Pesan Rahbar

Home » » Refleksi dari Konferensi Women and Islamic Awakening, Tehran 2012

Refleksi dari Konferensi Women and Islamic Awakening, Tehran 2012

Written By Unknown on Saturday 5 July 2014 | 23:35:00


Perempuan hari ini di berbagai penjuru dunia, sebenarnya sedang menghadapi musuh yang sama, yaitu kekuatan-kekuatan yang ingin menjauhkan perempuan dari peran utama mereka yang sesungguhnya. Musuh itu tidak saja berupa musuh fisik, seperti tentara Zionis yang menindas bangsa Palestina, melainkan juga dalam bentuk ideologi yang menyesatkan.

Oleh: Dina Y. Sulaeman*

Refleksi dari Konferensi Women and Islamic Awakening, Tehran 2012
"..kenali musuh Anda, kenali diri Anda sendiri, dan kemenangan Anda tidak akan terancam." (Sun Tzu, The Art of War)

Pengantar.
Pada tanggal 10-11 Juli 2012, Republik Islam Iran menyelenggarakan Konferensi Internasional bertajuk ‘Women and Islamic Awakening'. Konferensi ini termasuk dalam rangkaian konferensi Islamic Awakening yang telah diselenggarakan di Iran sejak bulan September 2011.

Pada bulan September 2011, diselenggarakan Konferensi Islamic Awakening yang dihadiri lebih dari 700 pemikir dan tokoh-tokoh muslim dari 80 negara.

Lalu, sebagai tindak lanjut dari konferensi tersebut, dibentuklah World Assembly of Islamic Awakening, dengan markas tetap di Tehran. Anggota Dewan ini terdiri dari tokoh-tokoh terkemuka dari berbagai negara muslim dan yang ditunjuk sebagai Sekjen adalah Ali Akbar Velayati (mantan Menlu Iran). Pada 10-11 November 2011, para anggota World Assembly of Islamic Awakening itu mengadakan sidang di Tehran. Dalam sidang yang dihadiri oleh 25 tokoh terkemuka dari 17 negara muslim itu, didiskusikan perkembangan terakhir terkait kebangkitan negara-negara muslim di Timur Tengah dan Afrika Utara.

Selanjutnya, pada bulan Januari 2012, diadakan Konferensi Pemuda dan Kebangkitan Islam, yang diikuti oleh lebih dari 1000 pemuda/pemudi dari 73 negara.

Yang menarik, konferensi ke-3 diselenggarakan dengan mengundang para penyair dari negara-negara muslim, sehingga tema konferensi adalah, "Islamic Awakening Poetry Congress". Menurut Velayati, peran puisi dan penyair dalam sepanjang sejarah kebangkitan Islam sangatlah signifikan. Melalui syair-syair revolusioner, para penyair mampu membangkitkan semangat rakyat untuk maju bergerak melawan tiran.
Terakhir, pada bulan Juli 2012, sekitar 1500 muslimah dari 85 negara berkumpul di Teheran untuk mengikuti Konferensi Perempuan dan Kebangkitan Islam. Penulis bersama 17 anggota delegasi Indonesia lainnya, berkesempatan hadir dalam acara tersebut.

Melalui tulisan ini, penulis berusaha merefleksikan kembali ide utama yang ingin didiseminasi melalui rangkaian Konferensi tersebut.

Latar Belakang Konferensi Islamic Awakening.
Sejak Januari 2011, kebangkitan rakyat tertindas (atau mungkin bisa diistilahkan dengan revolusi) telah menggelegak di Timur Tengah dan Afrika Utara. Diktator-diktator yang puluhan tahun berkuasa pun bertumbangan, mulai dari Ben Alidi Tunisia, Mubarak di Mesir, hingga Qaddafidi Libya. Gelombang kebangkitan itu terus menjalar. Rakyat di negara-negara monarkhi Arab pun sudah mulai berani berdemo, meskipun dihadapi dengan kekerasan, seperti di Bahrain, Arab Saudi, Jordan, atau Qatar. Di Syria, sempat terjadi aksi demo memprotes Bashar Asad, yang kemudian dibalas demo yang jauh lebih besar oleh rakyat pro-Assad. Namun, sayang sekali, karena intervensi asing (termasuk suplai dana, senjata, bahkan pasukan dari negara-negara Arab), konflik di Syria menjadi konflik bersenjata yang sangat brutal, sehingga mengorbankan nyawa banyak rakyat sipil.

Media Barat menyebut kebangkitan rakyat Arab ini sebagai simbol kehendak rakyat untuk demokrasi. Namun, mereka tidak konsisten, karena istilah ‘demokrasi' ini hanya berlaku untuk sebagian negara. Untuk kasus-kasus seperti Bahrain, Arab Saudi, mereka sama sekali tidak menganggapnya sebagai perjuangan untuk menegakkan demokrasi; dan Barat tetap mendukung rezim-rezim monarkhi yang jelas-jelas tidak demokratis.

Sementara itu, dari Iran, terdengar suara berbeda. Para pemimpin Iran berkali-kali menyebut kebangkitan rakyat di berbagai negara muslim sebagai kebangkitan Islam. Hal ini awalnya, bagi saya, terasa agak aneh. Karena, kenyataannya, simbol-simbol Islam tidak mengemuka dalam aksi-aksi demo berbagai negara itu. Yang mengemuka adalah ide-ide demokrasi, kesetaraan, atau keadilan.

Namun, melalui Konferensi Perempuan dan Kebangkitan Islam, saya berhasil menangkap bahwa yang dilakukan Iran sebenarnya adalah upaya identifikasi gerakan kebangkitan itu. Dalam pidatonya di konferensi tersebut, Ahmadinejad mengungkapkan bahwa manusia bisa ditindas ketika kemuliaan dan harga dirinya direndahkan. Dan musuh-musuh Islam selama ini berusaha menaklukkan kaum muslimin melalui upaya penyebaran rasa rendah diri, rasa takut, lemah, dan ketidakberdayaan. Padahal, Allah menciptakan manusia bukan untuk direndahkan. Manusia adalah makhluk mulia yang bahkan mendapatkan posisi sebagai wakil Allah di bumi. Dan inilah esensi Islam dan esensi ajaran-ajaran Ilahiah yang dibawa para Nabi: membangkitkan manusia agar mampu meraih posisinya yang mulia itu. Karena itu, meskipun tidak membawa simbol-simbol Islam, kebangkitan bangsa-bangsa yang selama ini tertindas dan direndahkan oleh rezim-rezim diktator, jelas merupakan kebangkitan kemanusiaan yang Islami. Sebagaimana dikatakan oleh Ahmadinejad, "Kebangkitan ini tidak hanya perlu dilakukan oleh kaum muslimin, tapi oleh semua umat manusia karena Tuhan menciptakan manusia semua setara, tidak boleh ada yang menindas, dan tidak boleh ada yang ditindas."

Upaya identifikasi gerakan kebangkitan ini penting dilakukan untuk memberikan arah pada gerakan itu. Karena, sebagaimana sudah banyak terjadi dalam sepanjang sejarah, banyak gerakan revolusi dan reformasi yang hasilnya hanya kegembiraan sesaat, lalu rakyat kembali pada nasibnya yang lama.

Pentingnya Identifikasi Musuh.
Kesadaran untuk merumuskan tujuan yang hendak dicapai dalam sebuah perjuangan dalam hal yang sangat penting; termasuk juga kesadaran untuk mengidentifikasi musuh. Indonesia adalah saksi sejarah, betapa kegagalan untuk mengindentifikasi musuh telah berakibat fatal. Pada tahun 1998, rakyat Indonesia berhasil bangkit menumbangkan rezim despotik Suharto yang telah berkuasa 33 tahun. Namun, sayang sekali, agen-agen musuh justru mengambil alih kepemimpinan pasca reformasi sehingga akhirnya Indonesia tetap bergelimang di lumpur kesengsaraan yang sama, dan bahkan lebih pekat. Agaknya, kita perlu mempelajari lagi ajaran Sun Tzu dalam buku klasik legendarisnya The Art of War, "..kenali musuh Anda, kenali diri Anda sendiri, dan kemenangan Anda tidak akan terancam."

Bila kita runut lagi, siapakah musuh Indonesia sebenarnya? Suharto-kah, atau kekuatan di balik rezim Suharto? Meskipun tahun 1945 kita merdeka, namun kekuatan Barat tetap saja ingin menjajah Indonesia melalui penjajahan ekonomi. Sejarah mencatat bahwa pada tahun 1967 terjadi penjajahan ekonomi yang lebih sistematis. Pada tahun itu, diadakan konferensi Investasi Indonesia di Jenewa, Swiss. Sedemikian ironisnya kejadian dalam konferensi itu, sampai-sampai pengamat Indonesia, Jeffrey Winters, dalam film dokumenter John Pilger, berkata,
"Situasi semacam ini belum pernah saya dengar sebelumnya di manapun. Situasi ketika pengusaha elit dunia bertemu dengan pejabat sebuah negara. Merekalah (para pengusaha itu) yang menentukan pra-syarat untuk berinvestasi ke negara itu. Konferensi berlangsung 3 hari. Hari pertama wakil Indonesia tampil memberikan uraiannya. Pada hari kedua, mereka membaginya menjadi lima pertemuan sektoral,: pertambangan, jasa makanan, industri ringan, perbankan, dan keuangan. Kemudian mereka menyusun kebijakan yang menguntungkan investor itu. Mereka berkata kepada para pejabat Indonesia itu, "Inilah yg perlu kami lakukan, ini, ini, ini.." Kemudian mereka meyusun infrastruktur hukum untuk kepentingan investasi mereka di Indonesia."

Entahlah, apa kata-kata yang tepat untuk menilai kualitas para pejabat Indonesia yang bernegosiasi menjual kekayaan bangsa ini kepada perusahaan-perusahaan asing itu.Yang jelas, perampokan itu terus berlanjut hingga hari ini, dengan nama yang terdengar bagus: investasi asing. Masih dalam skema penguasaan sumber daya alam Indonesia, Indonesia pun dijerat dengan hutang dan perekonomian Indonesia diseret ke arah liberalisasi. Sesaat, Indonesia sempat mengalami kemajuan ekonomi pesat sehingga dipuji-puji sebagai calon "Macan Asia". Banyak orang terlena, silau oleh kemegahan bangunan-bangunan dan proek-proyek yang dibangun dengan hutang. Pondasi ekonomi liberal yang dibangun Indonesia atas petunjuk IMF ternyata sangat rapuh sehingga langsung roboh saat krisis moneter 1997. Lagi-lagi, IMF pula yang datang mengulurkan dana. Kisahnya persis bak pasien sekarat yang sudah tahu bahwa dokternyalah yang selama ini memberi racun, namun tetap datang ke dokter yang sama.

Kita pun tahu situasi selanjutnya. Ekonomi kolaps, rakyat semakin miskin, mahasiswa marah, dan kita pun beramai-ramai bangkit menggulingkan rezim Soeharto melalui berbagai aksi demonstrasitahun 1998.
Sayang, hingga kini, kita masih berkubang di lumpur yang sama. Antek-antek rezim lama masih terus bercokol dan hanya mengganti slogan. Jumlah penduduk miskin terus meningkat, hampir semua bank dan BUMN dikuasai asing, kontrak-kontrak pertambangan yang tidak adil tetap dilanjutkan (lihat kasus Freeport dan ExxonMobil). Privatisasi semakin merajalela, bahkan merambah ke bidang-bidang yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara: pendidikan, kesehatan, air minum, dan listrik. Hutang semakin menumpuk dan selalu ditambah (karena, ternyata ada fee resmi/legal untuk para pejabat yang menyetujui hutang itu). Para pemimpin pasca reformasi, ramai-ramai membungkuk kepada Barat dan manut saja saat disuruh untuk meliberalkan ekonomi Indonesia.

Inilah contoh nyata: tidak mampu mengenali musuh. Situasi Indonesia hari ini persis seperti salah satu penggalan lirik lagu band The Who, "meet the new boss, same as the old boss." Rakyat berjuang menggulingkan rezim lama, tapi rezim baru ternyata setali tiga uang meski bertopeng demokrasi dan reformasi.Rakyat tidak mampu mengenali mana yang seharusnya dilawan, dan tertipu oleh pencitraan tokoh-tokoh yang berkedok demokratis dan pejuang reformasi.

Kebangkitan Islam di negara-negara Arab, baik yang sudah berhasil menumbangkan rezim lama, seperti Tunisia, Mesir, Libya, ataupun yang sekarang sedang dalam proses perjuangan, seperti di Bahrain, Yaman, atau Arab Saudi, agaknya perlu belajar dari pengalaman Indonesia agar tak terjatuh dalam lubang yang sama. Mereka tak boleh membiarkan tokoh-tokoh rezim lama atau tokoh baru namun inferior terhadap musuh, menguasai pemerintahan. Reformasi ternyata tidak berhenti pada penggulingan sebuah rezim, namun bagaimana membangun rezim baru yang kokoh, yang tidak mau lagi dikibuli Barat.

Contoh Kasus: Revolusi Mesir.
Revolusi Mesir, harus diakui, sangat menginspirasi dunia Islam kontemporer. Berbeda dengan proses revolusi Iran yang cenderung ditutupi media (apalagi, zaman itu teknologi telekomunikasi belum secanggih sekarang), revolusi Mesir disaksikan secara live oleh manusia di berbagai penjuru dunia. Romantisme perjuangan di Tahrir Square Kairo, mendebarkan jantung banyak orang; dan mendorong banyak orang untuk ikut berdoa demi kemenangan rakyat Mesir. Sebuah cerita menarik yang sangat berkesan buat saya, dituturkan oleh teman Mesir saya, di Tahrir Square, sempat terjadi warga Mesir non-muslim membuat barikade untuk melindungi warga Mesir muslim yang akan menunaikan sholat, agar tidak diganggu oleh militer. Betapa indahnya.

Tapi, perjalanan revolusi selanjutnya seolah-olah kehilangan arah karena tidak adanya satu figur utama yang mendominasi. Berbeda dengan revolusi Iran, yang didominasi suara Islam, di Mesir, suara yang terdengar keras adalah ‘demokratisasi'. Ini sepertinya menunjukkan keberhasilan political leveraging yang dilakukan AS selama ini. Sebagaimana dianalisis oleh Prof. Chossudovsky, selama ini AS bermain di dua kakidi Mesir. Istilahnya, "political leveraging" (politik pemanfaatan). AS mendukung diktator, tapi pada saat yang sama juga mendukung kelompok-kelompok oponen (penentang) diktator. Tujuannya, agar kelompok oponen itu bisa dikontrol dan tidak menjadi ‘liar'. Dalam kasus Mesir, biarlah Mubarak ditumbangkan asal kaum oponen tidak menganggu kepentingan AS. Bahkan, dengan "political leveraging" ini, AS bisa mengontrol kaum oponen agar saat memilih pengganti Mubarak, yang dipilih bukanlah tokoh yang membahayakan kepentingan AS (dan Israel).

Melalui dua lembaga, Freedom House dan the National Endowment for Democracy, AS selama ini telah mendukung dan mendanai kelompok-kelompok pro-demokrasi Mesir. Bahkan para blogger pun dilibatkan dalam "political leveraging" ini. Pada 27 Feb-13 Maret 2010, Freedom House ‘mendidik' sejumlah bloger dari Afrika Utara dan Timur Tengah untuk mempelajari digital security, digital video making, message development dan digital mapping, serta membawa mereka bertemu dengan pejabat-pejabat tinggi di Kongres (parlemen), Kemenlu, dan USAID.

Benar, demonstrasi di Tahrir Square adalah aksi heroik rakyat Mesir yang marah. Kehidupan 30 tahun di bawah sebuah rezim yang korup dan despotik lebih dari cukup untuk jadi pemicu kemarahan rakyat. Namun, proses "political leveraging" AS yang berjalan selama ini ternyata mampu mengaburkan kehadiran Sang Musuh Utama.Musuh yang terlihat oleh rakyat Mesir hanya satu: Mubarak. Padahal, Mubarak hanyalah boneka yang patuh menjalankan instruksi IMF untuk meliberalisasi ekonominya dan patuh menerima instruksi AS untuk terus tegak membela Israel. Dengan kata lain, dalang utama di balik penindasan rakyat Mesir itu sesungguhnya kekuatan Barat dan Israel.

Itulah sebabnya, para demonstran Mesir sepertinya tidak terpikir untuk mendemo Kedubes AS, melainkan ‘hanya' merusak gedung-gedung pemerintah. Sungguh berbeda dengan aksi-aksi demonstrasi rakyat Iran melawan Reza Pahlevi tahun 1979. Rakyat Iran saat itu tidak hanya menuntut turun Pahlevi, tetapi juga mengusir AS keluar, karena mereka tahu, AS-lah tuannya Pahlevi. Buat apa mengusir Sang Boneka, bila Sang Tuan terus bercokol dan terus menghisap darah rakyat?

Ketidakmampuan mengindentifikasi musuh inilah yang kini ditunjukkan oleh Presiden Mesir, Muhammad Mursi. Seorang teman Mesir saya berkata, "Mari kita beri Mursi sedikit waktu. Dia tidak mungkin membalikkan keadaan dalam sekejap." Ya, benar. Tetapi langkah-langkah awal Mursi menunjukkan dia sedang mengulangi kesalahan yang sama, yang dilakukan Indonesia para era reformasi. Untuk mengatasi persoalan ekonominya, Mursi telah mengajukan hutang kepada IMF. Padahal, seperti sudah diuraikan di atas, IMF adalah seburuk-buruknya lintah darat, meski berpakaian necis dan berkantor mewah di Washington DC. Tanpa perlu membawa-bawa pasal riba (tentu, sebagai muslim kita perlu menghindari riba), dari kacamata ekonomi sekuler pun, IMF sudah dianggap sebagai lembaga jahat penghisap darah rakyat negara-negara berkembang (antara lain, baca bukunya Stiglitz, Globalization and Its Discontents).

Sekali sudah bersekutu dengan musuh dalam selimut, langkah-langkah Mursi selanjutnya bisa ditebak. Dia akan sulit untuk independen dan tidak bisa memperjuangkan kepentingan nasionalnya. Akan selalu ada kekuatan-kekuatan besar yang akan menghalangi langkahnya untuk memperjuangkan kemakmuran rakyat Mesir.

Dari sini, kembali terlihat pentingnya upaya mengenali musuh. Rakyat Mesir sudah menang melawan rezim diktator Mubarak. Tapi, seperti kata Sun Tzu, mereka perlu mengenali siapa musuh sejati agar kemenangan itu tidak terancam; agar mereka tak kembali dalam kubangan lumpur yang sama.

Mengenali Diri Bagi Perempuan.
Dalam konferensi Women and Islamic Awakening, saya melihat, aspek kedua Sun Tzu-lah yang didengungkan dengan jelas: kenalilah diri Anda.

Dalam pidatonya di konferensi tersebut, Ahmadinejad menjelaskan panjang lebar pentingnya posisi perempuan. Beberapa peserta konferensi yang berdialog dengan saya sempat mengakui bahwa mereka menitikkan air mata haru saat mendengar pidato Ahmadinejad. Ahmadinejad menjelaskan bahwa kunci utama perubahan nasib manusia yang tertindas adalah kebangkitan si manusia itu sendiri. Tanpa kebangkitan, tidak akan ada perubahan apapun bagi dirinya. Kebangkitan yang dimaksud adalah bangkitnya kesadaran bahwa manusia diciptakan mulia dan seharusnya hidup mulia, tidak ditindas oleh kekuatan manapun. Ahmadinejad mengatakan, dalam proses kebangkitan ini, perempuanlah yang berperan sangat besar, bahkan lebih besar. Ahmadinejad berkata,
"Dalam penciptaan asali, manusia itu satu, namun dalam perubahan sosial, peran perempuan dan laki-laki berbeda. Saya berkeyakinan bahwa dalam perubahan sosial, peran perempuan itu lebih penting, lebih berpengaruh, dan lebih abadi dibandingkan peran laki-laki. Saya meyakini bahwa Allah menciptakan perempuan dengan keistimewaan yang luar biasa dan karena keistimewaannya inilah perempuan memiliki tanggung jawab dan misi yang sangat berat.

Apapun yang ada, semua berasal dari pangkuan dan pelukan perempuan. Lihatlah, setiap laki-laki yang sampai ke puncak kemanusiaan, pastilah berhutang budi kepada ibunya. Sangat mustahil dalam sebuah masyarakat akan terjadi perubahan sosial bila perempuan tidak dilibatkan. Setiap perubahan sosial membutuhkan bantuan perempuan. Ketika seorang perempuan bergerak, suami dan anak-anaknya akan bergerak bersamanya. Kebangkitan Islam hanya bisa diraih jika kaum muslimah sadar dimana posisinya yang tepat dan kembali meraih posisi itu. Posisi utama perempuan adalah sebagai pendidik generasi muda. Ibu yang cerdas, beriman, dan sadar akan tugas utamanya, akan melahirkan generasi-generasi pejuang yang akan memperbaiki kondisi umat Islam. Kami melihat kenyataan ini di Iran dan saat ini kami pun menyaksikannya sedang terjadi di dunia.

Mengapa Allah memberikan tugas/misi utama kepada perempuan? Alasannya adalah karena perempuan adalah manifestasi keindahan, kelembutan, dan cinta Tuhan. Hati perempuan adalah wadah tempat bergolaknya cinta, kasih sayang, dan kemanusiaan. Ketika ingin membuat kerusakan di sebuah masyarakat, langkah pertama yang dilakukan setan adalah menghapuskan peran perempuan; perempuan dijauhkan dari peran utamanya; bahkan peran perempuan itu dihancurkan olehnya. Di Eropa, wujud dan peran utama perempuan telah dihancurkan. Akibatnya yang terjadi adalah kejahatan yang merajalela. Kezaliman yang paling buruk adalah kezaliman terhadap perempuan. Di setiap masyarakat yang perempuannya bangkit, dengan segera masyarakat itu pun akan bangkit."

Identifikasi Musuh Bagi Perempuan.
Perempuan hari ini di berbagai penjuru dunia, sebenarnya sedang menghadapi musuh yang sama, yaitu kekuatan-kekuatan yang ingin menjauhkan perempuan dari peran utama mereka yang sesungguhnya. Musuh itu tidak saja berupa musuh fisik, seperti tentara Zionis yang menindas bangsa Palestina, melainkan juga dalam bentuk ideologi yang menyesatkan. Dorongan untuk mencapai karir setinggi-tingginya (meskipun itu harus ditebus dengan mengabaikan keluarga), dorongan untuk menuntut persamaan (bukan kesetaraan) dengan pria, dorongan untuk tergila-gila pada konsumerisme dan mode, dorongan untuk melepaskan diri dari aturan-aturan agama yang dianggap puritan, mengekang kebebasan, dll, adalah di antara ide-ide yang sebenarnya membuat perempuan terjajah. Inilah yang disebut Shariati (dalam Shahidian, 2002) sebagai ‘bentuk penjajahan budaya' yang dilakukan oleh Barat. Barat menggunakan perempuan sebagai pasar bagi produk-produk kapitalisme. Mereka memanfaatkan perempuan untuk merusak tatanan sosial yang pada akhirnya menghancurkan diri si perempuan sendiri. Kezaliman terhadap perempuan, mulai dari pengabaian, kekerasan, pemerkosaan, eksploitasi, dll, adalah bentuk-bentuk kehancuran itu.

Sebaliknya, ketika perempuan kembali menemukan siapa dirinya yang sejati dan apa perannya yang sejati di muka bumi, mereka akan bangkit. Shahidian (2002) menyebutnya sebagai ‘heightened self-worth' (rasa harga diri yang semakin meningkat),yang akan memberdayakan perempuan dan membebaskan mereka dari pelbagai hambatan seperti ketakutan, kerapuhan, atau egoisme. Ketika kaum perempuan mampu mengidentifikasi peran mereka dalam masyarakat, mereka akan memiliki kekuatan untuk memperluas aktivitas dan tanggung jawab mereka. Mereka tidak hanya berpikir tentang rumah tangga mereka, tetapi jauh di luar itu. Mereka inilah yang tadi disebut oleh Ahmadinejad "perempuan mengemban misi yang sangat berat dan penting", yaitu membuat perubahan sosial ke arah yang lebih baik, ke arah kemerdekaan umat manusia dari ketertindasan.

Penutup:
Sebagai penutup, saya ingin mengulangi apa yang disampaikan Ayatullah Khamenei dalam Konferensi Islamic Awakening. Menurutnya, belajar dari Perang Uhud, rasa aman dan nyaman para pejuang justru membuat mereka lengah dan akhirnya dipukul balik oleh musuh. Karena itu, bangsa-bangsa yang telah berhasil menumbangkan rezim despotik seharusnya tetap waspada karena musuh-musuh akan terus berusaha untuk kembali berkuasa atas mereka. Musuh-musuh itu akan menggunakan elemen-elemen di dalam negeri yang berusaha tetap mempertahankan kebergantungan kepada musuh sejati. Kemampuan mengindetifikasi siapa musuh yang sejati, akan sangat membantu mereka untuk terus mempertahankan kemenangan mereka itu. Bila mereka gagal melakukan hal ini, mereka akan terus terjebak dalam aksi-aksi kekerasan, perang sipil, pertikaian antarmazhab, bahkan perang dengan negara tetangga. Semua itu jelas bukan kondisi yang membawa kebaikan bagi umat.

Berdasarkan pengalaman Iran dalam menghadapi masa-masa berat pasca keberhasilan menumbangkan rezim Shah yang didukung Barat, Ayatullah Khamenei mengatakan bahwa kunci utama keberhasilan Iran adalah bersandar sepenuhnya kepada Allah dan tidak mempercayai sedikit pun bujukan kekuatan-kekuatan imperialis Barat. Karena itu, bangsa-bangsa yang sudah berhasil bangkit perlu menata ulang prinsip dan dasar revolusinya, serta membangun sistem yang benar, dengan tujuan utama membentuk sebuah masyarakat Islam yang bersatu dan membangun peradaban Islam yang unggul. If Allah helps us, none can overcome us.

*Magister Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran dan Research Associate Global Future Institute
Sumber: www.alimamali.com

Iran Gelar Konferensi Wanita Islam Pertama

25 Juli 2012



TEHERAN — Kali pertama Republik Islam Iran menggelar konferensi khusus untuk wanita dengan tema “Conference of women and Islamic Awakening. Berlokasi di aula konferensi, Menara Milad, Teheran, konferesi yang dihelat pada 10-11, Juli tersebut dihadiri sekitar 300 delegasi dari lebih 20 negara.
Penyelenggaraan acara tersebut digagas oleh Sekretaris Jendral Islamic Awakering, Ali Akbar Velayati .”Dasar utama pemikiran acara ini ialah untuk kembali mengangkat kehormat umat Islam yang menghargai kemanusiaan. Peran terbesar ada di tangan wanita, karena wanita adalah pembentuk generasi awal,” ujar mantan menteri luar negeri (1981-1997) saat memberi sambutan pembuka, Selasa (10/7), seperti dilaporkan wartawan Republika Online, Ajeng Ritzki Pitakasari.

Menurut Ali Akbar Velayati, kebangkitan itu ditandai dengan sikap percaya diri Umat Islam dan kesadaran terhadap kondisi dunia. “Saat ini adalah gelombang baru dalam pegerakan Islam, sehingga dibutuhkan genarasi lebih mulia dan lebih baik untuk perubahan.”

Presiden Iran, Ahmadinejad juga hadir dalam pembukaan konferensi tersebut. Ia pun memberikan sambutan selama 30 menit setelah Velayati menyelesaikan pidatonya.
Konferensi ini cukup unik. Selain bertema wanita pertama kali di Iran, seluruh panita sepenuhnya adalah wanita.

Indonesia termasuk dalam salah datu delegasi yang hadir dalam konferensi tersebut. Total ada 15 orang dengan latar pekerja LSAM dan pengajar perguruan tinggi yang mewakili Indonesia dalam konferensi tersebut . Mereka diundang penyelenggara, yakni Kementrian Luar Negeri Iran, setelah sebelumnya mengirim makalah untuk diseleksi terlebih dahulu.

Salah satu delegasi dari Indonesia, Titin Nurhayati, 42 tahun, yang menyatakan diri dosen dari Universitas Padjajaran, ialah salah satu delegasi yang terpilih untuk berangkat. Makalahnya yang berjudul “Dinamika dan Perang Orang Sunda: Kearifan Lokal Menurut Prespektif Islam” lolos seleksi dan membawanya terbang ke Iran. “Saya sangat antusias sekali untuk datang kemari, karena saya pikir ini acara yang sangat penting,” ujar Titin.

Redaktur: M Irwan Ariefyanto
Reporter: ajeng ritzki pitakasari
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/12/07/10/m6xwzz-iran-gelar-konferensi-wanita-islam-pertama

Iran Selenggarakan Konferensi Internasional Perempuan Pertama.


 Menurut Kantor Berita ABNA, Republik Islam Iran untuk kesekian kalinya mengadakan konferensi tingkat Internasional bertemakan kebangkitan Islam yang kali ini mendatangkan lebih dari 1400 aktivis perempuan dari sekitar 85 negara. Berikut catatan Purkon Hidayat yang dirilis situs berita IRIB Indonesia mengenai konferensi tersebut:
Konferensi Internasional “Perempuan dan Kebangkitan Islam” digelar selama dua hari yang dihadiri lebih dari 1400 orang aktivis perempuan yang bergerak di bidang akademis, sosial, budaya dan politik dari berbagai negara dunia. Perhelatan akbar yang berlangsung sejak Selasa (10/7) ini menjadi bagian dari rangkaian acara Dewan Internasional Kebangkitan Islam yang dimulai sejak September tahun lalu.

Konferensi Internasional Kebangkitan Islam digelar di Tehran pada tanggal 17-18 September 2011. Adapun Konferensi Pemuda dan Kebangkitan Islam dilaksanakan pada tanggal 29-30 Januari 2012 dengan menghadirkan lebih dari 1.000 pemuda dan aktivis dari seluruh dunia. Pada kedua pertemuan itu, ratusan cendekiawan, pemikir, sosiolog, sejarawan, dan pemuda revolusioner dari berbagai negara dunia, terutama dunia Islam secara antusias mendiskusikan berbagai isu yang berhubungan dengan Kebangkitan Islam.

Sekretariat Dewan Internasional Kebangkitan Islam hingga kini berhasil menggelar tiga konferensi yaitu “Kebangkitan Islam”, “Pemuda dan Kebangkitan Islam”, serta “Penyair dan Kebangkitan Islam”. Ketiga konferensi itu mendapat perhatian besar dari aktivis, pemikir dan pengambil keputusan di berbagai bidang di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara. Terkait urgensi kebangkitan Islam Penasehat Ayatullah Sayid Ali Khamanei Bidang Internasional, Doktor Ali Akbar Velayati mengatakan, “Pada dasarnya, Kebangkitan Islam merupakan sebuah kesadaran luas dan mendalam yang berusaha membebaskan bangsa-bangsa Muslim dari perbudakan pikiran, politik, dan ekonomi. Gerakan itu berusaha mewujudkan kemajuan dan persatuan di tengah umat Islam.”

Penyelenggaran Konferensi internasional Perempuan dan Kebangkitan Islam digelar mengingat urgensi peran perempuan dalam transformasi kawasan. Isu perempuan dan kebangkitan Islam menarik untuk dikaji dari berbagai dimensi. Dan dalam konferensi kali ini diwujudkan melalui berbagai komisi terkait.

Kebangkitan Islam di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara dalam 18 bulan terakhir berhasil menumbangkan empat rezim despotik di Tunisia, Mesir, Libya dan Yaman. Transformasi tersebut tidak bisa dilepaskan dari peran perempuan yang tidak kecil. Di sisi lain, tranformasi tersebut juga menentukan masa depan perempuan ke depan.

Menengok perjalanan jejak kedudukan perempuan dalam revolusi Iran, Revolusi Islam telah membuyarkan semua asumsi keliru tentang perempuan. Tidak bisa dipungkiri, perempuan Iran berada di garda depan dalam revolusi Islam. Revolusi ini jelas tidak mungkin terjadi tanpa kontribusi kaum perempuan Iran. Tanpa kehadiran perempuan, revolusi akan kehilangan separuh kekuatan revolusionernya.

Kaum perempuan Iran juga merupakan kekuatan budaya yang sangat berpengaruh dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Terkait hal ini, Bapak Revolusi Islam Iran, Imam Khomeini ra berkata, “Seandainya kaum perempuan tidak berpartisipasi dalam kebangkitan ini, revolusi Islam tidak akan berjaya.”
Kebangkitan Islam dan revolusi di bawah komando Imam Khomeini ra menempatkan kaum perempuan dalam poros aktivitas politik dan menyerahkan bendera revolusi kepada kaum perempuan tanpa sedikitpun mengusik ketentuan hijab, wibawa Islami, iffah dan kualitas ketakwaan mereka. Siapapun tidak pernah memberikan hak sedemikian besar kepada kaum perempuan Iran dan muslimah.

Berkat revolusi Islam, kaum perempuan Iran di tempatkan pada posisi idealnya. Mereka dapat berkecimpung di dunia sains dan akademik tanpa mengurangi sedikitpun kualitas keagamaan, iffah, ketakwaan, kepribadian dan martabatnya sebagai muslimah. Mereka juga tidak mendapat hambatan apapun di ranah ilmu keagamaan. Mereka sekarang bisa berkiprah di gelanggang politik, sosial, jihad, layanan publik dan lain sebagainya sambil tetap mempertahankan hijab dan wibawanya sebagai muslimah sejati. Kini, gerakan-gerakan Kebangkitan Islam telah memisahkan nasib mereka dari para penguasa tiran yang menjadi boneka AS dan bergerak di jalan kemerdekaan dan kebebasan dengan partisipasi kaum perempuan.
Islam memberikan perhatian khusus mengenai kedudukan perempuan. Agama ilahi ini mempertimbangkan berbagai faktor mulai dari struktur fisik, emosi dan naluri, hukum dan aspek perempuan lainnya. Meski perempuan pada dasarnya memiliki fisik yang lemah dan lembut, namun ia memiliki perasaan dan naluri yang kuat, yang diciptakan oleh Allah swt guna mengemban tugas pendidikan dan pengajaran masyarakat untuk menghantarkan umat manusia kepada kesempurnaan.

Pemimpin Besar Revolusi Islam Ayatollah al-Udzma Sayyid Ali Khamenei menegaskan bahwa Islam sangat memuliakan perempuan. Rahbar mengatakan, “Dalam pandangan Islam, sebagai manusia, tidak ada sedikitpun perbedaan antara perempuan dan laki-laki. Berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an, perempuan dan laki-laki sama dalam melangkah ke puncak ketinggian dan kedekatan kepada Allah.”

Ayatollah al-Udzma Sayyid Ali Khamenei menilai krisis wanita dewasa ini merupakan salah satu problema paling krusial bagi setiap peradaban, masyarakat dan negara. Rahbar menyebut perspektif Barat terhadap perempuan sebagai pandangan yang menyimpang, kesesatan yang nyata, penghinaan terbesar, dan penistaan terhadap kehormatan perempuan. Pernyataan itu disampaikan Rahbar Rabu malam (5/1) dalam seminar pemikiran strategis ketiga dengan tema ‘Perempuan dan Keluarga’.

Beliau mengatakan, “Tidak seperti yang dibayangkan, tindakan yang dilakukan orang-orang feminis ternyata justru merugikan kaum perempuan. Sebab, dengan melecehkan perempuan mereka menjadikannya sebagai alat pemuas nafsu. Dan sayangnya, opini umum di Barat memandang masalah ini sebagai fenomena yang lumrah dan bisa terima.”

Pemimpin Besar Revolusi Islam menyatakan bahwa musuh menjadikan masalah perempuan sebagai salah satu sasaran serangan politik dan propaganda terhadap pemerintahan Islam di Iran. Karena itu masalah perempuan harus mendapat perhatian penuh. Ditegaskannya, “Dengan melakukan pencerahan kepada opini umum masyarakat dunia, kita jangan memberi kesempatan kepada Barat untuk mewujudkan target para pembuat keputusan dan penyusun agendanya dalam menyerang dasar-dasar ajaran Islam dalam masalah perempuan.”

Tehran saat ini menjadi tamu para aktivis perempuan dari 80 negara dunia. Sekitar 70 persen dari mereka dari kalangan ahlus sunnah, sedangkan 30 persennya dari Syiah. Sebelum mengikuti seminar, mereka diajak menikmati perjalanan ke Isfahan, Qom dan Mashhad dengan tujuan mengetahui dari dekat kemajuan Iran dewasa ini terutama aktivitas Iran di bidang sosial, budaya dan politik serta olahraga.

Pada konferensi internasional dan kebangkitan Islam kali ini lebih dari 400 paper dikaji dalam enam komisi yang terdiri dari komisi “Pemikiran Islam, Potensi Perempuan dan Sikap Revolusioner”, “Perempuan dan Kebangkitan Islam: Peluang dan Ancaman”, “Perempuan dan Kebangkitan Islam: Capaian dan Harapan”, “Perempuan dan Kebangkitan Islam: Interaksi dan Hubungan”, “Perempuan dan Kebangkitan Islam: Keluarga dan Potensi Revolusi”, “Perempuan dan Kebangkitan Islam: Perspektif dan Masa Depan.” Sambutan kaum perempuan muslim terhadap Kebangkitan Islam mendorong terwujudnya masa depan perempuan Muslim yang lebih cerah.
http://www.abna.ir/data.asp?lang=12&id=328506

Memecah Prasangka terhadap Iran (Catatan Perjalanan)

Oleh: Sirikit Syah*)
Jawa Pos, 20 Juli 2012

SETELAH sepuluh hari melihat Iran, banyak yang ingin saya ceritakan kepada pembaca Jawa Pos. Kita kerap membaca berita-berita tentang Iran dan kebanyakan sumber kita adalah media Barat. Bahkan, bila laporan itu kita baca melalui media di Indonesia, tetap saja, para redaktur kita mengutipnya dari media Barat. Sangat jarang redaktur media Indonesia mengutip IRNA, IRIB, atau Press TV, misalnya. Karena itu, jangan terkejut bila cerita saya berbeda dari pemahaman kita semua selama ini tentang Iran.

Perjalanan saya ke Iran merupakan momentum ’’breaking the prejudice’’, memecah prasangka. Sebagian di antara kita –rakyat Indonesia– mengira orang Iran adalah orang Arab, berwajah seram, perempuannya pakai burqa seperti kaum Taliban di Afghanistan, perempuannya tidak boleh ke mana-mana, serta negaranya miskin dan terbelakang.

Maaf, semua itu salah. Kedudukan perempuan, misalnya, kenyataannya sungguh berbalik 180 derajat dari asumsi saya. Peran pria Iran, menurut pandangan saya (orang Indonesia tapi mengenyam pendidikan Barat), juga amat unik dan menarik untuk dicatat.

Konferensi yang saya hadiri pertengahan Juli lalu bertajuk ’’International Moslem Women Conference and the Islamic Awakening’’. Tentu, maksudnya adalah bagaimana peran perempuan Islam sedunia dalam gerakan/gelombang kebangkitan Islam. Seluruh anggota panitia perempuan mengenakan chador, kain hitam menutup kepala sampai mata kaki, seperti selimut, hanya menyisakan wajah-wajah cantik perempuan Iran.
Di belakang mereka, siap siaga para pria Iran berwajah tampan berbadan tegap dengan pakaian Western (berpantalon dan berjas). Meski bergaya intelek dan elegan, para pria tersebut adalah ’’pembantu umum’’ yang membereskan persoalan dan kesulitan. Paling ekstrem, saya melihat mereka memasuki ruang makan dan makan paling akhir, ketika seluruh perempuan sudah selesai makan. Setelah 10 hari bersama mereka, saya mencatat, pria Iran adalah supporter atau backup yang luar biasa bagi kiprah perempuan Iran.


Para perempuan Iran bekerja secara profesional: ada dokter (kebanyakan dokter), lawyer, insinyur, pilot, dosen, guru, dan pegawai bank. Mereka dipertemukan dengan kami (para tamu dari negara asing), lalu bercerita tentang sulitnya membagi waktu antara famili-profesi-religi. Ya, orang Iran amat religius, sehingga agama selalu dinomorsatukan. Kesulitan mereka sama saja dengan kesulitan ibu-ibu di Indonesia dan di banyak negara lain.

Saya terkesan, mereka tidak mengatakan hidup mereka mudah atau baik-baik saja (kalau mereka bilang begini, akan saya anggap propaganda public relation). Mereka tak memiliki support-system seperti tetangga dan keluarga, sebagaimana di negara-negara Asia atau Afrika. Namun, sistem pemerintahan mereka men-support maksimal: cuti hamil 6 bulan sepenuh gaji, akan ditingkatkan jadi setahun. Lalu, selama dua tahun setelah masuk kerja, setiap hari bebas dua jam kerja untuk menyusui. Bahkan, perempuan yang memiliki orang tua, suami, atau anak difabel diminta tinggal di rumah dan digaji pemerintah untuk mengurusi/mendidik sang difabel tersebut.

Menilik ucapan dan gerak tubuh (gesture), perempuan Iran amat confident (percaya diri) dan berdiri sama tinggi dengan kaum prianya. Perempuan-perempuan berjubah hitam itu ’’keluyuran’’ sampai malam dan dini hari di kafe serta lobi hotel (karena urusan kepanitiaan) dan mereka seolah biasa saja melakukan itu. Cara pria dan perempuan berbincang juga sejajar, sama dengan kita di Indonesia.
Namun, pria Iran tampak lebih menaruh hormat kepada para perempuannya. Di jalan, para perempuan Iran memakai baju gaya Western, dengan kerudung yang menyisakan jambul/poni. Tak sedikit pula yang menyetir mobil.

Pecahnya prasangka atau praduga terhadap Iran tak hanya terjadi pada fisik (bahwa mereka ternyata lebih mirip orang kulit putih daripada orang Arab –mereka keturunan ras Aria seperti bangsa Eropa umumnya), tapi juga pada kedudukan pria-perempuan, tingginya peradaban mereka, majunya ekonomi negara, serta intelektualitas mereka yang mengagumkan.

Tingginya peradaban dapat kita saksikan dari situs-situs peninggalan. Masjid dan bangunan kuno lainnya telah memiliki pola arsitektur yang canggih pada zamannya. Intelektualitas juga tecermin saat kita berbicara dengan mereka. Tak mengherankan bila mereka menemukan teknologi nano, menciptakan hujan di padang pasir, bahkan merekayasa nuklir untuk kebutuhan listrik negaranya.

Pecahnya prasangka tersebut melahirkan kekaguman pada bangsa Iran. Apalagi, Iran membiayai Konferensi Perempuan Islam Sedunia ini 100 persen. Peserta datang dari 84 negara (termasuk Afrika, Amerika Latin, Eropa Utara). Jumlahnya sekitar 1.200 orang. Semua dibiayai dengan layanan VIP selama di Iran dan tiket pesawat pulang pergi dari negara masing-masing diganti. Kita akan berpikir: berapa besar biayanya? Mengapa Iran mau mengeluarkan biaya sebesar itu untuk sebuah konferensi?

Akhirnya, saya menyimpulkan sendiri: Bagi Iran, bukan konferensinya yang penting, tapi kemampuannya mengumpulkan para perempuan cendekia sedunia itulah yang ingin disuarakan ke seluruh dunia. Bahwa Iran bisa. Bahwa Iran akan didukung perempuan sedunia untuk menggelorakan kebangkitan Islam, suatu gerakan yang tak terbendung. Sebagaimana kita lihat, gerakan yang berawal dari akar rumput ini sudah berhasil menggulingkan pemerintahan yang korup di kawasan Timur Tengah, menggantikannya dengan tokoh dari Muslim Brotherhood (Persaudaraan Muslim).

Bila memang itu tujuannya: image building, mungkin biaya tersebut sangat berarti. Iran yang mengalami sanksi ekonomi internasional selama 30 tahun terbukti menggeliat, survive. Rakyatnya menggunakan produk dalam negeri. Tidak apa-apa mobil-mobil di jalanan dan HP para tokoh tampak jadul (kuno) dan tidak ada McDonalds atau KFC di Teheran. Tapi, mereka berdiri dan menatap kita dengan kebanggaan. Mungkin kita bangsa Indonesia yang kaya raya tidak bisa bersikap penuh kebanggaan dan percaya diri seperti itu.
*) Dosen dan analis media
http://sirikitsyah.wordpress.com/2012/07/23/memecah-prasangka-terhadap-iran/
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: