Pesan Rahbar

Home » » Muqaddimah Syiah Rafidhah, Ternyata Syiah Rafidhah itu adalah Wahabi itu sendiri.

Muqaddimah Syiah Rafidhah, Ternyata Syiah Rafidhah itu adalah Wahabi itu sendiri.

Written By Unknown on Monday, 7 July 2014 | 06:28:00



Buku ini ditulis menyusul polemik Sunnah-Syi`ah di dalam surat kabar-surat kabar lokal sejak akhir-akhir ini. la menimbulkan berbagai tanggapan, hingga ada di antara masyarakat yang konon memilih jalan tengah dalam soal ini dengan mengambil sikap bahwa isu Sunnah-Syi`ah adalah suatu isu yang tidak sepakat pendapat para ulama mengenainya sejak dahulu sampai sekarang. Ada di antara ulama yang mengkafirkan Syi`ah dan ada pula di antara mereka yang menganggap Syi`ah sebagai salah satu mazhab di dalam Islam, tak ubah seperti kedudukan mazhab Maliki atau Hanafi.

Jika demikianlah keadaan ulama dari dahulu sampai sekarang, kenapakah kita sibuk berpolemik dan bertengkar tentangnya?

Walaupun mereka berada di dalam kebingungan lantaran perbedaan pendapat ulama tentang isu ini, tetapi mereka pada hakikatnya telah memilih satu sikap. Lebih menyedihkan lagi, ada satu golongan dari masyarakat kita yang menganggap Syi`ah lebih baik dan lebih kukuh hujjahnya dari Ahlus Sunnah, maka mereka terus mengamalkan ajaran-ajaran Syi`ah atau coba mempengaruhi orang lain kepada pemahaman Syi`ah pada hal mereka sendiri pun masih belum lagi mengenali hakikat Syi`ah yang sebenarnya.

Di dalam buku kecil ini, kita akan membentangkan titik-titik perbedaan di antara ulama yang berbeda-beda pendapat itu. Kita akan coba membentangkan faktor-faktor yang menyebabkan para ulama tidak sekata di dalam soal ini. Benarkah Syi`ah itu hanya satu mazhab dari mazhab-mazhab dalam Islam atau ia bukan dan ajaran Islam?

Untuk menentukan perkara ini, bukanlah satu perkara mudah. la memerlukan satu kajian yang mendalam dan penelitian terhadap buku-buku yang pernah ditulis oleh ulama Islam tentang isu ini. Keputusan tentangnya tidak harus dibuai semata-mata berdasarkan kabar-kabar angin atau berdasarkan fatwa-fatwa yang tidak berasaskan kajian ilmiah, karena jika Syi`ah Islam, berarti kita telah menuduh satu golongan Islam sebagai bukan Islam dan ini tentunya merupakan satu fitnah yang sangat besar. Tetapi jika Syi`ah bukan Islam, bererti kita membuka jalan kebinasaan atas nama Islam kepada generasi seterusnya dan tentunya dosa ini akan ditanggung oleh ahli-ahli ilmu yang abai di dalam melaksanakan tanggungjawabnya.

Sampai masa ini masih belum kedengaran lagi fatwa yang jelas daripada mana-mana badan agama di tanah air kita secara tegas dan terbuka, walaupun ada beberapa buah buku terbitan institusi-institusi keagamaan seperti Majlis Agama Islam Kelantan dan Perak yang memasukkan Syi`ah Imamiyah Itsna `Asyariyah ke dalam deretan ajaran-ajaran sesat.

Kita kira sudah sampai masanya pihak-pihak yang berkenaan mengambil inisiatif untuk memberikan perhatian khusus mengenai soal ini, mengingat telah nyata dari tulisan-tulisan golongan yang pro-Syi`ah sikap yang tidak sewajarnya ada pada seorang Muslim, lebih-lebih lagi kalau ia mempunyai kedudukan yang penting di dalam institusi yang bercorak keagamaan. 

Golongan pro-Syi`ah ini sanggup mengeluarkan beberapa pandangan yang lahir dari pada ajaran Syi`ah seperti mengkafirkan Sayidina `Utsman Radhiyallahu ‘Anh, menuduh sewenang-wenang terhadap imam-imam seperti Bukhari, Muslim, dan sebagainya, dan memfitnah para mujtahid seperti Imam Abu Hanifah dengan mengatakan umpamanya beliau berpendapat perempuan pelacur yang mengambil upah tidak dikenakan had dan rujukan yang diberi ialah Al Muhalla karangan Ibnu Hazm (jilid 3 halaman 350) padahal setelah diteliti melalui dua edisi terbitan Mesir dan Beirut, kenyataan itu tidak ada sama sekali.

Kita berharap para pembaca sekalian dapat mengikuti pembahasan di dalam buku ini dengan dada yang terbuka dan hati yang ikhlas demi mencari kebenaran. Kepada para ulama tanah air, saya berharap agar mereka jangan hanyut dengan semangat semata-mata ketika menentukan soal Sunnah-Syi`ah ini. Mereka seharusnya mengeluarkan suatu pernyataan melalui ucapan atau tulisan, setelah membuat kajian dan penyelidikan yang rnendalam karena para ulama yang lalai dan abai sehingga mengakibatkan kerusakan `aqidah ummat akan disoal dan dipertanggungjawabkan ke atas mereka dan mereka akan menanggung dosa keabaian dan kelalaiannya sendiri di samping menanggung juga dosa orang-orang yang telah sesat karena keabaian dan kelalaiannya, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Siapa yang mengadakan dalam Islam suatu cara atau jalan kebaikan, ia akan mendapat pahalanya dan pahala orang yang beramal dengannya sesudahnya dengan tidak kurang sedikitpun pahala mereka. Dan siapa yang mengadakan dalam Islam suatu jalan keburukan, ia akan menanggung dosanya dan dosa orang yang beramal dengannya sesudahnya dengan tidak kurang sedikitpun dosa mereka.” (HR Muslim, Nasa’i, Ahmad)

Muhammad `Asri Yusoff.
Kubang Kerian.
2 Agustus 1989.

Fondasi Agama Syiah Rafidhah.

Oleh: AM Waskito

Dalam tulisan sederhana ini, kita akan coba jelaskan asal-usul agama Syiah Imamiyah (Rafidhah). Meskipun penjelasan seputar tema ini sudah banyak, tidak ada salahnya terus kita jelaskan. Dalam riwayat, Nabi Shallallah ‘Alaihi Wasallam menasehatkan, “Ceritakan tentang Bani Israil sebanyak-banyaknya.” Karena di antara sekte-sekte yang lahir dalam sejarah Islam, yang paling dekat tabiatnya dengan Yahudi, adalah Syiah Imamiyah; maka tidak ada salahnya kita banyak-banyak bicara tentang agama paganisme ini.

Mari kita mulai mengkaji masalah ini, semoga Allah memberikan ilmu, hidayah, dan taufik untuk menetapi yang diridhai-Nya, amin ya Rahiim.

[1]. Kajian ini dimulai dari sebuah ayat berikut: “Qul athi’ullaha war rasula, fa in tawal-lau fainnallaha laa yuhibbul kafirin” (Katakanlah -wahai Muhammad Shallallah ‘Alaihi Wasallam-: Taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya, maka jika kalian berpaling (dari ketaatan itu), maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir). /Surat Ali Imran: 32. Ayat ini menjadi sebuah pedoman; bahwa sikap taat kepada Allah dan Rasul-Nya adalah dasar keimanan. Siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, akan memiliki iman; sementara siapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya, akan perlahan-lahan terseret ke domain kekafiran.

[2]. Awal munculnya Syiah adalah kebencian kepada Syariat Islam itu sendiri. Pendiri sekte ini sejak awal memang kafir dan ingin menodai Islam dengan ajaran sesat yang dia rintis. Prinsip yang dia pegang ialah seperti analogi “bola salju”. Bola salju kalau dilemparkan dari atas dalam ukuran kecil, nanti sampai di bawah akan menjadi besar. Si perintis sekte ini sudah tahu bahwa Islam akan eksis sampai akhir zaman. Maka sejak zaman Salaf (permulaan Islam, pasca wafatnya Nabi), dia telah merintis aliran sesat yang mendompleng nama Islam. Logikanya, “Kalau sekte ini dibentuk pada hari ini (zaman Salaf), maka di akhir zaman ia akan menjadi sekte besar.” Terbukti perkiraan dia benar.

[3]. Kalau sebuah sekte dibentuk di atas simbol-simbol kejahatan, kekejian, serta amoralitas; dapat dipastikan sekte itu tak akan bertahan lama. Maka sekte itu, kalau ingin eksis yang lama, ia harus dikaitkan dengan simbol-simbol yang luhur, mulia, teladan, kharismatik, serta berwibawa. Itu simbolnya saja; sedangkan soal substansi bobrok, itu masalah lain. Pendiri sekte Syiah menjadikan Ahlul Bait Nabi sebagai simbol. Kalau mereka menjadikan dajjal, Abu Jahal, Fir’aun, atau iblis sebagai simbol; sesuai fitrah manusia, hal-hal seperti itu akan ditolak.

Dalam Surat Thaaha ayat 96, Samiri berkata kepada Musa As tentang perbuatannya, membuat patung sapi betina. “Qaala, bashartu bi maa lam yabshuru bihi, fa qabadh-tu qab-dhatan min atsarir rasul, fanabadz-tuha; wa kadzalika sawwalat li nafsi” (Samiri berkata: aku melihat apa yang tidak mereka lihat, lalu aku segenggam jejak Rasul, lalu aku lemparkan ia; demikianlah, hawa nafsuku membujukku). Perkataan Samiri ini menjadi landasan berbagai kelompok sesat. Mereka selalu bertumpu di atas simbol-simbol yang baik, untuk mempengaruhi, merayu, membujuk, serta mengendalikan orang-orang awam (lugu); lalu di atas simbol-simbol itu mereka membuat tipu-daya kesesatan.

[4]. Entah mengapa, perintis agama Syiah ini memilih Khalifah Ali Radhiyallahu ‘Anhu sebagai simbol. Padahal tokoh-tokoh lain yang luhur dan melegenda juga tidak sedikit. Tetapi intinya, si perintis itu (para ulama sering menyebutnya sebagai Abdullah bin Saba’) mulai memuja-muja Ali; dan menjadikan dirinya sebagai mata air sebuah sekte sesat. Secara politik, Khalifah Ali memang punya pendukung; tetapi hal ini dalam lingkup politik, tidak sampai masuk wilayah akidah. Pendukung Khalifah Ali sering disebut “Syi’atu ‘Ali” (pendukung Ali). Tetapi nuansa politik pada golongan itu seiring perubahan zaman, terus bergeser menjadi nuansa ideologi, dengan lahirnya kelompokkultus individu terhadap sosok Ali dan keluarganya. Hal itu semakin parah dengan terjadinya Tragedi Karbala, ketika Husein dan keluarganya Radhiyallahu ‘Anhum terbunuh di tangan pasukan Yazid bin Muawiyah. Peristiwa Karbala menjadi amunisi besar yang semakin mengokohkan dominasi kelompok kultus Ali itu.

[5]. Mayoritas akidah Syiah berdiri di atas kultus individu terhadap sosok Ali (dan keluarganya); maka Syiah tak ubahnya seperti agama Nasrani yang memuja dan menyembah Yesus; bahkan lebih parah, karena yang disembah Syiah lebih banyak. Semua cabang-cabang akidah Syiah bermula dari pemujaan terhadap sosok Ali. Bagi kaum Syiah, bicara soal hak Kekhalifahan Ali, merupakan akidah tertinggi, melebihi Tauhid kepada Allah. Orang Syiah tidak peduli dengan Tauhid; tetapi dalam soal pemujaan terhadap Ali, mereka nomer satu. Istilah khas yang mereka kerap katakan, hak wilayah Ali atau imamiyah Ali.

[6]. Demi membela hak wilayah (kepempinan) Ali, segala pranata Syariat Islam dilabrak oleh kaum Syiah. Mereka menuduh Jibril As salah memberikan Wahyu; mereka menuduh Al Qur’an kaum Muslimin sudah diubah-ubah para Shahabat; mereka meyakini bahwa Ali, Hasan, Husein, Fathimah, dan anak keturunan mereka punya sifat-sifat Rubbubiyyah; mereka membatalkan Syariat, membatalkan Sunnah, membatalkan ilmu; mereka melecehkan para isteri Nabi dan para Shahabat Radhiyallahu ‘Anhum; mereka halalkan yang haram-haram; mereka kafirkan kaum Muslimin; dan seterusnya. Semua itu dimunculkan demi memuaskan dahaga kultus individu terhadap Ali bin Abi Thalib. Di titik ini, agama Syiah serupa dengan agama NAZI yang memuja Hitler (sosok manusia), atau agama Ahmadiyah yang memuja Mirza Ghulam, atau agama-agama lain yang memuja manusia.

[7]. Adalah sulit bagi Syiah Imamiyah untuk memaafkan Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah, Hafshah, Ummu Salamah, dan para Shahabat yang lain Radhiyallahu ‘Anhum. Sulit dan sulit sekali; atau hampir mustahil. Mengapa demikian? Sebab konsekuensi dari memuja dan menyembah Ali, mengharuskan untuk mencaci-maki, merendahkan, menghina, dan melaknati para Shahabat Nabi yang mulia itu. Kok bisa begitu? Sebab dalam hidupnya, para Shahabat Nabi Saw bersikap proporsional dan obyektif terhadap Ali dan keluarganya. Mereka menghargai, mencintai, membela, mendukung; tetapi tidak sampai memuja dan mengkultuskan. Nah, sikap para Sahabat ini dianggap perintang terberat bagi sekte kultus Ali tersebut. Akhirnya, mereka jadikan para Sahabat Nabi sebagai sasaran hujatan, permusuhan, kebencian, bahkan laknatan. Meskipun, semua bentuk kejahatan mereka itu, mau tidak mau, akan mengenai diri mereka sendiri. Tidaklah mereka menghujat hamba-hamba yang diridhai Allah, melainkan mereka akan balas dimurkai oleh Allah Ta’ala. Demikianlah adanya.

[8]. Begitulah akhirnya Syiah menjadi agama tersendiri yang didalamnya bercampur-baur antara: Syiar tauhid dan kemusyrikan, keimanan dan kekufuran, amal shalih dan kejahatan, simbol kemuliaan dan kehinaan, syiar persatuan sekaligus persengketaan, kejujuran dan kebohongan, ilmu agama dan penindasan. Sepanjang masa Syiah terus mengganggu Ahlus Sunnah; karena agama mereka tidak akan tegak, tanpa inspirasi dari Syariat Islam; di sisi lain, amal shalih yang bisa Syiah lakukan ialah membenci, memusuhi, melecehkan, menipu, dan menikam Ahlus Sunnah. Mengapa demikian? Kaum Syiah seperti manusia yang sudah kecanduan narkoba. Mereka setiap hari mencaci-maki para Shahabat Nabi yang mulia; lalu Allah Al Aziz tenggelamkan hidup dan jiwa mereka ke dalam permusuhan, permusuhan, dan permusuhan, tanpa akhir. Dalam jiwa seorang Rafidhah, dia tidak bisa tenang, jika sehari saja lupa dari membenci kaum Ahlus Sunnah. Mata air eksistensi hidup mereka ada dalam kebencian itu.

Ada penuturan ayat Al Qur’an yang sangat menarik….
Tidakkah kamu mengetahui, orang-orang yang diberikan sebagian Al Kitab, mereka beriman kepada Jibti dan Thaghut, dan mereka berkata kepada orang-orang kafir (musyrik Makkah), ‘Semua ini lebih memberi petunjuk daripada jalannya orang-orang beriman (Muslim). Itulah orang-orang yang dilaknati oleh Allah dan siapa yang dilaknati Allah, engkau selamanya tidak akan menjumpai penolong baginya.” [An Nisaa': 51-52].

Ayat ini berkaitan dengan Ahli Kitab yang memuji dan terpengaruh oleh ajaran-ajaran paganisme. Namun ayat ini memiliki kesamaan dengan perilaku orang-orang Syiah Rafidhah. Kesamaannya pada 3 sisi:
(1). Syiah Rafidhah itu semula adalah orang-orang yang membaca Al Qur’an, atau menerima tuntunan Wahyu;
(2). Syiah Rafidhah lama-lama menukar ajaran Tauhid menjadi kemusyrikan (paganisme), dengan menyembah Ali, Hasan, Husein, Fathimah, dan imam-imam Syiah. Dari risalah Tauhid berubah menjadi kemusyrikan;
(3). Syiah Rafidhah menyenangi jalan paganisme itu, dan berbalik mencela jalan suci orang-orang beriman.
Dengan sikap seperti itu, maka Syiah pun menerima seperti yang diterima oleh kalangan Ahlul Kitab, yaitu: murka dan laknat Allah atas diri mereka. Na’udzubillah wa na’udzubillah tsumma na’udzubillah min dzalik.

[9]. Tetapi, ini kuncinya, bahwa kaum Syiah juga terkenal sangat pengecut. Dalam segala dendam, kebencian, dan permusuhan abadinya kepada Ahlus Sunnah (dan para Shahabat Nabi itu); tanpa kita sadari, mereka berlaku seperti orang-orang Bani Israil, yaitu sangat takut mati. Disebutkan dalam Surat Al Baqarah 96, bahwa: “Yawaddu ahaduhum lau yu’ammaru alfa sanatin, wa maa huwa bi muzahzihihi minal adzabi an yu’ammar, wallahu bashirun bi maa ya’maluun” (masing-masing mereka sangat senang andaikan bisa berumur 1000 tahun, dan tidaklah dia akan lepas dari adzab andaikan berumur panjang, dan Allah itu Maha Melihat apa yang mereka kerjakan). Kalau membaca sejarah, nyaris tidak ada satu pun tokoh pahlawan dari Syiah, sejak dulu sampai hari ini. Kalau pun mereka bisa berbuat aniaya, rata-rata karena di-back up oleh negara-negara Nasrani (dan Yahudi).

[10]. Bani Israil telah menyembah sapi betina, lalu Allah meresapkan sifat paganis itu ke dalam hati mereka. Kaum Syiah Rafidhah telah mencaci-maki para Shahabat Nabi Radhiyallahu ‘Anhum; lalu Allah resapkan ke dalam hati mereka rasa takut, rasa cemas, emosi, kedengkian, permusuhan, serta kegelisahan yang akut. Sungguh, orang-orang Syiah itu sudah sadar dan mengerti, bahwa mereka sedang berjalan menuju gerbang-gerbang kebinasaan; lalu mereka mencari teman, untuk menghibur diri menghadapi laknat, murka, dan siksa (jasmani-ruhani) dari Allah Ta’ala. Di balik statement-statement provokatif tokoh Syiah Bandung, Jalmat, sebenarnya tersembunyi ketakutan sangat hebat. Bukan kepada kita (manusia), tetapi kepada Allah yang selalu dia lecehkan agama dan Syariat-Nya.

Demikianlah sekilas tentang fondasi agama Syiah Rafidhah. Agama ini sangat complicated; segala bentuk sesat, durhaka, dan menyimpang, ada disini. Makanya kalau ada elit-elit di Indonesia yang tidak sadar akan kesesatan Syiah; bisa jadi, mereka adalah anggota Syiah; atau mereka mencari keuntungan politik dari pendukung Syiah; atau mereka mencari finansial dengan ide membela Syiah; atau memang mereka orang bodoh yang tidak tahu arah jalan.

Satu hal yang pasti: kaum Syiah menjadikan dendam dan permusuhan sebagai pokok agamanya, melebihi Tauhidullah; mereka mempertuhankan Ali, Hasan, Husein, Fathimah; mereka isi hidupnya dengan hanya dengki, dendam, permusuhan, dan kebencian; tetapi pada hakikatnya, mereka paling takut kematian; sebab dengan mati, mereka akan segera bisa mengetahui betapa beratnya murka Allah setelah kematian; karena murka yang sudah mereka rasakan dalam kehidupan sehari-hari pun sudah terlalu berat.

Berkenalan Dengan Syiah Di Indonesia.


Oleh: Kholili Hasib, M.A

Alumni Program Pasca Sarjana Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor Ponorogo.
Beberapa kalangan menyebut penganut Syi’ah di Indonesia berbeda dengan di Iran dan Irak. Salah satu diantaranya Prof. Dr. Nur Syam, Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya, di harian SURYA sabtu (31/12/2011) mengatakan bahwa Syi’ah di Indonesia telah ‘mengindonesia’. Beradaptasi dengan kultur Indoensia. Benarkah demikian?

Dalam konteks ini, menarik jika kita membaca hasil penelitian disertasi Prof. Dr. Mohammad Baharun, M.Ag di IAIN Surabaya tentang karakter Syi’ah Indonesia. Menurut Rektor Universitas Nasional Pasim Bandung ini, Syi’ah di Indonesia itu tidak monolitik. Meski begitu, penelitian Prof. Baharun selama bertahun-tahun itu menyimpulkan, bahwa mereka disatukan oleh satu doktrin esensial, yakni doktrin Imamah.

Ternyata, faktor perbedaan karakter Syi’ah di Indonesia itu bukan karena budaya, kultur keindonesiaan. Akan tetapi, tingkat pemahaman penganut Syi’ah terhadap doktrin Imamah itu yang melahirkan tipologi yang berbeda. Adapun faktor budaya dan kultur Indonesia hanya mewarnai kulitnya saja, tidak sampai kepada mengubah pandangan akidah, atau doktrin-doktrin utamanya. Kesimpulannya, pada dasarnya Syi’ah di Indonesia itu menurut Prof. Baharun sama dengan Syi’ah di Iran yakni Syi’ah Istna ‘Istna Asyariyah. Apalagi, penyebarannya dibawa oleh orang-orang Indonesia alumni Universitas Qom Iran.

Doktrin Utama.
Akidah yang paling sentral dan sifatnya mutlak dalam Syi’ah Itsna ‘Asyariyah adalah akidah Imamah. Mengimani dua belas Imam yang disebutnya ma’shum (bebas dari kesalahan), sebagaimana kema’shuman para Nabi. Dalam pengertian Syi’ah, Imammah ini bukan seperti Imamah dalam konsep Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Akan tetapi imamah adalah doktrin primer  dalam ideologi dan teologi.

Dalam pemahaman Ahlus Sunnah Imamah disebut pula khalifah, yaitu penguasa dan pemimpin tertinggi rakyat sesudah Nabi SAW. Kata imam pun disebut dalam al-Qur’an dengan berbagai bentuk, selain berarti pemimpin juga bermakna lain, misalnya yang disebut dalam QS. Al-Ahqaf Imam bermakna al-Qur’an. Kata imam juga memiliki arti pemimpin pasukan dan pengatur kemaslahatan (QS. Al-Baqarah: 24). Imam dalam pengertian di sini bukan pemimpin pengganti Nabi SAW.

Dalam hadis Nabi SAW, dapat ditemukan istilah-istilah imamah, khilafah, dan imarah yang semuanya bermakna pemimpin. Baik pemimpin shalat, atau pemimpin kenegaraan. seperti hadis Nabi SAW yang menyuruh Abu Bakar r.a mempimpin shalat ketika Nabi SAW sedang sakit. “Dari Abdullah ia berkata: Ketika Rasulullah SAW wafat, maka kaum Anshar berkata: “Sebaiknya dari kami dipilih seorang pemimpin dan dari kalian seorang pemimpin.” Umar ra bertanya;” Apakah kalian tidak tahu bahwa Rasulullah SAW memilih Abu Bakar untuk menjadi imam dalam shalat?” Karena itu jika salah satu dari kalian yang lebih afdhal dari Abu Bakar, maka belakangilah (tinggalkan) Abu Bakar. Mereka menjawab: “Kami berlindung dari Allah untuk membelakangi Abu Bakar”.

Bagi Syi’ah Imamiyah, memahami hadis-hadis doktrin imamah bukan saja harus bersumber dari Rasulullah SAW, namun juga dari para imam dua belas sebagai manusia-manusia suci (ma’shum). Kemutlakan imam sebagai pemimpin yang bebas dari dosa berimplikasi kepada konsep hadis. Ucapan-ucapan para imam disebut hadis. Seperti yang ditulis dalam al-Kafi Jilid I halaman 52 hadis no. 14: “Abu Abdillah as (Imam Ja’far al-Shadiq) berkata, bahwa hadisku adalah hadis ayahku (imam Muhammad al-Baqir), hadis ayahku adalah hadis kakekku (Imam Ali Zainal Abidin), hadis kakekku adalah hadis al-Husein (imam ke-3), hadis al-Husein adalah hadis al-Hasan (imam ke-2) dan hadis al-Hasan adalah Hadis Amir al-Mu’minin (Imam pertama), dan hadis Amir al-Mu’minin adalah hadis Rasulullah SAW sedang hadis Rasulullah SAW adalah firman Allah SWT”.

Kategorisasi dan parameter pengukuran hadis disebut shahih atau tidak juga berbeda dengan hadis dalam konsep Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Menurut Syi’ah, hadis disebut shahih dengan syarat; Pertama, karena hadis itu diriwayatkan dari sumber yang dipercaya. Kedua, karena hadis itu sejalan dengan dalil lain yang bersifat pasti (qat’i) dan sejalan pula dengan konteks yang dipercaya. Dari pemahaman seperti ini (hadis Nabi identik dengan hadis para Imam), maka doktrin imamah dalam Syi’ah Itsna ‘Asyariyah adalah satu keniscayaan. Dimananpun Syi’ah dua belas berada, pasti mengamalkan doktrin esensial ini.

Saya pernah mengonfirmasi doktrin ini ke sejumlah orang-orang dan lembaga pendidikan Syi’ah di Jawa Timur. Mereka jujur meyakini bahwa perkataan Imam itu disebut hadis, dan katanya tidak mungkin salah. Perkataan imam menjadi hukum yang pasti.

Dalam pandangan mereka, imamah itu penerus nubuwwah yang ditunjuk berdasarkan nash  Ilahi, karena ucapan-ucapan para Imam itu adalah identik dengan hadis Nabi yang bersumber dari wahyu Allah SWT.
Sejumlah kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah di daerah Jawa Timur menilai ajaran ini aneh. Seringkali perdebatan-perdebatan mewarnai di daerah ini. Menurut mereka ajaran aneh ini bertentangan dengan ajaran para pendahulu. Lebih menghawatirkan lagi jika perdebatan mereka sampai kepada debat tentang keadilan sahabat. Saya mendapat informasi dari beberapa orang di Pasuruan, Jember dan Bondowoso, kalangan Sunni merasa gerah dengan ajaran Syi’ah yang merendah-rendahkan sahabat Abu Bakar, Umar dan ‘Aisyah istri Rasulullah SAW. Sebelum isu bentrok Syi’ah merebak, ada pengikut Syi’ah yang terang-terangan mengucapkan penistaan. Bahkan penistaan blak-blakan ditulis aktivis Syi’ah di jejaring sosial.

Pengikut Syi’ah memang ada yang terang-terangan ada pula yang mengajarkan secara tertutup untuk kalangan mereka sendiri. Ragam respon penganut Syi’ah itu juga dipengaruhi oleh tingkat pemahaman mereka terhadap doktrin kemutlakan imamah.

Model penghayatan terhadap akidah imamah yang bertingkat-tingkat itu melahirkan model perilaku pengikut Syi’ah yang berbeda pula. Selain itu pola adaptasi Syi’ah di tengah mayoritas Sunni juga mempengaruhi perilaku pengikut Syi’ah Imamiyah. Umumnya, Syi’ah enggan berterus terang kepada kelompok lain, kecuali kepada sesama ikhwan Syi’ah.

Seperti dalam kesimpulan Prof. Dr. Mohammad Baharun dalam penelitian Syi’ah di Jawa Timur,  bahwa lahirnya tipe-tipe Syi’ah itu tergantung seberapa banyak mereka menyerap doktrin imamah yang diajarkan. Ada tiga tipe yang ditemukan Prof. Baharun:
  1. Syi’ah ideologis. Jama’ah Syi’ah imamah ini dididik secara sistematis, intens, serius melalui program kaderisasi. Ada yang dikader melalui pesantren ada pula di lembaga pendidikan formal. Materi-materinya meliputi mantiq, filsafat dan akidah-akidah penopang seperti konsep imamah. Kader ini ini biasanya menjadi pengikut yang militant yang tidak saja memahami teologi namun sekaligus ideology yang bersumber dari imamah. Banyak dari kader tipe ini yang disekolahkan ke pusat Syi’ah di kota Qom Iran.
  2. Syi’ah “Su-Si”. Jama’ah Syi’ah model ini diperkenalkan melalui pengajian dan selebaran. Sasarannya biasanya para santri di pondok pesantren. Ada pula yang semula bersimpatik kepada Syi’ah. Model pendekatannya tidak terlalu intensif bahkan kadang setengah-setengah. Rata-rata mereka tidak memahami referensi-referensi penting Syi’ah. Pemahamannya setengah-setengah. Saya pernah menjumpai tipe ini di sebuah daerah di Pasuruan. Orang tersebut mengaku Sunni, akan tetapi ia juga mengikuti ritual-ritual yang diadakan oleh Syi’ah, seperti karbala, menghormati para dua belas Imam, dan mengkultuskan Khomeini. Ketika shalat orang itu mengikuti cara ala Sunni. “Syi’ah sama saja, yang berbeda kulitnya. Maka saya ambil yang sekiranya baik dari Syi’ah dan Sunni”, begitu alasan tipe Su-Si. Namun tetap orang tersebut mengimani dua belas Imam sebagai pemimpin pengganti Nabi SAW. Ada pula tipe ini adalah calon kader militan. Seperti sebuah tahapan untuk meningkat ke jenjang berikutnya.
  3. Syi’ah Simpatisan. Biasanya mereka pemuda yang gemar pemikiran filsafat Syi’ah. Jama’ah ini mengenal Syiah imamah melalui buku-buku, seminar yang diadakan di kampus-kampus dan pendekatan individual. Mereka juga mengagumi Revolusi Iran yang dipelopori Khomeini tahun 1979. Mereka memahami pemikiran aja. Mereka juga disebut Syi’ah pemikiran. Mereka bersifat lebih adaptif dengan Sunni tapi mereka elaboratif dalam memahami Syi’ah dua belas.
Syi’ah imamiyah di Indoensia khususnya di Jawa Timur pada dasarnya memiliki rujukan-rujukan yang sama. Yang berbeda itu tingkat memahami rujukan-rujukan tersebut. Boleh jadi Syi’ah Simpatisan atau Syi’ah ‘Su-Si’ meningkat menjadi Syi’ah Ideologis, setelah mereka memahami dan memasuki kader intensif.
Syi’ah Ideologis yang militant pun bisa sangat adaptif, meski keyakinannya termasuk fundamental. Alasannya mereka itu untuk berdakwah lebih dekat dengan Sunni, sebagai sebuah strategi merekrut anggota.

Pola adaptif di tengah mayoritas Sunni di Indonesia dipraktikkan sejak awal dari strategi seoranttokoh senior Syi’ah di kota Bangil Pasuruan. Majalah AULA – majalah milik Nahdlatul Ulama– pada edisi November 1993 pernah menurunkan berita tentang strategi Syi’ah berdakwah di Indonesia. AULA mengutip sebuah surat rahasia dari seorang di Iran. Berikut sebagaian isi surat tersebut:
“Saya ucapkan terima kasih kepada tuan atas usulan yang benar terhadap saya dan sudah lama menjadi pemikiran saya. Yaitu sejak kemenangan Imam atas Syi’ah. Walaupun saya tangguhkan hal itu, namun saya tidak ragu sedikitpun tentang kebenaran Ahlul Bait dan bukan karena takut kepada orang-orang atau jika saya tinggalkan taqiyah maka bukan supaya dipuji orang-orang. Sama sekali tidak! Akan tetapi saya sekarang mempertimbangkan situasi disekitar saya. Fanatisme Sunni secara umum masih kuat. Untuk mendekatkan mereka (kaum Sunni), saya ingin nampak dengan membuka kedok, kemudian membela serangan ulama mereka yang Nawasib (anti Syi’ah) mereka akan mengatakan: Syi’i membela Syi’ah. Saya telah berhasil merangkul sejumlah ulama mereka yang lumayan banyaknya, sehingga mereka memahami jutaan madzhab Ahlul Bait atas lainnya. Saya anggap ini sebagai kemajuan dalam langkah-langkah perjuangan kita”.

Surat ini juga sempat menjadi berita heboh di Pasuruan dan membuka pikiran sejumlah orang. Banyak yang kemudian menyadari bahwa selama ini akidah Syi’ah diajarkan secara sembunyi-sembunyi. Beberapa ulama’ kemudian tertarik untuk mempelajari kitab-kitab rujukan Syi’ah yang asli, terutama kitab al-Kafi. Dari pendekatan pustaka ini banyak yang sudah mengenal apa dan bagaimana Syi’ah di Indonesia. Memang mengkaji Syi’ah secara proprosional haruslah dengan mendekati kepada litelatur-litelatur yang diajarkan oleh Syi’ah di Indonesia. Tanpa itu, pengetahuan kita tentang Syi’ah remang-remang dan kabur.

Kalau Syiah Sesat, Mengapa Boleh Masuk Tanah Suci?

 

Oleh: AM Waskito

Bertahun-tahun silam pernah diadakan diskusi antara seorang Ustadz dari PP Persis Bandung dengan Jalaluddin Rahmat (tokoh Syiah asal Bandung). Dalam makalahnya, Ustadz Persis itu tanpa tedeng aling-aling membuat kajian berjudul, “Syiah Bukan Bagian dari Islam”.

Ketika sessi dialog berlangsung, Ustadz Persis itu -dengan pertolongan Allah- mampu mematahkan argumen-argumen Jalaluddin Rahmat. Kejadiannya mirip, ketika dilakukan diskusi di Malang antara Jalaluddin Rahmat dengan Ustadz-ustadz Persis Bangil; ketika merespon lahirnya buku Islam Aktual, karya Jalaluddin Rahmat.

Ada satu momen penting menjelang akhir diskusi di Bandung itu. Saat itu Jalaluddin mengatakan, “Kalau memang Syiah dianggap sesat dan bukan bagian dari Islam, mengapa Pemerintah Saudi masih memperbolehkan kaum Syiah menunaikan Haji ke Tanah Suci?” Nah, atas pernyataan ini, tidak ada tanggapan serius dari para Ustadz di atas.

Ternyata, Mereka Masih Butuh Tanah Suci (Makkah & Madinah).
Dan ternyata, kata-kata serupa itu dipakai oleh Prof. Dr. Umar Shibah, tokoh Syiah yang menyusup ke lembaga MUI Pusat. Ketika kaum Syiah terdesak, dia mengemukakan kalimat pembelaan yang sama. “Kalau Syiah dianggap sesat, mengapa mereka masih boleh berhaji ke Tanah Suci?”
Lalu, bagaimana kalau pertanyaan di atas disampaikan kepada Anda-Anda semua wahai, kaum Muslimin? Apa jawaban Anda? Apakah Anda akan memberikan jawaban yang tepat, atau memilih menghindar?
Sekedar catatan, konon dalam sebuah diskusi antara Jalaluddin Rahmat dengan Ustadz M. Thalib (sekarang Amir MMI). Saat disana ada kebuntuan argumentasi, katanya Ustadz M. Thalib menantang Jalaluddin melakukan “diskusi secara fisik” di luar. Ya, ini sekedar catatan, agar kita selalu mempersiapkan diri dengan argumen-argumen yang handal sebelum “bersilat” pemahaman dengan orang beda akidah.
Mengapa kaum Syiah masih boleh masuk ke Tanah Suci, baik MakkahAl Mukarramah maupun Madinah Al Munawwarah?

Mari kita jawab pertanyaan ini:
PERTAMA, sebaik-baik jawaban ialah Wallahu a’lam. Hanya Allah yang Tahu sebenar-benar alasan di balik kebijakan Pemerintah Saudi memberikan tempat bagi kaum Syiah untuk ziarah ke Makkah dan Madinah.
KEDUA, dalam sekte Syiah terdapat banyak golongan-golongan. Di antara mereka ada yang lebih dekat ke golongan Ahlus Sunnah (yaitu Syiah Zaidiyyah-meski sebagaian ulama sudah mengatakan Syiah Zaidiyyah sudah tergolong sesat dengan Syiah lainnya-Red), ada yang moderat kesesatannya, dan ada yang ekstrim (seperti Imamiyyah dan Ismailiyyah). Terhadap kaum Syiah ekstrim ini, rata-rata para ulama tidak mengakui keislaman mereka. Nah, dalam praktiknya, tidak mudah membedakan kelompok-kelompok tadi.
KETIGA, usia sekte Syiah sudah sangat tua. Hampir setua usia sejarah Islam itu sendiri. Tentu cara menghadapi sekte seperti ini berbeda dengan cara menghadapi Ahmadiyyah, aliran Lia Eden, dll. yang termasuk sekte-sekte baru. Bahkan Syiah sudah mempunyai sejarah sendiri, sebelum kekuasaan negeri Saudi dikuasai Dinasti Saud yang berpaham Salafiyyah. Jauh-jauh hari sebelum Dinasti Ibnu Saud berdiri, kaum Syiah sudah masuk Makkah-Madinah. Ibnu Hajar Al Haitsami penyusun kitab As Shawaiq Al Muhriqah, beliau menulis kitab itu dalam rangka memperingatkan bahaya sekte Syiah yang di masanya banyak muncul di Kota Makkah. Padahal kitab ini termasuk kitab turats klasik, sudah ada jauh sebelum era Dinasti Saud.
KEEMPAT, kalau melihat identitas kaum Syiah yang datang ke Makkah atau Madinah, ya rata-rata tertulis “agama Islam”. Negara Iran saja mengklaim sebagai Jumhuriyyah Al Islamiyyah (Republik Islam). Revolusi mereka disebut Revolusi Islam (Al Tsaurah Al Islamiyyah). Data seperti ini tentu sangat menyulitkan untuk memastikan jenis sekte mereka. Lha wong, semuanya disebut “Islam” atau “Muslim”.
KELIMA, kebanyakan kaum Syiah yang datang ke Makkah atau Madinah, mereka orang awam. Artinya, kesyiahan mereka umumnya hanya ikut-ikutan, karena tradisi, atau karena desakan lingkungan. Orang seperti ini berbeda dengan tokoh-tokoh Syiah ekstrem yang memang sudah dianggap murtad dari jalan Islam. Tanda kalau mereka orang awam yaitu kemauan mereka untuk datang ke Tanah Suci Makkah-Madinah itu sendiri. Kalau mereka Syiah ekstrim, tak akan mau datang ke Tanah Suci Ahlus Sunnah. Mereka sudah punya “tanah suci” sendiri yaitu: Karbala’, Najaf, dan Qum. Perlakuan terhadap kaum Syiah awam tentu harus berbeda dengan perlakuan kepada kalangan ekstrim mereka.
KEENAM, orang-orang Syiah yang datang ke Tanah Suci Makkah-Madinah sangat diharapkan akan mengambil banyak-banyak pelajaran dari kehidupan kaum Muslimin di Makkah-Madinah. Bila mereka tertarik, terkesan, atau bahkan terpikat; mudah-mudahan mau bertaubat dari agamanya, dan kembali ke jalan lurus, agama Islam Ahlus Sunnah.
KETUJUH, hadirnya ribuan kaum Syiah di Tanah Suci Makkah-Madinah, hal tersebut adalah BUKTI BESAR betapa ajaran Islam (Ahlus Sunnah) sesuai dengan fitrah manusia. Meskipun para ulama dan kaum penyesat Syiah sudah bekerja keras sejak ribuan tahun lalu, untuk membuat-buat agama baru yang berbeda dengan ajaran Islam Ahlus Sunnah; tetap saja fitrah mereka tidak bisa dipungkiri, bahwa hati-hati mereka terikat dengan Tanah Suci kaum Muslimin (Makkah-Madinah), bukan Karbala, Najaf, dan Qum.
KEDELAPAN, kaum Syiah di negerinya sangat biasa memuja kubur, menyembah kubur, tawaf mengelilingi kuburan, meminta tolong kepada ahli kubur, berkorban untuk penghuni kubur, dll. Kalau mereka datang ke Makkah-Madinah, maka praktik “ibadah kubur” itu tidak ada disana. Harapannya, mereka bisa belajar untuk meninggalkan ibadah kubur, kalau nanti mereka sudah kembali ke negerinya. Insya Allah.
KESEMBILAN, pertanyaan di atas sebenarnya lebih layak diajukan ke kaum Syiah sendiri, bukan ke Ahlus Sunnah. Mestinya kaum Syiah jangan bertanya, “Mengapa orang Syiah masih boleh ke Makkah-Madinah?” Mestinya pertanyaan ini diubah dan diajukan ke diri mereka sendiri, “Kalau Anda benar-benar Syiah, mengapa masih datang ke Makkah dan Madinah? Bukankah Anda sudah mempunyai ‘kota suci’ sendiri?”

Demikian sebagian jawaban yang bisa diberikan. Semoga bermanfaat. Pesan spesial dari saya, kalau nanti Prof. Dr. Umar Shihab, atau Prof. Dr. Quraish Shihab (dua tokoh ini saudara kandung, kakak-beradik; bersaudara juga dengan Alwi Shihab, Mantan Menlu di era Abdurrahman Wahid), beralasan dengan alasan tersebut di atas; mohon ada yang meluruskannya. Supaya beliau tidak banyak membuang-buang kalam, tanpa guna. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.

Sikap Dan Reaksi Shi’ah Terhadap Tuduhan Dan Serangan Ke Atas Mereka.




PERSELISIHAN pendapat dan pertarungan fikiran tentang khilafah Ali bin Abi Talib telah bermula sejak zaman sahabat, misalnya dialog antara ‘Umar dengan Ibn ‘Abbas.[1]
Kemudian pertarungan fikiran ini berkembang menjadi sengketa teori politik dan seterusnya pertumpahan darah dan pembunuhan kejam terhadap Syi’ah Ali. Serangan kejam ini bermula pada zaman pemerintahan Mu’awiyah hinggalah kurun ke-5 Hijrah dan zaman kekuasaan Saljuq.
Berikut ialah contoh-contoh kekejaman dalam dua zaman itu: Pertama zaman Mu’awiyah. Didiriwayatkan oleh al-Mada’ini di dalam kitabnya al-Ahdath katanya: “Kemudian Mu’awiyah memberi kepada pegawai-pegawainya di seluruh pelosok negara sekeping surat yang berbunyi:
“Perhatikanlah siapa yang ada bukti menyokong ‘Ali dan cintakan keluarganya, maka potong namanya dalam senarai Diwan dan hentikan pemberian Wang ‘ata’ kepadanya.”

Di dalam lembaran yang lain pula surat itu berbunyi. “Siapa yang boleh dituduh ta’at kepada kaum itu (Syi’ah) hendaklah disiksa dan dibinasakan rumahnya ….” [2]
Pada zaman kekuasaan Saljuq dan satu kurun sebelum itu, berlakulah pertumpahan darah dan penyembelihan beramai-ramai setiap tahun di Baghdad, terutamanya pada bulan Muharram dan Safar, iaitu ketika golongan Syi’ah mengadakan rnajlis memperingati pembunuhan Husain di Karbala’. Pengikut-pengikut keluarga Abu Sufyan datang menyerang, membunuh, membakar dan merompak.[3]

Kadang-kadang kemarahan mereka tidak terhadap kepada orang-orang hidup sahaja, tetapi sampai kepada orang yang telah mati. Bakan sahaja kepada orang biasa Syi’ah tetapi hingga kepada Imam-Imam mereka.
Sibt lbn al-Jauzi menceritakan tragedi tahun 443 Hijrah setelah menerangkan peristiwa berdarah dan pembunuhan yang kejam:
Satu kumpulan pembenci Syi’ah datang ke kubur Musa b. Ja’far as-Sadiq memusnahkan kubur itu dan mengeluarkan mayat-mayat orang Syi’ah yang dikebumikan berdekatan di sana seperti penya’ir al-’Auni dan lain-lain, kemudian membakarnya. Adapun Musa dikeluarkan dari kuburnya dan ditanam berhampiran dengan kubur Ahmad b. Hanbal.[4]

Peristiwa sejarah ini menunjukkan bagaimana kekecewaan dalarn pertarungan ilmu membawa kepada kekecewaan hati dan keganasan yang amat kejam.
Pada pertengahan kurun ketiga Hijrah lahirlah kitab bertajuk al-’Uthmaniyah oleh al-Jahiz, kandungannya mengecam Syi’ah, menafikan hakikat yang nyata dan menolak keberanian ‘Ali b. Abi Talib. Al-Mas’udi di dalam kitabnya Muruj al-Dhahab, juzu’ III, h. 237, memberi komen; “al-Jahiz mencari jalan untuk mematikan yang hak dan menentang orang-orang yang berada di pihak kebenaran”.
Tetapi kitab ‘Uthrnaniyah itu segera disanggah oleh ramai pengarang-pengarang lain, hinggakan pengarang bukan Syi’ah pun mengkritiknya dan yang anihnya al-Jahiz sendiri pun turut mengkritiknya. Ini jawab kerana al-Jahiz merupakan penulis upahan yang menulis untuk mencari publisiti dan wang, hari ini ia menulis sesuatu dan pada hari esoknya ia menentang pula tulisannya itu.

Bahkan mungkin dialah orang yang pertama mengkritik bukunya itu. Hal ini telah disebut oleh Ibn an-Nadim di dalam al-Fihrist halaman 210, ketika ia menerangkan tentang buku ar-Radd ‘ala al-’Uthmaniyyah (Penolakan terhadap buku ‘Uthmaniyah) dan sebuah lagi buku al-Jahiz bertajuk fadl Hasyimi ala ‘Abd Syams (Kelebihan Hasyim ke atas Abd Syams).[5]

Sebaik sahaja buku ‘Uthrnaniyah itu terbit banyaklah buku-buku lain diterbitkan untuk mengkritik dan menyanggah pendapat al-Jahiz itu, di antaranya ialah buku:
1. Naqd aI-’Uthmaniyah (kritikan terhadap buku al-’Uthrnaniyah) oleh Abu Ja’far al-Iskafi, al-Baghdadi al-Mu’tazili yang meninggal dunia pada tahun 240 H. Naskhah buku ini dicetak di Masir.
2. Naqd al-”Uthmaniyah, olch Abu ‘Isa al-War’aq b. Harun al-Baghdadi (m. tahun
247 H.).
3. Naqd al-”Uthmaniyah, oleh Thubait b. Muhammad.
4. Naqd al-”Uthrnaniyah oleh Hasan b. Musa an-Naubakhti, disebut oleb aI- Mas’udi dalam Muruj al-Dhahab, Ill, h. 238.
5. Naqd al-”Uthmaniyah Penolakan terhadap buku Uthmaniyyah) oleh Abu
al -Ahwas al-Misri.
6. Naqd aI-’Uthmaniyah oleh al-Mas’udi pengarang Muruj al-Dhahab.
7. Naqd aI-’Uthmaniyah oleh Muzaffar b. Muhai~ad b. Ahmad al-Balkhi (in.
367 H.).
8.Naqd a!- Uthmaniyah oleh Asad b. ‘Ali b. Abdullah al-Ghassani Halabi(485- 534 H.).
9. Bina’ al-Maqalat al-Fathimiyah fi ar-Radd ‘ala al- ‘Uthmaniyah oleb Sayid lbn Tawus (in. 673 H.).

Naskah tulisan tangan buku ini boleh didapati antara lain di Perpustakaan al-Auqaf, Baghdad no. 6777.
Pertarungan pemikiran dan perang dingin antara pihak-pihak yang bertentangan ini berjalan terus dan kadangkala diselangi dengan pertempuran berdarah.

Sikap golongan Syi’ah dalarn masa empat Kurun ini hanya bertahan dan serangan. Apabila keluar buku menyerang Syi’ah, golongan Syi’ah pun mengeluarkan buku pula untuk membalas serangan itu dan mempertahankan aqidah mereka. Berikut ialah contoh-contoh ringkas pertarungan itu pada setiap kurun, di sini tidaklah dapat disebut semua buku-buku yang diterbitkan kerana terlalu banyak. Pada kurun ke-20 M ini sahaja telah diterbitkan kira-kira 200 tajuk buku di Pakistan untuk menyerang Syi’ah.

Kurun ke-6 H.
Seorang penduduk di kawasan ar-Rayy yang takut memperkenalkan namanya menulis sebuah buku bertajuk Ba’d Fada ‘ih ar-Rawafid yang menyerang Syi’ah dan memburuk-burukkannya. Buku ini dijawab satu-persatu oleb Nasiruddin ‘Abd al-Jalil al-Qazwini ar-Razi dengan tajuk Ba’d Mathalib an-Nawasib. Buku ini boleh dilihat dalam bentuk manuskrip di Perpustakaan Parlemen Iran, ia disalin dalam kurun ke~.

Kurun ke-7 H .
Serangan Mongol datang melanda dan seluruh manusia berdiam diri.

Kurun ke-8 H.
Lahirlah lbn Taimiyah yang mencabar dan menentang semua madhhab. Ia mengkafir-kan para ulama’ zamannya dan menulis buku khas menentang Syi’ah bertajuk Minhaj as-Sunnah; kandungan buku ini menggambarkan kebencian dan kemarahan kepada ‘Ali b. Abi Talib. Sebuah buku bertajuk aI-Insaf wal-Intisaf ii Ahl al-Haq min al-Israf, telah ditulis sebagai tindakbalas kepada buku lbn Taimiyah, ia ditulis pada tahun 757 H. dan naskah asalnya masih ada di Perpustakaan ar-Rida Masyhad no.5643.

Kurun ke-9 H.
Yusuf b. Makhzum al-A’war menulis sebuab buku menyarang Syi’ah bertajuk ar-Risalah al-Mu’aridahfi ar-Radd‘alaar-Rafidah.
Buku ini dijawab oleh Syaikh Najmuddin Khadr b. Muhammad pada tahun 839 H. dengan tulisannya bertajuk al-Taudih al-Anwar, juga dijawab oleh Syaikh Izzuddin al-Hasan b. Syamsuddin dengan tajuk bukunya al-Anwar al-Badriyah.

Kurun ke-10 H.
Ibn Hajar aI-Haitami (m. 973 H.) menulis buku as-Sawa’iq al-Muhriqah pada tahun 950 H. di Makkah al-Mukarramah. Ia menyesali perkembangan Syi’ah
sebagaimana yang digambarkan dalam pendahuluan bukunya.
Buku ini dijawab oleh seorang aIim dari India bernama al-Qadi Nurullah al-Tastari (syahid tahun 1019 H.) dengan menulis buku bertajuk as-Sawarim al-Muhriqah, buku ini telah dicetak di Iran tahun 1367 H.
Di Yaman, Ahmad b. Mahammad b. Luqman (m. 1029) juga menjawab dengan bukunya yang bertajuk al-Bihar al-Muriqah, sebagaimana yang disebut oleh Syaukani dalam al-Badr at-Tali, I,h. 118.

Kurun ke-11 H.
Sultan Murad IV dari Kerajaan ‘Uthmaniyah Turki (1032-l049 H.) merasa ingin untuk menguasai Iraq yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Safawiyah dan ja juga bercadang untuk menyerang kan, tetapi ia yakin tidak dapat mengalahkan kekuasaan Safawi (Syi’ah), lalu ia mencari jalan untuk membangkitkan semangat perpecahan di kalangan umat Islam dengan menggunakan ‘ulama jahat atau ‘ulama istana untuk memberi fatwa mengharuskan pembunuhan sesama Islam. Walau bagaimanapun tidak ada ‘ulama yang sanggup memberi fatwa demikian kecuali seorang pemuda bernama Nuh Affandi [6] yang sanggup menjual agamanya. Ia memberi fatwa mengkafirkan Syi’ah dengan katanya: “Siapa yang membunuh seorang Rafidi (Syi’ah) maka wajiblah baginya mendapat syurga!”

Fatwa ini menyebabkan kematian berpuluh ribu orang dalam perang saudara antara Sunnah dan Syi’ah selama tujuh bulan, yaitu dari 17 Rejab 1048 H. hingga 23 Muharram 1049 H., kemudian diadakan perjanjian damai di bandar Qasr Syirin dan berhentilah peperangan itu. Tetapi sebaik sahaja api peperangan padam, maka timbul pula api fitnah untuk menghapuskan golongan Syi’ah di seluruh kawasan Kerajaan ‘Uthmaniyah. Dengan berpandukan fatwa di atas berlakulah pembunuhan dan penyembelihan beramai-ramai terhadap golongan Syi’ah di Halab, kerana Halab merupakan kawasan Syi’ah sejak peme-intahan Banu Hamdan lagi. Semua orang-orang Syi’ah di sini dibunuh atau ditawan, kecuali mereka yang sempat lari ke kampung-kampung yang berjauhan.Fatwa ini boleh dilihat dalam kitab al- ‘Uqud ad-Duriyah Fi tanqih al-Fatawa al-Hamidiyah, juzu’ pertama, halaman l02.[7] Di antara kandungannya ialah:
“Siapa yang tidak mengkafirkan Syi’ah dan tidak mengharuskan pembunuhan mereka, atau tidak mewajibkan memerangi mereka, maka orang itu juga kafir seperti Syi’ah…”

Seterusnya fatwa itu mengatakan: maka wajiblah dibunuh golongan Syi’ah yang jahat dan kafir itu, karna ada mereka bertaubat atau tidak…. mereka tidak dibenarkan membayar jizyah untuk terus hidup dan tidak diberi keampunan sementara atau selama-lamanya…. dan harus pula perempuan-perempuan mereka dijadikan hamba, kerana orang murtad boleb dijadikan hamba setelah mereka berada di negeri kafir harbi…. Keturunan mereka juga boleh dijadikan hamba kerana mengikut ibu-ibu mereka.”

Kesan fatwa ini amatlah besar,di Halab sahaja 40,000 orang Syi’ah telah disembelih dan beribu-ribu dari mereka adalah keturunan Rasulullah s.’a.w. Salah seorang dari ‘ulama Najaf pada ketika itu bernama Sayyid Syarafuddin ‘Ali menghantar fatwa itu ke Iran untuk mengawal pembunuhan kejam yang berterusan itu. Oleh itu Syeikh ‘Izzuddin qadi Syiraz dan Syaikh al-Islam Isfahan teiah menangkis fatwa jahat itu dengan menulis kitabnya bertajuk al-Jami as-Safawi.[8]

Tentangan dan ulasan terhadap fatwa ini diterangkan juga oleh Sayyid ‘Abd al-Husayn Syarafuddin dalam bab ketujuh bukunya yang bertajuk al-Fusul al-Muhimmah.
Seterusnya al-Amini menjawab dengan lengkap fatwa ini dalam beberapa juzu’ kitab-nya yang bertajuk “al-Ghadir.”

Kurun ke-12 H.
Pada kurun ini lahirlah sebuah kitab bertajuk as-Sawa’iq al-Muhbiqah yang ditulis oleh Nasrullah al-Kabuli. Ia merupakan penulis yang tidak dikenali kerana tidak disebutkan asal-usulnya dan tidak dapat dikesan riwayat hidupnya.
Kitab ini tidak dijawab oleh pihak ‘ulama Syi’ah kerana telah dijawab dengan panjang lebar pada Kurun Ke- 13 terhadap kitab Tuhfah Ithna ‘Asyariyah yang merupakan saduran atau salinan kepada kitab al-Sawaiq al-Mubiqah itu.

Kurun ke-13 H.
Mungkin perselisihan antara Sunnah dan Syi’ah berpunca dari masalah perlantikan Khalifah (Khilafah), oleh itu kita dapati pertarungan pemikiran antara kedua golongan ini berkisar pada masalah khilafah sahaja, hinggalah sarnpai kepada Kurun Ke-13. Pada kurun ini timbullah seorang penulis bernama ‘Abdul ‘Aziz ad-Dahlawi yang membuka dan meluaskan lagi bidang perselisihan Sunnah-Syi’ah. Tulisannya mencakupi bidang yang luas, tidak sahaja terhenti kepada masalah Imamah dan Khilafah, tetapi ia melampaui had dari Imamah kepada Nubuwwah, dan seterusnya kepada masalah Ilahiyat, Ma ‘ad, perselisihan dalam hukum-hukurn fiqh dan lain-lain.

Kitab itu dinamakan Tuhfaq Ithna ‘’Asyariyah[9], yang mengandungi 12 bab:
Bab Pertama: Tentang Sejarah Syi’ah dan pecahan-pecahannya.
Bab Kedua: Tipa daya Syi’ah.
Bab Ketiga: Syi’ah zaman permulaan dan kitab-kitab mereka
Bab Keempat: Periwayat-periwayat Syi’ah dan Hadith mereka.
Bab Kelima: Perkara yang berhubung dengan Ketuhanan (Ilahiyat).
Bab Keenam: Perkara yang berhubung dengan Kenabian (Nubuwwat).
Bab Ketujuh: Imamah
Bab Kelapan: al-Ma’ad atau Hari Akhirat.
Bab Kesembilan: Masalah-masalah Fiqh.
Bab Kesepuluh: Kritikan-kritikan terhadap Syi’ah.
Bab Kesebelas: Perkara yang berkaitan dengan tiga 51 fatwa Syi’ah, iaitu Waham (kabur dan tidak mempunyai keyakinan yang betul), Ta’asub (fanatik) dan Hafawat (karut).
Bab Keduabelas: al-Wala’ dan al-Bara’.

Kandungan kitab ini sama sahaja dengan kitab as-Sawa’iq al-Mubiqah oleh Nasrullah al-Kabuli dan apabila kitab Tuhfah Ithna’Asyariyah ini dikeluarkan, timbullah jawaban yang bertalu-talu dan para ‘ulama Syi’ah, ada yang rnengkritik kitab itu keseluruhannya dan ada yang membuat kritikan terhadap beberapa bab sahaja. Mereka yang mengkritik secara keseluruhan ialah:
1.Syaikh Jamaluddin an-Naisaburi al-Hindi yang terbunuh pada tahun 1232 H. Ia merupakan seorang ‘alim yang banyak menulis berbagai kitab, di antaranya ialah kitab yang menyanggah kitab Tuhfah Ithna’Asyariyah, bertajuk Saifullah al-Mashlul ‘Ala Mukharribi Din ar-Rasul, terdiri dari tujuh jilid. Keterangan lanjut tentangnya boleli dilihat dalam adh-Dhari ‘ab, 10:190; 23:2~8 dan 15:13. Al-A ‘lam oleh Zarkali 6:251, Mu’jam al-Muallifin. 9:31; A’yan asy-Syiah, 9:392.
2. Mirza Muhammad b. ‘Inayat Ahmad Khan al-Kasyrniri ad-Dahlawi seorang ‘alim yang terkenal, tinggal di Lucknow dan meninggal duma tahun 1235 H.
Di antara kitab-kitab karangannya yang terkenal ialah: Nuzhah al-Ithna ‘Asyariyah fi ar-Radd ala Tuhfah Ithna’Asyariyah. Setiap bab dikritik dengait panjang lebar hingga menjadi sebuah kitab. Lima juzu’ kitabnya telah di-cetak di India pada tahun 1255 H. Keterangan lanjut tentang pengarang Nuzhah ini boleh dilihat dalam kitab Nujum al-Sama ‘, h. 352-362.
3. Maulvi Hasan b. Amaullah ad-Dahlawi, tinggal di Karbala’ dan meninggal dunia tahun 1260 H. Riwayat hidup dan karyanya dapat dilihat dalam kitab al-Kiram al-Bararah,h.308. Beliau menjawab segala persoalan dalam Tuhfah dengan menulis kitab bertajuk Tajhiz al-Jaisy. Kitab mi telah diterbitkan oleli Perpustakaan Pusat Universiti Teheran. Ada pula golongan ‘ulama yang tidak sempat untuk menangkis semua kandungan kitabTuhfah itu mereka hanya menjawab bab-bab yang tertentu sahaja seperti berikut:
Bab Pertama Kitab Tuhfah Ithna ‘Asyariyah,

Sejarah Syi’ah.
Di antara mereka yang mengkiritik bab ini ialah al-’Allamah Sayyid Muhammad Qali al-Lucknow, seorang ahli ilmu al-kalam yang meninggal dunia pada tahun 1260H.. Beliau telah menulis sebuah kitab bertajuk as-Saif an-Nasiri yang menolak bab pertama kitab Tuhfah. Selain dari itu bab kedua, ketujuh, dan kesebelas juga dijawabnya dengan panjang lebar hingga menjadi kitab-kitab yang besar ber-tajuk al-Ajwibah al-Ithna ‘Asyariyah al-Muhammadiyah.

Kemudian seorang murid penulis Tuhfah bernama al-Fadil ar-Rasyid menulis pula sebuab risalah menjawab tulisan Muhammad Qali dan menyokong gurunya, lalu Muhammad Qali menjawab pula dengan bukunya bertajuk al-Ajwibah al-Fakhirah fi ar-Radd’Ala al-’Asy’irah. Keterangan lanjut tentang Muhammad Qali dan karya boleh dilihat dalam adh-Dhari’ah, 4:192-193; Kasy al-Hujul: 24; Nujum as-Sama’: 422, Nuzhah al-Khawatir, 7:460; ath-Thaqafah al-Islamiyah fi al-Hind: 220;A’yan asy-Syi’ah, 9:104.

Bab Kedua:
Tentang tipu-daya Syi’ah.
Bab ini telah dijawab oleh Muhammad Qali dengan bukunya yang bertajuk Taqlib al-Maka ‘id, dicetak di Calcutta India tahun 1262 H. dan kitab ini merupa-kan salah satu kumpulan kitab al-Ijnad al-Ithna “Asyariyah.

Bab Ketiga:
Tentang golongan Syi’ah yang awal
Bab ini telah dijawab oleh Mirza Muhammad b.’Inayat Ahmad Khan al–Kisymiri ad-Dahlawi, jawaban ini terkandung di dalam salah satu juzu’ kitab Nuzhah Ithna Asyariyah karangannya yang dicetak di India tahun 1255 H. Begitulab seterusnya semua 12 bab kitab Tuhfah telah dijawab oleh para ‘ulama Syi’ah.

Kurun ke-14 H.
Kurun Ke-14 Hijrah merupakan era baru dalam perkembangan ilmu pengetahuan, tetapi dalam bidang kecaman terhadap Syi’ah ia berlaku sebaliknya. Kalau dulunya kecaman dilakukan secara perbincangan ilmiyah tetapi pada kurun ini tuduhan-tuduhan melulu secara fanatik telah dilakukan dan semua persoalan yang dikemukakan diambil dari buku-buku yang ditulis sebelumnya.

Sebagal contohnya kitab Mukhtasar at-Tuhfah al-Ithna ‘Asyariyah, ia dipindahkan dari India ke Iraq dan diterjemahkan dari bahasa Parsi ke bahasa Arab. Kitab ini dijawab oleh Syaikh Mahdi al-Khalisi dalam tiga jilid buku, begitu juga Shaikh asy-Syari’ah al—Asfahani (m.1339 H.) turut menjawabnya. Dalam juzu’ pertama kitab Mir’at at-Tasanif yang merupakan senarai penerbitan buku-buku di India dan Pakistan pada kurun ke-13 dan ke-14 Hijrah terdapat satu tajuk yang berbunyi. “Buku-buku yang mengecam Syi’ah”, di bawahnya disenaraikan nama 59 buah buku, 57 buah daripadanya ditulis pada kurun ke-14, ini tidak termasuk buku-buku yang mengecam Syi’ah di bawah tajuk buku ‘aqidah, fiqh dan sebagainya.”

Kecaman terhadap golongan Syi’ah yang ditulis pada kurun ini bercorak maki hamun, pembohongan dan tolunah yang tidak berasas, contohnya buku-buku yang ditulis oleh al-Qasimi, Jarullah, al-Khatib, Ihsan Illahi Zahir, dan lain-lain.

Untuk mengatasi segala tuduhan-tuduhan ini al-Allamah al-Amini telah menulis dalam juzu’ ketiga encyclopaedia-nya yang bertajuk al-Ghadir. Turut juga menulis ialah Sayid Muhsin al-Amin dengan kitabnya yang bertajuk Naqd a!- Wasyi ‘ah, Syaikh Latfullah as-Safi dan Syaikh Salman al-Khaqani dengan jawaban-jawaban yang ditujukan kepada al-Khatib dan lain-lain lagi.

Kurun ke-15 H.
Kurun ini baharu saja menjelma, tetapi tulisan-tulisan anti Syi’ah kian bertambah, pada tahun 1406 Hijrah telah lahir 60 tajuk buku mencaci Syi’ah di Pakistan sahaja dan dicetak sebanyak tiga juta naskhah. Pada tahun 1404 dan 1405 Hijrah telah terbit 200 tajuk buku menyerang Syi’ah dan kebanyakan buku itu bermotifkan politik, yaitu mencaci revolusi kan dan pemimpinnya.

Seorang Ketua MajIis ‘Ulama Pakistan bemama Syaikh Muhammad ‘Abd al-Qadir Azad menulis sebuah risalah kecil bertajuk aI-Fitnah al-Khomainiyah pada tahun 1406 H., ia menyeru ketua-ketua negara Islam supaya menentang “revolusi Syi’ah” di Iran, kerana katanya golongan Syi’ah Iran akan membunuh kaum Muslimin yang mengerjakan Haji di sekeliling Ka’bah dan akan membawaa balik Hajr al-Aswad (batu hitam) ke Iran se-perti yang dilakukan oleh kaum Qaramitah[10]. Bahkan orang Iran tidak akan mengembalikan Hajr aI-Aswad ini hingga hari Qiyamat [11].

Di Malaysia, walaupun belum wujud masyarakat Syi’ah, tetapi sebuah buku bertajuk Bahaya Syi ‘ah telah ditulis oleh Ash’ari Muhammad, Ketua al-Arqam yang menggambarkan fahaman Syi’ah sebagai satu fahaman yang sesat dan berbahaya.

Demikianlah corak serangan dan segi pemikiran terhadap golongan Syi’ah dari abad ke abad dan mereka hanya bertahan menangkis segala serangan itu tanpa menyerang atau memulakan serangan terhadap golongan lain.

Walau bagaimanapun pertikaian pemikiran Sunnah-Syi’ah selalunya disebabkan oleh salah faham, misalnya golongan Sunnah selalu mengecam Syi’ah berdasarkan Hadith yang terdapat di dalam al-Kafi [12] sedangkan golongan Syi ‘ah tidak menganggap semua Hadith itu sebagai sahih. Menurut para ‘ulama Syi’ah kumpulan Hadith di dalam al-Kafi itu mengan-dungi 5072 Hadith sahih, 144 Hasan dan 9455 daif [13]. Golongan Sunnah pula me-nyangka semua Hadith itu adalah sahih bagi orang Syi’ah.

CATATAN KAKI:
1. Lihat Ya’qubi. Tarikh, Beirut 1960,11, h. 159,249; Tabari, Tarikh ar-Rusul wa al-Muluk , 1964, IV, h:227; Ibn Abi al-Hadid, Syarah Nahjul Balaghah, Qahirah, h. 189,194, dan II, h. 57.
2. Ibn Abi al-Hadid, Ibid., II: 45.
3. Lihat Ibn Jauzi al-Muntazim; Ibn al-Athir al-Kamil; !bn Syakir ‘Uyun at-Tawarikh,, Sibt Ibn al–Jauzi, Mir ‘at az-Zaman; Dhahabi, Tarikh al-Islam; Ibn Kathir, al-Bidoyah wa an-.Nihayah.
4. Lihat Ibn al-Athir, al-Kamil Qahirah 1303 II. IX, h. 57-.77 tentang. Peristiiwa tahun 443 H. Kata-nya: “Berlakulah kekejarnan yang ngeri dan belum pernah terjadi sepertinya di dunia ini.
5. Lihat al-Fihrist oleb lbn an-Nadim, I’. 209:Zahr al-.4 dan oleh Arbili d.4n Al-Qandhuri, Yanabi al-Mawaddah, bab 52. Tulisan al-Jahiz ini telah diterbitkan di Qahirah tahun 1933 dengan tajuk “Risalah-risalah al-Jahiz” dan dimuat dalam majalah “Bahasa Arab” Babghad no.9 bertajuk:”Kelebihan Bani Hasyim dari manusia lain”.
6. Pada masa ini banyak lagi ‘aIim ‘ulama yang lebib tua dan faham tentang hukum Islam, tetapi mereka tetap tidak mahu mengikut perintah istana yang mahukan fatwa untuk memecah-belahkan umat Islam.
7. Naskhah asal fatwa ini yang ditulis dalam bahasa Turki masih tersimpan dalam khazanah istana ‘Uthmani dan pada waktu kebelakangan ini telah dicetak di lstanbul berdasarkan naskhah asalnya yang tersimpan di Perpustakaan Topkapisrai, iaitu perpustakaan istana.
8. Dua naskhah aI~Jami’ as-Sawafi ini terdapat di Perpustakaan Imam ar-Rida Masyhad, no. 127 dan 9773.
9. Kitab ini ditulis dalam bahasa Farsi dan telah diterjemahkan ke bahasa Arab oieh Ghulam Muhamad Muhyiddin dan diringkaskan oleh Mahmud Syukri al-Alusi serta diedit oleh Muhibuddin al-Khatib. Ia diterbitkan di Riyad tahun 1404 H.
10. Kaum Qaramitah’ (kurun ke-3 H.) pernah menyerang Mekah dan membawa balik Hajr al-Aswad ke negeri mereka, selepas 20 tahun Hajr al-Aswad itu dikembalikan semula dengan perintah khalifah Fatimiyyah al-Mansur. Lihat Ibn al-Ahtir, op. cit., Ill, h. 153; P.K. Hitti, History of the Arabs, London 1956, h. 445.
11. ‘Abd al-Qadir Azad,aI-Fitnah al-Khomainiyah, Lahore 1986, h. 48.
12. Koleksi Hadith oleh al-Kulaini.
13. Sayid Ali al-Milani, Journal Turathuna, Beirut 1407 H, h. 257.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: