. Akan tetapi, karena sudah dianggap (paling) benar, maka, bila doktrin itu berbenturan dengan “kenyataan” (al-Waqâ’i’) —yang terus berkembang dan kadang tidak klop dengan ajaran—, maka yang keliru adalah kenyataannya. Realitalah yang harus menyesuaikan diri dengan teks.
Pemahaman semacam itu pada akhirnya, menyebabkan pemaksaan ajaran aswaja dalam realita untuk menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat. Hal ini menyebabkan peran aswaja tidak efektif dalam problem solving. Aswaja hanya akan menjadi duri dalam daging masyarakat yang amat membahayakan. Akibat lain yang biasa muncul, lebih banyak masalah yang timbul dari pada persoalan yang terpecahkan. Karenanya, taqlid buta seyogyanya diindari.
Akan tetapi, bagi masyarakat umum yang tingkat pemahamannya beragam, taqlid semacam ini menjadi jalan keluar alternatif dalam menghadapi persoalan dengan tetap berpegang pada Islam aswaja. Tetapi, pantaskah taqlid dilakukan oleh kalangan intelektual? Kiranya, kita bisa menjawabnya..
Aswaja diposisikan sebagai teks (baca: korpus) yang haram disentuh .
*****
Gugat Definisi Aswaja Versi Ulama Sunni
Munculnya Aswaja tidak bisa lepas dari perjalanan sejarah yang amat panjang…
Ahlusunnah wa al-Jama’ah adalah mazhab yang secara praktis mengikuti:
1. Di bidang Ilmu Aqidah (Kalam), mengikuti faham Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi.
Imam dalam teologi Aswaja diwakili oleh Abu Hasan Al-Asy’ari, lantaran keberhasilannya menjatuhkan paham Mu’tazilah. Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara resmi menjadi bagian dari disiplin ilmu keislaman. Dalam hal akidah pengertiannya adalah Asy’ariyah atau Maturidiyah.
Imam Ibnu Hajar Al-Haytami berkata “Jika Ahlussunnah wal jamaah disebutkan, maka yang dimaksud adalah pengikut rumusan yang digagas oleh Imam Abu al-Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi “Dalam fiqh adalah madzhab empat, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Dalam tasawwuf adalah Imam Al-Ghozali, Abu Yazid al-Busthomi, Imam al-Junaydi dan ulama’-ulama’ lain yang sepaham. Semuanya menjadi diskursus islam paham Ahlussunnah wal jamaah.
Al-Asy’ari dan Al-Maturidi), mengaku telah menjelaskan ajaran ‘aswaja’ yang diyakini para sahabat Nabi SAW dan orang-orang yang mengikuti mereka, dengan mengemukakan dafili-dalil naqli (Al-Qur’an dan Al-Hadits) dan aqli (dalil rasional) dengan bantahan-bantahan terhadap syubhah-syubhah (sesuatu yang dilontarkan untuk mengaburkan hal yang sebenarnya) golongan Muktazilah. Jalan yang ditempuh oleh Al-Asy’ari dan Al- Maturidi dalam pokok-pokok aqidah adalah sama dan satu, sehingga ahlusunnah waljama’ah dinisbatkan terhadap keduanya. Mereka (kelompok ahlusunnah) akhirnya dikenal dengan nama Asy’ariyyah (para pengikut Al-Asyari), dan Maturidiyyah (para pengikut Al-Maturidi). Dan mereka adalah ratusan juta umat, golongan mayoritas. Pengikutnya banyak dan kalangan madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan orang-orang utama dari kalangan madzhab Hanbali (Fudhala’ al-Hanabilah).
NU lebih condong kepada Al-Asyariah. Hal ini tidak bisa dipungkiri, mengingat literatur ajaran al-Maturidi dan Miatundiyyah – tidak sebanyak literatur ajaran Al-Asy’ari dan Asy’anyyah. Di samping pula, tokoh-tokoh penerus Al-Asy’ari seperti, Al-Juwaini (Imam Haramain), Al-Baqillani. Al-Syahrastani, dan terutama Imam Ghazali yang sangat luas pengaruhnya di dunia Islam.
2. Di bidang Fiqih, mengikuti salah satu dari madzhab empat yaitu Imam Hanafi (w. 150 H), Imam Maliki (w. 179 H), Imam Syafi’i (w. 204 H), 2Hanbali (w. 241 H).
3. Di bidang tasawuf, mengikuti faham Imam Ghazali (w. 505 H), Imam Junaid al-Baghdadi (w. 297 H),
Ghazali adalah seorang tokoh pembela paling gigih paham Al-Asy’ari di bidang teologi. Sedangkan di bidang fiqih, ia mengikuti madzhab Imam Syafi’i. Imam Ghazali menjadikan ajaran tasawuf harus berada dalam garis syari’at. Demikian juga Junaid. Menurutnya, tasawuf harus menempel pada ketentuan syari’at atau tasawuf merupakan tahap lanjut kehidupan orang-orang yang telah mantap syari’atnya.
Ghazali, dipandang oleh kalangan tokoh Islam, sebagai salah satu tokoh yang telah berhasil mengkompromikan ajaran tasawuf dengan ajaran fiqih, yang sebelumnya sebagian dari umat Islam pengikut kedua ajaran tersebut saling mengunggulkan ajarannya masing-masing. Di mana para pengikut tasawuf telah lupa dengan ajaran syari’at, sementara pengikut fiqih telah mengabaikan ajaran-ajaran tasawuf. Kemudian Imam Ghazali berusaha menjembataninya dengan cara tasawuf dijadikan bagian dari fiqih. Hat ini dapat dilihat dari karya monumentalnya, Ihya’ Ulumuddin. Akhirnya fiqih yang ‘kosong’ dari pesan-pesan moral, menjadi lebih lengkap dengan diikutkannya tasawuf dalam masalah fiqih.
Karena seperti halnya Imam Al-Asy’ari, Imam Ghazali adalah seorang penengah. Ia berpendapat bahwa kebenaran terletak antara literalisme kaum Hanbali dan liberalisme kaum failasuf, sebagaimana faham Muktazilah.
Sementara Junaid, yang mempunyai nama lengkap Abu Al-Qasim Al-Junaidi bin Muhammad Ali Khazzaz al-Nahawandi,’`’ terkenal dengan julukannya ‘maha guru’ sufi pernah bercerita: “semua jalan (kebenaran) tertutup bagi manusia, kecuali orang yang mengikuti jejak Rasul SAW. Barang siapa tidak menghafal Al-Qur’an dan banyak mencatat banyak hadits, dia tidak boleh diteladani dalam unasan tasawuf, kecuali ilmu yang terkait dengan Al-Kitab dan Al-Sunah.
Dalam rumusannya, Junaid menyatakan, bahwa tasawuf tidak harus memberikan syarat seseorang untuk berkhalwat (mengasingkan diri), malah ia menekankan agar para sufi dapat memberikan nasihat dan bimbingan di tengah-tengah masyarakat.
Dan sinilah tasawuf yang tetap berada dalam garis ajaran aswaja menurut mayoritas umat Islam adalah yang dibawa oleh Imam Ghazali, Imam Junaid al-Baghdadi, dan tokoh-tokoh yang sealiran dengan mereka. Dan aswaja memilih ajaran tasawuf yang seperti ini.
GUGATAN:
dalam sejarah, tercatat para imam Aswaja di bidang akidah telah ada sejak zaman sahabat Nabi SAW, sebelum munculnya paham Mu’tazilah. Imam Aswaja pada saat itu diantaranya adalah Ali bin Abi Thalib KW, karena jasanya menentang penyimpangan khawarij tentang al-Wa’du wa al-Wa’id dan penyimpangan qodariyah tentang kehendak Allah SWT dan kemampuan makhluk. Di masa tabi’in juga tercatat ada beberapa imam Aswaja seperti ‘Umar bin Abdul Aziz dengan karyanya “Risalah Balighah fi Raddi ‘ala al-Qodariyah”. Para mujtahid fiqh juga turut menyumbang beberapa karya teologi (tauhid) untuk menentang paham-paham di luar Aswaja, seperti Abu Hanifah dengan kitabnya “Al-Fiqhu al-Akbar” dan Imam Syafi’i dengan kitabnya “Fi tashihi an-Nubuwwah wa Raddi ‘ala al-Barohimah” .
