Istilah negeri Ahlussunnah itu sendiri adalah tidak tepat dan cenderung INTOLERAN karena semua kelompok Islam tak terkecuali Syi’ah selama mengikuti Sunnah Rosul saaw mereka berhak disebut Ahlussunnah dan INDONESIA bukan Negara berdasarkan Agama apalagi berdasarkan MAZHAB tetapi berdasarkan Pancasila dan Kebhineka Tunggal Ika-an yang diwarnai dan dijalankan dengan nilai-nilai Agama.
Habib Rizieq perlu WASPADA karena bergandengan tangan dengan WAHABI SALAFI TAKFIRI dalam memperjuangkan NKRI bersyariah jangan sampai beliau ditelikung di tengah jalan karena dalam kamus kaum TAKFIRI kebenaran hanya milik mereka dan selain mereka harus ditekan kalau perlu dihabisi.(Catatan ini tambahan dari Redaksi Satu Islam)
Berkenaan dengan Klasifikasi Syiah Indonesia oleh Habib Rizieq Shihab, berikut ini Tanggapan/Sikap Resmi Ormas Islam Ahlul Bait Indonesia:
1. Ormas Islam Ahlul Bait Indonesia berpendapat bahwa klasifikasi Syiah menjadi 3 golongan (ghulat, rafidhah dan mu’tadilah), merupakan pendapat ilmiah Habib Rizieq Shihab yang patut dihargai dan perlu dikaji lebih jauh.
2. Ormas Islam Ahlul Bait Indonesia menyatakan dengan tegas berlepas tangan dari golongan ghulat yang menuhankan Ali bin Abi Thalib dan rafidhah yang digambarkan sebagai pencaci-maki para sahabat dan istri Nabi.
3. Ormas Islam Ahlul Bait Indonesia juga menegaskan kepada semua pihak tentang ketiadaan Syiah ghulat di Indonesia. Andaikata ada oknum Syiah ghulat yang menuhankan Ali bin Abi Thalib, maka bagi Ormas Islam Ahlul Bait Indonesia mereka adalah kafir.
4. Ormas Islam Ahlul Bait Indonesia juga ingin menegaskan kepada seluruh umat Islam Indonesia bahwa mayoritas mutlak Syiah di Indonesia adalah mu’tadilah sebagaimana klasifikasi Habib Rizieq Shihab, yaitu Syiah yang bersikap menghargai seluruh figur yang dihormati dan dimuliakan umat Islam Indonesia.
5. Ormas Islam Ahlul Bait Indonesia menegaskan, seluruh Syiah Indonesia sudah paham sepenuhnya bahwa caci-maki dan pengutukan bukanlah akhlak yang diajarkan oleh Ahlul Bait sebagai panutan mereka dan bukan pula fatwa ulama Syiah paling muktabar pada saat ini.
6. Ormas Islam Ahlul Bait Indonesia mengajak seluruh elemen umat Islam untuk menyadari bahwa pengkafiran dan penyesatan sama sekali bukanlah jalan yang dianjurkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
7. Ormas Islam Ahlul Bait Indonesia menyatakan dengan tegas bahwa oknum-oknum Syiah yang mencaci-maki para sahabat dan istri Nabi, yang sikapnya bertentangan dengan fatwa ulama Syiah paling muktabar di zaman ini, jelas merupakan agen-agen Zionis yang sengaja disusupkan untuk memecah-belah ukhuwah umat Islam dan mengobarkan konflik sektarian di negeri Indonesia tercinta. Karena itu Ormas Islam Ahlul Bait Indonesia menganggap mereka sama dengan kelompok takfiri yang mengkafirkan Syiah itu sendiri dan menganggap mereka sebagai dua sisi dari satu blok yang sama, yakni blok musuh Islam.
Demikian Tanggapan/Sikap Resmi Ormas Islam Ahlul Bait Indonesia ini kami sampaikan. Semoga Allah Swt senantiasa meridhai setiap langkah kita dan mempererat ukhuwah umat Islam di Indonesia.
Jakarta, 14-12-2013
KH. Hasan Alaydrus
Ketua Umum DPP Ahlul Bait Indonesia
Habib Rizieq Shihab: “Mengkafirkan Syi’ah Berarti Menyerang dan Menghancurkan Ahlussunnah”.
Minggu, 1 Desember 2013, pendiri Front Pembela Islam (FPI), Habib Muhammad Rizieq Shihab (yang biasa dipanggil Habib Rizieq), mengadakan peringatan setahun wafat ibundanya, Syarifah Sidah Alatas di Markaz Syari’ah FPI, Jl. Petamburan 3/17, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Haul yang dimulai pukul 09.00 WIB dengan lantunan shalawat, marawis, pembacaan surah Yaasin, serta pembacaan tahlil bersama itu dilanjutkan acara utama berupa ceramah Habib Rizieq dengan tema “Bahaya Takfiri.”Menurut Habib Rizieq, ceramahnya kali ini merupakan bagian pertama dari seri ceramah dengan topik yang sama, yang akan kembali berlanjut pada Januari 2014 mendatang.
Terkait meningkatnya eskalasi aksi pengkafiran oleh kelompok takfiri yang kian masif akhir-akhir ini, Habib Rizieq mengingatkan bahwa sikap gemar mengkafirkan orang atau menyesatkan kelompok lain yang berbeda pandangan sebagaimana dilakukan kelompok takfiri itu, merupakan problem besar, masalah serius dan sangat berbahaya bagi keutuhan dan ukhuwah umat Islam sehingga harus disikapi dengan ekstra hati-hati.
Habib Rizieq menyontohkan bahwa ulama-ulama besar Ahlusunnah wal Jama’ah tercatat sangat berhati-hati dalam masalah kafir-mengkafirkan ini, dan tidak semudah takfiri jaman sekarang yang dengan mudah suka mengkafirkan dan menyesatkan kelompok lain di luar kelompok mereka.
“Mudah mengkafirkan sama sekali bukanlah ajaran Ahlusunnah wal Jama’ah,” tandas Habib Rizieq menekankan.
Jadi, “Jika ada sekelompok orang yang mudah mengkafirkan kelompok lain tapi memakai nama Ahlusunnah wal Jama’ah, maka Ahlusunnah wal-Jama’ah yang mana?” ujarnya mempertanyakan.
Sementara itu, menanggapi tudingan sekelompok takfiri yang mengkafirkan dirinya akhir-akhir ini hanya karena beliau tidak mau mengkafirkan semua penganut Syi’ah, Habib Rizieq menjelaskan bahwa dalam kitab-kitab hadis utama rujukan Ahlusunnah, banyak sekali perawi dari kalangan ulama Syi’ah. Karena itu jika Syi’ah dikafirkan, sama artinya akan banyak sekali hadis shahih Bukhari-Muslim yang mesti ditolak.
Lebih jauh Habib Rizieq menegaskan bahwa dirinya tidak sedang membela Syi’ah. Justru ia sedang membela Ahlusunnah wal Jama’ah. “Orang yang mengkafirkan Syi’ah, berarti dia sedang menyerang (kitab shahih) Bukhari Muslim, ia menyerang periwayatan Bukhari Muslim. Ia sedang menghancurkan Ahlusunnah wal Jama’ah!”
Ceramah “Bahaya Takfiri” yang juga disiarkan secara live oleh Radio Rasil, Radio FPI Solo, dan TV Streaming FPI ini selesai tepat pukul 12.00 WIB.
Sumber: Ahlul Bait Indonesia
Tanggapan atas Habib Rizieq Shihab
Ditulis oleh Sufyan bin Fuad Baswedan, MA
(Mahasiswa Doktoral Prog.Ilmu Hadis, Univ. Islam Madinah )Riwayat Syi’ah dlm Shahihain
Alhamdulillah was shalaatu was salaamu ‘ala Rasuulillaah, ‘amma ba’du:
Sebelum memberikan tanggapan, alangkah baiknya jika kita merenungkan sejenak firman Allah berikut:
{وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ
أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ
الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ
اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ
عَزِيزٌ حَكِيمٌ} [التوبة: 71]
Kaum mukminin dan mukminat
satu sama lain saling menjadi wali. Mereka ber-amar ma’ruf nahi munkar,
mendirikan shalat, membayar zakat, serta menaati Allah dan RasulNya.
Merekalah yang kelak akan dirahmati Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa dan Bijaksana (At Taubah: 71).
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan sejumlah karakter yang dimiliki orang-orang beriman (baik laki-laki maupun perempuan).
Pertama: bahwa mereka saling menolong, loyal,
membela, dan melindungi sesama mukmin/muslim. Itulah kira-kira makna
dari ‘saling menjadi wali’.
Kedua: mereka saling ber-amar ma’ruf nahi
munkar. Artinya, yang mengetahui adanya suatu kema’rufan di antara kaum
mukminin, menyampaikan hal tersebut kepada saudaranya sesama mukmin,
agar lebih banyak orang yang berbuat ma’ruf. Sedangkan bila ada di
antara mereka yang mengetahui adanya perbuatan munkar yang dilakukan
oleh orang lain, maka ia mengingatkan, meluruskan, dan mencegah orang
tersebut agar menghentikan kemunkarannya.
Lho koq bisa begitu?
Ya. Bukankah Rasulullah kekasih kita semua
menyuruh kita untuk membela saudara kita, baik ia sebagai pihak yang
zhalim maupun yang dizhalimi?! Simaklah hadits berikut:
عن أنس رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم: انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا فَقَالَ رَجُلٌ
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنْصُرُهُ إِذَا كَانَ مَظْلُومًا أَفَرَأَيْتَ إِذَا
كَانَ ظَالِمًا كَيْفَ أَنْصُرُهُ قَالَ تَحْجُزُهُ أَوْ تَمْنَعُهُ مِنْ
الظُّلْمِ فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ. رواه البخاري (6952)
Anas bin Malik –radhiyallaahu ‘anhu- mengatkan bahwa
Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, bersabda: “Tolonglah
saudaramu (seiman) saat ia berbuat zhalim maupun terzhalimi”. Beliau
lantas ditanya oleh seseorang:
“Wahai Rasulullah, aku akan menolongnya saat ia
dizhalimi. Tapi bagaimana menurutmu jika ia yang berbuat zhalim,
bagaimana aku menolongnya?
“Cegahlah –atau laranglah- ia dari perbuatan zhalim
tersebut. Demikianlah cara menolongnya” jawab Rasulullah –shallaallaahu
‘alaihi wa sallam-.
(HR. Bukhari dlm Shahihnya, kitab al-ikraah, bab yang terakhir, hadits no 6952).
Hadits yang senada juga diriwayatkan oleh Imam Muslim
dalam Shahih-nya (no 2584) dari sahabat Jabir bin Abdillah
–radhiyallaahu ‘anhuma-.
Perlu diketahui, bahwa seseorang dinyatakan zhalim bila meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya (وضع الشيء في غير موضعه)[1]; demikian menurut mayoritas ahli bahasa. Selain itu, seseorang dinyatakan zhalim bila ia berbuat sesuatu terhadap milik orang lain, atau bertindak yang melampaui batas[2].
Termasuk perbuatan zhalim ialah tidak menganggap
kafir orang yang mestinya dianggap kafir. Atau mengkafirkan orang yang
semestinya tidak dikafirkan.
Atau bersikap lunak terhadap kelompok yang mestinya
disikapi keras. Atau sebaliknya. Karena itu semua berarti meletakkan
sesuatu yang tidak pada tempatnya, dan termasuk tindakan melampaui
batas, baik batas minimal maupun batas maksimal.
Nah, sebagai penutup mukaddimah ini, saya ajak
pembaca untuk merenungkan dialog singkat yang penuh makna berikut.
Dialog ini terjadi antara Abu Shalih Al Farra’ dengan Imam Yusuf bin
Asbaath. Abu Shalih Al Farra’ pernah menceritakan sejumlah hal tentang
fitnah khawarij yang ia dengar dari Wakie’ kepada Yusuf bin Asbaath.
Maka Imam Yusuf bin Asbaath berkomentar:
“Orang itu (Wakie’) memang mirip dengan gurunya –yaitu Hasan ibnu Hayy (yang terkenal berpemikiran khawarij)-!”.
“Apa kamu tidak takut jika ucapanmu ini termasuk ghibah?”, tanya Abu Shalih.
“Dasar lugu… memangnya kenapa?” sanggah Yusuf bin
Asbaath. “Justru aku lebih berbakti kepada mereka (orang-orang yang
terjebak dalam bid’ah) daripada orang tua mereka sendiri. Aku melarang orang-orang untuk mengikuti bid’ah yang mereka ciptakan, sehingga mereka tidak memikul dosa orang-orang tersebut. Sedangkan orang yang memuji mereka justru lebih berbahaya bagi diri mereka” lanjut Yusuf bin Asbaath.[3]
Yang beliau bicarakan disini bukanlah orang biasa,
akan tetapi seorang tokoh ahli hadits, ahli ibadah, ahli zuhud, dan luar
biasa dalam banyak hal; akan tetapi ia memiliki pemikiran yang
berbahaya.
Ia berpendapat bolehnya memberontak dan mengangkat
senjata kepada penguasa muslim yang berbuat zhalim yang tidak sampai ke
tingkat kufur (murtad). Itulah bid’ahnya khawarij.
Pemikiran tersebut cukup berbahaya walaupun yang
bersangkutan sendiri tidak pernah mengangkat senjata secara langsung. Ia
sekedar memberi dukungan dan keberpihakan terhadap mereka yang
memberontak, alias membenarkan sikap kaum khawarij.
Hal ini di mata para salaf merupakan bahaya besar,
sebab seorang tokoh semacam Hasan bin Shalih bin Hayy yang demikian
dikagumi banyak orang karena ilmu, kezuhudan, dan keshalihannya tersebut
akan banyak menyesatkan manusia melalui pemikirannya yang keliru tadi,
bila tidak ada yang menjelaskan kekeliruannya tersebut secara ilmiah.
Yang dengan demikian, maka yang bersangkutan akan turut memikul dosa
banyak orang yang mengikuti pemikirannya tersebut.
Apalagi bila ia kemudian dipuji-puji oleh tokoh
lainnya, maka akan semakin banyak umat yang tersesat karenanya, sehingga
semakin banyak dosa yang dipikul oleh si pencetus pemikiran tadi. Sebab
Rasulullah ‘alaihis shalaatu was salaam bersabda:
وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً
سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ
بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ (رواه مسلم
رقم 1017).
Siapa yang membikin suatu ajaran buruk dalam Islam, maka ia akan memikul dosanya dan dosa setiap orang yang mengamalkannya setelah itu; tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun (HR. Muslim dalam Shahihnya, no 1017).
Jadi, maksud saya menulis tanggapan ini ialah demi mengamalkan dalil-dalil yang saya sebutkan tadi, dan demi berbakti kepada Habib Rizieq Shihab –saddadahullaah- agar kekeliruan beliau sebagai tokoh yang dikagumi banyak orang, jangan sampai diikuti.
Baiklah, sekarang saya akan mulai menanggapi apa yang saya dapatkan dari statemen Habib Rizieq Shihab –yang selanjutnya saya singkat HRS-. Berikut ini adalah copas dari blog satuislam
yang memberitakan secara singkat ceramah HRS saat merayakan haul
kematian ibundanya di markas pusat FPI tanggal 1 Desember 2013 lalu.
Dituliskan disana sbb:
Sementara itu, menanggapi tudingan sekelompok
takfiri yang mengkafirkan dirinya akhir-akhir ini hanya karena beliau
tidak mau mengkafirkan semua penganut Syi’ah, Habib Rizieq menjelaskan
bahwa dalam kitab-kitab hadis utama rujukan Ahlusunnah, banyak sekali
perawi dari kalangan ulama Syi’ah. Karena itu jika Syi’ah dikafirkan,
sama artinya akan banyak sekali hadis shahih Bukhari-Muslim yang mesti
ditolak.
Lebih jauh Habib Rizieq menegaskan bahwa dirinya tidak sedang membela Syi’ah. Justru ia sedang membela Ahlusunnah
wal Jama’ah. “Orang yang mengkafirkan Syi’ah, berarti dia sedang menyerang (kitab shahih) Bukhari Muslim, ia menyerang periwayatan Bukhari Muslim. Ia sedang menghancurkan Ahlusunnah wal Jama’ah!”[4] –selesai-
wal Jama’ah. “Orang yang mengkafirkan Syi’ah, berarti dia sedang menyerang (kitab shahih) Bukhari Muslim, ia menyerang periwayatan Bukhari Muslim. Ia sedang menghancurkan Ahlusunnah wal Jama’ah!”[4] –selesai-
Dalam cuplikan di atas, ada beberapa poin yang perlu diperjelas agar tidak menjadi syubhat bagi orang awam.
Pertama: HRS mengatakan bahwa dirinya dikafirkan oleh kelompok takfiri karena tidak mau mengkafirkan semua penganut syi’ah.
Pertanyaannya: Siapa kelompok takfiri yang
dimaksud? Bisakah HRS menyebutkan nama mereka satu persatu, atau minimal
ciri-ciri mereka agar ucapan HRS bernilai ilmiah dan bukan sekedar
melempar tuduhan?
Perlu diketahui, bahwa takfir (menjatuhkan vonis
kafir) sesuai aturan dan secara proporsional, merupakan salah satu
akidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Sebagai orang yang beriman, kita harus mengkafirkan SEMUA yang dikafirkan oleh Allah dan RasulNya. Baik
dikafirkan dengan menyebut nama mereka, seperti kafirnya Fir’aun, Abu
Jahal, Abu Lahab, Abdullah bin Ubay bin Salul dan lain-lain. Atau
dikafirkan berdasarkan sifat-sifatnya, seperti kaum musyrikin secara
umum, kaum Yahudi, kaum Nasrani, Majusi, dll. Ini yang pertama.
Yang kedua: perlu kita ketahui bahwa penjatuhan vonis kafir –alias takfir- ada dua macam. Takfir ‘aam dan takfir khaash. Pengkafiran secara umum dan pengkafiran secara khusus (personal/individu). Ketika ada yang mengatakan bahwa kelompok syi’ah itsna ‘asyariyah itu kafir
karena mereka meyakini hal-hal yang membatalkan keislaman, seperti
meyakini ketidakotentikan Al Qur’an yang ada hari ini, karena
diotak-atik oleh para sahabat. Atau sikap ghuluw mereka terhadap ahli
bait Nabi hingga menyematkan sifat-sifat uluhiyyah kepada mereka. Dan
banyak hal lainnya…[5]
Nah, ketika ada yang mengatakan bahwa syi’ah adalah kelompok kafir, tidak berarti bahwa setiap orang yang diindikasikan syi’ah harus dikafirkan secara personal, dengan mengatakan si A, si B, si C dan seterusnya kafir. Tidak demikian.
Sebab yang seperti ini adalah takfir khaash yang
hanya berhak dijatuhkan oleh para qadhi (hakim) atau ulama yang terkenal
dengan kedalaman ilmunya serta kehati-hatian mereka dalam berfatwa,
sebab menjatuhkan vonis kafir secara tertentu kepada seseorang memiliki
konsekuensi hukum yang berat, seperti halalnya darah orang tersebut,
terputusnya hubungan suami-istri, batalnya hak waris mewarisi, tidak
halalnya sembelihan dia, dan seterusnya. yang dibahas oleh para ulama dalam bab riddah (murtad) dalam kitab-kitab fiqih.
Di samping itu, untuk menjatuhkan vonis kafir secara tertentu kepada orang-perorang haruslah memperhatikan terpenuhinya beberapa hal dan ternafikannya beberapa hal pula, yaitu:
-
Yang bersangkutan haruslah akil baligh alias bukan anak kecil dibawah usia, atau tidak waras akalnya. Karena hukum syariat baru mengikat seseorang bilamana ia tergolong mukallaf, yaitu baligh dan berakal sehat.
-
Yang bersangkutan haruslah tahu bahwa perkataan/sikap/perbuatan/keyakinan tersebut hukumnya kufur akbar, alias bukan orang yang jahil terhadap hal tersebut karena baru masuk islam, atau belum sempat mempelajarinya karena udzur tertentu yang bisa diterima oleh syariat. Bukan semata-mata jahil karena tidak peduli dengan ajaran agama dan tidak mau belajar. Sebab yang demikian ini namanya bukan lagi jahil (tidak tahu) tapi mu’ridh alias berpaling dari agama (tidak mau tahu).
-
Bila kekafiran tersebut berupa perkataan/sikap/perbuatan, maka hal tersebut dilakukannya secara suka rela atas pilihan pribadi, tanpa ada paksaan. Sebab bila ia dipaksa utk berbuat/berkata kufur sedangkan hatinya tetap beriman; maka ia tidak dianggap kafir. Sebagaimana firman Allah yang artinya: “Barangsiapa kafir terhadap Allah setelah beriman, maka ia mendapat murka Allah, kecuali bila dirinya dipaksa sedangkan hatinya tetap mantap dengan keimanan. Akan tetapi bila hatinya ikut merasa tentram dengan kekafiran tersebut, maka bagi mereka murka Allah dan siksa yang pedih” (An Nahl: 107).
-
Adanya kesengajaan dalam perkataan/perbuatan/sikap kufur tersebut, dan bukan dilakukan karena kelalaian atau ketidak sengajaan.
-
Jika yang melakukan/mengatakan kekufuran tadi tergolong orang yang layak berijtihad, maka harus dipastikan bahwa ia tidak memiliki syubhat yang mendorongnya berbuat/berkata kufur tersebut. Jika Ybs masih memiliki syubhat (ta’wil), maka syubhat ini harus dihilangkan melalui penjelasan terlebih dahulu. Akan tetapi tidak semua pena’wilan bisa diterima dalam hal ini. Hanya pena’wilan yang memenuhi syarat saja yang bisa dianggap sebagai udzur. Yaitu pena’wilan yang bisa diterima secara bahasa walaupun maknanya lemah dalam konteks tersebut. Adapun penakwilan yang serampangan dan tidak bisa diterima secara bahasa, maka tidak dianggap sebagai udzur.
Kedua: HRS mengatakan [bahwa dalam kitab-kitab hadis utama rujukan Ahlusunnah, banyak sekali perawi dari kalangan ulama Syi’ah. Karena itu jika Syi’ah dikafirkan, sama artinya akan banyak sekali hadis shahih Bukhari-Muslim yang mesti ditolak.]
Pernyataan ini juga melahirkan beberapa pertanyaan:
-
Berapakah jumlah perawi yang diklaim oleh HRS sebagai ulama syi’ah dalam kitab-kitab hadits utama rujukan Ahlussunnah tersebut? Bisakah HRS menyebutkan angkanya? Perlu diketahui, bahwa Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani telah merangkum secara singkat biografi para perawi yang terdapat dalam kitab-kitab hadits utama rujukan Ahlussunnah, yaitu dlm kitab beliau yang berjudul Taqriebut Tahdzieb yang jumlahnya mencapai 8826 perawi. Dan ini belum seluruhnya.
-
Apa saja yang dimaksud dengan kitab-kitab hadits utama rujukan Ahlussunnah tersebut? Apakah semua kitab hadits yang ditulis oleh ulama ahlussunnah harus diperlakukan sebagai kitab rujukan? Kalau ini yang dimaksud maka keliru-lah dia. Sebab tidak ada kitab selain As Shahihain yang hadits-haditsnya otomatis shahih dan menjadi pijakan dalam beragama menurut Ahlussunnah. Selain As Shahihain tetap harus melewati verifikasi sanad, karena para ulama senantiasa meriwayatkan hadits dengan sanadnya, yang dari situ bisa dikenali manakah yang sahih, mana yang hasan, mana yang dha’if, batil, palsu, dan seterusnya. Artinya, kalau dalam hadits yang diriwayatkan oleh selain Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dalam sanadnya terdapat perawi syi’ah rafidhah, maka hadits ini tidak bisa dijadikan alasan; sebab Ahlussunnah tidak menganggap harusnya menerima setiap hadits yang ada, namun hanya yang disepakati sebagai hadits-hadits yang maqbul (shahih atau hasan) saja, dan ini hanya berlaku secara umum dalam As Shahihain, adapun selain Shahihain maka tetap melalui verifikasi sanad.
-
Tahukah HRS siapa sejatinya mereka yang dianggap sebgai perawi syi’ah tersebut? Adakah diantara mereka yang keyakinannya sama dengan keyakinan syi’ah itsna asyriah (rafidhah) hari ini, yang telah keluar dari Islam?
Ataukah HRS tidak memahami hakikat istilah syi’ah/tasyayyu’ yang
sering dipakai oleh para ahli hadits dalam mengritik perawi tertentu,
dan menganggap bahwa istilah tersebut sama dengan istilah syi’ah yang
populer hari ini?Kalau memang demikian menurut HRS, maka saya bisa
memaklumi kesalahan tersebut mengingat HRS bukanlah ahli hadits, dan
tidak berlatarbelakang ilmu hadits.
Oleh karenanya, saya akan menjelaskan kerancuan pemahaman ini dalam beberapa poin:
Pertama: Istilah tasyayyu’ dan syi’ah yang
digunakan oleh para ulama salaf dalam mengritisi perawi hadits, jauh
berbeda dengan istilah syi’ah hari ini yang terkenal suka mencaci maki,
melaknat dan memurtadkan sahabat Nabi… atau mereka yang kerap menuduh
istri-istri Nabi dengan tuduhan keji, dan menisbatkan berbagaimacam
kedustaan atas nama ahli bait kepada para sahabat.
Hal ini telah dijelaskan oleh Imam Adz Dzahabi (wafat
748 H) tatkala membahas biografi salah seorang perawi syi’ah yang
haditsnya tercantum dalam Shahih Muslim. Perawi tersebut bernama Aban
bin Tighlab Al Kufy[6]. Imam Adz Dzahabi menyifatinya dengan kata-kata (شِيْعِيٌّ جَلْدٌ، لكنه صدوق، فلنا صدقه وعليه بدعته) artinya: Ia
seorang syi’i tulen, akan tetapi shaduq (jujur). Maka kita ambil
kejujurannya, dan biarkan dia menanggung akibat buruk bid’ahnya.
Beliau lantas menyebutkan bahwa Aban bin Tighlab ini
dianggap tsiqah oleh Imam Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma’ien dan Abu
Hatim Ar Raazi. Namun Ibnu ‘Adiy menyebutkannya dalam kitab Dhu’afa
–yang berisi para perawi lemah-, dan mengatakan (وكان غاليا في التشيع)
artinya, ia bersikap ghuluw dalam kesyi’ahannya (tasyayyu’). Sedangkan
As Sa’dy menyifatinya dengan ungkapan (زائغ مجاهر), artinya: orang sesat
yang menampakkan kesesatannya.
Lalu Imam Dzahabi berkomentar: “Boleh jadi kita bertanya-tanya: Bagaimana mungkin seorang ahli bid’ah dianggap tsiqah, padahal definisi tsiqah meliputi sifat ‘adaalah dan itqaan? Bagaimana mungkin seorang penganut faham bid’ah dianggap ‘aadil?[7]
(berikut ini saya nukilkan teks jawaban beliau beserta terjemahnya)
وجوابه ان البدعة على ضربين، فبدعة صغرى كغلو التشيع او كالتشيع بلا غلو ولا تحرُّف؛ فهذا كثير في التابعين وتابعيهم مع الدين والورع والصدق. فلو رُد حديث هؤلاء لذهب جملة من الاثار النبوية وهذه مفسدة بينة. ثم بدعة كبرى كالرفض الكامل والغلو فيه والحط على أبي بكر وعمر – رضي الله عنهما – والدعاء إلى ذلك، فهذا النوع لا يحتج بهم ولا كرامة.
وايضا فما استحضر الان في هذا الضرب رجلا صادقا ولا مامونا بل الكذب شعارهم والتقية والنفاق دثارهم فكيف يقبل نقل من هذا حاله حاشا وكلا
فالشيعي الغالي في زمان السلف وعرفهم هو من تكلم في عثمان والزبير وطلحة ومعاوية وطائفة ممن حارب عليا – رضي الله عنه وتعرض لسبهم والغالي في زماننا وعرفنا هو الذى يكفر هؤلاء السادة ويتبرأ من الشيخين ايضا فهذا ضال معثر ولم يكن ابان بن تغلب يعرض للشيخين اصلا بل قد يعتقد بأن عليا أفضل منهما (ميزان الاعتدال 1/118).
وايضا فما استحضر الان في هذا الضرب رجلا صادقا ولا مامونا بل الكذب شعارهم والتقية والنفاق دثارهم فكيف يقبل نقل من هذا حاله حاشا وكلا
فالشيعي الغالي في زمان السلف وعرفهم هو من تكلم في عثمان والزبير وطلحة ومعاوية وطائفة ممن حارب عليا – رضي الله عنه وتعرض لسبهم والغالي في زماننا وعرفنا هو الذى يكفر هؤلاء السادة ويتبرأ من الشيخين ايضا فهذا ضال معثر ولم يكن ابان بن تغلب يعرض للشيخين اصلا بل قد يعتقد بأن عليا أفضل منهما (ميزان الاعتدال 1/118).
Jawabnya adalah bahwa bid’ah itu terbagi dua. Ada
bid’ah sughra (kecil) seperti sikap tasyayyu’ yang ekstrim, atau
tasyayyu’ yang tidak ekstrim dan tidak diiringi dengan penyimpangan
keyakinan. Yang seperti ini banyak dijumpai di kalangan tabi’in dan
tabi’it tabi’ien, akan tetapi mereka juga memiliki kualitas agama yang
baik, sikap wara’ (hati-hati dan takut kpd Allah), serta kejujuran. Bila
hadits mereka kita tolak, maka akan hilanglah sejumlah besar hadits
Nabi, dan ini merupakan mafsadat yang jelas.
Kemudian ada pula bid’ah kubra (besar), seperti sikap rafdh secara total (bid’ahnya syi’ah rafidhah hari ini –pentj),
rafidhah ekstrim, menghina Abu Bakar dan Umar –radhiyallaahu ‘anhuma-,
dan mengajak orang untuk berpemahaman demikian (alias menjadi da’i
rafidhah); maka yang seperti ini riwayatnya tidak menjadi hujjah dan
tidak ada nilainya.
Lagi pula, saat ini aku tidak mengingat ada
seorang pun dengan kriteria seperti ini (rafidhah) yang bersifat jujur
dan bisa dipercaya, namun justru mereka terkenal sebagai tukang dusta,
dan ahli bermuka dua dan bersikap munafik. Lantas bagaimana mungkin
orang yang spt ini keadaannya bisa diterima riwayatnya? Sama sekali
tidak mungkin.
Jadi, seorang syi’i ekstrim di zaman para salaf
dan menurut definisi mereka, ialah orang yang mengritik dan mencaci
Utsman, Zubeir, Thalhah, Mu’awiyah dan sejumlah kalangan yang memerangi
Ali –radhiyallaahu ‘anhum-. Sedangkan syi’i ekstrim di zaman kita dan
menurut definisi kita, ialah mereka yang mengkafirkan tokoh-tokoh
tersebut dan bersikap bara’ (memusuhi) pula terhadap Abu Bakar dan Umar. Nah, orang seperti ini jelas sesat dan tergelincir. Sedangkan
Aban bin Tighlab tidak pernah mengritik Abu Bakar dan Umar, namun boleh
jadi ia sekedar meyakini bahwa Ali lebih mulia dari mereka berdua.
التشيع في عرف المتقدمين هو اعتقاد تفضيل
علي على عثمان وأن عليا كان مصيبا في حروبه وأن مخالفه مخطئ مع تقديم
الشيخين وتفضيلهما وربما اعتقد بعضهم أن عليا أفضل الخلق بعد رسول الله صلى
الله عليه وسلم وإذا كان معتقد ذلك ورعا دينا صادقا مجتهدا فلا ترد روايته
بهذا لاسيما إن كان غير داعية وأما التشيع في عرف المتأخرين فهو الرفض
المحض فلا تقبل رواية الرافضي الغالي ولا كرامة
Istilah tasyayyu’ dalam pengertian para ulama
terdahulu (salaf), maksudnya ialah meyakini bahwa Ali lebih afdhal dari
Utsman, atau bahwa Ali senantiasa benar dalam semua peperangannya, dan
bahwasanya pihak yang menyelisihinya adalah keliru; yang disertai dengan
sikap mendahulukan Asy Syaikhain (Abu Bakar dan Umar) serta lebih
memuliakan mereka di atas Ali. Boleh jadi ada sebagian dari kaum syi’ah
(tempo dulu) yang menganggap Ali sebagai manusia paling mulia setelah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan bilamana yang
berkeyakinan seperti itu adalah seorang yang wara’, taat beragama,
jujur, dan berangkat dari hasil ijtihad; maka hadits yang
diriwayatkannya tidaklah ditolak semata-mata karena keyakinan tersebut.
Lebih-lebih bila ia tidak mengajak orang lain kepada pemikirannya.
Sedangkan istilah tasyayyu’ menurut pengertian
ulama mutaakhkhirin (ulama setelah generasi salaf); maka maksudnya
adalah rafidhah tulen. Maka seorang rafidhi ekstrem tidak bisa diterima riwayatnya, dan tidak bernilai sama sekali.[8]
Kedua: Imam Bukhari dan Imam Muslim sangat
jarang meriwayatkan dari orang-orang syi’ah, kecuali dalam hadits-hadits
yang tidak menjadi hujjah secara independen. Al Hafizh Ibnu Hajar
mengatakan:
البخاري يرى أن الانقطاع علة فلا يخرج ما هذا سبيله إلا في غير أصل موضوع كتابه كالتعليقات والتراجم
Imam Bukhari berpendapat bahwa terputusnya sanad
merupakan ‘illah (cacat yang melemahkan suatu hadits). Oleh karenanya,
ia tidak meriwayatkan hadits-hadits yang kondisinya seperti itu, kecuali
bila hadits tersebut diluar topik utama kitab beliau, seperti
hadits-hadits yang mu’allaq, atau perkataan yang beliau sisipkan di
bawah judul-judul bab.[9]
Artinya, Imam Bukhari tidak meriwayatkan hadits
dengan sanad bersambung dari beliau hingga Rasulullah –shallallaahu
‘alaihi wa sallam-, yang dalam sanad tersebut terdapat perawi rafidhi;
dan tidak ada perawi lain yang menyertainya dalam riwayat tersebut;
kemudian tidak ada hadits lain dalam bab yang sama.
Namun bila hadits yang dimaksud adalah
hadits-hadits mu’allaq, atau sekedar perkataan sampingan yang beliau
sisipkan di bawah judul-judul bab; maka ini tidak mengurangi nilai
shahih Bukhari sama sekali. Sebab maksud utama penyusunan kitab ini
adalah mengumpulkan hadits-hadits shahih yang bersambung sanadnya tentang Rasulullah dan ajaran beliau;
sebagaimana yang dapat difahami dari judul asli shahih
Bukhari itu
sendiri, yaitu
(الجامع المسند الصحيح المختصر من أمور رسول الله وسننه
وأيامه).
Jadi, perkataan HRS: [jika Syi’ah dikafirkan, sama artinya akan banyak sekali hadis shahih Bukhari-Muslim yang mesti ditolak.] adalah perkataan yang batil. Batil karena syi’ah hari ini jauh berbeda dengan syi’ah tempo dulu. Para
perawi syi’ah yang tercantum dalam shahihain adalah
‘manusia-manusia purba’ yang sudah punah sejak ratusan tahun lalu,
menurut pengakuan Imam Adz Dzahabi dan Ibnu Hajar…. dan tentunya mereka
lebih paham tentang rijaalul hadits daripada HRS.
Perkataan ini juga batil karena tidak ada hadits
syi’ah rafidhah -syi’ah hari ini- yang diriwayatkan secara independen
oleh Imam Bukhari dan Muslim. Sama sekali tidak ada.
Saya berani mengajak Habib
Rizieq Shihab untuk mubahalah dalam hal ini.Silakan buktikan jika ada
perawi yang akidahnya seperti Khomeini, atau Kang Jalal, atau dedengkot
rafidhah lainnya hari ini, yang haditsnya tercantum dalam Shahihain
–dengan syarat yang telah dijelaskan oleh Adz Dzahabi dan Ibnu Hajar
tadi-!!
Ketiga: [Lebih jauh Habib Rizieq
menegaskan bahwa dirinya tidak sedang membela Syi’ah. Justru ia sedang
membela Ahlusunnah wal Jama’ah. “Orang yang mengkafirkan Syi’ah, berarti
dia sedang menyerang (kitab shahih) Bukhari Muslim, ia menyerang
periwayatan Bukhari Muslim. Ia sedang menghancurkan Ahlusunnah wal
Jama’ah!].
Ini sungguh aneh bin ajaib… dan ini adalah kesalahan
fatal yang dibangun diatas kesalahan pertama, yaitu tidak bisa
membedakan antara syi’ah tempo dulu (muslimin ahli bid’ah) dengan syi’ah
hari ini (musyrikin munafikin).
Kalau HRS ingin membela ahlussunnah wal jama’ah, ya
ikutilah cara-cara ulama Ahlussunnah yang menjelaskan kebatilan syi’ah
dan kekufuran mereka. Bukan dengan bermanuver seperti itu… Lantas
bagaimana jika yang mengkafirkan syi’ah rafidhah adalah Imam Bukhari
sendiri? Apakah HRS akan mengatakan bahwa Imam Bukhari menyerang kitabnya sendiri dan menghancurkan Ahlussunnah wal Jama’ah???
Padahal dalam kitab beliau yang berjudul Khalqu Af’aalil ‘Ibaad (nas nomor 40), disebutkan:
قال أبو عبد الله: ما أبالي صليتُ خلف الجهمي
والرافضي أم صليت خلف اليهود والنصارى؛ ولا يسلَّم عليهم ولا يعادون ولا
يناكحون ولا يشهدون ولا تؤكل ذبائحهم
Abu Abdillah berkata: “Aku tidak membedakan apakah
aku shalat bermakmum di belakang seorang Jahmi dan Rafidhi, ataukah
bermakmum di belakang Yahudi dan Nashara. Mereka tidak boleh disalami,
tidak boleh dibesuk ketika sakit, tidak boleh dinikahi (wanitanya),
tidak dilayat jenazahnya, dan tidak boleh dimakan sembelihannya”.
Abu Abdillah adalah kun-yah atau sapaan akrab dari Imam Bukhari itu sendiri. Lihatlah bagaimana beliau menyamakan antara seorang jahmi dan rafidhi dengan orang kafir seperti yahudi dan nasrani!!! Dan itu beliau sebutkan dalam salah satu kitab tulisan beliau, bukan dinukil oleh orang lain.
Bukan hanya Imam Bukhari yang menganggap kafirnya
Syi’ah Rafidhah (Syi’ah itsna ‘asyariyah/syi’ah di Iran, Irak, Lebanon,
termasuk di Indonesia hari ini). Namun juga Imam Ahmad bin Hambal, yang
dijuluki sebagai Imam Ahlussunnah wal Jama’ah.
عن عبدالله بن أحمد قال: سألت أبي عن رجل شتم رجلاً من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم فقال: ( ما أراه على الإسلام )
Dari Abdullah putera Imam Ahmad, katanya: Aku bertanya kepada ayahku tentang seseorang yang mencaci salah seorang sahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka kata ayah: “Menurutku ia tidak berada di atas Islam”.
وعن أبي بكر المروذي قال: سألت أبا عبدالله عن من يشتم أبا بكر وعمر وعائشة؟ قال: ( ما أراه على الإسلام )
Dari Abu Bakar Al Marrudzi, katanya: Aku bertanya
kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad) tentang orang yang mencaci Abu Bakar,
Umar dan Aisyah? Kata beliau: “Menurutku ia tidak berada di atas Islam”.
وعن إسماعيل بن إسحاق أن أبا عبدالله سُئل: عن رجل له جار رافضي يسلم عليه؟ قال: (لا، وإذا سلم عليه لا يرد عليه )
Dari Isma’il bin Ishaq, bahwa Abu Abdillah (Imam
Ahmad) pernah ditanya tentang seseorang yang memiliki tetangga seorang
rafidhi, bolehkah ia disalami? Kata beliau: “Tidak. Dan bila si rafidhi
menyalaminya, jangan dijawab”.
Kalau yang mencaci salah seorang sahabat saja –belum
sampai melaknat dan mengkafirkan- sudah dianggap bukan muslim lagi oleh
Imam Ahmad, lantas bagaimana gerangan dengan mereka yang mengkafirkan
seluruh sahabat Nabi selain beberapa gelintir saja???
Nah, kalau Imamnya Ahlussunnah wal Jama’ah saja mengkafirkan syi’ah rafidhah; pantaskah HRS yang mengaku sedang membela ahlussunnah wal jama’ah
justru tidak mau mengkafirkan syi’ah; bahkan menganggap orang yang
mengkafirkan syi’ah sedang menghancurkan Ahlussunnah wal Jama’ah??
Bukankah konsekuensinya berarti Imamnya Ahlussunnah wal jama’ah sedang menghancurkan Ahlussunnah wal Jama’ah ??!!
Mohon dijelaskan Bib, jangan bikin umat pusing dengan sikap antum!!
Ditulis oleh Sufyan bin Fuad Baswedan, MA
Mahasiswa Doktoral Prog. Ilmu Hadits, Univ. Islam Madinah
Madinah, 2 Shafar 1435 H
[1]
Lihat: Mu’jam Maqa-yiesul Lughah oleh Ibnu Faris (3/468), Lisaanul
‘Arab oleh Ibnu Manzhur (12/373), Al Qomus Al Muhieth oleh Al
Fairuzabadi (hal 1464), dan Taajul ‘Aruus oleh As Sayyid Murtadha Az
Zabiedi (33/33).
[2] Lihat: Lisaanul ‘Arab (12/373) dan Taajul ‘Aruus (33/32-33).
[3]
Dialog ini diriwayatkan dgn sanad yang bersambung oleh Imam Abu Ja’far
Al ‘Uqaily dalam kitab Adh Dhu’afa’ Al Kabir (1/232) saat menceritakan
biografi Hasan bin Shalih bin Hayy. Disebutkan pula oleh Adz Dzahabi,
Ibnu Hajar Al Asqalani, dll.
[4]http://satuislam.wordpress.com/2013/12/02/habib-rizieq-shihab-mengkafirkan-syiah-berarti-menyerang-dan-menghancurkan-ahlussunnah/
[5]
Untuk mengetahui apa saja keyakinan syi’ah itsna ‘asyariyah (rafidhah),
yang dianut oleh mayoritas orang Iran, Hizbullah, dan sejumlah besar
orang Irak hari ini; silakan merujuk ke kitab “Ushuul Madzhab Asy
Syi’ah” oleh DR. Nashir bin Abdillah Al Qifaari. Kitab ini sarat dengan
nukilan langsung dari literatur2 syi’ah.
[6] Lihat: Miezanul I’tidal 1/118.
[7]
Maksud dari ‘adaalah (عدالة) ialah suatu perangai yang mendorong
seseorang selalu bertakwa, menghindari dosa besar, dan menghindari
hal-hal yang menodai norma kesopanan (muru-ah). Sedangkan maksud dari
‘itqaan artinya jago dalam menghafal dan meriwayatkan hadits.
[8] Tahdziebut Tahdzieb 1/93, oleh Ibnu Hajar Al Asqalani.
[9] Lihat: Hadyus Saari (muqaddimah Fathul Baari) 1/8, oleh Ibnu Hajar.
Sumber : http://basweidan.com/riwayat-syiah-dlm-shahihain/Habib Muhammad Rizieq Shihab: “Fatwa MUI hanya untuk Syiah Ghulat”
“Namanya juga media massa, ada orang di pinggir jurang belum jadi berita. Tapi kalau sudah nyebur ke jurang baru jadi berita. Kadang-kadang dia tunggu dulu sampai orang itu masuk jurang. Bahkan bila perlu didorong agar masuk jurang supaya jadi berita.”Itulah kritik Habib Muhammad Rizieq Shihab, Ketua Front Pembela Islam (FPI), terhadap media-media massa, yang baginya, sering tidak adil dalam memberitakan aktivitas ormas yang dipimpinnya.
Padahal, bagi Habib Rizieq, demikian ulama vokal ini biasa disapa, FPI memiliki empat metode dalam menjalankan setiap aktivitasnya, yang jarang diungkap media-media massa. Pertama, FPI harus mengedepankan kelembutan sementara tindakan tegas hanyalah solusi akhir. Kedua, FPI hanya concern terhadap jenis “kemaksiatan” yang sudah disepakati, bukan yang masih diperselisihkan. Ketiga, FPI hanya memerangi maksiat yang dilakukan secara terang-terangan dan terbuka. Keempat, FPI membagi dua wilayah: amar makruf dan nahi mungkar. Amar makruf adalah wilayah kemasiatan yang “didukung” oleh masyarakat, misalnya, karena persoalan mata pencaharian. Di sini, tidak dilakukan tindakan tegas demi menghindari konflik horizontal dan mudarat yang lebih besar.
Wilayah seperti ini adalah harus didekati dengan memperbanyak dakwah, mengirim ustad, dan melakukan pencerahan tentang buruknya maksiat. Sedangkan wilayah nahi mungkar adalah ranah kemasiatan yang sudah tidak disukai oleh masyarakat. Hanya saja karena kemaksiatan itu didukung oleh pihak-pihak yang punya kekuatan, maka masyarakat menjadi takut dan diam.
“Inilah penegakan amar makruf dan nahi mungkar model FPI yang tak pernah diungkap media,” keluh Rizieq, yang pernah mendekam di Rutan Salemba selama tujuh bulan karena dianggap menyebarkan perasaan permusuhan dan kebencian terhadap pemerintah (154 KUHP) pada Agustus 2003.
Di rumahnya yang sederhana, di Gang Bethel kawasan Petamburan, ulama berusia 43 tahun, lulusan Ummul Quro, Saudi Arabia, itu menerima Majalah SYIAR untuk berbincang seputar Islam di Indonesia.
Bisa diceritakan mengapa Anda membentuk FPI?
FPI lahir karena tuntutan situasi dan kondisi ketika kemaksiatan dan kezaliman merajalela di mana-mana, sehingga harus ada barisan umat yang berani mengambil sikap tegas, jelas, dan nyata dalam berkonfrontasi melawan kemasiatan, kemungkaran, dan kezaliman. Visi dan misi FPI adalah amar makruf dan nahi mungkar menuju penerapan Islam secara kaffah.
Ulama menjelaskan bahwa hisbah (perkara-perkara yang tidak ada dalam narasi agama tetapi tidak boleh diabaikan—red) tidak berlaku hanya pada negara tetapi juga pada perorangan. Imam al-Mawardi dalam al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, manakala negara telah melaksanakan tugas hisbah -nya, maka individu tidak wajib lagi. Cuma yang jadi pertanyaan, bagaimana bila perangkat di negara ini tidak menegakkan hisbah? Maka, kewajiban itu tidak gugur dari pundak kita.
Di Indonesia, kewajiban hisbah ada pada pundak pemerintah, penegak hukum, polisi, jaksa, hakim, dan seterusnya. Manakala perangkat ini bekerja dan berfungsi secara optimal, maka organisasi semacam FPI tidak diperlukan lagi. Sebaliknya, bila semua perangkat itu tidak berfungsi, maka keberadaan FPI menjadi keharusan dan kebutuhan. Sebagai bagian dari masyarakat, FPI adalah perwujudan penolakan atas kemaksiatan dan kezaliman.
Apakah Anda punya model negara ideal yang menjalankan syariat Islam?
Sekarang ini telah bermunculan negara-negara Muslim yang menjalankan hukum Islam. Di samping punya kelebihan, mereka juga punya kekurangan. Contohnya adalah Iran. Setelah Shah Iran tumbang, Ayatulah Khomeini dan pengikutnya membentuk Republik Islam Iran. Terlepas dari perbedaan mazhab yang ada, kita juga jangan lupa bahwa model kepeimipinan Islam ini kan juga terlihat di Sudan meskipun sudah diacak-acak kekuatan asing. Kalau lemah, niscaya Iran pun akan diacak-acak. Sebagaimana kita tahu, sejak memproklamasikan diri sebagai Republik Islam, Iran langsung diserang Irak, dan terjadilah Perang Teluk. Iran dikerubuti berbagai macam negara dan tekanan Barat juga tidak berkurang. Artinya, tidak ada satu pun negara Islam di dunia ini yang akan luput dari tekanan. Di Aljazair, partai Islam sudah menang pemilu tapi dikhianati.
Di kalangan Syiah, Iran sudah menjadi contoh, meskipun ada perbedaan pendapat antara Khomeini dan Muhammad Jawad Mughniyah tentang konsep “wilayatul faqih” yang belum tuntas hingga saat ini. Polemik ini adalah salah satu wujud kekurangan Iran. Sedangkan dari segi sistem politik, Iran boleh dikatakan sudah menjadi percontohan. Kita berharap ke depan akan muncul negara-negara Islam lainnya yang bisa menjadi percontohan.
Ada beberapa kesan yang saya dapat dari kunjungan saya ke Iran. Sebagai Sunni Syafi’i, tentu kita punya pandangan sendiri tentang Syiah. Namun demikian, antara memandang Syiah dari jauh dengan memandang Syiah dari dekat itu beda. Dari jauh, Syiah itu begini dan begitu. Sedangkan bila dilihat dari dekat, ternyata tidak seperti itu. Setidaknya, kunjungan saya (ke Iran—red) itu akan melunturkan kebekuan. Tadinya mungkin kaku dan anti-dialog. Tapi setelah kunjungan itu, agak sedikit lebih cair dan terbuka. Yang kemarin tidak mau mendengar sekarang jadi mau mendengar. Yang kemarin mau menyerang kini mengajak dialog.
Ke depan, sikap ini perlu dikembangkan. Sebetulnya banyak perbedaan Sunni-Syiah, baik dalam ushul maupun furu’. Tapi kita ingin menjawab dalam realita kehidupan sehari-hari, apakah betul tidak ada jalan untuk mendudukkan mereka bersama. Apakah betul tidak ada ruang dialog di antara mereka?
Saya lihat banyak sisi yang bisa didialogkan. Selama secara terang-terangan dan terbuka mencaci-maki Abu Bakar, Umar, dan Usman, berarti orang-orang Syiah telah menutup pintu dialog. Mustahil ada Sunni yang mau diajak dialog kalau mendengar dari mulut Syiah sesuatu yang jelek tentang mereka. Orang Syiah mesti memahami kejiwaan dan perasaan sensitif Sunni sehingga tidak mencaci-maki atau menghina, apalagi mengkafirkan mereka.
Begitu juga sebaliknya. Sunni tidak boleh menggeneralisasi bahwa semua Syiah itu kafir dan sesat. Kalau diambil, pasti sikap seperti ini akan menyakiti hati orang-orang Syiah. Ini juga akan menutup pintu dialog.
Jadi, persatuan yang saya pahami bukan soal sependapat atau tidak sependapat. Persatuan adalah masalah hati. Bila hatinya baik, berjiwa besar, mau menerima perbedaan, mau berdialog, tidak mencaci-maki, dan tidak menghina, setiap orang pasti bisa bersatu. Tapi kalau hatinya sudah busuk dan rusak, orang tidak akan pernah bisa (bersatu—red). Perbedaan kecil sedikit pun bisa menimbulkan permusuhan.
Perbedaan sekecil apa pun, bila disikapi dengan jiwa kerdil, dada sempit, sikap egois, dan mau menang sendiri, pasti akan mendatangkan perpecahan dan malapetaka. Apalagi kalau perbedaannya besar, wah sudah pasti hancur lebur. Sebaliknya, perbedaan sebesar apa pun, kalau disikapi dengan jiwa besar, dada lapang, sikap tafâhum, dan saling hormat, insya Allah tidak akan menimbulkan perpecahan.
Sekali lagi, persatuan ini adalah masalah hati. Kita tidak bisa memaksakan orang untuk sependapat. Mustahil. Sebab perbedaan pendapat adalah sunnatullah yang akan selalu ada di setiap tempat dan zaman.
Bila Syiah mengkritik kepemimpinan Abu Bakar dengan cara ilmiah dan santun dan disertai dalil-dalil dan argumentasi yang baik, Sunni wajib menjawabnya. Kita pun mesti menjawab pertanyaan-pertanyaan orang kafir yang bertanya tentang akidah kita. Seperti Ahmad Deedat terhadap pertanyaan-pertanyaan orang kafir. Begitu juga sebaliknya. Nah, kedua belah pihak (Sunni-Syiah—red) harus menjawab dengan santun.
Kalau Syiah, tanpa angin dan hujan, tiba-tiba mencaci Abu Bakar, itu sama saja ngajak perang. Kritik terhadap sahabat, yang bagi Ahlusunah adalah tabu tetapi biasa bagi Syiah, hendaknya disampaikan dengan adab, ilmiah, akhlaqul karimah, dan tidak emosional.
Membangun hal seperti ini tidaklah mudah tetapi ini bisa menyatukan hati dan langkah dalam kalimatullah. Itu yang lebih penting.
Pandangan Anda tentang Syiah di Indonesia?
Kalau yang saya lihat selama ini, hubungan saya baik dengan kawan-kawan Syiah di Indonesia. Apa yang saya sampaikan ke Anda sekarang ini juga sudah saya sampaikan kepada mereka. Contohnya kepada Ustad Hassan Daliel, saya katakan, “Bib (habib—red), kenapa kita bisa jalan bareng? Karena saya belum pernah mendengar Anda mencaci-maki sahabat. Nah, ini perlu dijaga. Yang saya dengar kritik antum juga sopan. Tapi kalau suatu saat saya mengkafirkan Anda dan Anda maki-maki sahabat, kita bisa musuhan.” Ini sebagai gambaran umum dari apa yang saya terima dari Ustadz Hassan Daliel, Ustadz Othman Shihab, Ustadz Agus Abubakar, Ustadz Husein Shahab, Ustadz Zein Alhadi, dan banyak lagi ustadz-ustadz Syiah yang tidak perlu saya sebutkan satu persatu. Saya belum pernah mendengar ungkapan jelek dari mulut-mulut mereka. Yang saya tahu mereka adil, berilmu, berakal, dan beradab. Mudah-mudahan hubungan ini bisa dipertahankan. Bahkan bukan hanya itu, saya berharap orang-orang seperti mereka mampu tampil ke depan mendorong orang-orang Syiah yang di bawah atau junior-junior mereka agar tidak mencaci-maki sahabat nabi. Sebab, ada satu saja Syiah yang mencaci-maki sahabat, nanti orang-orang Sunni yang tidak paham akan menggeneralisasi bahwa Syiah memang seperti itu. Orang awam kan mudah menggeneralisasi.
Iran dikenal sebagai negara yang paling banyak membantu perjuangan Hamas dan rakyat Palestina yang notabene Sunni. Apakah kenyataan ini tidak bisa dijadikan momentum persatuan Sunni-Syiah?
Iya, betul itu. Itu hal yang saya sangat catat. Waktu saya ke Iran kemarin, Khaled Mishal (Ketua Depatemen Politik Hamas—red) baru saja pulang dari Iran, tempat yang sama dengan yang kita datangi.
Jadi, hubungan Hamas dan Hizbullah yang saling topang dan bantu seharusnya menjadi potret bagi persatuan umat. Mereka tetap pada pendapatnya masing-masing. Tapi pada saat mempunyai musuh bersama yang bernama Israel dan Amerika, kekafiran dan kezaliman, Hamas-Hizbullah bisa duduk dan jalan bersama. Kita juga bisa melihat hubungan erat antara Hasan Nasrullah (Sekjen Hizbullah—red) yang Syiah dengan Fathi Yakan (tokoh Ikhwanul Muslimin di Lebanon) yang Sunni. Bahkan Nasrullah ngomong secara terbuka bahwa Fathi Yakan-lah yang pantas menggantikan Siniora. Inilah potret positif yang luar biasa di zaman modern ini.
Di sisi lain, kita juga sedih bagaimana Syiah dan Sunni di Irak begitu gampang diadu domba. Ini jelas permainan pihak ketiga. Dia (pihak ketiga—red) meledakkan mesjid Syiah dan menuding Sunni, dan kemudian meledakkan mesjid Sunni dan menuding Syiah.
Saya berharap kita bisa mengembangkan potret Sunni-Syiah yang pertama. Potret yang kedua harus dihentikan segera. Sekarang di mana-mana semakin transparan adu dombanya, seperti di Irak dan Pakistan. Karena Syiah di Indonesia tidak besar, maka (adu domba itu—red) belum terasa. Tapi di beberapa tempat adu-domba ini jelas berhasil.
Syiah bukan barang baru di Indonesia. Menurut Sejarahwan, Syiah datang dari Gujarat dan Persia. Setidaknya budaya Persia cukup dikenal dalam tradisi keberagamaan di Indonesia. Apakah ini bisa jadi salah satu faktor pemersatu Sunni-Syiah?
Iya, itu bisa jadi faktor. Tapi, tetap faktor utamanya adalah masalah jiwa besar dan akhlak yang baik. Orang Syiah yang berilmu dan berakhlak tidak akan mungkin dari mulutnya keluar caci-maki kepada umat lain. Tidak ada. Saya kenal ulama-ulama Syiah yang berakhlak dan berilmu. Tidak ada keluar kata-kata kotor dari mulut mereka. Jadi, bila ada aktivis-aktivis Syiah yang mengeluarkan kata-kata kotor tentang sahabat, saya jadi heran, mereka itu ngikutin siapa?
Jadi, semua kembali ke hati, yang gambarannya bisa dilihat dari mulut. Bila mulutnya sudah penuh umpatan dan caci-maki, pasti hatinya sudah jelek. Kalau hatinya baik, dia bisa menghargai orang. Dia bisa mengetahui dan menahan ucapannya yang bisa menyinggung saudaranya. Bila ingin menyampaikan kebenaran, ia menyampaikannya dengan santun. Bahkan bila kita berhadapan dengan orang kafir, meski mungkin hatinya mencaci-maki Islam, yang menyampaikan kritiknya dengan sopan, kita mesti menjawabnya. Nabi dulu juga berdialog dengan orang musyrik, kafir, Nasrani, dan Yahudi. Itu contoh bagi kita.
Bagaimana dengan fatwa MUI yang menyesatkan Syiah?
Begini, kita tidak bisa menggeneralisasi semua Syiah sesat atau semua Syiah tidak sesat. Sebab orang Syiah pun merngakui bahwa di internal Syiah pun terdapat macam-macam golongan, dan di dalamnya ada pula yang sesat, yakni yang menuhankan Ali, meyakini Jibril salah menyampaikan risalah, dan al-Quran yang seharusnya lebih tebal daripada sekarang. Itu ada dan diakui oleh Syiah mainstream. Dalam hal ini, yang dimaksudkan dengan fatwa MUI tadi adalah Syiah yang semacam itu.
Yang perlu disadari betul oleh Syiah adalah bahwa Ahlusunah punya sikap tegas soal sahabat. Bagi Sunni, siapa pun yang mencaci-maki dan apalagi mengkafirkan sahabat akan dikatakan sesat. Ini kunci.
Oleh karena itu, untuk mengambil jalan tengah, Syiah harus menahan diri dari mencaci-maki dan mengkafirkan sahabat. Ajaklah Sunni berdialog, seperti yang dilakukan kelompok Zaidiyah yang masih bagian dari Syiah. Kenapa Sunni dan Zaidiyah bisa akrab? Bahkan, kitab-kitab Zaidiyah, seperti Subulus Salâm dan Naylul Awthâr, dipakai di pondok-pondok (pesantren—red) Sunni.
Jadi, yang dikafirkan MUI tanpa ragu-ragu adalah Syiah yang mengkafirkan sahabat, yang meyakini al-Quran berubah, atau yang menganggap Ali lebih afdhal daripada Muhammad. Sekarang tinggal Syiah Indonesia introspeksi diri, apakah mereka masuk ke dalam ciri-ciri yang disesatkan MUI? Kalau tidak masuk dalam kelompok tersebut, tidak perlu gerah dengan fatwa itu. Saya sendiri lebih suka MUI membuka dialog. Hendaknya MUI mengundang tokoh-tokoh Syiah Indonesia untuk klarifikasi seperti apakah Syiah mereka itu.
Sekali lagi, saya berpendapat, kita tidak bisa mengeneralisasi Syiah. Sebab, Syiah itu macam-macam: ada yang moderat, konservatif, ekstrem, dan bahkan ada yang kafir. Bahkan, Muhammad Jawad Mughniyah (ulama Syiah Lebanon—red) dalam al-Fiqhu ‘ala al-Mazhâhib al-Khamsah mengatakan bahwa Syiah ghulat adalah kafir. Katanya, gara-gara ghulat, kami, Syiah Ja’fariyah, yang moderat jadi tertuduh. Waktu di Qum, saya melihat aparat menggerebek majelis Syiah Alawiyah, yang menuhankan Ali. Artinya, yang mengkafirkan Syiah ghulat bukan hanya MUI, bahkan ulama Syiah pun mengkafirkannya. Jadi kita perlu memahami konteks fatwa MUI tersebut.
Salah satu cara mendidik umat adalah menghidupkan tradisi keagamaan. Bagaimana sikap FPI?
Dari segi praktiknya, FPI tidak beda dengan NU dalam hal menjalankan tradisi Islam. FPI bukan kelompok nawasib (Sunni ekstrem—red). FPI adalah Sunni Syafi’i, meskipun tidak disyaratkan secara mutlak. Menghormati Nabi saw dan keluarganya sangat dijaga dalam FPI. Setiap anggota FPI wajib mencintai Ahlulbait, sahabat, tabi’in, dan tabi’ut-tabi’in, dan bahkan ulama sekarang. Di dalam FPI, tradisi cium tangan ulama masih berlaku. Bagi FPI, itu hanya sekadar penghormatan bukan pengkultusan, termasuk juga memperingati hari besar Islam, seperti tahun baru Hijrah, Maulid, dan Asyura yang sejarahnya diakui Sunni.
Di Indonesia, tradisi Maulid bisa (berlangsung—red) sampai 4 bulan. Di Iran, Maulid hanya diselenggarakan pada 12 hingga 16 Rabiul Awal. Tanggal 12 adalah versi Sunni sedangkan 16 versi Syiah. Berarti 1 minggu berturut-berturut (di Iran—red) diperingati Maulid sebagai bentuk penghormatan kepada Sunni-Syiah. Di Indonesia, (Maulid—red) bisa sepanjang tahun. Kadang-kadang bulan puasa pun baca Maulid. Di FPI, ratiban dibaca tiap kamis sore.
FPI juga punya munajat al-jabhah, artinya “munajat front”. Isi munajat itu adalah ratib haddad, ratib athos, wirid Syekh Abu Bakar bin Salim, dan wirid akidah Syekh Ali bin Abu Bakar as-Syakrar. Jadi, itu gabungan dari beberapa wirid yang pernah diamalkan para habaib terdahulu, seperti Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad, Habib Umar bin Abdurrahman Alathos, Syekh Abu Bakar bin Salim, dan lain-lain. Mereka ini mempunyai wirid dan munajat yang kita baca. Ada juga wirid dari Ahlulbait Nabi saw, seperti munajat Sayyidina Ali, Sayyidah Fathimah, dan Imam Ali Zainal Abidin, yang juga dibaca FPI, bukan hanya di Jakarta tetapi juga FPI di seluruh Indonesia.
Bagaimana relasi dengan kelompok Islam lain yang anti-tradisi?
Saya bergaul dengan berbagai macam kelompok. Dengan Ustad Abubakar Baasyir, saya sudah seperti keluarga. Saya anggap dia itu orang tua dan kawan. Meskipun orang tahu bahwa kita berdua punya pandangan yang berbeda tentang tradisi. Beliau orang yang arif. Beliau tetap punya pendapat dan dalil tetapi tidak menyerang kita. Saya bisa duduk dan diskusi bersama. Ada urusan umat yang lebih besar daripada sekedar kebolehan dan keharaman tahlil. Ada prioritas.
Kadang-kadang kita juga bicara tentang persoalan furu’, tetapi sifatnya ringan saja. Misalnya, waktu sama-sama di Lapas Salemba, kita sempat bicara tentang qunut subuh. Saya qunut karena ikut mazhab Syafi’i. Beliau tidak pakai qunut. Suatu kali beliau bilang dapat dalil bahwa Ibnu Abbas juga pakai qunut. Artinya, beliau juga mengkaji tetapi pembicaraannya ringan dan tetap saling menghormati.
Kenapa bisa demikian? Karena kita bisa berjiwa besar dan berlapang dada. Kalau mereka tidak menyerang kita, kita juga tidak boleh menyerang mereka. Kalau sekedar kritik dengan ilmu dan adab, ya…boleh saja dan itu juga perlu dijawab dengan cara yang serupa.
Tidak bisa kita identikkan tegas dengan ekstrem sehingga membenci segala macam tradisi. Kalau Salafi mengkritik dengan baik-baik, kita juga akan menjawabnya dengan baik-baik. Tapi, kalau ada orang-orang yang mudah memusyrikkan dan mengkafirkan orang-orang yang tawasul dan tabaruk, maka sesungguhnya mereka tidak bisa membedakan antara kemungkaran yang disepakati, yang memang harus dilawan dengan tegas, dan bagian-bagian yang tidak disepakati perihal mungkar tidaknya. Ini adalah persoalan khilafiyah. Sikap terhadapnya berbeda.
Bagaimana Anda membina keluarga? Kondisi Anda sekarang ini tentu berefek juga secara psikologis kepada anak-istri?
Yang saya pahami, rumah tangga adalah miniatur dari penegakan dakwah, amar makruf, dan nahi mungkar sebelum (ketiga konsep itu—red) diterapkan di luar rumah tangga.
Yang saya lihat, banyak orang yang salah mengartikan konsep dakwah, amar makruf, dan nahi mungkar sehingga terjadi kesemrawutan definisi, pengertian, dan penerapan konsep ini. Padahal ketiga hal itu mempunyai metodenya sendiri-sendiri. Meskipun secara umum, setiap dakwah pasti mempunyai kandungan amar makruf dan nahi mungkar. Setiap amar makruf dan nahi mungkar pun pasti mengandung unsur dakwah. Ketiganya saling mengisi dan terkait.
Tetapi mengapa dalam ayat tersebut, Allah membedakan ketiganya? Berarti ada fokus penekanan yang berbeda satu sama lain.
Bentuk realistisnya ada dalam rumah tangga. Dalam hadis dikatakan, anak di bawah 7 tahun tidak boleh dipaksa salat, disuruh pun tidak usah. Cukup diajak dan diberi contoh saja. Nah, mengajak itu namanya dakwah. Kenapa cuma dakwah saja? Sebab, anak kecil belum tahu apa-apa. Dia tidak tahu mana baik dan buruk. Sifat khas mengajak adalah kelembutan, tidak boleh secara keras dan malah harus merayu.
Pada usia 7-10 tahun, anak sudah disuruh, bukan lagi diajak. Nabi saw mengatakan “suruh”. Ayo kita salat dan ambil wudu. Menyuruh lebih tegas daripada sekadar mengajak. Tidak ada rayuan lagi. Ini sudah masuk konsep amar makruf, seperti atasan yang menyuruh bawahan. Saat usia 10 tahun, Nabi saw menyuruh “dan pukul mereka saat berusia 10 tahun”. Begitu kita pukul untuk salat, itu sudah masuk tahap nahi mungkar.
Jadi, dakwah mesti lembut sementara amar makruf mesti keras?
Masyarakat awam yang masih belum ngerti Islam sama seperti anak yang belum berusia 7 tahun. Ini juga berlaku bagi mereka yang belum masuk Islam atau kafir. Bagi yang baru kenal Islam, anggap saja mereka baru berumur 7 tahun. Konsep amar makruf bisa diterapkan setelah mereka lama mengenal Islam tetapi bandel tidak mau melaksanakan syariat. Saat itu, kita bisa anggap mereka sebagai anak usia 10 tahun ke atas, mesti keras, dipukul, seandainya mereka coba-coba bikin maksiat.
Sikap saya dalam rumah tangga dan di luar rumah tidak jauh beda. Anak-anak saya sudah tidak kaget melihat saya perang dengan mafia. Anak-anak saya juga sudah tidak kaget bila menerima telepon bernada teror, mengancam, dan mencaci-maki. Sebab, mereka sudah kita doktrin. Mereka akan mengatakan, “wah itu musuh abah.” Yang penting kan bukan abahnya yang dibilang penjahat (tertawa). Karena itulah, anak-anak saya tidak pernah malu bila melihat saya di penjara. Mereka tetap percaya diri, tidak minder, dan malah bangga karena ayahnya di penjara demi membela agama.
Siapa guru yang paling berperan dalam membentuk karakter Anda seperti sekarang?
Dulu saya, Ustadz Hassan Daliel dan Ustadz Othman Shihab, sama-sama belajar di al-husaini bimbingan Almarhum Habib Muhsin bin Ahmad Alatas. Guru saya ini ahli fikih yang tegas. Dia akan katakan yang hitam ya hitam dan putih ya putih, yang halal ya halal, yang haram ya haram. Beliaulah yang paling banyak memberikan dorongan dan mewarnai pemikiran saya karena beliau pulalah yang mengenalkan saya sejak awal tentang apa itu Islam. Ini yang paling berkesan. Dia mengatakan yang hak itu hak, yang batil itu batil, walaupun seisi dunia akan mencerca kita. Itulah yang saya pegang sampai sekarang. Dan itulah pula yang saya terapkan dalam keluarga
___________________________________
WAWANCARA KH. Dr. Said Aqiel Siradj:
“Ja’fari, mazhab resmi Islam kelima”Bicaranya lugas khas kiai pesantren. Namun data dan istilah yang rancak terselip dalam kalimat-kalimatnya menunjukkan bahwa dia bukan sekadar kiai pesantren biasa, melainkan juga intelektual yang mengenyam pendidikan tinggi dan mempunyai pergaulan yang luas. Kyai Said, demikian sapaan akrab DR. KH. Said Aqiel Siradj.
Ditemui SYI’AR di ruangannya di kantor PBNU, ulama asal Palimanan, Cirebon, ini cerita banyak tentang kunjungannya ke Qatar, sikapnya tentang kerukunan antar-mazhab, kultur Syiah dalam NU dan penjabarannya tentang kondisi umat Islam Indonesia. Berikut kutipannya:
Anda bisa ceritakan tentang pertemuan Qatar?
Saya diundang dalam pertemuan Suni-Syiah di Doha, ibukota Qatar, pada 20-22 Januari 2007. Tujuannya mempersempit atau memperkecil sudut pandang Suni-Syiah yang sudah barang tentu penting sekali.
Pertemuan pada hari pertama memang panas. Terutama pihak Suni. Yusuf Qardhawi, Syekh Wahbah Zuhaili dan Syekh Ali Syabuni punya syarat bahwa mereka bisa bertemu apabila pihak Syiah menghentikan caci maki terhadap sabahat. Mereka tidak akan mau bertemu apabila Syiah masih mengatakan misalnya ‘laknat Allah’ kepada Aisyah karena Suni mengatakan ‘Semoga Allah meridhainya’.
Kemudian yang sangat disayangkan dan juga dikritik oleh Syekh Yusuf Qaradhawi adalah penyebaran Syiah di kalangan Suni. Dia juga bilang Indonesia sebagai salah satu basis penyebaran Syiah dengan menyebarkan buku-buku terjemahan dan lain sebagainya.
Lebih seru lagi, Syekh Qaradhawi di forum ini meminta Ali Taskhiri mengucapkan Aisyah radhiya Allahu anha (ra). Dan Syekh Ali Taskhiri mau melakukannya. Tidak berhenti di situ, dia juga minta semua utusan Iran mengucapkan hal yang sama seperti Ali Taskhiri. Ini kejadian yg sangat disayangkan dan sesungguhnya tidak perlu terjadi di forum yang mulia ini. Tetapi pada hari kedua sudah mulai cair.
Hasil dari seminar itu, pada intinya, masing-masing pihak menghargai peranan masing-masing dan mengendalikan kalangan ekstrim dari masing-masing mazhab. Menurut Ali Taskhiri, di kalangan Syiah memang ada juga orang-orang yang ekstrim dan fanatik dan dengan tidak bertanggungjawab mencaci maki sahabat dan Suni. Demikian pula di Suni. Sementara NU sendiri tidak pernah mencaci maki Syiah. Tapi di kalangan Wahabi memang banyak yang ekstrim. Pada pertemuan itu, saya diberi kesempatan berbicara dua kali. Pada forum tersebut, saya mengajak kedua pihak untuk masing-masing menulis buku tentang pengakuan dan penghargaan Suni terhadap Syiah dalam membangun peradaban. Begitu juga Syiah, menulis buku tentang peranan Suni dalam membangun peradaban.
Sebenarnya hal (pertemuan Suni-Syiah) ini sudah lama dilakukan oleh Syekh Syaltut dan Ayatullah Burujerdi. Hasil dari kesepakatan kedua tokoh tersebut adalah bahwa mazhab Ja’fari diajarkan secara resmi di al-Azhar. Bahkan salah satu keberhasilan tersebut adalah diakuinya mazhab Ja’fari sebagai mazhab resmi dalam Islam sebagaimana empat mazhab lainnya. Bahkan rektor Al-Azhar, Dr. Ahmad Thayyib, mengatakan banyak kaidah hukum yang diambil dari mazhab Ja’fari adalah sah, ketika tidak ditemukan pada empat mazhab. Walhasil, mazhab Ja’fari adalah setara dengan empat mazhab lainnya.
Hal apakah yang mendorong terselenggaranya pertemuan tersebut?
Saya kira pertemuan itu didorong oleh kondisi di Irak. Masing-masing menuduh. Suni menuding Iran menyuplai senjata. Demikian pula Syiah menuding kelompok Suni Irak mendapat senjata dari Saudi. Lepas dari masalah itu semua, perpecahan di Irak harus dihentikan. Para ulama di sana harus mengendalikan umatnya, karena bukan hanya sekadar perbedaan pendapat tapi juga sudah ribuan nyawa melayang di sana.
Apakah benar Iran di belakang konflik sektarian itu?
Saya tahu ini rekayasa Amerika. Saya tahu sengaja dibangun opini bahwa ini adalah konflik mazhab Suni-Syiah. Padahal ini murni politik, toh dulu tidak pernah terjadi konflik seperti ini. Saya bisa tegaskan di sini bahwa Iran, selalu dan selamanya, membela Palestina. Padahal di Palestina tidak ada Syiah, semuanya Suni. Tapi Iran matian-matian sampai berkorban dan rela ditekan Amerika karena perjuangannya bagi Palestina. Karena itu harus dipahami Iran berdiri bukan hanya untuk Syiah, bukan hanya untuk partai, tapi juga untuk Islam.
Apakah pertemuan Doha itu memang khusus untuk masalah sektarian di Irak atau memang pertemuan reguler?
Pertemuan Doha ini terdorong karena keadaan di Irak. Kalau yang reguler adalah yang di Iran dan semua pihak diundang dalam pertemuan itu. Walhasil, masing-masing pihak selalu ada yang ekstrim, dan itu salah. Di Syiah ada yang ekstrim mencaci maki Suni dan di Sunni juga tidak kurang atau kelewatan. Waktu Imam Khomeini pulang ke Iran, terbit sebuah buku yg menghujat beliau kira-kira judulnya Ja’a Daurul Majus ‘Tibalah Saatnya Majusi Kembali’. Itu sudah keterlaluan. Sebenarnya bila bicara masalah perbedaan mazhab, itu bukan konsumsi pasar. Bukan obrolan orang awam. Tapi kalau masing-masing sudah menyebarkan buku murahan dan saling caci maki dan menjadi konsumsi awam akan berbahaya sekali. Bahaya terhadap Islam.
Jadi siapa yang berhak menetralisir segala macam isu yang bisa memecah belah persatuan umat ini?
Ulama, dong. Seperti yang saya katakan tadi, Syekh Al-Azhar, Syekh Mahmud Syaltut, mengadakan pendekatan dengan Ayatullah Burujerdi yang kemudian berdampak besar, sampai akhirnya Mazhab Ja’fari resmi dianggap sebagai mazhab kelima, selevel dengan mazhab yang empat. Apa isu Suni-Syiah demikian krusialnya sampai-sampai diadakan pertemuan Doha? Apa tidak ada isu lain?
Kenyataannya, sekarang (di Irak) sudah saling bunuh. Faktanya begitu. Dalang di belakang kejadian ini kita semua tahu. Juga isu senjata Syiah disuplai Iran dan senjata Sunni disuplai Saudi. Kita semua tahu siapa dalang sesungguhnya. Ini adalah kerjaan Amerika untuk memecah belah Irak. Tapi kan, beberapa ulama terpengaruh. Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Syekh Qardhawi, Wahbah Zuhaili dan Ali Syabuni barangkali terpengaruh juga oleh isu ini.
Seandainya kita bisa berbicara dengan jernih, kembali pada dasar yang paling prinsip, semua mazhab hakikatnya sama kecuali pada hal-hal yang furu’ (parsial). Kenapa kita bisa dialog dengan non-Muslim tapi tidak bisa dengan Syiah kalau tidak dibesar-besarkan oleh kepentingan politik?
TENTANG ISLAM DI INDONESIA.
Ulama sedunia bisa bersatu mengenai isu Palestina. Tapi negara tempat ulama itu tinggal mempunyai policy yang berbeda. Bagaimana pendapat Anda?
Pertanyaan Anda mulai berkembang luas. Di Timur Tengah, pola pikir antara pola pikir agama dan nasionalisme belum selesai. Karena nasionalisme Timur Tengah itu universal. Banyak mengadopsi konsep Ernest Renan yang memisahkan gereja dan negara. Ketika di Eropa lahir bangsa-bangsa, sama sekali tidak ada pembicaraan tentang agama. Artinya tidak ada poin agama dalam konsep nasionalisme sehingga kaum Muslim menganggap bahwa nasionalisme adalah sekuler murni.
Pada umumnya ketika Khilafah Islamiyah di Turki tumbang pada 1924, yang menghadapi penjajah adalah kaum nasionalis. Dan mereka berhasil. Di Mesir ada Muhammad Najib, dan lain-lain. Terakhir merdeka pada zaman Gamal Abdul Naser. Begitu pula di Chad, Mitcel Aflak, Partai Ba’ats, Hafez Asad. Di Irak ada Hassan Sadr, Saddam Hussain. Mereka adalah nasionalis sekuler yang berhasil mengusir penjajah. Setelah penjajah pergi, menurut masyarakat Arab awam, nasionalis gagal membangun pemerintahan. Buktinya juga gagal. Tidak ada persatuan yang permanen. Pernah ada republik persatuan Arab yang anggotanya Mesir, Libia dan Syiria tetapi umurnya hanya satu tahun. Jadi bangsa Arab putus asa dengan ide nasionalis. Gantinya adalah Islam garis keras (hardliner). Alhamdulillah, kita wajib bersyukur di Indonesia Islam dan nasionalisme bertemu. Dalam Pancasila, sila pertama agama dan sila kedua kebangsaan. Orang luar negeri heran, bentuk apakah itu. Sebab Islam kita khas, ala indonesia, nasionalisme- relijius. Boleh dikata, tidak ada orang nasionalis yang anti agama. Begitu pula tidak ada agamis yang tidak punya semangat nasionalis.
Sejak berdirinya sampai sekarang, Nahdhatul Ulama juga kuat dengan konsep Negara Darussalam (negara damai), bukan Darul Islam, yang ditetapkan pada muktamar 1926 di Banjarmasin. Konsep Darussalam adalah negara yang mengaku semua komponen yang ada baik suku, agama dan budaya lalu digabungkan menjadi satu: negara Indonesia. Nah, nilai-nilai Islam itu ditransfer melalui semangat kebangsaan. Oleh karena itu, marilah kita isi kebangsaan ini dengan nilai-nilai agama, tidak usah dilegalkan, diformalkan, diresmikan menjadi konstitusi negara tapi cukup negara Pancasila, Republik Indonesia, bangsa Indonesia.
Jadi peradaban bangsa ini kita isi dengan nilai-nilai agama dan agama harus amalkan dan diperkuat. Itu adalah komitmen Wahid Hasyim dan Muhammad Kahar Muzakir setuju mencoret Piagam Jakarta, asal spirit dari Piagam Jakarta masih ada dalam berbangsa ini yaitu mengamalkan ajaran Islam tetapi tidak usah dilegalformalkan.
Dalam pandangan politis, pencoretan piagam Jakarta itu karena lobi orang-orang Indonesia Timur yang akan melepaskan diri dari negara kesatuan Indonesia kalau ada negara Islam?
Iya, saya sangat memahami itu. Tapi apa pun juga sebabnya, persatuan nasional, persatuan nusa dan bangsa harus diperkuat lebih dulu. Kita tidak usah berbicara tentang negara Islam karena itu pasti pecah. Sampai sekarang ini, kalau kita menjadikan negara Indonesia sebagai negara Islam maka akan terjadi perpecahan. Kita prioritaskan dan perkuat dulu persatuan negeri ini. Di dalam persatuan sebagai bangsa mari kita berlomba mengisi negara ini dengan nilai-nilai Islam. Contohnya begini, kalau di sana mereka membangun gereja maka kita harus membangun mesjid. Kalau di sana mereka membangun rumah sakit maka kita harus membangun rumah sakit pula. Nah, itu yang positif. Bukankah begitu? Kalau di sana mereka membangun rumah sakit, bukan rumah sakitnya yang harus dibakar. Kristen membangun gejera yang besar maka kita pun harus membangun mesjid yang besar pula. Orang Kristen membantu bencana alam maka kita pun harus begitu. Jangan sebaliknya, orang Kristen membangun gejara kok malah dibakar.
Bagaimana dengan apologi bahwa agama kita yang berasal dari Timur Tengah yang di sana sendiri agama dan nasionalisme belum bisa bertemu?
Begini, kita mempunyai dasar yaitu Piagam Madinah. Nabi Muhammad saw membentuk sebuah komunitas Muslim di Mekah selama 13 tahun. Itulah yang namakan Ukhuwah Islamiyah, ikatan persaudaran Muslim. Di sana, siapa pun yang non-Islam, walaupun dia adalah ayahnya, kakaknya, ibunya, saudaranya sekalipun bukan saudara. Sebaliknya, siapa pun yang Muslim adalah saudara. Yang Muslim saudara dan yang non-Muslim bukan saudara. Tapi ingat, itu di Mekah. Siapakah yang non-Muslim? Mereka adalah kaum musyrikin, paganis, yang tidak punya kitab suci, tidak punya budaya, tidak punya peradaban dan sebagainya. Yaitu yang Jahiliah.
Kemudian Nabi saw pindah ke Yatsrib. Dinamakan Yatsrib karena yang membangun kota itu namanya Yatsrib bin Tsabit. Di sana kita menemukan sebuah masyarakat yang plural, ada Muslim Muhajirin, penduduk asli setempat (yaitu suku Aus dan Khazraj) dan masyarakat Muslim Anshar itu sendiri, serta tiga suku Yahudi (yaitu Bani Quraizhah, Bani Qainuqa dan Bani Nadhir).
Ketika Nabi pindah ke sana, apa yang dilihat dan dihadapi berbeda pula. Muslim terdiri dari Muhajirin dan Anshar dan non-Muslimnya adalah Ahlulkitab Yahudi, bukan Musyrikin. Maka Nabi segera melakukan perjanjian damai yang menghasilkan surat kesepakatan Madinah yang ada di dalam kitab Sirah Nabawiyah yang ditulis oleh Ibnu Hisyam Anshari (juz. 2 hal. 219-222).
Kesepakatan tersebut bertujuan untuk membangun sebuah kota yang beradab, yang di situlah akan ditegakkan kebenaran, hukum, kesetaraan, tidak ada diskriminasi, persamaan, keadilan, kesejahteraan dan sebagainya. Tidak pandang suku, agama dan lain-lain. Maka dalam piagam Madinah itu, tidak ada satu kata pun kata “Islam” dalam Piagam Madinah. Tidak ada kata “Islam”, tidak ada kata “Al-Quran”. Yang ada hanyalah keadilan, keamanan dan lain-lain.
Poin pertama dalam piagam Madinah itu berbunyi, Innal mukminin min Quraisy, wa Yatsrib, wal-Yahud, waman tabi’ahum wa lahiqa bihim (Orang Islam Quraiys Madinah, orang Yahudi, dan siapa pun yang berkoalisi dengan mereka) innahum ummatun wahidah (mereka umat yang satu). Jadi jelaslah, masing-masing agama itu dipersilakan melaksanakan agamanya masing-masing. Terakhir, piagam ini ditandatangani (disepakati) untuk memberantas kezaliman atau untuk menghadapi kezaliman. Jadi apa pun suku dan agamanya pasti dia akan aman. Nah, Piagam Madinah itulah yang merupakan cikal bakal lahirnya konsep Tamaddun. Maka, Yatsrib diganti namanya menjadi Madinah al-Munawwarah yang berasal dari kata “Tamaddun” yaitu Masyarakat yang berperadaban dan sadar hukum, maju dan modern. Tidak ada negara Islam, tapi negara Madinah. Saya bisa buktikan. Nabi Muhammad saw mau menerima hadiah dari seorang perempuan Mesir yang notabene Ortodoks Koptik, Maryah Qibtiyah, yang kemudian oleh Nabi dikasihkan kepada Hassan bin Tsabit seorang Kristen. Nabi juga menikahi seorang perempuan dari Yahudi, Hafsah bin Huyain.
Bukti lain, ketika Umar bin Khaththab menjadi khalifah, orang-orang Kristen Syiria, Syam, Cyprus dan lainnya lebih suka berada di bawah Madinah daripada berada di bawah kekuasaan Romawi. Ini betul-betul sudah bertamaddun (berperadaban) .
Nah, kalau selama 13 tahun di Mekkah Nabi telah membentuk komunitas Muslim yang diikat dengan Ukhuwah Islamiyah maka setelah Nabi pindah ke kota Yatsrib, Nabi membentuk Ukhuwah Madaniyah, yang kalau kita lihat berarti Ukhuwah Wathaniyah (Hubungan sebangsa dan setanah air).
Terakhir, ketika Nabi mau wafat, beliau berangkat haji dan berkhotbah di Arafah. Pada khotbah itu Nabi hanya mengucapkan, “Ya ayyuhannas, wahai manusia! Sesungguhnya nyawa, harta, dan martabat manusia itu suci mulia, seperti sucinya hari wukuf, bulan haji ini dan Batiullah di Mekkah.” Bukan wahai umat Islam, wahai Umat beragama, wahai Umat Semesta alam. Tapi wahai manusia! Di sini, Nabi Muhammad ingin menyampaikan Ukhuwah Insaniyah, persaudaraan sesama manusia. Setelah itu 84 hari setelah itu Nabi Muhammad wafat.
Jadi, Nabi membangun Ukhuwah Islamiyah di Mekkah 13 tahun dan ditingkatkan di Yatsrib menjadi Ukhuwah Wathaniyah (nasionalis, nasionalis yang Wathaniyah, yang tamaddun, menjalankan kebenaran, keadilan dan bukan monotheisme) .
Dan yang terakhir Nabi bangun adalah Ukhuwah Insaniyah. Untuk ukhuwah yang terakhir ini, orang musyrik, Yahudi, Budha dan Hindu pun semuanya masuk. Semua nyawa, harta dan martabat manusia harus dihargai. Karena dia merupakan Hak Asasi Manusia. NU sendiri memiliki tiga Ukhuwah itu: Ukhuwah Islamiah, Ukhuwah Wathaniah (yang diadaptasi dari Madinah), dan Ukhuwah Insaniah.
TENTANG TEOLOGI KERUKUNAN.
Pelajaran apa yang bisa kita ambil seiring dengan berkembangan Pluralitas dan Multikultural saat ini?
Satu, kita harus memahami watak orang Irak. Sejak dulu mereka susah dipersatukan. Masyarakat Irak pernah bersatu ketika ia dipimpin oleh seorang diktator yaitu Hajjaj bin Yusuf Tsaqafi. Setelah itu selalu saja ada ajang pertikaian.
Irak modern sekarang ini adalah mayoritas Suni kalau dilihat dari Kurdi non-Arab dan mayoritas Syiah kalau dilihat dari Arabnya saja. Jadi (mayoritas) Arab Irak itu Syiah, sedangkan Arab Irak Suni sedikit. Tapi kalau menghitung Kurdi yang non-Arab maka Suni menjadi mayoritas.
Kita berkata terus terang: ayo, Anda mau berangkat dari mana, yang mau ditilik darimana? Bila qaumiah Arabiah (Nasionalisme Arab), maka yang akan jadi mayoritas adalah mayoritas Syiah. Untuk Suni sendiri, dia harus memasukkan suku Kurdi. Masalahnya, suku Kurdi sendiri mazlum (tertindas) selama kekuasaan Saddam Hussain. Satu-satunya presiden yang membunuh rakyatnya sendiri dengan senjata massal, terlepas adanya oposisi atau tidak, hanyalah Saddam Hussain. Di Halabja, jangankan suku Kurdi, ayam, bebek dan unggas lain yang tak tahu menahu pun, semuanya pada musnah. Banyak juga presiden yang membunuh rakyatnya sendiri secara massal tapi tidak dengan senjata pemusnah massal seperti yang dilakukan oleh Saddam Hussain.
Jadi Saddam Hussain lah yang pertama kali menggunakan senjata pemusnah massal untuk membunuh rakyatnya sendiri. Korbannya ada yang menyong mulutnya, ada yang kulitnya terkelupas dan lain sebagainya. Yang selamat pun mengalami cacat.
Dalam konteks Indonesia, pelajaran apakah yang kita bisa ambil dari konflik Irak sekarang?
Kita telah sepakat sejak dulu bahwa negara ini adalah negara Darussalam, negara yang aman dan damai. Bagaimanapun bangsa kita ini memiliki ciri dan tipologi tersendiri dengan menggabungkan atau mensinergiskan antara sila pertama dengan sila kedua, yaitu agama dan kebangsaan. Di negara lain nggak ada. Itulah kelebihan kita. Tinggal kita pelihara dan jaga saja. Konflik yang ada di negara kita ini, terus terang saja, awal mulanya ada yang bikin. Pada awal tadi, negara tidak boleh mengurusi masalah keyakinan umat beragama. Itu adalah urusan para ulama. Tapi pendapat Anda sekarang, negara perlu campur tangan?
Begini, negara itu hanya berperan menerima, menampung, dan melaksanakan aspirasi rakyat melalui ulama karena ulama adalah wakil rakyat yang sebenarnya (informal leader). Ulama menampung aspirasi rakyat, ulama sebagai jembatan yang membuat progress dengan state (negara).
Bagaimanakah dengan sikap negara yang melakukan standarisasi agama, ada agama resmi dan agama tidak resmi?
Itulah problem kita yang harus dibicarakan dengan panjang lebar. Idealnya memang tidak perlu sejauh itu. Tapi untuk mengendalikan keadaan sementara, barangkali sekarang itu masih dibutuhkan. Toh, sejak Gur Dur menjadi presiden, hal itu telah dibuka lebar. Sekarang Kong Hu Chu dijadikan agama resmi. Sekalipun di Depag belum tercatat secara resmi, tapi mereka bisa secara bebas merayakan Imlek dengan Barongsai laksana 17 Agustusan dan Imlek dijadikan hari libur nasional.
Gus Dur membela dan melindungi agama-agama minoritas seperti Kong Hu Chu. Apakah ini juga sikap resmi kaum Nahdhiyyin?
Yang namanya mayoritas itu harus membela dan melindungi yang minoritas. Ada perkembangan baru yang luar biasa ketika Nabi Muhammad saw menganggap Yahudi itu Ahlulkitab. Ketika Sayidina Umar menjadi khalifah, dia masuk ke Persia dan menjumpai kaum yang baru ditaklukkan di sana yang beragama Majusi atau ash-Shabi’ah, penyembah bintang itu. Bagaimanakah ini? Apakah mereka sama dengan musyrikin dan kafir? Keputusannya, mereka adalah Ahlulkitab. Luar biasa ijtihad Umar itu. Dalil Qurannya, “Walladzina amanu, wa Hâdu wash-Shabi’in, man amana billahi”. Jadi mereka adalah monoteis.
Bagaimana pandangan Anda tentang MUI?
MUI itu didirikan di masa Orde Baru, sama dengan KNPI. Kita husnu dzan saja ya. Waktu itu ia bermanfaat sebagai forum antar-mazhab yang mewakili kelompok Islam. Itu okelah. Tapi sekarang masanya sudah berubah. Kita harus tanyakan: Apakah MUI itu? Dikatakan ormas, jelas bukan. Karena MUI tidak punya massa.
Apakah dia semacam Darul Ifta’ (Lembaga Fatwa)?
Kalau dia Darul Ifta’, ya nggak usahlah besar-besar seperti itu. Cukup 10 kyai dari berbagai mazhab yang duduk di situ, ditambah 4 atau 5 orang sekretaris, sudah cukup. Seperti Mahkamah Konstitusi atau Lembaga Kehakiman. Sampai sekarang payung hukumnya belum jelas. NU dikenal sebagai kelompok konservatif dan Muhammadiyah modernis. Sehingga NU bisa dikatakan memiliki ikatan emosional dengan tradisi-tradisi atau agama-agama lokal seperti Islam waktu telu dan Sunda wiwitan. Bagaimana pendapat Anda ?
Kita tetap harus berdakwah tentang Islam yang sebenarnya kepada mereka. Ada prinsip-prinsip ma’lum min ad-din bidh-darûrah (yaitu ada prinsip agama yang tidak bisa ditawar), seperti rukun Islam itu ada lima, rukun iman itu ada enam, Nabi Muhammad itu Nabi terakhir, al-Quran itu wahyu terakhir. Masalah rincian yang parsialnya silakan berbeda.
Kalau begitu, dari berbagai mazhab di Indonesia yang keras dan yang lunak itu, kira-kira perekatnya apa?
Tetap. Kalau mereka mereka masih meyakini rukun Iman dan rukun Islam, mereka masih dikategorikan Islam.
Soalnya masih ada kelompok yang masih mempermasalahkan masalah-masalah yang kecil-kecil begitu…
Gak apa-apa, masalah-masalah itu justru merupakan dinamika kita dalam bermasyarakat. Yang tahlil, yang nggak tahlil, yang salat tarawih 20 atau 8 rakaat itu dipersilakan.
Masih ada yang menyesatkan dan mengafirkan orang tanpa dasar. Padahal mereka tahu bahwa kelompok yang mereka kafirkan itu masih mengimani Allah, al-Quran dan sebagainya?
Kalau begitu nggak akan pernah ketemu. Jangankan dengan non-Muslim, dengan sesama Muslim pun, baik yang Persis, NU, Muhammadiyah, atau pun Syiah, tidak akan ketemu kalau itu masih dipersoalkan.
Ada kalangan yang berpendapat bahwa karena mayoritas Indonesia itu Islam dan tradisinya adalah tradisi Muslim itu maka formalisasi syariat Islam melalui Perda-perda syariat Islam akan semakin menguatkan posisi Islam Indonesia. Pandangan Anda?
Pertama-tama, yang Anda harus ketahui, berapa persen masyarakat Indonesia yang familiar dengan al-Quran? Yang melek sejarah Islam saja, berapa persen? Paling-paling Cuma 12% yang bisa baca dan familiar dengan al-Quran. Kita ini masih dalam marhalah (fase) dakwah, masih jauh dari Islam yang sebenarnya kita inginkan. Yang kedua, (bila ada) teman-teman kita yang kembali ke gerakan salaf, itu bagus dan harus, sebab di dalam hadis dikatakan, “Khairu qurun, qurni tsummal ladzina yalunahum” (sebaik-baik masa adalah masaku dan masa-masa setelahku). Tapi contoh (gerakan salaf) bukan berarti memelihara jenggot dan bercelana di atas mata kaki. Kalau sekadar ingin berjenggot atau bercelana seperti itu, ya silakan.
Kita harus mengetahui bahwa tiga abad pertama Islam itu adalah masa-masa kejayaaan dan keemasan, yaitu masuknya tsaqafah (kebudayaan) hadharah (peradaban), ilmu pengetahuan, ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu tajwid, ilmu qiraat, ilmu nahwu, sharaf, balaghah, kedokteran, astronomi, dengan tokoh-tokohnya: Ibnu Sina, al-Farabi, al-Kindi, al-Khauqa, al-Idrisi yang ahli ilmu bumi. Semua terjadi di abad ketiga Hijriah, di samping Syafi’i, Maliki, Hambali, Hanafi, Bukhari, Muslim.
Jadi, kalau kita mau bicara kembali ke salaf, ayo, saya setuju, tapi ilmunya (peradabannya) bukan hanya simbol sorbannya, jenggotnya dan juga celana yang di atas mata kaki itu. Ayo kita kembali membangun kejayaan Islam seperti salaf.
TENTANG MAULID NABI SAW.
Salah satu bentuk kembali ke salaf yaitu mengagumi Nabi Muhammad saw. Tapi mengapa dalam tradisi Muslim, hanya kelahiran Nabi yang diperingati, sedangkan hari wafat ulama diperingati?
Karena Nabi Muhammad lahir sebagai rahmat bagi seluruh alam, begitu lahir pun sudah menjadi rahmatan lil ‘alamin. Kalau manusia biasa selain Nabi, tidak diketahui akan menjadi apa kelak anak tersebut. Nah, setelah hidupnya terbukti bahwa dia adalah seorang yang alim, barulah wafatnya diperingati.
Kenapa haulnya Nabi tidak diperingati, hanya lahirnya saja?
Karena sejarah dan pujian-pujian dalam syar-syair itu pun hanya pada hari lahirnya saja. (Dikatakan) bahwa Nabi lahir dengan penuh lautan cahaya dan membawa kebebasan, mengangkat derajat manusia, mengubah tatanan dunia. Yang disebut-sebut itu lahirnya dan bukan haulnya. Dalam syair-syair seabrek-abrek disebutkan tentang kelahiran Nabi seperti yang terdapat di dalam Diba, Barzanji dan Burdah, Simtu Durar. Kalau Orang-orang mau menggubah syair atau sastra puji-pujian, yang ditekankan adalah kelahiran Nabi yang membawa rahmat.
Kalau haul ulama? Meniru keteladanannya, itu sebenarnya. Haul Sunan Gunung Jati, misalnya, diperingati karena beliaulah yang berjasa besar membawa Islam dan mengislamkan seluruh Jawa Barat ini. Termasuk wilayah Jayakarta, Banten, Sunda, dan Cirebon. Semuanya menjadi Muslim dan mengalahkan kerajaan Pajajaran pada waktu itu.
Mengapa penghinaan kepada sosok Muhammad mendapat reaksi yang sangat keras dibanding penghinaan kepada Allah Swt atau Tuhan?
Saya tidak akan menjawabnya secara renci. Begini, kalau ada yang mengaku dirinya tuhan, dengan sendirinya dia segera tertolak mentah-mentah oleh semua orang yang waras akalnya. Bisa terjadi ada beberapa atau sejumlah orang akan percaya dengannya. Penghina tuhan akan kualat dengan sendirinya karena Tuhan tetap saja Tuhan. Berbeda halnya ketika ada orang yang mengaku nabi itu, kita akan memprotes keras. Misalnya Nabi dikritik karena poligaminya. Sebenarnya Nabi melakukan itu sebagai siasat perang. Perlu penjelasan dan pemaparan khusus akan hal ini.
Kenapa perayaan Maulid Nabi di masyarakat NU itu lebih meriah dan lebih simbolis ketimbang di masyarakat Muhammadiyah?
Karena di sini ada budaya Syiah. NU menerima budayanya, bukan fikih atau teologinya. Budaya Syiah itu ya mencintai Nabi dan Ahlulbait. Di dalam bait-bait syair Barzanji tidak ada yang memuja dan nyanjung Abu Bakar, Umar dan Usman. Nggak ada.
Contohnya, “Kami mempunyai bapak yang sangat kami cintai, yaitu Muhammad, kami punya Ali al-Murtadha, kami punya as-Sibthain (Hasan dan Husain), kam Imam min ba’da khalafu (dan imam-imam setelahnya) seperti Ali Zainal Abidin, anaknya Muhammad al-Baqir, sebaik-baiknya wali, dan putranya ash-Shadiq (Imam Ja’far Shadiq) dan putranya Ali Ridha, begitu lho.
Jadi budaya Syiah masuk ke NU. Bahkan budaya Syiah pun masuk pesantren. Contohnya penghormatan kepada kyainya. Kalau kyainya meninggal maka yang menggantikannya adalah anaknya sekalipun secara kualitas sangat jauh berbeda. Soalnya keilmuannya, ya dia akan bisa mendapatkan dari guru-gurunya yang lain.
Kalau banyak berasal dari kultur Syiah, apakah masyarakat yang sadar akan beralih ke gaya mencintai Nabi ala Muhammadiyah?
Nggak. Silakan Maulid Nabi dan Dibaan itu dikritik, tetap saja nggak bisa hilang dari kami. Malah yang kritik itu sendiri yang terpental.Mengapa? Sebab Allah Swt sendiri yang memuji beliau. Dalam al-Quran, “Innaka la’alâ khuqin azhîm”. Dan kita punya keyakinan bahwa Nabi Muhammad adalah pemberi syafaat sebagaimana yang tercantum di dalam hadis-hadis sahih. Orang-orang yang banyak dosanya, kalau mereka berziarah kepada Nabi Muhammad dan beristigfar, dan Nabi sendiri memintakan ampunan, pasti mereka akan diampuni dosa-dosanya. “Walau annahum zhalamû anfusahum jâ’ûka fastagfaruhumullah wastagfaruhumur- rasul. Lawajadûllaha tawwabar-rahima.”
Ada yang bertanya, apakah Nabi Muhammad saw masih hidup sampai sekarang? Jawabannya, ya. Nabi masih hidup sampai sekarang. Buktinya, “Assalamu ‘alaika” dalam tahiyat salat, “‘alaika” berarti beliau masih hidup.
Jadi, mereka yang datang ke kuburan jasad Nabi (di Madinah) lalu dia beristigfar dan Nabi memantau istigfar kita kepada Allah, maka Allah akan pasti akan mengampuni dosa-dosanya.
TENTANG KULTUR SYIAH.
Suni plus kultur Syiah ini, apa hanya khas di NU saja ataukah ada di tempat lain juga?
Tidak. di Mesir Maulid Nabi semarak sekali, ada tahlilan dan tawasulan. Begitu pula di Maroko. Di Saudi nggak semua (mengharamkan) , hanya Najd dan Riyadh saja. Orang-orang Hijaz dan Madinah masih (membaca) Barzanji segala macam.
Pada dasarnya umat Islam yang ada di Nusantara ini pada umumnya, terutama NU, berhutang budi banyak terutama kepada Ahlulbait yang telah menyebarkan Islam di Nusantara sejak dahulu kala. Kita semua tahu bahwa beberapa Wali Songo itu rata-rata keturunan Ahlulbait. Karena itu budaya Ahlulbait, budaya Syiah, mempunyai kesamaan dengan budaya Islam Indonesia. Seperti tawassul kepada Sayidina Ali dan Ahlulbait lainnya. Doa-doa seperti hizib yang dibaca oleh orang-orang kampung itu dimulai dengan (mengirim) surah Al-Fatihah kepada Rasulullah dan Ahlulbait.
Tapi tradisi-tradisi seperti itu mulai menghilang dengan datangnya Wahabisme dan modernitas?
Pilar pertahanan Islam adalah budaya. Selama masih ada tahlilan, Diba, Barzanji, puja-puji kepada Rasulullah saw tidak bisa dihilangkan. Partai politik dan ormas bisa dihilangkan atau dilarang, tetapi budaya tidak bisa dihilangkan.
Hati umat Islam Indonesia dan dunia sudah terpatri dengan kecintaan kepada Rasulullah dan Ahlulbaitnya secara mendalam, terlepas dia itu Suni atau Syiah. Semuanya mencintai dan menghormati Ahlulbait.
Di Indonesia ada syair yang dibacakan kalau ada yang tertimpa musibah atau penyakit menular, yaitu: “li khamsatun utfi biha harral wabai hatimah, al-Mustafa wal murtadha wabna huma wa Fathimah” (Saya mempunyai lima orang yang bisa menolak bala yaitu yang pertama, al-Mustafa Muhammad, yang kedua al-Murtahda Ali, dan kedua anakanya Hasan dan Husain, serta yang kelima Fathimah). Itu dibacakan oleh orang-orang kampung. Luar biasa. Selama itu masih dibaca, selama itu pula budaya Syiah masih ada di Indonesia.
Dengan kata lain, Anda ingin mengatakan bahwa Wahabisme tidak bisa masuk ke dalam tradisi NU?
Ya. Silahkan mereka membuat yayasan di mana-mana, tetapi karena sudah jadi budaya itu tidak akan lepas dari NU.
Bagaimana kasus komunitas Syiah di Bondowoso yang diisukan dekat dengan NU?
Itulah yang sangat disayangkan. Saya menghimbau dan mengharapkan kepada teman-teman aktivis Syiah, jangan sekali-sekali memformalisasikan mazhab. NU tidak pernah memusuhi Syiah. Mungkin malah sayang Syiah. Tapi bagaimanapun NU kan Suni yang beraliran Asy’ari dan di bidang tasawufnya adalah al-Ghazali. Jadi, jangan sekali-kali menonjolkan formalitas mazhab. Hubungan kita dengan Ahlulbait (Syiah) sudah sangat indah sekali, tidak bisa dilepaskan atau dijauhkan antara keduanya. Orang-orang awam belum mengetahui sejauh mana budaya Syiah itu. Hanya kita-kita yang berpendidikan sajalah yang memahami semua hal itu. Memformalkan Syiah hanya akan merugikan kita semua.
Bagaimana dengan transfer khazanah keilmuan dari Persia ke budaya Indonesia?
Sangat luar biasa. Contohnya, huruf terakhir kata Arab yang diserap dalam Bahasa Indonesia yang berakhiran “h” dibaca “t”, seperti “surat”. Ini adalah budaya Persia. Ada lagi budaya Persia yang masuk ke dalam budaya Indonesia. Kalau kita membaca al-Quran, misalnya “Hudan lil-muttaqin” , maka (di akhir ayat pendengar) akan dijawab dengan “Allah” (dengan nada panjang dan lembut). Itu merupakan budaya Iran yang mencirikan kelembutan khas Iran. Mesir tidak begitu. Kalau mereka mendengar kata “Hudan lil-muttaqin” dibacakan maka mereka akan menjawab “Allahu Akbar” (dengan suara lantang). Kalau mereka mendengar orang membaca al-Quran dengan merdu kemudian tersentuh hatinya, seperti bacaan Syekh Abdul Basith, maka mereka akan berucap “Allah” (dengan keras).
Konflik antar mazhab semakin mengeras semenjak Wahabisme muncul. Bagaimana NU memahami Wahabi?
Saya memahami Wahabi bagian dari Suni, tetapi Suni versi Mazhab Hambali. Hambali sendiri adalah di antara empat (mazhab) yang paling keras. Hambali ini pun kemudian ditafsirkan oleh Ibnu Taimiyah sehingga menjadi lebih keras. Operasionalnya dilakukan oleh Muhammad bin Abdul Wahab, menjadi semakin keras lagi dibandingkan dengan kepala induk dari mazhab ini sendiri. Salah seorang imam yang paling keras adalah Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab lebih keras lagi daripada Ibnu Taimiyah.
Apakah yang Anda bisa simpulkan dari fenomena ini?
Kesimpulannya yang ingin saya sampaikan adalah bahwa Islam datang ke Indonesia dulu bil hikmah wal mau’izhah wal mujadalah. Dengan penuh hikmah (wisdom), akhlakul karimah, budaya, mauizhah (ceramah yang bagus), dengan diskusi dan debat yang ideal dan bagus. Semua itu dilakukan oleh Ahlulbait dan diteruskan oleh para mubalig dan para Kyai. Konon ada beberapa kyai yang keturunan Ahlulbait, tapi gelarnya dikesampingkan dan ditutupi. Saya sendiri, katanya, ada (garis) keturunan dari Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati. Kyai Sahal Mahfudz keturunan Sunan Kudus. Dan apalagi Gus Dur keturunan Sunan Ampel. Semua itu kembali kepada Ahlulbait. Orangtua-orangtua kita menghapus atau tidak menyebutkan al-Haddad, al-Habsyi dan sebagainya. Semua leluhur saya bliang begitu. Kakek saya semuanya keturunan Ahlulbait.
Kesimpulan kedua, karena dakwahnya bil hikmah, maka budaya itu menyatu dengan kehidupan kita sebagai orang Islam melalui salawatan, puji-pujian dan melalui doa-doa. Jadi kita tidak bisa dipisahkan dengan budaya Ahlulbait. Sekali lagi, budayanya lho, bukan akidah atau politiknya. Cara berpikir Syiah boleh kita ambil meskipun kita berfikih Syafi’i dan berakidah Asy’ari. Lama-lama ini akan menjadi sebuah budaya dan nggak usah ditutup-tutupi.
Di Indonesia juga ada tradisi Asyura (seperti upacara Tabut di Padang dan itu adalah budaya Syiah) juga tradisi mencintai Imam Ali. Semua orang tahu bahwa Sayidina Ali adalah seorang yang hebat dan mulia. Semua ini sudah menjadi sebuah budaya yang turun temurun yang diciptakan di komunitas masyarakat Islam Indonesia.
TENTANG BUDIDAYA TASAUF.
Apabila bentuk-bentuk keagamaan yang simbolis malah meruncingkan perbedaan antar mazhab, bisakah tasawuf atau mistisisme menjadi titik temu?
Mistisisme merupakan titik temu dan muara dari segala agama, bukan saja antara Islam dengan Islam saja tetapi di luar agama Islam. Seperti inilah yang dipraktikkan tasauf. Tidak ada orang yang tidak suka terhadap nilai-nilai keindahan akhlak seperti sabar, tulus dan sebagainya. Nggak ada orang yang menolak semua nilai itu meskipun kalangan Kristen, Hindu dan Budha dan Kong Hu Chu. Semua (ajaran) mengarah ke sana, kan? Karena dia merupakan puncak dari moralitas dan spiritual. Jadi dengan ini, kita bisa mempertemukan antara agama bukan hanya antara mazhab saja. Mempertahankan tasawuf hanya berarti melalui tradisonalisme, sedangkan tradisi itu adalah masalah utama masyarakat neo-modern. Bisakah kalangan muda NU eksis di dalamnya?
Begini, yang namanya budaya atau tradisi itu berangkat dari kampung. Kemudian kita membawanya ke kota dan di sana kita angkat ke atas (permukaan). Ia (tradisi tasauf itu) boleh dikritik, diperbaiki dan ditambal kekurangan-kekurang annya.
Apakah hal itu tidak malah menghancurkan basis-basis tradisi yang ada di desa?
Tradisi itu kan berasal dari desa (kampung). Akarnya budaya itu berasal dari desa. Saya tidak bisa lepas dari budaya dan tradisi desa di mana saya berasal. Anda yang Sunda juga pasti dia tidak akan bisa lepas dari budaya Sunda yang Anda bawa dari desa ke Jakarta. Karena itu di mana pun Anda berada pasti unsur atau pola pikir Sundanya nggak akan hilang. Yang dari Madura juga tidak akan hilang. Di situlah, silahkan kalau ada kritik atau perbaikan, yang penting tidak bertabrakkan dengan kalimat La Ilaha illa Allah, Muhammad Rasulullah. Salah satu menanamkan nilai-nilai adalah lewat peringatan-peringat an, dan itu juga menjadi momentum persatuan umat. Ya. Dulu Maulid Nabi dimulai pertama kali oleh Khalifah Mu’idz Lidinillah, khalifah Fathimiah, salah satu khalifah keturunan Abdullah dari Tunisia tahun 363 H. Dia lalu masuk Kairo dan mengalahkan Ahmad bin Thulun. Khalifah Mu’idz kemudian menyatukan umat untuk merayakan Maulid Nabi secara besar-besaran. Dia kemudian mendirikan sekolah al-Azhar dengan nama Jauhar ath-Thaqul, lalu membangun kota Qahirah (Kairo) hingga kemudian dikalahkan oleh Dinasti Mamalik dan kemudian oleh Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi. Artinya, seremonial-seremoni al seperti itu bisa menyatukan umat, dan menyatakan kepada umat bahwa kita memiliki seorang pemimpin yang namanya Muhammad dan kita harus mengikuti ajaran dan dakwahnya. Hal ini, sama halnya dengan kita memperingati hari 17 Agustus, untuk memperingati bahwa dulu bapak-bapak dan orangtua-orangtua kita telah mengorbankan nyawa, harta dan pikirannya demi kemerdekaan dan membangun Negara Indonesia yang tercinta ini. Adapun bentuk seremonialnya bisa disesuaikan dengan aneka kebudayaan umat yang ada, seperti di Yogyakarta misalnya dengan cirinya sendiri, di Cirebon dengan cirinya sendiri dan di Mesir pun akan lain lagi.
TENTANG MENGAJARKAN CINTA NABI Berarti harus adanya pentradisian di dalam keluarga?Ya.
Bagaimana kiat Anda dalam mendidik keluarga agar mencintai Nabi dan Ahlulbaitnya?
Setiap pagi anak-anak saya mendengar bapaknya melantunkan bait-bait Burdah. Pasti lama-lama mereka pun akan ikut juga. Saya hafal Burdah, Barzanji dan Diba. Nazham-nazhamnya saya hafal, Asyraqal Badru ‘Alaina, dan yang lain-lainnya juga saya hafal. Begitu juga, ketika saya masih kecil di kampung. Begitu saya melek (bangun tidur), saya mendengar bapak saya membaca Burdah, Barjanji, dan Diba. Jadi, saya hafal bait-bait syair berikut nazham-nazhamnya itu dengan itu dengan sendirinya. Nggak usah Maulid Nabi, setiap kita ceramah, khotbah, dan dakwah kita pasti menyampaikan sejarah Nabi. Itu berarti memperingatkan kita bahwa kita punya pemimpin yang harus kita taati.
Itu dibaca tiap kapan?
Tiap malam. Saya membaca Burdah itu malam sebelum subuh. Dan ini ada kisahnya. Ada seorang dari Alexandria bernama Abu Sa’id al-Busri yang terkena stroke dan mimpi berjumpa Rasulullah saw. Dia meminta izin akan mengubah syair kasidah untuk memuji-muji beliau. Setelah beliau pulang kembali bait syair itu sudah rampung. Lalu Rasulullah saw mempersilakannya. Setelah dia selesai menampilkan syairnya di depan Rasulullah saw, Rasulullah saw mengusap-ucap wajahnya dan keesokan harinya dia sembuh dari penyakit strokenya itu.
Sumber: http://satuislam.wordpress.com
Post a Comment
mohon gunakan email