Pesan Rahbar

Home » » Mazhab Ja'fari atau Mazhab Dua Belas Imam (Itsna 'Asyariah) Bagian 3

Mazhab Ja'fari atau Mazhab Dua Belas Imam (Itsna 'Asyariah) Bagian 3

Written By Unknown on Thursday, 10 July 2014 | 18:28:00

Kedudukan Hadis “Ali Khalifah Setelah Nabi SAW” .




Imam Ali AS memiliki kemuliaan yang tinggi dalam Islam. Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa kedudukan Imam Ali AS di sisi Rasulullah SAW sama seperti kedudukan Nabi Harun AS di sisi Nabi Musa AS. Seharusnya kita sebagai umat Islam menerima dengan baik keutamaan Imam Ali AS dan mengecam sikap-sikap yang menurunkan atau meragukan keutamaan Beliau. Berikut akan kami sajikan hadis keutamaan Imam Ali AS yang mungkin memicu keraguan dari sebagian orang.

Al Hafiz Ibnu Abi Ashim Asy Syaibani dalam Kitabnya As Sunnah hal 519 hadis no 1188 telah meriwayatkan sebagai berikut:

ثنا محمد بن المثنى حدثنا يحيى بن حماد عن أبي عوانة عن يحيى ابن سليم أبي بلج عن عمرو بن ميمون عن ابن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لعلي أنت مني بمنزلة هارون من موسى إلا أنك لست نبيا إنه لا ينبغي أن أذهب إلا وأنت خليفتي في كل مؤمن من بعدي

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Hamad dari Abi ‘Awanah dari Yahya bin Sulaim Abi Balj dari ‘Amr bin Maimun dari Ibnu Abbas yang berkata Rasulullah SAW bersabda kepada Ali “KedudukanMu di sisiKu sama seperti kedudukan Harun di sisi Musa hanya saja Engkau bukan seorang Nabi. Sesungguhnya tidak sepatutnya Aku pergi kecuali Engkau sebagai KhalifahKu untuk setiap mukmin setelahKu.

Kedudukan Hadis.
Syaikh Al Albani dalam kitabnya Zhilal Al Jannah Fi Takhrij As Sunnah hal 520 hadis no 1188 memberikan penilaian bahwa hadis ini sanadnya hasan, dimana Beliau menyatakan bahwa semua perawinya tsiqat. Hadis ini telah diriwayatkan oleh para perawi Bukhari Muslim kecuali Abi Balj yang dinilai shaduq sehingga Syaikh Al Albani menyatakan hadis tersebut hasan. Setelah kami melakukan penelitian lebih lanjut maka kami temukan bahwa hadis ini adalah hadis Shahih dan Yahya bin Sulaim Abi Balj adalah perawi tsiqat. Berikut analisis terhadap para perawinya.

Analisis Perawi Hadis.
Muhammad bin Al Mutsanna.
Muhammad bin Al Mutsanna Abu Musa Al Bashri adalah seorang Hafiz yang tsiqat. Hadisnya telah dijadikan hujjah oleh Bukhari dan Muslim serta Ashabus Sunan. Beliau telah dinyatakan tsiqat oleh banyak ulama diantaranya Ibnu Ma’in, Ibnu Hibban, Daruquthni, Al Khatib dan Ibnu Hajar. Dalam At Tahdzib juz 9 no 698 disebutkan:

قال عبد الله بن أحمد عن بن معين ثقة وقال أبو سعد الهروي سألت الذهلي عنه فقال حجة وقال صالح بن محمد صدوق اللهجة

Abdullah bin Ahmad berkata dari Ibnu Ma’in “tsiqah” dan Abu Sa’ad Al Harawi bertanya kepada Adz Dzahili yang berkata “hujjah” dan Shalih bin Muhammad berkata “shaduq hujjah”.

وقال أبو حاتم صالح الحديث صدوق

Abu Hatim berkata “ hadisnya baik, shaduq (jujur)”.

Ibnu Syahin memasukkan Muhammad bin Al Mutsanna dalam kitabnya Tarikh Asma Ats Tsiqat no 1278. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat tsabit dalam Taqrib At Tahdzib 2/129. Adz Dzahabi dalam Al Kasyf no 5134 juga menyatakan Muhammad bin Al Mutsanna tsiqat.


Yahya bin Hamad.
Yahya bin Hamad Al Bashri adalah seorang perawi tsiqat yang dijadikan hujjah oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud dalam Nasikh Wa Mansukh, Trimidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah. Disebutkan dalam At Tahdzib juz 11 no 338.

قال بن سعد كان ثقة كثير الحديث وقال أبو حاتم ثقة وذكره بن حبان في الثقات

Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat dan memiliki banyak hadis”. Abu Hatim berkata “tsiqat” dan disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat.

Al Ajli dalam Ma’rifat Ats Tsiqat no 1971 menyatakan Yahya bin Hamad tsiqat. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 2/300 menyatakan ia tsiqat. Adz Dzahabi dalam Al Kasyf no 6158 juga menyatakannya tsiqat.

Abu Awanah.
Abu Awanah atau Wadhdhah bin Abdullah Al Yasykuri adalah perawi yang dijadikan hujjah oleh Bukhari Muslim dan Ashabus Sunan, Ia telah meriwayatkan hadis dari Yahya bin Sulaim Abi Balj dan telah meriwayatkan darinya Yahya bin Hamad. Abu Awanah telah dinyatakan tsiqah oleh Al Ajli, Ibnu Sa’ad, Abu Hatim, Ibnu Ma’in dan yang lainnya. Al Ajli dalam Ma’rifat Ats Tsiqah no 1937 berkata:

وضاح أبو عوانة بصرى ثقة مولى يزيد بن عطاء الواسطي

Wadhdhah Abu Awanah orang Bashrah yang tsiqat mawla Yazid bin Atha’ Al Wasithi.

Ibnu Syahin memasukkan namanya dalam Tarikh Asma Ats Tsiqat no 1508 dan berkata:

قال يحيى بن معين أبو عوانة ثقة واسمه الوضاح

Yahya bin Ma’in berkata “Abu Awanah tsiqat namanya adalah Wadhdhah”.

Dalam At Tahdzib juz 11 no 204 disebutkan bahwa Abu Hatim, Abu Zar’ah Ahmad, Ibnu Hibban, Ibnu Sa’ad, Ibnu Abdil Barr menyatakan Abu Awanah tsiqat, Ibnu Kharrasy menyatakan ia shaduq dan Yaqub bin Abi Syaibah menyatakan Abu Awanah seorang Hafiz yang tsabit dan shalih. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 2/283 menyatakan Abu Awanah tsiqat tsabit dan Adz Dzahabi dalam Al Kasyf no 6049 juga menyatakan ia tsiqah.

Yahya bin Sulaim Abi Balj.
Yahya bin Sulaim adalah perawi Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah. Beliau dikenal dengan kunniyah Abu Balj dan ada pula yang menyebutnya Yahya bin Abi Sulaim. Beliau telah dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Ma’in, Nasa’i, Ibnu Sa’ad dan Daruquthni. Dalam At Tahdzib juz 12 no 184 Ibnu Hajar menyebutkan:

وقال بن معين وابن سعد والنسائي والدارقطني ثقة وقال البخاري فيه نظر وقال أبو حاتم صالح الحديث لا بأس به

Ibnu Ma’in, Ibnu Sa’ad, Nasa’i dan Daruquthni menyatakan ia tsiqat. Bukhari berkata “perlu diteliti lagi” dan Abu Hatim berkata “hadisnya baik dan tidak ada masalah dengannya”.

Yaqub bin Sufyan Al Fasawi dalam Ma’rifat Wa Tarikh 3/106 menyebutkan tentang Abu Balj.

قال يعقوب بن سفيان أبي بلج كوفي لا بأس به

Yaqub bin Sufyan berkata “Abi Balj Al Kufi tidak ada masalah dengannya”.

Pernyataan Bukhari “fihi nazhar (perlu diteliti lagi)” terhadap Yahya bin Sulaim Abi Balj tidaklah benar. Kami telah menelusuri karya-karya Bukhari seperti Tarikh As Shaghir dan Tarikh Al Kabir ternyata tidak ada keterangan bahwa Bukhari menyatakan Abu Balj dengan sebutan “fihi nazhar”. Selain itu, Bukhari sendiri tidak memasukkan Abu Balj dalam kitabnya Adh Dhua’fa As Shaghir yang berarti Bukhari tidak menganggapnya cacat. Bukhari menyebutkan biografi Yahya bin Abi Sulaim Abu Balj dalam Tarikh Al Kabir juz 8 no 2996 dan beliau menyebutkan:

يحيى بن أبي سليم قال إسحاق نا سويد بن عبد العزيز وهو كوفي ويقال واسطي أبو بلج الفزاري روى عنه الثوري وهشيم ويقال يحيى بن أبي الأسود وقال سهل بن حماد نا شعبة قال نا أبو بلج يحيى بن أبي سليم

Yahya bin Abi Sulaim, Ishaq berkata telah menceritakan kepada kami Suwaid bin Abdul Aziz “dia orang Kufah dan dikatakan juga orang Wasith Abu Balj Al Fazari, telah meriwayatkan darinya Tsawri dan Hasym, ada yang mengatakan Yahya bin Abil Aswad”. Sahl bin Hamad berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Balj Yahya bin Abi Sulaim.

Dalam biografi Abu Balj yang disebutkan Bukhari tidak ada pernyataan Bukhari yang menyebutnya cacat apalagi dengan sebutan fihi nazhar bahkan dari keterangan Bukhari dapat diketahui bahwa Syu’bah telah meriwayatkan dari Yahya bin Abu Sulaim Abu Balj. Hal ini berarti Syu’bah menganggap Abu Balj sebagai tsiqah karena telah sangat dikenal bahwa Syu’bah tidak meriwayatkan kecuali dari para perawi tsiqah. Oleh karena itu tidak diragukan lagi kalau Abu Balj seorang yang tsiqat.

Amr bin Maimun.
Amr bin Maimun Al Audi adalah seorang tabiin yang tsiqah termasuk Al Mukhadramun menemui masa jahiliyah tetapi tidak bertemu dengan Nabi SAW. Ia meriwayatkan dari Ibnu Abbas RA. Al Ajli dalam Ma’rifat Ats Tsiqah no 1412 berkata:

عمرو بن ميمون الأودي كوفي تابعي ثقة

Amr bin Maimun Al Audi Tabiin kufah yang tsiqat.

Ibnu Hajar menyebutkan dalam At Tahdzib juz 8 no 181 bahwa selain Al Ajli, Amr bin Maimun juga dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in, Nasa’i dan Ibnu Hibban. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/747 mengatakan kalau Amr bin Maimun adalah mukhadramun yang dikenal tsiqat.

Kesimpulan:
Hadis di atas telah diriwayatkan oleh para perawi tsiqat. Dimana semua perawinya adalah perawi Bukhari dan Muslim kecuali Yahya bin Sulaim Abi Balj dan dia adalah perawi yang tidak diragukan ketsiqahannya. Oleh karena itu hadis tersebut sanadnya Shahih.


___________________________________________________
Berpegang Teguh Pada Ahlul Bait Nabi SAW Dan Berpegang Teguh Pada Sahabat Nabi SAW.
Merupakan hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa Islam sekarang terbagi dalam berbagai mahzab. Setiap mahzab menawarkan pemahaman khas tersendiri tentang bagaimana Islam sebenarnya. Dan tidak jarang antara mahzab yang satu dan mahzab yang lain terjadi perselisihan pemahaman. Hal ini membuat kesulitan bagi sebagian orang yang ingin memahami ajaran Islam dengan baik. Walaupun begitu ada suatu pemecahan awal yang dapat digunakan dalam memilah yang mana yang benar dan yang mana yang salah dari semua mahzab yang ada. Ajaran Islam sepenuhnya berlandaskan pada Al Quranul Karim dan Sunah Rasulullah SAW. Oleh karena itu setiap pandangan yang ditawarkan oleh mahzab apapun hendaknya ditimbang dengan Al Quran dan Sunah Rasulullah SAW.

Secara garis besar Islam terbagi dalam dua mahzab besar yaitu Sunni dan Syiah. Masing-masing mahzab memiliki formulasi Islam tersendiri. Adalah tidak benar jika seseorang menuduh bahwa Syiah adalah ajaran yang tidak memiliki landasan dalam Islam atau sebaliknya menuduh Mahzab Sunni tidak memiliki landasan. Landasan selalu ada dan itulah yang membuat kedua mahzab tersebut bertahan ratusan tahun lamanya. Seseorang boleh saja mempersepsi yang mana yang benar dan yang mana yang salah menurutnya dan dengan dasar itu dia berhak untuk memilih mahzab yang akan dianutnya. Hal yang patut dihindari adalah fanatisme mahzab yang membuat seseorang begitu terpolarisasi seakan-akan setiap apapun yang bukan dari mahzabnya adalah sesat.

Mahzab Sunni dan Mahzab Syiah memiliki landasan awal yang sama yaitu Berpegang pada Al Quranul Karim dan Sunah Rasulullah SAW. Perbedaannya terletak pada landasan yang lebih lanjut. Mahzab Sunni mengambil Sunah Rasulullah SAW dominan dari sahabat-sahabat Nabi SAW sedangkan Mahzab Syiah mengambil Sunnah Rasulullah SAW dari Ahlul Bait. Tulisan ini akan meninjau kedua landasan lanjut Mahzab Sunni dan Mahzab Syiah.

1. Mazhab Syiah adalah Mahzab Ahlul Bait.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya Syiah mengambil Sunah Rasulullah SAW dari Ahlul Bait. Dalam pandangan Syiah Ahlul Bait adalah pedoman bagi umat Islam setelah Al Quran. Hal ini ternyata sesuai dengan apa yang dinyatakan Rasulullah SAW sendiri.

Bahwa Rasulullah SAW bersabda “Wahai manusia sesungguhnya Aku meninggalkan untuk kalian apa yang jika kalian berpegang kepadanya niscaya kalian tidak akan sesat ,Kitab Allah dan Itrati Ahlul BaitKu”.(Hadis riwayat Tirmidzi,Ahmad,Thabrani,Thahawi dan dishahihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albany dalam kitabnya Silsilah Al Hadits Al Shahihah no 1761).

Perlu dijelaskan bahwa ada banyak sekali hadis keutamaan Ahlul Bait yang menunjukkan bahwa Mereka memiliki kemuliaan yang besar sehingga setiap umat islam diwajibkan untuk mencintai Mereka. Tetapi dalam pembahasan ini hanya difokuskan terhadap hadis yang menjelaskan dengan kalimat yang lugas dan jelas bahwa Ahlul Bait adalah pedoman bagi umat Islam. Dalam mahzab Syiah kedudukan Ahlul Bait Nabi SAW sebagai pedoman menyebabkan timbulnya pandangan kema’suman Ahlul Bait. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari kedudukan Ahlul Bait sebagai Pedoman Umat islam. Sang pedoman jelas sekali harus selalu benar.

2. Mazhab Sunni adalah Mahzab Sahabat.
Mahzab Sunni mengambil hadis Rasulullah SAW dari para Sahabat. Hal ini berdasarkan banyaknya keutamaan yang dimiliki oleh mereka para Sahabat. Dalam mahzab Sunni Sahabat Nabi memiliki keutamaan-keutamaan yang besar. Ada banyak hadis yang menjelaskan tentang ini. Sahabat Nabi jelas sekali belajar hadis dari Rasulullah SAW oleh karena itu mengambil hadis dari Sahabat Nabi SAW adalah suatu hal yang rasional dengan sudut pandang ini. Sayangnya tidak ada hadis yang lugas dan jelas yang menyatakan bahwa Sahabat Nabi adalah pedoman bagi umat Islam agar tidak tersesat. Semua hadis yang dijadikan dasar dalam hal ini adalah hadis-hadis keutamaan mereka yang menjelaskan betapa mulianya mereka. Oleh karena itu Sunni tidak pernah menyatakan bahwa Sahabat Nabi itu ma’sum. Hal ini memiliki konsekuensi logis bahwa Sahabat Nabi tidak selalu benar.

Ada sebagian hadis yang sering dijadikan dasar bahwa Sahabat Nabi adalah pedoman bagi umat Islam.
Rasulullah SAW bersabda “Umat ini akan terpecah belah menjadi 73 golongan . Mereka semua ada di neraka kecuali satu golongan”. Para sahabat bertanya “Siapakah golongan itu?”. Beliau menjawab “Apa yang Aku dan para sahabatku ada diatasnya pada hari ini”.(Hadis Riwayat Thabrani dalam Mu’jam As Saghir jilid I hal 256).

Kemudian juga hadis ini.
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya bani Israil telah berpecah belah menjadi 72 golongan, dan umatku akan berpecah belah menjadi 73 golongan . Mereka semua di neraka kecuali satu golongan “. Para Sahabat bertanya “Dan siapakah golongan (yang selamat) itu wahai Rasulullah SAW?”. Beliau menjawab “Apa yang Aku dan para sahabatku ada diatasnya”. (Hadis Riwayat Tirmidzi dalam Sunan Tirmidzi Kitab Al Iman ‘An Rasulillah Bab Ma Ja’a Fi Iftiraqi Hadzihi Al Ummah no 2565).

Kedua hadis tersebut adalah hadis yang dhaif . Hadis pertama riwayat Thabrani dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Sufyan dimana Al Uqaili berkata Hadisnya tidak bisa diikuti. Oleh karena itu Al Uqaili memasukkan hadis ini dalam kitabnya Adh Dhu’afa Al Kabir no 938. Hadis kedua riwayat Tirmidzi dalam sanadnya terdapat Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqi dan sebagaimana dijelaskan dalam At Taqrib bahwa dia adalah dhaif. Oleh karena itu Al Mubarakfuri menyatakan dhaifnya hadis tersebut dalam Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi hadis no 2565.


Kesimpulan:
Apa yang dapat disimpulkan dari ini adalah Rasulullah SAW sendiri telah menjelaskan bahwa pegangan dan pedoman bagi umat Islam agar tidak sesat adalah Hendaknya berpegang teguh pada Al Quran dan Ahlul Bait Nabi. Tidak ada suatu penjelasan lugas dan jelas yang shahih bahwa Rasulullah SAW menganjurkan untuk berpegang pada sahabat agar umat Islam tidak sesat.


Hadis Imam Ali Mengakui Khalifah Peninggalan Rasulullah SAW : Studi Kritis Hujjah Salafy
Oknum salafiyun itu ternyata tidak mau berhenti untuk menunjukkan kekeliruannya dalam berhujjah. Ia membawakan dua buah hadis yang dikatakannya sebagai penguat hadis Syu’aib bin Maimun. Mari kita analisis dengan seksama kedua hadis tersebut.

Hadis Pertama diriwayatkan dalam Musnad Ahmad 1/130 no 1078.

حدثنا عبد الله حدثني أبى ثنا وكيع ثنا الأعمش عن سالم بن أبي الجعد عن عبد الله بن سبع قال سمعت عليا رضي الله عنه يقول لتخضبن هذه من هذا فما ينتظر بي الأشقى قالوا يا أمير المؤمنين فأخبرنا به نبير عترته قال إذا تالله تقتلون بي غير قاتلي قالوا فاستخلف علينا قال لا ولكن أترككم إلى ما ترككم إليه رسول الله صلى الله عليه و سلم قالوا فما تقول لربك إذا أتيته وقال وكيع مرة إذا لقيته قال أقول اللهم تركتني فيهم ما بدا لك ثم قبضتني إليك وأنت فيهم فإن شئت أصلحتهم وإن شئت أفسدتهم

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Waki’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Al ‘Amasy dari Salim bin Abi Al Ja’d dari Abdullah bin Sabu’ yang berkata “Aku mendengar Ali berkata “sesungguhnya ini akan dilumuri (darah) dari sini, sehingga tidak ada yang menungguku selain kesengsaraan. Mereka berkata “wahai Amirul Mukminin beritahukanlah kepada kami siapa dia, kami akan membunuh keluarganya. Ali berkata “kalau demikian demi Allah kalian akan membunuh orang yang tidak membunuhku”. Mereka berkata “Maka angkatlah seseorang sebagai penggantimu. Ali berkata “tidak, akan tetapi aku akan meninggalkan kalian pada apa yang Rasulullah SAW meninggalkan kalian. Mereka berkata “Apa yang akan Engkau katakan kepada TuhanMu jika Engkau mendatanginya -Waki terkadang berkata– Jika Engkau bertemu denganNya”. Ali berkata “Ya Allah Engkau membiarkanku di antara mereka dengan kehendakMu lalu Engkau mengambilku ke sisiMu sedang Engkau berada di antara mereka. Jika Engkau menghendaki Engkau dapat memberikan kebaikan pada mereka dan jika Engkau menghendaki Engkau dapat memberikan kehancuran pada mereka”.

Hadis Kedua diriwayatkan dalam Musnad Ahmad 1/156 no 1339.

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا أسود بن عامر أنبأنا أبو بكر عن الأعمش عن سلمة بن كهيل عن عبد الله بن سبع قال خطبنا على رضي الله عنه فقال والذي فلق الحبة وبرأ النسمة لتخضبن هذه من هذه قال قال الناس فأعلمنا من هو والله لنبيرن عترته قال أنشدكم بالله ان يقتل غير قاتلي قالوا أن كنت قد علمت ذلك استخلف إذا قال لا ولكن أكلكم إلى ما وكلكم إليه رسول الله صلى الله عليه و سلم

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Aswad bin Amir yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Bakar yang berkata telah menceritakan kepada kami Al ‘Amasy dari Salamah bin Kuhail dari Abdullah bin Sabu’ yang berkata “Ali berkhutbah kepada kami, dia berkata “Demi Yang memecahkan biji dan menciptakan Ruh sungguh ini akan dilumuri dari sini. Orang-orangpun berkata “beritahukanlah kepada kami siapa dia? Demi Allah kami akan membunuh keluarganya. Ali berkata “Demi Allah itu berarti orang yang tidak membunuhku akan dibunuh. Mereka berkata “Jika Engkau mengetahui hal itu maka angkatlah seseorang sebagai pengganti. Ali berkata “Tidak, akan tetapi aku meninggalkan kalian pada apa yang Rasulullah SAW meninggalkan kalian”.

Manhaj Syaikh Syu’aib Al Arnauth.
Kedua hadis ini sanadnya dhaif dimana hadis kedua lebih dhaif dari hadis pertama. Kedua hadis tersebut bersumber dari Abdullah bin Sabu’ dia adalah perawi yang tidak ada satu ulama pun yang menyatakan ta’dil padanya kecuali Ibnu Hibban sebagaimana yang disebutkan dalam At Tahdzib juz 5 no 397. Disebutkan pula hanya Salim bin Abil Ja’d yang meriwayatkan hadis darinya. Oleh karena itu dalam Tahrir At Taqrib no 3340 Abdullah bin Sabu’ dinyatakan majhul. Sedangkan hadis kedua selain kemajhulan Abdullah bin Sabu’ hadis ini memiliki illat idhthirab. Yang meriwayatkan dari Abdullah bin Sabu’ bukanlah Salamah bin Kuhail tetapi Salim bin Abil Ja’d. Al Bukhari dalam Tarikh Al Kabir juz 5 no 283 telah membawakan sanad hadis ini dimana Al A’masy meriwayatkan dari Salamah bin Kuhail dari Salim bin Abil Ja’d dari Abdullah bin Sabu’. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Salamah bin Kuhail tidak mendengar dari Abdullah bin Sabu’.

Jadi kedua hadis tersebut kedudukannya dhaif dan jika kita gabungkan dengan hadis Syu’aib bin Maimun maka didapati:
* Hadis pertama dhaif karena Abdullah bin Sabu’ majhul
* Hadis kedua dhaif karena Abdullah bin Sabu’ majhul dan sanadnya mudhtharib
* Hadis Syu’aib bin Maimun dhaif karena Syu’aib bin Maimun perawi dhaif majhul dan hadisnya mungkar
Ketiga hadis ini sudah jelas cacatnya sama-sama parah dan tidak mungkin bisa saling menguatkan sehingga sungguh tidak benar jika Syaikh Syu’aib menyatakan bahwa hadisnya terangkat menjadi hasan lighairihi.
Apalagi jika dilihat bahwa matan hadis Syu’aib bin Maimun tidaklah sama dengan matan hadis Abdullah bin Sabu’
* Hadis Syu’aib bin Maimun memuat lafaz Imam Ali mengakui Rasulullah SAW tidak memilih penggantinya dan lafaz bahwa Allah SWT yang mengumpulkan mereka di bawah orang yang terbaik dari kaum muslimin
* Hadis Abdullah bin Sabu’ tidak mengandung lafaz seperti hadis Syu’aib, matannya hanya berupa Imam Ali meninggalkan mereka pada apa yang Rasulullah SAW meninggalkan mereka.

Kedua lafaz ini memiliki perbedaan yang nyata. Tertera dalam hadis shahih bahwa Rasulullah SAW meninggalkan Ahlul Bait sebagai khalifah untuk kaum muslimin dan jika dikembalikan pada kedua hadis di atas maka hadis Abdullah bin Sabu’ justru mengandung makna bahwa Imam Ali mengakui khalifah itu ada pada Ahlul Bait sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah SAW oleh karena itu Beliau tidak perlu menunjuk pengganti karena Rasulullah SAW telah menetapkan. Sedangkan hadis Syu’aib lafaznya mungkar karena bertentangan dengan hadis shahih.

Manhaj Syaikh Ahmad Syakir.
Salafy cukup dikenal dengan sikap mereka yang merendahkan tautsiq Ibnu Hibban. Mereka tidak menganggap penta’dilan Ibnu Hibban karena Ibnu Hibban suka menyatakan tsiqah kepada perawi-perawi majhul. Kalau begitu sudah seharusnya salafy tidak menggunakan hadis Abdullah bin Sabu’ sebagai hujjah. Tapi ternyata sekarang kita melihat inkonsistensi salafy. Ketika hadis tersebut mau mereka menjadikan hujjah maka tidak ada masalah bagi mereka untuk berhujjah dengan perawi majhul.

Berbeda halnya dengan manhaj Syaikh Ahmad Syakir dalam menilai tautsiq Ibnu Hibban. Menurut syaikh Ahmad Syakir jika seorang perawi disebutkan biografinya oleh Bukhari atau Abu Hatim tanpa menyebutkan jarh dan ta’dil kemudian Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat maka perawi tersebut layak untuk dinyatakan tsiqah walaupun tidak ada ta’dil dari ulama lain.

Abdullah bin Sabu’ disebutkan Ibnu Hibban dalam kitabnya Ats Tsiqat juz 5 no 3646. Al Bukhari menyebutkan biografinya dalam Tarikh Al Kabir juz 5 no 283 dan Ibnu Abi Hatim dalam Al Jarh Wat Ta’dil 5/68 no 322, keduanya tidak menyebutkan jarh dan ta’dil pada Abdullah bin Sabu’. Maka menurut Syaikh Ahmad Syakir Abdullah bin Sabu’ seorang yang tsiqah sehingga dalam tahqiqnya terhadap hadis tersebut Syaikh menyatakan kedua hadis tersebut shahih.

Tanggapan Kami:
Tentu saja kami tidak mau seperti salafy yang berhujjah dengan cara-cara seenaknya bahkan terkesan inkonsisten atau kontradiktif. Tidak ada celah sedikitpun bagi salafy untuk berhujjah dengan hadis Abdullah bin Sabu’ perawi yang majhul menurut metode salafy.

Pendapat yang benar dalam pandangan kami adalah seperti yang dikatakan Syaikh Ahmad Syakir tetapi kami tidak akan membabi-buta mengikuti Syaikh Ahmad Syakir. Hadis pertama tersebut bersanad hasan dan hadis kedua tersebut dhaif karena idhthirab. Dan sebagai penjelas hadis Abdullah bin Sabu’ adalah hadis Rasulullah SAW berikut:

عن زيد بن ثابت قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن تارك فيكم الخليفتين من بعدي كتاب الله وعترتي أهل بيتي وإنهما لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض

Dari Zaid bin Tsabit yang berkata “Rasulullah SAW bersabda “Aku tinggalkan untuk kalian dua khalifah (penggantiku) setelahKu yaitu Kitab Allah dan ItrahKu Ahlul BaitKu dan sesungguhnya keduanya tidak akan berpisah sampai kembali kepadaku di Al Haudh. [hadis shahih riwayat Ibnu Abi Ashim dalam As Sunnah no 754].

Jadi mengapa dalam hadis Abdullah bin Sabu’ dikatakan Imam Ali tidak mau menunjuk penggantinya. Hal itu disebabkan Imam Ali menginginkan agar mereka kaum muslimin kembali pada apa yang Rasulullah SAW meninggalkan untuk mereka yaitu Kitab Allah dan Itrah Ahlul Bait Rasulullah SAW.


__________________________________________________________

Kedudukan Hadis “Imam Ali Pemimpin Bagi Setiap Mukmin Sepeninggal Nabi SAW”.
Diriwayatkan dengan berbagai jalan yang shahih dan hasan bahwa Rasulullah SAW bersabda kalau Imam Ali adalah Pemimpin bagi setiap mukmin sepeninggal Beliau SAW. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imran bin Hushain RA, Buraidah RA, Ibnu Abbas RA dan Wahab bin Hamzah RA. Rasulullah SAW bersabda:

إن عليا مني وأنا منه وهو ولي كل مؤمن بعدي

Ali dari Ku dan Aku darinya dan Ia adalah Pemimpin bagi setiap mukmin sepeninggalKu.

Takhrij Hadis.
Hadis di atas adalah lafaz riwayat Imran bin Hushain RA. Disebutkan dalam Musnad Abu Dawud Ath Thayalisi 1/111 no 829, Sunan Tirmidzi 5/296, Sunan An Nasa’i 5/132 no 8474, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 7/504, Musnad Abu Ya’la 1/293 no 355, Shahih Ibnu Hibban 15/373 no 6929, Mu’jam Al Kabir Ath Thabrani 18/128, dan As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 1187. Semuanya dengan jalan sanad yang berujung pada Ja’far bin Sulaiman dari Yazid Ar Risyk dari Mutharrif bin Abdullah bin Syikhkhir Al Harasy dari Imran bin Hushain RA. Berikut sanad Abu Dawud.

حدثنا جعفر بن سليمان الضبعي ، حدثنا يزيد الرشك ، عن مطرف بن عبد الله بن الشخير ، عن عمران بن حصين

Telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Sulaiman Ad Dhuba’iy yang berkata telah menceritakan kepada kami Yazid Ar Risyk dari Mutharrif bin Abdullah bin Syikhkhir dari Imran bin Hushain-alhadis- [Musnad Abu Dawud Ath Thayalisi no 829].

Hadis Imran bin Hushain ini sanadnya shahih karena para perawinya tsiqat
* Ja’far bin Sulaiman Adh Dhuba’iy adalah seorang yang tsiqat. Ja’far adalah perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad, Muslim dan Ashabus Sunan. Ibnu Ma’in, Ibnu Sa’ad, Ibnu Madini dan Ibnu Hibban menyatakan ia tsiqat. Ahmad bin Hanbal berkata “tidak ada masalah padanya”. Abu Ahmad mengatakan kalau Ja’far hadisnya baik, ia memiliki banyak riwayat dan hadisnya hasan [At Tahdzib juz 2 no 145]. Al Ajli menyatakan Ja’far bin Sulaiman tsiqat [Ma’rifat Ats Tsiqat no 221]. Ibnu Syahin juga memasukkannya sebagai perawi tsiqat [Tarikh Asma Ats Tsiqat no 166]. Kelemahan yang dinisbatkan kepada Ja’far adalah ia bertasayyyu’ tetapi telah ma’ruf diketahui bahwa tasyayyu’ Ja’far dikarenakan ia banyak meriwayatkan hadis-hadis keutamaan Ahlul Bait. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq tasyayyu’ [At Taqrib 1/162]. Adz Dzahabi menyatakan Ja’far bin Sulaiman tsiqat [Al Kasyf no 729].
* Yazid Ar Risyk adalah Yazid bin Abi Yazid Adh Dhuba’iy seorang yang tsiqat perawi kutubus sittah. Tirmidzi, Abu Hatim, Abu Zar’ah, Ibnu Hibban dan Ibnu Sa’ad menyatakan ia tsiqah. Ahmad bin Hanbal menyatakan ia “shalih al hadis”.[At Tahdzib juz 11 no 616]. Disebutkan kalau Ibnu Ma’in mendhaifkannya tetapi hal ini keliru karena telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih kalau Ibnu Ma’in justru menta’dilkannya. Ibnu Abi Hatim menukil Ad Dawri dari Ibnu Ma’in yang menyatakan Yazid “shalih” dan menukil Abu Bakar bin Abi Khaitsamah dari Ibnu Main yang menyatakan Yazid “laisa bihi ba’sun”. perkataan ini berarti perawi tersebut tsiqah menurut Ibnu Ma’in. [Al Jarh Wat Ta’dil 9/298 no 1268].
* Mutharrif bin Abdullah adalah tabiin tsiqah perawi kutubus sittah. Ibnu Sa’ad menyatakan ia tsiqah. Al Ajli mengatakan ia tsiqah. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqah. [At Tahdzib juz 10 no 326]. Ibnu Hajar menyatakan Mutharrif bin Abdullah tsiqah [At Taqrib 2/188].
Hadis Imran bin Hushain di atas jelas sekali diriwayatkan oleh perawi tsiqah dan shahih sesuai dengan syarat Imam Muslim. Ja’far bin Sulaiman adalah perawi Muslim dan yang lainnya adalah perawi Bukhari dan Muslim. Ibnu Hajar menyatakan sanad hadis ini kuat dalam kitabnya Al Ishabah 4/569. Syaikh Al Albani menyatakan hadis ini shahih [Zhilal Al Jannah Takhrij As Sunnah no 1187]. Syaikh Syu’aib Al Arnauth menyatakan hadis ini sanadnya kuat [Shahih Ibnu Hibban no 6929]. Syaikh Husain Salim Asad menyatakan hadis ini para perawinya perawi shahih [Musnad Abu Ya’la no 355].

Selain riwayat Imran bin Hushain, hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Buraidah RA. Hadis Buraidah disebutkan dalam Musnad Ahmad 5/356 no 22908[tahqiq Ahmad Syakir dan Hamzah Zain], Sunan Nasa’i 5/132 no 8475, Tarikh Ibnu Asakir 42/189 dengan jalan sanad yang berujung pada Ajlah Al Kindi dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya. Berikut sanad riwayat Ahmad.

ثنا بن نمير حدثني أجلح الكندي عن عبد الله بن بريدة عن أبيه بريدة قال

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair yang berkata telah menceritakan kepadaku Ajlah Al Kindi dari Abdullah bin Buraidah dari Ayahnya Buraidah yang berkata-hadis marfu’-[Musnad Ahmad 5/356 no 22908].

Hadis Buraidah ini sanadnya hasan karena diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah yaitu Ibnu Numair dan Abdullah bin Buraidah dan perawi yang hasan yaitu Ajlah Al Kindi.
* Ibnu Numair adalah Abdullah bin Numair Al Hamdani adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqah. Ibnu Ma’in, Ibnu Hibban, Al Ajli dan Ibnu Sa’ad menyatakan ia tsiqah. [At Tahdzib juz 6 no 110]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/542]. Adz Dzahabi menyatakan ia hujjah [Al Kasyf no 3024].
* Ajlah Al Kindi adalah seorang yang shaduq. Ibnu Main dan Al Ajli menyatakan ia tsiqat. Amru bin Ali menyatakan ia seorang yang shaduq dan hadisnya lurus. Ibnu Ady berkata “ia memiliki hadis-hadis yang shalih, telah meriwayatkan darinya penduduk kufah dan yang lainnya, tidak memiliki riwayat mungkar baik dari segi sanad maupun matan tetapi dia seorang syiah kufah, disisiku ia seorang yang shaduq dan hadisnya lurus”. Yaqub bin Sufyan menyatakan ia tsiqat tetapi ada kelemahan dalam hadisnya. Diantara yang melemahkannya adalah Ibnu Sa’ad, Abu Hatim, Abu Dawud dan An Nasa’i. [At Tahdzib juz 1 no 353]. Abu Hatim dan An Nasa’i menyatakan ia “tidak kuat” dimana perkataan ini bisa berarti seorang yang hadisnya hasan apalagi dikenal kalau Abu Hatim dan Nasa’i termasuk ulama yang ketat dalam menjarh. Ibnu Sa’ad dan Abu Dawud menyatakan ia dhaif tanpa menyebutkan alasannya sehingga jarhnya adalah jarh mubham. Tentu saja jarh mubham tidak berpengaruh pada mereka yang telah mendapat predikat tsiqat dari ulama yang mu’tabar. Ibnu Hajar menyatakan ia seorang syiah yang shaduq [At Taqrib 1/72]. Adz Dzahabi juga menyatakan Ajlah seorang yang shaduq [Man Tukullima Fiihi Wa Huwa Muwatstsaq no 13]. Bagi kami ia seorang yang tsiqah atau shaduq, Bukhari telah menyebutkan biografinya tanpa menyebutkan cacatnya [Tarikh Al Kabir juz 2 no 1711]. Hal ini menunjukkan kalau jarh terhadap Ajlah tidaklah benar dan hanya dikarenakan sikap tasyayyu’ yang ada padanya.
* Abdullah bin Buraidah adalah seorang tabiin yang tsiqah. Ibnu Ma’in, Al Ajli dan Abu Hatim menyatakan ia tsiqat. Ibnu Kharasy menyatakan ia shaduq [At Tahdzib juz 5 no 270]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/480] dan Adz Dzahabi juga menyatakan ia tsiqat [Al Kasyf no 2644].
Sudah jelas hadis Buraidah ini adalah hadis hasan yang naik derajatnya menjadi shahih dengan penguat hadis-hadis yang lain. Syaikh Al Albani menyatakan bahwa hadis Buraidah ini sanadnya jayyid [Zhilal Al Jannah Takhrij As Sunnah no 1187].

Selain Imran bin Hushain dan Buraidah, hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dengan sanad yang shahih. Riwayat Ibnu Abbas disebutkan dalam Musnad Abu Dawud Ath Thayalisi 1/360 no 2752, Tarikh Ibnu Asakir 42/199, dan Tarikh Ibnu Asakir 42/201, Musnad Ahmad 1/330 no 3062, Al Mustadrak 3/143 no 4652, As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 1188, dan Mu’jam Al Kabir 12/77. Berikut sanad riwayat Abu Dawud.

حدثنا أبو عوانة عن أبي بلج عن عمرو بن ميمون عن بن عباس ان رسول الله صلى الله عليه و سلم

Telah menceritakan kepada kami Abu Awanah dari Abi Balj dari Amru bin Maimun dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda [Musnad Abu Dawud Ath Thayalisi no 2752].

Hadis Ibnu Abbas ini sanadnya shahih dan diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat.
* Abu Awanah adalah Wadhdhah bin Abdullah Al Yasykuri seorang perawi kutubus sittah yang tsiqat. Abu Hatim, Abu Zar’ah, Ahmad, Ibnu Sa’ad, Ibnu Abdil Barr menyatakan ia tsiqat. [At Tahdzib juz 11 no 204]. Al Ajli menyatakan ia tsiqah [Ma’rifat Ats Tsiqat no 1937].Ibnu Hajar menyatakan Abu Awanah tsiqat tsabit [At Taqrib 2/283] dan Adz Dzahabi juga menyatakan ia tsiqat [Al Kasyf no 6049].
* Abu Balj adalah Yahya bin Sulaim seorang perawi Ashabus Sunan yang tsiqat. Ibnu Ma’in, Ibnu Sa’ad, Nasa’i dan Daruquthni menyatakan ia tsiqat. Abu Fath Al Azdi menyatakan ia tsiqat. Abu Hatim berkata “shalih laba’sa bihi”. Yaqub bin Sufyan berkata “tidak ada masalah padanya”. Al Bukhari berkata “fihi nazhar” atau perlu diteliti lagi hadisnya. [At Tahdzib juz 12 no 184]. Perkataan Bukhari ini tidaklah tsabit karena ia sendiri telah menuliskan biografi Abu Balj tanpa menyebutkan cacatnya bahkan dia menegaskan kalau Syu’bah meriwayatkan dari Abu Balj [Tarikh Al Kabir juz 8 no 2996]. Hal ini berarti Syu’bah menyatakan Abu Balj tsiqat karena ia tidak meriwayatkan kecuali dari perawi yang tsiqat. Ibnu Abdil Barr dan Ibnu Jauzi menyatakan bahwa Ibnu Main mendhaifkan Abu Balj [At Tahdzib juz 12 no 184]. Tentu saja perkataan ini tidak benar karena telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ishaq bin Mansur kalau Ibnu Ma’in justru menyatakan Abu Balj tsiqat [Al Jarh Wat Ta’dil 9/153 no 634]. Kesimpulannya pendapat yang rajih adalah ia seorang yang tsiqat.
* Amru bin Maimun adalah perawi kutubus sittah yang tsiqah. Al Ajli, Ibnu Ma’in, An Nasa’i dan Ibnu Hibban menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 8 no 181]. Ibnu Hajar menyatakan Amru bin Maimun tsiqat [At Taqrib 1/747].

Hadis Ibnu Abbas ini adalah hadis yang shahih dan merupakan sanad yang paling baik dalam perkara ini. Hadis ini juga menjadi bukti bahwa tasyayyu’ atau tidaknya seorang perawi tidak membuat suatu hadis lantas menjadi cacat karena sanad Ibnu Abbas ini termasuk sanad yang bebas dari perawi tasyayyu’. Hadis Ibnu Abbas ini telah dishahihkan oleh Al Hakim, Adz Dzahabi [Talkhis Al Mustadrak no 4652] dan Syaikh Ahmad Syakir [Musnad Ahmad no 3062].

Hadis dengan jalan yang terakhir adalah riwayat Wahab bin Hamzah. Diriwayatkan dalam Mu’jam Al Kabir Ath Thabrani 22/135, Tarikh Ibnu Asakir 42/199 dan Al Bidayah Wan Nihayah 7/381. Berikut jalan sanad yang disebutkan Ath Thabrani

حدثنا أحمد بن عمرو البزار وأحمد بن زهير التستري قالا ثنا محمد بن عثمان بن كرامة ثنا عبيد الله بن موسى ثنا يوسف بن صهيب عن دكين عن وهب بن حمزة قال

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Amru Al Bazzar dan Ahmad bin Zuhair Al Tusturi yang keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Utsman bin Karamah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Musa yang berkata telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Shuhaib dari Dukain dari Wahab bin Hamzah yang berkata [Mu’jam Al Kabir 22/135]

Hadis ini diriwayatkan oleh para perawi tsiqat kecuali Dukain, ia seorang tabiin yang tidak mendapat predikat ta’dil dan tidak pula dicacatkan oleh para ulama.
* Ahmad bin Amru Al Bazzar adalah penulis Musnad yang dikenal tsiqah, ia telah dinyatakan tsiqah oleh Al Khatib dan Daruquthni, Ibnu Qattan berkata “ia seorang yang hafizh dalam hadis [Lisan Al Mizan juz 1 no 750]
* Ahmad bin Zuhair Al Tusturi adalah Ahmad bin Yahya bin Zuhair, Abu Ja’far Al Tusturi. Adz Dzahabi menyebutnya Al Imam Al Hujjah Al Muhaddis, Syaikh Islam. [As Siyar 14/362]. Dalam Kitab Tarajum Syuyukh Thabrani no 246 ia disebut sebagai seorang Hafizh yang tsiqat.
* Muhammad bin Ustman bin Karamah seorang perawi yang tsiqat. Abu Hatim berkata “shaduq”. Maslamah dan Ibnu Hibban menyatakan ia tsiqat. Muhammad bin Abdullah bin Sulaiman dan Daud bin Yahya berkata “ia shaduq”. [At Tahdzib juz 9 no 563]. Ibnu Hajar menyatakan Muhammad bin Utsman bin Karamah tsiqat [At Taqrib 2/112]
* Ubaidillah bin Musa adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqah. Ibnu Ma’in, Abu Hatim, Ibnu Hibban, Al Ajli, Ibnu Syahin, Utsman bin Abi Syaibah dan Ibnu Ady menyatakan ia tsiqah.[At Tahdzib juz 7 no 97]. Ibnu Hajar menyatakan Ubaidillah tsiqat tasyayyu’ [At Taqrib 1/640]. Adz Dzahabi juga menyatakan ia tsiqah [Al Kasyf no 3593].
* Yusuf bin Shuhaib adalah seorang perawi tsiqat. Ibnu Ma’in, Abu Dawud, Ibnu Hibban, Utsman bin Abi Syaibah, Abu Nu’aim menyatakan ia tsiqat. Abu Hatim dan An Nasa’i berkata ‘tidak ada masalah padanya”. [At Tahdzib juz 11 no 710]. Ibnu Hajar menyatakan Yusuf bin Shubaih tsiqat [At Taqrib 2/344] dan Adz Dzahabi juga menyatakan Yusuf tsiqat [Al Kasyf no 6437]
* Dukain adalah seorang tabiin. Hanya Ibnu Abi Hatim yang menyebutkan biografinya dalam Al Jarh Wat Ta’dil dan mengatakan kalau ia meriwayatkan hadis dari Wahab bin Hamzah dan telah meriwayatkan darinya Yusuf bin Shuhaib tanpa menyebutkan jarh maupun ta’dil terhadapnya. [Al Jarh Wat Ta’dil 3/439 no 1955]. Dukain seorang tabiin yang meriwayatkan hadis dari Wahab bin Hamzah dan sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Sakan kalau Wahab bin Hamzah adalah seorang sahabat Nabi [Al Ishabah 6/623 no 9123]

Hadis Wahab bin Hamzah ini dapat dijadikan syawahid dan kedudukannya hasan dengan penguat dari hadis-hadis lain. Al Haitsami berkata mengenai hadis Wahab ini “Hadis riwayat Thabrani dan di dalamnya terdapat Dukain yang disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim, tidak ada ulama yang mendhaifkannya dan sisanya adalah perawi yang dipercaya “ [Majma’ Az Zawaid 9/109].

Ibnu Taimiyyah Mendustakan Hadis Shahih.
Jika kita mengumpulkan semua hadis tersebut maka didapatkan:
* Hadis Imran bin Hushain adalah hadis shahih [riwayat Ja’far bin Sulaiman].
* Hadis Buraidah adalah hadis hasan [riwayatAjlah Al Kindi].
* Hadis Ibnu Abbas adalah hadis shahih [riwayat Abu Balj].
* Hadis Wahab bin Hamzah adalah hadis hasan [riwayat Dukain].

Tentu saja dengan mengumpulkan sanad-sanad hadis ini maka tidak diragukan lagi kalau hadis ini adalah hadis yang shahih. Dan dengan fakta ini ada baiknya kita melihat apa yang dikatakan Ibnu Taimiyyah tentang hadis ini, ia berkata:

” أنت ولي كل مؤمن بعدي ” فهذا موضوع باتفاق أهل المعرفة بالحديث

“kamu adalah pemimpin bagi setiap mukmin sepeninggalKu” ini adalah maudhu’ (palsu) menurut kesepakatan ahli hadis [Minhaj As Sunnah 5/35].

قوله : هو ولي كل مؤمن بعدي كذب على رسول الله صلى الله عليه وسلم

Perkataannya ; “Ia pemimpin setiap mukmin sepeninggalku” adalah dusta atas Rasulullah SAW [Minhaj As Sunnah 7/278].

Cukuplah kiranya pembaca melihat dengan jelas siapa yang sebenarnya sedang berdusta atau sedang mendustakan hadis shahih hanya karena hadis tersebut dijadikan hujjah oleh orang syiah. Penyakit seperti ini yang dari dulu kami sebut sebagai “Syiahpobhia”.

1. Singkat Tentang Matan Hadis.
Setelah membicarakan hadis ini ada baiknya kami membicarakan secara singkat mengenai matan hadis tersebut. Salafy nashibi biasanya akan berkelit dan berdalih kalau hadis tersebut tidak menggunakan lafaz khalifah tetapi lafaz waliy dan ini bermakna bukan sebagai pemimpin atau khalifah. Kami tidak perlu berkomentar banyak mengenai dalih ini, cukuplah kiranya kami bawakan dalil shahih kalau kata Waliy sering digunakan untuk menunjukkan kepemimpinan atau khalifah.

Diriwayatkan oleh Ibnu Katsir [dan beliau menshahihkannya] dalam Al Bidayah wan Nihayah bahwa ketika Abu Bakar dipilih sebagai khalifah, ia berkhutbah:

قال أما بعد أيها الناس فأني قد وليت عليكم ولست بخيركم

Ia berkata “Amma ba’du, wahai manusia sekalian sesungguhnya aku telah dipilih menjadi pimpinan atas kalian dan bukanlah aku yang terbaik diantara kalian. [Al Bidayah wan Nihayah 5/269].

Diriwayatkan pula oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad bin Hanbal bahwa Jabir bin Abdullah RA menyebutkan kepemimpinan Umar dengan kata Waliy.

ثنا بهز قال وثنا عفان قالا ثنا همام ثنا قتادة عن عن أبي نضرة قال قلت لجابر بن عبد الله ان بن الزبير رضي الله عنه ينهى عن المتعة وان بن عباس يأمر بها قال فقال لي على يدي جرى الحديث تمتعنا مع رسول الله صلى الله عليه و سلم قال عفان ومع أبي بكر فلما ولي عمر رضي الله عنه خطب الناس فقال ان القرآن هو القرآن وان رسول الله صلى الله عليه و سلم هو الرسول وأنهما كانتا متعتان على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم إحداهما متعة الحج والأخرى متعة النساء

Telah menceritakan kepada kami Bahz dan telah menceritakan kepada kami Affan , keduanya [Bahz dan Affan] berkata telah menceritakan kepada kami Hamam yang berkata telah menceritakan kepada kami Qatadah dari Abi Nadhrah yang berkata “aku berkata kepada Jabir bin Abdullah RA ‘sesungguhnya Ibnu Zubair telah melarang mut’ah dan Ibnu Abbas memerintahkannya’. Abu Nadhrah berkata ‘Jabir kemudian berkata kepadaku ‘kami pernah bermut’ah bersama Rasulullah’. [Affan berkata] “ dan bersama Abu Bakar. Ketika Umar menjadi pemimpin orang-orang, dia berkata ‘sesungguhnya Al Qur’an adalah Al Qur’an dan Rasulullah SAW adalah Rasul dan sesungguhnya ada dua mut’ah pada masa Rasulullah SAW, salah satunya adalah mut’ah haji dan yang satunya adalah mut’ah wanita’. [Musnad Ahmad 1/52 no 369 dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Syaikh Ahmad Syakir].

Kedua riwayat di atas dengan jelas menunjukkan bahwa kata Waliy digunakan untuk menyatakan kepemimpinan para Khalifah seperti Abu Bakar dan Umar. Oleh karena itu tidak diragukan lagi bahwa hadis di atas bermakna Imam Ali adalah Pemimpin bagi setiap mukmin sepeninggal Nabi SAW.


_______________________________________________
AL ITHRAH AHLUL BAIT NABI SAW ADALAH KHALIFAH BAGI UMAT ISLAM.
Peralihan kekuasan pasca wafatnya Rasul tidak bisa dikatakan berlangsung mulus, intrik intrik politik dan kepentingan klan bergabung menjadi satu.

Dari Zaid bin Tsabit RA yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya Aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian dua Khalifah yaitu Kitab Allah yang merupakan Tali yang terbentang antara bumi dan langit, serta ‘itrah Ahlul BaitKu. Keduanya tidak akan berpisah sampai menemuiKu di Telaga Surga Al Haudh. (Hadis Ini diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad jilid 5 hal 182, Syaikh Syuaib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad menyatakan bahwa hadis ini shahih. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir jilid 5 hal 154, Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid jilid 1 hal 170 berkata “para perawi hadis ini tsiqah”. Hadis ini juga disebutkan oleh As Suyuthi dalam Jami’ Ash Shaghir hadis no 2631 dan beliau menyatakan hadis tersebut Shahih).

Hadis di atas adalah Hadis Tsaqalain dengan matan yang khusus menggunakan kata Khalifah. Hadis ini adalah hadis yang Shahih sanadnya dan dengan jelas menyatakan bahwa Al Ithrah Ahlul Bait Nabi SAW adalah Khalifah bagi Umat islam. Oleh karena itu Premis bahwa Sang Khalifah setelah Rasulullah SAW itu ditunjuk dan diangkat oleh Rasulullah SAW adalah benar.

Imam Ali AS memiliki kemuliaan yang tinggi dalam Islam. Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa kedudukan Imam Ali AS di sisi Rasulullah SAW sama seperti kedudukan Nabi Harun AS di sisi Nabi Musa AS. Seharusnya kita sebagai umat Islam menerima dengan baik keutamaan Imam Ali AS dan mengecam sikap-sikap yang menurunkan atau meragukan keutamaan Beliau. Berikut akan kami sajikan hadis keutamaan Imam Ali AS yang mungkin memicu keraguan dari sebagian orang.

Al Hafiz Ibnu Abi Ashim Asy Syaibani dalam Kitabnya As Sunnah hal 519 hadis no 1188 telah meriwayatkan sebagai berikut:

ثنا محمد بن المثنى حدثنا يحيى بن حماد عن أبي عوانة عن يحيى ابن سليم أبي بلج عن عمرو بن ميمون عن ابن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لعلي أنت مني بمنزلة هارون من موسى إلا أنك لست نبيا إنه لا ينبغي أن أذهب إلا وأنت خليفتي في كل مؤمن من بعدي

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Hamad dari Abi ‘Awanah dari Yahya bin Sulaim Abi Balj dari ‘Amr bin Maimun dari Ibnu Abbas yang berkata Rasulullah SAW bersabda kepada Ali “KedudukanMu di sisiKu sama seperti kedudukan Harun di sisi Musa hanya saja Engkau bukan seorang Nabi. Sesungguhnya tidak sepatutnya Aku pergi kecuali Engkau sebagai KhalifahKu untuk setiap mukmin setelahKu.

Kedudukan Hadis.
Syaikh Al Albani dalam kitabnya Zhilal Al Jannah Fi Takhrij As Sunnah hal 520 hadis no 1188 memberikan penilaian bahwa hadis ini sanadnya hasan, dimana Beliau menyatakan bahwa semua perawinya tsiqat. Hadis ini telah diriwayatkan oleh para perawi Bukhari Muslim kecuali Abi Balj yang dinilai shaduq sehingga Syaikh Al Albani menyatakan hadis tersebut hasan. Setelah kami melakukan penelitian lebih lanjut maka kami temukan bahwa hadis ini adalah hadis Shahih dan Yahya bin Sulaim Abi Balj adalah perawi tsiqat. Berikut analisis terhadap para perawinya.

Termasuk hadis yang sering diulang-ulang oleh Nabi saw ialah “Wahai Ali, engkau adalah pemimpin bagi setiap mukmin setelah wafatku nanti.” ( Mustadrak al-Hakim, jilid 3/111, 134, Ash-Shawa’iq Al-Muhriqah, hal. 103, dan Musnad Ibnu Hanbal, jilid 1/331 dan jilid 4/438 )

____________________________________________________
ALQURAN MEMBELA ALi, FATiMAH, HASAN DAN HUSAiN.

Ayat al-Mubahalah.
Firman Allah SWT : “Siapa yang membantahmu tentang kisah ‘Isa sesudah datang ilmu (yang menyakinkan kamu) maka katakanlah (kepadanya): “marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, wanita-wanita kami dan wanita-wanita kamu dan diri-diri kami dan diri-diri kamu ; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta agar la’nat Allah ditimpakan atas orang-orangyang dusta”. (QS: 3;61).

Fakta Hadis dan Sejarah :
Yang dibawa Nabi ke arena mubahalah melawan Nasrani Najran hanya 5 orang :
- Anak anak kami = Hasan dan Husain.
- Wanita wanita = Fatimah.
- Diri diri kami = Beliau sendiri dan Imam Ali.

Disinilah sastra Al Quran berbicara :
- Dalam hadis hadis terkadang Nabi menyebut “hasan dan Husain” sebagai “anakku”.
- Dalam hadis hadis disebutkan : Sesungguhnya Ali adalah dariku dan aku darinya.
- Wanita wanita ( jamak ) dalam surah tersebut bermakna tunggal terhadap Fatimah.

________________________________________________
Ayat Penyucian tentang lima orang yang dijaga dipelihara oleh Allah SWT:
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”(Qur’an surah al Ahzab ayat 33).

Rasulullah saw. mengundang Ali, Fatimah, Hasan dan Husain, kemudian beliau mengerudungkan selimut ke atas mereka dan turunlah ayat diatas, beliau saw. mengerudungkan sehelai kain/selimut, kemudian memanjatkan doa seraya bersabda: “Ya Allah, hanya merekalah Ahlulbaitku, maka hindarkan rijs dari mereka dan sucikan mereka sesuci-sucinya”.. Ummu Salamah isteri Nabi ) yang mencoba masuk kedalam ‘selimut kisa’ dilarang oleh Nabi SAW…. FAKTA dan HADiS menunjukkan hanya lima orang tersebut yang diselubungi oleh Nabi SAW, artinya hanya mereka berlima yang disucikan, jadi isteri isteri Nabi SAW seperti Ummu Salamah dll tidak disucikan !!!!

_______________________________________________________
Imam Ali Mengakui Kepemimpinannya : Hujjah Hadis Ghadir Khum.
Hadis Ghadir Khum yang menunjukkan kepemimpinan Imam Ali adalah salah satu hadis shahih yang sering dijadikan hujjah oleh kaum Syiah dan ditolak oleh kaum Sunni. Kebanyakan mereka yang mengingkari hadis ini membuat takwilan-takwilan agar bisa disesuaikan dengan keyakinan mahzabnya. Padahal Imam Ali sendiri mengakui kalau hadis ini adalah hujjah bagi kepemimpinan Beliau. Hal ini terbukti dalam riwayat-riwayat yang shahih dimana Imam Ali ketika menjadi khalifah mengumpulkan orang-orang di tanah lapang dan berbicara meminta kesaksian soal hadis Ghadir Khum.

عن سعيد بن وهب وعن زيد بن يثيع قالا نشد على الناس في الرحبة من سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول يوم غدير خم الا قام قال فقام من قبل سعيد ستة ومن قبل زيد ستة فشهدوا انهم سمعوا رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول لعلي رضي الله عنه يوم غدير خم أليس الله أولى بالمؤمنين قالوا بلى قال اللهم من كنت مولاه فعلي مولاه اللهم وال من والاه وعاد من عاداه

Dari Sa’id bin Wahb dan Zaid bin Yutsai’ keduanya berkata “Ali pernah meminta kesaksian orang-orang di tanah lapang “Siapa yang telah mendengar Rasulullah SAW bersabda pada hari Ghadir Khum maka berdirilah?. Enam orang dari arah Sa’id pun berdiri dan enam orang lainnya dari arah Za’id juga berdiri. Mereka bersaksi bahwa sesungguhnya mereka pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda kepada Ali di Ghadir Khum “Bukankah Allah lebih berhak terhadap kaum mukminin”. Mereka menjawab “benar”. Beliau bersabda “Ya Allah barangsiapa yang aku menjadi pemimpinnya maka Ali pun menjadi pemimpinnya, dukunglah orang yang mendukung Ali dan musuhilah orang yang memusuhinya”. [Musnad Ahmad 1/118 no 950 dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Syakir].

Sebagian orang membuat takwilan batil bahwa kata mawla dalam hadis Ghadir Khum bukan menunjukkan kepemimpinan tetapi menunjukkan persahabatan atau yang dicintai, takwilan ini hanyalah dibuat-buat. Jika memang menunjukkan persahabatan atau yang dicintai maka mengapa ada sahabat Nabi yang merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya ketika mendengar kata-kata Imam Ali di atas. Adanya keraguan di hati seorang sahabat Nabi menyiratkan bahwa Imam Ali mengakui hadis ini sebagai hujjah kepemimpinan. Maka dari itu sahabat tersebut merasakan sesuatu yang mengganjal di hatinya karena hujjah hadis tersebut memberatkan kepemimpinan ketiga khalifah sebelumnya. Sungguh tidak mungkin ada keraguan di hati sahabat Nabi kalau hadis tersebut menunjukkan persahabatan atau yang dicintai.

عن أبي الطفيل قال جمع علي رضي الله تعالى عنه الناس في الرحبة ثم قال لهم أنشد الله كل امرئ مسلم سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول يوم غدير خم ما سمع لما قام فقام ثلاثون من الناس وقال أبو نعيم فقام ناس كثير فشهدوا حين أخذه بيده فقال للناس أتعلمون انى أولى بالمؤمنين من أنفسهم قالوا نعم يا رسول الله قال من كنت مولاه فهذا مولاه اللهم وال من والاه وعاد من عاداه قال فخرجت وكأن في نفسي شيئا فلقيت زيد بن أرقم فقلت له انى سمعت عليا رضي الله تعالى عنه يقول كذا وكذا قال فما تنكر قد سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول ذلك له

Dari Abu Thufail yang berkata “Ali mengumpulkan orang-orang di tanah lapang dan berkata “Aku meminta dengan nama Allah agar setiap muslim yang mendengar Rasulullah SAW bersabda di Ghadir khum terhadap apa yang telah didengarnya. Ketika ia berdiri maka berdirilah tigapuluh orang dari mereka. Abu Nu’aim berkata “kemudian berdirilah banyak orang dan memberi kesaksian yaitu ketika Rasulullah SAW memegang tangannya (Ali) dan bersabda kepada manusia “Bukankah kalian mengetahui bahwa saya lebih berhak atas kaum mu’min lebih dari diri mereka sendiri”. Para sahabat menjawab “benar ya Rasulullah”. Beliau bersabda “barang siapa yang menjadikan Aku sebagai pemimpinnya maka Ali pun adalah pemimpinnya dukunglah orang yang mendukungnya dan musuhilah orang yang memusuhinya. Abu Thufail berkata “ketika itu muncul sesuatu yang mengganjal dalam hatiku maka aku pun menemui Zaid bin Arqam dan berkata kepadanya “sesungguhnya aku mendengar Ali RA berkata begini begitu, Zaid berkata “Apa yang patut diingkari, aku mendengar Rasulullah SAW berkata seperti itu tentangnya”.[Musnad Ahmad 4/370 no 19321 dengan sanad yang shahih seperti yang dikatakan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Tahdzib Khasa’is An Nasa’i no 88 dishahihkan oleh Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini].

Kata mawla dalam hadis ini sama halnya dengan kata waliy yang berarti pemimpin, kata waly biasa dipakai oleh sahabat untuk menunjukkan kepemimpinan seperti yang dikatakan Abu Bakar dalam khutbahnya. Inilah salah satu hadis Ghadir Khum dengan lafaz Waly.

عن سعيد بن وهب قال قال علي في الرحبة أنشد بالله من سمع رسول الله يوم غدير خم يقول إن الله ورسوله ولي المؤمنين ومن كنت وليه فهذا وليه اللهم وال من والاه وعاد من عاداه وأنصر من نصره

Dari Sa’id bin Wahb yang berkata “Ali berkata di tanah lapang aku meminta dengan nama Allah siapa yang mendengar Rasulullah SAW pada hari Ghadir Khum berkata “Allah dan RasulNya adalah pemimpin bagi kaum mukminin dan siapa yang menganggap aku sebagai pemimpinnya maka ini (Ali) menjadi pemimpinnya dukunglah orang yang mendukungnya dan musuhilah orang yang memusuhinya dan jayakanlah orang yang menjayakannya. [Tahdzib Khasa’is An Nasa’i no 93 dishahihkan oleh Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini].
Dan perhatikan khutbah Abu Bakar ketika ia selesai dibaiat, ia menggunakan kata Waly untuk menunjukkan kepemimpinannya. Inilah khutbah Abu Bakar.

قال أما بعد أيها الناس فأني قد وليت عليكم ولست بخيركم فان أحسنت فأعينوني وإن أسأت فقوموني الصدق أمانة والكذب خيانة والضعيف فيكم قوي عندي حتى أرجع عليه حقه إن شاء الله والقوي فيكم ضعيف حتى آخذ الحق منه إن شاء الله لا يدع قوم الجهاد في سبيل الله إلا خذلهم الله بالذل ولا تشيع الفاحشة في قوم إلا عمهم الله بالبلاء أطيعوني ما أطعت الله ورسوله فاذا عصيت الله ورسوله فلا طاعة لي عليكم قوموا الى صلاتكم يرحمكم الله

Ia berkata “Amma ba’du, wahai manusia sekalian sesungguhnya aku telah dipilih sebagai pimpinan atas kalian dan bukanlah aku yang terbaik diantara kalian maka jika berbuat kebaikan bantulah aku. Jika aku bertindak keliru maka luruskanlah aku, kejujuran adalah amanah dan kedustaan adalah khianat. Orang yang lemah diantara kalian ia kuanggap kuat hingga aku mengembalikan haknya kepadanya jika Allah menghendaki. Sebaliknya yang kuat diantara kalian aku anggap lemah hingga aku mengambil darinya hak milik orang lain yang diambilnya jika Allah mengehendaki. Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah kecuali Allah timpakan kehinaan dan tidaklah kekejian tersebar di suatu kaum kecuali adzab Allah ditimpakan kepada kaum tersebut. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah dan RasulNya. Tetapi jika aku tidak mentaati Allah dan RasulNya maka tiada kewajiban untuk taat kepadaku. Sekarang berdirilah untuk melaksanakan shalat semoga Allah merahmati kalian. [Sirah Ibnu Hisyam 4/413-414 tahqiq Hammam Sa’id dan Muhammad Abu Suailik, dinukil Ibnu Katsir dalam Al Bidayah 5/269 dan 6/333 dimana beliau menshahihkannya].

Terakhir kami akan menanggapi syubhat paling lemah soal hadis Ghadir Khum yaitu takwilan kalau hadis ini diucapkan untuk meredakan orang-orang yang merendahkan atau tidak suka kepada Imam Ali perihal pembagian rampasan di Yaman. Silakan perhatikan hadis Ghadir Khum yang disampaikan oleh Rasulullah SAW kepada banyak orang, tidak ada di sana disebutkan perihal orang-orang yang merendahkan atau mencaci Imam Ali. Kalau memang hadis ghadir khum diucapkan Rasulullah SAW untuk menepis cacian orang-orang terhadap Imam Ali maka Rasulullah SAW pasti akan menjelaskan duduk perkara rampasan di Yaman itu, atau menunjukkan kecaman Beliau kepada mereka yang mencaci Ali. Tetapi kenyataannya dalam lafaz hadis Ghadir Khum tidak ada yang seperti itu, yang ada malah Rasulullah meninggalkan wasiat bahwa seolah Beliau SAW akan dipanggil ke rahmatullah, wasiat tersebut berkaitan dengan kepemimpinan Imam Ali dan berpegang teguh pada Al Qur’an dan ithrati Ahlul Bait. Sungguh betapa jauhnya lafaz hadis tersebut dari syubhat para pengingkar.

Hadis yang dijadikan hujjah oleh penyebar syubhat ini adalah hadis Buraidah ketika ia menceritakan soal para sahabat yang merendahkan Imam Ali. Hadis tersebut bukan diucapkan di Ghadir Khum dan tentu saja Rasulullah SAW akan marah kepada sahabat yang menjelekkan Imam Ali karena Imam Ali adalah pemimpin setiap mukmin (semua sahabat Nabi) sepeninggal Nabi SAW . Disini Rasulullah SAW mengingatkan Buraidah dan sahabat lain yang ikut di Yaman agar berhenti dari sikap mereka karena Imam Ali adalah pemimpin bagi setiap mukmin sepeninggal Nabi SAW.

عن عبد الله بن بريدة عن أبيه بريدة قال بعث رسول الله صلى الله عليه و سلم بعثين إلى اليمن على أحدهما علي بن أبي طالب وعلى الآخر خالد بن الوليد فقال إذا التقيتم فعلي على الناس وان افترقتما فكل واحد منكما على جنده قال فلقينا بنى زيد من أهل اليمن فاقتتلنا فظهر المسلمون على المشركين فقتلنا المقاتلة وسبينا الذرية فاصطفى علي امرأة من السبي لنفسه قال بريدة فكتب معي خالد بن الوليد إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم يخبره بذلك فلما أتيت النبي صلى الله عليه و سلم دفعت الكتاب فقرئ عليه فرأيت الغضب في وجه رسول الله صلى الله عليه و سلم فقلت يا رسول الله هذا مكان العائذ بعثتني مع رجل وأمرتني ان أطيعه ففعلت ما أرسلت به فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم لا تقع في علي فإنه منى وأنا منه وهو وليكم بعدي وانه منى وأنا منه وهو وليكم بعدي

Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya Buraidah yang berkata “Rasulullah SAW mengirim dua utusan ke Yaman, salah satunya dipimpin Ali bin Abi Thalib dan yang lainnya dipimpin Khalid bin Walid. Beliau SAW bersabda “bila kalian bertemu maka yang jadi pemimpin adalah Ali dan bila kalian berpisah maka masing-masing dari kalian memimpin pasukannya. Buraidah berkata “kami bertemu dengan bani Zaid dari penduduk Yaman kami berperang dan kaum muslimin menang dari kaum musyrikin. Kami membunuh banyak orang dan menawan banyak orang kemudian Ali memilih seorang wanita diantara para tawanan untuk dirinya. Buraidah berkata “Khalid bin Walid mengirim surat kepada Rasulullah SAW memberitahukan hal itu. Ketika aku datang kepada Rasulullah SAW, aku serahkan surat itu, surat itu dibacakan lalu aku melihat wajah Rasulullah SAW yang marah kemudian aku berkata “Wahai Rasulullah SAW, aku meminta perlindungan kepadamu sebab Engkau sendiri yang mengutusku bersama seorang laki-laki dan memerintahkan untuk mentaatinya dan aku hanya melaksanakan tugasku karena diutus. Rasulullah SAW bersabda “Jangan membenci Ali, karena ia bagian dariKu dan Aku bagian darinya dan Ia adalah pemimpin kalian sepeninggalKu, ia bagian dariKu dan Aku bagian darinya dan Ia adalah pemimpin kalian sepeninggalKu. [Musnad Ahmad tahqiq Syaikh Ahmad Syakir dan Hamzah Zain hadis no 22908 dan dinyatakan shahih].

Syaikh Al Albani berkata dalam Zhilal Al Jannah Fi Takhrij As Sunnah no 1187 menyatakan bahwa sanad hadis ini jayyid, ia berkata:

أخرجه أحمد من طريق أجلح الكندي عن عبد الله بن بريدة عن أبيه بريدة وإسناده جيد رجاله ثقات رجال الشيخين غير أجلح وهو ابن عبد الله بن جحيفة الكندي وهو شيعي صدوق

Dikeluarkan Ahmad dengan jalan Ajlah Al Kindi dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya Buraidah dengan sanad yang jayyid (baik) para perawinya terpercaya, perawi Bukhari dan Muslim kecuali Ajlah dan dia adalah Ibnu Abdullah bin Hujayyah Al Kindi dan dia seorang syiah yang (shaduq) jujur.

_____________________________________________________________
DALiL BAHWA AHLULBAiT YANG WAJiB KiTA PEDOMANi ADALAH ALi, FATiMAH, HASAN dan HUSAiN.
Dari Zaid bin Tsabit RA yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya Aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian dua Khalifah yaitu Kitab Allah yang merupakan Tali yang terbentang antara bumi dan langit, serta ‘itrah Ahlul BaitKu. Keduanya tidak akan berpisah sampai menemuiKu di Telaga Surga Al Haudh. (Hadis Ini diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad jilid 5 hal 182, Syaikh Syuaib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad menyatakan bahwa hadis ini shahih. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir jilid 5 hal 154, Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid jilid 1 hal 170 berkata “para perawi hadis ini tsiqah”. Hadis ini juga disebutkan oleh As Suyuthi dalam Jami’ Ash Shaghir hadis no 2631 dan beliau menyatakan hadis tersebut Shahih).

Hadis di atas adalah Hadis Tsaqalain dengan matan yang khusus menggunakan kata Khalifah. Hadis ini adalah hadis yang Shahih sanadnya dan dengan jelas menyatakan bahwa Al Ithrah Ahlul Bait Nabi SAW adalah Khalifah bagi Umat islam. Oleh karena itu Premis bahwa Sang Khalifah setelah Rasulullah SAW itu ditunjuk dan diangkat oleh Rasulullah SAW adalah benar.

AHLUL BAiT ADA TiGA :
1. Ahlul bait yang disucikan yaitu : Imam Ali, Bunda Fatimah Az Zahra r.a, Imam Hasan, Imam Husain (sesuai hadis al-Kisâ’ dan lanjutan surat al- Ahzab ayat 33).. Ini yang wajib kita pedomani.
2. istri-istri Nabi saw.
3. Ahlul bait yang diharamkan menerima shadaqah ( zakat ) yaitu : keluarga Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far dan keluarga al-‘Abbas (sesuai hadis Zaid bin Arqam dll).
——————————-
Nah, apa bukti bahwa Ahlul Bait yang disuruh pedomani oleh Nabi SAW hanyalah Imam Ali, Fatimah Az Zahra, Imam Hasan dan Imam Husain ?

DALiL SATU : AYAT MUBAHALAH.
Fakta Hadis dan Sejarah :
Yang dibawa Nabi ke arena mubahalah melawan Nasrani Najran hanya 5 orang :
- Anak anak kami = Hasan dan Husain
- Wanita wanita = Fatimah
- Diri diri kami = Beliau sendiri dan Imam Ali SAW

Disinilah sastra Al Quran berbicara :
- Dalam hadis hadis terkadang Nabi menyebut “hasan dan Husain” sebagai “anakku”.
- Dalam hadis hadis disebutkan : Sesungguhnya Ali adalah dariku dan aku darinya.
- Wanita wanita ( jamak ) dalam surah tersebut bermakna tunggal terhadap Fatimah.

Lebih-lebih lagi terdapat Hadith yang menyebutkan: ” Anta (Ali) min-ni wa ana min-ka ” bermaksud,” engkau(Ali) daripadaku (Rasulullah SAW) dan aku (Rasulullah SAWA) daripada Ali,” [lihat Sahih Bukhari, Jilid V, Hadith 50],

Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud: ” Fatimah adalah sebahagian daripadaku. Barang siapa yang membuat dia marah, akan membuat aku marah.” [a-Bukhari, Jilid II, hlm.185].

” Fatimah adalah daripadaku dan barang siapa yang membuat dia marah, akan membuat aku marah.” [Al-Bukhari, Jilid V, hadith 111].

Dari Sa’ad bin Abi Waqash yang berkata, “Ketika ayat ini turun, ‘Katakanlah, ‘Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu…’ Rasulullah saw memanggil Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Lalu Rasulullah saw berkata, ‘Ya Allah, mereka inilah Ahlul Baitku.”‘. Sahih Muslim, jld 2, hal 360; Isa al-Halabi, jld 15, hal 176; Sahih Turmudzi, jld 4, hal 293, hadits nomer 3085; al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, jld 3, hal 150.

Bukti otentik disebutkan di bawah ini mengenai surah ketiga ayat 61 sebagaimana dijelaskan pada halaman 73 Imam Fakhruddin Razi menulis dalam Tafsîr Al-Kabîr (jilid 2): “Ketika ayat ini turun kepada Nabi Suci, Kristiani Najran menerima tantangan mubahalah dan Nabi mengambil bersamanya Imam Husain, Imam Hasan, Fatimah dan Ali menuju tanah mubahalah.”

Mengutip Allamah Zamakhsyari dalam Tafsîr Al-Kasysyaf, “Tidak ada bukti otentik yang lebih kuat dari pada ini tentang integritas Ashabul Kisa, seperti Ali, Fatimah, Imam Hasan dan Imam Husain pada ayat ini. Untuk memenuhi perintah Allah, Nabi memanggil Ahlulbaitnya, mengambil Imam Husain dilengannya dan menggenggam tangan Imam Hasan, meminta Fatimah mengikutinya dan Ali mengikuti Fatimah. Hal ini membuktikan bahwa Ahlulbait suci adalah mereka yang ayat Quran maksud.”.

Diriwayatkan oleh Suad bin Waqas bahwa, “Ketika ayat ini turun, Nabi mengirim Ali, Fatimah, Imam Hasan dan Imam Husain dan berdoa kepada Tuhan, ‘Wahai Tuhanku, inilah Ahlulbaitku!” (Shahîh Muslim, jilid 1, Shahîh Tirmizi).

Abdullah bin Umar mengutip Nabi, “Apakah ada jiwa lain di muka bumi yang lebih baik daripada Ali, Fatimah, Hasan dan Husain? Tuhan memerintahkan aku untuk mengambil mereka bersamaku untuk bermubahalah. Tapi sebagaimana kedudukan mulia mereka dan penghormatan terhadap seluruh manusia, Tuhan mengurung pilihan-Nya hanya untuk berpartisipasi dalam mubahalah.” (Tafsîr Al-Baizayi).

Menurut beberapa versi [riwayat] disebutkan bahwa pada pagi hari tanggal 24 Zulhijah, sejumlah orang memenuhi pintu rumah Nabi, setiap orang mengharapkan kesempatannya untuk dipilih sebagai kelompok mubahalah. Tapi ketika Nabi keluar dari rumahnya bersama Ahlulbait, mereka semua heran.

Peristiwa Mubahalah merupakan hal penting karena alasan berikut:
1. Ajakan mubahalah telah diarahkan oleh Tuhan, dan dipenuhi dengan Perintah-Nya bahwa Nabi mengambil Ahlulbait bersamanya ke tanah mubahalah. Hal ini menjelaskan bagaimana masalah ini menyinggung nubuat dan agama Tuhan ditentukan oleh Kehendak Allah; membiarkan tidak adanya kesempatan campur tangan masyarakat biasa. Masalah pengganti Ali yang diikuti oleh sebelas imam sebagai jabatan pemimpin agama harus dilihat dari perspektif ini.
2. Pentingnya Ali, Fatimah, Hasan dan Husain dalam mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw. tidak bisa lagi diperdebatkan.
3. Walaupun mereka masih anak-anak, Hasan dan Husain tetaplah [diikuti], mengabdi sebagai pihak aktif bagi Nabi di tanah mubahalah. Hal ini menyimpulkan bahwa usia bukanlah kriteria bagi kebesaran kesempurnaan (maksum). Mereka telah lahir dihiasi dengan kebaikan dan pengetahuan.
4. Bahwa tindakan Nabi yang memilih beberapa orang itu dengan sangat jelas meninggikan status mereka di antara yang lain.

Ketika Allah swt. menurunkan ayat Marilah kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu….. ayat Mubahalah Ali Imran:61 . maka Rasulallah saw. memanggil ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, kemudian beliau saw. berdo’a: ‘Ya Allah, mereka adalah keluargaku’ “. (dikutip dari kitab At-Taaj Al-Jaami’ Lil Ushuuli Fii Ahaadiitsir Rasuuli jilid 3 hal.709 cet. pertama th.1994 oleh Syeikh Manshur Ali Nashif Al-Husaini diterbitkan oleh CV Asy-Syifa’ Semarang).

Mengapa Imam Ali Dimasukkan ? Allah memerintahkan rasul-Nya untuk mengatakan kepada utusan Najran, “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu…”

Tapi mengapa beliau membawa bersamanya Ali yang bukan bagian dari anak-anak atau perempuan ? Imam Ali tidak mempunyai tempat dalam ayat ini kecuali ia termasuk dalam kalimat “diri kami”. Membawa Imam Ali bersamanya menunjukkan bahwa Rasulullah menganggap Ali sebagai perpanjangan dari kepribadiannya. Dengan demikian, kedudukannya lebih tinggi dari seluruh umat muslim.

Rasul berkata dalam beberapa kesempatan, “Ali adalah dariku dan aku adalah darinya.” Hubsyi bin Janadah meriwayatkan bahwa ia mendengar Rasulullah bersabda, “Ali adalah dariku dan aku darinya, dan tidak ada seorang pun yang mewakili aku kecuali Ali.”.

diperkuat dengan sabda Rasulallah saw. yang diriwayat kan oleh Imam Bukhori dalam kitabnya Al-Ahkam dan Imam Muslim dalam kitabnya Al-Imarah yang mana beliau saw. menyatakan dengan tegas bahwa Al-Hasan dan Al-Husain sebagai putra beliau, bunyi hadits sebagai berikut: “Dua orang puteraku ini (beliau sambil menunjuk pada Al-Hasan dan Al-Husain) adalah Imam-Imam, baik disaat mereka sedang duduk atau pun sedang berdiri ”.

Beliau saw. bertemu dengan Kaum Nasrani tersebut sambil bersabda: “Mereka ini adalah anak-anak kami, diri kami, dan wanita kami, maka panggil lah anak-anak kamu (kaum kafir), diri kamu dan wanita-wanita kamu, kemudian mari kita bermubahalah kepada Allah dan minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta”.

Menurut ahli tafsir dan hadits yang dimaksud kata-kata anak-anak kami dalam ayat itu ialah Al-Hasan dan Al-Husain [ra] ; yang di maksud wanita-wanita kami adalah Siti Fathimah ra. dan yang dimaksud diri-diri kami dalam ayat tersebut yaitu Rasulallah saw. dan Imam Ali kw.Ummat Islam sepakat bahwa ayat Mubahalah diatas ini turun untuk Nabi saw. , Imam Ali kw., Siti Fathimah ra., Al-Hasan dan Al-Husain (ra). Kita bisa rujuk hal ini diantaranya dalam:
Shahih Muslim, kitab Al-Fadhail, bab Fadhail Ali bin Abi Thalib, jilid 2 hal.360 cet. Isa Al-Halabi; Syarah An-Nawawi jilid 15 hal. 176 cet.Mesir ; Shahih At- Tirmidzi, jilid 4 hal. 293, hadits ke 3085 ; jilid 5 hal.301 hadits ke 3808 ; Al-Mustadrak Al-Hakim, jilid 3, hal. 150 ; Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 1 hal.185 cet.Al-Maimaniyah, jilid 3 hal. 97 hadits ke 1608, cet.Darul Ma’arif ; Tafsir Ath-Thabari jilid 3, hal. 299, 330, 301 ; jilid 3 hal.192 cet.Al-Maimaniyah Mesir ; Tafsir Ibnu Kathir jilid 1, hal. 370-371 ; Tafsir Al-Qurthubi jilid 4 hal. 104 ; Kifayah Ath-Thalib oleh Al-kanji Asy-Syafi’i hal. 54, 85, 142 cet. Al-Haidariyah ; hal.13, 28, 29, 55, 56 cet. Al-Ghira ; Ahkamul Qur’an oleh Ibnu Al-‘Arabi jilid 1 hal. 275 cet.kedua Al-Halabi; jilid 1 hal.115, cet. As-Sa’adah Mesir ; Jami’ul Ushul oleh Ibnu Atsir, jilid 9 hal. 470. Dan masih banyak lagi lainnya.

Dengan memperhatikan ayat dan kalimat hadits-hadits diatas, kita dapat mengetahui bagaimana Rasulallah saw. sendiri telah meng- khususkan pengelompokan Al-Hasan dan Al-Husain sebagai keturunan beliau sendiri, meski pun keduanya adalah putra-putra pasangan Imam ‘Ali bin Abi Thalib dan Siti Fathimah binti Muhammad saw. Sedangkan dua orang saudara perempuan Al-Hasan dan Al-Husain yaitu Siti Zainab dan Siti Ummu Kaltsum -radhiyallahuma- anak-anak mereka berdua ini, dikecualikan dari pengelompokan nasab dengan Rasulallah saw., karena anak-anak dari dua orang putri Siti Fathimah ra ini akan bernasab kepada ayahnya (suami dua orang putri Siti Fathimah) masing-masing yang bukan dari keluarga Ahlul-Bait.

sepakat bahwa semua anak cucu keturunan Siti Fathimah Az-Zahra ra binti Muhammad saw. termasuk dalam pengertian dzurriyyat yakni dzurriyatun-Nabiy (Keturunan Rasulallah saw.). Sebab tidak ada puteri Nabi saw. selain Siti Fathimah ra yang dikarunia keturunan yang hidup hingga dewasa. Oleh sebab itu wajarlah jika Rasulallah saw. menyebut Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma sebagai putera-putera beliau.

Di kalangan para ahli bahasa (Arab) tidak ada perbedaan pendapat mengenai makna kata dzurriyyat. Yang dimaksud dengan kata itu ialah anak-cucu keturunan, besar mau pun kecil. Kata tersebut dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat, antara lain pada Surat Al-Baqarah:124: “….Sesunguhnya Aku hendak menjadikan dirimu sebagai Imam bagi ummat manusia, (Ibrahim) bertanya; Dan anak-cucu keturunanku’ (apakah mereka juga akan menjadi Imam?)…sampai akhir ayat.

Dari pengertian ayat tersebut pastilah sudah bahwa kata dzurriyyat tidak ber- makna lain kecuali anak-cucu keturunan. Allah swt. telah berfirman mengenai keturunan Ibrahim as. dalam surat Al-An’am:84: ‘…Dan dari keturunannya (Ibrahim), Dawud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah Kami beri balas kebajikan kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan (dari keturunan Ibrahim juga), Zakariya, Yahya, ‘Isa dan Ilyas.. .sampai akhir ayat’.

Sebagaimana diketahui, Nabi ‘Isa putera Maryam a.s. tidak mempunyai hubungan silsilah dengan Nabi Ibrahim a.s. selain dari bundanya., Maryam. Jelaslah bahwa keturunan dari seorang perempuan termasuk dalam pengertian dzurriyat.

Dari Sa’ad bin Abi Waqash yang berkata, “Ketika ayat ini turun, ‘Katakanlah, ‘Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu…’ Rasulullah saw memanggil Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Lalu Rasulullah saw berkata, ‘Ya Allah, mereka inilah Ahlul Baitku.”‘. Sahih Muslim, jilid 2, hal 360; Isa al-Halabi, jld 15, hal 176; Sahih Turmudzi, jilid 4, hal 293, hadits nomor 3085; al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, jld 3, hal 150.

__________________________________________
DALiL KEDUA :
Istri para Nabi adalah ahlul bait !!! tetapi yang dimaksud dengan AHLUL BAiT DALAM AYAT TATHHiR BUKAN ditujukan UNTUK iSTRi – iSTRi NABi.

Ahlul-Bait yang disucikan hanya untuk lima orang saja. Berdasarkan riwayat dari Aisyah, Ummu Salamah, Abu Said Al-Khudri dan Anas bin Malik [ra] tentang surat Al-Ahzab : 33, ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan noda dan kotoran (dosa) dari kalian, ahlul bait , dan mensucikan kalian sesuci-sucinya’ turun hanya untuk lima orang saja yaitu: Rasulallah saw., Amirul mukminin Ali kw., Siti Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain (ra). Rasulallah saw. juga telah bersabda seraya menunjuk kepada Ali, Siti Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain: ‘Ya Allah mereka ini Ahli Baitku, maka hilangkanlah noda kotoran (ar-rijsa) dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya’.

Hadits-hadits yang semakna, silahkan rujuk:
Shahih Muslim, kitab Fadhail Ash-Shahabah, bab Fadhail Ahlul Bait Nabi, jilid 2, hal.368, cet.Isa Al-Halabi; jilid 15 hal.194, syarah An-Nawawi, cet.Mesir ; Shahih At-Tirmidzi, jilid 5, hal. 30, hadits ke 3258; hal. 328 hadits ke 3875, cet. Darul Fikr.; Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 5, hal.25, cet. Darul Ma’arif, Mesir; Musnad Ahmad jilid 3, hal.259 dan 285; jilid 4, hal.107; jilid 6 hal.292, 296, 298, 304 dan 306 , cet. Mesir.; Al-Mustadrak Al-hakim, jilid 3, hal.133, 146, 147, 158 ; jilid 2, hal. 416 ; Tafsir Ath-Thabari jilid 22 hal. 6, 7 dan 8, cet.Al-Halabi Mesir ; Tafsir Al-Qurtubhi jilid 14, hal. 182, cet. Kairo ; Tafsir Ibnu Katsir jilid 3, hal. 483, 494 dan 495, cet. Mesir ; Tafsir Al-munir Lima’alim At-Tanzil, oleh Al-jawi, jilid 2 hal. 183 ; Al-Mu’jam Ash-Shaghir, oleh At-Thabarani jilid 1, hal. 65 dan 135 ; Khashaish Amirul Mu’minin, oleh An-Nasa’i Asy-Syafi’i hal.4, cet. At- Taqaddum Al-‘Ilmiyah, Mesir ; Cet.Beirut hal. 8 ; cet.Al-Haidariyah hal.49 ; Tarjamah Al-Imam Ali bin Abi Thalib, dalam tarikh Damsyiq, oleh Ibnu Asakir Asy-Syafi’i jilid 1, hal. 185 ; Kifayah Ath-Thalib, oleh Al-Kanji Asy-Syafi’i , hal.45, 373-375 ; Usdul Ghabah fi Ma’rifati Ash-Shahabah, oleh Ibnu Atsir Asy-Syafi’i, jilid 2, hal. 12, 20 ; jilid 3 hal.413 ; jilid 5 hal. 521, 589 ; Ad-Durrul Mantsur, oleh As-Suyuthi jilid 5, hal. 198, 199;Al-Itqan fi ‘ulumil Qur’an jilid 4 hal. 240, cet.Mathba’ Al-Masyhad Al-Husaini, Mesir ; Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qundusi, hal. 107, 108, 228, 229, 230, 244, 260 dan 294, cet.Istanbul ; cet.Al-Haidariyah hal. 124, 125, 135, 196, 229, 269, 271, 272, 352 dan 353.
Dan masih banyak lagi yang tidak bisa kita cantumkan disini.

Surat Al-Ahzab : 33 yang menegaskan :
“Sesungguhnya Allah hendak menghapuskan noda dan kotoran (ar-rijsa) dari kalian, ahlul-bait, dan mensucikan kalian sesuci-sucinya”.

Kemuliaan yang diperoleh seorang beriman dari kebesaran taqwanya kepada Allah dan Rasul-Nya adalah kemuliaan yang bersifat umum, yakni hal ini dapat diperoleh setiap orang yang beriman dengan jalan taqwa. Lain halnya dengan kemuliaan ahlul-bait dan keturunan Rasulallah saw. Mereka memperoleh kemuliaan berdasarkan kesucian yang dilimpahkan dan di karuniakan Allah swt. kepada mereka sebagai keluarga dan keturunan Rasulallah saw. Jadi kemuliaan yang ada pada mereka ini bersifat khusus, dan tidak mungkin dapat diperoleh orang lain yang bukan ahlul-bait dan bukan keturunan Rasulallah saw.

Jawad Mughniyyah didalam kitabnya Al-Husain Wal Qur’an mengatakan:
“Sebagian besar para ahli tafsir berpegang pada sebuah hadits shohih yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri ra yang menuturkan bahwasanya Rasulallah saw. telah menegaskan:’Ayat itu turun mengenai lima orang; Aku sendiri, ‘Ali (bin Abi Thalib ra), (Siti) Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain’. Atas dasar penegasan beliau itu maka yang dimaksud ahlul-bait adalah lima orang keluarga Nubuwwah tersebut. Kebenaran tersebut diperkuat oleh sebuah hadits shohih lainnya yang diketengahkan oleh banyak ulama hadis, yaitu Haditsul-Kisa “

Dengan demikian jelas yang dimaksud Ahlu-Bait Rasulallah saw. Yang wajib kita pedomani adalah ahlul bait yang disucikan yaitu hanya lima orang yang tersebut diatas ini (dan keturunan mereka), hal ini diperkuat lagi dengan adanya hadits Al-Kisa dan hadits Tsaqalain. (baca keterangan selanjutnya tentang hadits al-Kisa’ dan hadits Tsaqalain).

ini adalah adalah pendapat yang terbanyak di riwayatkan dalam hadits-hadits dibandingkan pendapat-pendapat lainnya serta penafsiran yang paling tepat dan benar yang banyak diterangkan oleh ulama-ulama pakar ahli tafsir dan hadits.

Ahlul bait bermakna umum, sedangkan ahlu-bait beliau saw. Yang kita pedomani adalah ahlul bait yang mempunyai makna khusus.

Kalimat Hadits Al-Kisa’.
Allah swt. berfirman; “Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.” (QS. al-Ahzab: 33).

Menurut para ulama bahwa argumentasi terdekat dan terjelas yang berkenaan dengan penafsiran ayat diatas ini ialah sebuah hadits yang dikenal di kalangan para ahli hadits dengan sebutan hadits Al-Kisa`, yang tingkat keshohihan dan kemutawatirannya tidak kalah dengan hadits Tsaqalain. Ayat diatas ini menurut kebanyakan ulama turun kepada Imam Ali bin Abi Thalib, Siti Fathimah, al-Hasan dan al-Husain [ra] adalah termasuk perkara yang amat jelas bagi mereka yang mengkaji kitab-kitab hadits dan tafsir. Dalam hal ini Ibnu Hajar berkata: “Sesungguhnya mayoritas para mufassir mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Ali, Fathimah, Hasan dan Husain.” (Ash-Shawa’iq, hal 143).

Hadits ini terkenal dengan julukan Al-Kisa’ artinya selendang atau selimut, karena Nabi saw. menutupi dirinya beserta empat orang keluarganya dengan selimut tersebut. Nash-nash hadits ini banyak diriwayatkan oleh berbagai sumber dan oleh banyak perawi dengan tekts yang berbeda-beda tapi mempunyai makna yang sama.

Sebagian para mufassirin (ahli tafsir) yang tercantum pada halaman sebelumnya yaitu pengertian/faham kedua mengatakan yang dimaksud Ahlul-Bait dalam surat Al-Ahzab:33 hanyalah: Rasulallah saw., Imam Ali bin Abi Thalib kw., Siti Fathimah Az-Zahra ra, Al-Hasan dan Al-Husain [ra], dengan berdalil hadits-hadits Al-Kisa’ berikut ini:
Al-Hakim telah meriwayatkan didalam kitabnya al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain fi al-Hadits:
“Dari Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib yang berkata: “Ketika Rasulullah saw. memandang kearah rahmat yang turun, Rasulullah saw. berkata, ‘Panggilkan untukku, panggilkan untukku.’ Shafiyyah bertanya; ‘Siapa, ya Rasulullah’? Rasulullah menjawab; ‘Ahlul Baitku, yaitu Ali, Fathimah, Hasan dan Husain’. Maka mereka pun dihadirkan kehadapan Rasulullah, lalu Rasulullah saw. meletakkan pakaiannya keatas mereka, kemudian Rasulullah saw mengangkat kedua tangannya dan berkata, ‘Ya Allah, mereka inilah keluargaku (maka sampaikanlah shalawat kepada Muhamad dan keluarga Muhamad).’ Lalu Allah swt. menurunkan ayat ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya’ “. (Mustadrak al-Hakim, jilid 3, hal 197–198, dan beliau berkata; ‘Hadits ini shohih sanadnya’).

Al-Hakim meriwayatkan hadits serupa dari Ummu Salamah yang berkata; “Di rumah saya turun ayat yang berbunyi, ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya’. Lalu Rasulullah saw mengirim Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, dan kemudian berkata, ‘Mereka inilah Ahlul Baitku’ “. (Mustadrak al-Hakim, jilid 3, hal 197-198, kemudian, al-Hakim berkata, ‘Hadits ini shohih menurut syarat Bukhari’). Di halaman lain al-Hakim juga meriwayatkan hadits ini dari Watsilah, dan kemudian berkata, “Hadits ini shohih menurut syarat mereka berdua”.

Imam Muslim meriwayatkan hadits ini di dalam kitab shohih-nya dari Aisyah yang berkata; “Rasulullah saw. pergi ke luar rumah pagi-pagi sekali dengan mengenakan pakaian (yang tidak dijahit dan) bergambar. Hasan bin Ali datang, dan Rasulullah saw. memasukkannya kedalam pakaiannya, lalu Husain datang, dan Rasulullah saw. memasukkannya ke dalam pakaiannya; lalu datang Fathimah, dan Rasulullah saw. pun memasukkannya ke dalam pakaiannya; berikutnya Ali juga datang, dan Rasulullah saw memasukkannya ke dalam pakaiannya; kemudian Rasulullah saw berkata; ’Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.” (Shohih Muslim, bab keutamaan-keutamaan Ahlul Bait).

Berita ini dapat ditemukan di dalam banyak riwayat yang terdapat di dalam kitab-kitab shohih, kitab-kitab hadits dan kitab-kitab tafsir (Baihaqi di dalam Sunan al-Kubra, bab keterangan Ahlul-Baitnya (Rasulullah saw); tafsir ath-Thabari, jilid 22, hal 5; tafsir Ibnu Katsir, jilid 3, hal 485; tafsir ad-Durr al-Mantsur, jilid 5, hal 198 – 199; Shohih Turmudzi, bab keutamaan-keutamaan Fathimah; Musnad Ahmad, jilid 6, hal 292 – 323.)
Imam Muslim dalam shohih-nya (1V:1883 nr.2424) dari Umar bin Abu Salamah anak tiri Rasulallah saw. sebagaimana dicantumkan dalam At-Turmudzi (V:663). Redaksinya dari beliau dan lain-lainnya dengan isnad shohih. Dia berkata; “Ayat berikut ini turun kepada Nabi Muhammad saw., ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan, dosa dari kamu hai ahlul-bait dan membersihkan sebersih-bersihnya’ (QS Al-Ahzab:33). Ayat tersebut turun kepada Nabi Muhammad saw. dirumah Ummu Salamah ra. Lalu Nabi Muhammad saw. memanggil Siti Fathimah ra, Hasan dan Husain. Lalu Rasulallah saw. menutupi mereka dengan kiswah (baju,kain) sedang Imam Ali kw. ada dibelakang punggungnya (Nabi). Beliau saw. pun menutupi nya dengan pakaian (kiswah). Kemudian beliau saw. bersabda; ‘Allahumma (Ya Allah), mereka itu ahli-baitku, maka hilangkanlah dosa (kekejian dan kekotoran) dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya’ (bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya). Ummu Salamah ra. berkata; ‘Dan (apakah) aku beserta mereka wahai Rasulallah’? Beliau saw. bersabda; ‘Engkau mempunyai tempat tersendiri, dan engkau menuju kepada kebaikan’ “.

Hadits al-Kisa` termasuk hadits yang shohih dan mutawatir, yang tidak ada seorang pun mendhaifkannya, baik dari kalangan Salaf mau pun Khalaf.
Diantara riwayat di dalam bab ini —didalam menentukan siapa Ahlul-Bait— ialah riwayat yang dinukil oleh as-Suyuthi di dalam kitab tafsirnya ad-Durr al-Mantsur, yang berasal dari Ibnu Mardawaih, dari Ummu Salamah yang berkata; “Di rumahku turun ayat, ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya’. Saat itu di rumahku ada tujuh orang yaitu Jibril, Mikail, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, sementara aku berada di pintu rumah. Kemudian saya berkata, ‘Ya Rasulullah, tidakkah aku termasuk Ahlul Bait’? Rasulullah saw menjawa; ‘Sesungguhnya engkau berada pada kebajikan, dan sesungguhnya engkau termasuk istri Rasulullah saw.’ “. (Tafsir ad-Durr al-Mantsur, jld 5, hal 198).

Pada riwayat al-Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya disebutkan, Ummu Salamah bertanya; “Ya Rasulullah, saya tidak termasuk Ahlul Bait”? Rasulullah saw. menjawab, ‘Sesungguhnya engkau berada dalam kebajikan, mereka itulah Ahlul Baitku. Ya Allah, mereka inilah Ahlul Baitku yang lebih berhak’ “. (Mustadrak al-Hakim, jld 2, hal 416).

Pada riwayat Imam Ahmad disebutkan; “Saya (ummu Salamah ra) mengangkat pakaian penutup untuk masuk bersama mereka namun Rasulullah saw. menarik tangan (tidak memasukkan) saya sambil berkata, ‘Sesungguhnya engkau berada dalam kebajikan’ “. (Musnad Ahmad, jld 3, hal 292 – 323).

Dalam satu riwayat yang mengatakan bahwa setelah turunnya ayat ini Nabi saw. mendatangi pintu Ali bin Abi Thalib setiap waktu sholat selama sembilan bulan berturut-turut dengan mengatakan; “Salam, rahmat Allah dan keberkahan atasmu, wahai Ahlul-Bait. ‘Se-sungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hal Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-suci-nya’ “. Itu dilakukan oleh Rasulullah saw. sebanyak lima kali dalam sehari. (Penfasiran ayat dari Ibnu Abbas, di dalam kitab tafsir ad-Durr al-Mantsur, jilid 5, hal 199).

Didalam Shohih Turmudzi, Musnad Ahmad, Musnad ath-Thayalisi, Mustadrak al-Hakim ‘ala ash-Shahihain, Usud al-Ghabah, tafsir ath-Thabari, Ibnu Katsir dan as-Suyuthi disebutkan bahwa Rasulullah saw mendatangi pintu rumah Fathimah selama enam bulan setiap kali keluar hendak melaksanakan sholat Subuh dengan berseru; “Salat, wahai Ahlul Bait. ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya’ “. (Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, jld 3, hal 158).

Dan riwayat-riwayat lainnya yang serupa yang berkenaan dengan bab ini.
Hadits dari Aisyah ra. katanya: “Pada suatu pagi Nabi saw. keluar dengan berselimut sebuah kain wol berwarna hitam, ketika Hasan putra Ali (abi Thalib) datang, maka beliau memasukkan ia kedalam selimut, demikian pula ketika Husain, Fathimah dan Ali datang, maka beliau memasukkan mereka kedalam selimut, kemudian beliau berkata; ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa bagi kamu, hai ahli bait dan mensucikan kalian sesuci-sucinya’ (surat Al-Ahzab :33) ”. (HR. Muslim).

Sedangkan dalam riwayat Tirmidzi disebutkan: “Ketika Allah menurunkan firman-Nya: ‘ …….’ (surat Al-Ahzab:33), dirumah Ummu Salamah (isteri Nabi) maka Nabi memanggil (Siti) Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain, kemudian beliau menutupi mereka dengan sebuah kain selendang sedang (Imam) Ali yang berada dibelakang punggung beliau juga ditutupi dengan kain tersebut, kemudian beliau berdo’a; ‘Ya Allah, mereka adalah ahli baitku, maka hilangkanlah dosa dari mereka dan bersihkanlah mereka sebersih-bersih- nya’. Ketika Ummu Salamah berkata; ‘Wahai Nabiyullah, aku pun bersama mereka’, maka beliau saw. bersabda; ‘Engkau berada di tempatmu dan engkau dalam kebaikan’ “.

(Ada pula riwayat hadits lain dari Ummu Salamah yang pada waktu terjadinya Haditsul Kisa’ ia bertanya pada Rasulallah saw.; Ya Rasulallah, bukankah aku dari mereka juga ? Beliau menjawab; Ya, benar! Tapi hadits ini ber tentangan dengan hadits-hadits Al-Kisa’ dan lainnya yang telah dijelaskan tadi yang lebih kuat dan lebih dipercaya yang dimaksud ahlul-bait, hanya lima orang saja, dan isteri-isteri beliau saw. tidak termasuk didalamnya).

Riwayat hadits-hadits lainnya yang senada atau semakna hanya berbeda versinya saja dengan hadits terakhir diatas diantaranya yaitu:
Hadits dari Zaid, dari Syahr bin Hausyab ; Hadits dari Abu Nu’aim Al-Fadhl bin Dakkain yang mengatakan menerima hadits dari Abdus-Salam bin Harb dari Kaltsum Al-Muharibiy berasal dari Abu ‘Ammar ; Hadits dari Waki’ dari Abdulhamid bin Bahram dari Syahr bin Hausyab dari Fudhail bin Marzuq dari ‘Athiyyah dari Abu Sa’id Al-Khudry berasal dari Ummu Salamah ra..; Hadits dari Zarbayi dari Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairah dan berasal dari Ummu Salamah ra. ; Hadits dari Ibnu Marzuq dari ‘Athiyyah dari Abu Sa’id berasal dari Ummu Salamah ; Hadits dari Hasyim bin ‘Utbah bin Abi Waqqash, berasal dari ‘Abdullah bin Wahab bin zam’ah ; Hadits dari Muhammad bin Sulaiman Al-Ashbahaniy dari Yahya bin ‘Ubaid Al-Makky dari ‘Atha bin Abi Rabbah berasal dari Umar bin Abi Salamah ; Hadits dari Bukair bin Asma dari ‘Amir bin Sa’ad berasal dari Sa’ad ; Hadits dari ‘Abdullah bin ‘Abdulquddus dari Al-A’masy dari Hakim bin Sa’ad berasal dari ‘Ali bin Abi Thali kw. dan masih banyak lagi lainnya.

Menurut jumhur ulama, semuanya ini cukup membuktikan bahwa yang di maksud Ahlul-Bait dalam ayat Al-Ahzab: 33 ialah mereka Ash- habul Kisa, sehingga dengan demikian mereka itu adalah partner al-Qur’an, yang kita telah diperintahkan oleh Rasulullah saw. di dalam hadits Tsaqalain  untuk berpegang teguh kepada mereka.

Orang yang mengatakan bahwa ‘itrah itu artinya keluarga, sehingga merubah maknanya, itu tidak dapat diterima! Karena tidak ada seorang pun dari para pakar bahasa yang mengatakan demikian. Ibnu Mandzur menukil di dalam kitabnya Lisan al-’Arab: “Sesungguhnya ‘itrah Rasulullah saw. adalah keturunan Fathimah ra. Ini adalah perkataan Ibnu Sayyidah. Al-Azhari berkata, ‘Di dalam hadits Zaid bin Tsabit yang berkata, ‘Rasulullah saw bersabda, ‘… …lalu dia menyebut hadits Tsaqalain’. Maka disini Rasulullah menjadi kan ‘itrah-nya sebagai Ahlul Bait’. Abu Ubaid dan yang lainnya berkata, ‘Itrah seorang laki-laki adalah kerabatnya’. Ibnu Atsir berkata, ‘Itrah seorang laki-laki lebih khusus dari kaum kerabatnya’. Ibnu A’rabi berkata, ‘Itrah seorang laki-laki ialah anak dan keturunannya yang berasal dari tulang sulbinya’.’ Ibnu A’rabi melanjutkan perkataannya, ‘Maka ‘itrah Rasulullah saw adalah keturunan Fathimah.’ ” (Lisan al-Arab, jld 9, hal 34).

Dari makna-makna ini menjadi jelas bahwa yang dimaksud Ahlul-Bait bukan mutlak kaum kerabat yang umum, melainkan kaum kerabat yang paling khusus. Oleh karena itu, di dalam riwayat Imam Muslim disebutkan bahwa tatkala Zaid bin Arqam ditanya, siapa yang dimaksud dengan Ahlul-Bait Rasulullah? Apakah istri-istrinya? Zaid bin Arqam menjawab, “Tidak, demi Allah. Sesungguhnya seorang wanita tidak selamanya bersama suaminya, karena jika dia ditalak maka dia akan kembali kepada ayah dan kaumnya. Adapun yang dimaksud Ahlul Bait Rasulullah saw. ialah keluarga nasabnya, yang diharamkan sedekah atas mereka sepeninggalnya (Rasulullah saw)”.

Menjadi anggota Ahlul-Bait, tidak pernah diklaim oleh seorang pun dari kaum kerabat Rasulullah saw, dan tidak pernah diklaim juga oleh istri-istri beliau saw.. Karena jika tidak demikian, maka tentunya sejarah akan menceritakan hal itu kepada kita. Tidak ada di dalam sejarah dan juga di dalam hadits shohih yang menyebutkan bahwa para istri Rasulullah saw. mengakui/ berdalil dengan ayat Al-Ahzab: 33 ini.

Adapun argumentasi Ibnu Katsir tentang keharusan memasukkan istri-istri Rasulullah saw tidaklah dapat diterima, karena kehujjahan dhuhur bersandar kepada kesatuan ucapan. Sebagaimana di ketahui bahwa ucapan telah berubah dari bentuk ta’nits (wanita) pada ayat-ayat sebelumnya kepada bentuk tadzkir (lelaki) pada ayat ini.

Oleh karena itu, Allah swt. memulai firman-Nya setelah ayat ini, “Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah….” (QS. al-Ahzab: 34).

Dengan keterangan-keterangan ini menjadi jelas bagi kita yang di maksud dengan Ahlul-Bait yang wajib kita pedomani ialah: Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib, Siti Fathimah, al-Hasan dan al-Husain [ra].

DALiL KETiGA :
12 imam tidak harus berkuasa secara fisik jika memang UMAT tidak mau mengangkat mereka menjadi khalifah zhahir.. tidak ada alasan apapun untuk merasa iri hati,dengki terhadap keutamaan mereka.
Hal inilah justru yang dipertanyakan Allah swt. Allah SWT berfirman ; Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhamrnad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami telah mernberikan kitab dan hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepada mereka kerajaan yang besar. (QS. an-Nisa : 54).

Orang-orang yang dihasuti dan yang diberi karunia dalam ayat tersebut adalah Keturunan/Ahlul Bait Rasulallah saw. silahkan rujuk:
Syawahidut Tanzil, oleh Al-Hakim Al-Haskani Al-Hanafi, jilid 1, hal.143 hadits ke 195, 196,197,198; Manaqib Al-Imam Ali bin Abi Thalib, oleh Al-Maghazili Asy-Safi’I, hal.467 hadits ke 314 ; Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qundusi Al-Hanafi, hal.142, 328 dan 357 cet, Al-Haidariyah hal.121, 274 dan 298, cet.Istanbul ; Ash-Shawa’iqul Muhriqah, oleh Ibnu Hajar Asy-Syafi’i, hal.150 cet.Al- Muhammadiyah, hal. 91 cet. Al-Maimaniyah, Mesir ; Nurul Abshar oleh Asy-Syablanji hal.101, cet.Al-
‘Utsmaniyah, hal.102 cet.As- Sa’idiyah ; Al-Ittihaf Bihubbil Asyraf, oleh Asy-Syibrawi Asy-Syafi’i, hal. 76 ; Rasyafah Ash-Shadi, oleh Abu Bakar Al-Hadrami, hal. 37 ; Al-Ghadir, oleh Al-Amini jilid 3, hal. 61 dan masih banyak lagi lainnya.

DALiL KEEMPAT :
Ayat Mawaddah.
“Katakanlah (hai Muhammad) Aku tidak minta upah apa pun dari kalian kecuali kasih sayang kepada keluargaku (yakni ahlul-bait Muhammad saw.)”. (Asy-Syura : 23). Ayat Asy-Syura ini turun untuk keluarga Rasulallah saw. yakni Imam ‘Ali, Siti Fathimah Az-Zahra, Al-Hasan dan Al-Husain [ra]. Kita bisa rujuk dalam:
Syawahidut Tanzil, oleh Al-Hakim Al-Haskani Al-Hanafi jilid 2, hal.130, hadits ke 822 s/d 828 dan hadits ke 832, 833, 834 dan 838 ; Ash-Shawa’iqul Muhriqah, oleh Ibnu Hajar Asy-Syafi’i cet.Al-Maimaniyah, Mesir hal. 101,135 dan 136, dalam cet.Al-Muhammadiyah, Mesir hal. 168 dan 225 ; Tafsir Ath-Thabari jilid 25, hal.25 cet.ke 2 Mushthafa Al-Halabi, Mesir, hal.14 dan 15 cet.Al-Maimaniyah, Mesir ; Manaqib Ali bin Abi Thalib oleh Ibnu Al-Maghazili Asy-Syafi’i hal.307 hadits ke 352 ; Dzhakhairul ‘Uqba oleh Ath-Thabari Asy-Syafi’i hal.25 dan 138 ; Kifayah Ath-Thalib oleh Al-Kanji Asy-Syafi’i hal.91,93,313 cet.Al-Haidariyah, hal.31,32,175,178 cet.Al-Ghira ; Al-Fushul Al-Muhimmah oleh Ibnu Shabagh Al-Maliki hal.11 ; Ad-Durrul Mantsur oleh As-Suyuthi jilid 6 hal.7; Al-Mustadrak Al-Hakim jilid 3 hal.172 ; Ihyaul Mayt oleh As-Suyuthi Asy-Syafi’i (catatan pinggir) Al-Ittihaf hal.110 ; Tafsir Al-Qurthubi jilid 16 hal.22 ; Tafsir Ibnu Kathir jilid 4 hal.112 ; Tafsir Fakhrur Razi jilid 27 hal.166 cet.Abdurrahman Muhammad, Mesir jilid 7 hal.405-406 ; Tafsir Al-Baidhawi jilid 4 hal.123, cet.Mushthafa Muhammad, Mesir, jilid 5 hal.53 cet.Darul Kutub, hal. 642 cet.Al’Utsmaniyah ; Tafsir An-Nasafi jilid 4, hal. 105 ; Majma’uz Zawaid jilid 7, hal.103 dan jilid 9 hal. 168 ; Fathul Bayan fi Maqashidil Qur’an oleh Shiddiq Al-Hasan Khan jilid 8 hal.372 ; Yanabi’ul Mawaddah oleh Al-Qundusi hal.106,194,261 cet.Istanbul, hal.123,229,311 cet.Al-Haidariyah ; Fathul Qadir oleh Asy-Syaukani jilid 4 hal.537 cet.kedua, jilid 4 hal.22 cet.pertama, Mesir…Dan masih banyak lagi yang tidak saya cantumkan disini.

Para imam ahli tafsir banyak membicarakan ayat tersebut, terutama mengenai kata al-qurba (orang-orang terdekat),.Sedangkan makna khususnya dalam hal itu ialah sebagaimana yang dikatakan oleh Imam As-Suyuthi dan lain-lain diantaranya para imam yang kami cantumkan diatas ialah Imam ‘Ali bin Abi Thalib ra, Siti Fathimah Az-Zahra ra. dan dua orang puteranya, Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma.
Ayat lain yang penting dari al-Quran yang berbicara tentang Ahlulbait adalah surah asy-Syuura:23. Dalam surat ini, Allah Swt berfirman: “(Wahai Muhammad) katakanlah, aku tidak memintah upah dari kalian (dalam kapasitasnya sebagai pembawa risalah Allah) kecuali kecintaan kepada keluargaku.”.

Wahabi bertanya : Ayat ini diturunkan di Mekkah ketika Hasan dan Husain belum lahir, jadi bagaimana mungkin dapat ayat ini berkenaan dengan Ahlulbait seperti makna Ahlul Kisa ?

Jawaban :
meskipun surat asy-Syuura merupakan surat Makkiyah, ayat 23-25 & 27 di turunkan di Madinah. Pernyataan para mufassir membuat dalil pertama dan kedua yang disebutkan di atas menjadi tidak berdasar sama sekali.

Yang kedua, perintah untuk “mencintai keluarga Nabi” tidak dapat dikenakan kepada seluruh kerabat beliau karena di antara mereka ada orang-orang baik dan juga orang-orang jahat; dan seseorang harus membatasi makna ayat ini kepada mereka yang disamping memiliki pertalian fisik juga memiliki pertalian ruhani dengan Rasulullah. Dan tidak seorang pun yang membantah bahwa Ali, Fatimah, Hasan dan Husain bukanlah orang yang memiliki hubungan raga (fisik) dan juga spritual dengan Nabi, meskipun ia melebarkan gelar ini kepada anak keturunan Bani Hasyim yang lain.

Misalnya, ketika ayat ini diturunkan, orang-orang bertanya kepada Nabi: “Siapakah Qurbah, yang kecintaan kepada mereka wajib bagi kami?” Nabi menjawab, “Ali, Fatimah, dan kedua anak-anak mereka.” Nabi mengulangi jawabannya ini tiga kali.

DALiL KELIMA.
Tepat sekali kalau pada kajian ini kita bawakan riwayat- riwayat tentang ke-Imamahan para Imam 12 yang termuat dalam kitab-kitab standar Ahli Sunnah, riwayat- riwayat tersebut diantaranya:
1. Bukhari menukil dari Jabir bin Samarah:”Aku mendengar Rasul SAW bersabda:”setelahku 12 orang pemimpin akan datang.” Saat itu beliau melanjutkan ucapannya yang tak terdengar olehku kemudian ayahku berkata bahwa keseluruhan imam tersebut semuanya dari bangsa Quraisy.” [Sahih Bukhari, jild 9, bab Istikhlaf, halaman 81.
2. Muslim juga menukil dari Jabir bin samarah:”aku mendengar rasul SAW bersabda:”Islam akan memiliki pemimpin sampai 12 orang. Kemudian beliau bersabda yang tak bisa kupahami. Aku bertanya pada ayahku tentang apa yang tidak aku pahami itu, ia berkata:”beliau bersabda semuanya dari kaum Quraisy. [Sahih Muslim, jild 6, kitab Al-Amarah, bab annas taba’un li quraisy, halaman 3.
3. Muslim dari Jabir juga menukil, ia (Jabir) berkata:”aku dan ayahku berjalan bersama rasul SAW saat itu beliau bersabda:”agama ini akan memiliki 12 pemimpin, yang kesemuanya dari bangsa Quraisy. [Sahih Muslim, jild 6, kitab Al-Amarah, bab annas taba’un li quraisy, halaman 3.
4. Muslim juga menukil dari Jabir:”aku mendengar rasul bersabda:”agama Islam akan langgeng sampai hari kiamat nanti, sampai dua belas orang khalifah memerintah yang kesemuanya dari Quraisy. [Sahih Muslim, jild 6, kitab Al-Amarah, bab annas taba’un li quraisy, halaman 3, sebagai bahan tahqiq pembaca budiman dapat merujuk ada kitab, musnad bin hanbal, jild 5, halaman 86, 89, 97, 107.

Perintah berpegang teguh kepada AL Quran dan Sunnah tidak dapat dilakukan kecuali melalui jalan para pemeliharanya, yaitu Ahlul Bait yang disucikan.. Inilah FAKTA siapa wali orang Islam :
“Sesungguhnya Wali kalian hanyalah Allah, RasulNya, dan orang-orang yang beriman yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat dalam keadan ruku’” (Al Maidah 55).

Berdasarkan hadis-hadis yang dinukil baik dari kalangan ulama’ Syiah maupun Ahli Sunnah, ayat ini turun berkenaan dengan Imam Ali a.s ketika mengulurkan tangan nya untuk memberikan cincin nya kepada seorang pengemis di dalam masjid ketika beliau shalat
dan sesuai kajian dan penuturan para ahli tafsir dan ahli hadis Syiah serta pengakuan sekelompok ulama’ yang tidak sedikit dari kalangan Ahli Sunnah, bahwa pribadi yang menyedekahkan cincinnya pada si faqir dalam keadaan shalat (waktu ruku’) itu adalah pribadi agung Ali as.

Allamah Mar’asyi dalam kitabnya Ihqaqul Haq menuturkan bahwa ada sekitar 85 kitab hadis dan tafsir Ahli Sunnah yang menukil bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan Imam Ali. Dengan riwayat-riwayat ini jelas bahwa yang dinginkan dari kata jamak pada ayat di atas adalah kata tunggal dan itu Imam Ali as. Akan tetapi yang perlu dicermati di sini adalah apa arti sebenarnya dari kata wali yang terdapat dalam ayat ini.
Arti wali: Kata-kata Wali, Wilayat, Wala, Maula, dan Awla, berasal dari akar kata yang sama yaitu Wala. Kata ini sangat banyak digunakan oleh Al-Quran; 124 dengan kata benda, dan sekitar 112 tempat dipakai dalam bentuk kata kerja.

Sebagaimana yang termuat dalam kitab Mufradatul Quran, karya Ragib Isfahani, dan kitab Maqayisul Lugah karya Ibn Fars, arti asli dari kata ini adalah kedekatan dua benda, yang seakan-akan tak berjarak sama sekali. Maksudnya jika dua sesuatu sudah sangat berdekatan, sangatlah mustahil jika dibayangkan ada sesuatu ketiga, ketika kita katakan walia zaid Amr artinya zaid di sisi Amr.

Kata ini juga bermakna teman, penolong dan penanggung jawab. Dengan kata lain pada semua arti tadi terdapat semacam kedekatan dan hubungan serta interaksi, dan untuk menentukan arti yang dinginkan dibutuhkan tanda-tanda dan kecermatan untuk memahami kontek kalimatnya.

Dengan memperhatikan poin-poin yang kita sebutkan tadi, kita dapat memahami bahwa maksud dari ayat di atas adalah hanya Allah SWT, Rasulullah SAW, dan Ali yang merupakan wali orang Islam.
Pemimpin sebuah kaum dapat dipanggil dengan wali atau maula, karena kedekatan dan secara langsung mengurusi dan menyuruh dan melarang semua urusan. Dan kepada majikan dikatakan maula karena secara langsung mengurusi masalah hamba. Ibnu faris juga mengatakan:”barang siapa bertanggung jawab atas urusan seseorang maka ia akan menjadi wali baginya.

_________________________________________
SiAPAKAH iTRAH ???
Sebagai tambahan dengan tambahan periwayatan yang jelas dan sedikit ilmiah.
Dalam hal ini Ibnu Hajar berkata, "Sesungguhnya mayoritas para mufassir mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Ali, Fatimah, Hasan dan Husain." [ lihat Kitab Ash-Shawa'iq, hal 143]
1. Al-Hakim telah meriwayatkan di dalam kitabnya al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain fi al-Hadis:
“Dari Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib yang berkata, ‘Ketika Rasulullah saw memandang ke arah rahmat yang turun, Rasulullah saw berkata, ‘Panggilkan untukku, panggilkan untukku.’ Shafiyyah bertanya, ‘Siapa, ya Rasulullah?!’ Rasulullah menjawab, ‘Ahlul Baitku, yaitu Ali, Fatimah, Hasan dan Husain.’ Maka mereka pun dihadirkan ke hadapan Rasulullah, lalu Rasulullah saw meletakkan pakaiannya ke atas mereka, kemudian Rasulullah saw mengangkat kedua tangannya dan berkata, ‘Ya Allah, mereka inilah keluargaku (maka sampaikanlah salawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad).’ Lalu Allah SWT menurunkan ayat ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya. ‘ Mustadrak al-Hakim, jld 3, hal 197 – 198
Al-Hakim berkata, “Hadis ini sahih sanadnya.”
2. Al-Hakim meriwayatkan hadis serupa dari Ummu Salamah yang berkata, “Di rumah saya turun ayat yang berbunyi ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya’. Lalu Rasulullah saw mengirim Ali, Fatimah, Hasan dan Husain, dan kemudian berkata, ‘Mereka inilah Ahlul Baitku.’” Kemudian, al-Hakim berkata, “Hadis ini sahih menurut syarat Bukhari.” Di tempat lain al-Hakim juga meriwayatkan hadis ini dari Watsilah, dan kemudian berkata, “Hadis ini sahih menurut syarat mereka berdua.” Mustadrak al-Hakim, jld 3, hal 197 – 198.
3. Muslim meriwayatkan hadis ini di dalam kitab sahihnya dari Aisyah yang berkata, “Rasulullah saw pergi ke luar rumah pagi-pagi sekali dengan mengenakan pakaian (yang tidak dijahit dan) bergambar. Lalu Hasan bin Ali datang, dan Rasulullah saw memasukkannya ke dalam pakaiannya; lalu Husain datang, dan Rasulullah saw memasukkannya ke dalam pakaiannya; lalu datang Fatimah, dan Rasulullah saw pun memasukkannya ke dalam pakaiannya; berikutnya Ali juga datang, dan Rasulullah saw memasukkannya ke dalam pakaiannya; kemudian Rasulullah saw berkata, “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.” Sahih Muslim, bab keutamaan-keutmaan Ahlul Bait.
Berita ini dapat ditemukan di dalam banyak riwayat yang terdapat di dalam kitab-kitab sahih, kitab-kitab hadis dan kitab-kitab tafsir. Baihaqi, di dalam Sunan al-Kubra, bab keterangan Ahlul Baitnya (Rasulullah saw); tafsir ath-Thabari, jld 22, hal 5; tafsir Ibnu Katsir, jld 3, hal 485; tafsir ad-Durr al-Mantsur, jld 5, hal 198 – 199; Sahih Turmudzi, bab keutamaan-keutamaan Fatimah; Musnad Ahmad, jld 6, hal 292 – 323.

As-Suyuthi di dalam kitab tafsirnya ad-Durr al-Mantsur, berkata dari Ibnu Mardawaih, dari Ummu Salamah yang berkata, “Di rumahku turun ayat ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.’ Saat itu di rumahku ada tujuh orang yaitu Jibril, Mikail, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain, sementara aku berada di pintu rumah. Kemudian saya berkata, ‘Ya Rasulullah, tidakkah aku termasuk Ahlul Bait?!’ Rasulullah saw menjawab, ‘Sesungguhnya engkau berada pada kebajikan, dan sesungguhnya engkau termasuk istri Rasulullah saw.’” Tafsir ad-Durr al-Mantsur, jld 5, hal 198.

____________________________________________
QS. 33:33;
ayat tersebut turun terpisah. Bagaimana dengan asbabun nuzul ayat-ayat lain. Kita dapat saja seenaknya mengatakan bahwa ayat sebelum maupun sesudah ayat tersebut juga turun saat itu walaupun hal ini tidak disebutkan. Contohnya Al Maidah ayat 3 adalah ayat yang terakhir turun dan itu tidak seluruhnya, hanya bagian yang dimulai dari Alyawma(ini terletak pada pertengahan ayat) sedangkan bagian lain al maidah ayat 3 yang berkaitan dengan hukum halal haram makanan(terletak di awal dan akhir almaidah ayat 3) turun di saat lain. Jika kita bicara seenaknya bahwa semua Al Maidah ayat 3 dan ayat 4 turun bersamaan dengan bagian alyawma maka umat islam saat itu belum mengetahui hukum halal dan haram makanan sampai al Quran terakhir diturunkan.

Nah bagaimana itu, sudah jelas bahwa ayat yang terakhir turun hanya bagian alyawma karena hadis shahih hanya menyebut bagian ini. Jika ada asbabun nuzul yang shahih maka sudah jelas lebih diutamakan dibanding urutan ayat karena urutan ayat adalah penulisan. Dalam penulisan Al Quran, Ayat tathhir dan Al maidah ayat 3 yang terkahir turun memang diletakkan pada tempatnya sekarang tetapi secara historis ayat tersebut turun terpisah dari bagian sebelum dan sesudahnya dan hal ini telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil shahih. Jadi konsep dasar saya tetap seperti yang saya katakan sebelumnya bahwa saya akan berpegang pada urutan ayat jika tidak ada dalil shahih yang menyatakan bahwa ayat tersebut turun secara terpisah.

Tidak mungkin ahlul kisa’ dicampur dengan istri istri Nabi karena :

a. Kalau mau berpegang pada urutan ayat maka sudah jelas ayat tersebut awalnya berbicara khusus untuk wanita, yang diharuskan untuk tetaplah di rumah, jangan berhias bertingka, jangan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah ini perintah khusus wanita !!!!!!!!! khusus wanita dan bukan mencakup laki-laki !!!!!! Jelas saja ayat tersebut mengandung perintah dan larangan khusus bagi wanita maka bagaimana mungkin itu diperuntukkan bagi laki-laki.

b. Jika ahlul kisa’ boleh bercampur dengan istri istri Nabi maka perintah tetap di rumah dan jangan berhias dan jangan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah juga berlaku untuk laki laki… Bagaimana mungkin Allah SWT menurunkan ayat dengan perintah khusus wanita untuk kaum kaum laki laki yaitu Imam Ali, Imam Kalau anda mau berhujjah dengan hadis maka banyak hadis yang mengkhususkan Ayat tathir kepada ahlul kisa’. Kalau mau berhujjah dengan urutan ayat maka ayat tathhir hanya untuk istri-istri Nabi SAW. Bukankah sudah saya katakan Jika anda mau berpegang pada urutan ayat maka ayat tersebut khusus bicara tentang wanita, anda dapat lihat pada kata-kata tetaplah di rumahmu, janganlah tunduk dalam berbicara, jangan berhias. Ini jelas khusus wanita. Jadi urutan ayat membuat ayat tersebut sangat tidak mungkin ditujukan pada Rasulullah, Ali, Hasan dan Husain.Hasan dan Imam Husain.

c. Teks hadis sebagai tafsir Quran memang menyebutkan ayat yang turun itu terpisah. Teks hadis juga menyebutkan ayat tersebut turun untuk Ahlul Kisa’.
Jika memang ayat tersebut turun untuk istri-istri Nabi SAW mengapa hal pertama yang dilakukan oleh Nabi SAW malah memanggil orang lain dan kenapa saat itu Beliau tidak memanggil istri-istrinya?. Alasan anda itu hanya dicari-cari dan tidak memiliki bukti sama sekali. Apa buktinya kalau Nabi SAW memberitahu Istri-istrinya bahwa merekalah ayat tathir yang dimaksud. Saya berpegang pada teks hadis Sunan Tirmidzi dan hadis-hadis lain yang sedikitpun tidak memuat keterangan bahwa Rasulullah SAW pernah memberitahu istri-istrinya kalau ayat tathhir turun untuk mereka. Semua hadis tersebut justru menjelaskan bahwa ayat tathhir turun untuk mereka ahlul kisa’. Lantas mengapa Ummu Salamah yang tinggal disitu tidak dimasukkan oleh Nabi bersama mereka sebagai Ahlul Bait dalam ayat tathhir. Bukankah istri-istri Nabi yang lain punya rumah sendiri dan mengapa ketika ayat ini turun Nabi SAW tidak memanggil mereka semua. Bukankah ayat ini seperti kata Mas turun untuk mereka. Mengapa hanya Ahlul Kisa’ saja yang dipanggil? Jawabannya karena jelas ayat itu hanya untuk mereka (Imam Ali, Fatimah, Hasan dan Husain).

d. Kalau mau berpegang pada hadis Shahih maka Ahlul bait itu terkhusus pada Ahlul Kisa’ saja.kalau mau berpegang pada pendapat Abu Said Al Khudri RA, Qatadah dan Mujahid maka ayat tathhir terkhusus untuk Ahlul Kisa’ saja.
dalam hadis al-Kisâ’, Ummu Salamah menceritakan bahwa tatkala turun surah al-Ahzab ayat 33, Nabi saw. membentangkan kisâ’ (pakaian) Beliau menelungkupkan Ali, Fathimah, al-Hasan dan al-Husain radhiyallâh ‘anhum. Lalu Beliau bersabda:
Ya Allah, mereka adalah Ahlul Baitku. Karena itu, jauhkan ar-rijsa—kotoran, (maknawi)—dari mereka dan bersihkan mereka sebersih-bersihnya (HR Ahmad, at-Tirmidzi, al-Hakim dan ath-Thabrani).
Dalam Sunan Tirmidzi hadis no 3205 ari Umar bin Abi Salamah, anak tiri Nabi SAW yang berkata “Ayat ini turun kepada Nabi SAW {Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya.} di rumah Ummu Salamah, kemudian Nabi SAW memanggil Fatimah, Hasan dan Husain dan menutup Mereka dengan kain dan Ali berada di belakang Nabi SAW, Beliau juga menutupinya dengan kain. Kemudian Beliau SAW berkata “ Ya Allah Merekalah Ahlul BaitKu maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah Mereka sesuci-sucinya. Ummu Salamah berkata “Apakah Aku bersama Mereka, Ya Nabi Allah?. Beliau berkata “Kamu tetap pada kedudukanmu sendiri dan kamu dalam kebaikan”.
dalam hadis al-Kisâ’, Ummu Salamah menceritakan bahwa tatkala turun surah al-Ahzab ayat 33, Nabi saw. membentangkan kisâ’ (pakaian) Beliau menelungkupkan Ali, Fathimah, al-Hasan dan al-Husain radhiyallâh ‘anhum. Lalu Beliau bersabda: Ya Allah, mereka adalah Ahlul Baitku. Karena itu, jauhkan ar-rijsa—kotoran, (maknawi)—dari mereka dan bersihkan mereka sebersih-bersihnya (HR Ahmad, at-Tirmidzi, al-Hakim dan ath-Thabrani).

Muhammad SAW adalah seorang Nabi, Rasul dan seorang Imam. Setelah ia wafat, pintu keNabian dan keRasulan tertutup selamanya. Tetapi pintu imamah (kepemimpinan) masih terbuka karena ia memiliki penerus (khalifah, wakil), artinya seseorang yang melanjutkan kedudukan orang sebelumnya.
__________________________________________________________

Kedudukan Hadis “Imam Ali Pemimpin Bagi Setiap Mukmin Sepeninggal Nabi SAW”.
Diriwayatkan dengan berbagai jalan yang shahih dan hasan bahwa Rasulullah SAW bersabda kalau Imam Ali adalah Pemimpin bagi setiap mukmin sepeninggal Beliau SAW. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imran bin Hushain RA, Buraidah RA, Ibnu Abbas RA dan Wahab bin Hamzah RA. Rasulullah SAW bersabda:

إن عليا مني وأنا منه وهو ولي كل مؤمن بعدي

Ali dari Ku dan Aku darinya dan Ia adalah Pemimpin bagi setiap mukmin sepeninggal-Ku.

Takhrij Hadis.
Hadis di atas adalah lafaz riwayat Imran bin Hushain RA. Disebutkan dalam Musnad Abu Dawud Ath Thayalisi 1/111 no 829, Sunan Tirmidzi 5/296, Sunan An Nasa’i 5/132 no 8474, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 7/504, Musnad Abu Ya’la 1/293 no 355, Shahih Ibnu Hibban 15/373 no 6929, Mu’jam Al Kabir Ath Thabrani 18/128, dan As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 1187. Semuanya dengan jalan sanad yang berujung pada Ja’far bin Sulaiman dari Yazid Ar Risyk dari Mutharrif bin Abdullah bin Syikhkhir Al Harasy dari Imran bin Hushain RA. Berikut sanad Abu Dawud:

حدثنا جعفر بن سليمان الضبعي ، حدثنا يزيد الرشك ، عن مطرف بن عبد الله بن الشخير ، عن عمران بن حصين

Telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Sulaiman Ad Dhuba’iy yang berkata telah menceritakan kepada kami Yazid Ar Risyk dari Mutharrif bin Abdullah bin Syikhkhir dari Imran bin Hushain-alhadis- [Musnad Abu Dawud Ath Thayalisi no 829].

Hadis Imran bin Hushain ini sanadnya shahih karena para perawinya tsiqat
Ja’far bin Sulaiman Adh Dhuba’iy adalah seorang yang tsiqat. Ja’far adalah perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad, Muslim dan Ashabus Sunan. Ibnu Ma’in, Ibnu Sa’ad, Ibnu Madini dan Ibnu Hibban menyatakan ia tsiqat. Ahmad bin Hanbal berkata “tidak ada masalah padanya”. Abu Ahmad mengatakan kalau Ja’far hadisnya baik, ia memiliki banyak riwayat dan hadisnya hasan [At Tahdzib juz 2 no 145].

Al Ajli menyatakan Ja’far bin Sulaiman tsiqat [Ma’rifat Ats Tsiqat no 221].

Ibnu Syahin juga memasukkannya sebagai perawi tsiqat [Tarikh Asma Ats Tsiqat no 166]. Kelemahan yang dinisbatkan kepada Ja’far adalah ia bertasayyyu’ tetapi telah ma’ruf diketahui bahwa tasyayyu’ Ja’far dikarenakan ia banyak meriwayatkan hadis-hadis keutamaan Ahlul Bait. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq tasyayyu’ [At Taqrib 1/162]. Adz Dzahabi menyatakan Ja’far bin Sulaiman tsiqat [Al Kasyf no 729].

Yazid Ar Risyk adalah Yazid bin Abi Yazid Adh Dhuba’iy seorang yang tsiqat perawi kutubus sittah. Tirmidzi, Abu Hatim, Abu Zar’ah, Ibnu Hibban dan Ibnu Sa’ad menyatakan ia tsiqah. Ahmad bin Hanbal menyatakan ia “shalih al hadis”.[At Tahdzib juz 11 no 616].

Disebutkan kalau Ibnu Ma’in mendhaifkannya tetapi hal ini keliru karena telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih kalau Ibnu Ma’in justru menta’dilkannya. Ibnu Abi Hatim menukil Ad Dawri dari Ibnu Ma’in yang menyatakan Yazid “shalih” dan menukil Abu Bakar bin Abi Khaitsamah dari Ibnu Main yang menyatakan Yazid “laisa bihi ba’sun”. perkataan ini berarti perawi tersebut tsiqah menurut Ibnu Ma’in. [Al Jarh Wat Ta’dil 9/298 no 1268].

Mutharrif bin Abdullah adalah tabiin tsiqah perawi kutubus sittah. Ibnu Sa’ad menyatakan ia tsiqah. Al Ajli mengatakan ia tsiqah. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqah. [At Tahdzib juz 10 no 326]. Ibnu Hajar menyatakan Mutharrif bin Abdullah tsiqah [At Taqrib 2/188].

Hadis Imran bin Hushain di atas jelas sekali diriwayatkan oleh perawi tsiqah dan shahih sesuai dengan syarat Imam Muslim. Ja’far bin Sulaiman adalah perawi Muslim dan yang lainnya adalah perawi Bukhari dan Muslim. Ibnu Hajar menyatakan sanad hadis ini kuat dalam kitabnya Al Ishabah 4/569. Syaikh Al Albani menyatakan hadis ini shahih [Zhilal Al Jannah Takhrij As Sunnah no 1187].

Syaikh Syu’aib Al Arnauth menyatakan hadis ini sanadnya kuat [Shahih Ibnu Hibban no 6929].

Syaikh Husain Salim Asad menyatakan hadis ini para perawinya perawi shahih [Musnad Abu Ya’la no 355].

Selain riwayat Imran bin Hushain, hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Buraidah RA. Hadis Buraidah disebutkan dalam Musnad Ahmad 5/356 no 22908[tahqiq Ahmad Syakir dan Hamzah Zain], Sunan Nasa’i 5/132 no 8475, Tarikh Ibnu Asakir 42/189 dengan jalan sanad yang berujung pada Ajlah Al Kindi dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya. Berikut sanad riwayat Ahmad:

ثنا بن نمير حدثني أجلح الكندي عن عبد الله بن بريدة عن أبيه بريدة قال

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair yang berkata telah menceritakan kepadaku Ajlah Al Kindi dari Abdullah bin Buraidah dari Ayahnya Buraidah yang berkata-hadis marfu’-[Musnad Ahmad 5/356 no 22908].

Hadis Buraidah ini sanadnya hasan karena diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah yaitu Ibnu Numair dan Abdullah bin Buraidah dan perawi yang hasan yaitu Ajlah Al Kindi.
Ibnu Numair adalah Abdullah bin Numair Al Hamdani adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqah. Ibnu Ma’in, Ibnu Hibban, Al Ajli dan Ibnu Sa’ad menyatakan ia tsiqah. [At Tahdzib juz 6 no 110]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/542]. Adz Dzahabi menyatakan ia hujjah [Al Kasyf no 3024].

Ajlah Al Kindi adalah seorang yang shaduq. Ibnu Main dan Al Ajli menyatakan ia tsiqat. Amru bin Ali menyatakan ia seorang yang shaduq dan hadisnya lurus. Ibnu Ady berkata “ia memiliki hadis-hadis yang shalih, telah meriwayatkan darinya penduduk kufah dan yang lainnya, tidak memiliki riwayat mungkar baik dari segi sanad maupun matan tetapi dia seorang syiah kufah, disisiku ia seorang yang shaduq dan hadisnya lurus”. Yaqub bin Sufyan menyatakan ia tsiqat tetapi ada kelemahan dalam hadisnya. Diantara yang melemahkannya adalah Ibnu Sa’ad, Abu Hatim, Abu Dawud dan An Nasa’i. [At Tahdzib juz 1 no 353].

Abu Hatim dan An Nasa’i menyatakan ia “tidak kuat” dimana perkataan ini bisa berarti seorang yang hadisnya hasan apalagi dikenal kalau Abu Hatim dan Nasa’i termasuk ulama yang ketat dalam menjarh. Ibnu Sa’ad dan Abu Dawud menyatakan ia dhaif tanpa menyebutkan alasannya sehingga jarhnya adalah jarh mubham. Tentu saja jarh mubham tidak berpengaruh pada mereka yang telah mendapat predikat tsiqat dari ulama yang mu’tabar. Ibnu Hajar menyatakan ia seorang syiah yang shaduq [At Taqrib 1/72].

Adz Dzahabi juga menyatakan Ajlah seorang yang shaduq [Man Tukullima Fiihi Wa Huwa Muwatstsaq no 13]. Bagi kami ia seorang yang tsiqah atau shaduq, Bukhari telah menyebutkan biografinya tanpa menyebutkan cacatnya [Tarikh Al Kabir juz 2 no 1711].

Hal ini menunjukkan kalau jarh terhadap Ajlah tidaklah benar dan hanya dikarenakan sikap tasyayyu’ yang ada padanya.
Abdullah bin Buraidah adalah seorang tabiin yang tsiqah. Ibnu Ma’in, Al Ajli dan Abu Hatim menyatakan ia tsiqat. Ibnu Kharasy menyatakan ia shaduq [At Tahdzib juz 5 no 270]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/480] dan Adz Dzahabi juga menyatakan ia tsiqat [Al Kasyf no 2644].

Sudah jelas hadis Buraidah ini adalah hadis hasan yang naik derajatnya menjadi shahih dengan penguat hadis-hadis yang lain. Syaikh Al Albani menyatakan bahwa hadis Buraidah ini sanadnya jayyid [Zhilal Al Jannah Takhrij As Sunnah no 1187].

Selain Imran bin Hushain dan Buraidah, hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dengan sanad yang shahih. Riwayat Ibnu Abbas disebutkan dalam Musnad Abu Dawud Ath Thayalisi 1/360 no 2752, Tarikh Ibnu Asakir 42/199, dan Tarikh Ibnu Asakir 42/201, Musnad Ahmad 1/330 no 3062, Al Mustadrak 3/143 no 4652, As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 1188, dan Mu’jam Al Kabir 12/77. Berikut sanad riwayat Abu Dawud:

حدثنا أبو عوانة عن أبي بلج عن عمرو بن ميمون عن بن عباس ان رسول الله صلى الله عليه و سلم

Telah menceritakan kepada kami Abu Awanah dari Abi Balj dari Amru bin Maimun dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda [Musnad Abu Dawud Ath Thayalisi no 2752].

Hadis Ibnu Abbas ini sanadnya shahih dan diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat.
Abu Awanah adalah Wadhdhah bin Abdullah Al Yasykuri seorang perawi kutubus sittah yang tsiqat. Abu Hatim, Abu Zar’ah, Ahmad, Ibnu Sa’ad, Ibnu Abdil Barr menyatakan ia tsiqat. [At Tahdzib juz 11 no 204]. Al Ajli menyatakan ia tsiqah [Ma’rifat Ats Tsiqat no 1937].
Ibnu Hajar menyatakan Abu Awanah tsiqat tsabit [At Taqrib 2/283] dan Adz Dzahabi juga menyatakan ia tsiqat [Al Kasyf no 6049].
Abu Balj adalah Yahya bin Sulaim seorang perawi Ashabus Sunan yang tsiqat. Ibnu Ma’in, Ibnu Sa’ad, Nasa’i dan Daruquthni menyatakan ia tsiqat. Abu Fath Al Azdi menyatakan ia tsiqat. Abu Hatim berkata “shalih laba’sa bihi”. Yaqub bin Sufyan berkata “tidak ada masalah padanya”. Al Bukhari berkata “fihi nazhar” atau perlu diteliti lagi hadisnya. [At Tahdzib juz 12 no 184]. Perkataan Bukhari ini tidaklah tsabit karena ia sendiri telah menuliskan biografi Abu Balj tanpa menyebutkan cacatnya bahkan dia menegaskan kalau Syu’bah meriwayatkan dari Abu Balj [Tarikh Al Kabir juz 8 no 2996]. Hal ini berarti Syu’bah menyatakan Abu Balj tsiqat karena ia tidak meriwayatkan kecuali dari perawi yang tsiqat. Ibnu Abdil Barr dan Ibnu Jauzi menyatakan bahwa Ibnu Main mendhaifkan Abu Balj [At Tahdzib juz 12 no 184]. Tentu saja perkataan ini tidak benar karena telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ishaq bin Mansur kalau Ibnu Ma’in justru menyatakan Abu Balj tsiqat [Al Jarh Wat Ta’dil 9/153 no 634]. Kesimpulannya pendapat yang rajih adalah ia seorang yang tsiqat.
Amru bin Maimun adalah perawi kutubus sittah yang tsiqah. Al Ajli, Ibnu Ma’in, An Nasa’i dan Ibnu Hibban menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 8 no 181]. Ibnu Hajar menyatakan Amru bin Maimun tsiqat [At Taqrib 1/747].
Hadis Ibnu Abbas ini adalah hadis yang shahih dan merupakan sanad yang paling baik dalam perkara ini. Hadis ini juga menjadi bukti bahwa tasyayyu’ atau tidaknya seorang perawi tidak membuat suatu hadis lantas menjadi cacat karena sanad Ibnu Abbas ini termasuk sanad yang bebas dari perawi tasyayyu’. Hadis Ibnu Abbas ini telah dishahihkan oleh Al Hakim, Adz Dzahabi [Talkhis Al Mustadrak no 4652] dan Syaikh Ahmad Syakir [Musnad Ahmad no 3062].

Hadis dengan jalan yang terakhir adalah riwayat Wahab bin Hamzah. Diriwayatkan dalam Mu’jam Al Kabir Ath Thabrani 22/135, Tarikh Ibnu Asakir 42/199 dan Al Bidayah Wan Nihayah 7/381. Berikut jalan sanad yang disebutkan Ath Thabrani.

حدثنا أحمد بن عمرو البزار وأحمد بن زهير التستري قالا ثنا محمد بن عثمان بن كرامة ثنا عبيد الله بن موسى ثنا يوسف بن صهيب عن دكين عن وهب بن حمزة قال

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Amru Al Bazzar dan Ahmad bin Zuhair Al Tusturi yang keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Utsman bin Karamah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Musa yang berkata telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Shuhaib dari Dukain dari Wahab bin Hamzah yang berkata [Mu’jam Al Kabir 22/135].

Hadis ini diriwayatkan oleh para perawi tsiqat kecuali Dukain, ia seorang tabiin yang tidak mendapat predikat ta’dil dan tidak pula dicacatkan oleh para ulama.
Ahmad bin Amru Al Bazzar adalah penulis Musnad yang dikenal tsiqah, ia telah dinyatakan tsiqah oleh Al Khatib dan Daruquthni, Ibnu Qattan berkata “ia seorang yang hafizh dalam hadis [Lisan Al Mizan juz 1 no 750].
Ahmad bin Zuhair Al Tusturi adalah Ahmad bin Yahya bin Zuhair, Abu Ja’far Al Tusturi. Adz Dzahabi menyebutnya Al Imam Al Hujjah Al Muhaddis, Syaikh Islam. [As Siyar 14/362]. Dalam Kitab Tarajum Syuyukh Thabrani no 246 ia disebut sebagai seorang Hafizh yang tsiqat.
Muhammad bin Ustman bin Karamah seorang perawi yang tsiqat. Abu Hatim berkata “shaduq”. Maslamah dan Ibnu Hibban menyatakan ia tsiqat. Muhammad bin Abdullah bin Sulaiman dan Daud bin Yahya berkata “ia shaduq”. [At Tahdzib juz 9 no 563]. Ibnu Hajar menyatakan Muhammad bin Utsman bin Karamah tsiqat [At Taqrib 2/112].
Ubaidillah bin Musa adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqah. Ibnu Ma’in, Abu Hatim, Ibnu Hibban, Al Ajli, Ibnu Syahin, Utsman bin Abi Syaibah dan Ibnu Ady menyatakan ia tsiqah.[At Tahdzib juz 7 no 97].
Ibnu Hajar menyatakan Ubaidillah tsiqat tasyayyu’ [At Taqrib 1/640].
Adz Dzahabi juga menyatakan ia tsiqah [Al Kasyf no 3593].
Yusuf bin Shuhaib adalah seorang perawi tsiqat. Ibnu Ma’in, Abu Dawud, Ibnu Hibban, Utsman bin Abi Syaibah, Abu Nu’aim menyatakan ia tsiqat. Abu Hatim dan An Nasa’i berkata ‘tidak ada masalah padanya”. [At Tahdzib juz 11 no 710]. Ibnu Hajar menyatakan Yusuf bin Shubaih tsiqat [At Taqrib 2/344] dan Adz Dzahabi juga menyatakan Yusuf tsiqat [Al Kasyf no 6437].
Dukain adalah seorang tabiin. Hanya Ibnu Abi Hatim yang menyebutkan biografinya dalam Al Jarh Wat Ta’dil dan mengatakan kalau ia meriwayatkan hadis dari Wahab bin Hamzah dan telah meriwayatkan darinya Yusuf bin Shuhaib tanpa menyebutkan jarh maupun ta’dil terhadapnya. [Al Jarh Wat Ta’dil 3/439 no 1955].
Dukain seorang tabiin yang meriwayatkan hadis dari Wahab bin Hamzah dan sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Sakan kalau Wahab bin Hamzah adalah seorang sahabat Nabi [Al Ishabah 6/623 no 9123]
Hadis Wahab bin Hamzah ini dapat dijadikan syawahid dan kedudukannya hasan dengan penguat dari hadis-hadis lain. Al Haitsami berkata mengenai hadis Wahab ini “Hadis riwayat Thabrani dan di dalamnya terdapat Dukain yang disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim, tidak ada ulama yang mendhaifkannya dan sisanya adalah perawi yang dipercaya “ [Majma’ Az Zawaid 9/109].

Ibnu Taimiyyah Mendustakan Hadis Shahih.
Jika kita mengumpulkan semua hadis tersebut maka didapatkan:
Hadis Imran bin Hushain adalah hadis shahih [riwayat Ja’far bin Sulaiman].
Hadis Buraidah adalah hadis hasan [riwayatAjlah Al Kindi].
Hadis Ibnu Abbas adalah hadis shahih [riwayat Abu Balj].
Hadis Wahab bin Hamzah adalah hadis hasan [riwayat Dukain].

Tentu saja dengan mengumpulkan sanad-sanad hadis ini maka tidak diragukan lagi kalau hadis ini adalah hadis yang shahih. Dan dengan fakta ini ada baiknya kita melihat apa yang dikatakan Ibnu Taimiyyah tentang hadis ini, ia berkata:

” أنت ولي كل مؤمن بعدي ” فهذا موضوع باتفاق أهل المعرفة بالحديث

“kamu adalah pemimpin bagi setiap mukmin sepeninggalKu” ini adalah maudhu’ (palsu) menurut kesepakatan ahli hadis [Minhaj As Sunnah 5/35].

قوله : هو ولي كل مؤمن بعدي كذب على رسول الله صلى الله عليه وسلم

Perkataannya ; “Ia pemimpin setiap mukmin sepeninggalku” adalah dusta atas Rasulullah SAW [Minhaj As Sunnah 7/278].

Cukuplah kiranya pembaca melihat dengan jelas siapa yang sebenarnya sedang berdusta atau sedang mendustakan hadis shahih hanya karena hadis tersebut dijadikan hujjah oleh orang syiah. Penyakit seperti ini yang dari dulu kami sebut sebagai “Syiahpobhia”.

Singkat Tentang Matan Hadis.
Setelah membicarakan hadis ini ada baiknya kami membicarakan secara singkat mengenai matan hadis tersebut. Salafy nashibi biasanya akan berkelit dan berdalih kalau hadis tersebut tidak menggunakan lafaz khalifah tetapi lafaz waliy dan ini bermakna bukan sebagai pemimpin atau khalifah. Kami tidak perlu berkomentar banyak mengenai dalih ini, cukuplah kiranya kami bawakan dalil shahih kalau kata Waliy sering digunakan untuk menunjukkan kepemimpinan atau khalifah.

Diriwayatkan oleh Ibnu Katsir [dan beliau menshahihkannya] dalam Al Bidayah wan Nihayah bahwa ketika Abu Bakar dipilih sebagai khalifah, ia berkhutbah:

قال أما بعد أيها الناس فأني قد وليت عليكم ولست بخيركم

Ia berkata “Amma ba’du, wahai manusia sekalian sesungguhnya aku telah dipilih menjadi pimpinan atas kalian dan bukanlah aku yang terbaik diantara kalian. [Al Bidayah wan Nihayah 5/269].

Diriwayatkan pula oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad bin Hanbal bahwa Jabir bin Abdullah RA menyebutkan kepemimpinan Umar dengan kata Waliy.

ثنا بهز قال وثنا عفان قالا ثنا همام ثنا قتادة عن عن أبي نضرة قال قلت لجابر بن عبد الله ان بن الزبير رضي الله عنه ينهى عن المتعة وان بن عباس يأمر بها قال فقال لي على يدي جرى الحديث تمتعنا مع رسول الله صلى الله عليه و سلم قال عفان ومع أبي بكر فلما ولي عمر رضي الله عنه خطب الناس فقال ان القرآن هو القرآن وان رسول الله صلى الله عليه و سلم هو الرسول وأنهما كانتا متعتان على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم إحداهما متعة الحج والأخرى متعة النساء

Telah menceritakan kepada kami Bahz dan telah menceritakan kepada kami Affan , keduanya [Bahz dan Affan] berkata telah menceritakan kepada kami Hamam yang berkata telah menceritakan kepada kami Qatadah dari Abi Nadhrah yang berkata “aku berkata kepada Jabir bin Abdullah RA ‘sesungguhnya Ibnu Zubair telah melarang mut’ah dan Ibnu Abbas memerintahkannya’. Abu Nadhrah berkata ‘Jabir kemudian berkata kepadaku ‘kami pernah bermut’ah bersama Rasulullah’. [Affan berkata] “ dan bersama Abu Bakar. Ketika Umar menjadi pemimpin orang-orang, dia berkata ‘sesungguhnya Al Qur’an adalah Al Qur’an dan Rasulullah SAW adalah Rasul dan sesungguhnya ada dua mut’ah pada masa Rasulullah SAW, salah satunya adalah mut’ah haji dan yang satunya adalah mut’ah wanita’. [Musnad Ahmad 1/52 no 369 dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Syaikh Ahmad Syakir].

Kedua riwayat di atas dengan jelas menunjukkan bahwa kata Waliy digunakan untuk menyatakan kepemimpinan para Khalifah seperti Abu Bakar dan Umar. Oleh karena itu tidak diragukan lagi bahwa hadis di atas bermakna Imam Ali adalah Pemimpin bagi setiap mukmin sepeninggal Nabi SAW.





_________________________________________________
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: