Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label ahlulbait. Show all posts
Showing posts with label ahlulbait. Show all posts

Pernyataan-pernyataan Imam-imam Ahlulbait tentang faham jabariyah


Dalam teologi dikenal tiga pandangan utama mengenai perbuatan manusia, yaitu pertama, pandangan kaum Jabariyah yang menganggap bahwa manusia majbur (jabr: terpaksa) dalam perbuatan-perbuatannya, alias tidak memiliki pilihan sama sekali. Kedua, pandangan yang menganggap bahwa manusia itu sepenuhnya merdeka dalam perbuatan-perbuatannya. Pandangan ini disebut Qadariyah. Dan ketiga, pandangan yang meyakini bahwa manusia itu antara terpaksa dan merdeka, amr bain amrain. Pandangan ini diyakini pengikut Ahlubait, sedangkan yang pertama dianut kaum Asy’ariyyah atau Ahlussunnah dan yang kedua dianut oleh kaum Mu’tazilah.

Berikut beberapa pernyataan dan kata-kata mutiara Imam-imam Ahlulbait terkait tema di atas.

1. Imam Ali Ibn Abitalib: "Jika (dimuka bumi ini berlaku hukum jabr) maka  tidak akan berlaku hukum pahala dan azab dan hukum perintah, larangan dan peringatan. Juga tidak ada artinya janji dan ancaman.  Selain itu, tidak perlu mengecam orang yang berbuat dosa  atau memuji orang yang berbuat baik. Bahkan orang yang berbuat baik lebih patut dikecam dibanding dengan orang yang berbuat dosa dan begitu juga sebaliknya, orang yang berbuat dosa lebih patut dibaiki daripada orang yang berbuat baik. Faham seperti ini adalah faham penyembah berhala dan musuh-musuh Tuhan”.

2. Imam Ja’far al-Shadiq: “Apa yang engkau dapat kecam terhadap seorang hamba, maka itu berarti datang darinya, dan apa yang engkau tidak dapat kecam terhadap seorang hamba, maka itu berarti perbuatan Allah. Allah berkata kepada seorang hamba: “Mengapa engkau melanggar? Mengapa engkau melakukan kebejatan? Mengapa engkau minum khamar? Dan Mengapa engkau berzina? Ini semua adalah perbuatan hamba. Allah tidak berkata kepada hamba: “Mengapa engkau sakit? Mengapa engkau pendek? Mengapa engkau putih? Dan mengapa engkau hitam? Karena semua ini adalah perbuatan Allah”.

3. Imam Musa al-Kazhim: “Kejahatan itu tidak terlepas dari tiga kemungkinan. Pertama, datang dari Allah, dan itu pasti bukan datang dari Allah, karena Tuhan tidak patut menghukum hamba atas sesuatu yang ia tidak perbuat. Kedua, datang dari Tuhan dan hamba sekaligus, dan itu juga tidak demikian, karena sekutu yang kuat tidak patut menzalimi sekutu yang lemah. Dan ketiga, datang dari hamba, dan memang betul kejahatan datang dari hamba. Maka jika Tuhan memaafkannya itu karena kebaikan dan kemurahanNya. Tetapi jika Tuhan menghukumnya itu karena dosa sang hamba dan kesalahannya”.

4. Imam Muhammad al-Baqir dan Imam Ja’far al-Shadiq: “Sesungguhnya Allah lebih menyayangi makhlukNya daripada memaksanya berbuat dosa kemudian menghukum mereka atas dosanya. Allah lebih lebih besar daripada menginginkan sesuatu tetapi tidak terjadi. Seseorang bertanya: “Apakah antara jabr (keterpaksaan) dan qadr (kemerdekaan) ada kedudukan ketiga? Imam Ja’far dan Imam Baqir  menjawab: “Benar, bahkanlebih luas dari antara langit dan bumi”.

5. Imam Ja’far al-Shadiq: “Tidak jabr dan tidak tafwidh (menyerahkan sepenuhnya kepada hamba) tetapi sesuatu di antara keduanya, amr bain amrain. Perawi bertanya: “Apa yang dimaksud sesuatu di antara keduanya? Imam menjawab: “Perumpamannya seperti seseorang yang engkau lihat berbuat dosa; engkau mencegahnya, tapi dia tidak mau berhenti. Kemudian  engkau tinggalkan dia, dan dia terus melakukannya”. Maka engkau tidak dapat dikatakan sebagai telah memerintahkannya berbuat dosa ketika engkau tinggalkan dia karena dia tidak mau mengikutimu”.

6. Imam Ridha: “Allah berfirman: “Wahai anak Adam! Dengan kehendakKu engkau berkehendak. Dengan nikmatKu engkau telah melaksanakan kewajiban-kewajiban. Dengan kekuasaanKu engkau mampu melanggarKu. Aku ciptakanmu mendengar dan melihat. Aku lebih utama terhadap kebaikan daripadamu dan engkau lebih utama terhadap kejahatan-kejahatanmu daripadaKu”.

Jakarta, 24 Januari 2011.

Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.






Judul: Untaian Mutiara Keluarga Rasulullah saw.; Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.; diterjemahkan dari Nafahât Min Sîrah A'immah Ahlil Bait, Bâqir Syarîf Al-Qurasyî.
Penulis: Baqir Syarîf Al-Qurasyî.
Penerjemah: A. Marzuqi Amin dan Tim.
Penyunting: M. Syamsul Arif.
Layout:
Ilustrasi & desain sampul:
Penerbit: Lembaga Internasional Ahlul Bait (Majma' Jahani Ahlul Bait)
Cetakan Pertama: 1385 Syamsiah/1427 Hijriah/2007 M.
Jumlah: 5000 eks.
Percetakan: Laila.
Website: www.ahl-ul-bait.org
ISBN: 964

Hak cipta Lembaga Internasional Ahlul Bait as. dilindungi oleh undang-undang






1





Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.




DAFTAR ISI BUKU

PENGANTAR PENERBIT 11




KATA PENGANTAR 12




PROLOG 13




PARA IMAM SUCI AHLUL BAIT 20




IMAM ALI BIN ABI THALIB 21

Putra Ka'bah 21

Gelar Imam Ali bin Abi Thalib 21

Perkembangan Hidup Imam Ali bin Abi Thalib 23

a. Di Bawah Asuhan Rasulullah saw. 23

b. Pembelaan Imam Ali Terhadap Rasulullah saw. 24

c. Ali, Pemeluk Islam Pertama 24

d. Kecintaan Ali as. kepada Nabi Muhammad saw. 24

e. Yawm Ad-Dâr (Hari Pembelaan) 25

f. Di Syi'ib (Lembah) Abu Thalib 26

g. Bermalam di Atas Ranjang Nabi saw. 27

h. Hijrah ke Yatsrib 28

Ali as. dalam Kaca Mata Al-Qur'an 28

a. Kategori Ayat Pertama 28

b. Kategori Ayat Kedua 31

c. Kategori Ayat Ketiga 33

d. Kategori Ayat Keempat 33

Ali as. dalam Kaca Mata Sunah 34

1. Kelompok Hadis Pertama 34

2. Kelompok Hadis Kedua 39

Jihad Ali as. Bersama Nabi saw. 41

1. Perang Badr 41

2. Perang Uhud 42

3. Perang Khandak 45

4. Penaklukan Benteng Khaibar 47

5. Penaklukan Kota Mekah 49

Haji Wadâ' 51

Muktamar Ghadir Khum 52

Duka Abadi 53

Tragedi Hari Kamis 54

Rasulullah saw. Menghadap ke Haribaan Ilahi 55

Menangani Proses Pemakaman Jenazah yang Agung 56

Menyalati Jenazah Rasulullah saw. 56

Menguburkan Jenazah Rasulullah saw. 57

Muktamar Tsaqîfah 57

Sikap Imam Ali as. Terhadap Pembaiatan Abu Bakar 58

Az-Zahrâ' Menuju ke Alam Baka 60

Pemerintahan Umar 61

Umar Terbunuh 61

Konsep Syûrâ 62

Pemerintahan 'Utsmân 62

Kelompok Penentang 'Utsmân 64

Penyerbuan atas 'Utsmân 64

Kekhalifahan Imam Ali as. 65

Imam Ali as. Menerima Kekhalifahan 66

Keputusan yang Tegas 66

1. Perang Jamal 67

2. Perang Shiffin 67

Mempermainkan Mushhaf 68

Penentuan Abu Mûsâ Al-Asy'arî 69

3. Melawan Khawârij 69

Syahadah Imam Ali as. 69




IMAM HASAN BIN ALI BIN ABI THALIB 71

Perkembangan Hidup Imam Hasan as. 72

Teladan Yang Agung 72

Imâmah 72

a. Arti Imâmah 72

b. Perlu Kepada Imâmah 72

c. Tugas-Tugas Seorang Imam 73

d. Karakteristik Imam 73

e. Penentuan Imam 74

Ketinggian Akhlak Imam Hasan as. 75

Kesabaran Imam Hasan as. yang Luas 75

Kedermawanan Imam Hasan as. 76

Kezuhudan Imam Hasan as. 77

Ilmu Pengetahuan Imam Hasan as. 77

Kata Mutiara Imam Hasan as. 78

Ceramah Imam Hasan as. 78

Ibadah Imam Hasan as. 79

Wudu dan Salat Imam Hasan as. 79

Ibadah Haji Imam Hasan as. 80

Imam Hasan as. Bersedekah 80

Imam Hasan as. Menghadapi Tuduhan 80

Kekhalifahan Imam Hasan as. 80




IMAM HUSAIN BIN ALI 83

Kecintaan Rasulullah saw. kepada Husain as. 83

Rasulullah saw. Memberitakan Syahadah Husain as. 84

Husain as. Bersama Sang Ayah 87

Imam Ali as. Memberitakan Syahadah Putranya 87

Kepribadian Imam Husain as. 88

1. Tekad yang Kuat 89

2. Menolak Kezaliman 89

3. Keberanian 90

4. Sikap Terus Terang 91

5. Teguh dalam Mengemban Kebenaran 92

6. Kesabaran 92

7. Kemurahan Hati 94

8. Kerendahan Hati 94

Nasihat dan Petunjuk 95

Mutiara Hikmah 95

Imam Husain as. bersama Umar 96

Imam Husain bersama Mu'âwiyah 96

Peringatan Imam Husain as. kepada Mu'âwiyah 97

Seminar Politik di Mekah 97

Penolakan Imam Husain as. Terhadap Kekhalifahan Yazîd 97

Kematian Mu'âwiyah 98

Revolusi Imam Husain as 98

Syahadah 99

Permohonan Imam Husain as. 100

Pembantaian Seorang Bayi 100

Keteguhan Imam Husain as. 101

Perpisahan dengan Keluarga 102

Munajat Imam Husain as. 104

Imam Husain as. Dibantai 105




IMAM ALI AS-SAJJAD 107

Gelar Imam As-Sajjâd 107

1. Zainul Abidin (Hiasan Para 'Abid) 107

2. Sayyidul Abidin (Junjungan Para 'Abid) 107

3. Dzuts Tsafanât 107

4. As-Sajjad 108

5. Az-Zakî 108

6. Al-Amîn 108

7. Ibn Al-Khairatain 108

Karakteristik Kejiwaan 108

Kesabaran (Al-Hilm) 109

Ketabahan (Ash-Shabr) 109

Berbuat Kebajikan kepada Orang Lain 111

Kedermawanan 111

Kasih Sayang kepada Fakir Miskin 112

Infak dan Sedekah 113

Keberanian 115

Imam Zainul Abidin di Madinah 116

Ibadah Imam Zainul Abidin 116

Bersama Para Budak 126

Wasiat kepada Anak Keturunan 128

Doa untuk Anak Keturunan 129

Hikmah dan Ajaran 129

Syahadah 130




IMAM MUHAMMAD Al-BAQIR 132

Kesabaran (Al-Hilm) 135

Ketabahan (Ash-Shabr) 135

Kasih Sayang kepada Fakir Miskin 136

Ibadah 137

Kezuhudan 138

Mutiara Hikmah 138

Nasihat Imam Al-Bâqir as. kepada Para Pengikut Syi'ah 139

Syahadah 139




IMAM JA'FAR ASH-SHADIQ 140

Biografi Kehidupan 140

Keluasan Ilmu Pengetahuan 142

Univertas Imam Ash-Shâdiq as. 142

Metode Ilmiah 144

Pembukuan Ilmu 145

Kriteria dan Karakteristik 145

Mutiara Hikmah 149

Menuju Surga Abadi 150




IMAM MUSA Al-KAZHIM 152

Keluasan Ilmu 152

Dialog Imam Mûsâ as. 152

1. Dialog Imam Mûsâ as. dengan Nafî' Al-Anshârî 152

2. Dialog Imam Mûsâ as. dengan Abu Yusuf 153

3. Bersama Hârûn Ar-Rasyîd 153

Karakter dan Jati Diri Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. 156

1. Kehebatan Ilmu 156

2. Zuhud Terhadap Dunia 157

3. Kedermawanan 157

4. Memenuhi Kebutuhan Orang Lain 157

5. Ibadah dan Ketaatan kepada Allah swt. 158

6. Kesabaran dan Menahan Amarah 159

7. Kemuliaan Akhlak 160

Mutiara Hikmah 162

Di Dalam Penjara Hârûn 162

Di Penjara Bashrah 163

Perintah kepada Isa untuk Membunuh Imam Al-Kâzhim as. 163

Penawanan Imam Al-Kâzhim as. di Rumah Fadhl 163

Kejenuhan Imam Al-Kâzhim as. 165

Penawanan Imam Al-Kâzhim as. di dalam Penjara Fadhl bin Yahyâ 165

Di Penjara As-Sindî 165

Jenazah Imam Al-Kâzhim as. Dicampakkan di Atas Jembatan 167




IMAM ALI AR-RIDHA 168

Pertumbuhan 168

Perangai dan Perilaku 168

Akhlak yang Tinggi 168

Kezuhudan 169

Keluasan Ilmu Pengetahuan 169

Mutiara Wejangan 170

Wasiat dan Nasihat 171

Mutiara Hikmah 172

Pengetahuan Imam Ar-Ridhâ atas Semua Bahasa 173

Fitnah dan Peristiwa 173

Kedermawanan dan Kemurahan Hati 174

Ibadah 175

Menjadi Putra Mahkota 176

Surat Fadhl kepada Imam Ar-Ridha 177

Para Delegasi Ma'mûn kepada Imam Ar-Ridhâ as. 178

Menuju ke Baitullah Al-Haram 178

Menuju ke Khurasan 179

Di Nisyabur 179

Ma'mûn Menyambut Imam Ar-Ridha 180

Ma'mûn Menawarkan Kekhalifahan kepada Imam Ar-Ridhâ as. 180

Kedudukan Putra Mahkota Ditawarkan kepada Imam Ar-Ridha 181

Imam Ar-Ridhâ Dipaksa untuk Bersedia Menjadi Putra Mahkota 181

Syarat-syarat yang Diajukan oleh Imam Ar-Ridhâ as. 181

Pembaiatan Imam Ar-Ridhâ as. 182

Keputusan-Keputusan Penting 182

Ketakutan Ma'mûn Terhadap Imam Ar-Ridha 182

Imam Ar-Ridhâ Dibunuh 183

Acara Ritual Pemakaman Tubuh Imam Ar-Ridha 183




IMAM MUHAMMAD AL-JAWAD 185

Di Bawah Asuhan Sang Ayah 185

Perhatian Keluarga Nabawi 186

Kezuhudan 186

Kedermawanan 187

Keluasan Ilmu Pengetahuan 188

Dari Kedalaman Iman 189

Akhlak yang Mulia 189

Tata Krama Berperilaku 190

Nasihat 190

Al-Ma'mûn Memohon kepada Imam Al-Jawâd 191

Imam Al-Jawâd as. Dibunuh 193

Ritual Pemakaman 195

Usia Imam Al-Jawâd 195




IMAM ALI AL-HADI 196

Kelahiran 196

Nama 196

Pertumbuhan 196

Anak Kecil yang Jenius 197

Pengagungan Bani Ali 198

Kedermawanan 199

Bekerja di Kebun 200

Kezuhudan 200

Ilmu Pengetahuan 201

Mutiara Hikmah Berharga 202

Mutawakkil Menyuruh Ibn Sikkît untuk Menguji Imam Al-Hâdî 203

Ibadah 204

Bersama Mutawakkil 204

a. Fitnah terhadap Imam Al-Imam Al-Hâdî 205

b. Imam Al-Hâdî Menggagalkan Tindak Provokasi 205

c. Surat Mutawakkil untuk Imam Al-Hâdî 205

d. Imam Ali Al-Hâdî Dihadirkan ke Samirra' 206

e. Di Gubuk Sha'âlîk 207

f. Imam Al-Hâdî Hidup Bersama Mutawakkil 207

g. Mutawakkil Menanyakan Siapakah Penyair Termahir? 208

h. Doa Imam Al-Hâdî Demi Kecelakaan Mutawakkil 210

i. Imam Al-Hâdî Memberitahukan Kematian Mutawakkil 211

j. Kematian Mutawakkil 211

Imam Ali Al-Hâdî Dibunuh 213

Menuju Surga Abadi 213

Ritual Pemakaman 214

Pengantaran Jenazah 214

Persemayaman Terakhir 214




IMAM HASAN AL-'ASKARI 215

Silsilah Keturunan 215

Kelahiran 215

Acara Ritual Kelahiran 216

Pertumbuhan dan Perkembangan 216

Bersama Sang Ayah 217

Ibadah 217

Kesabaran 217

Kedermawanan 217

Ilmu Pengetahuan 218

Ketinggian Akhlak 219

Mutiara Hikmah Pendek 219

Bukti-Bukti Imâmah 220

Surat Imam Al-'Askarî kepada Ali bin Husain 221

Bersama Para Penguasa 223

1. Pemerintahan Mutawakkil 223

2. Pemerintahan Muntashir 227

3. Pemerintahan Musta'în 227

4. Pemerintahan Mu'taz 228

5. Pemerintahan Mahdi 228

6. Pemerintahan Mu'tamid 229

Imam Al-'Askarî Dibunuh 230

Menuju Surga Abadi 230

Persiapan Pemakaman 230

Ke Liang Lahat 230

Di Persemyaman Terakhir 231




IMAM MAHDI AL-MUNTAZHAR 232

Sang Putra yang Agung 232

Acara Ritual Kelahiran 233

Undangan Makan Massal 233

Kebahagiaan Para Pengikut Syi'ah 234

Nama Sang Putra 234

Perjumpaan dengan Syi'ah 234

Karakter yang Tinggi 234

a. Keluasan Ilmu Pengetahuan 235

b. Kezuhudan

c. Kesabaran 236

d. Keberanian 236

e. Kedermawanan 237

f. Kokoh dalam Memegang Kebenaran 237

Ibadah 238

Periode Ghaibah Shughra 238

a. Masa Periode Ghaibah Shughra 238

b. Tempat Imam Mahdî as. Gaib 238

c. Para Duta Khusus 239

d. Wilayah Para Fuqaha 241

Periode Ghaibah Kubra 242

Pertanyaan dan Kritikan 242

1. Usia yang Panjang 242

2. Rahasia Usia Panjang 243

3. Mengapa Tidak Muncul? 243

4. Bagaimana Mungkin Ia Melakukan Perbaikan untuk Seluruh Dunia ini? 243

Tanda-tanda Kemunculan Imam Al-Muntazhar 244

1. Kezaliman Tersebar 244

2. Kemunculan Dajjâl 245

3. Kemunculan Sufyânî 246

4. Bendera Berwarna Hitam Berkibar 246

5. Seruan dari Langit 246

6. Al-Masih Turun dari Langit 247

Masa Kemunculan 248





2


Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.




PENGANTAR PENERBIT

Peninggalan berharga Ahlul Bait as. yang sampai sekarang tetap tersimpan rapi dalam khazanah mereka merupakan universitas lengkap yang mengajarkan berbagai cAbâng ilmu Islam. Universitas ini telah mampu mendidik jiwa-jiwa yang berpotensi untuk menguasai pengetahuan dari sumber tersebut. Mereka mempersembahkan kepada umat Islam ulama-ulama besar yang membawa risalah Ahlul Bait as., di mana mereka mampu menjawab secara ilmiah segala keraguan dan persoalan yang dikemukakan oleh berbagai mazhab dan aliran pemikiran, baik dari dalam maupun luar Islam.

Berangkat dari tugas-tugas yang diembannya, Majma' Jahani Ahlul Bait (Lembaga Internasional Ahlul Bait) berusaha membela kemuliaan risalah dan hakikatnya dari serangan tokoh-tokoh firqah (kelompok), mazhab, dan berbagai aliran yang memusuhi Islam. Dalam hal ini, kami berusaha mengikuti jejak Ahlul Bait as. dan penerus mereka yang sepanjang masa senantiasa tegar dalam menghadapi tantangan dan tetap kokoh di garis depan perlawanan.

Khazanah intelektual yang terdapat dalam buku-buku ulama Ahlul Bait as. tidak ada tandingannya. Karena buku-buku tersebut berpijak pada landasan ilmiah dan didukung oleh logika dan argumentasi yang kokoh, serta jauh dari pengaruh hawa nafsu dan fanatik buta. Karya-karya ilmiah yang dapat diterima oleh akal dan fitrah yang sehat tersebut juga mereka peruntukkan kepada para ulama dan pemikir.

Dengan berbagai pengalaman yang melimpah, Lembaga Internasional Ahlul Bait berupaya mengetengahkan metode baru kepada para pencari kebenaran melalui berbagai tulisan dan karya ilmiah yang disusun oleh para penulis kontemporer yang mengikuti dan mengamalkan ajaran mulia Ahlul Bait as. Di samping itu, Lembaga ini berupaya meneliti dan menyebarkan berbagai tulisan bermanfaat dari hasil karya ulama Syi'ah terdahulu. Tujuannya adalah agar kekayaan ilmiah ini menjadi sumber mata air bagi setiap pencari kebenaran di seluruh penjuru dunia. Perlu dicatat bahwa era kemajuan intelektual telah mencapai kematangannya dan relasi antar individu semakin terjalin demikian cepatnya. Sehingga pintu hati terbuka untuk menerima kebenaran ajaran Ahlul Bait as.

Akhirnya, kami mengharap kepada para pembaca yang mulia agar sudi kiranya menyampaikan berbagai pandangan berharga dan kritik konstruktifnya demi kemajuan Lembaga ini di masa mendatang. Kami juga mengajak kepada berbagai lembaga ilmiah, ulama, penulis, dan penerjemah untuk bekerja sama dengan kami dalam upaya menyebarluaskan ajaran dan budaya Islam yang murni.

Semoga Allah swt. berkenan menerima usaha sederhana ini dan melimpahkan taufik-Nya serta senantiasa menjaga Khalifah-Nya (Imam Al-Mahdi as.) di muka bumi ini.

Kami ucapkan banyak terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Syaikh Baqir Syarif Al-Qurasyi yang telah berupaya menulis dan menyusun buku ini. Demikian juga, kami sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada Ustadz Ahmad Marzuqi Amîn yang telah bekerja keras menerjemahkan buku ini ke dalam bahasa Indonesia. Tak lupa, kami sampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penerbitan buku ini.




Lembaga Internasional Ahlul Bait

Divisi Budaya





KATA PENGANTAR

Allah swt. telah memilih Ahlul Bait as. sebagai penjaga rahasia-Nya, gudang ilmu pengetahuan-Nya, pelita wahyu-Nya, dan petunjuk menuju jalan-Nya. Dia memelihara mereka dari kesalahan, menyucikan mereka dari segala kotoran, dan menghilangkan dari diri mereka segala bentuk kenistaan. Allah swt. berfirman: "Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan segala kenistaan darimu Ahlul Bait dan menyucikan kamu sesuci-sucinya." (QS. Al-Ahzâb [33]:33)

Al-Qur'an menekankan supaya umat manusia menaati, ber-wilâyah, dan mencintai Ahlul Bait as. Allah swt. berfirman: "Taatilah Allah dan taatilah rasul-Nya dan ulil amri [para pemimpin] dari kalangan kamu." (QS. An-Nisâ' [4]:59)

Dalam ayat yang lain, Allah berfirman: "Katakanlah [hai Muhammad], 'Aku tidak meminta upah kepadamu atas dakwahku [ini] selain kecintaan kepada keluarga[ku]." (QS. Asy-Syûrâ [42]:23)

Dan masih banyak lagi ayat-ayat lain yang mengIsya'ratkan tentang Ahlul Bait as. Lebih dari itu, Rasulullah saw. juga sangat menekankan hal ini dalam hadis-hadis yang mutawâtir. Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya kutinggalkan untukmu dua pusaka yang sangat berharga. Apabila kamu berpegang teguh pada keduanya, kamu tidak akan tersesat sepeninggalku nanti. Salah satunya adalah lebih agung dari yang lain. Yang pertama adalah kitab Allah sebagai tali yang menjulur dari langit ke bumi, dan yang kedua adalah 'Itrahku, Ahlul Baitku. Kedua pusaka ini tidak akan pernah berpisah hingga menjumpaiku di telaga surga. Maka perhatikanlah bagaimana kamu memperlakukan kedua pusaka itu sepeninggalku."

Itu semua karena mereka adalah hujah Allah atas para hamba-Nya, khalifah penutup para nabi, pembawa bendera Islam, dan gudang ilmu dan cahaya. Mereka adalah suri teladan yang baik dan figur yang benar dalam penghambaan mutlak kepada Allah swt., baik dari sisi ucapan maupun perilaku. Riwayat hidup mereka penuh berkah, sarat dengan nilai yang tinggi dan berharga, dan contoh yang luhur. Semua itu adalah sumber ilmu pengetahuan Islam dan manifestasi pengorbanan, semangat mengutamakan orang lain (îtsâr), kezuhudan, kerendahan hati, membantu fakir miskin dan kaum tertindas, dan lain sebagainya. Seluruh manifestasi akhlak dan budi perkerti yang mulia ini akan dipaparkan dalam buku ini.

Akhirnya, kami bersyukur dan menghaturkan puji kepada Allah swt. yang telah menganugerahkan taufik kepada kami sehingga kami dapat melakukan perujukan ulang kepada nas dan buku-buku referensi-referensi yang ada demi (penyempurnaan) buku tersebut. Tak lupa, kami sampaikan ribuan terima kasih kepada Yayasan Islam Penelitian dan Ilmu Pengetahuan (Al-Mu'assassah Al-Islamiyah li Al-Buhûts wa Al-Ma'lumât) yang telah bersedia menyebarkan harta peninggalan Ahlul Bait as. yang sangat berharga.

Segala puji bagi Allah swt., salawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan atas Nabi Muhammad saw. dan keluarganya yang mulia dan suci.




13 Muharram 1324 H.

Mahdi Baqir Al-Qurasyi





PROLOG

(1)




Salah satu esensi jiwa manusia adalah pengetahuan yang kuat dan mendalam terhadap keyakinan yang dimilikinya dalam menempuh kehidupan sehari-hari. Di bawah naungan keyakinan ini, ia merasa tenang menanti berbagai peristiwa mendatang yang belum ia ketahui, terutama setelah ia meninggal dunia. Dan pada waktu yang sama, ia akan berusaha memuaskan jiwanya yang haus untuk mengenal dan mengetahui jati diri Dzat yang telah menciptakannya dalam kehidupan dunia yang penuh teka-teki ini.

Perbedaan pandangan yang terjadi dalam dunia pemikiran tentang Pencipta Agung alam semesta ini telah merambak begitu jauh. Satu perbedaan pendapat yang sangat mustahil muncul secara spontanitas, spontanitas yang tak berperasaan dan tak berakal.

Sebagian orang meyakini bahwa pencipta alam semesta ini adalah matahari sebagai sumber energi dan kekuatan panas. Sebagian yang lain meyakini bahwa pencipta alam semesta ini adalah rembulan. Karena rembulan memiliki aneka ragam faedah dan keajaiban. Semua faedah dan keajaiban itu nampak ketika rembulan itu muncul membesar dan membulat sempurna, kemudian sirna dan menghilang. Sementara itu, sekelompok orang bodoh melakukan penyembahan terhadap patung dan berhala yang mereka buat dengan tangan mereka sendiri. Mereka menjadikan patung dan berhala itu sebagai tuhan yang layak disembah selain Allah swt.

Pada era jahiliah, di sekitar tembok-tembok Ka'bah yang suci terdapat sebanyak 360 buah patung. Salah satunya bernama Hubal. Patung Hubal ini adalah tuhan Abu Sufyân, ayah Mu'âwiyah dan kakek Yazîd. Patung-patung yang lain adalah milik seluruh bangsa Qurais yang hidup di dalam dan di luar Mekah.




(2)




Para nabi yang agung diutus oleh Allah swt. kepada umat manusia sebagai hujah atas mereka. Para nabi ini telah berusaha meluruskan pemikiran dan membersihkan cara pandang mereka dari berbagai kotoran, penyimpangan jahiliah, dan keyakinan-keyakinan yang menyimpang. Di samping itu, para nabi agung ini juga mengajak umat manusia meraih kemerdekaan yang sempurna demi memerdekakan kehendak, tingkah laku, dan keyakinan.

Salah satu tujuan penting dari pengutusan para nabi itu adalah mengajak umat manusia menyembah dan mengesakan Allah swt. Karena Dia-lah pencipta alam semesta dan sumber kehidupan. Mengenal dan mengetahui-Nya adalah sumber segala kebaikan dan keselamatan di muka bumi ini. Selain itu, tugas penting mereka yang lain adalah membangun sebuah masyarakat yang bebas dan bersih dari aneka ragam khurafat, sebuah fenomena yang dapat menjerumuskan umat manusia ke dalam lembah kesesatan dan kehinaan.

Salah seorang reformer yang pernah muncul di dataran Arab adalah Syaikhul Anbiyâ', Ibrahim as. Ia telah berusaha keras untuk mengangkat dan meninggikan kalimat Allah di muka bumi ini. Ia telah melakukan perlawanan terhadap para propagandis kemusyrikan dan paham ateisme (anti Tuhan) dengan gigih. Ia juga memiliki peran aktif dalam menghancurkan berhala-berhala sesembahan kaumnya. Setelah berhala-berhala itu dihancurkan, umat Nabi Ibrahim as. murka dan menyimpan rasa dendam terhadapnya. Raja Namrud, sang tagut, menjatuhkan aneka ragam sanksi dan penyiksaan yang berat atasnya. Ia menyalakan api panas yang menggunung dan melemparkan Nabi Ibrahim as. ke tengah-tengah api yang sedang mengamuk itu dengan menggunakan manjanik. Tetapi Allah menjadikan api itu dingin dan sumber keselamatan bagi Nabi Ibrahim.

Demikianlah, nabi Allah ini telah berjuang dan berusaha keras demi menyebarkan kalimat Allah di muka bumi. Tujuannya adalah agar umat manusia terlepas bebas dari jerat-jerat penyembahan selain Allah, baik dari sisi pemikiran maupun perbuatan.




(3)




Mubalig terbesar dan juru penyelamat teragung, Nabi Muhammad saw., lahir dan muncul di atas medan tauhid dan pembebasan. Ia datang membawa pancaran sinar, dan kemudian menciptakan goncangan yang meruntuhkan sendi-sendi keyakinan khurafat jahiliah yang telah mendarah daging di dalam tubuh masyarakat. Pancaran cahaya Ilahi ini bermula dari kota Mekah, kota pusat patung dan berhala. Tidak ada satu kabilah pun melainkan mempunyai patung, dan tidak ada sebuah rumah pun melainkan memiliki berhala. Mereka menyembahnya selain Allah swt. Dengan tekad yang kokoh dan semangat membaja yang tidak dapat dihalangi oleh apapun, Muhammad saw. bekerja keras menyebarkan risalah tauhid dan membentuk bangunan penghambaan kepada Allah swt. Ia telah berhasil mengubah arah perjalanan sejarah dan menyelamatkan umat manusia dari kehinaan.

Patut disebutkan di sini bahwa sebagian besar surah dan ayat Al-Qur'an diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw. di kota Mekah. Ayat dan surah-surah tersebut didominasi oleh dalil dan argumentasi yang kuat nan kokoh atas keberadaan Pencipta Yang Maha Agung. Argumentasi yang tidak mungkin dapat diingkari oleh siapa pun, betapa pun ia bodoh dan memiliki taraf pemikiran yang rendah.




(4)




Akhirnya, Nabi Muhammad saw. terpaksa melakukan hijrah dari kota Mekah ke kota Yastrib (Madinah). Allah swt. menganugerahkan kepadanya kemenangan yang nyata, dan menundukkan serta menghinakan musuh-musuhnya, termasuk para tagut bangsa Quraisy dan pembesar-pembesar Arab. Di Yatsrib, Rasulullah saw. mendirikan sebuah negara yang agung berdaulat dan memberlakukan undang-undang yang luhur dan maju untuk masyarakat. Dengan undang-undang itu, ia telah berhasil menciptakan pondasi sebuah kultur dan kebudayaan yang sangat maju. Undang-undang tersebut berhasil menjamin seluruh hak masyarakat dengan adil dan mengatasi berbagai problema kehidupan sosial. Tidak ada satu dimensi kehidupan manusia pun melainkan termaktub di dalam undang-undang yang luhur tersebut. Bahkan sangsi menggores kulit seseorang sekalipun.

Syariat Islam mencakup aneka ragam hukum yang sejalan dengan tabiat alam. Syariat ini penuh dengan kebaikan dan keberkahan, serta sejalan dengan fitrah manusia. Undang-undang ini sedikit pun tidak menyimpang dari garis jalan hidup manusia.

Sepeninggal Nabi Muhammad saw., syariat dan undang-undang tersebut diemban oleh para khalifah dan washînya untuk disampaikan kepada umat manusia. Para khalifah dan washî ini adalah para imam pemberi petunjuk dan pelita Islam.




(5)




Satu hal penting yang mendapat perhatian Rasulullah saw. secara serius pada waktunya masih hidup adalah masalah kepemimpinan umat manusia sepeninggalnya, dan penentuan figur-figur yang berhak menggantikan posisinya. Semua itu agar seluruh nilai, prinsip, dan petunjuk yang telah ia bawa dapat disebarkan kepada seluruh lapisan umat manusia. Dari sejak permulaan missi dan dakwahnya, Nabi Muhammad saw. senantiasa menyertakan iman kepada missi Ilahi dengan keyakinan terhadap khalifah sepeninggal dirinya. Para ahli sejarah sepakat bahwa di antara keluarganya yang siap memenuhi seruan tersebut hanyalah Imam Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Padahal, pada saat itu Amirul Mukminin masih berusia sangat muda. Rasulullah saw. mengangkat Amirul Mukminin as. sebagai washî dan khalifah sepeninggalnya. Rasulullah saw. senantiasa memperhatikan dan menilai keluarga dan para sahabatnya. Tetapi, ia tidak menemukan seorang pun di antara mereka yang bisa menandingi anak paman, saudara, dan ayah kedua cucunya itu, yaitu Imam Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Hal ini karena Amirul Mukminin as. memiliki keimanan yang tinggi dan tulus kepada Allah swt. Lebih dari itu, ia kokoh dalam menjalankan agama dan memiliki potensi ilmiah yang sangat tinggi. Seluruh ilmu pengetahuan itu adalah hasil ajaran Rasulullah saw. Dengan ini, pantas jika Amirul Mukminin as. menjadi cermin kebenaran Rasulullah saw. Oleh karena itu, Rasulullah saw. menetapkan Amirul Mukminin as. sebagai pemimpin umat sepeninggalannya demi menegakkan syariat, memperbaiki kondisi hidup umat, dan membimbing mereka menuju jalan yang benar.

Rasulullah saw. telah menetapkan imâmah dan kepemimpinan Amirul Mukminin Ali as. dalam berbagai peristiwa dan kesempatan. Banyak sekali hadis yang menegaskan bahwa Rasulullah saw. mengangkat Ali as. sebagaimana anak didik. Dalam beberapa hadis yang lain juga disebutkan bahwa Ali as. memiliki kedudukan di sisi Rasulullah saw. seperti kedudukan Nabi Hârûn di sisi Nabi Mûsâ; Ali selalu bersama kebenaran dan kebenaran senantiasa bersama Ali; Ali adalah pintu kota ilmu Rasulullah saw. Kemudian, Rasulullah saw. mengokohkan kepemimpinan Ali dengan mengambil baiat dari umat Islam di Ghadir Khum. Pada peristiwa ini, Rasulullah saw. betul-betiul menobatkan Ali sebagai pemimpin seluruh muslimin. Rasulullah saw. mewajibkan setiap muslim dan muslimah untuk ber-wilâyah kepada Ali. Rasulullah saw. memerintahkan setiap orang yang ikut serta dalam kafilah haji yang akan kembali ke negeri mereka masing-masing itu untuk membaiat kepemimpinan dan kekhalifahan Ali. Bahkan, Rasulullah saw. juga memerintahkan istri-istrinya sendiri untuk berbaiat kepada Ali. Hari itu adalah hari yang sangat agung dan abadi bagi dunia Islam. Oleh karena itu, hari itu dinamakan "Hari Keimanan" dan "Hari Anugerah Besar".




(6)




Apabila kita merenungkan riwayat hidup para imam suci Ahlul Bait as., kita akan menemukan nilai yang luhur dan teladan yang agung di dalamnya. Sungguh mereka adalah mata air kenabian dan pusat wahyu.

Alhamdulillah, saya merasa bangga dan besar hati. Lantaran lebih dari empat puluh tahun saya telah mengadakan kajian dan penelitian tentang hadis-hadis Ahlul Bait as. Kemudian saya telah berhasil menyebarkan riwayat hidup dan sirah mereka di tengah-tengah kehidupan umat manuisa.

Allah swt. menjadi saksiku! Tak selembar pun dari kehidupan imam suci yang kubuka untuk kutulis melainkan kudapati cahaya petunjuk dan kemuliaan di dalamnya. Semua ini adalah refleksi seluruh aspek kehidupan mereka dan pancaran cahaya Ilahi yang dapat memberi petunjuk kepada orang-orang yang sesat dan bimbingan bagi orang-orang yang diterpa kebingungan.

Sirah dan riwayat hidup para imam suci as. terjauhkan dari kegemerlapan dunia, dan terhiasi oleh konsentrasi dan penghambaan kepada Allah swt. yang mutlak. Mereka menghabiskan malam-malam mereka dengan ibadah, mendekatkan diri kepada Allah swt., dan membaca kalam Ilahi. Sementara itu, para musuh mereka melalui malam-malamnya yang gemerlap dalam pangkuan wanita jalang sembari bermabuk-mabukan dan berbuat aneka ragam kemaksiatan.

Dalam sebuah syairnya, Abu Firâs pernah membandingkan kehidupan para raja dinasti Bani Abbâsiah dengan kehidupan dan keluarga Rasulullah saw. Ia berkata,

Al-Qur'an senatiasa menghias rumah keluarga suci Nabi.

Tapi, rumahmu, hai Bani Abbâs, didendang lagu dan kecapi.

Demikianlah, para imam suci Ahlul Bait as. menjadi tonggak ketakwaan dan teladan keimanan. Sementara musuh-musuh mereka menjadi lambang kebejatan dan pelecehan atas seluruh nilai etika dan kemanusiaa.




(7)




Dari sejak kemunculannya hingga hari ini, mazhab Syi'ah Imamiah mempunyai sebuah keyakinan yang sangat kokoh. Yaitu, para pemimpin dan imam yang suci itu adalah pemelihara Islam dan washî Rasulullah saw., sebagaimana ditegaskan oleh Al-Qur'an. Keyakinan mereka ini tidak terbangun tanpa alasan atau terbentuk atas dasar fanatisme dan taklid buta. Tetapi, keyakinan ini terbentuk atas dasar dalil-dalil dan argumentasi yang kokoh. Semua dalil dan argumentasi itu termaktub dalam Al-Qur'an dan hadis-hadis nabi yang sangat gamblang, sehingga tak seorang muslim pun berhak mengabaikannya. Lantaran hadis-hadis tersebut memiliki indikasi yang jelas dan maksud yang gamblang, serta mewajibkan seluruh muslimin untuk mencintai Ahlul Bait as. Salah satu dalil tersebut adalah firman Allah swt. yang berbunyi: "Katakanlah [hai Muhammad], 'Aku tidak meminta upah apapun atas tabligku selain kecintaan kepada keluargaku.'" (QS. Asy-Syûrâ [42]:23)

Ayat ini mewajibkan umat manusia untuk ber-wilâyah dan mencintai Ahlul Bait Rasulullah saw. Salah satu bentuk kecintaan yang paling nyata adalah mengikuti ajaran-ajaran mereka yang terjelma dalam syariat Islam.




(8)




Perlu ditegaskan di sini bahwa Ahlul Bait as. tidak memiliki metode khusus yang berbeda dengan metode kakek mereka, Rasulullah saw., dalam mensyariatkan ajaran Islam. Seluruh ajaran yang mereka sampaikan, baik yang berhubungan dengan masalah ibadah, transaksi, akad maupun îqâ'ât, bersumber dari Rasulullah saw., sebuah sumber yang penuh dengan hikmah dan cahaya yang gemilang. Pelopor fiqih Islam, Imam Ja'far Ash-Shâdiq as., menegaskan tentang hal ini. Ia menekankan bahwa seluruh hukum syariat Islam, ajaran akhlak yang mulia, sopan santun Islami, dan lain sebagainya, itu semua diterima dari Rasulullah saw. melalui perantara nenek moyangnya yang mulia. Oleh karena itu, hadis-hadis mereka mencerminkan mutiara Islam, berikut hakikatnya yang turun dari Allah swt. Dengan statemen ini, kami sama sekali tidak bermaksud menikam mazhab-mazhab Islam yang lain. Yang jelas, mazhab-mazhab ini juga memiliki jalur-jalur ilmiah yang dapat dijadikan sebagai sumber legitimasinya.




(9)




Seluruh ajaran Islam yang ditinggalkan oleh para imam Ahlul Bait as. yang suci telah dibangun atas dasar kebenaran yang murni dan keadilan yang suci. Karena itu, tidak terdapat kesalahan dan kekaburan di dalamnya.

Salah satu prinsip yang digunakan sebagai sandaran oleh para fuqaha Syi'ah adalah prinsip raf' Al-'usr wa Al-haraj. Prinsip ini menegaskan bahwa kesulitan (al-'usr wa Al-haraj) dapat menjadi legitimasi pembatalan sebuah hukum. Dalil-dalil prinsip ini dapat dimenangkan atas dalil-dalil primer (Al-Adillah Al-Awwaliyah), apabila pelaksanaan dalil-dalil primer tersebut menimbulkan kesulitan. Prinsip yang lain adalah prinsip raf' adh-dharar. Prinsip ini menegaskan bahwa kemudaratan (dharar) dapat menjadi legitimasi pembatalan sebuah hukum. Dan dalil-dalil prinsip ini juga dimenangkan atas dalil-dalil primer, apabila pelaksanaan dalil-dalil primer ini menimbulkan kemudaratan. Dari uraian ini dapat dipahami bahwa mazhab Ahlul Bait as-pada seluruh aspek syariatnya-sesuai dengan tabiat alam dan sejalan dengan perkembangan masa. Lebih dari itu, mazhab ini juga senapas dengan kemajuan yang dicita-citakan oleh umat manusia dalam meniti sebuah peradAbân.




(10)




Banyak sahabat Rasulullah saw. yang setia mengikuti mazhab Ahlul Bait as., seperti Ammar bin Yâsir, Salman Al-Farisi, Abu Dzar Al-Ghifari, dan mayoritas suku Aus dan Khazraj. Mereka membela dan menegakkan Islam dengan penuh kesungguhan dan keseriusan. Karena mereka meyakini bahwa Nabi Muhammad saw. telah menobatkan 'Itrah sebagai bahtera penyelamat, mandataris Al-Qur'an, dan pintu Hiththah (pengampunan). Lebih dari itu, penghulu mereka, Imam Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as., senantiasa bersama kebenaran dan kebenaran juga senantiasa bersama beliau; kedudukannya di sisi Nabi Muhammad saw. seperti kedudukan Nabi Hârûn as. di sisi Nabi Mûsâ as. Dengan demikian, mazhab Ahlul Bait as. dikenal sebagai mazhab yang benar.

Al-Kumait, seorang penyair muslim, berkata,

Tiada bagiku selain Syi'ah keluarga Ahmad yang kuikuti,

dan tiada pula selain mazhab hak yang kutaati.




(11)




Seandainya politik jahat Mu'âwiyah dan Bani Abbâsiyah tidak pernah menguasai dunia Islam, niscaya mazhab Ahlul Bait as. diikuti oleh mayoritas muslimin. Karena mazhab ini adalah satu-satunya mazhab yang bersambung langsung dan bersumber dari Rasulullah saw. Tetapi, para khalifah dinasti Bani Umayyah dan Bani Abbâsiyah senantiasa memusuhi mazhab Ahlul Bait as. dengan tujuan untuk memusnahkannya. Karena menurut hemat mereka, Ahlul Bait yang suci as. itu adalah bahaya serius yang selalu mengancam kekuasaan dan pemerintahan yang ditegakkan atas dasar kezaliman dan kediktatoran itu. Oleh karena itu, para khalifah zalim itu mencurahkan seluruh perhatian dan sarana politik dan ekonominya untuk melawan Ahlul Bait as. dan pengikut setia mereka. Melihat realita ini, para imam Syi'ah terpaksa menekankan kepada para pengikutnya untuk melakukan taqiyah dan menyembunyikan mazhab mereka, karena takut pada ancaman dan permusuhan para khalifah yang senanitasa mengintai dan mengancam keselamatan mereka. Tidak sampai di sini saja. Para khalifah itu juga melecehkan hak-hak wajar mereka dan tidak menerima kesaksian mereka di mahkamah syar'î.




(12)




Pada masa kekuasaan dinasti Bani Umayyah dan Bani Abbâsiyah, para pengikut mazhab Syi'ah mengalami penyiksaan dan penganiayaan yang sangat berat. Sebagian dari mereka ada yang dipotong tangannya, sebagian yang lain dicongkel matanya, dan ada juga yang dibunuh hanya atas dasar dugaan dan tuduhan belaka.

Syaikh Thusi berkata: "Tidak ada satu golongan pun dari kaum muslimin yang mengalami tekanan, ancaman, dan siksaan seperti yang dialami oleh pengikut Ahlul Bait as. Hal itu tiada lain karena keyakinan mereka terhadap konsep imâmah dengan ketentuan bahwa seorang imam harus memiliki karakteristik mulia. Dan karakteristik ini sama sekali tidak dimiliki oleh para khalifah dan raja mereka yang telah berkuasa atas kaum muslimin dengan kekuatan pedang, bukan dengan semangat keadilan. Oleh karena itu, kaum muslimin menganggap para khalifah dan raja tersebut sebagai pencuri dan perampok. Dengan demikian, kaum muslimin mengadakan perlawanan bersenjata untuk menggulingan takhta kerajaan mereka. Syi'ah layak berbangga diri, karena mazhab ini telah dibangun di atas pondasi keadilan politik dan sosial. Ajaran Syi'ah menuntut supaya harta kekayaan negara dibagi-bagikan kepada kaum muslimin secara adil, bukan berdasarkan kehendak dan nafsu para penguasa. Atas dasar ini, para khalifah dinasti Bani Umayyah dan Bani Abbâsiyah memberantas kebangkitan para pengikut Ahlul Bait as. dengan segenap sarana dan prasarana yang mereka miliki untuk menekan, menyiksa, dan mengancam mereka dengan kekekerasan."




(13)




Mazhab Syi'ah senantiasa mendapat berbagai macam tuduhan dan fitnah murahan yang tidak berdasar sama sekali. Hal ini membuktikan betapa para penuduh itu sangat berpikiran dangkal. Salah satu tuduhan dan fitnah itu adalah, bahwa Syi'ah melakukan sujud kepada patung berupa Turbah Husainiyah atau tanah Karbala. Tuduhan ini telah kami jawab secara tematis dan mendetail dalam buku kami yang berjudul Sujud Di Atas Turbah Husainiyah Dalam Ajaran Syi'ah. Buku ini telah dicetak ulang beberapa kali, bahkan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan bahasa-bahasa dunia yang lain. Dalam buku ini kami jelaskan bahwa Syi'ah meyakini Turbah Husainiyah itu sebagai tanah yang suci, dan sujud di atasnya pada saat mengerjakan salat karena semata tetesan darah seorang putra Islam termulia dan cucu Rasulullah saw., Imam Husain as., yang telah gugur sebagai syahid di situ. Lebih dari itu, menurut beberapa riwayat, malaikat Jibril as. mengambil segenggam tanah dari sebuah lembah yang suci dan mulia. Lalu ia memberikannya kepada Rasulullah saw. sembari memberitahukan bahwa Imam Husain as. akan meneguk cawan syahadah di tempat itu. Mendengar berita ini, Rasulullah saw. menerima segenggam tanah pemberian Jibril as. itu seraya mencium dan mengecupnya. Dengan uraian ini, para pengikut Syi'ah Imamiah bersujud kepada Allah Yang Maha Kuasa di atas tanah yang pernah dicium oleh Rasulullah saw. Dan masih banyak lagi fitnah murahan lainnya yang dituduhkan kepada mazhab Syi'ah. Tuduhan-tuduhan semacam ini hanya dilontarkan oleh orang-orang yang tidak mempunyai dasar agama dan keislaman yang kokoh.




(14)




Kami telah menyusun riwayat hidup para imam suci Ahlul Bait as. dalam buku ini secara ringkas. Kami akui dengan terus terang, ini semua adalah sebuah usaha dakwah dan ajakan untuk tunduk kepada kebenaran dan realita sejarah. Melalui buku ringkas ini, kami berusaha mengajak seluruh umat manusia untuk mencintai dan mengikuti Ahlul Bait as. Seluruh kandungan buku ini bertujuan untuk menghimpun dan mempersatukan umat, bukan untuk memecah belah barisan mereka. Kami sedikit pun tidak bermaksud untuk menipu, apalagi menyesatkan. Kami telah merangkum seluruh isi buku ini dari ilham-ilham Al-Qur'an sebagai sumber utama dan dari hadis-hadis Rasulullah saw. sebagai tonggak dakwah. Kami telah berusaha semaksimal mungkin untuk membersihkannya dari setiap dorongan hawa nafsu dan perasaan subyektif. Karena hal ini dapat merusak hakikat dan realita, serta menyembunyikan fakta sejarah.




(15)




Kami memiliki pengalaman dan aneka ragam riset dan penemuan dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Berdasarkan pengalaman ini, kami tegaskan dengan jujur, tak seorang pun dapat menguak penemuan atau menggapai kemajuan yang telah dicapai oleh mazhab Syi'ah, baik dalam bidang hukum maupun politik. Alasannya, seorang pemimpin dan imam suatu umat harus memiliki kesempurnaan dan karakteristik mulia, serta sepenuhnya menguasai hukum dan prinsip-prinsip kepemimpinan. Lebih dari itu, secara kontinyu, serius, dan sungguh-sungguh, ia juga harus berusaha memajukan umatnya dalam segala bidang dan aspek kehidupan, baik ekonomi maupun pendidikan, serta menebarkan keamanan dan ketentraman di seluruh penjuru negeri. Dan jelas, seluruh persyaratan dan karakteristik ini tidak mungkin terpenuhi melainkan dalam diri para imam Ahlul Bait as. Hal ini lantaran mereka adalah pelita petunjuk yang tersucikan dari noda-noda kecintaan kepada materi dan tulus memegang tongkat estafet kebenaran. Contoh gamblangnya adalah kehidupan dunia Islam pada masa kekhalifahan Imam Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. sebagai pemimpin tertinggi umat Islam kala itu.

Imam Ali bin Abi Thalib as. mendeklarasikan persamaan hak terhadap seluruh penduduk, baik mereka yang muslim maupun yang non-muslim. Ia membagi-bagikan harta Baitul Mal kepada mereka secara sama rata dan adil. Ia tidak pernah memberikan bagian lebih kepada keluarga dekatnya atau mengutamakan mereka atas orang lain. Peristiwa yang pernah terjadi pada saudaranya, Aqil dan pada kemenakan sekaligus menantu Aqil, Abdullah bin Ja'far, adalah sebuah contoh yang sangat nyata. Kedua orang ini adalah kerabat dekat Amirul Mukminin Ali as. Tapi, kekerabatan ini tidak mempengaruhi Amirul Mukminin as. untuk memberikan bagian lebih kepada mereka. Bahkan, ia sendiri sangat ketat dalam menggunakan harta Baitul Mal, sekalipun untuk keperluannya sendiri. Oleh karena itu, ia sangat berhati-hati dalam mengawasi dan mengurusi harta amanat tersebut.

Imam Ali as. telah mengajarkan aspek hukum ajaran Islam dalam bobot yang tinggi. Hal itunya tuangkan dalam surat-surat instruksi dan perjanjian yang dikirimkan kepada para gubernurnya. Dalam surat-surat tersebut, ia menorehkan aneka ragam ajaran dan prinsip. Ajaran dan prinsip yang dapat meninggikan harga diri umat Islam dan menjayakan mereka dalam seluruh aspek kehidupan, baik dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya. Surat-surat instruksi dan perjanjian ini harus dikaji dan dipelajari secara serius, dan dijadikan sebagai bagian dari ajaran mazhab Ahlul Bait as. Karena menurut pandangan mazhab Syi'ah, hal ini adalah tanggung jawab bagi setiap pemimpin umat.




(16)




Sebelum mengakhiri pengantar ini, kami ingin menyampaikan satu hal kepada pembaca budiman. Sebenarnya kami menulis pengantar ini untuk sebuah kajian tentang mazhab Ahlul Bait as. Dalam kajian ini, kami uraikan prinsip-prinsip pendidikan, etika, undang-undang, dan nilai-nilai luhur yang datang dari Ahlul Bait as. Tidak lupa juga kami mengadakan studi kritis atas tulisan-tulisan Ibn Khaldun, Ahmad Amîn Al-Mishrî, dan beberapa penulis yang lain. Mereka menulis tentang riwayat hidup para imam suci Ahlul Bait as. dan Syi'ah secara tidak jujur dan tanpa kajian yang mendalam. Mereka menulis semua itu atas dasar semangat fanatisme dan taklid buta. Hasilnya, mereka hanya melemparkan fitnah dan tuduhan murahan yang tidak memiliki realita terhadap Syi'ah.

Setelah memasuki pembahasan asli, kami menjadikan riwayat hidup Ahlul Bait as. sebagai satu kajian khusus. Tapi, setelah itu kami mengambil sebuah inisiatif, alangkah baiknya kalau kami menulis sebuah buku khusus tentang riwayat hidup mereka. Akhirnya, terwujudlah buku ini, dan kami memberinya judul Nafahât min Sîrah A'immah Ahlil Bait as. (Semerbak Wangi Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.). Dalam pengantar ini, pembaca yang budiman dapat melihat sebuah kajian ringkas tentang mazhab Ahlul Bait as. (secara global).

Sebagai penutup, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada yang mulia, Sayid Abdullah dan Sayid Hâsyim Al-Mûsâw.i yang telah banyak membantu kami menyusun dan menerbitkan buku ini. Semoga Allah swt. senantiasa menambah pahala dan membalas jerih payah mereka berdua. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.




Najaf Asyraf, 28 Rabî'ul Akhir 1421 H.

Baqir Syarif Al-Qurasyi





PARA IMAM SUCI AHLUL BAIT

Kini kita berada di haribaan Ahlul Bait as. Mereka adalah pelopor islah (perbaikan) dan keadilan sosial, dan pelita benderang menuju kesadaran dan perombakan ideologi di dunia Arab dan Islam. Mereka telah berhasil membangun pondasi kebebasan berpikir, berkehendak, dan berperilaku bagi umat manusia secara sempurna. Dengan itu, para imam Ahlul Bait as. telah berhasil menyelamatkan mereka dari penghambaan kepada selain Allah menuju penghambaan kepada Allah swt. secara murni.

Para Imam suci Ahlul Bait as. adalah kepanjangan tangan kenabian dan cahaya cemerlang yang memancar darinya. Mereka berasal dari sebuah pohon yang penuh berkah. Akar-akar pohon ini menghujam kokoh ke dalam tanah dan ranting-rantingnya menjulang tinggi ke langit. Pohon yang penuh berkah ini senantiasa menghasilkan buah pada setiap masa dengan izin Tuhannya.

Para imam Ahlul Bait as. adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan Rasulullah saw., seorang figur yang telah berhasil mengentas umat manusia dari kehidupan yang hina menuju kehidupan yang penuh dengan cahaya dan kesadaran. Marilah kita mulai pembahasan ini dengan memaparkan riwayat hidup penghulu para imam Ahlul Bait as., Imam Ali bin Abi Thalib as.




Catatan Kaki:

1. Sebuah kuburan ditemukan di sebuah daerah yang terletak di dekat 'Ain At-Tamr, Irak. Di tembok yang mengelilingi kuburan tersebut terpampang lukisan matahari, bulan, dan sebagian planet yang lain. hal. ini mengindikasikan adanya penyembahan terhadap benda-benda tersebut.

2. Silakan Anda rujuk surah Al-Anbiyâ', ayat 51-67.

1. Allah telah mengganti unsur api yang panas dan bersifat membakar itu menjadi dingin. Ini adalah sebuah penafsiran atas hakikat mukjizat yang Allah anugerahkan kepada para nabi-Nya.

1. Muqadimah Ibn Khaldûn, hal. 196-202.





3


Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.




IMAM ALI BIN ABI THALIB

Imam Ali bin Abi Thalib as. adalah seorang figur dan pribadi agung di kalangan umat manusia. Ia dikenal dengan kedermawanan, kecerdasan, keadilan, kezuhudan, dan jihad. Dalam dunia Islam, tak seorang dari sahabat Rasulullah saw. yang dapat menandingi sebagian karakteristiknya ini, apalagi seluruh karakteristik tersebut. Karakteristik dan sikap-sikapnya mengungguli seluruh bangsa dunia, baik dari kalangan muslimin maupun selain muslimin. Mereka seluruhnya sepakat bahwa di sepanjang sejarah dunia Arab maupun non-Arab, tak ada seorang pun yang dapat menandinginya kecuali saudara dan putra pamannya, Nabi Muhammad saw.

Berikut ini akan kami paparkan sebagian dimensi kehidupan dan karakteristik Imam Ali bin Abi Thalib as. secara ringkas.




Putra Ka'bah

Sejarawan sepakat bahwa Imam Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. lahir di dalam Ka'bah yang suci. Tak seorang pun di dunia ini yang lahir di dalam Ka'bah. Hal ini adalah pertanda keagungan dan ketinggian kedudukannya di sisi Allah swt. Sehubungan dengan itu, Abdul Bâqî Al-'Amrî, seorang penyair berkata,

Engkaulah sang agung dijunjung tinggi,

lebih agung darimu di kota Mekah tiada lagi,

engkau dilahirkan di Baitullah yang suci.

Saudara Rasulullah saw. dan pintu kota ilmunya ini lahir di dalam rumah Allah yang paling suci. Tujuannya, supaya Imam Ali as. dapat menerangi jalan penduduk sekitarnya, menegakkan bendera tauhid, dan menyucikan Baitullah itu dari setiap berhala dan patung. Pengayom orang-orang asing, saudara orang-orang fakir, dan tempat berlindung orang-orang yang ditimpa kesusahan ini lahir di dalam rumah yang agung dan suci. Tujuannya, supaya ia dapat menebarkan keamanan, ketentraman, dan kebahagiaan dalam kehidupan mereka, serta memusnahkan kemiskinan dari dunia mereka. Ayahnya, sang mukmin Quraisy dan singa padang pasir, menamainya Ali. Sebuah nama yang paling bagus dan indah. Sebuah nama yang tinggi dalam kedermawanan dan kejeniusan, dan tinggi pula dalam kekuatan dan potensi cemerlang di bidang ilmu pengetahuan, adab, dan keutamaan yang dianugerahkan Allah kepadanya. Penegak keadilan Islam ini dilahirkan pada hari Jumat, 13 bulan Rajab 30 tahun setelah tahun Gajah dan 12 tahun sebelum pengangkatan Rasulullah saw. menadi nabi.




Gelar Imam Ali bin Abi Thalib

Imam Ali bin Abi Thalib as. memiliki banyak gelar. Semua itu merefleksikan ketinggian karakteristiknya. Di antara gelar-gelar itu adalah berikut ini:




1. Ash-Shiddîq (Orang yang Jujur)




Imam Ali bin Abi Thalib as. memiliki delar Ash-Shiddîq (orang yang jujur), karenanya adalah orang pertama yang membenarkan Rasulullah saw. dan yang beriman kepada seluruh ajaran yang dibawanya dari sisi Allah swt.

Imam Ali as. pernah berkata: "Aku adalah Ash-Shiddîq Al-Akbar (orang jujur yang teragung). Aku telah beriman sebelum Abu Bakar beriman dan aku masuk Islam sebelum ia masuk Islam."




2. Al-Washî (Penerima Wasiat)




Imam Ali as. juga memiliki gelar Al-Washî (penerima wasiat), karenanya adalah washî Rasulullah saw. Gelar ini diberikan langsung oleh Rasulullah saw. kepadanya. Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya washî-ku, tempat rahasiaku, orang yang terbaik dan terutama yang kutinggalkan setelahku, pelaksana janjiku, dan yang melunasi utang-utangku adalah Ali bin Abi Thalib as."




3. Al-Fârûq (Pembeda Hak dan Batil)




Imam Ali as. diberi gelar Al-Faruq, karena beliaulah pembeda antara yang hak dan yang batil. Gelar ini disimpulkan dari beberapa hadis Rasulullah saw. yang menekankan masalah ini.

Abu Dzar dan Salman Al-Farisi meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw. menggandeng tangan Ali seraya bersabda: "Sesunguhnya orang ini-yaitu Ali bin Abi Thalib-adalah orang pertama yang beriman kepadaku. Ia adalah orang pertama yang akan bersalaman denganku di Hari Kiamat nanti. Ia adalah Ash-Shiddîq Al-Akbar, dan ia adalah Al-Faruq umat ini yang membedakan antara yang hak dan yang batil."




4. Ya'sûbuddin (Tonggak Agama)




Secara etimologis, Al-ya'sûb berarti pemimpin lebah. Kemudian nama ini diberikan kepada seseorang yang menjadi pemimpin sebuah kaum. Ya'sûb adalah sebuah gelar yang diberikan oleh Rasulullah saw. kepada Imam Ali bin Abi Thalib as. Rasulullah saw. pernah bersabda: "Orang ini-sembari menunjuk Ali bin Abi Thalib-adalah tonggak dan pemimpin (ya'sûb) orang-orang yang beriman, sedang harta adalah tonggak dan pemimpin orang-orang yang zalim."




5. Amirul Mukminin (Pemimpin Orang-Orang Beriman)




Salah satu gelar Ali bin Abi Thalib as. yang terkenal adalah Amirul Mukminin. Gelar ini diberikan oleh Rasulullah saw. kepadanya.

Abu Nu'aim meriwayatkan sebuah hadis dari Anas bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Hai Anas, tuangkanlah air wudu untukku." Setelah berwudu, Rasulullah saw. mengerjakan salat dua rakaat. Setelah usai salat, ia bersabda: "Hai Anas, orang yang pertama kali masuk menjumpaimu melalui pintu ini adalah Amirul Mukminin, Sayidul Muslimin, pemimpin orang-orang yang putih bercahaya, dan penutup para washî."

Anas berkata: "Aku memanjatkan doa, 'Ya Allah, pilihlah ia dari salah seorang kaum Anshar.' Aku menyembunyikan keinginanku itu. Tidak lama berselang, datanglah Ali bin Abi Thalib as. Rasulullah saw. bertanya, 'Siapakah orang itu, hai Anas?' 'Ali bin Abi Thalib, ya Rasulullah', jawabku pendek. Mendengar jawAbânku itu, Rasulullah saw. segera bangkit untuk menyambut dan memeluk Ali bin Abi Thalib. Lantasnya mengusap seluruh keringat yang mengalir di wajahnya dan juga mengusap seluruh keringat yang mengucur di wajah Ali bin Abi Thalib. Ali as. bertanya (terheran-heran), 'Hai Rasulullah, kali ini aku melihat Anda melakukan suatu perbuatan terhadapku yang belum pernah kulihat sebelumnya?' Rasulullah saw. Menjawab, 'Apakah yang menghalangiku untuk melakukan itu? Engkau adalah orang yang akan memenuhi seluruh amanatku, menyampaikan seruanku kepada masyarakat, dan menjelaskan segala pertikaian yang mereka lakukan sepeninggalku.'"




6. Hujjatullah (Hujah Allah)




Salah satu gelar agung Ali bin Abi Thalib as. yang lain adalah Hujatullah (hujah Allah). Ia adalah hujah Allah swt. untuk seluruh umat manusia yang bertugas memberi petunjuk mereka ke jalan yang lurus. Gelar ini pun juga diberikan langsung oleh Rasulullah saw. kepadanya. Rasulullah bersabda: "Aku dan Ali adalah hujah Allah swt. untuk seluruh hamba-Nya."

Itu adalah sebagian gelar mulia yang dimiliki oleh Imam Ali bin Abi Thalib as. Kami telah menyebutkan enam gelarnya yang lain dalam kitab kami yang berjudul Mawsû'ah Al-Imam Amiril Mukminin (Ensiklopedia Imam Ali bin Abi Thalib as.), jilid 1. Dalam buku ini, kami juga memaparkan julukan dan karakteristiknya secara mendetail.




Perkembangan Hidup Imam Ali bin Abi Thalib

Pada masa kanak-kanak, Imam Ali bin Abi Thalib as. diasuh oleh ayahnya, Abu Thalib, sang singa padang pasir dan mukmin Quraisy itu. Sang ayah adalah seorang figur dalam setiap kemuliaan, keutamaan, dan keagungan. Di samping itu, Imam Ali as. juga mengenyam pendidikan dari Ibunda tercinta, Fathimah binti Asad. Pada masa hidupnya, Fathimah binti Asad adalah teladan kaum wanita dalam kehormatan, kesucian, dan keluhuran budi pekerti. Sang ibunda telah mendidik anaknya dengan akhlak yang mulia, adat istiadat yang terpuji, dan tata krama yang luhur.




a. Di Bawah Asuhan Rasulullah saw.

Nabi Muhammad saw. mengasuh Imam Ali as. darinya masih kanak-kanak. Ketika Abu Thalib, paman Rasulullah saw., tengah mengalami kesulitan ekonomi, Rasulullah pergi menjumpai dua pamannya yang lain, Hamzah dan Abbâs. Rasulullah saw. menjelaskan kondisi ekonomi Abu Thalib kepada kedua paman itu. Ia meminta agar mereka dapat membantu menanggung beban hidup yang sedang diderita oleh Abu Thalib. Kedua paman memenuhi permintaan Rasulullah. Abbâs mengambil Thalib dan Hamzah mengambil Ja'far. Sedangkan Rasulullah saw. sendiri mengambil Ali untuk diasuh. Sejak saat itu, Ali berada di bawah asuhan dan kasih sayang Rasulullah saw. Rasulullah saw. menanamkan dasar-dasar keyakinan, nilai-nilai yang luhur, dan suri teladan yang terpuji dalam jiwa Ali as. Dengan demikian, Ali as. telah mengenal Islam dengan baik dan beriman kepadanya dari sejak usia muda.

Ali as. adalah orang yang paling dekat dengan Rasulullah saw. Karena itu, ia memiliki akhlak yang dimiliki oleh Rasulullah saw. dan paling mengerti tentang risalah yang ia emban. Ali as. pernah menceritakan bagaimana Rasulullah merawat dirinya dan betapa dekat hubungannya dengannya. Ali as. berkata: "Sesungguhnya kamu telah mengetahui kedudukanku di sisi Rasululah. Aku memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat dan kedudukan yang istimewa di sisinya. Ia meletakkanku di pangkuannya ketika aku masih kecil. Ia mendekapku ke dadanya, menidurkanku di tempat tidurnya, menempelkanku ke badannya, dan mencium keningku. Ia mengunyah makanan untukku kemudian menyuapkannya ke mulutku. Aku sama sekali tidak pernah mendapati ia berdusta dan melakukan kesalahan dalam tingkah lakunya. Aku senantiasa mengikutinya seperti seekor anak unta mengikuti induknya. Setiap hari, ia menunjukkan kepadaku akhlak-akhlaknya yang mulia dan menyuruhku untuk mengikutinya."

Betapa erat hubungan Rasulullah saw. dengan Imam Ali as. Nabi Muhammad saw. telah mengasuh Imam Ali as. dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, dan dengan pendidikan yang luhur.




b. Pembelaan Imam Ali Terhadap Rasulullah saw.

Ketika Rasulullah saw. menciptakan sebuah revolusi spektakuler yang memporak-porandakan dan menghancurkan kultur dan adat istiadat jahiliah, bangsa Quraisy bangkit untuk menentangnya. Mereka berusaha untuk memadamkan revolusi ini dengan berbagai sarana dan prasarana yang mereka miliki. Bahkan, mereka pun menggerakkan anak-anak kecil untuk melempari Rasulullah saw. dengan batu. Ketika itu, Imam Ali as-yang masih kanak-kanak-berada di sisi Rasulullah saw. Ia berusaha menjaga Rasulullah dari serangan mereka sembari menghalau mereka dengan pukulan dan tangkisan. Begitu anak-anak kecil itu melihat Imam Ali berada di sisi Rasulullah sedang membelanya, mereka kabur menjumpai ayah mereka dengan perasaan takut dan malu.




c. Ali, Pemeluk Islam Pertama

Para sejarawan dan perawi hadis sepakat bahwa Imam Ali as. adalah orang pertama yang beriman kepada Rasulullah saw. dan memenuhi panggilannya dengan suara lantang. Ali as. mendeklarasikan kepada masyarakat bahwa ia adalah orang pertama yang menyembah Allah swt. kala itu. Ia berkata: "Sungguh aku menyembah Allah swt. sebelum seorang pun dari umat ini menyembah Allah."

Para sejarawan dan perawi hadis juga sepakat bahwa Imam Ali sama sekali tidak pernah disentuh oleh kotoran jahiliah. Ia juga sama sekali tidak pernah sujud kepada berhala, sedangkan selainnya pernah sujud kepada berhala.

Al-Muqrizî berkata: "Ali bin Abi Thalib Al-Hâsyimî sama sekali tidak pernah menyekutukan Allah swt. Hal itu karena Allah swt. menghendaki kebaikan atasnya. Karena itu, Dia menentukan supaya Ali diasuh oleh putra pamannya, junjungan para nabi, Rasulullah saw."

Perlu ditegaskan di sini bahwa Ummul Mukminin Sayidah Khadijah memeluk Islam bersamaan dengan Imam Ali bin Abi Thalib as. menganut Islam. Ali as. bercerita tentang keimanan dirinya dan keimanan Khadijah kepada Islam seraya berkata, "Ketika itu, tidak ada satu rumah pun yang menghimpun penghuninya untuk memeluk Islam selain Rasulullah dan Khadijah, dan aku adalah orang yang ketiga."

Ibn Ishâq berkata: "Ali as. adalah orang pertama yang beriman kepada Allah swt. dan kepada Muhammad Rasulullah saw."

Ketika memeluk agama Islam, Ali as. masih berusia tujuh tahun. Menurut sebagian pendapat, ia sudah berusia sembilan tahun.

Dengan uraian ini jelas bahwa Imam Ali as. adalah orang pertama yang memeluk Islam, dan hal ini disepakati oleh kaum muslimin. Ini adalah sebuah kemuliaan dan kebanggaan tersendiri baginya.




d. Kecintaan Ali as. kepada Nabi Muhammad saw.

Imam Ali bin Abi Thalib as. sangat mencintai Rasulullah saw. Seseorang pernah bertanya kepada Ali as. tentang sejauh mana kecintaannya kepada Rasulullah saw. Ali as. menjawab: "Demi Allah, Rasulullah saw. adalah orang yang lebih kami cintai daripada harta, anak, dan ibu kami. Bahkan, daripada air yang sejuk kami miliki ketika kehausan."

Salah satu manifestasi kecintaan Imam Ali as. kepada Nabi Muhammad saw. adalah peristiwa berikit ini:

Pada suatu hari, Imam Ali as. memasuki sebuah kebun kurma. Pemilik kebun kurma berkata kepadanya: "Maukah kamu menyirami pohon-pohon kurma ini, dan untuk setiap satu ember air, kamu akan mendapatkan upah satu biji kurma?" Imam Ali as. bergegas menyirami pohon-pohon kurma itu. Pemilik pohon kurma memberikan upahnya, dan upah itu terkumpul sebanyak segenggam kurma. Lantas, Imam Ali as. bergegas menghadap Rasulullah saw. dan memberikan segenggam kurma itu kepadanya.

Bukti kecintaan Imam Ali as. kepada Rasulullah saw. yang lain adalah Imam Ali as. senantiasa berkhidmat dan berusaha untuk memenuhi seluruh hajat Rasulullah saw. Kami telah memaparkan sebagian bukti ini dalam buku kami yang berjudul Mawsû'ah Al-Imam Amiril Mukminin (Ensklopedia Imam Amirul Mukminin as.).




e. Yawm Ad-Dâr (Hari Pembelaan)

Imam Ali as. senantiasa mengikuti Rasulullah saw. hingga ia dewasa. Pada suatu hari, Rasulullah saw. mendeklarasikan dakwah Islam dan mendapat perintah dari Allah swt. untuk memyampaikan risalah Ilahi kepada sanak keluarganya. Rasulullah saw. memanggil Ali as. dan menyuruhnya untuk mengundang mereka. Di antara para undangan itu terdapat paman-pamannya. Yaitu Abu Thalib, Hamzah, Abbâs, dan Abu Lahab. Ketika mereka telah hadir dan berkumpul, Ali as. menyajikan hidangan. Para undangan menikmati hidangan, dan hidangan itu tak sedikit pun berkurang. Setelah usai menikmati hidangan, Rasulullah saw. bangkit dan mengajak mereka untuk memeluk agama Islam dan meninggalkan penyembahan berhala. Ucapan Rasulullah diputus oleh Abu Lahab. Ia berkata kepada hadirin: "Sesungguhnya kamu semua telah disihir oleh Muhammad."

Pertemuan ini berakhir tanpa membuahkan suatu hasil apapun. Pada hari berikutnya, Rasulullah saw. mengadakan pertemuan untuk yang kedua kalinya. Ketika para undangan telah hadir dan berkumpul, mereka menikmati hidangan yang disuguhkan. Setelah usai menikmati hidangan itu, Rasulullah saw. berdiri untuk menyampaikan pidato. Ia berkata: "Hai Bani Abdul Muthalib, demi Allah, sungguh aku belum pernah mengenal seorang pemuda Arab yang datang kepada kaumnya dengan membawa missi yang lebih baik daripada missi yang telah kubawa untuk kamu semua. Aku datang membawa kebaikan dunia dan akhirat untukmu. Allah swt. telah memerintahkan kepadaku untuk mengajakmu menggapai kebaikan itu. Siapakah di antara kamu yang siap membantuku atas urusan ini dan ia akan menjadi saudara, washî, dan khalifahku untuk kamu semua?"

Para hadirin diam seribu bahasa seolah-olah di atas kepala mereka terdapat seekor burung. Imam Ali as. bergegas memberikan jawAbân, sekalipun usianya pada saat itu masih sangat muda. Ia berkata dengan penuh semangat: "Aku, wahai nabi Allah. Aku siap menjadi pembelamu."

Lantas Rasulullah saw. memegang pundak Ali seraya berkata kepada hadirin: "Sesungguhnya orang ini adalah saudara, washî, dan khalifahku untuk kamu semua. Karena itu, dengarkan dan taatilah segala perintahnya."

Mendengar ucapan itu, seluruh hadirin serentak berteriak sembari mengejek Abu Thalib seraya berkata: "Muhammad telah menyuruhmu untuk mendengar dan menaati anakmu."

Para perawi hadis sepakat atas kesahihan peristiwa ini. Peristiwa ini adalah dalil yang gamblang atas kepemimpinan (imâmah) Imam Ali bin Abi Thalib as. Hadis Rasulullah saw. dalam peristiwa ini menegaskan bahwa Imam Ali as. adalah wazir dan pembantu, washî dan khalifah Rasulullah saw. Kami telah memaparkan penjelasan hadis ini secara mendetail dalam buku kami yang berjudul Mawsû'ah Al-Imam Amiril Mukminin (Ensklopedia Imam Amirul Mukminin as.), jilid 1.




f. Di Syi'ib (Lembah) Abu Thalib

Bangsa Quraisy yang kafir sepakat untuk memboikot Nabi Muhammad saw. di Syi'ib Abu Thalib. Mereka memaksanya untuk tinggal di sana agar tidak dapat melakukan interaksi dengan masyarakat. Tujuannya, agarnya tidak memiliki kesempatan untuk merubah keyakinan dan membersihkan otak masyarakat Arab dari kotoran jahiliah. Untuk melancarkan permusuhan terhadap Bani Hâsyim, bangsa Quraisy telah mengambil beberapa keputusan berikut ini:




a. Tidak menikahkan anak-anak perempuan mereka dengan laki-laki yang berasal dari kalangan Bani Hâsyim.

b. Orang laki-laki dari kalangan mereka tidak boleh menikah dengan wanita yang berasal dari kalangan Bani Hâsyim.

c. Mereka tidak boleh melakukan transaksi jual beli dengan Bani Hâsyim.




Bangsa Quraisy menggantungkan surat keputusan tersebut di tembok Ka'bah.




Rasulullah saw. terpaksa tinggal di Syi'ib Abu Thalib dengan disertai orang-orang mukmin dari kalangan Bani Hâsyim, termasuk di antaranya adalah Imam Ali as. Mereka mengalami berbagai tekanan dan siksaan di Syi'ib tersebut. Ummul Mukminin Khadijah senantiasa memberikan bantuan yang mereka butuhkan, hingga harta kekayaannya yang melimpah habis. Rasulullah saw. tinggal di Syi'ib Abu Thalib bersama para pengikut setianya selama dua tahun lebih. Akhirnya, Allah swt. mengutus rayap untuk melahap surat keputusan yang telah digantung di tembok Ka'bah itu. Rasulullah saw. memberitahukan peristiwa ini kepada Abu Thalib. Mendengar informasi itu, Abu Thalib bergegas menjumpai orang-orang kafir Quraisy dan memberitahukan peristiwa tersebut. Mereka tersentak kaget dan segera pergi untuk melihat surat keputusan itu. Ternyata peristiwa itu benar sesuai informasi yang disampaikan oleh Rasulullah saw. Akhirnya, masyarakat menuntut agar Rasulullah saw. berserta para pengikutnya dibebaskan dari pemboikotan itu. Bangsa kafir Quraisy pun terpaksa memenuhinya. Dengan kondisi fisik yang sangat lemah, Rasulullah saw. dan para pengikutnya keluar dari tempat pemboikotan itu.

Setelah bebas dari pemboikotan ini, Rasulullah saw. mulai mengajak umat manusia kepada tauhid dan menyingkirkan seluruh tradisi jahiliah. Di jalan ini, ia tidak merasa gentar sedikit pun terhadap ancaman dan kesepakatan orang-orang kafir Quraisy untuk menghabisi dirinya. Hal ini karenanya mendapat perlindungan dari pamannya, Abu Thalib, Imam Ali as., dan putra-putra Abu Thalib yang lain. Abu Thalib dan keluarganya adalah benteng dan tempat berlindung Rasulullah saw. yang kokoh. Bahkan, Abu Thalib senantiasa mendorong Rasulullah saw. untuk meneruskan perjuangannya menyebarkan risalah Islam. Dalam sebuah syair yang indah, Abu Thalib berkata kepada beliau:

Pergilah, anakku, dan sedikit pun jangan gusar, pergilah dengan gembira dan senang hati.

Demi Allah, mereka tak akan berani menyentuhmu, hingga aku terkubur dalam tanah nanti.

Kau mengajakku dan kutahu engkau penasihatku, kau benar dan sebelum itu engkaulah sang Amîn.

Aku tahu bahwa agama Muhammad adalah sebaik-baik agama, untuk manusia di dunia ini.

Laksanakanlah urusanmu dan sedikit pun jangan gusar, bergembira dan senang hatilah atas hal ini.

Syair ini mengungkapkan kedalaman imam Abu Thalib. Ia adalah pengayom Islam dan pejuang muslim pertama. Sungguh celaka orang yang berpendapat bahwa ia bukan muslim dan berada dalam siksa neraka. Padahal jelas bahwa putranya adalah pembagi (qâsim) surga dan nereka. Abu Thalib adalah tonggak akidah Islam. Seandainya bukan karena sikap dan pembelaannya yang sangat berani, niscaya Islam tidak berwujud lagi, melainkan namanya saja, dan orang-orang kafir Quraisy sudah dapat memberangus Islam sejak awal kemunculannya.




g. Bermalam di Atas Ranjang Nabi saw.

Salah satu kemuliaan Imam Ali as. yang paling menonjol adalah pengorbanannya untuk Nabi Muhammad saw. dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri. Di dunia Islam, Imam Ali as. adalah orang pertama yang mempertaruhkan jiwanya (demi kepentingan dakwah Islam). Saat itu orang-orang kafir Quraisy bertekad untuk membunuh dan mencabik-cabik tubuh Rasulullah saw. dengan tombak dan pedang. Di tengah malam yang gulita, mereka mengepung rumah Rasulullah saw. dengan tombak dan pedang yang terhunus. Rasulullah saw. telah mengetahui makar mereka sebelumnya. Untuk itunya memanggil putra pamannya dan memberitahu tentang rencana jahat bangsa Quraisy. Ia menyuruh Ali untuk tidur di atas ranjangnya. Ali as. menggunakan selimut berwarna hijau yang biasa dipakai Rasulullah saw. agar mereka menduga bahwa yang sedang tidur di atas ranjang itu adalah Rasulullah saw. Dengan senang hati, Ali as. menerima dan mematuhi perintah Rasulullah yang belum pernah terbersit di benaknya itu. Hal itu karena ia akan menjadi tebusan jiwa Rasulullah saw. Sementara itu, Rasulullah saw. keluar tanpa sepengetahuan para pengepung sedikit pun. Ia melemparkan segenggam debu ke wajah mereka yang keji sembari berkata: "Terhinalah wajah mereka itu." Setelah berkata demikian, ia membaca ayat Al-Qur'an yang berbunyi: "Dan Kami jadikan di hadapan dan di belakang mereka dinding, kemudian Kami tutupi mereka sehingga mereka tidak dapat melihat." (QS. Yâsîn [36]:9)

Tindakan Ali as. bermalam di tempat tidur Rasulullah saw. ini adalah sebuah jihad dan perjuangan cemerlang yang tidak ada tandingannya. Sehubungan dengan ini Allah swt. menurunkan ayat Al-Qur'an yang berbunyi: "Di antara manusia ada yang menjual jiwanya demi meraih keridaan Allah." (QS. Al-Baqarah [2]:207)

Peristiwa ini adalah babak penting dalam dakwah Islam yang belum pernah dilakukan oleh seorang muslim pun.

Seorang penyair besar dan tenar, Syaikh Hâsyim Al-Ka'bî pernah melantunkan beberapa bait syair yang ditujukan kepada Imam Ali as. Ia berkata:

Sungguh pembelaanmu terhadap Ahmad tak mungkin terlukis dengan kata.

Engkau tidur malam di ranjangnya sementara musuh mengintai dan mengancam.

Engkau tidur dengan hati yang tenang seakan asyik mendengar kicauan burung.

Engkau bak gunung kokoh dan penunggang kuda pemberani, telah kau lengkapi malamnya dengan tegar.

Menjelang pagi mereka menyerang bendera hidayah, mereka tak tahu bendera hidayah terjaga.

Imam Ali as. tidak tidur malam sembari berdoa kepada Allah swt. demi keselamatan saudaranya dari bencana yang dahsyat dan kejahatan para musuh. Ketika cahaya pagi muncul, mereka segera menyerang tempat tidur Rasulullah saw. sambil menghunuskan pedang. Ali as. segera bangkit dari tidurnya bak harimau yang geram dengan menggenggam pedang terhunus. Melihat Ali as., mereka gemetar ketakutan seraya berteriak: "Mana Muhammad?" Ali as. menjawab dengan suara lantang: "Kamu telah menjadikanku penjaganya."

Akhirnya, mereka mundur dengan penuh rasa malu dan kekesalan. Rasulullah saw. yang lahir untuk membebaskan mereka dan membangun kemuliaan yang agung itu telah terlepas dari incaran kejahatan mereka. Bangsa Quraisy betul-betul menaruh kedengkian yang dalam terhadap Ali as. Mereka memandangnya dengan mata yang tajam, tetapi Ali as. tidak menggubris dan berjalan di hadapan mereka dengan tenang sambil menghina dan mengejek mereka.




h. Hijrah ke Yatsrib

Ketika Rasulullah saw. berangkat meninggalkan kota Mekah menuju kota Madinah, Ali as. menyampaikan semua amanatnya saw. kepada orang-orang yang berhak menerimanya dan membayar seluruh utangnya, seperti diperintahkan oleh Nabi saw. Tidak lama kemudian, Ali as. menyusul saudara dan putra pamannya berhijrah ke Madinah. Bersama Ali as. turut serta beberapa orang wanita mulia yang bernama Fathimah. Di tengah perjalanan, ia dihadang oleh tujuh orang kafir Quraisy. Ali mengadakan perlawanan terhadap mereka dengan penuh keberanian. Ketika ia berhasil membunuh salah seorang dari mereka, tak ayal lagi para penghadang yang masih hidup itu lari tunggang langgang. Ali as. melanjutkan perjalanan bersama rombongannya, sementara kalbunya dipenuhi oleh rasa rindu kepada Rasulullah saw. Setibanya di Madinah, ia berjumpa dengan Rasulullah saw. Menurut sebuah riwayat, ia berjumpa Rasulullah saw. di kota Quba sebelum memasuki kota Madinah. Nabi saw. sangat gembira dengan kedatangan saudara dan pembela setianya di setiap kesulitan dan peristiwa itu.




Ali as. dalam Kaca Mata Al-Qur'an

Tidak sedikit ayat-ayat Al-Qur'an yang menegaskan keutamaan Amirul Mukminin Ali as. dan memperkenalkannya sebagai peribadi Islami yang tinggi dan mulia setelah Rasulullah saw. Ini menunjukkan bahwa ia mendapat perhatian yang tinggi di sisi Allah swt. Banyak sekali buku-buku literatur Islam yang menegaskan bahwa terdapat tiga ratus ayat Al-Qur'an yang turun berkenaan dengan keutamaan dan ketinggian pribadi Iman Ali as.

Perlu ditegaskan di sini bahwa jumlah ayat yang sangat banyak seperti itu tidak pernah turun berkenaan dengan seorang tokoh Islam manapun.

Ayat-ayat tersebut dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori berikut ini:

Kategori pertama: Ayat yang turun khusus berkenaan dengan Imam Ali secara pribadi.

Kategori kedua: Ayat yang turun berkenaan dengan Imam Ali as. dan keluarganya.

Kategori ketiga: Ayat yang turun berkenaan dengan Imam Ali dan para sahabat pilihan Rasulullah saw.

Kategori keempat: Ayat yang turun berkenaan dengan Imam Ali as. dan mengecam orang-orang yang memusuhinya.

Berikut ini adalah sebagian dari ayat-ayat tersebut.




a. Kategori Ayat Pertama

Ayat-ayat yang turun menjelaskan keutamaan, ketinggian, dan keagungan pribadi Imam Ali as. adalah sebagai berikut:




1. Allah swt. berfirman: "Sesungguhnya engkau hanyalah seorang pemberi peringatan . Dan bagi setiap kaum ada orang yang memberi petunjuk." (QS. Ar-Ra'd [13]:7)

Ath-Thabarî meriwayatkan sebuah hadis dengan sanad dari Ibn Abas. Ibn Abbâs berkata: "Ketika ayat ini turun, nabi saw. meletakkan tangannya di atas dadanya seraya bersabda, 'Aku adalah pemberi peringatan. Dan bagi setiap kaum ada orang yang memberi petunjuk.' Lalunya memegang pundak Ali as. sembari bersabda: 'Engkau adalah pemberi petunjuk itu. Dengan perantara tanganmu, banyak orang yang akan mendapat petunjuk setelahku nanti.'"




2. Allah swt. berfirman:.".. dan (peringatan itu) diperhatikan oleh telinga yang mendengar." (QS. Al-Hâqqah [69]:12)

Dalam menafsirkan ayat tersebut, Amirul Mukminin Ali as. berkata: "Rasulullah saw. berkata kepadaku, 'Hai Ali, aku memohon kepada Tuhanku agar menjadikan telingamu yang menerima peringatan.' Lantaran itu, aku tidak pernah lupa apa saja yang pernah kudengar dari Rasulullah saw."




3. Allah swt. berfirman: "Orang-orang yang menginfakkan hartanya pada malam dan siang hari, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada rasa takut bagi mereka dan mereka tidak pula bersedih hati." (QS. Al-Baqarah [2]:274)

Pada saat itu, Imam Ali as. hanya memiliki empat dirham. Satu dirham ia infakkan di malam hari, satu dirham ia infakkan di siang hari, satu dirham ia infakkan secara rahasia, dan satu dirham sisanya ia infakkan secara terang-terangan. Rasulullah saw. bertanya kepadanya: "Apakah yang menyebabkan kamu berbuat demikian?" Ali as. menjawab: "Aku ingin memperoleh apa yang dijanjikan Allah kepadaku." Kemudian ayat tersebut turun.




4. Allah swt. berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan, mereka itu adalah sebaik-sebaik makhluk." (QS. Al-Bayyinah [98]:7)

Ibn 'Asâkir meriwayatkan sebuah hadis dengan sanad dari Jâbir bin Abdillah. Jâbir bin Abdillah berkata: "Ketika kami bersama nabi saw., tiba-tiba Ali as. datang. Seketika itu itu Rasulullah saw. bersabda, 'Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya Ali as. dan Syi'ah (para pengikut)nya adalah orang-orang yang beruntung pada Hari Kiamat.' Kemudian turunlah ayat itu. Sejak saat itu, setiap kali Ali as. datang, para sahabat Nabi saw. mengatakan, 'Telah datang sebaik-baik makhluk.'"




5. Allah swt. berfirman:.".. maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan [Ahl Adz-Dzikr] jika kamu tidak mengetahui." (QS. An-Nahl [16]:43)

Ath-Thabarî meriwayatkan sebuah hadis dengan sanad dari Jâbir Al-Ju'fî. Jâbir Al-Ju'fî berkata: "Ketika ayat ini turun, Ali as. berkata: "Kami adalah Ahl Adz-Dzikr."




6.Allah swt. berfirman: "Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Jika hal itu tidak engkau lakukan, maka berarti engkau tidak menyampaikan risalahmu. Sesungguhnya Allah menjagamu dari kejahatan manusia." (QS. Al-Mâ'idah [5]: 67)

Ayat ini turun kepada Rasulullah saw. Ketika ia berada di Ghadir Khum dalam perjalanan pulang dari haji Wadâ'. Rasulullah saw. diperintahkan oleh Allah untuk mengangkat Ali as. sebagai khalifah sepeninggalnya. Nabi saw. melaksanakan perintah tersebut. Ia menobatkan Ali as. sebagai khalifah dan pemimpin bagi umat sepeninggalnya. Rasulullah saw. mengumandangkan sabda yang masyhur di hadapan khalayak: "Barang siapa yang aku adalah pemimpinnya, maka Ali as. adalah pemimpinnya. Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya, musuhilah orang yang memusuhinya, tolonglah orang yang menolongnya, dan hinakanlah orang yang menghinakannya."

Setelah itu, Umar bangkit dan berkata kepada Ali as.: "Selamat, hai Ali bin Abi Thalib, engkau telah menjadi pemimpinku dan pemimpin setiap mukmin dan mukminah."




7. Allah swt. berfirman: "Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu dan telah Aku lengkapi nikmat-Ku atasmu dan Aku pun rela Islam sebagai agamamu." (QS. Al-Mâ'idah [5]: 3)

Ayat yang mulia ini turun pada tanggal 18 Dzulhijjah setelah nabi saw. mengangkat Ali as. sebagai khalifah sepeninggalnya. Setelah ayat tersebut turun, nabi saw. bersabda: "Allah Maha Besar lantaran penyempurnaan agama, pelengkapan nikmat, dan keridaan Tuhan dengan risalahku dan wilâyah Ali bin Abi Thalib as."




8. Allah swt. berfirman: "Sesungguhnya pemimpinmu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman yang mendirikan salat dan mengeluarkan zakat ketika sedang rukuk." (QS. Al-Mâ'idah [5]: 55)

Seorang sahabat nabi terkemuka, Abu Dzar berkata: "Aku mengerjakan salat Zhuhur bersama Rasulullah saw. Tiba-tiba datang seorang pengemis ke masjid, dan tak seorang pun yang memberikan sedekah kepadanya. Pengemis tersebut mengangkat kedua tangannya ke langit seraya berdoa, 'Ya Allah, saksikanlah bahwa aku meminta di masjid Rasul saw., tetapi tak seorang pun yang memberikan sesuatu kepadaku.' Pada saat itu Ali as. sedang mengerjakan rukuk. Kemudian ia memberikan Isya'rat kepadanya dengan kelingking kanan yang sedang memakai cincin. Pengemis itu datang menghampirinya dan segera mengambil cincin tersebut di hadapan Nabi saw. Lalunya saw. berdoa, 'Ya Allah, sesungguhnya saudaraku, Mûsâ as. memohon kepadamu sembari berkata, 'Wahai Tuhanku, lapangkanlah untukku hatiku, mudahkanlah urusanku, dan bukalah ikatan lisanku agar mereka dapat memahami ucapanku. Dan jadikanlah untukku seorang wazîr dari keluargaku; yaitu saudaraku, Hârûn. Kokohkanlah aku dengannya dan sertakanlah dia dalam urusanku.' (QS. Thaha [20]:25-32) Ketika itu Engkau turunkan ayat yang berbunyi, 'Kami akan kokohkan kekuatanmu dengan saudaramu dan Kami jadikan engkau berdua sebagai pemimpin.' (QS. Al-Qashash [28]:35) Ya Allah, aku ini adalah Muhammad nabi dan pilihan-Mu. Maka lapangkanlah hatiku, mudahkanlah urusanku, dan jadikanlah untukku seorang wazîr dari keluargaku, yaitu Ali. Dan kokohkanlah punggungku dengannya.'"

Abu Dzar melanjutkan: "Demi Allah, Jibril turun kepadanya sebelumnya sempat menyelesaikan doanya itu. Jibril berkata, 'Hai Muhammad, bacalah, 'Sesungguhnya walimu adalah Allah, Rasul-Nya dan ....'"

Ayat ini membatasi wilâyah universal (Al-Wilâyah Al-'?mmah) hanya untuk Allah swt., Rasul-Nya yang mulia, dan Ali as. Ayat ini menggunakan bentuk jamak lantaran untuk mengagungkan kemuliaan Imam Ali as. dan menghormati kedudukannya. Di samping itu, ayat ini berbentuk jumlah ismiyyah dan menggunakan kata pembatas (hashr) 'innamâ' (yang berarti hanya). Dengan demikian, ayat ini telah mengukuhkan wilâyah tersebut untuk Imam Ali as.

Seorang penyair tersohor, Hassân bin Tsâbit, telah menyusun sebuah bait syair sehubungan dengan turunnya ayat tersebut. Ia berkata:

Siapakah gerangan yang ketika rukuk menyedekahkan cincin,

sementara ia merahasiakannya untuk dirinya sendiri.




b. Kategori Ayat Kedua

Al-Qur'an Al-Karim dihiasi dengan banyak ayat yang turun berkenaan dengan Ahlul Bait as. Ayat-ayat ini secara otomatis juga ditujukan kepada junjungan mereka, Amirul Mukminin Ali as. Berikut ini sebagian dari ayat-ayat tersebut:




1. Allah swt. berfirman: "Katakanlah, 'Aku tidak meminta kepadamu upah apapun atas dakwahku itu selain mencintai Al-Qurbâ. Dan barang siapa yang mengerjakan kebajikan akan Kami tambahkan kepadanya kebajikan itu. Sesungguhnya Allah Maha Penghampun lagi Maha Mensyukuri.'" (QS. Asy-Syûrâ [42]:23)

Mayoritas ahli tafsir dan perawi hadis berpendapat bahwa maksud dari "Al-Qurbâ" yang telah diwajibkan oleh Allah swt. kepada segenap hamba-Nya untuk mencintai mereka adalah Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain as., dan maksud dari "iqtirâf Al-hasanah" (mengerjakan kebaikan) dalam ayat ini ialah mencintai dan menjadikan mereka sebagai pemimpin. Berikut ini beberapa riwayat yang menegaskan hal ini.

Dalam sebuah riwayat, Ibn Abas berkata: "Ketika ayat ini turun, para sahabat bertanya, 'Ya Rasulallah, siapakah sanak kerabatmu yang kami telah diwajibkan untuk mencintai mereka?' Rasulullah saw. menjawab, 'Mereka adalah Ali, Fathimah, dan kedua putranya.'"

Dalam sebuah hadis, Jâbir bin Abdillah berkata: "Seorang Arab Badui pernah datang menjumpai Nabi saw. seraya berkata, 'Jelaskan kepadaku tentang Islam.' Rasulullah saw. menjawab, 'Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa yang tidak ada sekutu bagi-Nya dan Muhammad itu adalah hamba dan rasul-Nya.' Arab Badui itu segera menimpali, 'Apakah engkau meminta upah dariku?' Rasul menjawab: "Tidak, selain mencintai Al-Qurbâ'. Orang Arab Badui itu bertanya lagi, 'Keluargaku ataukah keluargamu?' Nabi saw. menjawab, 'Tentu keluargaku.' Kemudian orang Arab Badui itu berkata lagi: "Jika begitu, aku membaiatmu bahwa barang siapa yang tidak mencintaimu dan tidak juga mencintai keluargamu, maka Allah akan mengutuknya.' Nabi segera menimpali, 'Amîn.'"




2. Allah swt. berfirman: "Barang siapa yang menghujatmu tentang hal itu setelah jelas datang kepadanya pengetahuan, maka katakanlah, 'Mari kami panggil putra-putra kami dan putra-putra kamu, putri-putri kami dan putri-putri kamu, dan diri kami dan diri kamu, kemudain kita ber-mubâhalah agar kita jadikan kutukan Allah atas orang-orang yang dusta.'" (QS. Ali 'Imrân [3]:61)

Para ahli tafsir dan perawi hadis sepakat bahwa ayat yang mulia ini turun berkenaan dengan Ahlul Bait Nabi saw. Ayat tersebut menggunakan kata abnâ' (anak-anak) dan maksudnya adalah Hasan dan Husain as., kedua cucu Nabi yang dirahmati dan kedua imam pemberi hidayah. Ungkapkan kata an-nisâ' (wanita) mengindikasikan Sayidah Az-Zahrâ' as., penghulu seluruh wanita dunia dan akhirat. Dan tentang pemuka dan junjungan Ahlul Bait, Imam Amirul Mukminin as., diungkapkan dengan kata anfusanâ (diri kami).




3. Allah swt. berfirman: "Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum menjadi sesuatu yang dapat disebut ...." (QS. Ad-Dahr [76])

Mayoritas ahli tafsir dan para perawi hadis berpendapat bahwa surat ini diturunkan untuk Ahlul Bait nabi saw.




4. Allah swt. berfirman: "Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan segala kotoran hanya dari kamu, hai Ahlul Bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya." (QS. Al-Ahzâb [33]:33)

Para ahli tafsir dan perawi hadis sepakat bahwa ayat yang penuh berkah ini turun berkenaan dengan lima orang penghuni Kisâ'. Mereka adalah Rasulullah saw.; junjungan para makhluk, Ali as.; jiwa dan dirinya, Sayyidah Fathimah; buah hatinya yang suci dan penghulu para wanita di dunia dan akhirat yang Allah rida dengan keridaannya dan murka dengan kemurkaannya, dan Hasan dan Husain as.; kedua permata hatinya dan penghulu para pemuda ahli surga. Tak seorang pun dari keluarga Rasulullah saw. yang lain dan tidak pula para pemuka sahabatnya yang ikut serta dalam keutamaan ini. Hal ini dikuatkan oleh beberapa hadis berikut ini:

Pertama, Ummul Mukminin Ummu Salamah berkata: "Ayat ini turun di rumahku. Pada saat itu ada Fathimah, Hasan, Husain, dan Ali as. di rumahku. Kemudian Rasulullah saw. menutupi mereka dengan Kisâ' (kain panjang dan lebar), seraya berdoa: "Ya Allah, mereka adalah Ahlul Baitku. Hilangkanlah dari mereka segala kotoran dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya.'" Ia mengulang-ulang doa tersebut dan Ummu Salamah mendengar dan melihatnya. Lantas dia berkata: "Apakah aku masuk bersama Anda, ya Rasulullah?" Lalu dia mengangkat Kisâ' tersebut untuk masuk bersama mereka. Tetapinya menarik Kisâ' itu sembari bersabda: "Sesungguhnya engkau berada dalam kebaikan."

Kedua, dalam sebuah riwayat Ibn Abbâs berkata: "Aku menyaksikan Rasulullah saw. setiap hari mendatangi pintu rumah Ali bin Abi Thalib as. setiap kali masuk waktu salat selama tujuh bulan berturut-turut. Ia mendatangi pintu rumah itu sebanyak lima kali dalam sehari sembari berkata, 'Assalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh, hai Ahlul Bait. Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan segala kotoran hanya dari kamu, hai Ahlul Bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. Mari kita kerjakan salat,semoga Allah merahmati kalian."

Ketiga, dalam sebuah riwayat Abu Barazah berkata: "Aku mengerjakan salat bersama Rasulullah saw. selama tujuh bulan. Setiap kali keluar dari rumah, ia mendatangi pintu rumah Fathimah as. seraya bersabda, 'Salam sejahtera atas kalian. Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan segala kotoran hanya dari kamu, hai Ahlul Bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.'"

Sesungguhnya tindakan-tindakan Rasulullah saw. ini merupakan sebuah pemberitahuan kepada umat dan seruan kepada mereka untuk mengikuti Ahlul Bait as. Lantaran Ahlul Bait as. adalah pembimbing bagi mereka untuk meniti jalan kemajuan di kehidupan duniawi maupun ukhrawi.




c. Kategori Ayat Ketiga

Terdapat beberapa ayat yang turun berkenaan dengan Amirul Mukminin Ali as. dan juga berkenaan dengan para sahabat Nabi pilihan dan terkemuka. Berikut ini ayat-ayat tersebut:




1. Allah swt. berfirman: "Dan di atas Al-A'râf tersebut ada orang-orang yang mengenal masing-masing dari dua golongan itu dengan tanda-tanda mereka." (QS. Al-A'raf [7]:46)

Ibn Abbâs berkata: "Al-A'râf adalah sebuah tempat yang tinggi dari Shirât. Di atas tempat itu terdapat Abbâs, Hamzah, Ali bin Abi Thalib as., dan Ja'far pemilik dua sayap. Mereka mengenal para pecinta mereka dengan wajah mereka bersinar dan juga mengenal para musuh mereka dengan wajah mereka yang hitam pekat."




2. Allah swt. berfirman: "Di antara orang-orang yang beriman itu ada orang-orang yang menepati apa telah yang mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada [pula] yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak mengubah janjinya." (QS. Al-Ahzâb [33]:23)

Ali as. pernah ditanya tentang ayat ini, sementara ia sedang berada di atas mimbar. Dia berkata: "Ya Allah, aku mohon ampunanmu. Ayat ini turun berkenaan denganku, pamanku Hamzah, dan pamanku 'Ubaidah bin Hârist. Adapun 'Ubaidah, ia telah gugur sebagai syahid di medan Badar dan Hamzah juga telah gugur di medan perang Uhud. Sementara aku masih menunggu orang paling celaka yang akan mengucurkan darahku dari sini sampai ke sini-sembari ia menunjuk jenggot dan kepalanya."




d. Kategori Ayat Keempat

Berikut ini kami paparkan beberapa ayat yang turun memuji Imam Ali as. dan mengecam para musuhnya yang senantiasa berusaha untuk menghapus segala keutamaannya.




1. Allah swt. berfirman: "Apakah kamu menyamakan pekerjaan memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram dengan (amal) orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang zalim." (QS. At-Taubah [9]:19)

Ayat ini turun berkenaan dengan Imam Ali as., Abbâs, dan Thalhah bin Syaibah ketika mereka saling menunjukkan keutamaan masing-masing. Thalhah berkata: "Aku adalah pengurus Ka'bah. Kunci dan urusan tabirnya berada di tanganku." Abbâs berkata: "Aku adalah pemberi minum orang-orang yang beribadah haji." Ali as. berkata: "Aku tidak tahu kalian ini berkata apa? Sungguh aku telah mengerjakan salat menghadap ke arah Kiblat selama enam bulan sebelum ada seorang pun yang mengerjakan salat dan akulah orang yang selalu berjihad." Kemudian turunlah ayat tersebut.




2. Allah swt. berfirman: "Maka apakah orang yang telah beriman seperti orang yang fasik? Tentu tidak sama." (QS. As-Sajdah [32]:18)

Ayat ini turun memuji Imam Ali as. dan mengecam Walîd bin 'Uqbah bin Abi Mu'îth. Walîd berbangga diri di hadapan Ali as. seraya berkata: "Lisanku lebih fasih daripada lisanmu, gigiku lebih tajan daripada gigimu, dan aku juga lebih pandai menulis." Ali as. berkata: "Diamlah. Sesungguhnya engkau adalah orang fasik". Kemudian turunlah ayat tersebut.








4


Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.




Ali as. dalam Kaca Mata Sunah

Buku-buku literatur hadis, baik Shihâh maupun Sunan, dipenuhi oleh hadis-hadis Nabi saw. yang bagaikan bintang-gumintang gemilang menegaskan keutamaan pelopor keadilan Islam, Imam Ali as., dan mengangkatnya tinggi di tengah-tengah masyarakat Islam.

Setiap orang yang mau merenungkan hadis-hadis yang masyhur dan telah tersebar di kalangan para perawi hadis itu pasti memahami tujuan utama Nabi saw. di balik hadis-hadis tersebut. yaitu ia ingin mengangkat Ali as. sebagai khalifah sepeninggalnya sehingga ia menjadi penerus tongkat estafet kenabian dan tempat rujukan umat yang bertugas menegakkan tonggak kehidupan mereka, memperbaiki kondisi mereka, dan menuntun mereka menapak jalan kehidupannya sehingga umat Islam menjadi pelopor bagi bangsa-bangsa dunia yang lain.

Bila kita mencermati hadis-hadis Nabi saw. mengenai keutamaan Imam Ali as. itu, niscaya kita temukan sekelompok hadis dikhususkan untuk dia secara khusus dan sekelompok hadis yang lain dikhususkan untuk Ahlul Bait Nabi as., yang secara otomatis kelompok hadis kedua ini juga meliputi Imam Ali as. Hal itu lantaran ia adalah junjungan 'Itrah.




Berikut ini kami nukilkan beberapa hadis tersebut.




1. Kelompok Hadis Pertama

Hadis-hadis kelompok ini memuat berbagai macam bentuk pemuliaan dan pengagungan terhadap Imam Ali as. dan penegasan atas keutamaannya. Hadis-hadis tersebut adalah berikut ini:




a. Kedudukan Ali as. di Sisi Nabi saw.




Amirul Mukminin Ali as. adalah satu-satunya orang yang paling dekat dengan Rasulullah saw. Ali as. adalah ayah untuk kedua cucunya dan pintu kota ilmunya. Nabi saw. sangat menghormati dan mencintai Ali as. Beberapa hadis Nabi saw. menegaskan betapa kecintaannya saw. kepada Ali as. sangat besar. Mari kita simak bersama beberapa hadis berikut ini.




Ali as., Diri Nabi saw.




Ayat Mubâhalah menegaskan kepada kita bahwa Imam Ali as. adalah diri dan jiwa Nabi saw. Kami telah memaparkan hal ini pada pembahasan yang lalu. Nabi saw. sendiri telah menjelaskan dalam berbagai hadis bahwa Ali as. adalah diri dan jiwanya.

Pada suatu hari, Walîd bin 'Uqbah memberikan informasi kepda Nabi saw. bahwa Bani Walî'ah telah murtad dari Islam. Mendengar informasi tersebut, Nabi saw. sangat murka seraya bersabda: "Apakah Bani Walî'ah menghentikan perbuatan mereka itu atau aku akan utus kepada mereka seorang laki-laki yang merupakan diri dan jiwaku; ia akan memerangi mereka dan menyandera kaum wanita mereka. Laki-laki itu adalah orang ini." Setelah bersabda demikian, Nabi saw. menepuk pundak Imam Ali as.

Dalam sebuah hadis, 'Amr bin 'Ash berkata: "Ketika aku kembali dari perang Dzâtus Salâsil, aku mengira bahwa tidak seorang pun yang lebih dicintai oleh Rasulullah saw. daripada aku. Aku bertanya kepadanya, 'Ya Rasulallah, siapakah yang paling Anda cintai?' Rasulullah saw. menyebutkan nama beberapa orang. Aku bertanya lagi, 'Ya Rasulallah, di manakah Ali?' Nabi saw. menoleh kepada para sahabat seraya bersabda, 'Sesungguhnya ia bertanya kepadaku tentang jiwaku.'"




Ali as., Saudara Nabi saw.




Nabi saw. pernah mengumumkan di hadapan para sahabat bahwa Ali as. adalah saudaranya. Masalah ini telah direkam oleh banyak hadis. Antara lain ialah:

At-Turmudzî meriwayatkan dengan sanad dari Ibn Umar. Ibn Umar berkata: "Rasulullah saw. telah mempersaudarakan para sahabatnya. Kemudain datanglah Ali as. dengan air mata yang berlinang seraya berkata, 'Ya Rasulallah, engkau telah mempersaudarakan para sahabatmu. Tetapi mengapa Anda tidak mempersaudarakanku dengan siapa pun?' Rasulullah saw. bersabda, 'Engkau adalah saudaraku di dunia dan di akhirat.'"

Nabi saw. mempersaudarakan Ali dengan dirinya bukan hanya di dunia ini saja. Tetapi persaudaraan antaranya Imam Ali as. ini berlanjut hingga hari akhirat yang tak berbatas.

Anas bin Malik berkata: "Rasulullah saw. naik ke atas mimbar. Setelah usai berpidato, ia bertanya, 'Di manakah Ali bin Abi Thalib?' Ali as. segera bangkit dan berkata: "Aku di sini, ya Rasulullah.' Tak lama kemudian Nabi saw. memeluk Ali as. dan mencium keningnya seraya bersabda dengan suara yang lantang: "Wahai kaum Muslimin, Ali adalah saudaraku dan putra pamanku. Dia adalah darah dagingku dan rambutku. Dia adalah ayah kedua cucuku Hasan dan Husain, penghulu para pemuda penghuni surga.'"

Dalam sebuah riwayat, Ibn Umar berkata: "Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda pada saat melaksanakan haji Wadâ' sementaranya menunggangi unta sembari menepuk pundak Ali as.: "Ya Allah, saksikanlah. Ya allah, aku telah menyampaikan seruan-Mu bahwa orang ini adalah saudaraku, putra pamanku, menantuku, dan ayah kedua cucuku. Ya Allah, sungkurkanlah orang yang memusuhinya ke dalam api neraka.'"




Nabi saw. dan Ali as. Berasal dari Satu Pohon




Nabi saw. pernah menegaskan bahwa ia saw. dan Ali as. berasal dari satu pohon yang sama. Hal ini telah disebutkan dalam beberapa hadis. Berikut ini adalah contoh dari hadis-hadis tersebut:

Dalam sebuah hadis, Jâbir bin Abdillah berkata: "Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda kepada Ali as., 'Hai Ali, sesungguhnya umat manusia berasal dari berbagai pohon yang berbeda. Sementara engkau dan aku berasal dari satu pohon yang sama.' Kemudannya membacakan ayat yang berbunyi: "Dan di atas bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan (tapi berbeda-beda), dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman, dan pohon kurma yang bercAbâng dan yang tidak bercAbâng, disirami dengan air yang sama ..." (QS. Ar-Ra'd [13]:4)

Rasulullah saw. bersabda: "Aku dan Ali as. berasal dari satu pohon, sedang umat manusia berasal dari pohon yang berbeda-beda."

Sungguh betapa agung dan mulia pohon tersebut yang telah melahirkan junjungan alam semesta, Rasulullah saw., dan pintu kota ilmunya, Amirul Mukminin Ali as. Pohon ini adalah pohon yang penuh berkah; pohon yang akarnya menghujam ke dalam bumi dan ranting-rantingnya menjulang ke langit, dan membuahkan hasil bagi umat manusia pada setiap generasi.




Ali as., Wazîr Nabi saw.




Dalam beberapa hadis, Nabi saw. sangat menekankan bahwa Ali as. adalah wazîrnya. Di antara hadis-hadis tersebut ialah berikut ini:

Dalam sebuah hadis, Asmâ' binti 'Umais berkata: "Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Ya Allah, sesungguhnya aku berkata sebagaimana saudaraku, Mûsâ berkata, 'Ya Allah, jadikanlah untukku seorang wazîr dari keluargaku, yaitu saudaraku Ali. Kokohkanlah aku dengannya, sertakanlah dia dalam urusanku agar kami banyak bertasbih kepada-Mu dan senantiasa mengingat-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui kondisi kami".




Ali as., Khalifah Nabi saw.




Nabi saw. memproklamasikan bahwa Ali as. adalah khilafah sepeninggalnya dari sejaknya memulai dakwah. Hal itu terjadi Ketika ia mengundang kaum Quraisy agar memeluk Islam. Di akhir pertemuan tersebut, ia saw. berkata kepada mereka: "Dengan demikian, orang ini-yaitu Ali as.-adalah saudaraku, washî-ku, dan khalifahku setelahku untuk kalian. Dengarkan dan taatilah dia."

Rasulullah saw. telah menggandengkan kekhalifahan Ali as. sepeninggalannya dengan permulaan dakwah Islam. Ia juga telah menyingkirkan kemusyrikan dan penyembahan terhadap berhala. Banyak sekali riwayat yang telah menegaskan kekhalifahan Ali as. ini. Berikut ini sebagian darinya:

Rasululllah saw. bersabda: "Hai Ali, engkau adalah khalifahku untuk umatku."

Beliau saw. juga bersabda: "Di antara mereka, Ali bin Abi Thalib paling dahulu memeluk Islam, paling banyak ilmu pengetahuannya, dan dia adalah imam dan khalifah setelahku."




Ali as. di Sisi Nabi saw. Seperti Hârûn di Sisi Mûsâ




Banyak sekali hadis dan riwayat telah diriwayatkan dari Nabi saw. yang memiliki kandungan yang sama. yaitu ia bersabda kepda Ali as.: "Engkau di sisiku seperti kedudukan Harus di sisi Mûsâ as. ...."

Berikut ini kami nukilkan sebagian hadis tersebut:

Nabi saw. bersabda kepada Ali as.: "Tidakkah engkau rela bahwa engkau di sisiku sebagaimana kedudukan Hârûn di sisi Mûsâ as., hanya saja tidak ada nabi lagi setelahku?"

Sa'îd bin Mûsâyyib meriwayatkan hadis dari '?mir bin Sa'd bin Abi Waqqâsh, dari ayahnya, Sa'd. Sa'd berkata: "Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Ali as.: "Engkau di sisiku seperti kedudukan Hârûn di sisi Mûsâ as., hanya saja tidak ada nabi lagi setelahku.'"

Sa'îd berkata: "Aku ingin menyampaikan informasi tersebut kepada Sa'd. Aku menjumpainya dan kuceritakan apa yang diceritakan oleh '?mir. Sa'd berkata: "Aku pun telah mendengarnya.' Aku bertanya: "Sungguh engkau telah mendengarnya?" Ia meletakkan jarinya di kedua telinganya seraya berkata: "Ya, aku telah mendengarnya. Jika tidak, berarti aku tuli.'"




Ali as., Pintu Kota Ilmu Nabi saw.




Satu hal lagi tentang ketinggian dan keagungan kedudukan Ali as. yang ditegaskan oleh Nabi saw. adalah bahwa ia telah menjadikannya sebagai pintu kota ilmunya. Hadis-hadis mengenai hal ini telah diriwayatkan melalui beberapa jalur sehingga mencapai peringkat qath'î (meyakinkan). Hadis-hadis ini telah diriwayatkan dari Rasulullah saw. pada beberapa kesempatan. Di antaranya adalah berikut ini:

Jâbir bin Abdillah berkata: "Pada peristiwa Hudaibiyah, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda sambil memegang tangan Ali as.: "Orang ini adalah pemimpin orang-orang saleh, pembasmi orang-orang zalim, akan ditolong siapa yang membelanya, dan akan terhina siapa yang menghinanya.' Lalunya mengeraskan suaranya: "Aku adalah kota ilmu, sedang Ali adalah pintunya. Barang siapa yang ingin memasuki rumah, hendaklah ia masuk melalui pintunya.'"

Ibn Abbâs berkata: "Rasulullah saw. bersabda: "Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya. Barang siapa yang ingin memasuki kota, maka hendaklah ia mendatangi pintunya."

Rasulullah saw. bersabda: "Ali adalah pintu ilmuku dan penjelas risalahku kepada umatku sepeninggalku nanti. Mencintainya adalah iman, memurkainya adalah kemunafikan, dan memandangnya adalah kasih sayang."

Amirul Mukminin Ali as. adalah pintu kota ilmu Nabi saw. Setiap ajaran agama, hukum syariat, akhlak yang mulia, dan tata krama luhur yang datang darinya, semua itu bersumber dari Nabi saw. Konsekuensinya, kita harus mematuhi dan mengikutinya.

Sesungguhnya Nabi saw. telah meninggalkan sumber ilmu pengetahuan untuk memenuhi kehidupan ini dengan hikmah dan kesejahteraan. Sumber itunya titipkan kepada Ali as. agar umat ini dapat menimba darinya. Tetapi sangat sekali, kekuatan zalim yang dengki kepada Imam Ali as. telah menutup jendela cahaya tersebut, mencegah umat untuk mengambil manfat darinya, dan membiarkan mereka terperosok ke dalam kebodohan hidup ini.




Ali as., Serupa dengan Para Nabi




Suatu ketika Nabi saw. berada di tengah-tengah para sahabat. Ia berkata kepada mereka: "Jika kalian ingin melihat ilmu pengetahuan Adam as., kesedihan Nuh as., ketinggian akhlak Ibrahim as., munajat Mûsâ as., usia Isa as., dan petunjuk serta kelembutan Muhammad saw., maka hendaklah kalian melihat orang yang akan datang sebentar lagi." Setelah agak lama mereka menanti-nanti siapa yang akan datang, tiba-tiba Amirul Mukmini Ali as. muncul."

Seorang penyair terkenal, Abu Abdillah Al-Mufajji', telah banyak menyusun bait- bait syair tentang keagungan dan kemuliaan Imam Ali as. Ketika mengungkapkan realita tersebut di atas, ia menulis:

Wahai pendengki kekasihku Ali, masuklah ke dalam neraka Jahim dengan terhina.

Masihkah engkau menyindir manusia terbaik, sedang engkau tersingkirkan dari petunjuk dan cahaya?

Dialah yang mirip para nabi di kala kanak dan muda, di kala menyusu, disapih dan di kala makan.

Ilmunya bagai Adam di kala ia menjelaskan nama-nama dan alam semesta.

Bagai Nuh di kala selamat dari maut ketika ia turun di bukit Jûdî.




Mencintai Ali as., Keimanan; Membencinnya, Kemunafikan




Nabi Muhammad saw. menegaskan kepada umat bahwa mencintai Ali as. adalah tanda keimanan dan ketakwaam. Sementara membencinya adalah kemunafikan dan maksiat. Beriktu ini sebagian riwayat yang telah diriwayatkan darinya tentang hal ini:

Ali as. berkata: "Demi Dzat yang membelah biji-bijian dan menciptakan manusia, sesungguhnya janji Nabi yang ummî kepadaku adalah bahwa tidak ada yang mencintaiku kecuali orang mukmin dan tidak membenciku melainkan orang munafik."

Al-Musâwir Al-Humairî meriwayatkan hadis dari ibunya. Ibunya berkata: "Ummu Salamah datang menjumpaiku dan aku mendengar ia mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Orang munafik tidak akan mencintai Ali dan orang mukmin tidak akan membencinya.'"

Ibn Abbâs pernah meriwayatkan sebuah hadis. Ia berkata: "Rasulullah saw. memandang kepada Ali as. seraya bersabda: "Tidak mencintaimu melainkan orang mukmin dan tidak membencimu kecuali orang munafik. Barang siapa yang mencintaimu, berarti ia mencintaiku. Barang siapa yang membencimu, berarti ia membenciku. Kekasihku adalah kekasih Allah dan pendengkiku adalah pendengki Allah. Sungguh celaka orang yang mendengkimu setelahku nanti.'"

Dalam sebuah riwayat, Abu Sa'îd Al-Khudrî berkata: "Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Ali as., 'Mencintaimu adalah keimanan dan membencimu adalah kemunafikan. Orang yang pertama masuk surga adalah pecintamu dan orang pertama yang masuk neraka adalah pendengkimu.'"

Hadis-hadis di atas telah tersebar luas di kalangan para sahabat nabi saw. Mereka menerapkan hadis-hadis tersebut kepada orang yang mencintai Ali as. dan menyebutnya sebagai orang mukmin. Sementara orang yang mendengkinya mereka sebut sebagai orang munafik.

Seorang sahabat terkemuka yang bernama Abu Dzar Al-Gifârî pernah berkata: "Kami tidak mengenal orang-orang munafik, kecuali ketika mereka berdusta kepada Allah dan Rasul-Nya, meninggalkan salat, dan mendengki Ali bin Abi Thalib as."

Seorang sahabat Nabi terkemuka lainnya yang bernama Jâbir bin Abdillah Al-Anshârî juga pernah berkata: "Kami tidak pernah mengenal orang-orang munafik kecuali ketika mereka mendengki Ali bin Abi Thalib as."




b. Kedudukan Ali as. di Sisi Allah swt.




Selanjutnya kita beralih menjelaskan sebagian hadis yang telah diriwayatkan dari Nabi saw. berhubungan dengan keagungan Imam Ali as. di sisi Allah swt. dan kemuliaan-kemuliaan yang ia miliki.

Sejumlah hadis yang telah diriwayatkan dari Rasulullah saw. berhubungan dengan kemuliaan Imam Ali as. di sisi Allah di akhirat kelak. Sebagian hadis tersebut adalah berikut ini:




Imam Ali as., Pembawa Bendera Pujian




Banyak sekali hadis sahih dari Nabi saw. yang menjelaskan bahwa Imam Ali as. pada Hari Kiamat kelak akan diberikan kemuliaan oleh Allah swt. untuk membawa bendera pujian. Hal ini adalah anugerah khusus yang tidak diberikan kepada siapa pun selainnya. Di antara hadis-hadis tersebut adalah hadis berikut ini:

Rasulullah saw. bersabda kepada Imam Ali as.: "Pada Hari Kiamat kelak, engkau akan berada di hadapanku. Ketika itu aku diberi bendera pujian, lalu bendera tersebut kuserahkan kepadamu. Sementara engkau sedang mengusir orang-orang (yang tidak berhak) dari telagaku."




Imam Ali as., Pemilik Telaga Haudh Nabi saw.




Banyak sekali hadis Nabi saw. yang menjelaskan bahwa Imam Ali as. adalah pemilik telaga Haudh Nabi saw., sungai di surga yang paling sejuk, paling manis, dan sangat indah dipandang mata itu. Tak seorang pun dapat meneguk airnya kecuali orang yang ber-wilâyah dan mencintai Imam Ali as. Berikut ini kami paparkan sebagian hadis tersebut:

Rasulullah saw. bersabda: "Ali bin Abi Thalib as. adalah pemilik telaga Haudh-ku kelak di Hari Kiamat. Di sekelilingnya berjejer gelas-gelas sebanyak bilangan bintang di langit. Luas telaga Haudh-ku itu sejauh antara Jâbiyah dan Shan'a."




Imam Ali as., Pemilah Surga dan Neraka




Di antara posisi agung dan mulia yang diberikan oleh Rasulullah saw. kepada pintu kota ilmunya ini adalah bahwa ia adalah pemilah surga dan nereka. Ibn Hajar pernah meriwayatkan sebuah hadis bahwa Imam Ali as. pernah berkata kepada anggota Dewan Syura yang telah dipilih oleh Umar: "Demi Allah, apakah di antara kalian ada seseorang yang pernah disebut oleh Rasulullah saw. dengan sabda, 'Wahai Ali, engkau adalah pemilah surga dan neraka pada Hari Kiamat kelak', selainku?"

"Tak seorang pun", jawab mereka pendek.

Ibn Hajar memberikan catatan atas hadis ini. Ia menulis: "Maksudnya ialah ucapan yang pernah diriwayatkan dari Imam Ar-Ridhâ as. Sabda Nabi saw. kepada Ali as., 'Engkau adalah pemilah surga dan neraka pada Hari Kiamat kelak', berarti engkau, hai Ali, berkata kepada neraka, 'Ini adalah bagianku dan yang ini adalah bagianmu.'"

Dapat dipastikan bahwa tak seorang wali Allah pun, baik sebelum maupun setelah Islam, yang pernah memperoleh kemuliaan tak berbatas ini seperti yang pernah diperoleh oleh Imam Ali as. Allah swt. telah menganugerahkan kemulian itu kepadanya sebagai penghargaan atas jerih payah dan jihadnya di jalan Islam, dan atas usahanya dalam mengikis habis egoisme dan kerelaannya berkhidmat kepada kebenaran.




2. Kelompok Hadis Kedua

Tidak sedikit hadis yang telah diriwayatkan dari Nabi saw. tentang keutamaan Ahlul Bait Nabi saw. yang suci, keharusan mencintai dan berpegang teguh kepada mereka. Berikut ini adalah sebagian dari hadis-hadis tersebut:




Hadis Tsaqalain




Hadis Tsaqalain termasuk hadis Nabi saw. yang paling indah, paling sahih, dan paling tersebar luas di kalangan muslimin. Hadis ini telah diabadikan oleh Enam Kitab Sahih (Al-Kutub As-Sittah), dan para ulama juga menerimanya.

Perlu diingatkan di sini bahwa Nabi saw. telah menyampaikan hadis tersebut di beberapa tempat dan kesempatan. Di antaranya ialah berikut ini:

Zaid bin Arqam meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda: "Sesungguhnya aku tinggalkan dua pusaka berharga untuk kalian. Jika kalian berpegang teguh kepada keduanya, maka kalian tidak akan tersesat selamanya sepeninggalku nanti. Salah satunya lebih agung daripada yang lainnya. Yaitu Kitab Allah, tali yang membentang dari langit ke bumi, dan yang kedua adalah 'Itrahku, Ahlul Baitku. Keduanya itu tidak akan pernah berpisah sampai menjumpaiku di telaga Haudh kelak. Perhatikanlah bagaimana kalian memperlakukan keduanya itu sepeninggalku kelak."

Nabi saw. juga pernah menyampaikan hadis ini ketika sedang melaksanakan haji Wada' pada hari Arafah. Jâbir bin Abdillah Al-Anshârî meriwayatkan hadis seraya berkata: "Aku melihat Rasulullah saw. pada haji Wada' pada hari Arafah. Ketika itunya berpidato sedangnya berdiri di atas punggung untanya yang bernama Al-Qashwâ'. Aku mendengarnya berkata, 'Wahai manusia, sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian sesuatu yang jika kalian mengikutinya, niscaya kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitab Allah dan 'Itrahku, Ahlul Baitku.'"

Rasulullah saw. juga pernah berpidato di hadapan para sahabat Ketika ia berada di atas ranjang pada saat mendekati wafat. Ia saw. bersabda: "Wahai manusia, sebentar lagi nyawaku akan diambil dengan cepat, lalu aku pergi. Dan sebelum ini aku pernah menyampaikan suatu ucapan kepada kalian. Yaitu aku tinggalkan untuk kalian Kitab Tuhanku Yang Mulia nan Agung dan 'Itrahku, Ahlul Baitku." Kemudian ia saw. memegang tangan Ali as. seraya berkata: "Inilah Ali yang selalu bersama Al-Qur'an dan Al-Qur'an pun senantiasa bersamanya. Keduanya tidak akan pernah berpisah hingga mendatangiku di telaga Haudh."




Hadis Bahtera Nuh as.




Dalam sebuah riwayat, Abu Sa'îd Al-Khudrî berkata: "Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Sesungguhnya perumpamaan Ahlul Baitku di tengah-tengah kalian adalah bagaikan bahtera Nuh as. Barang siapa yang menaikinya, niscaya ia akan selamat. Dan barang siapa yang meninggalkannya, maka ia akan tenggelam. Dan perumpamaan Ahlul Baitku di tengah-tengah kalian bagaikan pintu Hiththah (pengampunan) bagi Bani Isra'il. Barang siapa yang memasukinya, maka dosanya akan diampuni."

Hadis tersebut menegaskan agar umat manusia berpegang teguh kepada 'Itrah suci. Karena mereka adalah kunci keselamatan mereka dari tenggelam dan kebinggungan hidup ini. Ahlul Bait adalah bahtera penyelamat dan pengaman bagi umat manusia.

Imam Syarafuddin menulis: "Anda ketahui bahwa maksud dari penyerupaan mereka dengan bahtera Nuh as. adalah bahwa barang siapa yang bersandar kepada mereka di dunia dan akhirat; yaitu mengambil ajaran agama, baik pondasi maupun cAbângnya, dari para imam suci, maka ia akan selamat dari azab api neraka. Dan barang siapa membelakangi mereka, maka ia seperti orang yang berlindung kepada bukit ketika topan bergemuruh kencang agar selamat dari ketentuan Allah. Perbedaannya, ia hanya tenggelam di air. Sedangkan orang yang meninggalkan para imam suci akan terjerumus ke dalam neraka Jahanam. Semoga Allah melindungi kita.

Adapun sisi penyerupaan mereka dengan pintu pengampunan, artinya adalah Allah swt. menjadikan pintu tersebut sebagai salah satu lambang kerendahan diri terhadap keagungan-Nya dan ketundukan kepada ketentuan-Nya. Dengan demikian pintu itu menjadi faktor pengampunan dosa. Ini adalah rahasia penyerupaan tersebut. Tetapi Ibn Hajar berupaya mengutarakan rahasia yang lain di balik penyerupaan itu setelah ia memaparkan hadis tersebut dan hadis-hadis lainnya yang serupa. Ia menulis, 'Sisi penyerupaan mereka dengan bahtera Nuh as. adalah bahwa barang siapa yang mencintai dan menghormati mereka karena mensyukuri nikmat kemuliaan mereka dan mengikuti petunjuk ulama mereka, maka ia akan selamat dari kegelapan pertentangan. Dan barang siapa yang meninggalkan mereka, maka ia akan tenggelam di lautan pengingkaran nikmat dan terjerumus ke dalam lembah kesesatan ... Adapun faktor penyerupaan mereka dengan pintu Hiththah adalah bahwa sesungguhnya Allah swt. telah menjadikan masuk ke pintu Araiha atau Baitul Maqdis dengan rasa rendah hati dan beristrigfar sebagai faktor pengampunan dosa, dan juga menjadikan kecintaan kepada Ahlul Bait sebagai sebab pengampunan dosa bagi umat ini, (tidak lebih dari itu).'"




Ahlul Bait Pengaman Umat




Nabi saw. mewajibkan kecintaan kepada Ahlul Bait atas umat ini. Ia menegaskan bahwa berpegang teguh kepada mereka adalah faktor pengaman dari kehancuran. Ia saw. bersabda: "Bintang-bintang adalah pengaman bagi penduduk bumi dari tenggelam. Dan Ahlul Baitku adalah pengaman bagi umatku dari pertentangan dan pertikaian. Apabila salah satu kabilah Arab menentang mereka, ini berarti mereka telah bertikai. Akibatnya, mereka menjadi pengikut Iblis."




Jihad Ali as. Bersama Nabi saw.

Secara positif, landasan dakwah Nabi saw. adalah mengajak umat manusia kepada perdamaian dan membebaskan mereka dari setiap ancaman kehancuran dan kerugian perang. Ia memulai dakwah dari kota Mekah, kota sentral kekuatan jahiliah yang dikuasai oleh orang-orang kafir Quraisy. Dasar gerakan dan pemikiran mereka adalah kebodohan, kecongkakan, dan egoisme. Mereka adalah kaum yang keras kepala, sombong, dan bersikeras untuk mengadakan perlawanan terhadap Rasulullah saw. Di samping itu, mereka melakukan penyiksaan terhadap orang-orang yang beriman kepada missi Nabi saw. Kondisi ini menyebabkan mereka harus berhijrah ke Habasyah demi menyelamatkan diri mereka dari kekerasan dan tekanan kaum kafir Quraisy. Pada saat itu, Rasulullah saw. dilindungi oleh Singa Padang Pasir, Abu Thalib, dan putranya, Imam Ali as. Setelah Sang Singa ini kembali ke haribaan Ilahi untuk selamanya, ia tidak memiliki lagi pendukung untuk berlindung diri. Kesempatan tersebut digunakan oleh kaum kafir Quraisy untuk bersekongkol membunuhnya. Mengetahui rencana dan makar jahat ini, ia segera berhijrah ke Yatsrib (Madinah). Di Madinahnya memperoleh sambutan yang hangat dan perlindungan dari penduduknya. Mengetahui peristiwa ini, kaum kafir Quraisy bertambah berang dan marah seperti orang kebakaran jenggot. Mereka sepakat untuk menyulut api peperangan dengan penduduk Yatsrib dan berupaya mengerahkan seluruh sarana dan kekuatan ekonomi untuk menyerang dan melumpuhkan mereka.

Ali as. senantiasa siap siaga di samping Rasulullah saw. untuk melindunginya dan melakukan serangan balik dalam seluruh peperangan yang disulut oleh kaum kafir Quraisy itu. Rasulullah saw. menjadikan Ali as. sebagai komandan perang yang bertugas di garis depan.

Sebagian peperangan yang pernah diikuti Imam Ali as. adalah berikut ini:




1. Perang Badr

Dalam sejarah, peristiwa Badr telah mencatat kemenangan yang gemilang bagi Islam dan muslimin. Perang ini adalah pukulan yang telak bagi musyrikin. Dalam perang ini, Allah swt. telah memuliakan hamba dan Rasul-Nya, Muhammad saw., menghinakan dan menaklukan para musuhnya. Pahlawan ksatria pada perang ini adalah Imam Amirul mukminin Ali as. Pedang Ali menghantarkan mereka ke ambang kematian. Kepala musyrikin dan para penentang Tuhan tertebas habis oleh pedang tersebut. Ketangkasan dan kegigihan Ali dalam perang tidak diragukan lagi sehingga Jibril turun dan menyampaikan pujian untuknya dengan ungkapan: "Tidak ada pedang selain Dzul Fiqâr dan tidak ada pemuda selain Ali."

Kami telah menjelaskan perang Badr ini dan peran positif Imam Ali as. secara rinci pada Mawsû'ah Al-Imam Amirul Mukminin Ali as., jilid ke-2.




2. Perang Uhud

Dengan penuh duka yang mendalam, kaum kafir Quraisy menerima informasi kekalahan pasukannya dan kerugian yang berlipat ganda di front pertempuran Badar. Hindun, ibu Mu'âwiyah, termasuk salah seorang yang begitu merasa terpukul dan berduka dengan kekalahan itu. Ia melarang orang-orang Quraisy, baik kaum laki-laki maupun kaum wanita, untuk menangisi para perajurit yang terbunuh di medan Badar. Duka dan kesedihan itu tidak akan pernah padam di dalam lubuk hati mereka sebelum mereka dapat melakukan balas dendam.

Abu Sufyân bertindak sebagai panglima tertinggi pasukan pada perang Uhud. Dialah yang memberikan semangat kepada masyarakat jahiliah Quraisy untuk memerangi Rasulullah saw. Mereka mengumpulkan harta benda dan dana untuk membeli peralatan dan perbekalan perang. Himbauan Abu Sufyân itu disambut baik oleh masyarakat demi memerangi Rasulullah saw.

Pasukan Abu Sufyân keluar menuju medan Uhud dengan penuh semangat dan hati yang menggelora disertai oleh kaum wanita mereka sampai peperangan berakhir. Hindun memimpin pasukan wanita. Kaum wanita ini bergerak sembari menabuh genderang dan mendendangkan syair:




Bangkitlah wahai putra-putra Abdi Dar.

Bangkitlah wahai para penjaga negeri tak gentar.

Pukulkan pedang kalian dengan bak halilintar.




Sementara itu, Hindun sendiri menyanyikan dendang khusus yang ia tujukan kepada pasukan Quraisy dengan suara yang lantang:




Jika kalian maju berperang, kami akan peluk kalian dan gelar permadani.

Jika kalian mundur, kami akan berpisah dengan kalian sampai mati.




Pasukan kaum musyrikin Quraisy ketika itu berjumlah tiga ribu orang. Sementara pasukan muslimin hanya berjumlah tujuh ratus orang.

Seorang prajurit musyrikin yang bernama Thalhah bin Abi Thalhah maju ke depan dengan bendera komando di tangannya. Ia mengangkat suranya tinggi-tinggi: "Hai para sahabat Muhammad, apakah kalian yakin bahwa Allah akan mempercepat kami pergi ke neraka dengan pedang-pedang kalian, dan mempercepat kalian menuju ke surga dengan pedang-pedang kami? Siapakah yang berani duel denganku?"

Pejuang Islam, Imam Ali as., segera menimpali dan menyerangnya. Dengan sabetan pedangnya, lelaki itu jatuh ke tanah dengan berlumuran darah. Ali as. membiarkannya jatuh dan tidak meneruskan perlawanannya. Tidak lama kemudian, darahnya tumpah dan ia binasa. Kaum muslimin menyambut kemenangan Ali as. itu dengan penuh gembira, sementara kaum musyrikin menjadi hina dan nyali mereka surut. Bendera komando pasukan musyrikin Quraisy diambil alih oleh yang lain. Imam Ali as. menyambut dan melakukan serangan kepada beberapa orang Quraisy seraya menebas kepala-kepala mereka dengan pedangnya yang tajam. Hindun selalu membangkitkan semangat jiwa prajurit kaum musyrikin dan mendorong mereka agar menyerang kaum muslimin. Setiap kali seorang dari mereka gugur, ia menawarkan celak sembari berseloroh: "Kamu ini hanyalah seorang wanita pengecut. Pakailah celak mata ini ini."

Sangat disayangkan, dalam peperangan ini kaum muslimin mengalami kekalahan yang pahit dan kerugian yang memalukan. Hampir saja bendera Islam jatuh karena itu. Hal itu terjadi karena kecerobohan sekelompok pasukan Islam yang berani menyalahi pesan Rasulullah saw. Ketika itu Rasulullah saw. memerintahkan sekelompok pemanah yang dipimpin oleh Abdullah bin Jubair agar tetap diam di atas bubkit demi menjaga kaum muslimin dari arah belakang. Ia sangat menekankan agar mereka tidak bergeser sedikitpun dari tempat tersebut. Ketika pertempuran sedang terjadi, para pemanah itu berhasil membidikkan panah-panah mereka ke arah pasukan kafir Quraisy dan banyak membunuh mereka. Pasukan Quraisy mengalami kekalahan telak dan mereka kabur tunggang-langgang dengan meninggalkan berbagai senjata dan barang-barang berharga. Kaum muslimin mulai mengumpulkan harta rampasan perang. Melihat harta kekayaan yang melimpah itu, sebagian besar pasukan pemanah meninggalkan pos mereka untuk turut serta berebut harta rampasan perang. Mereka telah lupa akan pesan Nabi saw. untuk tetap tinggal di pos tersebut. Khalid bin Walid, pimpinan pasukan kafir Quraisy, melihat kondisi para pemanah tersebut dan merasa memiliki kesempatan emas. Ia segera melakukan serangan terhadap para pemanah yang masih tersisa di atas bukit itu sehingga banyak pasukan muslimin yang terbunuh. Setelah itu, Khalid dan pasukannya menyerang para sahabat Nabi saw. dari arah belakang dan berhasil memporak-porandakan dan membunuh prajurit muslimin. Dalam serangan ini, prajurit musyrikin banyak membunuh tokok-tokoh pasukan muslimin.




Pembelaan Ali as. Terhadap Nabi saw.




Kekalahan yang sangat menyakitkan menimpa kaum muslimin. Sebagian pasukan mereka kabur. Hal ini membuat mereka takut dan gentar menghadapi kaum musyrikin. Akhirnya sebagian besar mereka meninggalkan Nabi saw. yang telah dikepung oleh musuh-musuh Islam. Nabi saw. mengalami luka-luka parah dan jatuh terjerembab ke dalam lubang yang dibuat oleh Abu Amir dan sengaja ia sembunyikan agar kaum muslimin jatuh ke dalamnya. Ketika itu, Ali as. berada di samping Rasulullah saw. Ia segera memegang tangan Nabi saw., sementara Thalhah bin Abdullah mengangkatnya sehingga ia dapat berdiri. Pada saat itu, Nabi saw. menoleh kepada Ali as. seraya bertanya: "Hai Ali, apa yang telah mereka lakukan?" Ali as. menjawab dengan hati yang tersayat: "Ya Rasulallah, mereka menyalahi janji dan kabur tunggang langgang."

Sekelompok orang Quraisy berusaha melakukan serangan terhadap Nabi saw. sehingga ia terpojok. Ia berkata kepada Ali: "Halaulah mereka, hai Ali." Ali as. menyerang mereka tanpa menunggangi kuda, dan berhasil membunuh empat orang anak Abu Sufyân bin 'Auf dan enam orang dari kelompok penyerang tersebut. Setelah berusaha dengan susah payah, akhirnya Imam Ali as. berhasil menghalau dan mempermalukan mereka. Kemudian datang lagi kelompok yang lain untuk menyerang Nabi saw. Di antara mereka terlihat Hisyâm bin Umayyah. Ali as. pun berhasil membunuhnya, dan mereka yang masih tersisa kabur. Setelah itu, kelompok ketiga datang menyerang Rasulullah saw. Di tengah-tengah mereka terlihat Busyr bin Mâlik. Ali as. juga berhasil membunuhnya, dan sisa kelompok itu pun kabur dengan kekalahan yang memalukan.

Melihat keberanian dan ketangkasan Ali as., Jibril memohon izin kepada Allah untuk turun. Ia berkata kepada Nabi saw.: "Perlawanannya sungguh membuat kagum para malaikat." Rasulullah saw. bersabda kepadanya: "Kenapa tidak, karena Ali dariku dan aku darinya." Jibril menimpali: "Dan aku dari kalian berdua."

Dengan penuh keperkasaan dan ketangkasan, Ali as. senantiasa teguh membela Nabi saw. Selama pembelaan ini, ia tertebas pedang sebanyak enam belas tebasan. Setiap tebasan tersebut telah berhasil membuat Ali as. jatuh tersungkur ke atas tanah. Tetapi tak seorang pun yang membangunkannya selain Jibril.

Seluruh musibah dan bencana gala yang dialami oleh pejuang Islam dan penghulu orang-orang yang bertakwa ini hanyalah demi membela Islam semata.

Dalam perang Uhud ini, pejuang Islam abadi yang bernama Hamzah, paman Nabi saw. meneguk cawan syahadah. Ketika mengetahui kesyahidannya, Hindun sangat gembira dan berusaha mencari jenazahnya. Tatkala berhasil menemukan jenazahnya, bagaikan anjing hutan ia merobek perut Hamzah dan mengeluarkan hatinya, kemudian mengunyahnya dan memuntahkannya kembali. Ia juga mengiris hidung dan kedua telinga Hamzah, dan kedua anggota tubuh mulia itu ia jadikan kalung. Hal itu menggambarkan betapa kedengkian dan kebuasan Hindun yang sangat mendalam serta fanatismenya yang sangat tinggi. SuAmînya, Abu Sufyân, juga tidak mau ketinggalan. Ia bergegas menuju jenazah Hamzah dan berbicara kepadanya dengan penuh caci maki dan kedengkian seraya berkata: "Hai Abu Amârah, masa telah berganti. Kini telah tiba saatnya, dan dendam nafsuku menjadi reda." Kemudian Abu Sufyân mengangkat tombaknya dan menancapkannya ke badan Hamzah yang sudah tak bernyawa lagi itu sembari berkata: "Rasakanlah, rasakanlah!" ... Setelah berbuat demikian, ia berpaling dengan hati gembira dan suka ria. Hatinya yang penuh dengan kemusyrikan, kedengkian, dan sifat-sifat buruk itu merasa puas dengan terbunuhnya Hamzah.

Setelah peperangan usai, Nabi saw. menghampiri jenazah pamannya, Hamzah, yang telah dirobek-robek perutnya oleh Hindun. Dengan hati yang sangat sedih dan pilu, ia memandang jasad pamannya itu seraya berkata: "Hai Hamzah, aku belum pernah ditimpa musibah seperti musibah yang kualami lantaran kepergianmu ini. Aku tidak pernah merasa murka sebagaimana kemurkaanku atas tragedi ini. Sekiranya Shafiyyah tidak berduka dan setelah wafatku nanti tidak dijadikan tradisi, niscaya sudah aku tinggalkan tubuhmu sehingga menjadi mangsa binatang-binatang buas dan burung-burung ganas. Jika sekiranya Allah memenangkanku atas orang-orang kafir Quraisy dalam sebuah peperangan nanti, maka aku akan mencacah-cacah tiga puluh orang dari mereka."

Muslimin yang lain pun bangkit menuju jasad Hamzah. Mereka berkata: "Jika kami dapat mengalahkan orang-orang kafir itu pada suatu hari nanti, pasti kami akan mencacah-cacah badan mereka dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh seorang Arab pun."

Melihat hal ini, Jibril turun menyampaikan ayat yang berbunyi: "Jika engkau menyiksa mereka, maka siksalah sesuai dengan apa yang mereka lakukan terhadapmu. Tetapi jika kamu bersabar, maka hal itu lebih baik bagi orang-orang yang sabar. Bersabarlah, kesabaranmu tiada lain kecuali hanya karena Allah. Janganlah bersedih atas mereka dan janganlah merasa sempit hati terhadap tipu daya mereka." (QS. An-Nahl [16]:129-127)

Mendengar ayat ini, Nabi saw. memaafkan para musuh dan bersabar, dan juga melarang muslimin untuk melakukan pencacahan terhadap tubuh-tubuh musuh. Ia bersabda: "Sesungguhnya mencacah tubuh itu haram sekalipun tubuh anjing galak."

Satu-satunya peperangan yang membawa kekalahan telah bagi kaum muslimin adalah perang Uhud. Ibn Ishâq berkata: "Sesungguhnya Uhud merupakan hari duka, bencana, ujian berat. Allah menguji orang yang beriman dengannya dan menampakkan orang munafik yang melahirkan keimanan pada lisannya, sementara ia menyimpan kekufuran dalam hatinya. Lebih dari itu, Uhud adalah hari kehormatan bagi orang-orang yang dimuliakan dengan mati syahid."

Seusai peperangan, Rasulullah saw. memberitahukan kepada Ali as. bahwa selepas peperangan Uhud ini, kaum musyrikin tidak akan dapat mengalahkan kaum muslimin hingga Allah memberikan kemenagan bagi muslimin.

Demikianlah perang Uhud ini berakhir. Sebagian kisah perang Uhud ini telah kami jelaskan dalam buku kami, Mawsû'ah Al-Imam Amiril Mukminin, jilid ke-2.




3. Perang Khandak

Nama lain perang Khandak adalah perang Ahzab. Hal itu lantaran beberapa kelompok kaum musyrikin bergabung membentuk satu kekuatan tunggal untuk menyerang pasukan Rasulullah saw. Pada peristiwa perang ini, kaum muslimin betul-betul merasa khawatir dan diliputi rasa takut yang dahsyat. Faktor utamanya adalah karena pasukan musyrikin yang sangat kuat dan orang-orang Yahudi juga turut bergabung dengan mereka. Seluruh pasukan mereka berjumlah sepuluh ribu prajurit. Sementara pasukan muslimin hanya berjumlah tiga ribu prajurit saja.

Ketika melukiskan sejauh mana rasa takut yang dialami oleh kaum muslimin dalam peperangan ini, Al-Qur'an berfirman: "Ketika mereka mendatangimu dari bagian atas dan bagian bawah kalian dan ketika mata-matamu terbelalak dan rasa takutmu sampai menembus hati." (QS. Al-Ahzâb [33]:10)

Pada perang ini, Allah telah memberikan kemenangan bagi Islam melalui tangan Ali bin Abi Thalib as. Dialah orang yang telah berhasil menghancurkan dan memporak-porandakan barisan kaum musyrikin.




Menggali Parit




Ketika Nabi saw. mengetahui pasukan Quraisy dan Bani Ghathafân ingin melakukan serangan terhadap muslimin, ia saw. mengumpulkan para sahabat dan memberitahukan kepada mereka rencana musuh tersebut. Ia saw. meminta pendapat mereka masing-masing demi menghalau musuh Islam itu. Salman Al-Fârisî, salah seorang sahabat terkemuka, mengusulkan untuk menggali parit di sekitar kota Madinah. Nabi saw. menyetujui pandangannya itu dan memerintahkan para sahabat untuk menggali parit. Ide tersebut merupakan taktik perang yang jitu untuk menyelamatkan pasukan muslimin dari serangan musuh Islam. Melihat parit digali di sekitar kota itu, pasukan musuh bingung dan tidak memiliki jalan lain untuk melancarkan serangan terhadap muslimin. Dengan terpaksa, mereka hanya dapat menggunakan anak panah. Kaum muslimin pun menjawab serangan mereka dengan serangan yang sama. Saling-melempar anak panah pun terjadi antara kedua pasukan tersebut tanpa terjadi perangan terbuka di antara mereka.




Imam Ali as. Bertanding dengan 'Amr




Orang-orang kafir Quraisy merasa jengkel dengan kondisi perang semacam ini. Karena hal itu tidak memberi kemenangan kepada mereka. Mereka berusaha mencari ukuran lebar parit yang agak sempit agar kuda-kuda mereka dapat melompati dan menyeberangi parit. Di tengah-tengah mereka terlihat 'Amr bin Abdi Wud. Dia adalah ksatria Quraisy dan penunggang kuda Kinânah yang tangguh pada masa jahiliah.

'Amr menggenggam pedang. Ia laksana benteng kokoh. Ia menaiki kudanya dengan penuh bangga dan congkak. Dengan segenap kekuatan ia dapat melompati parit. Kaum muslimin yang menyaksikan hal itu merasa ciut, kerdil, dan gemetar. 'Amr maju menghadap mereka dengan perlahan tapi pasti. Dengan suara yang lantang dan penuh penghinaan ia berkata: Hai perajurit Muhammad, adakah yang berani melawanku?"

Hati kaum muslimin bak tercabut dari tempatnya. Mereka diliputi rasa takut. Untuk kedua kalinya 'Amr angkat suara: "Adakah yang berani melawanku?"

Tak seorang pun berani menjawab. Tetapi pejuang Islam, Imam Amirul Mukminin as. menjawab: "Aku yang melawannya, ya Rasulullah."

Rasulullah saw. merasa khawatir atas keselamatan putra pamannya itu. Ia berkata: "Ketahuilah, dia adalah 'Amr!"

Imam Ali as. menaati perintah Rasulullah saw. dan segera duduk kembali. Kembali 'Amr mengejek kaum muslimin dan berkata: "Hai para sahabat Muhammad, mana surga yang kalian duga akan memasukinya jika kalian terbunuh? Siapakah di antara kalian yang menginginkannya?"

Pasukan muslimin membisu seribu bahasa. Imam Ali as. tetap memaksa Nabi saw. agar memberi izin untuk melawannya. Tak ada lagi alasan bagi Nabi untuk menolak desakan Ali as. Nabi saw. menetapkan sebuah predikat bagi Ali as. sebagai tanda keagungan dan kehormatan. Ia saw. bersabda: "Seluruh iman telah keluar untuk menentang seluruh kekufuran."

Sungguh betapa predikat kehormatan yang kekal abadi dan bersinar bak matahari. Rasulullah saw. telah memberikan predikat "seluruh imam dan Islam" bagi Abul Husain dan predikat "seluruh kekufuran" bagi 'Amr. Setelah itu Nabi saw. mengangkat kedua tangan seraya memanjatkan doa dan harapan kepada Allah swt. agar menjaga putra pamannya itu. Ia saw. berkata: "Ya Allah, Engkau telah mengambil Hamzah dariku di perang Uhud dan mengambil 'Ubaidah di perang Badar. Maka jagalah Ali pada hari ini. Wahai tuhanku, janganlah Engkau biarkan aku sendirian. Sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pewaris."

Ali as. maju menyerang dengan penuh semangat. Ia tidak merasa takut dan gentar sedikitpun terhadap 'Amr bin Abdi Wud. Ia bangkit dengan tekad yang kokoh membaja bak ksatria yang tak ada bandingannya. 'Amr terkejut dengan pemuda yang berani maju untuk melawan dan tak gentar.

'Amr bertanya: "Siapa kamu?"

Imam Ali menjawab dengan meremehkannya: "Aku adalah Ali bin Abi Thalib."

'Amr menampakkan rasa kasihan kepadanya seraya berkata: "Dahulu, ayahmu adalah teman baikku."

Imam Ali as. tidak bergeming sedikit pun dengan celotehan 'Amr itu. Ia malah menjawab: "Hai 'Amr, engkau telah berjanji kepada kaummu bahwa tidak seorang pun dari Quraisy yang mengajakmu kepada tiga karakter melainkan engkau pasti menerimanya?"

'Amr menjawab: "Ya, itulah janjiku."

Ali as. berkata: "Aku mengajakmu kepada Islam."

'Amr tertawa seraya berkata kepada Imam Ali sembari menghina: "Jadi, aku harus meninggalkan agama nenek moyangku? Jangan usik masalah ini!"

Ali as. berkata: "Aku akan menahan tanganku untuk membunuhmu, dan engkau bebas kembali."

Mendengar ucapan lancang itu, 'Amr marah dan berkata: "Jika begitu, bangsa Arab pasti membincangkan kepengecutanku."

Imam Ali as. melontarkan tawaran ketiga yang 'Amr sendiri telah berjanji untuk menerimanya. Imam Ali berkata: "Kalau begitu, aku mengajakmu duel."

'Amr sangat terkejut dengan keberanian pemuda yang telah berani menantang dan menginjak-injak kehormatannya. 'Amr turun dari kudanya dan dengan cepat melayangkan pedangnya ke arah leher Imam Ali as. Imam menangkis serangannya dengan prisai. Tetapi pedang 'Amr dapat menembus ke bagian kepala Imam Ali as. dan menciderainya. Muslimin yakin bahwa Imam Ali as. telah menjumpai ajal. Tetapi Allah swt. menolong dan menjaganya. Imam Ali as. kembali menyerang 'Amr dengan pedang hingga ia roboh. Ksatria Quraisy dan simbol kemusyrikan itu jatuh tersungkur di atas tanah dengan berlumuran darah seperti seekor sapi yang disembelih berlumuran darah.

Imam Ali as. mengucapkan takbir yang diikuti oleh pasukan muslimin. Tulang punggung kemusyrikan telah runtuh dan kekuatannya telah lumpuh. Sementara Islam telah menggapai kemenangan yang gemilang melalui kegagahan Imam Al-Muttaqîn as. Sekali lagi Nabi saw. menghadiahkan predikat agung kepada Imam Ali as. di sepanjang sejarah. Ia bersabda: "Sesungguhnya pertempuran Ali bin Abi Thalib atas 'Amr bin Abdi Wud pada perang Khandak adalah lebih utama daripada amal umatku hingga Hari Kiamat."

Salah seorang sahabat Nabi saw. yang bernama Hudzaifah bin Al-Yaman berkata: "Seandainya keutamaan Ali as. dengan membunuh 'Amr pada perang Khandak itu dibagi-bagikan kepada seluruh kaum muslimin, niscaya keutamaan itu akan mencukupi mereka."

Kemudian turun ayat kepada Rasulullah saw.:.".. dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan (dengan memberikan kemenangan kepada mereka) ...." (QS. Al-Ahzâb [33]:25)

Tentang tafsir ayat ini Ibn Abbâs berkata: "Sesungguhnya Allah mencukupkan kaum mukminin dengan pertempuran Ali as."

Di samping itu, Imam Ali as. juga berhasil membunuh seorang prajurit Quraisy lainnya yang bernama Naufal bin Abdullah. Dengan demikian, Quraisy mengalami kekalahan yang telak. Ketika itu Rasulullah saw. bersabda: "Kini kita telah mengalahkan mereka, dan mereka tidak akan mampu mengalahkan kita."

Akhirnya, pasukan kafir Quraisy mengalami kerugian dan kegagalan yang fatal. Sebaliknya, muslimin tidak mengalami kekalahan sedikit pun dalam peperangan ini.




4. Penaklukan Benteng Khaibar

Setelah Allah swt. memuliakan Nabi-Nya dan menghinakan kaum kafir Quraisy, ia berpikir bahwa program kaum muslimin tidak akan berjalan lancar, negara Islam tidak akan damai, dan slogan muslimin tidak akan terangkat tinggi di muka bumi ini selama kekuatan Yahudi sebagai musuh bebuyutan Islam dari sejak dulu hingga saat itu masih bercokol. Pusat kekuatan dan eksistensi mereka terletak di benteng Khaibar. Benteng ini adalah pusat produksi senjata modern pada masa itu. Di antara senjata yang mereka produksi adalah manjanik yang mampu menembakkan peluru-peluru api. Ketika itu Yahudi adalah sebuah kekuatan yang siap membantu setiap golongan yang ingin memerangi Islam dengan berbagai senjata dari pedang, panah, hingga prisai.

Nabi saw. memerintah pasukan muslimin agar melakukan serangan terhadap benteng Khaibar. Ia menyerahkan komando pasukan kepada Abu Bakar. Ketika Abu Bakar tiba di benteng Khaibar dengan pasukannya, orang-orang Yahudi melemparinya dengan manjanik sehingga Abu Bakar merasa kalah dan kembali dengan ketakutan dan gemetar. Pada hari kedua, Rasulullah saw. menyerahkan komando pasukan kepada Umar bin Khattab. Ternyata Umar tidak berbeda dengan sahabatnya itu. Ia kembali dengan membawa kegagalan. Selama benteng Khaibar tetap tegar dan tertutup rapat, tak seorang pun yang akan berhasil menguasai benteng tersebut.

Setelah muslimin tidak mampu menumbangkan benteng Khaibar dan kepemimpinan Abu Bakar dan Umar dianggap gagal, Nabi saw. mengumumkan bahwa ia akan mengangkat seorang komandan perang yang Allah swt. akan memberikan kemenangan di tangannya. Ia bersabda: "Besok aku akan berikan bendera komando perang kepada seorang laki-laki yang mencintai Allah swt. dan Rasul-Nya. Allah dan Rasul-Nya juga mencintainya. Dia tidak akan mundur sampai Allah memberikan kemenangan kepadanya."

Mendengar maklumat tersebut, muslimin tidak sabar lagi ingin mengetahui siapakah komandan pasukan yang Allah akan menganugerahkan kemenangan kepadanya itu. Mereka tidak menduga bahwa ia adalah Imam Ali as. Karena pada saat itu ia sedang menderita sakit mata. Ketika sinar matahari pagi mulai menyingsing, Nabi saw. memanggil Ali as. Ketika itu kedua matanya dibalut dengan kain. Setelah berada di hadapan Nabi saw., ia melepaskan kain pembalut itu dari kedua mata Ali as. Lalu Nabi saw. memoleskan ludahnya kepada kedua matanya. Seketika itu juga sakit mata Ali as. sembuh. Rasulullah saw. berkata: "Hai Ali, ambillah bendera ini sehingga Allah memberikan kemenangan kepadamu!"

Pejuang Islam itu menerima bendera komando tersebut dari Nabi saw. dengan tekad yang kuat membaja dan gagah perkasa. Imam Ali as. bertanya kepada Rasulullah saw.: "Apakah aku perangi mereka sampai mereka memeluk Islam?"

Nabi saw. menjawab: "Laksanakanlah tugas ini sampai engkau dapat menundukkan mereka. Lalu ajaklah mereka kepada Islam. Beritahukan kepada kewajiban-kewajiban mereka. Demi Allah, jika Allah memberikan petunjuk kepada seorang saja dari mereka melalui tanganmu, niscaya hal itu lebih baik bagimu daripada memiliki unta merah."

Sang panglima perang, Ali as., segera melakukan serangan dengan gagah berani. Tak sebersit pun rasa takut dan gentar tergores di dalam hatinya. Ia mengangkat bendera komando itu tinggi-tinggi menuju benteng Khaibar. Ia berhasil mencabut pintu benteng Khaibar dan menjadikannya sebagai prisai untuk menangkal serangan orang-orang Yahudi. Pasukan Yahudi pun merasa gentar ketakutan dan pucat pasi. Gerangan ksatria apakah ini?! Ia mampu mencopot pintu benteng Khaibar dan menjadikannya sebagai perisai! Padahal pintu itu tidak dapat dicopot kecuali oleh empat puluh orang kuat. Bagaimana mungkin pintu itu dapat dicopot oleh satu orang saja?! Sungguh hal itu merupakan keajaiban yang sangat menakjubkan.




Imam Ali as. Melawan Marhab




Marhab adalah seorang ksatria Yahudi yang gagah berani. Ia menantang Imam Ali as. untuk bertanding. Marhab maju dengan mengenakan penutup wajah pelindung buatan Yaman dan batu berlobang yang ia letakkan di kepalanya seraya bersyair:




Khaibar tahu aku adalah Marhab.

Penghunus pedang pahlawan tangguh.

Bagai singa kekar menyerang musuh.




Imam Ali as. menyambutnya. Ia mengenakan jubah berwarna merah. Sebagai jawAbân syair Marhab, ia bersyair:




Akulah yang dinamai oleh ibuku Haidar.

Sang pemberani dan singa tak gentar.

Singa penerkam musuh bak halilintar.

Kedua lenganku terbuka lebar kekar.

Kekar dan tangguh bak singa hutan keluar.

'Kan kutebas setiap batang leher pengingkar.

'Kan kuperangi mereka untuk yang benar.

'Kan kuperangi mereka dengan pedangku yang tegar.




Tidak seorang perawi pun yang berbeda pendapat bahwa syair tersebut adalah syair Imam Ali as. Dalam bait-bait syairnya itu, Imam Ali as. menjelaskan kegagahan, kekuatan, ketangkasan, keberanian, dan ketegarannya dalam menghadapi orang-orng kafir dan para pembangkang.

Imam Ali as. maju menghadapi Marhab dengan keberaniannya yang luar biasa. Dengan cepatnya menyabetkan pedangnya ke arah kepala Marhab hingga menembus penutup kepalanya. Marhab pun terhuyung jatuh ke atas tanah dengan darah yang bersimbah. Kemudian ia menyeret mayat Marhab dan membiarkannya terkapar menjadi mangsa binatang-binatang buas dan burung-burung pemakan bangkai. Dengan itu, Allah swt. telah menetapkan kemenangan yang gemilang bagi Islam. Benteng Khaibar telah ditaklukkan dan Allah telah menghinakan kaum Yahudi. Peperangan berakhir dan Imam Ali as. memberikan pelajaran keberanian yang senantiasa dikenang di sepanjang sejarah.




5. Penaklukan Kota Mekah

Allah swt. telah menetapkan kemenangan yang nyata atas hamba dan rasul-Nya, Muhammad saw. dan menghinakan kekuatan syirik dan tiran. Kekuatan musuh-musuh Islam telah mengalami kegagalan dan kerugian yang besar. Sementara kekuasaan Islam terbentang di semanjung jazirah Arabia dan bendera tauhid berkibar megah.

Rasulullah saw. melihat bahwa kemenangan yang gemilang bagi Islam tidak akan terealisasi sepenuhnya, kecuali dengan penaklukan kota Mekah sebagai benteng kemusyrikan dan kekufuran kala itu yang senantiasa memeranginya selama masih berada di sana. Nabi saw. meninggalkan kota Mekah dan telah memiliki kekuatan. Ia bergerak menuju kota itu dengan bala tentara yang terlatih sebanyak sepuluh ribu atau lebih prajurit bersenjata lengkap. Tetapinya menyembunyikan tujuan keberangkatan itu kepada para prajuritnya. Karenanya khawatir jika orang-orang kafir Quraisy tahu, mereka akan mengadakan perlawanan dan terjadi pertumpahan darah di tanah Haram. Oleh karena itu, ia merahasiakan tujuan perjalanan tersebut sehingga kedatangan pasukan muslimin yang secara tiba-tiba tersebut dapat mengejutkan penduduk Mekah.

Pasukan muslimin bergerak dengan cepat dan tanpa menyia-nyiakan kesempatan sedikitpun hingga mereka memasuki daerah pinggiran kota Mekah, sementara penduduknya tengah lelap dan lalai. Rasulullah saw. segera memerintahkan para sahabat agar mengumpulkan kayu bakar. Seketika itu juga, setumpuk besar kayu bakar telah terkumpul menggunung.

Pada malam gelap gulita itu, Nabi saw. memerintahkan agar para sahabat menyulut kayu bakar-kayu bakar itu, sehingga jilatan-jilatan api terlihat dari dalam kota Mekah. Melihat kejadian itu, Abu Sufyân betul-betul terkejut dan khawatir atas jiwa raganya. Ia berkata kepada Badîl bin Warqâ' yang tengah berada di sampingnya: "Aku belum pernah melihat sinar api seterang malam ini sama sekali." Badîl segera menimpali: "Demi Allah, ini adalah kobaran api peperangan."

Abu Sufyân mencemooh Badîl sembari berkata: "Kobaran api peperangan! Cahaya api dan bala tentaranya tidak mungkin sesedikit ini."

Rasa takut menyelimuti Abu Sufyân. Abbâs segera mendatanginya. Ia mengetahui kedatangan pasukan Islam untuk menguasai kota Mekah. Ia berkata kepada Abu Sufyân: "Hai Abu Hanzhalah!"

Abu sufyân yang mengenalnya segera berkata: "Apa ini Abul Fadhl?"

"Ya", jawab Abbâs pendek.

"Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu", tegas Abu Sufyân.

Abbâs menimpali: "Celaka engkau, hai Abu Sufyân. Itu adalah Rasulullah di tengah-tengah khalayak. Esok paginya akan menaklukkan Quraisy."

Darah Abu Sufyân seketika itu membeku. Ia sangat khawatir terhadap diri dan kaumnya. Dia berkata dengan nada gemetar: "Apa yang harus kita lakukan?"

Abbâs segera memberikan solusi sehingga darahnya terjaga. Ia berkta: "Demi Allah, jika Rasulullah berhasil menangkapmu, ia pasti akan menebas batang lehermu. Naikilah ke punggung keledai tua ini. Aku akan mendatangi Rasulullah untuk mohon perlindungan untukmu."

Abbâs membonceng Abu Sufyân yang sedang gemetar ketakutan. Abu Sufyân tidak bisa tidur semalam suntuk. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi atas dirinya karena berat dan banyaknya kejahatan yang telah ia lakukan atas kaum muslimin. Setibanya di hadapan Rasulullah saw., ia berkata kepadanya: "Celaka engkau, hai Abu Sufyân! Apakah hingga kini belum tiba waktunya untuk kamu mengakui bahwa tidak ada tuhan selain Allah?"

Nabi saw. tidak menampakkan dendam atas berbagai kejahatan yang telah dilakukan oleh Abu Sufyân terhadapnya. Ia telah mengulurkan tirai atas kejadian-kejadian tersebut demi menyebarkan ajaran Islam yang tidak menaruh dendam terhadap kejahatan musuh-musuhnya. Abu Sufyân merengek di hadapan Nabi saw. untuk memohon maaf seraya berkata: "Demi ayah dan ibuku, betapa engkau pemaaf, berkepribadian mulia, dan penyambung persaudaraan. Demi Allah, sungguh aku mengira bahwa sekiranya ada tuhan lain selain Allah, pasti ia tidak akan membutuhkanku."

Nabi saw. menoleh ke arah Abu Sufyân seraya berkata dengan lemah lembut: "Celaka engkau, hai Abu Sufyân! Belumkah tiba waktunya untuk kamu mengenal bahwa aku adalah utusan Allah?"

Ketika itu Abu Sufyân tidak mampu lagi menyembunyikan kemusyrikan dan kekufuran yang sudah terukir dalam relung hatinya. Dia berkata kepada Rasulullah saw.: "Demi ayah dan ibuku, betapa lembutnya engkau dan betapa mulia dan penyambung persaudaraan engkau. Adapun masalah ini, hingga saat ini di dalam hatiku masih terdapat sesuatu."

Abbâs yang mendengar hal itu segera memberikan peringatan kepadanya bila ia tidak bersaksi atas kenabian dan tidak masuk Islam. Abbâs berkata: "Celakalah engkau. Masuklah Islam! Bersaksilah bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhamamd adalah Rasulullah sebelum lehermu ditebas!

Lelaki kotor dan keji itu tidak memiliki jalan lain. Ia terpaksa masuk Islam dengan lisannya. Sementara kekufuran dan kemusyrikan masih tetap terpendam di dalam relung hatinya.

Nabi saw. memerintahkan pamannya, Abbâs, agar menahan Abu Sufyân di sebuah lembah yang sempit sehingga prajurit Islam melewatinya dan ia menyaksikan mereka. Hal itu agar Quraisy merasa takut untuk mengadakan perlawanan. Abbâs melaksanakan perintah Nabi saw. Para prajurit Islam melaluinya dengan membawa aneka ragam senjata.

Abu Sufyân bertanya kepada Abbâs: "Siapakah ini?"

"Sulaim", jawab Abbâs pendek.

"Aku tidak ada urusan dengan Sulaim", tukas Abu Sufyân.

Tidak lama kemudian sekelompok pasukan berkuda lainnya lewat. Abu Sufyân bertanya lagi: "Siapakah ini?"

"Mazînah", jawab Abbâs singkat.

"Aku tiak ada urusan dengan Mazînah", tukas Abu Sufyân.

Kemudian Nabi saw. lewat dengan membawa pasukan berkuda yang berpakain hijau dengan pedang terhunus. Ia dikelilingi para sahabatnya yang pemberani. Melihat itu, Abu Sufyân merasa gentar. Ia bertanya: "Siapakan pasukan berkuda itu?"

"Itu adalah Rasulullah bersama Muhajirin dan Anshar", jawab Abbâs pendek.

"Sungguh kerajaan kemenakanmu telah hebat", tukas Abu Sufyân.

Abbâs menimpali: "Hai Abu Sufyân, itulah kenabian."

Abu Sufyân menggeleng-gelengkan kepalanya seraya berkata dengan menghina: "Ya, kalau begitu."

Lelaki jahiliah ini tidak beriman kepada Islam. Ia hanya mengerti tentang kerajaan dan kekuasaan. Setelah itu Abbâs membebaskannya. Abbâs segera masuk ke dalam kota Mekah dan berteriak dengan keras: "Hai kaum Quraisy, Muhammad telah datang kepada kalian dengan pasukan yang kalian tidak mungkin dapat melawannya. Barang siapa yang memasuki rumah Abu Sufyân, maka ia akan aman."

Orang-orang Quraisy berkata kepada Abbâs: "Rumahmu tidak dapat menjamin kemanan kami?"

"Barang siapa yang menutup pintunya, maka ia akan aman. Dan barang siapa yang masuk ke dalam masjid, maka ia akan aman", teriak Abbâs lagi.

Hati kaum Quraisy menjadi tenang. Mereka segera masuk ke dalam rumah mereka dan masjid. Sementara itu, Hindun menentang Abu Sufyân. Hatinya dipenuhi kekecewaan. Ia berteriak dengan keras untuk membangkitkan amarah kaum Quraisy terhadap Abu Sufyân: "Bunuhlah lelaki keji dan kotor ini! Tindakannya tidak sesuai dengan tindakan seorang pemimpin suatu kaum."

Abu Sufyân memperingatkan kaum Quraisy agar tidak melawan dan mengajak mereka untuk menyerah. Nabi saw. memasuki kota Mekah bersama bala tentara Islam. Allah swt. telah menghinakan Quraisy dan membahagiakan muslimin yang tertindas selama ini. Nabi saw. segera menuju ke Ka'bah untuk menghancurkan patung-patung sembahan orang-orang kafir Quraisy. Ia saw. menikamkan tombak di bagian mata Hubal sambil berkata: "Telah datang kebenaran dan telah sirna kebatilan. Sesungguhnya kebatilan itu pasti sirna."

Kemudiannya saw. memerintahkan Ali as. agar menaiki pundaknya untuk menghancurkan patung-patung dan membersihkan Baitullah yang suci itu darinya. Ali as. mengangkat patung-patung itu dan melemparkannya ke atas tanah hingga hancur. Dengan itu, patung-patung itu telah hancur di tangan pahlawan Islam, sebagaimana patung-patung pernah dihancurkan oleh kakeknya, Ibrahim Khalîlullâh.




Haji Wadâ'

Nabi saw. merasa bahwa ia tidak lama lagi akan berangkat menghadap ke haribaan suci Ilahi. Karena itu, ia merasa perlu untuk melakukan haji ke Baitullah untuk menetapkan jalan-jalan keselamatan buat umat manusia. Pada tahun ke-10 Hijriah, ia berangkat menunaikan ibadah haji. Ia mengumumkan kepada segenap penduduk bahwa tidak lama laginya akan berangkat menuju ke alam akhirat dan meninggalkan dunia fana ini untuk selamanya. Ia bersabda: "Aku tidak tahu, barangkali setelah tahun ini aku tidak dapat berjumpa lagi dengan kalian untuk selamanya dalam kondisi seperti ini."

Dengan informasi itu, jamaah haji merasa takut dan khawatir. Mereka melakukan tawaf dengan perasaan sedih sembari berguman: "Nabi saw. telah memberitahukan kematian dirinya."

Nabi saw. menetapkan jalan-jalan keselamatan yang dapat menjaga umat dari segala fitnah dan menjamin kehidupan mereka yang mulia. Ia saw. bersabda: "Hai manusia, aku tinggalkan buat kalian dua pusaka yang sangat berharga, yaitu kitab Allah dan 'Itrahku, keluargaku."

Ya, berpegang teguh kepada kitab Allah, mengamalkan isinya, dan ber-wilâyah kepada Ahlul Bait as. adalah sebuah jaminan bagi umat dari penyimpangan dalam kehidupan dunia ini. Setelah selesai melakukan ibadah haji, Rasulullah saw. menyampaikan sebuah ceramah yang sangat indah. Dalam ceramah ini ia telah menjelaskan poin-poin yang sangat penting dan ajaran-ajaran Islam yang sangat benderang. Ia mengakhiri ceramah itu dengan pesan: "Sepeninggalku nanti, jangan sampai kalian kembali kepada kekufuran dan kesesatan sehingga segolongan dari kalian membunuh segolongan yang lain. Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian dua buah pusaka yang kalian pasti tidak akan tersesat untuk selamanya bila berpegang teguh kepadanya. Yaitu kitab Allah dan 'Itrahku, keluargaku. Apakah aku telah menyampaikan hal ini kepada kalian?"

"Ya", jawab mereka serentak.

Kemudian Nabi saw. bersabda lagi: "Ya Allah, saksikanlah! Sesungguhnya kalian akan dimintai tanggung jawab. Hendaknya kalian yang hadir di sini menyampaikan kepada yang gaib."

Kami telah memaparkan teks ceramahnya saw. ini dalam Mawsû'ah Al-Imam Amiril Mukminin as., jilid 2.




Muktamar Ghadir Khum

Setelah Nabi saw. menunaikan ibadah haji, ia kembali ke kota Madinah bersama rombongan jamaah haji. Ketika ia sampai di Ghadir Khum, malaikat Jibril turun kepadanya dengan membawa perintah Allah swt. yang maha penting. Allah swt. memerintahkan agarnya menghentikan rombongan di tempat tersebut guna mengangkat Ali as. sebagai khalifah dan imam atas umat setelahnya wafat. Juga ditekankan bahwa ia tidak boleh menunda-nunda pelaksanaan perintah itu. Ketika itu turun ayat: "Hai Rasulullah, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Jika engkau tidak melakukannya, maka berarti engkau belum menyapaikan semua risalah-Nya. Dan Allah menjagamu dari kejahatan manusia." (QS. Al-Mâ'idah [5]:67)

Rasulullah saw. menerima perintah tersebut dengan penuh perhatian. Dengan tekad yang kuat membaja dan kehendak yang bulat, ia menghentikan perjalanan di tengah-tengah terik matahari padang pasir. Ia memerintahkan agar kafilah jamaah haji berhenti untuk mendengarkan ceramah yang akannya sampaikan kepada mereka. Nabi saw. mengerjakan salat. Setelah usai salat, ia memerintahkan supaya pelana-pelana unta disusun menjadi mimbar. Setelah itu, ia saw. menyampaikan ceramah dengan penuh semangat. Ia menyampaikan berbagai kesulitan dan rintangan yang melitang jalan dakwah Islam yang pada saat itu umat manusia beada dalam kesesatan. Kemudian ia menyelamatkan mereka. Ia telah menanamkan pondasi kultur (Islam) dan kemajuan umat manusia. Kemudian ia saw. menoleh kepada mereka seraya berkata: "Lihatlah bagaimana kalian memperlakukan dua puaka berharga ini."

Ketika itu sebagian orang bertanya: "Apakah dua pusaka itu, ya Rasulullah?"

Rasulullah saw. menjawab: "Pusaka yang lebih besar adalah kitab Allah; satu bagian jungnya berada di tangan Allah dan satu ujungnya yang lain berada di tangan kalian. Maka berpegang teguhlah kepadanya dan janganlah kalian tersesat. Pusaka lainnya adalah lebih kecil, yaitu keluargaku. Sesungguhnya Allah Yang Maha Lembut dan Mengetahui memberitahukan kepadaku bahwa kedua pusaka itu tidak akan berpisah hingga keduanya menjumpaiku di telaga Haudh. Kemudian aku mohon hal itu kepada Tuhanku. Maka janganlah kalian mendahului keduanya, karena kalian pasti akan binasa, dan janganlah kalian lalai dari keduanya, niscaya kalian akan hancur …."

Kemudian Nabi saw. mengangkat tangan washî dan pintu kota ilmunya, Ali as. dan mewajibkan muslimin untuk ber-wilâyah kepadanya. Ia telah menobatkan dia sebagai pemimpin umat untuk menunjukkan mereka kepada jalan yang lurus.

Beliau saw. bersabda: "Hai manusia, siapakah yang lebih utama terhadap orang-orang beriman daripada diri mereka sendiri?"

Mereka menjawab: "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui."

Nabi saw. bersabda: "Sesungguhnya Allah adalah pemimpinku dan aku adalah pemimpin kaum mukminin. Maka aku lebih utama terhadap mereka daripada diri mereka sendiri. Barang siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka Ali ini adalah pemimpinnya." Ia mengulangi ucapan ini sampai tiga kali.

Setelah itunya melanjutkan: "Ya Allah, bimbinglah orang yang ber-wilâyah kepada Ali dan musuhilah orang yang memusuhinya. Cintailah orang yang mencintainya dan murkailah orang yang memurkainya. Tolonglah orang yang menolongnya dan hinakanlah orang yang menghinakannya. Dan sertakanlah hak bersamanya di mana saja dia berada. Hendaknya yang hadir menyampaikan hal ini kepada yang gaib …."

Dengan ucapan tersebut, Nabi Muhammad saw. mengakhiri pidatonya, sebuah pidato yang menentukan Ali as. sebagai rujukan seluruh umat manusia sepeninggalnya saw. Ia telah menentukan seorang pemimpin yang mengatur seluruh urusan kamu muslimin setelahnya.

Kaum muslimin menyambut hal itu dengan membaiat Imam Ali as. dan menyampaikan ucapan selamat atas jabatannya sebagai pemimpin muslimin. Nabi saw. memerintahkan para Ummul Mukminin agar membaiatnya. Umar bin Khaththab pun maju menghadap Ali as. untuk mengucapkan selamat dan menyalAmînya. Ketika itu Umar mengucapkan ucapannya yang masyhur: "Selamat, hai putra Abi Thalib, engkau telah menjadi pemimpinku dan pemimpin setiap mukmin laki-laki dan perempuan."

Hassân bin Tsâbit pun bangkit untuk membacakan bait-bait syairnya:

Nabi memanggil mereka pada hari Ghadir Khum, dengarkanlah Rasul memanggil.

Dia berkata: "Siapaklah maula dan nabi kalian?" Mereka menjawab dan tidak seorang pun buta: "Tuhanmu adalah maula kami, dan engkau adalah nabi kami. Tak seorang pun di antara kami yang menentang."

Dia bekata: "Bangkitlah, hai Ali. Aku rela engkau sebagai imam dan penunjuk jalan setelahku.

Barang siapa aku adalah walinya, maka Ali adalah walinya. Hendaklah kalian menjadi pengikutnya yang jujur."

Dia berdoa: "Ya Allah, cintailah orang yang membantunya dan musuhilah orang yang mendengkinya."

Sesungguhnya membaiat Imam Ali as. pada peristiwa Ghadir Khum adalah bagian dari missi Islam. Barang siapa yang mengingkarinya, berarti ia telah mengingkari Islam, seperti ditegaskan Allamah Al-'Alâ'ilî.




Duka Abadi

Setelah Nabi saw. menyampaikan risalah Tuhan dan menjadikan Ali as. sebagai pemimpin umat, kesehatannya mulai menurun hari demi hari. Ia terjangkit penyakit demam berat seperti panas yang membakar. Ia mengenakan sehelai selimut. Jika istri-istrinya dan para penjenguk meletakkan tangan mereka di atas selimut tersebut, mereka pasti merasakan panasnya.

Kaum muslimin berbondong-bondong menjenguknya. Ia memberitahukan kepada mereka tentang ajalnya dan menyampaikan wasiatnya yang abadi. Ia berkata: "Hai manusia, sebentar lagi nyawaku segera akan diambil, lalu aku akan dibawa. Aku sampaikan kepada kalian sebuah amanat demi menyempurnakan hujah bagi kalian. Aku tinggalkan untuk kalian kitab Allah dan 'Itrahku, Ahlul Baitku."

Ajal begitu cepat mendekat kepadanya. Pada waktu itu, ia membaca ada glagat-glagat fanatisme golongan di dalam diri para sahabat untuk berusaha keras mengalihkan kekhalifahan dari Ahlul Baitnya as. Ia berpikir bahwa jalan yang paling tepat adalah mengosongkan kota Madinah dari mereka dengan cara mengutus mereka untuk memerangi bangsa Romawi. Ia menyiapkkan satu pasukan perang di bawah komando Usâmah bin Zaid yang masih berusia muda. Ia saw. tidak menyerahkan kepemimpinan pasukan kepada sahabat yang sudah berumur. Bahkan ia malah memerintahkan mereka menjadi prajurit Usâmah. Mereka merasa keberatan untuk bergabung dalam pasukan perang Usâmah itu.

Mengetahui hal itu, Rasulullah saw. segera naik ke atas mimbar dan menyampaikan pidato. Ia berkata: "Laksanakanlah perintah Usâmah! Semoga Allah melaknat orang-orang yang membelot dari pasukan Usâmah."

Perintahnya yang tegas ini tidak menyenangkan hati mereka. Mereka malah memasukkan ucapannya itu ke telinga kanan dan mengeluarkannya dari telinga kiri. Mereka tidak menaati perintahnya. Ada beberapa pembahasan penting lain dari bagian sejarah Islam ini, dan kami telah memaparkannya dalam kitab Hayâh Al-Imam Hasan as.








5


Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.




Tragedi Hari Kamis

Sebelum meninggal dunia, Rasulullah saw. melihat pentingnya memperkokoh baiat terhadap washî dan pintu kota ilmunya yang telah terlaksana di Ghadir Khum untuk menutup kesempatan bagi para pengkhianat. Ia saw. berkata: "Ambilkan secarik kertas dan pena untukku. Aku akan menulis untuk kalian sebuah wasiat agar kalian tidak tersesat untuk selamanya."

Betapa besar nikmat tersebut bagi kaum muslimin. Karena hal itu adalah sebuah jaminan dari penghulu alam, Rasulullah saw. bahwa umat manusia tidak akan tersesat sepeninggalannya. Mereka senantiasa dapat berjalan di atas jalan lurus yang tidak tercerabuti oleh penyimpangan sedikit pun. Wasiat apakah yang dapat menjamin petunjuk dan kebaikan bagi umat Islam itu? Wasiat itu tidak lain adalah kepemimpinan Ali as. atas umat manusia sepeninggalnya.

Sebagian sahabat mengetahui bahwa Nabi Muhammad saw. bermaksud ingin menulis wasiat mengenai kekhalifahan Ali as. sepeninggalnya. Oleh karena itu, mereka menolak permintaannya itu sembari berteriak: "Cukup bagi kita kitab Allah!"

Setiap orang yang merenungkan penolakan tersebut pasti mengetahui apa maksud ucapan itu. Sahabat yang menolak itu merasa yakin bahwa Nabi saw. akan mengangkat Imam Ali as. sebagai khalifah sepeninggalnya melalui wasiat tersebut. Seandainya sahabat itu tahu bahwa ia hanya ingin berwasiat supaya perbatasan-perbatasan wilayah negara Islam dijaga atau ajaran-ajaran agama Islam diperhatikan, pasti ia tidak akan menolak permintaannya seberani itu.

Yang jelas, ketika itu terjadi keributan di antara orang-orang yang hadir di rumah Rasulullah saw. Sekelompok dari mereka berusaha agar permintaannya itu segera dilaksanakan. Sementara sekelompok yang lain berusaha menghalanginya menulis wasiat tersebut. Beberapa Ummul Mukminin dan para wanita yang lain melawan sikap para penentang yang telah berani menghalang-halanginya di saat-saat terakhir Hayâhnya itu. Mereka berkata dengan nada protes: "Tidakkah kalian mendengar ucapan Rasulullah saw.? Tidakkah kalian ingin melaksanakan keinginan Rasulullah saw.?"

Khalifah Umar, dalang dan otak penentangan itu, bangkit dan berteriak kepada para wanita itu. Ia berkata: "Sungguh kalian adalah wanita-wanita yusuf. Apabila ia sakit, kalian hanya bisa menangis. Dan Jika ia sehat, kalian senantiasa membebaninya".

Mendengar teriakan itu, Rasulullah saw. berkata seraya membidikkan pandangan matanya yang tajam ke arah Umar: "Biarkan para wanita itu. Sungguh mereka lebih baik dibandingkan dengan kalian semua!"

Pertikaian di antara orang-orang yang hadir pun bertambah sengit. Hampir saja kelompok yang mendukung Nabi saw. untuk menulis wasiat itu memenangkan pertikaian. Tetapi seorang penentang segera bangkit dan membidikkan panahnya untuk menghancurkan taktiknya. Orang itu berkata: "Sesungguhnyanya sedang mengigau."

Betapa lancangnya orang itu berkata demikian kepada Rasulullah saw. dan sungguh berani ia menentang poros kenabian. Dia berani mengatakan bahwa Rasulullah saw. sedang mengigau, padahal Al-Qur'an berfirman: "Sahabat kalian itu tidak tersesat dan juga tidak menyimpang. Dia tidak berbicara atas dasar hawa nafsu, melainkan atas dasar wahyu yang diturunkan kepadanya. Dia dididik oleh Dzat Yang Maha Perkasa." (QS. An-Najm [53]:2-5)

Nabi Muhammad saw. mengigau? Padahal Allah swt. berfirman: "Sesungguhnya itu adalah ucapan seorang rasul yang mulia, yang memiliki kekuatan di sisi 'Arsy yang tersembunyi." (QS. At-Takwîr [81]:19-20)

Kita harus melihat peristiwa tersebut secara obyektif dan dengan kesadaran yang bukan penuh, bukan dengan perasaan dan emosi. Karena hal itu berkaitan erat dengan realitas agama kita dan dapat mengungkap bagi kita suatu realitas yang menunjukkan tipu daya musuh terhadap Islam.

Ala kulli hal, taktkala Ibn Abbâs, panutan umat yang alim itu, menyebutkan peristiwa yang mengenaskan itu, hatinya pilu bak tersayat sembilu dan melinangkan air mata bagaikan butiran-butiran permata. Dia berkata: "Hari Kamis! Oh betapa memilukan tragedi hari Kamis. Pada hari Kamis itu Rasulullah saw. bersabda: 'Ambilkan kertas dan pena untukku. Aku ingin menulis sebuah wasiat untuk kalian, agar kalian tidak akan tersesat selama-lamanya.' Tetapi mereka berkata: 'Sesungguhnya Rasulullah sedang mengigau.'"

Satu-satunya kemungkinan yang bisa kita ungkapkan berkenaan dengan masalah ini adalah sekiranya Rasulullah saw. sempat menulis wasiat berkenaan dengan hak Imam Ali as. itu, wasiat itu tidak akan bermanfaat sama sekali. Mereka akan menuduhnya saw. sedang mengigau dan tidak sadarkan diri. Padahal tuduhan semacam ini adalah sebuah tikaman yang sangat telak atas kesucian kenabian.




Rasulullah saw. Menghadap ke Haribaan Ilahi

Kini tiba saatnya manifestasi kelembutan Ilahi itu harus berangkat ke langit yang tinggi. Kini tiba saatnya cahaya yang menerangi alam semesta ini harus pindah ke haribaan suci Ilahi. Malaikat maut telah mendekat menghampirinya saw. untuk menerima roh yang agung itu. Pada saat itu, ia saw. menoleh ke washî dan pintu kota ilmunya. Ia saw. bersabda: "Letakkanlah kepalaku di atas pangkuanmu. Utusan Allah telah tiba. Apabila rohku telah keluar, maka raih roh itu dan usaplah wajahmu dengannya. Kemudian hadapkanlah aku ke arah kiblat, uruslah jenazahku, dan salatilah aku. Engkaulah orang pertama yang menyalatiku. Janganlah engkau tinggalkan aku hingga engkau kuburkan aku di dalam tanah, dan mintalah bantuan kepada Allah swt."

Imam Ali as. segera meraih kepala Rasulullah saw. dan meletakkan kepala suci itu di atas pangkuannya, lalu ia meletakkan tangan kanannya di bawah dagunya. Tidak lama kemudian, roh Rasulullah saw. yang agung pun berangkat. Imam Ali mengusap wajahnya dengan rohnya itu.

Bumi bergoncang dan cahaya keadilan pun lenyap. Oh, betapa hari-hari yang panjang ini penuh dengan kesedihan, hari yang gelap gulita tidak ada tandingannya. Telah sirna mimpi-mimpi kaum muslimin. Kaum wanita Madinah pun keluar sambil menampar-nampar pipi mereka. Suara duka dan kesedihan mereka terdengar nyaring. Para Ummul Mukminin menghempaskan jilbab-jilbab dari atas kepala sembari memukul-mukul dada. Sementara tenggorokan kaum wanita Anshar parau karena berteriak histris.

Di antara keluarga Rasulullah saw. yang paling terpukul dan sedih adalah buah hati dan putri semata wayangnya, Sayyidah Az-Zahrâ' as. Ia merebahkan diri ke atas jenazah ayahanda tercinta sembari berkata dengan suara yang pilu: "Oh, ayahku! Oh, nabi rahmatku! Kini wahyu tak 'kan datang lagi. Kini terputuslah hubungan kami dengan Jibril. Ya Allah, susulkanlah rohku dengan rohnya. Berikanlah aku syafaat untuk dapat melihat wajahnya. Janganlah Engkau halangi aku untuk memperoleh pahala dan syafaatnya pada Hari Kiamat kelak."

Az-Zahrâ' as. berjalan mondar-mandir di seputar jenazah ayahandanya yang agung itu dengan duka yang mendalam. Peristiwa itu telah membungkam lidahnya. Ia hanya dapat berkata: "Oh, ayahku! Kepada Jibril aku menyampaikan bela sungkawa ini. Oh, ayahku! Surga Firdaus tempat ia berteduh. Oh, ayahku! Ia telah memenuhi panggilan Tuhan yang telah memanggilnya."

Kewafatan ayahanda tercinta telah membuat Sayyidah Az-Zahrâ' bisu bagaikan mayat yang tak bernyawa lagi. Betapa sedihnya Az-Zahra as., buah hati Rasulullah saw. itu.




Menangani Proses Pemakaman Jenazah yang Agung

Imam Ali as. menangani proses pemakaman jenazah saudara dan putra pamannya itu sambil mencucurkan air mata yang deras. Ali as. memandikan jasad yang suci itu sambil berkata dengan suara yang lirih: "Demi ayah dan ibuku, ya Rasulullah, dengan kepergianmu ini telah terputus kenabian dan berita langit yang tidak pernah terputus dengan kematian orang lain selainmu. Engkau dikhususkan (dengan kenabian) sehingga engkau senantiasa menjadi pelipur lara bagi orang lain, dan missimu bersifat umum sehingga seluruh manusia sama di hadapanmu. Sekiranya engkau tidak menyuruhku untuk bersabar dan tidak melarangku untuk berkeluh-kesah, niscaya telah kutumpahkan seluruh kesedihanku, problem pun berkepanjangan, dan kesedihan pun berkelanjutan."

Setelah selesai memandikan jasad Rasulullah saw., Ali as. mengkafaninya dan meletakkan jazad mulia itu di atas keranda untuk dimakamkan.




Menyalati Jenazah Rasulullah saw.

Orang pertama yang menyalati jenazah Rasulullah saw. yang suci adalah Allah swt. di atas 'Arsy-Nya, kemudian Jibril as., kemudian Israfil as., dan kemudian para malaikat serombongan demi serombongan. Setelah itu, kaum muslimin berbondong-bondong menyalati jenazah nabi mereka. Imam Ali as. berkata: "Tak seorang pun yang menjadi imam dalam salat ini. Ia adalah imam kalian, baik ketika hidup maupun setelah wafat."

Mereka masuk ke dalam ruangan sekelompok demi sekelompok dan menyalati jenazahnya dengan berbaris tanpa imam. Salat tersebut dilakukan secara khusus. Imam Ali as. membacakan bacaan-bacaan salat, sementara mereka mengikuti bacaan terebut. Bacaan itu adalah




?لسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَ رَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَشْهَدُ أَنَّهُ قَدْ بَلَّغَ مَا

أُنْزِلَ إِلَيْهِ، وَ نَصَحَ لِأُمَّتِهِ، وَ جَاهَدَ فِي سَبِيْلِ اللهِ حَتىَّ أَعَزَّ اللهُ دِيْنَهُ وَ تَمَّتْ كَلِمَتُهُ،

اللَّهُمَّ فَاجْعَلْنَا مِمَّنْ يَتَّبِعُ مَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ، وَ ثَبِّتْنَا بَعْدَهُ وَ اجْمَعْ بَيْنَنَا وَ بَيْنَهُ


Salam sejahtera, juga rahmat, dan seluruh berkah Allah untukmu, wahai nabi Allah. Ya Allah, kami bersaksi bahwa ia telah menyampaikan apa yang telah diturunkan kepadanya, telah menasihati umatnya, dan telah berjuang di jalan Allah sehingga Allah memuliakan agama-Nya dan menyempurnakan kalimat-Nya. Ya Allah, jadikanlah kami orang-orang yang mengikuti apa yang telah diturunkan kepadanya. Teguhkanlah kami sepeninggalnya dan himpunlah kami dengannya.




Sementara seluruh masyarakat yang menyalatinya itu mengucapkan: "Amîn."

Kaum muslimin berjalan melalui jenazah nabi yang agung itu sembari menatapnya dengan kesedihan dan rasa duka yang sangat dalam. Mereka kini telah kehilangan penyelamat dan pembimbing. Pembangun negara dan peradAbân yang tinggi itu telah wafat meninggalkan mereka.




Menguburkan Jenazah Rasulullah saw.

Seusai kaum muslimin menyalati jenazah Rasulullah saw., Imam Ali as. menggali kuburan untuknya. Setelah itu, ia menguburkan jenazah saudaranya itu.

Kekuatan Ali telah melemah. Ia berdiri di pinggiran kubur sembari menutupi kuburan itu dengan tanah dengan disertai linangan air mata. Ia mengeluh: "Sesungguhnya sabar itu indah, kecuali terhadapmu. Sesungguhnya berkeluh-kesah itu buruk, kecuali atas dirimu. Sesungguhnya musibah atasmu sangat besar. Dan sesungguhnya sebelum dan sesudahmu terdapat peristiwa besar."

Pada hari bersejarah itu, bendera keadilan telah terlipat di alam kesedihan, tonggak-tonggak kebenaran telah roboh, dan cahaya yang telah menyinari alam telah lenyap. Beliaulah yang telah berhasil mengubah perjalanan hidup umat manusia dari kezaliman yang gelap gulita kepada kehidupan sejahtera yang penuh dengan peradAbân dan keadilan. Dalam kehidupan ini, suara para tiran musnah dan jeritan orang-orang jelata mendapat perhatian. Seluruh karunia Allah terhampar luas untuk hamba-hamba-Nya dan tak seorang pun memiliki kesempatan untuk menimbun harta untuk kepentingannya sendiri.




Muktamar Tsaqîfah

Dalam sejarah dunia Islam, muslimin tidak pernah menghadapi tragedi yang sangat berat sebagai cobaan dalam kehidupan mereka seberat peristiwa Tsaqîfah yang telah menyulut api fitnah di antara mereka dan membuka pintu kehancuran bagi kehidupan mereka.

Kaum Anshar telah melangsungkan muktamar di Tsaqîfah Bani Sâ'idah pada hari Rasulullah saw. wafat. Muktamar itu dihadiri oleh dua kubu, suku Aus dan Khazraj. Mereka berusaha mengatur siasat supaya kekhalifahan tidak keluar dari kalangan mereka. Mereka tidak ingin muktamar tersebut diikuti oleh kaum Muhajirin yang secara terus terang telah menolak untuk membaiat Imam Ali as. yang telah dikukuhkan oleh Rasulullah saw. sebagai khalifah dan pemimpin umat pada peristiwa Ghadir Khum. Mereka tidak ingin bila kenabian dan kekhalifahan berkumpul di satu rumah, sebagaimana sebagian pembesar mereka juga pernah menentang Rasulullah saw. untuk menulis wasiat berkenaan dengan hak Ali as. Ketika itu mereka melontarkan tuduhan bahwa Rasulullah saw. sedang mengigau sehingga mereka pun berhasil melakukan makar tersebut.

Ala kulli hal, kaum Anshar merupakan tulang punggung bagi kekuatan bersenjata pasukan Rasulullah saw. dan mereka pernah menebarkan kesedihan dan duka di rumah-rumah kaum Quraisy yang kala itu hendak melakukan perlawanan terhadap Rasulullah saw. Ketika itu orang-orang Quraisy betul-betul merasa dengki terhadap kaum Anshar. Oleh karena itu, kaum Anshar segera mengadakan muktamar, karena khawatir terhadap kaum Muhajirin.

Hubâb bin Munzdir berkata: "Kami betul-betul merasa khawatir bila kalian diperintah oleh orang-orang yang anak-anak, nenek moyang, dan saudara-saudara mereka telah kita bunuh."

Kekhawatiran Hubbâb itu ternyata menjadi kenyataan. Setelah usia pemerintahan para khalifah usai, dinasti Bani kaum Umayyah berkuasa. Mereka berusaha untuk merendahkan dan menghinakan mereka. Mu'âwiyah telah berbuat zalim dan kejam. Ketika Yazîd bin Mu'âwiyah memerintah, ia juga bertindak sewenang-wenang dan menghancurkan kehormatan mereka dengan berbagai macam siksa dan kejahatan. Yazîd menghalalkan harta, darah, dan kehormatan mereka pada tragedi Harrah. Sejarah tidak pernah menyaksikan kekejian dan kekezaman semacam itu.

Ala kulli hal, pada muktamar Tsaqîfah tersebut, kaum Anshar mencalonkan Sa'd sebagai khalifah, kecuali Khudhair bin Usaid, pemimpin suku Aus. Ia enggan berbaiat kepada Sa'd karena kedengkian yang telah tertanam antara sukunya dan suku Sa'd, Khazraj. Sudah sejak lama, memang hubungan antara kedua suku ini tegang.

'Uwaim bin Sâ'idah bangkit bersama Ma'n bin 'Adî, sekutu Anshar, untuk menjumpai Abu Bakar dan Umar. Mereka ingin memberitahukan kepada Abu Bakar dan Umar peristiwa yang sedang berlangsung di Tsaqîfah. Abu Bakar dan Umar terkejut. Mereka segera pergi menuju ke Tsaqîfah secara tiba-tiba. Musnahlah seluruh cita-cita yang telah dirajut oleh kaum Anshar. Wajah Sa'd berubah. Setelah terjadi pertikaian yang tajam antara Abu Bakar dan kaum Anshar, kelompok Abu Bakar segera bangkit untuk membaiatnya. Umar yang bertindak sebagai pahlawan dalam baiat itu telah memainkan peranannya yang aktif dalam ajang pertikaian kekuasaan itu. Dia menggiring masyarakat untuk membaiat sahabatnya, Abu Bakar. Abu Bakar keluar dari Tsaqîfah diikuti oleh para pendukungnya menuju ke masjid Rasulullah saw. dengan diiringi oleh teriakan suara takbir dan tahlil. Dalam baiat ini, pendapat keluarga Nabi saw. tidak dihiraukan. Begitu pula pendapat para pemuka sahabatnya, seperti Ammâr bin Yâsir, Abu Dzar, Miqdâd, dan sahabat-sahabat yang lain.




Sikap Imam Ali as. Terhadap Pembaiatan Abu Bakar

Para sejarawan dan perawi hadis bersepakat bahwa Imam Ali as. menolak dan tidak menerima pembaiatan atas Abu Bakar. Ia lebih berhak untuk menjadi khalifah. Karena beliaulah orang yang paling dekat dengan Rasulullah saw. Kedudukan Ali as. di sisi Rasulullah saw. adalah seperti kedudukan Hârûn di sisi Mûsâ as. Islam tegak karena perjuangan dan keberaniannya. Dia mengalami berbagai macam bencana dalam menegakkan Islam. Nabi saw. menjadikan Ali as. sebagai saudaranya. Rasulullah saw. pernah bersabda kepada kaum muslimin: "Barang siapa yang aku adalah pemimpinnya, maka Ali adalah juga pemimpinnya."

Atas dasar ini, Ali as. menolak untuk membaiat Abu Bakar. Abu Bakar dan Umar telah bersepakat untuk menyeret Ali as. dan memaksanya berbaiat. Umar bin Khaththab bersama sekelompok pengikutnya mengepung rumah Ali as. Umar menakut-nakuti, mengancam, dan menggertak Ali as. dengan menggenggam api untuk membakar rumah wahyu itu. Buah hati Rasulullah saw. dan penghulu para wanita semesta alam keluar dan bertanya dengan suara lantang: "Hai anak Khaththab, apa yang kamu bawa itu?" Umar menjawab dengan keras: "Yang aku bawa ini lebih hebat daripada yang telah dibawa oleh ayahmu."

Sangat disayangkan dan menggoncang kalbu setiap muslim! Mereka telah berani bertindak keras seperti itu terhadap Az-Zahrâ' as., buah hati Rasulullah saw. Padahal Allah rida karena keridaan Az-Zahrâ' dan murka karena kemurkaannya. Melihat kelancangan ini, tidak ada yang layak kita ucapkan selain innâ lillâh wa innâ ilaihi râji'ûn.

Akhirnya, mereka memaksa Imam Ali as. keluar dari rumahnya dengan paksa. Para pendukung Khalifah Abu Bakar menyeret Imam Ali as. untuk menghadap dengan pedang terhunus. Mereka berkata dengan lantang: "Baiatlah Abu Bakar! Baiatlah Abu Bakar!"

Imam Ali as. membela diri dengan hujah yang kokoh dan tanpa rasa takut sedikit pun terhadap kekerasan dan kekezaman mereka. Ia berkata: "Aku lebih berhak atas masalah ini daripada kalian. Aku tidak akan membaiat kalian, tetapi kalian sebenarnya yang harus membaiatku. Kalian telah merampas urusan ini dari kaum Anshar dengan alasan bahwa kalian memiliki hubungan kekerabatan dengan Nabi saw. Tetapi kalian telah menggasab kekhalifahan itu dari kami Ahlul Bait secara paksa. Bukankah kamu telah mengaku di hadapan kaum Anshar bahwa kamu lebih utama dalam urusan ini daripada mereka karena Nabi Muhammad saw. berasal dari kalangan kalian, sehingga mereka rela memberikan dan menyerahkan kepemimpinan itu kepadamu? Kini aku juga ingin berdalih kepadamu seperti kamu berdalih kepada kaum Anshar. Sesungguhnya aku adalah orang yang lebih utama dan lebih dekat dengan Rasulullah saw., baik Ketika ia masih hidup maupun setelah wafat. Camkanlah ucapanku ini, jika kamu beriman. Jika tidak, maka kamu telah berbuat zalim sedang kamu mengetahuinya."

Betapa indah hujah dan dalil tersebut. Kaum Muhajirin dapat mengalahkan kaum Anshar lantaran hujah itu, karena mereka merasa memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan Nabi saw. Argumentasi Imam Ali as. lebih tepat, lantaran suku Quraisy yang terdiri dari banyak kabilah dan memiliki hubungan kekeluargaan dengan Nabi saw. itu bukan anak-anak paman atau bibinya. Sementara hubungan kekerabatan antara Nabi saw. dengan Imam Ali as. terjelma dalam bentuk yang paling sempurna. Karena Ali as. adalah sepupu Nabi saw., ayah dua orang cucunya, dan suami untuk putri semata wayangnya.

Walau demikian, Umar tetap memaksa Imam Ali as. Umar berkata: "Berbaiatlah!"

"Jika aku tidak melakukannya?", tanya Imam Ali pendek.

"Demi Allah yang tiada tuhan selain Dia, jika engkau tidak membaiat, aku akan penggal lehermu", jawab Umar pendek.

Imam Ali as. diam sejenak. Ia memandang ke arah kaum yang telah disesatkan oleh hawa nafsu dan dibutakan oleh cinta kekuasaan itu. Imam Ali as. melihat tidak ada orang yang akan menolong dan membelanya dari kejahatan mereka. Akhirnya ia menjawab dengan nada sedih: "Jika demikian, kamu telah membunuh hamba Allah dan saudara Rasulullah."

Umar segera menimpali dengan berang: "Membunuh hamba Allah, ya. Tetapi saudara Rasulullah, tidak."

Umar telah lupa dengan sabda Rasulullah saw. bahwa Imam Ali as. adalah saudaranya, pintu kota ilmunya, dan kedudukannya di sisinya adalah sama dengan kedudukan Hârûn di sisi Mûsâ as. Ali as. adalah pejuang pertama Islam. Semua realita dan keutamaan itu telah dilupakan dan diingkari oleh Umar.

Kemudian Umar menoleh ke arah Abu Bakar seraya menyuruhnya untuk mengingkari hal itu. Umar berkata kepada Abu Bakar: "Mengapa engkau tidak menggunakan kekuasaanmu untuk memaksanya?"

Abu Bakar takut fitnah dan hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Dia akhirnya menentukan sikap: "Aku tidak akan memaksanya, selama Fathimah berada di sisinya."

Akhirnya mereka membebaskan Imam Ali as. Ia berlari-lari menuju ke makam saudaranya, Rasulullah saw. untuk mengadukan cobaan dan aral yang sedang menimpanya. Ia menangis tersedu-sedu seraya berkata: "Wahai putra ibuku, sesungguhnya kaum ini telah meremehkanku dan hampir saja mereka membunuhku."

Mereka telah meremehkan Imam Ali as. dan mengingkari wasiat-wasiat Nabi saw. berkenaan dengan dirinya. Setelah itu ia kembali ke rumah dengan hati yang hancur luluh dan sedih. Benar telah terjadi apa yang telah diberitakan oleh Allah swt. akan terjadi pada umat Islam setelah Rasulullah saw. wafat. Mereka kembali kepada kekufuran. Allah swt. berfirman: "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul; sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika ia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun ...." (QS. ?li 'Imrân [3]:144)

Sungguh mereka telah kembali kepada kekufuran, kekufuran yang dapat menghancurkan iman dan harapan-harapan mereka. Innâ lillâh wa innâ ilaihi râji'ûn.

Kita tutup lembaran peristiwa-peristiwa yang mengenaskan dan segala kebijakan pemerintah Abu Bakar yang tiran terhadap keluarga Nabi saw. ini, seperti merampas tanah Fadak, menghapus khumus, dan kebijakan-kebijakan yang lain. Seluruh peristiwa ini telah kami jelaskan secara rinci dalam Mawsû'ah Al-Imam Amiril Mukminin as.




Az-Zahrâ' Menuju ke Alam Baka

Salah satu peristiwa yang sangat menyedihkan Imam Ali as. adalah kepergian buah hati Rasulullah saw., Az-Zahrâ' as. Ia jatuh sakit, sementara hatinya yang lembut tengah merasakan kesedihan yang mendalam. Rasa sakit telah menyerangnya. Dan kematian begitu cepat menghampirinya, sementara usianya masih begitu muda. Oh, betapa beratnya duka yang menimpa buah hati dan putri semata wayang Rasulullah saw. itu. Ia telah mengalami berbagai kekezaman dan kezaliman dalam masa yang sangat singkat setelah ayahandanya wafat. Mereka telah mengingkari kedudukannya yang mulia di sisi Rasulullah, merampas hak warisannya, dan menyerang rumahnya.

Az-Zahrâ' telah menyampaikan wasiat terakhir yang maha penting kepada putra pamannya. Dalam wasiat itu ditegaskan agar orang-orang yang telah ikut serta merampas haknya tidak boleh menghadiri pemakaman, jenazahnya dikuburkan pada malam hari yang gelap gulita, dan kuburannya disembunyikan agar menjadi bukti betapa ia murka kepada mereka.

Imam Ali as. melaksanakan wasiat istrinya yang setia itu di pusaranya yang terakhir. Ia berdiri di pinggir makamnya sambil menyiramnya dengan tetesan-tetesan air mata. Ia menyampaikan ucapan takziah, bela sungkawa, dan pengaduan kepada Rasulullah saw. setelah menyampaikan salam kepada beliau:

Salam sejahtera untukmu dariku, ya Rasulullah, dan dari putrimu yang telah tiba di haribaanmu dan yang begitu cepatnya menyusulmu. Ya Rasulullah, betapa sedikitnya kesabaranku dengan kemangkatanmu dan betapa beratnya hati ini. Hanya saja, dalam perpisahan denganmu dan besarnya musibahmu ada tempat untuk berduka. Aku telah membaringkanmu di liang kuburmu. Dan jiwamu telah pergi meninggalkanku ketika kepalamu berada di antara leher dan dadaku. Innâ lillâh wa innâ ilaihi râji'ûn. Titipan telah dikembalikan dan gadai pun telah diambil kembali. Tetapi kesedihanku tetap abadi. Malam-malamku pun menjadi panjang, hingga Allah memilihkan untukku tempatmu yang kini engkau singgahi. Putrimu akan bercerita kepadamu tentang persekongkolan umatmu untuk berbuat kejahatan. Tanyakanlah dan mintalah berita mengenai keadan mereka! Padahal perjanjian itu masih hangat dan namamu masih disebut-sebut. Salam sejahtera atasmu berdua, salam selamat tinggal, tanpa lalai dan jenuh. Jika aku berpaling, maka bukan karena bosan. Jika aku diam, maka bukan karena aku berburuk sangka terhadap apa yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang sabar.

Ungkapan-ungkapan Imam Ali as. di atas menunjukkan betapa ia mengalami kesedihan yang mendalam atas kepergian titipan Rasulullah saw. itu. Ungkapan-ungkapan itu juga menunjukkan betapa dalamnya sakit hati dan duka yang dialAmînya akibat perlakuan umat Islam. Imam Ali as. juga minta kepada Rasulullah saw. agar memaksa putrinya bercerita dan memberikan informasi tentang seluruh kejahatan dan kezaliman yang telah dilakukan oleh umatnya itu.

Seusai menguburkan jenazah buah hati Rasulullah saw., Imam Ali as. kembali ke rumah dengan rasa duka dan kesedihan yang datang silih berganti. Para sahabat telah mengasingkannya. Imam Ali as. berpaling sebagaimana mereka juga berpaling darinya. Ia bertekad untuk menjauhi seluruh urusan politik dan tidak ikut campur tangan tentang hal ini.




Pemerintahan Umar

Masa kekuasaan Abu Bakar tidak berlangsung lama. Setelah dua tahun berkuasa, ia mengalami sakit parah. Pada saat-saat menjelang kematiannya, ia menyerahkan kekhalifahan kepada sahabatnya, Umar. Keputusan ini mendapat kritikan dan kecaman keras dari para sahabat besar. Tetapi ia tidak bergeming. Ia tetap menjalankan tekadnya itu melalui sebuah surat wasiat. Wasiat ini ditulis oleh 'Utsmân bin 'Affân. Dia juga yang mengumumkan di hadapan khalayak ramai dan mengajak mereka untuk membaiat Umar.

Ala kulli hal, Umar telah menerima jabatan kekhalifahan dengan mudah dan tanpa bersusah payah. Dia menjalankan pemerintahan dengan tangan besi dan mengatur urusan Negara dengan kekerasan dan kekezaman. Tindakannya menuai kritikan pedas dari para sahabat besar. Para sejarawan menulis, sebenarnya perlakuan Umar (selama menjadi khalifah) itu lebih kejam dan keras daripada pedang Hajjâj bin Yusuf. Setiap orang yang beroposisi dengannya, ia hadapi dengan kejam dan bengis. Umar telah menguasai negara sepenuhnya. Dan ia memiliki cara tersendiri dalam menjalankan roda pemerintahan. Sepak terjang Umar dalam bidang politik, baik dalam maupun luar negeri, dan bidang ekonomi telah kami paparkan secara rinci dalam buku kami, Mawsû'ah Al-Imam Amirul Mukminin as., jilid 2.




Umar Terbunuh

Umar memiliki politik tersendiri untuk imperium Persia. Dia begitu dengki terhadap imperium ini, sebagaimana juga bangsa Persia membencinya. Abu Lu'lu'ah adalah seseorang berkebangsaan Persia yang sangat membenci Umar. Tetapi ia menyembunyikan isi hatinya itu. Pada suatu hari, ia pernah berlalu di hadapan Umar. Umar berkata kepadanya sembari mengejek: "Aku dengar engkau mampu membuat gilingan tepung yang digerakkan dengan tenaga angin?"

Abu Lu'lu'ah merasa tersengat oleh ucapan Umar yang bernada ejekan itu. Ia emosi seraya berkata: "Aku akan membuat gilingan tepung yang dapat berbicara dengan manusia."

Pada hari kedua, Abu Lu'lu'ah behasil membunuh Umar. Ia menikamnya dengan tiga kali tikaman. Salah satu tikaman itu mengenai bagian bawah perutnya hingga kulitnya robek. Setelah itu, Abu Lu'lu'ah menyerang orang-orang yang berada di dalam masjid. Ia berhasil menikam sebanyak sebelas orang. Kemudian ia melakukan bunuh diri. Umar segera dibawa ke rumahnya, sementara lukanya banyak mengeluarkan darah. Ia bertanya kepada orang-orang yang ada di sekitarnya: "Siapakah yang menikamku?"

"Budak Mughîrah", jawab mereka singkat.

Umar menimpali: "Bukankah aku telah berkata kepada kalian, 'Jangan bawa aku ke hadapan orang dungu sehingga kalian melengahkanku?'"

Kemudian keluarga Umar memanggil seorang tabib. Tabib bertanya kepada Umar: "Minuman apa yang paling kamu sukai?

"Nabîdz (anggur)", jawab Umar pendek.

Umar diberi minum anggur. Cairan anggur itu keluar dari salah satu tikamannya. Orang-orang yang hadir berkata: "Telah keluar nanah." Lalu ia diberi minum susu. Keluar lagi nanah dari salah satu tikaman yang lain. Tabib pun merasa putus asa. Tabib berkata: "Aku menduga engkau tidak dapat hidup lagi sampai sore hari."




Konsep Syûrâ

Penyakit Umar semakin parah. Ia lama berpikir kepada siapakah kekhalifahan ini harus diserahkan. Ia teringat kepada para pendukungnya yang pernah membantunya mengeluarkan kekhalifahan dari keluarga Rasulullah saw. Ia naik ke atas mimbar dan menampakkan kesedihan kepada masyarakat. Ia berkata: "Sekiranya Abu 'Ubaidah masih hidup, pasti aku berikan kekhalifahan ini kepadanya. Karena ia orang jujur di antara umat ini. Sekiranya Sâlim budak Abi Hudzaifah masih hidup, pasti aku serahkan kekhalifahan ini kepadanya. Karena ia sangat mencintai Allah swt."

Padahal, jika kita membuka kembali lembaran sejarah Islam, kita tidak akan menemukan sedikitpun peran Abu 'Ubaidah di medan jihad atau khidmatnya kepada dunia Islam. Sâlim budak Abi Hudzaifah adalah rakyat biasa yang tidak dikenal. Ia hanya memiliki peran ketika menyerang rumah Imam Ali as. Peristiwa tersebut harus dikaji secara seksama dan tanpa ada unsur semangat golongan dan fanatisme suku sehingga muslimin dapat mengetahuinya secara obyektif.

Ala kulli hal, Umar telah menetapkan konsep Syûrâ, sebuah konsep yang sangat goyah dan lemah. Tujuan Umar adalah untuk menyingkirkan Imam Ali as. dari kekhalifahan dan menyerahkannya kepada 'Utsmân bin Affân, pemuka Bani Umwiyah. Sikap ini menyenangkan hati orang-orang Quraisy yang memiliki kedengkian dan kebencian yang mendalam kepada Imam Ali as.

Akhirnya, 'Utsmân bin 'Affân memperoleh jabatan kepemimpinan umat Islam sesuai dengan ketetapan Syûrâ, Syûrâ yang telah menimpakan musibah dan berbagai fitnah atas kaum muslimin dan menjerumuskan mereka ke lembah kehancuran. Kami telah menjelaskan konsep Syûrâ yang telah ditetapkan oleh Umar ini dalam buku kami, Mawsû'ah Al-Imam Amiril Mukminin as. Pada kesempatan ini, kami hanya menyinggung masalah ini secara sekilas.




Pemerintahan 'Utsmân

Mayoritas kaum muslimin menerima kekhalifahan 'Utsmân dengan penuh kerisauan dan keraguan. Mereka menilai bahwa naiknya 'Utsmân ke takhta kekuasaan adalah kemenangan bagi keluarganya yang tidak pernah ikut andil dalam peperangan melawan musuh-musuh Islam. Dawzî melihat bahwa kemenangan keluarga Umayyah sebenarnya adalah kemenangan sekelompok orang yang menyimpan permusuhan terhadap Islam.

Kenyataannya, 'Utsmân mengangkat Bani Umayyah sebagai aparat negara. Mereka menguasai perekonomian umum demi kepentingan mereka sendiri dan untuk membangun kembali keluarga mereka yang telah dihancurkan oleh Islam. Mereka telah membelenggu kepribadian 'Utsmân yang lemah dan memanfaatkan kecintaannya kepada mereka. Dengan jalan ini, mereka mengeruk harta negara, sebagaimana unta melahap tumbuh-tumbuhan di musim bunga. Menurut perspektif Imam Ali as: "Dengan itu, mereka menyebarkan kefakiran dan kesengsaraan di tengah-tengah masyarakat Islam. Hal itu menyebabkan kemarahan umat tersebar dan negara hancur luluh."

Faktor penting lain yang membuat pemerintahan 'Utsmân runtuh adalah ia memberikan wewenang kepada Bani Umayyah dan Abi Mu'îth atas daerah-daerah kekuasaan Islam, padahal mereka tidak memiliki kelayakan dan kepandaian sama sekali dalam mengatur negara. Sebagian dari mereka malah diangkat untuk menangani masalah-masalah besar negara. Misalnya Walîd bin 'Uqbah diangkat menjadi gubernur Kufah. Ia menghabiskan kekayaan negara untuk bermabuk-mabukan setiap malam bersama para wanita penyanyi hingga pagi hari. Ia pernah mengerjakan salat Shubuh sebagai imam sambil mabuk sebanyak empat rakaat. Ketika rukuk dan sujud, ia berkata: "Aku ingin menenggak arak. Berikanlah!" Kemudian ia memuntahkan arak di mihrab salat dan mengucapkan salam. Setelah itu ia menoleh ke arah orang-orang yang salat di belakangnya seraya berkata: "Apakah aku perbanyak rakaat salat ini untuk kalian?" Ibn Mas'ûd menjawab: "Semoga Allah tidak menambahkan kebaikan padamu dan juga kepada orang yang mengutusmu." Ibn Mas'ûd mengambil sandal dan memukul wajah Walîd dengan pangkal sandal itu. Kemudian orang-orang berkumpul. Walîd memasuki istana sambil mabuk yang diikuti oleh jamaah. Walîd betul-betul bejad dan telah keluar dari agama.

Para wakil kota Kufah segera pergi ke Yatsrib untuk mengadukan kelakuan Walîd kepada 'Utsmân. Mereka membawa cincin yang mereka copot ketika Walid sedang mabuk untuk diperlihatkan kepada 'Utsmân. Sesampainya di sana, mereka mengadukan perbuatan Walîd yang suka minum arak. Tetapi mereka tidak mendapatkan jawAbân apa-apa. Bahkan 'Utsmân menghadapi mereka dengan ketus dan kejam seraya berkata: "Dari mana kalian tahu bahwa yang ia minum itu adalah arak?"

"Yang ia minum itu adalah arak yang biasa kita minum pada masa jahiliah", tukas mereka pendek.

'Utsmân naik pitam. Dia mendorong mereka sambil mengeluarkan kata-kata yang pedas. Akhirnya mereka keluar meniggalkan 'Utsmân setelah menerima murkanya. Mereka segera menjumpai Imam Ali as. dan menceritakan peristiwa yang terjadi antara mereka dengan 'Utsmân. Imam Ali as. segera bangkit menuju 'Utsmân dan berkata kepadanya: "Engkau telah menolak para saksi dan membatalkan sanksi."

'Utsmân merasa takut atas akibat yang akan terjadi. Ia berkata kepada Imam Ali as.: "Lalu, apa pendapatmu?"

Imam Ali as. menjawab: "Pendapatku adalah utuslah seseorang menemui sahabatmu itu. Jika ada dua orang yang siap bersaksi atas perbuatannya itu dan ia tidak memiliki dalih, maka perlakukanlah sanksi atasnya."

'Utsmân menerima pendapat Imam Ali as. Ia segera mengutus seseorang menjumpai Walîd. Ketika utusan itu tiba di hadapannya, ia memanggil para saksi. Para saksi bersaksi atas perbuatan Walîd itu. Walîd diam dan tidak mampu beralasan untuk membela diri. Iapun pasrah untuk menerima sanksi. Tetapi ia menolak hadir untuk dicambuk karena takut kepada 'Utsmân. Akhirnya Imam Ali as. melakukan sanksi atasnya. Walîd mencerca Imam Ali as. seraya berkata: "Hai si zalim." 'Aqîl bangkit dan menjawab cercaannya itu. Mulailah Imam Ali as. mengangkat cambuk tinggi-tinggi dan memukulnya. 'Utsmân nampak murka dan tidak tega melihat itu. Ia berteriak kepada Imam Ali as.: "Tidak seharusnya engkau berbuat begitu!" Imam Ali as. menjawab sesuai dengan hukum syariat yang menegaskan: "Bahkan lebih keras dari ini bila ia telah berbuat fasik dan melarang hak Allah dituntut darinya."

Sikap 'Utsmân seperti itu menunjukkan betapa ia meremehkan pelaksanaan hukum Allah, dan betapa ia menaruh kasihan terhadap keluarganya yang congkak dan dimurkai Allah.




Kelompok Penentang 'Utsmân

Kaum muslimin pilihan dan yang saleh sangat murka terhadap 'Utsmân dan para gubernurnya. Mereka mengecam dan melontarkan kritikan-kritikan yang pedas kepadanya.

Perlu disebutkan di sini, bahwa para penentang 'Utsmân memiliki haluan pemikiran yang berbeda-beda. Mereka terbagi dalam kelompok kanan dan kelompok kiri. Thalhah, Zubair, 'AIsya'h, dan 'Amr bin 'Ash berdiri di kelompok yang berambisi ingin mencapai kepentingan pribadi yang sangat sempit. Sedangkan kelompok lainnya terdiri dari para pembesar Islam seperti 'Ammâr bin Yâsir (anak keturunan orang-orang yang baik), Abu Dzar Al-Ghifârî sang mujahid agung, Abdullah bin Mas'ûd sang qârî, dan sahabat-sahabat lainnya yang telah mendapatkan ujian di jalan dan berhasil lulus dengan rapor yang memuaskan. Mereka melihat bahwa Sunah Rasulullah saw.telah dibunuh dan bidah telah dihidupkan kembali, kebenaran telah didustakan dan pengutamaan telah dilimpahkan kepada orang-orang yang tidak berhak. Mereka berdiri di hadapan 'Utsmân untuk menentang politiknya dan menuntut agar ia mengubah perilakunya dan menjauhkan keluarga Umayyah dari kekuasaan. Mereka tidak mempunyai kepentingan apapun dalam penentangan tersebut, selain berkhidmat kepada Islam. Tetapi 'Utsmân tidak mengindahkan keinginan mereka.




Penyerbuan atas 'Utsmân

Setelah berbagai macam cara yang diusulkan kepada 'Utsmân untuk melakukan perbaikan dalam tubuh sistem pemerintahan tidak berhasil, api pemberontakan berkobar untuk menentangnya. Para pemberontak mengepung rumahnya. Mereka menuntut agar ia mengundurkan diri. Tetapi ia menolak. Mereka menuntut agar ia menjatuhkan hukuman kepada Marwân dan Bani Umayyah. Tapi 'Utsmân pun tetap acuh tak acuh. Bani Umayyah telah meninggalkan 'Utsmân sendirian. Sekelompok orang yang dipimpin oleh Muhammad bin Abu Bakar melakukan penyerbuan terhadap 'Utsmân. Ia menjambak jenggot 'Utsmân seraya berkata kepadanya: "Allah telah menghinakanmu, hai Na'tsal."

'Utsmân menjawab: "Aku bukan Na'tsal. Tetapi aku adalah hamba Allah dan Amirul Mukminin."

Muhammad bin Abu Bakar menimpali: "Mu'âwiyah tidak lagi membutuhkanmu." Muhammad pun menyebutkan beberapa orang dari Bani Umayyah yang turut mengepung rumahnya.

'Utsmân merengek kepadanya seraya berkata: "Hai putra saudaraku, lepaskan jenggotku. Ayahmu tidak pernah melakukan seperti ini."

Muhammad menjawab: "Aku tidak menginginkan atasmu lebih keras dari pegangan tanganku terhadap jenggotmu ini."

Setelah berkata begitu, Muhammad menikamnya dengan belati yang digenggamnya. Tak ayal lagi, tubuh 'Utsmân menjadi sasaran para pemberontak dan tubuh tak bernyawa itu dicampakkan ke atas tanah. Tak seorang pun dari Bani Umayyah dan keluarga Abi Mu'îth yang berani menolongnya. Para pemberontak telah bertindak keterlaluan dalam menghinakannya. Mereka mencampakkan tubuh 'Utsmân itu di tempat yang terhina dan tidak mengizinkan untuk dikuburkan. Hal ini berlanjut hingga Imam Ali as. menyuruh agar 'Utsmân dikuburkan. Mereka pun mengizinkan untuk dikuburkan.

Kehidupan 'Utsmân telah berakhir dengan cara yang sangat mengenaskan. Dengan membunuh 'Utsmân ini, muslimin telah memperoleh ujian yang sangat berat. Berbagai musibah dan fitnah telah mengintai dan akan menjerumuskan mereka ke dalam jurang keburukan yang sangat besar. Karena Bani Umayyah merasa beruntung dengan terbunuhnya 'Utsmân. Mereka memperoleh celah untuk menuntut darahnya, sebagaimana kekuatan oposisi seperti Thalhah, Zubair, dan 'AIsya'h juga memperoleh kesempatan untuk menuntut darahnya. Mereka menjadikan pertikaian ini sebagai kartu kemenangan bagi diri mereka, padahal mereka sendirilah yang telah ikut bersekongkol untuk mengepung rumah 'Utsmân.




Kekhalifahan Imam Ali as.

Imam Ali as. merasa sangat gelisah menghadapi peristiwa pembunuhan 'Utsmân. Hal itu lantaran ia tahu tentang peristiwa-peristiwa yang bakal terjadi. Bani Umayyah dan orang-orang yang rakus kekuasaan pasti akan menuntut darah 'Utsmân sebagai alasan atas penolakan dan pembangkangan mereka, bila Imam Ali as. bersedia memegang tampuk kekuasaan.

Ada hal lain yang membuat Imam Ali as. tidak tenang dan gelisah. Yaitu ia adalah satu-satunya figur yang dicalonkan sebagai pemimpin umat. Tentunya ketika ia menduduki jabatan kekhalifahan, ia akan menjalankan politik atas umat Islam berdasarkan hak, kebenaran, dan keadilan yang murni, dan menjauhkan para koruptor dan orang-orang yang tamak dunia dari kursi kekuasaan. Sudah pasti, kelompok oposisi akan menjadi penghalang bagi strategi politiknya dan akan melakukan perlawanan bersenjata.

Pada mulanya, Imam Ali as. menolak untuk menjadi khalifah. Tetapi mayoritas muslimin memaksanya. Mereka menuntut agar ia memimpin umat Islam. Imam Ali as. menjawab: "Aku tidak memerlukan kekuasaan. Siapa saja yang kalian pilih, aku akan merestuinya."

Mereka tidak mau mengerti ucapan Imam Ali as. dan tetap memilihnya sebagai khalifah. Mereka berkata: "Kami tidak memiliki pemimpin selain dirimu."

Mereka memohon lagi untuk kedua kalinya: "Kami tidak akan memilih selain dirimu."

Imam Ali as. tetap pada pendiriannya. Ia tidak mau menerima permohonan mereka. Karena ia tahu bencana dan aral yang akan melintang. Sementara itu, sekelompok pasukan bersenjata mengadakan sebuah pertemuan setelah mereka tahu bahwa Imam Ali as. tetap pada pendiriannya; tidak mau menerima kekhalifahan. Mereka sepakat untuk menghadirkan para tokoh Madinah dan orang-orang yang memiliki pengaruh, dan mengancam untuk membunuh Imam Ali as., Zubair dan Thalhah, bila mereka tidak berhasil mengangkat seorang pemimpin untuk kaum muslimin.

Para pemuka Madinah segera mendatangi Imam Ali as. Dengan penuh cemas mereka memohon kepadanya: "Terimalah baiat kami! Terimalah baiat kami! Apakah Anda tidak melihat apa yang akan terjadi atas Islam dan ancaman para penduduk terhadap kami?"

Imam Ali as. tetap menolak seraya berkata: "Biarkanlah aku dan carilah orang selainku." Imam berusaha memberikan pengertian kepada mereka atas berbagai bencana yang akan ia hadapi. Ia berkata: "Wahai hadirin, kita akan menghadapi problema yang beraneka agam sehingga hati ini tidak akan tentram dan akal pikiran tidak akan tegak."

Mereka tetap tidak memahami ucapan Imam Ali as. Malah mereka memohon dengan menggunakan gelarnya. Mereka berkata: "Amirul Mukminin adalah Anda! Amirul Mukminin adalah Anda!"

Akhirnya, Imam Ali as. menjelaskan kepada mereka sistem pemerintahan yang akan ia jalankan. Ia menegaskan: "Ketahuilah, jika aku menerima permohonan kalian, aku akan memperlakukan kalian sesuai dengan ilmuku. Aku tidak akan menggubris ucapan siapa pun dan tidak menerima kecaman siapa pun. Jika kalian meninggalkanku, maka aku adalah sama dengan kalian. Barangkali aku akan mendengarkan kalian dan menaati orang yang kalian serahi urusan ini. Aku menjadi pembantu kalian adalah lebih baik bagi kalian daripada aku sebagai pemimpin kalian."

Imam Ali as. telah menjelaskan kepada mereka sistem pemerintahan yang akan ia jalankan. Yaitu hak, kebenaran, dan keadilan. Mereka menerima seluruh penjelasan yang telah diberikan oleh Imam Ali as. Mereka berkata: "Kami tidak akan meninggalkanmu sebelum kami membaiatmu."

Mereka mengerumuni Imam Ali as. dari seluruh arah dan menuntut agar ia menerima kekhalifahan. Ketika menjelaskan pemandangan yang ada pada saat pembaiatan itu, Imam Ali as. berkata: "Dengan serentak, mereka berdesak-desakan bagai rambut tebal anjing hutan yang ada di lehernya. Mereka mengerumuniku dari semua arah hingga Hasan dan Husain terinjak-injak dan bajuku sobek. Mereka berkumpul di sekelilingku bagaikan kerumunan domba."




Imam Ali as. Menerima Kekhalifahan

Tidak ada alasan lagi bagi Imam Ali as. untuk tidak menerima kekhalifahan. Ia terpaksa menerima kedudukan ini. Hal itu karena ia khawatir kepemimpinan umat Islam akan dipegang oleh Bani Umayyah yang fasik. Ia berkata: "Demi Allah, aku tidak menerima kekhalifahan ini, melainkan karena aku takut umat Islam ini akan dipermainkan oleh seorang durjana dari Bani Umayyah yang akan mempermainkan kitab Allah swt."

Masyarakat muslim beramai-ramai menuju ke masjid. Imam Ali as. maju ke depan sembari diiringi dengan gemuruh takbir dan tahlil. Thalhah maju ke depan dan membaiat Imam Ali as. dengan tangannya yang lumpuh, tangan yang cepat sekali akan melanggar janji Allah itu. Imam Ali as. telah membaca sikapnya itu. Ia berkata: "Betapa cepatnya ia akan melanggar baiatnya."

Setelah itu, kaum muslimin beramai-ramai membaiat Imam Ali as. Hal itu berarti mereka telah membaiat Allah dan Rasul-nya. Pembaiatan umum terhadap Imam Ali as. telah selesai, sebuah pembaiatan yang tidak pernah terjadi pada masa khalifah-khalifah lainnya. Kaum muslimin merasa senang dan bahagia dengan itu. Imam Ali as. berkata: "Begitu gembiranya kaum muslimin dengan pembaiatan terhadapku, sehingga anak kecil pun merasa gembira. Orang-orang tua tertatih-tatih datang membaiat, orang-orang yang sakit turut untuk membaiat sambil menahan derita sakitnya, dan kaki mereka pun lemah lunglai karena ingin membaiat."

Pada hari bersejarah itu, bendera keadilan dan kebenaran di dunia Islam telah berkibar. Islam telah kembali kepada kegemilangan dan kejayaannya.




Keputusan yang Tegas

Setelah Imam Ali as. menduduki kursi kekhalifahan, ia langsung mengeluarkan beberapa keputusan penting sebagai berikut:

1. Mengambil alih tanah-tanah yang pernah diberikan 'Utsmân kepada Bani Umayyah.

2. Mengembalikan alih harta kekayaan negara melimpah yang pernah diberikan 'Utsmân kepada Bani Umayyah dan Bani Abi Mu'îth.

3.Mengambil alih harta kekayaan 'Utsmân, termasuk juga pedang dan perisainya.

4.Memecat seluruh gubernur, karena mereka telah berbuat kezaliman dan kerusakan di muka bumi ini secara terang-terangan.

5.Menyamakan hak antara muslimin dan non-muslim yang tinggal di negara Islam tapi tidak belum memeluk agama Islam. Persamaan hak ini mencakup:

o Persamaan dalam pemberian tunjangan.

o Persamaan di hadapan undang-undang.

o Persamaan dalam hak dan tugas.

Orang-orang Quraisy merasa sangat jengkel dan kecewa dengan keputusan-keputusan tersebut. Mereka merasa khawatir terhadap harta kekayaan yang selama ini telah mereka tunai dari hasil korupsi. Karena itu, mereka melakukan penentangan dan berusaha menghalangi dan membendung setiap strategi politik Imam Ali as. yang bertujuan menegakkan keadilan sosial dan politik di dalam masyarakat Islam.

Akhirnya, berbagai kekuatan oposisi berusaha menyulut api peperangan melawan Imam Ali as. untuk menjatuhkan pemerintahannya. Secara ringkas, kami akan menjelaskan beberapa peperangan yang telah berhasil disulut oleh mereka untuk menentang pemimpin keadilan Islam dan sahabat kaum tertindas ini.




1. Perang Jamal

Perang Jamal ini lahir akibat ketamakan politik dan kekuasaan. Mu'âwiyah telah menipu Zubair dan Thalhah dengan mengiming-imingi kekhalifahan dan pembaiatan kepada mereka setelah kekuasaan Imam Ali as. berhasil diruntuhkan. Adapun 'AIsya'h, hatinya telah dikuasai oleh kedengkian dan kebencian terhadap Imam Ali as. Akhirnya, terbentuklah sebuah fron oposisi penentang Imam Ali as. yang dikepalai oleh ketiga orang tersebut di Mekah. Orang-orang yang memiliki sifat tamak, congkak, dan pikiran dangkal turut mendukung fron ini. 'AIsya'h segera membentuk pasukan, sementara Bani Umayyah melengkapi mereka dengan senjata dan sarana perang. Mereka telah mengeluarkan harta melimpah. Harta ini telah berhasil mereka korupsi dari Baitul Mâl muslimin pada saat mereka menjadi gubernur selama 'Utsmân memegang tampuk kepemimpinan.

Pasukan yang dipimpin oleh 'AIsya'h, Thalhah, dan Zubair itu berangkat menuju ke Bashrah. Mereka berhasil menguasai kota Bashrah setelah melakukan pertempuran sengit dengan pasukan Bashrah. Mengetahui serangan para pembangkang ini, Imam Ali as. keluar dengan bala tentaranya untuk menumbangkan mereka. Kedua pasukan tersebut bertempur dengan sengit. Imam Ali as. berhasil membunuh Thalhah dan Zubair. Komando perang diambil alih oleh 'AIsya'h. Unta yang ditungganginya dikelilingi oleh bala tentara yang tak terhitung. Mereka dapat menebas tangan-tangan dan menghabiskan nyawa-nyawa yang ada di sekelilingnya. Setelah pertempuran sengit terjadi, unta 'AIsya'h tersungkur jatuh ke atas tanah dan pasukannya kalah.

Missi peperangan ini pun mengalami kegagalan dan kerugian yang besar. Peperangan ini telah menimbulkan kerugian yang memalukan di barisan muslimin dan menebarkan perpecahan dan permusuhan di antara mereka. Sementara rumah-rumah penduduk Bashrah dipenuhi oleh duka, kesedihan, dan nestapa.




2. Perang Shiffin

Belum lagi sempat beristirahat untuk menghilangkan kepenatan akibat perang Jamal, Imam Ali as. telah mendapat ujian berat dari musuh pemakar yang tidak pernah memiliki satu pun nilai-nilai insani. Dia menggunakan taktik kemunafikan, tipu daya, dan khianat. Dia mahir dan terbiasa dengan karakrer buruk ini. Dia adalah Mu'âwiyah bin Abu Sufyan yang dijuluki oleh para pendukungnya dengan sebutan Kisra Arab. Mereka menyerahkan kekuasaan Syam kepadanya, sedang mereka tidak memperhatikan lembaran-lembaran tingkah lakunya yang hitam. Mereka juga tidak memperhatikan bahwa ia berasal dari pohon yang terkutuk seperti ditegaskan oleh Al-Qur'an. Apakah mereka tidak pernah mendengar tentang berbagai peperangan destruktif yang telah disulut oleh Abu Sufyân dan Bani Umayyah untuk menentang Rasulullah saw., padahal realita itu belum berlalu terlalu lama? Kemaslahatan apa yang diperoleh kaum muslimin dengan mengangkat srigala bodoh itu sebagai penguasa Syam sebagai daerah terpenting bagi negara Islam? Mengapa mereka tidak menyerahkan kedudukan yang berharga itu kepada putra-putra Rasulullah saw. atau kepada orang-orang pilihan dan terdidik dari putra-putra suku Aus dan Khazraj yang telah rela berjuang dengan baik untuk menegakkan ajaran Islam?

Ringkasnya, Mu'âwiyah telah mengerahkan pasukannya menuju ke Shiffin untuk memerangi saudara dan pintu kota ilmu Rasulullah saw. Pasukan Mu'âwiyah berhasil menguasai sungai Furat dan mencegah pasukan Imam Ali as. untuk mengambil sir minum. Pasukan Mu'âwiyah menganggap hal ini sebagai sebuah prolog kemenangan.

Imam Ali as. mengerahkan pasukannya untuk membasmi musuh penipu yang telah mencabut ketaatan dan bergegas kepada fitnah itu. Pasukan Imam Ali as. percaya dan yakin betul bahwa mereka sedang memerangi musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya.

Pasukan Imam Ali as. tiba di Shiffin. Mereka melihat sungai Furat telah dikelilingi dan dikuasai oleh pasukan Mu'âwiyah. Pasukan Islam tidak memiliki jalan lain untuk memperoleh air minum. Sementara pasukan Mu'âwiyah tetap menghalangi mereka untuk mengambil air minum. Seorang komandan pasukan Imam Ali bertekad untuk menyerang dan memporak-porandakan barisan pasukan Mu'âwiyah. Sekelompok pasukan Imam Ali menyerang pasukan Mu'âwiyah dengan ksatria. Pasukan Imam Ali berhasil menyingkirkan mereka dari sungai Furat dan menimpakan kerugian yang memalukan kepada mereka. Sebagian pasukan Imam Ali meminta supaya Imam Ali as. memperlakukan pasukan Mu'âwiyah seperti itu pula. Imam Ali as. menolak permohonan pasukannya itu. Karena syariat Islam tidak membenarkan tindakan semacam itu. Sesungguhnya air itu diperbolehkan untuk diminum sekalipun kepada anjing dan babi.

Imam Ali as. mengutus beberapa orang kepada Mu'âwiyah untuk melakukan perdamaian dan menghindari pertumpahan darah. Tetapi Mu'âwiyah menolak usulan itu. Dia tetap membangkang dan menentang. Api peperangan pun berkobar antara kedua pasukan dan berlangsung hingga dua tahun lamanya. Pertempuran yang paling dahsyat terjadi adalah pertempuran yang terjadi pada malam Al-Harîr. Pertempuran ini telah menelan korban sebanyak 70.000 prajurit dari kedua belah pihak. Dalam peperangan ini pasukan Mu'âwiyah mengalami kekalahan telak. Pasukannya porak poranda dan ia hendak melarikan diri. Tetapi ia mengurungkan niatnya itu setelah ingat syair Ibn Ithnâbah.




Mempermainkan Mushhaf

Pasukan Imam Ali as. melakukan penyerangan di bawah komando Malik Al-Asytar. Ia hampir saja meraih kemenangan. Jarak antara mereka dengan kemenangan atas Mu'âwiyah hanyalah seukuran memerah susu kambing. Tetapi 'Amr bin 'Ash, sang penipu ulung, telah mengatur siasat untuk memporak-porandakan pasukan Imam Ali as. dan menggulingkan kepemimpinannya. Ibn 'Ash telah menjalin hubungan dengan Asy'ats bin Qais dan beberapa komandan pasukan Imam Ali as. secara rahasia.Dia telah berhasil menipu, mengiming-imingi, dan memberikan uang sogok kepada mereka. Mereka sepakat untuk mengangkat mushhaf Al-Qur'an dan mengajak muslimin untuk tunduk kepada hukum Al-Qur'an berkenaan dengan perkara yang sedang mereka perselisihkan itu. Pengangkatan mushhaf dimulai dan seruan pasukan Mu'âwiyah untuk bertahkim kepada Al-Qur'an terdengar nyaring. Tipu daya ini laksana halilintar bagi pasukan Imam Ali as. Sebanyak lebih dari dua puluh ribu prajurit yang berteriak mengajak untuk bertahkim kepada Al-Qur'an. Imam Ali as. memperingatkan dan menasihati mereka bahwa semua itu hanyalah sebuah tipu daya belaka. Mu'âwiyah terpaksa melakukan siasat ini karena pasukannya telah lemah dan tidak dapat berdiri tegak lagi. Tetapi pasukan Imam Ali as. tidak mau mengerti. Bahkan mereka mengancam bila Imam Ali as. tidak mengabulkan permohonan mereka itu. Akhirnya Imam Ali as. terpaksa mengabulkan permintaan mereka. Pada saat-saat yang genting dan mengkhawatirkan itulah kekhalifahan Imam Ali as. berakhir dan tenggelam cahayanya.




Penentuan Abu Mûsâ Al-Asy'arî

Setelah peristiwa itu, berbagai peristiwa besar berturut-turut menimpa Imam Ali as. Di antaranya adalah penentuan Abu Mûsâ Al-Asy'arî sebagai wakil pasukan Irak (untuk menghadiri proses tahkim). Imam Ali as. menolak penentuan tersebut. Tetapi mereka memaksa Imam Ali as. untuk memilihnya sebagai wakil mereka. Pasukan Syam memilih 'Amr bin 'Ash sebagai wakil mereka. Ia berhasil menipu Al-Asy'arî. Sebelumnya, 'Amr dan Al-Asy'arî telah sepakat untuk mencopot kekhalifahan Imam Ali as. dan Mu'âwiyah, dan memilih Abudullah bin Umar sebagai pemimpin kaum muslimin. Al-Asy'arî merasa gembira dengan keputusan ini. Ketika tiba waktu bertahkim, Al-Asy'arî mencopot kekhalifahan Imam Ali as., tetapi 'Amr bin 'Ash menetapkan kekhalifahan Mu'âwiyah.




3. Melawan Khawârij

Setelah peristiwa tahkim itu, fitnah terjadi di kalangan pasukan Imam Ali as. Sekelompok orang melakukan pembangkangan. Mereka mengumumkan akan mengangkat senjata dan menilai bahwa Imam as. telah kafir, karena ia mau menerima ajakan bertahkim. Padahal sebenarnya, merekalah yang memaksa Imam Ali as. untuk menerima tahkim. Yel-yel yang mereka teriakkan adalah lâ hukma illa lillâh (tiada hukum selain hukum Allah). Tetapi, begitu cepatnya syiar ini berubah menjadi sarana penumpahan darah dan angkat senjata. Imam Ali as. menghujat dan menyadarkan mereka atas kekeliruan pandangan mereka itu. Sekelompok dari mereka menerima pandangannya. Tetapi sekelompok yang lain tetap bersikeras atas kesesatan dan kebodohan mereka dan menebarkan kerusakan di muka bumi. Mereka banyak membunuh orang-orang yang tidak berdosa dan menyebarkan rasa takut di tengah-tengah masyarakat Islam. Akhirnya Imam Ali as. terpaksa mengadakan perlawanan terhadap mereka. Meletuslah perang Nahrawan. Dalam peperangan ini, sebagian besar mereka telah tewas.

Peperangan tersebut belum berakhir sampai di situ. Tampak lagi pembangkangan yang lebih buruk di dalam tubuh pasukan Imam Ali as. Mereka mengajak untuk memerangi Mu'âwiyah. Tetapi tidak seorang pun yang mengikuti ajakan mereka itu.

Kekuatan Mu'âwiyah mulai nampak di panggung politik sebagai kekuatan yang besar. Mulailah mereka menguasai daerah-daerah Islam dan memerangi daerah-daerah yang taat kepada kepemimpinan Imam Ali as. Hal itu mereka lakukan untuk menunjukkan bahwa Imam Ali as. tidak mampu melindungi mereka. Akhirnya sinar kewibawaan Imam Ali as. mulai pudar dan bencana pun datang menghantuinya silih berganti. Imam Ali melihat kebejatan Mu'âwiyah semakin kokoh dan sinar harapan dan angan-angannya pun telah sempurna, sedangkan ia tidak memiliki satu kekuatan pun yang mampu menegakkan kebenaran dan menumbangkan kebatilan.




Syahadah Imam Ali as.

Imam Ali as. mulai berdoa, bersimpuh, dan bermunajat kepada Allah swt. agar Dia segera memnyelamatkan dirinya dari masyarakat yang sesat itu dan memindahkannya ke alam baka. Di sana ia akan mengadukan kepada putra pamannya segala bencana dan musibah yang telah menimpanya. Allah swt. mengabulkan doanya itu. Seorang durjana dan pendurhaka yang bernama Abdurrahman bin Muljam telah menebas kepala Imam Ali as., seperti pembunuh unta Nabi Saleh membunuh untanya. Pada waktu itu Imam Ali as. sedang berdiri di hadapan Allah swt. di mihrabnya mengerjakan salat di dalam sebuah rumah Allah. Si durjana itu menghunus dan menebaskan pedangnya. Ketika merasakan pedihnya tebasan pedang itu, ia berteriak: "Demi Tuhan Ka'bah, sungguh aku telah beruntung."

Penghulu orang-orang yang bertakwa telah beruntung. Hayâhnya telah berakhir dengan jihad di jalan Allah dan meninggikan kalimat hak.

Salam sejahtera Allah atasnya pada hari ia dilahirkan di dalam Ka'bah dan pada hari ia meneguk cawan syahadah di dalam rumah Allah.

Dengan syahadahnya itu, bendera hak, kebenaran, dan keadilan terlipat, sinar hidayah dan cahaya petunjuk yang selama ini telah menyinari dunia Islam telah padam.




Catatan Kaki:

Murûj Adz-Dzahab, jilid 2, hal. 3; Al-Fushûl Al-Muhimmah, karya Ibn Shabbâgh, hal. 24; Mathâlib As-Sa'ûl, hal. 22; Tadzkirah Al-Khawwash, hal. 7; Kifâyah Ath-Thâlib, hal. 37; Nûr Al-Abshâr, hal. 76; Nuzhah Al-Majâlis, jilid 2, hal. 204; Syarh asy-Syifâ', jilid 2, hal. 15; Ghâyah Al-Ikhtishâr, hal. 97; 'Abqariyyah Al-Imam, oleh Al-'Aqqâd, hal. 38; Mustadrak Al-Hâkim, jilid 3, hal. 483. Dalam Al-Mustadrak, Al-Hakim menegaskan: "Terdapat hadis-hadis mutawâtir yang manyatakan bahwa Fathimah binti Asad melahirkan Ali bin Abi Thalib di dalam Ka'bah."

Hayâh Al-Imam Amiril Mukminin as., jilid 1, hal. 32, menukil dari Manâqib Ali bin Abi Thalib, jilid 3, hal. 90.

Târîkh Al-Khamîs, jilid 2, hal. 275.

Al-Ma'ârîf, hal. 73; Adz-Dzakhâ'ir, hal. 58; Ar-Rriyâdh An-Nâdhirah, jilid 2, hal. 257.

Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 154.

Majma' Az-Zawâ'id, jilid 9, hal. 102; Faidh Al-Qadîr, jilid 4, hal. 358; Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 156; Fadhâ'il Ash-Shahâbah, jilid 1, hal. 296.

Majma' Az-Zawâ'id, jilid 9, hal. 102.

Hilyah Al-Awliyâ', jilid 1, hal. 63.

Kunûz Al-Haqâ'iq, karya Al-Manâwî, hal. 43.

Shifah Ash-Shafwah, jilid 1, hal. 162.

Imtâ' Al-Asmâ', jilid 1, hal. 16.

Hayâh Al-Imam Amiril Mukminin as., jilid 1, hal. 54.

Syarh Nahjul Balaghah, karya Ibn Abil Hadid, jilid 4, hal. 116.

Shahîh At-Turmudzî, jilid 2, hal. 301; Thabaqât Ibn Sa'd, jilid 3, hal. 21; Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 400; Târîkh At-Thabarî, jilid 2, hal. 55.

Khazânah Al-Adab, jilid 3, hal. 213.

Târîkh At-Thabarî, jilid 2, hal. 63; Târîkh Ibn Al-Atsîr, jilid 2, hal. 24; Musnad Ahmad bin Hanbal, hal. 263. Peristiwa ini diriwayatkan oleh banyak perawi hadis.

Târîkh At-Thabarî, jilid 2, hal. 63; Târîkh Ibn Al-Atsîr, jilid 2 hal. 24; Musnad Ahmad, hal. 263.

Târîkh Bagdad, jilid 6, hal. 221; Ash-Shawâ'iq Al-Muhriqah, hal. 76; Nûr Al-Abshâr, hal. 76.

Tafsir At-Thabarî, jilid 13, hal. 72; Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 157; Tafsir Al-Haqâ'iq, hal. 42; Mustadrak Al-Hâkim, jilid 3, hal. 129.

Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 108; Asbâb An-Nuzûl, karya Al-Wâhidî, hal. 329; Tafsir At-Thabarî, jilid 4, hal. 600; Ad-Durr Al-Mantsûr, jilid 8, hal. 267.

Usud Al-Ghâbah, jilid 4, hal. 25; Ash-Shawâ'iq Al-Muhriqah, hal. 78; Asbâb An-Nuzûl, karya Al-Wâhidî, hal. 64.

Ad-Durr Al-Mantsûr, jilid 8, hal. 589; Tafsir At-Thabarî, jilid 30, hal. 17; Ash-Shawâ'iq Al-Muhriqah, hal. 96.

Tafsir At-Thabarî, jilid 8, hal. 145.

Asbâb An-Nuzûl, hal. 150.

Târîkh Baghdad, jilid 8, hal. 19; Ad-Durr Al-Mantsûr, jilid 6, hal. 19.

Dalâ'il Ash-Shidq, jilid 2, hal. 152.

Tafsir Ar-Râzî, jilid 12, hal. 26; Nûr Al-Abshâr, hal. 170; Tafsir Ath-Thabarî, jilid 6, hal. 186.

Ad-Durr Al-Mantsûr, jilid 3, hal. 106; Tafsir Al-Kasysyâf, jilid 1, hal. 692; Dzakhâ'ir Al-'Uqbâ, hal. 102; Majma'Az-Zawâ'id, jilid 7, hal. 17; Kanz Al-'Ummâl, jilid 7, hal. 305.

Majma' Az-Zawâ'id, jilid 7, hal. 103; Dzakhâ'ir Al-'Uqbâ, hal., 25; Nûr Al-Abshâr, hal. 101; Ad-Durr Al-Mantsûr, jilid 7, hal. 348.

Hilyah Al-Awliyâ', jilid 3, hal. 102.

Tafsir Ar-Râzî, jilid 2, hal. 699; Tafsir Al-Baidhâwî, hal. 76; Tafsir Al-Kasysyâf, jilid 1, hal. 49; Tafsir Rûh Al-Bayân, jilid 1, hal. 457; Tafsir Al-Jalâlain, jilid 1, hal. 35; Shahîh Muslim, jilid 2, hal. 47; Shahîh At-Turmuzî, jilid 2, hal. 166; Sunan Al-Baihaqî, jilid 7, hal. 63; Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 1, hal. 185; Mashâbîh As-Sunnah, karya Al-Baghawî, jilid 2, hal. 201; Siyar A'lâm An-Nubalâ', jilid 3, hal. 193.

Tafsir Ar-Râzî, jilid 10, hal. 243; Asbâb An-Nuzûl, karya Al-Wâhidî, hal. 133, Rûh Al-Bayân, jilid 6, hal. 546; Yanâbî' Al-Mawaddah, jilid 1, hal. 93; Ar-Riyâdh An-Nâdhirah, jilid 2, hal. 227; Imtâ' Al-Asmâ', hal. 502.

Tafsir Ar-Râzî, jilid 6, hal. 783; Shahîh Muslim, jilid 2, hal. 331; Al-Khashâ'ish Al-Kubrâ, jilid 2, hal. 264; Ar-Riyâdh An-Nâdhirah, jilid 2, hal. 188; Tafsir Ibn Jarîr, jilid 22, hal. 5; Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 4, hal. 107; Sunan Al-Baihaqî, jilid 2, hal. 150; Musykil Al-Atsar, jilid 1, hal. 334; Khashâ'ish An-Nisa'î, hal. 33.

Mustadrak Al-Hâkim, jilid 2, hal. 416; Usud Al-Ghâbah, jilid 5, hal. 521.

Ad-Durr Al-Mantsâr, jilid 5, hal. 199.

Dzakhâ'ir Al-'Uqbâ, hal. 24.

Ash-Shawâ'iq Al-Muhriqah, hal. 101.

Ash-Shawâ'iq Al-Muhriqah, hal. 80; Nûr Al-Abshar, hal. . 80.

Tafsir Ath-Thabarî, jilid 10, hal. 68; Tafsir Ar-Râzî, jilid 16, hal. 11; Ad-Durrul Mantsur, jilid 4, hal. 146; Asbâb An-Nuzûl, karya Al-Wâhidî, hal. 182.

Tafsir Ath-Thabarî, jilid 21, hal. 68; Asbâb An-Nuzûl, hal. 263; Târîkh Bagdad, jilid 13, hal. 321; Ar-Riyâdh An-Nâdhirah, jilid 2, hal. 206.

Majma'Az-Zawâ'id, jilid 7, hal. 110.

Tetapi ternyata Walîd berdusta. Kemudian turunlah ayat: "Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa pengetahuan ...." (QS. Al-Hujurât [49]:6)

Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 400.

Shahîh At-Turmudzî, jilid 2, hal. 299; Mustadrak Al-Hâkim, jilid 3, hal. 14.

Dzakhâ'ir Al-'Uqbâ, hal. 92.

Kanz Al-'Ummâl, jilid 3, hal. 61.

Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 154.

Ar-Riyâdh An-Nâdhirah, jilid 2, 163.

Târîkh At-Thabarî, jilid 2, hal. 127; Târîkh Ibn Atsîr, jilid 2, hal. 22; Târîkh Abi Al-Fidâ', jilid 1, hal. 116; Musnad Ahmad, jilid 1, hal. 331; Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 399.

Al-Murâja'ât, hal. 208.

Musnad Abu Daud, jilid 1, hal. 29; Hilyah Al-Awliyâ', jilid 7, hal. 195; Musykil Al-?tsâr, jilid 2, hal. 309; Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 1, hal. 182; Târîkh Bagdad, jilid 11, 432; Khashâ'ish An-Nasa'î, hal. 16.

Usud Al-Ghâbah, jilid 4, hal. 26; Khashâ'ish An-Nisa'î, hal. 15; Shahîh Muslim, kitab Fadhâ'il Al-Ashhâb, jilid 7, hal. 120.

Târîkh Bagdad, jilid 2, hal. 377.

Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 401.

Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 156; As-Shawâ'iq Al-Muhriqah, hal. 73.

Mu'jam Al-Udabâ', jilid 17, hal. 200.

Shahîh At-Turmudzî, jilid 1, hal. 301; Shahîh Ibn Mâjah, jilid 12; Târîkh Baghdad, jilid 1, hal. 255; Hilyah Al-Awliyâ', jilid 4, hal. 185.

Shahîh At-Turmudzî, jilid 1, hal. 299.

Majma' Az-Zawâ'id, jilid 9, hal. 133.

Nûr Al-Abshâr, hal. 72.

Mustadrak Al-Hâkim, jilid 3, hal. 129.

Al-Istî'âb, jilid 2, hal. 464.

Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 400.

Majma' Az-Zawâ'id, jilid 1, hal. 367.

Ash-Shawâ'iq Al-Muhriqah, hal. 75.

Shahîh At-Turmudzî, jilid 2, 308.

Shahîh At-Turmudzî, jilid 2, hal. 308; Kanz Al-'Ummâl, jilid 1, hal. 84.

Ash-Shawâ'iq Al-Muhriqah, hal. 75.

Majma' Az-Zawâ'id, jilid 9, 168; Al-Mustadrak, jilid 2, hal. 43; Târîkh Baghdad, jilid 2, hal. 120; Al-Hilyah, jilid 4, hal. 306; Adz-Dzakâ'ir, hal. 20.

Mustadrak Al-Hâkim, jilid 3, hal. 149; Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 116. Dalam kitab Faidh Al-Qadîr dan Majma' Az-Zawâ'id, Nabi saw. bersabda: "Bintang-bintang adalah pengaman bagi penduduk bumi dan Ahlu Baitku adalah pengaman bagi umatku."

Ar-Riyâdh An-Nâdhirah, jilid 2, hal. 252. Serupa dengan hadis itu, hadis yang terdapat dalam Shahîh At-Turmudzî, jilid 2, hal. 319 dan Sunan Ibn Mâjah, jilid 1, hal. 52.

Kanz Al-'Ummâl, jilid 3, hal. 154.

Al-Mîzân, jilid 14, hal. 12.

As-Sîrah An-Nabawiyah, hal. 74.

Hayâh Al-Imâm Amirul Mukminin, jilid 2, hal. 20.

Usud Al-Ghâbah, jilid 4, hal. 93.

Al-Imam Ali bin Abi Thalib, jilid 1, hal. 82.

As-Sîrah An-Nabawiyah, jilid 2, hal. 105.

Târîkh Ibn Katsîr, jilid 4, hal. 47.

Mustadrak Al-Hâkim, jilid 3, hal. 32.

Târîkh Baghdad, jilid 13, hal. 19; Mustadrak Al-Hâkim, jilid 3, hal. 32.

Rasâ'il Al-Jâhizh, hal. 60.

Hayâh Al-Imam Amirul Mukminin as., jilid 2, hal. 27.

A'yân Asy-Syi'ah, jilid 3, hal. 113.

Hilyah Al-Awliyâ', jilid 1, hal. 62; Shifah Ash-Shafwah, jilid 1, hal. 163; Musnad Ahmad, Hadits ke-778.

Shifah Ash-Shafwah, jilid 1, hal. 164; Shahîh Al-Bukhârî, jilid 7, hal. 121.

Hayâh Al-Imam Amirul Mukminin as., jilid 2, hal. 30.

Târîkh Baghdad, jilid 1, hal. 324; Mîzân Al-I'tidâl, jilid 2, hal. 218; Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 368. Dalam kitab Ar-Riyâdh An-Nâdhirah, jilid 2, hal. 188 disebutkan bahwa tujuh puluh orang lelaki telah bergotong royong untuk mengembalikan pintu benteng tersebut ke tempatnya semula dengan susah payah.

Khazânah Al-Adab, jilid 6, hal. 56.

Hayâh Al-Imam Amirul Mukminin as., jilid 2, hal. 30.

Hayâh Al-Imam Husain as., jilid 1, hal. 195, menukil dari Târîkh Al-Ya'qûbî, jilid 2, 90.

Al-Ghadîr, jilid 2, hal. 34.

Nusnad Ahmad, jilid 4, hal. 281.

Al-Ghadîr, jilid 1, hal. 271.

Al-Bidâyah wa An-Nihâyah, jlid 5, hal. 226.

Semua sejarahwan mencatat peristiwa yang menyedihkan ini. Al-Bukhârî sendiri menyebutkannya beberapa kali pada jilid 4, hal. 68 dan 69, dan juga pada jilid 6, hal. 8. Dia menyembunyikan nama penentang itu. Sementara dalam kitab An-Nihâyah, karya Ibn Atsîr, Syarah Nahjul Balagah, karya Ibn Abil Hadîd, jilid 3, hal. 114, dan juga dalam kitab-kitab yang lain, nama orang itu disebutkan.

Musnad Ahmad, jilid 1, hal. 355.

Al-Manâqib, jilid 1, hal. 29. Terdapat banyak hadis mutawatir yang menegaskan bahwa Nabi saw. wafat sementara kepala beliau berada di pangkuan Imam Ali as. Silakan Anda rujuk Thabaqât Ibn Sa'd, jilid 2, hal. 51, Majma' Az-Zawâ'id, jilid 1, hal. 293, Kanz Al-'Ummâl, jilid 4, hal. 55, Dzakhâ'ir Al-'Uqbâ, hal. 94, dan Ar-Riyâdh An-nâdhirah, jilid 2, hal. 219.

Ansâb Al -Asyrâf, jilid 1, hal. 574.

Târîkh Al-Khamîs, jilid 2, hal. 192.

Nahjul Balâghah, jilid 2, hal. 255.

Hilyah Al-Awliyâ', jilid 4, hal. 77.

Kanz Al-'Ummâl, jilid 4, hal. 54.

Nahjul Balaghah, khotbah ke-409.

Hayâh Al-Imam Husain as., jilid 1, hal. 235.

Ansâb Al-Asyrâf, karya Al-Balâdzurî. Para sejarahwan sepakat tentang adanya ancaman Umar kepada Ali as. untuk membakar rumahnya itu. Silahkan Anda rujuk Târîkh Ath-Thabarî, jilid 3, hal. 202, Târikh Abi Al-Fidâ', jilid 1, hal. 156, Târîkh Al-Ya'qûbî, jilid 2, hal. 105, Murûj Adz-Dzahab, jilid 1, hal. 414, Al-Imâmah wa As-Siyâsah, jilid 1, hal. 12, Syarah Nahjul Balâghah, karya Ibn Abil Hadîd, jilid 1, hal. 34, Al-Amwâl, karya Abu 'Ubaidah, hal. 131, A'lâm An-Nisâ', jilid 3, hal. 205, dan Al-Imam Ali, karya Abul Fattâh Maqshûd, jilid 1, hal. 213.

Al-Imâmah wa As-Siyâsah, hal. 28-31.

Nahjul Balâghah, jilid 2, hal. 182.

Di antara sahabat besar yang mengkritik penyerahan kekhalifahan dari Abu Bakar kepada Umar adalah Thalhah dan para sahabat yang lain. Silakan Anda rujuk Syarah Nahjul Balâghah, karya Ibn Abil Hadîd, jilid 9, hal. 343.

Murûj Adz-Dzahab, jilid 2, hal. 262.

Syarah Nahjul Balâghah, karya Ibn Abil Hadîd, jilid 2, hal. 185.

Al-Istî'âb, catatan atas Al-Ishâbah, jilid 2, hal. 461; Al-Imâmah wa As-Siyâsah, jilid 1, hal. 21.

Târîkh Asy-Syi'r Al-Arabî, hal. 26.

As-Sîrah Al-Halabiyah, jilid 2, hal. 314.

Hayâh Al-Imam Amiril Mukminin as., jilid 2, hal. 215.

Târîkh Ibn Al-Atsîr, jilid 3, hal. 80.

Al-'Iqd Al-Farîd, jilid 2, hal. 92.





6


Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.




IMAM HASAN BIN ALI BIN ABI THALIB

Imam Hasan as. adalah cucu kesayangan Rasulullah saw. Dia menyerupai Rasulullah saw. dalam kelembutan hati, kesabaran, kepribadian, dan kedermawanan. Rasulullah saw. telah mencurahkan kecintaan dan kasih sayang kepadanya di tengah-tengah kaum muslimin. Banyak hadis yang telah diriwayatkan darinya mengenai kedudukan dan ketinggian kedudukan Imam Hasan as. ini. Antara lain:




1. Diriwayatkan bahwa 'AIsya'h berkata: "Sesungguhnya Nabi saw. pernah mengambil Hasan dan memeluknya seraya berkata, 'Ya Allah, sesungguhnya ini adalah anakku dan aku mencintainya dan mencintai orang yang mencintainya.'"

2. Menurut sebuah riwayat, Al-Barâ' bin '?zib pernah berkata: "Aku pernah melihat Rasulullah saw., sedang Hasan berada di atas pundaknya sambil berkata, 'Ya Allah, sesungguhnya aku mencintainya, maka cintailah orang yang mencintainya.'"

3. Diriwayatkan bahwa Ibn Abbâs berkata: "Rasulullah saw. datang sambil memanggul Hasan di pundaknya. Seorang laki-laki yang menjumpainya berkata, 'Hai anak, kamu telah menunggangi tunggangan yang paling baik.' Rasulullah pun menimpali, 'Dan penunggang yang paling baik penunggang adalah dia (Hasan).'"

4. Rasulullah saw. bersabda: "Barang siapa yang ingin melihat penghulu pemuda ahli surga, maka lihatlah Hasan."

5. Rasulullah saw. bersabda: "Hasan adalah buah hatiku di dunia ini."

6. Menurut sebuah riwayat, Anas bin Malik pernah berkata: "Hasan datang menemui Rasulullah saw. Aku menahannya. Rasulullah saw. lantas berkata, 'Celaka engkau hai Anas, lepaskanlah anak dan buah hatiku itu. Barang siapa yang menyakitinya, maka ia telah menyakitiku, dan barang siapa yang menyakitiku, berarti ia telah menyakiti Allah.'"

7. Ketika Rasulullah saw. sedang mengerjakan salah satu salat Maghrib atau Isya'', ia saw. memperpanjang sujud. Setelah selesai salam, orang-orang bertanya mengapa ia melakukan hal itu. Ia menjawab: "Ini (Hasan) adalah anakku. Ia menaikiku. Maka aku tidak ingin mengusiknya."

8. Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Abdurahman bin Zubair berkata: "Di antara keluarga Nabi saw. yang paling mirip dengannya dan yang palingnya cintai adalah Hasan. Aku melihat Rasulullah saw. sujud dan Hasan naik ke atas punggungnya. Ia tidak mau menurunkannya hingga ia sendiri yang turun. Dan aku melihat Rasulullah saw. sedang rukuk, dan Rasulullah merenggangkan celah-celah kedua kakinya, sehingga Hasan dapat keluar dari arah lain."




Banyak sekali hadis seperti itu yang telah disabdakan oleh Rasulullah saw. tentang keutamaan cucu kesayangan dan buah hatinya itu. Para perawi menukil sekelompok hadis lain yang menjelaskan keutamaannya, keutamaan saudaranya; Imam Husain as. penghulu para syahid, dan keutamaan Ahlul Bait as. Dan Imam Hasan termasuk salah seorang dari mereka. Hal itu telah kami jelaskan dalam buku kami, Hayâh Al-Imam Hasan as., jilid 2.




Perkembangan Hidup Imam Hasan as.

Rasulullah saw. mengasuh dan memberikan teladan yang baik kepada Imam Hasan as. Ia mencurahkan seluruh perhatian kepada cucunya yang satu ini. Ayahnya, Amirul Mukminin as. sebagai pendidik terbaik dalam dunia Islam juga telah mendidiknya dengan baik. Ia telah menanamkan suri teladan yang mulia dan karakter yang agung di dalam lubuk hatinya sehingga Hasan menjadi manifestasi yang sempurna untuk seluruh karakter tersebut. Hasan juga dididik oleh penghulu semesta alam, Sayyidah Az-Zahrâ' as. Ibunya ini telah menanamkan jiwa keimanan yang murni dan kecintaan yang mendalam kepada Allah swt.

Imam Hasan as. tumbuh di dalam rumah kenabian, curahan wahyu, dan pusat kontrol imâmah. Oleh karena itu, ia pantas menjadi teladan terbaik untuk pendidikan Islam dalam tingkah laku dan kepribadiannya yang agung.




Teladan Yang Agung

Dalam diri Imam Hasan as., tercermin sifat yang luhur dan teladan yang agung. Dalam dirinya terjelma karakteristik kakek dan ayahnya yang telah berhasil menegakkan simbol-simbol kesadaran dan kemuliaan di muka bumi ini.

Imam Hasan as. telah mencapai puncak kemuliaan, kehormatan, pandangan yang dalam, pemikiran yang tinggi, kewarakan, kesabaran yang luas, dan budi pekerti yang luhur. Semua itu adalah butir-butir mutiara kemuliaannya.




Imâmah

Sifat utama Imam Hasan as. yang paling menonjol adalah imâmah (kepemimpinan). Hal itu, karena ia memiliki keutamaan dan potensi yang tidak dimiliki kecuali oleh orang yang telah dipilih oleh Allah swt. di antara hamba-hamba-Nya. Dan Allah swt. telah menganugerahkan hal itu kepadanya. Rasulullah saw. pernah menegaskan kepemimpinan Imam Hasan as. dan Imam Husain as. seraya bersabda: "Hasan dan Husain adalah pemimpin, baik ketika mereka berkuasa maupun ketika diam."

Hendaknya kita merenung sejenak untuk memikirkan arti imâmah dan seluruh partikel yang bertalian dengannya. Semua itu akan mengungkap bagi kita kemuliaan kedudukan dan keagungan Imam Hasan as.




a. Arti Imâmah

Definisi imâmah menurut persepsi para teolog adalah kepemimpinan umum seseorang yang menyangkut urusan agama dan dunia. Menurut definisi ini, imam adalah pemimpin umum yang wajib ditaati. Ia memiliki kekuasaan mutlak atas umat manusia dalam semua urusan agama dan dunia.




b. Perlu Kepada Imâmah

Kepemimpinan adalah salah satu kebutuhan utama dalam kehidupan umat manusia. Dan kebutuhan ini tidak dapat diabaikan dalam kondisi apapun. Dengan imâmah, tatanan dunia dan agama yang bengkok dapat diluruskan. Dengan imâmah, keadilan yang telah dicanangkan oleh Allah akan terealisai di muka bumi ini, stabilitas umum dan ketentraman di kalangan umat manusia akan terwujud, berbagai kesulitan dan bencana akan dapat diatasi, dan kesewenang-wenangan orang yang kuat atas orang yang lemah dapat dicegah.

Faktor paling urgen yang menuntut kehadiran seorang imam adalah menuntun umat manusia kepada penghambaan kepada Allah swt., menyebarkan hukum-hukum dan ajaran-Nya, dan menanamkan roh iman dan takwa di dalam diri masyarakat, agar mereka dapat menepis kejahatan dan merangkul kebaikan. Seluruh umat manusia wajib mengikutinya dan menjalankan perintahnya agar ia dapat menegakkan pondasi kehidupan mereka dan memberikan petunjuk kepada jalan yang benar.




c. Tugas-Tugas Seorang Imam

Tugas-tugas seorang pemimpin dan wali kaum muslimin adalah sebagai berikut:

1. Menjaga dan memelihara agama Islam dari orang-orang yang ingin merongrong nilai-nilai akhlak.

2. Menjalankan hukum, menyelesaikan pertikaian masyarakat, dan membela orang yang teraniaya.

3. Menjaga negara Islam dari serangan musuh, baik berupa serangan militer maupun pemikiran.

4. Melaksanakan sanksi dan hukuman atas seluruh tindak kejahatan yang menyebabkan umat menjadi sengsara.

5. Membentengi daerah-daerah perbatasan negara Islam.

6. Jihad.

7. Mengumpulkan dan menyalurkan harta negara, seperti zakat, pajak, dan lain sebagainya, sesuai dengan ketentuan syariat Islam.

8. Menggunakan orang-orang yang jujur sebagai aparatur negara dan tidak mengangkat seorang pegawai hanya karena ia mencintai atau mengutamakannya.

9. Mengontrol urusan rakyat secara langsung dan tidak menyerahkannya kepada orang lain. Karena hal itu merupakan hak rakyat atasnya.

10. Mengikis pengangguran, meratakan kesejahteraan sosial sehingga meliputi seluruh lapisan masyarakat, dan membebaskan mereka dari kefakiran dan kepapaan.

Ini semua adalah sebagian tugas yang wajib dijalankan oleh seorang imam untuk umatnya. Pembahasan ini telah kami paparkan dalam buku, Nizhâm Al-Hukm wa Al-Idârah fi Al-Islam.




d. Karakteristik Imam

Seorang imam harus memiliki syarat-syarat berikut ini:

1. Adil dengan seluruh syaratnya; yakni menghindari dosa-dosa besar dan tidak melakukan dosa-dosa kecil secara terus menerus.

2. Memiliki ilmu yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam seluruh bidang dan mengetahui sebab-sebab turun dan hukum Al-Qur'an.

3. Panca indera yang sehat, seperti pendengaran, penglihatan, dan lisan, agar ia dapat melakukan sesuatu yang ia ketahui secara langsung. Begitu pula dIsya'ratkan supaya anggota badannya yang lain sehat.

4. Memiliki wawasan yang luas untuk mengatur rakyat dan kemaslahatan umum.

5. Berani, tegar, mampu menjaga negara Islam, dan berjuang melawan musuh.

6. Seorang imam harus berasal dari keturunan Quraisy.

Syarat-syarat dan karakteristik di atas telah dijelaskan oleh Al-Mâwardî dan Ibn Khaldûn.

7. 'Ishmah (keterjagaan dari dosa). Menurut para ahli teologi, defini 'ishmah adalah anugerah Ilahi (luthf) yang Dia berikan kepada hamba pilihan-Nya. Dengan itu, ia tercegah dari perbuatan dosa dan kesalahan, baik dosa yang dilakukan dengan sengaja maupun lupa.

Syi'ah sepakat bahwa seorang imam harus memiliki karakter 'ishmah. Dalil mereka adalah hadis Tsaqalain. Dalam hadis ini, Rasulullah saw. telah menggandengkan Al-Qur'an dan 'Itrah. Sebagaimana Al-Qur'an terjaga dari kesalahan dan kekeliruan, begitu pula dengan 'Itrah yang suci. Jika tidak demikian, maka penggandengan dan penyamaan antara kedua pusaka itu tidak berarti, seperti penjelasan yang sudah dipaparkan.

Seluruh karakter itu tidak dapat terpenuhi kecuali pada diri para imam Ahlul Bait as. sebagai pengayom dan pemelihara Islam serta penunjuk jalan kepada keridaan dan ketaatan kepada Allah swt.

Sejarah dan perilaku para imam Ahlul Bait as. sendiri membuktikan bahwa mereka terjaga dari setiap kesalahan dan penyimpangan. Berbagai peristiwa telah membuktikan realita ini. Lebih dari itu, seluruh peristiwa itu juga menegaskan bahwa mereka adalah pribadi-pribadi agung yang tidak ada tandingannya dalam sejarah umat manusia. Hal itu lantaran mereka memiliki kemuliaan yang agung, ketakwaan, dan kepedulian yang tinggi terhadap agama.




e. Penentuan Imam

Syi'ah berpendapat bahwa penentuan seorang imam tidak berada di tangan umat manusia dan tidak pula di tangan Ahl Al-Hall wa Al-'Aqd (Badan Penentu Kemaslahatan dan Kesepakatan Bersama). Teori pemilihan dalam mengangkat seorang imam tidak dapat dibenarkan. Kita mustahil dapat memilihnya. Imâmah tak ubahnya seperti kenabian. Sebagaimana kenabian tidak dapat ditentukan oleh umat manusia, demikian pula halnya dengan imâmah. Hal itu lantaran 'ishmah sebagai syarat utama dalam imâmah tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah swt. yang mengetahui rahasia setiap jiwa insan.

Hujah keluarga Muhammad dan Mahdî umat ini afs. telah menjelaskan konsep ini dengan sebuah argumentasi ketika ia berdialog dengan Sa'd bin Abdillah. Sa'd pernah bertanya kepadanya tentang sebab mengapa umat manusia tidak boleh memilih imam mereka sendiri. Imam Mahdî afs. menjawab: "Mereka memilih seorang penegak kebaikan ataukah keburukan?"

"Tentu memilih penegak kebaikan", jawab Sa'd singkat.

"Mungkinkah pemilihan mereka itu jatuh kepada seorang pelaku keburukan, lantaran tidak seorang pun dari mereka yang mengetahui apa yang tersirat di dalam hati orang lain; kebaikan ataukah keburukan?", tukas Imam Mahdî afs.

"Ya, bisa saja terjadi", jawab Sa'd pendek.

Imam Mahdî afs. menimpali: "Itulah penyebabnya. Aku akan menjelaskan kepadamu dengan dalil yang dapat dipercaya oleh akalmu. Jawablah pertanyaanku ini. Terdapat para rasul yang telah dipilih oleh Allah dan diturunkan kitab kepada mereka, lalu mereka diperkuat dengan wahyu dan 'ishmah. Karena itu mereka menjadi penuntun umat dan lebih jitu dalam menentukan pilihan, seperti Mûsâ dan Isa. Sekarang dengan kesempurnaan akal dan ilmu mereka berdua, apakah mungkin pilihan mereka jatuh kepada seorang munafik, sementara mereka meyakini bahwa dia adalah seorang mukmin?"

"Jelas tidak mungkin", jawab Sa'd.

Imam Mahdî afs. menimpali: "Lihatlah Mûsâ. Ia adalah Kalîmullâh. Dengan akalnya yang tinggi, ilmunya yang sempurna, dan wahyu pun turun kepadanya, ia telah memilih orang-orang terkemuka di antara kaumnya dan para pembesar bala tentaranya untuk menjumpai Tuhannya sebanyak 70 orang. Keimanan dan keikhlsan para pembesar pilihan itu tidak diragukan lagi. Tetapi ternyata pilihannya itu jatuh kepada orang-orang munafik. Allah swt. berfirman, 'Dan Mûsâ memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan.' Dalam ayat lain Allah swt. berfirman, 'Mereka berkata, 'Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata.' Maka mereka disambar petir karena kezaliman mereka.' Jika kita melihat bahwa pilihan orang yang telah dipilih Allah swt. untuk tugas kenabian ternyata jatuh kepada orang yang rusak, bukan kepada orang yang baik, tetapi ia menduga bahwa orang itu adalah orang baik, maka kita tahu bahwa pemilihan itu harus berada di tangan Dzat yang mengetahui segala yang tersembunyi di dalam dada dan jiwa."

Sesungguhnya kemampuan manusia tidak mampu untuk mengetahui kemaslahatan yang dapat membawa umat kepada kebahagiaan. Oleh karena itu, pemilihan imam itu tidak mungkin berada di tangan manusia, tetapi di tangan Allah yang mengetahui segala rahasia.

Inilah gambaran global mengenai imâmah. Untuk lebih detailnya, Anda dapat membaca buku-buku teologi.




Ketinggian Akhlak Imam Hasan as.

Imam Hasan as. mewarisi kakeknya yang memiliki kelebihan atas seluruh nabi dengan ketinggian akhlaknya. Para perawi hadis banyak meriwayatkan berbagai macam keutamaan akhlaknya. Di antaranya ialah kisah berikut ini:




a. Pada suatu hari, seseorang yang berasal dari Syam melewati Imam Hasan as. Orang itu mencela dan menghina Imam Hasan as. Imam Hasan diam dan tidak membalasnya. Setelah orang itu selesai lampiaskan celaannya, Imam Hasan mendatanginya dengan kelembutan dan senyum yang lebar. Imam Hasan as. berkata kepadanya: "Hai Syaikh, aku yakin Anda adalah orang asing. Jika Anda meminta sesuatu dari kami, pasti kami akan berikan. Jika Anda memerlukan petunjuk, niscaya kami akan beri petunjuk. Jika Anda meminta untuk memikul suatu barang, pasti kami akan pikul. Jika Anda lapar, kami pasti beri makan. Jika Anda memerlukan hajat, kami akan penuhi. Jika Anda terusir, kami siap melindungi."

Imam Hasan selalu bersikap lemah lembut terhadap orang Syam itu sehingga membuatnya tercengang. Orang itu tidak mampu menjawab sepatah kata pun. Ia merasa bingung bagaimana harus meminta maaf kepada Imam Hasan untuk menghapus kesalahan yuang telah dilakukannya. Akhirnya ia berkata: "Allah lebih mengetahui di manakah Dia meletakkan risalah-Nya."




b. Pada suatu ketika, Imam Hasan as. duduk di suatu tempat. Ketika ia ingin meninggalkan tempat itu, tiba-tiba seorang fakir datang kepadanya. Imam Hasan menyambutnya dengan lemah lembut sembari berkata: "Kamu datang ketika kami hendak berdiri. Apakah kamu izinkan saya meninggalkan tempat ini?"

Laki-laki fakir itu merasa kagum dengan ketinggian akhlak Imam Hasan as. Akhirnya, ia mengizinkan Imam Hasan untuk meninggalkan tempat tersebut.




c. Ketika Imam Hasan as. melewati sekelompok orang-orang fakir yang telah meletakkan sobekan-sobekan roti di atas tanah dan lantas melahapnya. Mereka mengajak Imam Hasan untuk makan bersama. Imam Hasan turut serta duduk di tengah-tengah mereka dan makan bersama mereka. Imam Hasan berkata: "Sesungguhnya Allah swt. tidak menyukai orang-orang sombong." Kemudian ia mengajak mereka untuk memenuhi undangannya. Maka mereka bergegas pergi bersama Imam Hasan, dan ia memberi makan dan pakaian kepada mereka hingga mereka puas.




Kesabaran Imam Hasan as. yang Luas

Salah satu karakter Imam Hasan as. yang menonjol adalah kesabarannya yang luas. Ia senantiasa membalas setiap orang yang berbuat buruk dan dengki kepadanya dengan kebaikan. Para ahli sejarah telah meriwayatkan banyak kisah mengenai kesabaran Imam Hasan yang maha luas ini. Di antaranya adalah kisah berikut ini:




a. Suatu hari Imam Hasan as. ia melihat kaki kambing miliknya patah. Ia bertanya kepada budaknya: "Siapakah yang melakukan hal itu?"

"Saya", jawab budak itu pendek.

"Mengapa kamu lakukan itu?", tanya Imam Hasan.

"Agar Anda merasa sedih", jawab budak itu.

Imam tersenyum seraya berkata: "Aku akan membahagiakanmu."

Setelah berkata begitu, Imam Hasan as. memberi hadiah kepadanya dan membebaskannya.




b. Seorang musuh bebuyutan Imam Hasan as. adalah Marwân bin Hakam. Marwân telah mengakui luasnya kesabaran Imam Hasan. Pengakuan ini Marwân tegaskan ketika Imam Hasan as. pulang ke haribaan Ilahi. Ketika itu Marwân segera memikul jenazah Imam Hasan. Imam Husain terkejut dengan sikap Warwân tersebut seraya bertanya: "Sekarang engkau memikul jenazahnya, padahal kemarin engkau membuatnya murka?"

Marwân menjawab: "Aku lakukan ini kepada orang yang kesabarannya menyerupai gunung."

Imam Hasan as. adalah seseorang yang berkesabaran tinggi, berakhlak luhur, dan berbudi pekerti agung. Ia dapat menarik hati orang lain dengan sifat-sifat mulia seperti ini.




Kedermawanan Imam Hasan as.

Imam Hasan as. adalah orang yang paling murah tangannya dan paling banyak berbuat baik kepada fakir miskin. Ia tidak pernah menolak pengemis. Ada seseorang yang bertanya kepadanya: "Mengapa Anda tidak pernah menolak pengemis?"

Imam Hasan as. menjawab: "Aku mengemis kepada Allah dan mencintai-Nya. Aku malu menjadi pengemis kepada Allah, sementara aku menolak seorang pengemis. Sesungguhnya Allah senantiasa melimpahkan nikmat-Nya kepadaku. Dan aku berusaha untuk senantiasa melimpahkan nikmat-Nya kepada manusia. Aku takut, jika aku memutuskan kebiasaan ini, Allah akan memutuskan kebiasaan-Nya."

Kemudian Imam Hasan menyenandungkan syair:

Apabila datang kepadaku seorang pengemis, kusambut dia dengan ucapan: "Selamat datang, wahai yang karunianya segera dianugerahkan kepadaku dengan pasti."

Dan karunianya adalah karunia bagi setiap pengutama, sebaik-baik hari bagi seseorang adalah ketika ia diminta.

Para utusan orang-orang kelaparan dan fakir miskin senantiasa datang mengantri di depan pintu rumah Imam Hasan as. Dengan tangan terbuka dan penuh anugerah, ia memberi santunan kepada mereka, dan memperbanyak santunan itu.

Para ahli sejarah telah menulis berbagai kisah mengenai kedermawanan Imam Hasan as. sebagai berikut ini:




1. Seorang Arab Badui datang kepada Imam Hasan as. untuk meminta sesuatu. Imam Hasan berkata: "Berikanlah kepadanya apa yang ada di dalam lemari itu." Ketika itu, terdapat 10.000 dirham di dalam lemari tersebut. Orang Badui berkata: "Bolehkah aku mengutarakan hajatku dan menebarkan pujianku?"

Imam Hasan as. menjawabnya dengan ucapan:




Kamilah pemilik ladang yang subur, harapan dan cita datang untuk menggembala di sana.

Kamilah pemilik jiwa derma sebelum kau minta, menjaga kehormatan orang yang meminta.

Sekiranya laut tahu keutamaan orang yang meminta pada kami, pasti ia melimpahkan karunianya karena malu.




2. Suatu hari, Imam Hasan as. berlalu melewati seorang budak hitam legam yang sedang menggengga sepotong roti. Satu suap ia makan dan satu suap lainnya ia berikan kepada anjing. Imam Hasan bertanya kepadanya: "Mengapa kamu berbuat seperti itu?" Budak itu menjawab: "Aku malu memakannya bila aku tidak memberinya."

Imam Hasan as. melihat bahwa pada diri budak itu terdapat sifat terpuji. Karena itu ia ingin membalas perbuatan baiknya itu dengan kebaikan pula demi menebarkan keutamaan di tengah-tengah masyarakat. Imam Hasan berkata kepadanya: "Jangan beranjak dari tempat dudukmu."

Setelah berkata begitu, Imam Hasan as. pergi dan membeli budak itu dari majikannya. Lebih dari itu, ia juga membeli kebun yang budak itu duduk di situ. Kemudian Imam Hasan membebaskan budak tersebut dan memberikan kebun itu kepadanya.




3. Suatu hari, Imam Hasan as. melewati sebuah gang di kota Madinah. Tiba-tiba ia mendengar seorang lelaki tengah memohon kepada Allah agar diberikan uang sebanyak 10.000 dirham. Imam segera pulang ke rumahnya dan mengirim uang itu kepadanya.

Inilah sebagian contoh dari kedermawanan Imam Hasan as. Kami telah menjelaskan berbagai contoh dan kisah dari kedermawanannya dalam buku kami, Hayâh Al-Imam Hasan as., jilid 1.




Kezuhudan Imam Hasan as.

Buah hati dan cucu Rasulullah saw. yang pertama ini memiliki kezuhudan dalam semua sisi kehidupan. Ia memfokuskan diri kepada Allah swt. dengan segenap jiwa raga dan merasa cukup dengan harta dunia yang sedikit. Ia pernah berkata:

Secuil roti kering dapat mengenyangkan perutku, dan seteguk air putih dapat menghilangkan dahagaku.

Sehelai baju dapat menutupi badanku kala aku hidup, dan kain kafan pun cukup bagiku bila aku mati.

Imam Hasan as. mengukir dua bait syair pada cincinnya yang melukiskan ia adalah seorang yang zuhud. Dua bait itu adalah:

Hidangkanlah takwa untuk dirimu sebisamu, sungguh kematian akan datang padamu, hai pemuda.

Di pagi hari engkau bergembira seakan tak melihat para kekasih hatimu hancur luluh di dalam kubur dan hancur.

Muhammad bin Babawaeh telah menulis sebuah kitab tentang kezuhudan Imam Hasan as. Buku itu ia beri judul Zuhd Al-Imam Hasan as. Para penulis biografi juga sepakat bahwa Imam Hasan as. adalah figur manusia terzuhud pada masanya, sebagaimana ayah dan kakeknya.




Ilmu Pengetahuan Imam Hasan as.

Imam Hasan as. adalah sumber ilmu pengetahuan dan hikmah dalam Islam. Ketinggian ilmunya dan juga ilmu saudaranya, Imam Husain as., telah dijelaskan dalam banyak riwayat. Imam Hasan dan Imam Husain as. adalah penuang ilmu pengetahuan. Dan Imam Hasan as. menjadi tempat rujukan kaum muslimin dalam fatwa. Para sahabat Rasulullah saw. datang berduyun-duyun untuk menimba ilmu darinya. Banyak sahabatnya yang meriwayatkan hadis dari Imam Hasan.

Perlu kami ingatkan di sini bahwa Muhammad bin Ahmad ad-Dawlâbî (wafat 32 H.) pernah menulis sebuah musnad yang ia masukkan dalam kitab Adz-Dzurriyyah Ath-Thâhirah. Dalam kitab ini ia menghimpun riwayat-riwayat yang telah diriwayatkannya dari Imam Hasan as. dari kakeknya, Rasululah saw.




Kata Mutiara Imam Hasan as.

1. Imam Hasan as. berkata: "Tinggallah di dunia ini dengan badanmu dan di akhirat dengan hatimu."

2. Imam Hasan as. berkata: "Anggaplah apa yang kamu inginkan tentang dunia ini, tetapi kamu tidak memperolehnya, seakan-akan keinginan itu tidak pernah terbersit di hatimu."

3. Imam Hasan as. berkata: "Yang lebih besar daripada sebuah musibah adalah akhlak yang buruk."

4. Imam Hasan as. berpesan: "Barang siapa yang memulai pembicaraan tanpa salam, maka janganlah kamu jawab."

5. Imam Hasan as. berkata kepada seorang laki-laki yang telah sembuh dari sakitnya: "Sesungguhnya Allah swt. telah mengingatmu, maka ingatlah Dia. Dan Dia telah memaafkanmu, maka bersyukurlah kepada-Nya."

6. Imam Hasan as. berpesan: "Nikmat adalah sebuah ujian. Jika kamu bersyukur, maka nikmat itu laksana harta karun. Jika engkau tidak mensyukurinya, maka nikmat tersebut akan menjadi bencana."




Ceramah Imam Hasan as.

Imam Hasan as. adalah seorang orator ulung yang mampu berceramah secara spontanitas dan pandai menyusun rangkaian kata yang indah. Berikut ini sebagian dari ceramahnya:




1. Pernah Imam Ali as. menyuruh Imam Hasan as. untuk menyampaikan ceramah di hadapan khalayak. Ia segera naik mimbar dan menyampaikan ceramah berikut ini:

Wahai manusia, pahamilah ketetapan Tuhan kalian. Sesungguhnya Allah swt. telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim, dan keluarga 'Imrân atas semesta alam ini. Mereka adalah keturunan dari sebagian yang lain. Dan Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. Kami adalah anak cucu Adam, keluarga Nuh, pilihan dari keluarga Ibrahim, keturunan dari Isma'il, dan keluarga Muhamamd saw. Kami di tengah-tengah kalian bagaikan langit yang tinggi, bumi yang terhampar, matahari yang bersinar, dan laksana pohon zaitun (tidak ke barat dan tidak ke timur) yang minyaknya diberkahi. Nabi adalah pokoknya, Ali adalah cAbângnya, dan kami adalah buahnya. Barang siapa yang berpegangan kepada salah satu cAbângnya, niscaya ia akan selamat. Dan barang siapa yang meningalkannya, maka ia akan terjerumus ke dalam neraka ...."




2. Salah satu ceramah Imam Hasan as. yang sangat indah adalah ceramah berikut ini. Dalam ceramah ini, ia memaparkan masalah akhlak dan budi pekerti yang mulia:

Ketahuilah bahwa akal adalah benteng, kesabaran adalah hiasan, menepati janji adalah kehormatan, ketergesa-gesaan adalah kebodohan, kebodohan itu adalah kelemahan, berteman dengan ahli dunia adalah kehinaan, dan bergaul dengan orang-orang fasik adalah kebinasaan. Barang siapa yang meremehkan saudaranya, maka rusaklah harga dirinya. Tidak ada yang rusak kecuali orang-orang ragu. Sementara orang-orang yang mendapat petunjuk akan selamat. Yaitu mereka yang sedikit pun tidak pernah memprotes Allah tentang ajal mereka dan tidak pula tentang rezeki mereka. Oleh karena itu, kesucian mereka sempurna dan rasa malu mereka juga sempurna. Mereka bersabar diri sehingga rezeki mereka datang sendiri. Mereka sama sekali tidak menjual agama dan kehormatan mereka sedikit pun dengan harta dunia. Mereka pun tidak mencari sedikit pun dari dunia itu dengan jalan bermaksiat kepada Allah. Termasuk kesempurnaan akal dan kehormatan seseorang adalah ia bersegera memenuhi hajat saudara-saudaranya sekalipun mereka tidak mengutarakannya. Akal adalah pemberian Allah yang paling baik kepada hamba-Nya. Karena dengan akal, ia akan selamat di dunia dari mara bahayanya dan akan selamat dari siksa akhirat.

Dikisahkan bahwa para sahabat Rasulullah saw. pernah menceritakan seseorang di hadapan Rasulullah saw. dengan ibadahnya yang bagus. Rasulullah saw. bersabda: "Lihatlah akalnya. Karena sesungguhnya seorang hamba akan diberi pahala pada hari kiamat kelak sesuai dengan kadar akalnya. Berbudi luhur adalah tanda bahwa akalnya sehat ...."




Ibadah Imam Hasan as.

Imam Hasan as. figur yang paling abid pada masanya. Para perawi hadis berkata tentang hal ini: "Kami tidak pernah melihat Imam Hasan pada setiap waktu melainkan ia senantiasa berzikir kepada Allah swt."

Apabila disebutkan tentang surga dan neraka, Imam Hasan as. tampak gemetar bagai disengat kalajengking. Kemudian ia memohon surga dan berlindung dari api neraka. Apabila disebutkan tentang kematian dan hal-hal yang mengiringinya seperti kebangkitan dan hari mahsyar, ia menangis seperti orang yang takut dan bertobat. Dan apabila disebutkan mengenai realita penampakkan amal di hadapan Allah, ia pingsan sejenak saking takutnya.

Kisah-kisan ini melukiskan betapa ketaatan Imam Hasan as. sangat tinggi dan betapa ia takut kepada Allah swt.




Wudu dan Salat Imam Hasan as.

Apabila Imam Hasan as. ingin berwudu, kondisi fisik dan batinnya berubah karena takut kepada Allah swt. sehingga wajahnya tampak pucat pasi dan persendiannya gemetar. Ia pernah ditanya tentang hal itu. Ia menjawab: "Sudah pasti persendian orang yang berdiri di hadapan Tuhan 'Arsy merasa gemetar dan wajahnya pucat pasi."

Apabila usai berwudu dan hendak memasuki masjid, Imam Hasan as. berkata dengan suara keras: "Ya Tuhanku, tamu-Mu berada di ambang pintu-Mu. Wahai Dzat yang berbuat baik, telah datang orang yang berbuat buruk. Maka maafkanlah segala keburukan yang ada pada diri kami dengan keindahan anugerah yang ada di sisi-Mu, wahai Yang Maha Mulia."

Ketika Imam Hasan as. mulai mengerjakan salat, ia tampak merrasa takut dan gemetar sehingga seluruh persendian dan anggota tubuhnya tampak bergetar.

Manakala usai mengerjakan salat Shubuh, Imam Hasan as. tidak berbicara sedikit pun kecuali zikir kepada Allah hingga matahari terbit.




Ibadah Haji Imam Hasan as.

Salah satu manifestasi ibadah dan ketaatan Imam Hasan as. kepda Allah swt. adalah ibadah haji ke Baitullah sebanyak dua puluh lima kali dengan berjalan kaki. Sementara unta-unta dituntun di hadapannya.

Imam Hasan as. pernah ditanya mengapa ia sering pergi haji dengan berjalan kaki. Ia menjawab: "Aku merasa malu kepada Tuhanku, jika mendatangi rumah-Nya tidak dengan berjalan kaki."




Imam Hasan as. Bersedekah

Imam Hasan as. menyedekahkan harta bendanya yang sangat berharga di jalan Allah demi mencapai rida dan ketaatan kepada-Nya. Ia pernah menyedekahkan seluruh harta kekayaan yang dimilikinya sebanyak dua kali. Malah ia pernah menyedekahkan seluruh hartanya karena Allah sebanyak tiga kali, sehingga ia tidak memiliki cara lain untuk bersedekah kecuali dengan menyedekahkan satu sandalnya dan menahan sandal yang lain untuk dirinya.

Ini adalah sebagian contoh dari ketaatan Imam Hasan as. kepada Allah swt. Dan ibadahnya ini adalah sebuah gambaran tentang ibadah kakek dan ayahnya, Sayyidul Muttaqîn wal Muwahhidîn.




Imam Hasan as. Menghadapi Tuduhan

Imam Hasan as. dituduh banyak kawin. Menurut sebuah riwayat, ia pernah kawin dengan tiga ratus orang wanita. Semua itu adalah merupakan fitnah belaka yang tidak memiliki kenyataan. Tuduhan itu adalah rekayasa yang dibuat oleh Manshûr Ad-Dawâniqî pada saat keturunan Imam Hasan as. mengadakan perlawanan terhadapnya, dan hampir saja gerakan perlawanan ini menggoyahkan dan meruntuhkan bangunan kerajaannya. Manshûr telah berbuat dusta atas Imam Amirul Mukminin as. dan keturunannya dengan tuduhan-tuduhan palsu.

Seandainya semua riwayat buatan itu benar, tentunya Imam Hasan as. mempunyai anak yang sangat banyak sesuai dengan bilangan istrinya itu. Namun kenyataannya, para ahli nasab berasumsi bahwa putra-putri Imam Hasan as. hanya berjumlah dua puluh dua orang. Hal ini sama sekali tidak sesuai dengan jumlah wanita yang mereka duga telah dikawini oleh Imam Hasan.

Selain itu, mereka juga menuduh Imam Hasan as. dengan banyak melakukan perceraian. Seandainya tuduhan itu benar, pasti ia telah mencerai istrinya yang bernama Ja'dah binti Asy'ast. Kami telah membuktikan kepalsuan semua tuduhan itu dengan argumentasi yang gamblang dalam kitab kami, Hayâh Al-Imam Hasan as., jilid 2.




Kekhalifahan Imam Hasan as.

Ketika dunia Islam ditimpa musibah dan duka yang mendalam dengan syahadah Imam Amirul Mukminin as., pelopor keadilan itu, Imam Hasan as. menduduki kursi kekhalifahan Islam pada kondisi yang sangat genting dan kritis itu. Bala tentara Imam Hasan as. dikenal sebagai prajurit pembangkang dan tidak patuh. Mereka ingin hidup santai dan telah jenuh menghadapi peperangan. Sikap seperti itu pernah dilakukan oleh kaum Khawârij yang telah menjatuhkan hukum kafir dan keluar dari agama atas Imam Amirul Mukminin Ali as. Mereka itu bagaikan ulat-ulat dan serangga yang menggerogoti pasukan Imam Hasan as. dan menyeru untuk membelot dan keluar dari wilayah ketaatan dan kepemimpinannya.

Peristiwa yang paling menyakitkan dan menyedihkan Imam Hasan as. adalah pembelotan dan pengkhianatan yang dilakukan oleh komandan pasukannya, yaitu 'Ubaidillah bin Abbâs. 'Ubaidillah adalah komandan pasukan bersenjata. 'Ubaidillah bin Abbâs bersama rekan-rekannya telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya serta kaum muslimin. Mereka mengirim surat kepada Mu'âwiyah dan menyatakan kesetiaan dan ketaatan untuk menjalankan segala perintah. Bila Mu'âwiyah menginginkan, mereka siap untuk membunuh Imam Hasan as. atau menyerahkannya kepada Mu'âwiyah sebagai tawanan.

'Ubaidillah bin Abbâs, anak paman Imam Hasan as. itu, telah menerima uang suap dari Mu'âwiyah. Pada suatu malam hari yang gelap gulita, 'Ubaidillah menyelundup untuk menjumpai Mu'âwiyah. Secara diam-diam, ia meninggalkan bala tentara Imam Hasan, padahal kondisi mental mereka tengah goncang akibat berbagai fitnah. 'Ubaidillah telah membuka jalan pengkhianatan bagi orang-orang yang berjiwa lemah dan beriman rapuh, sehingga dengan mudah mereka menyeberang dan bergabung dengan pasukan tiran Mu'âwiyah. Dengan terjadinya bencana dan musibah itu, bumi menjadi sempit bagi Imam Hasan as. Ketika Imam Hasan tengah mengerjakan salat dan berdiri di hadapan Allah swt., seorang pembelot dari pasukannya menikam bagian pahanya.

Imam Hasan as. menghadapi berbagai ujian dan fitnah yang berat ini dengan penuh kesabaran dan ketabahan. Pada saat itu, ia dihadapkan pada salah satu dari dua pilihan yang tidak ada ketiganya, yaitu:

Pertama, mengadakan perlawanan terhadap Mu'âwiyah dengan bala tentara yang sudah lemah dan tidak ada harapan untuk menang. Dengan perlawanan ini, Imam Hasan as. tentunya harus rela mengorbankan dirinya, seluruh Bani Hâsyim, dan para pengikut setianya yang selalu siap membela agama dan memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. Dan yang jelas, apabila Imam Hasan as. diserahkan kepada Mu'âwiyah sebagai tawanan, Mu'âwiyah pasti akan membebaskannya. Dengan perlakuan semacam itu, Mu'âwiyah dapat membumihanguskan diri Imam Hasan dan keluarganya seperti perlakuan Rasulullah saw. terhadap orang-orang yang telah ia bebaskan pada hari pembebasan kota Mekah. Dengan demikian, Bani Umaiyyah dapat memperoleh kemenangan yang gemilang. Sementara pengorbanan Imam Hasan as. di mata masyarakat umum menjadi sia-sia dan tidak berarti sama sekali.

Kedua, berdamai dengan Mu'âwiyah, walaupun hal itu bagaikan kotoran yang mengganjal di mata dan segumpal makanan yang tersendat di tenggorokan, dan membiarkan Mu'âwiyah dengan segala kedurjanaannya, lalu menyingkap segala kedurjanaan itu di hadapan masyarakat Islam. Sebagai akibatnya, kejahatan Mu'âwiyah terhadap Islam akan terungkap, pakaian penutup aibnya akan tersingkap, dan kebusukan dan segala tipu dayanya akan terbukti.

Kenyataanya memang demikian. Semua itu terbukti dengan jelas dan tidak terdapat kesamaran sedikit pun. Setelah menandatangani perdamaian, Mu'âwiyah naik ke atas mimbar dan berpidato di hadapan masyarakat Irak. Ia menegaskan: "Hai penduduk Irak! Demi Allah, sesungguhnya aku tidak memerangi kalian agar kalian mengerjakan salat atau menunaikan zakat, tidak juga agar kalian berpuasa atau menunaikan ibadah haji. Aku memerangi kalian hanya agar aku dapat berkuasa dan memerintah kalian. Allah telah menganugerahkan kekuasaan kepadaku, tetapi kalian tidak menyukainya. Ketahuilah sesungguhnya setiap kesepakatan yang telah kuberikan kepada Hasan bin Ali, kini aku letakkan di bawah kedua tapak kakiku ini."

Perhatikanlah Mu'âwiyah yang busuk ini. Ia telah menyingkap kejahiliahannya sendiri dan menelanjangi nilai-nilai Islam. Perdamaian dengan Imam Hasan as. tidak memiliki manfaat kecuali kejahiliahan dan kebusukan hati Mu'âwiyah terungkap; roh Islam dan hidayah tidak berbekas di dalam hatinya sama sekali. Mu'âwiyah tak ubahnya seperti ayahnya, Abu Sufyân, musuh pertama Rasulullah saw., dan juga ibunya, Hindun yang telah mencongkel hati penghulu para syahid, Hamzah, dan mencacahnya dengan keji dan kejam. Permusuhan terhadap Islam dan kedengkiannya kepada Rasulullah saw. telah ia warisi dari kedua orang tuanya itu.

Yang jelas, Imam Hasan as. telah memilih jalan damai yang merupakan ketentuan syariat. Sekiranya tidak demikian, maka umat Islam telah mengalami berbagai bencana dan petaka yang hanya diketahui oleh Allah swt.

Dalam perdamaian tersebut, Imam Hasan as. mensyaratkan kepada Mu'âwiyah beberapa syarat yang telah berhasil menegaskan bahwa ia tidak berhak memiliki kekuasaan syar'î. Di antara syarat-syarat itu adalah hendaknya ia tidak menyebut dirinya sebagai Amirul Mukminin. Ini berarti bahwa ia bukan penguasa yang telah mendapatkan legitimasi syar'î dan bukan pemimpin bagi orang-orang yang beriman. Ia hanyalah penguasa yang zalim dan tiran.

Syarat yang lain adalah ia tidak boleh melangkahi Al-Qur'an dan Sunah sedikit pun, baik dalam urusan politik maupun tingkah lakunya sehari-hari.

Seandainya Imam Hasan as. yakin dengan keislamannya, tentu ia tidak akan memberikan syarat-syarat seperti itu. Imam Hasan as. juga memberikan syarat-syarat lainnya yang bertentangan dengan hawa nafsu Mu'âwiyah. Mu'âwiyah tidak menepati satu pun dari syarat-syarat yang telah diajukan oleh Imam Hasan itu. Ia telah menginjak-injak semua syarat itu. Hal ini telah kami uraikan dalam kitab kami,

Hayâh Al-Imam Hasan as.

Akhirnya, setelah peristiwa perdamaian tersebut terjadi, terbongkarlah kedok politik Mu'âwiyah yang dengan terang-terangan menentang Al-Qur'an dan Sunah Rasulullah saw. Ia membunuh orang-orang yang tidak berdosa dan orang-orang saleh, seperti Hujr bin 'Adî, 'Amr bin Al-Hamaq Al-Khuzâ'î, dan para sahabat yang lain dengan sewenang-wenang. Dia juga merusak kehormatan kaum muslimin, menawan kaum wanita, merampas harta benda, dan mengangkat orang-orang bejad sebagai aparat pemerintahan, seperti Ibn 'Ash, Ibn Syu'bah, Ibn Arthah, Ibn Hakam, Ibn Marjânah, dan Ibn Sumayyah. Orang terakhir ini telah dipisahkan oleh Mu'âwiyah dari ayahnya yang sah, yaitu 'Ubaid Ar-Rûmî, kemudian menisbahkan kepada ayahnya sendiri yang durjana, Abu Sufyân. Mu'âwiyah telah memberikan kekuasaan untuk memerintah penduduk Syi'ah Irak kepada anak durjana ini. Dengan kekuasaannya itu, ia telah menimpakan berbagai kesengsaraan kepada mereka, menyembelih anak-anak mereka, mempermalukan kaum wanita mereka, membakar rumah-rumah mereka, dan merampas harta benda mereka ....

Salah satu kejahatan dan kezaliman Mu'âwiyah yang terbesar adalah usahanya untuk membunuh cucu Rasulullah saw., Imam Hasan as. Mu'âwiyah telah menyisipkan racun untuk Imam Hasan as. melalui tangan istrinya yang bernama Ja'dah bin Asy'ats. Mu'âwiyah telah merayu Ja'dah dan berjanji untuk menikahkannya dengan Yazîd. Ja'dah terkutuk itu menyisipkan racun, sementara Imam Hasan as. sedang puasa. Racun itu merobek-robek usus Imam Hasan as. dengan cepat. Tidak lama serelah itu, rohnya yang suci segera kembali ke haribaan Tuhannya dengan membawa berbagai musibah, duka, dan kesedihan yang ditimpakan oleh Mu'âwiyah. Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji'ûn!

Mu'âwiyah mengakhiri kejahatan dan kedurjanaannya dengan mengangkat anaknya yang terkutuk, Yazîd, sebagai khalifah kaum muslimin. Yazîd telah merusak dan menghancurkan agama dan dunia umat Islam. Tidak ada kejahatan pun melainkan ia telah lakukan. Di antara kejahatan-kejahatan itu adalah tragedi Thuff di Mekah dan tragedi Harrah, serta berbagai kejahatan lainnya yang telah mengubah kehidupan muslimin menjadi neraka Jahanam yang sulit dibayangkan.




Catatan Kaki:

Kanz Al-'Ummâl, jilid 7, hal. 104; Majma' Az-Zawâ'id, jilid 9, hal. 176.

Shahîh Al-Bukhâri, bab Manâqib Al-Hasan wa Al-Husain, jilid 3, hal. 1370; Shahih At-Tirmidzî, jilid 2, hal. 207; Al-Bidâyah wa An-Nihâyah, jilid 8, hal. 34.

Ash-Shawâ'iq Al-Muhariqah, hal. 82; Hilyah Al-Awliyâ', jilid 2, hal. 35

Al-Istî'âb, jilid 2, hal. 369.

Al-Bidâyah wa An-Nihâyah, jilid 8, hal. 35; Fadhâ'il Al-Ashhâb, hal. 165.

Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 222.

Al-Bidâyah wa An-Nihâyah, jilid 8, hal. 33.

Al-Ishâbah, jilid 2, hal. 12.

As-Siyâsah Asy-Syar'iyah, hal. 7.

Al-Ahkâm As-Sulthâniyyah, hal. 4, mukadimah ke-135.

QS. Al-A'râf [7]:155.

QS. An-Nisâ' [4]:153.

Bihâr Al-Anwâr, jilid 13, hal. 127.

Manâqib Ibn Syahri ?syûb, jilid 2, hal.149; Al-Kâmil, karya Al-Mubarrad, jilid 1 hal. 190.

Târîkh Al-Khulafâ', karya As-Suyûthî, hal. 73.

A'yân Asy-Syi'ah, jilid 4, hal. 24.

Maqtal Al-Husain, karya Al-Khârazmî, jilid 1, 147.

Syarah Nahjul Balâghah, karya Ibn Abil Hadîd, jilid 4, hal. 5.

Nûr Al-Abshâr, hal. 111.

A'yân Asy-Syi'ah, jilid 4, hal. 89-90.

Al-Bidâyah wa An-Nihâyah, jilid 8, hal. 38.

Ath-Thabaqât Al-Kubrâ, karya Asy-Sya'rânî, jilid 1, hal. 23; Ash-Shabbân, hal. 117.

Târîkh Ibn 'Asâkir, jilid 4, hal. 219.

Hayâh Al-Imam Hasan as., jilid 1, hal. 330.

An-Nihâyah, karya Ibn Atsîr, jilid 3, hal. 321.

Hayâh Al-Imam Hasan as., jilid 2, hal. 333.

hal. ini telah kami paparkan pada jilid ke-2 buku kami, Hayâh Al-Imam Hasan as.

Syarah Nahjul Balûghah, jilid 18, hal. 89.

Idem.

Nahj As-Sa'âdah, jilid 8, hal. 280.

Kasyf Al-Ghummah, jilid 2, hal. 197.

Bihâr Al-Anwâr, jilid 75, hal. 106.

At-Tadzkirah, karya Ibn Hamdûn, hal. 25.

Jalâ' Al-'Uyûn, jilid 1, hal. 328.

Irsyâd Al-Qulûb, hal. 239.

Amâlî Ash-Shadûq, hal. 108.

A'yân Asy-Syi'ah, jilid 4, hal. 11.

Amâlî Ash-Shadûq, hal. 108.

Amâlî Ash-Shadûq, hal. 108.

Hayâh Al-Imam Hasan as., jilid 1, hal. 327.

Bihâr Al-Anwâr, jilid 10, hal. 93.

Al-Lum'ah, kitab Al-Hajj, jilid 2, hal. 170.

A'yân asy-Syi'ah, jilid 4, hal. 11.

Usud Al-Ghâbah, jilid 2, hal. 12.

Hayâh Al-Imam Hasan as., jilid 2, hal. 453.





7


Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.




IMAM HUSAIN BIN ALI

Imam Husain as. adalah perintis Islam dan penyelamat agung syariat Islam yang telah menjadi mangsa para penguasa Bani Umayyah. Mereka telah melakukan berbagai siksaan terhadap Imam Husain, menyembelih keturunannya, mempermalukan para wanita, menjadikan harta negara untuk kepentingan pribadi, memperbudak rakyat, membantai orang-orang yang baik dan saleh, menyebarkan rasa takut di tengah-tengah masyarakat, dan menebarkan berbagai bentuk kejahatan, kefakiran, dan kepapaan di seluruh pelosok negeri.

Menyaksikan kondisi seperti itu, Imam Husain as. bangkit dengan tekad yang membaja demi mewujudkan harapan Rasulullah saw. Ia meletuskan sebuah revolusi besar yang secara tidak langsung telah disinggung oleh Al-Qur'an dan menjadikannya sebagai pelajaran bagi orang-orang yang berakal. Revolusi tersebut telah berhasil memporak-porandakan benteng kekuasaan Bani Umayyah, mengikis habis kesombongan dan kecongkakan mereka, menebarkan kesadaran politik dan agama di kalangan kaum muslimin dan menghilangkan rasa takut, perbudakan, dan kehinaan dari dunia Islam. Berkat revolusi ini, mereka terbebas dari seluruh keburukan yang menimpa mereka, kemudian bangkit bagai seorang perkasa yang terbangun setelah sekian lama dimabukkan. Mereka menyerukan hak-hak mereka dalam revolusi-revolusi berikutnya sehingga mampu menumbangkan pemerintahan dinasti Bani Umayyah yang telah menghinakan dan memaksa mereka untuk menerima segala kondisi yang tidak mereka inginkan.

Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan sekelumit riwayat hidup seorang imam agung ini yang telah menjadi buah bibir di sepanjang sejarah karena pengorbanan, ketabahan, kesabaran, dan kemuliaannya.




Kecintaan Rasulullah saw. kepada Husain as.

Rasulullah saw. sangat mencintai cucunya yang satu ini. Kecintaannya kepadanya tidak bisa digambarkan denga kata-kata. Banyak sekali hadis yang menjelaskan ketinggian kedudukan Husain di sisinya saw. Sebagian dari hadis-hadis tersebut ialah berikut ini:




1. Jâbir bin Abdillah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Barang siapa yang ingin melihat penghulu ahli surga, maka hendaknya ia melihat Husain bin Ali."

2. Abu Hurairah meriwayatkan: "Aku pernah melihat Rasulullah saw. sedang menggendong Husain as., sembari berkata, 'Ya Allah, sungguh aku mencintainya, maka cintailah dia.'"

3. Ya'lâ bin Murrah meriwayatkan: "Kami pergi bersama Rasulullah untuk menghadiri undangan makan. Di suatu gang, kami melihat Husain as. sedang bermain-main. Ia mendekatinya seraya membentangkan kedua tangannya. Husain as. berlari kesana kemari hingga membuatnya tertawa, sampainya berhasil menangkapnya. Kemudian Rasulullah meletakkan satu tangannya di bawah dagu Husain dan tangan yang lain di atas kepalanya. Rasulullah mencium-ciumnya. Ia bersabda, 'Husain dariku dan aku darinya. Allah mencintai orang yang mencintai Husain.

Husain adalah salah satu cucuku.'"

Hadis tersebut melukiskan betapa Rasulullah saw. memiliki hubungan yang sangat mendalam dengan Husain as. Maksud ungkapan hadis "Husain adalah dariku" bukan hubungan nasab antaranya dan Husain as. Karena hal ini sudah jelas, dan tidak ada gunanya diungkapkan lagi. Tetapi maksudnya adalah lebih dalam dari itu. Yaitu Husain as. mengemban risalah dan missi Rasulullah saw. untuk memperbaiki dan membangun sebuah masyarakat insani dan mengangkat martabat mereka.

Maksud sabda Rasulullah saw. "dan aku dari Husain" adalah, bahwa segala pengorbanan yang akan dihaturkan oleh Husain as. pada masa mendatang di jalan Islam ketika musibah dan keterasingan menimpanya sehingga pengorbanan itu menjadi urat nadi kehidupan di sepanjang sejarah betul-betul merefleksikan bahwa Rasulullah saw. dari Husain. Hal itu lantaran Husain as. adalah pembaharu dan penyelamat agamanya dari kejahatan penguasa zalim yang selalu bertindak untuk menghancurkan Islam dan berusaha menghidupkan kembali tradisi jahiliah. Melaui pengorbanan itu, Imam Husain as. telah berhasil menghancurkan taktik Bani Umayyah dan menyelamatkan kaum muslimin dari kejahatan dan kezaliman mereka.

4. Salmân Al-Fârisî meriwayatkan: "Aku pernah menjumpai Rasulullas saw., sedangkan Husain bin Ali berada di atas pahanya. Ia mengecup bibirnya seraya bersabda, 'Engkau adalah penghulu putra penghulu, imam putra seorang imam, saudara seorang imam, dan ayah para imam. Engkau adalah hujah Allah putra seorang hujah Allah dan ayah sembilan hujah dari keturunanmu. Yang kesembilan adalah Imam Mahdî as.'"

5. Ibn Abbâs meriwayatkan: "Ketika Rasulullah saw. memanggul Husain di atas pundaknya, seorang laki-laki berkata kepada Husain, 'Paling baik tunggangan yang kau tunggangi, wahai anak.' Rasulullah saw. pun menimpali, 'Paling baik penunggang adalah dia (Husain).'"

6. Rasulullah saw. bersabda: "Anak ini (yakni Husain as.) adalah putra seorang imam dan ayah sembilan imam."

7. Yazîd bin Abi Ziyâd meriwayatkan: "Rasulullah saw. keluar dari rumah 'AIsya'h dan melewati rumah Fathimah. Ketika itu Rasulullah saw. mendengar tangisan Husain. Rasulullah merasa gusar. Lalunya berkata kepada Fathimah as., 'Tidakkah kau tahu bahwa tangisannya itu menyayat hatiku?'"

Ini adalah sebagian hadis yang melukiskan kecintaan Rasulullah saw. kepada cucunya, Imam Husain as. Hadis-hadis tersebut menunjukkan kemuliaan dan kehormatan Husain as., pembela prinsip dan nilai-nilai Islam dari kejahatan Bani Umayyah.




Rasulullah saw. Memberitakan Syahadah Husain as.

Rasulullah saw. telah menyampaikan berita tentang syahadah cucu kesayangannya ini pada saat ia masih hidup, agar muslimin yakin dengan syahadahnya itu. Ibn Abbâs berkata: "Kami tidak merasa ragu, sedang Ahlul Bait masih hidup, bahwa Husain bin Ali akan dibunuh di daerah Thuff."

Nabi saw. telah memperoleh berita dari langit bahwa cucunya itu akan ditimpa berbagai musibah dan bencana yang dapat meruntuhkan gunung. Mendengar berita itu, Nabi saw. menangis tersedu-sedu. Berikut ini beberapa hadis yang dapat kami sampaikan:




1. Ummul Fadhl binti Hârits meriwayatkan: "Husain as. berada di pangkuanku. Kemudian aku masuk menjumpai Rasulullah saw. Sejenak aku menoleh kepadanya. Aku lihat kedua matanya mencucurkan air mata. Aku bertanya, 'Wahai nabi Allah, demi ayah dan ibuku, apa yang telah menimpa Anda?' Ia menjawab, 'Jibril telah datang menemuiku dan mengabarkan kepadaku bahwa umatku akan membunuh anakku ini.' Ia memberi Isya'rat kepada Husain as. Aku terkejut seraya bertanya heran, 'Anak ini akan dibunuh? Yakni Husain?' Rasulullah saw. menjawab: 'Ya. Jibril datang kepadaku dengan membawa tanah merah ini.'"

Ummul Fadhl pun tenggelam dalam tangisan mengikuti kesedihan Rasulullah.




2. Ummul Mukminin Ummu Salamah meriwayatkan: "Pada suatu malam, Rasulullah tengah berbaring. Kemudian ia bangun dengan perasaan gusar. Kemudian berbaring lagi dan bangun kembali dengan perasaan gusar, berbeda dengan kondisi pertama. Setelah itu berbaring lagi dan bangun kembali, sementara tangannya memegang tanah merah dan menciumnya. Aku bertanya kepadanya, 'Tanah apa ini, ya Rasulullah?' Ia menjawab, 'Jibril datang kepadaku dan berkata bahwa anak ini-yakni Husain-akan dibunuh di bumi Irak. Aku berkata kepada Jibril, 'Tunjukkan kepadaku tanah tempat ia akan dibunuh.' Dan inilah tanahnya.'"




3. Ummu Salamah meriwayatkan: "Suatu hari Rasulullah saw. duduk di rumahku. Ia berkata, 'Jangan ada seorang pun yang menemuiku.' Aku pun menunggu. Kemudian tiba-tiba Husain as. masuk, dan kudengar tangisannya saw. Aku lihat Husain as. berada di pangkuan atau di sampingnya. Sementaranya mengelus-ngelus kepalanya sambil menangis. Aku berkata kepadanya, 'Demi Allah, aku tidak mengetahui bahwa Husain masuk.' Ia berkata kepadaku, 'Barusan Jibril bersamaku. Ia berkata kepadaku, 'Apakah engkau mencintainya?' 'Ya', jawabku pendek. Dia melanjutkan, 'Ketahuilah, umatmu akan membunuhnya di suatu daerah yang bernama Karbala.' Lalu Jibril memberikan tanah itu.' dan ia pun memperlihatkan tanah itu kepadaku."




4. 'AIsya'h meriwayatkan: "Husain bin Ali pernah menjumpai Rasulullah saw. Ketika itu wahyu sedang turun kepadanya. Kemudian Husain as. melompat kepada Rasulullah, sementaranya nampak penuh duka. Jibril berkata, 'Apakah engkau mencintainya, hai Muhammad?' Nabi saw. menjawab, 'Bagaimana mungkin aku tidak mencintai anakku?' Jibril berkata, 'Umatmu akan membunuhnya sepeninggalmu.' Kemudian Jibril menyerahkan tanah berwarna putih seraya berkata, 'Di tanah inilah anakmu ini akan dibunuh. Daerah itu bernama Thuff. Setelah Jibril pergi dan tanah itu berada di tangan Rasulullah saw., ia menangis dan berkata kepada 'AIsya'h, 'Hai 'AIsya'h, sesungguhnya Jibril telah memberitahukan kepadaku bahwa anakku Husain akan dibunuh di daerah Thuff, dan umatku akan mendapat bencana besar setelah ku.'

Setelah berkata begitu, Rasulullah saw. keluar menemui sahabatnya sambil menangis. Di antara mereka tampak Ali, Abu Bakar, Umar, Hudzaifah, Ammâr, dan Abu Dzar. Mereka bertanya, 'Apa yang Anda tangisi, ya Rasulullah?' Rasulullah saw. menjawab, 'Jibril telah memberitahukan kepadaku bahwa anakku, Husain akan dibunuh sepeninggalku di daerah Thuff, dan dia memberiku tanah ini. Jibril juga memberitahukan kepadaku bahwa Husain akan dikuburkan di tempat itu juga.'"




5. Zainab binti Jahsy, salah seorang istri Rasulullah saw., meriwayatkan: "Ketika Rasulullah saw. tidur di rumahku, Husain merangkak di dalam rumah. Aku lengah hingga Husain mendekatinya dan naik ke atas perutnya. Kemudian ia bangun untuk mengerjakan salat sembari menggendongnya. Ketika ia rukuk dan sujud, ia meletakkannya. Dan ketika berdiri, ia menggendongnya kembali. Ketika duduk, ia mengangkat kedua tangan untuk berdoa. Setelah selesai salat, aku bertanya kepadanya, 'Ya Rasulullah, aku telah melihat Anda melakukan sesuatu pada hari ini yang belum pernah Anda lakukan sebelum ini?' Ia menjawab, 'Sesungguhnya Jibril datang kepadaku dan memberitahukan kepadaku bahwa anakku itu akan dibunuh.' Selanjutnya aku berkata, 'Jika begitu, perlihatkanlah kepadaku sesuatu?' Kemudian ia memperlihatkan kepadaku tanah berwarna merah."




6. Ibn Abbâs meriwayatkan: "Ketika Husain berada di kamar Rasulullah saw., Jibril berkata, 'Apakah engkau mencintainya?' Ia menjawab, 'Bagaimana aku tidak mencintainya? Dia adalah buah hatiku.' Jibril menimpali, 'Sesungguhnya umatmu akan membunuhnya. Maukah engkau aku perlihatkan kuburannya?' Dia menggenggam sesuatu. Aku lihat, ia menggenggam tanah merah."




7. Abu Umâmah meriwayatkan: "Rasulullah saw. berkata kepada para istrinya, 'Janganlah kalian menangiskan anak ini-yaitu Husain.'"

Abu Umâmah melanjutkan: "Pada suatu hari, tibalah giliran Ummu Salamah. Kemudian Jibril turun dan Rasulullah masuk ke dalam rumah. Ia berkata kepada Ummu Salamah, 'Jangan engkau biarkan seseorang menemuiku.' Tidak lama kemudian, Husain datang. Ketika melihat Rasulullah saw. berada di dalam rumah, Husain hendak masuk. Ummu Salamah menggendong dan menimangnya sambil mendiamkan tangisnya. Ketika tangisannya semakin keras, Ummu Salamah melepaskannya. Kemudian Husain as. masuk ke dalam rumah dan duduk di pangkuan Rasulullah saw. Jibril berkata kepadanya, 'Sesungguhnya umatmu akan membunuh anakmu ini.' Nabi berkata: 'Mereka akan membunuhnya padahal mereka beriman kepadaku?' 'Ya, mereka akan membunuhnya', jawab Jibril pendek.

Lalu Jibril menyerahkan segumpal tanah kepada Rasulullah saw. seraya berkata, 'Dia akan dibunuh di tempat itu.' Setelah itu Rasulullah saw. keluar sambil menggendong Husain dan dalam keadaan muram dan duka. Ummu Salamah menyangka Rasulullah marah karena anak itu telah masuk. Ummu Salamah berkata kepadanya, 'Ya nabi Allah, aku jadikan diriku sebagai tebusanmu, sesungguhnya Anda telah berkata, 'Janganlah menangiskan anak ini. Dan Anda juga menyuruhku untuk tidak membiarkan seorang pun masuk menemui Anda. Tetapi Husain datang dan terpaksa aku membiarkannya.'

Rasulullah saw. tidak menjawab sepatah kata pun dan ia keluar menemui para sahabat, sementaranya tenggelam dalam kesedihan dan kedukaan. Kemudian ia berkata kepada mereka, 'Sesungguhnya umatku akan membunuh anak ini', sambil menunjuk Husain. Abu Bakar dan Umar segera bangkit dan bertanya kepadanya, 'Ya nabi Allah, mereka akan melakukan hal itu sedang mereka adalah orang-orang beriman?'

'Ya, inilah tanahnya', jawab Rasulullah saw. pendek."




8. Anas bin Hârist meriwayatkan: "Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, 'Sesungguhnya anakku ini-yakni Husain-akan dibunuh di tempat yang bernama Karbala. Barang siapa yang mengalami peristiwa itu nanti, maka hendaklah ia menolongnya.'" Ketika Husain berangkat menuju ke Karbala, Anas menyertainya dan ia meneguk cawan syahadah di haribaan Imam Husain.




9. Ummu Salamah meriwayatkan: "Suatu Hasan dan Husain bermain-main di hadapan Nabi di rumahku. Ketika itu Jibril turun. Ia berkata, 'Ya Muhammad, sesungguhnya umatmu akan membunuh anakmu ini sepeninggalmu.' Jibril memberi Isya'rat kepada Husain. Rasulullah saw. menangis dan langsung mendekap Husain, lalunya mencium tanah yang berada di tangannya. Ia berkata: "Aduhai Derita dan nestapa!'" Lalu Rasulullah saw. menyerahkan tanah itu kepada Ummu Salamah seraya berpesan kepadanya: "Jika tanah ini telah berubah menjadi darah, maka ketahuilah sesungguhnya anakku ini telah terbunuh." Ummu Salamah menyimpan tanah itu di dalam botol dan setiap hari menunggu-nunggu peristiwa itu terjadi. Ia berkata: "Sungguh hari di mana tanah ini berubah menjadi darah adalah hari yang agung."




10. Rasulullah saw. pernah bermimpi melihat seekor anjing yang berbercak bulunya tengah menjilat-jilat darahnya sendiri. Ia menakwilkan mimpi itu bahwa seorang laki-laki yang menderita penyakit kusta akan membunuh anaknya, Husain as. Dan terbukti bahwa yang membunuh Husain as. adalah seorang yang keji dan kotor bernama Syimr bin Dzil Jausyan. Ia memang menderita penyakit kusta.

Ini adalah sebagian hadis yang pernah disampaikan oleh Rasulullah saw. berkenaan dengan syahadah cucu kesayangannya, Imam Husain as. Dari hadis-hadis tersebut dapat disimpulkan bahwa betapa sedih dan duka Rasulullah saw. atas musibah yang menyayat hati itu.




Husain as. Bersama Sang Ayah

Imam Husain as. pernah menikmati kasih sayang ayahnya. Sangat besar sekali kecintaan dan kasih sayang sang ayah itu kepadanya, sehingga ia tidak mengizinkan Husain dan saudaranya, Hasan as., untuk turut serta dalam penyerangan-penyerangan militer pada saat perang Shiffîn bergejolak supaya keturunan Rasulullah saw. tidak terputus. Imam Ali as. telah membangun keutamaan Husain dan kemuliaan saudaranya, Hasan as. Ia telah memberikan warisan pengetahuan dan kejeniusan kepada kedua putranya itu, dan membekali mereka dengan adab dan hikmah sehingga mereka menjadi manifestasi dirinya.

Imam Husain as. menyerupai ayahnya dalam keberanian, kemuliaan, dan seluruh karakteristik yang agung. Ia telah memilih mati syahid dengan cara dibantai oleh Bani Umayyah daripada menyerah kepada mereka. Ia telah mengorbankan hidupnya dan pasrah mati di jalan kemuliaan. Berikut ini beberapa hadis tentang perjuangannya ini:




Imam Ali as. Memberitakan Syahadah Putranya

Imam Amirul Mukminin Ali as.-sebagaimana Rasulullah saw.-pernah memberitakan tentang syahadah putranya, Imam Husain as. Berikuti ini beberapa hadis yang pernah diriwayatkan darinya:




1. Abdullah bin Yahyâ meriwayatkan dari ayahnya yang pernah ikut serta bersama Imam Ali as. dalam perang Shiffîn. Ayahnya adalah sahabat dekat Imam Ali as. Ketika sampai di Nainawâ, Imam Ali as. berteriak: "Sabarlah, hai Abu Abdillah! Sabarlah, hai Abu Abdillah! (Sabarlah) mengingat tepi sungai Furat!"

Yahyâ bangkit dan bertanya: "Apa gerangan yang akan terjadi pada Abu Abdillah?" Imam Ali menjawab: "Suatu hari aku menjumpai Rasulullah saw. sementara kedua matanya berlinang air mata. Aku bertanya kepadanya: "Ya nabi Allah, apakah seseorang telah membuat Anda marah? Apa yang membuat mata Anda berlinang?' Ia menjawab, 'Jibril telah datang kepadaku dengan membawa berita bahwa Husain akan dibunuh di tepi sungai Furat. Apakah kamu ingin mencium tanahnya?' 'Ya', jawabku pendek. Lalunya mengambil segumpal tanah dan memberikannya kepadaku. Melihat tanah itu, aku tidak kuasa menahan linangan air mataku."




2. Hartsamah bin Salîm meriwayatkan: "Kami ikut serta berperang bersama Ali bin Abi Thalib pada perang Shiffîn. Ketika sampai di wilayah Karbala, kami menunaikan salat. Setelah usai salam, Imam Ali mengambil segumpal tanah Karbala dan menciumnya seraya berkata, 'Sungguh mulia engkau, hai tanah Karbala. Sungguh ada sekelompok orang yang akan dibangkitkan darimu dan masuk surga tanpa dihisab.'"

Hartsamah terkejut dengan ucapan Imam Ali itu, dan ucapan itu senantiasa mengiang di telinganya. Setelah tiba di rumah, Hartsamah menceritakan kejadian itu kepada istrinya yang bernama Jardâ' binti Samîr, dan ia adalah seorang pengikut setia Amirul Mukminin as. Hartsamah menceritakan ucapan yang telah ia dengar dari Imam Ali. Istrinya berkata: "Biarkan aku, hai suamiku. Sesungguhnya Amirul Mukminin tidak mengatakan sesuatu kecuali benar."

Selang beberapa tahun, Ibn Ziyâd mengutus bala tentaranya untuk memerangi buah hati Rasulullah saw., Imam Husain as. Hartsamah berada di barisan bala tentara itu. Ketika sampai di Karbala, ia teringat akan ucapan Imam Ali as. Seketika itu juga ia enggan untuk memerangi Imam Husain as.

Hartsamah datang menghadap Imam Husain as. dan menceritakan apa yang pernah ia dengar dari Imam Ali as. Imam Husain as. bertanya kepadanya: "Kamu bersama kami atau ingin memerangi kami?" Hartsamah berkata: "Aku tidak ingin bersama Anda dan juga tidak ingin memerangi Anda. Aku telah meninggalkan istri dan anakku. Aku takut Ibn Ziyâd akan menganiaya mereka."

Imam Husain as. menasihatinya sembari berkata: "Jika begitu, lekaslah kabur sehingga kamu tidak menyaksikan kami terbunuh. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, pada hari ini tak seorang pun yang menyaksikan kami dibunuh lalu ia tidak menolong kami, melainkan Allah pasti akan memasukannya ke dalam neraka." Hartsamah pun kabur dan tidak menyaksikan Imam Husain as. dibantai.




3. Tsâbit bin Suwaid meriwayatkan dari Ghaflah: "Suatu ketika Ali as. berpidato. Seorang laki-laki berdiri di bawah mimbar seraya berkata, 'Wahai Amirul Mukminin, aku telah melewati Wâdil Qurâ dan aku temukan Khâlid bin 'Urfathah telah meninggal dunia. Maka mintakanlah ampunan untuknya.'

Imam Ali as. berkata, 'Demi Allah, ia tidak mati, dan ia tidak akan mati sehingga ia memimpin sebuah bala tentara yang sesat. Pembawa benderanya adalah Habîb bin Himâr.'

Tiba-tiba seorang laki-laki berdiri seraya mengangkat suaranya: 'Wahai Amirul Mukminin, aku adalah Habîb bin Himâr, dan aku adalah pengikut dan pecintamu.'

Imam Ali as. berkata kepadanya: 'Kamukah Habîb bin Himâr itu?'

'Ya', jawabnya pendek.

Imam mengulangi pertanyaannya, dan Habîb kembali menjawab, 'Ya'.

Imam Ali as. berkata, 'Demi Allah, kamu adalah pembawa bendera itu dan kamu pasti akan membawanya. Engkau pasti akan masuk melalui pintu ini.' Imam Ali menunjuk pintu Al-Fîl di masjid Kufah."

Tsâbit melanjutkan: "Demi Allah, aku tidak meninggal dunia hingga aku melihat Ibn Ziyâd. Ia telah mengutus Umar bin Sa'd untuk memerangi Husain dan mengangkat Khâlid bin 'Urfathah sebagai komandan pasukan dan Habîb bin Himâr sebagai pembawa benderanya. Habîb masuk lewat pintu Al-Fîl dengan membawa bendera itu."




4. Imam Amirul Mukminin Ali as. berkata kepada Barrâ' bin '?zib: "Hai Barrâ', apakah Husain akan dibunuh sementara kamu masih hidup, tetapi kamu tidak menolongnya?" Barrâ' berkata: "Tidak seperti itu, ya Amirul Mukminin."

Ketika Imam Husain as. terbunuh, Barrâ' merasa menyesal. Dia teringat akan ucapan Imam Amirul Mukminin as. Barrâ' berkata: "Alangkah besarnya penyesalanku, karena aku tidak sempat membantu Husain as. dan alangkah baiknya bila aku terbunuh demi membelanya."

Banyak sekali hadis seperti ini yang telah dijelaskan oleh Imam Amirul Mukminin as. tentang syahadah buah hati Rasulullah saw. di Karbala itu. Kami telah memaparkan sebagian besar darinya dalam buku kami, Hayâh Al-Imam Husain as.




Kepribadian Imam Husain as.

Karakteristik yang menonjol pada diri pemimpin orang-orang bebas, Imam Husain as., ini dan yang telah menjadi bagian dari jati dirinya adalah berikut ini:




1. Tekad yang Kuat

Salah satu karakter Imam Husain as. adalah tekad yang kuat dan kemauan yang membaja. Ia mewarisi karakter mulia ini dari kakeknya, Rasulullah saw. yang telah berhasil mengubah perjalanan sejarah hidup umat manusia. Nabi saw. teguh berdiri di hadapan kekuatan besar yang selalu merintanginya untuk menegakkan kalimat Allah seorang diri. Ia saw. tidak peduli dengan super power itu. Bahkan ia berkata kepada pamannya, Abu Thalib: "Demi Allah, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan perkara ini, niscaya aku tidak akan meninggalkannya sehingga aku mati atau Allah akan memenangkannya."

Dengan tekad dan kehendak yang membaja inilahnya menghadapi kekuatan syirik, dan ternyata mampu mengalahkannya dalam berbagai peristiwa. Begitu pulalah sikap cucunya yang agung ini di hadapan kekuatan Bani Umayyah. Imam Husain as. secara terang-terangan menolak untuk membaiat Yazîd. Dengan jumlah pembela yang sedikit, ia berangkat ke medan jihad untuk menegakkan kalimat Allah (kebenaran) dan menumpas kalimat batil. Pemerintahan Bani Umayyah telah mengerahkan bala tentara yang banyak untuk membantainya. Tetapi ia tidak peduli dengan jumlah pasukan itu. Ia mendeklarasikan tekad dan kehendaknya yang kuat dengan slogannya yang abadi: "Sesungguhnya aku tidak melihat kematian melainkan kebahagiaan dan tidak hidup bersama orang-orang yang zalim melainkan kehancuran."

Imam Husain as. berangkat bersama keluarganya yang mulia dan para sahabatnya ke medan perang demi mengibarkan bendera Islam dan merealisasikan kemenangan yang paling agung bagi umat Islam hingga ia meneguk cawan syahadah. Ia adalah orang yang memiliki kehendak paling kuat dan keputusan paling kokoh yang tidak goyah dalam menghadapi berbagai bencana yang membuat akal terkesima dan naluri takjub.




2. Menolak Kezaliman

Karakter lain yang menonjol pada diri Imam Husain as. adalah menolak kezaliman sehingga ia diberi gelar Pelopor Penentang Kezaliman. Ini adalah gelar Imam Husain as. yang paling agung dan banyak tersebar di masyarakat. Ia adalah teladan utama dalam karakter ini. Ia telah berhasil yang mengangkat syiar kemuliaan insani dan telah membentangkan jalan kemuliaan dan kehormatan. Ia tidak pernah tunduk menyerah kepada kera-kera Bani Umayyah. Bahkan ia memilih mati di bawah pedang dan tombak.

Abdul Azîz bin Nabâtah As-Sa'dî pernah bekata:

Al-Husain melihat kematian dalam kemuliaan merupakan kehidupan, dan melihat kehidupan dalam kehinaan merupakan kematian.

Sejarawan masyhur, Al-Ya'qûbî, menjuluki Imam Husain as. dengan sebutan orang yang sangat mulia.

Ibn Abil Hadîd berkata: "Abu Abdillah Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib adalah seorang pelopor penolakan atas kezaliman. Ia mengajarkan kepada umat manusia kehormatan jiwa dan memilih kematian di bawah pedang daripada hidup terhina. Ia dan para sahabatnya pernah ditawari jaminan keamanan, dan ia menolak. Karena jika tidak, mereka akan tertimpa kehinaan. Ibn Ziyâd sendiri merasa takut menimpakan kehinaan kepadanya dan tidak akan membunuhnya. Tetapi Husain sendiri lebih memilih kematian atas kehinaan tersebut ...."

Sungguh ungkapan Imam Husain as. pada peristiwa Thuff adalah ungkapan paling indah dalam menggambarkan kemuliaan dan kehormatan diri. Ia berkata: "Ketahuilah, sesungguhnya pejuang putra pejuang telah dihadapkan kepada dua pilihan antara mengangkat pedang atau kehinaan. Enyahlah kehinaan dari kami. Allah swt., Rasul-Nya, dan orang-orang beriman menolaknya ...."

Pada peristiwa Thuff, Imam Husain as. berdiri tegar bagaikan gunung yang tidak goyah menghadapi serangan buas bala tentara Mu'âwiyah yang murtad. Ia telah memberikan pelajaran tentang kehormatan dan kemuliaan diri kepada generasi mendatang. Ia berkata: "Demi Allah, aku tidak akan menyerah kepada kalian dengan kehinaan dan aku tidak akan lari seperti para budak. Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhan kalian dari serangan kalian."

Imam Husain as. melontarkan ucapan yang gemilang itu untuk menggambarkan sejauh mana kehormatan dan kemuliaan yang diembannya. Dan tindakan ini adalah sebuah adegan kepahlawanan terindah yang pernah dicatat oleh sejarah Islam di sepanjang masa.

Para penyair Ahlul Bait as. berlomba-lomba untuk melukiskan kemulian Imam Husain as. Bait-bait syair yang mereka susun itu merupakan sumber sastra Arab yang paling berharga. Sayyid Haidar Al-Hillî menaruh perhatian penuh untuk memberi gambaran tentang kemuliaan Imam Husain as. dalam bait-bait syairnya. Bait-bait syair itu dapat Anda rujuk dalam buku Dîwân As-Sayyid Haidar. Dalam syair itu, ia memaparkan tekad busuk dinasti Bani Umayyah yang ingin mencampakkan Imam Husain as. kepada kehinaan dan membuatnya tunduk kepada kezaliman. Tetapi Allah swt. menolaknya dan Imam Husain as. yang mewarisi kemuliaan kenabian itu menolak pula untuk tunduk kepada kezaliman. Imam Husain as. tidak akan tunduk menyerah kepada siapa pun selain kepada Allah swt. Bagaimana mungkin ia akan tunduk kepada kezaliman Bani Umayyah?




3. Keberanian

Di sepanjang sejarah, umat manusia belum pernah menyaksikan seseorang yang paling gagah, pemberani, dan bertekad kuat seperti Imam Husain as. Ia berdiri kokoh pada peristiwa Thuff yang membuat akal setiap orang takjub dan terkesima. Generasi demi generasi senantiasa menceritakan keteguhan, keberanian, dan tekadnya yang kokoh. Keberaniannya yang luar biasa merupakan warisan ayahandanya yang selalu menguasai medan pertempuran dengan baik. Para musuhnya yang penakut bertekuk lutut karena ketangkasannya yang tangguh. Imam Husain as. tidak pernah menyerah menghadapi berbagai rintangan dan cobaan yang menimpanya. Bahkan semakin bertambah besar cobaan yang ia hadapi, semakin kokoh dan tegar pendiriannya. Setelah para sahabat dan keluarganya syahid di medan Karbala, Imam Husain as. diserang oleh tentara musuh yang berjumlah 30.000 orang. Ia membalas menyerang mereka seorang diri, dan mereka merasa takut dan gentar menghadapinya. Dengan serangan yang bertubi-tubi dari berbagai arah, ia tetap tegar menghadapinya bagaikan gunung menerima tikaman dari setiap arah. Ia tidak tunduk menyerah, tetapi ia tetap bertahan dan menganggap kematian sebagai suatu yang ringan. Setelah ia jatuh tersungkur ke atas tanah dengan luka parah yang mengucurkan darah dan membuat fisiknya lemah, pasukan musuh tidak berani menyerangnya karena merasa takut dan gentar memandangnya.

Para sahabat dan keluarga Imam Husain as. telah memperoleh injeksi spiritual yang agung darinya. Karena itu mereka berlomba-lomba menjemput kematian dengan penuh kerinduan dan keikhlasan tanpa diliputi oleh rasa takut dan gentar sedikit pun. Para musuh menyaksikan mereka sebagai figur-figur pemberani dan ksatria.

Seorang lelaki yang turut serta pada peristiwa Thuff bersama Umar bin Sa'd pernah ditanya: "Celaka engkau! Apakah kalian memerangi cucu Rasulullah saw.?"

Orang itu menjawab: "Aku telah menghadapi peperangan yang dahsyat. Sekiranya engkau menyaksikan apa yang aku saksikan, pasti engkau melakukan apa yang aku lakukan. Sekelompok orang menyerbu kami. Tangan mereka menggenggam pedang bagaikan singa-singa buas menyerang. Mereka menebaskan pedangnya ke kiri dan ke kanan dan melemparkan diri-diri mereka ke pangkuan kematian. Mereka enggan menerima jaminan keamanan, tidak tergiur dengan harta kekayaan, dan tidak ada satu tembok pun penghalang antara mereka untuk memasuki telaga kematian. Apabila kami menahan mereka sejenak saja, pasti mereka akan mampu menembus seluruh pertahanan tentara kami. Karena itu, kami tidak membiarkan mereka."

Pelopor orang-orang bebas ini telah menantang musuh-musuhnya dengan penuh keberanian yang sulit ditemukan tandingannya di kalangan umat manusia. Ia telah menundukkan kematian dan menghinakan kehidupan. Ia berkata kepada para sahabatnya ketika dihujani oleh panah-panah musuh: "Bangkitlah kalian-semoga Allah merahmati kalian-menuju kematian yang sudah pasti. Sesungguhnya panah-panah itu merupakan delegasi mereka kepada kalian."

Imam Husain as. telah mengajak para sahabatnya kepada kematian, seakan ia mengajak mereka kepada hidangan yang lezat. Sungguh kematian adalah sebuah hidangan lezat baginya. Karena ia menumpas kebatilan dan tergambar baginya bukti Tuhannya yang merupakan sumber wujud dirinya.




4. Sikap Terus Terang

Salah satu karakter mulia pelopor orang-orang bebas, Imam Husain as., ini adalah sikap terus terang dalam setiap perkataan dan perbuatan. Di sepanjang hidupnya, ia tidak pernah berbohong dan menipu, serta tidak pernah menempuh jalan penyelewengan. Ia senantiasa menempuh jalan yang jelas yang sesuai dengan hati nuraninya, dan menjauhkan diri dari setiap pembelotan yang tidak sesuai dengan ajaran agama dan akhlaknya.

Salah satu contoh yang menggambarkan ketinggian sikapnya itu adalah kisah berikit ini:

Suatu ketika Walîd, penguasa kota Yatsrib, mengundang Imam Husain as. di tengah malam. Walîd memberitahu Imam Husain as. tentang kematian Mu'âwiyah. Walîd meminta agar Imam Husain membaiat Yazîd di malam yang gelap gulita itu. Imam Husain menolak dengan tegas seraya berkata "Hai Amir, kami adalah Ahlul Bait Nabi dan sumber risalah. Dengan perantara kami, Allah swt. telah membuka risalah ini dan dengan kami pula Dia mengakhirinya. Yazîd adalah pemuda fasik dan durjana, peminum khamar, pembunuh jiwa yang harus dihormati, dan dengan terus terang berbuat fasik dan durjana. Orang sepertiku tidak akan membaiat orang seperti dia."

Ucapan Imam Husain ini mengungkap sejauh mana keterusterangan, ketinggian pribadi, dan kekuatan sikapnya untuk menolak kebatilan dalam rangka membela kebenaran.

Contoh lain dari sikap terus terang yang sudah menjadi jati diri Imam Husain as. adalah ketika ia pergi menuju ke Irak. Di pertengahan jalan, ia memperoleh informasi bahwa delegasinya, Muslim bin 'Aqîl, telah dibunuh dan penduduk Kufah menghinakannya. Imam Husain as. berkata kepada para peserta rombongannya yang ikut hanya demi mengharapkan keselamatan dan tidak menginginkan kebenaran: "Syi'ah kami telah merendahkan kami. Barang siapa yang ingin keluar dari barisan kami, maka keluarlah dan ia tidak memiliki tanggung jawab apapun."

Mendengar ucapan Imam Husain as. itu, orang-orang yang tamak dan rakus dunia keluar dan hengkang dari barisannya. Yang tinggal hanyalah orang-orang pilihan dari para sahabat dan keluarganya.

Pada kondisi yang sulit seperti itu di mana ia membutuhkan penolong, Imam Husain as. enggan membujuk dan merayu mereka untuk mengikuti jalannya. Karena seorang yang beriman kepada Tuhan dan keadilan-Nya dan memiliki jiwa yang agung tidak mungkin memiliki sifat demikian.

Contoh lain dari sikap terus terang Imam Husain as. adalah ketika ia mengumpulkan keluarga dan para sahabatnya pada malam sepuluh Muharam. Ia memberitahukan kepada mereka bahwa besok hari ia akan terbunuh bersama seluruh orang yang mengikutinya. Ia memberitahukan hal itu kepada mereka dengan terus terang agar mereka dapat mengetahui dan memahami persoalan yang mereka hadapi. Ia menyuruh mereka agar pergi di pertengahan malam yang gulita. Tetapi mereka menolak untuk berpisah dengannya dan siap menyongsong syahadah di haribaannya.

Masa silih berganti dan kerajaan-kerajaan telah musnah. Tetapi akhlak Imam Husain as. yang luhur itu tetap kekal abadi di sepanjang masa. Karena hal itu mencerminkan nilai-nilai yang tinggi. Tanpa akhlak itu, seluruh kemuliaan insani tidak akan tersisa lagi.




5. Teguh dalam Mengemban Kebenaran

Teguh dalam mengemban kebenaran adalah salah satu karakter dan jati diri Imam Husain as. yang paling menonjol. Ia telah menaklukkan jalan yang penuh dengan rintangan, meruntuhkan benteng-benteng kebatilan, dan menghancurkan sarang-sarang kezaliman demi untuk menegakkan kebenaran.

Imam Husain as. telah membangun kebenaran dengan berbagai sisi dan dimensinya. Ia terjun ke medan perjuangan demi menegakkan kebenaran di seluruh penjuru negara Islam dan menyelamatkan umat manusia dari ancaman aliran pemikiran garis keras yang bertujuan menciptakan pondasi-pondasi kebatilan, sarang kezaliman dan pusat kejahatan, yang menjerumuskan umat manusia ke dalam lembah kebodohan di kehidupan ini.

Imam Husain as. melihat bahwa umat Islam telah ditenggelamkan oleh berbagai kebatilan dan kesesatan. Sementara itu, tak sedikit pun kebenaran yang teraktualisasi dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu, ia segera bangkit menuju ke medan perjuangan dan pengorbanan demi untuk mengibarkan bendera kebenaran. Dalam sebuah pidato yang ia sampaikan di hadapan para sahabatnya, Imam Husain telah menjelaskan tujuan mulianya itu. Ia berkata: "Tidakkah kalian melihat bahwa kebenaran tidak lagi diamalkan dan kebatilan tidak lagi dapat dihalang-halangi, agar orang mukmin rindu untuk berjumpa dengan Allah."

Kebenaran adalah unsur yang terjelma gamblang dalam pribadi pelopor orang-orang bebas ini. Rasulullah saw. telah mengungkapkan karakter luhur ini pada diri cucunya itu. Ia saw.-seperti dinukil oleh para ahli sejarah-sering mengecup mulut cucundanya yang mulia itu; mulut yang telah berhasil menegakkan kalimat Allah dan memancarkan mata air keadilan dan kebenaran di muka bumi ini.




6. Kesabaran

Salah satu karakter luhur yang menonjol dan telah menjadi jati diri penghulu syuhada ini adalah kesabaran dalam menghadapi berbagai kesulitan dunia dan ujian. Imam Husain as. telah merasakan pahitnya kesabaran dari sejak masa kanak-kanak. Ia menyaksikan tragedi yang menimpa kakek dan ibunya, menyaksikan berbagai peristiwa mengerikan yang menimpa ayahandanya, dan berbagai macam bencana dan cobaan lain yang menimpa dirinya. Ia juga merasakan pahitnya kesabaran pada masa saudaranya masih hidup. Bahkan ia menyaksikan sendiri bagaimana pasukan saudaranya menghina dan menipunya sehingga ia terpaksa melakukan damai (dengan Mu'âwiyah). Ketika itu Imam Husain as. tetap bersama saudaranya menghadapi berbagai cobaan dan kepedihan, sehingga saudaranya itu dibunuh oleh Mu'âwiyah dengan cara diracun. Ketika Imam Husain as. ingin menguburkan jenazah saudaranya itu di sisi kakeknya, Bani Umayyah mencegahnya. Dan hal itu adalah bencana lain yang paling menyakitkan hatinya.

Bencana besar yang pernah dihadapi oleh Imam Husain as. dengan penuh kesabaran adalah ketika ia melihat syariat Islam diinjak-injak; banyak hadis mungkar diriwayatkan atas nama kakeknya yang dapat mengubah ajaran Islam. Dan di antara kemungkaran yang pernah ia saksikan sendiri adalah ia senantiasa mendengar caci maki dan penghinaan terhadap ayahandanya di atas mimbar-mimbar, dan kediktatoran Ziyâd dalam membantai para pengikut Syi'ah dan para pencinta Ahlul Bait as. Ia menghadapi semua ujian dan bencana itu dengan penuh kesabaran.

Musibah berat lainnya yang pernah menimpa Imam Husain as. dan betul-betul menuntut kesabaran yang tinggi adalah peristiwa Asyura di bulan Muharam. Bencana-bencana itu belum berakhir sehingga berbagai bencana dan kepedihan berkumpul menimpa dirinya. Ia pun menyaksikan bintang-bintang kejora gemerlap, sanak keluarganya, dihujani sabetan pedang dan anak panah-anak panah. Menyakiskan semua itu, ia hanya mengeluarkan kata-kata lembut kepada mereka dengan penuh ketenangan dan ketegaran: "Sabarlah, hai keluargaku! Sabarlah, hai putra-putra pamanku! Sesungguhnya kalian tidak lagi akan melihat kehinaan setelah hari ini."

Imam Husain as. melihat saudara perempuan kandungnya, 'Aqîlah Bani Hâsyim, yang mengalami bencana berat dan menyayat-nyayat hatinya. Ia segera menghampiri dan menyuruhnya untuk tetap bersabar dan rela dengan ketentuan Ilahi.

Di antara bencana yang dihadapi oleh Imam Husain as. dengan penuh kesabaran adalah Ketika ia menyaksikan anak-anak kecil dan keluarganya yang berteriak-teriak lantaran kepedihan rasa haus yang mencekik leher mereka. Mereka mohon pertolongan kepadanya demi mengusir kepedihan rasa haus itu. Ia hanya dapat menyuruh mereka tetap bersabar dan tegap berdiri. Ia memberikan kabar gembira kepada mereka dengan kesenangan abadi yang merupakan titik akhir perjalanan mereka setelah ujian dan cobaan yang berat ini.

Dengan penuh kesabaran, Imam Husain as. menghadapi musuh-musuhnya yang secara serentak mengepungnya di tanah Karbala. Ia menerima sabetan pedang dan tikaman tombak dari berbagai penjuru sementara lehernya tercekik menahan dahaga. Ia tidak peduli dengan hal itu semua.

Kesabaran dan sikapnya yang tegar pada peristiwa Thuff sulit ditemukan tandingannya dalam sejarah umat manusia. Al-Irbilî berkata: "Kesabaran Husain telah menjadi pribahasa. Kesabarannya dalam peperangan tak dapat dilukiskan oleh orang-orang terdahulu dan kemudian."

Sekiranya satu bencana saja dari berbagai bencana yang telah menimpa Imam Husain as. itu ditimpakan kepada seseorang dari kita, pasti ia akan tunduk menyerah dan tidak mampu menghadapinya meskipun ia berperisai kesabaran dan tekad yang kuat. Tetapi Imam Husain as. tidak peduli dengan segala bencana yang menimpanya demi mewujudkan tujuannya yang mulia. Jiwanya tetap tegar, tidak menyerah terhadap segala bencana, dan tidak juga mengeluh karenanya.

Para ahli sejarah mengatakan bahwa hanya Imam Husain as. yang memiliki karakter ini. Tekadnya tidak menjadi lemah dengan berbagai peristiwa tersebut walau sebesar apapun. Seorang putra kesayangannya telah meninggal dunia pada masa ia masih hidup. Tetapi kesedihan tidak tampak di wajahnya. Ada orang yang bertanya: "Apa sebabnya?" Ia menjawab: "Sesungguhnya kami adalah Ahlul Bait yang jika kami memohon kepada Allah, Dia pasti memberi kami. Apabila Dia menghendaki menimpakan sesuatu yang kami tidak sukai atas apa yang kami cintai, maka kami rela."

Imam Husain as. rela dengan segala ketentuan Allah dan pasrah kepada setiap urusan-Nya. Hal ini merupakan hakikat Islam dan puncak keimanan.




7. Kemurahan Hati

Kemurahan hati adalah salah satu karakter dan jati diri Imam Husain as. yang paling menonjol. Para perawi hadis sepakat bahwa Imam Husain as. tidak pernah membalas orang yang berbuat buruk dengan keburukan pula dan tidak membalas orang yang salah dengan sanksi. Tetapi sebaliknya, ia malah memperlakukan mereka dengan penuh santun dan kebaikan. Karakter luhurnya ini adalah sama seperti karakter kakeknya, Rasulullah saw.; sebuah karakter yang telah berhasil membuat hati seluruh orang menjadi tertarik kepadanya. Ia begitu dikenal dengan karakter mulia ini sehingga sebagian budak pernah mengkhianatinya, dan mereka sengaja berbuat buruk terhadapnya hanya agar dibalas dengan kebaikan dan kemurahan.

Para ahli sejarah menulis: "Seorang budak Imam Husain as. telah melakukan keburukan kepadanya dan berhak untuk diberikan pelajaran. Ia menyuruh supaya budak itu diberi pelajaran. Budak itu segera bangkit dan berkata, 'Wahai tuanku, sesungguhnya Allah berfirman, 'Wal kâzhimîn(al) ghaizh (Dan orang-orang yang menahan amarah).' Kemudian Imam menghadapinya dengan penuh kemurahan seraya berkata, 'Biarkanlah dia. Aku telah menahan amarahku.' Budak itu segera menimpali, 'Wal 'âfîna 'aninnâs (Dan orang-orang yang memaafkan kesalahan manusia).' Imam Husain berkata: 'Aku telah memafkanmu.' Budak itu segera menambahkan untuk memperoleh kebaikannya, 'Wallâhu yuhibbul muhsinîn (Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan).' Imam Husain as. berkata, 'Engkau bebas karena Allah.' Kemudian Imam Husain as. menyuruh agar budak itu diberi hadiah yang banyak supaya mencukupi biaya hidupnya sehingga ia tidak terpaksa meminta-minta kepada orang lain."

Budi pekerti dan akhlak luhur ini adalah jati diri Imam Husain as. yang tidak mungkin dapat dipisahkan dari dirinya sepanjang masa.




8. Kerendahan Hati

Dalam diri Imam Husain as. telah tertanam karakter kerendahan hati sehingga ia terjauhkan dari sifat egoisme dan sombong. Ia telah mewarisi budi pekerti yang luhur ini dari kekeknya, Rasulullah saw., yang telah berhasil menegakkan dasar-dasar keutamaan dan budi pekerti yang agung di muka bumi ini. Para perawi hadis telah menukil banyak riwayat mengenai ketinggian akhlak dan kerendahan hati Imam Husain as. Berikut ini kami nukil sebagian riwayat itu:




1. Suatu hari, Imam Husain as. lewat di hadapan orang-orang miskin yang sedang makan di shuffah (pinggiran masjid). Mereka memanggilnya untuk makan bersama. Ia segera turun dari kudanya dan makan bersama mereka. Setelah makan, ia berkata: "Aku telah memenuhi undangan kalian. Maka sekarang penuhilah undanganku." Mereka pun memenuhi undangannya dan pergi ke rumahnya. Sesampainya di rumah, ia berkata kepada istrinya yang bernama Rabâb: "Keluarkanlah apa yang engkau simpan." Istrinya mengeluarkan uang yang dimiliki. Imam Husain as. mengambil uang itu dan membagi-bagikannya kepada mereka.




2. Suatu ketika, Imam Husain as. melewati orang-orang fakir yang sedang makan roti kering hasil sedekah yang sudah dihancurkan. Ia mengucapkan salam kepada mereka. Mereka mengajaknya untuk makan bersama. Ia pun duduk bersama mereka dan berkata: "Sekiranya roti ini tidak berasal dari sedekah, pasti aku ikut makan bersama mereka." Kemudian ia mengundang mereka ke rumahnya dan memberi mereka makan, pakaian, dan juga membagi-bagikan uang kepada mereka.

Imam Husain as. telah meneladani dan mengikuti jejak langkah kakeknya, Rasulullah saw. Para ahli sejarah menulis bahwa Imam Husain biasa bergaul dan duduk bersama orang-orang miskin dan berbuat baik kepada mereka, sehingga orang fakir tidak menjauh karena kefakirannya dan orang kaya tidak congkak dengan kekayaannya.




Nasihat dan Petunjuk

Imam Husain as. sangat memberikan perhatian penuh untuk menasihati dan memberi petunjuk kepada umat manusia. Tindakan ini juga pernah dilakukan oleh ayahandanya sebelum itu. Tujuan utamanya adalah untuk mengembangkan potensi kebaikan yang tersimpan di dalam jiwa mereka dan mengarahkan mereka kepada kebenaran dan kebaikan serta menghindarikan mereka dari berbagai sifat buruk seperti permusuhan, congkak, gegabah, dan lain sebagainya.

Berikut ini kami paparkan sebagain riwayat yang telah diriwayatkah dari Imam Husain as:

Imam as. berkata:

Hai Bani Adam, berpikir dan katakanlah: "Manakah raja-raja dunia dan orang-orang kaya yang telah membangun, menjaga, menanam pepohonan dan meramaikan kota? Semua itu terpaksa mereka tinggalkan meskipun mereka enggan, sementara kaum yang lain mewarisi mereka. Dan kita pun tidak lama lagi akan menyusul meraka."

Hai Bani Adam, ingatlah kematianmu, kuburan tempat berbaringmu, dan ingatlah tempatmu di sisi Allah. Seluruh anggota tubuhmu akan bersaksi atas segala perbuatanmu pada hari kaki tergelincir, rasa takut mencapai tenggorokan, sebagian wajah bersinar dan sebagain lainnya hitam terbakar, rahasia menjadi terungkap, dan timbangan pun diletakkan dengan penuh keadilan.

Hai Bani Adam, ingatlah kematian nenek moyang dan keturunanmu, bagaimanakah keadaan mereka ketika hal itu menimpa mereka. Tidak lama lagi kalian pun akan menempati tempat mereka pula. Dan akhirnya kalian pun akan menjadi pelajaran bagi orang yang ingin mengambil pelajaran.

Kemudian Imam Husain as. membawakan syair berikut ini:

Mana raja-raja yang lalai karena menjaganya, sehingga mereka meneguk cawan kematian?

Kota-kota yang mereka bangun telah kosong dan kembali hancur, pembangunnya telah direnggut kematian.

Harta-harta yang kita kumpulkan hanyalah sebagai warisan, dan rumah-rumah yang kita bangun hanyalah untuk kehancuran masa.




Mutiara Hikmah

Allah swt. telah menganugerahkan kepada Imam Husain as. hikmah yang mendalam dan mutiara ucapan yang berharga. Dari lisan sucinya itu memancar berbagai nasihat, budi pekerti, dan kata-kata mutiara. Berikut ini sebagian dari hikmah-hikmahnya yang pendek:

1. Imam Husain as. berkata: "Hindarilah perbuatan yang menyebabkan engkau memohon maaf. Sesungguhnya orang mukmin itu tidak berbuat buruk dan tidak juga terpaksa harus meminta maaf. Sedang orang munafik setiap hari berbuat buruk dan terpaksa meminta maaf."

2. Imam Husain as. berkata: "Orang yang berakal tidak akan berbicara dengan orang yang ia khawatir mendustakannya, tidak memohon kepada orang yang ia khawatir mencegahnya, tidak percaya kepada orang yang ia khawatir menipunya, dan tidak menaruh harapan kepada seseorang yang tidak bisa ia harapkan."

3. Imam Husain as. berkata: "Lima perkara yang bila tidak dimiliki oleh seseorang, maka ia tidak memiliki apa-apa: akal, agama, adab, rasa malu, dan akhlak yang mulia."

4. Imam Husain as. berkata: "Orang kikir adalah orang yang kikir dalam memberikan salam."

5. Imam Husain as. berkata: "Mati dalam kemuliaan lebih baik daripada hidup dalam kehinaan."

6. Imam Husain as. berkata kepada orang yang menggunjing orang lain: "Hai kamu, berhentilah menggunjing, karena perbuatan menggunjing itu adalah lauk makanan anjing neraka."




Imam Husain as. bersama Umar

Sejak usia dini, Imam Husain as. telah mengalami kesedihan dan duka yang mendalam lantaran perlakukan Umar yang telah menduduki kursi kekhalifahan ayahandanya. Ketika Umar menyampaikan ceramah di atas mimbar, ia tidak menyadari bahwa Husain kecil telah naik ke atas mimbar seraya berteriak: "Turunlah! Turunlah engkau dari mimbar ayahku. Naiklah ke atas mimbar ayahmu sendiri."

Umar terbungkam dan merasa bingung karena kebenaran ucapan Husain as. Umar pun membenarkannya dan berkata kepadanya: "Engkau benar. Ayahku tidak mempunyai mimbar." Kemudian Umar mengambil Husain dan mendudukkannya di sampingnya. Ia bertanya kepadanya engenai siapa yang menyuruhnya berkata demikian. Umar bertanya: "siapakah yang mengajarimu?"

Husain menjawab: "Demi Allah, tak seorang pun yang mengajariku."

Rasa sakit hati tersebut timbul lantaran kejeniusan Imam Husain as., padahal ia masih kanak-kanak. Ia melihat bahwa mimbar kakeknya tidak layak bagi siapa pun selain ayahandanya sendiri; sang ayah pelopor hikmah dan pintu kota ilmu Rasulullah saw.




Imam Husain bersama Mu'âwiyah

Umat Islam menjadi mangsa taring-taring kebuasan Mu'âwiyah dan pasrah menyerah di bawah kekuasaannya yang tiran. Hari demi hari kebencian dan kedengkiannya terhadap nilai-nilai luhur dan pondasi-pondasi pemikiran dan sosial umat semakin tampak. Penguasa tiran itu juga berusaha mengikis semua sisi pendidikan dan akhlak yang telah berhasil direalisasikan oleh Islam.

Mu'âwiyah telah menetapkan beberapa jurus politiknya berikut ini:

1. Melakukan teror terhadap tokoh-tokoh Islam seperti Hujr bin 'Adî, Maitsam At-Tammâr, Rasyîd Al-Hijrî, 'Amr bin Al-Hamaq Al-Khuzâ'î dan tokoh-tokoh besar lainnya. Para tokoh Islam ini telah dibantai, karena mereka adalah manifestasi kekuatan yang menentang kekuasaannya dan menghalang-halangi alur politiknya yang telah ia tegakkan atas dasar kezaliman dan diktatoris.

2. Menghapus kemuliaan Ahlul Bait yang merupakan poros kesadaran sosial dalam Islam dan urat nadi yang penting di dalam tubuh umat yang senantiasa membantu mereka untuk bangkit dan malakukan perlawanan. Oleh karena itu, Mu'âwiyah mewajibkan umat Islam untuk mencerca mereka dan menjadikan kebencian kepada mereka sebagai bagian dari kehidupan Islam. Dalam hal ini, Mu'âwiyah telah menggunakan sarana pendidikan dan pengajaran, juga sarana ceramah dan bimbingan demi menghapus kemuliaan Ahlul Bait as. Bahkan Mu'âwiyah mewajibkan masyarakat Islam untuk mengutuk Ahlul Bait di atas mimbar-mimbar pada salat Jumat, salat hari raya Idul Fitri, Idul Adha, dan pada kesempatan-kesempatan lainnya.

3. Mengadakan perubahan atas realita Islam dan seluruh ajaran dan pondasinya. Mu'âwiyah telah membentuk lembaga untuk membuat hadis-hadis palsu atas nama Rasulullah saw. Para pembuat hadis-hadis palsu itu telah berbuat dusta yang bertentangan dengan akal dan jalur kehidupan. Dan sangat disayangkan bahwa hadis-hadis palsu tersebut tercantum pula di dalam sebagian kitab-kitab sahih dan lainnya sehingga para ulama yang memiliki kepedulian terhadap ajaran Islam terpaksa menulis kitab yang menjelaskan hadis-hadis palsu tersebut. Menurut anggapan saya, kejahatan ini merupakan tragedi yang paling besar bagi umat Islam. Karena hingga saat ini, sebagian umat Islam masih banyak yang berpegang teguh kepada hadis-hadis palsu tersebut dan mereka meyakini bahwa hal itu merupakan bagian dari agama mereka. Padahal agama berlepas tangan dari semua itu.




Peringatan Imam Husain as. kepada Mu'âwiyah

Imam Husain as. memberikan peringatan keras terhadap Mu'âwiyah. Dalam peringatan itu, ia menolak politik kotor Mu'âwiyah yang menentang kitab Allah dan sunah Nabi-Nya. Ia juga menegur pembunuhan yang dilakukannya terhadap para pemuka Islam. Peringatan Imam Husain as. tersebut merupakan dokumentasi politik penting yang menebarkan berbagai kejahatan dan kezaliman Mu'âwiyah. Hal ini telah kami jelaskan dalam buku kami, Hayâh Al-Imam Husain as.




Seminar Politik di Mekah

Imam Husain as. pernah mengadakan seminar politik umum tahunan di Mekah. Dalam seminar itu, ia mengundang para jamaah haji, baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar, dan jamaah haji lainnya. Ia menyampaikan ceramah mengenai berbagai bencana dan cobaan yang menimpa keluarga Rasulullah saw. pada masa pemerintahan Mu'âwiyah sang tiran.

Berikut ini adalah cuplikan pidato Imam Husain as. dalam seminar tersebut.

Imam Husain as. berkata: "Sesungguhnya si penguasa tiran ini-yakni Mu'âwiyah-telah memperlakukan kami dan Syi'ah kami dengan kejahatan sebagaimana yang kalian lihat, saksikan, dan ketahui. Pada kesempatan ini, aku ingin menanyakan sesuatu kepada kalian. Jika aku benar, maka benarkanlah aku, dan jika aku berdusta, maka dustakanlah aku. Dengarkanlah ucapanku dan tulislah perkataanku, kemudian kembalilah kalian ke tempat tinggal dan kabilah kalian. Ajaklah orang-orang yang kalian percaya dan kalian anggap jujur untuk mengetahui hak-hak kami sebagaimana yang kalian ketahui. Sesungguhnya aku merasa khawatir persoalan ini akan sirna dan terkalahkan. Tetapi Allah swt. akan menyempurnakan cahaya-Nya walaupun orang-orang kafir membencinya."

Seminar itunya akhiri dengan menjelaskan keutamaan-keutamaan Ahlul Bait as. dan upaya Mu'âwiyah untuk menghapuskannya. Muktamar ini adalah muktamar pertama yang pernah diadakan dalam Islam.




Penolakan Imam Husain as. Terhadap Kekhalifahan Yazîd

Mu'âwiyah berusaha keras untuk mengangkat anaknya, Yazîd, untuk menjadi khalifah muslimin. Ia memanfaatkan seluruh sarana negara agar kekhalifahan dan kerajaan tersebut dapat dipegang oleh keturunannya. Imam Husain as. adalah orang yang paling keras menolak dan menentang upaya tersebut. Karena Yazîd sama sekali tidak memiliki kelayakan untuk menjadi khalifah muslimin. Imam Husain as. menjelaskan sifat-sifat Yazîd dengan ucapan: "Sesungguhnya dia (Yazîd) adalah peminum arak dan pemburu binatang. Dia senantaisa menaati setan dan meninggalkan perintah Ar-Rahmân. Dia menampakkan kerusakan, menghapus hukum-hukum Allah, menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah, dan mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah."

Setiap kali Mu'âwiyah berusaha meyakinkan Imam Husain as. untuk membaiat Yazîd, Mu'âwiyah tidak pernah menemukan peluang untuk itu.




Kematian Mu'âwiyah

Ketika penguasa tiran Mu'âwiyah telah mati, Walîd, penguasa kota Madinah, memanggil Imam Husain as. supaya berbaiat kepada Yazîd. Imam Husain as. menolak permintaan tersebut seraya berkata: "Hai Amir, sesungguhnya kami keluarga kenabian adalah sumber risalah dan tempat para malaikat datang silih berganti. Dengan perantara kami Allah membuka risalah kenabian dan dengan kami pula Dia menutup kenabian. Sesungguhnya Yazîd adalah orang fasik, peminum khamar, pembunuh orang-orang tak bersalah, dan berbuat kefasikan secara terang-terangan. Orang sepertiku ini tidak akan membaiat orang seperti dia."

Imam Husain as. menolak untuk membaiat Yazîd, sebagaimana seluruh keluarga kenabian juga menolak untuk membaitnya karena mengikuti pemimpin mereka, Imam Husain as.




Revolusi Imam Husain as

Imam Husain as. meletuskan sebuah revolusi yang besar untuk melawan Yazîd untuk mengembalikan kemuliaan kaum muslimin dan menyelamatkan mereka dari kejahatan dan kezaliman Mu'âwiyah. Imam Husain as. telah menjelaskan tujuannya yang mulia ini dalam ucapannya: "Sesungguhnya aku tidak keluar ke medan perang dengan congkak dan sombong, tidak pula untuk berbuat zalim dan merusak. Tetapi aku keluar ke medan perang untuk memperbaiki kondisi umat kakekku; aku ingin melakukan amar makruf dan nahi mungkar, dan mengikuti langkah kakek dan ayahku."

Imam Husain as. telah melandasi revolusinya dengan tujuan untuk menegakkan tonggak-tonggak islah di atas bumi, merealisasikan keadilan sosial di kalangan masyarakat, dan menghancurkan berbagai kejahatan dan kerusakan yang telah ditebarkan oleh pemerintahan Bani Umayyah di dalam kehidupan masyarakat Islam.

Ketika Imam Husain as. telah memastikan diri untuk berangkat meninggalkan Hijaz menuju ke Irak, ia menyuruh untuk mengumpulkan masyarakat. Kaum muslimin dengan jumlah yang banyak segera berkumpul di Masjidil Haram. Imam Husain as. menyampaikan ceramah legendarisnya sebagai berikut:

Segala puji bagi Allah dan apa yang Dia kehendaki. Tidak ada kekuatan selain bantuan Allah swt. Salawat dan salam semoga selalu tercurahkan atas Rasul-Nya saw. Sesungguhnya kematian itu melingkari anak Adam sebagaimana kalung melingkari leher seorang pemudi. Sungguh, betapa aku telah merasa rindu kepada para pendahuluku, seperti Ya'qûb rindu kepada Yusuf. Aku telah diberi hak memilih tempat kematianku yang pasti kualami. Aku melihat seluruh jasadku dicacah-cacah oleh serigala-serigala padang sahara di antara Nawâwîs dan Karbala. Mereka mengurungku dengan pasukan yang tak terhingga jumlahnya. Tidak ada lagi kesempatan untuk lari dari hari yang telah ditetapkan. Keridaan Allah adalah keridaan kami Ahlul Bait. Kami sabar atas cobaan-Nya dan Dia akan memenuhi balasan kepada kami dengan ganjaran orang-orang yang sabar. Keluarga Rasulullah tidak akan membelot darinya. Mereka adalah sekelompok yang hadir di haribaan suci, sebagai buah hati kesenangannya dan janjinya pun ditepati. Ketahuilah bahwa barang siapa yang menyerahkan nyawanya demi membela kami dan mengorbankan dirinya untuk menjumpai Allah, maka hendaklah ia pergi bersama kami. Karena aku akan berangkat besok pagi, insya Allah.

Saya tidak pernah melihat sebuah ceramah yang lebih indah dan lebih fasih dari ceramah Imam Husain as. ini. Ceramah ini menjelaskan tekadnya untuk meneguk cawan syahadah dan menganggap ringan hidup di atas jalan Allah. Ia telah menyambut kematian dengan gembira dan menganggapnya sebagai hiasan bagi manusia, seperti kalung yang menghiasi leher seorang pemudi. Ia telah menyinggung suatu tempat suci di mana darahnya yang suci ditumpahkan. Tempat itu terletak antara Nawâwîs dan Karbala. Di tempat itulah pedang dan anak panah-anak panah menyayat dan menancap di tubuh Imam Husain as. Ceramah ini telah kami jelaskan sekaligus poin-poin pentingnya dalam buku kami, Hayâh Al-Imam Husain as.

Setelah pagi hari menampakkan wajahnya, Imam Husain as. pergi menuju ke Irak. Ia segera menaiki kudanya dan melaju menulusuri jalan-jalan hingga tiba di Karbala. Di tempat tersebut, ia mengakhiri perjalanannya demi menjemput kemuliaan syahadah. Dengan cara itu ia telah dapat menghidupkan agama kakeknya, padahal serigala-serigala buas dari binatang-binanga Bani Umayyah dan antek-antek mereka telah berusaha untuk menghapuskannya.




Syahadah

Berbagai ujian dan bencana datang silih berganti menimpa buah hati Rasulullah saw. ini. Bencana-bencana itu tidak berakhir hingga ia menghalami musibah dan bencana yang paling besar dan berat. Pada detik-detik yang mengerikan itu, Imam Husain as. telah ditimpa cobaan berat yang tidak pernah dialami oleh reformer manapun. Di antara bencana itu ialah berikut ini:

1. Imam Husain as. menyaksikan keluarga wanita Rasulullah saw. mengalami ketakutan yang tidak ada yang mengetahuinya selain Allah swt. Setiap saat mereka menunggu seseorang dari keluarga Rasulullah saw. yang suci bermandikan darah suci dan menyampaikan kata-katanya yang terakhir di hadapan mereka. Satu hal yang menambah rasa takut mereka adalah para musuh yang tidak lagi mempunyai rasa belas kasih itu telah mengepung mereka. Mereka tidak tahu bencana apa yang bakal terjadi atas diri mereka setelah kehilangan keluarga dan para pelindung mereka. Imam Husain as. dapat menangkap dan merasakan rasa pedih hati mereka karena ketakutan sehingga ia sendiri merasa sedih dan luluh hatinya. Ia senantiasa menyuruh mereka agar tetap bersabar dan tidak menampakkan kepanikan yang dapat mengurangi kehormatan mereka. Ia memberi tahu kepada mereka bahwa sesungguhnya Allah swt. senantiasa memelihara dan menyelamatkan mereka dari kejahatan musuh-musuh Islam.

2. Anak-anak kecil menjerit karena merasakan kepedihan rasa haus dan dahaga yang sangat mencekik, sementara Imam Husain as. tidak mendapatkan jalan untuk menolong mereka. Hatinya merasa luluh dan hancur karena merasa belas dan kasihan kepada mereka dan keluarganya, karena mereka mengalami ujian yang tidak mampu ditanggung oleh mereka.

3. Ketegaan hari para penumpah darah dan pendurhaka itu untuk membunuh anak-anak kecil dan orang-orang yang tidak berdosa dari kemenakan dan sepupu Imam Husain as. setelah mereka berhasil membantai para sahabat dan keluarganya.

4. Rasa dahaga dan haus yang betul-betul mencekik lehernya. Dalam sebagian riwayat disebutkan, karena haus yang sangat itu, Imam Husain as. tidak dapat lagi melihat langit kecuali bagaikan asap tebal dan hatinya seakan tercabik-cabik karena beratnya menahan rasa haus.

Syaikh At-Tustarî berkata: "Kehausan yang diderita oleh Imam Husain as. telah mempengaruhi empat anggota tubuhnya:

o Bibirnya nampak kering dan layu karena dahaga yang mencekik.

o Jantungnya tercabik-cabik karena tidak tersiram air; ketika ia berdiri dan tidak berharap lagi akan hidup, ia tegaskan hal itu. Karena ia tahu bahwa mereka yakin dirinya tidak akan hidup lagi setelah itu, ia menampakkan rasa hausnya dan berkata kepada mereka, 'Berilah aku minum setetes air. Hatiku telah tercabik-cabik karena menahan rasa haus.'

o Lidahnya telah luka karena sudah mengeras kekeringan, sebagaimana diungkapkan dalam sebuah hadis.

o Matanya gelap karena kehausan."

5. Imam Husain as. telah kehilangan keluarga dan para sahabatnya yang sangat ia cintai. Kala itu ia memandang kemah-kemah mereka telah kosong. Hal itu menambah berat kesedihan dan dukanya.

Setiap jiwa manusia pasti merasa luluh dan sedih menyaksikan bencana yang dialami oleh putra Rasulullah saw. ini. Shafiyyuddîn berkata: "Imam Husain telah mengalami berbagai cobaan dan bencana berat yang tak seorang muslim pun mampu mendengarkannya kecuali hatinya akan hancur luluh."




Permohonan Imam Husain as.

Imam Husain as. memandang keluarga dan para sahabatnya dengan pandangan yang penuh bels kasih dan duka yang mendalam. Ia menyaksikan mereka telah dicacah-cacah bagaikan hewan kurban yang tergeletak di atas padang pasir Karbala dan terjemur oleh sinar matahari. Ketika ia mendengar jeritan dan suara tangisan keluarganya, ia meminta bantuan dan mencari penolong agar menjaga kehormatan keluarga Rasulullah saw. Ia berkata: "Adakah orang yang luluh hatinya untuk mau menjaga kehormatan keluarga Rasulullah saw.? Adakah orang yang meyakini Tuhan Yang Maha Esa yang takut kepada Allah tentang kami? Adakah penolong yang mengharapkan Allah dengan menolong kami itu?"

Teriakan minta tolong tersebut tidak sampai menembus ke relung hati mereka yang telah berkarat dengan kebatilan dan tengelam dalam maksiat dan dosa. Ketika Imam Ali Zainal Abidin as. mendengar teriakan minta tolong ayahandanya itu, ia segera melompat dari tempat tidurnya. Ia mengenakan tongkat karena sakitnya yang parah. Ketika Imam Husain as. mengetahui putra satu-satunya itu keluar, ia berteriak dan memanggil saudara perempuannya, Ummu Kulsum: "Tahanlah dia, agar bumi ini tidak kosong dari keturtunan Muhammad saw." Ummu Kulsum segera berlari dan mengembalikan Imam Zainal Abidin ke tempat istirahatnya.




Pembantaian Seorang Bayi

Kesabaran apakah yang dimiliki oleh Abi Abdillah as.? Bagaimana ia dapat menanggung beban penderitaan ini? Sesungguhnya kesabarannya itu tidak mungkin dapat ditanggung oleh alam semesta dan tidak pula dipikul oleh gunung. Tragedi yang paling menyakitkan hatinya adalah peristiwa yang menimpa bayinya, Abdullah, yang masih menyusu. Bayi itu bagaikan bulan purnama. Ia menggendong dan menciumnya sembari mengucapkan selamat tinggal terakhir kepadanya. Ia melihat putranya itu telah pingsan, matanya telah mendelik, dan kedua bibirnya telah kering karena kehausan yang mencekik. Melihat itu ia membawanya ke arah musuh agar mereka menaruh rasa belas kasihan. Barang kali mereka akan memberikan air minum walau hanya seteguk. Ia memperlihatkannya kepada mereka dan menaunginya dengan selendang dari teriknya matahari. Ia memohon kepada mereka agar memberikan setetes air minum. Tetapi hati mereka yang telah dirubah menjadi hewan-hewan tidak menarus belas kasihan sama sekali. Bahkan Harmalah bin Kâhil sang durhaka dan terkutuk segera bangkit dan mengarahkan anak panahnya. Ia tertawa terbahak-bahak sambil berkata dengan penuh kecongkakan di hadapan para sahabatnya yang terkutuk: "Ambillah ini sebagai air minumnya."

Panah itu tepat menancap di bagian leher sang bayi. Merasakan panasnya anak panah itu, Imam Husain as. mengeluarkan kedua tangannya dari selimut yang menutupinya. Bayi itu telah menggelepar-gelepar di dada ayahandanya bagaikan seekor burung yang disembelih. Bayi itu telah melepaskan nyawanya di tangan ayahandanya dengan kepala menengadah ke langit.

Sungguh ini adalah pemandangan yang menyayat hati dan membukam lidah. Imam Husain as. mengangkat kedua tangannya yang telah dipenuhi oleh darah yang suci. Darah itunya lemparkan ke langit dan tak setetes pun yang jatuh ke bumi, seperti dikatakan oleh Imam Al-Bâqir as. Ketika itu Imam Husain as. bermunajat kepada Tuhannya seraya berkata: "Bencana yang menimpaku itu ringan, karena semua itu terjadi dalam pengawasan Allah swt. Ya Allah, kiranya hal itu di sisi-Mu tidak lebih ringan daripada peristiwa penyembelihan unta Nabi Saleh. Wahai Tuhanku, apabila Engkau menunda kemenangan untuk kami, maka jadikanlah kemenangan itu untuk sesuatu yang lebih baik darinya. Timpakanlah balas dendam kami atas orang-orang yang zalim dan jadikanlah musibah yang menimpa kami di dunia ini sebagai simpanan di hari akhirat. Ya Allah, Engkau adalah saksi atas sekelompok kaum yang telah membantai orang yang paling mirip dengan Rasul-Mu, Muhammad saw."

Selesai bermunajat, Imam Husain as. turun dari kudanya dan menggali lubang kubur dengan ujung pedangnya. Ia menguburkan bayi yang berlepotan dengan darah yang suci itu. Menurut sebuah riwayat, Ia menyatukan bayi itu dengan keluarganya yang terbunuh.

Semoga Allah swt. memberikan ganjaran besar, hai Abu Abdillah, atas cobaan dan bencana yang menimpamu ini. Tak seorang nabi pun pernah mengalami bencana seperti ini dan juga tak seorang reformer manapun di muka bumi ini.




Keteguhan Imam Husain as.

Imam Husain as. bertahan seorang diri di medan pertempuran menghadapi para musuhnya. Tragedi dan berbagai bencana yang menimpanya semakin menambah kuat keimanan dan keyakinannya yang tampak di wajahnya yang berseri-seri dalam meniti perjalanan menuju tangga-tangga surga Firdaus.

Imam Husain as. tetap tegar dan tabah. Tekadnya tidak menjadi lemah dengan terbunuhnya anak, keluarga, dan para sahabatnya. Bahkan tekadnya tetap kuat meskipun rasa dahaga begitu mencekik dan darah bercucuran di tubuhnya. Demikianlah ketegaran para nabi dan Ulul 'Azmi yang telah dipilih oleh Allah di antara para hamba-Nya.

Putranya, Imam Ali Zainal Abidin as., pernah meriwayatkan tentang keteguhan dan kesabaran ayahandanya. Ia berkata: "Setiap kali peperangan semakin dahsyat, wajahnya nampak bersinar dan seluruh anggota tubuhnya nampak tenang. Sebagian sahabat berkata, 'Perhatikanlah, betapa ia tidak takut mati.'"

Abdullah bin 'Ammâr berkata: "Aku melihat Husain ketika mereka mengepungnya. Ia menyerang para musuh yang berada di sebelah kanannya sehingga mereka kabur. Demi Allah, aku tidak pernah melihat seseorang selainnya yang pernah terkena bencana berat. Anak-anak dan para sahabatnya telah terbunuh, tetapi ia tetap tegar dan tenang hatinya. Demi Allah, aku tidak pernah melihat orang seperti dia sebelum dan sesudahnya."

Imam Husain as. menyerang musuh-musuh Allah dengan penyerangan terdahsyat yang pernah disaksikan oleh manusia




Perpisahan dengan Keluarga

Imam Husain as. kembali menjumpai keluarganya untuk mengucapkan selamat tinggal kepada mereka, sedang sekujur tubuhnya berlumuran darah. Ia berwasiat kepada keluarga risalah dan wahyu untuk bersiap-siap menghadapi cobaan dan bencana. Ia memerintahkan mereka supaya tegar, bersabar, dan menerima segala ketentuan Allah swt. Ia berkata: "Bersiaplah kalian untuk menghadapi cobaan dan bencana. Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah swt. akan menjaga dan menyelamatkan kalian dari kejahatan musuh, menjadikan akhir urusan kalian dengan kebaikan, menimpakan azab yang pedih pada musuh-musuh kalian, dan menggantikan cobaan atas kalian ini dengan nikmat dan kemuliaan. Jangan kalian mengeluh dan jangan kalian mengatakan sesuatu yang dapat menurunkan kehormatan dan harga diri kalian."

Seluruh pemerintahan telah sirna, seluruh kerajaan telah lenyap, dan seluruh peradAbân telah musnah. Tapi keimanan yang tidak ada batasnya ini lebih berhak untuk lestari dan abadi dalam kehidupan ini. Di manakah jiwa yang bisa merasakan dan menerima seluruh bencana ini dengan keridaan menerima ketentuan Allah swt.? Tidak ada yang lain selain Imam Husain as., titik harapan, buah hati, dan jati diri Rasulullah saw. itu.

Kesedihan para putri Rasulullah saw. bertambah ketika melihat Imam Husain as. dalam kondisi seperti itu. Mereka memegangnya dan mengucapkan selamat tinggal kepadanya. Hati ini malu melihat mereka, sedangkan rasa takut telah memucatkan warna kulit mereka. Imam Husain as. lemas lunglai ketika melihat mereka, sedangkan sendi-sendi mereka telah luluh.

Imam Kâsyif Al-Ghithâ' berkata: "Siapakah yang mampu untuk menolong Husain as., sedangkan berbagai macam cobaan dan aneka macam musibah telah menyelubunginya? Dalam kondisi seperti, ia berusaha untuk mengucapkan selamat tinggal kepada keluarga dan anak-anaknya yang masih tersisa. Maka ia mendekati kemah-kemah yang telah didirikan untuk keturunan Ali dan Az-Zahrâ' as. itu. Kaum wanita keluar bagaikan segerombolan burung pipit yang lemah lunglai. Mereka mengelilingi Imam Husain as., sedangkan ia bermandikan darah. Apakah Anda mampu menggambarkan kondisi Imam Husain as. dan kondisi mereka pada saat itu, sedangkan hatimu tidak bergetar, nalurimu tidak bergemuruh, dan air matamu tidak berlinang?"

Adegan perpisahan Imam Husain as. dengan keluarganya adalah salah satu cobaan dan bencana paling berat dan pedih yang telah dihadapinya. Putri-putri Rasulullah saw. itu memukul-mukul wajah mereka dan suara tangisan mereka nyaring terdengar sembari mengucapkan belasungkawa kepada Rasulullah saw. Mereka melemparkan diri kepada Imam Husain as. untuk mengucapkan selamat tinggal. Adegan menyayat hati ini menyayat hatinya dan tidak ada yang mengetahui kepedihannya selain Allah swt.

Umar bin Sa'd yang keji itu memberikan komanda kepada pasukan perangnya untuk menyerang Imam Husain as. Ia berteriak: "Seranglah Husain selama ia masih sibuk dengan diri dan keluarganya. Demi Allah, jika ia sempat menyerangmu, maka kalian akan kehilangan arah kanan dan kiri kalian."

Orang-orang berhati busuk itu menyerang Imam Husain as. Mereka melemparkan anak panah kepadanya. Anak panah-anak panah itu mengenai sasaran tandu-tandu kemah. Para kaum wanita melindungi diri mereka dan segera masuk ke dalam kemah. Ketika itu, keluarlah Imam Husain as. laksana seekor singa yang menerkam musuh-musuhnya dan menebas kepala mereka dengan pedangnya, sedangkan anak panah-anak panah menyerang bagian kanan dan kiri tubuhnya. Sementara itu, ia menyongsong anak panah-anak panah itu dengan dada dan lehernya. Dan di antara anak panah-anak panah yang memiliki andil menghabisi nyawanya adalah berikut:

1. Satu anak panah mengenai mulut Imam Husain as. Sarah suci itu pun tersembur keluar. Ia meletakkan tangannya di bawah luka itu. Setelah tangan itu penuh dengan darah, ia mengangkatnya ke langit sembari berseru: "Ya Allah, sesungguhnya semua ini di sisi-Mu adalah sedikit."

2. Satu anak panah mengenai dahi mulia Imam Husain as. yang terpancar cahaya kenabian dan imâmah. Darah segar nan suci pun tersembur dari dahi itu. Ia mengangkat kedua tangannya seraya berdoa demi kecelakaan para pembunuh durhaka itu: "Ya Allah, sesungguhnya Engkau menyaksikan seluruh bencana yang sedang kuhadapi dari para hamba penentang-Mu itu. Ya Allah, hitungkah jumlah mereka, bunuhlah mereka, jangan Kau sisakan satu orang pun dari mereka di muka bumi, dan janganlah Kau beri ampunan kepada mereka selamanya."

Imam Husain as. berteriak ke arah bala tentara Yazîd: "Hai umat yang keji, alangkah kejinya perbuatan yang telah kalian lakukan terhadap keluarga Muhammad sepeninggalnya. Camkanlah baik-baik bahwa kalian tidak akan membunuh seseorang pun setelahku, lalu kalian merasa takut untuk membunuhnya. Bahkan perbuatan membunuh itu akan terasa mudah bagi kalian setelah kalian tega membunuhku. Demi Allah, aku sungguh memohon kepada Allah supaya Dia memuliakanku dengan syahadah, kemudian Dia akan menuntut balasku kepada kalian dari jalan yang tidak kalian sadari."

Balasan terhadap Rasulullah saw. yang telah berhasil menyelamatkan mereka dari kesengsaraan hidup itu adalah mereka memusuhi keturunannya. Mereka tega mengucurkan darah keluarganya itu dan berbuat suatu aniaya terhadap mereka yang kulit bergetar melihatnya dan wajah pun mengkerut karenanya.

Sungguh Allah telah mengabulkan doa Imam Husain as. Dia menuntut balasnya dari para musuh durhaka itu. Tidak lama mereka berkuasa, fitnah dan bencana pun datang mengancam mereka. Seorang revolusioner agung, Al-Mukhtâr, melakukan perlawanan terhadap mereka demi menuntut darah Imam Husain as. Al-Mukhtâr berhasil mengusir mereka dan mereka melarikan diri pada peristiwa Al-Baidâ'. Bala tentara Al-Mukhtâr berhasil memukul mundur mereka dan membunuh mayoritas bala tentara mereka.

Az-Zuhrî menulis: "Tak seorang pun dari para pembunuh Husain yang tersisa kecuali ia telah memperoleh balasan. Ada yang dibunuh, ada yang ditimpa kebutaan, ada yang berubah wajahnya menjadi hitam legam, dan ada juga yang dibalas langsung oleh malaikat dalam tampo yang sekejap."

3. Anak panah ini adalah anak panah paling dahsyat yang menghabisi nyawa Imam Husain as.

Para ahli sejarah menulis: "Imam Husain as. sedang beristirahat setelah terkena pendarahan yang membuat tubuhnya lemah. Seorang durjana melemparkan sebuah batu dan mengenai keningnya yang mulia. Darah bersimbah ke wajahnya. Ia mengambil baju untuk mengusap darah yang menutupi kedua matanya. Seorang durjana yang lain melemparkan sebatang tombak bermata tiga. Tombak itu mengenai jantung mulia yang penuh terisi kasih sayang dan rahmat untuk seluruh umat manusia itu. Ketika itu ia yakin bahwa ajal telah dekat. Ia mengangkat pandangannya ke langit seraya berkata, 'Dengan nama Allah, demi Allah, dan demi agama Rasulullah saw. Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa mereka membunuh seorang laki-laki yang di muka bumi ini tidak ada lagi putra dari putri seorang nabi kecuali dia."

Imam Husain as. mencabut tombak itu. Dan darah pun mengucur keluar laksana sebuah pancuran air. Ia menampung darah itu dengan kedua tangannya. Ketika kedua tangan itu telah penuh dengan darah, ia melemparkannya ke langit seraya berkata: "Sungguh mudah semua penderitaan ini lantaran semua itu terjadi di bawah pengawasan Allah."

Imam Husain as. mengambil darah yang masih tersisa. Ia melumuri wajah dan janggutnya dengan darah itu, sedang ia tetap dalam posisi yang menggambarkan posisi para nabi as. Ia berkata: "Beginilah kondisiku sehingga aku menemui datukku, Rasululah saaw., sedangkan aku berlumuran dengan darahku ...."

4. Hushain bin Namîr juga melemparkan sebuah anak panah yang mengenai mulut Imam Husain as. Darah pun mengucur keluar. Imam Husain as. menampung darah itu dengan tangannya, lalu melemparkannya ke langit. Ia berdoa demi kebinasaan para pembunuh durjana itu: "Ya Allah, hitungkah jumlah mereka, musnahkanlah mereka, dan janganlah Kau sisakan seorang pun dari mereka di muka bumi ini."

Semakin banyak anak panah-anak panah yang menusuk tubuh suci Imam Husain as. Ia tampak lemah karena kekurangan darah dan kehausan yang menyengat. Ia duduk di atas tanah sembari memegang lututnya untuk menahan rasa sakit. Seorang durjana yang bernama Mâlik bin An-Nasîr menyerangnya dalam kondisi seperti itu. Mâlik mencerca Imam Husain sembari menebaskan pedang ke arahnya. Kepala Imam Husain memakai topi perang, dan topi ini pun dipenuhi darah. Imam Husain meliriknya seraya berdoa demi kebinasaannya: "Semoga engkau tidak dapat makan dan minum dengan tangan kananmu dan tidak juga dengan tangan kirimu. Semoga Allah mengumpulkanmu bersama orang-orang yang zalim."

Imam Husain as. melemparkan topi perang itu dan membiarkan serban melengket di kepalanya. Mâlik sang durjana itu bergegas untuk mengambil topi perang Imam Husain itu, tapi tangannya telah lumpuh.




Munajat Imam Husain as.

Pada detik-detik akhir kehidupannya itu, Imam Husain as. berkesempatan untuk bemunajat kepada Allah swt. Dengan hati yang luruh, ia bermunajat, pasrah diri, dan mengadukan kepada-Nya segala bencana yang menimpa dirinya. Ia berkata: "Bersabarlah atas ketentuan-Mu, tidak ada tuhan selain-Mu, hai Penolong orang-orang yang memohon pertolongan. Bersabarlah atas ketentuan-Mu, hai Penolong orang yang tidak memiliki penolong selain-Mu, hai Dzat yang maha abadi dan tak pernah musnah, hai Dzat yang menghidupkan orang-orang yang telah mati, hari Dzat yang menguasai seluruh jiwa, tetapkanlah ketentuan antara aku dan mereka, dan Engkaulah sebaik-baik penentu."

Seluruh tindakan itu adalah manifestasi keimanan yang telah berinteraksi dengan seluruh jati diri Imam Husain as. sehingga keimanan itu menjadi unsur terpenting dalam jiwanya. Ia telah bergantung kepada Allah swt. dan bersabar atas seluruh ketentuan-Nya. Ia telah menyerahkan seluruh bencana dan cobaan yang telah menimpa dirinya hanya kepada Allah. Keimanan itu telah melupakannya dari seluruh bencana yang telah mengelili kehidupannya.




Imam Husain as. Dibantai

Kelompok durjana itu menyrang buah hati Rasulullah saw. dari segala penjuru dengan tusukan pedang dan huzaman tombak. Zar'ah bin Syuraik At-Tamîmî menebas pergelangan tangan kirinya dan durjana yang lain menebas pundaknya.

Musuh Imam Husain as. yang paling dengki adalah Sinân bin Anas. Kadang-kadang Anas menusuknya dengan pedang dan kadang-kadang lagi dengan tombak. Ia merasa bangga dengan perbuatannya itu. Pembantai ini pernah menceritakan perbuatannya itu kepada Hajjâj dengan penuh kebanggaan seraya berkata: "Kutusuk dia dengan tombak dan lalu kucincang-cincang dia dengan pedang." Hajjâj tersentak mendengar ceritanya itu seraya berkata: "Ingatlah, kamu berdua tidak akan dapat berkumpul dalam satu rumah."

Para musuh Allah itu membantai Imam Husain as. dari segala penjuru. Pedang-pedang mereka mengalirkan darahnya yang suci. Sebagian ahli sejarah menulis: "Tidak seorang pun di sepanjang sejarah Islam yang dibunuh seperti Husain dibunuh. Ia mengalami seratus dua puluh luka akibat tebasan pedang, goresan tombak, dan tusukan anak panah."

Imam Husain as. terdiam beberapa saat di atas tanah gersang itu. Seluruh penyerang merasa takut dan mengurungkan niat untuk menyerangnya. Kharismatikanya mempengaruhi seluruh hati sehingga sebagian dari mereka berkomentar: "Ketampanan wajah dan cahaya kharismatikanya mencegah kami untuk membunuhnya." Tak seorang pun dari mereka yang mendekati Imam Husain as. kecuali ia kembali mundur, karena takut tanggung jawab pembunuhannya akan jatuh di atas pundaknya.

Cucu Rasulullah saw., Zainab, keluar dari kemahnya dengan perasaan luruh menangisi saudara dan seluruh keuarganya. Dengan jiwa yang pasrah, ia berkata: "Oh, seandainya langit jatuh ke atas bumi!" Ibn Sa'd menghampirinya. Zainab berteriak kepadanya: "Hai Umar, apakah engkau rela Abu Abdillah dibunuh, sedangkan kamu hanya melihatnya?" Umar bin Sa'd memalingkan wajahnya dari Zainab, sedangkan air matanya bercucuran membasahi jenggotnya yang sial itu. 'Aqîlah Ahlul Bait itu tidak mampu lagi melihat saudaranya dalam kondisi yang membutakan mata seperti itu. Akhirnya ia kembali ke kemah untuk menenangkan kaum wanita dan anak-anak yang sedang dilanda ketakutan itu.

Imam Husain as. terdiam panjang di bawah terik siang yang menyengat itu, sementara luka-luka di tubuhnya telah melemahkannya dan kucuran darah yang keluar telah membuatnya lunglai. Ia menyeru segerombolan pembunuh itu: "Apakah kalian berkumpul untuk membunuhku? Ingatlah! Demi Allah, kalian tidak akan membunuh seorang hamba Allah setelahku. Demi Allah, sesungguhnya aku berharap semoga Allah memuliakanku dengan kehinaan kalian, kemudian Dia membalas kalian untukku dari arah yang kalian tidak menyadarinya."

Orang yang celaka dan pendosa, Sinân bin Anas, telah menghunus pedangnya. Ia tidak mengizinkan orang lain untuk mendekati Imam Husain as. karena takut orang itu mengalahkan dirinya dari menebas kepala Imam Husain. Dengan itu, Sinân akan kehilangan hadiah yang telah dijanjikan oleh tuannya, Ibn Marjânah. Sinân memenggal kepala Imam Husain, sedang di bibirnya teruntai senyuman keridaan, kebanggaan, dan kemenangan yang akan terkenang di sepanjang masa.

Imam Husain as. telah menghadiahkan jiwanya sebagai harga Al-Qur'an dan harga bagi setiap kemuliaan yang mampu mengangkat nilai insani. Alangkah mahalnya harga yang telah ia haturkan itu. Ia telah dibunuh dalam keadaan terzalimi, terusir, dan terasing, setelah keturunan, keluarga, dan para sahabatnya dianiaya. Ia telah dibunuh dalam keadaan menahan dahaga di hadapan keluarganya. Harga manakah yang lebih mahal dari harga yang telah diberikan oleh Imam Husain as. sebagai sebuah pengorbanan yang tulus karena Allah semata itu?

Imam Husain as. telah berniaga dengan Allah swt. dengan persembahan dan pengorbanannya yang agung itu. Perniagaannya adalah sebuah perniagaan yang beruntung. Allah swt. berfirman: "Sesungguhnya Allah swt. telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur'an. Dan siapakah yang lebih menempati janjinya (selain) dari Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar." (QS. At-Tawbah [9]:111)

Sesuatu yang pasti, Imam Husain as. sungguh telah memperoleh untung dari perniagaannya itu dan mendapatkan kebanggaan yang tidak akan diperoleh oleh orang selainnya. Tidak ada keluarga syuhada pun yang pernah memperoleh kemuliaan, keagungan, dan keabadian seperti yang telah diperoleh oleh Imam Husain as. Lihatlah dunia selalu menyebut namanya. Lihatlah makamnya menjadi makam yang paling mulia nan megah.

Imam Husain as. telah mengibarkan bendera kemenangan Islam yang berlumuran dengan darahnnya dan darah keluarga dan para sahabatnya tinggi-tinggi. Bendera itu senantiasa menerangi alam semesta ini dan membuka cakrawala bagi masyarakat di seluruh penjuru dunia untuk menyongsong kebebasan dan kemuliaan mereka.




Catatan Kaki:

Siyar A'lâm An-Nubalâ', jilid 3, hal. 190; Târîkh Ibn 'Asâkir, jilid 3, hal. 50.

Mustadrak Al-Hâkim, jilid 3, hal. 177; Nûr Al-Abshâr, hal. 129.

Sunan Ibn Mâjah, jilid 1, hal. 56.

Hayâh Al-Imam Husain as., jilid 1, hal. 95.

At-Tâj Al-Jâmi'li Al-Ushûl, jilid 3, hal. 218.

Minhâj As-Sunnah, jilid 4, hal. 210.

Majma' Az-Zawâ'id, jilid 9, hal. 201

Mustadrak Al-Hâkim, jilid 3, hal. 179.

Mustadrak Al-Hâkim, jilid 3, hal. 176.

Kanz Al-'Ummâl, jilid 7, hal. 106.

Kanz Al-'Ummâl, jilid 7, hal. 106; Al-Mu'jam Al-Kabîr, jilid 3, hal. 106.

Majma' Az-Zawâ'id, jilid 9, hal. 187.

Ibid., hal. 189.

Ibid., hal. 191.

Târîkh Ibn Al-Wardî, jilid 1, hal. 173-174.

Mu'jamul kabir Tabrani jilid 3 hal. 108

Târîkh alkhamis jilid 2 hal. 334

Târîkh Ibn Asakir jilid 13 hal. 57-58

Hayâh Al-Imam Husain as., jilid 1, hal. 426.

Syarah Nahjul Balâghah, karya Ibn Abil Hadîd, jilid 10, hal. 14.

Al-Ishâbah, jilid 1, hal. 187.

Târîkh Al-Ya'qûbî, jilid 2, hal. 293.

Syarah Nahjul Balâghah, karya Ibn Abil Hadîd, jilid 3, hal. 249.

Syarah Nahjul Balâghah, jilid 3, hal. 263.

Al-Imam Al-Husain as., hal. 101.

Ansâb Al-Asyrâf, jilid 1, hal. 240

Kasyf Al-Ghummah, jilid 2, hal. 229.

Al-Ishâbah, jilid 2, hal. 222.

QS. Ali Imran [3]:134.

Al-Imam Al-Husain, hal. 117.

Târîkh Ibn 'Asâkir, jilid 13, hal. 54.

A'yân Asy-Syi'ah, jilid 4, hal. 110.

Al-Irsyâd, karya Ad-Dailamî, jilid 1, hal. 28.

Tuhaf Al-'Uqûl, hal. 246.

Raihânah Ar-Rasul, hal. 55.

Ibid.

Ibid.

Tuhaf Al-'Uqûl, hal. 246.

Ibid.

Târîkh Ibn Al-Atsîr, jilid 2, hal. 553.

Hayâh Al-Imam Husain as., jilid 2, hal. 255.

Al-Khashâ'ish Al-Husainiyyah, hal. 60.

Hayâh Al-Imam Husain as., jilid 3, hal. 374.

Durar Al-Afkâr fî Washf Ash-Shafwah Al-Akhyâr, karya Abul Fath Ibn Shadaqah, hal. 38.

Manâqib Ibn Syahr ?syûb, jilid 4, hal. 222.

Maqtal Al-Husain, hal. 333.

Al-Khashâ'ish Al-Husainiyyah, hal. 39.

Târîkh Ibn Katsîr, jilid 8, hal. 188.

Maqtal Al-Husain, hal. 337.

Jannah Al-Ma'wâ, hal. 115.

Ad-Darr An-Nzhîm, hal. 168.

Maqtal Al-Husain, hal. 337.

'Uyûn Al-Akhbâr, karya Ibn Qutaibah, jilid 1, hal. 103-104.

Maqtal Al-Khârazmî, jilid 2, hal. 34.

Ansâb Al-Asyrâf, jilid 1, hal. 240.

Maqtal Al-Husain, hal. 345.

Majma' Az-Zawâ'id, jilid 9, hal. 194.

Al-Hada'iq Al-Wardiyah, jilid 1, hal. 126.

Ansâb Al-Asyrâf, jilid 3, hal. 203.

Jawâhir Al-Mathâlib fî Manâqib Al-Imam Ali bin Abi Thalib, hal. 139.

Ash-Shirâth As-Sawî fi Manâqib ?l An-Nabi saw., hal. 192.





8


Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.




IMAM ALI AS-SAJJAD

Imam Ali As-Sajjâd adalah seorang imam yang agung, reformer agama, dan penghidup sunah kakeknya. Ia serupa dengan Nabi Isa as. dalam wara' dan ketakwaan, dan serupa dengan Nabi Ayyûb as. dalam cobaan dan malapetaka (yang dihadapi). Kewibawaannya membuat seluruh wajah tertunduk di hadapannya. Di wajahnya bersinar cahaya para nabi dan terbersit kewibawaan para washî.

Asy-Syaikhânî Al-Qâdirî menegaskan: "Mata orang yang memandang tidak pernah puas untuk melihat cercahan cahaya wajahnya." Kewibawaan Imam Ali As-Sajjâd menghikayatkan kewibawaan kakeknya, Rasulullah yang agung saw. As-Saffâh Muslim bin 'Uqbah, sang kriminalis yang senantiasa meremehkan seluruh nilai insani itu, tercengang lantaran kewibawaan tersebut. Ketika ia melihat Imam As-Sajjâd as., seluruh sendinya gemetar dan menyambutnya dengan penuh penghormatan. Orang-orang yang berada di sekitarnya berkomentar: "Sesungguhnya Ali Zainul Abidin adalah manifestasi para nabi."




Gelar Imam As-Sajjâd

Seluruh gelar yang dimiliki oleh Imam Ali As-Sajjâd menghikayatkan karakter jiwa dan akhlak mulia yang telah disandangnya. Di samping itu, seluruh gelar itu juga menceritakan ketaatan dan ibadahnya yang sangat besar kepada Allah. Sebagian gelar tersebut adalah berikut ini:




1. Zainul Abidin (Hiasan Para 'Abid)

Gelar ini-seperti telah dijelaskan sebelum ini-dihadiahkan oleh kakek Imam Ali As-Sajjâd as., Rasulullah saw. Imam Ali as. diberi gelar tersebut lantaran ibadahnya yang tak terhitung banyaknya. Gelar ini sangat terkenal dan tersebar (di tengah-tengah masyarakat) sehingga gelar tersebut berubah menjadi namanya. Tak ada seorang pun yang pernah mendapatkan gelar semacam ini. Dan sungguh ia adalah hiasan bagi setiap 'abid dan kebanggaan bagi setiap orang yang taat kepada Allah.




2. Sayyidul Abidin (Junjungan Para 'Abid)

Salah satu gelar Imam Ali As-Sajjâd yang menonjol adalah Sayyidul Abidin. Hal itu lantaran ketaatannya kepada Allah. Tidak pernah ada riwayat yang menceritakan ibadah seseorang diriwayatkan seperti riwayat yang menggambarkan ibadah imam yang satu ini, selain kakeknya, Imam Amirul Mukminin as.




3. Dzuts Tsafanât

Imam Ali As-Sajjâd as. diberi gelar tersebut lantaran anggota-anggota sujudnya yang mengeras seperti lutut unta. Imam Abu Ja'far Al-Bâqir as. berkata: "Anggota-anggota sujud ayahku memiliki bekas-bekas yang sangat menonjol. Ia selalu memotongnya sebanyak dua kali dalam setahun. Pada setiap kalinya, ia memotong sebanyak lima potong. Oleh karena itu, ia diberi julukan Dzuts Tsafanât."

Dalam sebuah riwayat juga disebutkan bahwa Imam Ali As-Sajjâd mengumpulkan bekas-bekas sujud tersebut dalam sebuah kantong dan berwasiat supaya kantong itu dikuburkan bersama dirinya.




4. As-Sajjad

Salah satu lagi gelar Imam Ali yang menonjol dan terkenal adalah As-Sajjâd. Hal itu lantaran ia selalu melakukan sujud. Ia adalah orang yang paling banyak melakukan sujud dan ketaatan kepada Allah swt. Ketika menceritakan sujud sang ayah yang sangat banyak, Imam Abu Ja'far Muhammad Al-Bâqir as. berkata: "Ali bin Husain tidak mengingat sebuah nikmat Allah 'Azza Wajalla kecuali ia melakukan sujud. Ia tidak membaca ayat kitab Allah 'Azza Wajalla yang mengandung ayat sajdah kecuali ia melakukan sujud. Allah tidak menyelamatkannya dari kejelekan yang dikhawatirkannya kecuali ia melakukan sujud. Ketika usai mengerjakan salat wajib, ia melakukan sujud. Bekas-bekas sujud terdapat di seluruh anggota sujudnya. Oleh karena itu, ia diberi gelar As-Sajjâd."




5. Az-Zakî

Imam Ali diberi gelar Az-Zakî lantaran Allah telah menyucikannya dari setiap kotoran, sebagaimana Dia juga telah menyucikan nenek moyangnya dari setiap jenis kotoran.




6. Al-Amîn

Salah satu gelar Imam Ali As-Sajjâd adalah Al-Amîn. Ia adalah teladan yang tinggi untuk karakter yang satu ini. Pada sebuah kesempatan, ia pernah berkata: "Seandainya pembunuh ayahku menitipkan kepadaku pedang yang telah ia gunakan untuk membunuhnya, niscaya aku akan menyampaikan amanat itu kepadanya."




7. Ibn Al-Khairatain

Salah satu gelar Imam Ali As-Sajjâd as. adalah Ibn Al-Khairatain (putra dua orang terbaik). Ia selalu merasa bangga dengan gelar ini. Ia berkata: "Aku adalah Ibn Al-Khairatain." Ucapannya ini menunjuk sabda Rasulullah saw. yang menegaskan: "Allah swt. memiliki dua orang terbaik dari kalangan hamba-hamba-Nya. Hamba-Nya yang terbaik dari kalangan Arab adalah Hâsyim dan dari kalangan bangsa 'Ajam adalah Fâris."




Karakteristik Kejiwaan

Allah tidak menciptakan sebuah keutamaan atau karunia yang dimiliki oleh seseorang kecuali keutamaan atau karunia itu adalah jati diri Imam Zainul Abidin as. Tak ada seorang pun yang dapat menandinginya dalam hal ini. Seluruh karakter pembentuk jiwanya didominasi oleh adab yang tinggi, akhlak yang mulia, dan kepeduliaan yang sangat tinggi terhadap agama. Tak seorang pun yang membaca sejarah kehidupannya kecuali ia bersimpuh di hadapannya dengan penuh penghormatan dan pengagungan. Lebih dari itu, rasa takjub akan menguasainya. Ia akan menganggap seluruh orang agung di dalam dunia Islam kecil di hadapan seluruh keutamaan yang Imam Ali miliki ini.

Sa'îd bin Mûsâyyib, salah seorang ulama besar Madinah berkomentar: "Aku tidak pernah melihat orang yang lebih utama daripada Ali bin Husain. Aku tidak melihatnya kecuali aku membenci diriku ...."

Kepribadian Imam Ali As-Sajjâd as. yang tinggi ini telah mengangkatnya ke atas puncak kemuliaan dan keagungan, suatu kedudukan yang telah digapai oleh nenek moyangnya yang telah dibebani tugas untuk mengadakan perombakan sosial. Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan sebagian karakter jiwanya ini.




Kesabaran (Al-Hilm)

Kesabaran adalah salah satu karakter para nabi dan rasul. Karakter ini adalah salah satu karakter manusia yang paling agung dan berbeda. Hal itu lantaran karakter ini dapat membantu seseorang untuk menguasai dirinya dan tidak tunduk kepada setiap faktor yang dapat membangkitkan amarah dan balas dendam. Ketika mendefinisikan kesabaran (al-hilm), Al-Jâhizh menulis: "Kesabaran adalah enggan membalas dendam pada saat amarah memuncak padahal kita mampu untuk melakukan balas dendam itu."

Imam Zainul Abidin as. adalah figur manusia yang paling sabar dan paling dapat menahan amarah. Para perawi hadis dan ahli sejarah telah menyebutkan banyak contoh tentang kesabarannya ini. Di antaranya adalah contoh-contoh berikut ini:




1. Imam Ali Zainul Abidin as. pernah memiliki seorang sahaya wanita. Sahaya ini selalu menuangkan air ke atas tangannya ketika ia hendak berwudu sebelum mengerjakan salat. Pada suatu hari, kendi air jatuh dari tangannya menimpa wajah Imam As-Sajjâd dan wajahnya terluka. Sahaya itu segera berkata: "Sesungguhnya Allah 'Azza Wajalla berfirman, 'Dan orang-orang yang menahan amarah.'"

Imam As-Sajjâd as. bergegas menjawab: "Aku telah menahan amarahku ...."

Sahaya itu mengharapkan kesabaran dan keagungan Imam As-Sajjâd as. Tidak sampai di situ saja, ia meminta tambahan seraya menambahkan: "Dan orang-orang yang memaafkan manusia."

Imam Zainul Abidin as. berkata kepadanya dengan penuh kelembutan: "Semoga Allah memaafkanmu ...."

Sahaya itu pun bergegas menimpali: "Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan."

Imam Zainul Abidin as. menyambutnya dengan kelembutan dan kebajikan yang melimpah seraya berkata: "Pergilah kamu. Kamu sekarang telah merdeka ...."




2. Pada suatu hari, seorang budak yang keji menyambut Imam Zainul Abidin as. dengan cercaan dan celaan tanpa sebab yang jelas. Ia menghadapinya dengan penuh santun seraya berkata: "Wahai pemuda, jalan yang sulit sedang menunggu di hadapan kita. Jika aku berhasil melewatinya, aku tidak akan memperdulikan apa yang telah kamu katakan itu, dan jika aku bingung melewatinya, sungguh aku adalah lebih buruk daripada apa yang kamu katakan itu ...."

Seluruh wujud Imam Zainul Abidin as. telah terfokus kepada Allah dan kedahsyatan dunia akhirat yang tidak akan terselamatkan darinya kecuali orang-orang yang bertakwa. Seluruh celaan dan cercaan yang timbul dari sebuah jiwa yang tidak beretika dan beradab itu tidak membuatnya sakit hati sedikit pun.




Ketabahan (Ash-Shabr)

Salah satu karakter kejiwaan Imam Ali Zainul Abidin as. adalah ketabahan menghadapi segala bentuk malapetaka dan cobaan. Satu hal yang pasti adalah, bahwa tak seorang pun di dunia ini yang pernah mendapatkan cobaan yang telah menimpa imam yang agung ini. Segala macam musibah dan petaka telah menimpanya dari sejak ia menginjakkan kaki di dunia ini hingga meninggal dunia. Ia telah harus berpisah dengan ibunda tercinta pada saat ia masih kecil dan belum sempat mengenyam kasih sayangnya. Pada saat ia masih berusia remaja, ia sudah harus menyaksikan kesedihan yang telah menimpa keluarganya yang kehilangan kakeknya, Imam Amirul Mukminin as. yang telah dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam.

Di samping itu, Imam As-Sajjâd as. juga harus menyaksikan perdamaian paksa yang telah dilakukan oleh pamannya, Imam Hasan as. dengan sang lalim, Mu'âwiyah bin Abi Sufyân-simbol cela dan kehinaan dunia Arab dan Islam itu. Ketika Mu'âwiyah berhasil berkuasa, karakter-karakter jahiliah dan kedengkiannya yang dalam terhadap Islam dan muslimin mulai tampak. Ia mengerahkan seluruh kekuatan negara untuk memusnahkan Islam dari peta wujud. Ia juga mengambil sikap yang sangat keras dalam melawan Ahlul Bait as. Ia mewajibkan supaya mereka dicela di atas mimbar-mimbar dan menara-menara azan. Di samping itu, ia juga membantai para pengikut mereka yang merupakan simbol kesadaran beragama dan berpolitik di dalam agama Islam (kala itu).

Ketika Imam Ali Zainul Abidin as. telah menginjak dewasa, ia harus kehilangan pamannya, Imam Hasan as. Imam Hasan as. telah diracun oleh Kisra Arab, Mu'âwiyah bin Hindun. Peristiwa ini telah meninggalkan kesedihan yang sangat pedih dalam diri Imam Zainul Abidin as. dan seluruh keluarga nabawi saw.

Salah satu musibah dan cobaan besar yang telah dialami oleh Imam Zainul Abidin as. adalah ia melihat pedang-pedang terhunus di padang Karbala sedang memanen kepala keluarga nabawi terpilih dengan cara yang sangat menyakitkan, sebuah cara pembantaian yang belum pernah disaksikan oleh sejarah umat manusia. Setelah peristiwa keji yang menimpa para corong keadilan dan kebenaran itu, para lalim Kufah itu mengurung Imam Zainul Abidin as. sembari membakar kemahnya dan kemah-kemah pahlawan wanita keluarga nabawi saw. Lantas, mereka membawanya menghadap sang lalim yang keji, Ibn Marjânah, dan Ibn Marjânah menyambutnya dengan seribu macam olok dan cemooh. Imam Zainul Abidin as. tabah menghadapi semua itu dan menyerahkan seluruh urusan kepada Allah. Setelah peristiwa itu berlalu, ia dibawa menghadap anak buangan yang lain, yaitu Yazîd bin Mu'âwiyah. Di tangan sang keji yang satu ini, Imam Zainul Abidin menghadapi cobaan dan petaka lagi yang dapat melelehkan relung hati setiap orang. Ia menghadapi seluruh petaka yang menyakitkan itu dengan penuh pasrah terhadap segala ketentuan Allah. Jiwa manakah yang dapat menyerupai jiwanya dan kalbu manakah yang dapat menyamai kalbunya? Jiwanya pasrah kepada Sang Pencipta alam semesta dan Dzat penganugerah kehidupan dalam menghadapi seluruh petaka dan kalbunya adalah sebuah kalbu suci yang lebih kokoh dan lebih kuat dari segala sesuatu.

Ketabahan menghadap musibah adalah jati diri Imam Zainul Abidin as. Ketika memuji sifat tabah ini, ia pernah menegaskan bahwa ketabahan adalah kepala ketaatan (kepada Allah). Salah satu contoh ketabahannya adalah, bahwa pada suatu hari, ia mendengar sebuah jeritan dari dalam rumah. Pada waktu itu, ia sedang duduk bersama para sahabat. Ia bangkit untuk melihat apa yang sedang terjadi. Keluarganya memberitahukan bahwa salah seorang putranya telah meninggal dunia. Setelah mendapatkan berita itu, ia kembali menjumpai para sahabat dan memberitahukan apa yang telah terjadi kepada mereka. Para sahabat takjub dengan ketabahan yang ia miliki. Ia berkata kepada mereka: "Kami adalah sebuah keluarga yang menaati Allah atas apa yang kami sukai dan memuji-Nya atas apa yang kami benci." Ia berpendapat bahwa ketabahan adalah sebuah keuntungan dan mengeluh adalah sebuah kelemahan.

Kepribadian kuat yang dimiliki oleh Imam Zainul Abidin dan tidak terpengaruh oleh peristiwa-peristiwa yang menyakitkan adalah salah satu kepribadian yang paling langka di sepanjang sejarah.




Berbuat Kebajikan kepada Orang Lain

Salah satu karakter Imam Ali Zainul Abidin as. adalah berbuat kebajikan kepada orang lain. Hatinya penuh oleh rahmat dan kasih sayang kepadanya. Para ahli sejarah menegaskan bahwa Imam Zainul Abidin as. tidak melihat seseorang memikul utang, sedangkan ia mencintai orang tersebut, kecuali ia pasti akan melunasi seluruh utangnya.

Imam Zainul Abidin as. selalu bergegas untuk memenuhi hajat orang lain supaya ia tidak didahului oleh orang lain sehingga ia harus kehilangan pahala apabila hal itu terjadi. Ia pernah berkata: "Salah seorang musuhku datang kepadaku untuk memohon sebuah hajat. Maka, aku bergegas untuk memenuhinya supaya aku tidak didahului oleh orang lain atau jangan sampai musuhku itu sudah tidak memerlukannya lagi sehingga dengan itu, aku harus kehilangan keutamaannya."

Kisah berikut ini dapat menggambarkan sampai sejauh mana rasa kasih sayang Imam Zainul Abidin as. kepada orang lain.

Az-Zuhrî meriwayatkan: "Pada suatu hari, aku berada di sisi Ali bin Husain as. Tiba-tiba seorang sahabatnya datang seraya mengadu, 'Aku memiliki utang sebesar empat ratus dinar dan aku tidak dapat melunasinya. Sedangkan aku sendiri memiliki tanggungan keluarga.' Pada waktu itu, Imam Zainul Abidin sendiri tidak memiliki sepeser pun uang untuk dapat melunasi utang sahabat tersebut. Sembari menangis, ia berkata, 'Musibah atau petaka manakah yang lebih besar daripada musibah dan petaka ini? Seorang merdeka mukmin melihat saudaranya terlilit utang, sementara itu ia tidak mampu melunasi utang saudaranya itu, dan ia melihatnya tertimpa kemiskinan, sementara itu ia tidak dapat mengatasi kemiskinan saudaranya itu?'"




Kedermawanan

Kedermawanan adalah salah satu karakter jiwa Imam Zainul Abidin as. yang lain. Para ahli sejarah sepakat bahwa ia adalah figur manusia yang paling dermawan terhadap orang-orang fakir dan miskin. Mereka telah menukil banyak contoh tentang kedermawanannya ini. Di antaranya adalah berikut ini:

Muhammad bin Usâmah pernah menderita penyakit. Imam Zainul Abidin as. menjenguknya. Ketika ia telah duduk, Muhammad bin Usâmah menangis terisak-isak.

Imam Zainul Abidin as. bertanya kepadanya: "Apa yang membuatmu menangis?"

Muhammad bin Usâmah menjawab: "Aku dililit oleh utang."

Ia bertanya lagi: "Berapa?"

"Lima belas ribu dinar", jawab Muhammad pendek.

Imam Zainul Abidin as. menimpali: "Aku yang akan melunasinya."

Sebelum berdiri dari tempat duduknya, Imam Zainul Abidin as. memberikan uang itu kepada Muhammad. Dengan perlakuan ini, Imam Zainul Abidin telah menghilangkan mimpi buruk utang dari tidur Muhammad bin Usâmah.

Undangan Makan Umum

Salah satu manifestasi kedermawanan Imam Ali Zainul Abidin as. adalah ia selalu mengadakan undangan makan umum setiap hari selama masih berada di Yatsrib. Undangan makan umum ini dilaksanakan pada waktu makan siang di rumahnya.

Santunan untuk Seratus Keluarga

Salah satu manifestasi kedermawanan Imam Zainul Abidin as. yang lain adalah ia sering memberikan santunan kepada seratus keluarga di Madinah secara diam-diam. Setiap keluarga itu beranggotakan beberapa orang.

Sesungguhnya kedermawanan menunjukkan kesucian jiwa seseorang dari kekikiran, rasa belas kasih kepada orang lain, dan rasa syukur kepada Allah lantaran anugerah-Nya itu.




Kasih Sayang kepada Fakir Miskin

Salah satu jati diri dan karakter jiwa Imam Ali Zainul Abidin as. adalah rasa kasih sayang kepada fakir miskin dan orang-orang yang tertindas. Berikut ini kami akan memaparkan beberapa contoh dari karakternya ini:




1. Memuliakan Orang-Orang Miskin




Imam Zainul Abidin as. selalu bergaul dengan orang-orang fakir miskin. Ia senantiasa menjaga perasaan dan naluri mereka. Jika ia memberikan sebuah pemberian kepada seorang yang meminta, ia membalikkan wajah supaya peminta itu tidak merasa hina. Jika seorang peminta datang menghampirinya, Imam Zainul Abidin as. menyambutnya sembari berkata: "Selamat datang atas orang yang siap membawa bekalku menuju dunia akhirat."

Menghormati kaum fakir miskin dengan cara seperti ini adalah manifestasi kecintaan yang dapat mempererat hubungan antar anggota sebuah masyarakat dan menyebarkan kasih sayang di kalangan mereka.




2. Kecintaan yang Dalam kepada Orang-Orang Fakir




Imam Zainul Abidin as. sangat mencintai orang-orang fakir. Ia sangat senang jika majelisnya dihadiri oleh anak yatim dan orang-orang fakir miskin yang tidak berdaya lagi melawan kehidupan ini. Ia selalu memberikan makanan kepada mereka dengan tangannya sendiri. Sebagaimana juga ia senantiasa memikul bahan makanan atau kayu bakar di atas pundaknya hingga sampai di setiap pintu rumah mereka dan memberikan semua itu kepada mereka.

Rasa kasih sayang dan kecintaan Imam Zainul Abidin as. kepada kaum fakir miskin ini telah sampai pada puncaknya sehingga ia enggan untuk memetik kurma pada malam hari. Hal itu lantaran mereka sudah berada di rumah masing-masing pada waktu itu, dan karena itu mereka tidak akan memperoleh bagian.

Imam Zainul Abidin as. pernah melarang penjaga kebunnya yang sedang memetik kurma pada malam hari. Ia berkata: "Jangan kamu berbuat demikian. Apakah kamu tidak tahu bahwa Rasulullah saw. melarang kita untuk mamanen di malam hari? ia senantiasa bersabda, 'Buntalan hasil panen itu harus kamu berikan kepada orang yang memintanya. Dan itulah haknya pada saat hasil dipanen.'"




3. Larangan Menolak Peminta




Imam Zainul Abidin as. melarang kita menolak orang yang meminta. Hal itu lantaran tindakan ini dapat menyebabkan akibat-akibat buruk. Di antaranya adalah kemusnahan nikmat dan kedatangan malapetaka. Sa'îd bin Mûsâyyib meriwayatkan: "Pada suatu hari, aku pernah bermalam di rumah Ali bin Husain. Setelah usai mengerjakan salat Shubuh, seorang peminta-minta berdiri di depan pintu rumahnya. Ia berkata, 'Berikanlah permintaannya dan janganlah kamu tolak dia."

Imam Zainul Abidin as. sangat menekankan masalah ini dalam banyak hadis yang pernah diriwayatkan darinya.

Menolak permintaan seorang fakir yang membutuhkan adalah salah satu faktor pemusnah nikmat dan pendatang amarah Allah. Banyak sekali hadis yang telah diriwayatkan dari para imam maksum as. secara mutawâtir tentang masalah ini. Atas dasar ini, barang siapa menghendaki kekekalan nikmat Allah, tidak selayaknya ia menolak permintaan peminta-minta atau mencegah seorang fakir untuk mendapatkan harta yang telah dititipkan kepada dirinya.




Infak dan Sedekah

Perilaku teragung yang sering dilakukan oleh Imam Ali Zainul Abidin as. selama hidup adalah berinfak dan bersedekah kepada orang-orang fakir miskin supaya mereka dapat menjalankan roda kehidupan mereka dan terselamatkan dari kesusahan hidup. Ia juga sering menganjurkan kita untuk bersedekah. Hal itu lantaran sedekah memiliki pahala yang tak terhingga. Ia pernah berkata: "Tak seorang pun yang bersedekah kepada seorang miskin yang lemah, dan lalu orang miskin tersebut berdoa untuknya pada saat itu juga kecuali doanya pasti dikabulkan."

Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan aneka ragam bentuk sedekah Imam Ali Zainul Abidin as.:




1. Menyedekahkan Pakaian




Imam Ali Zainul Abidin as. selalu mengenakan pakaian yang bagus. Pada saat musim dingin, ia mengenakan pakaian yang berbulu. Ketika musim panas tiba, ia menyedekahkan pakaian tersebut atau menjualnya dan menyedekahkan hasil penjualannya. Pada saat musim panas, ia mengenakan dua lapis pakaian yang berasal dari Mesir, dan pada saat musim dingin tiba, ia menyedekahkan kedua pakaian tersebut. Ia selalu berkata: "Sesungguhnya aku merasa malu kepada Tuhanku untuk memakan harga pakaian yang telah kugunakan untuk menyembah-Nya."




2. Menyedekahkan Harta yang Dicintai




Imam Zainul Abidin as. selalu menyedekahkan harta dan barang yang sangat ia cintai. Para perawi hadis menyebutkan bahwa ia selalu menyedahkan buah badam dan gula. Ketika ditanya tentang alasannya, ia membaca ayat Al-Qur'an yang berfirman: "Kamu tidak akan dapat menggapai kebaikan sehingga kamu menginfakkan apa yang kamu cintai." (QS. Ali 'Imrân [3]:92)

Para ahli sejarah menulis bahwa Imam Zainul Abidin as. sangat menyukai buah anggur. Pada suatu hari, ia sedang berpuasa. Ketika waktu berbuka puasa tiba, sahayanya menyuguhkan setangkai anggur. Tiba-tiba seorang pengemis datang, dan ia memerintahkan supaya anggur tersebut diberikan kepada pengemis itu. Sahaya Imam Zainul Abidin as. menyuruh seseorang untuk membeli anggur lagi, dan menyuguhkan anggur itu kepadanya. Tiba-tiba seorang pengemis yang lain mengetuk pintu. Ia pun memerintahkan supaya anggur itu diberikan kepada pengemis itu. Sahaya Imam Zainul Abidin as. menyuruh seseorang untuk membeli anggur lagi, dan menyuguhkan anggur itu kepadanya. Tiba-tiba seorang pengemis ketiga mengetuk pintu. Ia pun memberikan anggur itu kepada pengemis itu.

Dalam hal ini, Imam Zainul Abidin as. mengikuti jejak para nenek moyangnya. Mereka pernah memberikan makanan kepada orang miskin, anak yatim, dan orang tawanan selama tiga hari berturut-turut, sedangkan mereka dalam kondisi berpuasa. Karena hal ini, Allah menurunkan surah Ad-Dahr berkenaan dengan hak mereka, dan surah ini abadi menjadi lambang kemuliaan bagi mereka di sepanjang masa hingga Allah dan para hamba-Nya mewarisi bumi ini.




3. Membagi Harta




Imam Ali Zainul Abidin as. selalu membagi harta yang ia miliki dalam dua bagian; ia mengambil setengahnya dan menyedekahkan sisanya kepada orang-orang fakir miskin. Dalam hal ini, ia mengikuti jejak pamannya, Imam Hasan as. Imam Hasan as. selalu membagi harta yang ia miliki dalam dua atau tiga bagian.




4. Bersedekah Secara Diam-Diam




Satu hal yang sangat disukai oleh Imam Ali Zainul Abidin as. adalah bersedekah secara diam-diam supaya tidak diketahui oleh orang lain. Dengan itu, ia ingin mengadakan hubungan dengan orang-orang miskin atas dasar semangat kecintaan karena Allah dan mempererat hubungan dengan saudara-saudara seiman yang tidak mampu. Ia selalu menganjurkan kita untuk bersedekah secara diam-diam. Ia pernah berpesan: "Sedekah secara diam-diam dapat memadamkan murka Tuhan." Ia selalu keluar di malam hari yang gelap gulita dan memberikan sedekah kepada orang-orang miskin. Ia selalu menutupi wajahnya dengan kain (supaya tidak dikenal orang). Mereka telah terbiasa menerima kunjungan seperti itu pada malam hari. Oleh karena itu, mereka berdiri di depan pintu rumah mereka sembari menunggu kedatangannya. Ketika mereka melihat ia sedang datang, mereka merasa bahagia seraya berkata: "Pemikul karung telah tiba."

Imam Ali Zainul Abidin as. memiliki seorang saudara sepupu laki-laki. Ia datang menjumpainya pada setiap malam dan memberikan beberapa keping dinar kepadanya. Saudara sepupu itu berkata kepadanya: "Ali bin Husain tidak pernah mengunjungiku." Ia berdoa supaya Ali bin Husain celaka. Imam Zainul Abidin mendengar semua itu dan tidak memperkenalkan jati dirinya kepadanya. Ketika ia meninggal dunia, saudara sepupu itu tidak pernah lagi menerima sedekah (di malam hari). Akhirnya, ia tahu bahwa orang yang selalu mengujungi dirinya adalah Imam Zainul Abidin as. Untuk itu, ia senantiasa mengunjungi makamnya sembari menangis dan memohon maaf kepadanya.

Ibn 'AIsya'h berkata: "Aku pernah mendengar penduduk Madinah sering berkata, 'Kami tidak pernah kehilangan sedekah secara diam-diam sehingga Ali bin Husain meninggal dunia.'"

Para ahli sejarah meriwayatkan bahwa penduduk Madinah dapat menjalankan roda kehidupan sedangkan mereka tidak tahu siapa yang telah menjamin kehidupan mereka itu. Ketika Ali bin Husain meninggal dunia, mereka kehilangan pemberian yang selalu mereka terima pada malam hari.

Imam Ali Zainul Abidin as. sangat merahasiakan jati dirinya ketika memberikan sedekah. Jika ia memberikan sebuah sedekah kepada seseorang, ia menutupi wajahnya supaya orang itu tidak mengenalnya.

Adz-Dzahabî berkata: "Ia (Imam Ali Zainul Abidin as) selalu bersedekah secara diam-diam."

Imam Zainul Abidin as. meletekkan makanan yang akan dibagikannya kepada orang-orang fakir miskin di dalam sebuah karung dan lantas memikulnya. Karung itu meninggalkan bekas di pundaknya. Al-Ya'qûbî meriwayatkan bahwa ketika Imam Zainul Abidin as. dimandikan, di pundaknya ditemukan sebuah luka kering yang sudah mengeras seperti kulit lutut unta. Ketika keluarganya ditanya tentang bekas tersebut, mereka menjawab seraya berkata: "Bekas itu diakibatkan ia selalu memikul makanan pada malam hari dan membagi-bagikannya kepada orang-orang miskin."

Ala kulli hal, sedekah-sedekah yang telah ia berikan secara diam-diam adalah anugerah yang teragung dan memiliki pahala yang sangat besar di sisi Allah.




Keberanian

Salah satu karakter kejiwaan Imam Zainul Abidin as. adalah keberanian. Ia adalah figur manusia yang paling berani. Ia adalah putra Husain, sang cucu Adam yang paling pemberani. Di antara manifestasi keberanian Imam Zainul Abidin as. adalah kisah berikut ini:

Ketika Imam Zainul Abidin as. dihadapkan kepada 'Ubaidillah bin Marjânah sebagai tawanan perang, ia menyambutnya dengan ucapan-ucapan yang mengejek dan mengolok-olok. Imam Zainul Abidin as. menjawab ejekan dan olok-olokannya itu dengan ucapan berapi-api yang lebih dahsyat dari goresan pedang dan sabetan cemeti. Ia tidak gentar sedikit pun dengan kekuasaan dan kerajaan yang telah digenggamnya itu. Ibn Marjânah murka dan seluruh urat lehernya tegang. Ia memerintahkan supaya Imam Zainul Abidin dibunuh. Akan tetapi, Imam Zanul Abidin tidak gentar sedikit pun dan berkata dengan tenang: "Kami dibunuh adalah suatu hal yang biasa dan kemuliaan kami di sisi Allah adalah syahadah."

Setelah itu, Ibn Marjânah mengirimnya dengan disertai oleh kaum wanita keluarga wahyu sebagai tawanan kepada Yazîd bin Mu'âwiyah. Imam Zainul Abidin as. menggunakan kesempatan untuk naik ke atas mimbar demi melontarkan sebuah pidato yang memuat kemaslahatan muslimin, padahal ia sedang sakit pada waktu itu. Yazîd menolak permintaannya. Akan tetapi, penduduk Syam memaksa Yazîd (untuk mengizinkannya berpidato). Mereka bertanya kepada Yazîd: "Apa kesitimewaan orang ini?" Yazîd menjawab: "Ia berasal dari sebuah keluarga yang telah mengarungi samudera ilmu pengetahuan." Setelah berkata demikian, Yazîd mengizinkannya berpidato.

Imam Ali Zainul Abidin as. melontarkan sebuah pidato yang membuat mata menangis dan hati gemetar. Yazîd pun kebingungan dan kehilangan jejak. Ia tidak menemukan jalan lain untuk menyelematkan diri dari seluruh cela yang telah dibeberkan oleh Imam Zainul Abidin as. itu kecuali dengan memotong pidatonya. Untuk itu, ia memerintahkan muazin untuk mengumandangkan azan dan memotong pidato Imam Zainul Abidin as.

Aku tidak pernah menemukan sebuah pidato yang lebih indah dan menawan dari pidato yang telah dilontarkan oleh Imam Zainul Abidin itu. Di dalam pidato itu, ia memperkenalkan kepada penduduk Syam jati diri dan kedudukannya di sisi Rasulullah saw. yang selama ini tidak diketahui oleh mereka. Ia meluruskan tuduhan terhadap Ahlul Bait yang telah disebarluaskan oleh penguasa pada waktu itu bahwa mereka adalah kaum Khawarij yang telah membangkang dan berpisah dari jamaah (muslimin). Yazîd sang lalim khawatir akan terjadi fitnah dan perubahan opini masyarakat umum terhadap dirinya. Oleh karena itu, ia bergegas mengusir Imam Zainul Abidin as. beserta kaum wanita keluarga risalah Ilahiah itu dari Syam ke Yatsrib (Madinah).




Imam Zainul Abidin di Madinah

Ketika Imam Zainul Abidin as. telah menetap di Madinah, ia melihat bahwa penguasa dinasti Bani Umayyah berusaha sekuat tenaga untuk memadamkan pelita syariat Islam. Ia tidak memiliki kepedulian sedikit pun terhadap hukum-hukum syariat Islam dan malah mengajak masyarakat untuk menghidupkan kembali slogan-slogan jahiliah dan memalingkan mereka dari (ajaran) kitab Allah 'Azza Wajalla. Melihat itu, Imam Zainul Abidin as. melakukan peran (aktif dan) positifnya untuk menghidupkan kembali ajaran-ajaran Islam. Ia membangun sebuah hawzah ilmiah yang mayoritas dihadiri oleh para budak yang telah ia beli dan ia bebaskan. Ia melontarkan banyak ceramah berkenaan dengan hukum-hukum fiqih Islam, adab-adab syariat, dan lain sebagainya di hadapan mereka. Para ulama juga ikut menghadiri majelis-majelis (ilmiahnya). Mereka mencatat seluruh hukum yang ia fatwakan dan hikmah-hikmah yang ia lontarkan. Layak disebutkan di sini bahwa mayoritas fuqaha yang hidup kala itu adalah alumni hawzahnya itu. Kami telah menyebutkan biografi ringkas mereka dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Zainul Abidin as.

Imam Zainul Abidin as. memiliki sebuah peninggalan yang sangat berharga dalam bidang ilmu pengetahuan dan etika yang tak kalah pentingnya dengan hawzah ilmiah yang telah ia bangun itu. Harta peninggalan itu adalah doa-doanya yang lebih dikenal dengan sebutan Ash-Shahîfah As-Sajjâdiyah. Para ulama kadang-kadang menyebut kitab doa ini dengan nama "Zabur Keluarga Muhammad" dan kadang-kadang juga dengan nama "Injil keluarga Muhammad". Mereka meyakini bahwa kitab doa ini menduduki ranking kedua setelah Al-Qur'an dan Nahjul Balâghah. Kitab doa ini-sungguh-adalah sebuah metode kehidupan Islami yang sangat sempurna, mata air etika, dan harta simpanan dunia pemikiran Islami. Harta warisan ini memiliki tempat yang sangat tinggi di dalam lingkungan kehidupan ilmiah (muslimin). Oleh karena itu, mereka selalu tekun mempelajari dan menulis syarah untuknya. Buku-buku syarah kitab doa ini telah melampaui angka enam puluh. Di samping itu, kitab doa itu juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis, dan Jerman. Para ilmuwan Barat telah berhasil mendapatkan harta melimpah dalam kitab ini berkenaan dengan prinsip-prinsip pendidikan, etika yang tinggi, metode-metode sulûk, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan dunia pemikiran Islami.




Ibadah Imam Zainul Abidin

Muslimin sepakat bahwa Imam Zainul Abidin as. adalah figur manusia yang paling 'abid dan paling taat kepada Allah swt. Umat manusia tidak pernah melihat orang seperti dia dalam ibadahnya. Orang-orang bertakwa dan saleh takjub dengan ibadahnya itu. Gelar Zainul Abidin dan Sayyidus Sâjidîn dalam sejarah dunia Islam yang telah diberikan kepadanya sudah cukup untuk membuktikan realita ini.

Ibadah Imam Zainul Abidin as. tidak bersifat mengekor kepada orang lain. Ibadah ini tumbuh dari keimanannya yang dalam kepada Allah swt., sama seperti pengetahuannya kepada-Nya. Ia tidak menyembah-Nya lantaran rakus terhadap surga-Nya dan takut akan api neraka-Nya. Ia menyembah-Nya lantaran Dia berhak untuk disembah. Sikapnya ini tidak berbeda dengan sikap kakeknya, Imam Amirul Mukminin as., junjungan para 'arif dan pemimpin orang-orang yang bertakwa itu. Amirul Mukminin menyembah Allah seperti ibadah orang-orang yang merdeka. Cucunya, Zainul Abidin as., mengikuti jejaknya. Imam Zainul Abidin as. pernah menegaskan ketulusannya dalam beribadah kepada Allah seraya berkata: "Aku tidak suka jika aku menyembah Allah, sedangkan tujuanku hanyalah pahala-Nya. Dengan tujuan ini, aku tidaklah berbeda dengan seorang hamba yang tamak; apabila ia suka, maka ia akan bertindak dan apabila tidak suka, maka ia akan diam. Aku juga tidak suka jika aku menyembah-Nya lantaran takut akan siksa-Nya. Dengan tujuan ini, aku tidaklah berbeda dengan seorang budak yang berhati buruk; ia tidak akan bertindak apabila tidak takut (akan hardikan tuannya)."

Sebagian sahabat yang duduk di situ menghadap kepadanya seraya bertanya: "Atas dasar apakah Anda menyembah-Nya?"

Imam Zainul Abidin as. menjawab: "Aku menyembah-Nya lantaran memang Dia pantas untuk itu sehubungan dengan seluruh nikmat (yang telah dilimpahkan-Nya)."

Ibadah Imam Zainul Abidin as. tumbuh dari sebuah pengetahuan yang tidak dicampuri oleh keraguan sedikit pun. Ibadah itu tidak dilahirkan oleh rasa tamak atau takut. Ibadah itu hanya dilahirkan oleh keimanan yang dalam. Ia pernah membicarakan tentang aneka ragam ibadah seraya berkata: "Ada sebagian kaum yang menyembah Allah lantaran rasa takut, dan inilah ibadah para budak. Ada sebagian kaum yang menyembah Allah lantaran mereka menginginkan sesuatu, dan itulah ibadah kaum pedagang. Sementara itu, ada sebagian kaum yang menyembah Allah lantaran hanya ingin menghaturkan rasa syukur, dan itulah ibadah orang-orang yang merdeka."

Inilah aneka ragam ibadah (dalam kaca mata Imam Zainul Abidin as). Ibadah yang memiliki timbangan yang paling berat dan paling dicintai oleh Allah adalah ibadah orang-orang yang merdeka yang hanya dilakukan hanya untuk menghaturkan rasa syukur kepada Dzat Pemberi Nikmat Yang Maha Agung, bukan lantaran tamak kepada pahala-Nya dan juga bukan karena takut terhadap siksa-Nya.

Imam Zainul Abidin as. telah menekankan hal ini dalam sebuah hadis yang lain. Ia berkata: "Ibadah orang-orang yang merdeka tidak akan terlaksana kecuali hanya untuk menghaturkan rasa syukur, bukan lantaran takut dan juga bukan karena menginginkan sesuatu."

Rasa cinta kepada Allah telah melebur menjadi satu dengan kalbu Imam Zainul Abidin as. sehingga rasa ini menjadi unsur utama pembentuk jiwanya. Para perawi hadis berkata: "Dalam setiap waktu, ia selalu sibuk dalam ibadah kepada Allah dan taat kepada-Nya."

Sahayanya pernah ditanya tentang ibadahnya. Ia malah balik bertanya: "Kuceritakan secara panjang atau kusingkat?"

Penanya menjawab: "Singkat saja."

Sahaya itu menjawab: "Di siang hari, aku tidak pernah menyuguhkan makanan untuknya dan pada malam hari, aku tidak pernah menghamparkan alas tidur untuknya."

Imam Zainul Abidin as. menjalani hidup ini dengan berpuasa di siang hari dan beribadah di malam hari; kadang-kadang ia sibuk mengerjakan salat dan pada kesempatan yang lain, ia sibuk menyebarkan sedekah secara diam-diam.

Satu hal yang pasti adalah, bahwa dalam sejarah orang-orang yang zuhud, tidak pernah ditemukan seorang figur manusia seperti Imam Zainul Abidin as. dalam ketulusan dan ketaatan kepada Allah.

Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan sebagian sisi ibadah Imam Zainul Abidin as.:




1. Wudu




Wudu adalah cahaya, kesucian dari segala macam dosa, dan mukadimah pertama sebelum mengerjakan salat. Imam Zainul Abidin as. selalu dalam kondisi suci. Para perawi hadis menceritakan kekhusyukannya dalam berwudu. Mereka berkata: "Jika ia ingin berwudu, tubuhnya pucat. Keluarganya pernah bertanya, 'Apa yang terjadi pada diri Anda ketika Anda hendak berwudu?' Ia menjawab, 'Apakah kamu tahu di hadapan siapakah aku sedang berdiri?'"

Imam Ali Zainul Abidin as. memberikan perhatian yang sangat besar terhadap masalah ini. Ia tidak pernah dibantu oleh siapa pun ketika hendak berwudu. Untuk menyediakan air wudu, ia menimba air sendiri dan kemudian menutupinya sebelum berangkat tidur. Ketika bangun tidur di malam hari, ia menggosok gigi dan kemudian berwudu. Setelah usai berwudu, ia mulai mengerjakan salat.




2. Salat




Salat-seperti ditegaskan dalam beberapa hadis-adalah mikraj seorang mukmin dan korban setiap orang yang bertakwa. Salat adalah sebuah keinginan terbesar yang tersimpan di dalam diri Imam Zainul Abidin as. Ia menjadikan salat ini sebagai mikraj yang dapat mengangkat jiwanya menuju ke haribaan Allah, Pencipta alam semesta. Apabila ia ingin memulai salat, tubuhnya gemetar. Ia pernah ditanya tentang hal ini. Dalam jawAbânnya, ia menegaskan: "Tahukah kamu di hadapan siapakah aku sedang berdiri dan dengan siapakah aku sedang bermunajat?"

Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan sebagian tindakan yang dilakukan oleh Imam Zainul Abidin as. ketika hendak mengerjakan salat:




a. Menggunakan Minyak Wangi




Apabila ia ingin mengerjakan salat, ia menggunakan minyak wangi di dalam botol yang telah disediakan di tempat salatnya. Bau semerbak minyak misik tercium dari dalam botol itu.




b. Pakaian Salat




Jika ia ingin mengerjakan salat, ia memakai pakaian berbulu kasar. Hal ini ia lakukan lantaran ingin menunjukkan kehinaan dirinya di hadapan Sang Maha Pencipta.




c. Khusyuk




Salat Imam Zainul Abidin as. adalah sebuah manifestasi kepasrahan yang sempurna terhadap Allah swt. dan keterputusan dari alam materi. Ia tidak merasakan sesuatu yang berada di sekitarnya. Bahkan, ia tidak merasakan keberadaan dirinya sendiri. Seluruh kalbunya terpaut kepada Allah secara sempurna. Ketika ingin menjelaskan kondisi salatnya ini, para perawi hadis berkata: "Ketika ingin mengerjakan salat, kulitnya berubah warna. Seluruh anggota tubuhnya gemetar lantaran takut kepada Allah. Pada saat berdiri, ia berdiri bak seorang budak yang hina di hadapan tuannya. Ia mengerjakan salat seperti orang yang mengerjakan salat perpisahan di mana ia tidak akan pernah mengerjakan salat lagi setelah itu."

Ketika menceritakan kekhusyukan salat ayahnya, Imam Muhammad Al-Bâqir as. berkata: "Ketika Ali bin Husain berdiri mengerjakan salat, ia berdiri bak sepotong batang kayu yang tidak bergerak sama sekali kecuali bagian-bagian kayu yang digerakkan oleh angin."

Salah satu manifestasi lain dari kekhusyukan salat Imam Ali Zainul Abidin as. adalah ketika sujud, ia tidak mengangkat kepalanya sehingga keringatnya mengucur atau seakan-akan ia merendam di dalam air lantaran air matanya yang mengucur deras.

Para perawi hadis meriwayatkan bahwa Abu Hamzah Ats-Tsumâlî pernah melihat Imam Zainul Abidin as. mengerjakan salat. Jubahnya terjatuh dari salah satu bahunya dan ia tidak membenahinya. Abu Hamzah menanyakan hal itu kepadanya, dan ia menjawab: "Celakalah kamu! Tahukah kamu di hadapan siapakah aku tadi berdiri? Sesungguhnya salat seorang hamba tidak akan diterima kecuali sekadar konsentrasi hati yang dimilikinya."

Keterpautan hatinya kepada Allah pada saat mengerjakan salat sangat kuat. Ketika salah seorang putranya jatuh ke dalam sumur, penduduk Madinah merasa khawatir dan lalu mereka menyelamatkannya. Pada waktu itu, Imam Zainul Abidin as. sedang mengerjakan salat di dalam mihrab dan tidak menyadari apa yang telah terjadi. Ketika usai salat, ia diberitahukan tentang hal itu. Ia hanya berkata: "Aku tidak merasakan apa-apa. Karena, aku tadi sedang bermunajat dengan Tuhan Yang Maha Agung."

Pada suatu hari, pernah terjadi kebakaran di rumahnya dan ia sedang mengerjakan salat. Ia tidak merasakan hal itu. Ketika usai mengerjakan salat, ia diberitahukan apa yang telah terjadi. Ia menjawab: "Api neraka yang maha dahsyat telah membuatku lupa akan api tersebut."

Abdul Karim Al-Qusyairî memiliki sebuah interpretasi untuk realita dahsyat yang senantiasa menyertai Imam Zainul Abidil as. pada saat salat ini. Yaitu realita itu terjadi lantaran hati tidak menyadari apa terjadi pada makhluk sekitar. Hal itu karena panca indera sibuk mengamati apa yang sedang dihadapinya. Hati kadang-kadang tidak menyadari perasaan dirinya sendiri dan hal itu lantaran ia mengingat pahala atau memikirkan siksa.




d. Salat Seribu Rakaat




Para penulis biografi Imam Zainul Abidin as. sepakat bahwa ia selalu mengerjakan salat sebanyak seribu rakaat dalam siang dan malam. Ia memiliki lima ratus pohon kurma dan mengerjakan salat sebanyak dua rakaat di bawah setiap pohon kurma itu. Karena banyaknya salat yang ia kerjakan, seluruh anggota sujudnya mengeras seperti kulit lutut unta. Setiap bagian yang sudah mengeras itu jatuh pada setiap tahun dan ia mengumpulkannya dalam sebuah kantong. Ketika meninggal dunia, kantong itu dikuburkan juga bersamanya.




e. Mengqadha Salat Sunah




Selama hidup, Imam Zainul Abidin as. tidak pernah meninggalkan salat sunah. Ia senantiasa mengqadha di malam hari salat sunah siang hari yang tidak sempat ia kerjakan. Ia selalu berwasiat kepada putra-putrinya untuk melakukan hal ini. Ia berpesan kepada mereka: "Hai putra-putriku, hal ini tidak wajib bagimu. Akan tetapi, aku ingin jika kamu telah membiasakan diri dengan sebuah kebiasaan baik, hendaknya kamu melakukannya secara kontinyu."




f. Banyak Bersujud




Kondisi terdekat yang dimiliki oleh seorang hamba kepada Tuhannya-seperti ditegaskan oleh banyak hadis-adalah kondisi sujud. Imam Ali Zainul Abidin as. adalah figur manusia yang banyak melakukan sujud karena tunduk kepada Allah dan merasa hina di hadapan-Nya. Para perawi hadis meriwayatkan bahwa pada suatu harinya pernah keluar menuju ke gurun sahara. Salah seorang budaknya membuntuti ke mana ia pergi. Tiba-tiba ia menemukan Imam Zainul Abidin as. sedang bersujud di atas sebuah batu keras. Budak itu memperhatikan dan menghitung apa yang ia baca dalam sujud itu. Imam Zainul Abidin as. membaca doa berikut ini sebanyak seribu kali:




لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ حَقًّا حَقًّا، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ تَعَبُّدًا وَ رِقًّا، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ إِيْمَانًا وَ صِدْقًا


Imam Zainul Abidin as. senantiasa melakukan sujud syukur dan membaca bacaan berikut ini sebanyak seratus kali:




اَلْحَمْدُ لِلَّهِ شُكْرًا


Setelah itu, ia membaca doa berikut ini:




يَا ذَا الْمَنِّ الَّذِيْ لاَ يَنْقَطِعُ أَبَدًا، وَلاَ يُحْصِيْهِ غَيْرُهُ عَدَدًا، وَ يَا ذَا الْمَعْرُوْفِ الَّذِيْ لاَ يَنْفَدُ

أَبَدًا، يَا كَرِيْمُ يَا كَرِيْمُ


Setelah itu, ia merendahkan diri dan menyebutkan hajatnya.




g. Banyak Bertasbih




Imam Zainul Abidin as. senantiasa menyibukkan diri dengan berzikir kepada Allah, bertasbih, dan memuji-Nya. Ia selalu membaca tasbih berikut ini:




سُبْحَانَ مَنْ أَشْرَقَ نُوْرُهُ كُلَّ ظُلْمَةٍ، سُبْحَانَ مَنْ قَدَّرَ بِقُدْرَتِهِ كُلَّ قُدْرَةٍ، سُبْحَانَ مَنِ احْتَجَبَ عَنِ

الْعِبَادِ بِطَرَائِقِ نُفُوْسِهِمْ، فَلاَ شَيْءَ يَحْجُبُهُ، سُبْحَانَ اللهِ وَ بِحْمَدِهِ





h. Selalu Mengerjakan Salat Malam




Salah satu salat sunah yang tidak pernah ia tinggalkan adalah salat malam. Ia senantiasa mengerjakannya secara kontinyu, baik ia berada dalam perjalanan atau tidak, hingga ia meninggal dunia.




i. Doa Setelah Salat Malam




Setelah usai mengerjakan salat malam, Imam Zainul Abidin as. selalu membaca doa berikut ini:




اَللَّهُمَّ يَا ذَا الْمُلْكِ الْمُتَأَبِّدِ بِالْخُلُوْدِ وَ السُّلْطَانِ، الْمُمْتَنِعِ بِغَيْرِ جُنُوْدٍ وَلاَ أَعْوَانٍ، وَ

الْعِزِّ الْبَاقِيْ عَلَى مَرِّ الدُّهُوْرِ وَ خَوَالِي الْأَعْوَامِ وَ مَوَاضِي الْأَزْمَانِ وَ الْأَيَّامِ، عَزَّ سُلْطَانُكَ

عِزًّا لاَ حَدَّ لَهُ بِأَوَّلِيَّةٍ، وَلاَ مُنْتَهَى لَهُ بِآخِرِيَّةٍ، وَ اسْتَعْلَى مُلْكُكَ عُلُوًّا، سَقَطَتْ الْأَشْيَاءُ

دُوْنَ بُلُوْغِ أَمَدِهِ، وَلاَ يَبْلُغُ أَدْنَى مَا اسْتَأْثَرْتَ بِهِ مِنْ ذَلِكَ أَقْصَى نَعْتِ النَّاعِتِيْنَ. ضَلَّتْ فِيْكَ

الصِّفَاتُ، وَ تَفَسَّخَتْ دُوْنَكَ النُّعُوْتُ، وَ حَارَتْ فِيْ كِبْرِيَائِكَ لَطَائِفُ الْأَوْهَامِ، كَذَلِكَ أَنْتَ اللهُ

الْأَوَّلُ فِي أَوَّلِيَّتِكَ، وَ عَلَى ذَلِكَ أَنْتَ دَائِمٌ لاَ تَزُوْلُ، وَ أَنَا الْعَبْدُ الضَّعِيْفُ عَمَلاً الْجَسِيْمُ

أَمَلاً، خَرَجَتْ مِنْ يَدَيَّ أَسْبَابُ الْوَصَلاَتِ إِلاَّ مَا وَصَلَهُ رَحْمَتُكَ، وَ تَقَطَّعَتْ عَنِّيْ عِصَمُ الْآمَالِ إِلاَّ

مَا أَنَا مُعْتَصِمٌ بِهِ مِنْ عَفْوِكَ، قَلَّ عِنْدِيْ مَا أَعْتَدُّ بِهِ مِنْ طَاعَتِكَ، وَ كَثُرَ عَلَيَّ مَا أَبُوْءُ بِهِ مِنْ

مَعْصِيَتِكَ، وَلَنْ يَضِيْقَ عَلَيْكَ عَفْوٌ عَنْ عَبْدِكَ وَ إِنْ أَسَاءَ، فَاعْفُ عَنِّيْ ....


Frase doa ini memuat pengagungan dan pengesaan terhadap Allah swt. Ia menyebutkan sebagian sifat-sifat-Nya Yang Maha Tinggi. Di antara sifat-sifat itu adalah kekekalan-Nya yang tidak berbatas dan kerajaan-Nya yang maha kuat nan kokoh yang tidak memerlukan dukungan bala tentara dan pendukung. Seluruh sifat (yang kita bayangkan) tidak mampu mengungkapkan satu sifat-Nya. Maha tinggi Allah setinggi-tinggi-Nya.

Imam Ali Zainul Abidin as. mengungkapkan kehinaan, kekhusyukan, dan penghambaannya yang mutlak hanya kepada Allah swt. Seluruh harapan dan cita-citanya hanya terpaut kepada-Nya. Ia sungguh hanya berpegang teguh dan pasrah kepada-Nya. Marilah kita simak bersama frase doa selanjutnya berikut ini:




اَللَّهُمَّ وَقَدْ أَشْرَفَ عَلَى خَفَايَا الْأَعْمَالِ عِلْمُكَ، وَ انْكَشَفَ كُلُّ مَسْتُوْرٍ دُوْنَ خُبْرِكَ، وَلاَ تَنْطَوِيْ

عَنْكَ دَقَائِقُ الْأُمُوْرِ، وَلاَ تَعْزُبُ عَنْكَ غُيَّابُ السَّرَائِرِ، وَقَدِ اسْتَحْوَذَ عَلَيَّ عَدُوُّكَ الَّذِي اسْتَنْظَرَكَ

لِغَوَايَتِيْ فَأَنْظَرْتَهُ، وَاسْتَمْهَلَكَ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ لإِضِلاَلِيْ فَأَمْهَلْتَهُ، فَأَوْقَعَنِيْ، وَقَدْ هَرَبْتُ

إِلَيْكَ مِنْ صَغَائِرِ ذُنُوْبٍ مُوْبِقَةٍ وَ كَبَائِرِ أَعْمَالٍ مُرْدِيَةٍ، حَتَّى إِذَا قَارَفْتُ مَعْصِيَتَكَ وَ اسْتَوْجَبْتُ

بِسُوْءِ سَعْيِيْ سَخَطَكَ فَتَلَ عَنِّيْ عِذَارَ عُذْرِهِ وَ تَلَقَّانِيْ بِكَلِمَةِ كُفْرِهِ وَ تَوَلَّى الْبَرَاءَةَ مِنِّي وَ

أَدْبَرَ مُوَلِّيًا عَنِّيْ فَأَصْحَرَنِيْ لِغَضَبِكَ فَرِيْدًا وَ أَخْرَجَنِيْ إِلَى فِنَاءِ نَقِمَتِكَ طَرِيْدًا، لاَ شَفِيْعَ

يَشْفَعُ لِيْ إِلَيْكَ وَلاَ خَفِيْرَ يُؤْمِنَنِيْ عَلَيْكَ وَلاَ حِصْنَ يَحْجُبُنِيْ عَنْكَ وَلاَ مَلاَذَ أَلْجَأُ إِلَيْهِ مِنْكَ،

فَهَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ بِكَ وَ مَحَلُّ الْمُعْتَرِفِ لَكَ، فَلاَ يَضِيْقَنَّ عَنِّيْ فَضْلُكَ وَلاَ يَقْصُرَنَّ دُوْنِيْ عَفْوُكَ

وَلاَ أَكُنْ أَخْيَبَ عِبَادِكَ التَّائِبِيْنَ وَلاَ أَقْنَطَ وُفُوْدِكَ الْآمِلِيْنَ، وَ اغْفِرْ لِيْ إِنَّكَ خَيْرُ الْغَافِرِيْنَ ...

Pada frase ini, Imam Zainul Abidin as. mengungkapkan kelemahan jiwa manusia menghadapi hawa nafsu dan ketidakmampuannya untuk melawan godaan setan terkutuk yang selalu memanfaatkan sifat-sifat buruk yang terdapat di dalam diri manusia itu, seperti rasa tamak, takabur dan lain sebagainya. Setan telah menguasai seluruh perasaan dan naluri manusia. Dengan ini, setan dapat menjerumuskan manusia ke dalam jurang dosa dan menjauhkannya dari setiap jalan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah swt. Imam Zainul Abidin as. memohon perlindungan kepada Allah swt. dari godaan musuh jahat dan pemakar ini. Marilah kita simak frase doa selanjutnya berikut ini:




اَللَّهُمَّ إِنَّكَ أَمَرْتَنِيْ فَتَرَكْتُ، وَ نَهَيْتَنِيْ فَرَكِبْتُ، وَ سَوَّلَ لِيَ الْخَطَأَ خَاطِرُ السُّوْءِ فَفَرَّطْتُ،

وَلاَ أَسْتَشْهِدُ عَلَى صِيَامِيْ نَهَارًا، وَلاَ أَسْتَجِيْرُ بِتَهَجُّدِيْ لَيْلاً، وَلاَ تُثْنِيْ عَلَيَّ بِإِحْيَائِهَا سُنَّةٌ،

حَاشَى فُرُوْضِكَ الَّتِيْ مَنْ ضَيَّعَهَا هَلَكَ، وَلَسْتُ أَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِفَضْلِ نَافِلَةٍ مَعَ كَثِيْرِ مَا أَغْفَلْتُ مِنْ

وَظَائِفِ فُرُوْضِكَ، وَتَعَدَّيْتُ عَنْ مَقَامَاتِ حُدُوْدِكَ إِلَى حُرُمَاتٍ انْتَهَكْتُهَا وَكَبَائِرِ ذُنُوْبٍ اجْتَرَحْتُهَا،

كَانَتْ عَافِيُتُكَ لِيْ مِنْ فَضَائِحِهَا سِتْرًا، وَهَذَا مَقَامُ مَنِ اسْتَحْيَى لِنَفْسِهِ مِنْكَ وَسَخِطَ عَلَيْهَا وَرَضِيَ

عَنْكَ، فَتَلَقَّاكَ بِنَفْسٍ خَاشِعَةٍ وَرَقَبَةٍ خَاضِعَةٍ وَظَهْرٍ مُثْقِلٍ مِنَ الْخَطَايَا، وَاقِفًا بَيْنَ الرَّغْبَةِ إِلَيْكَ

وَالرَّهْبَةِ مِنْكَ، وَأَنْتَ أَوْلَى مَنْ رَجَاهُ وَأَحَقُّ مَنْ خَشِيَهُ وَاتَّقَاهُ، فَأَعْطِنِيْ يَا رَبِّ مَا رَجَوْتُ

وَآمِنِّيْ مَا حَذَرْتُ، وَعُدْ عَلَيَّ بِعَائِدَةِ رَحْمَتِكَ، إِنَّكَ أَكْرَمُ الْمَسْؤُوْلِيْنَ

Imam Zainul Abidin as. memaparkan kehinaan dan kekhusyukannya di hadapan Allah swt. Ia melihat bahwa seluruh amal baik yang telah dilaksanakannya, seperti menghidupkan malam dengan ibadah, berpuasa di siang hari, mengerjakan seluruh salat sunah, menghidupkan kembali sunah-sunah Islam, dan lain sebagainya tidak memiliki nilai yang seberapa di sisi Allah swt. Tobat manakah yang serupa dengan tobat ini? Dan kepasrahan manakah yang dapat menandingi kepasrahan ini? Sungguh imam yang satu ini adalah figur yang unggul di dunia orang-orang bertakwa dan saleh. Marilah kita menyimak frase doa selanjutnya berikut ini:




اَللَّهُمَّ وَإِذْ سَتَرْتَنِيْ بِعَفْوِكَ وَتَغَمَّدْتَنِيْ بِفَضْلِكَ فِيْ دَارِ الْفَنَاءِ بِحَضْرَةِ الْأَكْفَاءِ فَأَجِرْنِيْ

مِنْ فَضِيْحَاتِ دَارِ الْبَقَاءِ عِنْدَ مَوَاقِفِ الْأَشْهَادِ مِنَ الْمَلاَئِكَةِ الْمُقَرَّبِيْنَ وَالرُّسُلِ الْمُكَرَّمِيْنَ

وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ، مِنْ جَارٍ كُنْتُ أُكَاتِمُهُ سَيِّئَاتِيْ وَمِنْ ذِيْ رَحِمٍ كُنْتُ أَحْتَشِمُ مِنْهُ فِيْ

سَرِيْرَاتِيْ، لَمْ أَثِقْ بِهِمْ رَبِّ فِي السَّتْرِ عَلَيَّ، وَوَثِقْتُ بِكَ رَبِّ فِي الْمَغْفِرَةِ لِيْ، وَأَنْتَ أَوْلَى مَنِ

وُثِقَ بِهِ وَأَعْطَى مَنْ رُغِبَ إِلَيْهِ وَأَرْأَفُ مَنِ اسْتُرْحِمَ، فَارْحَمْنِيْ




Pada frase doa ini, Imam Zainul Abidin as. mengungkapkan kepercayaan dan harapannya yang besar terhadap ampunan dan karunia Allah. Ia memohon kepada-Nya ampunan dan keridaan di hari akhirat. Ia juga memohon hamparan tirai Allah yang senantiasa dibentangkan bagi para hamba-Nya yang bermaksiat, sebagaimana juga memohon perlindungan dari seluruh cela yang akan terungkap di hari pembalasan di hadapan para saksi yang terdiri dari para malaikat muqarab, rasul, syuhada, dan orang-orang yang saleh. Dengan ungkapan ini, ia telah memberikan pelajaran kepada muslimin yang telah berbuat maksiat untuk bertobat kepada Allah dengan sungguh-sungguh. Marilah kita menyimak kembali frase doanya selanjutnya berikut ini:




اَللَّهُمَّ وَأَنْتَ حَدَرْتَنِيْ مَاءً مَهِيْنًا مِنْ صُلْبٍ مُتَضَائِقِ الْعِظَامِ حَرِجِ الْمَسَالِكِ إِلَى رَحِمٍ ضَيِّقَةٍ،

سَتَرْتَهَا بِالْحُجُبِ، تُصَرِّفُنِيْ حَالاً عَنْ حَالٍ حَتَّى انْتَهَيْتَ بِيْ إِلَى تَمَامِ الصُّوْرَةِ، وَأَثْبَتَّ فِي

الْجَوَارِحِ كَمَا نَعَتَّ فِي كِتَابِكَ ?نُطْفَةً ثُمَّ عَلَقَةً ثُمَّ مُضْغَةً ثُمُّ عِظَامًا ثُمُّ كَسَوْتَ الْعِظَامَ لَحْمًا

ثُمَّ أَنْشَأْتَنِيْ خَلْقًا آخَرَ كَمَا شِئْتَ?، حَتَّى إِذَا احْتَجْتُ إِلَى رِزْقِكَ وَلَمْ أَسْتَغْنِ عَنْ غِيَاثِ فَضْلِكَ

جَعَلْتَ لِيْ قُوْتًا مِنْ فَضْلِ طَعَامٍ وَشَرَابٍ أَجْرَيْتَهُ لِأَمَتِكَ الَّتِيْ أَسْكَنْتَنِيْ جَوْفَهَا وَأَوْدَعْتَنِيْ

قَرَارَ رَحِمِهَا، وَلَوْ تَكِلُنْيْ يَا رَبِّ فِيْ تِلْكَ الْحَالاَتِ إِلَى حَوْلِي أَوْ تَضْطَرُّنِيْ إِلَى قُوَّتِيْ لَكَانَ

الْحَوْلُ عَنِّيْ مُعْتَزِلاً، وَلَكَانَتْ الْقُوَّةُ مِنِّيْ بَعِيْدَةً، فَغَذَوْتَنِيْ بِفَضْلِكَ غِذَاءَ الْبِرِّ اللَّطِيْفِ،

تَفْعَلُ ذَلِكَ بِيْ تَطَوُّلاً عَلَيَّ إِلَى غَايَتِيْ هَذِهِ لاَ أَعْدَمُ بِرَّكَ وَلاَ يُبْطِئُ بِيْ حُسْنُ صَنِيْعِكَ، وَلاَ

تَتَأَكَّدُ مَعَ ذَلِكَ ثِقَتِيْ فَأَتَفَرَّغُ لِمَا هُوَ أَحْظَى لِيْ عِنْدَكَ، قَدْ مَلَكَ الشَّيْطَانُ عِنَانِيْ فِيْ سُوْءِ

الظَّنِّ وَضَعْفِ الْيَقِيْنِ، فَأَنَا أَشْكُوْ سُوْءَ مُجَاوَرَتِهِ لِيْ وَطَاعَةَ نَفْسِيْ لَهُ، وَاَسْتَعْصِمُكَ مِنْ مَلَكَتِهِ،

وَأَتَضَرَّعُ إِلَيْكَ فِيْ صَرْفِ كَيْدِهِ عَنِّيْ، وَأَسْأَلُكَ فِيْ أَنْ تُسَهِّلَ إِلَى رِزْقِيْ سَبِيْلاً، فَلَكَ الْحَمْدُ

عَلَى ابْتِدَائِكَ بِالنِّعَمِ الْجِسَامِ وَإِلْهَامِكَ الشُّكْرَ عَلَى الْإِحْسَانِ وَالْإِنْعَامِ، فَصَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِهِ،

وَسَهِّلْ عَلَيَّ رِزْقِيْ، وَأَنْ تُقَنِّعَنِيْ بِتَقْدِيْرِكَ لِيْ، وَأَنْ تُرْضِيَنِيْ بِحِصَّتِيْ فِيْمَا قَسَمْتَ لِيْ، وَأَنْ

تَجْعَلَ مَا ذَهَبَ مِنْ جِسْمِيْ وَعُمْرِيْ فِيْ سَبِيْلِ طَاعَتِكَ، إِنَّكَ خَيْرُ الرَّازِقِيْنَ




Frase-frase doa ini dipenuhi oleh argumentasi yang paling kuat atas keberadaan Sang Pencipta Yang Maha Agung. Argumentasi tersebut adalah, bahwa Allah menciptakan manusia dari setetes air yang hina. Setelah itu, Dia meletakkannya di dalam sebuah rahim seorang wanita yang sangat sempit. Kemudian, Dia mengembangkannya dari satu kondisi ke kondisi yang lain hingga manusia itu sampai pada batas kesempurnaannya. Manusia ini adalah salah satu makhluk Allah yang paling agung. Hal itu lantaran makhluk ini memiliki komponen-komponen yang sangat menakjubkan, seperti komponen berpikir, melihat, mendengar, dan lain sebagainya. Hal itu semua membuktikan keberadaan Sang Pencipta Yang Maha Bijaksana.

Doa Imam Zainul Abidin as. ini sebenarnya terilhami oleh ayat Al-Qur'an. Dalam sebuah ayat, Al-Qur'an memaparkan perkembangan penciptaan manusia. Layak disebutkan di sini adalah Al-Qur'an telah memaparkan tata cara penciptaan janin manusia dengan sangat teliti dan memberitahukan hal itu kepada umat manusia.

Syaid Quthub menulis: "Seseorang pasti takjub menyimak pemaparan Al-Qur'an tentang hakikat penciptaan janin manusia. Hakikat ini tidak pernah tersingkap secara mendetail, kecuali akhir-akhir ini setelah cAbâng ilmu pengetahuan embriologi berkembang pesat. Hal itu lantaran sel-sel tulang berbeda dengan sel-sel daging. Telah terbukti (secara medis) bahwa sel-sel tulang adalah sel-sel pertama yang membentuk seorang janin. Tidak satu pun sel daging yang terbentuk melainkan setelah sel-sel tulang itu terbentuk terlebih dahulu dan seluruh bentuk tulang seorang janin telah terbentuk secara sempurna. Realita ini adalah hakikat yang telah ditetapkan oleh ayat Al-Qur'an ...."

Ala kulli hal, setelah Imam Zainul Abidin as. memaparkan nikmat Allah yang sangat besar itu, ia memohon kepada-Nya supaya menyelamatkan dirinya dari godaan setan. Karena, setan ini adalah musuh pertama manusia. Marilah kita simak frase terakhir doanya berikut ini:




اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ نَارٍ تَغَلَّظْتَ بِهَا عَلَى مَنْ عَصَاكَ، وَتَوَعَّدْتَ بِهَا مَنْ صَدَفَ عَنْ رِضَاكَ،

وَمِنْ نَارٍ نُوْرُهَا ظُلْمَةٌ وَهَيِّنُهَا أَلِيْمٌ وَبَعِيْدُهَا قَرِيْبٌ، وَمِنْ نَارٍ يَأْكُلُ بَعْضَهَا بَعْضٌ، وَيَصُوْلُ

بَعْضُهَا عَلَى بَعْضٍ، وَمِنْ نَارٍ تَذَرُ الْعِظَامَ رَمِيْمًا، وَتَسْقِيْ أَهْلَهَا حَمِيْمًا، وَمِنْ نَارٍ لاَ تُبْقِيْ عَلَى

مَنْ تَضَرَّعَ إِلَيْهَا، وَلاَ تَرْحَمُ مَنِ اسْتَعْطَفُهَا، وَلاَ تَقْدِرُ عَلَى التَّخْفِيْفِ عَمَّنْ خَشَعَ لَهَا وَاسْتَسْلَمَ

إِلَيْهَا، تُلْقِيْ سُكَّانَهَا بِأَحَرِّ مَا لَدَيْهَا مِنْ أَلِيْمِ النَّكَالِ وَشَدِيْدِ الْوَبَالِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ

عَقَارِبِهَا الْفَاغِرَةِ أَفْوَاهَهَا، وَحَيَّاتِهَا الصَّالِقَةِ بِأَنْيَابِهَا، وَشَرَابِهَا الَّذِيْ يَقْطَعُ أَمْعَاءَ

وَأَفْئِدَةَ سُكَّانِهَا، وَيَنْزِعُ قُلُوْبَهُمْ، وَأَسْتَهْدِيْكَ لِمَا بَاعَدَ مِنْهَا وَأَخَّرَ عَنْهَا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى

مُحَمَّدٍ وَآلِهِ، وَأَجِرْنِيْ مِنْهَا بِفَضْلِ رَحْمَتِكِ، وَأَقِلْنِيْ عَثْرَتِيْ بِحُسْنِ إِقَالَتِكَ، وَلاَ تَخْذُلْنِيْ يَا

خَيْرَ الْمُجِيْرِيْنَ، اَللَّهُمَّ إِنَّكَ تَقِي الْكَرِيْهَةَ، وَتُعْطِي الْحَسَنَةِ، وَتَفْعَلُ مَا تُرِيْدُ وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ

شَيْئٍ قَدِيْرٌ، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِهِ، إِذَا ذُكِرَ الْأَبْرَارُ، وَصَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِهِ مَا اخْتَلَفَ

اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ، صَلاَةً لاَ يَنْقَطِعُ مَدَدُهَا، وَلاَ يُحْصَى عَدَدُهَا، صَلاَةً تَشْحَنُ الْهَوَاءَ، وَتَمْلَأُ الْأَرْضَ

وَالسَّمَاءَ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ حَتَّى يَرْضَى، وَصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ بَعْدَ الرِّضَى، صَلاَةً لاَ حَدَّ لَهَا وَلاَ

مُنْتَهَى، يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ




Frase-frase doa ini menggambarkan kondisi neraka Jahanam yang sangat menakutkan, neraka Jahanam yang telah disediakan oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya yang durjana dan zalim. Yaitu, mereka yang menebarkan kelaliman dan kerusakan di muka bumi ini. Mereka akan merasakan berbagai ragam azab dan siksa yang sangat mengerikan. Semoga Allah menghindarkan kita darinya.

Dengan ini, usailah pemaparan doa mulia yang selalu dilantunkan oleh Imam Zainul Abidin as. setiap usai mengerjakan salat malam. Doa ini adalah salah satu doa andalan Ahlul Bait as.

Keluarga Imam Zainul Abidin as. merasa khawatir dan takut atas diri dan kehidupannya lantaran terlalu banyak ibadah yang selalu ia lakukan dengan melampaui batas. Oleh karena itu, mereka bergegas menjumpai Jâbir bin Abdillah Al-Anshârî, lantaran Jâbir memiliki kedudukan yang istimewa di sisinya. Fathimah, salah seorang putri Imam Zainul Abidin as., berkata kepada Jâbir: "Hai sahabat Rasulullah, sesungguhnya kami memiliki hak-hak atasmu. Di antara hak-hak tersebut adalah jika salah seorang di antara kami sedang memusnahkan dirinya, hendaknya kamu mengingatkannya supaya ia ingat kepada Allah dan mengajaknya untuk memperhatikan dirinya. Kamu lihat Ali bin Husain, putra semata wayang Al-Husain. Hidungnya telah bengkak dan dahi, kedua lutut, dan kedua telapak tangannya telah mengeras. Hal itu lantaran ia selalu melakukan ibadah."

Jâbir pun bergegas pergi untuk menjumpai Imam Zainul Abidin as. Ia menemukannya sedang berada di dalam mihrab sedang disibukkan oleh ibadah. Ketika Imam Zainul Abidin as. melihat ia datang, ia menyambutnya dengan hangat dan penuh penghormatan. Ia mendudukkan Jâbir di sampingnya sembari menanyakan kondisinya. Jâbir menolah ke arahnya seraya berkata dengan penuh sopan: "Wahai putra Rasulullah, bukankah Anda tahu bahwa surga telah diciptakan untuk Anda dan untuk orang-orang yang mencintai Anda, serta menciptakan neraka untuk orang-orang yang membenci dan memusuhi Anda. Jika demikian, mengapa Anda masih melakukan ibadah mati-matian?"

Imam Zainul Abidin as. menjawab: "Hai sahabat Rasulullah, bukankah kamu tahu bahwa Rasulullah saw. telah diampuni dosa-dosanya, baik yang lalu maupun yang akan datang, tetapi ia tidak pernah meninggalkan seluruh usaha untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan melakukan ibadah-demi ayah dan ibuku-sehingga betis dan telapak kaki ia bengkak? Pada suatu hari, ia pernah ditanya, 'Apakah Anda masih melakukan ini semua, sedangkan Allah telah mengampuni dosa-dosa Anda, baik yang telah lalu maupun yang akan datang?' ia menjawab, 'Tidakkah aku layak menjadi seorang hamba yang bersyukur?'

Ketika Jâbir merasa ucapannya itu tidak dapat mempengaruhi pendirian Imam Zainul Abidin as. tersebut, ia berkata lagi: "Wahai putra Rasulullah, paling tidak Anda perhatikan diri Anda sendiri. Karena, Anda berasal dari sebuah keluarga yang dengan mereka malapetaka ditangguhkan, seluruh obat penawar tersingkap, dan langit mengucurkan air hujan."

Imam Zainul Abidin as. menjawab dengan suara lirih dan menyedihkan: "Aku akan senantiasa mengikuti jejak kedua ayahku sehingga aku menjumpai mereka."

Jâbir takjub (dengan pendiriannya itu). Ia menoleh kepada orang-orang yang hadir di sekitarnya seraya berkata: "Di antara keturunan para nabi, tidak ada orang yang seperti Ali bin Husain, kecuali Yusuf bin Ya'qûb. Demi Allah, keturunan Husain adalah lebih utama daripada keturunan Yusuf bin Ya'qûb. Dari keturunan Husain ini, akan muncul seseorang yang akan memenuhi bumi ini dengan keadilan sebagaimana telah dipenuhi oleh kezaliman."

Ya! Demi Allah, di antara keturunan para nabi, tidak ada seorang pun yang menyamai Imam Ali bin Husain dalam wara', ketakwaan, dan karakter-karakter mulia yang lain. Seperti diberitahukan oleh Jâbir, salah seorang keturunan Husain as. akan muncul untuk memenuhi bumi ini dengan keadilan sebagaimana telah dipenuhi oleh kezaliman. Dia adalah Imam Mahdî afs., sebagaimana pernah diberitahukan oleh Rasulullah saw.

Salah seorang putra Imam Zainul Abidin as. merasa khawatir terhadap ibadah yang selalu ia lakukan secara berlebih-lebihan. Ia bertanya: "Wahai ayahku, mengapa Anda selalu mengerjakan salat?"

Imam Zainul Abidin as. menjawab dengan penuh kasih sayang: "Aku ingin menghaturkan kecintaanku kepada Tuhanku."

Abdul Malik bin Marwân pernah merasa takjub dengan ibadah Imam Zainul Abidin as. yang banyak tak terhingga itu. Hal itu terjadi ketika Abdul Malik datang menjumpainya untuk membebaskan sekelompok muslimin yang telah ditangkap oleh bala tentaranya. Ketika Abdul Malik melihatnya, ia merasa takjub dengan bekas sujud yang terdapat di antara kedua matanya. Ia berkata: "Sungguh jelas bahwa kamu adalah ahli ibadah dan Allah telah menganugerahkan karunia kepadamu. Kamu adalah penggalan tubuh Rasulullah. Nasabmu dengan ia sangatlah dekat dan hubunganmu dengan ia sangatlah kuat. Sungguh kamu memiliki keutamaan yang sangat agung terhadap keluarga dan masyarakat di masamu. Kamu telah diberi anugerah keutamaan, ilmu, agama, dan wara' yang tidak pernah diberikan kepada orang lain yang hidup semasa denganmu dan tidak juga kepada orang-orang sebelummu, kecuali kepada nenek moyangmu."

Abdul Malik terus menyebutkan keutamaan dan karunia agung yang ia miliki. Ketika ucapannya usai, Imam Zainul Abidin as. hanya berkata: "Seluruh keutamaan yang telah kamu sebutkan itu hanya berasal dari anugerah Allah swt., pengukuhan, dan taufik-Nya. Lalu, manakah syukur atas seluruh nikmat ini? Rasulullah saw. senantiasa mengerjakan salat sehingga kedua telapak kakinya bengkak dan berpuasa sehingga mulutnya kering. Ia pernah ditanya, 'Wahai Rasulullah, bukankah Allah telah mengampuni dosa-dosa Anda, baik yang telah lalu maupun yang akan datang?' Ia hanya menjawab, 'Tidakkah aku layak menjadi seorang hamba yang bersyukur?' Segala puji bagi Allah atas segala karunia dan malapetaka yang telah ditimpakan-Nya, serta segala puji bagi-Nya di dunia dan akhirat. Demi Allah, seandainya seluruh anggota tubuhku terpotong-potong dan kedua kelopak mataku jatuh keluar (lantaran banyak melakukan ibadah), niscaya aku belum dapat mensyukuri seperdua puluh nikmat dari seluruh nikmat-Nya; nikmat-nikmat yang tidak dapat dihitung oleh para penghitung dan tak seorang pun dapat mensyukuri satu nikmat pun, meskipun ditambah dengan seluruh puji yang telah dihaturkan oleh para pemuji. Tidak, demi Allah! Aku ingin Allah melihatku tidak disibukkan oleh suatu apapun untuk mensyukuri dan mengingat-Nya, baik di siang hari maupun di malam hari, secara rahasia maupun secara terang-terangan. Seandainya bukan karena hak-hak yang harus kulaksanakan atas keluargaku dan seluruh masyarakat sesuai dengan kemampuan yang kumiliki, niscaya telah kulempar mataku ke langit dan hatiku kepada Allah, lalu aku tidak akan pernah mengambilnya kembali hingga Allah memungut jiwaku. Dan Dia adalah sebaik-baik penguasa (langit dan bumi)."

Lantas, Imam Zainul Abidin as. menangis terisak-isak. Ucapan dan kondisi (spiritual)nya itu telah mempengaruhi hati sang lalim, Abdul Malik. Lalu, Abdul Malik berkata: "Sangatlah berbeda seorang hamba yang hanya mengharapkan akhirat dan mengerahkan seluruh usaha yang dimiliki untuk menggapainya dengan hamba yang hanya menginginkan dunia, sedangkan ia tidak memiliki bagian di akhirat."

Abdul Malik tunduk terhadap seluruh titah Imam Zainul Abidin as. dan bersedia membebaskan sekelompok muslimin (yang telah ditangkapnya) tersebut.

Begitulah, ibadah Imam Ali Zainul Abidin as. menjadi simbol spiritualitas para nabi as. yang sangat indah nan menakjubkan. Ibadah ini menghikayatkan ketaatan, ketakwaan, dan keteguhannya berpegang teguh kepada Allah swt. Ia sangat dalam mencintai-Nya dan sangat tulus dalam menghamba kepada-Nya.




Bersama Para Budak

Salah satu tindakan Imam Zainul Abidin as. yang layak mendapatkan pujian adalah pembebasan para budak dan anugerah kehidupan yang merdeka kepada mereka. Padahal, para budak itu hidup bahagia di bawah naungannya dan ia memperlakukan mereka sebagaimana layaknya anak-anaknya sendiri. Ia selalu memaafkan setiap kesalahan yang telah mereka lakukan. Ketika bulan Ramadhan tiba, ia membebaskan seluruh budak yang ia miliki.

Menurut sebuah, Imam Zainul Abidin as. tidak pernah menghukum budak laki-laki maupun budak wanita yang telah melakukan kesalahan. Ia hanya menulis hari di mana mereka berbuat kesalahan. Jika akhir bulan Ramadhan tiba, ia mengumpulkan seluruh budak itu dan menunjukkan buku catatan dosa-dosa mereka itu. Ia berkata kepada mereka: "Ucapkanlah dengan suara lantang, 'Hai Ali bin Husain, sesungguhnya Tuhanmu telah menghitung seluruh tindakan yang pernah kamu lakukan, sebagaimana kamu telah menghitung seluruh tindakan yang pernah kami lakukan. Di sisi-Nya terdapat sebuah kitab yang mencatat segala sesuatu dengan benar. Kitab ini sedikit pun tidak meninggalkan setiap bentuk perbuatan, baik yang kecil maupun yang besar, kecuali kitab itu pasti menghitungnya. Setiap jiwa akan mendapatkan setiap kelakuannya hadir di hadapan-Nya, sebagaimana kami telah mendapatkan setiap kelakuan kami hadir di hadapanmu. Oleh karena itu, maafkan dan berlapang dadalah terhadap kami, sebagaimana kamu mengharapkan ampunan dari Sang Raja Diraja dan kamu menginginkan supaya Dia mengampunimu. Maka, ampunilah kami, niscaya Tuhanmu akan memaafkanmu, mengasihanimu, dan mengampunimu, sedang Tuhanmu tidak akan pernah menzalimi siapa pun. Sebagaimana juga kamu memiliki sebuah kitab yang mencatat segala tindakan yang telah kami lakukan dengan benar. Kitab itu tidak meninggalkan segala apapun yang telah kami lakukan, baik yang kecil maupun yang besar. Oleh karena itu, ingatlah, hai Ali bin Husain, kedudukanmu yang hina di hadapan Tuhanmu Yang Maha Bijaksana nan Adil; Tuhan yang tidak pernah menzalimi sebiji atom pun dan Dia pasti mendatangkannya pada hari kiamat. Cukuplah Allah sebagai penghitung dan saksi. Maka, maafkan dan berlapang dadalah terhadap kami, niscaya Sang Raja Diraja akan mengampunimu. Dia berfirman, 'Hendaknya mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu?'" (QS. An-Nûr [24]:22)

Imam Ali Zainul Abidin as. mendiktekan ucapan-ucapan tersebut kepada mereka; ucapan-ucapan yang menghikayatkan kepasrahan dan keteguhannya memegang tali Allah. Ia mendiktekan semua itu sambil menangis lantaran takut kepada-Nya sembari berseru lirih: "Wahai Tuhan kami, Engkau telah memerintahkan kami untuk memaafkan orang yang telah menzalimi kami. Kami telah menzalimi diri kami sendiri. Kami telah memaafkan orang yang telah menzalimi kami, seperti telah Engkau perintahkan. Oleh karena itu, ampunilah kami, karena Engkau lebih utama untuk itu daripada kami sendiri dan seluruh hamba yang telah mendapatkan perintah itu. Engkau telah memerintahkan supaya kami jangan menolak peminta yang datang mengetuk pintu rumah kami. Sekarang kami datang kepada-Mu dengan membawa penuh permohonan. Kami telah bersimpuh di haribaan-Mu dan di depan pintu-Mu. Kami memohon anugerah dan karunia-Mu. Oleh karena itu, curahkanlah anugerah atas kami dan janganlah Kamu sia-siakan kami, karena Engkau lebih utama untuk itu daripada kami sendiri dan daripada seluruh hamba yang telah mendapatkan perintah itu. Ya Tuhanku, Engkaulah pemilik karunia. Maka, curahkanlah karunia kepadaku ketika aku memohon kepada-Mu. Dan Engkaulah penebar anugerah. Maka, masukkanlah kami ke dalam golongan penerima karunia-Mu, wahai Dzat Pemberi karunia."

Setelah berkata demikian, ia menghadap ke arah mereka dengan wajah yang dibasahi oleh air mata yang meleleh. Ia berkata dengan penuh santun dan lemah lembut: "Aku telah memaafkanmu sekalian. Apakah kamu juga telah memaafkanku? Jika aku pernah berbuat kesalahan, akulah pemilik kesalahan yang zalim dan hamba Sang Raja Diraja Yang Maha Pemurah, Adil, nan Pemberi karunia."

Jiwa malaikat agung apakah yang menghikayatkan spiritualitas dan karakteristik para nabi ini?

Para budak itu pun berkata: "Kami telah memaafkan Anda, wahai junjungan kami."

Lalu, ia berkata kepada mereka: "Ucapkanlah, 'Ya Allah, ampunilah Ali bin Husain, sebagaimana ia telah memaafkan kami dan bebaskanlah ia dari api neraka, sebagaimana ia telah membebaskan kami dari kebudakan.'"

Setelah mereka mengucapkan itu, ia menimpali: "Ya Allah, Tuhan semesta alam, Amîn! Pergilah kamu semua. Aku telah memaafkan dan membebaskanmu dari kebudakan, karena aku berharap Allah mengampuni dan membebaskanku (dari api neraka)." Ketika hari raya Idul Fitri tiba, ia memberikan hadiah yang berlimpah kepada mereka sehingga mereka tidak perlu meminta-minta lagi dan merasa kecukupan.

Di dalam dunia kaum bertakwa dan orang-orang saleh tidak pernah ditemukan seorang manusia pun seperti imam yang agung ini, baik dalam wara', ketakwaan, maupun ketaatan kepada Allah swt. Ia telah memenuhi seluruh relung kalbunya dengan keimanan dan pengetahuan (yang sempurna) terhadap Allah.




Wasiat kepada Anak Keturunan

Imam Ali Zainul Abidin as. telah membekali putra putrinya dengan wasiat-wasiat yang penuh dengan pendidikan. Seluruh wasiat itu adalah hasil pengalamannya menjalani kehidupan ini dan dapat mereka jadikan sebagai konsep dan prinsip hidup. Berikut ini adalah sebagian wasiatnya tersebut:




1. Wasiat ini telah ia berikan kepada sebagian anak-anaknya. Di dalam wasiat tersebut, ia memaparkan masalah sahabat dan teman. Ia menekankan kepada mereka supaya menjauhi seluruh tipe sahabat yang memiliki karakateristik buruk supaya karakteristik ini tidak menular kepada teman-temannya. Ia berkata: "Hai anak-anakku, camkanlah lima jenis manusia ini dan janganlah kamu mengadakan persahabatan dan berbicara dengan mereka di jalan."

Anaknya bertanya: "Siapakah mereka itu?"

Imam Ali Zainul Abidin as. menjawab: "Janganlah kamu bersahabat dengan seorang pembohong, karena ia bak fatamorgana. Ia akan mendekatkan kepadamu sesuatu yang jauh dan menjauhkan darimu sesuatu yang dekat. Janganlah kamu bersahabat dengan orang fasik, karena ia akan rela menjualmu dengan harga sesuap nasi atau lebih sedikit dari itu. Janganlah kamu bersahabat dengan orang kikir, karena ia akan menutupi hartanya pada saat engkau sangat membutuhkannya. Janganlah kamu bersahabat dengan orang yang tolol, karena ia akan mendatangkan mara bahaya bagimu pada saat ia ingin mendatangkan manfaat bagimu. Dan janganlah kamu bersahabat dengan orang yang memutus tali silaturahmi, karena aku mendapatkannya terlaknat di dalam kitab Allah."

Bersahabat dengan mereka dapat mendatangkan kerugian dan kecelakaan, serta bahaya. Alangkah banyaknya tipe orang-orang seperti ini, baik di zaman dahulu maupun pada masa sekarang ini. Sebaliknya, alangkah langkanya orang-orang suci dan bersih yang bersahabat dengan mereka dapat mendatangkan manfaat.




2. Wasiat berharganya yang lain kepada anak-anaknya adalah berikut ini:

"Wahai anak-anakku, bersabarlah menghadapi malapetaka dan janganlah menginjak-injak hak-hak (orang lain), serta janganlah kamu menerima ajakan saudaramu untuk mengerjakan sesuatu yang bahayanya lebih besar terhadap dirimu daripada manfaatnya."

Imam Zainul Abidin as. berwasiat kepada anaknya untuk bersabar menghadapi malapetaka yang sedang dihadapi dan tidak terhanyut oleh arusnya, karena hal ini dapat mengokohkan jiwa dan mental. Di samping itu, ia juga berwasiat kepadanya untuk tidak menginjak-injak hak-hak orang lain, karena hal itu lebih dapat menjamin keselamatan seseorang dari permusuhan dan pembalasan orang itu. Tidak lupa, ia juga berwasiat kepadanya untuk tidak menerima ajakan seorang sahabat untuk melakukan sesuatu yang dapat mendatangkan kerugian dan bahaya.




Doa untuk Anak Keturunan

Doa Imam Ali Zainul Abidin as. untuk anak-anaknya menggambarkan keagungan dan kemuliaan yang tiada tara. Seluruh doa itu menghikayatkan tata caranya menghadapi mereka dan ketinggian adab atau akhlak mulia yang ia harapkan untuk mereka.

Marilah kita simak bersama peninggalan metode pendidikan Islam yang sangat tinggi nan agung ini.

Imam Zainul Abidin as. berkata: "Wahai anak-anakku, sesungguhnya Allah tidak meridaimu untukku. Maka, Dia mewasiatkanmu kepadaku. Dan Dia meridaiku untukmu. Maka, Dia memberikan peringatan kepadaku tentang dirimu. Ketahuilah, sebaik-baik seorang ayah untuk anak-anaknya adalah ayah yang tidak dipengaruhi oleh rasa cinta untuk mencintai anaknya secara berlebihan. Dan sebaik-baik anak untuk seorang ayah adalah anak yang kesalahan orang tuanya tidak membuat ia durhaka terhadap ayahnya."

Frase-frase ucapan Imam Zainul Abidin as. ini menghikayatkan sampai di mana tata caranya dalam mendidik anak-anaknya. Metode pendidikannya berdiri di atas tonggak pembenahan yang universal dan menyeluruh, serta penyucian jiwa secara mutlak. Ia selalu berdoa untuk mereka berikut ini:

a. Supaya Allah menganugerahkan kesehatan tubuh, agama, dan akhlak yang sempurna kepada mereka.

b. Supaya Allah menyehatkan jiwa dan roh mereka, dan hal itu dengan cara menyucikan jiwa tersebut dari segala kehinaan dan dosa.

c. Supaya Allah melapangkan rezeki-Nya dan tidak menimpakan pahitnya kemiskinan kepada mereka, karena kemiskinan adalah sebuah bencana yang sangat menyedihkan.

d. Supaya Allah menganugerahkan petunjuk kepada mereka untuk menggapai keridaan-Nya sehingga mereka bergegas mengerjakan kebaikan dan melaksanakan segala perintah-Nya.

e. Supaya Allah mencintakan para wali-Nya dan membencikan para musuh-Nya kepada mereka.

Semua itu adalah faktor-faktor yang dapat mengokohkan keharmonisan dan keserasian sebuah keluarga. Jika seorang anak telah terdidik dengan prinsip etika yang tinggi semacam ini, pasti ia menjadi buah mata ayahnya.




Hikmah dan Ajaran

Imam Ali Zainul Abidin as. telah memaparkan banyak hikmah berharga dan ajaran-ajaran yang sangat mulia. Semua itu muncul dari pengetahuannya yang sempurna dan dalam terhadap realita kehidupan, unsur-unsur sosialnya, dan kondisi masyarakat manusia. Berikut ini sebagian hadisnya berkenaan dengan hal ini:




Karakteristik yang Tinggi




Imam Zainul Abidin as. pernah memaparkan sebagian karakter tinggi yang harus dimiliki oleh seorang muslim dan dapat menyempurnakan keislamannya. Ia berkata: "Barang siapa yang memiliki empat hal ini, niscaya Islamnya telah sempurna, dosa-dosanya akan dihapus, dan ia akan berjumpa dengan Tuhannya sedangkan Dia rida terhadapnya: orang yang menepati janjinya kepada orang lain karena Allah, orang yang lidahnya jujur terhadap orang lain, orang yang merasa malu terhadap segala keburukan, baik di hadapan Allah maupun di hadapan manusia, dan orang yang beretika baik terhadap keluarganya."

Orang yang telah memiliki karakter-karakter ini adalah mukmin sejati; imannya telah sempurna dan ia akan berjumpa dengan Allah, sedangkan Dia rida terhadapnya.




Tanda-Tanda Orang Mukmin




Imam Ali Zainul Abidin as. pernah berkata: "Tanda-tanda seorang mukmin adalah lima hal."

Thâwûs Al-Yamânî bertanya: "Wahai putra Rasulullah, apakah tanda-tanda itu?"

Imam Zainul Abidin as. menjawab: "Wara' ketika sendirian, bersedekah pada saat kekurangan, sabar menghadapi musibah, tabah pada saat marah, dan bersedekah pada saat takut."

Kelima karakter ini menunjukkan bahwa penyandangnya adalah orang mukmin dan termasuk hamba Allah yang hatinya dipenuhi oleh ketakwaan.




Tutur Kata yang Baik




Imam Ali Zainul Abidin as. senantiasa mengajak para sahabatnya untuk bertutur kata yang baik terhadap orang lain, dan ia menjelaskan manfaat-manfaat tutur kata yang baik itu. Ia berkata: "Tutur kata yang baik dapat menumbuhkan harta, melapangkan rezeki, menunda ajal, membawa kecintaan kepada keluarga, dan memasukkan (kita) ke dalam surga ...."

Pesannya di atas menjelaskan manfaat-manfaat tutur kata yang baik. Di antaranya adalah berikut ini:

a. Tutur kata yang baik dapat menyebabkan harta mengalir dan rezeki lapang. Hal itu nampak jelas bagi para ahli bisnis dan pedagang. Masyarakat hanya akan melakukan transaksi jual beli dengan pedagang yang menghadapi mereka dengan tutur kata dan ucapan yang baik. Dan sangat lumrah sekali bahwa tutur kata yang baik ini pasti dapat mendatangkan in-come yang melimpah bagi pedagang itu. Sebaliknya, naluri masyarakat sangat membenci orang yang bertutur kata buruk dan berakhlak jelek, suatu tindakan yang dapat menyebabkan barang dagangannya tidak laku dan rezekinya macet.

b. Tutur kata yang baik dapat menunda ajal. Hal ini terjadi pada saat ia menyingkirkan sebuah kezaliman dari wajah seorang mukmin atau mendatangkan manfaat baginya. Oleh karena itu, Allah pasti membalas pemilik tutur kata yang baik itu dengan menambah usianya di dunia dan menganugerahkan pahala yang besar di akhirat.

c. Tutur kata yang baik dapat menjadikan penuturnya dimuliakan dan dicintai oleh keluarga dan masyarakat. Hal itu lantaran setiap naluri akan memihak kepada orang yang memiliki tutur kata yang baik.

d. Tutur kata yang baik dapat menyebabkan kita masuk surga. Hal ini ketika tutur kata yang baik itu dapat mendamaikan dua saudara yang sedang bertengkar dan melakukan amar makruh dan nahi mungkar.




Penyelamat Mukmin




Ketika menuturkan hal-hal yang dapat menyelamatkan seorang mukmin, Imam Ali Zainul Abidin as. berkata: "Ada tiga hal yang dapat menyelamatkan seorang mukmin: menahan lisan dari membicarakan dan menggunjing orang lain, menyibukkan diri dengan sesuatu yang bermanfaat bagi dunia dan akhiratnya, dan menangis panjang (menyesali) kesalahannya."




Syahadah

Begitulah Imam Ali Zainul Abidin as. adalah seorang figur yang tak ada duanya dalam sulûk, ibadah, dan seluruh perbuatan baik. Ia telah berhasil menempati lubuk hati dan naluri masyarakat luas. Mereka sangat mengagungkannya. Realita ini sangat pahit bagi Bani Umayyah yang hati mereka telah dipenuhi oleh rasa iri dengki terhadap Ahlul Bait as. Salah seorang yang sangat dengki terhadapnya adalah Walîd bin Abdul Malik. Az-Zuhrî meriwayatkan bahwa Walîd pernah berkata: "Aku tidak pernah tenang selama Ali bin Husain masih hidup di dunia ini." Ketika berhasil memegang tampuk kekuasaan, ia mengambil keputusan untuk membunuhnya. Oleh karena itu, ia membubuhkan racun membunuh ke dalam makanannya melalui perantara gubernurnya untuk Yatsrib. Ketika Imam Zainul Abidin as. memakan makanan tersebut, tidak lama ia bertahan dan ajal pun datang menjemputnya. Hal itu lantaran tubuhnya sudah lemah karena banyak beribadah. Ucapan terakhir yang ia ucapkan adalah: "Segala puji bagi Allah yang telah membenarkan janji-Nya untuk kita dan mewariskan surga kepada kita. Kita bertempat tinggal di dalamnya di manapun kita kehendaki. Semua itu adalah sebaik-baik pahala bagi orang-orang yang bertindak."

Roh Imam Zainul Abidin as. yang agung terbang menuju surga yang abadi setelah berhasil menerangi cakrawala dunia ini.

Salam atasnya pada hari ia dilahirkan, pada hari ia meneguk cawan syahadah, dan pada hari ia dibangkitkan hidup kembali.




Catatan Kaki:

Ash-Shirâth As-Sawî fi Manâqib ?l An-Nabi saw., hal. 192.

Tahdzîb At-Tahdzîb, jilid 7, hal. 306; Syadzarât Adz-Dzahab, jilid 1, hal. 104. Di dalam buku ini ditegaskan: "Imam Ali disebut Zainul Abidin lantaran ibadahnya yang sangat banyak."

Shubh Al-A'syâ, jilid 1, hal. 452; Bahr Al-Ansâb, lembaran ke-25; Tuhfah Ar-Râghib, hal. 13; Al-Adhdâd fi Kalâm Al-'Arab, jilid 1, hal. 129; Tsimâr Al-Qulûb, hal. 291. Di dalam buku ini ditegaskan: "Ali bin Husain dan Ali bin Abdillah bin Abbas masing-masing mendapatkan julukan Dzuts Tsafanât. Hal itu lantaran anggota-anggota sujud mereka mengeras seperti lutut unta. Dan itu dikarenakan salat mereka yang tak terhingga."

'Ilal Asy-Syarâ'i', hal. 88; Bihâr Al-Anwâr, jilid 46, hal. 6; Wasâ'il Asy-Syi'ah, jilid 4, hal. 977.

'Ilal Asy-Syarâ'i', hal. 88.

Wasâ'il Asy-Syi'ah, jilid 4, hal. 977; 'Ilal Asy-Syarâ'i', hal. 88.

Al-Fushûl Al-Muhimmah, karya Ibn Ash-Shabbagh, hal. 187; Bahr Al-Ansâb, lembaran ke-25; Nûr Al-Abshâr, hal. 137.

Al-Kâmil, karya Al-Mubarrad, jilid 1, hal. 222; Wafayât Al-A'yân, jilid 2, hal. 429.

Târîkh Al-Ya'qûbî, jilid 3, hal. 46.

Tahdzîb Al-Akhlâq, hal. 19.

Târîkh Dimasyq, jilid 36, hal. 155; Nihâyah Al-Arab, jilid 21, hal. 326. Ayat tersebut terdapat di dalam surah Ali 'Imran, ayat 134.

( ) Bihâr Al-Anwâr, jilid 46, hal. 96.

Gelar ini diberikan oleh Khalifah Kedua kepada Mu'âwiyah.

Al-Imam Zainul Abidin, karya Al-Muqarram, hal. 19.

Hilyah Al-Awliyâ', jilid 3, hal. 138.

Ad-Durr An-Nazhîm, hal. 173.

Al-Imam Zaid, karya Abu Zuhrah, hal. 34.

Nâsikh At-Tawârîkh, jilid 1, hal. 13.

Amâlî Ash-Shadûq, hal. 453.

Al-Bidâyah wa An-Nihâyah, jilid 9, hal. 105; Siyar A'lâm An-Nubalâ', jilid 4, hal. 239; Târîkh Al-Islam, jilid 2, hal. 266; Al-Hilyah, jilid 3, hal. 141.

Târîkh Al-Ya'qûbî, jilid 3, hal. 6.

Tahdzîb Al-Lughât wa Al-Asmâ', hal. 343.

Bihâr Al-Anwâr, jilid 46, hal. 88.

Al-Hilyah, jilid 3, hal. 137.

Shafwah Ah-Shafwah, jilid 2, hal. 53.

Bihâr Al-Anwâr, jilid 46, hal. 62.

Bihâr Al-Anwâr, jilid 46, hal. 62. Mirip dengan kandungan riwayat tersebut, riwayat yang terdapat dalam buku Dâ'irah Al-Ma'ârif, karya Al-Bustânî, jilid 9, hal. 355.

Wasâ'il Asy-Syi'ah, jilid 6, hal. 138.

Al-Kâfî, jilid 4, hal. 15.

Wasâ'il Asy-Syi'ah, jilid 6, hal. 296.

Târîkh Dimasyq, jilid 36, hal. 161.

Nâsikh At-Tawârîkh, jilid 1, hal. 67.

Bihâr Al-Anwâr, jilid 46, hal. 89.

Al-Mahâsin, karya Al-Barqi, hal. 547; Furû' Al-Kâfî, jilid 6, hal. 350.

Khulâshah Tahdzîb Al-Kamâl, hal. 231; Al-Hilyah, jilid 3, hal. 140; Jamharah Al-Awliyâ', jilid 2, hal. 71; Al-Bidâyah wa An-Nihâyah, jilid 9, hal. 105; Ath-Thabaqât, karya Ibn Sa'd, jilid 5, hal. 19.

Tadzkirah Al-Huffâzh, jilid 1, hal. 75; Akhbâr Ad-Duwal, hal. 110; Nihâyah Al-Arab fi Funûn Al-Adab, jilid 21, hal. 326.

Bihâr Al-Anwâr, jilid 46, hal. 89.

Ibid., hal. 100.

Shifah Ash-Shafwah, jilid 2, hal. 54; Al-Ithâf bi Hubb Al-Asyrâf, hal. 49.

Al-Aghânî, jilid 15, hal. 326.

Bihâr Al-Anwâr, jilid 46, hal. 62.

Ibid.

Târîkh Al-Ya'qûbî, jilid 3, hal. 45.

Adz-Dzarî'ah fi Tashânîf Asy-Syi'ah, jilid 15, hal. 18.

Tafsir Al-'Askarî, hal. 132.

Shifah Ash-Shafwah, jilid 2, hal. 53; Syadzarât Adz-Dzahab, jilid 1, hal. 105; Al-Hilyah, jilid 3, hal. 134; Al-Bidâyah wa An-Nihâyah, jilid 9, hal. 105; Durar Al-Abkâr, lembaran ke-70.

Al-Kawâkib Ad-Durriyah, jilid 2, hal. 139.

Al-Khishâl, hal. 488.

Durar Al-Abkâr, lembaran ke-70; Nihâyah Al-Arab, jilid 21, hal. 326; Siyar A'lâm An-Nubalâ', jilid 4, hal. 238; Al-Ithâf bi Hubb Al-Asyrâf, hal. 49; Akhbâr Ad-Duwal, hal. 109.

Shifah Ash-Shafwah, jilid 2, hal. 53.

Wasîlah Al-Ma'âl, lembaran ke-207; Siyar A'lâm An-Nubalâ', jilid 4, hal. 38; Shifah Ash-Shafwah, jilid 2, hal. 52; Hilyah Al-Awliyâ', jilid 3, hal. 132; Al-'Iqd Al-Farîd, jilid 3, hal. 103.

Bihâr Al-Anwâr, jilid 46, hal. 58.

Ibid., hal. 108.

Wasâ'il Asy-Syi'ah, jilid 4, hal. 685.

Tahdzîb Al-Ahkâm, jilid 2, hal. 286; Bihâr Al-Anwâr, jilid 46, hal. 79.

Bihâr Al-Anwâr, jilid 46, hal. 108.

'Ilal Asy-Syarâ'i', hal. 88; Bihâr Al-Anwâr, jilid 46, hal. 61; Wasâ'il Asy-Syi'ah, jilid 4, hal. 688.

Akhbâr Ad-Duwal, hal. 110; Bihâr Al-Anwâr, jilid 46, hal. 99.

Shifah Ash-Shafwah, jilid 2, hal. 52; Al-Muntazhim 6, lembaran ke-141; Nihâyah Al-Arab, jilid 21, hal. 325; Siyar A'lâm An-Nubalâ', jilid 4, hal. 238.

Ar-Risâlah Al-Qusyairiyah, jilid 1, hal. 214.

Tahdzîb At-Tahdzîb, jilid 7, hal. 307; Nûr Al-Abshâr, hal. 136; Al-Ithâf bi Hubb Al-Asyrâf, hal. 49; Tadzkirah Al-Huffâzh, jilid 1, hal. 71; Syadzarât Adz-Dzahab, jilid 1, hal. 104; Al-Fushûl Al-Muhimmah, hal. 188; Akhbâr Ad-Duwal, hal. 110; Târîkh Dimasyq, jilid 36, hal. 151; Ash-Shirâth As-Sawi, lembaran ke-193; Iqâmah Al-Hujjah, hal. 171; Al-'Ibar fi Khabar Man Ghabar, jilid 1, hal. 111; Dâ'irah Al-Ma'ârif, karya Al-Bustani, jilid 9, hal. 355; Târîkh Al-Ya'qûbî, jilid 3, hal. 45; Al-Muntazhim 6, lembaran ke-143; Târîkh Al-Islam, karya Adz-Dzahabî; Al-Kawâkib Ad-Durriyah, jilid 2, hal. 131; Al-Bidâyah wa An-Nihâyah, jilid 9, hal. 105.

Bihâr Al-Anwâr, jilid 46, hal. 61; Al-Khishâl, hal. 487.

Al-Khishâl, hal. 488.

Shifah Ash-Shafwah, jilid 2, hal. 53.

Wasâ'il Asy-Syi'ah, jilid 4, hal. 981.

Ibid., hal. 1079.

Ad-Da'awât, karya Quthb Ar-Râwandi, hal. 34.

Shifah Ash-Shafwah, jilid 2, hal. 53; Kasyf Al-Ghummah, jilid 2, hal. 263.

Ash-Shahîfah As-Sajjâdiyah, doa ke-32.

Fî Zhilâl Al-Qur'an, jilid 17, hal. 16.

Hayâh Al-Imam Ali bin Al-Husain as., jilid 1, hal. 200-201.

Bihâr Al-Anwâr, jilid 46, hal. 91.

Hayâh Al-Imam Ali Zainul Abidin as., jilid 1, hal. 201-202.

Ibid., hal. 209-211.

Tuhaf Al-'Uqûl, hal. 279; Al-Bidâyah wa An-Nihâyah, jilid 9, hal. 106.

Al-Bayân wa At-Tibyân, jilid 2, hal. 76; Al-'Iqd Al-Farîd, jilid 3, hal. 88.

Al-'Iqd Al-Farîd, jilid 3, hal. 89.

Al-Khishâl, hal. 203.

Ibid., hal. 245.

Wasâ'il Asy-Syi'ah, jilid 5, hal. 531; Al-Khishâl, hal. 289.

Ad-Durr An-Nazhîm, hal. 174.

Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Baqir as., jilid 1, hal. 51.

Nûr Al-Abshâr, hal. 129; Al-Fushûl Al-Muhimmah, karya Ibn Al-Bustânî, hal. 233; Al-Ithâf bi Hubb Al-Asyrâf, hal. 52; Ash-Shawâ'iq Al-Muhriqah, hal. 53; Jadwal Al-Mishbâh, karya Al-Kaf'amî, hal. 276.

Al-Khishâl, hal. 185; Al-Amâlî, hal. 161.





9


Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.




IMAM MUHAMMAD Al-BAQIR

Imam Muhammad Al-Bâqir as. adalah salah satu tonggak para imam Ahlul Bait as. yang telah dipilih oleh Allah swt. untuk merealisasikan risalah-Nya dan mengistimewakan mereka dengan menjadi washî Nabi-Nya.

Imam yang satu ini telah melakukan peran positif dan isitimewa dalam mewujudkan kultur Islam dan membangun gebrakan ilmiah di seantero dunia Islam. Dan hal ini terwujud pada saat stagnansi intelektual telah mendominasi seluruh penjuru negara Islam dan tidak pernah terjadi sebuah revolusi ilmiah pada periode itu. Ya, pada masa itu umat (Islam) telah menyaksikan banyak revolusi yang terjadi silih berganti dan pemberontakan-pemberontakan massa yang sumber utama penyulutnya-pada satu kesempatan-adalah keinginan untuk membebaskan diri dari kezaliman dan kelaliman para penguasa dinasti Bani Umayyah dan-pada kesempatan yang lain-rasa tamak untuk berkuasa dan menguasai kekayaan negara. Dalam pada itu, semangat revolusi ilmiah telah dilupakan secara total dan tidak pernah mendapatkan perhatian sedikit pun dalam gemercik kehidupan masyarakat umum.

Imam Muhammad Al-Bâqir as. menjadikan gebrakan ilmiah sebagai tujuan langkahnya. Ia mengangkat menaranya, menegakkan pilar-pilarnya, dan membentuk pondasi-pondasinya. Dengan demikian, ia adalah pemimpin dan pengajar umat ini dalam meniti perjalanan kebudayaannya. Ia telah berhasil membuka langkah-langkah yang luas dalam bidang ilmu pengetahuan. Di antara bidang-bidang ilmu pengetahuan yang telah berhasil ia buka pada masa itu adalah ilmu ruang angkasa dan astronomi-yang pada masa itu masih merupakan ilmu pengetahuan yang masih misterius. Ia adalah founder bidang ilmu pengetahuan ini.

Di antara ilmu-ilmu pengetahuan terpenting yang telah mendapatkan perhatian (khusus) Imam Muhammad Al-Bâqir as. adalah penyebaran ilmu Fiqih Islam yang bermuara dari (ajaran) Ahlul Bait as. dan memuat ruh dan substansi agama Islam. Ia telah berusaha sekuat tenaga untuk menghidupkan ilmu yang satu ini dan menegakkan tonggak dan pondasi-pondasinya. Para fuqaha tersohor dan kenamaan berkumpul di sekeliling (lilin)nya, seperti Abân bin Taghlib, Muhammad bin Muslim, Buraid, Abu Bashîr, Fadhl bin Yasâr, Ma'rûf bin Khurbuz, Zurârah bin A'yun, dan lain-lainnya-yang para perawi hadis sepakat untuk membenarkan mereka dan mengakui kejeniusan mereka, serta keutamaan menulis hadis-hadis Ahlul Bait as. telah dimiliki oleh para fuqaha tersebut. Seandainya mereka tidak ada, niscaya harta peninggalan ilmu Fiqih-yang menjadi kebanggaan dunia Islam-tersebut akan musnah tak berbekas.

Sesuatu yang menjadi kebanggaan dan kemuliaan dalam sejarah hidup imam yang satu ini adalah, bahwa ia telah berhasil mendidik para fuqaha tersebut seperti putra-putranya sendiri. Ia menyiarkan keutamaan mereka secara terang-terangan, memperkuat pusat kegiatan mereka, dan menyuruh seluruh umat untuk mengikuti pendapat dan fatwa-fatwa mereka. Ia pernah berkata kepada Abân bin Taghlib: "Duduklah di masjid Madinah dan berikanlah fatwa kepada masyarakat. Karena, aku ingin ada salah seorang sepertimu di kalangan Syi'ahku yang dikenal ...."

Imam Muhammad Al-Bâqir as. menjamin nafkah kehidupan para fuqaha tersebut dan mencukupi segala kebutuhan ekonomi mereka supaya mereka dapat meMûsâtkan konsentrasi untuk menimba ilmu, menegakkan tonggak-tonggaknya, dan menyusun pondasi-pondasinya. Ketika ia harus meninggalkan dunia ini, ia berwasiat kepada putranya, Imam Ja'far Ash-Shâdiq as. untuk memperhatikan dan menjamin nafkah kehidupan mereka supaya mereka tidak disibukkan oleh kebutuhan ekonomi sehingga mereka tidak terhambat untuk meneruskan menimba ilmu dan menyebarkannya di tengah-tengah masyarakat.

Para fuqaha ini telah melaksanakan peran mereka dengan membukukan segala hadis yang telah mereka dengarkan dari Imam as. dan mengajarkannya kepada delegasi-delegasi ilmiah (yang datang ke kota mereka). Salah seorang murid ia yang bernama Jâbir bin Yazîd Al-Ju'fî telah meriwayatkan tujuh puluh ribu hadis darinya. Mayoritas hadis yang telah diriwayatkannya itu berkisar pada bidang ilmu Fiqih. Sebagaimana murid lain ia yang bernama Abân bin Taghlib telah meriwayatkan banyak hadis yang tak terkira jumlahnya. Buku-buku referensi Hadis dan Fiqih telah memuat banyak hukum yang berhubungan dengan masalah ibadah, akad, dan îqâ' yang telah diriwayatkan darinya. Atas dasar ini, sudah selayaknya apabila ia disebut sebagai pendiri dan penyebar Fiqih Ahlul Bait as.

Berkenaan dengan bidang ilmu Tafsir Al-Qur'an, Imam Muhammad Al-Bâqir as. telah memberikan perhatian yang sangat serius. Ia mengkhususkan waktu khusus untuk itu. Para mufasir telah banyak belajar darinya. Mereka telah membukukan hadis-hadis yang telah diriwayatkan dari nenek moyangnya tentang tafsir sebagian ayat-ayat kitab yang mulia ini. Ia pernah menulis sebuah buku khusus tentang tafsir Al-Qur'an. Buku ini diriwayatkan oleh Ziyâd bin Mundzir, tokoh utama aliran Al-Jârudiyyah. Dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Bâqir as. (Biografi Imam Muhammad Al-Bâqir), kami telah memaparkan beberapa ayat telah ditafsirkan olehnya sendiri.

Dalam sebagian hadis-hadisnya, Imam Muhammad Al-Bâqir as. memaparkan sejarah hidup para nabi as. dan tekanan-tekanan yang telah menimpa mereka dari para Fir'aun pada masa mereka, serta hikmah, nasihat, dan adab sopan santun yang pernah diriwayatkan dari mereka. Sebagaimana juga ia menjelaskan secara sempurna sejarah kehidupan Nabi saw. seperti telah diriwayatkan oleh Ibn Hisyâm, Al-Wâqidî, Al-Halabî, dan para penulis sejarah dan kisah-kisah peperangannya yang lain. Di samping itu, banyak juga hadis dan riwayat yang telah diriwayatkan darinya tentang etika, akhlak, dan amal-amal yang bajik.

Layak disebutkan di sini bahwa Imam Muhammad Al-Bâqir as. pernah mengadakan dialog dengan beberapa tokoh dan ulama dari kalangan pengikut agama Kristen, Azâriqah, kaum Ateis, dan para Ghulat. Ia keluar sebagai pemenang dalam dialog tersebut. Para lawan mengakui kemampuan ilmiah dan keunggulannya atas diri mereka. Kami telah menyebutkan kisah ini dalam buku kami, Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Bâqir as.

Ala kulli hal, sejarah tidak pernah mengenal seorang imam dan pemimpin seperti Muhammad Al-Bâqir as. Ia telah mewakafkan seluruh hidupnya untuk menyebarkan ilmu pengetahuan dan menebarkannya di tengah-tengah masyarakat. Ia-seperti diakui oleh para perawi hadis-telah mendirikan sekolahnya yang agung di Yatsrib (Madinah Al-Munawarah sekarang-pen.). Sekolah ini telah berhasil membekali para ilmuwan dengan ilmu Fiqih, Hadis, Filsafat, Teologi, dan Tafsir Al-Qur'an.

Suatu tindakan yang sangat penting dalam sejarah kehidupan Imam Abu Ja'far as. ini adalah ia telah berhasil membebaskan mata uang Islam dari dominasi Imperium Romawi. Mata uang Islam ini sebelumnya dicetak di dalam negara Imperium Romawi dan memuat syiar-syiarnya. Faktor yang memaksa Imam Al-Bâqir untuk bertindak demikian-seperti diceritakan oleh para perawi hadis-adalah sebagai berikut:

Abdul Malik melihat secarik mata uang kertas yang telah dicetak di Mesir. Ia memerintahkan supaya (tulisan yang terdapat di atas) mata uang itu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Terjemahan tulisan itu memuat syiar agama Kristen "Tuhan Bapak, Tuhan Anak, dan Ruhul Kudus". Ia menolak sikap ini. Lantas, ia menulis sepucuk surat kepada gubernurnya di Mesir, Abdul Aziz bin Marwan supaya menon-aktifkan seluruh mata uang itu. Sebagai gantinya, mata uang yang ada hendaknya dibubuhi syiar Tauhid "Tiada tuhan selain Dia". Ia juga menulis surat keputusan resmi kepada seluruh gubernur wilayah kekuasaannya untuk membatalkan setiap mata uang kertas yang telah dibubuhi stempel Imperium Romawi dan menyiksa setiap orang yang ditemukan memiliki mata uang tersebut. Para juru tulis negara menulis surat keputusan resmi negara tersebut dan surat-surat resmi itu tersebar di seantero negara Islam.

Raja Imperium Romawi bak kebakaran jenggot ketika mengetahui hal itu. Ia menulis surat kepada Abdul Malik memohon supaya mata uang yang telah dicetak itu difungsikan kembali. Ia menyertakan hadiah (yang berlimpah) dengan suratnya itu. Ketika surat itu sampai di tangan Abdul Malik, ia memerintahkan supaya hadiah itu dikembalikan dan ia juga tidak menjawab suratnya. Raja Romawi melipatgandakan hadiahnya, dan menulis surat kepadanya untuk yang kedua kali seraya memohon supaya mata uang-mata uang kertas itu difungsikan kembali. Abdul Malik tidak menjawab suratnya dan mengembalikan hadiah tersebut. Kali ini, Raja Romawi menulis surat kepadanya seraya mengancam untuk membubuhkan celaan terhadap Rasulullah saw. di atas mata uang dinar dan dirham. Abdul Malik pun merasa ketakutan. Ia mengumpulkan seluruh orang-orang dekatnya dan menceritakan ancaman Raja Romawi tersebut.

Ruh bin Zanba' berkata: "Sesungguhnya engkau mengetahui jalan keluar dari problema ini. Akan tetapi, engkau sengaja tidak menghiraukannya."

Abdul Malik bertanya: "Celaka engkau! Apakah itu?"

Ia menjawab: "Hendaknya engkau meminta pendapat Al-Bâqir dari Ahlul Bait Nabi saw."

Abdul Malik menerima usulannya. Ia menulis surat kepada gubernurnya untuk Yatsrib supaya menghadirkan Imam Al-Bâqir as. ke istananya dan memperlakukannya dengan segala hormat. Ia juga memerintahkan supaya gubernur Yatsrib menyiapkan perlengkapan dan keperluan perjalanan ia dengan biaya sebesar seratus ribu dirham dan membekali ia dengan nafkah sebesar tiga ratus ribu dirham. Gubernur Yatsrib melaksanakan segala titak Abdul Malik.

Imam Muhammad Al-Bâqir as. keluar dari Madinah menuju Damaskus. Ketika sampai di Damaskus, ia disambut oleh Abdul Malik dengan penyambutan resmi negara dan memperlakukannya dengan penuh hormat. Setelah itu, ia menceritakan problema negara yang sedang dihadapinya.

Imam Al-Bâqir as. berkata kepadanya: "Jangan sampai problema ini memberatkanmu. Karena problema ini tidak seberapa beratnya dari dua sisi: pertama, sesungguhnya Allah 'Azza Wajalla tidak akan membiarkan ancaman yang telah dilontarkan oleh Raja Romawi itu, dan kedua, karena masih ada jalan keluar dan solusi untuk itu."

Abdul Malik bergegas bertanya: "Apakah jalan keluar dan solusi itu?"

Imam Muhammad Al-Bâqir as. menjawab: "Pada saat ini juga, panggilah ahli-ahli pencetak uangmu. Perintahkanlah mereka untuk mencetak mata uang dinar dan dirham di hadapanmu. Bubuhkanlah surah Tauhid di satu sisi mata uang itu dan nama Rasulullah saw. di sisi mata uang yang lain. Tuliskanlah negara tempat mata uang itu dicetak dan tahun pencetakannya di pinggiran mata uang dirham dan dinar tersebut."

Imam Muhammad Al-Bâqir as. mengajarkan kepadanya bagaimana mata uang itu harus dicetak. Setelah itu usai, ia memerintahkan supaya seluruh transaksi di seluruh antero negara Islam dilakukan dengan menggunakan mata uang tersebut. Di samping itu, ia juga memerintahkan supaya mata uang pertama yang pernah berlaku supaya dibatalkan dan orang-orang yang masih menggunakan dalam suatu transaksi supaya dihukum sekeras-kerasnya. Abdul Malik menyetujui keputusan Imam Al-Bâqir tersebut.

Ketika Raja Romawi mengetahui hal itu, ia menjadi lemah lunglai dan segala usahanya sia-sia bak diterpa angin topan. Mata uang pertama yang pernah berlaku pun dibatalkan dan seluruh transaksi dilakukan dengan menggunakan mata uang yang telah ditentukan oleh Imam Al-Bâqir as. itu. Mata uang ini terus berlaku aktif hingga masa kekuasaan dinasti Bani Abbâsiyah.

Dunia Islam telah berutang budi kepada Imam Abu Ja'far as. lantaran tindakannya telah menyelamatkannya dari mengekor kepada mata uang Imperium Romawi dan menjadikan negara ini independen berdiri sendiri. Akhirnya, mata uangnya bisa dicetak di dalam negeri muslimin dan memuat syiar-syiar Islami.

Sebelum kami menutup lembaran halaman sejarah kehidupan Imam Abu Ja'far Al-Bâqir as., kami ingin memaparkan sebagian karakter dan etikanya yang telah menjadikan kebanggaan dan kemuliaan tersendiri bagi dunia Islam.




Kesabaran (Al-Hilm)

Kesabaran adalah karakter dan akhlak Imam Abu Ja'far as. yang paling nyata. Para penulis biografinya sepakat bahwa ia tidak pernah berbuat jelek terhadap orang yang telah menzalimi dan melaliminya. Tetapi, sebaliknya ia malah memperlakukannya dengan penuh maaf dan kebajikan. Para ahli sejarah telah meriwayatkan gambaran yang beraneka ragam tentang kesabarannya ini.

Di antara manifestasi kesabaran Imam Muhammad Al-Bâqir as. adalah kisah berikut ini:

Ada seorang penduduk Syam yang sering menghadiri majelis pertemuan Imam Al-Bâqir dan mendengarkan ceramah-ceramahnya dengan seksama. Ia merasa tertarik dengan seluruh ucapan Imam Al-Bâqir. Pada suatu hari, ia menghadap kepada Imam Al-Bâqir dengan wajah yang masam seraya berkata: "Hai Muhammad, aku selalu menghadiri majelismu bukan lantaran aku mencintaimu dan juga bukan karena keyakinanku bahwa ada orang lain yang lebih kubenci dari kamu sekalian, Ahlul Bait. Aku meyakini bahwa ketaatan kepada Allah dan Amirul Mukminin tersembunyi di dalam kebencian kepadamu. Akan tetapi, aku (selalu mendatangi majelismu) lantaran aku melihat engkau adalah seorang yang fasih berbicara. Engkau memiliki adab sopan santun dan ucapan-ucapan yang indah menawan. Aku sering mengunjungimu hanya karena sopan santunmu."

Imam Al-Bâqir as. menoleh kepadanya dengan penuh kasih sayang dan kelemah-lembutan. Ia menghadap kepadanya dengan penuh kecintaan dan kebajikan. Ia mencurahkan segala kebajikan dan kebaikan kepadanya sehingga orang Syam itu menjadi berpikiran lurus dan kebenaran menjadi nyata baginya. Kebenciannya kepada Imam Al-Bâqir as. telah berubah menjadi kecintaan yang kokoh kepadanya. Orang Syam itu senantiasa berpegang teguh kepada kecintaan tersebut sehingga ajal menjemputnya. Ia berwasiat supaya Imam Al-Bâqir as. menyalati jenazah dirinya.

Imam Muhammad Al-Bâqir as. telah mewarisi kakeknya, Rasulullah saw., untuk karakter ini. Dengan ketinggian akhlaknya, Rasulullah saw. telah berhasil mempersatukan hati-hati yang berbeda, menyatukan berbagai naluri yang beraneka ragam, dan mengumpulkan umat manusia dalam kalimat Tauhid.




Ketabahan (Ash-Shabr)

Ketabahan atas seluruh cobaan dan musibah dunia adalah salah satu unsur kepribadian dan substansi diri Imam Al-Bâqir as. Ia tabah menghadapi musibah yang lebih pedih dari sayatan pedang. Ia tabah menghadapi pelecehan penguasa terhadap nenek moyangnya dan cercaan atas mereka di atas mimbar-mimbar masjid, sedangkan ia mendengar semua itu dan tidak memungkinkan baginya untuk angkat bicara. Ia pun tabah menghadapinya dan memendam amarah, serta menyerahkan seluruh urusannya kepada Allah swt., karena Dia-lah yang akan menghukumi seluruh hamba-Nya dengan benar.

Di antara ujian-ujian berat yang telah dilalui oleh Imam Al-Bâqir as. dengan penuh ketabahan adalah pembantaian mengerikan yang telah dilakukan oleh penguasa terhadap para pengikut Ahlul Bait as. Ada sebagian mereka yang dicongkel matanya, ada yang dipotong tangannya, dan ada juga yang dibunuh hanya dengan sekedar tuduhan belaka. Sementara itu, ia tidak memiliki kemampuan untuk menolong dan menyelamatkan mereka dari seluruh musibah dan cobaan yang sedang mereka hadapi itu.

Di antara contoh-contoh ketabahan Imam Al-Bâqir as. adalah dua kisah berikut ini:

(Pertama), pada suatu hari ia sedang duduk-duduk bersama para sahabatnya. Tiba-tiba ia mendengar suara jeritan dari dalam rumah. Sebagian sahabat bergegas menuju ke dalam rumah. Lalu, ia membisikkan kepadanya bahwa seorang sahayanya sedang menggendong seorang bayi dan bayi itu jatuh dari gendongannya. Bayi itu meninggal dunia seketika itu juga.

Imam Al-Bâqir as. berseru: "Segala puji bagi Allah atas segala pemberian-Nya, dan hanya bagi-Nyalah apa yang telah diambil oleh-Nya. Cegahlah mereka dari menangis, siapkanlah acara pemakamannya, dan mintalah kepada mereka untuk tenang. Katakanlah kepada sahaya itu, 'Engkau telah bebas karena Allah, lantaran wara' yang ada dalam dirimu.'"

Setelah berkata demikian, Imam Al-Bâqir as. melanjutkan pembicaraan dengan para sahabatnya. Seorang budaknya menghadap seraya berkata: "Kami telah selesai mempersiapkan acara pemakamannya." Imam Al-Bâqir memberitahukan kepada para sahabat tentang hal itu dan memerintahkan mereka supaya menyalati, lalu menguburkannya.

(Kedua), Imam Al-Bâqir pernah memiliki seorang anak yang sangat ia cintai. Anak itu jatuh sakit. Ia sangat sedih atas penyakit yang telah menimpanya. Akhirnya, anak itu pun meninggal dunia. Ia menghadapi semua itu dengan tenang dan tabah. Para sahabat berkata: "Wahai putra Rasulullah, kami khawatir terhadap diri Anda."

Imam Al-Bâqir as. menjawab mereka dengan segala ketenangan dan keridaan atas ketentuan Ilahi sembari berkata: "Sesungguhnya kami memohon kepada Allah atas segala sesuatu yang Dia cintai. Jika ternyata terjadi apa yang kami tidak kami sukai, kami tidak akan pernah menentang Allah atas segala sesuatu yang Dia cintai."

Imam Al-Bâqir as. telah mempersenjatai diri dengan ketabahan dan menghadapi seluruh musibah dunia ini dengan keimanan yang kokoh tanpa rasa penyesalan dan kebosanan hanya dengan mengharap pahala dari Allah swt. semata.




Kasih Sayang kepada Fakir Miskin

Di antara akhlak Imam Al-Bâqir as. yang tinggi adalah ia senantiasa berbuat kasih sayang terhadap golongan fakir miskin. Ia selalu menghadapi mereka dengan penghormatan dan pemuliaan yang lebih. Ia selalu berpesan kepada keluarganya, apabila seorang peminta mendatangi mereka, jangan sampai mereka berkata kepadanya: "Hai peminta, ambillah ini." Akan tetapi, hendaknya mereka berkata kepadanya: "Wahai hamba Allah, semoga Allah senantiasa memberkatimu." Sebagaimana juga, ia memerintahkan kepada mereka untuk memanggil para peminta itu dengan nama mereka yang terbaik. Sungguh akhlak dan etika ini terilhami oleh akhlak dan etika kakeknya, Rasulullah saw. sebagai seorang nabi yang memiliki kelebihan atas seluruh nabi yang lain karena ketinggian akhlaknya.

Suatu perilaku yang lebih dicintai oleh Imam Abu Ja'far as. ini adalah menyambung tali hubungan dengan saudara-saudaranya, menanggapi orang-orang yang ingin bermaksud berjumpa dengannya, dan menjawab harapan orang-orang yang menaruh harapan kepadanya.( ) Ia telah diciptakan secara fitrah untuk mencintai segala kebajikan, menjalin hubungan silaturahmi dengan masyarakat, dan memasukkan kebahagiaan ke dalam kalbu mereka.

Ibn Ash-Shabbâgh pernah berkata: "Muhammad bin Ali bin Al-Husain-dengan segala ilmu, keutamaan, figur kepemimpinan, dan imâmah yang dimilikinya-tetap murah anugerahnya di kalangan orang-orang khusus dan umum, masyhur dengan kedermawanan, dan dikenal dengan berbuat keutamaan dan kebajikan, meskipun ia memiliki keluarga besar dan dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan."

Imam Al-Bâqir as. sendiri pernah menegaskan: "Segala yang ada di dunia tidak memiliki nilai kebaikan kecuali mengadakan hubungan silaturahmi dengan saudara-saudara seiman yang lain dan ilmu pengetahuan."




Ibadah

Imam Abu Ja'far Al-Bâqir as. adalah salah seorang imam dan pemimpin orang-orang yang bertakwa dan junjungan para 'abid. Ia telah menumpahkan penyembahannya kepada Allah swt. dengan bentuk keikhlasan yang paling sempurna. Ketika ia sedang berdiri untuk mengerjakan salat, warna tubuhnya berubah menjadi pucat lantaran takut kepada Allah swt. Ia mengerjakan salat sebanyak seratus lima puluh rakaat dalam sehari dan semalam, dan posisinya sebagai tempat rujukan umat dalam bidang keilmuan dan kepemimpinan tidak menyita waktu dan kesempatannya untuk mengerjakan salat sebanyak mungkin. Dalam sujud, ia selalu membaca doa berikut ini:




سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ حَقًّا حَقًّا، سَجَدْتُ لَكَ يَا رَبِّ تَعَبُّدًا وَ رِقًّا. اَللَّهُمَّ إِنَّ عَمَلِيْ

ضَعِيْفٌ فَضَاعِفْهُ لِي. اَللَّهُمَّ قِنِيْ عَذَابَكَ يَوْمَ تَبْعَثُ عِبَادَكَ وَ تُبْ عَلَيَّ، إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ

الرَّحِيْمُ


"Maha Suci Engkau! Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku yang sejati. Aku bersujud kepada-Mu dengan penuh arti penyembahan dan penghambaan. Ya Allah, sesungguhnya amalku adalah sedikit. Maka, berlipat gandakanlah untukku. Ya Allah, jagalah aku dari siksa-Mu pada hari Engkau membangkitkan seluruh hamba-Mu dan ampunilah aku. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Imam Muhammad Al-Bâqir as. juga memiliki doa-doa lain ketika membaca qunut dan sujud, dan kami telah memaparkannya dalam buku kami, Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Bâqir as.




Kezuhudan

Imam Muhammad Al-Bâqir as. adalah termasuk figur-figur yang zuhud di dunia. Ia selalu menghindarkan diri dari kegemerlapan dunia. Ia tidak pernah menghampar permadani di rumahnya. Di majelis-majelis (pertemuannya), ia selalu menghampar alas yang terbuat dari pelepah kurma.

Imam Muhammad Al-Bâqir as. memandang dunia ini dengan prinsip yang dalam dan menyeluruh. Oleh karena itu, ia menghindarkan diri dari segala kelezatan dan kegemerlapannnya-kecuali segala sesuatu yang berhubungan dengan kebenaran, serta menghadap kepada Allah dengan kalbu yang khusyuk.

Jâbir bin Yazîd Al-Ju'fî berkata: "Muhammad bin Ali pernah berkata kepadaku, 'Sesungguhnya aku sangat sedih dan sesungguhnya hatiku tersibukkan ...'

Aku bertanya, 'Apakah kesedihan Anda dan apa yang telah menyibukkan hati Anda?'

Ia menjawab, 'Hai Jâbir, jika tanggung jawab terhadap Allah 'Azza Wajalla telah mengusik ketenangan hati seseorang, tanggung jawab itu akan menyibukkannya sehingga ia tidak memiliki kesempatan untuk memikirkan tanggung jawab yang lain ... Hai Jâbir, Apakah gerangan dunia ini? Akan menjadi apakah dunia ini? Bukankah dunia hanyalah sekadar tunggangan yang kau tunggangi, pakaian yang kau kenakan, atau wanita yang kau gunakan ...?'"

Banyak sekali ucapan dan pesan-pesan yang telah diriwayatkan dari Imam Abu Ja'far as. berkenaan dengan konsep zuhud dan peringatan terhadap masalah dunia dan tipu dayanya.




Mutiara Hikmah

Banyak sekali mutiara hikmah yang pendek telah diriwayatkan dari Imam Abu Ja'far as. Mutiara-mutiara hikmah itu sungguh memuat nilai-nilai yang tinggi, hikmah-hikmah yang benar, dan pengalaman-pengalaman yang bermanfaat. Di antara mutiara-mutiara hikmah tersebut adalah sebagai berikut ini:

a. Imam Al-Bâqir as. berkata: "Barang siapa tidak menjadikan Allah sebagai penasihat dirinya, sungguh nasihat-nasihat orang lain tidak akan bermanfaat sedikit pun baginya."

b. Imam Al-Bâqir as. berkata: "Tidak akan bermaksiat kepada Allah orang yang mengenal-Nya." Selanjutnya, ia melantunkan bait syair berikut:

Jika engkau jujur mencintai, niscaya engkau pasti menaati-Nya; lantaran pecinta selalu menaati titah kekasihnya.

c. Imam Al-Bâqir as. berkata: "Kenalilah kecintaan yang ada dalam kalbu saudaramu dengan kecintaan yang terdapat di dalam kalbumu."

d. Imam Al-Bâqir as. berkata: "Sesungguhnya seorang mukmin adalah saudara mukmin yang lain; ia tidak akan pernah mencercanya, tidak akan pernah memboikotnya, dan tidak akan pernah juga berburuk sangka terhadapnya."

e. Imam Al-Bâqir as. berkata: "Allah pernah berfirman, 'Wahai Adam, jauhilah apa yang telah Kuharamkan atasmu, niscaya engkau akan menjadi hamba yang paling wara'.'"

f. Imam Al-Bâqir as. berkata: "Tiada musibah apapun yang menimpa seorang hamba kecuali lantaran dosa (yang pernah dilakukannya)."




Nasihat Imam Al-Bâqir as. kepada Para Pengikut Syi'ah

Imam Abu Ja'far as. pernah mengutus sebagian sahabat kepada sekelompok pengikut Syi'ah dan memerintahkan mereka untuk menyampaikan pesan-pesan berikut ini kepada mereka.

Imam Al-Bâqir as. berpesan: "Sampaikanlah salamku kepada para pengikut kami dan berwasiatlah kepada mereka supaya mereka bertakwa kepada Allah Yang Maha Agung, supaya orang kaya mereka menjenguk orang-orang fakir, supaya orang yang sehat menjenguk orang yang sakit, supaya orang yang masih hidup menghadiri acara ritual pemakaman jenazah orang sudah meninggal dunia, dan supaya mereka mengadakan pertemuan-pertemuan di rumah-rumah mereka; karena kunjungan dan pertemuan antara sesama mereka dapat menghidupkan missi kami. Semoga Allah merahmati orang yang menghidupkan missi kami dan mengamalkan segala perintah kami sebaik mungkin. Katakanlah kepada mereka, 'Sesungguhnya kami tidak akan dapat menanggung tanggung jawab mereka di hadapan Allah kecuali dengan amal saleh. Mereka tidak akan pernah menggapai wilâyah kami kecuali dengan wara' dan usaha keras. Sesungguhnya orang yang paling menyesal pada hari kiamat adalah orang yang memuji sebuah amal, dan kemudian ia tidak mengerjakannya, lalu mengerjakan amal yang lain.'"




Syahadah

Imam Abu Ja'far as. tidak meninggalkan dunia ini secara alamiah. Akan tetapi, tangan-tangan berdosa yang tidak memiliki keyakinan terhadap Allah dan konsep hari akhir telah membunuhnya dengan perantara racun mematikan. Orang yang telah melakukan kejahatan ini adalah Hisyâm-menurut sebuah pendapat-dan Ibrahim-menurut pendapat yang lain. Menurut kemungkinan besar, pembunuhnya adalah Hisyâm. Lantaran, ia memiliki rasa iri dengki yang dalam terhadap keluarga kenabian, dan dialah yang memaksa syahid abadi, Zaid bin Ali, untuk mengadakan perlawanan terhadap dirinya; Hisyâm memperlakukannya dengan segala kezaliman dan penghinaan sehingga syahid abadi ini terpaksa mengadakan perlawanan terhadap pemerintahannya hingga meneguk cawan syhahadah pada masa ia masih berkuasa.

Adapun faktor mengapa Hisyâm membunuh Imam Abu Ja'far as., hal itu karena keutamaan dan kekuatan ilmiah ia yang telah tersebar di seantero jagad. Begitu juga, lantaran muslimin selalu membicarakan tentang kejeniusan dan karunia-karunianya (yang tak pernah habis).

Ketika Imam Al-Bâqir as. meminum racun tersebut, racun itu bereaksi dalam tubuhnya dengan dahsyat. Maut pun mendekat kepadanya dengan cepat, dan ia menghadap kepada Allah swt. dengan hati dan seluruh perasaannya, sedangkan ia masih dalam keadaan membaca beberapa ayat Al-Qur'an. Ketika ia sedang sibuk dengan zikir kepada Allah swt., ajal yang pasti telah menjemput kedatangannya. Rohnya yang agung naik ke haribaan Allah swt. dengan diiringi oleh para malaikat muqarrab. Dengan kepergiannya ini, sebuah lembaran dari lembaran-lembaran sejarah risalah Islam-yang telah berhasil menganugerahkan kesadaran dan kemajuan dalam segala bidang ilmu pengetahuan kepada masyarakat Islam-telah tertutup.

Tubuh suci Imam Al-Bâqir as. dikebumikan di pemakaman Baqi' di samping ayahnya, Imam Zainal Abidin as. dan Imam Hasan as. Dengan ini pula, ilmu, kesantunan, dan kebajikan terhadap masyarakat telah terkuburkan pula.




Catatan Kaki:

Al-Imam Ash-Shâdiq Kama 'Arafahu Ulama' Al-Gharb. Di dalam buku ini, dipaparkan penjelasan yang sempurna tentang ilmu-ilmu pengetahuan yang telah berhasil dicetuskan oleh Imam Al-Bâqir as. dan beliau ajarkan kepada murid-murid beliau.

An-Najâsyi, hal. 28; Jâmi' Ar-Ruwât, jilid 1, hal. 6.

Al-Fihrist, karya Syaikh Thusi, hal. 298.

Azâriqah adalah sebuah sekte sempalan dari sekte Khawarij. Sekte ini dipimpin oleh Nâfi' bin Azraq. Menurut keyakinan mereka, setiap penentang sekte Azâriqah layak dibunuh dan kaum wanita boleh untuk dijadikan tawanan. Silakan Anda rujuk Al-Munjid, kosa kata [رزق]-pen.

Hayâh Al-Hayawan, karya Ad-Dumairi, jilid 1, hal. 63-64; Al-Muthâla'ah Al-'Arabiyah, jilid 1, hal. 31.

Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Bâqir as., jilid 1, hal. 131.

Ibid. hal. 122.

Târîkh Dimasyq (tulisan tangan), jilid 51, hal. 52; 'Uyûn Al-Akhbâr, karya Ibn Qutaibah, jilid 3, hal. 57.

'Uyûn Al-Akhbâr, karya Ibn Qutaibah, jilid 3, hal. 208.

Al-Bayân wa At-Tabyîn, hal. 158.

Al-Fushûl Al-Muhimmah, karya Ibn Ash-Shabbagh, hal. 277.

Syarah Syafiyah Abi Firas, jilid 2, hal. 176.

Shifah Ash-Shafwah, jilid 2, hal. 63; A'yân Asy-Syi'ah, jilid 4, hal. 506, bagian pertama.

Târîkh Ibn 'Asâkir, (tulisan tangan), jilid 51, hal. 44.

Furû' Al-Kafi, jilid 3, hal. 323.

Ibid.

Da'âim Al-Islam, jilid 2, hal. 158.

Tuhaf Al-'Uqûl, hal. 292-300.

Ushûl Al-Kafi, jilid 2, hal. 269.

Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Bâqir as., jilid 1, hal. 253.










IMAM JA'FAR ASH-SHADIQ

Imam Ash-Shâdiq adalah pemimpin figur umat ini dan pelopor kebangkitan pemikiran dan ilmiah mereka. Ia-seperti diungkapkan oleh Al-Jâhizh-telah memenuhi dunia ini dengan ilmu-ilmu pengetahuannya. Dari limpahan ilmunya ini, para imam mazhab-mazhab Islam menyimpulkan hukum-hukum syariat, baik yang berkenaan dengan masalah ibadah, transaksi, akad, maupun îqâ'. Kekayaan-kekayaan dan warisan fiqihnya masih selalu hijau dan senantiasa memberikan buah. Para fuqaha mazhab Imamiah merujuk kepada kekayaan-kekayaan fiqih tersebut dalam menyimpulkan hukum-hukum syariat, sebagaimana para ahli hukum juga memetik kekayaan-kekayaan fiqih tersebut dalam mencetuskan kaidah-kaidah hukum baru.

Ilmu pengetahuan Imam Ash-Shâdiq as. tidak hanya terbatas pada bidang ilmu Fiqih, Hadis, dan Kalam (Teologi). Ilmu pengetahuannya meliputi ilmu Fisika, Kimia, Kedokteran, dan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya yang telah berhasil ia cetuskan. Di antara ilmu pengetahuan yang telah berhasil ia cetuskan adalah oksigen. Ia telah memaparkan segala unsur utama pembentuk oksigen ini. Sebagaimana juga ia telah mengungkap bahwa hawa bukanlah sebuah unsur yang sederhana (basîth). Akan tetapi, hawa tersusun dari beberapa unsur yang beraneka ragam. Begitu juga, ia telah mengungkap rahasia alam semesta, orbit-orbit planet dunia, dan lain sebagainya. Hal ini telah diIsya'ratkan oleh para ilmuwan Barat yang sudah mempelajari pandangan-pandangannya melalui telaah atas hasil-hasil karya tulis muridnya, Jâbir bin Hayyân, seorang ilmuwan kebanggaan bangsa Timur. Menurut pengakuan Jâbir, semua karya tulisnya itu telah ia terima dari Imam Ash-Shâdiq as. Para ilmuwan Barat mengakui bahwa Imam Ash-Shâdiq as. adalah figur akal yang tidak memiliki tara di dunia insani ini.

Suatu hal yang aneh sekali ketika sebagian Orientalis berpendapat bahwa Imam Ash-Shâdiq as. tidak berasal dari bangsa Arab. Ia berasal dari bangsa Barat yang telah mengungsi ke dunia Timur. Hal itu lantaran bangsa Timur tidak pernah memiliki kemampuan ilmiah seperti yang dimiliki olehnya.

Mereka sepertinya lalai bahwa Imam Ash-Shâdiq as. berasal dari keluarga kenabian yang telah berhasil menaburkan cahaya dan kesadaran di muka bumi ini.

Imam Ash-Shâdiq as. adalah satu-satunya figur yang memiliki seluruh karunia dan ilmu pengetahuan itu di dunia ini. Ilmu pengetahuannya telah berhasil menerangi seluruh akal umat manusia dan mendorongnya menuju kemajuan dan perkembangan.

Kemampuan-kemampuan ilmiah dahsyat yang dimiliki oleh Imam Ash-Shâdiq as. itu membuktikan kebenaran pendapat mazhab Syi'ah tentang para imam Ahlul Bait as. bahwa Allah swt. telah menganugerahkan hikmah dan puncak segala ilmu kepada mereka, serta Dia telah mengilhamkan banyak ilmu pengetahuan kepada mereka, sebagaimana Dia telah menganugerahkan hal itu kepada para nabi dan rasul-Nya. Secara alamiah, pendapat dan persepsi ini tidak sedikit pun memuat unsur berlebih-lebihan dan keterlaluan (ghuluw) atau penyimpangan dari tolok ukur-tolok ukur ilmiah setelah ada argumentasi dan dalil-dalil terpercaya yang membuktikan hal itu.

Ala kulli hal, pada kesempatan ini, kami akan memaparkan-secara ringkas-biografi Imam Ash-Shâdiq as. dan sebagian karakteristik kejiwaannya, serta hal-hal lain yang masih berhubungan dengan tema pembahasan ini.




Biografi Kehidupan

Imam Abu Abdillah Ash-Shâdiq as. tumbuh berkembang di dalam sebuah rumah-dari sekian rumah-rumah Allah-yang paling agung. Itulah rumah yang telah memancarkan risalah Islam yang telah menjadikan umat manusia sebagai umat yang berkultur, menganugerahkan kemuliaan kepadanya, dan mangagungkan pemikiran (baca: akal).

Di dalam rumah yang agung itulah, Imam Ash-Shâdiq, pemimpin figur umat dan pelopor kebangkitan pemikiran dan kultur mereka ini, tumbuh berkembang. Kakeknya, Imam Zainul Abidin as. menangani pendidikannya. Ia menurunkan anugerah, keimanan, dan ketakwaan yang dimilikinya kepada cucunya itu. Imam Ash-Shâdiq as. menjalani masa hidupnya di bawah asuhan kakeknya ini selama dua belas belas tahun. Selama dua belas tahun itu, ia menyaksikan sirah sang kakek yang semerbak mewangi yang menghikayatkan sirah dan perjalanan hidup para nabi dan rasul Allah. Tidak ada satu amal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah swt. kecuali ia telah melakukannya dan tiada kemuliaan atau keutamaan yang dapat mengangkat jati diri seorang manusia kecuali semua karakter itu menjadi substansi jiwanya.

Imam Ash-Shâdiq as. senantiasa menyertai kakeknya, Imam Zainul Abidin as. ketika ia sibuk dengan ibadah kepada Allah swt. dan berpuasa siang dan malam. Karena terlalu banyak mengerjakan salat dan sujud, anggota-anggota sujudnya mengeras seperti kulit lutut unta.

Imam Ash-Shâdiq as. melihat kakeknya, Imam Zainul Abidin as. pada saat ia sedang memikul kantong yang berisi penuh makanan dan uang di pertengahan malam yang gelap-gulita untuk diinfakkan kepada para fakir miskin dan orang-orang lemah, sedangkan mereka tidak mengenalnya, sebagaimana ia selalu menimba air dan memikulnya untuk diberikan kepada orang-orang yang lemah.

Imam Ash-Shâdiq as. melihat kakeknya, Imam Zainul Abidin as. pada saat ia sedang menyebarkan ilmu pengetahuan di tengah-tengah masyarakat, sedangkan para pencari ilmu pengetahuan tengah berkumpul mengelilinginya untuk menimba ilmu pengetahuan darinya dan para qari senantiasa mengikuti jejaknya untuk mencatat hikmah, doa-doa, dan fatwa-fatwanya.

Ala kulli hal, Imam Zainul Abidin as. telah melaksanakan tugasnya untuk mendidik cucunya itu. Ia telah mencurahkan seluruh karakteristik jiwanya atas cucunya itu dan mempersiapkannya untuk mengemban kepemimpinan umat ini dalam menempuh jalur agama dan ilmu pengetahuan.

Sepeninggal kakeknya, Imam Zainul Abidin as. ini, Imam Muhammad Al-Bâqir as. melaksanakan tugas untuk memelihara sang putra dan memamahnya dengan segala ilmu pengetahuan. Imam Ash-Shâdiq senantiasa menghadiri majelis-majelis pelajaran ayahnya yang selalu diadakan di dalam rumahnya atau di masjid Nabi saw., sedangkan ia masih kecil yang sedang tumbuh berkembang. Kecerdasan dan kejeniusan Imam Ash-Shâdiq as. mengungguli seluruh murid ayahnya, padahal mereka adalah para ulama kaliber dan telah berusia lanjut. Realita ini diakui oleh Umar bin Abdul Aziz di hadapan Walîd bin Abdul Malik ketika ia berziarah ke Madinah. Walîd juga pernah berkata kepada Imam Abu Ja'far as: "Sesungguhnya putramu, Ash-Shâdiq, itu adalah allamah masa kini, padahal ia masih berusia belia."

Imam Ash-Shâdiq as. menjadi perumpamaan (matsal) dalam berbuat kebajikan kepada ayahnya. Menurutnya, amal yang paling utama adalah berbuat kebajikan kepada kedua orang tua. Ia selalu berkata: "Sesungguhnya Allah akan meringankan sekarat kematian untuk orang yang berbuat kebajikan kepada kedua orang tuanya ...."

Imam Ash-Shâdiq as. hidup bersama sang ayah selama sepuluh tahun. Selama itu, ia telah banyak terpengaruh oleh kriteria hidup ayahnya sehingga ia menjadi gambaran yang cerlang dari ayahandanya. Setelah sang ayah meninggal dunia, ia menerima beban untuk memimpin umat dan membimbing mereka secara spiritual. Para fuqaha pun berdatangan mengelilinginya dan para perawi hadis menimba berbagai ragam ilmu dan pengetahuan, serta mutiara hikmah dan adab sopan santun darinya.




Keluasan Ilmu Pengetahuan

Imam Ash-Shâdiq as. adalah satu-satunya figur yang memiliki keluasan ilmu pengetahuan pada masanya hidup. Ia adalah sang jenius dunia dalam seluruh cetusan ilmu pengetahuan yang ia miliki.

Syaikh Abu Zuhrah menulis: "Ia (Imam Ash-Shâdiq as.) adalah power pemikiran pada masa hidupnya. Ia tidak mencukupkan diri hanya dengan mengajar pengetahuan-pengetahuan Islam, ilmu-ilmu Al-Qur'an, Sunah dan Akidah. Tetapi, ia juga mengajarkan jagad raya ini beserta rahasia-rahasianya. Kemudian, dengan otaknya yang luar biasa itu, ia mengarungi angkasa raya dan orbit-orbit matahari, bulan, dan bintang-gumintang. Begitu juga, ia memberikan perhatian yang sangat luar biasa terhadap pengajaran jiwa manusia. Apabila ilmu Sejarah Filsafat menetapkan bahwa Socrates telah berhasil menurunkan ilmu Filsafat dari langit untuk umat manusia, sungguh Imam Ash-Shâdiq as. telah mengajarkan (rahasia) langit, bumi, manusia, dan syariat-syariat seluruh agama (samawi)."

Begitulah Imam Ash-Shâdiq as. Ia adalah sebuah muara yang dipenuhi oleh segala ilmu pengetahuan yang telah berhasil membekali dunia Islam dengan seluruh pindasi kebangkitan dan kemajuan. Ilmu pengetahuannya tidak berbatas. Ilmu pengetahuan ini telah menciptakan sesuatu yang baru dalam (sejarah) peradaban Islam dan mendorong kehidupan ilmiah ini untuk maju selangkah, tidak hanya di dalam dunia Islam saja, bahkan di seluruh dunia.




Univertas Imam Ash-Shâdiq as.

Universitas Imam Ash-Shâdiq as. adalah sebuah yayasan Islam yang paling menonjol pada masa kekuasaan dinasti Abbâsiyah. Universitas ini beraktifitas untuk memajukan kehidupan ilmiah dan telah berhasil mencetuskan berbagai jenis ilmu pengetahuan yang belum pernah dikenal oleh masyarakat sebelumnya. Universitas telah berhasil menelurkan para pemikir kenamaan terbaik, para filosof kaliber, dan para ulama handal.

Sebagian peneliti berkomentar: "Jika terdapat sebuah hakikat yang harus diungkapkan, hakikat itu adalah, bahwa peradaban Islam dan pemikiran Arab berutang budi kepada yayasan pemikiran ini dalam perkembangan dan kemajuannya, dan juga kepada tonggaknya, Ash-Shâdiq, dalam keagungan ilmiah dan warisannya yang sangat berharga."

Seorang 'arif tersohor berkata: "Termasuk sebuah kewajiban ilmiah adalah hendaknya kita berbicara tentang Imam Ash-Shâdiq as. sebagai seorang tonggak sebuah madrasah pemikiran pertama, sebagai seorang pemimpin sebuah pusat pengajaran Filsafat spiritual pertama, sebagai seorang penemu ilmu Kimia seperti ditegaskan oleh Jâbir bin Hayyân Ash-Shûfî Ath-Thursûsî, dan sebagai seorang figur yang telah mampu mengeluarkan akal pemikiran Islam dari ruang lingkup yang terbatas menuju ke sebuah ruang lingkup yang sangat luas yang didominasi oleh kebebasan berpikir secara ilmiah yang sehat dan bertumpu pada konsep hakikat, logika, dan realita."

Kami telah membahas tentang yayasan ilmiah ini di dalam buku yang berjudul Mawsû'ah Al-Imam Ash-Shâdiq as. (Ensiklopedia Imam Ash-Shâdiq as.) secara panjang lebar dan luas. Pada kesempatan ini, kami hanya akan mengIsya'ratkan sekelumit pembahasan tentang yayasan ilmiah ini sebagai berikut:




a. Pusat Universitas




Pusat universitas besar yang telah didirikan oleh Imam Ash-Shâdiq as. ini adalah Yatsrib (Madinah), tepatnya di dalam masjid Nabi saw. yang agung itu. Di dalam masjid inilah, ia melontarkan seluruh kuliah dan pidatonya. Dan pada kesempatan yang lain, ia juga pernah melontarkan kuliah dan pelajarannya di dalam rumahnya sendiri.




b. Delegasi-Delegasi Ilmiah




Para ilmuwan dan ahli ilmu pengetahuan dari berbagai penjuru dunia Islam dengan cepat bergabung dengan yayasan besar ini.

Sayid Abdul Aziz Al-Ahl menulis: "Kota Kufah, Bashrah, Wasith, dan Hijaz mengirim para ilmuwan handalnya yang berasal dari berbagai kabilah, seperti kabilah Bani Asad, Ghina, Mukhariq, Thayy, Sulaim, Ghathafan, Ghifar, Al-Azd, Khuza'ah, Khasy'am, Makhzum, Bani Dhabbah, Quraisy, dan-khususnya-Bani Harist bin Abdul Muthalib dan Bani Hasan bin Ali untuk menimba ilmu pengetahuan kepada Ja'far bin Muhammad. Banyak juga orang-orang merdeka dan putra-putra para tuan dari pemuka-pemuka kabilah-kabilah Arab tersebut, serta negara Persia, khususnya kota Qom yang telah pergi ke haribaannya (untuk menimba ilmu pengetahuan)."

Seluruh negeri Islam telah mengirimkan putra-putra terbaiknya untuk menimba ilmu pengetahuan dari muara ilmunya dan mempelajari hukum-hukum syariat Islam dari keturunan Nabi saw. ini.




c. Jumlah Murid




Jumlah murid yang pernah menimba ilmu pengetahuan dari universitas Imam Ash-Shâdiq as. ini adalah empat ribu orang. Jumlah ini adalah sebuah jumlah yang sangat besar yang tidak pernah dimiliki oleh yayasan ilmiah mana pun pada masa itu. Al-Hâfizh Abul Abbâs bin 'Uqdah Al-Hamadânî Al-Kûfî telah menulis sebuah buku yang memuat nama-nama para perawi yang pernah meriwayatkan hadis-hadis Imam Ash-Shâdiq as. Ia menegaskan bahwa jumlah mereka adalah empat ribu orang.

Dr. Mahmûd Al-Khâlidî berkomentar: "Para perawi tsiqah yang berasal dari para sahabatnya-yaitu, sahabat Imam Ash-Shâdiq as-berjumlah empat ribu orang. Dan kami tidak merasa heran dengan jumlah ini. Kami akan merasa heran jika malah yang terjadi adalah sebaliknya, seandainya hal itu terjadi dan dinukil (oleh sejarah)."

Dalam kitab Al-Mu'tabar, Al-Muhaqqiq menulis: "Pada masanya-yaitu, masa Imam Ash-Shâdiq as., berbagai jenis dan ragam ilmu pengetahuan yang membuat akal kita terperana tersebar darinya dan banyak sekali perawi-yang berjumlah sekitar empat ribu orang-meriwayatkan (hadis) darinya."

Sayid Muhammad Shâdiq Nasy'at berkomentar: "Rumah Ja'far Ash-Shâdiq berfungsi seperti universitas yang senantiasa dipenuhi oleh ulama kaliber dalam bidang ilmu Hadis, Tafsir, Hikmah, dan Teologi. Sering kali, majelis pelajarannya dihadiri oleh dua ribu orang, dan kadang-kadang dihadiri oleh empat ribu ulama kaliber dan tersohor. Hadis dan pelajaran-pelajaran yang telah diterima oleh para muridnya di majelis pelajarannya itu telah dibukukan oleh mereka dalam sekumpulan buku. Kumpulan buku ini memiliki fungsi sebagai ensiklopedia ilmiah bagi mazhab Syi'ah atau mazhab Ja'farî."

Kami telah menulis biografi tiga ribu enam ratus enam puluh dua (3662) perawi hadis Imam Ash-Shâdiq dalam buku Mawsû'ah Al-Imam Ash-Shâdiq as.




d. Cabang-cabang Universitas Imam Ash-Shâdiq as.




Mayoritas ulama yang telah keluar dari universitas Imam Ash-Shâdiq as. tersebut dan pulang kembali ke negeri mereka masing-masing telah mendirikan berbagai ragam pusat ilmiah dan sekolah agama ... Cabang terbesar yang pernah didirikan (dalam sejarah) adalah universitas yang didirikan di masjid jami' Kufah.

