Judul : Ahlulbait dan Akal dalam Ijtihad.
Penulis: DR. Muhsin Labib (Alumni Jamiah Almusthfa University).
Akal dan Ahlulabait dalam mazhab Syiah Imamiah menempati posisi istimewa
terutama dalam juresprudensi. Ahlulbait dipandang sebagai representasi
dari supremasi teks suci (al-Qur'an dan hadis Nabi). Sedangkan akal
dipandang sebagai alat sekaligus sumber dalam juresprudensi. Dengan kata
lain, sumber ijtihad dalam prespektif Syiah adalah al-Qur'an, Sunnah
dan akal. Karena al-Qur'an merupakan titik temu yang tidak
diperselisihkan kedudukannya dalam semua kelompok Islam, maka makalah
ini hanya menyoroti peran Ahlulbait dan akal dalam ijtihad perspektif
Syiah Imamiyah.
Satu Umat, Dua Cara Pandang
Ada dua golongan besar yang mengiringi kelahiran Islam. Salah satu
golongan beranggapan bahwa periode nash (teks hukum yang absolut)
berakhir dengan wafatnya Rasulullah saw. Mereka hanya mengakui Al-Quran
dan Sunnah Nabi sebagai sumber hukum yang mutlak, sedangkan sumber hukum
setelahnya adalah pandangan-pandangan dan sikap para sahabat Nabi yang
secara bertahap diberi legitimasi "sunnah para sahabat" (sunnah
al-shahabah), yang harus diterima, sebagaimana yang ditegaskan oleh
Syathibi.
Setiap sahabat melahirkan "ijtihad" yang berbeda-beda dan saling
menggugurkan. Sejarah menjadi saksi, ketika para sahabat besar terlibat
dalam konflik intelektual dan militer yang menelan banyak korban secara
berkesinambungan, misalnya konflik Khalifah Abubakar dengan Malik bin
Nuwairah al-Tamimi (yang berujung dengan penumpasan yang dikenal dengan
Harb al-Riddah), Khalifah Umar dengan Khalid bin al-Walid, Khalifah
Utsman bin Affan dengan Abu Zar dan konflik-konflik lainnya yang terlalu
besar untuk ditutup-tutupi.
Peristiwa-peristiwa tersebut, tanpa memandang para pelakunya, merupakan
skandal-skandal yang kelak pada generasi-generasi selanjutnya menjadi
objek pertanyaan yang menggoyahkan kredibilitas dan kedudukan para
pelakunya sebagai "sumber hukum" setelah Sunnah Nabi.
Karenanya, para ulama dari golongan pertama memberikan predikat "adil"
kepada semua sahabat yang terlibat dalam kontroversi tersebut demi
mempertahankan status keagamaan dan kredibilitas mereka selaku sumber
hukum setelah Al-Quran dan Sunnah. Dengan demikian, usaha apapun untuk
mempertahankan (apalagi mengoreksi) kasus mereka harus dicegah. Stigma
negatif telanjur diberikan kepada siapa saja yang mengungkit dan
mempertanyakan posisi benar dan salah mereka dalam konflik-konflik
berdarah itu. Ibnu Ruslan dalam al-Zubad mempertegas hal itu dengan
anjuran untuk diam dan tidak membicarakannya lagi, dan sebaliknya
memastikan bahwa semuanya akan meraih pahala ijtihad.
Ada dua macam legitimasi yang diberikan untuk para sahabat. Legitimasi
pertama berupa penyematan predikat "pelaku ijtihad", Legitimasi kedua
berupa pemberian predikat "adil" (udul, dalam bentuk pluralnya), bahwa
semua sahabat adalah 'udul.
Karena wilayah kekuasaan umat Islam kian lebar, skup pergaulan dan
komunikasi mereka makin luas, maka muncullah kasus-kasus dan masalah
baru yang mesti diberi hukum yang jelas. Fenomena ini tampak dengan
jelas pada akhir periode dinasti Umayah dan awal periode dinasti
Abbasiyah (masa perebutan kekuasaan). Selain itu, kegelisahan mereka
juga disebabkan oleh kenyataan tidak (belum) dibukukannya Sunnah
Rasulullah.
Melihat situasi yang demikian itu, Umar bin Abdul Aziz mencabut kembali
larangan pembukuan hadis. Dia memerintahkan seorang cendekiawan bernama
al-Zuhri agar segera mendata dan menginventarisasi setiap riwayat dari
Rasulullah saw yang masih tersisa. Zuhri pun melaksanakan perintah itu.
Namun, mungkin karena tergesa-gesa dan tidak ada kesepakatan tentangnya,
maka, sebagai pelengkap dan penambal, dibagikanlah wewenang berijtihad
kepada setiap orang yang pernah hidup pada zaman sahabat.
Tidak terhindarkan lagi, periode tabi'in pun usai. Pada periode inilah
para pelaku ijtihad dan sumber hukum terpecah menjadi dua kubu pemikiran
yang bersaing ketat meraih pengikut.
Selanjutnya, muncullah empat aliran hukum besar yaitu: Al-Hanafiyah
(aliran Abu Hanifah); Al-Malikiyah (aliran Malik bin Anas); Al-Syafi'yah
(aliran Syafi'iy) dan Al-Hanbaliyah (aliran Ahmad bin Hanbal).
Boleh jadi, karena pada mulanya kriteria-kriteria mujtahid (bahkan
konsep ijtihad sendiri) tidak jelas, maka muncullah kekhawatiran akan
semakin membengkaknya jumlah mujtahid dengan berbagai penyelesaian dan
fatwa. Kelak para murid empat tokoh aliran golongan pertama ini
mengambil keputusan untuk menutup rapat-rapat pintu ijtihad bagi
siapapun.
Namun, seiring dengan perjalanan daur zaman, penutupan pintu ijtihad ini
pun ditentang. Munculnya gerakan Tajdid yang dipelopori oleh Muhammad
Abduh hingga menyebar ke Indonesia yang memunculkan gerakan
Muhammadiyah, makin semaraknya forum-forum bahts al-masa'il di
sentra-sentra Islam tradisional, NU dan mencuatnya Jaringan Islam
Liberal dapat dianggap sebagai bukti betapa ijtihad mesti dihidupkan
kembali dan pintunya harus dibuka lebar guna menjawab tantangan zaman
dan problematika kontemporer yang melahirkan ribuan kasus hukum.
Sedangkan golongan kedua beranggapan bahwa periode nash (teks hukum
absolut) tidaklah berakhir dengan wafatnya Rasulullah saw. Bagi mereka
sunnah bukanlah ucapan, tindakan dan sikap setuju yang hanya dilakukan
Rasulullah saw saja, melainkan juga tiga belas figur maksum lainnya
setelah beliau, yang diawali dari Ali bin Abi Thalib, dan berakhir
dengan Muhammad bin Al-Hasan Al-Mahdi (termasuk Fatimah Az-Zahra putri
Rasulullah saw).
Mengapa Mesti Ahlulbait?
Berdasarkan hadis-hadis mutawatir yang kesahihannya diakui oleh semua
Muslim, Rasulullah saw telah mengabarkan kepada pengikut-pengikut beliau
pada berbagai kesempatan bahwa beliau akan meninggalkan dua barang
berharga dan bahwa jika kaum Muslim berpegang erat pada keduanya, mereka
tidak akan tersesat setelah beliau tiada. Kedua barang berharga
tersebut adalah Kitabullah dan Ahlulbait Nabi as.
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim, dan juga dalam sumber-sumber lainnya,
bahwa sepulang dari haji Wada', Rasulullah saw berdiri berkhotbah di
samping sebuah telaga yang dikenal sebagai Khum (Ghadir al-Khum) yang
terletak antara Makkah dan Madinah. Kemudian beliau memuji Allah dan
berzikir kepada-Nya, dan lalu bersabda: "Wahai manusia! Camkanlah!
Rasanya sudah dekat waktunya aku hendak dipanggil (oleh Allah Swt), dan
aku akan memenuhi panggilan itu. Camkanlah! Aku meninggalkan bagi kalian
dua barang berharga. Yang pertama adalah Kitabullah, yang dalamnya
terdapat cahaya dan petunjuk… Yang lainnya adalah Ahlulbaitku. Aku
ingatkan kalian, atas nama Allah, tentang Ahlulbaitku. Aku ingatkan
kalian, atas nama Allah, tentang Ahlulbaitku.
Aku ingatkan kalian, atas nama Allah, tentang Ahlulbaitku (tiga kali).
Sebagaimana terlihat dalam hadis Shahih Muslim di atas, Ahlulbait tidak
hanya ditempatkan berdampingan dengan al-Quran, tetapi juga disebutkan
tiga kali oleh Nabi Muhammad saw.
Meskipun ada fakta bahwa penyusun Shahih Muslim dan ahli-ahli hadis
Sunni lainnya telah mencatat hadis di atas dalam kitab-kitab Shahih
mereka, disayangkan bahwa mayoritas Sunni tidak menyadari keberadaan
Ahlulbait tersebut. Bahkan ada yang menolaknya sama sekali.
Kontraargumen mereka adalah sebuah hadis yang lebih mereka pegangi yang
dicatat oleh Hakim dalam al-Mustadrak-nya berdasarkan riwayat Abu
Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah berkata: "Aku tinggalkan di
antara kalian dua barang yang jika kalian mengikutinya, kalian tidak
akan tersesat setelahku: Kitabullah dan Sunnahku."
Tak diragukan bahwa semua Muslim dituntut untuk mengikuti Sunnah Nabi
Muhammad saw. Namun, pertanyaannya adalah Sunnah mana yang asli dan
Sunnah mana yang dibuat-buat belakangan, dan Sunnah palsu mana yang
dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw.
Menjejaki sumber-sumber laporan Abu Hurairah yang menyatakan hadis versi
"Al-Quran dan Sunnah", terbukti bahwa hadis itu tidak dicatat dalam
enam koleksi hadis Sahih Sunni (Shihah as-Sittah). Tidak hanya itu,
bahkan Bukhari, Nasa'i, Dzahabi dan masih banyak lainnya, menyatakan
bahwa hadis ini adalah lemah karena sanadnya lemah. Mesti dicatat bahwa
meskipun kitab milik Hakim adalah sebuah koleksi hadis Sunni yang
penting, tetapi kitab ini dipandang lebih rendah dibandingkan dengan
enam koleksi utama hadis-hadis Sunni. Sementara itu, Shahih Muslim (yang
menyebutkan "Al-Quran dan Ahlulbait") menempati urutan kedua dalam enam
koleksi hadis Sunni tersebut.
Tirmidzi melaporkan bahwa hadis versi "Al-Quran dan Ahlulbait" terujuk
pada lebih dari 30 sahabat. Ibnu Hajar Haitsami telah melaporkan bahwa
dia mengetahui bahwa lebih dari 20 sahabat juga mempersaksikannya.
Sementara versi "Al-Quran dan Sunnah" hanya dilaporkan oleh Hakim
melalui hanya satu sumber. Jadi, mesti disimpulkan bahwa versi "Al-Quran
dan Ahlulbait" adalah jauh lebih bisa dipegang. Lebih-lebih, Hakim
sendiri juga menyebutkan versi "Al-Quran dan Ahlulbait" dalam kitabnya
(Al-Mustadrak) melalui beberapa rantai otoritas (isnad), dan menegaskan
bahwa versi "Al-Quran dan Ahlulbait" adalah hadis yang sahih sesuai
berdasarkan kriteria yang digunakan oleh Bukhari dan Muslim, hanya saja
Bukhari tidak meriwayatkannya.
Lebih jauh, kata "Sunnah" sendiri tidak memberikan landasan pengetahuan.
Semua Muslim, tanpa memandang kepercayaan mereka, mengklaim bahwa
mereka mengikuti Sunnah Nabi Muhammad saw. Perbedaan di antara kaum
Muslim muncul dari perbedaan jalur periwayatan hadis-hadis Nabi Muhammad
saw. Sedangkan hadis-hadis tersebut bertindak sebagai penjelas atas
makna-makna al-Quran, yang keasliannya disepakati oleh semua Muslim.
Maka, perbedaan jalur periwayatan hadis - yang pada gilirannya
mengantarkan pada perbedaan interpretasi atas al-Quran dan Sunnah Nabi -
telah menciptakan berbagai versi Sunnah. Semua Muslim, jadinya terpecah
ke dalam berbagai mazhab, golongan, dan sempalan, yang diyakini
berjumlah sampai 73 golongan. Semuanya mengikuti Sunnah versi mereka
sendiri yang mereka klaim sebagai Sunnah yang benar. Kalau demikian,
kelompok mana yang mengikuti Sunnah Nabi? Golongan manakah dari 73
golongan yang cemerlang, dan akan tetap bertahan? Selain hadis yang
disebutkan dalam Shahih Muslim di atas, hadis sahih berikut ini
memberikan satu-satunya jawaban detail terhadap pertanyaan-pertanyaan
tersebut. Rasulullah saw telah bersabda:
Aku tinggalkan di antara kalian dua "perlambang" yang berat dan
berharga, yang jika kalian berpegang erat pada keduanya kalian tidak
akan tersesat setelahku. Mereka adalah Kitabullah dan keturunanku,
Ahlulbait-ku. Yang Pemurah telah mengabariku bahwa keduanya tidak akan
berpisah satu sama lain hingga mereka datang menjumpaiku di Telaga
(Surga).
Tentu saja, setiap Muslim harus mengikuti Sunnah Nabi Muhammad saw.
Pengikut Ahlulbait tunduk kepada Sunnah asli yang betul-betul
dipraktikkan oleh Nabi Muhammad saw dan meyakininya sebagai satu-satunya
jalan keselamatan. Akan tetapi, hadis yang telah disebutkan di atas
memberikan bukti bahwa setiap apa yang disebut sebagai Sunnah, yang
bertentangan dengan Ahlulbait, adalah bukan Sunnah yang asli, melainkan
Sunnah yang diadakan belakangan oleh beberapa individu bayaran yang
menyokong para tiran. Inilah basis pemikiran mazhab Syi'ah (mazhab
Ahlulbait). Ahlulbait Nabi, yakni orang-orang yang tumbuh dalam keluarga
Nabi, adalah orang yang lebih mengetahui tentang Sunnah Nabi dan
pernik-perniknya dibandingkan dengan orang-orang selain mereka;
sebagaimana dikatakan oleh pepatah: "Orang Makkah lebih mengetahui
gang-gang mereka daripada siapapun selain mereka."
Secara argumentatif, bila kita menerima kesahihan kedua versi hadis
tersebut (Al-Quran-Ahlulbait dan Al-Quran-Sunnah), maka seseorang mesti
tunduk kepada interpretasi bahwa kata "Sunnah-ku" yang diberikan oleh
Hakim berarti Sunnah yang diturunkan melalui Ahlulbait dan bukan dari
sumber selain mereka, sebagaimana yang tampak dari versi Ahlulbait yang
diberikan oleh Hakim sendiri dalam Al-Mustadrak-nya dan oleh Muslim
dalam Shahih-nya. Kini, marilah melihat hadis yang berikut ini:
Ummu Salamah meriwayatkan bahwa Rasulullah telah bersabda: "'Ali bersama
al-Quran, dan al-Quran bersama 'Ali. Mereka tidak akan berpisah satu
sama lain hingga kembali kepadaku kelak di Telaga (di Surga)."
Hadis di atas memberikan bukti fakta bahwa 'Ali bin Abi Thalib dan
al-Quran adalah tidak terpisahkan. Jika kita menerima keotentikan versi
"Quran dan Sunnah", maka orang dapat menyimpulkan bahwa yang membawa
Sunnah Nabi adalah Imam 'Ali, sebab dialah orang yang diletakkan
berdampingan dengan al-Quran.
Begitu juga dengan beberapa ayat Al Quran berikut:
1. Surah Al Ahzab 33 yang menunjukkan akan kesucian Ahlulbait, "
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai
ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya."
Siapa yang dimaksudkan dengan kata Ahlulbait dalam ayat tersebut? Nabi
sendiri dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah
menjelaskan, bahwa yang dimaksud adalah Ali, Fatimah, Hasan dan Husein
yang diselimuti oleh Nabi dengan sebuah selimut dan kemudian dikenal
dengan nama hadits Al Kisa' yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal
dalam Musnadnya juz 6 Hal. 292, Tirmidzi dalam Sunan nya Juz 5 Hal. 30
Hadits No. 3258 dan Hakim dalam Mustadraknya Juz 2 Hal. 416.
2. Surah Al-Nisa' 59 yang menjelaskan tentang kewajiban untuk taat
kepada pemimpin yang diistilahkan dengan "ulul amri" " Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian
itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya"
Siapa mereka Ulul Amri yang ketaatannya disejajarkan dengan Allah dan
Rasul? Maka jawabannya tidak mungkin seseorang yang masih mungkin untuk
bersalah, namun harus benar atau maksum, dan pada ayat dan hadis
sebelumnya telah dijelaskan siapa yang suci tersebut. Sebagaimana sebuah
riwayat dalam kitab Yanabi'ul Mawaddah juga menjelaskan hal itu.
3. Al Maidah 55 yang menjelaskan wali (pemimpin) setelah Rasul,
"Sesungguhnya wali kalian adalah Allah, Rasul dan Mukmin yang
melaksanakan shalat dan menunaikan zakat dalam keadaan rukuk"
Banyak mufassir yang menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan ayat di
atas adalah Ali yang sedang rukuk dan menjulurkan tangannya untuk
menyerahkan cincin di tangannya kepada sang peminta-peminta. Diantara
yang menegaskan hal itu adalah Ibnu Katsir dalam Tafsir nya Juz 2 Hal.
64, Al Alusi dalam tafsirnya Ruhul Ma'aniy Juz 6 Hal. 168, Ibnu Abi
Hatim dalam tafsirnya juz 4 Hal. 1162, Ath Thabariy dalam tafsir nya juz
6 hal 186, Jalaluddin As Suyuthi dalam tafsirnya Ad Durrul Mantsur Juz 3
Hal 105.
Antara Akal dan Teks: Identifikasi "Area Konflik" dalam Ranah Fikih
Perbedaan Syiah dan Sunni tidak hanya berkisar pada sumber teks pasca
Nabi, namun juga pada pandangan masing-masing tentang kedudukan akal
sebagai sumber ijtihad. Namun, sebagaimana terjadi perbedaan perlakuan
terhadap akal dalam Ahlussunnah antara Ahlul-hadits dan Ahlul-ra'yi,
kalangan Syiah juga terbelah jadi dua; Akhbariyun dan Ushuliyun dengan
isu yang hampir mirip.
Sejarah pemikiran hukum mengungkapkan dua kecenderungan yang sama sekali
bertentangan satu sama lain mengenai soal ini. Kecenderungan pertama
menuntut adanya penggunaan akal dalam bidangnya yang luas, termasuk
pemahaman-pema.haman akal tak sempurna sebagai satu sumber fundamental.,
untuk menetapkan validitas dalam berbagai bidang yang dipelajari oleh
para ahli dalam IImu Ushul dan Ilmu Fiqh. Kecenderungan lainnya dengan
tajam mengecam akal serta mencampakkannya dari kedudukannya sebagai satu
sarana fundamental untuk membuktikan validitas. Kecenderungan kedua ini
memandang al-bayan al-syar'i sebagai satu-satunya sarana yang bisa
digunakan dalam proses deduksi.
Di antara kedua kecenderungan ekstrem ini, ada kecenderungan moderat
ketiga yang diwakili oleh mayoritas kaum faqih dalam mazhab pemikiran
Ahlul Bait. Kecenderungan ini meyakini - berlawanan dengan kecenderungan
kedua yang disebutkan di atas - bahwa akal atau pemahaman akal
merupakan satu sarana fundamental untuk membuktikan validitas, di
samping al-bayan al-syar'i, tetapi bukan dengan cam yang tidak memenuhi
syarat seperti yang dikemukakan oleh kecenderungan pertama, dan hanya
dalam batas-batas di mana manusia mencapai kepuasan total serta
pemahaman akal yang pasti, yang tidak ada kemungkinan untuk salah.
Dengan demikian, setiap persepsi akal - yang masuk dalam kategori ini
dan memberikan kepastian sempurna - merupakan sarana untuk membuktikan
validitas. Hanya saja, pemahaman-pemahaman akal tak-sempurna - yang
didasarkan pada kemungkinan dan tidak sanggup memberikan unsur kepastian
- tidaklah valid sebagai sarana untuk membuktikan validitas unsur mana
pun dalam proses deduksi.
Jadi, akal - menurut kecenderungan ketiga ini - adalah instrumen
pengetahuan yang valid dan layak dijadikan pijakan serta mampu
menentukan validitas, jika ia memang membuahkan pemahaman yang pasti
atas fakta apa pun yang tidak diragukan lagi. Dengan demikian, tidak ada
penolakan atas akal sebagai suatu instrumen pengetahuan, tidak pula ada
sikap kelewat batas dalam mengandalkan akal manakala ia tidak mampu
memberikan pemahaman yang pasti.
Kecenderungan moderat ini, yang diwakili oleh mayoritas para faqih dalam
mazhab pemikiran Ahlul Bait, mengharuskan para faqih berjuang memerangi
dua kelompok - yang sebagian melawan kecenderungan pertama yang dianut
oleh al-Ra'yu (para eksponen pengguna penila.ian individual) di bawah
pimpinan sekelompok ulama terkemuka dari masyarakat awam, dan yang lain
melawan gerakan internal dalam barisan para fagih Imamiah yang diwakili
oleh kaum tradisionis dan kaum Akhbari (para eksponen al-Hadits dan
al-Khabar) dari kalangan ulama Syi'ah, yang dengan tajam mengkritik akal
dan menyatakan bahwa al-bayan al-syar'i adalah satu-satunya sarana yang
bisa digunakan untuk membuktikan validitas. Dengan demikian, kita
mengetahui bahwa perjuangan pertama adala.h melawan penggunaan akal yang
tak memenuhi syarat dan yang kedua adalah perjuangan mempertahankan
akal dengan cam yang memenuhi syarat.
Selama pertengahan abad kedua Hijriah, muncul satu mazhab pemikiran
jurisprudensi (fiqh) yang dikenal sebagai mazhab pemikiran Ra'yu dan
Ijtihad. Mazhab ini mengemukakan penggunaan akal (dalam artian luasnya,
termasuk kemungkinan, dugaan dan pemikiran individual) sebagai satu
instrumen dasar guna membuktikan validitas di samping al-bayan al-syar`i
dan sebagai satu sumber fundamental bagi para faqih dalam proses
deduksi hukum. Proses ini disebut ijtihad.
Yang terkemuka di antara mazhab ini atau di antara para pemimpinnya
adalah Abu Hanifah (meninggal pada tahun 150 H). Diriwayatkan dari
tokoh-tokoh terkemuka mazhab ini bahwa jika mereka tidak menemukan
al-Bayan al-Syar`i apa pun yang menunjukkan hukum syariah tentang suatu
masalah khusus, maka mereka akan mempelajari masalah itu dengan bantuan
penilaianpenilaian individual, dan dengan semua yang mereka pahami
tentang kesesuaian dan kecocokan dengan pemikiran individual mereka, dan
karena itu, mengutamakan satu pandangan atas pandangan lainnya.
Kemudian, mereka akan mengeluarkan fatwa sesuai dengan dugaan-dugaan dan
preferensi-preferensi (pengutama-an) mereka. Yang demikian ini mereka
namakan istihsan atau ijtihad.
Sudah termasyhur bahwa Abu Hanifah adalah pemuka dalam bidang
jurisprudensi (fiqh) ini. Dituturkan dari muridnya, Muhammad ibn Hasan,
bahwa Abu Hanifah biasa berdebat dengan rekan rekannya dan mereka
menuntut keadilan darinya serta menentangnya sampai dia berkata, "Ini
adalah istihsan"; dan kemudian tak ada seorang pun menentangnya. Sebuah
1) pernyataan yang dituturkannya, di mana dia menguraikan metodologi
deduksinya, berbunyi, "Aku mengikuti Kitab Allah (Al-Quran), jika aku
menemukan teks di dalamnya. Jika tidak, aku akan mengikuti Sunnah
Rasulullah Saw. Akan tetapi, bila aku tidak menemukan teks daiam
Al-Quran, maka aku akan menelusuri pendapat orang lain. Jika pendapat
itu akhirnya berujung pada Sya'bi, Muhammad ibn Hasan atau Ibn Sirrin,
maka aku pun berhak melakukan ijtihad seperti halnya mereka."
Konsep dasar berdirinya mazhab pemikiran ini, dan digunakannya akal tak
memenuhi syarat sebagai sarana, dasar untuk membuktikan validitas dari
sebagai sumber deduksi hukum-hukum, adala,h gagasan yang lazim dijumpai
dalam barisan mazhab itu, yang berbunyi, "al-bayan asy-Syar`i -
sebagaimana ditunjukkan dalam Al-Quran dan Sunnah - belumlah cukup dan
hanya memuat hukum-hukum tentang sejumlah proposisi terbatas saja.
Belumlah cukup hanya sekadar menetapkan hukum-hukum syariah mengenai
berbagai proposisi dan masala.
Penyebaran gagasan di kalangan para faqih kelompok Sunni oleh
kecenderungan mereka pada aliran pemikiran Sunni, yang di situ mereka
meyakini bahwa al-Bayan al-Syar'i disuguhkan hanya dalam Al-Quran dan
Sunnah yang diriwayatkan dari Rasul. Karena kesemuanya ini hanya
mencukupi kebutuhan-kebutuhan parsial dalam deduksi, maka mereka pun
berusaha memperbaiki situasi itu serta berupaya memenuhi
kebutuhan-kebutuhan lainnya dengan memperluas serta menyatakan prinsip
ijtihad. Akan tetapi, para fagih dalam mazhab pemikiran Imamiah lantaran
pandangan keagamaan mereka - berpandangan sebaliknya. Mereka meyakini
bahwa al-Bayan al-Syar'i itu masih terus berlanjut dengan adanya para
Imam. Dengan demikian, mereka tidak menemukan adanya motif moral bagi
perluasan tak sah dalam wilayah akal.
Bagaimanapun juga, gagasan tentang tidak memadainya AlQuran dan Sunnah
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan deduksi sudah menyebar, dan memainkan
peran penting dalam pandangan intelektual dari banyak fagih serta dalam
pandangan ekstrem mereka tentang akal.
Gagasan ini berkembang dan berangsur-angsur menjadi makin serius, sebab
ia telah berubah dari menisbatkan kepada al-Bayan al-Syar'i (yakni,
Al-Quran dan Sunnah). kekurangan, ketaksempurnaan serta tiadanya bukti
bagi hukum-hukum yang berkaitan dengan banyak proposisi, lantas mulai
menisbatkan kepada syariah itu sendiri segala kekurangan dan
ketidakmampuan menangani berbagai aspek kehidupan. Jadi, masalahnya
bukan lagi satu kekurangan dalam al-Bayan al-Syar`i dan dalam uraiannya,
melainkan dalam syariah Ilahi itu sendiri. Dalil mereka atas kekurangan
yang diduga ada dalam syariah ini adalah bahwa syariah belumlah
menetapkan hukum bagi masalah lainnya yang belum diketahui kaum Muslim.
Syariah telah mengemukakan hukum-hukum dan dalil-dalilnya melalui
Al-Quran dan Sunnah agar keduanya ini diikuti dan menjadi undang-undang
kehidupan umat Islam. Menurut kalangan umum, teks-teks Al-Quran dan
Sunnah tidak memuat hukum-hukum tentang berbagai proposisi dan masalah.
Yang demikian itu menunjukkan kekurangan dan ketidaksempurnaan syariah,
dan bahwa Allah menetapkan hanya sejumlah terbatas hukum-hukum dalam
Islam. Inilah hukum-hukum yang diuraijelaskan dalam Al-Quran dan Sunnah.
Akan halnya penetapan hukum dalam bidang-bidang lainnya, Allah
menyerahkannya pada manusia, atau pada faqih khususnya, untuk menemukan
hukumhukum atas dasar ijtihad dan deduksi, dengan syarat bahwa tak ada
satu hukum. pun dari yang disebut terakhir ini boleh bertentangan dengan
hukum-hukum terbatas syariah yang telah ditetapkan dalam Al-Quran dan
Sunnah Nabi.
Kita telah melihat bahwa kecenderungan ekstrem mengenai akal ini adalah
akibat dari penyebaran konsep tentang ketidaksempurnaan (dalam Al-Quran
dan Sunnah) serta konotasi-konotasi yang berasal darinya. Ketiga gagasan
ketaksempurnaan yang dinisbatkan pada al-Bayan al-Syar`i ini berkembang
menjadi ketaksempurnaan yang dinisbatkan pada syariah itu sendiri, maka
perkembangan ini pun terefleksi dalam bidang pemikiran Sunni. Hal ini
menyebabkan timbulnya doktrin tentang Tashwib (menisbatkan kebenaran) di
mana kecenderungan ekstrem mengenai akal tersebut mencapai batas
terjauhnya.
Kesimpulan
Betapa perbedaan dalam memahami dan menerima sumber ijtihad meniscayakan
perbedaan dalam produk-produk ijtihad, yaitu fatwa dan hukum-hukum
fikih, yang meliputi tatacara shalat, puasa dan lainnya. Pebedaan ini
mestinya bisa dimaklumi oleh para ulama dan pengkaji dari kedua kelompok
besar Islam, Sunni dan Syiah. Namun, di mata masyarakat awam, perbedaan
dalam praktik ibadah, (yang sebenarnya hanyalah konsekuensi perbedaan
dalam menentukan sumber sumber setelah al-Qur'an dan Sunnah) sering
dipandang sebagai alasan untuk bermusuhan dan merawat kebencian.
Ironisnya, tidak sedikit orang yang dikenal ulama malah tak lelah
memukulkan palu vonis "sesat", "kafir" dan "syirik" kepada sesama Muslim
karena berbeda dalam memilih sumber ijtihadnya. Padahal mestinya,
dipahami bahwa Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw adalah satu.
Hanya saja, ada dua atau lebih cara pandang terhadapnya yang
meniscayakan perbedaan dalam sejumlah produk istinbath-nya.
Allah Swt berfirman di dalam kitab-Nya yang mulia:
1· Sesungguhnya umat kalian ini adalah umat yang satu dan Aku adalah Tuhan kalian, maka sembahlah Aku. (QS. al-Anbiya:92).
2· Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka
(adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. (QS.
at-Taubah:71).
Dari Ibnu Abbas dari Nabi saw, beliau bersabda, "Kaum Muslim sederajat
darahnya, mereka adalah tangan bagi yang lainnya, mereka harus
melindungi sesama mereka dan harus menjaga silaturahmi di antara
mereka."
Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah saw bersabda, "Kalian tidak
akan masuk surga hingga kalian beriman, dan tidak beriman kalian hingga
kalian saling mengasihi. Serendah-rendahnya sesuatu yang kalian lakukan
adalah kalian saling menjauhi. Sebarkanlah salam di antara kalian."
Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi
bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. (QS.
Al-An'am:159).
Akhirnya, kita mesti deklarasikan bahwa Muslim Syiah dan Muslim Sunni
adalah realitas yang determinan. Mazhab Sunni dan mazhab Syiah laksana
oksigen dan hidrogen yang membentuk air, bagaikan dua sayap bagi
rajawali. Keduanya adalah sebuah prasasti kerja intelektual para pemikir
yang harus dicermati, dikritisi dan diapresiasi, dan tidak semestinya
didikotomikan.
Usaha-usaha apapun untuk menolaknya baik dengan provokasi, selebaran
atau penistaan baik secara akademik (menggunakan dalil sepihak) maupun
non akademik (retorika sarkastik) terhadap masing-masing ajaran dan para
tokoh-tokohnya hanya akan menguntungkan pihak-pihak eksternal, terutama
sentra-sentra hegemoni yang kapitalistik dan sekular.
Lebih dari itu, memaksakan "satu Islam" kepada semua penganut Islam yang
terpencar dalam berbagai mazhab dan pandangan tentulah menyalahi watak
toleransi Islam. Obsesi seseorang atau suatu kelompok terhadap yang
"satu" hanya mungkin dilakukan lewat pemaksaan, seringkali lewat
kekuasaan senjata, dan tindakan ini menyalahi konsepsi Islam yang dasar.
Dengan kata lain, menginginkan 'satu pemahaman tentang Islam' adalah
utopia dan anarkisme! Karena itulah, pluralisme sebagai sikap sosial
harus didukung.
Wallahu a'lam.