Pesan Rahbar

Home » » Mazhab Ja'fari atau Mazhab Dua Belas Imam (Itsna 'Asyariah) Bagian 2

Mazhab Ja'fari atau Mazhab Dua Belas Imam (Itsna 'Asyariah) Bagian 2

Written By Unknown on Thursday, 10 July 2014 | 17:36:00

Rasul Suci SAW menyebutkan satu persatu Nama 12 khalifah umat Islam !!! Khalifah Umat Islam Adalah Ahlul Bait.



Gawat !!!!!!!!!! Gawat !!!!!!!!!! Gawat !!!!!!!!!! Gawat !!!!!!!!!! Gawat !!!!!!!!!!
apapun Hujjah yang akan dilakukan oleh Kaum Ahlusunnah akan semakin menunjukkan kebingungan mereka akan mistery ’12 khalifah umat d dari Quraisy ” dalam hadis Bukhari.

NABi SAW MENYEBUT NAMA 12 KHALiFAH UMAT !! Rasul Suci SAW menyebutkan satu persatu Nama 12 khalifah umat Islam !! Tapi kaum aswaja sunni menggunting hadis sehingga yang muncul hanyalah “umat Islam punya 12 khalifah”.

dari Jabir bin Samurah, ia berkata, “Saya masuk bersama ayah saya kepada Nabi SAW. maka saya mendengar beliau berkata, ‘Sesungguhnya urusan ini tidak akan habis sampai melewati dua belas khalifah.’ Jabir berkata, ‘Kemudian beliau berbicara dengan suara pelan. Maka saya bertanya kepada ayah saya, ‘Apakah yang dikatakannya?’ Ia berkata, ‘Semuanya dari suku Quraisy.’ Dalam riwayat yang lain disebutkan, ‘Urusan manusia akan tetap berjalan selama dimpimpin oleh dua belas orang.’ Dalam satu riwayat disebutkan. ‘Agama ini akan senantiasa jaya dan terlindungi sampai dua belas khalifah. (H.R.Shahih Muslim, kitab “kepemimpinan”, bab”manusia pengikut bagi Quraisy dan khalifah dalam kelompok Quraisy”).

Sebelumnya saya ingin menunjukkan sebuah hadis dalam Musnad Ahmad no 3781 diriwayatkan dari Masyruq yang berkata”Kami duduk dengan Abdullah bin Mas’ud mempelajari Al Quran darinya. Seseorang bertanya padanya ‘Apakah engkau menanyakan kepada Rasulullah SAW berapa khalifah yang akan memerintah umat ini?Ibnu Mas’ud menjawab ‘tentu saja kami menanyakan hal ini kepada Rasulullah SAW dan Beliau SAW menjawab ‘Dua belas seperti jumlah pemimpin suku Bani Israil’. Dalam Fath Al Bari Ibnu Hajar Al Asqallani menyatakan hadis Ahmad dengan kutipan dari Ibnu Mas’ud ini memiliki sanad yang baik. Hadis ini juga dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dalam Takhrij Musnad Ahmad. Merujuk ke hadis di atas ternyata Khalifah untuk umat Islam itu hanya 12 belas.

Mungkinkah Nabi SAW membuat teka teki untuk membingungkan umat ???
Aswaja Sunni tidak tau siapa nama 12 khalifah !!! Lalu bagaimana mereka mempedomani nya ???
Tulisan ini akan membuktikan bahwa 12 khalifah Umat Islam adalah ahlul bait !!!!
Ahlul Bait adalah dari Quraisy, lengkapnya seperti ini Bani Hasyim adalah yang termulia dari suku Quraisy dan Ahlul Bait adalah yang termulia dari Bani Hasyim. Tidak berlebihan kalau dikatakan Ahlul Bait semulia-mulia dari Quraisy . Dalam Hadis Shahih Muslim Kitab keutamaan, Bab keutamaan nasab Nabi no: 2276 diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda Sesungguhnya Allah telah memilih (suku) Kinanah daripada anak keturunan Ismail dan telah memilih (bangsa) Quraisy daripada (suku) Kinanah, dan telah memilih daripada (bangsa) Quraisy Bani Hasyim dan telah memilih aku daripada Bani Hasyim.

dari hadis Tsaqalain maka kelihatan jelas bahwa 12 Imam adalah dari Ithrahti Ahlulbait. Yang memimpin umat islam sesudah Nabi adalah orang yg didelagasikan berdasar petunjuk Allah bukan berdasarkan musyawarah. Musyawarah hanya utk hal hal dunia. Tapi soal agama agar tidak sesat hanya berdasarkan ketentuan Allah dan Rasul. Dan itu bisa kita dapat dalam Alqur’an. Jadi menurut saya 12 Imam adalah Ahlulbait . Rasul katakan dari Bani Quraisy. Dalam bani Quraisy yang mendapat prioritas pertama adalah Ahlulubait Rasul.

Nabi Muhammad saw Adalah Penentu Para Imam Mazhab Syi’ah.
Seorang peneliti tidak akan dapat meragukan pelajaran sejarah Nabi saww dan pengetahuan sejarah Islam, bahwa Nabi saww telah menentukan para Imam yang ke dua belas (12 Imam as. ) dan beliau telah menetapkan mereka sebagai khalifah-khalifah setelahnya dan menjadi penerima wasiat di tengah umatnya. Telah disebutkan jumlah mereka dalam hadis-hadis shahih Ahlussunnah bahwa mereka itu adalah dua belas orang semuanya dari Quraisy, dan hal itu telah diriwataykan oleh Bukhari dan Muslim serta lainnya.

Sebagaimana dalam Sunni telah menyebutkan nama-nama mereka penjelasan Nabi Muhammad saww, bahwa yang pertama adalah ‘Ali bin Abi Thalib dan setelahnya ialah putranya yakni al-Hasan as,kemudian saudaranya al-Husein as, sedang yang terakhir ialah al-Mahdi. Sebagaimana tersebut dalam hadis berikut ini :
Shahibu Yanabi’ al-Mawaddah telah meriwayatkan dalam kitabnya, dia berkata, “Seorang Yahudi disebut al-A’tal datang kepada Nabi Muhammad saww, dan ia berkata, “Hai Muhammad, saya menayakan kepadamu perkara-perkara yang telah terdetak dalam dadaku semenjak beberapa waktu, jika engkau dapat menjawabnya niscaya saya akan menyatakan masuk Islam di tanganmu.’Beliau menjawab, ‘Tanyalah! hai Aba Ammarah, maka ia menanyakan beberapa perkara yang sijawab oleh Nabi saww dan ia membenarkan, kemudian ia menanyakan, ‘Beritahukanlah padaku tentang penerimaan wasiatmu, siapakah ia itu? karena tidak seorang Nabi pun kecuali ia mempunyai seorang penerima wasiat, dan sesungguhnya Nabi kami Musa bin Imran telah berwasiat kepada Yusa’ bin Nun.’ Maka beliau bersabda, ‘Sesungguhnya penerima wasiatku adalah ‘Ali bin Abi Thalib dan setelahnya adalah kedua cucuku al-Hasan dan al-Husein kemudian beliau menyebutkan sembilan Imam dari tulang sulbi al-Husein. ‘Lalu ia berkata, ‘Ya Muhammad, sebutkanlah nama-nama mereka kepadaku!’ Beliau bersabda, “Bila al-Husein telah berlalu maka diganti oleh anaknya “Ali, bila ‘Ali telah berlalu maka diganti anaknya Muhammad, bila Muhammad berlalu maka diganti anaknya Ja’far, Musa, ‘Ali, Muhammad, ‘Ali, Hasan, al Hujjah Muhammad al-Mahdi as, maka itu semuanya adalah dua belas orang Imam.’ Kemudian orang Yahudi itu pun masuk Islam dan ia memuji Allah SWT karena petunjuk-Nya.”1

Seandainya kita mau membuka lembaran kitab-kitab Syi’ah dan apa yang terkandung di dalamnya, dari hal kebenaran khususunya tentang masalah ini niscaya kita akan mendapatkan lebih banyak dari itu. Tapi cukuplah bagi kita sebagai bukti bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah mengakui jumlah para Imam yang ke-12 itu, dan tidak terwujud para Imam itu selain ‘Ali dan anak-anaknya yang telah disucikan. Dan yang dapat menambahkan kayakinan bagi kita ialah, bahwa Imam yang ke-12 dari Ahlulbait itu tidka pernah belajar pada satu orang pun dari para ulama umat ini, tidak ada yang meriwayatkan pada kita baik para ahli tarikh maupun ahli hadis dan sejarawan, bahwa salah seorang Imam dari Ahlulbait itu mendapatkan ilmunya dari sebagian sahabat atau tabi’in sebagaimana halnya para ulama umat dan para imam mereka.

Sebagaimana Abu Hanifah belajar kepada Imam Ja’far ash -Shadiq dan Malik belajar kepada Abu Hanifah sedang Syafi’i mendapat ilmu dari Malik dan ia mengambil darinya, begitu pula Ahmad bin Hanbal. Adapun para imam Ahlulbait maka ilmu mereka adalah merupakan pemberian dari Allah SWT yang mereka mewarisi dari Bapak yang berasal dari datuk mereka, mereka itulah yang diistimewakan oleh Allah SWT dengan firmannya:
“Kemudian kami mewariskan kitab pada orang-orang yang telah kami pilih dari antara hamba-hamba Kami.” (QS.Fathir:32).

sumber :
1. Riwayat al-Qunduzi al-Hanafi dalam kitab Yanabi’ al-Mawaddah, hal. 440, dan Faraid as-Samthain oleh al-Humawaini dengan sanad dari Ibnu Abbas.
Imam Ja’far ash-Shadiq pernah menyatakan tentang hakikat tersebut sekali waktu dengan ungkapannya, “Sungguh mengherankan orang-orang itu, mereka mengatakan bahwa mereka mengambil ilmu seluruhnya dari Rasulullah saww dan mengamalkannya serta mendapat petunjuk ! Kemudian mereka mengatakan bahwa kami Ahlulbait tidak mengambil ilmu beliau dan tidak mendapat petunjuk, padahal kami adalah keluarga dan keturunan beliau, di rumah kamilah wahyu itu diturunkan dan dari sisi kami ilmu itu keluar kepada manusia, apakah Anda menganggap mereka berilmu dan mendapat petunjuk sedangkan kami bodoh dan tersesat…?”

Ya, bagaimana Imam ash-Shadiq tidak mengherankan mereka itu yang mendakwahkan diri telah mengambil ilmu dari Rasulullah saww, padahal mereka memusuhi Ahlulbait beliau dan pintu ilmunya yang melalui dirinya ilmu itu diberikan, bagaimana tidak mengherankan penempatan nama Ahlussunnah, padahal mereka sendiri penentang sunah itu. Dan bila Syi’ah sebagaimana telah disaksikan oleh sejarah, mereka itu mengistimewakan ‘Ali dan membelanya serta mereka berdiri tegak menentang musuhnya, memerangi orang yang memeranginya, dan damai dengan orang yang damai dengannya dan mereka telah mengambil seluruh ilmu darinya.

Maka Ahulussunnah wal Jama’ah itu tidaklah mengikuti dan ingin membinasakannya, dan mereka telah meneruskan sikap itu terhadap anak keturunan setelahnya dengan pembunuhan, penjara, dan pengusiran. Mereka telah bertentangan dengannya dalam kebanyakan hukum dengan dasar mengikuti para pendakwah ilmu pengetahuan yang mereka itu saling berselisih sesuai dengan pendapat dan ijtihad mereka dalam perkara hukum Allah, lalu mereka menggantikannya sesuai dengan hawa nafsu dan kepentingan yang mereka tuju.

Bagaimana kita tidak heran terhadap orang-orang yang mendakwahkan diri sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah, sedang mereka merupakan kelompok yang banyak, seperti pengikut Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali yang mereka itu saling berselisih sebagian dengan lainnya dala hukum-hukum fiqih dan menganggap bahwa perselisihan itu adalah merupakan suatu rahmat bagi mereka, sehingga dengan demikian agama Allah SWT menjadi lampiasan hawa nafsu dan pendapat serta sasaran selera diri mereka. Memang benarlah, bahwa mereka adalah kelompok terbanyak yang saling berpecah-belah dalam hukum Allah SWT dan Rasul-Nya, tetapi mereka bersatu dan bersepakat dalam mengesakan kekhalifahan Saqifah yang durhaka dan bersepakat dalam meninggalkan dan menjauhkan keluarga Nabi saww, yang Suci.

Bagaimana kita tidak heran terhadap mereka itu yang membanggakan diri sebagai Ahlussunnah, padahal mereka telah meninggalkan yang berharga yakni Kitabullah dan keluarga Rasul betapapun mereka sendiri telah meriwayatkan hadis tersebut dan menshahihkannya…? Sesungguhnya mereka itu tidak berpegang baik pada Al-Qur’an maupun pada keluarga Rasul, sebab dengan meninggalkan keluarga Rasul yang suci itu berarti mereka telah meninggalkan Al-Qur’an, karena hadis yang mulia menetapkannya bahwa Al-Qur’an dan keluarga Rasul itu tidak pernah berpisah selama-lamanya, sebagaimana Rasulullah telah menyatakan hal itu dengan sabdanya:
Mengenai Muawiyah, terserah apa yang Anda katakan, tidak mengapa, sesungguhnya ia telah meninggalkan Al-Qur’an dan sunah adalah dariku dan aku darinya, siapa yang mencaci ‘Ali sungguh telah mencaciku dan siapa yang mencaciku sungguh ia telah mencaci Allah SWT,” Kita dapati Muawiyah telah mengarahkan cacian dan kutukan padanya ia belum merasa cukup dengan itu sehingga ia memerintahkan seluruh wali-walinya dan para pegawainya untuk mencaci dan mengutuknya, siapa yang menolak di antara mereka maka ia disingkirkan dan dibunuh.

Dan kita telah mengetahui bahwa Muawiyah itu adalah orang yang telah menamakan dirinya dan pengikutnya sebagai Ahlussunnah wal jama’ah dalam rangka menentang penamaan Syi’ah sebagai pengikut kebenaran. Dan sebagian ahli sejarah meriwayatkan bahwa tahun dimana Muawiyah memegang penuh kekuasaan umat Islam, setelah mengadakan perjanjian dengan al-Hasan bin ‘Ali Thalib bin Abi Thalib, maka tahun itu dinamakan tahun jama’ah. Dan keheranan pun akan hilang ketika kita memahami bahwa kata-kata sunah itu tidak dimaksudkan oleh Muawiyah dan pengikutnya kecuali hanyalah pengutukan ‘Ali bin Abi Thalib dari atas mimbar-mimbar Islam pada setiap hari Jumat dan hari Raya.

Apabila Ahlussunnah wal Jama’ah itu merupakan rekayasa Muawiyah bin Abi Sofyan maka kita memohon pada Allah SWT agar mematikan kita di dalam bid’ah rafidhi yang telah dibina oleh ‘Ali bin Abi Thalib dan Ahlulbait (salam atas mereka). Anda tidak usah kaget wahai pembaca yang mulia, bila Ahlul bid’ah dan kesesatan itu menjadi Ahlussunnah wal Jama’ah sedang imam-imam yang suci dari Ahlulbait itu menjadi Ahli bid’ah.

Syi’ah telah menetapkan untuk berimamkan dua belas dari Ahlulbait as, yang pertama ‘Ali bin Abi Thalib, kemudian putranya Hasan dan Husein, kemudian sembilan orang yang maksum dari putra keturunan Husein. Rasulullah telah menetapkan para imam tersebut berulang kali secara terang dan jelas, beliau telah menyebutkan mereka dengan nama-namanya dalam sebagian riwayat yang telah diriwayatkan Syi’ah dan juga dari ulama Sunah.

Sebagian golongan Ahlussunnah sering membantah terhadap riwayat-riwayat tersebutdengan menganggap heran bagaimana mungkin Rasul saww membicarakan tentang hal-hal yang masih gaib, belum ada…? Padahal telah disebutkan dalam firman Allah, “Seandainya aku mengetahui yang gaib niscaya aku telah memperbanyak kebaikan dan tidak akan menyentuhku keburukan.” (QS. al-A’raf: 188).

Sebagai jawaban terhadap hal itu, kami katakan bahwa ayat yang mulia tersebut tidak meniadakan bagi Rasul tentang pengetahuannya terhadap yang gaib secara mutlak, itu hanyalah merupakan bantahan terhadap orang-orang musyrik yang meminta pada beliau untuk memberitahukan pada mereka tentang waktu terjadinya kiamat, sedang ketentuan hari kiamat itu, pengetahuannya khusus bagi Allah SWT.

Dalam Al-Qur’an al-Karim telah disebutkan, “Dia yang mengetahui yang gaib dan Dia tidak menunjukkan yang gaib itu pada seseorang kecuali pada orang yang Dia ridhai dari pada Rasul…” (QS. al-Jin:26-27).

Ini adalah merupakan suatu dalil bahwa Allah SWT menampakkan kegaiban-Nya kepada para Rasul yang telah dipilih. Sebagai contoh dari itu ialah ucapan Nabi Yusuf as kepada temannya dalam tahanan, “Tidak disampaikan padamu berdua makanan yang akan diberikan padamu melainkan aku telah dapat menerangkan jenis makanan itu, sebelum makanan itu sampai padamu, yang demikian itu adalah sebagian dari apa yang diajarkan kepadku oleh Tuhanku…” (QS. Yusuf:37).

dan juga firman-Nya, “Maka keduanya menemui seorang dari hamba-hamba Kami yang Kami berikan padanya ilmu dari sisi kami.”(QS. al-Kahfi:65).

Ini adalah kisah tentang Hidhir yang bertemu dengan Nabi Musa as, yang mengajarkan ilmu gaib kepada Musa yang tak sabar.

Kaum Muslimin, Syi’ah dan Sunnah tidaklah berselisih tentang Rasulullah saww, mengetahui yang gaib dan telah dicatat perjalanan hidup beliau yang banyak dari hal pemberitahuan yang gaib, seperti sabdanya, “Kasihan Ammar, dia akan dibunuh oleh kelompok durhaka,” dan juga dalam sabdanya kepada Imam ‘Ali as, “Orang-orang terakhir disengsarakan oleh orang yang membunuhmu, memukul kepalamu, lalu darahnya mewarnai janggutmu,” dan sabdanya, “Sesungguhnya anakku Hasan, dengan Allah SWT, akan mendamaikan dua kelompok besar.”.

Juga sabda beliau kepada Abu Dzar bahwa dia akan mati sendirian dalam pengasingan dan lainnya dari pemberitaan yang banyak. Sebagiannya yang merupakan hadis termasyhur yang telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim serta seluruh periwayat hadis sebagimana telah disebutkan yakni, “Imam-imam setelahku ada dua belas orang semuanya dari Quraisy, dan dalam satu riwayat menyatakan, “Semuanya dari Bani Hasyim.”.

Kami telah tetapkan dalam pembahasan terdahulu dari kitab Ma’as Shadiqin dan Kitab Fas Ali Ahl adz-Dzikr bahwa Ulama Sunnah sediri telah mengisyatkan dalam shahih mereka kepada hadis tersebut, yang menunjukkan pada keimanan dua belas dan mereka telah menshahihkannya. Bila ada orang bertanya, mengapa mereka meninggalkan para imam itu dan mengikuti selain mereka dari kalangan Imam Mazhab yang empat?

Jawabannya yakni : Karena para pendahulu yang saleh seluruhnya adalah dari kalangan pendukung ketiga Khalifah yang dilahirkan oleh Shaqifah yakni Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Dan sudah jelas mereka meninggalkan Ahlulbait dan memusuhi Imam ‘Ali as, dan anak-anaknya, dan mereka telah menghapuskan sunah Nabi saww dan menggantikannya dengan ijtihad mereka. Hal itu telah menyebabkan terpecahnya umat menjadi dua golongan sepeninggal Rasul secara langsung. Maka para pendahulu yang saleh dan yang mengikuti mereka serta berpandangan dengan pandangan mereka adalah merupakan Ahlussunah wal Jama’ah, dan mereka adalah yang paling banyak di antara umat itu. Sedang kelompok yang paling sedikit adalah ‘Ali dan Syi’ahnya yang telah menentang pembaiatan dan tidak mau menerimanya, lalu mereka menjadi orang-orang yang terbuang dan dikutuk dan mereka Ahlussunnah menyebutnya dengan nama Rawafidh (para pembangkang).

Lantaran Ahlussunnah wal Jama’ah menjadi orang-orang yang menguasai perjalanan umat sepanjang beberapa abad, dan para penguasa Bani Umayah serta penguasa Bani Abbasiyah seluruhnya adalah pendukung dan pengikut ajaran kekhalifahan binaan Abu Bakar, Umar, dan Utsman serta Muawiyah dan Yazid, maka ketika kekuasaan kekhalifahan telah hancur dan hilang kehebatannya dan berpindah ke tangan raja-raja dan orang-orang ‘ajam barulah terdengar pengumpulan sunah Nabi saww, ketika itu muncullah hadis-hadis tersebut.

Telah diusahakan penghapusan dan penyembunyiannya oleh orang-orang generasi pertama dan mereka tidak mampu untuk menghapus dan mendustakannya di masa-masa berikutnya, dan hadis-hadis tersebut tetap tinggal sebagai perkara yang tidak terpahami dan membingungkan menurut mereka, karena kandungannya bertentangan dengan kenyataan yang telah terjadi yang mereka percayai.

Dan sebagian mereka berusaha menyesuaikan antara hadis-hadis itu dengan apa yang telah menjadi kenyataan mereka, lalu mereka menonjolkan diri dengan kecintaan pada Ahlulbait dan kerelaan terhadap mereka. Maka Anda dapat lihat mereka itu setiap kali menyebut Imam ‘Ali as mereka mengucapkan, “Karramallahu wajhahu dan Radhiyallahu anhu,” sehingga dapat mengesankan orang-orang bahwa mereka bukanlah musuh Ahlulbait Nabi saww. Tidak mungkin bagi seorang Muslim sehingga yang munafik sekalipun untuk menampakkan permusuhannya terhadap Ahlulbait Nabi saww, sebab musuh Ahlulbait adalah merupakan musuh Rasulullah saww, dan itu akan mengelurakan mereka dari agama Islam sebagaimana yang tidak dapat disembunyikan lagi.

Dan yang dapat kami pahami dari itusemua yakni, bahwa mereka sebenarnya adalah musuh Ahlulbait Nabi, dan yang kami maksudkan mereka itu ialah para pendahulu orang shaleh yang menamakan dirinya atau dinamakan oleh para pendukungnya dengan “Ahlussunnah wal Jama’ah.” Buktinya ialah, Anda lihat mereka semua bertaqlid pada Mazhab yang empat yang telah dibentuk oleh para Sultan yang berkuasa–akan kami terangkan sebentar lagi– dan tidak ada pada mereka satu hukum agama yang bersandar pada fiqih Ahlulbait atau pada salah seorang Imam yang dua belas.

Dan hakikat telah menetapkan bahwa Syi’ah Imamiyah itulah yang merupakan Ahlussunnah Muhammadiyah, sebab mereka itu telah mengikat diri dalam seluruh hukum fiqih mereka pada para Imam Ahlulbait as yang telah mewarisi sunah yang shahih dari datuk mereka Rasulullah saww dan mereka tidak pernah memasukkan ke dalamnya pendapat dan ijtihad serta ucapan-ucapan para khalifah.

Maka tetaplah Syi’ah itu sepanjang zaman melaksanakan ibadah berdasarkan nas-nas dan menolak segala ijtihad yang bertentangan dengan nas. Sebagaimana mereka meyakini kekhalifahan ‘Ali dan putra-putranya adalah karena Nabi saww telah menetapkan hal itu, dan mereka ituyang disebut Khulafa ar-Rasul, betapa pun sebagian mereka tidak mencapai kekhalifahan secara praktis selain Imam ‘Ali as.

Mereka semua menolak dan tidak mau mengakui para penguasa yang saling berbagi kekhalifahan dari yang pertama kepada yang berikutnya, sebab dasarnya adalah faltah (ketetapan secara tergesa-gesa yang dipelihara oleh Allah SWT keburukannya, dan disebabkan kekhalifahan itu berdiri demi menentang dan menolak/melawan Allah SWT dan Rasul-Nya. Dan semua orang-orang yang datang berikutnya adalah merupakan kekeluargaan sehingga seseorang tidak menjadi khalifah kecuali dengan ditentukan oleh khalifah pendahulunya, atau secara pembunuhan dan kudeta serta pemaksaan.

Oleh karena itu Ahlussunnah wal Jama’ah terpaksa mengikuti kepemimpinan yang baik dan yang durhaka, sebab mereka menerima semua kekhalifahan para penguasa sehingga yang fasik sekalipun. Berlainan dengan Syi’ah Imamiyah yang telah menetapkan wajibnya kemaksuman Imam, maka tidak sah keimanan umat dan kepemimpinan kecuali bagi Imam yang maksum, dan tidak ada di antara umat ini orang yang maksum selain orang-orang yang telah dibersihkan dari mereka segala noda oleh Allah SWT, dan disucikan dengan sesuci-sucinya.

penutupan kenabian dilengkapi oleh penunjukkan imam Dan kesempurnaan Islam yang universal dan abadi sampai akhir masa bergantung pada pengangkatan para imam.. Konsep imamah demikian ini mengacu pada ayat-ayat Al-Qur’an. Di antara ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi acuan utama adalah ayat ke-3 Al-Ma’idah. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya pada hari ini [yaitu pada hari setelah pengangkatan Imam Ali sebagai khalifah Rasul saw] telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Aku lengkapi atas kalian nikmat-Ku, dan juga Aku telah ridha bahwa Islam sebagai agama kalian.”.

Dari penelaahan terhadap ayat ini berikut tafsir dan sebab turunnya di dalam berbagai kitab tafsir, akan kita dapati bagaimana para ahli tafsir telah bersepakat, bahwa ayat tersebut turun pada haji Wada’, yaitu haji perpisahan (terakhir) Rasul saw yang terjadi beberapa bulan sebelum beliau wafat.

Masih dalam rangkaian ayat tersebut, setelah menyinggung ihwal orang-orang kafir yang telah berputus asa untuk mengadakan penyimpangan terhadap Islam, Allah SWT berfirman, “Pada hari ini orang-orang kafir telah berputus asa dari agama kalian.”.

Allah SWT menegaskan bahwa pada hari itu agama Islam dan nikmat wilayah telah Dia lengkapi dan sempurnakan.
Apabila kita cermati dengan baik riwayat-riwayat yang menjelaskan sebab turun ayat tersebut, akan tampak jelas lagi bahwa ikmal dan itmam (penyempurnaan dan pelengkapan), yang disusul oleh keputusasaan orang-orang kafir untuk melakukan penyimpangan terhadap Islam, terwujud dengan diangkatnya seorang khalifah Nabi dari sisi Allah SWT. Karena musuh-musuh Islam menduga, bahwa sepeninggal Rasul saw agama Islam dan para pemeluknya tidak punya pemimpin lagi. Terlebih Rasul sendiri tidak punya seorang putra pun. Dengan demikian, agama Islam akan menjadi lemah dan akan mengalami kehancuran.

Dugaan mereka itu sungguh keliru, karena Islam telah mencapai kesempurnaannya dengan diangkatnya seorang pengganti Rasul yang akan melanjutkan risalah dan perjuangan beliau. Maka, menjadi lengkaplah nikmat Ilahi, sementara segala angan-angan, harapan dan ambisi orang-orang kafir menjadi sirna.

Pengangkatan khalifah Nabi saw itu terjadi tatkala beliau dan rombongan jemaah haji dalam perjalanan pulang mereka dari haji Wada’. Ketika itu, beliau mengumpulkan semua jemaah haji di satu tempat yang dikenal dengan nama “Ghadir Khum”. Pada kesempatan itu, beliau menyampaikan khutbahnya yang panjang. Kepada kaum muslimin beliau bertanya:
“Bukankah aku ini lebih utama daripada diri kalian sendiri?”
Serempak mereka menjawab:
“Benar, ya Rasulullah ….”
Kemudian Nabi saw memegang tangan Ali bin Abi Thalib as dan mengangkatnya di hadapan mereka semua, lalu berkata, “Barang siapa yang menjadikan aku ini sebagai pemimpinnya, maka sungguh Ali adalah pemimpinnya.”

Dengan demikian, Nabi saw telah menetapkan wilayah Ilahiyah itu atas Imam Ali as. Segera setelah itu, seluruh kaum muslimin yang hadir di tempat itu bangkit membaiatnya. Di antara mereka, tidak ketinggalan pula khalifah kedua, Umar bin Khattab. Kepadanya Umar mengucapkan selamat dan berkata, “Engkau beruntung sekali wahai Ali. Kini engkau telah menjadi pemimpinku dan pemimpin seluruh masyarakat yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan.”

Pada hari yang agung tersebut, turunlah ayat yang berbunyi, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian, dan telah Aku lengkapi pula nikmat-Ku atas kalian, dan Aku pun rela Islam sebagai agama kalian.
Dengan turunnya ayat ini, Rasul saw mengucapkan takbir lalu berkata, “Kesempurnaan kenabianku dan kesempurnaan agama Allah itu terletak pada wilayah Ali sepeninggalku.”

Seorang ulama Ahlusunah terkemuka bernama Al-Juwaini menukil sebuah riwayat, “Ketika ayat tersebut turun, Abu Bakar dan Umar berkata, ‘Ya Rasul Allah, apakah kepemimpinan ini dikhususkan untuk Ali?’
Rasul menjawab, ‘Ya, wilayah (kepemimpinan) ini diturunkan untuknya dan untuk para washi-ku sampai Hari Kiamat.’ Lalu kedua orang itu berkata lagi, ‘Ya Rasul Allah, jelaskanlah kepada kami siapa sajakah mereka itu?’

Beliau menjawab, ‘Mereka itu adalah Ali, ia adalah saudaraku, wazirku, pewarisku, washiku dan khalifahku bagi umatku, dan dialah wali (pemimpin) setiap mukmin sepeninggalku, kemudian setelahnya adalah cucuku Al-Hasan, kemudian cucuku Al-Husein dan kemudian sembilan orang dari putra-putra keturunan Al-Husein secara berurutan. Al-Qur’an senantiasa bersama mereka, sebagaimana mereka selalu bersama Al-Qur’an, keduanya itu tidak akan pernah berpisah hingga mereka menjumpaiku di telaga Surga.”[1]

Kalau kita mengkaji secara seksama beberapa riwayat yang berhubungan dengan pengangkatan Ali as sebagai imam, wali dan washi Rasul saw, kita dapat memahami bahwa Rasul saw sebelum itu telah diperintahkan oleh Allah SWT untuk mengumumkan secara resmi kepada masyarakat umum tentang Imamah dan wilayah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Akan tetapi, beliau merasa kuatir terhadap protes dan penentangan mereka dalam melakukan perintah Ilahi itu. Beliau kuatir akan anggapan mereka bahwa hal itu adalah ambisi pribadi beliau semata, karenanya ada kemungkinan mereka akan menolaknya.

Untuk itu, Rasul saw menunggu kesempatan yang tepat untuk menyampaikan pesan penting tersebut hingga turunlah ayat ini, “Wahai Rasul, sampaikanlah pesan dan wahyu yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu. Dan jika kamu tidak melaksanakannya, maka berarti kamu tidak menyampaikan seluruh risalah-Nya. Dan janganlah kamu takut, karena Allah akan menjagamu dari kejahatan manusia.” (QS. Al-Ma’idah: 67).

Sejauh yang dapat kita cermati, tampak sebegitu besarnya penekanan Allah SWT atas pentingnya menyampaikan perintah Ilahi itu yang tidak kurang pentingnya daripada perintah-perintah Ilahi lainnya. Bahkan jika perintah tersebut tidak disampaikan, ini sama artinya dengan tidak pernah menyampaikan semua risalah Allah. Lebih dari itu, di dalam ayat di atas terdapat kabar gembira, bahwa Allah senantiasa akan menjaga dan melindungi Nabi saw dari berbagai kejahatan dan perlakuan buruk yang mungkin direncanakan oleh musuh-musuh Allah tatkala mereka mendengar perintah tersebut.

Berbarengan dengan turunnya ayat tersebut, Rasul saw memperoleh kesempatan yang sangat tepat untuk menyampaikan perintah Ilahi yang amat penting itu. Ketika melihat bahwa tidaklah bijak menunda perintah itu, beliau pun segera mengumpulkan kaum muslimin di padang Ghadir Khum untuk menerima pesan-pesan dan wasiat beliau.

Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa keistimewaan hari “Ghadir” ini terletak pada diumumkannya secara resmi pengangkatan Imam Ali bin Abi Thalib as di hadapan khalayak umat, sekaligus pengambilan baiat dari mereka. Karena sebelum itu, Rasul saw seringkali memberikan isyarat tentang khilafah Ali as dengan berbagai ungkapan dan dalam berbagai kesempatan sepanjang masa kenabian beliau.

Sebagai contoh, pada masa-masa awal bi’tsah (kenabian) Muhammmad saw sebuah ayat turun kepada beliau, “Berikanlah peringatan kepada keluargamu yang terdekat” (QS.As-Syu’ara: 214).

Lantas beliau berseru kepada keluarganya, “Siapakah di antara kalian yang siap menjadi penolongku dalam urusan agamaku ini, aku akan jadikan ia sebagai saudaraku, washi-ku dan khalifahku atas kalian.”
Ahlusunnah dan Syi’ah sepakat, bahwa ketika itu tidak seorang pun dari keluarga Nabi saw yang memberikan jawaban kecuali Imam Ali bin Abi Thalib as.[2]

Demikian juga ketika turun ayat, “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya dan taati pula Ulil Amri (para Imam) di antara kalian.” (QS. An-Nisa’: 59).
Secara tegas Allah SWT mewajibkan semua orang-orang yang beriman untuk mentaati “Ulil Amri” secara mutlak. Dan, menaati mereka sama dengan mentaati Rasulullah.
Sekaitan dengan ayat di atas, Jabir bin Abdillah bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah orang-orang yang wajib ditaati seperti yang diisyaratkan dalam ayat ini?”
Rasulullah saw menjawab, “Yang wajib ditaati adalah para khalifahku wahai Jabir, yaitu para imam kaum muslimin sepeninggalku nanti. Imam pertama mereka adalah Ali bin Abi Thalib, kemudian Hasan, kemudian Husein, kemudian Ali bin Husein, kemudian Muhammad bin Ali yang telah dikenal di dalam kitab Taurat dengan nama “Al-Baqir” dan engkau akan berjumpa dengannya wahai Jabir. Apabila engkau nanti berjumpa dengannya, maka sampaikanlah salamku kepadanya. Kemudian setelah itu As-Shadiq Ja’far bin Muhammad, kemudian Musa bin Ja’far, kemudian Ali bin Musa, kemudian Muhammad bin Ali, kemudian Ali bin Muhammad, kemudian Hasan bin Ali, kemudian yang terakhir ialah Al-Mahdi bin Hasan bin Ali sebagai Hujjatullah di muka bumi ini dan Khalifatullah yang terakhir.”[3]

Sebagaimana yang baru saja kita simak, Nabi saw telah mengabarkan kepada sahabat beliau yang bernama Jabir bin Abdillah Al-Anshari, bahwa dia kelak akan dapat berjumpa dengan Imam Muhammad Al-Baqir as Dan sejarah mencatat bahwa Allah mengaruniai Jabir umur panjang, ia hidup sampai pada masa Imam Baqir as Ketika berjumpa, ia begitu senang sampaikan salam Rasul saw kepada Imam as.

Abu Bashir dalam sebuah hadis yang diriwayatkannya berkata, “Aku pernah bertanya kepada Aba Abdillah Ja’far Ash-Shadiq as tentang firman Allah SWT, ‘Athi’ullaha Wa Athi’urrasula Wa Ulil Amri minkum.’
Beliau menjawab, “Sesungguhnya ayat tersebut diturunkan sehubungan dengan khilafah Ali bin Abi Thalib, Hasan dan Husein.”
Kembali aku bertanya, “Akan tetapi mengapa Allah tidak menyebutkan nama Ali dan Ahlulbaitnya di dalam Al-Qur’an?”

Imam Ja’far Ash-Shadiq as menjawab, “Katakanlah kepada mereka, ‘Bahwa ayat-ayat tentang shalat yang turun kepada Nabi sama sekali tidak menjelaskan tentang jumlah rakaatnya; tiga atau pun empat, akan tetapi Nabilah yang menjelaskan ayat-ayat tersebut kepada mereka. Begitu pula ketika turun ayat ini, beliaulah yang menjelaskan bahwa Ulil Amri itu adalah Ali bin Abi Thalib as, dan para imam dari keturunannya. Bahkan ketika Rasulullah saw berwasiat kepada mereka agar tetap berpegang teguh kepada “Kitabullah” dan Ahlubaitnya, yang keduanya itu tidak akan berpisah sampai akhir masa.

Nabi saw menambahkan, ‘Janganlah kalian menggurui mereka, karena mereka itu lebih alim dari kalian, dan mereka tidak akan mengeluarkan kalian dari pintu petunjuk dan tidak akan menjerumuskan kalian ke dalam lembah kesesatan.’”.

Kalau kita amati dengan baik sabda-sabda Nabi saw yang berhubungan dengan masalah wasiat, akan kita dapati betapa seringnya Nabi saw mengulang-ulang wasiatnya itu. Bahkan di akhir hayat, Nabi saw masih saja mengulang wasiatnya tersebut, “Sesungguhnya aku meninggalkan dua pusaka berharga untuk kalian, yaitu Kitabullah dan Ahlilbaitku. Keduanya itu tidak akan berpisah sehingga menjumpaiku di telaga Surga kelak.”

Perlu diketahui bahwa hadis mengenai wasiat tersebut merupakan hadis yang mutawatir, baik dari Syi’ah Imamiyah maupun dari jalur Ahlusunah wal Jamaah.
Di antara tokoh-tokoh Ahlusunah yang meriwayatkan hadis tersebut adalah At-Turmudzi, An-Nasa’i, Al-Hakim, dll. Ulama yang belakangan ini pun meriwayatkan sebuah hadis lainnya, bahwa Nabi saw. telah bersabda, “Ketahuilah sesungguhnya perumpamaan Ahlulbaitku bagaikan bahtera Nuh as, siapa yang turut naik bersamanya, ia akan selamat. Dan siapa yang menolaknya, maka ia akan karam.”[4]
Termasuk hadis yang sering diulang-ulang oleh Nabi saw ialah “Wahai Ali, engkau adalah pemimpin bagi setiap mukmin setelah wafatku nanti.”[5]

CATATAN KAKi :
[1] Ghayatul Maram, bab 58, hadis ke-4.
[2] Bisa dirujuk ke ‘Abaqat Al-Anwar dan Al-Ghadir.
[3] Rujuk ke Ghayah al-Maram, jilid 10, hal. 267, Itsbat al-Hudat, jilid 3/123 dan Yanabi’ al-Mawaddah, hal. 494.
[4] Rujuk ke Mustadrak al-Hakim, jilid 3/151.
[5] Rujuk ke Mustadrak al-Hakim, jilid 3/111, 134, Ash-Shawa’iq Al-Muhriqah, hal. 103, dan Musnad Ibnu Hanbal, jilid 1/331 dan jilid 4/438.

_____________________________________
KHALiFAH UMAT iSLAM ADALAH AHLUL BAiT.
Masalah Kekhalifahan adalah masalah yang sangat penting dalam Islam. Masalah ini adalah dasar penting dalam penerapan kehidupan keislaman, setidaknya begitu yang saya tahu . Kata Khalifah sendiri menyiratkan makna yang beragam, bisa sesuatu dimana yang lain tunduk kepadanya, sesuatu yang menjadi panutan, sesuatu yang layak diikuti, sesuatu yang menjadi pemimpin, sesuatu yang memiliki kekuasaan dan mungkin masih ada banyak lagi.

Saat Sang Rasulullah SAW yang mulia masih hidup maka tidak ada alasan untuk Pribadi Selain Beliau SAW untuk menjadi khalifah bagi umat Islam. Hal ini cukup jelas kiranya karena sebagai sang Utusan Tuhan maka Sang Rasul SAW lebih layak menjadi seorang Khalifah. Sang Rasul SAW adalah Pribadi yang Mulia, Pribadi yang selalu dalam kebenaran, dan Pribadi yang selalu dalam keadilan. Semua ini sudah jelas merupakan konsekuensi dasar yang logis bahwa Sang Rasulullah SAW adalah Khalifah bagi umat Islam.

Lantas bagaimana kiranya jika Sang Rasul SAW wafat? siapakah Sang Khalifah pengganti Beliau SAW? Atau justru kekhalifahan itu sendiri menjadi tidak penting. Pembicaraan ini bisa sangat panjang dan bagi sebagian orang akan sangat menjemukan. Dengan asumsi bahwa kekhalifahan akan terus ada maka Sang khalifah setelah Rasulullah SAW bisa berupa:
* Khalifah yang ditunjuk oleh Rasulullah SAW.
* Khalifah yang diangkat oleh Umat Islam.

Kedua Premis di atas masih mungkin terjadi dan tulisan ini belum akan membahas secara rasional premis mana yang benar atau lebih benar. Tulisan kali ini hanya akan menunjukkan adanya suatu riwayat dimana Sang Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa Ahlul Bait adalah Khalifah bagi Umat Islam. Bagaimana sikap orang terhadap riwayat ini maka itu jelas bukan urusan penulis.

Dari Zaid bin Tsabit RA yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya Aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian dua Khalifah yaitu Kitab Allah yang merupakan Tali yang terbentang antara bumi dan langit, serta KeturunanKu Ahlul BaitKu. Keduanya tidak akan berpisah sampai menemuiKu di Telaga Surga Al Haudh. (Hadis Ini diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad jilid 5 hal 182, Syaikh Syuaib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad menyatakan bahwa hadis ini shahih. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir jilid 5 hal 154, Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid jilid 1 hal 170 berkata “para perawi hadis ini tsiqah”. Hadis ini juga disebutkan oleh As Suyuthi dalam Jami’ Ash Shaghir hadis no 2631 dan beliau menyatakan hadis tersebut Shahih).

Hadis di atas adalah Hadis Tsaqalain dengan matan yang khusus menggunakan kata Khalifah. Hadis ini adalah hadis yang Shahih sanadnya dan dengan jelas menyatakan bahwa Al Ithrah Ahlul Bait Nabi SAW adalah Khalifah bagi Umat islam. Oleh karena itu Premis bahwa Sang Khalifah setelah Rasulullah SAW itu ditunjuk dan diangkat oleh Rasulullah SAW adalah sangat beralasan.





___________________________________________
Imam Ali Mengakui Kepemimpinannya : Hujjah Hadis Ghadir Khum.
Hadis Ghadir Khum yang menunjukkan kepemimpinan Imam Ali adalah salah satu hadis shahih yang sering dijadikan hujjah oleh kaum Syiah dan ditolak oleh kaum Sunni. Kebanyakan mereka yang mengingkari hadis ini membuat takwilan-takwilan agar bisa disesuaikan dengan keyakinan mahzabnya. Padahal Imam Ali sendiri mengakui kalau hadis ini adalah hujjah bagi kepemimpinan Beliau. Hal ini terbukti dalam riwayat-riwayat yang shahih dimana Imam Ali ketika menjadi khalifah mengumpulkan orang-orang di tanah lapang dan berbicara meminta kesaksian soal hadis Ghadir Khum.

عن سعيد بن وهب وعن زيد بن يثيع قالا نشد على الناس في الرحبة من سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول يوم غدير خم الا قام قال فقام من قبل سعيد ستة ومن قبل زيد ستة فشهدوا انهم سمعوا رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول لعلي رضي الله عنه يوم غدير خم أليس الله أولى بالمؤمنين قالوا بلى قال اللهم من كنت مولاه فعلي مولاه اللهم وال من والاه وعاد من عاداه

Dari Sa’id bin Wahb dan Zaid bin Yutsai’ keduanya berkata “Ali pernah meminta kesaksian orang-orang di tanah lapang “Siapa yang telah mendengar Rasulullah SAW bersabda pada hari Ghadir Khum maka berdirilah?. Enam orang dari arah Sa’id pun berdiri dan enam orang lainnya dari arah Za’id juga berdiri. Mereka bersaksi bahwa sesungguhnya mereka pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda kepada Ali di Ghadir Khum “Bukankah Allah lebih berhak terhadap kaum mukminin”. Mereka menjawab “benar”. Beliau bersabda “Ya Allah barangsiapa yang aku menjadi pemimpinnya maka Ali pun menjadi pemimpinnya, dukunglah orang yang mendukung Ali dan musuhilah orang yang memusuhinya”. [Musnad Ahmad 1/118 no 950 dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Syakir].

Sebagian orang membuat takwilan batil bahwa kata mawla dalam hadis Ghadir Khum bukan menunjukkan kepemimpinan tetapi menunjukkan persahabatan atau yang dicintai, takwilan ini hanyalah dibuat-buat. Jika memang menunjukkan persahabatan atau yang dicintai maka mengapa ada sahabat Nabi yang merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya ketika mendengar kata-kata Imam Ali di atas. Adanya keraguan di hati seorang sahabat Nabi menyiratkan bahwa Imam Ali mengakui hadis ini sebagai hujjah kepemimpinan. Maka dari itu sahabat tersebut merasakan sesuatu yang mengganjal di hatinya karena hujjah hadis tersebut memberatkan kepemimpinan ketiga khalifah sebelumnya. Sungguh tidak mungkin ada keraguan di hati sahabat Nabi kalau hadis tersebut menunjukkan persahabatan atau yang dicintai.

عن أبي الطفيل قال جمع علي رضي الله تعالى عنه الناس في الرحبة ثم قال لهم أنشد الله كل امرئ مسلم سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول يوم غدير خم ما سمع لما قام فقام ثلاثون من الناس وقال أبو نعيم فقام ناس كثير فشهدوا حين أخذه بيده فقال للناس أتعلمون انى أولى بالمؤمنين من أنفسهم قالوا نعم يا رسول الله قال من كنت مولاه فهذا مولاه اللهم وال من والاه وعاد من عاداه قال فخرجت وكأن في نفسي شيئا فلقيت زيد بن أرقم فقلت له انى سمعت عليا رضي الله تعالى عنه يقول كذا وكذا قال فما تنكر قد سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول ذلك له

Dari Abu Thufail yang berkata “Ali mengumpulkan orang-orang di tanah lapang dan berkata “Aku meminta dengan nama Allah agar setiap muslim yang mendengar Rasulullah SAW bersabda di Ghadir khum terhadap apa yang telah didengarnya. Ketika ia berdiri maka berdirilah tigapuluh orang dari mereka. Abu Nu’aim berkata “kemudian berdirilah banyak orang dan memberi kesaksian yaitu ketika Rasulullah SAW memegang tangannya (Ali) dan bersabda kepada manusia “Bukankah kalian mengetahui bahwa saya lebih berhak atas kaum mu’min lebih dari diri mereka sendiri”. Para sahabat menjawab “benar ya Rasulullah”. Beliau bersabda “barang siapa yang menjadikan Aku sebagai pemimpinnya maka Ali pun adalah pemimpinnya dukunglah orang yang mendukungnya dan musuhilah orang yang memusuhinya. Abu Thufail berkata “ketika itu muncul sesuatu yang mengganjal dalam hatiku maka aku pun menemui Zaid bin Arqam dan berkata kepadanya “sesungguhnya aku mendengar Ali RA berkata begini begitu, Zaid berkata “Apa yang patut diingkari, aku mendengar Rasulullah SAW berkata seperti itu tentangnya”.[Musnad Ahmad 4/370 no 19321 dengan sanad yang shahih seperti yang dikatakan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Tahdzib Khasa’is An Nasa’i no 88 dishahihkan oleh Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini].

Kata mawla dalam hadis ini sama halnya dengan kata waliy yang berarti pemimpin, kata waly biasa dipakai oleh sahabat untuk menunjukkan kepemimpinan seperti yang dikatakan Abu Bakar dalam khutbahnya. Inilah salah satu hadis Ghadir Khum dengan lafaz Waly.

عن سعيد بن وهب قال قال علي في الرحبة أنشد بالله من سمع رسول الله يوم غدير خم يقول إن الله ورسوله ولي المؤمنين ومن كنت وليه فهذا وليه اللهم وال من والاه وعاد من عاداه وأنصر من نصره

Dari Sa’id bin Wahb yang berkata “Ali berkata di tanah lapang aku meminta dengan nama Allah siapa yang mendengar Rasulullah SAW pada hari Ghadir Khum berkata “Allah dan RasulNya adalah pemimpin bagi kaum mukminin dan siapa yang menganggap aku sebagai pemimpinnya maka ini (Ali) menjadi pemimpinnya dukunglah orang yang mendukungnya dan musuhilah orang yang memusuhinya dan jayakanlah orang yang menjayakannya. [Tahdzib Khasa’is An Nasa’i no 93 dishahihkan oleh Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini].

Dan perhatikan khutbah Abu Bakar ketika ia selesai dibaiat, ia menggunakan kata Waly untuk menunjukkan kepemimpinannya. Inilah khutbah Abu Bakar.

قال أما بعد أيها الناس فأني قد وليت عليكم ولست بخيركم فان أحسنت فأعينوني وإن أسأت فقوموني الصدق أمانة والكذب خيانة والضعيف فيكم قوي عندي حتى أرجع عليه حقه إن شاء الله والقوي فيكم ضعيف حتى آخذ الحق منه إن شاء الله لا يدع قوم الجهاد في سبيل الله إلا خذلهم الله بالذل ولا تشيع الفاحشة في قوم إلا عمهم الله بالبلاء أطيعوني ما أطعت الله ورسوله فاذا عصيت الله ورسوله فلا طاعة لي عليكم قوموا الى صلاتكم يرحمكم الله

Ia berkata “Amma ba’du, wahai manusia sekalian sesungguhnya aku telah dipilih sebagai pimpinan atas kalian dan bukanlah aku yang terbaik diantara kalian maka jika berbuat kebaikan bantulah aku. Jika aku bertindak keliru maka luruskanlah aku, kejujuran adalah amanah dan kedustaan adalah khianat. Orang yang lemah diantara kalian ia kuanggap kuat hingga aku mengembalikan haknya kepadanya jika Allah menghendaki. Sebaliknya yang kuat diantara kalian aku anggap lemah hingga aku mengambil darinya hak milik orang lain yang diambilnya jika Allah mengehendaki. Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah kecuali Allah timpakan kehinaan dan tidaklah kekejian tersebar di suatu kaum kecuali adzab Allah ditimpakan kepada kaum tersebut. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah dan RasulNya. Tetapi jika aku tidak mentaati Allah dan RasulNya maka tiada kewajiban untuk taat kepadaku. Sekarang berdirilah untuk melaksanakan shalat semoga Allah merahmati kalian. [Sirah Ibnu Hisyam 4/413-414 tahqiq Hammam Sa’id dan Muhammad Abu Suailik, dinukil Ibnu Katsir dalam Al Bidayah 5/269 dan 6/333 dimana beliau menshahihkannya].

Terakhir kami akan menanggapi syubhat paling lemah soal hadis Ghadir Khum yaitu takwilan kalau hadis ini diucapkan untuk meredakan orang-orang yang merendahkan atau tidak suka kepada Imam Ali perihal pembagian rampasan di Yaman. Silakan perhatikan hadis Ghadir Khum yang disampaikan oleh Rasulullah SAW kepada banyak orang, tidak ada di sana disebutkan perihal orang-orang yang merendahkan atau mencaci Imam Ali. Kalau memang hadis ghadir khum diucapkan Rasulullah SAW untuk menepis cacian orang-orang terhadap Imam Ali maka Rasulullah SAW pasti akan menjelaskan duduk perkara rampasan di Yaman itu, atau menunjukkan kecaman Beliau kepada mereka yang mencaci Ali. Tetapi kenyataannya dalam lafaz hadis Ghadir Khum tidak ada yang seperti itu, yang ada malah Rasulullah meninggalkan wasiat bahwa seolah Beliau SAW akan dipanggil ke rahmatullah, wasiat tersebut berkaitan dengan kepemimpinan Imam Ali dan berpegang teguh pada Al Qur’an dan ithrati Ahlul Bait. Sungguh betapa jauhnya lafaz hadis tersebut dari syubhat para pengingkar.

Hadis yang dijadikan hujjah oleh penyebar syubhat ini adalah hadis Buraidah ketika ia menceritakan soal para sahabat yang merendahkan Imam Ali. Hadis tersebut bukan diucapkan di Ghadir Khum dan tentu saja Rasulullah SAW akan marah kepada sahabat yang menjelekkan Imam Ali karena Imam Ali adalah pemimpin setiap mukmin (semua sahabat Nabi) sepeninggal Nabi SAW . Disini Rasulullah SAW mengingatkan Buraidah dan sahabat lain yang ikut di Yaman agar berhenti dari sikap mereka karena Imam Ali adalah pemimpin bagi setiap mukmin sepeninggal Nabi SAW.

عن عبد الله بن بريدة عن أبيه بريدة قال بعث رسول الله صلى الله عليه و سلم بعثين إلى اليمن على أحدهما علي بن أبي طالب وعلى الآخر خالد بن الوليد فقال إذا التقيتم فعلي على الناس وان افترقتما فكل واحد منكما على جنده قال فلقينا بنى زيد من أهل اليمن فاقتتلنا فظهر المسلمون على المشركين فقتلنا المقاتلة وسبينا الذرية فاصطفى علي امرأة من السبي لنفسه قال بريدة فكتب معي خالد بن الوليد إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم يخبره بذلك فلما أتيت النبي صلى الله عليه و سلم دفعت الكتاب فقرئ عليه فرأيت الغضب في وجه رسول الله صلى الله عليه و سلم فقلت يا رسول الله هذا مكان العائذ بعثتني مع رجل وأمرتني ان أطيعه ففعلت ما أرسلت به فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم لا تقع في علي فإنه منى وأنا منه وهو وليكم بعدي وانه منى وأنا منه وهو وليكم بعدي

Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya Buraidah yang berkata “Rasulullah SAW mengirim dua utusan ke Yaman, salah satunya dipimpin Ali bin Abi Thalib dan yang lainnya dipimpin Khalid bin Walid. Beliau SAW bersabda “bila kalian bertemu maka yang jadi pemimpin adalah Ali dan bila kalian berpisah maka masing-masing dari kalian memimpin pasukannya. Buraidah berkata “kami bertemu dengan bani Zaid dari penduduk Yaman kami berperang dan kaum muslimin menang dari kaum musyrikin. Kami membunuh banyak orang dan menawan banyak orang kemudian Ali memilih seorang wanita diantara para tawanan untuk dirinya. Buraidah berkata “Khalid bin Walid mengirim surat kepada Rasulullah SAW memberitahukan hal itu. Ketika aku datang kepada Rasulullah SAW, aku serahkan surat itu, surat itu dibacakan lalu aku melihat wajah Rasulullah SAW yang marah kemudian aku berkata “Wahai Rasulullah SAW, aku meminta perlindungan kepadamu sebab Engkau sendiri yang mengutusku bersama seorang laki-laki dan memerintahkan untuk mentaatinya dan aku hanya melaksanakan tugasku karena diutus. Rasulullah SAW bersabda “Jangan membenci Ali, karena ia bagian dariKu dan Aku bagian darinya dan Ia adalah pemimpin kalian sepeninggalKu, ia bagian dariKu dan Aku bagian darinya dan Ia adalah pemimpin kalian sepeninggalKu. [Musnad Ahmad tahqiq Syaikh Ahmad Syakir dan Hamzah Zain hadis no 22908 dan dinyatakan shahih].

Syaikh Al Albani berkata dalam Zhilal Al Jannah Fi Takhrij As Sunnah no 1187 menyatakan bahwa sanad hadis ini jayyid, ia berkata:

أخرجه أحمد من طريق أجلح الكندي عن عبد الله بن بريدة عن أبيه بريدة وإسناده جيد رجاله ثقات رجال الشيخين غير أجلح وهو ابن عبد الله بن جحيفة الكندي وهو شيعي صدوق

Dikeluarkan Ahmad dengan jalan Ajlah Al Kindi dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya Buraidah dengan sanad yang jayyid (baik) para perawinya terpercaya, perawi Bukhari dan Muslim kecuali Ajlah dan dia adalah Ibnu Abdullah bin Hujayyah Al Kindi dan dia seorang syiah yang (shaduq) jujur.

Justru hadis Buraidah di atas menjadi penguat bahwa Imam Ali adalah pemimpin bagi setiap mukmin (semua sahabat Nabi) sepeninggal Nabi SAW dan sungguh tidak berguna syubhat dari para pengingkar.


________________________________________________
Apakah Imam Ali Merasa Paling Berhak Sepeninggal Nabi SAW?
Dalil Kepemimpinan Imam Ali.
Diriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa Imam Ali mengakui kalau dirinya adalah orang yang paling berhak dalam urusan kepemimpinan sepeninggal Nabi SAW. Tetapi walaupun begitu demi kemaslahatan umat islam, Beliau tetap pada akhirnya memberikan baiat kepada para khalifah yaitu Abu Bakar RA, Umar RA dan Utsman RA. Hal ini tentu saja bertujuan agar tidak terjadi perpecahan di kalangan kaum muslimin. Sebagian orang yang ingkar menjadikan baiat-nya Imam Ali sebagai alasan untuk membenarkan kepemimpinan ketiga khalifah. Sebaik-baik bantahan bagi mereka adalah pernyataan Imam Ali sendiri yang mengakui kalau ia adalah orang yang paling berhak sepeninggal Nabi SAW bukan Abu Bakar, bukan Umar dan bukan pula Utsman.

حدثني روح بن عبد المؤمن عن أبي عوانة عن خالد الحذاء عن عبد الرحمن بن أبي بكرة أن علياً أتاهم عائداً فقال ما لقي أحد من هذه الأمة ما لقيت توفي رسول الله صلى الله عليه وسلم وأنا أحق الناس بهذا الأمر فبايع الناس أبا بكر فاستخلف عمر فبايعت ورضيت وسلمت ثم بايع الناس عثمان فبايعت وسلمت ورضيت وهم الآن يميلون بيني وبين معاوية

Telah menceritakan kepadaku Rawh bin Abdul Mu’min dari Abi Awanah dari Khalid Al Hadzdza’ dari Abdurrahman bin Abi Bakrah bahwa Ali mendatangi mereka dan berkata “Tidak ada satupun dari umat ini yang mengalami seperti yang saya alami. Rasulullah SAW wafat dan sayalah yang paling berhak dalam urusan ini . Kemudian orang-orang membaiat Abu Bakar terus Umar menggantikannya, maka akupun ikut membaiat, pasrah dan menerima. Kemudian orang-orangpun membaiat Utsman maka akupun ikut membaiat, pasrah dan menerima. Dan sekarang mereka bingung antara aku dan Muawiyah” [Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 1/294].

Atsar di atas shahih. Para perawinya terpercaya. Rawh bin Abdul Mu’min adalah Syaikh atau guru Al Baladzuri dan ia seorang yang tsiqat. Sedangkan perawi lainnya adalah perawi shahih.
* Rawh bin Abdul Mu’min Al Hudzalli adalah Syaikh [guru] Al Bukhari yang tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Abu Hatim berkata “shaduq” [At Tahdzib juz 3 no 553]. Adz Dzahabi berkata “tsiqat” [Al Kasyf no 1594]. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [At Taqrib 1/304] dan dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau Rawh bin Abdul Mu’min seorang yang tsiqat [Tahrir At Taqrib no 1963].
* Abu Awanah adalah Wadhdhah bin Abdullah Al Yasykuri seorang perawi kutubus sittah yang tsiqat wafat tahun 176 H. Abu Hatim, Abu Zar’ah, Ahmad, Ibnu Sa’ad, Ibnu Abdil Barr menyatakan ia tsiqat. [At Tahdzib juz 11 no 204]. Al Ajli menyatakan ia tsiqah [Ma’rifat Ats Tsiqat no 1937]. Ibnu Hajar menyatakan Abu Awanah tsiqat tsabit [At Taqrib 2/283] dan Adz Dzahabi berkata “tsiqat” [Al Kasyf no 6049].
* Khalid bin Mihran Al Hadzdza’ Abu Munazil Al Bashri adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat wafat tahun 141 H. Ibnu Ma’in, Nasa’i, Ibnu Hibban dan Al Ijli berkata “tsiqat” [At Tahdzib juz 3 no 224]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/264] dan Adz Dzahabi berkata “tsiqat imam” [Al Kasyf no 1356]
* Abdurrahman bin Abi Bakrah adalah tabiin perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Hibban, Ibnu Sa’ad, Ibnu Khalfun dan Al Ijli berkata “tsiqat” [At Tahdzib juz 6 no 302]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat” [At Taqrib 1/563]. Adz Dzahabi menyebutkan kalau ia mendengar dari ayahnya dan Ali [Al Kasyf no 3154].

Atsar Imam Ali di atas memuat pengakuan Imam Ali bahwa Beliau adalah orang yang paling berhak dalam urusan kekhalifahan sepeninggal Nabi SAW. Oleh karena itu bisa dimaklumi bahwa selepas Rasulullah SAW wafat dan orang-orang membaiat Abu Bakar maka Imam Ali tidak memberikan baiat atau menundanya sampai 6 bulan. Imam Ali merasa dirinya yang paling berhak tetapi orang-orang malah membaiat Abu Bakar.

Hal ini telah diisyaratkan oleh Rasulullah SAW.

حدثنا أبو حفص عمر بن أحمد الجمحي بمكة ثنا علي بن عبد العزيز ثنا عمرو بن عون ثنا هشيم عن إسماعيل بن سالم عن أبي إدريس الأودي عن علي رضى الله تعالى عنه قال إن مما عهد إلي النبي صلى الله عليه وسلم أن الأمة ستغدر بي بعده

Telah menceritakan kepada kami Abu Hafsh Umar bin Ahmad Al Jumahi di Makkah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ali bin Abdul Aziz yang berkata telah menceritakan kepada kami Amru bin ‘Aun yang berkata telah menceritakan kepada kami Husyaim dari Ismail bin Salim dari Abi Idris Al Awdi dari Ali Radhiyallahu ‘anhu yang berkata “Diantara yang dijanjikan Nabi SAW kepadaku bahwa Umat akan mengkhianatiku sepeninggal Beliau”. [Al Mustadrak 3/150 no 4676 dishahihkan oleh Al Hakim dan Adz Dzahabi].

Selama masa 6 bulan itu ternyata pemerintahan Abu Bakar mengalami berbagai masalah seperti adanya “kaum yang murtad” dan adanya Nabi palsu Musailamah Al Kadzdzab beserta pengikutnya. Berbagai masalah ini dapat dimanfaatkan oleh orang-orang munafik untuk memecah belah umat. Merekapun juga melihat tindakan memisahkan diri yang dilakukan Imam Ali dan hal ini bisa saja dimanfaatkan oleh mereka untuk menyebarkan fitnah perpecahan. Oleh karena itulah setelah 6 bulan Imam Ali memutuskan memberikan baiat untuk menutup celah yang akan dimanfaatkan oleh kaum munafik dan baiat ini adalah demi keutuhan umat islam. Inilah yang dimaksud Imam Ali bahwa ia mengalami penderitaan dan kesulitan sepeninggal Nabi SAW [hal ini telah diberitakan oleh Nabi SAW kepada Imam Ali]. Di satu sisi Beliaulah yang paling berhak tetapi beliau tetap memberikan baiat demi keutuhan umat islam.

أخبرنا أحمد بن سهل الفقيه البخاري ثنا سهل بن المتوكل ثنا أحمد بن يونس ثنا محمد بن فضيل عن أبي حيان التيمي عن سعيد بن جبير عن ابن عباس رضي الله عنهما قال : قال النبي صلى الله عليه و سلم لعلي أما أنك ستلقى بعدي جهدا قال في سلامة من ديني ؟ قال : في سلامة من دينك

Telah mengabarkan kepada kami Ahmad bin Sahl seorang faqih dari Bukhara yang berkata telah menceritakan kepada kami Sahl bin Mutawwakil yang berkata telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail dari Abi Hayyan At Taimi dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas RA yang berkata Nabi SAW berkata kepada Ali “Sesungguhnya kamu akan mengalami kesukaran [bersusah payah] sepeninggalKu”. Ali bertanya “apakah dalam keselamatan agamaku?”. Nabi SAW menjawab “dalam keselamatan agamamu” [Mustadrak Ash Shahihain 3/151 no 4677 dishahihkan oleh Al Hakim dan Adz Dzahabi].

Pernyataan Imam Ali kalau Beliau adalah yang paling berhak sepeninggal Nabi SAW jelas berdasarkan apa yang telah dikatakan oleh Nabi SAW sendiri, diantaranya:

ثنا محمد بن المثنى حدثنا يحيى بن حماد عن أبي عوانة عن يحيى ابن سليم أبي بلج عن عمرو بن ميمون عن ابن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لعلي أنت مني بمنزلة هارون من موسى إلا أنك لست نبيا إنه لا ينبغي أن أذهب إلا وأنت خليفتي في كل مؤمن من بعدي

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Hamad dari Abi ‘Awanah dari Yahya bin Sulaim Abi Balj dari ‘Amr bin Maimun dari Ibnu Abbas yang berkata Rasulullah SAW bersabda kepada Ali “KedudukanMu di sisiKu sama seperti kedudukan Harun di sisi Musa hanya saja Engkau bukan seorang Nabi. Sesungguhnya tidak sepatutnya Aku pergi kecuali Engkau sebagai KhalifahKu untuk setiap mukmin sepeninggalKu” [As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 1188 dengan sanad yang shahih].

Sepeninggal Abu Bakar, Umar ditunjuk Abu Bakar untuk menggantikannya dan orang-orangpun membaiat Umar. Disini Imam Ali melihat betapa orang-orang menerima keputusan Abu Bakar dan membaiat Umar padahal Imam Ali merasa bahwa Beliau adalah yang paling berhak. Hal inilah yang dinyatakan oleh Beliau sebagai penderitaan dan kesulitan tetapi beliau tetap bersabar dan ikut memberikan baiat pula kepada Umar agar tidak menimbulkan perpecahan di kalangan kaum muslimin.

Sepeninggal Umar, beliau memerintahkan pemilihan khalifah melalui Majelis syura yang ia bentuk. Terdapat berbagai riwayat seputar masalah ini yang terkadang “agak kontroversi” tetapi singkat cerita majelis tersebut mengangkat Utsman sebagai khalifah. Sekali lagi Imam Ali melihat orang-orang memilih Utsman padahal Imam Ali merasa yang paling berhak. Hal inilah yang dinyatakan Imam Ali sebagai penderitaan dan kesulitan yang beliau alami. Tidak ada satupun dikalangan umat yang mengalami penderitaan dan kesulitan seperti itu. Beliau yang berhak tetapi beliau tetap bersabar dan menerima. Tentu saja akhlak seperti ini hanya dimiliki orang-orang khusus.

Perhatikanlah baik-baik masalah kekhalifahan ini sangat rentan untuk menimbulkan perpecahan di kalangan umat. Contoh nyata adalah apa yang terjadi antara Imam Ali dan Muawiyah. Sepeninggal tragedi Utsman, orang-orang membaiat Imam Ali tetapi apa yang dilakukan Muawiyah, ia tidak memberikan baiat dengan alasan naïf “menuntut darah Utsman”. Dan silakan lihat akibatnya sebagian kaum muslimin lebih memihak Muawiyah sehingga terjadilah perpecahan yang disebut “perang shiffin”. Seandainya Muawiyah memberikan baiat kepada Imam Ali dan membantu Imam Ali untuk mencari atau menyelesaikan perkara “pembunuhan Utsman” maka mungkin tidak akan terjadi yang namanya perpecahan.

Inilah bedanya akhlak Imam Ali dan akhlak Muawiyah. Imam Ali merasa dirinya paling berhak dan ketika orang-orang membaiat orang lain, Beliau tidaklah menentang dengan menghimpun atau mempengaruhi banyak orang. Beliau bersikap diam, menunda baiatnya walaupun pada akhirnya membaiat demi mencegah perpecahan Umat. Sedangkan Muawiyah yang tidak ada sedikitpun hak pada dirinya, tidak mau membaiat Imam Ali bahkan menghimpun dan mempengaruhi orang-orang yang akhirnya malah bertentangan dengan Imam Ali sehingga terjadilah perpecahan di kalangan kaum muslimin [perang shiffin]. Semua ini menjadi bukti bahwa masalah kekhalifahan sangat rentan menimbulkan perpecahan dan Imam Ali sebagai orang yang paling arif tentu sangat mengerti akan hal ini berbeda halnya dengan Muawiyah dan pengikutnya. Sehingga sangat bisa dimaklumi kalau salafy nashibi pecinta Muawiyah tidak bisa memahami tindakan dan akhlak Imam Ali. Mereka tidak bisa mengerti “mengapa Imam Ali membaiat jika Beliau merasa paling berhak?”. Bahkan mereka mengatakan mustahil Imam Ali bersikap pengecut seperti itu. Sungguh kasihan, betapa kebodohan mereka membawa mereka kepada perkataan yang mungkar. Imam Ali merasa paling berhak tetapi beliau tetaplah membaiat dan itulah yang diriwayatkan oleh atsar shahih di atas. Imam Ali bahkan menyebutkan hal itu sebagai penderitaan dan kesulitan yang ia alami baik pada masa Abu Bakar, Umar, Utsman dan pada masa pemerintahan Beliau ketika sebagian kaum muslimin ternyata lebih memilih untuk memihak Muawiyah dan menentang Beliau.


Tahrif Perkataan Imam Ali.
Sebagian ulama ternyata merasa risih dengan perkataan Imam Ali di atas. Mereka ternyata meriwayatkan atsar ini dengan melakukan tahrif pada kata-kata pengakuan Imam Ali kalau Beliaulah yang paling berhak. Atsar Imam Ali di atas juga diriwayatkan dalam kitab As Sunnah Abdullah bin Ahmad bin Hanbal tetapi mengalami tahrif [perubahan].

حدثني أبي وعبيد الله بن عمر القواريري وهذا لفظ حديث أبي قالا حدثنا يحيى بن حماد أبو بكرنا أبو عوانة عن خالد الحذاء عن عبد الرحمن بن أبي بكرة أن عليا رضي الله عنه أتاهم عائدا ومعه عمار فذكر شيئا فقال عمار يا أمير المؤمنين فقال اسكت فوالله لأكونن مع الله على من كان ثم قال ما لقي أحد من هذه الأمة ما لقيت إن رسول الله صلى الله عليه وسلم توفي فذكر شيئا فبايع الناس أبا بكر رضي الله عنه فبايعت وسلمت ورضيت ثم توفي أبو بكر وذكر كلمة فاستخلف عمر رضي الله عنه فذكر ذلك فبايعت وسلمت ورضيت ثم توفي عمر فجعل الأمر إلى هؤلاء الرهط الستة فبايع الناس عثمان رضي الله عنه فبايعت وسلمت ورضيت ثم هم اليوم يميلون بيني وبين معاوية

Telah menceritakan kepadaku Ayahku dan Ubaidillah bin Umar Al Qawaririiy [dan ini adalah lafaz hadis ayahku] keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Hamad Abu Bakar yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Awanah dari Khalid Al Hadzdza’ dari Abdurrahman bin Abi Bakrah bahwa Ali mendatangi mereka dan bersamanya ada Ammar. Kemudian [Ali] menyebutkan sesuatu, Ammar berkata “Ya Amirul Mukminin”. Ali berkata “diamlah, demi Allah aku bersama Allah, kemudian beliau berkata “tidak ada satupun dari umat ini yang mengalami seperti yang saya alami. Ketika Rasulullah wafat [Ali] menyebutkan sesuatu, kemudian orang-orang membaiat Abu Bakar RA dan akupun membaiat, pasrah dan menerima. Kemudian Abu Bakar wafat dan [Ali] menyebutkan suatu perkataan terus Umar RA menggantikannya [Ali] menyebutkan hal itu, dan aku membaiat, pasrah dan menerima. Kemudian Umar wafat dan ia meninggalkan urusan ini kepada enam orang, orang-orang pun membaiat Utsman RA dan aku membaiat, pasrah dan menerima. Kemudian sekarang hari ini mereka bingung antara Aku dan Muawiyah” [As Sunnah Abdullah bin Ahmad bin Hanbal 3/245 no 1315].

حدثني إبراهيم بن الحجاج الناجي بالبصرة أنا أبو عوانة عن خالد الحذاء عن عبد الرحمن بن أبي بكرة قال أتاني وقال مرة أخرى أتانا علي رضي الله عنه عائدا ومعه عمار فذكر كلمة فقال علي والله لأكونن مع الله على من كان ما لقي أحد من هذه الأمة ما لقيت توفي رسول الله صلى الله عليه وسلم فذكر كلمة فبايع الناس أبا بكر فبايعت ورضيت ثم توفي أبو بكر فذكر كلمة فاستخلف عمر فبايعت ورضيت ثم توفي عمر فجعلها يعني عمر شورى فبويع عثمان فبايعت ورضيت ثم هم الآن يميلون بيني وبين معاوية

Telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin Hajjaj An Naji di Bashrah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Awanah dari Khalid Al Hadzdza’ dari Abdurrahman bin Abi Bakrah yang berkata Ali mendatangiku terkadang ia berkata Ali mendatangi kami dan bersamanya ada Ammar. Kemudian [Ali] menyebutkan suatu perkataan. Kemudian Ali berkata “demi Allah aku bersama Allah, tidak ada satu orangpun diantara umat ini yang mengalami seperti yang kualami, Rasulullah SAW wafat [Ali] menyebutkan suatu perkataan. Kemudian orang-orang membaiat Abu Bakar maka aku membaiat dan menerima kemudian Abu Bakar wafat [Ali] menyebutkan suatu perkataan, Umar menggantikannya dan aku membaiat menerima. Kemudian Umar menjadikan Syura, terus membaiat Utsman maka aku membaiat dan menerima. Kemudian sekarang mereka bingung antara Aku dan Muawiyah” [As Sunnah Abdullah bin Ahmad bin Hanbal 3/246 no 1316].

Kedua atsar inipun shahih. Ayah Abdullah bin Ahmad adalah Ahmad bin Hanbal seorang Al Hafizh Tsiqat Faqih Hujjah [At Taqrib 1/44 no 96] dan Ubaidillah bin Umar Al Qawaririiy seorang yang tsiqat tsabit [At Taqrib 1/637]. Sedangkan Yahya bin Hamad adalah seorang yang tsiqat [At Taqrib 2/300]. Ibrahim bin Hajjaj An Naji adalah gurunya Abdullah bin Ahmad bin Hanbal seorang yang dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Hibban dan Daruquthni [At Tahdzib juz 1 no 200]. Atsar di atas menunjukkan adanya tahrif yaitu lafaz ”menyebutkan sesuatu” atau ”menyebutkan perkataan”. Mustahil Imam Ali berkata seperti itu, yang sebenarnya adalah lafaz itu telah diganti. Perkataan Imam Ali yang sebenarnya disembunyikan dan diganti dengan kata-kata ”menyebutkan sesuatu” atau ”menyebutkan perkataan”. Jika kita memperhatikan riwayat Al Baladzuri sebelumnya maka lafaz yang ditutupi itu adalah ”sayalah yang paling berhak dalam urusan ini”. Mungkin sebagian orang merasa risih dengan lafaz ini sehingga berkepentingan untuk menutup-nutupinya. Jadi lafaz sebenarnya adalah sebagai berikut:
Imam Ali berkata:
Tidak ada satupun dari umat ini yang mengalami seperti yang saya alami. Ketika Rasulullah wafat sayalah yang paling berhak dalam urusan ini, kemudian orang-orang membaiat Abu Bakar RA dan akupun membaiat, pasrah dan menerima. Kemudian Abu Bakar wafat dan sayalah yang paling berhak dalam urusan ini terus Umar RA menggantikannya padahal sayalah yang paling berhak dalam urusan ini dan aku membaiat pasrah dan menerima, kemudian Umar wafat dan ia meninggalkan urusan ini kepada enam orang, orang-orang pun membaiat Utsman RA dan aku membaiat, pasrah dan menerima. Kemudian sekarang hari ini mereka bingung antara Aku dan Muawiyah.

Siapa yang sebenarnya melakukan tahrif dalam kitab As Sunnah itu bisa dibilang kami tidak tahu pasti walaupun kemungkinan yang melakukannya adalah Abdullah bin Ahmad bin Hanbal penulis kitab As Sunnah tersebut. Siapa orangnya bukan masalah yang terlalu penting untuk dibahas disini.

Syubhat Salafy Nashibi.
Di antara syubhat salafy nashibi yang mereka alamatkan kepada orang yang mengakui kepemimpinan Imam Ali sepeninggal Nabi SAW adalah Hal ini berarti menuduh para sahabat menyimpang karena para sahabat tidak membaiat Imam Ali malah membaiat orang lain. Konsekuensinya adalah mengkafirkan para sahabat Nabi padahal mereka adalah pembawa risalah bagi umat islam.

Inilah logika ngawur yang tidak memiliki dalil kecuali hanya perkataan sakit hati. Perhatikanlah apakah Imam Ali menyatakan kalau mereka kaum muslim yang membaiat Abu Bakar, Umar dan Utsman itu kafir?. Bagi kami jelas permasalahan ini tidaklah mengkafirkan para sahabat. Jika dikatakan para sahabat keliru maka itu benar tetapi kekeliruan mereka tidaklah sama untuk masing-masing orang. Mereka sahabat yang berduyun-duyun mengajak orang membaiat Abu Bakar tidaklah sama dengan sahabat yang ikut membaiat karena sekelompok sahabat telah membaiat Abu Bakar.

Jika baiat telah ditetapkan oleh sebagian orang dari kaum muslimin maka mereka yang menyelisihi akan beresiko diperangi oleh kaum muslimin tersebut. Jadi dapat dipahami kalau sebagian sahabat berijtihad untuk membaiat Abu Bakar karena ia telah dibaiat terlebih dahulu oleh sebagian orang. Begitu pula dalam kasus Umar, mereka para sahabat hanya mengikuti wasiat Abu Bakar yang menurut mereka baik. Seandainya pun ada sahabat yang menentang penunjukkan Umar maka tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali mengikuti sebagian orang yang telah berbaiat terlebih dahulu kepada Umar.

Dalam kasus Utsman penetapan khalifah adalah melalui mekanisme Syura’ yang ditetapkan Khalifah Umar. Tentu saja para sahabat menganggap bahwa keputusan Syura’ lah yang sebaiknya mereka ikuti. Seandainya pun ada yang tidak setuju kepada pengangkatan Utsman maka tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali ikut membaiat khalifah Utsman yang telah dibaiat terlebih dahulu oleh sebagian yang lain. Bagi kami perkara para sahabat membaiat ketiga khalifah adalah ijtihad yang mereka lakukan mungkin baik menurut mereka atau mungkin itulah yang bisa mereka lakukan. Tidak ada urusan bagi kami untuk mengkafirkan mereka para sahabat.

Kepemimpinan Imam Ali telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil shahih. Bagi yang menyelisihi maka sudah jelas keliru dan kekeliruan ini tergantung kadar masing-masing mereka. Bukankah telah diriwayatkan dalam kitab Tarikh sekelompok sahabat yang pada awalnya menolak membaiat Abu Bakar, sebagian mereka berkumpul di rumah Sayyidah Fathimah sehingga Umar berniat mau membakar rumah Sayyidah Fathimah karena perkumpulan ini. Lihatlah baik-baik perkara baiat atau kekhalifahan ini sangat rentan sekali menimbulkan perpecahan bahkan Sayyidah Fathimah putri tercinta Nabi SAW tidak membuat hati Umar gentar.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ ، حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ ، عْن أَبِيهِ أَسْلَمَ ؛ أَنَّهُ حِينَ بُويِعَ لأَبِي بَكْرٍ بَعْدَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، كَانَ عَلِيٌّ وَالزُّبَيْرُ يَدْخُلاَنِ عَلَى فَاطِمَةَ بِنْتِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، فَيُشَاوِرُونَهَا وَيَرْتَجِعُونَ فِي أَمْرِهِمْ ، فَلَمَّا بَلَغَ ذَلِكَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ خَرَجَ حَتَّى دَخَلَ عَلَى فَاطِمَةَ ، فَقَالَ : يَا بِنْتَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، وَاللهِ مَا مِنْ الْخَلْقِ أَحَدٌ أَحَبَّ إِلَيْنَا مِنْ أَبِيك ، وَمَا مِنْ أَحَدٍ أَحَبَّ إِلَيْنَا بَعْدَ أَبِيك مِنْك ، وَأَيْمُ اللهِ ، مَا ذَاكَ بِمَانِعِيَّ إِنَ اجْتَمَعَ هَؤُلاَءِ النَّفَرُ عِنْدَكِ ، أَنْ آمُرَ بِهِمْ أَنْ يُحَرَّقَ عَلَيْهِمَ الْبَيْتُ قَالَ : فَلَمَّا خَرَجَ عُمَرُ جَاؤُوهَا ، فَقَالَتْ : تَعْلَمُونَ أَنَّ عُمَرَ قَدْ جَاءَنِي ، وَقَدْ حَلَفَ بِاللهِ لَئِنْ عُدْتُمْ لَيُحَرِّقَنَّ عَلَيْكُمَ الْبَيْتَ ، وَأَيْمُ اللهِ ، لَيَمْضِيَنَّ لِمَا حَلَفَ عَلَيْهِ ، فَانْصَرِفُوا رَاشِدِينَ فَرُوْا رَأْيَكُمْ ، وَلاَ تَرْجِعُوا إِلَيَّ ، فَانْصَرَفُوا عنها ، فَلَمْ يَرْجِعُوا إِلَيْهَا ، حَتَّى بَايَعُوا لأَبِي بَكْرٍ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bisyr telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Umar telah menceritakan kepada kami Zaid bin Aslam dari Aslam Ayahnya yang berkata ”Ketika Bai’at telah diberikan kepada Abu Bakar sepeninggal Rasulullah SAW. Ali dan Zubair masuk menemui Fatimah binti Rasulullah, mereka bermusyawarah dengannya mengenai urusan mereka. Sehingga ketika Umar menerima kabar ini Ia bergegas menemui Fatimah dan berkata ”Wahai Putri Rasulullah SAW demi Allah tidak ada seorangpun yang lebih aku cintai daripada ayahmu dan setelah Ayahmu tidak ada yang lebih aku cintai dibanding dirimu tetapi demi Allah hal itu tidak akan mencegahku jika orang-orang ini berkumpul di sisimu untuk kuperintahkan agar rumah ini dibakar bersama mereka yang ada di dalam rumah”. Ketika Umar pergi, mereka datang dan Fatimah berbicara kepada mereka “tahukah kalian kalau Umar datang kemari dan bersumpah akan membakar rumah ini jika kalian kemari. Aku bersumpah demi Allah ia akan melakukannya jadi pergilah dan jangan berkumpul disini”. Oleh karena itu mereka pergi dan tidak berkumpul disana sampai mereka membaiat Abu Bakar [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 14/567 no 38200 dengan sanad shahih sesuai syarat Bukhari Muslim].

Mungkin dalam pandangan Umar apa yang ia lakukan adalah untuk menegakkan kebenaran karena baiat telah ditetapkan kepada Abu Bakar. Jika Putri tercinta Nabi SAW sendiri mendapat perlakuan seperti itu maka apalagi sahabat lain yang kemuliaannya sangat jauh dibawah Sayyidah Fathimah. Sehingga dapat dimaklumi pasca persitiwa ancaman pembakaran rumah Sayyidah Fathimah, sebagian sahabat yang awalnya tidak mau membaiat malah ikut membaiat Abu Bakar. Nah kedudukan mereka ini jelas tidak sama dengan kedudukan sahabat yang dari awal membaiat Abu Bakar atau dari awal mengajak orang berduyun-duyun untuk membaiat Abu Bakar. Salafy tidak bisa memahami perincian seperti ini karena pikiran mereka memiliki arah yang sama yaitu taklid terhadap para ulama mereka.

Apakah salafy nashibi itu menganggap sahabat Nabi tidak bisa salah?. Lantas bagaimana dengan berbagai hadis shahih yang meriwayatkan kesalahan sebagian sahabat. Apakah menyatakan kesalahan sahabat berarti mengkafirkan sahabat? Atau jangan-jangan salafy meyakini kalau para sahabat terbebas dari kesalahan
Satu lagi syubhat yang dilontarkan oleh Salafy nashibi yaitu mengakui kepemimpinan Imam Ali sepeninggal Nabi SAW adalah akidah syiah rafidhah yang sesat lagi menyesatkan. Hal ini jelas contoh lain betapa pikiran para salafy itu tidak bisa membedakan umum dan khusus, tidak bisa membedakan garis besar dan perincian, tidak bisa membedakan keseluruhan dan sebagian. Perkara Syiah rafidhah meyakini kepemimpinan Imam Ali sepeninggal Nabi SAW itu sudah jelas tetapi tidak setiap mereka yang mengakui kepemimpinan Imam Ali dikatakan Syiah rafidhah. Kami pribadi mengakui kepemimpinan Imam Ali sepeninggal Nabi SAW dan kami bukanlah Syiah rafidhah. Kami mengakui kepemimpinan Imam Ali sepeninggal Nabi SAW karena dalil-dalil yang sahih menyatakan demikian. Kami berpegang pada dalil bukannya taklid terhadap ulama tertentu.

Apakah ketika sebagian ulama membolehkan menjamak shalat wajib tidak saat berpergian dan tidak pula karena hujan, maka ulama tersebut dikatakan Syiah rafidhah?. Apakah ketika Ibnu Umar dan Ali bin Husain menyatakan lafaz azan Hayya ‘Ala Khayru Amal, maka keduanya dikatakan Syiah rafidhah?. Apakah berpegang pada Kitab Allah dan Itrah Ahlul Bait Rasul, dikatakan syiah rafidhah?. Kemana akal kalian wahai salafy nashibi, tidakkah kalian melihat hadis-hadis shahih telah menyebutkan semua perkara tersebut. Ingat baik-baik yang mengaku berpegang pada Sunnah bukan hanya kalian semata, banyak mahzab lain dan individu-individu lain yang tidak terikat mahzab tertentu juga berjuang untuk berpegang pada sunnah. Jika kesimpulan mereka berbeda dengan kalian maka tidak perlu kalian menjadi seperti orang kerasukan, bantah sana bantah sini seolah kalian pemegang mutlak kebenaran. Ingatlah Agama Islam tidak selebar daun keladi salafy.

__________________________________________________
Hadis Imam Ali Adalah Saudara Nabi Pewaris Nabi dan Wazir Nabi.
Telah diriwayatkan dalam hadis shahih kalau imam Ali telah mewarisi Nabi SAW. Hal ini diakui oleh Qutsam bin Abbas RA. Beliau adalah putra dari paman Nabi SAW. Al Ijli menyebutkan kalau Qutsam bin Abbas RA termasuk sahabat Nabi SAW [Ma’rifat Ats Tsiqah no 1514].

أخبرنا أبو النضر محمد بن يوسف الفقيه ثنا عثمان بن سعيد الدارمي ثنا النفيلي ثنا زهير ثنا أبو إسحاق قال عثمان وحدثنا علي بن حكيم الأودي وعمر بن عون الواسطي قالا ثنا شريك بن عبد الله عن أبي إسحاق قال سألت قثم بن العباس كيف ورث علي رسول الله صلى الله عليه وسلم دونكم قال لأنه كان أولنا به لحوقا وأشدنا به لزوقا

Telah mengabarkan kepada kami Abu Nadhr Muhammad bin Yusuf Al Faqih yang berkata telah menceritakan kepada kami Utsman bin Sa’id Ad Darimi yang berkata telah menceritakan kepada kami An Nufaili yang berkata telah menceritakan kepada kami Zuhair yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Ishaq. Utsman [Ad Darimi] berkata dan telah menceritakan kepada kami Ali bin Hakim Al Awdiy dan ‘Amru bin ‘Awn Al Wasithi yang keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Syarik bin Abdullah dari Abu Ishaq yang berkata aku bertanya kepada Qutsam bin Abbas “bagaimana Ali bisa mewarisi Nabi SAW tanpa kalian?” Ia berkata “karena diantara kami Ali adalah orang yang pertama mengikuti Nabi dan orang yang paling dekat kedudukannya di sisi Beliau” [Mustadrak Shahihain 3/136 no 4633].

Hadis ini adalah hadis shahih. Al Hakim dan Adz Dzahabi telah bersepakat menshahihkannya. Para perawi hadis ini terpercaya hanya saja Zuhair dikatakan meriwayatkan dari Abu Ishaq setelah ikhtilat tetapi riwayat Zuhair telah dikuatkan oleh riwayat Syarik dari Abu Ishaq dimana Syarik adalah orang yang tsabit riwayatnya dari Abu Ishaq bahkan lebih tsabit dari Israil, Zuhair dan Zakaria. Oleh karena itu hadis ini shahih. Hadis ini memiliki dua jalan sanad yaitu:
* Abu Nadhr Muhammad bin Yusuf dari Utsman Ad Darimi dari Nufaili dari Zuhair dari Abu Ishaq dari Qutsam bin Abbas.
* Abu Nadhr Muhammad bin Yusuf dari Utsman Ad Darimi dari Ali Al Awdiy dan ‘Amru bin ‘Awn dari Syarik dari Abu Ishaq dari Qutsam bin Abbas.
Kedua jalan ini saling menguatkan dan para perawinya terpercaya hanya saja Syarik diperbincangkan tetapi tsabit riwayatnya dari Abu Ishaq dan Zuhair disepakati tsiqah tetapi dikatakan kalau ia meriwayatkan setelah Abu Ishaq ikhtilath.
* Abu Nadhr Muhammad bin Yusuf Al Faqih adalah Abu Nadhr Ath Thusi Al Imam Al Hafizh Al Faqih Al Allamah Al Qudwah Syaikh Al Islam sebagaimana yang disebutkan oleh Adz Dzahabi [As Siyar 15/490 no 276].
* Utsman bin Sa’id Ad Darimi disebutkan oleh Adz Dzahabi sebagai Muhaddis Al Hafizh Al Imam Al Hujjah [Tadzkirah Al Huffadz 2/146 no 648].
* An Nufaili adalah Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Nufail seorang hafizh yang tsiqat [At Taqrib 1/531]. Abu Hatim, Nasa’i, Daruquthni, Ibnu Hibban dan Ibnu Qani’ menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 6 no 21]. Ali bin Hakim Al Awdiy adalah seorang perawi yang tsiqat [At Taqrib 1/693]. Ibnu Ma’in, Nasa’i dan Muhammad bin Abdullah Al Hadhrami menyatakan tsiqat. Abu Hatim dan Abu Dawud menyatakan “shaduq” [At Tahdzib juz 7 no 529]. ‘Amru bin ‘Awn Al Wasithi adalah seorang yang tsiqat tsabit [At Taqrib 1/742]. Al Ijli, Abu Hatim, Ibnu Hibban dan Maslamah menyatakan tsiqat. Abu Zar’ah berkata “aku tak pernah melihat orang yang lebih tsabit darinya” [At Tahdzib juz 8 no 129].
* Zuhair bin Muawiyah adalah adalah seorang yang tsiqat tsabit kecuali ia mendengar Abu Ishaq di akhir umurnya [At Taqrib 1/317]. Ibnu Ma’in, Abu Zur’ah, Al Ijli, Ibnu Sa’ad, Nasa’i, Al Bazzar dan Ibnu Hibban menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 3 no 648]. Syarik bin Abdullah An Nakha’i perawi Bukhari dalam Ta’liq Shahih Bukhari, Muslim dan Ashabus Sunan. Ibnu Ma’in, Al Ijli, Ibrahim Al Harbi menyatakan ia tsiqat. Nasa’i menyatakan “tidak ada masalah padanya”. Ahmad berkata “Syarik lebih tsabit dari Zuhair, Israil dan Zakaria dalam riwayat dari Abu Ishaq”. Ibnu Ma’in lebih menyukai riwayat Syarik dari Abu Ishaq daripada Israil. [At Tahdzib juz 4 no 587]. Dan riwayat Syarik di atas dari Abu Ishaq maka riwayat tersebut tsabit dan shahih. Riwayat Zuhair dan Syarik dari Abu Ishaq saling menguatkan sehingga riwayat ini memang tsabit dari Abu Ishaq.
* Abu Ishaq adalah Amru bin Abdullah As Sabi’i perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ahmad, Ibnu Ma’in, Nasa’i, Abu Hatim, Al Ijli menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 8 no 100].

Hadis shahih di atas adalah pernyataan Qutsam bin Abbas RA yang mewakili keluarga Abbas. Imam Ali sendiri juga mengakui kalau dirinya adalah pewaris Nabi SAW sebagaimana yang disebutkan dalam hadis shahih riwayat Nasa’i berikut:

أخبرنا الفضل بن سهل قال حدثنا عفان بن مسلم قال حدثنا أبو عوانة عن عثمان بن المغيرة عن أبي صادق عن ربيعة بن ناجد أن رجلا قال لعلي يا أمير المؤمنين لم ورثت ابن عمك دون عمك قال جمع رسول الله أو قال دعا رسول الله بني عبد المطلب فصنع لهم مدا من طعام قال فأكلوا حتى شبعوا وبقي الطعام كماهو كأنه لم يمس ثم دعا بغمر فشربوا حتى رووا وبقي الشراب كأنه لم يمس أو لم يشرب فقال يا بني عبد المطلب إني بعثت إليكم بخاصة والى الناس بعامة وقد رأيتم من هذه الآية ما قد رأيتم فأيكم يبايعني على أن يكون أخي وصاحبي ووارثي ووزيري فلم يقم إليه أحد فقمت إليه وكنت أصغر القوم سنا فقال اجلس ثم قال ثلاث مرات كل ذلك أقوم إليه فيقول اجلس حتى كان في الثالثة ضرب بيده على يدي ثم قال أنت أخي وصاحبي ووريثي ووزيري فبذلك ورثت ابن عمي دون عمي

Telah mengabarkan kepada kami Fadhl bin Sahl yang berkata menceritakan kepada kami ‘Afan bin Muslim yang berkata menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Utsman bin Mughirah dari Abi Shadiq dari Rabi’ah bin Najd bahwa seorang laki-laki berkata kepada Ali “Bagaimana kamu bisa mewarisi saudara sepupumu [Rasulullah SAW] dan bukan pamanmu?. Ali berkata “Rasulullah SAW pernah mengumpulkan atau memanggil keluarga bani Abdul Muthallib dan Beliau menyediakan satu mud makanan untuk mereka. Merekapun makan sampai kenyang dan makanan itu tetap seperti semula seolah-olah tidak ada yang menyentuhnya. Kemudian Rasulullah SAW meminta satu bejana kecil air, merekapun meminumnya hingga rasa haus mereka hilang tetapi air itu tetap seperti semula seolah-olah tidak ada yang menyentuh atau meminumnya. Rasulullah SAW berkata “Wahai bani Abdul Muthallib aku diutus kepada kalian secara khusus dan kepada semua manusia secara umum, sungguh kalian telah melihat tanda ini seperti yang kalian lihat. Maka barangsiapa diantara kalian yang membaiat [mengikuti] aku, ia akan menjadi SaudaraKu, SahabatKu, PewarisKu dan WazirKu?. Tidak ada satu orangpun yang berdiri maka aku pun berdiri menghampiri Beliau sedangkan aku adalah yang termuda diantara mereka. Rasulullah SAW berkata kepadaku “duduklah”. Rasulullah SAW mengulangi ucapannya sebanyak tiga kali dan setiap kali aku berdiri, Beliau berkata “duduklah” sampai pada kali ketiga Beliau meletakkan tangannya di tanganku dan berkata “Engkau adalah SaudaraKu, SahabatKu, PewarisKu, dan WazirKu”. [Ali berkata] oleh karena itu akulah yang mewarisi sepupuku dan bukan pamanku. [Khasa’is An Nasa’i no 66].

Hadis ini sanadnya shahih. Diriwayatkan oleh para perawi tsiqat dan Rabi’ah bin Najd adalah tabiin yang meriwayatkan dari Ali dan dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Hibban dan Al Ijli.
* Fadhl bin Sahl bin Ibrahim Al ‘Araaj adalah perawi Bukhari Muslim, Abu Dawud Nasai dan Tirmidzi yang tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Abu Hatim berkata “shaduq”. An Nasa’i berkata “tsiqat” [At Tahdzib juz 8 no 508]. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [At Taqrib 2/11].
* ‘Afan bin Muslim adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Al Ijli berkata “tsiqat tsabit”. Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat banyak meriwayatkan hadis, tsabit dan hujjah”. Ibnu Khirasy berkata “tsiqat orang yang paling baik dari kaum muslimin”. Ibnu Qani’ berkata “tsiqat ma’mun”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 7 no 424]
* Abu Awanah adalah Wadhdhah bin Abdullah Al Yasykuri seorang perawi kutubus sittah yang tsiqat. Abu Hatim, Abu Zar’ah, Ahmad, Ibnu Sa’ad, Ibnu Abdil Barr menyatakan ia tsiqat. [At Tahdzib juz 11 no 204]. Al Ajli menyatakan ia tsiqah [Ma’rifat Ats Tsiqat no 1937].Ibnu Hajar menyatakan Abu Awanah tsiqat tsabit [At Taqrib 2/283] dan Adz Dzahabi juga menyatakan ia tsiqat [Al Kasyf no 6049].
* Utsman bin Mughirah Ats Tsaqafi adalah perawi Bukhari dan Ashabus Sunan. Ahmad, Ibnu Ma’in, Abu Hatim, Nasa’i, Abdul Ghani bin Sa’id, Ibnu Hibban, Al Ijli dan Ibnu Numair menyatakan ia tsiqah [At Tahdzib juz 7 no 306]. Ibnu Hajar menyatakan “tsiqat” [At Taqrib 1/665]
* Abu Shadiq Al Azdi Al Kufy adalah perawi Nasa’i dan Ibnu Majah yang tsiqat. Abu Hatim berkata “hadis-hadisnya lurus”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Yaqub bin Syaibah menyatakan tsiqat. [At Tahdzib juz 12 no 605]. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [At Taqrib 2/417]
* Rabi’ah bin Najd Al Azdi Al Kufy adalah seorang tabiin yang tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan Al Ijli berkata “tsiqat” [At Tahdzib juz 3 no 498]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat” [At Taqrib 1/298]. Adz Dzahabi menyatakan ia tidak dikenal [Mizan Al ‘Itidal juz 2 no 2758]. Pernyataan Dzahabi ini tertolak karena tidak dikenal di kalangan mutaqaddimin yang menyatakan kalau Rabi’ah seorang yang tidak dikenal bahkan mereka mengenalnya sebagai saudara Abi Shadiq dan dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Hibban dan Al Ijli. Al Bukhari menyebutkan biografi tentangnya tanpa menyebutkan jarh maupun ta’dil [Tarikh Al Kabir juz 3 no 966]. Apalagi Rabi’ah dikenal sebagai golongan tabiin yang meriwayatkan dari Ali sehingga tuduhan terhadapnya harus memiliki bukti yang kuat. Pendapat yang benar Rabi’ah adalah seorang tabiin yang tsiqat dan pendapat Adz Dzahabi tidak berdasar hanya dikarenakan ketidaksukaannya terhadap hadis keutamaan Imam Ali yang diriwayatkan oleh Rabi’ah bin Najd.

Hadis ini menjadi bukti nyata kalau Imam Ali sendiri mengakui kalau dirinya adalah pewaris Nabi SAW saudara dan sahabat Nabi serta Wazir Nabi SAW. Dan pengakuan Imam Ali ini berdasarkan pernyataan Rasulullah SAW sendiri yang menyebutkan dengan jelas kalau Imam Ali adalah saudara sahabat pewaris dan wazir bagi Beliau SAW. Tentu saja kedudukan Imam Ali ini di sisi Beliau SAW adalah kedudukan yang tinggi melebihi semua sahabat yang lain termasuk Abu Bakar dan Umar. Salam Damai.

________________________________________________________
Shahih : Imam Ali Pelaksana Tugas Nabi SAW.
Diantara tugas Nabi SAW adalah memimpin umatnya memberikan pengajaran memberi petunjuk ke jalan yang lurus agar umatnya tidak tersesat. Sepeninggal Beliau SAW maka tugas ini seharusnya dilaksanakan oleh pribadi yang dikatakan oleh Nabi SAW bahwa ia adalah pegangan bagi umat islam agar tidak tersesat. Pribadi yang dikatakan Nabi SAW kalau ia akan memberikan petunjuk ke jalan yang lurus dan Pribadi yang selalu bersama kebenaran. Beliau adalah Imam Ali AS

أخبرنا أحمد بن سليمان قال أنا يحيى بن آدم قال أنا إسرائيل عن أبي إسحاق قال حدثني حبشي بن جنادة السلولي قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم علي مني وأنا منه ولا يؤدي عني إلا أنا أو علي

Telah mengabarkan kepada kami Ahmad bin Sulaiman yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Adam yang berkata telah menceritakan kepada kami Israil dari Abi Ishaq yang berkata telah menceritakan kepadaku Hubsyi bin Junadah As Saluliy yang berkata Rasulullah SAW bersabda “Ali dariku dan Aku dari Ali dan tidak ada yang melaksanakan [tugas] dariku kecuali Aku atau Ali” [Sunan Nasa’i 5/45 no 8147].

Hadis ini juga diriwayatkan dalam Sunan Tirmidzi 5/636 no 3719 dan Sunan Ibnu Majah 1/86 no 119 dari jalan Syarik dari Abu Ishaq dari Hubsy bin Junadah dari Rasulullah SAW. Kedudukan hadis ini adalah shahih diriwayatkan oleh para perawi yang terpercaya.
* Ahmad bin Sulaiman adalah Ahmad bin Sulaiman bin Abdul Malik perawi An Nasa’i yang tsiqat. Nasa’i berkata “tsiqat ma’mun”. Abu Hatim berkata “shaduq tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 1 no 60]. Ibnu Hajar menyatakan “tsiqat” [At Taqrib 1/35 no 43]
* Yahya bin Adam adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in, Nasa’i, Abu Hatim, Yaqub bin Syaibah, Ibnu Sa’ad, Al Ijli, Ibnu Hibban, Ibnu Syahin dan Yahya bin Abi Syaibah menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 11 no 300]. Ibnu Hajar menyatakan “hafizh tsiqat fadhl” [At Taqrib 2/296]
* Israil adalah Israil bin Yunus perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Abu Hatim, Yaqub bin Syaibah, Al Ajli, Muhammad bin Abdullah bin Numair, Ibnu Sa’ad dan Ibnu Hibban menyatakan ia tsiqat. Nasa’i menyatakan “tidak ada masalah padanya”. [At Tahdzib juz 1 no 496]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/88]
* Abu Ishaq adalah Amru bin Abdullah As Sabi’i perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ahmad, Ibnu Ma’in, Nasa’i, Abu Hatim, Al Ijli menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 8 no 100]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/739].
* Hubsy bin Junadah As Saluliy adalah sahabat Nabi yang menyaksikan haji wada dan tinggal di kufah. Ibnu Hajar menyatakan kalau ia seorang sahabat Nabi [At Taqrib 1/182].

Tidak diragukan lagi kalau hadis ini shahih dan menjadi bukti keutamaan yang tinggi bagi Imam Ali diatas semua sahabat yang lain termasuk Abu Bakar dan Umar. Beliau Imam Ali AS adalah satu-satunya sahabat yang telah dikhususkan oleh Nabi SAW. Bukankah perkataan Nabi SAW “kecuali Aku atau Ali” menunjukkan betapa khususnya keutamaan Imam Ali disisi Nabi SAW melebihi semua sahabat yang lain termasuk Abu Bakar dan Umar.

Seperti biasa para pengingkar akan menyebarkan syubhat dan dalih untuk mengingkari keutamaan Imam Ali ini. Diantaranya mereka akan mengatakan kalau hal ini hanya terkait persitiwa tertentu saja dan tidak untuk seterusnya. Bukankah dalih seperti ini yang bisa mereka sebarkan ketika mereka tidak menemukan jalan untuk mencacatkan hadis yang sangat jelas shahih. Mungkin para pembaca masih ingat bagaimana para pengingkar ini menyikapi hadis manzilah bahwa kedudukan Imam Ali di sisi Nabi SAW seperti kedudukan Harun disisi Musa. Mereka tidak punya jalan untuk mengingkari keshahihan hadis manzilah dan satu-satunya cara mereka adalah menyebarkan syubhat bahwa hadis tersebut hanya berlaku saat perang tabuk saja dan tidak untuk seterusnya. Padahal sangat jelas hadis manzilah inipun menjadi bukti akan keutamaan Imam Ali di atas Abu Bakar dan Umar. Bukankah tidak ada satupun diantara umat Musa AS yang lebih utama daripada Harun AS maka begitu pulalah tidak ada satupun diantara sahabat atau umat Nabi Muhammad SAW yang lebih utama dari Imam Ali. Mereka para pengingkar tidak henti-hentinya mengaku mencintai Imam Ali tetapi sikap mereka selalu merasa risih kalau Imam Ali menjadi sahabat yang paling utama melebihi Abu Bakar dan Umar.

_______________________________________________
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: