Tragedi Kemanusian yang Terlupakan.
Empat belas abad yang silam menjadi saksi sejarah, sebuah tragedi kemanusiaan yang tidak saja menyedihkan tapi sekaligus memilukan. betapa tidak.
Cucu Rasulullah Imam Husein yang menjadi belaian kasih sayang Nabi SAW dibantai secara tragis di Padang Karbala.
Leher imam Husein yang sering dicium oleh kakeknya, harus dipenggal oleh pasukan bengis yang dipimpin oleh Umar bin Saad, yang kemudian dipersembahkan kepada penguasa yang zalim, Yazid bin Muawiah ketika itu. Membuka kembali lembaran sejarah peristiwa Karbala tidak hanya untuk membacanya lalu bersama-sama menguraikan air mata.
Ada pelajaran penting di sana. Sebuah misi yang membuat setiap pribadi yang ikut di dalamnya mengambil sebuah adegan yang saling mendukung melanjutkan misi Imam Husein. Beliau keluar untuk melakukan revolusi setelah melihat perilaku Yazid bin Muawiyah yang sewenang-wenang.
Tragedi Karbala adalah sebuah tragedi kemanusiaan yang luar biasa, dan melihat fakta bahwa keagungannya unik dan tak tertandingi, konsekuensinya juga luar biasa. Yang mendorong Imam Husain untuk bangkit memberontak adalah untuk menghentikan penyimpangan dan bid`ah yang terjadi di area politik Islam saat itu.
Penyimpangan itu adalah penentangan terhadap eksistensi sistem Islami dengan meletakkan kekuasaan di tangan orang-orang yang tidak qualified. Setelah Nabi saw wafat berbagai peristiwa berjalan sedemikian rupa sehingga akhirnya mengubah Khilafah menjadi sebuah jabatan yang didasarkan pada cinta dunia yang diwujudkan dalam cinta kekuasaan, kesewenang-wenangan, egoisme dan keserakahan.
Imam Husain berjuang melawan penyimpangan ini. Sejarah manusia menunjukkan secara jelas bahwa pemimpin zalim hanya berpikir untuk mempertahankan kekuasaannya dengan cara apa pun juga, termasuk dengan mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya dan menguasainya secara personal.
Di antara cara mempertahankan kekuasaan pemimpin zalim ialah dengan menyebarkan nilai-nilai kezaliman di kalangan para pejabat pemerintahannya bahkan di tengah masyarakat luas. Untuk itulah pemimpin zalim tidak akan pernah menyukai orang-orang saleh, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan keadilan, bahkan menganggapnya sebagai sumber ancaman terhadap eksistensi kekuasaannya.
Sejarah juga membuktikan bahwa Muawiyah dan anaknya Yazid, serta mayoritas para penguasa Bani Umayyah adalah jenis pemimpin yang zalim. Akibatnya dapat kita lihat dengan menyebarnya dekadensi moral di sebagian besar lapisan masyarakat, terutama di kalangan para pejabat Negara ketika itu.
Ketidakadilan, kesemena-menaan, kejahatan dan ketidakamanan menyebar ke mana-mana. Di antara yang paling parah ialah munculnya diskriminasi rasial di kalangan masyarakat muslim, dan meluasnya ideologi-ideologi sesat yang merusak akidah dan keyakinan Islam.
Semua itu benar-benar merupakan ancaman serius bagi kemurnian ajaran Islam yang telah diperjuangkan oleh Nabi SAW. Melihat kondisi buruk itu, yang mencapai puncaknya di zaman Yazid bin Muawiyah, maka sejumlah tokoh Kufah, Irak, yang dulu merupakan pengikut Imam Ali, menulis surat kepada Imam Husein agar datang ke Kufah untuk memimpin masyarakat Kufah memerangi Yazid.
Imam Husein yang merasa terpanggil untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, memenuhi panggilan masyarakat Kufah ini dan berangkat menuju ke kota bekas pusat pemerintahan ayahanda beliau itu. Akan tetapi, pihak penguasa, yaitu Yazid yang mencium gerak-gerik penduduk Kufah ini, segera mengirim pasukan militer ke kota ini dan membasmi gerakan tersebut dengan menangkapi, memenjarakan dan membunuhi para tokohnya.
Dengan demikian, jadilah Imam Husein kehilangan pendukung besarnya. Akan tetapi, beliau tetap berniat datang ke Kufah. Yazid yang mengetahui bahwa Imam Husein tetap bergerak menuju ke Kufah, mengirim bala tentara lengkap untuk mencegah kedatangan beliau ke kota ini. Terhalang untuk masuk ke kota Kufah, akhirnya rombongan Imam Husein yang berjumlah 72 orang kemudian digiring hingga tiba di sebuah padang pasir bernama Karbala.
Ketika datang perintah dari Yazid di Syam, agar Imam Husein beserta rombongannya dibantai, maka terjadilah pertempuran yang sangat tak seimbang, 72 orang rombongan imam Husein yang terdiri dari keluarga dan sahabatnya harus bertarung melawan tentara Yazid yang berjumlah kurang lebih 20.000 pasukan, yang kemudian dikenal di seluruh dunia dan di sepanjang sejarah sebagai tragedi Karbala.
Peristiwa tragis itu terjadi tepatnya 10 Muharram 61 H, dimana pasukan Yazid yang dimotori oleh Ibnu Ziyad mulai melakukan serangan pada rombongan Imam Husein yang dalam keadaan haus dan lapar. Salah seorang pasukan melancarkan anak panah pada leher anak Imam Husein yang masih bayi dan berada dalam pangkuan ibunya, sehingga mengalirlah darah dari lehernya dan meninggallah bayi yang tak berdosa itu.
Pada sore hari 10 Muharram 61 H, pasukan Imam Husein banyak yang berguguran. Sehingga Imam Husein tinggallah seorang diri dan beberapa anak-anak dan wanita. Dalam keadaan haus dan lapar di depan pasukan Ibnu Ziyad , Imam Husein berkata: “Bukalah hati nurani kalian, bukankah aku adalah putera Fatimah dan cucu Rasulullah saw.
Pandanglah aku baik-baik, bukankah baju yang aku pakai adalah baju Rasululah saw.”Tapi sayang seribu sayang karena iming-iming hadiah jabatan dan materi dari Ibnu Ziyad dan Yazid bin Muawiyah, mereka menyerang Imam Husein yang tinggal seorang diri. Serangan itu disaksikan oleh Zainab (adiknya), Syaherbanu (isterinya), Ali bin Husein (puteranya), dan rombongan yang masih hidup yang terdiri dari wanita dan anak-anak.
Pasukan Ibnu Ziyad melancarkan anak-anak panah pada tubuh Imam Husein, dan darah mengalir dari tubuhnya yang sudah lemah. Akhirnya Imam Husein terjatuh di tengah-tengah mayat para syuhada’ dari pasukannya. Melihat Imam Husein terjatuh dan tak berdaya, Syimir dari pasukan Ibnu Ziyad turun dari kudanya, menginjak-injakkan kakinya ke dada Imam Husein, lalu menduduki dadanya dan menghunus pedang, kemudian menyembelih leher Imam Husein yang dalam kehausan, sehingga terputuslah lehernya dari tubuhnya.
Menyaksikan peristiwa yang tragis ini Zainab dan isterinya serta anak-anak kecil menangis dan menjerit tragis. Tidak hanya itu kekejaman Syimir, ia melemparkan kepala Imam Husein yang berlumuran darah ke kemah Zainab. Semakin histeris tangisan Zainab dan isterinya menyaksikan kepala Imam Husein yang berlumuran darah berada di dekatnya. Zainab menangis dan menjerit, jeritannya memecah suasana duka.
Ia merintih sambil berkata: Oh… Husein, dahulu aku menyaksikan kakakku Al-Hasan meninggal diracun oleh orang terdekatnya, dan kini aku harus menyaksikan kepergianmu dibantai dan disembelih dalam keadaan haus dan lapar. Ya Allah, ya Rasullallah, saksikan semua ini.
Imam Husein telah meninggalkan kami dibantai di Karbala dalam keadaan haus dan lapar. Dibantai oleh ummatmu yang mengharapkan syafaatmu. Ya Allah, ya Rasulallah Akankah mereka memperoleh syafaatmu sementara mereka menghinakan keluargamu, dan membantai Imam Husein yang paling engkau cintai? 10 Muharram 61 H, bersamaan akan tenggelamnya matahari, mega merah pun mewarnai kemerahan ufuk barat, saat itulah tanah Karbala memerah, dibanjiri darah Imam Husein dan para syuhada’ Karbala.
Bumi menangis, langit dan penghuninya berduka atas kepergian Imam Husein sang pejuang kebenaran dan keadilan. Nah mengapa tragedi karbala, yang merupakan sebuah tragedi kemanusiaan yang luar biasa justru terlupakan oleh sebahagian besar ummat Islam saat ini ??? Bahkan bukan hanya terlupakan, justru memang tidak pernah disampaikan kepada generasi Islam??? Yang cukup mengherankan juga adalah bahwa bulan Muharram yang menjadi bulan duka cita dan nestapa keluarga Rasul yang suci justru menjadi bulan kegembiraan pada sebagian ummat Islam lainnya.
Di masyarakat kita 10 Muharram atau Asyura disambut dengan gembira, misalnya dengan membeli alat-alat rumah tangga, syukuran dengan membuat bubur 7 macam, dsb. Tidak cukup dengan itu kemudian juga dilanjutkan dengan dengan puasa Muharram sebagai simbol kesyukuran dan kegembiraan.
Ada banyak riwayat yang dibuat-buat oleh penguasa saat itu hanya untuk menutupi spirit perjuangan Imam Husein dalam menentang penguasa yang zalim. Dibuatlah cerita atau riwayat bahwa Ketika Nabi saw. hijrah ke kota Madinah, beliau menyaksikan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyûrâ’ yaitu hari kesepuluh bulan Muharram, lalu beliau bertanya kepada mereka, mengapa mereka berpuasa, maka mereka menjawab, “Ini adalah hari agung, Allah telah menyelamatkan Musa dan kaumnya dan menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya.”
Maka Nabi saw. bersabda, “Kami lebih berhak atas Musa dan lebih berhak untuk berpuasa di banding kalian.” Lalu beliau memerintahkan umat Islam agar berpuasa untuk hari itu. Demikian dalam kitab Bukhari dan Muslim. Kalau kita mencoba menelaah lebih dalam riwayat di atas maka akan kelihatan ketidakbenarannya.
Riwayat di atas mengatakan kepada kita bahwa Nabi mulia saw. tidak mengetahui sunnah saudara beliau; Nabi Musa as. dan beliau baru mengetahuinya dari orang-orang Yahudi dan setelahnya beliau bertaqlid kepada mereka! Padahal Nabi sangat melarang kita untuk mengikuti kebiasaan ummat lainnya, Yahudi maupun Nasrani. Sangatlah kontradiktif.
Yang lucunya justru riwayat itu memerintahkan kita untuk mengikutinya. Dimana logisnya? Ada juga riwayat lain yang mengatakan bahwa 10 Muharram adalah bebasnya keluarrnya Nabi Yunus dari perut ikan, bebasnya Nabi Ibrahim dari Raja Namrud, selamatnya Nabi Musa dari kejaran Firaun dsb.
Mestinya juga diteruskan bahwa 10 Muharram juga adalah menangnya pasukan Yazid dalam dalam memenggal kepala cucu Nabi Muhammad SAW, Imam Husein. Kita semua adalah korban sejarah. Yakni sejarah yang sengaja dibuat oleh penguasa zalim hanya untuk melanggengkan kekuasaan dan keserakahannya. Sudah waktunya buat kita untuk mengkritisi setiap riwayat yang ada.
Padahal jauh sebelumnya ketika Husein lahir, Rasulullah bersedih dan menetaskan air mata ketika jibril mengatakan bahwa cucumu yang baru lahir ini akan syahid di padang karbala oleh ummat yang mengaku sebagai pengikutmu. Jadi Rasulullah jauh sebelum peristiwa itu telah memperingati Asyura dengan kesedihan. Nah masihkah kita ingin memperingati Asyura dengan kegembiraan??
Apapun alasannya yang jelas bahwa dalam tragedi Karbala atau Asyura banyak pelajaran dan hikmah yang bisa dipetik dan sekaligus diaplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebenarnya kejadian di padang Karbala, merupakan refleksi kehidupan manusia, karena salah satu peran yang ditampilkan disana adalah pengorbanan sejumlah manusia untuk sebuah tujuan yang sangat tinggi dan suci, yaitu menegakkan kebenaran dan keadilan, menentang kezaliman. Peringatan tragedi ini merupakan sumber inspirasi bagi para pencari kebenaran dan keadilan di seluruh dunia. Mahatma Gandhi sendiri pernah berujar “I learned from Hussain, how to achieve victory while being oppressed. ”“Aku belajar dari Husain bagaimana cara meraih kemenangan ketika dalam kondisi tertindas.
Di era ini dimana sekularisme, hedonisme, kapitalisme telah menjadi ideologi bagi umumnya para pemimpin atau penguasa maka mengenang kembali peristiwa Karbala bisa menjadi momentum untuk membangkitkan spirit kita untuk menentang setiap penindasan, kesewenang-wenangan dan kezaliman sembari menegakkan kebenaran dan keadilan di tengah-tengah ummat. Peristiwa Asyura sesungguhnya mengajarakan kaum muslim untuk tidak berkompromi dengan para penguasa zalim kapan dan dimanapun dengan semangat pengorbanan. Bila mengenang tragedi Karbala memiliki peran dan arti yang sebegitu penting dalam kehidupan, maka merugilah orang yang melupakan peristiwa bersejarah ini.
Wallahu a’lam bisshawab.
Post a Comment
mohon gunakan email