Dengan demikian dapat dipahami bahwa akidah Aswaja secara subtantif telah ada sejak masa para sahabat Nabi SAW. Artinya paham Aswaja tidak mutlak seperti yang dirumuskan oleh Imam Asy’ari dan Maturidi, tetapi beliau adalah dua diantara imam-imam yang telah berhasil menyusun dan merumuskan ulang doktrin paham akidah Aswaja secara sistematis sehingga menjadi pedoman akidah Aswaja.
Aswajanya orang NU dan Muhammadiyah sangat berbeda, begitu juga orang Arab saudi, Mesir… organisasi NU mempunyai karakteristik lokal yang berbeda dengan Arab, berbeda dalam penerapannya. Misalnya di Jawa ada mithoni, tahlil, dll. Di arab tidak ada… Apakah Islam Aswaja di Indonesia sama dengan Islam Aswaja di belahan dunia lain (Timur Tengah misalnya)?
Aswaja sebagai Manhaj berpikir ikut dirumuskan oleh akal manusia dan Aswaja muncul karena unsur politik seperti berkolisi nya Abdullah bin Umar PLUS Abu Hurairah untuk memproduksi aneka hadis Palsu demi raja Mu’awiyah sang mitra koalisi…
…. Lalu Syiah yang banyak dalil dari ahlul baitnya tidak layak masuk menjadi mazhab kelima ? Bagaimana dengan madzhab lainnya misal madzhab Ja’fari yang masih dzuriyah Rasul.
Bahwa yang dikenal oleh Aswaja itu adalah empat madzhab tersebut tanpa ada madzhab Imam Ja’fari yang masih dzuriyah Rasul.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Aswaja sebagai sebuah paham keagamaan (ajaran) maupun sebagai aliran pemikiran (manhajul fiqr) kemunculannya tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dinamika sosial politik pada waktu itu, lebih khusus sejak peristiwa Tahqim yang melibatkan Sahabat Ali dan sahabat Muawiyyah sekitar akhir tahun 40 H.
*****
SYI’AH MAZHAB PRO SAiNS MODERN
Dalam bukunya Ayat-Ayat Semesta , Agus Purwanto mencatat tak kurang dari 800 ayat Al-Qur’an mengandung petunjuk ke arah sains. Ini lebih banyak dibandingkan hitungan Syekh Jauhari Tanthawi, guru besar Universitas Kairo, Mesir, dalam bukunya: Al-Jawahir, yang menyebut adanya 750 ayat semesta di dalam Al-Qur’an…Dan ia segera berpaling kepada kitab suci (Al-Quran) seraya menemukan keterkejutan, bahwa kitab itu memuat lebih dari seperlimanya ayat-ayat yang berbicara tentang sains. Ayat-ayat tentang Semesta.
Dan ayat tentang hukum ( fikih ) hanyalah 150 ayat saja !
Bagi syi’ah mempelajari sains sama wajibnya dengan shalat dan puasa yaitu wajib hukumnya….
Syiah berpendapat bahwa khalifah harus dari keturunan Fatimah ra, putri Rasulullah S.a.w , berdasarkan wasiat Rasulullao S.a.w. Di Ghadir kum dalam hadist Tsaqalain yang diyakini kebenarnya oleh Syi’ah.
*****
wahabi antek yahudi.
Anda ingin berkumpul dengan bani umayyah di akhirat???
Atau berkumpul dengan itrah ahlul bait ???
silahkan pilih …
Mungkinkah ahlul tauhid bermesraan dengan Amerika dan Yahudi???
Salafi menghujat habis syi’ah dan UMAT iSLAM tapi doyan bekerjasama dengan orang kafir?????
(Fandylaposta/Syiah-Ali/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email