Siapapun yang mengikuti Madzhab yang 4 dari Ahlussunnah wal Jamaah (Madzhab Hanafiy, Malikiy, Syafi'iy, Hanbali), Madzhab Jakfariy, Madzhab Zaidiyah, Madzhab Ibadiy, Madzhab Dhahiriy, maka dia Muslim dan tidak boleh mentakfir-nya (memvonisnya kafir) dan haram darahnya, kehormatannya dan hartanya. dan juga dalam fatwa Fadlilatusy Syekh Al-Azhar tidak boleh mentakfir ulama-ulama beraqidah Al-Asy'ariyah dan aliran Tashawuf yang hakiki (benar). Demikian juga tidak boleh memvonis kafir ulama-ulama yang berpaham Salafiy yang shahih.
Syiah Diakui Sebagai Mazhab Sah dalam Islam.
Risalah 'Amman (رسالة عمّان) dimulai sebagai deklarasi yang di rilis pada 27 Ramadhan 1425 H bertepatan dengan 9 November 2004 M oleh HM Raja Abdullah II bin Al-Hussein di Amman, Yordania. Risalah Amman (رسالة عمّان) bermula dari upaya pencarian tentang manakah yang "Islam" dan mana yang bukan (Islam), aksi mana yang merepresentasikan Islam dan mana yang tidak (merepresentasikan Islam). Tujuannya adalah untuk memberikan kejelasan kepada dunia modern tentang "Islam yang benar (الطبيعة الحقيقية للإسلام)" dan "kebenaran Islam" (وطبيعة الإسلام الحقيقي).
Untuk lebih menguatkan asas otoritas keagamaan pada pernyataan ini, Raja Abdullah II mengirim tiga pertanyaan berikut kepada 24 ulama senior dari berbagai belahan dunia yang merepresentasikan seluruh Aliran dan Mazhab dalam Islam :
1. Siapakah seorang Muslim ?
2. Apakah boleh melakukan Takfir (memvonis Kafir) ?
3. Siapakah yang memiliki haq untuk mengeluarkan fatwa ?
Dengan berlandaskan fatwa-fatwa ulama besar (العلماء الكبار) --termasuk diantaranya Syaikhul Azhar (شيخ الأزهر), Ayatullah As-Sistaniy (آية الله السيستاني), Syekh Qardhawiy (شيخ القرضاوي)-- , maka pada Juli tahun 2005 M, Raja Abdullah II mengadakan sebuah Konferensi Islam Internasional yang mengundang 200 Ulama terkemuka dunia dari 50 negara. Di Amman, ulama-ulama tersebut mengeluarkan sebuah panduan tentang tiga isu fundamental (yang kemudian dikenal dengan sebutan "Tiga Poin Risalah 'Amman/محاور رسالة عمّان الثلاثة"), Berikut adalah kutipan Piagam Amman dari Konferensi Islam Internasional yang diadakan di Amman, Yordania, dengan tema "Islam Hakiki dan Perannya dalam Masyarakat Modern" (27-29 Jumadil Ula 1426 H. / 4-6 Juli 2005 M.) dan dihadiri oleh ratusan Ulama' dari seluruh dunia sebagai berikut:
[1]Siapapun yang mengikuti Madzhab yang 4 dari Ahlussunnah wal Jamaah (Madzhab Hanafiy, Malikiy, Syafi'iy, Hanbali), Madzhab Jakfariy, Madzhab Zaidiyah, Madzhab Ibadiy, Madzhab Dhahiriy, maka dia Muslim dan tidak boleh mentakfir-nya (memvonisnya kafir) dan haram darahnya, kehormatannya dan hartanya. dan juga dalam fatwa Fadlilatusy Syekh Al-Azhar tidak boleh mentakfir ulama-ulama beraqidah Al-Asy'ariyah dan aliran Tashawuf yang hakiki (benar). Demikian juga tidak boleh memvonis kafir ulama-ulama yang berpaham Salafiy yang shahih.
Sebagaimana juga tidak boleh memvonis kafir kelompok kaum Muslimin yang lainnya yang beriman kepada Allah dan kepara Rasulullah, rukun-rukun Iman, menghormati rukun Islam dan tidak mengingkari informasi yang berasal dari agama Islam.
[2]. Sungguh diantara madzhab yang banyak tersebut memang terdapat perbedaan (ikhtilaf), maka ulama-ulama dari delapan madzhab tersebut bersepakat dalam mabda' yang pokok bagi Islam. Semuanya beriman kepada Allah subhanahu wa ta'alaa yang Maha Esa, Al-Qur'an al-Karim adalah Kalamullah, Sayyidina Muhammad 'alayhis shalatu wassalam adalah Nabi sekaligus Rasul bagi umat manusia seluruhnya, dan mereka bersepakat atas rukun Islam yang 5 : Syadatayn, Shalat, Zakat, puasa Ramadhan, Haji kepa Baitullah, dan juga bersepakat atas Rukun Imam yang 6 ; beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-Nya, Hari kiamat, dan kepada Qadar yang baik dan buruk, dan ulama-ulama dari perngikut Madzhab tersebut berbeda pendapat dalam masalah Furu' (cabang) dan bukan masalah Ushul (pokok), dan itu adalah Rahmat, dan terdahulu telah dikatakan ;
"Sesungguhnya ikhtilaf (perbedaan pendapat) para Ulama dalam masalah pemikiran hal yang baik"
[3]. Pengakuan terhadap madzhab-madzhab dalam Islam berarti berkomitmen dengan metodologi (manhaj) dalam hal fatwa ; maka siapapun tidak boleh mengeluarkan fatwa selain yang memenuhi kriteria tertentu dalam setiap madzhab, dan tidak boleh berfatwa selain yang berkaitan dengan manhaj (metodologi) madzhab, tidak boleh seorang pun mampu mengklaim ijtihad dan mengembangkan/membuat madzhab/pendapat baru atau mengelurkan fatwa yang tidak bisa diterima yang dapat mengeluarkan kaum Muslim dari kaidah syar'iyyah, prinsip, ketetapan dari madzhabnya.
Tiga Poin Risalah 'Amman ini lalu diadopsi oleh kepemimpinan politik dunia Islam pada pertemuan Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Mekkah pada Desember 2005. Dan setelah melewati satu tahun periode dari Juli 2005 hingga Juli 2006, piagam ini juga diadopsi oleh enam Dewan Ulama Islam Internasional. Secara keseluruhan, lebih dari 500 ulama Islam terkemuka telah mendukung Risalah 'Amman dan tiga poin pentingnya.
Di antara penandatangan dan pengesah Risalah Amman ini adalah:
Afghanistan: Hamid Karzai (Presiden).
Amerika Serikat: Prof. Hossein Nasr, Syekh Hamza Yusuf (Institut Zaytuna), Ingrid Mattson (ISNA)
Arab Saudi: Raja Abdullah As-Saud, Dr. Abdul Aziz bin Utsman At-Touaijiri, Syekh Abdullah Sulaiman bin Mani' (Dewan Ulama Senior).
Bahrain: Raja Hamad bin Isa Al-Khalifah, Dr. Farid bin Ya'qub Al-Miftah (Wakil Menteri Urusan Islam)
Bosnia Herzegovina: Prof. Dr. Syekh Mustafa Ceric (Ketua Ulama dan Mufti Agung), Prof. Enes Karic (Profesor Fakultas Studi Islam)
Mesir: Muhammad Sayid Thantawi (Mantan Syekh Al-Azhar), Prof. Dr. Ali Jum'ah (Mufti Agung), Ahmad Al-Tayyib (Syekh Al-Azhar)
India: Maulana Mahmood (Sekjen Jamiat Ulema-i-Hindi)
Indonesia: Maftuh Basyuni (Mantan Menag), Din Syamsuddin (Muhammadiyah), Hasyim Muzadi (NU).
Inggris: Dr. Hassan Shamsi Basha (Ahli Akademi Fikih Islam Internasional), Yusuf Islam, Sami Yusuf (Musisi).
Iran: Ayatullah Ali Khamenei (Wali Amr Muslimin), Ahmadinejad (Presiden), Ayatullah Ali Taskhiri (Sekjen Pendekatan Mazhab Dunia), Ayatullah Fadhil Lankarani.
Irak: Jalal Talabani (Presiden), Ayatullah Ali As-Sistani, Dr. Ahmad As-Samarai (Kepala Dewan Wakaf Sunni)
Kuwait: Syekh Sabah Al-Ahmad Al-Jaber As-Sabah.
Lebanon: Ayatullah Husain Fadhlullah, Syekh Muhammad Rasyid Qabbani (Mufti Agung Sunni).
Oman: Syekh Ahmad bin Hamad Al-Khalili (Mufti Agung Kesultanan Oman)
Pakistan: Pervez Musharraf (Presiden), Syekh Muhammad Tahir-ul-Qadri (Dirjen Pusat Penelitian Islam), Muhammad Taqi Usmani.
Palestina: Syekh Dr. Ikramah Sabri (Mufti Agung dan Imam Al-Aqsha).
Qatar: Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Dr. Ali Ahmad As-Salus (Profesor Syariah Universitas Qatar).
Sudan: Omar Hassan Al-Bashir (Presiden).
Suriah: Syekh Ahmad Badr Hasoun (Mufti Agung), Syekh Wahbah Az-Zuhaili (Kepala Departemen Fikih), Salahuddin Ahmad Kuftaro.
Yaman: Habib Umar bin Hafiz (Darul Mustafa), Habib Ali Al-Jufri.
Yordania: Raja Abdullah II, Pangeran Ghazi bin Muhammad (Dewan Pengawas Institut Aal Al-Bayt), Syekh Izzuddin Al-Khatib At-Tamimi (Hakim Agung), Syekh Salim Falahat (Ikhwanul Muslimin Yordania). Sumber: www.abna.ir
Organisasi Konferensi Islam (OKI http://www.oic-oci.org ) yang merupakan organisasi kerja sama negara-negara berpenduduk muslim di seluruh dunia, mengakui mazhab Syiah sebagai salah satu mazhab yang sah dalam Islam. Itulah sebabnya, Muslim Syiah dibolehkan untuk menunaikan ibadah haji di tanah suci Makkah al-mukarramah [lppimakassar.net]
Di sela-sela lawatannya ke Timur Tengah, Dr Alwi Shihab, sosok yang pernah menjadi Menteri Luar Negeri (Kabinet Abdurrahman Wahid) dan Menko Kesra (Kabinet SBY) dan juga pernah ditugaskan sebagai Utusan Khusus Presiden Indonesia untuk wilayah Timur Tengah, memanfaatkan waktunya yang singkat dengan memberikan ceramah dalam pengajian bulanan KMMI (Keluarga Masyarakat Muslim Indonesia) di Abu Dhabi pada tanggal 21-Desember 2013.
Bertempat di Aula Ahmad Soebardjo Kedutaan Besar Republik Indonesia di Abu Dhabi, sejumlah lebih kurang 80 orang masyarakat Indonesia beserta keluarga antusias mendengarkan petuah dari tokoh senior Indonesia yang juga seorang politisi, agamawan, dan penulis buku terkenal “Islam Inklusif” ini. Berikut ini adalah uraian singkat ceramah beliau yang disarikan oleh Muhammad Ruslailang Noertika.
Hindari Sikap Mengkafirkan Sesama Muslim.
Dr Alwi Shihab memulai ceramahnya dengan mengungkapkan bahwa baru-baru ini, sambil mengutip berita yang dilansir koran terkenal, bahwa NU dan Muhammadiyah telah menyerukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk berhati-hati mengeluarkan fatwa yang menyatakan sesat kepada mazhab tertentu, dalam hal ini mazhab Syiah. Kehati-hatian ini diperlukan untuk menghindari konflik horizontal yang saat ini sering terjadi, termasuk kekerasan dan penganiayaan yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap kelompok lain yang dianggap berbeda keyakinan. Kejadian yang menimpa komunitas muslim Syiah di Sampang Madura dan beberapa pengikut tarekat di Jawa contohnya adalah imbas dari perilaku yang merasa benar sendiri dan menghakimi umat lain sebagai sesat.
Beliau juga mencontohkan bahwa saat ini banyak media internet, juga media radio yang gemar mengabarkan perbedaan dan mengobarkan perpecahan di kalangan umat Islam. Padahal perbedaan yang ada hanyalah sedikit, hanya terpaut di masalah-masalah yang kecil, tidak sampai menyangkut hal-hal besar. Seperti Syiah dan Sunni, keduanya diakui sebagai mazhab dalam Islam. Dr Alwi Shihab menceritakan bahwa ketika beliau bersama Prof Quiraish Shihab menuntut ilmu di Universitas Al Azhar Kairo Mesir, di sana mereka juga mempelajari mazhab Syiah sebagai salah satu mazhab Islam. Kalau bukan mazhab yang diakui dalam Islam, tidak mungkin mereka diberi pelajaran mengenai mazhab tersebut. Karenanya, adalah hal yang kurang bijak sekiranya ada sekelompok orang yang kemudian memperkeruh persatuan Islam dengan menyebarkan issue-issue tentang sesatnya Syiah.
Islam mazhab Syiah tak jauh berbeda dengan islam mazhab Sunni. Mereka bersyahadat, zakat, salat menghadap kiblat, berhaji di Makkah dan hal-hal lain dikerjakan sebagaimana halnya umat Islam yang bermazhab Ahlus Sunnah. Adapun perbedaan-perbedaan yang ada, tidak usah diperuncing karena tak begitu signifikan. Debat antara ulama Sunni dan Syiah sudah berlangsung ribuan tahun, dan banyak yang dilaksanakan dengan cara yang santun sesuai akhlakul karimah. Para ulama yang berdebat itu tak pernah saling mengkafirkan apalagi menyebarkan dakwah yang menyatakan sesatnya mazhab yang lain. Karenanya kita, sebagai ummatnya tak boleh ikut-ikutan mengkafirkan sesama Muslim.
Konflik Sunni-Syiah Berlatar Politik.
Ditengarai oleh beliau, bahwa meruncingnya eskalasi konflik horizontal antara Sunni dan Syiah yang terjadi dewasa ini di Indonesia dan beberapa tempat lain di dunia lebih dilatar belakangi oleh kepentingan politis. Dr Alwi Sihab, yang kini menjadi salah satu tim ahli dalam Fetzer Insitut (www.fetzer.org) – lembaga nirlaba yang berdiri di Michigan Amerika Serikat yang mengkampanyekan toleransi damai dan indah dengan slogannya “Love and Forgive”, mencontohkan bagaimana konstelasi hubungan Amerika Serikat dengan Saudi Arabia dan Iran. Menurut beliau, sebelum terjadinya revolusi Islam Iran oleh Ayatulah Khomeini tahun 1979, pemerintahan Iran yang dipimpin oleh Syah Reza Pahlevi dikenal berkarib dengan Amerika Serikat. Demikian juga dengan Kerajaan Saudi Arabia saat itu. Ketika kedua negara yang berbeda mazhab itu sama-sama menjadi negara sahabat Amerika Serikat, keduanya ikut bersahabat. Saudi Arabia yang wahabi bersahabat dengan Iran yang Syiah. Namun, sejak tahun 1979, keadaan berubah. Iran yang dipimpin Imam Khomeini menjadi musuh Amerika Serikat, sedangkan Saudi Arabia tetap menjalin persahabatan dengan Amerika Serikat. Sejak itu, juga hubungan kedua negara itu memanas. Kerajaan Saudi Arabia kemudian dikenal berkonfrontasi dengan pemerintah Iran. Jadi konflik yang ada kini disebabkan oleh politik.
Konflik politis antara Saudi dan Iran kemudian merembes ke persoalan mazhab. Kedua negara itu berupaya juga ikut memengaruhi negeri lain. Dalam satu kesempatan, Dr Alwi Shihab bercerita, ketika bertemu dengan wakil pemerintah Iran, ia menyatakan bahwa Iran sangat ingin menjalin persahabatan yang lebih erat dengan Indonesia. Demikian juga pemerintah Saudi Arabia. Masing-masing ingin agar Indonesia dekat dengan mereka karena keduanya memandang betapa pentingnya Indonesia, sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Namun, menurut Dr Alwi Shihab, Indonesia yang dikenal dunia sebagai Negara dengan penduduk mayoritas islam yang moderate selayaknya memang bersahabat dengan semua negara Islam, tapi jangan sampai konflik politis yang terjadi di antara mereka juga ikut tertular ke negeri kita. Biarlah Indonesia menjadi negeri muslim yang damai, toleran sesuai dengan pedoman bernegara, Pancasila. Apa yang terjadi di Mesir, Pakistan dan negara lain yang terus menerus dirundung konflik, adalah karena ketiadaan pedoman yang diakui bersama. Kedua Negara itu tidak mempunyai alat pemersatu, Pakistan yang dahulu dikenal sebagai negara islam moderate kini tidak bisa lagi disebut moderate karena konflik horizontal yang dipicu oleh perseteruan politik dengan mengendarai issue antar mazhab. Demikian juga dengan Mesir yang kini mempunyai masalah dimana masyarakatnya terpecah menjadi dua antara yang sekuler dengan yang islamis karena Mesir tidak mempunyai alat pemersatu seperti Indonesia memiliki Pancasila, yang diakui oleh baik kaum agamawan maupun kelompok liberal sebagai dasar negara. Pancasila mempersatukan kita semua, karenanya kita harus merawat bersama-sama kondisi ini.
Ditambahkan oleh beliau, pemerintah Saudi Arabia juga sebenarnya tak bisa menganggap Syiah itu keluar dari Islam. Karena mayoritas penduduknya yang tinggal di kawasan timur seperti Dhahran, Dammam dihuni oleh muslim bermazhab Syiah sejak seribu atau ratusan tahun lalu. Kalau sekiranya pemerintah Saudi Arabia menganggap Syiah itu diluar Islam, maka itu bisa menimbulkan pemberontakan dari warganya itu. Juga ditambahkan, bahwa Organisasi Konferensi Islam (OKI http://www.oic-oci.org ) yang merupakan organisasi kerja sama negara-negara berpenduduk muslim di seluruh dunia, mengakui mazhab Syiah sebagai salah satu mazhab yang sah dalam Islam (catatan: Iran, sebagai negara dengan pemeluk islam syiah terbesar menjadi anggota OKI sejak didirikan tahun 1969). Karenanya, Muslim Syiah dibolehkan untuk menunaikan ibadah haji di tanah suci.
Bangun Toleransi Melalui Pendidikan.
Dr Alwi Shihab memberikan pandangannya, bahwa salah satu cara untuk meredam gejolak pengkafiran dari sebagian muslim kepada sesamanya adalah dengan melalui pendidikan. Dengan memberikan pemahaman yang baik dalam proses pendidikan tersebut, umat islam akan lebih dewasa dalam menyikapi perbedaan. Meskipun diakui bahwa saat ini, kelompok-kelompok yang mudah mengkafirkan sesama muslim itu juga bercokol di institusi pendidikan, namun upaya terus menerus untuk menggerus sikap keliru dalam mengkafirkan orang lain itu bisa dimaksimalkan melalui pendidikan.
Dengan pendidikan, umat Islam akan diberikan wawasan yang luas dan bijak mengenai betapa indahnya Islam dalam keberagamannya, sehingga mereka akan saling menghormati dan menghargai seluruh mazhab yang diakui dalam Islam. Juga, dalam sesi tanya jawab dengan peserta, beliau mengakui bahwa pemerintah Indonesia juga perlu mengambil tindakan tegas untuk mencegah tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mudah mengkafirkan sesamanya. Hal ini diperlukan agar sikap intoleran tersebut dapat diredam secara cepat tanpa menyebar ke masyarakat lainnya. Mereka yang suka bertindak intoleran itu umumnya sedikit dibanding yang lain yang menjadi “silent majority”. Semoga dengan metode pendidikan yang mengedepankan akhlakul kharimah, umat yang “silent majority” menjadi tergugah untuk menyatakan sikapnya yang lebih bijak dan dewasa memandang perbedaan antar sesama umat Islam.
Abu Dhabi, 24 Desember 2013.
http://www.lppimakassar.net/3/post/2013/12/organisasi-konferensi-islam-oki-syiah-itu-islam.html?fb_action_ids=10202738391848588&fb_action_types=og.likes&fb_source=other_multiline&action_object_map=%5B630042617037507%5D&action_type_map=%5B%22og.likes%22%5D&action_ref_map
Menag Tolak Syiah Dianggap Sesat
4 September 2012
JAKARTA – Pihak-pihak yang menganggap umat Syiah sesat harus mengoreksi pendapatnya. Kementerian Agama (Kemenag) menegaskan bahwa Syiah adalah bagian dari umat Islam. Kendati belum menjadi keputusan final, tapi angin segar pengakuan Syiah itu sudah diisyaratkan oleh Menteri Agama Suryadharma Ali (SDA). Ditemui usai memimpin halalbihalal di kantornya kemarin, SDA mengatakan bahwa pihaknya sudah menjalankan penelitian dan kajian tentang keberadaan umat muslim Syiah di Indonesia. Menteri yang juga ketua umum DPP PPP itu mengatakan, Kemenag tidak rela jika konflik bernuansa agama terus terjadi. Sebab, konflik tersebut melibatkan umat Syiah dan Sunni yang sejatinya sama-sama umat Islam. “Saya berharap semua pihak bisa menyejukkan suasana di Sampang. Jangan sampai konflik meluas,” tegasnya.
SDA menegaskan jika kajian soal posisi Syiah ini menghadirkan pendapat dari banyak pihak. “Mulai ahli-ahli agama, sejarah, dan pihak-pihak lainnya yang ingin menyelesaikan masalah ini kami libatkan,” kata dia. SDA juga mengatakan, hasil diskusi atau kajian dari tim ini nantinya akan dijadikan bagi pemerintah untuk mendefinisikan dan memposisikan Syiah.
Kajian dari jajaran Kemenag tetang Syiah ini penting dan mendesak segera keluar. Mengingat potensi letupan-letupan konflik bernuansa agama antara muslim syiah dengan muslim anti-syiah bisa terus terjadi.
Meskipun belum menjadi ketetapan, namun posisi pemerintah dalam menyikapi kebedaraan muslim Syiah di Indonesia akan merujuk pada kebijakan Organisasi Konferensi Islam (OKI). Dalam KTT Luar Biasa OKI di Arab Saudi beberapa waktu lalu, sudah menunjukkan kabar baik soal penghentian perseteruan antara kaum sunni dan kaum syiah.
Dalam sejumlah laporan disebutkan bahwa pada suatu momen di KTT Luar Biasa OKI ini, Raja Arab Saudi King Abdullah memberi penghormatan yang luar biasa kepada Presiden Mahmoud Ahmadinejad. Saat itu, selain berjabat tangan, King Abdullah meminta Ahmadinejad duduk di kursi tepat di samping kirinya.
Sejumlah pihak melihat sambutan raja Arab kepada presiden Iran itu fenomena luar biasa. Dengan sambutan itu, diharapkan perseteruan antara kaum syiah dan sunni sudah bisa diakhiri. Seperti diketahui, kaum sunni selama ini mendominasi di negara-negara Teluk seperti Arab Saudi. Sedangkan kaum syiah mendominasi Iran.
Pendapat senada diungkapkan Wakil Direktur Eksekutif Human Rights Working Group Choirul Anam. Choirul mengungkapkan bahwa sejatinya OKI sudah menganggap Syiah dan Sunni sama. Buktinya, dalam kajian komisi bidang hak asasi manusia yang berada di bawah OKI menyebutkan bahwa Syiah harus mendapat tempat di negara-negara Sunni. Di OKI bahkan kaum Syiah sudah dianggap setara dengan umat Sunni lainnya. “Tidak ada alasan untuk menyebut Syiah sesat,” tegasnya.
Choirul mendesak agar Kemenag menerbitkan selebaran resmi yang berisi pengakuan tentang keislaman Syiah. Selebaran itu, kata dia, dibagikan ke daerah-daerah hingga tingkatan institusi kementerian terkecil. Tujuannya, tidak ada lagi pemuka agama setempat yang menggerakkan warga untuk mengintimidasi kaum Syiah yang jelas-jelas bagian dari umat Islam. “Selama ini, amunisi pemimpin agama setempat menggerakkan warga adalah karena Syiah dianggap sesat, padahal tidak,” katanya.
Di bagian lain, Badan Intelijen Negara (BIN) mengaku kecolongan dengan kejadian tersebut. Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Marciano Norman mengakui adanya kekurangan untuk melakukan langkah-langkah antisipasi terjadinya bentrok.
“Kita harus mengakui kalau hal itu terjadi, (maka) intelijennya harus diperbaiki,” kata Marciano seusai mengikuti rapat terbatas membahas insiden Sampang di Kantor Presiden, kemarin (27/8). Menurutnya, selain solusi untuk menyelesaikan bentrok, evaluasi terhadap intelijen juga harus dilakukan.
“Harusnya, intelijen yang baik mempunyai kemampuan mendeteksi secara dini hal-hal yang akan timbul,” sambung mantan Pangdam Jaya itu.
Rapat khusus membahas soal insiden di Sampang itu dipimpin langsung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Selain Wapres Boediono dan kepala BIN, rapat antara lain juga diikuti oleh Mendagri Gamawan Fauzi, Menag Suryadharma Ali, Menkum HAM Amir Syamsuddin, Jaksa Agung Basrief Arief, Kapolri Timur Pradopo, dan Panglima TNI Agus Suhartono.
SBY mengatakan, ada yang belum optimal dalam penanganan masalah di Sampang. Pasalnya, kejadian tersebut pernah terjadi bulan Desember 2011 lalu. Dia menyebut kerja intelijen lokal, baik kepolisian maupun intelijen komando territorial TNI. Begitu juga dengan peran pemerintah daerah. “Mestinya kalau intelijen itu bekerja dengan benar dan baik, akan lebih bisa diantisipasi. Dideteksi keganjilan yang ada diwilayah itu,” urainya.
Menurut presiden, persoalan tersebut kompleks, tidak hanya berkaitan dengan keyakinan. Namun juga berkaitan dengan konflik internal keluarga. “Akhirnya saling bertautan dan karena masing masing punya pengikut, terjadilah insiden atau aksi kekerasan yang sangat kita sesalkan itu,” kata SBY.
Solusinya, lanjut dia, perlu keterpaduan antara pemerintah pusat dan daerah. Selain itu, SBY juga meminta penegak hukum bertindak secara tegas dan adil. “Saya berharap para pemimpin dan pemuka agama tokoh masyarakat bersama-sama dengan pemerintah, utamanya pemda untuk kembali menenangkan umat mereka semua,” katanya.
Sementara itu Kapolri Timur Pradopo mengatakan, pihaknya telah menangkap tujuh orang yang ditetapkan sebagai tersangka. “(Perannya) ada pelaksana, ada penggerak,” katanya. Dia menegaskan, masih ada tiga orang yang menjadi target karena dinilai bertanggung jawab dalam insiden bentrok itu.
Mantan Kapolda Metro Jaya itu enggan menanggapi jika disebut kecolongan atas bentrokan itu. “Sekarang tentunya kita melihat ke depan, langkah-langkah penegakan hukum yang kita lakukan,” elaknya.
Di Gedung Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (KemenkumHAM) Jalan H.R Rasuna Said, Menkumham Amir Syamsuddin berharap agar masalah Sampang tidak terlalu dibawa ke arah agama. Seolah-olah apa yang terjadi adalah pertikaian antara Sunni melawan Syiah. “Ada latar belakang masalah keluarga,” ucapnya.
Nah, latar belakang masalah pribadi itulah yang diharapkan bisa segera dipecahkan permasalahannya. Apalagi, tragedi yang terjadi pada Minggu (26/8) kemarin disebutnya sebagai peristiwa ulangan setahun lalu. Sehingga, kecil kemungkinan apa yang terjadi murni berlatar penistaan agama.
Itulah kenapa, dia menyebut bakal ada penegakan hukum yang tegas dalam menyelesaikan konflik antar warga itu. Termasuk mengevaluasi kenapa pertikaian itu kembali terjadi. “Berbagai pihak harus bersinergi mencari solusi, dan pencegahannya,” kata Amir.
Khusus untuk evaluasi pelaksana penegakan hukum di Sampang, Amir menegaskan bakal diambil alih oleh pemerintah kalau penegak hukum daerah enggan menangani kasus itu. Dia menyebut secara hukum acara bisa saja hal itu dilakukan meski belum ada keputusan apapun karena butuh berbagai pertimbangan.
Baginya, penegakan hukum itu penting supaya peristiwa serupa tidak terulang. Menteri yang juga advokat itu khawatir kalau konflik seperti itu bakal meningkat menjadi lebih parah dan makin berlarut. “Perintah Presiden jelas, penegak hukum dalam hal ini Kapolri, Jaksa Agung, dan hakim untuk turun tangan,” tegasnya.
Sementara ini, Amir belum memberi kepastian apakah ditemukan pelanggaran hak asasi manusia dalam kasus itu. Semua itu baru bisa dijawabnya kalau evaluasi sudah dilakukan secara menyeluruh. Oleh sebab, dia langsung terbang menuju Sampang bersama Kemendagri untuk melakukan evaluasi bersama yang lain. (wan/fal/dim/aga)
Kalau Pemerintah tolak Syiah dianggap sesat maka secepatnya koordinasikan dengan MUI,Kejaksaan, Kepolisisan bahwa Islam Syi’ah adalah mazhab yang sah dan diakui di dalam Islam. Kelambanan dalam melakukan kajian setelah peristiwa Sampang Desember 2011 akan melahirkan aksi kekekerasan demi kekerasan bagi kelompok minoritas Muslim Syi’ah. Semoga Pemerintah bergerak cepat agar konflik serupa tak perlu terulang kembali.
sunni syiah bergandengan tangan
______________________________________________
Jumat, 07 Oktober 2011
sikap toleransi dan persatuan di dunia Islam
Pada tanggal 9 November 2004, Raja Abdullah II bin Al-Husein dari Yordania menyerukan sikap toleransi dan persatuan di dunia Islam. Seruan ini kemudian dikenal dengan sebutan The Amman Message (رسالة عمان). Meski ditandatangani dan disahkan lebih dari 500 ulama-umara seluruh dunia dari 84 negara, poin-poin tersebut jarang diungkap dan diperkenalkan kepada masyarakat; yang terjadi adalah media bayaran terus mengungkap permusuhan, kebencian dan saling fitnah mazhab.
Di antara penandatangan dan pengesah Risalah Amman ini adalah:
* Afghanistan: Hamid Karzai (Presiden).
* Amerika Serikat: Prof. Hossein Nasr, Syekh Hamza Yusuf (Institut Zaytuna), Ingrid Mattson (ISNA)
* Arab Saudi: Raja Abdullah As-Saud, Dr. Abdul Aziz bin Utsman At-Touaijiri, Syekh Abdullah Sulaiman bin Mani’ (Dewan Ulama Senior).
* Bahrain: Raja Hamad bin Isa Al-Khalifah, Dr. Farid bin Ya’qub Al-Miftah (Wakil Menteri Urusan Islam)
* Bosnia Herzegovina: Prof. Dr. Syekh Mustafa Ceric (Ketua Ulama dan Mufti Agung), Prof. Enes Karic (Profesor Fakultas Studi Islam)
* Mesir: Muhammad Sayid Thantawi (Mantan Syekh Al-Azhar), Prof. Dr. Ali Jum’ah (Mufti Agung), Ahmad Al-Tayyib (Syekh Al-Azhar)
* India: Maulana Mahmood (Sekjen Jamiat Ulema-i-Hindi)
* Indonesia: Maftuh Basyuni (Mantan Menag), Din Syamsuddin (Muhammadiyah), Hasyim Muzadi (NU).
* Inggris: Dr. Hassan Shamsi Basha (Ahli Akademi Fikih Islam Internasional), Yusuf Islam, Sami Yusuf (Musisi).
* Iran: Ayatullah Ali Khamenei (Wali Amr Muslimin), Ahmadinejad (Presiden), Ayatullah Ali Taskhiri (Sekjen Pendekatan Mazhab Dunia), Ayatullah Fadhil Lankarani.
* Irak: Jalal Talabani (Presiden), Ayatullah Ali As-Sistani, Dr. Ahmad As-Samarai (Kepala Dewan Wakaf Suni).
* Kuwait: Syekh Sabah Al-Ahmad Al-Jaber As-Sabah.
* Lebanon: Ayatullah Husain Fadhlullah, Syekh Muhammad Rasyid Qabbani (Mufti Agung Suni).
* Oman: Syekh Ahmad bin Hamad Al-Khalili (Mufti Agung Kesultanan Oman)
* Pakistan: Pervez Musharraf (Presiden), Syekh Muhammad Tahir-ul-Qadri (Dirjen Pusat Penelitian Islam), Muhammad Taqi Usmani.
* Palestina: Syekh Dr. Ikramah Sabri (Mufti Agung dan Imam Al-Aqsha).
* Qatar: Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Dr. Ali Ahmad As-Salus (Profesor Syariah Universitas Qatar).
* Sudan: Omar Hassan Al-Bashir (Presiden).
* Suriah: Syekh Ahmad Badr Hasoun (Mufti Agung), Syekh Wahbah Az-Zuhaili (Kepala Departemen Fikih), Salahuddin Ahmad Kuftaro.
* Yaman: Habib Umar bin Hafiz (Darul Mustafa), Habib Ali Al-Jufri.
* Yordania: Raja Abdullah II, Pangeran Ghazi bin Muhammad (Dewan Pengawas Institut Aal Al-Bayt), Syekh Izzuddin Al-Khatib At-Tamimi (Hakim Agung), Syekh Salim Falahat (Ikhwanul Muslimin Yordania).
Beberapa tokoh di atas menandatangani dan mengesahkan poin-poin di bawah ini:
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang
Shalawat dan salam kehadirat Nabi Muhammad dan keluarganya yang baik dan suci
1. Siapapun pengikut salah satu dari empat mazhab hukum Islam suni (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali), dua mazhab hukum Islam Syiah (Ja’fari dan Zaidi), mazhab hukum Islam Ibadhi serta mazhab hukum Islam Zahiri adalah seorang muslim. Menyatakan pengikut (mazhab) tersebut sebagai kafir adalah hal yang mustahil dan dilarang. Sudah pasti bahwa darah, kehormatan dan hartanya adalah terjaga. Selain itu, berdasarkan fatwa Syekh al-Azhar, adalah tidak mungkin dan tidak diperbolehkan untuk menyatakan kafir kepada penganut keyakinan Asyari atau yang mempraktikkan tasawuf dengan benar (sufi). Demikian juga, tidak mungkin dan tidak diperbolehkan untuk menyatakan kafir kepada pengikut pemikiran salafi yang sesungguhnya. Hal yang sama juga tidak mungkin dan tidak dibenarkan untuk mengkafirkan kepada kelompok muslim manapun yang meyakini Tuhan subhânahu wa ta’âlâ dan utusan-Nya shallallâhu ‘alaihi wa (âlihi wa) salâm, rukun iman, dan rukun Islam, dan yang tidak mengingkari segala prinsip utama agama.
2. Terdapat lebih banyak persamaan di antara berbagai macam mazhab hukum Islam tersebut dari pada perbedaan di antara mereka. Para pengikut delapan mazhab hukum Islam sepakat dalam prinsip dasar Islam. Seluruhnya percaya kepada Allah (Tuhan) Swt. yang Mahaesa; bahwa Alquran adalah kalam Allah dan terpelihara serta terjaga oleh Allah dari segala perubahan dan penyimpangan; dan bahwa pemimpin kita Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa (âlihi wa) salâm adalah Nabi dan Rasul bagi seluruh makhluk. Semuanya sepakat dalam hal lima rukun Islam: dua kesaksian keyakinan (syahadatain); salat; zakat; berpuasa di bulan Ramadan, dan haji ke rumah suci Allah (di Mekkah). Semuanya juga sepakat dalam rukun iman: iman kepada Allah (Tuhan), malaikat-Nya, kitab-Nya, utusan-Nya, dan Hari Akhir, dalam Pemeliharaan Tuhan baik dan buruk (qadha dan qadr). Perbedaan pendapat di antara ulama dari delapan mazhab hukum Islam hanya dalam bidang tambahan dan cabang agama (furuk) dan beberapa hal pokok (usul) [dari agama Islam]. Perbedaan pendapat dengan penghormatan dalam hal cabang agama (furuk) adalah rahmat. Dahulu pernah dikatakan bahwa perbedaan pendapat di antara ulama “adalah sebuah rahmat”.
3. Pengakuan mazhab-mazhab hukum dalam Islam berarti merujuk pada metodologi dasar dalam mengeluarkan fatwa: tidak ada yang dapat mengeluarkan sebuah fatwa tanpa syarat kualifikasi keilmuan. Tidak ada yang dapat mengeluarkan fatwa tanpa merujuk kepada metodologi mazhab hukum Islam. Tidak ada yang dapat mengklaim melakukan ijtihad tidak terbatas dan menciptakan pendapat baru atau mengeluarkan fatwa pertentangan yang dapat mengeluarkan Muslim dari prinsip dan ketentuan syariah dan apa yang telah dibangun dalam kehormatan dari mazhab tersebut.(http://syiahali.wordpress.com)
_____________________________________
Rabu, 03 Agustus 2011
Majelis Sunni Syiah (MUHSIN) Dideklarasikan di Bandung
Wartaislam - - Di tengah pro dan kontra keberadaan Majelis Sunni Syiah Indonesia (MUHSIN) yang dideklarasikan Mei lalu di Jakarta, organisasi yang digagas oleh Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) itu kembali mendeklarasikan di Jawa Barat, Minggu Sore (17/7/2011). Sekitar 12 ormas pemuda di Jabar yang mewakili Sunni menjadi deklarator.
Deklarasi yang dilakukan di Hotel Horison ini dihadiri oleh Ketua IJABI Jalaluddin Rakhmat, Pengurus Pusat MUHSIN Pusat Daud Poliradja, serta Duta Besar Iran untuk Indonesia Mahmoed Farazandeh.
12 ormas pemuda yang melakukan deklarasi di antaranya PMII Cabang Kabupaten Bandung, Forum Pasca Sarjana UIN Bandung, Keluarga Mahasiswa Kabupaten Bandung Barat, Muslimat NU Jabar, Forum Kajian Damar Institut, Jakatarub, Forum Studi UIN Bandung, dan Forum Gus Dur Bandung.
"Majelis ini adalah yang pertama di dunia," ujar Ketua IJABI Jalaluddin Rakhmat.
Menurutnya Umat Islam harus bangga dengan keberadaan majelis ini. "Dua madzhab yang sering diliputi perpecahan, kini menjalin ikatan persaudaraan antarsesama muslim," tandasnya.
Dia menegaskan pembentukan MUHSIN, bukan untuk mencampurkan dua paham atau ajaran kedua aliran yaitu Sunni dan Syiah, ini melainkan hanya sebagai tempat untuk berkumpul, berdialog, dan melakukan kegiatan sosial.
"Masalah ajaran itu masing-masing. Lakum dinukum waliyadin, bagimu agamamu bagiku agamaku. Ingat menjalin ukhuwah Islamiyah adalah perintah Allah dalan Al Quran," tegasnya.
Sementara itu Pimpinan Pengurus MUHSIN Pusat Daud Poliradja yang juga merupakan Ketua Departemen Pemuda dan Remaja Dewan Masjid Indonesia (DMI) Pusat, keberadaan MUHSIN yang dideklarasikan 20 Mei 2011 lalu di Jakarta, diakuinya menimbulkan pro dan kontra.
"Saya sendiri langsung ditegur oleh ketua saya di DMI. Namun setelah saya jelaskan, kegiatan ini mereka bisa maklumi. Ya namun masih sebatas memaklumi, belum mendukung. Namun pro dan kontra ini adalah dinamika," ujar Daud.
Lebih lanjut Daud mengungkapkan pembentukan MUHSIN berawal dari kedatangan Jalaluddin Rakhmat ke DMI, kemudian setelah melakukan pertemuan beberapa kali muncul ide membentuk MUHSIN.
"Saya pesan pada MUHSIN Jawa Barat, bila ada yang pro sukurilah, kalau ada yang kontra jangan jawab dengan permusuhan, namun dengan amal solih," tuturnya.(detik/wi 002).
_____________________________________________
Selasa, 10 Mei 2011
Ketua MUI: Syiah Sah sebagai Mazhab Islam
Di tengah gencarnya isu yang menyudutkan syiah sebagai mazhab sesat dan dinilai bukan bagian dari Islam, Ketua Majelis Ulama Indonesia menyebut syiah sebagai mazhab yang sah dan benar dalam Islam.
Di hadapan lebih dari seratus pelajar Indonesia yang belajar di Iran, Ketua MUI, Prof.Dr. KH. Umar Shihab Kamis (28/4) mengatakan, "Sunni dan Syiah bersaudara, sama-sama umat Islam, itulah prinsip yang dipegang oleh MUI. Jika ada yang memperselisihkan dan menabrakkan keduanya, mereka adalah penghasut dan pemecah belah umat, mereka berhadapan dengan Allah swt yang menghendaki umat ini bersatu."
Sebagaimana dilaporkan Kantor Berita ABNA, dalam kunjungannya ke Iran atas undangan Forum Pendekatan Mazhab Islam, Umar Shihab beserta beberapa anggota rombongan menyempatkan mengadakan tatap muka dan pertemuan dengan pelajar Indonesia yang sedang menuntut ilmu di kota suci Qom, Iran.
Rombongan MUI terdiri dari ketua pusat, beberapa ketua harian dan ketua komisi, namun beberapa dari rombongan telah bertolak ke tanah air sehingga tidak sempat mengikuti pertemuan dengan para pelajar Indonesia tersebut. "Dalam kunjungan ini kami telah melakukan beberapa hal, diantaranya, atas nama ketua MUI. KH. Prof. DR. Umar Shihab dan atas nama Majma Taghrib bainal Mazahib Ayatullah Ali Tashkiri, telah dilakukan penandatanganan MOU kesepakatan bersama. Di antara poinnya adalah kesepakatan untuk melakukan kerjasama antara MUI dengan Majma Taghrib bainal Mazahib dan pengakuan bahwa Syiah adalah termasuk mazhab yang sah dan benar dalam Islam. " Jelas Wakil Ketua Komisi Ukhuwah Islamiyah, DR. Khalid Walid.
Lebih lanjut beliau menjelaskan,"Diantara bentuk kerjasama yang disepakati adalah pengiriman para peneliti dan ulama Indonesia ke Iran untuk mengikuti pertemuan dan pendidikan khusus mengenai beberapa hal yang beragam di Iran begitu juga sebaliknya, ulama-ulama dan peneliti Iran akan berkunjung ke Indonesia. Di samping itu juga kita telah bertemu dengan Menteri Luar Negeri Iran, Departemen Pengurusan Haji dan juga berkunjung ke Kamar Dagang Industri Iran untuk bekerjasama dalam produk halal. Insya Allah, jalinan kerjasama ini diharapkan dengan tujuan mengeratkan hubungan antara Republik Islam Iran dengan masyarakat muslim Indonesia."
"Semoga dengan adanya kesepakatan dan kerjasama tersebut ukhuwah Islamiyah dapat terjalin dengan baik dan kedua belah pihak bisa saling memahami." Harapnya.
Perpecahan dan Kebodohan, Ujian bagi Umat Islam.
KH. Prof. DR. Umar Shihab menyampaikan nasehatnya di hadapan seratus lebih pelajar Indonesia yang hadir. Beliau menyatakan bahwa hidup di dunia ini penuh dengan tantangan, ujian dan kesulitan-kesulitan. Lebih lanjut menjelaskan, "Masyarakat Indonesia saat ini diuji dengan perpecahan. Dalam internal umat Islam sendiri terdapat berbagai macam kelompok yang mengarah kepada perpecahan, ada yang menyatakan diri sebagai kelompok liberal, kelompok anti agama, kelompok anti Syiah dan lain-lain. Keberadaan kelompok-kelompok ini sangat mengancam persatuan umat Islam."
Menurut beliau ada dua kelompok pemecah umat Islam. Pertama kelompok pemecah dari luar umat Islam, yakni dari kalangan Yahudi dan Nasrani. Sebagaimana yang dijelaskan Al-Qur'an keduanya tidak akan senang sampai umat Islam mengikuti agama dan kelompok mereka. Mereka melakukan berbagai macam cara dengan giat utuk memecah belah umat, melalui buku-buku, selebaran dan memanfaatkan tekhnologi yang mereka miliki. Mereka menipu dan menghasut umat misalnya melalui pemahaman pluralisme yang menyatakan semua agama sama. Ini adalah pemahaman yang sesat bahkan mengarah kepada kekafiran. Karena itu MUI telah mengeluarkan fatwa bahwa pernyataan dan keyakinan semua agama sama adalah pernyataan yang tidak bisa dibenarkan dan MUI telah mengharamkannya.
Kedua, kelompok pemecah dari kalangan umat Islam sendiri. Tidak sedikit dari kelompok umat Islam yang justru memecah belah umat. Mereka mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang memicu perpecahan umat, mereka misalnya menyebut maulid itu bid'ah, mengucapkan shalawat di setiap kegiatan itu bid'ah sehingga dengan pemahaman yang seperti itu mereka menyesatkan dan memusuhi kelompok Islam yang mengamalkannya.
Di bagian lain ceramahnya, Ketua MUI Pusat ini menyebut ujian kedua Umat islam adalah kebodohan. "Pelajari dan tuntutlah ilmu agama ini dengan benar dan dari sumbernya yang asli. Al-Qur'an menyebutkan, yang manakah lebih layak kamu ikuti, orang yang memiliki pengetahuan atau orang yang tidak memiliki pengetahuan?. Dan Nabi Muhammad saww dalam haditsnya menyebutkan, Aku adalah kota ilmu, dan Ali adalah pintunya. Dari riwayat Nabi ini, jelas disebutkan bahwa Sayyidina Ali lebih layak diikuti setelah Nabi. Karenanya tuntutlah ilmu yang berasal langsung dari sumbernya. Sayangnya kebanyakan kaum muslimin menyingkirkan dan melupakan hadits-hadits yang bersumber dari Sayyidina Ali, keluarga, sahabat utama dan terdekat dengan Nabi, dan lebih banyak mengamalkan dan menerima hadits dari selain beliau,"tegas Umar Shihab.
Di penghujung ceramah beliau, Ketua MUI Pusat Prof. DR. Umar Shihab kembali mempertegas pesan Al-Qur'an, Innamal mu'minuna ikhwa, orang-orang yang beriman itu bersaudara. "Saudara-saudara belajarlah yang bersungguh-sungguh, dan ketika kembali ke tanah air, sampaikanlah ajaran Islam yang benar. Saya tidak menyatakan yang benar itu Syiah atau Sunni, tetapi keduanya."tegas beliau.
Prinsip MUI: Sunni dan Syiah Bersaudara.
Setelah Prof. Umar Shihab menyampaikan nasehatnya, dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Beberapa pelajar kemudian mengajukan pertanyaan. Diantara pertanyaan yang diajukan, bisakah MUI wilayah di daerah mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan fatwa yang dikeluarkan oleh MUI Pusat?.
Prof Umar Shihab memberikan jawaban, MUI wilayah jika berkaitan khusus dengan persoalan umat di daerahnya dibenarkan untuk mengeluarkan fatwa sendiri, namun jika berkaitan dengan kepentingan nasional, maka yang berhak mengeluarkan fatwa hanya MUI Pusat yang harus diikuti oleh MUI-MUI di daerah. Dan MUI di daerah tidak memiliki wewenang untuk menganulir fatwa yang telah dikeluarkan MUI Pusat.
"Misalnya ada MUI Daerah yang mengeluarkan fatwa Syiah itu sesat -namun Alhamdulillah syukurnya belum ada MUI Daerah yang mengeluarkan fatwa seperti itu- maka fatwa tersebut tidak sah secara konstitusi, sebab MUI Pusat menyatakan Syiah itu sah sebagai mazhab Islam dan tidak sesat. Jika ada petinggi MUI yang mengatakan seperti itu, itu adalah pendapat pribadi dan bukan keputusan MUI sebagai sebuah organisasi." Jelas beliau.
Ketika ditanyakan langkah-langkah MUI Pusat yang akan dilakukan untuk mewujudkan persatuan umat dan menyelesaikan perselisihan Sunni-Syiah, Prof. Umar Shihab menjelaskan bahwa MUI akan menjadi penyelenggara seminar Internasional Persaudaraan umat Islam di bulan Desember akhir tahun ini. "MUI akan mengundang ulama-ulama dari berbagai Negara, dari Mesir, Iran bahkan dari Arab Saudi termasuk Syaikh Yusuf Qhardawi untuk hadir sebagai pembicara. Indonesia insya Allah akan menjadi perintis persatuan umat Islam khususnya antara Sunni dan Syiah, semoga Allah membantu usaha-usaha kita." Jelas beliau.
Setelah memasuki waktu maghrib, dilakukan shalat maghrib berjama'ah yang diimami oleh Sayyid Farid, dan Prof. Umar Shihab menjadi jama'ah di shaf pertama.
Acara pertemuan tersebut diakhiri dengan makan malam bersama, dan do'a bersama dipenghujung acara dipimpin oleh KH. Prof. DR. Umar Shihab. Pertemuan Ketua MUI Pusat Prof. DR. Umar Shihab dengan pelajar Indonesia yang sedang berada di Qom Iran ini adalah pertemuan yang kedua kalinya, setelah sebelumnya dua tahun lalu diadakan pertemuan di tempat yang sama. (IRIB/ABNA/PH)
Syiah Bukan Islam ? Oleh Rachel — Rubrik Opini — April 26, 2014
Oleh: Azis Anwar Fachrudin/almihrab.net
Salah satu propaganda sektarian yang rentan mempertajam friksi di tubuh umat Islam ialah bahwa “Syiah bukan Islam”. Akhir-akhir ini, kampanye hitam itu cukup lantang disuarakan. Oleh sebagian kelompok dari kalangan Ahlus Sunnah, Syiah dianggap telah kafir; alias sudah berada di luar koridor agama Islam. Yang lebih memprihatinkan, vonis kafir itu dilancarkan dengan pukul rata tanpa merinci dulu keragaman di dalam Syiah.
Propaganda “Syiah bukan Islam” bukan semata klaim biasa. Ia berbahaya, sebab rawan membangkitkan misi “jihad” dan pencabutan nyawa. Sudah berabad-abad lamanya, kita tahu, pertengkaran Sunni-Syiah tak kunjung redam. Umat Islam tampaknya lebih mudah bertoleransi dengan agama lain ketimbang pada mazhab yang lahir dari pergolakan di tubuh umat Islam sendiri.
Banyak statemen dilancarkan untuk memojokkan Syiah, antara lain, dengan berbagai tuduhan yang, sedikit atau banyak, adalah klaim sepihak—klaim yang belum tentu dikonfirmasi oleh pendapat yang dinyatakan oleh ulama yang terakui (mu’tabar) dari kedua belah pihak.
Tulisan ini akan menjawab propaganda itu: Benarkah Syiah bukan Islam?
[ 1 ]
Pernah ada, dan sampai kini masih berlangsung, upaya pendekatan antar mazhab (at-taqrîb bain al-madzâhib). Upaya ini sudah bermula sejak tahun 1950-an. Penggagasnya ialah para ulama Al-Azhar waktu itu, dipimpin oleh Syaikh Mahmud Syaltut.
Upaya ini bertujuan untuk meminimalisasi ketegangan antar mazhab, rekonsiliasi Ahlus Sunnah-Syiah, sekaligus mengakui delapan mazhab yang sah sebagai bagian dari Islam. Delapan mazhab itu ialah: 4 mazhab Ahlus Sunnah (Hanafi, Maliki, Syafi’i, & Hanbali), 2 mazhab Syiah (Zaidiyah & Ja’fariyah-Imamiyah), mazhab Zhahiriyah, dan mazhab Ibadhiyyah (Khawarij). [Mengenai proyek taqrib ini, anda dapat dengan mudah mencari informasinya di google. Websitenya, antara lain, taghrib.org, atau search dengan kata kunci Arab: at-taqrib baina as-sunnah wa asy-syi’ah].
Kedelapan mazhab itu diakui pula oleh Syaikh Wahbah az-Zuhaily dalam karya ensiklopedisnya tentang fikih: Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu. Dikatakan oleh Syaikh Wahbah dalam penjelasannya di bagian-bagian awal, pada bab tentang fikih Imamiyyah:
“Fiqh Imamiyah, meski lebih dekat ke mazhab Syafi’i, ia tak berbeda dengan fiqh Ahlus-Sunnah dalam persoalan yang masyhur kecuali kira-kira terkait 17 masalah. Yang paling penting (dari perbedaan itu) adalah pembolehan nikah mut’ah. Perbedaan Syiah Imamiyah dengan Ahlus Sunnah tak lebih sebagaimana perbedaan mazhab-mazhab fiqh lainnya, seperti Hanafi dengan Syafi’i. Mazhab Imamiyah ini sampai sekarang menyebar di Iran dan Irak. Secara substantif, perbedaan Syiah-Imamiyah dengan Ahlus Sunnah tidak merujuk ke soal akidah atau fiqh, melainkan hanya pada aspek pemerintahan dan imamah.”
Sejak tahun 50-an, Syaikh Mahmud Syaltut sudah memfatwakan kebolehan beribadah dengan menggunakan mazhab Ja’fari (Syiah-Imamiyah). Diberitakan pula, bahwa Syaikhul Azhar Ahmad Thayyib saat ke Iran bermakmum salat kepada ulama Syiah (lihat di sini). Syaikul Azhar Ahmad Thayyib pun menyatakan bahwa Syiah tidak kafir; Syiah adalah bagian dari Islam (lihat di sini). Kalau Khawarij yang lebih potensial menimbulkan friksi di tubuh umat Islam saja masih dihukumi Islam, apalagi Syiah.
Banyak ulama Al-Azhar yang berbeda dengan sikap—maaf untuk tegas menyebut—Salafi-Wahabi dalam menghadapi Syiah (lihat di sini). Banyak ulama Salafi-Wahabi yang menganggap Syiah sudah kafir, bukan lagi bagian dari Islam. Tapi ulama-ulama Al-Azhar tidak mengkafirkan Syiah; paling maksimal mereka menyatakan Syiah telah berbuat bid’ah dalam akidah, tentu saja dengan perspektif kredo Sunni (a.l. karena akidah kemaksuman Imam, raj’ah, ghaibah, bada’, dll.), tapi Syiah tetaplah masih berada dalam koridor Islam.
Proyek “taqrib” itu pernah pula dikukuhkan dalam Deklarasi Amman pada 2005. Deklarasi itu menghimpun wakil-wakil tiap negara dari seluruh dunia Islam, tak terkecuali dari Irak dan Iran. Wakil dari Indonesia saat itu, antara lain, ialah KH Hasyim Muzadi (Ketua PBNU saat itu). Dan jelas ternyatakan dalam deklarasi itu bahwa mazhab Syiah diakui sah sebagai bagian dari Islam. [Sila search di google tentang Deklarasi Amman, atau kunjungi websitenya di ammanmessage.com] Deklarasi itu ditindaklanjuti lagi, untuk menyikapi konflik sektarian di Irak, dengan Dekrasi Mekkah pada 2006, dan Deklarasi Bogor, Indonesia, pada 2007.
[ 2 ]
Sebenarnya dalam batasan yang bagaimana seseorang bisa divonis kafir?
Saya akan mengambil pandangan ulama ortodoks: Imam Abu Hamid al-Ghazali dengan karyanya Fayshal at-Tafriqah. Tiada yang meragukan otoritas Al-Ghazali, kecuali segelintir saja dari kalangan Salafi. Al-Ghazali adalah ulama ortodoks Sunni-Asy’ari-Syafi’i; menjadi rujukan ajaran tasawuf Nahdlatul Ulama (NU), di samping Junaid al-Baghdadi.
Saya pernah mengulas tentang Fayshal at-Tafriqah itu di bagian lain di blog ini (rujuk ke tulisan ini: Mengkafirkan itu Tidak Mudah). Saya ulas sedikit di sini beberapa poin penting darinya.
Sudah menjadi kesepakatan ulama Asy’ariyah (mazhab akidah yang diikuti mayoritas umat Islam): tidak boleh mengkafirkan ahlul-qiblah. Tidak boleh mengkafirkan orang yang memegangi kalimat syahadat (tiada tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan-Nya). Diterangkan pula oleh Al-Ghazali, tidak boleh mengkafirkan mazhab yang tidak melanggar hal pokok (ushul) dalam agama yang mutawatir (teriwayat oleh banyak orang dan mustahil ada persekongkolan untuk berdusta).
Terhadap hal yang mutawatir inipun Al-Ghazali masih merinci, sebab bisa jadi yang mutawatir bagi Ahlus Sunnah, belum tentu mutawatir bagi Syiah. Karena itu, kata Al-Ghazali, perbedaan dalam kemutawatiran suatu statemen akidah, tak bisa dijadikan dasar untuk mengkafirkan.
Contoh dari hal yang layak untuk dikafirkan, menurut Al-Ghazali, misalnya kalau ada orang menyatakan bahwa kiblat yang menjadi arah salat bukanlah di Mekkah, sebab hal ini disepakati mutawatirlintas sekte. Misal lainnya, bila seseorang menyatakan bahwa Sayyidah ‘Aisyah telah berzina, padahalmutawatir dan termaktub di Al-Quran, belasan ayat yang membebaskan ‘Aisyah dari tuduhan zina.
Al-Ghazali pernah menulis satu kitab yang membantah akidah salah satu sekte Syiah. Judulnya: “Fadha’ih al-Bathiniyyah”. Buku ini ditulisnya untuk membantah klaim-klaim akidah Syiah-Ismailiyah (bukan Syiah-Imamiyah; yang mayoritas dalam Syiah sekarang). “Bathiniyah” waktu itu menjadi nama yang lazim tersemat ke Syiah-Ismailiyah (7 Imam), dan masuk kategori Syiah-ekstrem. Bahkan dalam menanggapi Bathiniyah pun Al-Ghazali masih memilah-milah, dan tampak sangat berhati-hati.
Al-Ghazali menerangkan bahwa meski Syiah mencaci Sahabat, dan itu dosa, ia tak menyatakan si pencaci itu kafir. Kata Al-Ghazali, “Kalau keliru dalam menisbatkan sifat pada Allah, sebagaimana terjadi dalam perdebatan antara Shifatiyyah dan Mu’atthilah, tidak dihukumi kafir, maka keliru dalam menisbatkan sifat kepada manusia lebih ringan hukumnya.”
Al-Ghazali amat mewanti-wanti agar umat Islam tidak tergesa-gesa menjatuhkan vonis kafir. Sebab vonis kafir itu berbahaya. Menurut fikih konservatif, vonis kafir bisa berujung pada status halal darahnya (ibâhah ad-dam). Konsekuensi takfir ialah pencabutan nyawa. Maka terang Al-Ghazali berkata: Kesalahan dalam membiarkan seratus kafir hidup, masih lebih ringan daripada kesahalan dalam menumpahkan darah seorang muslim. Kata al-Ghazali pula, kesalahan memasukkan orang ke dalam Islam, lebih ringan daripada kesalahan mengeluarkannya dari Islam.
Karena itu, sudah menjadi ajaran Ahlus Sunnah, untuk tak boleh tergesa-gesa mengkafirkan Syiah. Pengkafiran yang tergesa-gesa, apalagi menggeneralisasi semua Syiah apapun cabangnya adalah kafir, adalah bentuk kezaliman terhadap ajaran Ahlus Sunnah sendiri.
[ 3 ]
Tak sedikit perawi-perawi Syiah yang diambil hadisnya oleh Shahih Bukhari dan Muslim. Ini jelas menjadi fakta yang sulit dibantah: Kalau mereka bukan muslim, tentunya Al-Bukhari dan Muslim tak akan mengambil hadisnya.
Namun, ada sebagian pandangan menyatakan keberatan. Katanya, perawi-perawi di dua kitab hadis tersahih Ahlus Sunnah itu memang Syiah, namun Syiah dulu dengan sekarang berbeda. Syiah yang diambil hadisnya oleh Bukhari-Muslim hanya yang berpandangan bahwa Ali lebih unggul (afdhal) di atas Abu Bakar, Umar dan Utsman.
Namun klaim ini tidak sepenuhnya tepat. Sebab jika ada kelompok Islam yang mengunggulkan Ali di atas ketiga khalifah sebelumnya, tidak lantas menjadikannya Syiah. Sejarah Islam mencatat, dulu ada Mu’tazilah-Bashrah yang mengunggulkan Ali, tapi mereka memusuhi Syiah. Mu’tazilah-Bashrah ini berbeda pandangan dengan Mu’tazilah Baghdad.
Lepas dari hal itu, para perawi Syiah yang diambil hadisnya oleh al-Bukhari dan Muslim bukan sekedar Syiah saja. Ambil contoh sebagian dari perawi yang Syiah itu. Misalnya, Ubaydullah ibn Musa al-‘Absi. Kata Ibn Mandah, Ubaydullah ini seorang Syiah-Rafidhah, dan ia tidak mengizinkan orang bernama Mu’awiyah masuk ke rumahnya. Yang lain, misalnya Abbad ibn Ya’qub ar-Rawajini. Ia dinyatakan oleh Ibn Hajar sebagai Rafidhah juga.
Itu sekedar contoh, dan masih banyak yang lainnya. Misalnya, Abdul Malik ibn Ayan al-Kufi, Awf ibn Abi Jamilah al-A’rabi, Abdur Razaq as-Shan’ani, dll. Sebagian menyatakan, jumlah perawi Syiah yang terambil riwayat hadisnya di kitab hadis yang enam (al-kutub as-sittah) ada puluhan orang. Mereka bukan sekedar Syiah belaka, tapi juga Rafidhah (menolak kepemimpinan ketiga khalifah sebelum ‘Ali ibn Abi Thalib).
Data ini tegas menunjukkan, meski ke-Rafidhah-an dinyatakan oleh Ahlus Sunnah sebagai bid’ah, tapi mereka tetaplah bagian dari Islam. Jika mereka dikeluarkan dari Islam, entah ada berapa hadis Sunni yang akan hilang. Artinya, pengkafiran Syiah meniscayakan kerugian besar bagi rujukan hadis milik Ahlus Sunnah.
[ 4 ]
Tidak semua sekte Syiah itu sesat; sebagaimana tidak semua sekte di Ahlus Sunnah itu lurus seratus persen. Karena itu, kita mesti menghindari generalisasi. Sebab, penisbatan pandangan pada bukan orang yang menyatakannya adalah kezaliman.
Maka dari itu, tidak boleh menisbatkan pandangan sekte Syiah A, ke sekte Syiah B; tidak boleh menisbatkan pandangan Syiah-minoritas sebagai tolok ukur yang mewakili Syiah keseluruhan; tidak boleh menjadikan pandangan orang biasa, yang bukan ulamanya, sebagai representasi pandangan sekte itu.
Ini pun berlaku sama saat Syiah, misalnya, hendak menilai Ahlus Sunnah. Tidak bisa menjadikan pandangan Salafi-Wahabi misalnya, sebagai representasi Ahlus Sunnah. Di Indonesia, kita tak bisa menjadikan pandangan salah satu partai Islam, misalnya, sebagai representasi satu-satunya Ahlus Sunnah di Indonesia. Sekali lagi, generalisasi dalam menisbatkan pandangan adalah kezaliman.
Syiah itu sekte tertua yang lahir dari friksi umat Islam. Karena itu, perkembangan di dalamnya pasti terjadi. Kita tak bisa serta merta menyamakan bahwa Syiah saat ini adalah sama persis dengan Syiah masa lampau. Perubahan pandangan itu hal biasa. Bukan hanya di Syiah, di sisi Ahlus Sunnah pun begitu.
Pandangan Abu Hanifah dengan Hanafiyah bisa beda. Pandangan Al-Asy’ari dengan Asya’irah (pengikut Al-Asy’ari bisa beda). Bahkan pandangan As-Syafi’i di dalam dirinya sendiri antara saat beliau di Irak dengan di Mesir, bisa berbeda. Syiah pun demikian. Mainstream Syiah-Imamiyah terbagi jadi dua: Akhbari dan Ushuli (mirip Ahlul Hadits dan Ahlur Ra’yi dalam Ahlus Sunnah). Yang mayoritas di Syiah-Imamiyah adalah yang Ushuli.
Dalam hal menilai Syiah, saya memegangi statemen Syiah masa kini sesuai pernyataan buku “Buku Putih Mazhab Syiah: Menurut Para Ulamanya yang Muktabar” yang ditulis oleh tim Ahlul Bait Indonesia (ABI), terbitan 2012. Ini karena, penilaian yang adil adalah dengan mendasarkan pada klaim si “terdakwa”, bukan tuduhan musuhnya.
Ambil contoh tentang tuduhan bahwa menurut Syiah, Al-Quran yang ada sekarang ini telah mengalami distorsi (tahrif). Menurut pengakuan buku putih itu (halaman 34): “Jumhur ulama Syiah meyakini bahwa Al-Quran yang ada di tangan Muslim saat ini adalah satu-satunya Al-Quran.” Dikatakannya pula (masih di halaman 34): “Asal-muasal tuduhan tahrif terhadap Syiah diambil dari pandangan segelintir ulama Syiah dari kelompok Akhbari. Munculnya klaim tahrif itu diprakarsai kelompok Syiah-Akhbari, antara lain oleh Ni’matullah al-Jazairi dan Syaikh Nuri dengan kitabnya ‘Fashlul Khitab’.”
Di situ cukup terang, tuduhan dari sebagian kalangan Sunni tidak terkonfirmasi oleh pihak Syiah yang muktabar. Oleh karena itu, mari kita adil menilai. Dari dari bentuk keadilan menilai ialah kita tidak bisa serta merta menilai pandangan Syiah masa kini dengan hanya berdasar pada kitab induk hadis Syiah, seperti Al-Kafi karya Al-Kulaini—yang biasanya disetarakan dengan Shahih Bukhari bagi Ahlus Sunnah. Sebab, tidak semua di Al-Kafi adalah sahih (al-Kulaini sendiri tak menisbati kitabnya dengan, misalnya, Shahih al-Kafi), sebagaimana tidak semua yang di Shahih Bukhari adalah sahih (padahal judul kitab itu ternisbati kata “Shahih”). Yang studi hadis tentu tahu hal ini.
Intinya, silakan baca buku itu, dan anda akan mendapati hal yang berbeda dari propaganda negatif yang selama ini menyebar tentang Syiah, padahal itu klaim dari segolongan saja. Poin saya dalam argumentasi ini ialah: hindarilah generalisasi; sebab generalisasi adalah bentuk kezaliman.
[ 5 ]
Ada setidaknya tiga poin yang selama ini disepakati dalam berbagai muktamar taqrib Sunnah-Syiah. Yakni: (1) Al-Quran harus sama—ini sudah dijelaskan di atas; (2) Tidak boleh mencela figur-figur yang dihormati oleh kedua belah pihak; (3) tidak boleh ada Syiahisasi di negeri-negeri Sunni; begitu pula sebaliknya.
Mencela figur-figur terhormat, baik dari Syiah yang mencela Sahabat, atau Sunni yang mencela para ulama Syiah masa kini, itu tentu haram. Jangankan mencela manusia, mencela sesembahan orang musyrik pun dilarang (lihat QS 6:108). Karena itu jelas, dan ini berlaku lintas sekte, bahwa mencela mazhab atau agama lain itu merusak ukhuwah. Rekonsiliasi Sunni-Syiah tiada akan terwujud jika Syiah, misalnya, masih mencaci Sahabat yang dihormati Sunni; atau orang Sunni misalnya, mencaci Ayatullah Khomeini.
Itulah asas taqrib. Dan, syukurlah, sebagian ulama Syiah kini sudah memfatwakan keharaman bagi orang Syiah untuk mencaci Sahabat yang dihormati Ahlus Sunnah. Di sini, kita tahu, perkembangan pendapat itu ada.
Tentang poin ketiga itu, yakni tiada bolehnya Syiahisasi atau Sunnahisasi di negeri yang berbeda mazhab, perkenankan saya untuk mengajukan kritik berikut.
Selama ini, argumen pelarangan penyebaran mazhab lain di negeri lain adalah karena penyebaran sekte itu, baik Sunnah ke negeri Syiah, atau Syiah ke negeri Sunni, akan menimbulkan friksi akut di masyarakat. Menurut saya, perpecahan, friksi, fragmentasi, dan sebagainya terjadi bukanlah karena keberadaan mazhab itu, tapi karena pengikut mazhabnya yang eksklusif dan tidak terbiasa dengan kritik dari kalangan yang beda aliran.
Jangankan antara Sunni dengan Syiah, di dalam Sunni sendiri pun tak jarang terjadi friksi antara mazhab-mazhabnya. Sampai kini, tidak bisa dimungkiri, terjadi pertengkaran hebat antara Sunni-Asy’ari-Maturidi dengan Sunni-Salafi-Wahabi. Pertengkaran bukan hanya di level ulamanya, tapi juga di akar rumput. Di Indonesia, Nahdhiyin menentang keras keberadaan Wahabi.
Perlu pula dicatat, saat Wahabi mensyirikkan amaliyah NU (tawassul, tabarruk, ziarah kubur, maulid Nabi, dll.), maka itu bukan lagi persoalan furu’ (cabangan), itu sudah ushul (pokok). Apalagi, kita tahu, syirik adalah dosa terbesar. Tentu naif kalau dinyatakan bahwa Wahabi mestinya dilarang beredar di Indonesia hanya dengan alasan keberadaan Wahabi menimbulkan friksi di masyarakat dan merusak ukhuwah Islam, bukan?
Lagipula, dalam catatan sejarah, pertengkaran sektarian bukan saja terjadi karena perbedaan soal ushul, melainkan juga furu’. Yaqut al-Hamawi dalam Mu’jam al-Buldan, bab entri huruf hamzah dan shad, tentang kejadian pada abad ke-5 H, menyatakan bahwa pada masa itu di Isfahan pernah terjadi fanatisme akut antara Hanafiyah dan Syafi’iyyah. Antara kedua mazhab itu terjadi peperangan cukup lama. (Waqad fasyâ al-kharâb fi hadza al-waqt wa qablahu fi nawâhîhâ li katsrah al-fitan wa at-ta’asshub baina asy-syafi’iyyah wa al-hanafiyyah wa al-hurûb al-muttashilah bain al-hizbain).
Masih di Mu’jam al-Buldan, bab entri huruf ra’ dan ya’, terjadi di Ray (Iran), pernah ada peperangan antara Hanafiyah dengan Syafi’iyah yang, karena kemenangan berada di tangan Syafi’iyah, kemudian penduduk Rustaq yang bermazhab Hanafi mendatangi Ray dengan membawa senjata dan bunuh-bunuhan pun terjadi.
Muhammad ibn Ismail as-Shan’ani di kitabnya, Irsyâd an-Nuqqâd fi Taysîr al-Ijtihad, pada bab Tawaqquf fi tashdîq al-mukhbir hattâ taqûm al-bayyinah, menuliskan bahwa Mula ‘Ali al-Qari berkata bahwa dulu pernah masyhur terjadi, bila ada Hanafi pindah ke mazhab Syafi’i maka akan dihukum; dan jika sebaliknya, maka tidak dipersoalkan (isytahara baina al-hanafiyyah anna al-hanafiy idza intaqala ilâ madzhab asy-syâfi’i yu’azzaru waidza kâna bi al-‘aksi fainnahu yukhla’u ‘alayh).
Sekali lagi, persoalan perpecahan di tubuh umat Islam bukanlah karena beda sekte semata. Lebih dari itu, friksi terjadi karena masing-masing pengikut mazhab tidak terbiasa dengan kritik dan mudah tegang hanya karena dipicu sentimen yang dibumbui panasnya tensi politik. Ini bukan berarti saya hendak membuka lebar ajaran Syiah disebar di negeri Sunni. Tentu saja, ajaran Syiah yang berisi cacian kepada Sahabat tidak bisa ditolerir. Caci-maki terhadap figur terhormat, dari agama manapun, adalah tindakan yang merusak persaudaraan.
[ 6 ]
Dulu di masa-masa ketika kredo Sunni dan Syiah belum “dibekukan” dalam kitab-kitab induk, hubungan Sunni-Syiah cukup damai. Keduanya terintegrasi dalam masyarakat.
Dalam hal ini saya merujuk ke ulasan yang pernah disampaikan Mukhtar as-Syinqiti, doktor bidang sejarah agama yang menulis disertasi tentang pengaruh Perang Salib terhadap friksi Sunni-Syiah. Anda bisa mencari makalahnya di websitenya (berbahasa Arab: shinqiti.net) dan kuliah-kuliahnya di Youtube (Misalnya, search dengan kata kunci Arab: as-sunnah wa asy-syî’ah; baina at-tawâshul wa al-qathî’ah).
Dikatakannya, dulu di masa Abbasiyah, hubungan Sunni dan Syiah itu komunikatif (tawâshul), saling terbuka dan saling belajar. Tidak ada friksi sektarian dalam skala yang massif antara Sunni & Syiah. Di masa itu, Sunni & Syiah berintegrasi dalam masyarakat. Tak jarang, orang Sunni belajar di masjid Syiah, demikian pula sebaliknya. Muhaddits Ahlus Sunnah, Al-Hakim an-Naisaburi, misalnya, yang menulis Al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, didaku sebagai ulama Syiah, sebab al-Hakim lah yang menulis kitab musthalah hadits yang diberikannya kepada murid-muridnya yang Syiah.
Di sisi lain, Sunni pun menyerap budaya Syiah. Muhammad Zaki Ibrahim dalam Fiqh as-Shalawat wa al-Mada’ih an-Nabawiyyah (2011: 103-105) menceritakan bahwa tradisi perayaan maulid Nabi dimulai oleh kalangan Syiah dari Dinasti Fathimiyah di Mesir. Tradisi maulid waktu itu digalakkan untuk membangkitkan semangat cinta Nabi dan Ahlul Bait, serta memperkokoh persatuan dan konsolidasi negara sebagai rival pemerintahan Sunni di Baghdad.
Melihat efek dari tradisi maulid itu, Sultan Muzhaffar ad-Din di Irbil (masih bawahan Abbasiyah Baghdad yang Sunni) ikut membudayakannya. Ia bahkan menggelontorkan lebih dari 1000 dinar sebagai hadiah bagi siapa saja yang mampu menyusun syair-syair pujian kepada Nabi (madah nabawiy). Sejak saat itu, tradisi maulid menjadi budaya populer dan semarak dilakukan di negara-negara kekhilafahan lainnya.
Tradisi maulid semakin berkembang ketika Shalahuddin al-Ayyubi memanfaatkan efek tradisi maulid itu. Shalahuddin berpandangan bahwa maulid bisa menjadi manifesto persatuan dan persaudaraaan (ukhuwwah) umat Islam. Untuk membangkitkan semangat juang prajuritnya, Shalahuddin mengadakan sayembara menggubah syair-syair madah. Salah satu karya besar yang lahir setelah itu adalah kitab Maulid al-Barzanji, karya Syaikh Ja’far al-Barzanji, yang masih banyak dibaca hingga kini dan cukup sering didendangkan rutin mingguan oleh orang-orang NU.
Lebih dari itu, dulu tak sedikit di antara para khalif Abbasiyah yang mengambil menteri dari orang Syiah. Dinasti Fathimiyah, yang bermazhab Syiah-Ismailiyah, pun tak sedikit mengambil menteri dari orang Sunni. Para ilmuwan dan saintis yang mengabdi pada negara juga banyak yang lahir dari kelompok Syiah: Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Miskawayh, Jabir ibn Hayyan, Ibn Sina, dll—karena itu, bila sekolompok umat Islam tak mengakui Syiah sebagai bagian dari Islam, maka mereka tak bisa mendaku penemuan para saintis itu sebagai sumbangsih Muslim kepada dunia.
Dalam hal ini berlaku hukum sejarah: Peradaban yang berkembang (izdihâr) ialah peradaban yang terbuka (infitâh), menyerap berbagai budaya, dan toleran pada perbedaan pandangan. Semakin peradaban tertutup, maka ia makin menuju fase kemunduran (inhithâth). Tiada peradaban yang berkembang hanya berdasar murni dari dirinya sendiri, tanpa ada kontak dengan peradaban, kebudayaan, dan pemikiran yang berbeda.
Di masa inklusivisme—Dr Mukhtar menyebutnya ‘ashr at-tawâshul wa al-infitâh—pernah terjadi integrasi Sunni-Syiah dalam masyarakat, dan hampir tiada friksi. Lalu, eksklusivisme—Dr Mukhtar menyebutnya dengan istilah ‘ashr at-ta’asshub wa al-qathî’ah—menghinggapi hubungan Sunni-Syiah dengan ditandai oleh dua perkembangan sejarah. Pertama, saat pandangan Hanabilah mendominasi dunia Sunni dan, kedua, saat Mu’tazilah merasuk ke dunia Syiah.
Akar sengketa bermula pada awal-awal abad ke-5 H, sebagai imbas dari tragedi “mihnah”—yang menyeret Imam Ahmad ibn Hanbal ke dalam siksaan penjara. Tragedi itu menyisakan permusuhan akut antara Ahlul Hadits versus Mu’tazilah. Seiring dengan hegemoni Ahlul Hadits yang mengalahkan dominasi Ahlur Ra’yi di dunia Sunni, permusuhan pada Mu’tazilah menguat. Di sisi lain, Mu’tazilah terserap ke dalam Syiah. Jadilah Syiah bukan sekedar gerakan politik, melainkan menjadi mazhab akidah. Sejak itulah, Syiah sebagai ideologi menemukan bentuk yang sempurna. Di masa itu pula kemudian 4 kitab hadis induk Syiah mulai ditulis.
(Empat kitab hadis induk Syiah itu muncul setelah Sunni-Syiah sudah mengalami fase separasi dan benih-benih permusuhan mulai tumbuh, sehingga tidak kecil kemungkinannya sentimen sektarian ikut merembes ke dalam kitab hadis Syiah itu).
Pada mulanya, sengketa terjadi hanya antara Hanabilah versus Syiah. Kitab-kitab tarikh yang menerangkan kejadian pada abad 5 H, kata Dr Mukhtar asy-Syinqithi, banyak menuliskan terjadinya fitnah antara Hanabilah versus Syiah.
Pada perjalanan selanjutnya, ringkas cerita, pandangan Hanabilah ini mendominasi dunia Sunni [Apalagi, saat permusuhan itu semakin diruncingkan oleh Ibn Taimiyyah, yang mengkritik keras Syiah melalui kitabnya “Minhaj as-Sunnah”, kemudian ajaran Ibn Taimiyah itu dihidupkan oleh Muhammad ibn Abdil Wahhab dan menjadi paham Salafi kini]. Di sisi Syiah-Imamiyah, gerakan politiknya semakin radikal seiring ideologi politik harakiy ala Syiah-Ismailiyah menjadi ideologi arus utama: oposisi setia terhadap Sunni. Sejak itu, Sunni dan Syiah terlibat sengketa tiada henti sampai sekarang.
Poin saya di sini adalah: sengketa akut Sunni-Syiah sangat tidak terlepas dari faktor sejarah politik. Tensi politik dalam sejarah masa lampau itu, sedikit maupun banyak, ikut mempengaruhi ajaran dan kredo yang kemudian merembes ke dalam kitab-kitab rujukan kedua mazhab tersebut.
Butuh usaha besar untuk menggali kembali sisi sejarah yang hilang; sejarah saat Sunni dan Syiah bisa berdampingan, berintegrasi; dan perbedaan pandangan tidak menjadi alasan untuk bermusuhan, justru jadi peluang untuk saling belajar; menerima dan memberi.
[ 7 ]
Data sejarah Nusantara menunjukkan bahwa Syiah sudah lama berada di bumi Indonesia. Salah satu tesis terkuat tentang muasal Islam di Nusantara ialah dari Gujarat & Persia yang, sedikit atau banyak, diwarnai oleh ajaran dan amaliyah Syiah.
Menurut Agus Sunyoto di buku Wali Songo, Islam mulai berkembang di India, salah satunya, dimotori oleh kalangan Alawiyyin yang lari dari kejaran penguasa Umayyah dan Abbasiyah. Pengaruh tradisi dan pemikiran Alawiyyin yang dianut orang-orang Persia terbawa ke India. Dari India, kemudian terbawa ke Nusantara.
Pengaruh Persia itu antara lain ada dalam sistem pengajaran al-Qur’an yang menggunakan istilah-istilah berbahasa Persia untuk menyebut harakat (vokal) dalam bahasa Arab, seperti jabar untuk fathah, jer untuk kasrah, dan pes (fesy) untuk dhammah. Generasi simbah saya masih ada yang mengeja al-Quran dengan jabar, jer, dan pes itu.
Pengaruh dalam bidang kesusastraan juga cukup besar. Ini muncul dalam karya terjemahan dari sastra Persia: Qissa-i-Emir Hamza (Hikayat Amir Hamzah, mengisahkan kepahlawanan Hamzah ibn Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad Saw), Qissah Insyiqaq al-Qamar (Hikayat Terbelahnya Bulan, salah satu mukjizat Nabi Muhammad Saw), Rawdhat al-Ahbab (Hikayat Nur Muhammad), Wafat Nameh (Hikayat Nabi Wafat), Qissah Wasiyyah al-Mustafa li Imam ‘Ali (Kisah Wasiat Nabi kepada Ali), Qissah Amir al-Mu`minin Hasan wa Husain (Kisah Amirul Mukminin Hasan dan Husain), Qissah i Ali Hanafiyah (Kisah Ali al-Hanafiyah [putra Ali ibn Abi Thalib dari istrinya, Khaulah, dari Bani Hanifah]), dan lain-lain. [Simaklah judul-judul karya itu; yang indikatif pada ajaran Syiah].
Konon, dulu juga pernah ada Kesultanan Perlak di Aceh—yang sezaman dengan masa Daulah Abbasiyah—yang bermazhab Syiah. Ada pula beberapa tradisi Syiah yang bertahan lama, mungkin sampai kini masih ada, yakni perayaan Asyuro dengan Tabot & bubur Asyuro—dan bulan Muharram pun lazim disebut orang Jawa dengan nama “Sasi Suro”. Adapula beberapa ajaran yang mirip—untuk tak dikatakan sama persis—antara Syiah dengan Ahlus Sunnah. Misalnya, tawassul, tabarruk, peringatan hari kematian, ziarah kubur, maulid Nabi, dan lain-lain.
Data sejarah ini menunjukkan bahwa sudah sejak lama Syiah menjadi bagian integral dalam Islam di Nusantara. Santri-santri Nahdliyin yang gemar shalawat pasti tahu bahwa syair “Ya Rasulallah Salamun ‘Alayk” yang biasa dibaca dalam Barzanji atau Diba’i menyebut imam-imam Syiah: dari ‘Ali ibn Abi Thalib sampai ‘Ali ar-Ridha. (Lihat mulai bagian syair: kam imâmin ba’dahu khalafû). Orang-orang NU yang gemar bershalawat tentu tahu kasidah-kasidah macam “Ya Zahra”, “Ya Ala Baitin Nabi”, “Birasulillah wal-Badawi”, “Li Khamsatun”, dll. [Sebagai misal, "Li Khamsatun" oleh anak-anak Syiah di sini; "Li Khamsatun" oleh anak-anak NU di sini]
Kasidah-kasidah pujian kepada Ahlul Bait itu tak hanya didendangkan oleh Sunni, melainkan juga oleh Syiah. Kenyataan ini menunjukkan kebenaran ungkapan masyhur dari Gus Dur itu: NU adalah Syiah-kultural.
[ 8 ]
Makna “Syiah” dalam konsep Al-Quran (6:159 & 30:32) sebenarnya identik dengan golongan yang suka mencerai-beraikan agama (alladzina farraqû dînahum wakânû syiya’an)–perlu dimengerti, istilah “Syiah” itu sendiri sebenarnya peyoratif; orang-orang Syi’i lebih suka menisbati diri mereka sendiri dengan nama Mazhab Ahlil-Bayt atau sekurang-kurangnya dengan Syi’atu ‘Ali. Hari ini ada sebagian umat Islam yang berusaha menghentikan upaya persatuan & rekonsiliasi Sunni-Syiah, atas dasar anggapan bahwa Syiah bukan Islam. Bisa jadi, justru para pemecah belah itulah yang lebih cocok dengan konsep “Syiah” dalam deskripsi Al-Quran. Artinya, mereka menjadi “Syiah” tanpa sadar.
Betapapun, persatuan itu lebih baik daripada perpecahan. Al-Quran menyatakan banyak ayat tentang perdamaian dan rekonsiliasi (ash-shulh): Wash-shulhu khair; Wa ashlihû dzâta baynikum, dll. Al-Quran melarang umat Islam berpecah belah: la tafarraqû.
Kita mesti mengakhiri sengketa panjang lebih dari satu milenium ini. Sungguh menarik ayat yang dikutip Syaikh Wahbah dalam salah satu Muktamar Taqrib: Tilka ummatun qad khalat, lahâ ma kasabat wa ‘alayha ma iktasabat. Mereka kaum yang telah lalu; bagi mereka apa yang mereka lakukan. Sejarah kelam mestinya kita tinggalkan, demi menatap masa depan yang lebih toleran terhadap perbedaan, bukan?
In urîdu illa al-ishlâh ma istatha’tu. Wamâ tawfîqî illâ billâh.
Sumber tulisan : http://www.suara-muslim.com/2014/04/syiah-bukan-islam.html
_______________________________
Redaksi menerima sumbangan tulisan untuk rubrik Opini. Silahkan kirimkan ke redaksi@liputanislam.com
Senin, 16 September 2013
Apa kata Ulama & Intelektual Muslim Indonesia tentang Syiah?
Prof. Dr. Umar Shihab (Ketua MUI Pusat): “Syiah bukan ajaran sesat, baik Sunni maupun Syiah tetap diakui Konferensi Ulama Islam International sebagai bagian dari Islam.” (rakyatmerdekaonline.com)
KH. Said Agil Siradj (Ketua Umum PB NU) : “Ajaran Syiah tidak sesat dan termasuk Islam seperti halnya Sunni. Di universitas di dunia manapun tidak ada yang menganggap Syiah sesat.“ (tempo.co)
Prof Dr.Din Syamsuddin (Ketua Umum PP Muhammadiyah): “Tidak ada beda Sunni dan Syiah. Dialog merupakan jalan yang paling baik dan tepat, guna mengatasi perbedaan aliran dalam keluarga besar sesama muslim.” (republika.co.id)
KH. Abdurahman Wahid (gus Dur) : “Syiah itu adalah NU plus imamah dan NU itu adalah Syiah minus imamah”.
Prof. Dr. Amin Rais (Mantan Ketua PP Muhammadiyah/Ketua MPR RI ): “Sunnah dan Syiah adalah mazhab-mazhab yang legitimate dan sah saja dalam Islam.“(satuislam.wordpress.com)
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta): “Syiah merupakan bagian dari sejarah Islam dalam perebutan kekuasaan, dari masa sahabat, karenanya akidahnya sama, Alqurannya, dan nabinya juga sama.” (republika.co.id)
Prof. Dr.Syafi’i Ma’arif (Cendikiawan Muslim, Mantan Ketua PP Muhammadiyah): “Kalau Syiah di kalangan mazhab, dianggap sebagai mazhab kelima.” (okezone.com)
Marzuki Alie (Ketua DPR RI): “Syiah itu mazhab yang diterima di negara manapun di seluruh dunia, dan tidak ada satupun negara yang menegaskan bahwa Islam Syiah adalah aliran sesat.“ (okezone.com)
KH Nur Iskandar Sq (Ketua Dewan Syuro PPP): “Kami sangat menghargai kaum Muslimin Syiah.” (inilah.com)
KH. Alie Yafie (Ulama Besar Indonesia): Dengan tergabungnya Iran yang mayoritas bermazhab Syiah sebagai negara Islam dalam wadah OKI, berarti Iran diakui sebagai bagian dari Islam. Itu sudah cukup. Yang jelas, kenyataannya seluruh dunia Islam, yang tergabung dalam 60 negara menerima Iran sebagai negara Islam (tempointeraktif)
PERTANYAAN: JIKA TOKOH-TOKOH INDONESIA MENGANGGAP SYIAH MUSLIM DAN SAUDARA MEREKA, MAKA SIAPAKAH ORANG-ORANG TAKFIRIYAH (KELOMPOK PENGKAFIRAN) YANG MEMUSUHI SYIAH INI?
(Berbagai-Sumber/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email