Pertanyaan
Apakah yang diungkapkan oleh Imam Ali as tentang tak sempurnanya akal wanita merupakan penghinaan terhadapnya?
Penjelasan
Imam Ali as dalam khutbah ke 80 Nahjul Balaghah berkata: “Sesungguhnya kaum wanita tak sempurna akalnya.” Hadits ini dan hadits-hadits yang mirip dengannya telah menimbulkan pertanyaan di atas di benak kita. Untuk menjawabnya kita akan mulai dengan dua pendahuluan:
Pertama, kita harus mengkaji dalam kondisi apakah hadits tersebut diungkapkan oleh para Imam, baru setelah itu kita akan lebih mudah memahami maksudnya. Sebagaimana dalam tafsir ayat-ayat Qur’an memiliki Asbabun Nuzul, hadits pun juga demikian. Jika kita memahami Asbabun Nuzul makakita akan lebih mudah memahami maksudnya.
Jika ditelusuri, khutbah ke 80 Imam Ali dalam Nahjul Balaghah itu beliau sampaikan seusai perang Jamal. Sayid Radhi, penyusun Nahjul Balaghah dalam permulaan khutbah tersebut telah mengingatkan kita akan masalah ini. Sebagaimana yang kita ketahui, perang Jamal adalah perang yang dipimpin oleh seorang wanita bernama Aisyah melawan Imam Ali as. Dan perempuan itulah sebab dari segala persengketaan dan percekcokan dalam pemerintahan Imam Ali as. Aisyah dengan emosi kewanitaannya menyulut api perang Jamal, membuat puluhan ribu jiwa melayang, menjadi faktor meletusnya perang Shiffin dan Nahrawan; itu semua hanya karena emosi seorang wanita yang menyimpan permusuhan terhadap Imam Ali as dalam hatinya. Oleh karena itu Imam Ali as berkata: “Para wanita tak sempurna akalnya. Maka janganlah kau turuti semua keinginannya.”[1]
Beliau mencela kaum lelaki yang mengikuti Aisyah dalam perang Jamal seraya berkata: “Kalian adalah tentara seorang wanita dan pengikut hewan (onta yang dinaiki Aisyah).”[2] Dalam penjelasan khutbah ini disebutkan:
“Tak diragukan bahwa khutbah di atas bukanlah satu pernyataan umum yang mencakup seluruh wanita. Karena khutbah ini beliau sampaikan seusai perang Jamal yang dipimpin oleh Aisyah dan memakan banyak korban, maka yang beliau maksud dalam khutbah itu adalah wanita-wanita yang seperti Aisyah. Banyak wanita-wanita yang dijunjung tinggi dalam ajaran kita, seperti Khadijah, Fathimah Azzahra, dan juga seorang wanita pejuang Saudah Hamdaniah yang berkorban demi keadilan. Wanita-wanita seperti itu sangat ditinggikan martabatnya.”[3]
Kedua, Imam Ali as tidak hanya menyebut wanita berakal tak sempurna, bahkan ia juga pernah menyebut beberapa lelaki yang memiliki akal yang tak sempurna pula.
Beliau berkata: “Lelaki yang menyukai dan senang dengan dirinya sendiri adalah lelaki yang tak sempurna akalnya dan lemah.”[4]
Beliau juga pernah berkata: “Lelaki yang kagum atas dirinya sendiri adalah lelaki tolol.”
Ia pernah menyebut lelaki-lelaki Kufah demikian: “Kalian adalah orang-orang yang tidak berakal.”[5]
Beliau pernah juga mencaci penduduk Bashrah dengan berkata: “Akal-akal kalian telah menjadi lemah.”[6]
Oleh karena itu ketidak sempurnaan akal tak terbatas pada wanita saja, namun lelaki terkadang juga demikian. Betapa banyak para wanita yang memiliki akal tinggi dan lelaki yang bodoh. Oleh karena itu hadits-hadits demikian tidak dapat dijadikan keistimewaan atau penghinaan terhadap lelaki dan perempuan.
Dengan penjelasan di atas kita juga dapat menambahkan jawaban yang dapat kita ambil dari Al-Qur’an:
Persamaan dalam penciptaan
Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa lelaki dan perempuan diciptakan dari “satu” asal, dan oleh karena itu keduanya sama dan tidak ada keistimewaan apapun bagi salah satu terhadap selainnya. Banyak sekali ayat-ayat yang menjelaskan hal tersebut. Misalnya:
“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya.” (QS. Al-A’raaf [7]:189).
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (QS. An-Nisaa’ [4]:1).
“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik.” (QS. An-Nahl [16]:72).
Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa lelaki dan perempuan sama dan tercipta dari satu asal.
Selain itu Al-Qur’an menjadikan lelaki dan perempuan sama-sama sebagai lawan bicaranya tanpa mebeda-bedakan mereka. Allah swt hanya memberikan keistimewaan kepada hambanya karena ketakwaan dan amal saleh. Perhatikan ayat-ayat berikut ini juga:
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam.” (QS. Al-Israa’ [17]:70).
“Dia telah menciptakan manusia dari mani, tiba-tiba ia menjadi pembantah yang nyata.” (QS. An-Nahl [16]:4).
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik” (QS. An-Nahl [16]:97).
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya…” (QS. An-Nuur [24]:30-31)
Banyak sekali ayat-ayat yang menjelaskan kewajiban lelaki dan perempuan secara bersama-sama tanpa membeda-bedakan mereka.
Bermacam-macam makna akal dalam riwayat
Imam Ali as berkata: “Akal ada dua: akal alami yang dimiliki seseorang dan akal yang muncul karena pengalaman.”[7]
Akal alami adalah sesuatu yang membedakan manusia dari hewan-hewan. Adapun akal yang satunya adalah akal pemikiran yang muncul karena latihan, pengalaman, percobaan dan lain sebagainya.
Saat beliau berkata wanita lemah akalnya, bukan berarti akal alaminya yang lemah, namun maksudnya adalah para wanita lebih sedikit pengalamannya.
Akal yang muncul karena pengalaman tidak ada kaitannya dengan akal alami dan akal sempurna manusia. Akal alami lelaki dan perempuan sama tak ada bedanya, hanya saja karena perempuan lebih sedikit berpengalaman maka akalnya yang muncul dari pengalaman lebih sedikit daripada lelaki yang banyak pengalaman. Hal itu bukanlah aib bagi perempuan, karena berkaitan dengan perannya masing-masing.
Imam Ali as pernah menyatakan bahwa perempuan yang memiliki banyak pengalaman layak untuk dimintai pertimbangan dan bermusyawarah dengannya. Beliau berkata: “Janganlah kalian bermusyawarah dengan wanita, kecuali jika engkau tahu kesempurnaan akalnya.”[8]
Imam Ali as juga pernah berkata: “Akal adalah suatu daya yang akan bertambah dengan bertambahnya ilmu dan pengalaman.”[9]
Memag lelaki dan perempuan secara esensial tidak berbeda, namun ada faktor-faktor eksternal yang membedakan mereka, seperti jenis kelamin, perbedaan emosional, peran yang dijalankan, pengalaman-pengalaman, dan lain sebagainya.
Para psikolog menyatakan: “Para wanita memiliki emosi dan sensitifitas perasaan yang lebih tinggi. Mereka lebih bisa memahami seni, keindahan, kecantikan, dan lain sebagainya dari pada lelaki. Namun perbedaan-perbedaan itu bukanlah kekurangan dan kelebihan satu jenis terhadap jenis lainnya. Karena memang secara alami demikian dan lelaki dan perempuan dapat saling menyempurnakan dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut.”[10]
Kesimpulan:
Berdasarkan penjelasan di atas, jelaslah bahwa lelaki dan perempuan secara esensial tidak ada bedanya. Perbedaan-perbedaan yang ada antara lelaki dan perempuan bukanlah aib dan kekurangan, namun dengan adanya perbedaan itu mereka dapat saling menyempurnakan.
Referensi untuk mengkaji lebih jauh:
1. Muhammad Ja’far Imami, Muhammad Ridha Ashtiyani, Tarjome e Guyo va Sharh e Feshorde bar Nahjul Balaghah, jil. 1, hal. 39 & 389.
2. Murtadha Muthahari, Nezam e Hoquq e Zan dar Eslam, hal. 208.
Hadits akhir:
Rasulullah saw bersabda: “Jangan kalian beda-bedakan anak-anak kalian dalam mengasihi. Jika seandainya aku boleh membedakan, aku lebih memuliakan anak-anak perempuan.”[11]
[1] Nahjul Balaghah, khutbah ke-80.
[2] Ibid, khutbah ke-13.
[3] Muhammad Ja’far Imami dan Muhammad Ridha Ashtiyani, Tarjome e Guyo wa Syarh e Feshorde i bar Nahjul Balaghah, jil. 1, hal. 389.
[4] Abdul Wahid Amadi, Ghurarul Hikam, jil. 2, hal. 109.
[5] Ibid, jil. 1, hal. 311.
[6] Nahjul Balaghah, khutbah ke-34.
[7] Biharul Anwar, jil. 78, hal. 9.
[8] Nahjul Balaghah, surat ke-31; Biharul Anwar, jil. 100, hal. 253.
[9] Ghurarul Hikam wa Durarul Hikam, hal. 53.
[10] Murtadha Muthahari, Nezam e Hoquq e Zan dar Eslam, hal. 215.
[11] Nahjul Fashahah, terjemahan Ibrahim Ahmadian, Qom, hal. 325, hadits 3177.
Post a Comment
mohon gunakan email