Hasan bin Ali Al-Wasysyâ' berkata: "Aku pernah berguru di masjid ini-yaitu, masjid jami' Kufah-kepada sembilan ratus syaikh. Setiap orang dari mereka senantiasa berkata, 'Haddatsani Ja'far bin Muhammad (Ja'far bin Muhammad telah meriwayatkan hadis ini kepadaku).'"

Gerakan ilmiah di kota Kufah telah mengalami perkembangan yang sangat pesat, sebagaimana kebangkitan ilmiah juga mengalami perkembangan yang sama di daerah-daerah lain.

Sayid Mir Ali Al-Hindi berkomentar: "Tidak berlebihan jika kita katakan bahwa tersebarnya ilmu pengetahuan pada masa itu telah berhasil membantu pembebasan akal dari jeratan-jeratannya. Dengan demikian, dialog-dialog filosofis menjadi mendominasi setiap pertemuan ilmiah yang ada di seluruh penjuru negeri Islam. Perlu kami tambahkan lagi bahwa orang yang memimpin gerakan (dahsyat ini) adalah seorang cucu Ali bin Abi Thalib yang bernama Imam Ja'far dan bergelar Ash-Shâdiq. Ia adalah seorang figur yang memiliki ufuk pemikiran yang luas, yang memiliki kedalaman akal yang menakjubkan, dan yang menguasai seluruh bidang ilmu pengetahuan yang berkembang pada masanya. Pada hakikatnya, ia adalah figur pertama yang telah berhasil mendirikan sekolah-sekolah filfasat yang masyhur di dunia Islam. Orang-orang yang menghadiri majelis ilmunya tidak hanya terbatas pada mereka yang telah berhasil menjadi imam-Imam mazhab. Tetapi, majelis ilmunya dihadiri oleh para pencari filsafat yang berasal dari berbagai penjuru dunia yang sangat jauh dan terpencil."

Ala kulli hal, sebagian keluarga ilmiah yang terdapat di kota Kufah telah mendapatkan kebanggan besar dengan menjadi murid Imam Ash-Shâdiq as., dan mereka dikenal memiliki spesialisasi dalam bidang ilmu Fiqih dan Hadis, seperti keluarga ?l Hayyân At-Taghlibî, ?l A'yun, Bani 'Athiyah, Bani Darrâj, dan keluarga-keluarga ilmiah lainnya.

Imam Ash-Shâdiq as. pernah tinggal di kota Kufah selama dua tahun. Ia berdomisili di daerah Bani Abdul Qais. Para pengikut Syi'ah berbondong-bondong menjumpainya untuk memohon fatwa dan bertanya masalah hukum syariat kepadanya. Tentang banyaknya manusia yang berbondong-bondong menemuinya tersebut, Muhammad bin Ma'rûf Al-Hilâlî bercerita: "Aku pernah pergi ke Hirah untuk menjumpai Ja'far bin Muhammad. Aku tidak memiliki daya untuk menjumpainya lantaran banyaknya masyarakat (yang ingin berjumpa dengannya). Pada hari keempat, ia melihatku dan mendekat ke arahku. Gerombolan manusia itu pun berpencar. Pada waktu itu, ia ingin pergi untuk berziarah ke makam kakeknya, Amirul Mukminin as. Aku membuntutinya. Aku mendengar ucapannya, sedangkan aku berjalan bersamanya."




Metode Ilmiah

Pelajaran dan kuliah-kuliah Imam Ash-Shâdiq as. meliputi seluruh jenis ilmu pengetahuan dan ragam peradaban yang sangat tinggi. Ilmu-ilmu pengetahuan berikut ini adalah di antara cabang ilmu pengetahuan yang pernah diajarkan oleh beliau:

- Ilmu Fiqih.

- Ilmu Hadis.

- Ilmu Al-Qur'an.

- Ilmu Medis.

- Ilmu Kimia.

- Ilmu Fisika.

- Ilmu tentang tetumbuhan.

Dan begitu juga cabang-cabang ilmu pengetahuan lainnya yang memiliki pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan masyarakat dan kemajuan teknologi.

Di antara ilmu pengetahuan yang mendapatkan perhatian penuh Imam Ash-Shâdiq as. adalah ilmu Fiqih Islam dalam semua bidangnya; ibadah, transaksi, akad, dan îqâ'. Para fuqaha mazhab Imamiah merujuk kepada hadis-hadis mulianya dalam menyimpulkan hukum-hukum syariat.




Pembukuan Ilmu

Imam Ash-Shâdiq as. menekankan kepada para sahabatnya untuk membukukan seluruh pelajaran dan kuliah (yang telah ia berikan) lantaran ia khawatir seluruh pelajaran berharga itu akan musnah. Abu Bashir pernah bercerita: "Aku pernah bertamu ke rumah Abu Abdillah. Ia berkata, 'Apa yang mencegah kamu semua untuk menulis? Kamu tidak akan dapat menghafal dan menjaga (ilmu pengetahuan) sebelum kamu menulisnya. Aku pernah memiliki sekelompok tamu dari penduduk Bashrah. Mereka menanyakan banyak hal kepadaku, dan menulisnya.'"

Sebagai manifestasi atas kepedulian Imam Ash-Shâdiq as. terhadap pembukuan ilmu pengetahuan, ia memerintahkan muridnya, Jâbir bin Hayyân untuk menciptakan sebuah kertas yang anti bakar. Jâbir memenuhi permintaannya tersebut. Setelah kertas itu siap digunakan, Imam Ash-Shâdiq as. menulis sebuah kitab dengan tangannya sendiri dan melemparkannya ke dalam api. Kitab itu tidak rusak sedikit pun. Para perawi tidak menyebutkan nama kitab tersebut dan tidak juga nama ilmu yang telah ia torehkan di atas kertas itu.

Para ulama dari kalangan murid-murid Imam Ash-Shâdiq as. bergegas memenuhi perintahnya tersebut. Jâbir bin Hayyân menulis pelajaran ilmu Kimia yang telah ia dapatkan darinya. Karya-karya tulisnya mencapai lima ratus risalah. Risalah-risalah tersebut menjadi muara yang jernih dalam bidang ilmu Kimia yang dimanfaatkan oleh para ilmuwan sebaik mungkin.

Masih banyak lagi bintang-bintang kejora dari sekian murid Imam Ash-Shâdiq as. yan memiliki karya tulis dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Peneliti agung, Syaikh Aqa Bozorg Tehrani-semoga Allah mencerlangkan persemayaman abadinya-telah menulis biografi para penulis dari murid-muridnya sebanyak dua ratus orang.

Dengan penjelasan singkat dan ringkas ini, kita telah menuntaskan pembahasan tentang universitas Imam Ash-Shâdiq as.




Kriteria dan Karakteristik

Tidak ada karakter yang mulia dan juga tidak ada akhlak yang utama kecuali semua itu menjadi karakteristik substansial dan jati diri Imam Ash-Shâdiq as. Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan sebagian dari karakter-karakter mulia tersebut.




a. Ketinggian Akhlak




Imam Ash-Shâdiq as. memiliki ketinggian akhlak yang sangat lapang. Di antara manifestasi ketinggian akhlaknya adalah berbuat baik kepada orang yang telah bertindak kurang ajar terhadapnya. Para ahli sejarah telah menyebutkan contoh-contoh yang tidak terhitung tentang ketinggian akhlaknya ini. Di antaranya adalah (kisah berikut ini):

Salah seorang jamaah haji menyangka bahwa sabuk uangnya telah hilang. Ia mengadakan pencarian ke sana dan ke mari. Ia memasuki masjid Nabi saw. Tiba-tiba ia melihat Imam Ash-Shâdiq as. sedang mengerjakan salat. Ia memegangnya, sedangkan ia tidak mengenalnya. Ia bertanya: "Engkaukah yang telah mencuri sabuk uangku?"

Imam Ash-Shâdiq as/ menghadapinya dengan penuh ramah sembari bertanya: "Berapakah isi sabuk uang tersebut?"

Ia menjawab: "1.000 dinar."

Imam Ash-Shâdiq memberikan uang sebanyak 1.000 dinar kepada orang tersebut. Setelah menerima uang tersebut, ia pergi kembali ke tempat penginapannya. Tiba-tiba ia menemukan sabuk uang tersebut (tergeletak di tempat penginapan itu). Akhirnya, ia bergegas kembali untuk menemui Imam Ash-Shâdiq as. dengan membawa uang tersebut dengan bermaksud untuk memohon maaf. Imam Ash-Shâdiq enggan untuk menerima uang itu kembali sembari berkata: "Ini adalah sesuatu yang telah keluar dari tanganku, dan tidak mungkin akan kembali lagi kepadaku." Orang itu pun terperangah dan mulai terusik untuk menanyakan siapakah sebenarnyanya itu. Salah seorang penduduk menjawabnya: "Orang ini adalah Ja'far Ash-Shâdiq." Setelah mendengar jawaban itu, ia berkata dengan penuh rasa takjub: "Tidak heran jika tindakan ini adalah perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang-orang (agung) seperti dia."

Yang mendorong Imam Ash-Shâdiq as. untuk membenarkan ucapan orang tersebut dan memberikan uang kepadanya adalah ketinggian dan kemuliaan akhlaknya.




b. Rendah Hati




Salah satu karakter Imam Ash-Shâdiq as. yang sangat menonjol adalah rendah hati dan tawadhu'. Sebagai manifestasi dari karakter rendah hatinya, ia selalu duduk di atas hamparan pelepah daun kurma, menolak untuk duduk di atas permadani-permadani yang mewah, dan menolak setiap sikap orang-orang yang sombong. Ia pernah bertanya kepada seorang yang berasal dari sebuah kabilah: "Siapakah pembesar kabilah ini?"

Orang itu menjawab: "Saya."

Imam Ash-Shâdiq menimpali: "Jika engkau adalah pembesar mereka, niscaya engkau tidak akan mengatakan 'saya'."

Salah satu manifestasi kerendahan hati Imam Ash-Shâdiq as. adalah (peristiwa berikut ini):

Salah seorang dari penduduk Kufah pernah bepergian bersama Imam Ash-Shâdiq. Imam Ash-Shâdiq kehilangan orang tersebut. Ia bertanya tentang keberadaannya kepada seseorang. Orang tersebut menjawab dengan nada mengejek: "Ia adalah seseorang yang berasal dari kabilah Nabathi ."

Imam Ash-Shâdiq as. menjawab sembari berkata: "Yang pokok bagi seseorang adalah akalnya, dan nilai kemuliaannya adalah agama, kemurahan, dan ketakwaannya. Seluruh manusia adalah sama-sama (berasal) dari Adam."

Sesunggunya rendah hati dan tawadhu' adalah salah satu karakter jiwa tertinggi yang dapat mengungkapkan kemuliaan dan kesempurnaan seseorang.




c. Tabah




Salah satu manifestasi ketinggian akhlak Imam Ash-Shâdiq as. yang lain adalah ketabahan atas segala musibah masa dan petaka. Pada suatu hari, ia dikejutkan oleh kewafatan putanya yang bernama Ismail. Ismail adalah salah seorang tonggak Bani Ali as. dari sisi keilmuan dan akhlak. Ia memanggil beberapa orang sahabat kenamaannya dan menyuguhkan hidangan makanan kepadanya. Sebagian sahabatnya merasa heran dan menghadap kepadanya seraya bertanya: "Aku tidak melihat secercah pun tanda-tanda kesedihan atas kewafatan putra Anda?"

Imam Ash-Shâdiq as. menjawab: "Mengapa aku tidak boleh bersikap seperti yang kamu sekalian lihat, sedangkan orang yang paling jujur-yaitu, Rasulullah saw-pernah bersabda kepada para sahabatnya, 'Sesungguhnya aku dan kamu semua akan meninggal dunia.'"




d. Kedermawanan




Imam Ash-Shâdiq as. adalah orang yang paling dermawan dan orang yang paling banyak berbuat kebajikan kepada orang lain. Para perawi hadis telah menukil contoh-contoh yang sangat banyak sekali tentang manifestasi kedermawanannya. Di antara kedermawanannya adalah (kisah berikut ini):

Asyja' As-Sullamî pernah menjumpai Imam Ash-Shâdiq as. di rumahnya. Ia menemukannya dalam kondisi sedang sakit. Asyja'menanyakan tentang faktor penyakitnya itu. Imam Ash-Shâdiq menjawab: "Biarkanlah faktor penyakitku. Katakanlah keperluanmu."

Asyja'menyenandungkan bati-bati syair berikut ini:

Semoga Allah menganugerahkan 'afiat kepadamu dalam lelap tidurmu.

Dengan mengeluarkan penyakit dari tubuhmu seperti Dia mengeluarkan kehinaan meminta-minta dari pundakmu.

Dari bait terakhir ini, Imam Ash-Shâdiq as. memahami keperluannya. Ia bertanya kepada budaknya: "Berapa engkau memiliki uang?"

Budak itu menjawab: "Empat ratus."

Imam Ash-Shâdiq as. memerintahkan supaya ia memberikan uang itu kepadanya.

Tentang kebajikannya kepada orang-orang fakir miskin, para perawi hadis meriwayatkan bahwa ia senantiasa memberikan makanan dan pakaian kepada mereka sehingga tidak tersisa sedikit pun makanan dan pakaian bagi keluarganya sendiri.

Dan di antara manifestasi kedermawanan Imam Ash-Shâdiq as. yang lain adalah (kisah berikut ini):

Pada suatu hari seseorang melalui Imam Ash-Shâdiq yang ketika itu sedang menyantap makan siang. Orang itu tidak mengucapkan salam kepadanya. Imam Ash-Shâdiq mengajaknya untuk makan bersama. Sebagian hadirin memprotes tindakannya itu seraya berkata: "Yang sunah adalah hendaknya ia mengucapkan salam terlebih dahulu, lalu diundang (untuk makan bersama). Dia 'kan tidak mengucapkan salam!"

Imam Ash-Shâdiq as. menjawab: "Ia adalah salah seorang penduduk Irak yang memiliki sedikit sifat kikir."




e. Bersedekah Secara Rahasia




Sebagaimana kakeknya, Imam Ali Zainul Abidin as., Imam Ash-Shâdiq senantiasa mengunjungi orang-orang fakir miskin di pertengahan malam yang gulita, sedangkan mereka tidak mengenal siapanya. Sang cucu mengikuti jejak kakeknya. Di malam hari, ia memikul kantong kain yang penuh berisi roti, daging, dan uang. Ia pergi menjumpai masyarakat yang membutuhkan, lalu menginfakkan seluruh barang bawaannya itu kepada mereka, sedangkan tidak mengenal siapanya. Dan mereka tidak mengetahui realita yang sebenarnya sehingga ia meninggal dunia. Dengan kepergiannya itu, mereka merasa kehilangan kunjungan dan sedekah-sedekah (yang sering mereka dapatkan) di malam hari tersebut, dan dengan demikian, mereka baru mengetahui bahwa seluruh sedekah itu adalah berasal darinya.

Di antara sekian contoh sedekah yang telah ia lakukan secara rahasia adalah hadis yang diriwayatkann oleh Ismail bin Jâbir (berikut ini):

Ismail bin Jâbir bercerita: "Abu Abdillah as. pernah memberikan uang kepadaku sebanyak lima puluh dinar yang dibungkus sebuah kantong uang. Ia berpesan kepadaku sembari berkata, 'Berikanlah uang tersebut kepada salah seorang dari Bani Hâsyim, dan janganlah kau beritahukan kepadanya bahwa aku yang telah memberikan uang ini kepadamu.' Aku berangkat menjumpai orang tersebut dan menyerahkan uang itu kepadanya. Ia bertanya kepadaku, 'Dari manakah uang ini?' Aku memberitahukan kepadanya bahwa uang itu berasal dari seseorang yang tidak ingin kau ketahui jati dirinya. Orang keturunan Bani Ali as. itu menimpali, 'Orang ini senantiasa mengirimkan uang kepadaku setiap waktu sehingga kami bisa menjalankan roda kehidupan hingga tahun mendatang. Akan tetapi, Ja'far tidak pernah memberikan sepeser dirham pun kepadaku, padahal ia memiliki banyak harta.'"

Imam Ash-Shâdiq as. menyembunyikan sedekah hanya lantaran mengharapkan keridaan Allah dan kebahagiaan di akhirat.




f. Bergegas Memenuhi Hajat Orang Lain




Jika seseorang meminta tolong kepada Imam Ash-Shâdiq as. untuk menyelesaikan sebuah hajat, ia bergegas untuk memenuhi dan menyelesaikannya. Ia pernah ditanya oleh seorang sahabat: "Mengapa Anda secepat ini menyelesaikan hajat seseorang?" Ia menjawab: "Aku khawatir ada orang lain yang lebih cepat menyelesaikannya. Dan dengan ini, aku tidak akan mendapatkan pahala sedikit pun."

Begitulah Imam Ash-Shâdiq as. menjadi figur yang cerlang dalam setiap karunia dan keutamaan.




g. Ibadah




Imam Ash-Shâdiq as. tidak berbeda dengan nenek moyangnya yang agung dalam menjalankan ibadah dan ketaatan kepada Allah swt. Ia adalah orang yang paling 'abid pada masanya hidup. Ia senantiasa menginfakkan waktu senggangnya untuk mengerjakan salat karena Allah swt. Ia tidak pernah meninggalkan satu salat sunah pun, dan ia selalu mengerjakannya dengan penuh khusyuk dan kehadiran hati terhadap Allah swt. Ia sering berpuasa di siang hari. Jika bulan Ramadhan yang penuh berkah tiba, ia menyambutnya dengan penuh rasa kerinduan yang dalam. Terdapat beberapa doa yang ia baca di siang dan malam hari selama bulan Ramadhan. Kami telah menyebutkan doa-doa tersebut di dalam buku yang berjudul Ash-Shahîfah Ash-Shâdiqiyah.

Dalam menjalankan ibadah haji, ia melaksanakannya dengan kerendahan hati dan kekhusyukan yang dalam terhadap Allah swt. Sufyân Ats-Tsawrî pernah bercerita: "Demi Allah, aku pernah melihat Ja'far bin Muhammad (sedang menjalankan ibadah haji), dan aku tidak pernah melihat seorang jamaah haji berada di tempat-tempat suci dan mengerahkan seluruh dayanya untuk khusyuk (di haribaan Ilahi) yang melebihi dia. Ketika sampai di Arafah, ia menjauh dari para jamaah haji yang lain dan menyibukkan dirinya dengan membaca doa di situ."

Bakr bin Muhammad Al-Azdî bercerita: "Aku pernah melakukan tawaf dan di sisiku Imam Abu Abdillah as. (juga sedang melakukan tawaf). Ketika ia usai melakukan tawaf, ia minggir dan mengerjakan salat di tempat yang berada di antara Rukun Baitullah dan Hajarul Aswad. ketika ia melakukan sujud, aku mendengarnya membaca (doa berikut ini):




سَجَدَ وَجْهِيْ لَكَ تَعَبُّدًا وَ رِقًّا، لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ حَقًّا حَقًّا، اَلْأَوَّلُ قَبْلَ كُلِّ شَيْءٍ وَ الْآخِرُ بَعْدَ

كُلِّ شَيْءٍ، وَ هَا أَنَا ذَا بَيْنَ يَدَيْكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، فَاغْفِرْ لِيْ، إِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذَّنْبَ الْعَظِيْمَ

غَيْرُكَ، فَاغْفِرْ لِيْ


"Wajahku telah bersujud kepada-Mu dengan penuh rasa penghambaan dan kehinaan, tiada tuhan selain Engkau yang sebenarnya, Tuhan Yang Maha Awal sebelum segala sesuatu dan Yang Maha Akhir setelah segala sesuatu. Kini aku berada di haribaan-Mu, ubun-ubunku berada di genggaman tangan-Mu. Maka, ampunilah aku, karena tiada yang mampu mengampuni dosa yang besar kecuali Engkau seorang. Maka, ampunilah aku."

Begitulah Imam Ash-Shâdiq as. menjadi figur dan tauladan dalam bidang ibadah bagi orang yang ingin bertobat dan bertakwa. Kami telah memaparkan ibadahnya secara panjang lebar dalam buku kami yang berjudul Mawsû'ah A-Imam Ash-Shâdiq as. (Ensiklopedia Imam Ash-Shâdiq as).




Mutiara Hikmah

Para perawi hadis telah meriawayatkan banyak mutiara hikmah Imam Ash-Shâdiq as. yang bertalian dengan berbagai dimensi manusia dan kehidupannya. Seluruh mutiara hikmah itu mengandung nilai-nilai yang mulia dan karakter-krakter yang tinggi. Di antara mutiara-mutiara hikmahnya adalah berikut ini:

1. Imam Ash-Shâdiq as. berkata: "Jika kamu mendengar sebuah ucapan dari (mulut) seorang muslim, maka tafsirkanlah dengan penafsiran terbaik yang ada dalam benakmu. Jika kamu tidak dapat menemukan penafsiran (yang terbaik) untuk itu, maka salahkanlah dirimu sendiri."

2. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Barang siapa telah dipindahkan oleh Allah dari kehinaan maksiat kepada kemuliaan taat, maka Dia telah menganugerahkan kekayaan kepadanya tanpa harta, telah menentramkan (hatinya) tanpa seorang sahabat karib, dan telah memuliakannya tanpa (bantuan) famili dan kerabat."

3. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Posisi terdekat yang dapat mejerumuskan salah seorang dari kamu ke dalam jurang kekufuran adalah apabila ia memegang cela saudara (seiman)-nya dengan tujuan untuk mencelakannya pada suatu hari kelak."

4. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Sesungguhnya dosa dapat menghambat rezeki."

5. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Dosa besar yang paling besar adalah mengingkari apa yang telah diturunkan oleh Allah di tengah-tengah kita."

6. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Setiap penyakit pasti memiliki obat, dan obat dosa adalah memohon ampunan (istighfar)."

7. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Memindahkan gunung adalah lebih ringan daripada memindahkan sebuah hati dari tempatnya."

8. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Jika urusan duniamu makmur, maka hati-hatilah terhadap agamamu."

9. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Dua orang mukmin tidak berjumpa kecuali mukmin yang lebih utama dari mereka berdua adalah siapa di antara mereka yang lebih mencintai yang lain."

10. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Seorang hamba tidak akan menjadi seorang mukmin kecuali jika ia merasa takut dan berharap, dan ia tidak akan merasa takut dan berharap kecuali apabila ia mengamalkan apa yang ia takuti dan harapkan."

11. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Saudaraku yang paling kucintai adalah orang yang menghadiahkan cela-celaku kepada diriku sendiri."

12. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Bukanlah termasuk pengikut kami orang yang mengaku hal itu dengan lisannya saja, sementara ia menyeleweng dari perilaku dan tindakan yang kami lakukan. Akan tetapi, pengikut kami adalah orang yang sejalan dengan kami dalam lisan dan hatinya, mengikuti jejak perilaku kami, dan mengamalkan amal-amal kami. Mereka itulah pengikut kami yang sebenarnya."( )

13. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Pemilik niat yang benar dan jujur adalah pemilik hati yang bersih."

14. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Janganlah kamu menampakkan kegembiraan lantaran kedukaan yang telah menimpa saudara seimanmu, lantaran (bisa jadi) Allah akan merahmatinya dan menimpakan kedukaan itu kepadamu."

15. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Rahasiamu terdapat dalam darahmu. Maka, janganlah kau teteskan di selain urat-urat lehermu."

16. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Harta yang haram akan tampak akibatnya pada anak keturunan."

17. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Apabila niat seseorang adalah baik, maka Allah akan menambahkan rezekinya."

18. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Jangan kamu berbicara dengan orang yang engkau hawatir akan membohongkanmu, jangan engkau meminta kepada orang yang engkau khawatir akan mencegahmu (baca: menolakmu), dan jangan kamu merasa aman terhadap orang yang engkau khawatir akan menerormu."

19. Imam Ash-Shâdiq berkata: "Mengamalkan kebajikan dapat mencegah kematian yang jelek, sedekah dapat memadamkan api amarah Tuhan, silaturahmi dapat menambah umur dan menghilangkan kemiskinan, dan zikir lâ ilâha illalalâh adalah sebuah harta simpanan di antara sekian harta simpanan surga."




Menuju Surga Abadi

Imam Ash-Shâdiq as. senantiasa melakukan perlawanan terhadap Khalifah Al-Manshûr sang durjana. Al-Manshûr merasa terpojok dan tertekan lantaran perlawanan-perlawanannya tersebut. Akhirnya, ia meminumkan racun kepada Imam Ash-Shâdiq melalui tangan gubernurnya untuk daerah Yatsrib (Madinah). Imam Ash-Shâdiq mengalami rasa sakit yang sangat menyakitkan, dan maut pun menghampirinya dengan cepat. Selang beberapa masa, ruhnya yang suci itu menghadap Sang Pencipta sebagai ruh tersuci yang naik ke atas langit.

Tonggak Islam dan pemimpin kebangkitan pemikiran dan ilmiah-yang tidak tertandingi oleh siapa pun dalam kejeniusan dan keluasan ilmu pengetahuannya kecuali oleh nenek moyangnya itu-telah meninggal dunia. Putra dan washî-nya, Imam Al-Kâzhim as. melaksanakan ritual pemakamannya. Imam Al-Kâzhim memandikan jenazahnya, mengafani, menyalati, dan lalu menguburkannya di pemakaman Baqi' di samping kakeknya, Imam Zainul Abidin as. dan ayahnya, Imam Muhammad Al-Bâqir as. Dengan kepergiannya itu, ilmu pengetahuan dan segala sesuatu yang menjadi faktor keagungan umat manusia pun ikut terkuburkan pula.




Catatan Kaki:

Al-Imam As-Shâdiq as. Kama 'Arafahu 'Ulamâ' Al-Gharb, hal. 120-130.

Hayâh Al-Imam Ash-Shâdiq as., jilid 1, hal. 34.

Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Bâqir as., jilid 1, hal. 38.

Al-Imam As-Shâdiq as. Kama 'Arafahu 'Ulamâ' Al-Gharb, hal. 112.

Wasîlah Al-Ma'âl fi Manâqib Al-?l, hal. 208.

( ) Al-Imam Ash-Shâdiq as., hal. 101-102.

( ) Hayâh Al-Imam Ash-Shâdiq as., jilid 1, hal. 131.

( ) Ja'far Ash-Shâdiq Mulhim Al-Kimiya', hal. 32.

Ja'far bin Muhammad as., hal. 59.

Al-Irsyâd, jilid 2, hal. 179; I'lam Al-Wara, jilid 1, hal. 535; Al-Mu'tabar, jilid 1, hal. 26.

Ash-Shawâ'iq Al-Muhriqah, hal. 120.

Al-Ushûl Al-Fikriyah li Ats-Tsaqâfah Al-Islamiyah, jilid 1, hal. 203.

Hayâh Al-Imam Ash-Shâdiq as., jilid 1, hal. 134.

Al-Imam Ash-Shâdiq wa Al-Madzâhib Al-Arba'ah, jilid 1, hal. 62.

Hayâh Al-Imam Ash-Shâdiq as., jilid 1, hal. 135.

Ja'far bin Muhammad as., hal. 59.

Târîkh Al-Kufah, hal. 408.

( ) Hayâh Al-Imam Ash-Shâdiq as., jilid 1, hal. 136.

( ) Mustadrak Al-Wasa'il, jilid 17, hal. 292, hadis ke-292.

( ) Al-Imam Ash-Shâdiq Kama 'Arafahu Ulama' Al-Gharb, hal. 54; Jabir bin Hayyan wa Khulafa'uh, hal. 57.

( ) Mir'ah Al-Jinan, jilid 1, hal. 304; Al-A'lam, jilid 1, hal. 186.

( ) Adz-Dzari'ah, jilid 6, hal. 301-374.

Hayâh Al-Imam Ash-Shâdiq as., jilid 1, hal. 66.

Ath-Thabaqât Al-Kubrâ, jilid 1, hal. 32.

Nabâthi adalah sebuah kabilah Arab yang hidup di daerah pertengahan antara Kufah dan Bashrah-pen.

Hayâh Al-Imam Ash-Shâdiq as., jilid 1, hal. 66.

Manâqib Ali Abi Thalib, jilid 4, hal. 345; Amali Ath-Thusi, jilid 1, hal. 287.

Târîkh Al-Islam, jilid 6, hal. 45; Mir'âh Az-Zamân, jilid 6, hal. 160; Tahdzîb Al-Kamâl, jilid 5, hal. 87.

Hayâh Al-Imam Ash-Shâdiq as., jilid 1, hal. 64.

Ibid.

Majmû'ah Warram, jilid 2, hal. 82.

Hayâh Al-Imam Ash-Shâdiq as., jilid 1, hal. 71.

Qurb Al-Isnâd, hal. 28.

Jamharah Al-Awliyâ', jilid 2, hal. 79.

Bahjah Al-Majâlis, jilid 1, hal. 394.

Da'âim Al-Islam, jilid 2, hal. 12.

Al-Ghâyât, hal. 100.

Ibid. hal. 85.

Jâmi' Al-Akhbâr, hal. 22.

Tuhaf Al-'Uqûl, hal. 357.

Al-Hikam Al-Ja'fariyah, hal. 46.

Al-Mahâsin, hal. 209.

Majmû'ah Warram, jilid 2, hal. 185.

Tuhaf Al-'Uqûl, hal. 366.

Ushûl Al-Kâfî, jilid 2, hal. 196.

Hayâh Al-Imam Ash-Shâdiq as., jilid 4, hal. 481.

Al-Imam Ash-Shâdiq as. wa Al-Madzâhib Al-Arba'ah, jilid 4, hal. 354.

Ibid. hal. 351.

Ibid. hal. 357.

Al-Mahâsin, hal. 207.

Tadzkirah Abi Hamdûn, hal. 85.

Târîkh Al-Ya'qûbî, jilid 3, hal. 116.





10


Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.




IMAM MUSA Al-KAZHIM

Kehidupan Imam Mûsâ bin Ja'far as. dipenuhi dengan pancaran cahaya, kemuliaan, dan perilaku cemerlang yang merefleksikan sepiritual, perjuangan, pengabdian, dan konsistensi Rasulullah saw. terhadap Islam. Berikut ini, kami paparkan sebagian dari sisi-sisi kehidupan imam yang satu ini.




Keluasan Ilmu

Para perawi hadis dan penulis biografi sepakat bahwa Imam Mûsâ as. adalah orang yang paling alim pada zamannya. Ia memiliki keluasan ilmu dan makrifat yang luar biasa. Banyak ulama dan perawi hadis yang meneguk ilmu pengetahuan darinya. Mereka berbondong-bondong menulis fatwa, mutiara hikmah, dan adab yang ia sampaikan. Imam Mûsâ as. di kalangan para imam Ahlul Bait as. adalah imam pertama yang mencetuskan bab halal dan haram dalam syariat Islam.

Pada masa itu, banyak ulama besar dan fuqaha yang menamatkan pelajaran dari madrasah Imam Mûsâ as. Kami telah menulis biografi para sahabat dan perawinya sebanyak 331 orang dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as. Sebagian dari mereka memiliki peran penting dalam dunia ilmu pengetahuan pada masa itu. Dan sebagian yang lain terjun dalam dunia diskusi dan dialog dengan para ulama yang mengingkari imâmah, dan dengan ulama-ulama lain dari golongan dan mazhab yang berbeda-beda. Di antara sahabat Imam Mûsâ yang menonjol dalam dunia diskusi dan dialog adalah Hisyâm bin Hakam. Dia banyak melakukan diskusi dan dialog yang mengagumkan dengan para pengikut aliran Barâmikah.

Dalam sebuah dialog di pendopo kerajaan Bani Abbâsiyah, Hisyâm berhasil membuktikan keyakinan Syi'ah tentang konsep imâmah dengan argumentasi dan dalil yang kuat. Kami telah memaparkan kisah ini dalam biografi Hisyâm bin Hakam yang terdapat dalam buku kami, Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as., jilid 2.




Dialog Imam Mûsâ as.

Imam Mûsâ as. sering melakukan dialog yang mengagumkan dan tangguh dengan para musuhnya dan sebagian ulama Yahudi dan Nasrani. Hal itu menunjukkan sejauh mana keluasan dan kekuatan ilmu pengetahuannya. Setiap orang yang pernah berdebat dengannya mengakui kelemahan dan kekalahan dirinya. Mereka bertekuk lutut di hadapan hujah-hujahnya dan mengakui keunggulan ilmunya atas ilmu mereka.

Berikut ini kami bawakan sebagian dialog Imam Mûsâ as. tersebut.




1. Dialog Imam Mûsâ as. dengan Nafî' Al-Anshârî

Nafî' Al-Anshârî adalah salah seorang yang membenci Imam Mûsâ as. Dia sangat marah ketika melihat Imam Mûsâ as. begitu dihormati di pendopo kerajaan Bani Abbâsiyah.

Dalam suatu pertemuan, ketika hendak masuk menemui Hârûn, Imam Mûsâ as. disambut oleh penjaga pintu dengan penuh penghormatan. Nafî' bergegas berjalan. Pada waktu itu, ia disertai oleh Abdul Aziz. Nafî' bertanya kepadanya: "Siapakah orang ini?" Abdul Aziz menjawab: "Dia adalah pemuka keluarga Abu Thalib, Mûsâ bin Ja'far as."

Mendengar jawaban itu, Nafî' berkata: "Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih lemah dari kaum ini (Banni Abbâsiyah). Mereka menghormati seseorang yang bisa menggulingkan mereka dari takhta kerajaan. Jika dia keluar, aku akan mengganggunya."

Abdul Aziz melarang Nafî' untuk mengganggu Imam Mûsâ as. seraya berkata: "Jangan kau lakukan itu. Sesungguhnya mereka adalah Ahlul Bait. Tidak ada seorang pun yang mengganggunya dengan ucapan, kecuali orang itu pasti dipecundangi dengan suatu jawaban yang akan tetap menjadi tanda kehinaannya untuk selama-lamannya."

Ketika Imam Mûsâ as. keluar dari ruang pertemuan Hârûn, Nafî' menghampirinya dan memegang kendali kudanya. Nafî' berkata: "Siapakah engkau?"

Imam Mûsâ manjawab: "Hai Fulan, jika kamu menginginkan nasabku, aku adalah putra Muhammad Habîbullâh, putra Ismail Dzabîhullâh, dan putra Ibrahim Khalîlullâh. Jika kamu menginginkan kota, maka aku berasal dari kota yang Allah swt. mewajibkan kaum muslimin dan kamu-bila kamu termasuk dari kalangan mereka-untuk melakukan ibadah haji kepadanya. Jika kamu menginginkan kebanggaan, demi Allah orang-orang musyrik kaumku tidak senang muslimin kaummu sebagai padanan mereka, sehingga mereka berkata, 'Hai Muhammad, keluarkanlah orang-orang yang sepadan dengan kami dari kalangan kaum Quraisy saja.' Hai fulan, lepaskanlah kendali kudaku!"

Nafî' pun mengaku kalah dan tampak marah sekali karena ia telah dipecundangi oleh Imam Mûsâ as.




2. Dialog Imam Mûsâ as. dengan Abu Yusuf

Suatu hari Hârûn memerintahkan Abu Yusuf untuk bertanya kepada Imam Mûsâ as. tentang masalah fiqh. Hârûn berharapan Imam Mûsâ as. tidak mampu untuk menjawab sehingga kelemahan ini bisa dimanfaatkan untuk menghina dan memojokan Imam Mûsâ as. Hârûn pun mempertemukan Imam Mûsâ dengan Abu Yusuf. Abu Yusuf mulai bertanya kepada Imam Mûsâ as.: "Apa pendapatmu tentang bernaung bagi orang yang sedang melakukan ihram?"

"Tidak boleh", jawab Imam Mûsâ pendek.

Abu Yusuf bertanya lagi: "Bagaimana jika membangun kemah dan masuk ke dalam rumah?"

"Tidak masalah", jawab Imam Mûsâ.

Abu Yusuf menimpali: "Apa perbedaan antara keduanya?"

"Apakah wanita yang sedang haid wajib mengqadha salat?", Imam Mûsâ balik bertanya.

"Tidak", jawab Abu Yusuf.

Imam Mûsâ as. bertanya: "Apakah ia wajib mengqadha puasanya?"

"Ya", jawab Abu Yusuf.

"Mengapa?", tanya Imam Mûsâ lagi.

"Seperti itulah ketentuannya", jawab Abu Yusuf pendek.

Imam Mûsâ as. menimpali: "Begitu juga ketentuannya dalam masalah ini."

Abu Yusuf terdiam seribu bahasa. Ia tampak tidak berdaya di hadapan Imam Mûsâ as. Hârûn bertanya kepadanya: "Mengapa kamu tidak menjawab?"

Abu Yusuf berkata: "Dia telah membungkam mulutku dengan batu yang tajam."

Imam Mûsâ as. keluar dari pertemuan itu, sedangkan Hârûn Ar-Rasyîd kelihatan marah karena telah gagal menjatuhkan Imam Mûsâ as.




3. Bersama Hârûn Ar-Rasyîd

Hârûn menahan Imam Mûsâ as. dan memasukkannya ke dalam penjara selama beberapa tahun. Suatu hari, ia memeritahkan supaya Imam Mûsâ as. menghadap. Ketika Imam Mûsâ as. sudah menghadap, Hârûn berkata dengan suara keras karena marah: "Hai Mûsâ bin Ja'far, ada dua khalifah yang uang pajak diberikan kepada mereka."

Imam as. berpaling kepadanya dengan bersahabat dan lemah lembut seraya berkata: "Hai Amirul Mukminin, aku memperlindungkan kamu kepada Allah swt. dari menanggung dosaku dan dosamu dan dari menerima kebatilan dari musuh-musuh kami atas kami. Sesungguhnya kamu telah mengetahui bahwa kami didustakan dari semenjak kematian Rasulullah saw. dengan sesuatu yang beliau ketahui ada di sisimu. Jika kamu meyakini tali kekerabatan antara kamu dengan Rasulullah saw., izinkan aku untuk menyampaikan satu hadis yang telah disampaikan oleh ayahku dari ayah-ayahnya dan berasal dari kakekku, Rasulullah saw."

Hârûn berkata: "Aku telah izinkan."

Imam Mûsâ as. berkata: "Ayahku memberitahukan kepadaku suatu hadis yang ia riwayatkan dari dari ayah-ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah saw. bahwa Rasulullah saw. bersabda, 'Sesungguhnya jika rahim menyentuh rahim, maka ia akan bergerak dan bergoncang. Maka ulurkanlah tanganmu kepadaku.'"

Hârûn pasrah dan menjulurkan tangannya kepada Imam Mûsâ as. Lalu Hârûn menarik Imam Mûsâ ke arah dirinya dan memeluknya erat-erat sedang matanya berlinang air mata. Hârûn berkata kepada Imam Mûsâ as.: "Engkau benar dan benar juga kakekmu. Sesungguhnya darahku terasa bergerak dan nadiku bergetar sehingga aku pun pasrah dan air mataku bercucuran. Ada masalah yang hendak kutanyakan kepadamu. Masalah ini selalu bergejolak dalam hatiku dari dulu dan aku belum pernah menanyakannya kepada siapa pun. Jika kamu menjawab pertanyaanku ini, maka aku akan membebaskanmu dan aku tidak akan mempercayai ucapan siapa pun tentang dirimu. Sungguh aku mendengar bahwa kamu tidak pernah berbohong dan aku mempercayai hal itu. Maka jawablah pertanyaan yang ada dalam hatiku ini dengan sejujurnya."

Imam Mûsâ as. berkata: "Ilmu tentang hal itu tidak ada di sisiku. Tapi aku akan memberitahukan kepadamu tentang hal itu bila kamu menjamin keselamatanku."

Hârûn menjawab: "Kamu aman, jika kamu menjawab pertanyaanku dengan jujur dan meninggalkan taqiyah yang kamu yakini itu, hai keturunan Fathimah."

Imam Mûsâ as. berkata: "Tanyakanlah apa yang ingin kau inginkan."

Hârûn berkata: "Mengapa kalian diutamakan atas kami, padahal kalian dan kami berasal dari satu pohon? Bani Abdul Muthalib, ayah kami, dan ayah kalian adalah satu. Bani Abbâs dan kalian adalah keturunan Abu Thalib. Mereka berdua (Abu Thalib dan Abbâs) adalah paman Rasulullah saw. dan hubungan kekerabatan mereka berdua adalah sama?"

Imam Mûsâ as. menjawab: "Kami lebih dekat (kepada Rasulullah saw.)."

"Bagaimana bisa?", tukas Hârûn.

Imam Mûsâ as. menjawab: "Karena Abdullah dan Abu Thalib adalah saudara sekandung, sedangkan ayah kalian, Abbâs, tidak dilahirkan dari ibu Abdullah dan Abu Thalib."

Hârûn lebih lanjut bertanya: "Mengapa kalian mengaku dapat mewarisi Rasulullah, sedangkan seorang paman dapat menghalangi anak seorang paman yang lain (dari warisan)? Rasulullah saw. wafat dan Abu Thalib telah meninggal sebelum itu, sedangkan Abbâs, paman Rasulullah, masih hidup kala itu."

Imam Mûsâ as. menjawab: "Saya mohon Amirul Mukminin memaafkanku dari pertanyaan ini, dan silakan bertanya tentang masalah-masalah yang lain."

"Tidak! Kamu harus menjawabnya", jawab Hârûn bersikeras.

Imam Mûsâ as. menimpali: "JAmînlah keamanan bagiku!"

Hârûn menjawab: "Sudah aku jAmîn sebelum kita memulai dialog."

Imam Mûsâ as. menjawab: "Menurut pendapat Ali, jika anak kandung masih ada, baik laki-laki maupun perempuan, maka pewaris yang lain tidak berhak memperoleh harta warisan, kecuali kedua orang tua, suami, dan istri. Paman tidak berhak memperoleh harta warisan selama anak kandung masih hidup. Hanya saja, menurut pendapat Bani Taim, Bani 'Adî, dan Bani Umayyah, paman adalah seperti ayah. Pendapat mereka itu masing-masing tidak memiliki realita dan bukti dari Nabi saw."

Kemudian Imam Mûsâ as. menyebutkan pendapat para fuqaha pada zaman itu yang memiliki fatwa sama dengan fatwa kakeknya, Amirul Mukminin as., dalam masalah ini. Ia menambahkan: "Para fuqaha terdahulu Ahlusunah telah meriwayatkan dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda, 'Ali adalah paling alim di antara kalian (aqdhâkum).' Umar bin Khaththab juga berkata, 'Ali adalah orang yang paling alim di antara kita (aqdhânâ).' Dan kosa kata qadhâ' adalah kata benda yang meliputi segala sesuatu. Karena semua yang dipuji pada diri Nabi saw., seperti keahlian membaca, pengetahuan tentang kewajiban, dan ilmu pengetahuan termasuk dalam kategori qadhâ'."

Hârûn meminta supaya Imam Mûsâ as. menjelaskan masalah itu lebih rinci lagi. Imam Mûsâ as. berkata: "Sesungguhnya Nabi saw. tidak mewariskan kepada orang yang tidak berhijrah dan tidak pula menetapkan wilâyah untuknya sehingga dia berhijrah."

"Apa dalilmu", tanya Hârûn pendek.

Imam Mûsâ as. berkata: "Firman Allah swt., 'Dan orang-orang yang beriman akan tetapi tidak berhijrah, maka tidak ada sedikit pun wilâyah bagi kalian atas mereka sehingga mereka berhijrah.' Sesungguhnya pamanku, Abbâs, tidak berhijrah."

Hârûn pun marah seraya berkata kepada Imam Mûsâ as.: "Apakah engkau telah berfatwa kepada salah seorang dari musuh kami, ataukah engkau telah memberi tahu tentang hal ini kepada salah seorang di antara para fuqaha?"

Imam Mûsâ as. menjawab: "Tidak. Belum ada seorang pun yang bertanya tentang hal ini selain engkau."

Kemarahan Hârûn pun reda. Ia melanjutkan pertanyaannya: "Mengapa engkau izinkan orang-orang khusus dan umum untuk menisbahkan kalian kepada Rasulullah saw. dan memanggil kalian, 'Wahai putra Rasulullah.' Padahal kalian adalah keturunan Ali. Nasab keturunan seseorang hanya menyambung kepada ayahnya, sementara Fathimah hanyalah sebagai wadah, dan Rasulullah adalah kakekmu dari pihak ibu kalian?"

Imam Mûsâ as. menjawab pertanyaan Hârûn ini dengan hujah yang tegas. Ia berkata: "Jika seandainya Nabi saw. dihidupkan kembali dan melamar anak perempuanmu, apakah kamu akan menerima lamaran beliau?"

Hârûn menjawab: "Maha suci Allah! Mengapa aku tidak menerimanya? Bahkan aku akan berbangga diri dengan lamaran itu terhadap bangsa Arab, 'Ajam, dan suku Quraisy."

Imam Mûsâ menjawab as.: "Akan tetapi, beliau tidak akan melamar anakku dan aku juga tidak akan menikahkan anakku dengannya."

"Mengapa tidak?", tanya Hârûn pendek.

Imam Mûsâ as. menjawab: "Karena beliau telah melahirkanku dan tidak melahirkanmu."

Hârûn: "Bagus, hai Mûsâ. Tetapi bagaimana kalian mendakwa bahwa kalian adalah keturunan Nabi saw., padahal beliau tidak memiliki keturunan? Sesungguhnya nasab keturunan itu diukur melalui jalur pihak laki-laki, bukan melalui jalur pihak perempuan. Dan kalian adalah keturunan putrinya."

Imam Mûsâ as. menjawab: "Aku mohon kepadamu-berkat hubungan kekerabatan kita-agar kamu memaafkanku (dari pertanyaan ini)."

Hârûn menjawab: "Tidak, atau kamu mengajukan hujahmu tentang masalah ini, hai putra Ali as. Dan engkau, hai Mûsâ, adalah pemimpin dan imam zaman mereka. Aku tidak akan memaafkanmu."

Imam Mûsâ as. balik bertanya: "Apakah kamu mengizinkan aku menjawab?"

"Silakan", jawab Hârûn pendek.

Imam Mûsâ as. menjawab: "Allah swt. berfirman, '... dan dari keturunannya adalah Dâwûd, Sulaimân, Ayyûb, Yûsuf, Mûsâ, dan Hârûn. Begitulah kami membalas orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan (begitu juga) Zakariâ, Yahyâ, Isa, dan Ilyâs. Semuanya termasuk orang-orang yang saleh.' Hai Amirul Mukminin, siapakah ayah Isa?"

Hârûn menjawab: "Isa tidak memiliki ayah."

Imam Mûsâ as. menjawab: "Allah memasukkannya ke dalam keturunan para nabi melalui jalur Maryam. Begitu juga Allah swt. memasukkan kami kepada keturunan Rasulullah saw. melalui ibu kami, Fathimah as."

Hârûn meminta hujah yang lebih rinci tentang masalah itu.

Maka Imam Mûsâ as. menambahkan: "Allah swt. berfirman, 'Barang siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya), 'Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anakmu, istri-istri kami dan istri-istrimu, diri kami dan dirimu; kemudian marilah kita ber-mubâhalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.' Tak seorang pun yang berpendapat bahwa Nabi saw. memasukkan seseorang ke dalam Kisâ' ketika beliau ber-mubâhalah dengan kaum Nasrani, kecuali Ali bin Abi Thalib, Fathimah, Hasan, dan Husain."

Hujah Hârûn pun musnah dan Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. telah menutup seluruh celah yang dapat digunakan oleh Hârûn untuk melarikan diri.

Dengan dialog itu, kami tutup seri dialog Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. Kami telah mengumpulkan dialog-dialog Imam Mûsâ as. dalam buku kami, Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as., jilid 1.




Karakter dan Jati Diri Imam Mûsâ Al-Kâzhim as.

Sesungguhnya karakter yang agung dan perilaku yang mulia adalah jati diri, ciri khas, dan bagian yang tak terpisahkan dari diri Imam Mûsâ as. Kami akan memaparkan sebagian karakter dan jati dirinya berikut ini:




1. Kehebatan Ilmu

Semua perawi hadis sepakat bahwa Imam Al-Kâzhim as. merupakan orang yang paling 'alim pada zamannya. Ilmunya tergolong kategori ilham seperti halnya ilmu para nabi dan washî. Para teolog Syi'ah telah membuktikan hal ini dengan beberapa dalil dan argumentasi. Ayahnya, Imam Ash-Shâdiq as. telah bersaksi akan kemampuan ilmu yang dimiliki oleh putranya itu. Imam Ash-Shâdiq as. pernah berkata kepada Isa: "Jika engkau bertanya kepada anakku ini tentang apa yang ada dalam mushaf ini, maka ia akan mampu menjawabnya."

Imam Ash-Shâdiq as. juga berkata: "Dia (Imam Mûsâ as.) memiliki hikmah, pemahaman, kedermawanan, dan makrifah atas segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia tentang masalah agama yang mereka perselisihkan."

Syaikh Mufid berkata: "Orang-orang telah meriwayatkan banyak sekali riwayat dari Abul Hasan Mûsâ as. Dan ia adalah orang yang paling faqih pada zamannya." Para ulama telah meriwayatkan dari Imam Mûsâ as. aneka ragam ilmu pengetahuan tekstual dan rasional sehingga ia terkenal di kalangan para perawi sebagai orang yang alim.




2. Zuhud Terhadap Dunia

Imam Mûsâ as. telah berpaling dengan sepenuh hati dari kegemerlapan dan perhiasan kehidupan. Ia hanya menfokuskan diri kepada Allah swt. dan senantiasa melakukan segala sesuatu yang bisa mendekatkan diri kepada-Nya. Ibrahim bin Abdul Hamid pernah bercerita tentang kezuhudan Imam Mûsâ as. Ia berkata: "Suatu hari aku masuk ke rumah Imam Mûsâ as. Pada waktu itu, ia sedang mengerjakan salat, dan tidak ada sesuatu apapun di dalam rumahnya kecuali sehelai kain kasar, pedang yang tergantung, dan mushaf."

Sungguh kehidupan Imam Mûsâ as. sangat zuhud. Rumahnya sangat sederhana, padahal ia menerima harta yang banyak dan hak-hak syar'î dari masyarakat Syi'ah. Ia menginfakkan semua harta itu untuk fakir miskin, orang-orang yang membutuhkan, dan untuk kepentingan di jalan dan keridaan Allah swt. Imam Mûsâ as. merasa kagum dengan kezuhudan sahabat Nabi, Abu Dzar. Ia pernah bercerita kepada para sahabatnya mengenai kehidupan Abu Dzar seraya berkata: "Semoga Allah memberikan rahmat kepada Abu Dzar. Ia pernah berkata, 'Allah telah mencukupkan dunia bagiku sebagai sebuah kehinaan dengan dua adonan gandum; aku makan siang dengan satu adonan dan makan malam dengan adonan yang lain, dan dengan dua helai pakaian bulu yang kasar; satu helai kukenakan dan satu helai yang lain kugunakan sebagai penutup tubuhku."

Begitulah keturunan Nabi saw. yang satu ini hidup zuhud di dunia, berpaling dari keindahan, dan kegemerlapannya. Ia telah berhasil memaksa dirinya hidup renta hanya demi mengharap pahala Allah swt.




3. Kedermawanan

Salah satu karakter Imam Mûsâ as. yang luhur adalah ia telah menjadi buah bibir masyarakat luas dalam kedermawanan. Kaum fakir dan miskin berbondang-bondang mendatanginya untuk mendapatkan kebaikan dan kemurahannya. Keluarga Imam Mûsâ berkata: "Sangat aneh sekali curahan pemberian yang telah diberikan oleh Mûsâ, sementara ia dalam kekuarangan dan kefakiran."

Imam as. sering keluar di malam yang gelap gulita untuk memberikan santunan kepada orang-orang fakir dan miskin. Santunan yang ia selalu berikan mencapai dua ratus sampai empat ratus dinar. Orang-orang fakir di Madinah menikmati kebaikan, pemberian, dan santunannya. Pada jilid 1 buku Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as., kami telah sebutkan segolongan orang fakir yang telah banyak dibantu oleh Imam Mûsâ Al-Kâzhim as.




4. Memenuhi Kebutuhan Orang Lain

Salah satu karakter Imam Kâzhim as. yang lain adalah keinginan untuk memenuhi kebetuhan orang lain. Ia tidak menunda-nunda untuk membantu orang yang membutuhkan. Ia dikenal dengan sifat mulia ini. Kaum lemah selalu mendatanginya demi meminta pertolongan darinya, dan Imam Al-Kâzhim as. senantiasa memenuhi kebutuhan mereka. Di antara mereka adalah seorang penduduk kota Rei. Ia memiliki utang yang menumpuk kepada negara. Ia menanyakan tentang penguasa daerah itu. Ia diberitahu bahwa penguasa itu adalah seorang Syi'ah Ahlul Bait as. Maka penghuni Rei itu berangkat ke Madinah untuk memohon petunjuk kepada Imam Mûsâ as. Imam Mûsâ as. mengutusnya kembali untuk menjumpai penguasa daerah tersebut dengan membawa sepucuk surat. Isi surat itu adalah berikut ini:

Camkanlah bahwa di bawah 'Arsy Allah swt. terdapat sebuah naungan yang tidak akan didiami kecuali oleh orang yang berbuat baik kepada saudara seimannya, meringankan kesusahanya, atau memasukkan kebahagiaan ke dalam hatinya. Dan orang ini adalah saudaramu. Wassalaam.

Penghuni Rei itu mengambil surat tersebut dan berangkat menjumpai penguasa daerah itu dengan membawa surat dari Imam Al-Kâzhim as. itu. Ketika sampai di istana, ia mengetuk pintu. Budah penguasa daerah itu keluar seraya bertanya: "Siapa kamu?"

Penghuni Rei itu menjawab: "Aku adalah utusan Ash-Shâbir (orang yang sabar), Mûsâ."

Dengan serta-merta budak itu masuk ke dalam istana untuk memberitahukan hal itu kepada tuannya. Sang tuan keluar dengan telanjang kaki dan segeral menanyakan keadaan Imam Al-Kâzhim as. Ia menyambut penghuni Rei itu dengan hangat dan penuh penghormatan. Penghuni Rei menyerahkan surat dari Imam Al-Kâzhim as. kepadanya. Penguasa daerah itu langsung menciumnya. Setelah membaca surat itu, ia menyuruh budaknya untuk membawakan semua harta (yang telah disita negara) dan memberikannya kepada penghuni Rei itu. Untuk harta yang tidak bisa diserahkan, penguasa daerah itu menyerahkan harganya. Dengan lembut lembut, ia bertanya: "Hai saudaraku, apakah aku telah membuatmu bahagia dengan ini?"

Penghuni Rei itu menjawab: "Ya, demi Allah. Bahkan lebih dari itu."

Kemudian penguasa daerah itu meminta buku yang berisi catatan seluruh utang penghuni Rei itu. Ia memerintahkan supaya semua utang itu dihapus dan penghuni Rei itu dinyatakan bebas. Penghuni Rei itu keluar dari istana dengan penuh gembira dan kembali ke kotanya. Tak lama kemudian, ia pergi ke Madinah dan memberitahukan seluruh kebaikan penguasa daerah itu kepada Imam Al-Kâzhim as. Imam Al-Kâzhim as. pun sangat bahagia. Penghuni Rei itu bertanya kepada Imam Al-Kâzhim as.: "Wahai tuanku, apakah Anda senang mendengar ini?"

Imam Al-Kâzhim as. menjawab: "Ya, demi Allah. Sungguh ia telah membuat aku dan Amirul Mukminin bahagia. Demi Allah, ia telah membuat Rasulullah saw. bahagia. Sungguh ia juga telah membuat Allah swt. bahagia."

Imam Al-Kâzhim as. terkenal dengan karakter ini. Fatwanya yang menyatakan bahwa kafarah seorang penguasa adalah berbuat baik kepada saudara-saudaranya telah tersebar luas di antara kaum Syi'ah.




5. Ibadah dan Ketaatan kepada Allah swt.

Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. adalah orang yang paling 'abid pada zamannya sehingga ia diberi gelar Al-'Abd Ash-shâlih (hamba yang saleh) dan Zain Al-Mujtahidîn (hiasan para 'abid). Umat manusia tedak pernah terlihat orang seperti Imam Al-Kâzhim as. dalam ibadah kepada Allah swt. Menurut riwayat para perawi hadis, ketika Imam Al-Kâzhim as. berdiri di hadapan Allah swt. untuk mengerjakan salat, matanya basah dengan air mata dan hatinya berdebar serta menggigil karena takut kepada Allah swt.

Di antara manifestasi dan bukti-bukti penghambaan Imam Al-Kâzhim as. adalah ia pernah masuk ke dalam masjid Nabi saw. di permulaan awal malam. Ia lantas bersujud sekali sembari merintih seraya berkata: "Sungguh dosaku sangatlah banyak. Maka baguskanlah pengampunan dari sisi-Mu, wahai ahli ketakwaan dan ahli pengampunan." Imam Al-Kâzhim as. selalu mengulang-ulangi ucapan ini dengan khusyuk dan bersimpuh di haribaan Allah swt. hingga pagi tiba.

Imam Al-Kâzhim as. selalu mengerjakan salat sunah malam dan menyambungnya dengan salat Shubuh. Kemudian ia membaca ta'qîb (wirid) salat hingga matahari terbit. Lalu ia bersimpuh bersujud di haribaab Allah swt. dan tidak mengangkat kepalanya dari doa hingga mendekati matahari tergelincir.

Asy-Syaibânî meriwayatkan: "Setiap hari, Abul Hasan Mûsâ as. selalu melakukan sujud dari terbit matahari hingga menjelang matahari tergelincir selama sepuluh tahun. Ketika Hârûn memasukannya ke dalam penjara yang dikepalai oleh Ar-Rabî', Hârûn memperhatikan gerak-gerik Imam Al-Kâzhim as. dari atas istananya. Harun tidak melihat seorang pun dalam penjara yang tampak. Yang tampak hanyalah setumpuk baju yang tergeletak dan tidak bergerak sedikit pun. Hârûn bertanya kepada Ar-Rabî', 'Baju apa yang sering aku lihat di tempat itu?'

Ar-Rabî' pun segera menjawab: 'Ya Amirul Mukminin, itu bukanlah baju. Itu adalah Mûsâ bin Ja'far yang selalu melakukan sujud setiap hari dari terbit matahari hingga menjelang matahari tergelincir.'

Hârûn pun berkata dengan nada keheranan, 'Sungguh dia adalah rahib Bani Hasyim.'

Ar-Rabî' berpaling kepada Hârûn seraya berkata, 'Ya Amirul Mukminin, mengapa Anda mengurungnya dalam penjara?'

Hârûn menjawab, 'Celaka kamu! Sesungguhnya ini harus aku lakukan.'

Saudara perempuan As-Sindî bin Syâhik pernah memasuki penjara ketika Imam Al-Kâzhim as. berada di dalam tahanan saudaranya. Ia berkata, 'Jika dia (Imam Al-Kâzhim as.) mengerjakan salat Isya', ia bertahmid, memuji, dan berdoa kepada Allah swt. hingga pertengahan malam sirna. Kemudian ia berdiri dan mengerjakan salat hingga waktu salat Shubuh tiba, dan ia pun mengerjakan salat Shubuh. Setelah itu ia berzikir kepada Allah swt. hingga matahari terbit. Kemudian ia duduk dan lalu bersujud hingga menjelang matahari tergelincir. Setelah itu, ia berwudu dan mengerjakan salat hingga mengerjakan salat Ashar. Lalu ia berzikir hingga salat Maghrib. Setelah itu, ia mengerjakan salat sunah antara salat Maghrib dan Isya'. Begitulah kebiasaanya hingga ia wafat.'"

Karena banyaknya bersujud, seluruh anggota sujud Imam Al-Kâzhim as. mengeras seperti kulit lutut unta. Ia memiliki seorang budak yang selalu memotong kulit keras bekas sujud di dahi dan ujung hidungnya. Tentang hal ini seorang penyair berkata:

Kulitnya mengeras karena sujud panjang, yang telah melukai dahi kepalanya.

Dia melihat kesempatan di penjara, sebagai sebuah nikmat yang layak disyukuri.

Inilah sebagian manifestasi ibadah Imam Al-Kâzhim as. yang menghikayatkan ibadah nenek moyangnya yang yang telah menyerahkan seluruh hidup mereka kepada Allah swt. dengan tulus. Tentang ibadah Imam Al-Kâzhim as. ini, kami telah memaparkannya dalam buku kami, Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as.




6. Kesabaran dan Menahan Amarah

Di antara karakter dan jati diri Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. yang paling menonjol adalah kesabaran dan mengekang amarah. Ia selalu memaafkan orang yang berbuat jahat kepadanya dan lapang dada terhadap orang yang menyakitinya. Bahkan ia selalu berbuat baik kepada orang yang berbuat tidak baik kepada dirinya. Reaksi semacam ini membuat sifat egoisme dan keburukan seseorang menjadi hilang.

Para ahli sejarah banyak menceritakan manifestasi kemurahan hati Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. Menurut sebuah riwayat, seseorang dari keturunan Umar bin Khaththab pernah berbuat buruk terhadap Imam Al-Kâzhim as. dan mencaci-maki nenek moyangnya. Sebagian sahabat geram dan hendak memberi pelajaran kepada orang tersebut. Imam Al-Kâzhim as. melarang sahabat itu untuk melakukan hal itu, karena ia ingin menyelesaikanya dengan jalan yang lain.

Imam Al-Kâzhim as. menanyakan tempat tinggal orang itu. Sahabat yang ditanya menjawab bahwa ia tinggal di sebuah sawah di sekitar kota Madinah. Imam Al-Kâzhim as. langsung menunggangi keledainya dan pergi menemuinya dengan menyamar. Imam Al-Kâzhim menemukan keturunan Umar itu. Ketika Imam Al-Kâzhim tiba di sisinya, orang itu mengenali Imam Al-Kâzhim. Orang itu langsung marah karena melihat tunggangan keledai Imam Al-Kâzhim as. telah merusak tanamannya. Imam Al-Kâzhim as. menghadapinya dengan lemah lembut seraya bertanya: "Berapakah ganti rugi yang kamu inginkan untuk kebun ini?"

"Seratus dinar", jawabnya pendek.

Imam Al-Kâzhim as. kembali bertanya: "Berapakah keuntungan yang dapat kamu peroleh dari hasil sawah ini?"

"Aku tidak mengetahui ilmu gaib", jawab orang itu pendek.

Imam Al-Kâzhim as. bertanya lagi: "Yang kumaksud, berapakah keuntungan yang kamu harapkan dari hasil sawah ini?"

Ia menjawab: "Aku berharap keuntungan sebanyak dua ratus dinar."

Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. memberikan tiga ratus dinar kepadanya seraya berkata: "Ini untukmu, tanamanmu juga tetap menjadi milikmu."

Keturunan Khalifah Umar itu merasa malu atas kekurangajaran yang telah diperbuatnya terhadap Imam Al-Kâzhim as. Ia pun bergegas pergi ke masjid Nabawi. Ketika Imam Al-Kâzhim as. menyambutnya, orang itu pun berdiri dan menghampiri Imam Al-Kâzhim as. seraya berkata dengan suara yang keras: "Allah adalah lebih tahu di mana Dia harus meletakkan risalah-Nya."

Para sahabat orang itu berdatangan menghampirinya seraya menanyakan tentang perubahan menakjubkan itu. Ia menjawab dengan menjelaskan kemurahan Imam Al-Kâzhim as. Imam Al-Kâzhim as. menoleh kepada para sahabat seraya mengajukan pertanyaan: "Manakah yang lebih baik, cara yang kalian inginkan itu ataukah cara yang kugunakan untuk memperbaiki sikapya itu?"

Salah satu manifestasi kesabaran Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. yang lain adalah kisah berikut ini:

Imam Kâzhim as. melewati sekelompok musuhnya. Di antara mereka terdapat Ibn Hayyâj. Ibn Hayyâj mengisyaratkan kepada salah seorang temannya untuk memegang kendali keledai Imam Al-Kâzhim as. Ibn Hayyâj mengklaim bahwa keledai itu miliknya. Temannya itu segera memegang tali kendali keledai Imam Al-Kâzhim as. seraya mengklaim bahwa keledai itu adalah milik Ibn Hayyâj. Imam Al-Kâzhim as. pun segera turun dan memberikan keledai itu kepadanya.

Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. selalu berwasiat kepada putra putrinya agar selalu bersabar dan bermurah hati. Ia berkata kepada mereka: "Hai anak-anakku, aku nasihati kalian dengan sebuah nasihat. Barang siapa yang menjaganya, maka ia akan memperoleh manfaat darinya. Jika seseorang datang kepada kalian dan mengucapkan kata-kata yang buruk di telinga kanan kalian, lalu pindah ke telinga yang kiri, kemudian ia meminta maaf kepada kalian seraya berkata, 'Aku tidak pernah mengatakan apa-apa', maka terimalah permohonan maafnya."

Nasihat ini menandakan betapa besar kesabaran Imam Mûsâ Al-Kâzhim as., dan menunjukkan keluasan akhlak dan ketinggian jati dirinya.




7. Kemuliaan Akhlak

Islam datang dengan membawa kemuliaan akhlak dan menganggap akhlak sebagai kaidah fundamental dalam risalah mulianya. Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak." Akhlak Rasulullah saw. adalah jelmaan dari kemuliaan manusiawi tertinggi. Setalahnya, para imam maksum as. mengikuti jejak beliau dalam membina akhlak yang mulia dan amal yang baik. Semua itu dapat dibuktikan dengan melihat perbuatan dan seluruh nasihat dan bimbingan yang telah mereka berikan kepada para sahabat mereka.

Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. sangat memperhatikan masalah ini. Ia selalu berwasiat kepada para sahabatnya untuk menghiasi diri mereka dengan akhlak yang mulia supaya perilaku dan tindakan mereka menjadi suri teladan yang saleh bagi masyarakat. Berikut ini kami paparkan sebagian manifestasi kemuliaan akhlak yang pernah diriwayatkan tentang imam yang satu ini:




a. Kedermawanan dan Keluhuran Perilaku




Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. selalu menekankan kepada para sahabatnya untuk selalu dermawan dan berperilaku yang luhur. Ia berkata: "Orang yang dermawan dan berakhlak yang mulia berada di bawah pengawasan Allah. Dia tidak akan membiarkanya sehingga Dia akan memasukannya ke dalam surga. Allah tidak mengutus seorang nabi, kecuali ia adalah seorang yang dermawan. Ayahku selalu mewasiatkan kepadaku untuk selalu dermawan dan berperilaku yang luhur sampai ia wafat."




b. Ketabahan




Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. juga selalu berwasiat kepada para sahabatnya untuk selalu tabah, walaupun bencana atau kesulitan menimpa mereka. Karena kegelisahan dan tindakan mengeluh dapat menghilangkan pahala yang telah Allah swt. janjikan kepada orang yang sabar.

Imam Al-Kâzhim as. berkata: "Satu musibah itu tidak dapat mendatangkan pahala bagi seseorang, kecuali bila ia menghadapinya dengan tabah dan mengembalikan semua itu kepada Allah swt."

Dan ia juga berpesan: "Sesungguhnya kesabaran atas bencana lebih baik daripada kesehatan ketika senang."




c. Diam




Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. senantiasa mewasiatkan kepada sahabatnya untuk lebih banyak diam dan menjelaskan kepada mereka manfaat diam. Ia pernah berkata: "Sesungguhnya diam adalah satu pintu dari sekian pintu hikmah. Sesungguhnya diam dapat menimbulkan rasa cinta, dan diam adalah bukti untuk semua kebaikan."




d. Memberikan Maaf dan Mendamaikan Orang Lain




Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. selalu menganjurkan para sahabatnya untuk selalu memaafkan dan berbuat baik pada orang yang berlaku buruk terhadap mereka, sebagaimana ia juga menganjurkan kepada mereka untuk mendamaikan orang lain. Ia juga menjelaskan akibat orang-orang berbuat baik dan beramal saleh serta pahala yang besar di sisi Allah swt. Ia pernah berkata: "Seorang penyeru akan berseru pada hari kiamat akan berseru, 'Barang siapa yang memiliki pahala di sisi Allah swt., hendaknya ia berdiri.' Tak seorang pun yang berani berdiri kecuali orang yang suka memaafkan dan yang suka mendamaikan antara manusia."




e. Berucap yang Baik




Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. juga selalu berwasiat kepada para sahabatnya untuk berkata dan berperilaku baik kepada manusia. Ia pernah berkata kepada Fadhl bin Yunus: "Berperilakulah yang baik dan berkatalah yang baik. Janganlah kamu memiliki sikap imma'ah!"

Fadhl bertanya: "Apakah imma'ah itu?"

Imam Al-Kâzhim as. menjawab: "Janganlah kamu selalu berkata, 'Aku selalu mengikuti orang lain dan aku seperti salah seorang dari mereka.' Sesungguhnya Rasulullah saw. pernah bersabda, 'Wahai manusia, sesungguhnya di sini ada dua jalan: jalan kebaikan dan jalan keburukan. Jangan sampai jalan keburukan itu lebih kalian sukai daripada jalan kebaikan.'"




f. Mensyukuri Nikmat




Salah satu wasiat Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. kepada para sahabatnya adalah agar mereka selalu menampakkan dan mensyukuri nikmat Allah swt. Ia berkata: "Menyebut-nyebut (tahadduts) nikmat Allah swt. adalah sebuah cara bersyukur, dan meninggalkannya adalah kekufuran. Maka ikatlah nikmat Tuhan kalian itu dengan syukur, bersihkanlah harta kalian dengan zakat, dan tolaklah bencana itu dengan doa. Sesungguhnya doa adalah benteng yang dapat menghalau bencana, meskipun bencana itu sungguh-sungguh telah ditetapkan …."




Mutiara Hikmah

Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. memiliki banyak mutiara hikmah. Dalam sebagian mutiara hikmah itu, ia memaparkan ajaran akhlak dan cara bermasyarakat (yang ideal). Berikut ini kami sebutkan beberapa mutiara hikmah tersebut:

1. Imam Al-Kâzhim as. berkata: "Pertolonganmu terhadap orang yang lemah adalah sedekah yang paling utama."

2. Imam Al-Kâzhim as. berkata: "Seorang mukmin adalah lebih kokoh daripada gunung. Gunung bisa dihancurkan dengan cangkul, tetapi agama seorang mukmin tidak akan hancur dengan apapun."

3. Imam Al-Kâzhim as. pernah berkata kepada Muhammad bin Al-Fadhl: "Hai Muhammmad, bohongkanlah pendengaran dan penglihatanmu tentang saudaramu. Seandainya lima puluh sumpah memberikan kesaksian kapadamu, sedangkan saudaramu itu mengucapkan satu ucapan kepadamu, maka percayalailah dia dan jangan kamu percayai seluruh sumpah itu. Dan janganlah kamu sebarkan sesuatu yang menjadi aib baginya."

4. Imam Al-Kâzhim as. berkata: "Sebaik-baik ibadah setelah makrifah adalah intizhâr al-faraj (menunggu kemunculan Imam Mahdî as.)."

5. Imam Al-Kâzhim as. berkata: "Seorang mukmin seperti dua sisi timbangan. Semakin bertambah imannya, maka semakin banyak juga cobaannya."

6. Imam Al-Kâzhim as. berkata: "Menyampaikan amanat dan jujur dapat mendatangkan rezeki. Tetapi khianat dan bohong dapat mendatangkan kefakiran dan kemunafikan."

7. Imam Al-Kâzhim as. berkata: "Setiap kali seseorang berbuat dosa yang belum pernah ia lakukan, maka Allah swt. akan menimpakan kepadanya bencana yang belum pernah ia perkirakan."




Di Dalam Penjara Hârûn

Keutamaan, ilmu, dan kemuliaan akhlak Imam Mûsâ as. telah tersebar dan menjadi bahan pembicaraan masyarakat. Realita ini menjadi beban berat bagi Hârûn sebagai sosol yang paling dengki terhadap keturunan Ali as. Hârûn merasa resah dengan keberadaan seorang imam di antara keturunan Ali as. seperti Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. yang kaum muslimin sepakat untuk mengagungkan dan mengakui keutamaanya. Ketika Hârûn berada di Madinah, ia pergi ke kuburan Nabi saw. Ia menyampaikan salam seraya berkata: "Demi ayah dan ibuku, ya Rasulullah, aku minta maaf kepadamu lantaran perkara yang telah kuniatkan. Sesungguhnya aku berniat menangkap Mûsâ bin Ja'far dan memenjarakannya, karena aku takut ia akan menyulut peperangan di antara umatmu yang dapat menumpahkan darah mereka."

Hârûn mengutus bala tentaranya untuk menangkap Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. Ketika mereka sampai, Imam Al-Kâzhim as. sedang mengerjakan salat di samping makam kakeknya, Rasulullah saw. Mereka memotong salatnya. Ia mengadukan perbuatan mereka itu kepada Rasulullah saw. sembari berkata: "Aku hanya mengadu kepadamu, ya Rasulullah ...."

Mereka membawa Imam Al-Kâzhim as. ke hadapan Hârûn dalam keadaan terbelenggu. Ketika Imam Al-Kâzhim as. berada di depannya, Hârûn bertindak zalim dan berbicara kasar kepadanya. Hârûn menangkap dan memenjarakan Imam Al-Kâzhim as. pada tanggal 20 Syawal 179 H.




Di Penjara Bashrah

Sang tagut, Hârûn, mengeluarkan perintah agar Imam Al-Kâzhim as. dibawa ke Bashrah. Ia menyuruh Isa bin Abi Ja'far, gubernurnya atas Bashrah, untuk memenjarakan Imam Al-Kâzhim as. di salah satu rumah tahanan. Isa mengunci seluruh pintu penjara dan tidak membukanya kecuali untuk dua hal: pertama, ketika Imam Al-Kâzhim as. ingin bersuci, dan kedua, ketika ingin mengantarkan makanan kepada Imam Al-Kâzhim as.




Terfokus untuk Beribadah

Imam Mûsâ as. selalu beribadah kepada Allah swt. Ia selalu berpuasa di siang hari dan salat pada malam hari. Ia tidak mengeluh karena dipenjarakan. Ia menganggap kesempatan untuk beribadah ini sebagai sebuah nikmat dari Allah swt. Imam as. selalu bersyukur atas ini dan berkata: "Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku selalu memohon untuk memberikan kepadaku kesempatan untuk beribadah. Ya Allah, sungguh Engkau telah lakukan itu. Maka segala puji hanya untuk-Mu …."




Perintah kepada Isa untuk Membunuh Imam Al-Kâzhim as.

Sang tiran, Hârûn, memerintahkan Isa, gubernur Bashrah, untuk membunuh Imam Al-Kâzhim as. Tetapi Isa merasa keberatan untuk melakukan hal itu. Akhirnya ia meminta pendapat para penasihatnya. Mereka menyarankan agar tidak melakukan perbuatan jahat tersebut. Isa menerima pendapat itu, dan menulis sepucuk surat kepada Hârûn. Di dalam surat itu, Isa memohon supaya dimaafkan dari keputusan membunuh itu. Isi surat itu adalah sebagai berikut:

Telah lama Mûsâ bin Ja'far berada dalam penjaraku. Aku telah mengawasi seluruh gerak-geriknya dengan mengutus mata-mata selama tempo ini. Aku tidak mendapati ia merasa lelah dari beribadah. Aku juga menyuruh seseorang untuk mendengarkan seluruh doa yang selalu dibacanya. Dia tidak pernah berdoa keburukan sama sekali atasmu dan juga tidak atasku. Tidak pernah juga ia menyebut-nyebut keburukan kita. Dia hanya mendoakan ampunan dan rahmat untuk dirinya. Jika memang engkau ingin melakukan hal itu, aku serahkan urusan ini kepada orang lain. Dan jika tidak, bebaskanlah dia. Karena aku merasa berat memenjarakannya.




Penawanan Imam Al-Kâzhim as. di Rumah Fadhl

Hârûn Ar-Rasyîd mengabulkan permohonan Isa. Ia memerintahkan agar Imam Al-Kâzhim as. dibawa ke Baghdad dan diserahkan kepada Fadhl bin Rabî'. Setelah menerima Imam Al-Kâzhim as., Fadhl menahannya di rumahnya. Imam Al-Kâzhim as. hanya menyibukkan diri dengan ibadah; berpuasa di siang hari dan salat di malam hari. Fadhl sangat kagum dengan ibadah Imam Al-Kâzhim as. Fadhl berbicara kepada sebagian sahabatnya betapa agungnya ketaatan Imam Al-Kâzhim as. kepada Allah swt.

Abdullah Al-Qazwînî, salah seorang pengikut Syi'ah, meriwayatkan berkata: "Aku pernah menjumpai Fadhl bin Rabî'. Ketika itu ia sedang duduk di halaman rumahnya. Ia berkata kepadaku: 'Mendekatlah kemari.'

Aku pun mendekat hingga berdiri sejajar dengannya. Ia berkata: 'Tengoklah ke dalam rumah.'

Aku pun menengok ke dalam rumah. Setelah itu Fadhl bertanya: 'Apa yang kau lihat di dalam rumah itu?'

'Aku hanya melihat pakaian terhampar', jawabku.

'Lihatlah baik-baik', pinta Fadhl lagi

'Aku melihat seseorang sedang sujud', jawabku.

'Apakah engkau mengenalnya?', tanya Fadhl.

'Tidak', jawabku pendek.

'Ia adalah pemimpinmu', sela Fadhl.

'Siapa pemimpinku', tanyaku keheranan.

'Engkau berpura-pura tidak tahu di depanku', sergah Fadhl.

'Aku tidak berpura-pura. Aku tidak merasa memiliki seorang pemimpin', jawabku.

'Ia adalah Abul Hasan Mûsâ bin Ja'far', tegas Fadhl."

Fadhl mulai bercerita kepada Abdullah tentang ibadah Imam Al-Kâzhim as. Ia berkata: "Aku senantiasa mengawasinya siang dan malam. Aku tidak mendapatinya pada setiap waktu dan kesempatan melainkan ia berada dalam keadaan yang telah kukabarkan kepadamu. Ia melakukan salat Shubuh. Seusai salat, ia membaca berbagai zikir sampai matahari terbit. Kemudian ia sujud sangat panjang hingga matahari tergelincir. Ia meminta kepada seorang pembantunya agar melihat kapan matahari tergelincir. Aku tidak tahu kapan pembantu itu memberitahukan kepadanya bahwa matahari telah tergelincir. Karena ia segera bangkit untuk melakukan salat lagi tanpa memperbaharui wudu ... Ketika itu aku tahu bahwa ia tidak tidur ketika melakukan sujud panjang. Ia juga tidak mengantuk dan ia senantiasa berada dalam kondisi seperti itu hingga usai mengerjakan salat Ashar. Setelah mengerjakan salat Ashar, ia sujud panjang hingga matahari terbenam. Apabila matahari telah terbenam, ia bangkit dari sujudnya untuk mengerjakan salat Maghrib tanpa memperbaharui wudu. Ia senantiasa mengerjakan salat dan berzikir hingga salat Isya'. Setelah usai mengerjakan salat Isya', ia berbuka puasa dengan makanan yang telah disediakan untuknya. Setelah itu, ia memperbaharui wudu, kemudian ia sujud kembali. Setelah itu ia bangkit dari sujud dan tidur sejenak. Kemudian ia bangun lagi untuk memperbaharui wudu dan mengerjakan salat hingga fajar terbit. Kemudian mengerjakan salat Shubuh. Dan begitulah kebiasaannya semenjak ia diserahkan kepadaku."

Tatkala Abdullah melihat bahwa Fadhl betul-betul mengagungkan Imam Al-Kâzhim as., ia memperingatkannya agar jangan sampai menyakitinya sedikit pun. Abdullah berkata kepadanya: "Takutlah kepada Allah. Jangan sampai engkau ceritakan hal ini kepada siapa pun. Karena hal itu akan menyebabkan kemusnahan seluruh nikmatmu. Engkau sendiri tahu bahwa jika seseorang berbuat buruk kepada orang lain, pasti nikmatnya akan hilang."

Fadhl menimpali: "Mereka telah mengirimkan utusan kepadaku berkali-kali dan menyuruhku untuk membunuhnya. Tetapi aku tidak melaksanakan perintah itu. Aku tegaskan kepada mereka bahwa aku tidak akan melakukan hal itu. Sekalipun mereka membunuhnku, niscaya aku tidak akan mengabulkan apa yang mereka inginkan dariku itu."




Kejenuhan Imam Al-Kâzhim as.

Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. merasa jenuh dan lelah karena telah terlalu lama diam di penjara Hârûn. Akhirnya ia mohon kepada Allah swt. agar dibebaskan dari penjara Hârûn. Pada suatu malam yang gulita, ia mengerjakan salat empat rakaat dan berdoa kepada Allah: "Wahai Junjunganku, bebaskanlah aku dari penjara Hârûn. Bebaskanlah aku dari cengkeramannya. Wahai Dzat yang memisahkan pohon di antara pasir dan tanah, wahai Dzat yang memisahkan api di antara besi dan batu, wahai Dzat yang memisahkan susu di antara kotoran dan darah, wahai Dzat yang memisahkan anak di antara kandungan dan rahim, wahai Dzat yang memisahkan ruh di antara isi perut dan usus, bebaskanlah aku dari cengkeraman Hârûn …."

Allah swt. mengabulkan doa wali-Nya itu dan membebaskannya dari penjara sang tiran, Hârûn. Hârûn membebaskan Imam Al-Kâzhim as. karena mimpi yang pernah ia lihat dalam tidurnya. Kisah mimpi ini telah kami paparkan dalam buku kami, Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as.




Penawanan Imam Al-Kâzhim as. di dalam Penjara Fadhl bin Yahyâ

Tidak lama setelah Imam Al-Kâzhim as. keluar dari penjara itu, Hârûn menangkapnya kembali dan memenjarakannya di penjara Fadhl bin Yahyâ. Fadhl bin Yahyâ melayani dan memperlakukan kepada Imam Al-Kâzhim as. dengan baik dan penuh penghormata, suatu perlakuan yang tidak pernah ia alami di penjara-penjara lainnya. Seorang pengkhianat yang mengetahui perlakukan Fadhl terhadap Imam Al-Kâzhim as. segera melaporkan kepada Hârûn. Hârûn naik pitam dan menyuruh beberapa orang algojo agar mencambuk Fadhl sebanyak seratus kali. Mereka segera melaksanakan perintah itu. Hârûn memanggil para menteri, komandan pasukan, dan para pemuka masyarakat untuk hadir ke istana. Ia berkata dengan geram: "Hai manusia, sesungguhnya Fadhl bin Yahyâ telah berkhianat kepadaku dan menentang perintahku. Aku akan mengutuknya, maka kutuklah dia."

Suara gemuruh terdengar di ruang istana mengutuk dan mencerca Fadhl. Yahyâ bin Khâlid yang turut hadir di pertemuan itu segera mendekati Hârûn seraya berbisik kepadanya: "Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Fadhl masih seumur jagung. Aku akan memenuhi apa yang Anda inginkan."

Mendengar ucapan Yahyâ itu, Hârûn merasa terhibur dan murkanya segera sirna. Ia menampakkan kerelaannya kepada Fadhl seraya berkata: "Fadhl memang telah menentang perintahku, dan aku telah melaknatnya. Sekarang ia telah bertobat dan kembali menaatiku. Maka kalian cintailah dia."

Suara gemuruh kembali terdengar dari setiap sudut ruang pertemuan itu mendeklarasikan ketaatan dan pengokohan terhadap politik yang kontradiksi ini. Mereka berkata: "Wahai Amirul Mukminin, kami mencintai orang yang Anda cintai dan memusuhi orang yang Anda musuhi. Dan kini kami mencintai Fadhl."




Di Penjara As-Sindî

Hârûn Ar-Rasyîd mengeluarkan perintah agar Imam Al-Kâzhim as. dipindahkan dari penjara Fadhl bin Yahyâ ke penjara As-Sindî bin Syâhik. As-Sindî adalah seorang majusi, algojo yang keji, dan tidak beriman kepada Allah dan hari akhirat. Ia memperlakukan Imam Al-Kâzhim as. dengan betul-betul keji. Pada akhirnya, ia meracun Imam Al-Kâzhim as. Racun itu merembet ke seluruh tubuh Imam Al-Kâzhim as. dengan cepat sehingga ia betul-betul merasakan sakit yang luar biasa. Akhirnya Imam Al-Kâzhim as. menjumpai Allah swt. Dunia pun menjadi gelap dengan kepergiannya. Sementara akhirat bersinar dengan kedatangannya. Berbagai macam penyiksaan dan duka telah ditimpakan kepada Imam Al-Kâzhim as. oleh Hârûn Ar-Rasyîd, tiran masa itu, yang hatinya telah dipenuhi dengan kedengkian dan permusuhan terhadap keluarga Rasulullah saw. Semua itu dihadapi oleh Imam Al-Kâzhim as. dengan ikhlas karena Allah swt.

Bala tentara Hârûn segera melakukan penelitian untuk mencari faktor kematian Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. Hal ini mereka lakukan untuk membebaskan Hârûn dari segala tuduhan. 'Amr bin Wâqid bercerita: "Pada suatu malam, As-Sindî bin Syâhik mengutus seseorang kepadaku. Ketika itu aku berada di Baghdad. Aku merasa khawatir ia hendak berbuat jahat terhadapku. Kemudian aku meminta isteriku agar menyiapkan seluruh bekal yang kuperlukan. Aku berseru, 'Innâ lillâh wa innâ ilahi râji'ûn.' Lalu aku menaiki kudaku untuk menemui As-Sindî. Ketika ia melihatku sedang datang, dia berkata kepadaku, 'Hai Abu Hafsh, nampaknya engkau merasa khawatir?'

'Ya', jawabku pendek.

'Tidak ada apa-apa. Urusan baik', jawab As-Sindî menghibur.

'Utuslah seseorang kepada keluargaku untuk memberitahukan kepada mereka bahwa aku tidak apa-apa', pintaku.

'Baiklah', jawab As-Sindî singkat.

Setelah aku merasa lega dan tenang hati, As-Sindî berkata kepadaku: 'Hai Abu Hafsh, tahukah engkau, mengapa aku mengutus seseorang memanggilmu?'

'Tidak tahu', jawabku singkat.

'Apakah kamu kenal Mûsâ bin Ja'far?', tanyanya lagi.

'Aku kenal dia. Aku bersahabat dengannya sejak bertahun-tahun', jawabku.

'Apakah di Baghdad ada orang yang kamu kenal dan dapat dipercayai ucapannya bahwa ia mengenal Mûsâ bin Ja'far?', tanyanya lagi.

'Ya, ada', jawabku pendek.

Lalu aku menyebutkan beberapa orang yang mengenal Imam Al-Kâzhim as. Mereka semua dipanggil. Ketika mereka telah berkumpul, As-Sindî berkata kepada mereka, 'Apakah kalian mengenal orang yang mengenal Mûsâ bin Ja'far?'

Mereka pun menyebutkan beberapa orang yang mengenal Imam Al-Kâzhim as. Mereka pun diminta datang pada malam itu juga. Ketika fajar mulai nampak, orang-orang yang mengenal Imam Al-Kâzhim as. dan dihadirkan sebagai saksi telah berkumpul sejumlah lebih dari 50 orang. As-Sindî menyuruh sekretarisnya agar menulis nama, karakter, alamat rumah, dan pekerjaan mereka. Setelah itu, ia keluar bersama orang-orang trersebut.

As-Sindî berkata kepadaku, 'Hai Abu Hafsh, bangkitlah dan bukalah kain yang menutupi wajah Mûsâ bin Ja'far itu.' Aku pun berdiri dan membuka kain yang menutupi wajah Imam Al-Kâzhim as. Ternyata ia telah meninggal dunia. As-Sindî menoleh kepada orang-orang yang hadir dan berkata kepada mereka, 'Lihatlah dia.'

As-Sindî menyuruh mereka untuk melihat jenazah Imam Al-Kâzhim as. lebih dekat. Lalu ia berkata kepada mereka, 'Apakah kalian bersaksi bahwa jenazah ini adalah Mûsâ bin Ja'far?'

'Ya', jawab mereka.

Kemudian As-Sindî menyuruh pembantunya agar membuka baju Imam Al-Kâzhim as. Pembantu itu segera melaksanakan perintahnya. As-Sindî berkata kepada mereka, 'Apakah kalian melihat bekas-bekas di tubuhnya yang aneh?'

'Tidak', jawab mereka pendek.

Kemudain As-Sindî mencatat kesaksian mereka dan mereka pun segera bubar. Setelah itu, As-Sindî memanggil para fuqaha, para pembesar, dan pemuka masyarakat. Ia meminta kesaksian mereka untuk tujuan membebaskan Hârûn dari berbagai tuduhan dan menghilangkan keraguan atas kematian Imam Al-Kâzhim as.




Jenazah Imam Al-Kâzhim as. Dicampakkan di Atas Jembatan

Setelah ritual persaksian itu usai, As-Sindî meletakkan jenazah Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. yang mulia di atas jembatan Rashâfah sehingga orang-orang yang berlalu-lalang di situ, baik yang berasal dari daerah dekat maupun jauh, menyaksikan jenazah itu. Wajah Imam Al-Kâzhim as. yang mulia tidak ditutupi sehelai kain pun. Tujuan penguasa zalim dengan itu semua adalah untuk mempermalukan dan merusak kehormatan Imam Al-Kâzhim as., menghinakan Syi'ah, dan merendahkan kehormatan mereka.

Tapi usaha Hârûn Ar-Rasyîd pasti gagal. Ia adalah imam yang dikenang masa dan makamnya adalah makam yang terindah dari sekian makam para wali Allah yang saleh. Makam ini senantiasa diliputi curahan rahmat Ilahi. Kaum muslimin tak henti-henti menziarahinya.

Kini, lihatlah Hârûn. Ia tidak memiliki bekas sedikit pun untuk diingat dan juga tidak mempunyai kuburan untuk diziarahi. Ia dikuburkan bersama keluarganya di dalam kegelapan abadi. Kelak Allah swt. akan mengadakan perhitungan atas segala kezaliman dan kedurjanaannya dengan perhitungan yang sangat sulit.

Penguasa tiran ini tidak cukup memperlakukan Imam Al-Kâzhim as. sampai di situ. Ia semakin jauh dalam jurang kesesatan dan kejahatan. Ia menyuruh budak-budaknya agar menggiring jenazah Imam Al-Kâzhim as. di jalan-jalan raya Baghdad sambil berteriak: "Inilah Mûsâ bin Ja'far yangdiakui oleh para pengikutnya tidak akan mati. Lihatlah, kini ia telah menjadi mayat." Di samping itu, mereka juga meneriakkan yel-yel yang sangat keji. Sebagai ganti dari slogan "Imam Mûsâ as. adalah orang baik putra orang baik", mereka malah mengatakan sebaliknya. Sulaiman bin Abu Ja'far Al-Manshûr segera bangkit untuk mengurus jenazah Imam Al-Kâzhim as. Para pembantunya segera merampas jenazah Imam Al-Kâzhim as. dari tangan bala tentara Hârûn seraya berteriak dengan suara lantang: "Barang siapa yang ingin menghadiri tasyyî' jenazah orang baik putra orang baik, Mûsâ bin Ja'far ini, maka segera hadilah."

Mendengar seruan itu, masyarakat dari berbagai tingkatan keluar untuk mengiringi jenazah Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. sehingga kota Baghdad tidak pernah menyaksikan acara tasyyî' jenazah seagung itu. Jalan-jalan raya dipenuhi dengan arak-arakan yang mengulang-ulang ungkapan kesedihan dan duka nestapa yang mendalam atas syahadah imam yang agung ini. Sulaiman bin Abu Ja'far berada di bagian depan barisan bersama seluruh aparat yang berkuasa.

Jenazah Imam Al-Kâzhim as. dibawa ke pemakaman Quraisy. Di sana mereka menggali kuburan untuk Imam Al-Kâzhim as. Sulaiman menurunkan jenazahnya di tempat persinggahannya yang terakhir. Kemudian Sulaiman menguburnya bersama seluruh karakteristik terpuji, kelembutan, ilmu pengetahuan, kemuliaan, dan teladan yang luhur.

Salam sejatera untuknya ketika ia dilahirkan, ketika ia meneguk cawan syahadah, dan ketika ia dibangkitkan hidup kembali.




Catatan Kaki:

Al-Fiqh Al-Islami, Madkhal li Dirâsah Nizhâm Al-Mu'âmalah, hal. 160.

Nuzhah An-Nâzhir fî Tanbîh Al-Khâthir, hal. 45.

Al-Manâqib, jilid 3, hal. 429.

QS. Al-Anfâl [8]:72.

QS. Al-An'âm [6]:85-85.

QS. Ali 'Imrân [3]:61.

Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as., jilid 1, hal. 261-265.

Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as., jilid 1, hal. 138.

Al-Irsyâd, hal. 272.

Bihâr Al-Anwâr, jilid 11, hal. 265.

UshûlAl-Kâfî, jilid 2, hal. 134.

'Umdah Ath-Thâlib, hal. 185.

Târîkh Baghdad, jilid 13, hal. 28; Kanz Al-Lughah, hal. 766.

Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as., jilid 1, hal 161-162.

Wafayât Al-A'yân, jilid 4, hal. 93; Kanz Al-Lughah : 766

Târîkh Abil Fidâ', jilid 2, hal. 12

Al-Anwâr Al-Bahiyyah, hal. 93.

Târîkh Baghdad, jilid 13, hal. 28-29; Kasyf Al-Ghummah, hal. 247.

Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as., jilid 1, hal. 157.

Al-Fushûl Al-Muhimmah, hal. 22.

Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as., jilid 1, hal. 275-259.

Bihâr Al-Anwâr, jilid 17, 196.

Al-Manâqib, jilid 2, hal. 395.

Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as., jilid 2, hal. 465.

Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as., jilid 2, hal. 466.

Al-Manâqib, jilid 2, hal. 279.

Kasyf Al-Gummah fî Ma'rifah Al-A'immah, jilid 3, hal. 25.

'Uyûn Akhbâr Ar-Ridhâ, jilid 1, hal. 98-99.

Al-Manâqib, jilid 2, hal. 370.

Maqâtil At-Thâlibiyyîn, hal. 503-504.

Bihâr Al-Anwâr, jilid 11, hal. 30.

Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja'far as., jilid 2, hal. 522.











11


Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as.




IMAM ALI AR-RIDHA

Imam Ar-Ridhâ as. adalah secercah nur Ilahi dan sebersit rahmat Allah (yang maha luas). Ia adalah imam kedelapan dari para imam maksum as. yang telah dibersihkan oleh Allah swt. dari segala jenis kekotoran dan menyucikan mereka sesuci-sucinya.

Khalifah Ma'mûn pernah bertanya kepada Abdullah bin Mathar, salah seorang tokoh pemikiran dan sastra kala itu, tentang mereka sembari berkata: "Apa pendapatmu tentang Ahlul Bait?"

Abdullah menjawab dengan ungkapan: "Apa yang dapat kukatakan tentang sebuah keluarga yang telah dicetak dengan air risalah dan disirami dengan mata air wahyu! Apakah terhembus dari tubuh mereka selain minyak misik petunjuk dan wanginya ketakwaan?"

Ucapan ini dapat mempengaruhi naluri dan hati kecil Ma'mûn, sedangkan Imam Ar-Ridhâ as. sedang berada di situ pada waktu itu. Akhirnya, Ma'mûn memerintahkan supaya mulut Abdullah dihiasai dengan mutiara.

Sesungguhnya seluruh nilai yang agung dan karakter yang tinggi telah terjelmakan dalam diri imam yang agung ini. Ia adalah salah satu kekayaan agama Islam dalam setiap tingkah laku, kerendahan hati, dan ketidakpeduliannya terhadap kegermelapan dunia, kecuali yang berhubungan dengan masalah kebenaran dan hak.

Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan sebagian sisi sejarah hidup Imam Ar-Ridhâ as. secara ringkas.


Pertumbuhan

Imam Ar-Ridhâ as. tumbuh berkembang di dalam sebuah rumah Islam yang paling mulia. Rumah ini adalah pusat turunnya wahyu; sebuah rumah yang Allah mengizinkan nama-Nya disebut di dalamnya. Rumah itu adalah rumah Imam Mûsâ bin Ja'far as., sosok figur yang memiliki keserupaan dengan Isa bin Maryam as. dalam ketakwaan dan wara'. Dengan demikian, rumah ini adalah salah satu pusat ibadah dan ketaatan kepada Allah swt., sebagaimana rumah ini juga adalah sebuah tempat penyebaran ilmu pengetahuan di tengah-tengah masyarakat. Di dalam rumah ini juga, ribuan ulama, fuqaha, dan sastrawan berhasil menamatkan pelajaran mereka.

Di dalam rumah yang agung itulah Imam Ar-Ridhâ as. tumbuh berkembang dan mempelajari etika ayah dan keluarganya yang telah diciptakan untuk mengemban keutamaan, ketakwaan, dan keimanan kepada Allah swt.


Perangai dan Perilaku

Perangai dan perilaku Imam Ar-Ridhâ as. memiliki keistimewaan khusus. Ia tegar dalam memegang kebenaran dan menentang kezaliman. Ia sering memerintah Khalifah Ma'mûn Al-Abbâsî untuk bertakwa kepada Allah dan mengkritik seluruh tindakannya yang tidak sesuai dengan agama. Dengan tindakannya ini, Ma'mûn marah besar dan bertindak untuk membunuh Imam Ar-Ridhâ as. Seandainya Imam Ar-Ridhâ mau bertoleransi dengan Ma'mûn dan tidak menentang seluruh politiknya, sebagaimana orang-orang dekat Ma'mûn lainnya yang mengiakan setiap dosa dan kejahatan yang dilakukan oleh Ma'mûn, niscaya Imam Ar-Ridhâ akan memiliki posisi yang paling dekat dengannya. Alangkah cepatnya Ma'mûn meminumkan racun kepadanya sehingga ia cepat meninggalkan kita.


Akhlak yang Tinggi

Imam Ar-Ridhâ as. adalah figur terindah untuk akhlak yang mulia dan tata krama yang tinggi. Di antara manifestasi ketinggian akhlaknya ini adalah ketika ia duduk di samping sebuah hidangan makanan, ia juga mendudukkan seluruh budak-sampai-sampai pemelihara kuda dan penjaga pintu-di samping hidangan makanan itu.

Ibrahim bin Al-Abbâs berkata: "Aku pernah mendengar Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ berkata, 'Aku bersumpah untuk membebaskan budak, dan aku tidak pernah bersumpah untuk membebaskan budak kecuali aku pasti membebaskan seorang budak. Sungguh aku akan membebaskan seluruh budakku jika aku merasa diriku lebih baik dari budak ini-beliau menunjuk salah seorang budaknya yang hitam legam. Aku tidak memiliki kemuliaan lantaran hanya kekerabatanku dengan Rasulullah saw. kecuali jika aku berbuat sebuah amal saleh. Dengan amal saleh tersebut aku merasa memiliki keutamaan.'

Salah seorang yang hadir lantas berkata, 'Demi Allah, Anda adalah sebaik-baik manusia ....'

Ia menimpali ucapannya sembari berkata, 'Jangan engkau merasa khawatir, hai sahabatku. Orang yang lebih baik dariku adalah orang yang paling bertakwa dan lebih taat kepada Allah 'Azza Wajalla. Demi Allah, ayat ini belum dinasakh, 'Dan Kami jadikan kamu bersuku-suku dan berkabilah-kabilah supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.' (QS. Al-Hujurât [49]:13)"

Dalam ketinggian akhlak dan etika ini, Imam Ar-Ridhâ as. telah mewarisi kakeknya, rasul teragung saw., yang memiliki keutamaan atas seluruh nabi yang lain dengan akhlaknya yang tinggi.


Kezuhudan

Tidak berbeda dengan nenek moyangnya yang senantiasa zuhud terhadap harta dunia ini, Imam Ar-Ridhâ as. juga selalu memalingkan diri dari segala kemewahan dan kegemerlapan dunia ini. Kakeknya, Amirul Mukminin as., telah menceraikan dunia ini sebanyak tiga kali sehingga ia tidak berhak merujuknya lagi.

Muhammad bin 'Abbâd pernah meriwayatkan tentang kezuhudan Imam Ar-Ridhâ as. Ia berkata: "Pada saat musim panas, Ar-Ridhâ duduk di atas pelepah kurma dan pada saat musim dingin, ia duduk di atas kain kasar. Pakaiannya terbuat dari kain yang kasar dan ia menghias diri dengan pakaian tersebut jika ia keluar untuk menjumpai masyarakat."

Kezuhudan terhadap harta dunia adalah salah satu sifat dan karakter jiwa Imam Ar-Ridhâ as. yang paling menonjol. Para perawi hadis dan ahli sejarah sepakat bahwa ketika menduduki posisi sebagai putra mahkota kerajaan, ia tidak pernah mengenakan satu pun kemegahan kerajaan yang ada. Tidak hanya itu, ia tidak pernah memberi nilai sedikit pun terhadap kemegahan tersebut dan juga tidak pernah memiliki keinginan terhadap protokol resmi kerajaan. Ia sangat membenci pengagungan yang biasa dilakukan oleh masyarakat terhadap raja-raja mereka. Pernah diriwayatkan bahwa ia berkata: "Para pengawal yang berjalan di belakang seseorang adalah fitnah baginya dan kehinaan bagi mereka."


Keluasan Ilmu Pengetahuan

Imam Ar-Ridhâ as. adalah figur yang paling 'alim pada masa ia hidup, paling utama, dan paling tahu terhadap seluruh jenis ilmu pengetahuan, seperti ilmu Fiqih, Filsafat, Ulumul Qur'an, Medis, dan lain sebagainya. Al-Hirawî bercerita tentang keluasan ilmu pengetahuannya seraya berkata: "Aku tidak pernah melihat orang yang lebih 'alim daripada Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ, dan tidak ada orang 'alim pun yang pernah melihatnya kecuali ia akan bersaksi seperti kesaksianku. Khalifah Ma'mûn pernah mengundang beberapa ulama agama-agama lain (selain Islam), para fuqaha, dan ahli ilmu Kalam dalam beberapa majelis pertemuannya. Ia berhasil mengungguli mereka semua sehingga tidak tersisa seorang pun dari mereka kecuali mengakui keutamaannya, sedangkan ia sendiri mengakui kelemahan dirinya. Aku pernah mendengar ia berkata, 'Pada suatu hari, aku sedang duduk di Rawdhah, dan juga banyak ulama Madinah yang duduk di situ. Jika salah seorang dari mereka diminta untuk memecahkan sebuah masalah, mereka semua menunjuk ke arahku. Akhirnya, mereka mengirimkan masalah tersebut kepadaku dan aku memecahkannya.'"

Ibrahim bin Abbâs pernah berkata: "Aku tidak pernah melihat Ar-Ridhâ ditanya tentang suatu masalah kecuali ia pasti bisa menjawab. Dan aku tidak pernah melihat orang yang lebih 'alim daripadanya dari sejak zaman awal hingga pada masa ia hidup. Khalifah Ma'mûn selalu mengujinya dengan pertanyaan-pertanyaan tentang segala sesuatu, dan ia menjawabnya."

Ma'mûn pernah berkata: "Aku tidak pernah mengetahui ada seseorang di atas bumi ini yang lebih utama dari orang ini-yaitu Imam Ar-Ridha."

Perdebatan dan dialog Imam Ar-Ridhâ as. dengan para ulama di Bashrah, Khurasan, dan Madinah membuktikan keluasan ilmu pengetahunnya. Para ulama dunia yang telah diundang oleh Ma'mûn untuk mengujinya juga mengakui keutamaan itu. Tidak pernah ada utusan ilmiah yang mengadakan pertemuan dengannya kecuali mereka mengakui keutamaannya. Realita ini memaksa Ma'mûn untuk mengurungnya dari mata masyarakat supaya mereka tidak terfitnah.


Mutiara Wejangan

Banyak sekali mutiara hikmah, tata krama, wasiat, dan nasihat yang telah diriwayatkan dari Imam Ar-Ridhâ as. dan sangat bermanfaat bagi umat manusia. Semua itu membuktikan bahwa ia adalah seorang guru besar untuk dunia Islam pada masa ia hidup. Ia telah mengerahkan segala upayanya untuk menyucikan dan mendidik muslimin dengan mutiara-mutiara hikmah yang ia miliki. Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan sebagian dari mutiara-mutiara hikmah berharga ini.


Keutamaan Akal

Akal adalah kenikmatan paling utama yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada umat manusia. Dengan akal ini, Dia telah membedakannya dari binatang. Dalam sebagian hadis, Imam Ar-Ridhâ as. pernah mengisyaratkan masalah akal ini:

1. Ia berkata: "Sahabat setiap orang adalah akalnya, dan musuhnya adalah kebodohannya."

Alangkah indahnya mutiara hikmah ini. Akal adalah sahabat terbesar yang dapat menjaga, memelihara, dan menyelematkannya dari seluruh ujian dunia. Musuh manusia yang paling besar adalah kebodohan yang akan menjerumuskannya ke dalam jurang kesengsaraan dunia yang sangat dalam.

2. Ia berkata: "Akal yang paling utama adalah pengenalan manusia terhadap dirinya."

Jika manusia mengetahui bagaimana dirinya dibentuk dan juga bagaimana akan berakhir, niscaya ia telah mendapatkan kebaikan yang banyak. Pengetahuan ini akan menjauhkannya dari keinginan-keinginan yang jahat dan mendorongnya untuk memiliki keinginan-keinginan yang baik. Begitu juga, pengetahuan ini akan menunjukkan jalan baginya untuk mengenal Penciptanya Yang Maha Agung. Dalam sebuah hadis ditegaskan: "Barang siapa mengenal dirinya, niscaya ia telah mengenal Tuhannya."


Koreksi Diri

Imam Ar-Ridhâ as. berkata: "Barang siapa mengoreksi diri, niscaya ia pasti beruntung, dan barang siapa lalai terhadap dirinya, pasti ia telah merugi."

Jika seseorang bersedia mengoreksi dirinya tentang kebaikan dan keburukan yang telah dilakukannya, maka tindakan ini menunjukkan ketinggian jiwa dan kemenangan yang dapat membuahkan keuntungan dan kebaikan. Hal ini karena ia dapat mencegah dirinya untuk melakukan keburukan dan menumbuhkan kebaikan. Sedangkan orang yang lalai untuk mengoreksi dirinya, maka jiwa yang terlalaikan ini akan menjerumuskannya ke dalam jurang keburukan yang sangat dalam.


Kemuliaan Sebuah Usaha

Imam Ar-Ridhâ as. berkata: "Sesungguhnya pahala orang yang mencari rezeki untuk menjamin kebutuhan hidup keluarganya adalah lebih agung daripada pahala mujahid di jalan Allah."

Berusaha dan bekerja untuk menghidupi keluarga adalah sebuah jihad di jalan Allah, sebuah kemuliaan yang dapat diperoleh oleh orang yang sedang bekerja, dan keagungan yang menjadi kebanggaannya.


Manusia Terbaik

Imam Ar-Ridhâ as. pernah ditanya tentang hamba terbaik. Ia menjawab: "Mereka adalah orang-orang yang berbahagia apabila berbuat kebaikan, memohon ampunan apabila berbuat keburukan, bersyukur jika diberi, bersabar apabila ditimpa musibah, dan memaafkan apabila sedang dilanda amarah."

Sungguh, orang yang memiliki sifat dan karakter-karakter tersebut adalah orang yang paling utama dan paling mulia yang telah berhasil menggapai puncak kesempurnaan dan keutamaan.


Wasiat dan Nasihat

1. Imam Ar-Ridhâ as. pernah berwasiat kepada Ibrahim bin Abi Mahmûd seraya berkata: "Ayahku pernah memberitahukan kepadaku dari nenek moyangnya bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, 'Barang siapa mendengarkan ucapan seorang pembicara, sungguh ia telah menyembahnya. Jika pembicara itu berasal dari sisi Allah, maka ia telah menyembah Allah, dan apabila ia berasal dari sisi Iblis, sungguh ia telah menyembah Iblis ... Hai putra Abi Mahmûd, jika masyarakat menempuh jalan kanan dan jalan kiri, maka tetaplah kamu berpegang teguh kepada agama kami. Karena, barang siapa tetap berpegang teguh kepada kami, niscaya kami akan selalu bersamanya, dan barang siapa berpisah dari kami, maka kami juga akan berpisah darinya. Sesungguhnya tindakan paling sepele yang dapat mengeluarkan seseorang dari lingkaran keimanan adalah ia mengatakan bahwa kerikil ini adalah sebutir biji kurma, lalu ia meyakini ucapannya itu dan membebaskan diri dari orang yang menentang pendapatnya. Hai putra Abi Mahmûd, jagalah apa yang telah kukatakan kepadamu ini, karena aku telah mengumpulkan kebaikan dunia dan akhirat untukmu dalam ucapan ini."

Wasiat ini dipenuhi oleh perintah untuk mengikuti jejak Ahlul Bait as. dan menempuh jalan sirah mereka. Karena, hal ini adalah keselamatan dan keamanan dari segala kebinasaan, serta kemenangan dengan menggapai rida Allah swt.


2. Persamaan antara orang kaya dan orang miskin.

Imam Ar-Ridhâ as. berwasiat kepada para sahabatnya untuk menyamaratakan antara orang kaya dan orang miskin dalam mengucapkan salam kepada mereka. Ia pernah berkata: "Barang siapa berjumpa dengan seorang fakir yang muslim, lalu ia mengucapkan salam kepadanya dengan cara yang berbeda dengan salamnya kepada orang kaya, maka ia akan berjumpa dengan Allah 'Azza Wajalla sedangkan Dia dalam keadaan murka terhadapnya."


3. Tersenyum ketika berjumpa dengan seorang mukmin.

Imam Ar-Ridhâ as. berwasiat kepada para sahabat untuk menemui seorang mukmin dengan wajah yang penuh senyum dan tidak menghadapinya dengan raut wajah mengkerut. Ia berkata: "Barang siapa menemui saudara seimannya dengan wajah tersenyum, Allah akan menulis satu kebaikan baginya, dan barang siapa telah ditulis sebuah kebaikan oleh Allah baginya, maka Dia tidak akan menyiksanya."

Ini semua adalah akhlak dan budi pekerti tinggi yang selalu diwasiatkan oleh para imam maksum as. kepada para sahabat mereka sehingga mereka menjadi panutan yang baik bagi seluruh masyarakat.


4. Wasiat umum.

Imam Ar-Ridhâ as. pernah berwasiat kepada para sahabat dan masyarakat secara umum dengan wasiat berikut ini:

Wahai manusia, bertakwalah kepada Allah berkenaan dengan seluruh nikmat-Nya yang telah dicurahkan atas kalian. Janganlah kamu menyingkirkan kenikmatan itu dari diri kalian dengan bermaksiat kepada-Nya. Ketahuilah, kalian semua tidak akan pernah bersyukur kepada Allah dengan sesuatu-setelah iman kepada Allah dan Rasul-Nya dan pengakuan atas hak-hak para wali Allah dari kalangan keluarga Muhammad saw.-yang lebih dicintai daripada menolong saudara-saudaramu seiman dalam urusan dunia mereka. Semua ini adalah jembatan bagi kalian untuk menuju surga-surga Tuhan mereka. Sesungguhnya orang yang telah melakukan demikian, niscaya ia termasuk hamba-hamba Allah yang istimewa."

Wasiat ini dipenuhi oleh anjuran kepada kita untuk bertakwa kepada Allah swt., membantu saudara-saudara seiman, dan mencurahkan segala kebajikan kepada mereka.


Mutiara Hikmah

Banyak sekali ucapan-ucapan pendek yang telah diriwayatkan dari Imam Ar-Ridhâ as. dan dipenuhi oleh mutiara-mutiara hikmah yang sangat berharga. Antara lain:

a. Ia berkata: "Barang siapa mempersiapkan dirinya untuk berkhidmat kepada seorang penguasa yang zalim, lalu ia ditimpa malapetaka, maka ia tidak akan diberi pahala karena itu dan juga tidak akan dianugerahi kesabaran untuk memikulnya."

b. Ia berkata: "Mencintai sesama manusia adalah setengah akal."

c. Ia berkata: "Akan datang sebuah masa di mana keselamatan pada masa itu tersembunyi dalam sepuluh bagian: sembilan bagian terdapat dalam menjauhi masyarakat dan satu bagian lagi terdapat dalam berdiam diri tidak berbicara."

d. Ia berkata: "Orang yang kikir tidak pernah memiliki ketenangan, orang yang iri hati tidak akan pernah merasakan kenyamanan, orang yang selalu bosan tidak pernah memiliki kesetiaan, dan pembohong tidak pernah memiliki harga diri."

e. Ia berkata: "Barang siapa membereskan urusan seorang mukmin, Allah akan membereskan urusannya pada hari kiamat kelak."

f. Ia berkata: "Seorang mukmin adalah saudara sekandung mukmin yang lain. Terlaknat, terlaknat orang yang menuduh saudaranya! Terlaknat, terlaknat orang yang menipu saudaranya! Terlaknat, terlaknat orang yang tidak menasihati saudaranya! Terlaknat, terlaknat orang yang menutup diri dari saudaranya! Terlaknat, terlaknat orang menggunjing sudaranya!"


Pengetahuan Imam Ar-Ridhâ atas Semua Bahasa

Imam Ar-Ridhâ as. mengetahui semua bahasa. Abu Ismail As-Sindî bercerita: "Di India, aku pernah mendengar bahwa Allah memiliki seorang hujah di negeri Arab. Aku melakukan perjalanan untuk mencarinya. Masyarakat setempat menyuruhku untuk menjumpai Imam Ar-Ridhâ as. Aku pun pergi menjumpainya. Aku mengucapkan salam kepadanya dengan menggunakan bahasa Sind, dan ia menjawab salamku dengan bahasa yang sama. Aku berkata kepadanya, 'Aku pernah mendengar bahwa Allah memiliki seorang hujah di negeri Arab. Aku mengadakan perjalanan ini untuk mencarinya.' Ia menjawab, 'Hujah itu adalah saya.' Kemudian ia berkata kepadaku, 'Tanyakanlah apa yang kau inginkan.' Aku pun bertanya banyak masalah kepadanya dan ia menjawab seluruh pertanyaanku dengan menggunakan bahasaku."

Abu Shalt Al-Hirawî pernah berkata: "Imam Ar-Ridhâ as. berbicara dengan masyarakat dunia dengan menggunakan bahasa mereka masing-masing. Aku pernah menanyakan hal ini kepadanya. Ia menjawab, 'Hai Abu Shalt, saya adalah hujah Allah untuk seluruh makhluk-Nya, dan Dia tidak pernah mengutus seorang hujah atas sebuah kaum, sedangkan ia tidak mengetahui bahasa mereka. Apakah kamu tidak pernah mendengar Amirul Mukminin as. berkata, 'Kami diberi anugerah Fashl Al-Khithâb? Bukankah Fashl Al-Khithâb itu adalah pengetahuan atas seluruh bahasa?'"

Yâsir Al-Khâdim pernah bercerita: "Di rumahnya, Abul Hasan Ar-Ridhâ as. memiliki (budak-budak) yang berasal dari daerah Shaqâlibah dan Romawi. Ia memiliki hubungan yang akrab sekali dengan mereka. Ia pernah mendengar mereka berbicara dengan bahasa kaum Shaqâlibah dan Romawi untuk meminta sesuatu, dan ia memberikannya kepada mereka."

Syaikh Muhammad bin Hasan Al-Hurr pernah melantunkan realita ini dalam sebuah bait syairnya berikut ini:

Pengetahuannya terhadap seluruh bahasa, adalah mukjizat dan kekuasaan Ilahi yang paling cerlang.


Fitnah dan Peristiwa

Imam Ar-Ridhâ as. sering memberitahukan kejadian sebuah fitnah dan peristiwa sebelum semua itu terjadi. Dan setelah itu, semua peristiwa dan fitnah itu sungguh terjadi. Realita ini menguatkan keyakinan mazhab Syi'ah bahwa Allah swt. telah menganugerahkan kelebihan ilmu kepada para imam Ahlul Bait as. sebagaimana Dia pernah menganugerahkan hal itu kepada para nabi dan rasul-Nya. Di antara berita tersebut adalah, bahwa Ma'mûn akan membunuh saudaranya sendiri, Amîn bin Zubaidah. Ia mengutarakan hal ini dengan melantunkan syair berikut ini:

Sungguh kedengkian setelah kedengkian akan menguasai dirimu dan mengeluarkan penyakit yang selama ini terpendam.

Dan tidak lama masa berselang, Ma'mûn pun membunuh saudaranya, Amîn.

Di antara peristiwa-peristiwa yang telah diberitahukan oleh Imam Ar-Ridhâ as. sebelum terjadi adalah peristiwa pemberontakan Muhammad bin Imam Ash-Shâdiq as. Ketika Muhammad mengadakan pemberontakan terhadap Ma'mûn, ia mencercanya seraya berkata: "Hai pamanku, janganlah engkau membohongkan ayah dan saudaramu-yaitu Imam Al-Kâzhim. Sesungguhnya tindakanmu ini tidak akan berlangsung sempurna."

Muhammad tidak menggubris nasihat Imam Ar-Ridhâ dan keluar dengan memproklamirkan pemberontakannya terhadap Ma'mûn. Tidak lama berselang, bala tentara Ma'mûn yang dipimpin oleh Al-Jalûdî berhasil mengalahkan mereka. Muhammad memohon suaka politik dan Al-Jalûdî pun memberikan jaminan keamanan kepadanya. Al-Jalûdî naik ke atas mimbar seraya berseru: "Urusan ini akan diserahkan kepada Ma'mûn sepenuhnya."

Juga di antara peristiwa-peristiwa yang telah diberitahukan oleh Imam Ar-Ridhâ as. sebelum terjadi adalah musibah besar yang akan menimpa kaum Barâmikah. Pada suatu hari, Yahyâ Al-Barmakî pernah melewati Imam Ar-Ridhâ sedangkan Imam Ar-Ridhâ menutupi wajahnya dengan sehelai sapu tangan supaya tidak terkena debu. Imam Ar-Ridhâ berkata: "Miskin mereka itu. Mereka tidak tahu apa yang akan menimpa mereka pada tahun ini ...." Kemudian, ia melanjutkan ucapannya: "Dan ada satu hal lagi yang lebih mengherankan dari hal ini. Aku dan Hârûn adalah seperti dua jari ini." Ia merapatkan jari telunjuk kepada jari tengahnya.

Peristiwa yang telah diprediksikan oleh Imam Ar-Ridhâ as. itu pun terjadi. Tidak lama berselang, Hârûn Ar-Rasyîd menimpakan musibah dan bencana yang besar atas kaum Barâmikah. Begitu juga, Hârûn Ar-Rasyîd mati di Khurasan dan Imam Ar-Ridhâ as. dikuburkan berdekatan dengannya.

Ini adalah sebagian peristiwa yang telah diberitakan oleh Imam Ar-Ridhâ as. sebelum terjadi. Kami telah menyebutkan banyak contoh tentang masalah ini dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ as.


Kedermawanan dan Kemurahan Hati

Kemurahan hati adalah salah satu unsur yang membentuk jati diri Imam Ar-Ridhâ as. Ia senantiasa berbuat kebajikan kepada orang-orang fakir dan miskin. Para ahli sejarah telah menyebutkan contoh yang banyak sekali tentang kemurahan hati dan kedermawanannya ini. Di antaranya adalah berikut ini:

a. Pada suatu hari Arafah, ia menginfakkan seluruh harta yang dimiliki kepada orang-orang fakir dan miskin ketika ia berada di Khurasan, dan dengan itu, ia tidak memiliki harta sepeser pun. Melihat tindakan ini, Fadhl bin Sahl memprotesnya seraya berkata: "Sungguh ini adalah sebuah kerugian besar ...."

Imam Ar-Ridhâ as. menjawab: "Bahkan sebaliknya, ini adalah sebuah keuntungan besar. Jangan kamu menganggap sebuah tindakan yang engkau pasti mendapatkan pahala dan karunia sebagai sebuah kerugian ...."

Bukanlah sebuah kerugian besar harta yang diinfakkan oleh seseorang kepada orang-orang fakir dan miskin dengan mengharapkan pahala di sisi Allah swt. Kerugian yang sangat besar adalah harta berlimpah-ruah yang diinfakkan oleh para raja dan menteri-menteri mereka untuk kepentingan tujuan-tujuan politik dan pribadi mereka.

b. Pada suatu hari, datang seorang laki-laki kepada Imam Ar-Ridhâ as. seraya berkata: "Aku adalah salah seorang pecinta Anda dan pecinta nenek moyang Anda. Aku sudah usai malaksanakan ibadah haji dan biaya perjalananku telah habis. Aku tidak memiliki sepeser harta pun yang dapat kugunakan untuk kembali ke tempat tinggalku. Jika Anda berkehendak, kembalikanlah aku ke daerahku. Jika aku telah sampai di daerahku, aku akan menyedekahkan seluruh harta yang Anda berikan kepadaku itu atas nama Anda."

Imam Ar-Ridhâ as. memerintahkannya untuk duduk. Ia menghadapkan diri kepada hadirin dan berbicara dengan mereka hingga (usai) dan mereka semua pergi. Yang tersisa hanyalah Sulaiman Al-Ja'farî dan budaknya. Ia meminta izin kepada mereka berdua dan masuk ke dalam rumah. Lalu, ia keluar melalui pintu atas seraya berkata: "Manakah orang yang berasal dari Khurasan itu?" Orang itu berdiri dan menghampirinya. Imam Ar-Ridhâ as. berkata kepadanya: "Ambillah dua ratus dinar ini dan gunakanlah untuk nafkah dan keperluanmu di jalan, serta tidak perlu engkau bersedekah atas namaku."

Orang Khurasan itu mohon pamit dan pergi dengan senang hati lantaran nikmat yang telah dianugerahkan olehnya.

Sulaiman menoleh ke arah Imam Ar-Ridhâ as. seraya bertanya: "Semoga aku dijadikan tebusan Anda! Anda telah memberikan uang banyak dan karunia kepadanya. Lalu, mengapa Anda menutupi wajah Anda sehingga tidak terlihat oleh orang tersebut?"

Imam Ar-Ridhâ as. menjawab: "Aku bertindak demikian lantaran aku khawatir akan melihat kehinaan meminta-minta di wajahnya karena aku telah memenuhi hajatnya. Bukankah kamu mendengar Rasulullah saw. pernah bersabda, 'Orang yang menutupi perbuatan baiknya, hal itu menyamai tujuh puluh ibadah haji, dan orang yang melakukan keburukan secara terang-terangan adalah terhina? Apakah kamu tidak pernah mendengar seorang penyair berkata,

Kapan pun aku mendatanginya untuk memohon sebuah hajat, aku pasti kembali kepada keuargaku dengan membawa karunianya?"

Anda lihat bagaimana kebajikan yang telah dilakukan oleh Imam Ar-Ridhâ as. tersebut? Ia sungguh tulus hanya karena Allah swt. tidak mengharapkan pahala dan pujian dari siapa pun.

c. Pernah seorang miskin menjumpai Imam Ar-Ridhâ as. seraya berkata: "Berikanlah harta kepadaku sesuai dengan kadar kebaikan dan kemurahan Anda ...."

Imam Ar-Ridhâ as. menjawab: "Aku tidak mampu untuk itu ...."

Kebaikan Imam Ar-Ridhâ as. tidak terbatas, dan ia tidak memiliki harta sebanyak itu untuk menginfakkannya sekadar kebaikannya tersebut. Orang miskin itu memahami kekeliruan ucapannya. Akhirnya ia merubah ucapannya sembari berkata: "Bantulah aku sesuai dengan kadar kebaikan dan kemurahanku."

Imam Ar-Ridhâ as. menatapnya dengan senyuman penuh kebahagiaan yang terurai di wajahnya seraya menjawab: "Jika demikian, aku akan mengabulkan permintaanmu ...." Kemudian, ia memerintahkan supaya ia diberi uang sebanyak dua ratus dinar.

Ini adalah sebagian contoh dari kedermawanan dan kemurahan hati Imam Ar-Ridhâ as. Kami telah menyebutkan banyak contoh tentang hal ini di dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Ar-Ridhâ as.


Ibadah

Imam Ar-Ridhâ as. telah meMûsâtkan seluruh jiwa dan raganya hanya untuk Allah swt. dan mengerjakan segala sesuatu yang dapat mendekatkan dirinya kepada-Nya. Ibadah telah mendominasi bagian terbesar dari kehidupan spiritualnya yang terjelmakan dalam bentuk cahaya, ketakwaan, dan wara'. Sebagian sahabatnya pernah mengaku sembari berkata: "Aku tidak pernah melihatnya kecuali selalu kulantunkan firman Allah swt. yang berbunyi, 'Mereka sedikit sekali merebahkan diri pada malam hari.'" (QS. Adz-Dzâriyât [51]:17)

Asy-Syabrâwî pernah menceritakan ibadah Imam Ar-Ridhâ seraya berkata: "Beliau selalu berwudu dan mengerjakan salat. Pada seluruh malam, ia senantiasa berwudu, mengerjakan salat, tidur (sejenak), dan begitu seterusnya hingga fajar menyingsing."

Kami telah memaparkan ibadah, salat, dan doa-doanya pada saat membaca qunut dan sujud secara terperinci dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ as.


Menjadi Putra Mahkota

Salah satu peristiwa historis paling penting yang pernah terjadi pada masa kekuasaan dinasti Bani Abbâsiyah adalah penyerahan posisi putra mahkota kepada Imam Ar-Ridhâ as. yang dilakukan oleh Khalifah Ma'mûn, satu tindakan yang mengindikasikan perpindahan tangan dinasti kekhalifahan dari Bani Abbâsiyah kepada musuh-musuh mereka dari kalangan Bani Ali as. Masyarakat merasa heran dengan keputusan ini dan seluruh majelis pertemuan umum dan khusus membicarakan peristiwa yang sangat penting ini. Hal itu lantaran garis politik yang telah ditentukan oleh Bani Abbâsiyah adalah membasmikan Bani Ali as. Mereka telah membantai kalangan pemuda mereka dan melemparkan anak-anak kecil mereka ke dalam sungai Dajlah. Tidak hanya itu, mereka juga mencari setiap pengikut mereka meskipun mereka bersembunyi di balik bebatuan dan tanah. Dengan demikian, permusuhan Bani Abbâsiyah terhadap Bani Ali sudah menjadi rahasia umum. Dengan itu semua, bagaimana mungkin permusuhan yang sangat keras tersebut bisa berubah menjadi rasa cinta kasih, pengakuan terhadap hak-hak mereka, dan penyerahan pucuk kepemimpinan pemerintah terpenting kepada mereka? Inilah yang selalu dipertanyakan oleh khalayak ramai saat itu.

Satu hal yang pasti, Ma'mûn melakukan tindakan ini bukan lantaran ia meyakini hak-hak Bani Ali dan bahwa mereka adalah figur-figur yang lebih berhak atas kekhalifahan daripada dirinya sendiri. Ia mengangkat Imam Ar-Ridhâ as. menjadi putra mahkota karena dorongan faktor-faktor tertentu, di antaranya adalah sebagai berikut ini:

a. Ia merasa tidak memiliki posisi penting di dalam dinasti Bani Abbâsiyah. Hal itu lantaran ibunya, Murâjil, hanyalah seorang sahaya dan pembantu istana. Atas dasar ini, mereka memperlakukannya sebagai orang biasa, dan lebih memperlakukan saudaranya, Amîn, dengan penuh penghormatan yang istimewa. Hal itu karena ibunya, Zubaidah, berasal dari keluarga ningrat asli Bani Abbâsiyah. Atas dasar ini, Ma'mûn ingin menutup mulut keluarganya dengan mengangkat Imam Ar-Ridhâ as. sebagai putra mahkota.

b. Di antara tujuan yang telah disusun oleh Ma'mûn ketika mengangkat Imam Ar-Ridhâ as. sebagai putra mahkota adalah ia ingin menampakkan kepada masyarakat ramai bahwa Imam Ar-Ridhâ bukanlah sosok figur yang zuhud terhadap kegemerlapan dunia. Malah, ia adalah salah seorang pecinta kerajaan dan kekuasaan. Dan hal ini dibuktikan dengan penerimaannya untuk menjadi putra mahkota.

Politik licik ini tidak tersembunyi bagi Imam Ar-Ridhâ as. Oleh karena itu, ia mengajukan beberapa syarat kepada Ma'mûn, yaitu ia tidak mau mengangkat siapa pun menjadi pejabat ngara, tidak menurunkan seorang pejabat negara pun, dan supaya ia berada jauh dari hiruk-pikuk urusan pemerintahan. Syarat-syarat ini mengindikasikan kezuhudannya terhadap kekuasaan.

c. Mayoritas pasukan militer Ma'mûn, baik dalam jajaran komandan maupun prajurit biasa, didominasi oleh para pengikut Syi'ah. Dengan mengangkat Imam Ar-Ridhâ as. menjadi putra mahkota ini, ia ingin menarik kecintaan dan kesetiaan mereka.

d. Revolusi dan pemberontakan-pemberontakan dengan motivasi menentang kekhalifahan dinasti Bani Abbâsiyah telah meledak di seluruh penjuru negeri Islam. Semua ini mengindikasikan keruntuhan dinasti dan ketamatan riwayat dirinya. Syiar dan slogan para pemberontak adalah mengajak masyarakat untuk berpihak kepada Ar-Ridhâ dari keluarga Muhammad saw. Ketika Imam Ar-Ridhâ as. dibaiat menjadi putra mahkota, para pemberontak mengaminkan baiat tersebut dan mereka rela membaiat Ma'mûn. Dengan ini semua, ia telah terbebaskan dari bahaya yang selama itu mengancam kedaulatan negaranya. Tindakan dan keputusan yang telah diambil oleh Ma'mûn ini tergolong keputusan kelas utama dalam dunia diplomatik. Dengan itu semua, ia telah berhasil menguasai seluruh peristiwa yang selalu mengancam negaranya.

Ini adalah sebagian tujuan yang memaksa Ma'mûn untuk mengangkat Imam Ar-Ridhâ as. menjadi putra mahkota.


Surat Fadhl kepada Imam Ar-Ridha

Ma'mûn memerintahkan Perdana Menterinya, Fadhl bin Sahl, untuk menulis sepucuk surat kepada Imam Ar-Ridhâ as. dengan harapan supaya ia bersedia menerima kekhalifahan dari Ma'mûn. Isi suratnya adalah sebagai berikut:

Untuk Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ dan putra Rasulullah saw. Al-Mushthafâ, yang petunjuknya layak untuk diikuti, yang seluruh tindakan dan perilakunya layak dijejaki, penjaga agama Allah, dan penyimpan wahyu Allah. Dari hambanya, Fadhl bin Sahl, yang telah berusaha untuk mengembalikan hak kepada jantungnya dengan tak mengenal siang dan malam. Salam atasmu, wahai figur yang telah mendapatkan petunjuk, juga rahmat dan berkah Allah. Aku bersyukur untuk Anda kepada Allah yang tiada tuhan selain Dia dan aku memohon kepada-Nya supaya mencurahkan salawat atas Muhammad, hamba-Nya. Amma ba'du:

Aku berharap semoga Allah telah menepati untuk Anda dan mengizinkan bagi Anda untuk mengembalikan hak Anda (kepada Anda) dari orang yang telah meremehkan Anda. Begitu juga semoga Dia memperagung anugerah-Nya kepada Anda dan menjadikan Anda sebagai pemimpin pewaris dan memperlihatkan kepada musuh-musuh Anda dan orang-orang yang membenci Anda apa yang selama ini mereka khawatirkan.

Sesungguhnya suratku ini kutulis atas harapan dari Amirul Mukminin Abdullah Imam Al-Ma'mûn dan dariku juga supaya aku mengembalikan hak Anda yang telah terzalimi itu kepada Anda, menetapkan hak-hak Anda di dalam kedua tangan Anda, dan menyerahkan semua hak itu sepenuhnya kepada Anda dengan harapan semoga Allah-yang mengetahui semua itu-menjadikanku-dengan itu semua-sebagai manusia yang paling berbahagia di dunia ini, termasuk dalam golongan orang-orang yang menang di sisi-Nya, termasuk dalam golongan orang-orang yang melaksanakan hak Rasulullah saw., dan juga termasuk dalam golongan orang-orang yang menolong Anda sehingga-di bawah wilâyah dan kekuasaan negara Anda-aku dapat menggapai dua kebahagiaan itu.

Apabila suratku ini telah sampai di tangan Anda dan memungkinkan bagi Anda untuk tidak menyia-nyiakannya sehingga Anda pergi berjumpa dengan Amirul Mukminin-yang memandang Anda sebagai partnernya dalam setiap urusan, memiliki kesamaan nasab keturunan, dan orang yang paling berhak atas segala sesuatu yang berada di bawah kekuasannya ..., niscaya Anda telah melakukan tindakan yang tentang itu aku telah dikelilingi oleh kehendak Allah, telah dijaga oleh para malaikat-Nya, dan telah dipelihara oleh penjagaan-Nya. Sesungguhnya Allah menanggung seluruh kebaikan yang akan kembali kepada diri Anda dan kemalsahatan umat ini lantaran tindakan Anda. Cukuplah Allah bagi kita dan Dia adalah sebaik-baik wakil.

Wassalamu'alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh.

Surat ini dipenuhi oleh curahan gelar-gelar yang mulia dan sifat-sifat yang agung bagi Imam Ar-Ridhâ as., sebagaimana juga berisi permohonan untuk mengembalikan kekhalifahan kepadanya. Semua itu tertuang atas usaha Fadhl dan Ma'mûn. Ia memohon kepada Imam Ar-Ridhâ as. untuk bergegas pergi ke Khurasan demi memegang tampuk kekhalifahan. Kami tidak menemukan jawaban Imam Ar-Ridhâ atas surat yang telah dikirim oleh pejabat tertinggi kerajaan dinasti Bani Abbâsiyah ini. Menurut sangkaan yang kuat, ia tidak menjawab surat tersebut lantaran ia mengetahui seluruh kebohongan yang telah tertuang di dalamnya.


Para Delegasi Ma'mûn kepada Imam Ar-Ridhâ as.

Ma'mûn mengutus delegasi resmi untuk menghadirkan Imam Ar-Ridhâ as. dari Yatsrib (Madinah) ke Khurasan. Ia memerintahkan kepada kepala delegasi untuk membawanya melalui daerah Bashrah dan Ahwaz, lalu ke Fars. Ia memerintahkannya supaya tidak membawa Imam Ar-Ridhâ as. melalui Kufah dan Qom, seperti yang telah dijanjikan kepada Imam Ar-Ridhâ as. sebelumnya.

Sangat gamblang sekali alasan mengapa Ma'mûn memerintahkan supaya Imam Ar-Ridhâ as. dibawa melalui jalan Bashrah, bukan Kufah dan Qom. Hal itu lantaran kedua kota tersebut adalah pusat para pengikut mazhab Syi'ah. Jika ia dibawa melalui kedua kota tersebut, Ma'mûn khawatir ia akan disambut oleh masyarakat setempat dengan segala penghormatan dan pengagungan, satu realita yang dapat melemahkan pusat kekuasaannya dan seluruh Bani Abbâsiyah.

Delegasi Ma'mûn bergegas berangkat hingga tiba di Yatsrib. Mereka menghadap kepada Imam Ar-Ridhâ as. dan mengutarakan perintah-perintah Ma'mûn kepadanya. Ia tidak memiliki jalan lain kecuali harus menerima perintah itu, sedangkan ia yakin bahwa permintaan Ma'mûn supaya ia menjadi putra mahkota dan khalifah itu hanyalah sebuah sandiwara politik. Tujuan aslinya adalah memusnahkan dirinya secara fisik.

Dengan seluruh kesedihan dan keputusasaan atas kehidupan dunia ini, Imam Ar-Ridhâ as. pergi menghadap makam suci kakeknya, Rasulullah saw., dengan air mata hangat berkucuran. Ia mengucapkan salam perpisahan terakhir kepada sang kakek tercinta itu.

Muhawwil As-Sijistânî meriwayatkan tata cara perpisahan Imam Ar-Ridhâ as. dengan kakeknya ini. Ia berkata: "Ketika delegasi datang untuk membawa Imam Ar-Ridhâ ke Khurasan, aku pada waktu itu berada di Madinah. Ia masuk ke dalam masjid untuk mengucapkan salam perpisahan dengan kakeknya, Rasulullah saw. Ia mengucapkan salam perpisahan itu berkali-kali, sedangkan suaranya melengking dengan tangisan dan isakan. Aku maju ke depan dan mengucapkan salam kepadanya. Ia menjawab salamku. Aku mengucapkan selamat kepadanya atas kedudukan yang akan diserahkan kepadanya itu. Ia menjawab, 'Biarkanlah aku. Aku akan keluar dari sisi kakekku saw. dan aku akan meninggal dunia dalam kesendirian dan dikuburkan di samping Hârûn.'

Aku pun pergi mengikuti jalan Imam Ar-Ridhâ sehingga ia meninggal dunia di Thûs dan dimakamkan di samping Hârûn."


Menuju ke Baitullah Al-Haram

Sebelum beranjak berangkat menuju ke Khurasan, Imam Ar-Ridhâ as. singgah terlebih dahulu di Baitullah Al-Haram untuk melakukan umrah. Sebagian besar keluarganya juga ikut serta dalam perjalanan ini. Di antara mereka adalah putranya, Imam Muhammad Al-Jawâd as. Ketika sampai di Baitullah yang agung itu, ia lantas melakukan tawaf dan lalu mengerjakan salat di belakang Maqam Ibrahim as. Setelah itu, ia melakukan sa'i dan selanjutnya mencukur rambut.

Imam Al-Jawâd as. juga melakukan ibadah umrah bersama ayahandanya. Ketika sampai di Hijir Ismail, ia duduk di situ, sedangkan kesedihan dan kesusahan menguasai raut wajahnya. Muwaffaq Al-Khâdim menemuinya dan memohon kepadanya supaya berdiri. Ia menolak untuk berdiri. Muwaffaq bergegas menemui Imam Ar-Ridhâ as. untuk memberitahukan kondisi putranya itu. Imam Ar-Ridhâ as. pun bergegas menemuinya seraya meminta supaya Imam Al-Jawâd as. berdiri. Imam Al-Jawâd as. menerima permintaan sang ayah sembari melantunkan keluhan-keluhan yang melukiskan kesedihan dan kesusahan seraya berkata: "Bagaimana mungkin aku berdiri dan pergi, sedangkan aku telah mengucapkan selamat tinggal kepada Baitullah, ucapan selamat tinggal yang tidak mungkin berjumpa lagi setelah itu?"

Imam Al-Jawâd as. telah melihat kesedihan dan petaka yang akan menimpa sang ayah. Ia memprediksikan dari peristiwa ini bahwa hal ini adalah akhir dari kehidupan ayahnya.


Menuju ke Khurasan

Imam Ar-Ridhâ as. meninggalkan Baitullah Al-Haram untuk menuju ke Khurasan. Ia tidak singgah di sebuah kota dan daerah kecuali penduduk kota dan daerah tersebut menyambutnya dengan penuh pemuliaan dan pengagungan. Mereka memohon kepadanya untuk bertamu di rumah mereka masing-masing demi mempersembahkan khidmat kepadanya. Atas sambutan yang hangat tersebut, ia sangat berterima kasih kepada mereka.


Di Nisyabur

Kafilah Imam Ar-Ridhâ as. bergerak cepat tak memperdulikan padang pasir yang gersang. Akhirnya, kafilah agung ini sampai di Nisyabur. Ia disambut secara resmi oleh penduduk setempat dengan penyambutan yang tak ada tandingannya. Para ulama dan fuqaha yang dipelopori oleh Yahyâ bin Yahyâ, Ishâq bin Râhawaeh, Muhammad bin Râfi', Ahmad bin Harb, dan selain mereka mengerumuninya. Ketika masyarakat melihatnya, mereka melantunkan takbir dan pujian kepada Allah. Tangisan pun mendominasi situasi. Para ulama dan orator berseru dengan suara yang lantang: "Wahai manusia, diam dan sadarlah. Janganlah kamu sakiti putra Rasulullah saw. ini."

Masyarakat pun diam tak bersuara. Para ulama memohon kepada Imam Ar-Ridhâ as. untuk meriwayatkan sebuah hadis yang memiliki sanad bersambung kepada kakeknya, Rasulullah saw. Ia (memenuhi permohonan mereka itu seraya) berkata: "Aku mendengar Mûsâ bin Ja'far pernah berkata, 'Aku mendengar ayahku, Ja'far bin Muhammad pernah berkata, 'Aku mendengar ayahku, Muhammad bin Ali pernah berkata, 'Aku mendengar ayahku, Ali bin Al-Husain pernah berkata, 'Aku mendengar ayahku, Al-Husain bin Ali pernah berkata, 'Aku mendengar ayahku, Ali bin Abi Thalib pernah berkata, 'Aku mendengar Nabi saw. pernah bersabda, 'Allah swt. berfirman, 'Lâ ilâha illallâh adalah benteng-Ku. Maka barang siapa yang masuk ke dalam benteng-Ku, niscaya ia akan aman dari siksa-Ku dan barang siapa masuk ke dalam benteng-Ku, niscaya ia akan aman dari siksa-Ku.' Akan tetapi, dengan syarat-syaratnya, dan aku adalah salah satu dari syarat-syarat tersebut."

Hadis ini ditulis oleh para perawi hadis yang berjumlah sekitar dua puluh ribu perawi. Hadis ini dinamakan Hadis Emas, lantaran hadis ini ditulis dengan tinta-tinta emas. Sanad hadis tersebut termasuk sanad hadis yang paling agung dan bernilai.

Ahmad bin Hambal berkata: "Seandainya sanad hadis ini dibacakan kepada orang yang gila, niscaya ia akan sembuh dari penyakit gilanya itu." Sebagian raja dinasti Sâmâniyah berwasiat supaya hadis ini ditulis dengan tinta emas dan dikuburkan bersama dirinya.


Ma'mûn Menyambut Imam Ar-Ridha

Ma'mûn mengeluarkan perintah untuk menyambut Imam Ar-Ridhâ as. dengan penyambutan resmi kerajaan. Seluruh angkatan bersenjata dan rakyat keluar untuk menyambutnya. Ma'mûn berdiri di barisan paling depan dengan disertai oleh para menteri dan anggota Dewan Musyawarah Kerajaan. Ia bergegas maju ke depan untuk menyambut dan menjabat tangan Imam Ar-Ridhâ, serta memeluknya. Ia menyambutnya dengan sambutan yang sangat hangat. Para menterinya juga melakukan hal yang sama. Ma'mûn menyediakan satu rumah khusus untuknya. Rumah itu dihampari permadani-permadani yang paling mewah dan dilengkapi dengan pembantu-pembantu (yang selalu siap melaksanakan segala titah).


Ma'mûn Menawarkan Kekhalifahan kepada Imam Ar-Ridhâ as.

Ma'mûn mengutarakan masalah kekhalifahan kepada Imam Ar-Ridhâ as. Ia berkeinginan untuk mengundurkan diri secara resmi dan menyerahkan kedudukan ini kepada Imam Ar-Ridhâ sepenuhnya. Ia berkata: "Wahai putra Rasulullah, aku telah mengetahui keutamaan, ilmu pemgetahuan, kezuhudan, wara', dan ibadah Anda. Oleh karena itu, menurut pendapatku, Anda adalah lebih pantas daripada aku untuk memegang tampuk kekhalifahan ini."

Imam Ar-Ridhâ as. menjawab: "Dengan zuhud terhadap kegemerlapan dunia aku mengharapkan keselamatan dari kejahatan dunia. Dengan menahan diri dari hal-hal yang haram aku mengharapkan dapat menggapai segala keuntungan (akhirat). Dan dengan kerendahan hati di dunia ini aku mengharapkan ketinggian kedudukan di sisi Allah ...."

Ma'mûn bergegas menimpali: "Sesungguhnya aku ingin mencabut diriku dari kekhalifahan ini dan menyerahkannya kepada Anda."

Seluruh niat licik Ma'mûn tidak tersembunyi bagi Imam Ar-Ridhâ as. Ia mengusulkan kekhalifahan itu kepadanya hanya untuk menggapai tujuan-tujuan politiknya. Bagaimana mungkin ia akan mengundurkan diri dari kursi kekhalifahan, sedangkan ia telah tega membunuh saudaranya, Amîn untuk merebutnya? Lalu, bagaimana mungkin ia menyerahkannya kepada Imam Ar-Ridhâ as.?

Imam Ar-Ridhâ as. menepis segala usaha Ma'mûn dan memberikan jawaban yang tegas kepadanya sembari berkata: "Jika kekhalifahan ini adalah hakmu, maka tidak boleh engkau melepas pakaian yang telah dipakaikan oleh Allah kepadamu dan memberikannya kepada orang lain. Dan jika kekhalifahan ini bukan hakmu, maka engkau tidak boleh memberikan kepadaku sesuatu yang bukan milikmu."

Mendengar jawaban ini, Ma'mûn marah besar dan mengancam Imam Ar-Ridhâ as. seraya berkata: "Engkau harus menerima kekhalifahan ini ...."

Imam Ar-Ridhâ as. menjawab: "Aku tidak akan menerima kekhalifahan lantaran aku taat kepadamu ...."

Imam Ar-Ridhâ yakin seratus persen bahwa penyerahan kekhalifahan itu adalah suatu usaha yang bohong dan tidak serius. Ma'mûn berasal dari keluarga Bani Abbâsiyah yang selalu merasa iri hati dan benci kepada Ahlul Bait as. Mereka telah melakukan tindakan-tindakan zalim kepada Ahlul Bait as. yang tidak pernah dilakukan oleh dinasti Bani Umayyah. Dengan ini semua, bagaimana mungkin ia bisa mempercayainya?


Kedudukan Putra Mahkota Ditawarkan kepada Imam Ar-Ridha

Ketika Ma'mûn sudah merasa putus asa memaksa Imam Ar-Ridhâ as. untuk menerima kekhalifahan, untuk kali kedua ia menawarkan kepadanya untuk menerima kedudukan sebagai putra mahkota kerajaan. Imam Ar-Ridhâ as. pun menolak tawaran tersebut dengan keras. Seluruh usaha Ma'mûn untuk mewujudkan cita-citanya itu berlangsung selama dua bulan, dan tidak mendapatkan hasil sedikit pun. Imam Ar-Ridhâ as. selalu menghela untuk menerima kedudukan pemerintahan apapun yang ditawarkan kepadanya.


Imam Ar-Ridhâ Dipaksa untuk Bersedia Menjadi Putra Mahkota

Seluruh cara diplomatik yang telah dicoba oleh Ma'mûn untuk merelakan Imam Ar-Ridhâ as. menjadi putra mahkota kerajaan menemui jalan buntu. Oleh karena itu, ia berinisiatif untuk menempuh jalan pemaksaan. Akhirnya, ia mengutus pesuruh kerajaan untuk memanggil Imam Ar-Ridhâ as. menghadap. Imam Ar-Ridhâ as. berkata kepadanya: "Demi Allah, aku tidak pernah berbohong dari sejak Tuhanku 'Azza Wajalla menciptakanku ... Sesungguhnya aku tahu apa yang engkau inginkan."

Ma'mûn bergegas bertanya: "Apa yang kuinginkan?"

Imam Ar-Ridhâ as. menimpali: "Apakah engkau menjamin keamananku?"

"Kujamin keamananmu," jawabnya pendek.

Imam Ar-Ridhâ as. berkata: "Engkau ingin supaya masyarakat berpendapat, 'Ali bin Mûsâ telah mengabaikan kezuhudan terhadap dunia. Malah, dunia yang enggan menempel dengannya (dan ia mengejar-ngejarnya). Jika tidak demikian, bagaimana mungkin ia menerima kedudukan sebagai putra mahkota jika bukan karena tamak terhadap kekhalifahan?'"

Ma'mûn marah besar. Ia berteriak atas Imam Ar-Ridhâ as. sembari berkata: "Engkau senantiasa melontarkan ucapan-ucapan yang tidak kusenangi. Aku telah menjaminmu dari amarahku. Demi Allah, jika engkau menerima kedudukan sebagai putra mahkota, maka itulah yang kuharapkan, dan jika engkau enggan menerimanya, aku akan memaksamu. Jika engkau menurut, maka itulah harapanku, dan jika engkau tidak menurut, maka aku akan memenggal lehermu."

Imam Ar-Ridhâ as. menghadapkan diri kepada Allah seraya berdoa: "Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah melarangku untuk menjerumuskan diriku ke dalam jurang kebinasaan. Aku telah dipaksa dan terpaksa lantaran aku mendapatkan ancaman untuk dibunuh oleh Abdullah Ma'mûn apabila aku tidak menerima kedudukan sebagai putra mahkota. Aku telah dipaksa dan terpaksa sebagaimana Yusuf dan Daniyal terpaksa menerima kepemimpinan dari tangan penguasa zalim pada masa mereka."

Dengan segala keterpaksaan, Imam Ar-Ridhâ as. menerima kedudukan sebagai putra mahkota, sedangkan ia menangis dan sedih.


Syarat-syarat yang Diajukan oleh Imam Ar-Ridhâ as.

Imam Ar-Ridhâ as. memberikan beberapa syarat kepada Ma'mûn untuk menerima kedudukan itu. Seluruh syarat itu menunjukkan bahwa ia dipaksa harus menerima kedudukan tersebut. Syarat-syarat tersebut adalah:

a. Tidak mengangkat seseorang untuk menjadi pejabat negara.

b. Tidak memberhentikan seseorang dari kedudukannya sebagai pejabat negara.

c. Tidak bersedia membatalkan satu pun dari ritual-ritual resmi negara.

d. Menjadi penasihat negara dari jauh (baca: secara tidak resmi).

Ma'mûn terpaksa menyetujui syarat-syarat yang sangat bertentangan dengan tujuan-tujuan (politik)nya itu. Kami telah memaparkan teks surat pengangkatannya sebagai putra mahkota dan butir-butir yang telah ditentukan oleh kerajaan dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ as.


Pembaiatan Imam Ar-Ridhâ as.

Ma'mûn mengadakan sebuah acara resmi istimewa yang dihadiri oleh para menteri, petinggi militer, para pembesar kerajaan, dan tokoh-tokoh penting masyarakat. Acara resmi ini ditujukan untuk membaiat Imam Ar-Ridhâ as. sebagai putra mahkota kerajaan. Orang pertama yang melakukan baiat adalah Abbâs bin Ma'mûn yang langsung diikuti oleh Bani Abbâsiyah dan Bani Ali as.

Tata cara pembaiatan ini sangat berbeda dan tidak pernah dialami oleh Bani Abbâsiyah selama itu. Imam Ar-Ridhâ as. mengangkat tangannya. Bagian belakang telapak tangannya menghadap ke wajahnya sendiri dan telapak tangannya menghadap ke wajah para pembaiat. Ma'mûn terkejut dengan cara pembaiatan semacam ini seraya berkata: "Julurkanlan tanganmu untuk dibaiat."

Imam Ar-Ridhâ as. menjawab: "Sesungguhnya dengan cara beginilah Rasulullah saw. dibaiat."

Mungkin tindakannya ini bersandarkan kepada firman Allah swt. yang berbunyi: "Tangan Allah berada di atas tangan mereka." (QS. Al-Fath [48]:10) Dengan demikian, tangan pembaiat tidak layak berada di atas tangan Rasulullah saw. dan Imam Ar-Ridhâ as.


Keputusan-Keputusan Penting

Ma'mûn mengeluarkan surat keputusan-surat keputusan penting dalam rangka pengangkatan Imam Ar-Ridhâ as. sebagai putra mahkota. Surat keputusan-surat keputusan tersebut adalah:

a. Gaji seluruh anggota militer dan tentara diberikan untuk setahun penuh.

b. Larangan untuk mengenakan pakaian berwarna hitam yang merupakan pakaian simbol Bani Abbâsiyah dan perintah untuk mengenakan pakaian berwarna hijau, lantaran pakaian berwarna hijau adalah pakaian para penduduk surga. Allah swt. berfirman: "Dan mereka mengenakan pakaian berwarna hijau yang terbuat dari sutra." (QS. Al-Kahf [18]:31)

c. Mencetak dinar dan dirham kerajaan dengan dibubuhi nama Imam Ar-Ridhâ as.


Ketakutan Ma'mûn Terhadap Imam Ar-Ridha

Tidak lama berlalu dari penobatan Imam Ar-Ridhâ as. sebagai putra mahkota, Ma'mûn mulai gelisah. Ia merasa takut dan khawatir atas masyarakat banyak yang selalu berkumpul mengerumuninya. Seluruh pertemuan dan majelis selalu membicarakan keutamaan dan ketinggian pribadinya, serta bahwa ia sangatlah layak untuk menduduki kursi kekhalifahan dan Bani Abbâsiyah tidak lain adalah keluarga pencuri dan pembikin keonaran. Ma'mûn marah besar. Oleh karena itu, ia mengambil keputusan-keputusan berikut ini:

a. Melakukan penjagaan ketat atas Imam Ar-Ridhâ as. dengan meletakkan kekuatan-kekuatan keamanan yang selalu siap menghitung keluar masuk napasnya. Kepemimpinan penjagaan ketat ini diserahkan kepada Hisyâm bin Ibrahim Ar-Râsyidî. Ia selalu melaporkan setiap ucapan yang keluar dari mulut Imam Ar-Ridhâ as.

b. Melarang para pengikut Syi'ah untuk menghadiri majelis pertemuan Imam Ar-Ridhâ as. dan mendengarkan ucapan-ucapannya. Ma'mûn menyerahkan urusan ini kepada penjaga pintu istana yang bernama Muhammad bin 'Amr Ath-Thûsî. Ia selalu mengusir para Syi'ah dan memperlakukan mereka dengan penuh kekerasan.

c. Melarang para ulama untuk mengadakan hubungan dengan Imam Ar-Ridhâ as. dan menimba ilmu pengetahuan darinya.


Imam Ar-Ridhâ Dibunuh

Ma'mûn sendiri yang telah membunuh Imam Ar-Ridhâ as. Ia memasukkan racun yang membinasakan ke dalam buah anggur atau delima. Ketika Imam Ar-Ridhâ as. memakan buah tersebut, racun merayap ke sekujur tubuh sucinya. Tidak lama berselang, jiwanya harus menghadap ke haribaan Ilahi dengan diiringi oleh para malaikat Rahman dan dijemput oleh roh para nabi as. di surga keabadian.

Imam Ar-Ridhâ as. pergi menghadap Tuhan Yang Kudus setelah ia melaksanakan tugas menyebarkan risalah Allah kepada para hamba-Nya. Ia tidak pernah ikut campur tangan dalam akfititas kerajaan Ma'mûn, dan sebagai gantinya, ia telah menerima segala macam kezaliman dan panganiayaan darinya.


Acara Ritual Pemakaman Tubuh Imam Ar-Ridha

Tubuh Imam Ar-Ridhâ as. diantarkan ke liang lahat dengan acara ritual pemakaman yang sangat agung yang tidak pernah disaksikan oleh kota Khurasan di sepanjang sejarahnya. Kantor-kantor resmi kerajaan, pusat-pusat perdagangan, dan seluruh kegiatan masyarakat libur total. Seluruh lapisan masyarakat keluar dari rumah-rumah mereka untuk mengantarkan tubuh suci Imam Ar-Ridhâ as. Tampak di barisan paling depan adalah Ma'mûn, para menterinya, para pembesar kerajaan, dan petinggi angkatan militer kerajaan. Ma'mûn keluar dengan kepala dan kaki telanjang. Ia berkata dengan suara yang nyaring: "Aku tidak tahu musibah manakah yang paling besar di antara dua musibah yang telah menimpaku ini: aku kehilanganmu dan harus berpisah denganmu atau tuduhan masyarakat bahwa aku telah membunuhmu?"

Ma'mûn menampakkan kesedihan dan kesusahan yang sangat dalam atas kepergian Imam Ar-Ridhâ as. demi membebaskan dirinya dari tuduhan membunuhnya tersebut. Akan tetapi, tidak lama berselang seluruh kelicikan dan riya' hatinya tersingkap di mata khalayak ramai. Mereka akhirnya tahu bahwa orang yang bertanggung jawab atas pembunuhan Imam Ar-Ridhâ as. itu adalah Ma'mûn sendiri.

Tubuh suci Imam Ar-Ridhâ as. dikeluarkan dengan disertai takbir dan tahlil yang menggema. Ma'mûn menguburkan tubuh suci itu di persemayamannya yang terakhir di dekat kuburan Hârûn. Dengan kepergiannya itu, seluruh kemuliaan umat manusia dan karakter-karakter tinggi insani pun terkubur juga.

Imam Ar-Ridhâ as. telah dimakamkan di tanah yang suci tersebut, dan makam sucinya di Khurasan menjadi lambang kemuliaan insani. Makamnya ini adalah makam termulia di dalam agama Islam. Umat manusia tidak pernah mengenal makam seorang wali Allah yang dipenuhi oleh kemuliaan dan keagungan seperti makam Imam Ar-Ridhâ as. ini.

Ma'mûn pernah ditanya mengapa Imam Ar-Ridhâ as. dimakamkan di dekat kubur Hârûn. Ia menjawab: "Supaya Allah mengampuni ayahku lantaran berdekatan dengan Ar-Ridhâ."

Penyair dunia pemikiran Islam, Di'bil Al-Khuzâ'î mengolok-olok logika murahan ini seraya menyenandungkan bait-bait syair berikut:

Ada dua kuburan di Thûs: satu kuburan manusia terbaik, dan satu lagi kuburan manusia terburuk. Alangkah ini adalah sebuah palajaran.

Kotoran tak akan bersih dengan berada dekat orang yang suci, dan orang suci pun tak 'kan ternodai dengan berada dekat kotoran.

Tidaklah demikian! Setiap orang menanggung segala perbuatannya, baginyalah kedua tangannya, maka ambillah yang kau sukai atau tinggalkan.

Ala kulli hal, dengan kepergian Imam Ar-Ridhâ as., satu lembaran (sejarah) dunia Islam yang cerlang dengan petunjuk dan keimanan telah sirna. Muslimin pun telah kehilangan pemimpin dan imam teragung mereka. Innâ lillâh wa innâ ilaih râji'ûn.


Catatan Kaki:

1. Hayâh Al-Imam Ar-Ridhâ as., jilid 1, hal. 10.
2. Nûr Al-Abshâr, hal. 138.
3. Bihâr Al-Anwâr, jilid 12, hal. 28.
4. 'Uyûn Akhbâr Ar-Ridhâ, jilid 2, hal. 178; Al-Manâqib, jilid 4, hal. 361.
5. Kasyf Al-Ghummah, jilid 3, hal. 107.
6. Dalam sebuah naskah yang lain terdapat ungkapan"kecuali ia mengetahui".
7. Hayâh Al-Imam Al-Jawâd as., hal. 42.
8. A'yân Asy-Syi'ah, jilid 4, hal. 200.
9. Ushûl Al-Kâfî, jilid 1, hal. 11; Wasa'il sy-Syi'ah, jilid 11, hal. 161.
10. A'yân Asy-Syi'ah, jilid 4, hal. 196, bagian kedua.
11. Ushûl Al-Kâfî, jilid 2, hal. 111.
12. Tuhaf Al-'Uqûl, hal. 445.
13. Ibid.
14. Wasâ'il Asy-Syi'ah, jilid 18, hal. 92.
15. Ibid., jilid 8, hal. 442.
16. Ibid., hal. 483.
17. Ad-Durr An-Nazhîm, hal. 215.
18. Târîkh Al-Ya'qûbî, jilid 3, hal. 181.
19. Bihâr Al-Anwâr, jilid 78, hal. 335.
20. Tuhaf Al-'Uqûl, hal. 446.
21. Ibid.
22. Wasâ'il Asy-Syi'ah, jilid 12, hal. 587.
23. Ibid., jilid 8, hal. 563.
24. Hayâh Al-Imam Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ as., jilid 1, hal. 38.
25. Al-Manâqib, jilid 4, hal. 333.
26. Ibid.
27. Nuzhah Al-Mâjalis, jilid 2, hal. 107.
28. Jawharah Al-Kalâm, hal. 146.
29. Hayâh Al-Imam Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ as., jilid 1, hal. 39.
30. Al-Ithâf bi Hubb Al-Asyrâf, hal. 59.
31. Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Jawâd as., hal. 40.
32. Hayâh Al-Imam Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ as., jilid 1, hal. 35.
33. Al-Manâqib, jilid 4, hal. 361.
34. Hayâh Al-Imam Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ as., jilid 2, hal. 284.
35. 'Uyûn Akhbâr Ar-Ridhâ as., jilid 2, hal. 149; Hayâh Al-Imam Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ as., jilid 2, hal. 285.
36. Hayâh Al-Imam Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ as., jilid 2, hal. 285; A'yân As-Syi'ah, jilid 2, hal. 18.
37. A'yân As-Syi'ah, jilid 4, hal. 122, bagian kedua.
38. Hayâh Al-Imam Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ as., jilid 2, hal. 287.
39. 'Uyûn Akhbâr Ar-Ridhâ as., jilid 2, hal. 135. Hadis ini memiliki kedudukan yang sangat penting di kalangan para ulama. Oleh karena itu, mereka memasukkannya ke dalam kategori hadis-hadis yang mutawâtir.
40. Akhbâr Ad-Duwal, hal. 115.
41. Ash-Shawâ'iq Al-Muhriqah, hal. 95.
42. Akhbâr Ad-Duwal, hal. 115.
43. Maqâtil Ath-Thâlibiyyîn, hal. 455.
44. Hayâh Al-Imam Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ as., jilid 2, hal. 306.
45. Kami telah memaparkan kisah pembunuhan terhadap Imam Ar-Ridhâ as ini di dalam buku kami yang berjudul Hayâh Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ as.


IMAM MUHAMMAD AL-JAWAD

Imam Muhammad Al-Jawâd as. memiliki seluruh keutamaan yang ada di alam semesta ini. Ia adalah figur ajaib di kalangan umat manusia dengan perbedaan agama dan naluri yang mereka miliki. Ia telah memegang tampuk imâmah pada usia tujuh tahun beberapa bulan. Banyak sekali ilmu pengetahuan telah nampak darinya yang membuat setiap akal takjub dan terheran-heran. Umat manusia senantiasa membicarakan karunia dan kejeniusan-kejeniusannya di sepanjang masa.

Para fuqaha dan ulama telah mengelilinginya (untuk menimba ilmu pengetahuan) sedangkan ia masih berusia semuda itu. Mereka bertanya kepadanya tentang masalah-masalah yang paling sulit dan ruwet, dan ia menjawab semua masalah itu bak seorang 'alim yang sangat mumpuni. Para perawi hadis meriwayatkan bahwa ia pernah ditanya tentang tiga puluh ribu masalah dalam kesempatan dan majelis yang berbeda-beda, dan ia menjawab seluruh masalah tersebut.

Sangat gamblang sekali bahwa tidak ada sebab dan faktor lain atas seluruh keajaiban tersebut kecuali keyakinan yang dimiliki oleh mazhab Syi'ah bahwa Allah swt. telah menganugerahkan ilmu pengetahuan, hikmah, dan Fashl Al-Khithâb kepada para imam Ahlul Bait as. Dia telah memberikan keutamaan kepada mereka yang tidak pernah diberikan-Nya kepada siapa pun di dunia ini.

Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan sebagian sisi pribadi dan kehidupan imam dan pemimpin yang agung ini.


Di Bawah Asuhan Sang Ayah

Imam Al-Jawâd as. hidup di bawah naungan dan lindungan sang ayah dengan penuh kasih sayang dan kecintaan. Imam Ar-Ridhâ as. tidak pernah memanggilnya dengan menyebut namanya. Imam Ar-Ridhâ as. selalu memanggilnya dengan menyebut gelarnya, Abu Ja'far. Selama Imam Ar-Ridhâ as. berdomisili di Khurasan, Imam Al-Jawâd as. senantiasa menulis surat kepada sang ayah. Surat-surat ini ditulis dengan kefasihan yang sangat tinggi.

Di antara manifestasi keagungan pendidikan Imam Ar-Ridhâ as. terhadap putranya adalah ia senantiasa memberi semangat kepada sang putra untuk berbuat kebajikan dan kebaikan kepada orang-orang fakir miskin. Ketika ia berada di Khurasan, ia menulis surat kepada Imam Al-Jawâd as. yang di antara isinya adalah sebagai berikut:

Semoga jiwaku menjadi tebusanmu! Aku mendengar berita bahwa jika engkau menunggangi kuda (untuk keluar rumah), para budak mengeluarkanmu melalui pintu kebun yang kecil itu. Tindakan mereka ini menunjukkan sifat kekikiran mereka supaya tak seorang pun berhasil mendapatkan kebaikanmu. Aku memohon kepadamu demi hak yang kumiliki atasmu, hendaknya keluar masukmu terlaksana melalui pintu rumah yang besar itu. Jika engkau menunggangi kuda (untuk keluar rumah)-insya Allah, hendaknya engkau membawa serta kepingan emas dan perak sehingga apabila seseorang memohon bantuan kepadamu, engkau dapat memberikan bantuan kepadanya. Jika salah seorang dari paman-pamanmu memohon kebaikanmu, janganlah kamu berikan kepadanya uang lebih sedikit dari lima puluh dinar, dan jika engkau ingin memberi uang lebih banyak, itu semua terserah kepadamu. Jika salah seorang dari bibi-bibimu memohon kebaikanmu, janganlah kamu berikan kepadanya uang kurang dari lima puluh dinar, dan jika engkah ingin memberi uang lebih banyak, itu semua terserah kepadamu. Jika salah seorang dari bangsa Quraisy memohon kebikanmu, janganlah kamu berikan kepadanya uang kurang dari dua puluh lima dinar, dan jika engkau ingin memberi uang lebih banyak, itu semua terserah kepadamu. Aku ingin supaya Allah menganugerahkan taufik kepadamu, Maka, infakkanlah hartamu dan janganlah kamu khawatirkan kemiskinan dari Dzat Pemilik 'Arsy.

Anda perhatikan pendidikan agung nan tinggi yang penuh dengan kemuliaan dan keagungan ini? Imam Ar-Ridhâ as. telah menanamkan akhlak yang mulia dan karakter yang agung di dalam lubuk hati putranya supaya ia layak untuk menjadi panutan bagi umat kakek ia saw.


Perhatian Keluarga Nabawi

Keluarga nabawi memberikan perhatian yang khusus kepada Imam Al-Jawâd as. dan memperlakukannya dengan penuh pengagungan dan pemuliaan, sedangkan ia masih berusia belia pada waktu itu. Coba kita lihat Ali bin Ja'far, seorang faqih agung dan saudara kandung Imam Mûsâ bin Ja'far as. Ia adalah salah seorang tonggak Bani Ali as. dalam keutamaan dan ketakwaan. Ia sangat menyucikan dan mengagungkan Imam Al-Jawâd as. Ia juga mengakui keutamaan dan kedudukan imâmah-nya, meskipun ia masih berusia belia.

Muhammad bin Hasan bin 'Imârah bercerita: "Aku pernah duduk-duduk di rumah Ali bin Ja'far di Madinah. Aku diam di rumahnya selama dua tahun untuk mencatat seluruh hadis yang telah ia riwayatkan dari saudaranya, yaitu Imam Mûsâ as. Tiba-tiba Abu Ja'far Muhammad bin Ali Ar-Ridhâ as. masuk ke dalam masjid Rasulullah saw. Seketika itu juga Ali bin Ja'far melompat tanpa alas kaki dan jubah, lantas mencium tangannya dan mengagungkannya. Imam Al-Jawâd as. menoleh ke arahnya seraya berkata, 'Duduklah hai pamanku. Semoga Allah merahmatimu ....'

Ali bin Ja'far membungkuk dengan penuh rasa hormat dan takzim seraya berkata, 'Wahai junjunganku, bagaimana mungkin aku duduk, sedangkan Anda masih berdiri?'

Imam Al-Jawâd pun lalu pergi dan Ali bin Ja'far kembali menemui para sahabatnya. Mereka bertanya-tanya kepadanya, 'Engkau adalah paman ayahnya, dan engkau memperlakukannya demikian?'

Ali menjawab pertanyaan mereka dengan logika keimanan seraya berkata, 'Duduklah kamu semua. Jika Allah-sambil memegang jenggotnya-tidak memberikan kelayakan kepada jenggot ini-untuk memegang imâmah-dan memilih pemuda ini (untuk itu), serta meletakannya di tempat yang Dia kehendaki, kita harus berlindung kepada Allah dari apa yang telah kamu ucapkan itu. Bahkan, aku adalah hamba baginya ....'"

Riwayat ini mengindikasikan kedalaman imam Ali bin Ja'far. Ia menegaskan kepada para sahabatnya bahwa imâmah tidak tunduk kepada kehendak manusia. Urusan imâmah ini berada di tangan Allah swt. Dia-lah yang menganugerahkan kedudukan ini kepada hamba yang dikehendaki-Nya tanpa ada perbedaan antara orang yang sudah berusia dewasa dan belia.


Kezuhudan

Imam Al-Jawâd as. zuhud terhadap seluruh harta dunia dan kegermelapannya. Ia tak ubahnya seperti nenek moyangnya yang selalu zuhud terhadap dunia dan meMûsâtkan seluruh konsentrasi hanya kepada Allah swt. dengan sepenuh hati dan wujud mereka.

Pada waktu itu, Imam Al-Jawâd as. masih berusia muda. Al-Ma'mûn selalu mengucurkan harta yang berlimpah kepadanya, di samping hak-hak syar'î yang senantiasa datang kepadanya dan harta-harta wakaf yang terdapat di kota Qom. Hanya saja, ia tidak pernah menginfakkan seluruh harta tersebut untuk kepentingan-kepentingan pribadinya. Ia selalu menginfakkannya-dengan segala kemurahan hati-kepada orang-orang fakir-miskin dan tertindas.

Husain Al-Mukârî menceritakan kepada kita pengagungan dan pemuliaan yang didapatkan oleh Imam Al-Jawâd as. di Baghdad. Ia berbisik dalam hatinya untuk tidak kembali pulang ke negerinya. Sebagai gantinya, ia akan berdomisili di Baghdad untuk memanfaatkan seluruh kenikmatan dunia yang sudah tersedia. Imam Al-Jawâd as. mengetahui apa yang terbersit di dalam hatinya. Ia menghadap kepadanya sembari berkata: "Hai Husain, roti gandum dan garam kasar di samping haram kakekku, Rasulullah saw. adalah lebih kucintai daripada seluruh harta yang kau lihat ini ...."

Imam Al-Jawâd as. bukanlah sosok orang pecinta kerajaan dan kekuasaan. Ia tidak pernah berbahagia dengan seluruh harta yang dikucurkan oleh kerajaan kepadanya. Ia meneruskan kehidupannya dengan berzuhud dan berpaling dari harta dunia.


Kedermawanan

Imam Al-Jawâd as. adalah figur yang paling murah tangan dan selalu berbuat kebajikan kepada orang-orang fakir-miskin melebihi orang lain. Ia diberi gelar Al-Jawâd lantaran kedermawanannya ini. Di antara contoh-contoh menifestasi kedermawanannya ini, kita bisa bisa memperhatikan riwayat-riwayat berikut ini:

a. Para ahli sejarah meriwayatkan bahwa Ahmad bin Hadîd pernah melakukan ibadah haji bersama beberapa orang sahabatnya. Di pertengahan jalan, mereka diserang oleh segerombolan perampok. Gerombolan pencuri itu merampas seluruh harta yang mereka miliki. Ketika tiba di Madinah, Ahmad pergi menemui Imam Al-Jawâd as. dan menceritakan peristiwa yang telah dialami oleh rombongannya. Ia memerintahkan supaya mereka diberi pakaian dan uang, serta dibagikan kepada rombongannya. Seluruh pakaian dan harta yang telah diberikan oleh Imam Al-Jawâd tersebut adalah senilai dengan harta mereka yang telah dirampas oleh gerombolam perampok tersebut.

b. Al-'Atbî meriwayatkan bahwa salah seorang keturunan Bani Ali as. mencintai seorang sahaya di Madinah, dan ia tidak memiliki harta untuk membelinya. Ia mengadukan hal itu kepada Imam Al-Jawâd as. Imam Al-Jawâd bertanya tentang tuan sahaya tersebut kepadanya, dan ia memberitahukan siapa tuannya. Imam Al-Jawâd bangkit dan membeli seluruh tanah, banguna, kebun, dan sahaya tersebut dari tuannya.

Pada suatu hari, 'Alawi tersebut keluar rumah untuk menanyakan tentang sahaya itu. Ia diberi tahu bahwa sahaya itu telah dijual dan mereka tidak tahu siapa yang telah membelinya secara diam-diam. Ia bergegas menemui Imam Al-Jawâd seraya menjerit: "Sahaya itu telah dijual."

Imam Al-Jawâd as. menyambutnya dengan senyuman penuh bahagia seraya bertanya: "Tahukah kamu siapa yang telah membelinya?"

"Tidak," jawabnya pendek.

Imam Al-Jawâd as. pergi membawanya menuju kebun dan bangunan mewah yang ditempati oleh sahaya itu. Ia menyuruhnya untuk masuk ke dalam. Ia menolak karena tidak tahu siapa pemiliknya. Ia memaksanya dan akhirnya ia bersedia masuk. Ketika memasuki rumah tersebut, ia mendapatkan sahaya itu terdapat di dalamnya. Imam Al-Jawâd as. bertanya kepadanya: "Apakah kamu kenal dia?"

Ia menjawab: "Ya." Ia akhirnya tahu bahwa Imam Al-Jawâd adalah orang yang telah membelinya. Imam Al-Jawâd as. berkata kepadanya: "Sahaya, rumah, tanah, kebun, dan seluruh harta yang terdapat di dalamnya adalah untukmu." 'Alawi itu terbang lantaran bahagia dan sangat berterima kasih kepadanya.

Dua kisah ini adalah salah satu contoh dari kedermawanan Imam Al-Jawâd as.


Keluasan Ilmu Pengetahuan

Meskipun masih berusia masih muda, Imam Al-Jawâd as. adalah figur yang paling 'alim pada masanya. Ia sering melakukan perdebatan-perdebatan filosofis, teologis, dan fiqih dengan para ulama kenamaan, dan ia selalu keluar sebagai pemenang. Mereka mengakui keutamaan dan keunggulan ia atas diri mereka.

Para fuqaha dan ulama berkumpul mengelilingi Imam Al-Jawâd as. (untuk menimba ilmu pengetahuan), sedangkan ia masih berusia tujuh tahun. Mereka menimba banyak ilmu pengetahuan darinya sehingga keutamaannya dikenal oleh masyarakat umum dan majelis-majelis ilmiah senantiasa membicarakan hal itu.

Imam Al-Jawâd as. adalah keajaiban dunia dalam kejeniusannya. Ketika Al-Ma'mûn ingin menikahkan Imam Al-Jawâd dengan anak perempuannya, Bani Abbâsiyah khawatir dan memohon kepadanya untuk diizinkan menguji keilmuannya. Al-Ma'mûn memberi izin. Mereka memilih Yahyâ bin Aktsam, Hakim Agung Baghdad, untuk melakukan ujian atas Imam Al-Jawâd. Mereka menjanjikan harta melimpah kepadanya jika ia mampu menguji Imam Al-Jawâd as. dan ia tidak mampu menjawab.

Dalam sebuah pertemuan yang dipenuhi oleh para menteri kerajaan, komandan militer, dan tokoh masyarakat, Yahyâ maju ke depan untuk mendekat kepada Imam Al-Jawâd as. seraya bertanya: "Semoga aku dijadikan tebusan Anda! Apakah Anda mengizinkan kepadaku untuk bertanya tentang suatu masalah?"

Imam Al-Jawâd as. menyambutnya dengan senyuman yang merekah seraya berkata: "Tanyakanlah apa yang kau kehendaki."

Ia bertanya: "Bagaimana pendapat Anda-semoga Allah menjadikanku sebagai tebusan Anda-tentang seseorang yang sedang melakukan ihram dan membunuh seekor binatang buruan?"

Imam Al-Jawâd as. menjabarkan pertanyaan itu ke dalam beberapa masalah lagi dan memecahnya menjadi beberapa masalah cabang. Ia bertanya kepada Yahyâ cabang masalah manakah yang ingin ia tanyakan. Ia berkata: "Ia membunuh binatang tersebut di daerah halal (baca: di luar daerah Mekah dan Madinah) atau di daerah haram? Ia mengetahui hukum atau tidak? Ia sengaja atau tidak? Ia adalah seorang budak atau merdeka? Ia masih kecil atau sudah besar? Ia membunuh untuk pertama kalinya atau sudah yang ke berapa kali? Binatang buruan tersebut berasal dari bangsa burung atau selainnya? Bangsa burung yang kecil atau yang besar? Ia menyesal atas tindakannya itu atau tidak? Ia membunuhnya pada malam hari di sarangnya atau di siang hari dan di khalayak ramai? Apakah ia melakukan ihram untuk ibadah haji atau umrah?"

Yahyâ tercengang dan nampak tak berkutik, lantaran ia tidak membayangkan seluruh masalah cabang yang dapat dijabarkan dari pertanyaannya itu. Ruangan pertemuan itu dipenuhi dengan gemuruh gema takbir dan tahlil. Gamblang bagi seluruh hadirin bahwa Allah swt. telah menganugerahkan hikmah dan ilmu pengetahuan kepada para imam Ahlul Bait as., sebagaimana Dia telah menganugerahkannya kepada para nabi dan rasul-Nya.

Imam Al-Jawâd as. telah memecah masalah tersebut menjadi beberapa masalah cabang, meskipun sebagian masalah itu tidak memiliki perbedaan hukum dengan yang lainnya. Seperti, membunuh binatang buruan di siang atau malam hari. Hukum tentang masalah ini adalah satu. Akan tetapi, ia menyebutkan keduanya demi membungkam mulut lawan bicara dan membuktikan kelemahannya. Hal itu lantaran ia datang hanya untuk menguji.

Akhirnya, Al-Ma'mûn menoleh kepada seluruh Bani Abbâsiyah yang hadir seraya berkata kepada mereka: "Segala puji bagi Allah atas nikmat ini. Dan terbukti bahwa pendapatku adalah benar. Apakah kamu semua sudah tahu sekarang apa yang selama ini kamu ingkari?"

Setelah terbukti bagi seluruh keluarga Bani Abbâsiyah tentang keutamaan dan keluasan ilmu pengetahuan Imam Al-Jawâd as., padahal ia masih berusia muda belia, Al-Ma'mûn berdiri dan menikahkannya dengan anak perempuannya.


Dari Kedalaman Iman

Imam Al-Jawâd as. memiliki banyak nasihat yang sangat bermutu dan mengajak kita untuk beriman kepada Allah dan pasrah diri kepada-Nya. Di antara nasihat-nasihat itu adalah sebagai berikut:

a. Percaya Penuh kepada Allah

Imam Al-Jawâd as. berkata: "Barang siapa percaya penuh kepada Allah, niscaya Dia akan menampakkan kepadanya kebahagiaan dan barang siapa berpasrah diri kepada Allah, niscaya Dia akan mencukupkan baginya segala urusan. Percaya penuh kepada Allah adalah sebuah benteng yang tidak bertahan di dalamnya kecuali seorang mukmin, dan pasrah diri (tawakal) kepada Allah adalah keselamatan dari segala keburukan dan tameng terhadap setiap musuh ...."

Kalimat-kalimat emas ini terisi penuh wejangan indah yang diperlukan oleh seluruh umat manusia dalam kehidupan mereka. Yaitu, percaya penuh kepada Allah, Pencipta alam semesta dan Penganugerah kehidupan. Barang siapa percaya penuh kepada-Nya, niscaya Dia akan menampakkan kepadanya kebahagiaan dan barang siapa berpasrah diri kepada-Nya, niscaya Dia akan mencukupkan baginya segala urusan.

b. Merasa Kaya dan Cukup Hanya dengan Berpegang Teguh kepada Allah

Imam Al-Jawâd as. mengajak umat manusia untuk merasa kaya hanya dengan berpegang teguh kepada Allah swt. dan menaruh harapan hanya kepada-Nya, bukan kepada selain-Nya.

Imam Al-Jawâd as. pernah berpesan: "Barang siapa merasa kaya dan cukup hanya dengan berpegang teguh kepada Allah, niscaya masyarakat akan membutuhkannya dan barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya masyarakat akan mencintainya."

Sesungguhnya barang siapa telah merasa kaya dan cukup dengan berpegang teguh kepada Allah, ia tidak akan merasa membutuhkan orang lain dan-sebaliknya-orang lainlah yang akan merasa butuh kepadanya. Karena, ia akan menjadi sumber anugerah baginya.

c. Memfokuskan Seluruh Wujud dan Perhatian Hanya kepada Allah

Imam Al-Jawâd as. mendorong umat manusia untuk memfokuskan seluruh wujud dan perhatian mereka hanya kepada Allah swt. yang anugerah dan kasih sayang-Nya tak pernah terputus. Orang yang memfokuskan seluruh wujud dan perhatiannya kepada selain Allah, ia telah mengalami kerugian besar. Ia berpesan: "Barang siapa yang menfokuskan seluruh wujudnya (inqitha') kepada selain Allah, niscaya Dia akan menyerahkannya kepada orang tersebut ...."


Akhlak yang Mulia

Imam Al-Jawâd as. mengajak kita semua untuk memiliki akhlak yang mulia dan karakter yang bagus. Di antara wasiat-wasiat ia adalah berikut ini:

Imam Al-Jawâd as. berkata: "Termasuk salah satu akhlak seseorang yang mulia adalah mencegah diri untuk mengganggu orang lain, termasuk salah satu kedermawanannya adalah berbuat kebaikan kepada orang yang dicintai, termasuk salah satu kesabarannya adalah sedikit mengadu, termasuk salah satu nasihatnya adalah mencegah apa yang tidak diridai oleh dirinya, termasuk salah satu kelembutan hatinya terhadap saudaranya adalah tidak mencelanya di hadapan orang yang membencinya, termasuk salah satu kejujurannya dalam menjalin persahabatan adalah menanggung biaya hidup sahabatnya, dan termasuk alamat kecintaan dalam dirinya adalah banyak sepakat dan sedikit menentang."

Dengan ungkapan-ungkapan yang menawan itu, Imam Al-Jawâd as. telah meletakkan pondasi akhlak yang mulia dan tindakan yang terpuji, serta mengajak kita untuk menjalin suatu persahabatan berdasarkan logika dan kelemah-lembutan.


Tata Krama Berperilaku

Imam Al-Jawâd as. telah mencetuskan program-program yang jitu untuk membangun tata krama dan sopan santun yang terpuji dalam berperilaku di hadapan masyarakat luas. Di antara wejangan-wejangannya berkenaan dengan masalah ini adalah berikut ini:

a. Ia berkata: "Ada tiga hal yang dapat mendatangkan kecintaan: tahu diri dalam bergaul, tenggang rasa dalam kesulitan, dan memiliki kalbu yang suci."

b. Ia berkata: "Jika seseorang memiliki tiga hal, maka ia tidak akan menyesal: meninggalkan keterburu-buruan, bermusyawarah, dan pasrah diri (tawakal) kepada Allah swt. ketika telah mengambil sebuah keputusan. Barang siapa menasihati saudaranya secara sembunyi-sembunyi, ia telah menghiasinya dan barang siapa menasihatinya secara terang-terangan (baca: di hadapan khalayak), ia telah mencoreng mukanya ...."

c. Ia berkata: "Tanda buku catatan amal seorang mukmin adalah kemuliaan akhlaknya dan tanda buku catatan amal seorang yang berbahagia adalah pujian yang baik untuknya. Bersyukur adalah hiasan sebuah penjelasan, kerendahan hati adalah hiasan ilmu, tata krama yang mulia adalah hiasan akal, keindahan terbersit di mulut, dan kesempurnaan tersembunyi di dalam akal ...."

Ucapan-ucapan ini mengandung prinsip dasar hikmah, kaidah akhlak, dan tata krama. Jika tidak ada suatu hal lain selain ucapan-ucapan ini, niscaya seluruh ucapan ini sudah cukup untuk membuktikan bahwa ia adalah seorang imam. Hal itu lantaran bagaimana mungkin ia dalam usianya yang masih belia itu dapat mencetuskan hikmah-hikmah kekal abadi yang tidak dapat dicetuskan oleh para ulama kenamaan seperti ini?


Nasihat

Banyak nasihat yang telah diriwayatkan dari Imam Al-Jawâd as. Di antaranya adalah berikut ini:

a. Ia berkata: "Menunda-nunda tobat adalah sebuah kesombongan, memperpanjang penangguhan adalah sebuah kebingungan, mencari-cari alasan terhadap Allah adalah sebuah kebinasaan, dan mengulangi perbuatan dosa adalah merasa aman diri dari makar Allah. 'Tidak merasa aman dari makar Allah kecuali kaum yang merugi.'" (QS. Al-A'râf [7]:99)

b. Seseorang pernah berkata kepadanya: "Berwasiatlah kepadaku." Imam Al-Jawâd as. berwasiat kepadanya dengan wasiat yang berharga seraya berkata: "Milikilah kesabaran, rangkullah kefakiran, enyahkanlah syahwat, tentanglah hawa nafsu, dan ketahuilah bahwa engkau tidak akan pernah luput dari pengawasan Allah. Maka, lihatlah mau jadi apa engkau ...."

c. Imam Al-Jawâd as. pernah menulis sepucuk surat yang berisi nasihat dan wejangan-wejangan yang sangat berharga kepada sebagian pengikut setianya. Di antara isi surat tersebut adalah "Kita semua hanya akan mengambil secedok air dari dunia ini. Akan tetapi, barang siapa yang kehendaknya mengikuti kehendak sahabatnya dan meniti jalan yang dititi olehnya, ia akan selalu bersamanya di mana pun ia berada. Dan akhirat adalah rumah keabadian."

Ini adalah sebagian nasihat Imam Al-Jawâd as. yang memuat ajakan untuk mengamalkan segala sesuatu yang dapat mendekatkan seseorang kepada Tuhannya dan menjauhkannya dari siksa-Nya. Nasihat-nasihat itu juga berisi larangan untuk mengikuti karakter-karakter buruk yang terpendam dalam diri manusia. Lantaran karakter-karakter buruk ini dapat mendorong kita terjungkal ke dalam jurang kebinasaan dan menjerumuskan kita ke dalam jurang kehinaan dan perbuatan dosa.

Imam Al-Jawâd as. telah memberikan perhatian yang besar dalam menasihati dan memberikan petunjuk kepada masyarakat, sebagaimana hal ini juga pernah dilakukan oleh nenek moyangnya. Realita ini adalah salah satu realita paling cerlang yang dapat kita baca dalam sirah dan sejarah hidup mereka.


Al-Ma'mûn Memohon kepada Imam Al-Jawâd

Al-Ma'mûn pernah memohon kepada Imam Al-Jawâd as. untuk menjelaskan masalah yang telah ditanyakan oleh Yahyâ bin Aktsam di atas. Ia mengabulkan permohonan tersebut seraya menjelaskan: "Jika orang yang sedang melakukan ihram membunuh seekor bintang buruan di daerah halal dan binatang buruan itu termasuk bangsa burung yang besar, maka ia harus membayar satu kambing. Jika ia membunuhnya di daerah haram, maka ia harus membayar kafarah dua kali lipat. Jika ia membunuh anak burung di daerah halal, maka ia harus membayar kibasy yang sudah disapih, dan ia tidak harus membayar harga anak burung itu juga, karena pembunuhan itu tidak terjadi di daerah haram. Jika ia membunuhnya di daerah haram, maka ia harus membayar kibasy dan harga anak burung itu. Jika binatang buruan itu termasuk bangsa binatang liar, maka ia harus membayar sapi apabila binatang yang telah dibunuh itu adalah keledai liar, dan jika binatang yang telah dibunuhnya itu adalah burung unta, maka ia harus membayar unta yang gemuk (badanah). Jika ia tidak mampu (untuk itu), maka ia harus memberi makan enam puluh orang miskin, dan jika ia tidak mampu juga, maka ia harus berpuasa selama delapan belas hari. Jika binatang yang dibunuh itu adalah seekor sapi, maka ia harus membayar seekor sapi. Jika ia tidak mampu, maka ia harus memberi makan tiga puluh orang miskin, dan jika ia tidak mampu juga, maka ia harus berpuasa selama sembilan hari. Jika binatang yang dibunuh itu adalah kijang, maka ia haru membayar seekor kambing. Jika ia tidak mampu, maka ia harus memberi makan sepuluh orang miskin, dan jika ia tidak mampu juga, maka ia harua berpuasa selama tiga hari. Jika ia membunuh binatang liar itu di daerah haram, maka ia harus membayar kafarah sebanyak dua kali lipat. 'Sebagai hadya yang dibawa sampai ke Ka'bah.' Ia harus menyembelih binatang kafarah itu di Mina-di mana para jamaah yang lain menyembelih binatang kurban-jika ia membunuhnya ketika sedang melaksanakan ibadah haji, dan jika ia membunuhnya pada saat melaksanakan ibadah umrah, maka ia harus menyembelihnya di Mekah di halaman Ka'bah dan bersedekah seharga satu kambing.

Jika ia membunuh seekor burung dara yang hidup di daerah haram, maka ia harus membayar 1 dirham, lalu menyedekahkannya dan 1 dirham lagi untuk dibelikan makanan burung-burung dara haram tersebut. Jika ia membunuh anak burung dara, maka ia harus membayar setengah dirham, dan jika ia memecahkan telurnya, maka ia harus membayar seperempat dirham.

Setiap tindakan (baca: kesalahan) yang dilakukan oleh orang yang sedang melaksanakan ihram karena ia tidak tahu hukum atau keliru, maka ia tidak wajib membayar kafarah apapun, kecuali memburu binatang. Memburu binatang mewajibkan kafarah, baik hal itu dilakukan karena ia tidak tahu hukum atau tahu, karena keliru atau sengaja.

Setiap kesalahan yang dilakukan oleh seorang budak, kafarahnya ditanggung oleh tuannya dan kafarahnya adalah sama seperti kafarah yang harus dibayar oleh tuannya.

Jika seseorang menunjukkan keberadaan seekor binatang buruan, sedangkan ia sedang melaksanakan ihram dan binatang buruan itu dibunuh, maka ia harus membayar kafarah.

Orang yang mengulangi membunuh binatang buruan, ia akan mendapatkan siksa di akhirat di samping kafarah yang harus ia bayar. Orang yang menyesali perbuatannya, ia tidak akan memiliki tanggung jawab apapun di akhirat setelah membayar kafarahnya.

Jika ia membunuh binatang di malam hari karena keliru ketika binatang itu berada di sarangnya, maka ia tidak memiliki kewajiban apapun, kecuali ia memburunya. Jika ia memburunya, baik di siang hari maupun di malam hari, maka ia harus membayar kafarah. Orang yang melakukan ihram untuk ibadah haji harus menyembelih binatang kafarahnya di Mekah ...."

Al-Ma'mûn mengeluarkan perintah supaya masalah ini ditulis. Setelah itu, ia menoleh ke arah Bani Abbâsiyah yang hadir seraya berkata: "Apakah ada di antara kalian semua yang bisa memberikan jawaban seperti ini?"

Mereka menjawab: "Tidak, demi Allah. Dan tidak juga sang hakim."

Sebagian yang lain menjawab: "Wahai Amirul Mukminin, Anda lebih tahu tentang masalah ini daripada kami."

Al-Ma'mûn menimpali: "Apakah kamu semua tidak tahu bahwa penghuni rumah ini bukanlah makhluk seperti makhluk yang lain? Sesungguhnya Rasulullah saw. telah membaiat Hasan dan Husain, sedangkan mereka berdua masih kecil, dan ia tidak pernah membaiat selain mereka ketika ia masih kecil. Apakah kamu semua tidak tahu bahwa ayah mereka, Ali telah beriman kepada Rasulullah saw. sedangkan ia baru berusia sembilan tahun, lalu Allah dan Rasul-Nya menerima imannya, sedangkan ia tidak pernah menerima keimanan anak kecil selainnya dan tidak juga pernah memanggil anak kecil selainnya? Apakah kamu semua tidak tahu bahwa mereka adalah sebuah keturunan yang sebagian mereka berasal dari sebagian yang lain, dan akan mengalir kepada orang terakhir dari mereka apa yang pernah mengalir kepada orang pertama mereka?"

Al-Ma'mûn mempercayai bahwa para imam Ahlul Bait as. memiliki posisi dan kedudukan tertinggi di dalam agama Islam, serta yang masih kecil dan yang sudah besar dari mereka mempunyai keutamaan yang sama.

Perlu kita ingat bersama bahwa ketika Imam Al-Jawâd as. berada di Baghdad, para ulama dan perawi selalu mengitarinya. Ia melontarkan kuliah-kuliah yang sangat berharga kepada mereka dalam bidang ilmu Fiqih, Teologi, Filsafat, Tafsir Al-Qur'an, Ushul Fiqih, dan lain sebagainya.

Pertemuan dan majelis-majelis ilmiah selalu heboh untuk membicarakan kedalaman ilmu pengetahuan Imam Al-Jawâd as. pada saat ia masih berusia muda itu. Para pengikut mazhab Syi'ah meyakini bahwa Allah swt. telah menganugerahkan ilmu pengetahuan, hikmah, dan Fashl Al-Khithâb kepada para imam Ahlul Bait as., serta juga memberikan keutamaan kepada mereka yang belum pernah diberikan kepada orang lain di dunia ini.

Kami telah memaparkan keluasan ilmu pengetahuan, hikmah, dan tata krama Imam Al-Jawâd as. yang sampai kepada kita dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Jawâd as.


Imam Al-Jawâd as. Dibunuh

Imam Muhammad Al-Jawâd as. tidak meninggal dunia secara alamiah. Ia dibunuh dengan racun oleh Mu'tashim Al-Abbâsî yang hatinya telah dipenuhi oleh kebencian dan iri hati kepadanya. Mu'tashim marah besar ketika mendengar keutamaan dan ketinggian derajat Imam Al-Jawâd as. di dalam kalbu muslimin. Keirihatian ini telah mendorong dia melakukan dosa besar itu.

Ada faktor lain yang mendorong Mu'tashim untuk membunuh Imam Al-Jawâd as. Yaitu fitnah dan hasudan yang dilontarkan oleh Abu Dâwûd As-Sijistânî lantaran Mu'tashim menyetujui pendapat Imam Al-Jawâd as. dan tidak menggubris pendapat para fuqaha yang lain dalam memecahkan sebuah masalah fiqih. Persitiwanya adalah sebagai berikut:

Ada seorang pencuri yang mengaku telah mencuri sebuah barang. Mu'tashim memerintahkan supaya ia disucikan dengan menjalankan had atasnya. Ia mengumpulkan seluruh fuqaha dan juga menghadirkan Imam Al-Jawâd as. Ia memaparkan masalah pencurian tersebut kepada mereka. Abu Dâwûd As-Sijistânî mengajukan pendapat seraya berkata: "Tangannya harus dipotong dari bagian pergelangan tangan. Allah swt. berfirman, 'Maka, usaplah sebagian wajah dan tanganmu.'" (QS. An-Nisâ' [4]:43)

Sementara itu, sebagian fuqaha yang lain melontarkan pendapat seraya berkata: "Tangannya harus dipotong dari bagian siku-siku. Dalilnya adalah firman Allah swt., '... dan tanganmu hingga siku-siku.'" (QS. Al-Mâ'idah [5]:6)

Mu'tashim menoleh ke arah Imam Al-Jawâd as. seraya bertanya: "Hai Abu Ja'far, bagaimana pendapatmu dalam masalah ini?"

Imam Al-Jawâd as. menjawab: "Wahai Amirul Mukminin, mereka telah melontarkan pendapat masing-masing tentang masalah ini."

Mu'tashim menimpali: "Janganlah kau hiraukan pendapat mereka dalam masalah ini. Aku sumpah kamu demi Allah, katakanlah pendapatmu tentang masalah ini."

Imam Al-Jawâd as. menjawab: "Karena engkau telah menyumpahku demi Allah, maka harus kukatakan bahwa mereka semua telah menentang sunah. Pemotongan tangan harus dimulai dari sendi-sendi jari-jemari dan telapak tangan harus disisakan."

"Mengapa harus demikian?" tanya Mu'tashim pendek.

Imam Al-Jawâd as. menjawab: "Karena sabda Rasulullah saw. yang menegaskan, 'Sujud harus terlaksana dengan tujuh anggota: wajah, dua telapak tangan, dua lutut, dan dua kaki.' Oleh karena itu, jika tangan pencuri harus dipotong dari bagian pergelangan tangan atau siku-siku, maka ia tidak memiliki tangan yang dapat digunakan untuk bersujud. Dan Allah swt. berfirman, 'Sesungguhnya tempat-tempat sujud itu adalah milik Allah.' (QS. Al-Jinn [72]:18) Yaitu, ketujuh anggota sujud yang harus digunakan untuk melaksanakan sujud. Dan segala sesuatu yang hanya dimiliki oleh Allah tidak boleh dipotong."

Mu'tashim terheran-heran takjub atas fatwa dan argumentasi Imam Al-Jawâd as. ini. Lantas ia memerintahkan supaya tangan pencuri itu dipotong dari sendi-sendi jari-jemarinya, bukan pergelangan tangannya, dan tidak menggubris fatwa para fuqaha tersebut.

Abu Dâwûd marah besar. Setelah tiga hari berlalu, ia beranjak untuk menjumpai Mu'tashim. Ia berkata kepada Mu'tashim: "Amirul Mukminin wajib memberikan nasihat kepadaku, sedangkan aku melontarkan sebuah ucapan yang dapat menjerumuskanku ke dalam api neraka ...."

Mu'tashim dengan sigap bertanya: "Ada apa ini?"

Ia menjawab: "Amirul Mukminin telah mengumpulkan fuqaha rakyat dan ulama mereka untuk memutuskan sebuah perkara agama yang telah terjadi, dan menanyakan hukum perkara tersebut kepada mereka. Mereka pun telah mengeluarkan hukum perkara tersebut, sedangkan majelis pertemuan itu dihadiri oleh keluarga Amirul Mukminin, para petinggi negara, para menteri, dan para sekretaris Anda, serta rakyat juga mendengarkan itu semua dari balik pintu rumah Anda. Setelah itu, Anda tidak menggubris fatwa mereka gara-gara fatwa satu orang yang diyakini oleh segelintir masyarakat sebagai imam dan pemimpin, serta mereka mendakwa bahwa ia adalah orang yang lebih utama berkenaan dengan masalah ini. Kemudian, Amirul Mukminin menjalankan hukumnya dan meninggalkan hukum yang telah ditentukan oleh para fuqaha."

Warna kulit Mu'tashim berubah seketika dan memahami ucapannya. Ia berkata kepadanya: "Semoga Allah membalas kebaikan bagimu atas nasihat ini."

Sang faqih yang merupakan salah seorang orator penasihat kerajaan ini mendorong Mu'tashim untuk membunuh Imam Al-Jawâd as. Celakalah ia karena dosa besar yang telah dilakukannya ini. Dengan tindakannya itu, ia telah memiliki andil dalam membunuh salah seorang imam Ahlul Bait as. yang ketaatan kepada mereka telah diwajibkan oleh Allah swt. atas setiap muslim dan muslimah.

Para ahli sejarah berbeda pendapat berkenaan dengan orang yang diserahi tugas oleh Mu'tashim untuk membunuh Imam Al-Jawâd as. Sebagian mereka berpendapat bahwa Mu'tashim menyuruh sebagian sekretaris menterinya untuk melakukan tindakan ini. Sekretaris itu mengundang Imam Al-Jawâd as. untuk datang ke rumahnya demi memohon berkah atas kedatangannya ini. Imam Al-Jawâd menolak untuk datang. Akan tetapi, sang sekretaris tidak putus asa. Ia memohon sambil memelas-melas seraya berkata: "Salah seorang menteri ingin berjumpa dengan Anda di rumahnya." Imam Al-Jawâd as. tidak memiliki alasan lagi untuk menolak permohonannya. Ia datang ke rumahnya. Ketika menyantap hidangan, ia merasakan dirinya teracuni. Ia meminta binatang tunggangannya dan keluar dari rumah menteri itu.

Akan tetapi, ahli sejarah yang lain menegaskan bahwa Mu'tashim mengiming-imingi uang melimpah kepada kemenakan perempuannya, istri Imam Al-Jawâd as. yang bernama Ummul Fadhl untuk membunuhnya, dan ia pun rela meracuninya.

Ala kulli hal, racun itu bereaksi dalam tubuh Imam Al-Jawâd as. sehingga ia mengalami rasa sakit yang luar biasa. Racun itu memutus usus dan lambungnya. Penguasa dinasti Bani Abbâsiyah memerintahkan Ahmad bin Isa untuk menjenguknya di waktu sahar demi mencari tahu tentang berita sakitnya itu. Kematian telah mendekati Imam Al-Jawâd dengan cepat, sedangkan ia masih berusia muda belia. Ketika merasa ajal telah dekat, ia mulai membaca beberapa surah Al-Qur'an hingga ia menghembuskan napas terakhir. Dengan kepergiannya ini, sebuah pelita imâmah dan kepemimpinan spiritual dunia Islam juga padam. Dengan kepergiannya ini, sebuah lembaran risalah Islami yang telah berhasil menerangi alam pemikiran dan mengangkat bendera ilmu pengetahun dan keutamaan di atas bumi pun sirna.


Ritual Pemakaman

Tubuh suci Imam Al-Jawâd as. telah dipersiapkan untuk dimakamkan. Imam Ali Al-Hâdî as. memandikan, mengafani, dan menyalatinya. Setelah itu, tubuh agung itu dipikul dengan arakan yang maha dahsyat untuk dibawa menuju pekuburan kaum Quraisy. Masyarakat luas ikut mengantarkan jenazahnya dan di barisan depan berjalan para menteri, sekretaris kerajaan, dan seluruh keluarga besar Bani Abbâsiyah, serta tak ketinggalan pula Bani Ali as. dengan mengenang kerugian besar yang telah menimpa dunia Islam dengan penuh kesedihan.

Tubuh suci Imam Al-Jawâd as. itu dibawa ke pekuburan kaum Quraisy dan dimakamkan di dekat makam kakeknya, Imam Mûsâ bin Ja'far as. Dengan ini pula, mereka telah menguburkan nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi dan suri teladan yang agung.


Usia Imam Al-Jawâd

Imam Al-Jawâd as. hanya berusia dua puluh lima tahun. Ia adalah imam Ahlul Bait as. yang paling muda. Dalam usianya yang pendek ini, ia telah berhasil menyebarkan ilmu pengetahuan, keutamaan, dan keimanan di tengah-tengah masyarakat luas.


Catatan Kaki:

1. Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Jawâd as, hal. 30.
2. Ad-Durr An-Nazhîm, hal. 315.
3. Bihâr Al-Anwâr, jilid 12, hal. 117; Ushûl Al-Kâfî, jilid 1, hal. 379.
4. Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Jawâd, hal. 75.
5. Al-Wâfî bi Al-Wafayât, jilid 4, hal. 105.
6. Mir'âh Az-Zamân, jilid 6, hal. 105.
7. Al-Irsyâd, hal. 261; Al-Wasâ'il, jilid 9, hal. 187. Dan buku-buku referensi lainnya.
8. Al-Fushûl Al-Muhimmah, karya Ibn Ash-Shabbagh, hal. 373.
9. Jawharah Al-Kalâm, hal. 150.
10. Hayâh Al-Imam Al-Jawâd as., hal. 105.
11. Ad-Durr An-Nazhîm, hal. 223; Al-Ithâf bi Hubb Al-Asyrâf, hal. 77.
12. Jawharah Al-Kalâm, hal. 150.
13. Al-Ithâf bi Hubb Al-Asyrâf, hal. 78.
14. Ibid.
15. Tuhaf Al-'Uqûl, hal. 456.
16. Ibid.
17. Ibid.
18. Di dalam tafsir hadis ini disebutkan: "Jika binatang yang dibunuh itu adalah keledai liar, maka ia harus membayar badanah. Begitu juga jika binatang yang dibunuh itu adalah burung unta."
19. Tuhaf Al-'Uqûl, hal. 452; Wasâ'il As-Syi'ah, jilid 9, hal. 188. Syaikh Mufid menyebutkan dialog ini secara ringkas dalam bukunya, Al-Irsyâd, hal. 312.
20. Hal ini bisa dirujuk kepada buku 'Aqîdah Asy-Syi'ah, hal. 200 dan Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Jawâd as, hal. 257.
21. Had adalah sebuah hukuman yang telah ditentukan bentuk dan jenisnya oleh Allah swt. sebagai pemilik syariat. Had untuk pencuri adalah potong tangan-pen.
22. Tafsir Al-'Ayâsyî, jilid 1, hal. 319; Tafsir Al-Burhân, jilid 1, hal. 471; Bihâr Al-Anwâr, jilid 12, hal. 99; Wasâ'il As-Syi'ah, jilid 18, hal. 490; Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Jawâd as, hal. 270.
23. Tafsir Al-'Ayâsyî, jilid 1, hal. 320; Bihâr Al-Anwâr, jilid 12, hal. 99; Tafsir Al-Burhân, jilid 1, hal. 471.
24. Nuzhah Al-Jalîs, jilid 2, hal. 111; Al-Manâqib, jilid 4, hal. 391.
25. Al-Irsyâd, hal. 369.
26. Nûr Al-Abshâr, karya Al-Mazandarani, hal. 276; Muntahâ Al-?mâl, karya Al-Qomi, jilid 2, hal. 452. Di dalam Mir'âh Al-Jinân, jilid 2, hal. 81 ditegaskan bahwa Al-Wâtsiq bin Mu'tashim menyalati Imam Al-Jawâd as.. Di dalam Nuzhah Al-Jalîs, jilid 2, hal. 111 juga disebutkan bahwa Al-Wâtsiq dan Mu'tashim bergegas untuk menyalatinya.


IMAM ALI AL-HADI

Imam Ali Al-Hâdî as. adalah imam kesepuluh dari para imam maksum pembawa petunjuk as. Ia adalah salah seorang harta berharga Islam dan manifestasi ketakwaan dan keimanan. Ia adalah suara kebenaran yang menentang kezaliman para penguasa dinasti Bani Abbâsiyah dan tidak pernah tergiur oleh kegemerlapan dunia di sepanjang sejarah hidupnya selama hal ini tidak memiliki kaitan erat dengan kebenaran. Ia lebih mengutamakan ketaatan kepada Allah swt. atas segala sesuatu. Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan sebagian sisi kehidupannya.


Kelahiran

Dengan kelahiran bayi yang penuh berkah ini, dunia menjadi terang benderang. Imam Ali Al-Hâdî as. dilahirkan di BashrYa. Imam Al-Jawâd as., sang ayah, bergegas menjenguk sang putra suci dan mengadakan acara ritual Islam untuk putranya yang penuh berkah ini. Ia membacakan azan di telinga kananya dan iqamah di telinga kirinya. Di samping itu, ia juga melaksanakan akikah untuknya dengan menyembelih seekor kambing, sebagai sebuah sunah yang biasa dilakukan oleh para imam maksum as. itu.

Imam Ali Al-Hâdî as. dilahirkan pada tanggal 27 Dzulhijjah 212 Hijriah.


Nama

Sang ayah, Imam Al-Jawâd as., memberi nama Ali kepada putranya sebagai upaya untuk mengharap berkah dari nama kakeknya, Amirul Mukminin Ali as. Ia sangat menyerupai sang kakek dari segi kefasihan berbicara, jihad, dan ujian dalam menempuh jalan Allah. Sang ayah memberi julukan Abul Hasan untuknya dan memberi gelar Al-Murtadhâ, Al-'?lim, Al-Faqîh, dan gelar-gelar mulia yang lainnya.


Pertumbuhan

Imam Ali Al-Hâdî as. tumbuh berkembang di dalam sebuah keluarga yang berbeda dengan seluruh kalangan masyarakat dengan sopan santun yang cerlang dan tata krama yang tinggi. Anak yang masih kecil di kalangan mereka menghormati orang yang sudah besar dan orang yang sudah besar menyayangi anak yang masih kecil. Di antara contoh manifestasi sopan santun dan tata krama mereka adalah pengakuan para ahli sejarah ini. Mereka menyatakan bahwa Imam Husain as. tidak pernah berbicara di hadapan saudaranya, Imam Hasan as. karena menghormati dan mengagungkannya. Begitu juga mereka meriwayatkan bahwa Imam Zainul Abidin as. tidak pernah mau makan bersama wanita pengasuhnya, padahal ia selalu memohon supaya makan bersama. Hal itu lantaran ia takut mengambil makanan yang telah diinginkan oleh wanita pengasuh tersebut terlebih dahulu, dan dengan tindakan ini, ia telah dianggap sebagai orang yang durhaka kepadanya.

Tata krama dunia manakah yang dapat menyerupai tata krama yang menghikayatkan tata krama dan sopan santun para nabi as. ini?

Imam Ali Al-Hâdî as. telah tumbuh berkembang di bawah asuhan sang ayah, Imam Muhammad Al-Jawâd as. di mana ia sendiri adalah sebuah dunia keutamaan dan sopan santun. Imam Al-Jawâd as. telah menumpahkan seluruh cahaya spiritual, akhlak, dan sopan santun yang dimilikinya kepada sang putra, Imam Ali Al-Hâdî as. ini.


Anak Kecil yang Jenius

Pada saat masih kanak-kanak, Imam Ali Al-Hâdî as. memiliki kejeniusan dan kecerdasan luar biasa yang membuat seluruh pemikir takjub. Di antara manifestasi kejeniusan dan kecerdasannya adalah kisah berikut ini:

Setelah membunuh ayahnya, Mu'tashim Al-Abbâsî memerintah Umar bin Faraj untuk pergi ke Yatsrib (Madinah) demi mencari sorang guru bagi Imam Al-Hâdî as. Pada saat itu, Imam Al-Hâdî as. masih berusia enam tahun dan beberapa bulan. Mu'tashim juga berpesan supaya guru itu memiliki karakter permusuhan dan kebencian kepada Ahlul Bait as. yang luar biasa. Mu'tashim berharap supaya ia bisa menanamkan permusuhan dan kebencian di dalam diri Imam Al-Hâdî as. kepada mereka. Mu'tashim sepertinya tidak tahu bahwa para imam yang suci itu adalah anugerah Allah swt. untuk para hamba-Nya, dan Dia telah menyucikan mereka dari segala bentuk dan jenis kotoran.

Ketika Umar bin Faraj tiba di Madinah, ia berjumpa dengan gubernur Madinah dan menjelaskan tugas tersebut kepadanya. Gubernur Madinah memberikan petunjuk kepadanya untuk menjumpai Al-Junaidî. Ia sangat membenci dan memusuhi keturunan Bani Ali as.

Umar bin Faraj mengutus seseorang untuk membawa Al-Junaidî ke rumahnya. Setelah tiba, Umar membeberkan perintah Mu'tashim kepadanya dan Al-Junaidî pun menerima tugas itu. Umar pun menentukan imbalan bulanan kepadanya dan memerintahkannya supaya melarang para pengikut Syi'ah untuk berjumpa dengan Imam Ali Al-Hâdî as.

Al-Junaidî pun memulai tugasnya mengajar Imam Al-Hâdî as., dan ia sangat takjub dan terheran-heran dengan kejeniusannya. Pada suatu hari, Muhammad bin Ja'far pernah bertanya kepada Al-Junaidî seraya berkata: "Bagaimana kondisi anak kecil yang sedang kau didik itu?"

Al-Junaidî mengingkari cara bertanya semacam itu. Ia mengekspresikan ketakjuban dan pengagungannya terhadap Imam Al-Hâdî as. Ia menjawab: "Apakah engkau mengatakan bahwa dia adalah anak kecil, bukan orang yang sudah dewasa?! Aku sumpah kamu demi Allah, apakah engkau mengenal seseorang yang lebih tahu tentang adab dan ilmu pengetahuan di Madinah daripada aku?"

Muhammad menjawab: "Tidak."

Al-Junaidî menimpali: "Demi Allah, aku menjelaskan satu huruf tentang adab dan aku menyangka bahwa aku telah menjelaskan hal itu berlebihan. Kemudian, ia membuka pintu-pintu (adab dan ilmu pengetahuan) untukku dan aku banyak mengambil manfaat darinya. Lalu, masyarakat menyangka bahwa aku telah mengajarinya. Tidak! Demi Allah, akulah sebenarnya yang telah belajar darinya ...."

Hari-hari pun berlalu. Pada suatu hari, Muhammad bin Ja'far berjumpa dengan Al-Junaidî seraya bertanya kepadanya: "Bagaimana kondisi anak kecil itu?"

Al-Junaidî pun tidak menyetujui ungkapannya itu seraya berkata: "Tinggalkanlah ucapanmu ini. Demi Allah Yang Maha Tinggi, ia adalah penghuni bumi yang terbaik dan makhluk paling utama yang pernah diciptakan oleh Allah swt. Pada suatu hari, ia pernah meminta izin kepadaku untuk masuk kamarku. Kukatakan kepadanya, 'Kamu boleh masuk asalkan telah membaca surah Al-Qur'an.' Ia bertanya lagi, 'Surah apakah yang kau inginkan kubaca?'

Aku menyebutkan surah-surah yang sangat panjang yang tidak mungkin ia dapat membacanya. Tiba-tiba ia bergegas membacanya dengan suara fasih yang aku sendiri belum pernah mendengar suara sefasih itu. Ia membacanya dengan lantunan suara yang lebih indah daripada lantunan kidung Dâwûd. Ia hafal Al-Qur'an dari awal hingga akhir, dan mengetahui takwil dan sebab-sebab turunnya."

Al-Junaidî menambahkan: "Ia adalah anak kecil yang tumbuh berkembang di Madinah di dalam tembok-tembok kota yang hitam kelam. Lalu, siapakah yang mengajari ilmu pengetahuan yang maha luas itu kepadanya? Maha Suci Allah!"

Dengan pengalaman itu, Al-Junaidî mencabut seluruh rasa kebencian dan permusuhan kepada Ahlul Bait as. itu dari dalam dadanya dan menjadi orang yang sangat mencintai mereka.

Tidak ada alasan dan justifikasi lain bagi realita ini kecuali keyakinan yang dimiliki oleh mazhab Syi'ah bahwa Allah swt. telah menganugerahkan ilmu pengetahuan, hikmah, dan Fashl Al-Khithâb kepada para imam suci itu yang tidak pernah diberikannya kepada siapa pun di alam semesta ini.


Pengagungan Bani Ali

Imam Ali Al-Hâdî as. mendapatkan pengagungan dan penghormatan khusus dari kalangan Bani Ali as. Mereka telah mengenal kedudukan spiritualnya yang tinggi dan bahwa ia adalah imam dan pemimpin yang harus ditaati.

Para perawi hadis menceritakan sikap Zaid bin Imam Mûsâ bin Ja'far (terhadap Imam Ali Al-Hâdî as.), sedangkan ia telah berusia lanjut. Pada suatu hari, Zaid meminta izin kepada penjaga pintu rumah Imam Al-Jawâd as., Umar bin Faraj, untuk berjumpa dengannya. Umar mempersilahkannya masuk. Setelah masuk, ia duduk di hadapan Imam Al-Hâdî as. dengan penuh takzim dan penghormatan.

Pada kali yang lain, Zaid pernah bertamu ke rumah Imam Al-Hâdî as. dan secara kebetulan tidak ada di tempat pada waktu itu. Akhirnya, Zaid duduk di depan (sebagai orang tertua). Ketika Imam Al-Hâdî as. datang, ia melompat dari tempat duduknya dan mendudukkannya di tempat itu. Lalu, ia duduk di hadapannya dengan penuh sopan santun, padahal Imam Al-Hâdî masih berusia muda. Hal ini adalah sebuah pengakuan dari Zaid atas keagungan pribadi Imam Al-Hâdî as. dan kelaziman untuk menaatinya.

Penghormatan dan pengagungan terhadap Imam Ali Al-Hâdî ini tidak hanya terbatas dilakukan oleh kaum Bani Ali as. Tindakan ini telah mendominasi seluruh lapisan masyarakat.

Muhammad bin Hasan Al-Asytar pernah meriwayatkan seraya berkata: "Aku pernah menemani ayahku di depan pintu istana Mutawakkil. Masyarakat yang berasal dari berbagai marga seperti Thâlibî, Abbâssî, dan Ja'farî juga ikut hadir berkumpul di situ. Ketika kami sedang berdiri, tiba-tiba Abul Hasan (Al-Hâdî) as. datang. Seluruh masyarakat yang hadir langsung turun dari tunggangan mereka demi mengagungkan dan menghormatinya hingga ia masuk ke dalam istana. Sebagian orang yang merasa iri hati terhadap Imam Al-Hâdî as. mengingkari keutamaannya ini seraya berseloroh dengan penuh kedengkian, 'Mengapa kita harus turun dari tunggangan kita untuk anak kecil ini? Dia bukanlah orang termulia di antara kita dan juga bukan orang yang lebih tua dari kita. Demi Allah, jika ia keluar, kami tidak akan turun ....'

Seorang mukmin yang bernama Abu Hâsyim Al-Ja'farî menjawab kekurangajarannya itu seraya berkata, 'Demi Allah, engkau pasti akan turun dari tunggangan kalian demi dia dengan perasaan hina dina.'

Imam Ali Al-Hâdî as. keluar dari dalam istana. Suara masyarakat bergemuruh dengan lantunan takbir dan tahlil, dan mereka berdiri demi mengagungkan dan menghormatinya. Abu Hâsyim menoleh kepada kelompok tersebut seraya bertanya, 'Bukankah kalian semua telah berjanji untuk tidak turun dari tunggangan kalian demi menghormatinya?'

Mereka tidak dapat menahan rasa takjub seraya menjawab, 'Demi Allah, kami telah kehilangan kontrol diri sehingga kami harus turun dari tunggangan kami demi menghormatinya.'"

Begitulah pribadi Imam Ali Al-Hâdî as. telah memenuhi seluruh hati masyarakat dengan pengagungan dan penghormatan (suci) sehingga seluruh jiwa membungkuk di hadapannya dengan penuh kekhusyukan. Karismanya ini tidak berasal dari kerajaan maupun kekuasaan. Hal ini hanya bersumber dari ketaatannya kepada Allah dan kezuhudannya terhadap dunia. Di antara salah satu karismanya yang agung ini adalah ketika ia masuk ke dalam istana Mutawakkil sang lalim, tak seorang pun yang berada di dalam istana itu kecuali berdiri di hadapannya demi mengagungkan dan menghormatinya. Mereka berlomba-lomba untuk menyingkap tirai-tirai istana dan membukakan pintu baginya, serta mereka tidak merasa terpaksa untuk itu semua.


Kedermawanan

Di antara karakter-karakter yang dimiliki oleh Imam Ali Al-Hâdî as. adalah, bahwa ia merupakan figur yang paling dermawan dan paling peduli untuk berbuat kebaikan kepada orang lain. Berikut ini adalah beberapa contoh dari manifestasi kedermawanan imam yang satu ini:

a. Ishâq Al-Jallâb meriwayatkan seraya bercerita: "Aku pernah membeli kambing dalam jumlah sangat banyak untuk Abul Hasan Al-Hâdî as. pada hari Tarwiyah. Lalu, ia membagi-bagikan seluruh kambing itu kepada kerabat-kerabatnya. Beberapa tokoh dan pemuka mazhab Syi'ah pernah berjumpa dengannya. Di antara mereka adalah Abu Umar, 'Utsmân bin Sa'îd, Ahmad bin Ishâq Al-Asy'arî, dan Ali bin Ja'far Al-Hamdânî. Ahmad bin Ishâq mengadukan utangnya yang melilit. Imam Al-Hâdî as. menoleh ke arah wakilnya, 'Amr, seraya berkata kepadanya, 'Berikanlah tiga puluh ribu dinar kepadanya dan kepada Ali bin Ja'far juga tiga puluh ribu dinar.' Di samping itu, ia juga memberikan kadar uang yang sama kepada wakilnya itu."

Ibn Syahr ?syûb memberikan catatan atas kedermawanan ini sembari berkomentar: "Kedermawanan adalah sebuah mukjizat yang tidak dapat dilakukan kecuali oleh para raja, dan kami tidak pernah mendengar pemberian sebesar itu (selama ini)."

Dengan pemberian yang melimpah ini, Imam Ali Al-Hâdî as. telah mengucurkan kenikmatan dan kehidupan yang lapang kepada para tokoh tersebut. Dan satu hal yang sangat natural sekali bahwa sebaik-baik pemberian adalah pemberian yang dapat mengabadikan sebuah kenikmatan.

b. Abu Hâsyim pernah mengadukan kesempitan rezeki yang sedang dialaminya kepada Imam Ali Al-Hâdî as. Imam Al-Hâdî memahami kemiskinan yang sedang melilitnya itu. Dengan demikian, ia ingin meringankan kesulitan-kesulitan yang sedang menimpanya seraya berkata kepadanya: "Hai Abu Hâsyim, nikmat Allah 'Azza Wajalla manakah yang ingin kau syukuri? Semoga Allah menganugerahkan keimanan kepadamu sehingga Dia mengharamkan tubuhmu atas api neraka, semoga Dia menganugerahkan kesehatan kepadamu sehingga kesehatan ini dapat membantumu menjalankan ketaatan, dan semoga Dia memberikan sikap menerima kepadamu sehingga karakter ini dapat menjagamu dari sikap menghambur-hamburkan harta."

Setelah berkata demikian, Imam Ali Al-Hâdî as. memberikan seratus dinar kepadanya.

Sesungguhnya kenikmatan-kenikmatan yang telah diberikan oleh Imam Ali Al-Hâdî as. adalah termasuk kenikmatan-kenikmatan agung yang dianugerahkan oleh Allah swt. kepada para hamba-Nya.


Bekerja di Kebun

Imam Ali Al-Hâdî as. sering bekerja di kebun untuk menghidupi keluarganya. Ali bin Hamzah meriwayatkan: "Aku pernah melihat Abul Hasan Ketiga sedang bekerja di tanah miliknya, sedangkan kedua telapak kakinya basah oleh keringat yang bercucuran. Aku bertanya kepadanya, 'Manakah orang-orang Anda?'

Imam Ali Al-Hâdî as. menjawab kesombongan dan kritikanku seraya berkata, 'Hai Ali, orang yang lebih baik dariku dan dari ayahku telah bekerja di kebun miliknya dengan menggunakan cangkul.'

Ali bin Hamzah bertanya, 'Siapakah gerangan dia itu?'

Imam Al-Hâdî as. menjawab, 'Rasulullah saw., Amirul Mukminin, dan seluruh nenek moyangku bekerja dengan tangan mereka sendiri. Bekerja adalah aktifitas para nabi, rasul, washî, dan orang-orang yang saleh.'"

Kami telah menyebutkan realita ini dalam buku kami yang berjudul Al-'Amal wa Huqûq Al-'Amal fî Al-Islam, sebagaimana juga telah kami paparkan contoh-contoh lain yang membuktikan urgensi bekerja dan bahwa bekerja adalah sirah para nabi dan rasul as.


Kezuhudan

Imam Ali Al-Hâdî as. zuhud terhadap seluruh kegemerlapan duniawi dan tidak pernah memberikan perhatian sedikit pun terhadap masalah ini kecuali dunia yang memiliki hubungan erat dengan kebenaran dan hak. Ia selalu lebih mementingkan ketaatan kepada Allah swt. atas segala sesuatu.

Para perawi hadis meriwayatkan bahwa rumah Imam Al-Hâdî as. yang terdapat di Madinah dan Samirra' kosong dari setiap perabot rumah tangga. Tentara kerajaan Mutawakkil pernah mengadakan penggeledahan terhadap rumahnya di Samirra' dan memeriksanya dengan sangat jeli dan teliti. Mereka tidak menemukan sedikit pun kegemerlapan dunia di rumah itu. Mereka hanya menemukan Imam Al-Hâdî as. berada di sebuah kamar yang tertutup dengan mengenakan jubah yang terbuat dari bulu. Ia sedang duduk di atas pasir dan kerikil, sedangkan tidak ada secarik karpet pun yang melindunginya dari tanah.

Sibth bin Al-Jawzî berkata: "Ali Al-Hâdî tidak memiliki kecenderungan sedikit pun terhadap harta dunia. Ia selalu berada di dalam masjid. Ketika mereka menggeledah rumahnya, mereka tidak menemukan apapun di dalamnya kecuali mushaf-mushaf, kitab-kitab doa, dan buku-buku ilmu pengetahuan."

Imam Ali Al-Hâdî as. hidup seperti kakeknya, Amirul Mukminin as., hidup. Amirul Mukminin as. adalah figur yang paling zuhud terhadap dunia dan telah menceraikannya sebanyak tiga kali sehingga tidak ada istilah rujuk setelah itu. Pada masa menjadi khalifah, ia tidak pernah mengambil bagian sedikit pun dari harta-harta kekhalifahan itu. Ia malah menempelkan batu-batu di atas perutnya untuk menahan rasa lapar. Sandalnya terbuat dari serabut yang ia jahit dengan tangannya sendiri. Begitu juga halnya berkenaan dengan sabuk pinggangnya. Sabuk pinggang ini juga terbuat dari serabut.

Di atas garis inilah, Imam Ali Al-Hâdî dan para imam maksum as. yang lain menjalani kehidupan. Mereka berlaku tenggang rasa terhadap kaum fakir miskin dalam kesengsaraan hidup dan kekasaran pakaian mereka.


Ilmu Pengetahuan

Imam Ali Al-Hâdî as. adalah satu-satunya ulama dunia yang memiliki kemampuan ilmiah terhebat dan terdahsyat. Kemampuan ilmiahnya ini meliputi seluruh bidang ilmu pengetahuan. Rahasia-rahasia hakikat dan problema-problema ilmiah yang terjelimet terbuka gamblang di hadapannya. Para ulama dan fuqaha selalu sepakat untuk merujuk kepada pendapatnya dalam memecahkan masalah-masalah hukum syariat yang ruwet dan membingungkan. Mutawakkil, salah seorang musuh Imam Al-Hâdî dan nenek moyangnya yang paling getol senantiasa merujuk kepadanya ketika menghadapi perbedaan pendapat para fuqaha dalam menyelesaikan berbagai macam masalah, dan selalu mengunggulkan pendapatnya. Di antara masalah dan problematika yang dipecahkan oleh Imam Al-Hâdî as. ketika Mutawakkil merujuk kepadanya adalah sebagai berikut:

a. Mutawakkil memiliki seorang sekretaris yang beragama Kristen. Sekretaris ini sangat agung dan mulia dalam pandangannya. Ia sangat tulus mencintainya. Oleh karena itu, ia tidak pernah menyebut namanya. Ia selalu memanggil nama julukannya, Abu Nuh. Melihat itu, sebagian fuqaha memprotes seraya berkata: "Seorang muslim tidak boleh memanggil nama julukan seorang kafir." Sementara itu, sebagian fuqaha yang lain membolehkan hal itu. Mutwakil menulis surat kepada Imam Ali Al-Hâdî as. untuk menanyakan fatwa tentang masalah ini. Dalam jawabannya, setelah menulis basmalah, Imam Al-Hâdî as. menyebutkan ayat yang berbunyi: "Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya ia akan binasa." Dengan menyebutkan ayat tersebut, Imam Al-Hâdî menjadikannya sebagai bukti atas kebolehan memanggil nama julukan seorang kafir. Mutawakkil pun menerima fatwanya ini.

b. Mutawakkil pernah menderita sebuah penyakit. Ia bernazar jika Allah menyembuhkan penyakitnya, ia akan menyedekahkan dinar yang sangat banyak sekali. Setelah sembuh dari penyakitnya itu, ia mengumpulkan para fuqaha untuk menanyakan kadar yang harus ia sedekahkan. Mereka berbeda pendapat dalam menentukan hal itu. Akhirnya, ia meminta fatwa kepada Imam Ali Al-Hâdî as. tentang masalah ini. Imam Al-Hâdî as. menjawab supaya ia bersedekah sebanyak delapan puluh tiga dinar. Mereka terheran-terheran dengan fatwa ini. Demi kejelasan masalah, mereka memohon supaya Mutawakkil menanyakan dalil fatwa tersebut kepada Imam Al-Hâdî. Imam Al-Hâdî as. menjawab: "Sesungguhnya Allah swt. berfirman, 'Sesungguhnya Allah telah menolong kamu [hai para mukminin] di medan peperangan yang banyak.' (QS. At-Tawbah [9]:25) Keluarga kami telah meriwayatkan bahwa medan peperangan dalam missi Sariyah hanya berjumlah delapan puluh tiga."

Di akhir jawabannya, Imam Al-Hâdî as. menambahkan: "Ketika Amirul Mukminin berbuat kebajikan lebih banyak lagi, maka hal itu akan lebih bermanfaat baginya di dunia dan akhirat."

c. Seorang pengikut agama Kristen pernah memperkosa seorang wanita muslimah, dan ia dihadapkan kepada Mutawakkil. Mutwakil ingin menjalankan had atas orang Kristen tersebut. Yahyâ bin Aktsam berfatwa: "Keimanannya telah memusnahkan kesyirikan dan tindakannya itu." Sementara itu, sebagian fuqaha berpendapat bahwa ia harus didera sebanyak tiga had, dan fuqaha yang lain memiliki pendapat yang bertentangan dengan pendapat tersebut. Mutawakkil memerintahkan supaya masalah ini diadukan dan diajukan kepada Imam Ali Al-Hâdî as. Imam Al-Hâdî as. menjawab supaya orang Kristen tersebut didera hingga mati.

Yahyâ dan para fuqaha yang lain menentang keputusan itu sembari berkata: "Ketentuan ini tidak pernah ada di dalam Al-Qur'an dan tidak juga di dalam sunah (Nabi)."

Mutawakkil terpaksa menulis surat kepada Imam Al-Hâdî as. yang berbunyi: "Sesungguhnya fuqaha muslimin menentang keputusan tersebut dan menegaskan bahwa hal itu tidak terdapat di dalam sunah (Nabi) dan tidak juga di dalam Al-Qur'an. Oleh karena itu, jelaskanlah kepada kami mengapa Anda berfatwa supaya orang Kristen itu didera hingga mati."

Setelah basmalah, Imam Ali Al-Hâdî as. menjawab surat tersebut dengan menyebutkan ayat yang berbunyi: "Maka tatkala mereka melihat azab Kami, mereka berkata, 'Kami beriman hanya kepada Allah saja dan kami kafir kepada sesembahan-sesembahan yang telah kami persekutukan kepada Allah.' Maka iman mereka tiada berguna bagi mereka tatkala mereka telah melihat siksa Kami." (QS. Al-Mukmin [40]:84-85)

Mutwakil pun menerima fatwa dan keputusan Imam Al-Hâdî as. tersebut.

Mutiara Hikmah Berharga

Imam Abul Hasan Ali Al-Hâdî as. telah meninggalkan banyak pesan emas yang dapat dijadikan sebagai kekayaan pemikiran Islam yang paling menawan. Dengan pesan-pesan tersebut, ia telah mengobati banyak problematika pendidikan dan spiritual masyarakat. Di antara pesan-pesan tersebut adalah berikut ini:

a. Ia berkata: "Yang lebih baik dari kebaikan adalah orang yang melakukannya, yang lebih indah dari sesuatu yang indah adalah orang yang mengucapkannya, dan yang paling berharga dari ilmu pengetahuan adalah orang yang mengamalkannya ...."

Dengan ucapan ini, Imam Al-Hâdî as. ingin memuji orang-orang yang memiliki karakter-karakter tersebut, yaitu:

o Pelaku kebaikan; dilihat dari sisi nilai-nilai etika, ia adalah adalah lebih baik dari kebaikan itu sendiri.

o Pengucap keindahan; sesuai dengan tolok ukur-tolok ukur kejiwaannya, ia adalah lebih indah dari sebuah keindahan. Hal itu lantaran kebaikan yang dikucurkannya kepada masyarakat.

o Pengamal ilmu; ia adalah lebih berharga dari sekedar ilmu pengetahuan. Hal itu lantaran ilmu pengetahuan mencari sebuah sarana untuk diamalkan dan disucikan. Jika penyandang ilmu telah mengamalkannya, maka ia telah merealisasikan missinya, menjaga ilmu, dan meninggikan kedudukannya. Dengan ini semua, ia adalah lebih baik dari ilmu itu sendiri.

b. Ia berkata: "Kemaslahatan orang yang tidak mengetahui kemuliaan adalah kehinaannya."

Alangkah indahnya ucapan ini! Orang yang tidak mengenal kemuliaan dan nilai-nilai insani, maka ia layak dihina, diremehkan, dan ditinggalkan.

c. Ia berkata: "Musibah yang paling buruk adalah akhlak yang jelek."

Salah satu musibah dan petaka yang paling besar adalah akhlak yang jelek, karena hal ini akan menjerumuskan seseorang ke dalam jurang keburukan yang dalam dan menciptakan banyak kesusahan dan problem baginya.

d. Ia berkata: "Kebodohan dan kekikiran adalah akhlak yang paling tercela ...."

Tidak diragukan lagi bahwa kebodohan dan kekikiran adalah termasuk akhlak dan perangai yang jelek. Kedua karakter ini dapat menjauhkan seseorang dari Tuhannya dan membuat kehidupannya seperti kehidupan binatang liar.

e. Ia berkata: "Mengkufuri nikmat adalah tanda kesombongan dan faktor perubahan (nikmat) ...."

Tidak diragukan lagi bahwa orang yang mengkufuri nikmat dan enggan menyukurinya adalah orang yang sombong dan keluar dari ruang lingkup ketaatan kepada Pemberi nikmat, sebagaimana juga kesombongan adalah salah satu faktor perubahan nikmat dan kesirnaannya.

f. Ia berkata: "Perdebatan dapat merusak persahabatan yang sudah lama terjalin dan menguraikan tali-temali yang sudah erat tertambat. Kadar minimal perdebatan tersebut adalah rasa ingin menang, dan rasa ingin menang adalah pondasi seluruh faktor keterputusan dan perpecahan ...."

Dalam bahasa Arab, perdebatan disebut mirâ'. Perdebatan ini dapat menyebabkan tali-temali persahabatan terurai, kecintaan sirna, dan kebencian tersebar luas.


Mutawakkil Menyuruh Ibn Sikkît untuk Menguji Imam Al-Hâdî

Mutawakkil meminta kepada seorang 'alim kenamaan dan tersohor, Ya'qûb bin Ishâq yang lebih dikenal dengan nama Ibn Sikkît untuk menanyakan suatu masalah yang sangat sulit kepada Imam Al-Hâdî as. dengan harapan ia tidak dapat menyelesaikannya. Dengan ini, Mutawakkil dapat menjadikan ketidakbisaannya ini sebagai bahan untuk mengolok-oloknya di depan khalayak ramai.

Ibn Sikkît mulai mencari sebuah masalah yang sangat pelik untuk dipersiapkan mengujinya. Setelah beberapa waktu berlalu, ia berhasil menemukan masalah tersebut. Mutawakkil pun mengumumkan sebuah seminar ilmiah (resmi) di istananya. Ibn Sikkît maju ke depan. Setelah berdiri di hadapan Imam Ali Al-Hâdî as., ia mengajukan pertanyaanya seraya berkata: "Mengapa Allah mengutus Mûsâ dengan mukjizat tongkat dan telapak tangan yang putih bersinar, mengutus Isa dengan mukjizat penyembuhan orang yang berpenyakit lepra dan menghidupkan orang yang sudah meninggal dunia, dan mengutus Muhammad dengan membawa mukjizat Al-Qur'an dan pedang?"

Imam Al-Hâdî as. menjawab: "Allah mengutus Mûsâ dengan membawa mukjizat tongkat dan tangan putih bersinar pada suatu masa yang didominasi oleh ilmu sihir. Lalu, ia membawa mukjizat dari ilmu sihir itu yang dapat mengalahkan ilmu sihir mereka dan menetapkan hujah atas mereka. Dia mengutus Isa dengan membawa mukjizat penyembuhan orang yang berpenyakit lepra dan menghidupkan kembali orang yang sudah meninggal dunia pada suatu masa yang didominasi oleh ilmu kedokteran. Ia membawa mukjizat dari ilmu kedokteran tersebut yang dapat mengalahkan dan membungkam mulut mereka. Dan Dia mengutus Muhammad dengan membawa mukjizat Al-Qur'an dan pedang pada masa yang dikuasai oleh pedang dan syair. Ia membawa mukjizat dari Al-Qur'an dan pedang yang dapat mengalahkan syair dan pedang mereka, serta menetapkan hujah atas mereka ...."

Dengan jawab tersebut, Imam Al-Hâdî as. memaparkan hikmah di balik pengutusan para rasul-Nya yang agung dengan membawa seluruh mukjizat tersebut di mana seluruh mukjizat itu sesuai dengan kondisi dan situasi yang berlaku pada masa masing-masing.

Allah swt. telah menguatkan Mûsâ dengan mukjizat tongkat yang dapat berubah menjadi ular naga besar yang melahap seluruh tali-temali para penyihir yang disihir oleh mereka menjadi ular-ular itu. Dengan demikian, mereka merasa kalah dan menyerah di hadapan mukjizat tersebut dan mengumumkan keimanan mereka kepada kenabian Mûsâ as. Begitu juga, Allah swt. menguatkannya dengan tangan yang putih bersinar bak matahari bersinar, dan ini adalah sebuah mukjizat atas kebenarannya.

Allah swt. menguatkan Al-Masih Isa bin Maryam dengan mukjizat penyembuhan orang yang berpenyakit lepra dan menghidupkan orang yang sudah meninggal dunia pada masa di mana ilmu medis dan kedokteran telah mencapai puncak kegemilangannya. Di hadapan mukjizat itu, para ahli media menyerah kalah.

Dan Allah swt. juga menguatkan pamungkas para nabi saw. dengan Al-Qur'an, sebuah mukjizat abadi yang bukan hanya dalam segi balaghah dan kefasihannya saja. Tetapi, di dalam kitab ini juga terkandung undang-undang yang sangat maju dan dapat menjamin terwujudnya kemuliaan dan kehidupan umat manusia yang aman. Dengan itu semua, para sastrawan Arab tidak mampu menandingi dan mengungguli kitab ini. Begitu juga, Allah swt. menguatkannya dengan pedang yang senantiasa menang dan unggul. Yaitu, pedang Amirul Mukminin as. yang telah berhasil memanen kepala-kepala kaum musyrikin Arab yang membangkang. Para jawara Arab tidak memiliki nyali untuk menghadapi pedang ini. Mereka selalu bersemboyan: "Melarikan diri dari peperangan adalah sebuah cela kecuali dari pedang Ali." Pedangnya adalah bak halilintar yang dapat meluluh-lantakkan tokoh-tokoh musyrikin dan kaum kafir.

Ala kulli hal, untuk selanjutnya Ibn Sikkît menanyakan dalil yang digunakan oleh Imam Al-Hâdî as. untuk menjelaskan semua itu. Ia menjawab: "Akal. Dengan akal ini, pembohong atas Allah dapat dikenali. Dengan itu, ia layak dibohongkan."

Ibn Sikkît pun bungkam dan tidak mampu untuk menandingi Imam Al-Hâdî as. Yahyâ bin Aktsam menyebarkan kekalahannya kepada khalayak ramai. Ibn Sikkît menjawab: "Ibn Sikkît memang tidak layak untuk berdialog. Ia hanyalah seorang ahli dalam bidang ilmu Nahwu, syair, dan bahasa."

Imam Ali Al-Hâdî as. adalah orang yang paling 'alim pada masanya. Bukan hanya dalam bidang syariat Islam, tetapi dalam seluruh bidang ilmu pengetahuan. Kami telah memaparkan kemampuan ilmiah Imam Ali Al-Hâdî as. ini dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Ali Al-Hâdî as.


Ibadah

Satu hal yang menonjol dalam sirah dan sejarah hidup para imam maksum as. adalah hubungan mereka yang erat dengan Allah swt. Kecintaan kepada-Nya telah tertancap di dalam hati mereka dan mengalir ke seluruh wujud dan naluri mereka. Mereka selalu menjalani kahidupan sehari-hari dengan berpuasa dan melewati malam-malam mereka dengan mengerjakan salat, bermunajat kepada Allah, dan membaca kitab-Nya. Ketika membandingkan kehidupan para imam suci ini dengan kehidupan Bani Abbâsiyah, penyair handal, Abu Firâs Al-Hamdânî bersenandung:

Tilawah Al-Qur'an bersenandung dalam rumah-rumah mereka, sementara itu kidungan dan petikan kecapi bersenandung di rumah-rumahmu.

Umat manusia tidak pernah melihat seseorang yang seperti Imam Ali Al-Hâdî as. dalam ibadah, ketakwaan, dan kegetolannya dalam menjalankan agama. Para perawi hadis mengatakan bahwa ia tidak pernah meninggalkan satu salat sunah pun. Ketika mengerjakan salat sunah Maghrib, pada rakaat ketiga, ia membaca surah Al-Fâtihah dan surah Al-Hadîd hingga firman Allah yang berbunyi: "Wa huwa 'alîmun bi dzâtish shudûr." (QS. Al-Hadîd [57]:6) Dan pada rakaat keempat, ia membaca surah Al-Fâtihah dan ayat terakhir surah Al-Hujurât. Ia juga memiliki sebuah salat sunah khusus. Salat sunah ini berjumlah dua rakaat. Pada rakaat pertama, ia membaca surah Al-Fâtihah dan sura Yasin, serta pada rakaat kedua ia membaca surah Al-Fâtihah dan surah Ar-Rahmân. Kami telah memaparkan doa-doanya pada saat membaca qunut dan setelah mengerjakan salat Shubuh dan 'Ashar dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Ali Al-Hâdî as.


Bersama Mutawakkil

Mutawakkil Al-Abbâsî adalah orang yang paling memusuhi keluarga nabawi saw. Ia dikenal dengan kebencian dan permusuhannya terhadap mereka. Ia adalah orang yang telah menghancurkan makam suci Sayidus Syuhada' Imam Husain as. dan melarang masyarakat menziarahinya, serta menyiksa orang yang berziarah kepadanya. Ia-seperti diakui oleh para ahli sejarah-adalah lebih zalim terhadap Bani Ali as. daripada Bani Umayyah yang telah dikenal sebagai keluarga yang memiliki permusuhan besar terhadap Ahlul Bait as.

Faktor kebencian sang zalim ini adalah lantaran ia mendengar Imam Ali Al-Hâdî as. memiliki kedudukan yang tinggi di dalam hati masyarakat luas dan tempat yang kokoh di dalam lubuk hati mereka. Ia pun marah besar karena itu.

Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan kondisi kehidupan Imam Ali Al-Hâdî as. di bawah kekuasaan sang zalim ini secara ringkas.

a. Fitnah terhadap Imam Al-Imam Al-Hâdî

Salah seorang yang tidak memiliki rasa tanggung jawab terhadap agama dan tidak mengharapkan perlindungan Allah swt. memfitnah Imam Al-Hâdî as. Abdullah bin Muhammad, gubernur Mutawakkil untuk Madinah mengadukan Imam Al-Hâdî kepadanya. Pengaduannya ini berisi hal-hal yang sangat berbahaya. Di antaranya adalah berikut ini:

a. Banyak harta berdatangan dari berbagai penjuru negara Islam kepada Imam Al-Hâdî as. Dan tidak jauh kemungkinannya bahwa ia membeli senjata dengan harta tersebut untuk mengadakan perlawanan terhadap pemerintahan Abbâsiyah.

b. Imam Al-Hâdî as. memiliki kecintaan dan keagungan di seluruh penjuru dunia Islam.

c. Ada kemungkinan Imam Al-Hâdî as. akan mengadakan revolusi besar-besaran untuk menumbangkan kedaulatan dinasti Bani Abbâsiyah. Sang Gubernur memohon kepada Mutawakkil supaya ia ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara supaya garis perlawanannya tidak menguat.


b. Imam Al-Hâdî Menggagalkan Tindak Provokasi

Ketika mengetahui fitnah tersebut, Imam Ali Al-Hâdî as. khawatir Mutawakkil mengambil keputusan-keputusan keras yang merugikan dirinya. Ia bergegas mengambil sikap untuk menggagalkan tindak provokasi ini. Ia menulis surat kepada Mutawakkil yang berisi penjelasan tentang kedengkian yang dimiliki oleh sang Gubernur, kejahatan tindakannya, dan kebohongan fitnahnya. Ia juga menegaskan bahwa ia tidak ingin berbuat jahat terhadap Mutawakkil dan mengadakan perlawanan terhadap kekuasaannya. Ketika surat itu sampai di tangan Mutawakkil, ia yakin atas ketidakberdosaan Imam Al-Hâdî as. dan kebohongan tuduhan yang telah dinisbahkan kepadanya.


c. Surat Mutawakkil untuk Imam Al-Hâdî

Sebagai jawaban atas surat Imam Ali Al-Hâdî as. ini, Mutawakkil menulis sepucuk kepadanya. Di dalam surat ini, Mutawakkil menjelaskan bahwa ia telah mengetahui seluruh peristiwa yang sebenarnya dan ingin menurunkan Gubernur Madinah dari jabatannya. Begitu juga, ia mengundangnya untuk datang ke Samirra' dan berdomisili di situ. Berikut ini adalah teks surat Mutawakkil kepada Imam Al-Hâdî as:

Amma ba'du. Amirul Mukminin mengetahui kedudukan Anda, memperhatikan kekerabatan Anda, melaksanakan hak Anda, dan menentukan untuk Anda dan keluarga Anda apa yang Allah akan memperbaiki kondisi Anda dan kondisi mereka, mengokohkan kemuliaan Anda dan kemuliaan mereka, serta menjamin keamanan bagi Anda dan bagi mereka. Ia melakukan semua itu hanya untuk mengharap keridaan Tuhannya dan melaksanakan kewajiban yang telah diwajibkan atasnya terhadap Anda dan mereka.

Amirul Mukminin telah berniat untuk menurunkan Abdullah bin Muhammad dari jabatannya sebagai pemegang pucuk komando perang dan imam salat di Madinah Rasulullah saw. Hal itu apabila apa yang telah Anda paparkan dalam surat itu karena kebodohannya terhadap hak Anda, peremehannya terhadap kedudukan Anda, dan lantaran sekedar tuduhan yang telah ia lakukan atas Anda di mana Amirul Mukminin tahu bahwa Anda terbebaskan dari semua itu dan Anda memiliki niat yang tulus dalam setiap kebaikan dan ucapan Anda, serta Anda tidak mempersiapkan diri untuk mengadakan apa yang telah dituduhkan kepada Anda tersebut.

Sebagai gantinya, Amirul Mukminin telah menentukan Muhammad bin Fadhl dan memerintahkannya untuk menghormati dan mengagungkan Anda, menjadikan keputusan dan pendapat Anda sebagai keputusan terakhir dan penentu, serta mendekatkan diri kepada Allah dan Amirul Mukminin dengan semua itu.

Amirul Mukminin sangat rindu untuk memadu janji dan bersua dengan Anda. Jika Anda tidak berkeberatan, Anda dapat menziarahinya dan berdomisili di sisinya dengan membawa siapa pun di antara keluarga dan pembantu Anda yang Anda sukai, serta dengan penuh ketenangan dan kedamaian; Anda berangkat jika Anda kehendaki, Anda berhenti kapan pun Anda sukai, dan Anda berjalan kapan pun Anda kehendaki. Jika Anda menginginkan supaya Yahyâ bin Hurtsumah, budak Amirul Mukminin dan seluruh bala tentara yang berada di bawah komandonya mengawal Anda, hal itu semua terserah Anda. Dengan itu semua, kami hanya ingin melakukan ketaatan kepada Anda. Beristikharahlah kepada Allah sehingga Anda dapat berjumpa dengan Amirul Mukminin. Tak seorang pun dari keluarga dan orang-orang dekat Amirul Mukminin yang lebih memiliki kedudukan paling mulia, lebih memiliki kedekatan yang layak dipuji, yang lebih layak untuk dipandang, yang lebih dirindukan, yang lebih layak untuk dikucuri kebajikan, dan yang lebih menenangkan hatinya daripada Anda.

Wassalamu'alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.

Surat ini ditulis oleh Ibrahim bin Abbâs pada bulan Jumadits Tsaniyah 243 Hijriah.


d. Imam Ali Al-Hâdî Dihadirkan ke Samirra'

Mutawakkil memerintahkan Yahyâ bin Hurtsumah untuk pergi ke Madinah. Tujuan Mutawakkil adalah supaya menghadirkan Imam Ali Al-Hâdî as. ke Samirra' dan mengadakan sebuah penelitian yang jeli tentang tuduhan yang telah dituduhkan kepada Imam Al-Hâdî bahwa ia ingin menggulingkan kerajaan dan mengadakan perlawanan terhadap penguasa.

Yahyâ pergi ke Madinah dengan tidak memiliki niat apa-apa. Ketika sampai di Madinah, ia berjumpa dengan Imam Ali Al-Hâdî as. dan menyerahkan surat Mutawakkil kepadanya. Para penuduk Madinah merasa khawatir ketika mengetahui apa yang sedang terjadi, lantaran takut atas jiwa Imam Al-Hâdî di bawah pengawasan kezaliman sang lalim tersebut. Mereka sangat mencintai Imam Al-Hâdî lantaran ia senantiasa memberikan masukan kepada para ulama mereka, berbuat kebajikan kepada orang-orang miskin mereka, dan tidak memiliki sedikit pun kecenderungan terhadap harta dunia. Yahyâ menenangkan kekhawatiran mereka itu. Ia bersumpah kepada mereka bahwa ia tidak diperintah untuk menyakiti Imam Al-Hâdî as.

Imam Al-Hâdî as. meninggalkan Madinah bersama keluarganya. Yahyâ berkhidmat kepadanya. Ia merasa takjub terhadap ketakwaan, ibadah, dan kezuhudan Imam Al-Hâdî terhadap dunia. Rombongan itu pun berjalan menempuh padang sahara yang luas sehingga sampai di daerah Yâsiriyah. Rombongan ini disambut oleh Ishâq bin Ibrahim di situ. Ketika berita kedatangan Imam Al-Hâdî di Yâsiriyah tersebar, penduduk kota itu berbondong-bondong keluar untuk menyambutnya. Pihak-pihak yang tidak menginginkan sesuatu terjadi merasa khawatir dengan seluruh penyambutan itu. Akhirnya, ia dimasukkan ke Baghdad pada malam hari supaya ia tidak disambut oleh para pengikut Syi'ah yang selalu haus ingin berjumpa dengannya dengan penyambutan yang semarak.

Yahyâ pergi untuk menjumpai Ishâq bin Ibrahim Azh-Zhâhirî, penguasa Baghdad. Yahyâ menceritakan kedudukan Imam Al-Hâdî as. dan seluruh kezuhudan, ibadah, dan ketakwaannya yang telah ia saksikan sendiri. Ishâq berpesan kepadanya: "Sesungguhnya orang ini-yaitu, Imam Al-Hâdî as-telah dilahirkan oleh Rasulullah saw., dan engkau telah mengetahui kesesatan dan penyelewengan Mutawakkil. Jika Mutawakkil mendengar sebuah kalimat yang mengandung penghinaan terhadapnya, niscaya Mutawakkil akan membunuhnya, dan Nabi saw. akan menjadi musuhmu pada hari kiamat ...."

Ishâq telah memberikan peringatan kepada Yahyâ supaya tidak menukil satu ucapan jelek pun bekenaan dengan hak Imam Al-Hâdî kepada Mutawakkil yang telah dikenal sebagai orang yang memusuhi dan membenci Ahlul Bait as. Yahyâ bergegas menjawab: "Demi Allah, aku tidak mengetahui sesuatu darinya yang dapat kuingkari dan juga tidak menemukan sesuatu darinya kecuali sesuatu yang indah."

Setelah itu, rombongan Imam Ali Al-Hâdî as. meninggalkan Baghdad untuk menuju ke Samirra'. Ketika tiba di Samirra', Yahyâ bergegas menjumpai Washîf At-Turki, salah seorang yang memiliki kedudukan penting di jajaran kerajaan. Yahyâ memberitahukan kedatangan Imam Al-Hâdî as. di Samirra' kepadanya. Washîf pun segera memberikan peringatan kepada Yahyâ untuk tidak menukil sebuah kalimat pun yang dapat merusak nama baik Imam Al-Hâdî as. kepada Mutawakkil seraya berkata: "Hai Yahyâ, demi Allah, jika sehelai rambutnya jatuh, hanya engkau yang akan dimintai pertanggungjawaban."

Yahyâ pun merasa takjub dan terheran-heran dengan kesatuan wasiat Washîf At-Turki dan Ishâq, penguasa Baghdad tentang Imam Al-Hâdî as. dan kelaziman untuk memeliharanya.


e. Di Gubuk Sha'âlîk

Mutawakkil memerintahkan supaya Imam Al-Hâdî as. ditempatkan di gubuk Sha'âlik dengan tujuan untuk menjatuhkan dan meremehkan harga dirinya di mata khalayak ramai. Shâlih bin Sa'îd pernah menemuinya dan merasa sakit hati dengan apa yang dilihatnya seraya berkata: "Semoga aku menjadi tebusan Anda! Dalam setiap hal, mereka ingin memadamkan cahaya Anda dan meremehkan nilai Anda sehingga mereka menempatkan Anda di dalam gubuk yang menjijikkan ini, gubuk Sha'âlik."

Imam Ali Al-Hâdî as. berterima kasih atas kecintaan dan ketulusan hatinya itu. Imam Al-Hâdî meringankan rasa sakit hati yang hinggap di kalbunya. Ia menampakkan mukjizat yang telah digunakan oleh Allah untuk menolong para wali dan nabi-Nya. Ia menenangkan kekhawatiran yang ada dalam hati Shâlih sehingga kesedihan hatinya pun sirna.


f. Imam Al-Hâdî Hidup Bersama Mutawakkil

Yahyâ bergegas menjumpai Mutawakkil dan memberitahukan kebersihan sirah dan kezuhudan Imam Ali Al-Hâdî as. kepadanya. Tak lupa ia juga menyampaikan bahwa ia telah menggeledah rumah Imam Al-Hâdî dan tidak menemukan apa pun di dalamnya kecuali mushaf-mushaf dan kitab-kitab doa. Di samping itu, ia juga memberitahukan bahwa Imam Al-Hâdî terbebaskan dari segala tuduhan ingin menggulingkan kerajaan yang dituduhkan kepadanya itu. Dengan penjelasan ini, amarah sang lalim itu reda. Ia memerintahkan supaya Imam Al-Hâdî as. dihadirkan ke hadapannya. Ketika Imam Al-Hâdî telah hadir di hadapannya, Mutawakkil menyambutnya dengan segala pengagungan dan pemuliaan, serta mempererat hubungan dengannya. Hanya saja, ia memaksanya untuk berdomisili di Samirra' supaya segala gerak-geriknya berada di bawah pengawasan dan pantauannya.


g. Mutawakkil Menanyakan Siapakah Penyair Termahir?

Mutawakkil pernah bertanya kepada Ali bin Jahm tentang penyair termahir. Ali bin Jahm menyebutkan beberapa nama penyair yang pernah hidup pada masa jahiliah. Akan tetapi, Mutawakkil tidak tertarik dengan semua nama itu. Akhirnya, ia menoleh ke arah Imam Ali Al-Hâdî as. dan menanyakan pertanyaan yang sama kepadanya. Imam Al-Hâdî as. menjawab: "Al-Humânî. Dalam sebuah syairnya ia pernah berkata,

Sekelompok kaum Quraisy berbangga-bangga atas kami dengan jidad yang lebar dan jari-jemari yang terbentang.

Jika kami mengadu perang mulut dengan mereka, ia menangkan kami atas mereka dengan seruan syahadatain.

Engkau lihat kami terdiam sedangkan saksi keutamaan kami atas mereka selalu mendengung di setiap perkumpulan.

Sungguh Rasulullah Ahmad adalah kakek kami dan kami anak cucunya bak bintang gumintang yang cerlang."

Mutawakkil menoleh ke arah Imam Al-Hâdî as. seraya bertanya: "Hai Abul Hasan, apa yang dimaksud dengan nidâ' ash-shawâmi' ?"

Imam Al-Hâdî as. menjawab: "Asyhadu an(l) lâ ilâha illallâh wa asyhadu anna Muhammad(an) Rasulullah. Apakah Muhammad itu adalah kakekku atau kakekmu?"

Sang lalim tersulut api amarah dan menjawab pertanyaannya ini dengan suara gemetar sembari berkata: "Ia adalah kakekmu, dan kami tidak mengingkari hal ini."

Sang lalim mengingkari seluruh keutamaan Imam Ali Al-Hâdî as. dan jiwanya terpenuhi oleh kebencian dan permusuhan atasnya. Oleh karena itu, ia melakukan beberapa tindakan berikut ini:


1. Menggeledah Rumah Imam Al-Hâdî as.

Mutawakkil memerintahkan kekuatan militernya untuk menyerang rumah Imam Ali Al-Hâdî as. pada malam hari dan menahannya. Mereka menyerang rumahnya di pertengahan malam dan menemukannya sedang berada di dalam sebuah kamar yang tertutup. Pada saat itu, ia mengenakan jubah yang terbuat dari bulu dan duduk di atas pasir dan kerikil yang terhampar di atas lantai kamar itu dengan menghadap ke arah Kiblat sembari membaca firman Allah swt.: "Apakah orang-orang yang berbuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerajakan amal yang saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu." (QS. Al-Jâtsiyah [45]:21)

Mereka membawa Imam Al-Hâdî as. ke hadapan Mutawakkil, sedangkan ia masih tetap dalam kondisi semula yang menggambarkan nilai spiritualitas para nabi as. itu dan Mutawakkil sedang duduk di depan hidangan khamar dalam kondisi mabuk sempoyongan. Ketika melihat Imam Al-Hâdî as., ia menawarkan segelas khamar kepadanya. Imam Al-Hâdî as. menghardiknya seraya berkata: "Demi Allah, daging dan darahku tidak pernah dikotori oleh khamar untuk selamanya."

Mutawakkil menoleh ke arah Imam Al-Hâdî as. seraya berkata: "Senandungkanlah syair untukku."

Imam Al-Hâdî as. menjawab: "Aku tidak banyak meriwayatkan syair."

Sang lalim itu memaksa sembari berkata: "Engkau harus menyenandungkan syair untukku."

Imam Al-Hâdî as. tidak memiliki pilihan lain kecuali harus mengabulkan permintaannya itu. Lalu, ia membacakan bait-bait syair menyedihkan berikut ini yang dapat merubah sang lalim yang sedang mabuk sempoyongan itu menjadi sedih dan menangis:

Mereka hidup di atas puncak kekuasaan dengan dikawal oleh pengawal-pengawal kuat, tapi puncak kekuasaan tak bermanfaat bagi mereka.

Mereka diturunkan dari kedudukannya setelah beberapa saat merasa mulia, dan diletakkan di liang kuburan. Oh, alangkah jeleknya liang mereka.

Sebuah suara menyeru mereka setelah mereka dikuburkan: "Manakah takhta, manakah pernik perhiasan, dan manakah gemerlap mahkota?

Manakah wajah-wajah yang sebelumnya bergelimangan nikmat, yang seluruh kelambu dan tirai dibentangkan di hadapannya?"

Liang kubur pun berbicara ketika ia mempertanyakan mereka: "Itulah wajah-wajah itu tengah digerayangi ulat-ulat berpesta-pora.

Mereka telah banyak makan dan minum setelah beberapa masa, dan setelah berselang masa yang lama itu, mereka telah jadi mangsa."

Mutawakkil tersentak dan rasa mabuk pun sirna dari kepalanya. Ia kehilangan kontrol dan menangis sesenggukan. Ia memerintahkan supaya gelas-gelas khamar itu disingkirkan dari hadapannya seraya menoleh ke arah Imam Al-Hâdî as. sembari bertanya: "Hai Abul Hasan, apakah engkau memiliki utang?"

Imam Al-Hâdî menjawab: "Ya. Empat puluh ribu dinar."

Mutawakkil memerintahkan supaya uang itu diberikan kepadanya, dan ia dikembalikan ke rumahnya.

Peristiwa ini mengindikasikan jihad dan sikap Imam Ali Al-Hâdî as. yang agung dalam menghadapi sang lalim yang melakukan setiap dosa yang telah dilarang Allah swt. Ia tidak gentar dengan kerajaan dan kekuasaan yang dimilikinya. Ia menasihati dan memperingatkannya atas siksa Allah yang sedang menanti. Ia juga memberitahukan masa depannya setelah ia meninggalkan dunia ini, dan bahwa bala tentara, kerajaan, dan seluruh kekuatan besar yang dimilikinya itu tidak dapat menolak kematian pasti yang telah dijanjikan. Lebih dari itu, ia memberitahukan nasib tubuhnya yang lemah itu setelah meninggal dunia, yaitu tubuh itu akan menjadi santapan ulat-ulat dengan berpesta-pora.

Bisa dipastikan bahwa nasihat semacam ini belum pernah hinggap di telinga Mutawakkil. Karena, telinganya senantiasa dihirukkan oleh suara-suara merdu para penyanyi, dan ia dijemput maut sedangkan ia tersanjung di tengah-tengah para penari gemulai. Ia tidak pernah ingat kepada Allah swt. selama masa ia hidup.

2. Embargo Ekonomi Terhadap Imam Al-Hâdî

Mutawakkil pernah memberlakukan embargo ekonomi yang sangat ketat terhadap Imam Al-Hâdî as. dan menentukan siksaan yang paling keras bagi para pengikutnya yang mengantarkan harta-harta khumus dan zakat kepadanya atau melakukan jenis hubungan apapun dengannya. Dengan demikian, pada masa kekuasaan Mutawakkil ini, ia dan seluruh keturunan Bani Ali as. hidup dalam krisis ekonomi yang sangat parah. Muslimin enggan untuk menunaikan hak-hak mereka karena takut kepada penguasa. Mukminin mengirimkan hak-hak mereka dengan menimbunnya di dalam kaleng minyak goreng dan menjual minyak goreng itu kepada mereka. Pihak penguasa tidak mengetahui strategi ini. Oleh karena itu, sebagian sahabat Imam Al-Hâdî as. dikenal sebagai penjual minyak goreng.

3. Penangkapan dan Penahanan Imam Al-Hâdî

Sang lalim Mutawakkil memerintahkan supaya Imam Al-Hâdî as. ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Ia mendekam di dalam rumah tahanan selama beberapa waktu. Pada suatu hari, Shaqr bin Abi Dilf menjenguknya di dalam penjara. Penjaga penjara menyambutnya dengan sangat hangat, dan ia tahu bahwa Shaqr adalah seorang pengikut Syi'ah. Penjaga penjara bertanya kepadanya: "Untuk keperluan apa kamu datang kemari?"

Shaqr menjawab: "Untuk sebuah kebaikan."

Ia bertanya lagi: "Mungkin kamu datang untuk menanyakan kondisi tuanmu?"

Shaqr menjawab: "Tuanku adalah Amirul Mukminin." Yang ia maksudkan adalah Mutawakkil.

Penjaga penjara itu tersenyum seraya berkata: "Diam kamu. Tuanmu adalah kebenaran-yaitu, Imam Al-Hâdî as-dan janganlah kamu takut kepadaku, karena aku juga mengikuti mazhabmu."

Shaqr berujar lega: "Alhamdulillâh."

Ia bertanya lagi: "Kamu ingin untuk menjumpainya?"

"Ya," jawab Shaqr pendek.

Ia menjawab: "Duduklah hingga tukang pos itu keluar."

Ketika tukang pos itu keluar, penjaga penjara berkata kepada bawahannya: "Antarlah Shaqr ini dan masukkanlah ke dalam bilik yang dihuni oleh 'Alawi yang sedang ditahan itu, serta biarkanlah mereka berdua sendirian."

Bawahan itu mengantarkan Shaqr dan membawanya masuk ke dalam bilik Imam Al-Hâdî as. Ia duduk di atas sebuah pelepah kurma dan di hadapannya telah digali sebuah kuburan atas perintah Mutawakkil untuk menakut-nakutinya. Ia menoleh ke arah Shaqr seraya bertanya: "Hai Shaqr, apa yang menyebabkan kamu datang kemari?"

Shaqr menjawab: "Aku datang hanya untuk mengetahui kondisi Anda."

Shaqr pun menangis tersedu-sedu karena khawatir atas jiwa Imam Al-Hâdî as. Ia berkata kepadanya: "Hai Shaqr, janganlah kamu menangis. Mereka tidak akan dapat berbuat kejahatan terhadap kami ...."

Imam Al-Hâdî as. menenangkan rasa takutnya, dan ia bersyukur kepada Allah atas hal ini. Selanjutnya, ia bertanya tentang beberapa masalah agama, dan setelah Imam Al-Hâdî as. menjawabnya, ia pun mohon pamit.


h. Doa Imam Al-Hâdî Demi Kecelakaan Mutawakkil

Imam Al-Hâdî as. sudah merasa tidak tahan lagi menghadapi Mutawakkil. Mutawakkil selalu memperlakukannya dengan segala jenis kekerasan dan menyiksanya dengan siksa yang paling pedih. Imam Al-Hâdî as. mengadukan hal itu kepada Allah swt. dan berdoa untuk kecelakaannya dengan doa Ahlul Bait as. yang paling agung. Doa ini dikenal dengan nama "doa orang mazlum untuk kecelakaan orang zalim". Doa ini adalah salah satu doa simpanan yang sangat mulia. Kami telah menyebutkan doa ini di dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Ali Al-Hâdî as., dan tidak perlu lagi kami menyebutkannya lagi dalam biografi ringkas para imam maksum as. ini.


i. Imam Al-Hâdî Memberitahukan Kematian Mutawakkil

Mutawakkil menggunakan segala cara dan sarana untuk menurunkan derajat Imam Al-Hâdî as. dan mengurangi pamornya di hadapan khalayak ramai. Ia memerintahkan seluruh rakyat untuk berjalan di hadapannya. Mereka melaksanakan perintahnya, dan Imam Al-Hâdî as. berada di hadapan mereka sedang berkucuran keringat, karena pada waktu itu hawa memang sangat panas. Zurâqah, penjaga pintu istana Mutawakkil melihat Imam Al-Hâdî sedang berkucuran keringat. Zurâqah bergegas menuju ke arahnya dan mendudukkannya di dalam sebuah ruangan. Ia mengambil sebuah sapu tangan dan lantas menyapu keringat Imam Al-Hâdî yang sedang berkucuran. Ia berusaha meringankan kesedihan yang ada di dalam relung hatinya seraya berkata: "Anak pamanmu itu tidak memiliki tujuan apa-apa terhadapmu dengan tindakan ini ...."

Imam Al-Hâdî as. menjawab: "Diamlah kamu!" Setelah itu, ia membaca firman Allah swt. yang berbunyi: "Bersukarialah kamu sekalian di rumahmu selama tiga hari, itu adalah janji yang tidak dapat didustakan." (QS. Hûd [11]:65)

Zurâqah berkata: "Aku memiliki seorang sahabat yang bermazhab Syi'ah. Aku sering bergurau dengannya. Ketika pulang ke rumahku, aku memanggilnya untuk datang ke rumahku. Ketika ia telah datang, aku memberitahukan kepadanya apa yang telah kudengar dari Imam Al-Hâdî. Lantas, wajahnya berubah seraya berkata kepadaku, 'Berhati-hatilah dan kumpulkanlah seluruh harta yang kamu miliki, karena Mutawakkil akan mati atau dibunuh setelah tiga hari.'"

Ia menafsirkan hal itu dari kesaksian Imam Al-Hâdî as. dengan ayat tersebut. Ucapannya berpengaruh kuat pada diri Zurâqah. Ia melanjutkan ceritanya: "Tidak ada jeleknya jika aku mempersiapkan segala sesuatunya. Jika memang hal itu terjadi, aku telah bersiap-siap diri sebelumnya, dan seandainya tidak terjadi sesuatu, semua itu tidak akan membahayakan aku. Akhirnya, aku menunggangi kudaku menuju ke istana Mutawakkil dan kukeluarkan seluruh harta milikku, lalu kutitipkan kepada orang yang kukenal. Tiga hari belum berlalu, Mutawakkil pun mati."

Peristiwa ini menjadi faktor Zurâqah mendapatkan petunjuk dan meyakini mazhab imâmah.


j. Kematian Mutawakkil

Setelah Imam Al-Hâdî as. memberitahukan tentang kematiannya itu, Mutawakkil tidak hidup kecuali selama tiga hari. Anaknya yang bernama Muntashir mengatur rencana untuk membantainya. Beberapa orang berkebangsaan Turki menyerangnya pada malam Rabu yang bertepatan dengan tanggal 4 Syawal 247 Hijriah. Kelompok ini dipimpin oleh seorang berkebangsaan Turki yang bernama Bâghir. Mereka telah menghunus pedang-pedang mereka. Pada waktu itu, Mutawakkil sedang dalam keadaan mabuk sempoyongan. Fath bin Khâqân ketakutan seraya menjerit: "Celaka kamu sekalian. Ini adalah Amirul Mukminin!" Mereka tidak menggubrisnya. Fath melemparkan dirinya di atas tubuh Mutawakkil supaya menjadi kambing korban baginya. Akan tetapi, tindakan Fath itu tidak dapat membela Mutawakkil dan tidak juga dirinya. Pedang-pedang kelompok berkebangsaan Turki itu menyabet tubuh mereka berdua dan memotong-motongnya sehingga tidak dikenali manakah potongan daging tubuh Mutawakkil dan potongan daging tubuh Fath. Sepotong daging mereka jatuh ke dalam gelas-gelas khamar (yang telah dihidangkan). Akhirnya, Mutawakkil dan Fath dikuburkan bersama dalam satu kuburan. Dengan peristiwa mengerikan ini, masa kekuasaan Mutawakkil-sebagai sosok yang paling memusuhi Ahlul Bait as-berakhir.

Mengenang kematian Mutawakkil ini, seorang penyair yang bernama Ibrahim bin Ahmad Al-Asadî melantunkan bait-bait syair berikut ini:

Beginilah kematian orang-orang besar, di dalam pelukan seruling, kecapi, dan tetesan-tetesan khamar.

Di dalam gelimangan dua gelas yang selalu mengenyangkannya, gelas kelezatan dan gelas kematian.

Ia selalu terjaga dalam kebahagiaan hingga datang kematian yang telah ditentukan Allah ketika ia lelap tidur.

Kematian memiliki tingkat-tingkat yang berbeda-beda, dan di ujung pedanglah kematian orang-orang besar.

Ia sendiri tidak tahu malaikat pembawa maut mengirimkan berbagai macam penyakit dan mala petaka.

Ia merasa ketakutan dan di malam yang gelap gulita, pedang-pedang tajam mencabik-cabik tubuhnya.

Penyair itu menangisinya dengan bait-bait syair yang menggambarkan kegilaan dan kekotoran perangainya. Ia dijemput maut pada saat ia bersenda gurau dengan gelas-gelas khamar dan alat-alat musik, dan segala penyakit yang sedang dideritanya tidak mencegah ia melakukan itu semua. Pedang-pedang kelompok berkebangsaan Turki itu telah memanen tubuhnya dan ia tidak meneguk rasa sakit kecuali sedikit. Sebelum ini, para penyair telah mengenang kematian para raja lantaran mereka enggan memperbaiki kondisi kehidupan sosial masyarakat, enggan menebarkan keadilan, keamanan, dan ketentramanan di tengah-tengah mereka.

Ala kulli hal, mimpi buruk itu telah sirna dari tengah-tengah kehidupan Bani Ali dan para pengikut mereka. Sekarang, Muntashir-yang telah memimpin pemberontakan atas ayahnya sendiri-memegang tampuk kekhalifahan. Pemerintahannya ini diterima oleh masyarakat luas dengan kebahagiaan yang meluap. Setelah berhasil memegang tampuk kekuasaan itu, ia melakukan banyak kebaikan kepada Bani Ali. Di antaranya adalah berikut ini:

a. Membatalkan pelarangan berziarah kepada Imam Husain as., pelopor kemuliaan umat manusia itu, dan tindakannya ini mendapatkan pujian dan ucapan terima kasih yang tak terhingga. Ayahnya telah memberlakukan pelarangan untuk menziarahi cucu Rasulullah saw. ini dan menentukan hukuman-hukuman yang sangat berat bagi orang-orang yang berani menziarahinya.

b. Mengembalikan tanah Fadak kepada Bani Ali as.

c. Mengembalikan wakaf-wakaf Bani Ali as. yang telah disita oleh pemerintah kepada mereka.

d. Menurunkan gubernur Madinah, Shâlih bin Ali yang telah berbuat jahat terhadap Bani Ali as. dari kedudukannya. Sebagai gantinya, ia menunjuk Ali bin Hasan sebagai gubernur Madinah dan ia berwasiat kepadanya supaya bertindak baik terhadap Bani Ali as.

Para penyair berterima kasih kepada Muntashir atas segala karunia dan kebaikan yang telah ia lakukan terhadap Bani Ali as. tersebut. Yazid bin Muhammad Al-Mihlabî bersenandung:

Engkau telah berbuat baik kepada Bani Abu Thalib setelah mereka mendapat cercaan dan perlakukan jahat sekian lama.

Engkau kembalikan kecintaan kepada Bani Hâsyim dan kau anggap sebagai saudara setelah dimusuhi sekian lama.

Engkau tentramkan kehidupan mereka dan berbuat derma atas mereka sehingga mereka lupa sakit hati sekian lama.

Seandainya para leluhur melihat engkau telah berbuat derma kepada mereka, mereka yakin timbanganmu terberat di sana.( )

Muntashir telah menyambung tali kekerabatan dengan keluarga nabawi setelah Bani Abbâsiyah, para leluhurnya selalu berusaha untuk memutusnya dan menghinakan mereka. Ia menghentikan segala ancaman, kesengsaraan, penghinaan, dan tekanan-tekanan yang selama itu dialami oleh mereka. Akan tetapi, sangat disayangkan sekali. Masa kekuasaannya tidak berlangsung lama. Seorang dokter kerajaan telah membunuhnya. Ia meracuninya atas dasar perintah dari bangsa Turki. Dan Muntashir pun meninggal dunia pada saat itu juga. Dengan kematiannya itu, masyarakat telah kehilangan kebaikan yang tak terhingga. Ia telah berhasil memberikan kebebasan beragama kepada mereka dan membasmikan mimpi buruk itu dari kehidupan mereka.


Imam Ali Al-Hâdî Dibunuh

Mu'tamid Al-Abbâsî tidak tahan lagi melihat Imam Al-Hâdî as. Hal itu lantaran Imam Al-Hâdî memiliki kedudukan yang agung nan tinggi di tengah-tengah masyarakat Islam. Mu'tamid marah besar ketika keutamaan-keutamaannya tersebar luas, dan seluruh majelis dan pertemuan-pertemuan sosial kemasyarakat selalu membicarakan kehebatan ilmiahnya dan penguasaannya yang luar biasa terhadap masalah-masalah agama.

Mu'tamid meracuni Imam Al-Hâdî as. dengan racun pembunuh. Ketika Imam Al-Hâdî as. meminum racun tersebut, sekujur tubuhnya teracuni dan ia tidak bisa beranjak dari tempat tidur. Para tokoh dan pemuka mazhab Syi'ah senantiasa menjenguknya silih berganti. Di antara para penjenguk tersebut adalah Abu Hâsyim Al-Ja'farî. Ketika ia melihatnya berperang melawan rasa sakit racun tersebut, tangisannya pun tak tertahan lagi. Ia melantunkan beberapa bait syair berikut ini:

Dunia menggoncang hatiku yang sedih pedih dan rentetan musibah mengganyang sekujur tubuhku.

Ketika kudengar berita Sang Imam pucat pasi terbentang sakit; Aku menjerit: "Kujadikan tebusannya jiwaku."

Agama pun sakit lantaran kau sakit, dan bintang gumintang pun turut sakit bersimpuh di hadapanmu.

Heran, pabila engkau mati lantaran sakit dan penyakit, padahal engkaulah imam dan musuh penyakit.

Engkaulah obat termujarab untuk agama dan dunia, serta penghidup orang mati dan yang masih hidup.

Bait-bait syair ini mengungkapkan kepedihan Abu Hâsyim dan kedalaman rasa sedihnya lantaran Imam Al-Hâdî as. sakit, padahal ia adalah musuh penyakit, harapan umat, dan pemimpin mereka.


Menuju Surga Abadi

Racun itu merasuki sekujur tubuh Imam Ali Al-Hâdî as. dan kematian pun mendekat kepadanya dengan begitu cepat. Ketika merasa ajal sudah dekat, ia menghadap ke arah Kiblat dan membaca beberapa ayat kitab Allah yang mulia. Ajal menjemputnya sedangkan mulut sucinya masih membaca zikir.

Ruhnya yang suci telah diangkat menuju Penciptanya dengan diiringi oleh para malaikat Rahman. Dunia akhirat terang benderang menunggu kedatangannya, sementara itu dunia fana menjadi gelap gulita karena kepergiannya. Dengan demikian, ayah, pemimpin, dan pembela hak-hak orang-orang lemah dan tertindas telah meninggal dunia.


Ritual Pemakaman

Putranya, Imam Abu Muhammad Hasan Al-'Askarî as. melaksanakan ritual pemakaman atas sang ayah. Imam Hasan as. memandikan tubuh suci sang ayah dan mengafaninya. Ia menyalati sang ayah dengan bercucuran air mata dan hatinya seakan-akan tersayat sembilu karena kepergian ayah tercinta.


Pengantaran Jenazah

eluruh lapisan penduduk kota Samirra' hiruk-pikuk berebutan untuk mendapatkan kejayaan mengantarkan jenazah Imam Al-Hâdî as. yang suci. Para menteri, ulama, hakim, dan petinggi angkatan militer memimpin penggotongan jenazahnya, sedangkan mereka merasakan musibah yang sangat menyedihkan dan merenungkan kerugian besar tak terganti yang telah menimpa dunia Islam. Kota Samirra' tidak pernah menyaksikan acara ritual pengantaran jenazah sebesar dan seagung itu di mana seluruh lapisan masyarakat mengHâdîrinya, baik orang-orang yang saleh maupun yang taleh. Kantor-kantor resmi pemerintah, pusat-pusat perniagaan, dan lain sebagainya juga libur resmi.


Persemayaman Terakhir

Tubuh suci itu dibawa menuju persemayamannya yang terakhir dengan diiringi oleh takbir dan takzim yang menggemuruh. Ia dimakamkan di rumahnya yang memang sudah dipersiapkan untuk makamnya sendiri dan makam keluarganya. Dengan kepergiannya ini, nilia-nilai insani yang sangat tinggi juga dikuburkan.

Imam Ali Al-Hâdî as. berusia empat puluh tahun dan ia wafat pada hari Senin, 25 Jumadil Akhir 254 Hijriah. Dengan ini, usailah pembahasan tentang sejarah hidup Imam Ali Al-Hâdî as.


Catatan Kaki:

1. Bashriya adalah sebuah desa yang dibangun oleh Imam Mûsâ bin Ja'far as. Desa ini berjarak sekitar 3 mil dari Madinah.
2. Hayâh Al-Imam Ali Al-Hâdî as., hal. 24-26.
3. Ibid. hal. 26.
4. Bihâr Al-Anwâr, jilid 13, hal. 131; A'yân As-Syi'ah, jilid 4, hal. 275, bagian kedua.
5. Bihâr Al-Anwâr, jilid 13, hal. 129.
6. Hayâh Al-Imam Ali Al-Hâdî as., hal. 243.
7. Al-Manâqib, jilid 4, hal. 441.
8. Amâlî Ash-Shadûq, hal. 498.
9. Hayâh Al-Imam Ali Al-Hâdî as., hal. 46.
10. Ibid., hal. 239.
11. Târîkh Al-Islam, karya Adz-Dzahabî, Rijâl Ath-Thabaqah As-Sâdisah wa Al-'Isyrin; Tadzkirah Al-Khawwâsh, hal. 360.
12. Al-Muntazhim, jilid 12, hal. 26.
13. Syarah Syâfiyah Abi Firâs, jilid 2, hal. 168.
14. Hayâh Al-Imam Ali Al-Hâdî as., hal. 158-160.
15. Hayâh Al-Imam Ali Al-Hâdî as., hal. 242-243.
16. Wasâ'il Asy-Syi'ah, jilid 4, hal. 750.
17. Ibid., jilid 5, hal. 298.
18. Al-Irsyâd, hal. 375-376.
19. Mir'âh Az-Zamân, jilid 9, hal. 553.
20. Mir'âh Az-Zamân, jilid 9, hal. 553; Murûj Adz-Dzahab, jilid 4, hal. 114; Tadzkirah Al-Khawwâsh, hal. 359.
21. Al-Irsyâd, hal. 376.
22. Mir'âh Az-Zamân, jilid 9, hal. 553.
23. Al-Humânî adalah Yahyâ bin Abdul Hamid Al-Kûfî. Ia berpindah ke Baghdad dan meriwayatkan hadis di kota ini dari beberapa orang. Di antara mereka adalah Sufyân bin 'Uyainah, Abu Bakar bin 'Ayyâsy, dan Wakî'. Hal ini dipaparkan oleh Al-Khathîb Al-Baghdâdî di dalam bukunya yang berjudul Târîkh Baghdad, dan ia menyebutkan beberapa hadis yang telah ia riwayatkan dari Yahyâ bin Mu'în. Dalam komentarnya, Yahyâ bin Mu'în berkata, "Yahyâ bin Abdul Hamid Al-Humânî adalah orang yang jujur (Shadûq) dan terpercaya (tsiqah)." Diriwayatkan bahwa Al-Humânî pernah berkata, "Mu'âwiyah meninggal dunia bukan atas dasar agama Islam." Ia meninggal dunia di Samirra' pada tahun 228 Hijriah, dan ia adalah ahli hadis pertama yang meninggal dunia di kota ini. Silakan Anda rujuk Al-Kunâ wa Al-Alqâb, jilid 2, hal. 191.
24. Dalam teks asli syair tersebut disebutkan nidâ' ash-shawâmi' dan kami menerjemahkannya dengan "seruan syahadatain", lantaran mengambil ilham dari jawaban Imam Al-Hâdî as. ketika menjawab pertanyaan Mutawakkil tersebut-pen.
25. Hayâh Al-Imam Ali Al-Hâdî as., hal. 241.
26. Mir'âh Az-Zamân, jilid 2, hal. 960; Tadzkirah Al-Khawwâsh, hal. 361; Al-Ithâf bi Hubb Al-Asyrâf, hal. 67.
27. Hayâh Al-Imam Ali Al-Hâdî as., hal. 262-264.
28. Ibid., hal. 263-264.
29. Ibid., hal. 265.
30. Zuhar Al-Adab, jilid 1, hal. 227.
31. Târîkh Ibn Al-Atsîr, jilid 5, hal. 311.
32. Murûj Adz-Dzahab, jilid 4, hal. 83.
33. Târîkh Al-Khulafâ', karya As-Suyûthî, hal. 357.
34. I'lâm Al-Warâ, hal. 348.
35. Nûr Al-Abshâr, hal. 150; Kasyf Al-Ghummah, jilid 3, hal. 174.
36. Ibid.


IMAM HASAN AL-'ASKARI

Imam Abu Muhammad Hasan Al-'Askarî as. adalah imam kesebelas dari para imam Ahlul Bait as. yang telah bertugas mengemban risalah Islam dan menegakkan tujuan dan nilai-nilai luhurnya. Ia adalah sebuah anugerah Allah swt. untuk para hamba-Nya, dan juga salah satu tanda kekuasaan-Nya dalam segala karunia, nilai-nilai luhur, dan jihad yang telah ia lakukan. Ia telah mengadakan penentangan terhadap kekuasaan dinasti Bani Abbâsiyah yang menyeleweng dan berusaha untuk merealisasikan keadilan di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan sekilas tentang sejarah kehidupan dan biografi imam agung yang satu ini.

Silsilah Keturunan

Silsilah keturunan Imam Hasan Al-'Askarî as. berasal dari garis keturunan keluarga nabawi yang telah dijadikan oleh Allah swt. sebagai mata air kemuliaan muslimin. Keluarga ini telah diserahi tugas untuk menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, serta sekaligus menebarkannya di tengah-tengah kehidupan umat manusia. Saya tidak yakin bahwa ada sebuah keluarga di dunia ini yang telah berkiprah untuk berkhidmat kepada kebenaran dan menebarkan nilai-nilai luhur di tengah-tengah kehidupan umat manusia seperti keluarga nabawi yang satu ini.

Sesungguhnya Imam Hasan Al-'Askarî as. memiliki hubungan nasab dengan Rasulullah saw. dan Kota Ilmunya, Imam Amirul Mukminin as. Ia adalah putra Imam Ali Al-Hâdî bin Imam Muhammad Al-Jawâd bin Imam Ali bin Mûsâ Ar-Ridhâ bin Imam Mûsâ bin Ja'far bin Imam Ja'far Ash-Shâdiq bin Imam Muhammad Al-Bâqir bin Imam Ali bin Husain bin Imam Husain bin Ali bin Ali bin Abi Thalib-semoga salam Allah senantiasa tercurahkan atas mereka. Mereka semua adalah para imam petunjuk, pelita kegelapan, dan bendera ketakwaan yang telah dijauhkan oleh Allah dari segala jenis kekotoran dan disucikan sesuci-sucinya. Di samping itu, Rasulullah saw. telah menjadikan mereka sebagai bahtera-bahtera keselamatan, tempat keamanan para hamba, dan pintu hiththah yang dapat menjamin keamanan bagi setiap orang yang memasukinya.


Kelahiran

Dunia Islam menjadi terang benderang kembali dengan kelahiran salah seorang keuturunan Nabi saw. dan penerus missi imâmah ini. Para perawi hadis dan ahli sejarah berbeda pendapat berkenaan dengan daerah yang telah mendapatkan kemuliaan untuk menerima kelahirannya itu. Sebagian berpendapat bahwa daerah itu adalah Madinah Al-Munawarah dan menurut sebuah pendapat, ia dilahirkan di Samirra'. Tentang tanggal dan tahun kelahirannya, mereka juga tidak memiliki kesepakatan pendapat. Berikut ini adalah pendapat-pendapat mereka dalam masalah ini:
a. Ia dilahirkan pada bulan Rabi'ul Awal 230 Hijriah.
b. Ia dilahirkan pada tahun 231 Hijriah.
c. Ia dilahirkan pada tahun 232 Hijriah.
d. Ia dilahirkan pada tahun 233 Hijriah.


Acara Ritual Kelahiran

Ketika diberitahukan tentang kelahiran sang putra yang penuh berkah itu, Imam Al-Hâdî as. bergegas melaksanakan acara ritual kelahiran atas putranya itu. Ia mengumandangkan azan di telinga kanannya dan membacakan iqamah di telinga kirinya. Imam yang suci ini menyambut alam wujud ini dengan mengumandangkan kalimat-kalimat tauhid sebagai secercah sinar dari nur Allah swt. dan zikir muslimin di setiap tempat dan masa. Yaitu, Allahu Akbar, lâ ilâha illalâh.

Pada hari ketujuh dari kelahiran sang putra, Imam Al-Hâdî as. mencukur rambutnya dan menyedekahkan emas atau perak kepada orang-orang miskin seberat rambut yang telah dicukur itu. Ia juga melaksanakan acara akikah dengan menyembelih seekor kambing untuk sang putra sebagai tindak mengamalkan sunah Islami yang sangat dianjurkan untuk dilakukan. Ia memberi nama Hasan kepada sang putra seperti nama pamannya yang tertinggi. Yaitu, Imam Hasan Al-Mujtabâ, penghulu pemuda surga. Ia juga memberi nama panggilan Abu Muhammad. Muhammad ini adalah nama imam yang sedang ditunggu-tunggu kedatangannya di mana ia adalah harapan orang-orang yang tertindas di muka bumi ini.


Pertumbuhan dan Perkembangan

Imam Abu Muhammad tumbuh berkembang di dalam sebuah rumah Allah yang termulia. Yaitu, rumah imâmah yang telah dijauhkan oleh Allah dari segala kotoran dan disucikan sesuci-sucinya.

Tentang rumah yang agung ini, Asy-Syabrâwî berkomentar: "Alangkah mulianya rumah dan silsilah keturunan yang agung ini. Alangkah kemuliaan yang sangat agung. Cukuplah bagimu ketinggian kedudukan yang dimiliki oleh rumah ini bahwa mereka semua memiliki nasab yang mulia dan pokok yang baik. Mereka sama rata bak gigi-gigi sisir dan sama-sama memiliki saham dalam seluruh kegungan. Aduhai rumah yang sangat agung. Rumah ini terjulang ke langit dan memiliki tempat di sisi bintang-gumintang, dan tenggelam dalam kemuliaan."


Takut kepada Allah swt

Karakter yang sangat menonjol pada waktu Imam Al-'Askarî as. pada waktu masih kecil adalah rasa takut kepada Allah swt. Para ahli sejarah meriwayatkan bahwa seseorang pernah lewat melaluinya ketika sedang bermain bersama teman-teman sebayanya, sedangkan ia menangis terisak-isak. Orang itu menyangka bahwa ia menangis lantaran merasa iri terhadap mainan yang dimiliki teman-teman sebayanya dan ia tidak memilikinya. Orang itu bertanya kepada Imam Al-'Askarî: "Maukah kubelikan sebuah mainan yang dapat kau gunakan untuk bermain?"

Imam Al-'Askarî menjawab: "Tidak! Kita tidak diciptakan untuk bermain-main."

Orang itu terherean-heran seraya bertanya: "Untuk apa kita diciptakan?"

Imam Al-'Askarî menjawab: "Untuk ilmu pengetahuan dan ibadah."

Orang itu bertanya lagi: "Dari manakah kau dapatkan semua ini?"

Imam Al-'Askarî menjawab lebih lanjut: "Dari firman Allah yang berbunyi, 'Apakah kamu semua menyangka bahwa Kami ciptakan kamu sia-sia?'"

Orang itu diam seribu bahasa dan berdiri kebingungan seraya bertanya: "Apa yang telah terjadi pada dirimu, sedangkan engkau masih kecil begini?"

Imam Al-'Askarî menjawab: "Enyahlah dariku. Aku pernah melihat ibuku sedang menyalakan api dengan menggunakan kayu bakar yang besar, dan api itu tidak mau menyala kecuali dengan kayu bakar yang kecil. Aku takut apabila aku menjadi kayu bakar yang kecil bagi neraka Jahanam."

Anda perhatikan keimanan itu bereaksi aktif dalam diri Imam Hasan Al-'Askarî as. sedangkan ia masih berusia kanak-kanak. Lebih dari itu, keimanan adalah karakter dan subtansi sejati jiwanya.


Bersama Sang Ayah

Imam Abu Muhammad as. pernah mengalami hidup bersama sang ayah beberapa masa lamanya dan tidak pernah berpisah darinya, baik sang ayah berada di kediaman maupun dalam perjalanan. Imam Al-Hâdî as. mengumumkan keutamaan sang putra seraya berkata: "Abu Muhammad adalah salah seorang keturunan keluarga Muhammad saw. yang paling benar nalurinya dan yang paling kuat hujahnya. Ia adalah putraku yang terbesar. Ia adalah penggantiku dan kepadanya tali temali imâmah dan hukum-hukum kami berakhir."

Ucapan ini mengungkapkan karakter dan sifat Imam Abu Muhammad as. yang tertinggi dan teragung. Ia adalah salah seorang keturunan keluarga Muhammad saw. yang paling benar naluri dan tabiatnya, serta yang paling kuat hujah dan dalilnya. Kepadanyalah kekhalifahan dan imâmah berakhir. Dengan karakter-karakter tersebut, telah terkumpul dalam dirinya seluruh sifat keutamaan dan kesempurnaan.


Ibadah

Imam Hasan Al-'Askarî as. adalah figur paling 'abid pada masa ia hidup dan orang yang paling banyak bertobat dan taat kepada Allah swt. Pada siang hari, ia sering berpuasa dan pada malam hari, ia selalu mengerjakan salat, membaca Al-Qur'an, dan berdoa.

Muhammad Asy-Syâkirî berkata: "Imam Abu Muhammad selalu duduk di mihrab dan bersujud. Aku tertidur dan ketika bangun, ia masih dalam kondisi sujud." Rohnya telah terikat dengan Allah swt. dan tidak pernah tergiur oleh gemerlap kehidupan dunia. Telah diriwayatkan banyak doa qunutnya yang mengungkapkan tobat kepada Allah swt., sebagaimana juga banyak doa diriwayatkan yang selalu ia baca setelah usai mengerjakan salat. Kami telah menyebutkan semua doa itu dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Hasan Al-'Askarî as.


Kesabaran

Imam Hasan Al-'Askarî as. adalah figur yang tersabar dan paling mampu menahan amarah. Dinasti Bani Abbâsiyah pernah ingin menahan dan menjebloskannya ke dalam penjara. Tapi, ia menanggapi semua itu dengan pebuh kesabaran dan tak satu pun kata keluhan yang keluar dari mulutnya. Ia tidak pernah mengadukan kepada siapa pun mala petaka dan kepahitan penjara (yang akan menimpa dirinya).


Kedermawanan

Imam Abu Muhammad as. adalah orang yang paling dermawan dan banyak berbuat derma kepada kaum fakir-miskin. Ia memerintahkan para wakilnya yang telah ditunjuk sebagai pemungut zakat dan khumus untuk menginfakkan seluruh harta tersebut kepada kaum fakir-miskin dan tidak mampu, memperbaiki hubungan antara dua orang yang sedang berselisih, dan hal-hal lain yang bermanfaat bagi seluruh masyarakat.

Di antara manifestasi kedermawan Imam Hasan Al-'Askarî as. adalah riwayat berikut ini:

Para ahli sejarah meriwayatkan dari Muhammad bin Ali bin Ibrahim bin Imam Mûsâ bin Ja'far as. Ia bercerita: "Kehidupan kami pernah mengalami kesulitan. Pada suatu hari, ayahku berkata, 'Marilah kita pergi menjumpai orang itu-yaitu, Imam Abu Muhammad. Kami sering mendengar kedermawanannya.'

Aku bertanya kepada ayahku, 'Apakah kamu mengenalnya?'

Ia menjawab, 'Aku tidak mengenalnya dan tidak pernah melihatnya sekejap pun.'

Kami pun berangkat. Di pertengahan jalan, ayahku berguman, 'Kali ini, betapa kita membutuhkan orang yang dapat memberikan lima ratus dirham: dua ratus dirham untuk membeli pakaian, dua ratus dirham untuk membeli tepung, dan seratus sisanya untuk modal.' Aku juga berguman dalam diriku, 'Oh, seandainya ia memberikan tiga ratus dirham: seratus dirham kugunakan untuk membeli keledai, seratus dirham kupergunakan untuk modal, dan seratus sisanya kumanfaatkan untuk membeli pakaian. Lalu, aku pergi ke daerah Jabul (untuk mencari mata pencarian hidup).'

Ketika kami tiba di depan pintu rumah Imam Hasan Al-'Askarî, pembantunya keluar menyongsong kedatangan kami seraya berkata, 'Ali bin Ibrahim dan putranya dipersilakan masuk.'

Ketika kami masuk dan mengucapkan salam, ia berkata kepada ayahku, 'Hai Ali, apa yang menyebabkan kamu terlambat menjumpai kami hingga saat ini?'

Ayahku menjawab, 'Wahai junjunganku, aku malu untuk berjumpa dengan Anda.'"

Ali dan sang putra berada di sisi Imam Abu Muhammad as. beberapa saat. Setelah itu, mereka memohon pamit. Tidak lama kemudian, pembantu Imam Al-'Askarî datang dan memberikan sebuah kantong uang yang berisi lima ratus dirham kepada Ali seraya berkata kepadanya: "Dua ratus dirham untuk membeli pakaian, dua ratus dirham untuk membeli tepung, dan seratus dirham untuk modal." Ia juga memberikan sebuah kantong uang kepada putranya, Muhammad, yang berisi tiga ratus dirham seraya berkata kepadanya: "Seratus dirham untuk membeli keledai, seratus dirham untuk membeli pakaian, dan seratus dirham sisanya untuk modal. Tetapi, jangan kamu pergi ke Jabul. Sebagai gantinya, pergilah ke daerah Sûrâ'( ).'

Muhammad pun pergi ke daerah Sûrâ' sesuai dengan perintah Imam Abu Muhammad as., dan kondisi kehidupannya pun terus membaik sehingga ia menjadi salah seorang Bani Ali yang terkaya.

Para ahli sejarah menyebutkan banyak contoh atas kedermawanan, kebajikan, dan usaha-usaha Imam Hasan Al-'Askarî as. untuk menyelamatkan kehidupan kaum fakir-miskin.


Ilmu Pengetahuan

Para penulis biografi Imam Abu Muhammad as. sepakat bahwa ia adalah figur yang paling 'alim dan paling utama pada masanya. Hal itu bukan hanya dalam bidang ilmu syariat dan hukum-hukum agama, tetapi dalam seluruh bidang ilmu pengetahuan.

Bakhtisyû', seorang dokter yang menganut agama Kristen, pernah berkata kepada salah seorang muridnya: "Dia adalah figur yang paling 'alim pada masa kita dibandingkan dengan seluruh manusia yang hidup di jagad ini ...."

Dari ucapan sang dokter ini dapat dipahami bahwa Imam Hasan Al-'Askarî as. adalah figur yang paling 'alim di seluruh dunia dan ia memiliki kemampuan ilmiah yang luar biasa yang tidak dimiliki oleh selainnya. Dan ini adalah keyakinan mazhab Syi'ah bahwa Allah swt. telah menganugerahi seluruh ilmu pengetahuan kepada para imam Ahlul Bait as.


Ketinggian Akhlak

Imam Abu Muhammad as. adalah salah satu tanda kekuasaan Allah swt. dalam ketinggian akhlak dan adab. Ia selalu menghadapi kawan dan lawan dengan keceriaan wajah. Banyak sekali kisah yang telah diriwayatkan berkenaan dengan ketinggian dan kemuliaan akhlaknya ketika menghadapi para lawan dan orang-orang yang membencinya. Dengan cara seperti ini, mereka berubah total menjadi pecintanya. Di antara orang-orang yang telah terpengaruh karena akhlaknya adalah Ali bin Awtânesy. Ia terkenal dengan permusuhannya yang dahsyat terhadap keluarga Nabi saw. Hanya saja, ketika ia berjumpa dengan Imam Al-'Askarî, sikapnya berubah total. Ia tidak pernah mengangkat kepalanya untuk melihat Imam Al-'Askarî karena menghormati dan takzim kepadanya. Dan ia adalah orang yang paling baik memuji Imam Al-'Askarî.

Dalam ketinggian dan kemuliaan akhlak ini, Imam Abu Muhammad as. adalah salah satu manifestasi hembusan risalah Islami dan buah segar dari sekian buah yang telah dihasilkan oleh Rasulullah saw.


Mutiara Hikmah Pendek

Telah diriwayatkan dari Imam Abu Muhammad Al-'Askarî as. banyak hadis yang memuat nasihat, petunjuk, dan penyucian jiwa menuju nilai-nilai insani yang luhur. Di antara hadis-hadis tersebut adalah sebagai berikut:

a. Ia berkata: "Sesungguhnya kalian berada dalam lingkaran ajal yang selalu berkurang dan dalam lingkup hari-hari yang terbatas. Kematian akan datang secara tiba-tiba. Barang siapa menanam kebaikan, niscaya ia akan memanen kebahagiaan dan barang siapa menanam keburukan, niscaya ia akan memanen penyesalan. Setiap penanam tanaman akan memperoleh apa yang telah ia tanam. Bagian orang yang lambat berjalan tidak akan didahului oleh orang lain dan orang yang tamak tidak akan mendapatkan apa yang tidak ditentukan baginya. Barang siapa diberi sebuah kebaikan, Allah-lah yang telah memberikannya dan barang siapa terjaga dari sebuah keburukan, Allah-lah yang telah menjaganya."

b. Ia berkata: "Orang yang paling wara' adalah orang yang menahan diri ketika menghadapi syubhah (hal-hal yang tidak pasti hukumnya-pen.). Orang yang paling 'abid adalah orang yang kontinyu menjalankan kewajiban. Orang yang paling zuhud adalah orang yang meninggalkan hal-hal yang haram. Orang yang paling banyak berusaha adalah orang yang meninggalkan dosa."

c. Ia berkata: "Sesungguhnya sampai kepada Allah 'Azza Wajalla adalah sebuah perjalanan (panjang) yang tidak akan dapat digapai kecuali dengan bangun malam."

d. Ia berkata: "Menderita kemiskinan bersama kami adalah lebih baik daripada bergelimang kekayaan bersama musuh kami."

e. Ia berkata: "Keberanian seorang anak kepada ayahnya pada saat ia masih kecil dapat menyebabkan ia berbuat durhaka kepadanya pada saat ia sudah besar."

f. Ia berkata: "Ibadah itu bukanlah sekadar memperbanyak puasa dan salat. Ibadah itu adalah merenungkan urusan (baca: ciptaan) Allah."


Bukti-Bukti Imâmah

Allah swt. menganugerahkan mukjizat-mukjizat kepada para nabi dan washî-Nya yang tidak dapat didatangkan oleh umat manusia yang lain supaya mukjizat itu menjadi saksi atas kebenaran missi petunjuk dan kebaikan untuk umat manusia yang telah mereka terima dari Allah swt. Di antara mukjizat-mukjizat tersebut adalah mereka mengetahui segala sesuatu yang terpendam di dalam hati kecil orang lain, sebagaimana mereka juga mengetahui fitnah dan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi di masa mendatang.

Allah swt. telah menganugerahkan kemampuan ini kepada para imam Ahlul Bait as. Anda tidak membaca sejarah kehidupan salah seorang dari mereka kecuali Anda pasti menemukan banyak peristiwa dan kejadian yang telah diprediksikan oleh mereka sebelum peristiwa itu terjadi.

Pada kesempatan ini, kami akan menyebutkan sebagian hadis yang telah diriwayatkan dari Imam Abu Muhammad Al-'Askarî as. yang memprediksikan beberapa peristiwa sebelum terjadi. Di antara hadis-hadis tersebut adalah sebagai berikut:

a. Ismail bin Muhammad Al-Abbâsî bercerita: "Aku pernah mengadukan sebuah hajat kepada Abu Muhammad dan aku bersumpah kepadanya bahwa aku tidak memiliki uang sedirham pun (untuk memenuhi itu). Ia berkata kepadaku, 'Apakah engkau bersumpah bohong karena Allah, padahal engkau masih memendam dua ratus dinar? Ucapanku ini bukanlah sebuah usaha penolakan untuk memberikan uang kepadamu. Hai pembantuku, berapakah uang yang kau miliki?'

Usai berkata demikian, ia memberikan dua ratus dinar kepadaku. Setalah itu, ia menoleh kepadaku sembari berkata, 'Sesungguhnya engkau akan kehilangan dinar-dinar yang telah kau pendam itu pada saat engkau lebih membutuhkannya.'

Beberapa saat setelah peristiwa ini, aku merasa membutuhkan uang. Aku mencari-cari uang tersebut dan tidak menemukannya. Tiba-tiba aku mendengar berita bahwa salah seorang anakku telah mengetahui tempat penyembunyiannya. Lalu ia mencurinya dan melarikan diri."

b. Abu Hâsyim bercerita: "Aku pernah dipenjara. Aku mengadukan kesempitan dan kesengsaraan yang kualami selama berada di dalam penjara kepada Abu Muhammad. Ia menulis surat yang berisi, 'Kamu akan mengerjakan salat Zhuhur di rumahmu pada hari ini.' Dan hal itu betul-betul terjadi." Ia keluar dari penjara pada waktu Zhuhur dan mengerjakan salat Zhuhur di rumahnya.

c. Abu Hâsyim meriwayatkan: "Aku pernah mendengar Abu Muhammad as. berkata, 'Surga memiliki sebuah pintu yang bernama pintu Al-Ma'rûf dan pintu ini tidak akan dimasuki kecuali oleh orang-orang yang ahli makruf.' Mendengar ucapannya ini, aku memuji Allah di dalam diriku dan gembira karena dapat membereskan hajat-hajat masyarakat. Ia melanjutkan, 'Kamu telah mengetahui posisimu (di surga). Sesungguhnya mereka yang ahli makruf di dunia ini adalah ahli Al-Ma'rûf di akhirat. Semoga Allah menjadikan kamu termasuk dalam golongan mereka dan merahmatimu.'"

d. Muhammad bin Hamzah Ad-Dawrî meriwayatkan: "Aku pernah menulis sepucuk surat kepada Imam Abu Muhammad as. sembari memohon supaya ia memohon kekayaan kepada Allah untukku. Aku telah ditimpa kemiskinan dan aku khawatir atas kesengsaraan hidup ini. Ia menjawab surat tersebut, 'Berbahagialah, karena Allah swt. telah menganugerahkan kekayaan kepadamu. Kemenakanmu, Yahyâ bin Hamzah telah meninggal dunia dan meninggalkan harta peninggalan sebanyak seratus ribu dirham dan ia tidak memilik seorang pewaris pun kecuali kamu. Seluruh harta peninggalannya menjadi hak milikmu. Maka, bersyukurlah kepada Allah, pergunakanlah harta itu secara ekonomis, dan jauhilah penggunaan secara berlebih-lebihan ....' Aku menerima harta tersebut dan sekaligus berita kematian kemenakanku-seperti diberitakan oleh Imam Al-'Askarî-beberapa hari setelah itu. Kemiskinan pun hengkang dariku. Aku penuhi hak Allah dan kujauhi tindakan berhambur-hamburan."

e. Muhammad bin Hasan bin Maimun meriwayatkan: "Aku pernah menulis surat kepada junjunganku, Hasan Al-'Askarî as. mengadukan kemiskinan yang melilit kehidupanku. Setelah itu, aku berguman dalam diriku, 'Bukankah Abu Abdillah as. pernah berpesan, 'Derita kemiskinan bersama kami adalah lebih baik daripada gelimangan kekayaan bersama musuh kami dan terbunuh bersama kami adalah lebih baik daripada hidup bersama musuh kami.'

Tidak lama kemudian surat jawaban Imam Al-'Askarî datang, 'Sesungguhnya Allah 'Azza Wajalla membersihkan dosa-dosa para pengikut kami jika dosa-dosa itu bergesekan dengan kemiskinan, dan kadang-kadang juga Dia mengampuni dosa-dosa yang tak terhingga. Hal ini adalah seperti yang kau bisikkan dalam dirimu. Derita kemiskinan bersama kami adalah lebih baik daripada gelimangan kekayaan bersama musuh kami dan kami adalah goa bagi orang yang berlindung kepada kami, cahaya bagi orang yang mencari cahaya dengan perantara kami, dan perlindungan ('ishmah) bagi orang yang mencari perlindungan dengan perantara kami. Barang siapa mencintai kami, niscaya ia akan hidup bersama kami di dalam tingkat surga yang tertinggi dan barang siapa menyeleweng dari kami, niscaya ia terjerumus ke dalam dalam neraka.'"

f. Abu Hâsyim bercerita: "Aku pernah bertamu ke rumah Abu Abdillah as. dan ingin meminta sebuah mata cincin kepadanya untuk kuletakkan di atas cincinku supaya aku mendapatan berkah darinya. Aku pun duduk dan lupa untuk keperluan apa aku bertamu ke rumahnya itu. Ketika aku memohon pamit dan hendak pergi, ia memberiku sebuah cincin sembari tersenyum. Ia berkata, 'Kamu menginginkan sebuah mata cincin dan kami memberikan sebuah cincin kepadamu. Dengan ini engkau telah untung mata cincin tersebut. Semoga Allah memberkahimu dengan cincin itu.'

Aku terheran-heran dengan peristiwa ini, dan lantas berkata, 'Wahai junjunganku, sesungguhnya Anda adalah wali Allah dan imamku yang aku menyembah Allah dengan karunia dan ketaatan kepadanya.' Ia menimpali, 'Semoga Allah mengampunimu, wahai Abu Hâsyim.'"

Ini adalah sebagian contoh peristiwa yang telah diberitahukan oleh Imam Abu Muhammad as. Semua itu dapat membuktikan kebenaran imâmah-nya.

Layak disebutkan di sini bahwa telah banyak riwayat diriwayatkan dari para imam Ahlul Bait as. yang menceritakan peristiwa dan hal-hal yang disembunyikan oleh masyarakat di dalam hati mereka, (lalu para imam as. menyingkapnya tanpa mereka beritahukan). Allah swt. telah menganugerahkan semua itu kepada mereka untuk membuktikan kebenaran imâmah mereka, sebagaiman Dia juga telah menganugerahkan mukjizat-mukjizat kepada para nabi dan rasul as. yang orang lain tidak dapat mendatangkan mukjizat yang serupa dengannya. Ini adalah akidah dan keyakinan mazhab Syi'ah tentang para imam mereka as., dan hal ini tidak sedikit pun mengandung ghuluw (keyakinan yang berlebih-lebihan) dan keluar dari jalur logika.


Surat Imam Al-'Askarî kepada Ali bin Husain

Imam Hasan Al-'Askarî as. pernah menulis sepucuk surat kepada seorang faqih 'alim dan agung yang bernama Abul Hasan Ali bin Husain bin Mûsâ bin Bâbawaeh Al-Qomî. Ia adalah seorang tokoh kenamaan Syi'ah dan bendera panutan yang selalu tegak berkibar dalam bidang ilmu Hadis, Fiqih, dan bidang-bidang ilmu Islam lainnya. Setelah basmalah, surat itu berisi berikut ini:

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Akibat segala sesuatu adalah untuk orang-orang yang bertakwa. Surga adalah untuk orang-orang yang mengesakan Allah dan neraka adalah nasib orang-orang yang mengingkari. Tiada permusuhan kecuali atas orang-orang yang zalim dan tiada tuhan selain Allah, sebaik-baik Pencipta. Semoga shalawat senantiasa tercurahkan atas sebaik-baik makhluk-Nya, Muhammad dan 'Itrahnya yang suci. Amma ba'du:

Aku berwasiat kepadamu wahai Syaikhku, orang kepercayaanku, dan faqihku, Abul Hasan Ali bin Husain Al-Qomî-semoga Allah memberikan taufik kepadamu untuk menggapai keridaan-Nya dan menjadikan keturunan yang saleh dari sulbimu dengan rahmat-Nya-dengan takwa kepada Allah, mendirikan salat, dan menunaikan zakat. Aku berwasiat kepadamu supaya mengampuni dosa (orang lain), menahan amarah, bersilaturahmi, bertenggang-rasa terhadap saudara-saudara seiman dan berusaha untuk memenuhi hajat-hajat mereka, baik kamu berada dalam kondisi lapang maupun sulit, bersabar ketika (menghadapi) kebodohan (orang lain), memahami dan memperlajari agama, berdiri kokoh dalam segala urusan, berjanji kepada Al-Qur'an, berperangai yang baik, dan melaksanakan amar makruf dan nahi mungkar; Allah 'Azza Wajalla berfirman: "Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh [manusia] memberi sedekah, berbuat makruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia." (QS. An-Nisâ' [4]:114) (Begitu juga aku wasiatkan kepadamu) untuk meninggalkan seluruh keburukan. Kerjakanlah salat malam. Karena, Nabi saw. pernah mewasiatkan hal ini kepada Ali seraya bersabda: "Wahai Ali, kerjakanlah salat malam-ia besabda demikian sebanyak tiga kali. Barang siapa meremehkan salat malam, maka ia bukan termasuk dalam golongan kami."

Kerjakanlah wasiatku ini dan perintahkanlah kepada Syi'ahku untuk melaksanakannya. Bersabarlah dan selalu bersiagalah untuk menanti faraj. Karena, Nabi saw. pernah bersabda: "Amal umatku yang paling utama adalah menunggu faraj."

Syi'ah kami senantiasa ditimpa kesedihan sehingga anakku yang telah dijanjikan oleh Nabi saw. akan memenuhi bumi ini dengan keadilan setelah bumi itu dipenuhi oleh kezaliman itu muncul. Maka, bersabarlah wahai Syaikhku dan perintahkanlah Syi'ahku untuk bersabar. "Sesungguhnya bumi ini adalah milik Allah. Dia akan mewariskannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari para hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah untuk orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-A'râf [7]:128)

Cukuplah Allah bagi kita semua dan Dia adalah sebaik-baik wakil. Dia adalah sebaik-baik Mawla dan sebaik-baik Penolong.

Surat ini mengindikasikan hal-hal berikut ini:

a. Penegasan atas ketinggian kedudukan yang dimiliki oleh sang faqih, Ali bin Husain. Imam Al-'Askarî as. telah menyematkan julukan-julukan mulia kepadanya yang menunjukkan kedudukannya yang tinggi di sisinya. Para penulis biografi kehidupannya menegaskan bahwa ia adalah salah seorang faqih yang agung, penunjuk jalan untuk mengenal keluarga Muhammad saw., fanatik dalam masalah agama, pembasmi pondasi-pondasi orang-orang pengingkar agama, dan salah seorang pondasi utama syariat. Ke-tsiqah-an dan ketinggian kedudukannya mendorong para fuqaha Imamiah untuk menerima dan bersandar kepada fatwa-fatwanya ketika mereka tidak menemukan dalil, seperti yang dilakukan oleh Syahid di dalam kitab Adz-Dzikrâ.

b. Dalam surat itu, Imam Al-'Askarî as. mendoakan keturunan yang saleh dan penuh berkah untuknya. Allah telah mengabulkan doanya ini dan menganugerahkan Abu Ja'far yang memiliki gelar Ash-Shadûq kepadanya. Ash-Shadûq adalah salah seorang ulama muslimin yang memiliki keutamaan khusus dengan peninggalan karya-karya tulisnya untuk umat ini. Ia telah berhasil menghidupkan syariat dan membukukan hadis-hadis yang telah diriwayatkan dari para imam suci as. Ia memiliki karya tulis yang berjumlah sekitar tiga ratus buku. Di antara karya-karya tulisnya yang paling menonjol adalah kita Man Lâ Yahdhuruh Al-Faqîh. Kitab ini adalah salah satu buku referensi agung yang menjadi sandaran utama para fuqaha Imamiah.

c. Surat ini mengajak seluruh Syi'ah untuk berakhlak mulia, seperti silaturahmi, bertenggang rasa terhadap saudara yang lain, memenuhi hajat-hajat orang lain, mempelajari agama, berdiri kokoh dalam seluruh urusan, dan karakter-karakter positif yang lain.

d. Imam Al-'Askarî as. memerintahkan para pengikutnya untuk menanti faraj dan kemunculan Al-Qâ'im keluarga Muhammad saw. di mananya adalah harapan orang-orang tertindas. Dengan hukum Islam yang akannya jalankan, dunia akan bergemilang dan dengan pemertintahan yang akannya tegakkan sebagai penerus pemerintahan kakeknya, Rasulullah saw., kalimat Ilahi akan tegak berdiri.

Ini adalah sebagian isi dan kandungan surat tersebut. Imam Al-'Askarî as. juga memiliki surat-surat lain yang pernahnya kirimkan kepada para tokoh kenamaan Syi'ah. Kami telah menyebutkan surat-surat tersebut di dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Hasan Al-'Askarî as.


Bersama Para Penguasa

Imam Al-'Askarî as. menjalani kehidupannya yang sangat pendek itu di bawah penindasan dan kelaliman para penguasa yang senantiasa berusaha untuk memerangi para imam Ahlul Bait as. Ia telah menghadapi aneka ragam pelecehan dan kezaliman yang paling pedih dari mereka. Di antara para penguasa tersebut adalah berikut ini:

1. Pemerintahan Mutawakkil

Mutawakkil memegang tampuk kekuasaan dan kerajaan pada tahun 232 Hijriah. Pada tahun ini juga Imam Abu Muhammad as. dilahirkan. Jiwa Mutawakkil dipenuhi oleh kebencian dan permusuhan yang dahsyat terhadap para Bani Ali as. Mereka mengalami berbagai ragam kezaliman dan kelaliman pada masa ia berkuasa yang belum pernah mereka alami sebelumnya.

Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan sebagian sisi kehidupan Mutawakkil.

a. Hidup Berfoya-foya

Mutawakkil menjalani hidupnya dengan bergelimang kesia-siaan dan ia tidak sedikit pun pernah memiliki keinginan untuk hidup serius. Seluruh kehidupannya diwarnai oleh foya-foya dan pesta-pora. Para ahli sejarah menegaskan bahwa tak seorang pun dari para raja dinasti Bani Abbâsiyah yang melakukan foya-foya dan pesta pora seperti yang pernah dilakukan oleh Mutawakkil.

Di antara contoh-contoh kehidupannya yang tak berarti itu adalah peristiwa berikut ini:

Pada suatu hari ia pernah berkata kepada Abul 'Anbâs: "Ceritakanlah kepadaku tentang keledaimu dan kematiannya, serta apakah syair yang telah ia senandungkan untukmu di alam mimpi?"

Abul 'Anbâs berkata: "Ya, wahai Amirul Mukminin. Keledai itu adalah lebih berakal dari para hakim negara. Ia tidak pernah melakukan tindak kriminalitas dan tidak juga kesalahan. Pada suatu hari, ia tertimpa penyakit secara tiba-tiba dan mati. Setelah itu, aku melihatnya di alam mimpi, sebagaimana orang-orang lain bermimpi. Aku bertanya kepadanya, 'Aduhai keledai kesayanganku, bukankah aku telah menyediakan air yang sejuk untukmu, bukankah aku telah membersihkan untaian gandum bagimu, dan bukankah aku telah berusaha keras untuk keselamatanmu? Lalu, mengapa engkau mati secara tiba-tiba? Bagaimana kondisimu?'

Keledai itu menjawab, 'Ya. Pada suatu hari, ketika engkau sedang berbicara dengan seorang penjual obat di sebuah toko obat, seekor keledai betina lewat melintasiku. Aku melihatnya dan ia berhasil merenggut seluruh kalbuku. Aku pun mencintainya dan kerinduanku kepadanya tak tertahankan. Karena kerinduan (tak terpenuhi itu), aku mati gigit jari.'

Aku bertanya kepadanya, 'Apakah engkau melantunkan bait syair pada saat itu?'

'Ya,' jawabnya pendek.

Lalu ia membacakan syair berikut ini untukku:

Hatiku terjerat oleh seekor keledai betina di depan pintu toko penjual obat.

Ketika kita keluar, ia jebak kalbuku dengan susunan giginya yang indah.

Dan dengan kedua pahanya yang lembut dan panjang bak Syanqarânî.

Dengan itu aku mati; seandainya aku hidup, niscaya panjanglah hinaku.

Aku bertanya lagi, 'Aduhai keledai kesayanganku, apakah Syanqarânî itu?'

Ia menjawab, 'Syanqarânî adalah keledai yang ajaib.'"

Mendengar ini, Mutawakkil pun terbang melayang. Lantas, ia memerintahkan para penyanyi untuk melantunkan bait-bait syair keledai itu untuk dirinya. Ia sangat berbahagia pada saat itu tiada taranya, dan ia tidak pernah sebahagia hari itu. Ia menambahkan hadiah yang berlipat ganda kepada Abul 'Anbâs.

Celakalah zaman dan berantakanlah masa! Apakah orang yang selalu beroya-foya seperti ini layak menjadi penguasa muslimin, sementara itu Abu Muhammad Hasan Al-'Askarî as. dihengkangkan dari kekuasaan?

Mutawakkil selalu hidup bergelimangan dalam foya-foya dan pesta-pora. Ia memiliki dua orang budak yang memiliki keahlian dalam bidang menyanyi dan bermain musik. Mereka tidak pernah berpisah darinya. Salah seorang dari kedua budak itu memetik kecapi dan yang lain meniup seruling untuknya. Ia tidak memasuki arena minum-minuman keras kecuali dengan mendengar permainan musik mereka berdua.

Mutawakkil memiliki lima ribu orang sahaya. Menurut sebuah riwayat, ia telah menyetubuhi mereka semua. Sebagian orang dekatnya pernah berkata: "Sumpah demi Allah, seandainya Mutawakkil tidak dibunuh, ia tidak akan hidup (lama) lantaran sering melakuan hubungan badan."

Orang-orang dekat Mutawakkil senantiasa berusaha mengadakan pendekatan dengannya dengan memberikan hadiah sahaya-sahaya yang menawan dan khamar-khamar yang murni. Fath bin Khâqân pernah menghadiahkan seorang sahaya yang sangat cantik dan menawan, dua buah periuk yang terbuat dari emas, dan mangkok besar yang terbuat dari kaca blour dan penuh berisi khamar murni yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Fath menghadiahkan semua itu ketika Mutawakkil baru sembuh dari sebuah penyakit yang dideritanya. Bersama hadiah-hadiah itu, Fath juga menulis sebuah bait syair berikut ini:

Jika imam keluar dari renggutan penyakit dan memperoleh keselamatan dan kesembuhan,

tiada obat penyembuh baginya kecuali khamar yang tertuang dalam periuk yang indah menawan,

dan mata cincin yang baginya dihadiahkan. Dan semua itu sangat jitu untuk setelah sakit menahan.

Mutawakkil tertarik dan tertambat hati kepada bait-bait syair itu. Pada waktu itu, Yuhannâ bin Mâsûyeh, dokter pribadinya sedang duduk di sampingnya. Yuhannâ berkata kepadanya: "Demi Allah, Fath lebih mahir dalam ilmu kedokteran daripada aku. Oleh karena itu, jangan paduka tentang sarannya."

Kami telah menyebutkan foya-foya dan pesta fora Mutawakkil dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Hasan Al-'Askarî as. Jika pembaca budiman berkenaan, silakan rujuk.


b. Melakukan Maksiat Secara Terang-Terangan

Mutawakkil selalu melakukan dosa dan maksiat secara terang-terangan, dan ia tidak pernah malu kepada masyarakat. Pada suatu hari, Hakim Ahmad bin Dâwûd pernah meminta izin untuk berjumpa dengannya. Pada waktu itu, Mutawakkil sedang bermain judi. Fath bin Khâqân ingin untuk mengumpulkan alat permainan judi itu dan Mutawakkil melarangnya seraya berkata: "Apakah aku berbuat sesuatu terhadap Allah secara terang-terangan, lalu kututup-tutupi dari mata hamba-hamba-Nya?"

Tindak mengikuti hawa nafsu yang selalu dilakukannya itu telah melampaui batas sehingga para teman minumnya bermain catur di hadapannya dan ia tidak pernah melarang mereka. Di antara tindakan hewaninya ini adalah ia pernah meminta supaya istrinya, Rabthah bin Ghubais melepas kerudung dan menggelung rambutnya layaknya dayang-dayang istana. Sang istri menolak dan Mutawakkil menceraikannya. Ia tidak pernah berharap kewibawaan kepada Allah dan juga tidak pernah mengindahkan syiar-syiar Islam.


c. Tindakan Terhadap Bani Ali

Salah satu karakter yang bersifat substantif dalam diri Mutawakkil adalah kebenciannya yang dahsyat kepada Bani Ali as. Ia telah mengerahkan segala upaya dan usahanya untuk menzalimi dan menumpahkan darah mereka. Ia juga pernah memberlakukan embargo ekonomi atas mereka. Ia melarang segala jenis dan bentuk bantuan ekonomi dan kebajikan kepada mereka. Jika ia mendengar seseorang berbuat kebajikan kepada mereka, ia tidak segan-segan menyiksanya dan mewajibkan ia membayar denda yang sangat berat. Muslimin pun enggan untuk mengadakan segala jenis hubungan dengan mereka lantaran takut terhadap siksa yang telah ditentukan oleh sang lalim ini.

Dunia telah menjadi sempit bagi kaum Bani Ali as. Kesengsaraan dan kemiskinan mereka telah sampai pada suatu batas di mana satu gamis digunakan oleh kaum wanita mereka untuk mengerjakan salat secara bergantian. Setelah itu, mereka menambal pakaian-pakaian mereka yang robek dan duduk di atas alat-alat pemintal kain dalam kondisi telanjang menyedihkan. Padahal sang lalim itu mengeluarkan berjuta-juta dinar emas (untuk berfoya-foya) di malam-malam kelamnya dan memberikan uang yang tak terkira jumlahnya kepada para penyanyi dan penari. Sementara itu, ia mengharamkan sepoton roti untuk keturunan Rasulullah saw.


d. Kebencian Terhadap Amirul Mukminin

Mutawakkil sangat membenci Imam Amirul Mukminin Ali as., sang tokoh kebenaran dan keadilan di dalam dunia Islam itu. Sang lalim ini mengingkari keberadaannya. Pada suatu hari, ia menjadikan kera-kera piaraan dan kaki tangannya sebagai penari yang menari dengan gemulai, dan ia menyerupakan dirinya dengan Imam Amirul Mukminin as. yangnya sendiri adalah diri Rasulullah saw. dan pintu kota ilmunya. Tindakan ini membuat rasa ingin membela Muntashir-yang ia sendiri adalah salah seorang keturunan orang-orang berkemanusiaan-bangkit. Lalu, ia mengambil keputusan untuk membunuhnya.


e. Penghancuran Makan Suci Imam Husain

Salah satu kejahatan paling buruk yang pernah dilakukan oleh Mutawakkil adalah penghancuran makam suci sang junjungan pemuda penduduk, Imam Husain as. Makam suci ini sangat dihormati oleh seluruh muslimin dan selalu dipenuhi oleh para peziarah, meskipun haluan pemikiran mereka berbeda-beda. Sedangkan, kuburan para raja dinasti Bani Abbâsiyah terletak di sampah-sampah bumi dan menjadi tempat anjing dan binatang-binatang buas lainnya berlindung. Realita ini menceritakan kezaliman dan kelaliman yang pernah mereka lakukan.

Ketika muslimin sendiri menolak untuk menghancurkan makam suci itu, Mutawakkil menyuruh beberapa orang Yahudi yang kotor untuk menghancurkannya. Mereka menghancurkan seluruh bangunan yang terdapat di sekeliling makam suci itu. Setelah itu, mereka mengalirkan air ke makam suci tersebut. Hanya saja, air itu tidak melahapnya. Ia hanya tergenang di sekitarnya. Oleh karena itu, makam suci itu dinamakan Al-Hâ'ir. Dari dalam makam suci itu keluar sebuah bau wangi yang masyarakat sekitar belum pernah mencium bebauan seharum itu ... Bau wangi itu adalah semerbak wangi risalah Islam, semerbak wangi kemuliaan dan kedermawanan.

Al-Jawâhirî menyenandungkan syair:

Kucium makam sucimu lalu semerbak mewangi bertebaran, semerbak mewangi kemuliaan dari tanah tak berair.

Muslimin marah besar terhadap Mutawakkil dan mencelanya pada setiap pertemuan dan majelis mereka, serta berdoa demi kebinasaannya setiap kali mereka usai mengerjakan salat. Lebih dari itu, mereka juga menulis plakat-plakat yang berisi celaan atasnya di dinding-dinding bangunan dan rumah. Bait-bait syair berikut ini tersebar luas di kalangan masyarakat kala itu:

Demi Allah, jika Bani Umaiyah telah membantai putra dari putri Nabi secara zalim,

Bani Abbâsiyah telah melakukan hal yang sama. Inilah makamnya dihancurkan,

karena menyesal mengapa tidak andil membantainya. Lalu, mereka mengganyangnya setelah dimakamkan.

Pemerintahan dan raja-raja pun datang silih berganti. Akan tetapi, makam suci Syayidus Syuhada' as. tetap tegar dan kokoh berdiri dan akan tetap menjadi simbol, kebanggaan, dan kemuliaan bagi umat Islam. Makam suci ini telah berhasil memiliki tempat di dalam hati sanubari muslimin dan para peziarahnya melebihi para peziarah Baitullah Al-Haram.


f. Bersama Imam Al-Hâdî

Pada pembahasan yang lalu, kami telah memaparkan peristiwa pemenjaraan dan penangkapan yang telah dialami oleh Imam Al-Hâdî as., serta pelarang harta zakat dan khumus para pengikut Syi'ah untuk sampai ke tangannya. Pada waktu itu, Imam Al-'Askarî as. masih berusia belia. Sanubari dan perasaannya tersiksa dan terluka oleh sikap-sikap keras yang telah diambil Mutawakkil untuk melawan Imam Al-Hâdî as. dan para pengikut Syi'ah. Hal itu berlanjut hingga Allah membebaskan masyarakat dari jeratan penguasa lalim ini, dan pucuk pemerintahan pun berpindah ke tangan Muntashir Al-Abbâsî. Berikut ini penjelasan tentang penguasa yang satu ini.


2. Pemerintahan Muntashir

Muntashir memegang tampuk kekuasaan setelah revolusi yang dipeloporinya untuk melawan ayahnya sendiri. Kegembiraan dan kebahagiaan meliputi seluruh ruang kehidupan para pengikut Syi'ah. Mimpi buruk yang kelam itu telah sirna dari dunia mereka dan Muntashir melakukan tindakan kebajikan kepada Bani Ali dan pengikut mereka. Ia juga membatalkan larang untuk menziarahi makam Sayidus Syuhada' as. dan mengembalikan tanah Fadak kepada Bani Ali as. Dan masih banyak lagi kebajikan-kebajikan yang telah ia perbuat bagi mereka.

Sangat disayangkan sekali masa pemerintahan penegak kebajikan yang mulia ini tidak berlangsung lama. Menurut mayoritas buku referensi sejarah, ia meninggal dunia dengan diracun atas dasar inisiatif orang-orang Turki. Dengan ini, satu lembar cemerlang yang memuat kemuliaan dan kepahlawanan telah ditutup.


3. Pemerintahan Musta'în

Musta'în memegang tampuk kekuasaan pada hari Ahad, tanggal 5 Rabi'ul Akhir 248 Hijriah. Para ahli sejarah menegaskan bahwa ia adalah sosok yang senang berfoya-foya, memusuhi kebenaran, dan membenci para imam pembawa petunjuk as-sebagaimana nenek moyangnya. Ia juga sangat membenci Imam Abu Muhammad as. Hal itu lantaran ia memiliki kedudukan yang tinggi di dalam hati muslimin dan sangat banyak sekali dari kalangan mereka yang meyakini imâmah-nya. Sedangkan ia sendiri dan nenek moyangnya tidak memiliki kedudukan sedikit pun di dalam hati mereka.

Sang lalim ini memerintahkan para kaki tangannya untuk menangkap Imam Abu Muhammad as., dan ia dijebloskan ke dalam penjara Awtâmesy. Isa bin Fath bersamanya di dalam penjara. Imam Al-'Askarî berkata kepadanya: "Hai Isa, kamu sekarang berusia enam puluh lima tahun satu bulan dan dua hari."

Isa terheran-heran dan melihat buku yang dibawanya. Di dalam buku itu tercatat tanggal kelahiran dirinya. Usianya sesuai dengan apa yang telah dikatakan oleh Imam Al-'Askarî itu.

Setelah itu, Imam Al-'Askarî bertanya lagi kepadanya: "Apakah kamu memiliki anak?"

"Tidak," jawab Isa pendek.

Imam Al-'Askarî berdoa untuknya seraya berkata: "Ya Allah, anugerahkanlah seorang anak baginya supaya anak itu menjadi tulang punggungnya. Sebaik-baik tulang punggung adalah seorang anak." Setelah berdoa demikian, ia membaca syair berikut ini:

Siapa memiliki tulang punggung, ia 'kan urusi hartanya yang terlalimi. Sungguh orang hina adalah orang yang tak bertulang punggung.

Isa kembali bertanya: "Wahai junjunganku, apakah Anda memiliki anak?"

Imam Al-'Askarî as. menjawab: "Demi Allah, aku akan memiliki seorang anak yang akan memenuhi bumi ini dengan keadilan. Untuk sekarang ini, saya masih belum memiliki anak ...."

Para pengikut Syi'ah khawatir atas penangkapan Imam Al-'Askarî tersebut dan kekhawatiran mereka ini bertambah ketika mereka mendengar berita bahwa Musta'în ingin membunuhnya. Imam Al-'Askarî as. menenangkan kekhawatiran mereka dan memberikan berita gembira kepada mereka bahwa dirinya akan selamat dan bahwa musuhnya yang lalim ini akan ditumbangkan setelah tiga hari. Berita yang telah diberikan olehnya itu terbukti dan sebelum tiga hari berlalu, Musta'în telah digulingkan oleh orang-orang berkebangsaan Turki.


4. Pemerintahan Mu'taz

Mu'taz adalah Zubair bin Ja'far Al-Mutawakkil. Ia memegang tampuk kekuasaan pada usia yang masih muda, sedangkan ia belum memiliki pengalaman yang cukup, belum ditempa oleh masa, dan belum memiliki keahlian yang mumpuni untuk menjalankan tugas-tugas politik dan manajemen negara. Oleh karena itu, ia menjadi alat permainan di tangan bangsa Turki dan mereka memperalat kekuasaannya sesuai dengan keinginan mereka.

Mu'taz sangat membenci Imam Abu Muhammad as. Ia menangkapnya dan menjebloskannya di balik jeruji-jeruji penjara. Ia sangat tersiksa oleh seluruh perilaku dan tindakan Mu'taz. Karena, Mu'taz sangat berlebih-lebihan dalam berbuat penganiyaan dan permusuhan terhadapnya. Imam Al-'Askarî berdoa kepada Allah supaya Mu'taz hancur. Dan Allah mengabulkan permohonannya dan membalas dendam terhadapnya dengan pembalasan yang sangat perih. Para pembesar bangsa Turki menuntut imbalan mereka. Baitul Mal kosong tak berisi uang sepeser pun. Ia merengek kepada ibunya yang menyimpan jutaan harta. Ia meminta uang itu kepada sang ibu dan ia enggan memberikannya. Kaum Turki itu menyerang Mu'taz dan menyeret kakinya. Mereka memukulnya dengan tongkat-tongkat berkepala dan menjemurnya di bawah terik sinar matahari pada musim panas yang menyengat, sedangkan mereka berseru: "Cabutlah dirimu dari kekuasaan ini." Mereka menghadirkan Hakim Baghdad dan beberapa tokoh, lalu mereka mencabutnya dari kekuasaan. Setelah lima hari berlalu dari masa pencabutan ini, mereka memasukkannya ke dalam sebuah kamar mandi. Ketika mandi, ia merada kehausan yang sangat. Mereka tidak memberikan air kepadanya. Setelah itu, mereka menenggakkan air es kepadanya, dan matilah dia.

Layak disebutkan di sini bahwa orang yang memimpin pmberontakan ini adalah Shâlih bin Washîf. Ia menyerang ibu Mu'taz dan merampas seluruh harta miliknya. Seluruh hartanya berjumlah lima ratus ribu dinar. Di samping itu, ia juga berhasil menemukan harta-harta simpanannya yang sangat banyak berada di bawah. Mereka menemukan sebuah rumah miliknya di bawah tanah yang berisi satu juta tiga ratus ribu dinar. Di dalam sebuah tas perhiasannya ditemukan sebuah batu zamrud yang tak seorang pun pernah melihat batu zamrud semacam itu. Begitu juga dalam sebuah tas perhiasannya yang lain, mereka mendapatkan sebuah batu permata yang sangat besar dan dalam tas perhiasaan ketiga mereka juga menemukan beberapa butir batu yaqut merah yang tiada tandingannya. Seluruh harta itu dibawa ke hadapan Shâlih. Melihat semua itu, ia berkomentar: "Ia rela mengantarkan anaknya terbunuh hanya demi tuntutan harta sebanyak lima puluh ribu dinar, sedangkan dia sendiri memiliki harta sebanyak ini." Ibu Mu'taz meninggalkan Baghdad menuju ke Mekah dan selalu berdoa demi kecelakaan Shâlih. Begitulah, akibat orang-orang zalim adalah kerugian yang nyata.


5. Pemerintahan Mahdi

Mahdi Al-Abbâsî memegang tampuk kekuasaan pemerintahan Islam pada saat ia telah berusia tiga puluh tujuh tahun. Ia memiliki permusuhan yang sangat dahsyat terhadap Ahlul Bait as. Ia telah mewarisi karakter ini dari nenek moyangnya yang telah menumpahkan segala bentuk amarah mereka atas Ahlul Bait as. dan menenggelamkan mereka ke dalam berbagai jenis cobaan dan kesengsaraan.

Sang lalim ini memerintahkan para kaki tangannya untuk menangkap Imam Abu Muhammad as. dan menjebloskannya ke dalam penjara selama beberapa hari. Di dalam penjara itu, seorang pengikut Syi'ah yang terpercaya (tsiqah) dan bersih bernama Abu Hâsyim bersamanya. Ia adalah salah seorang tokoh kenamaan Syi'ah. Imam Al-'Askarî berkata kepadanya: "Hai Abu Hâsyim, sesungguhnya sang lalim ini ingin membunuhku pada malam ini, dan Allah telah memendekkan usianya."

Sebagian pengikut Syi'ah pernah menulis surat kepada Imam Abu Muhammad yang isinya: "Kami mendapat berita bahwa Mahdî (Al-Abbâsî) mengancam Syi'ah Anda sembari berkata, 'Demi Allah, aku akan mengusir mereka ke sebuah tanah yang baru.'"

Imam Hasan Al-'Askarî as. menjawab surat tersebut yang isinya: "Hal itu adalah lebih penek dari usianya. Hitunglah lima hari dari sekarang. Ia akan dibunuh pada hari keenam setelah menderita kehinaan dan pelecehan."

Berita yang telah diprediksikan oleh Imam Abu Muhammad as. tersebut betul terjadi. Bangsa Turki menyerang Mahdî dan menusuknya dengan pisau dan belati. Salah seorang pemimpin pemberontakan yang berkebangsaan Turki itu mengisap darah yang mengucur deras dari lukanya. Pada waktu itu, ia sedang mabuk sempoyongan. Setelah mengisap darah itu, ia berkata kepada para sahabatnya: "Aku telah kenyang dengan darah Mahdî sebagaimana aku telang kenyang dengan khamar pada hari ini."

Dengan ini, berakhirlah kehidupan Mahdî yang selalu memusuhi Imam Al-'Askarî as. itu.


6. Pemerintahan Mu'tamid

Mu'tamid berhasil memegang tampuk kekuasaan pada saat ia sedang berusia dua puluh lima tahun. Ia sangat suka berfoya-foya dan berpesta-pora. Ia selalu memantau dan memonitor seluruh gerak-gerik masyarakat, satu tindakan yang telah membangkitkan kebencian mereka kepadanya.

Pada masa kekuasaannya ini, Imam Al-'Askarî as. mengalami kesengsaraan yang amat mengerikan. Mu'tamid memerintahkan supaya ia ditangkap dan ditawan. Ia memerintahkan kepada kepala penjara untuk melaporkan setiap berita dan informasi baru tentang Imam Al-'Askarî. Kepada penjara ini melaporkan kepadanya bahwa Imam Al-'Askarî tidak pernah melakukan sebuah tindakan pun yang bertentangan dengan politik dinasti Bani Abbâsiyah. Lebih dari itu, ia telah memutuskan diri dari dunia dengan melakukan puasa di siang hari dan menghidupkan malam dengan ibadah. Pada kali yang lain, Mu'tamid pernah menanyakan informasi baru mengenai Imam Al-'Askarî, dan kepala penjara itu melaporkan hal yang sama. Setelah mendengar laporan itu, Mu'tamid membebaskannya dan memohon maaf kepadanya. Kepala penjara bergegas pergi untuk memberitahukan kebebasannya itu, dan ia mendapatkan Imam Al-'Askarî telah bersiap-siap untuk keluar dari penjara. Ia telah mengenakan pakaian dan memakai sepatu khuf-nya. Ia terheran-heran dengan itu seraya menyerahkan surat Mu'tamid kepadanya. Di dalam penjara itu, ia bersama Ja'far, saudaranya. Ia enggan keluar dari penjara sebelum Ja'far dikeluarkan.

Ala kulli hal, Imam Al-'Askarî as. masih saja menghadapi berbagai jenis kesengsaraan dan pelecehan dari sang lalim ini. Ia meletakkan prajurit-prajurit kerajaan yang tak terhitung jumlahnya untuk menghitung setiap tarikan napasnya dan mengusir setiap pengikut Syi'ah yang ingin berjumpa dengannya.


Imam Al-'Askarî Dibunuh

Keberadaan Imam Abu Muhammad as. sudah tidak tertahankan lagi oleh sang lalim Abbasi ini. Hal itu lantaran ia mendengar berita bahwa seluruh masyarakat menyucikan, mengagungkan, dan lebih mengutamakannya atas seluruh Bani Ali dan Bani Abbâsiyah. Akhirnya, Mu'tamid mengambil keputusan untuk membunuhnya, dan ia meracuninya dengan racun yang mematikan. Ketika Imam Al-'Askarî meminum racun tersebut, racun itu meracuni sekujur tubuh sucinya dan ia tidak bisa beranjak dari tempat tidur. Karena kekerasan racun itu, ia menderita rasa sakit yang tak terperikan, sedangkan ia tetap bersabar sembari menyerahkan segala urusan kepada Allah swt.

Mu'tamid memerintahkan lima orang kepercayaannya untuk selalu mengawasi rumah Imam Al-'Askarî as. dan mencari tahu tentang seluruh gerak-beriknya, sebagaimana ia juga memerintahkan tim dokter untuk melakukan pemeriksaan atas tubuhnya siang dan sore. Ia juga memerintahkan mereka untuk tidak meninggalkan rumahnya. Tujuan perintah ini adalah untuk mencari tahu tentang putra Imam Al-'Askarî, sang reformis agung yang telah diberitagembirakan oleh Nabi saw.


Menuju Surga Abadi

Kondisi Imam Hasan Al-'Askarî semakin parah dan para dokter telah putus asa. Ajalnya pun mendekat dengan cepat. Dalam kondisi seperti ini, ia senantiasa membaca zikir dan ayat-ayat Al-Qur'an hingga rohnya yang agung naik menghadap Allah swt. dengan diiringi oleh para malaikat Rahman dan seraya disambut oleh para nabi Allah dan rasul-Nya.

Kepergiannya ini adalah sebuah malapetaka yang telah menimpa muslimin yang hidup kala itu. Mereka telah kehilangan seorang pemimpin, pendidik, penunjuk jalan, dan reformis yang senantiasa memperhatikan kemaslahatan diri mereka.


Persiapan Pemakaman

Jenazah Imam Hasan Al-'Askarî as. dimandikan. Setelah di-tahnîth, tubuh suci itu dimasukkan ke dalam kafan. Jenazah suci itu digotong untuk disalati. Putranya, Hujah Allah di atas bumi ini, Imam Al-Muntazhar as. menyalati jenazah sang ayah. Setelah itu, Abu Isa bin Mutawakkil maju ke depan dan menyingkap wajah Imam Al-'Askarî as. seraya memperlihatannya kepada Bani Hâsyim dari kalangan Bani Ali dan Bani Abbâsiyah, para petinggi militer, para sekretaris kerajaan, para kepala kantor-kantor pemerintah, para hakim, dan lain sebagainya sembari berkata kepada mereka: "Hasan bin Muhammad bin Ar-Ridhâ meninggal dunia secara alamiah di atas tempat tidurnya. Di antara para pembantu Amirul Mukminin yang hadir pada saat itu adalah Polan dan Polan, di antara tim dokter adalah Polan dan Polan, dan di antara para hakim adalah Polan dan Polan." Setelah berkata demikian, ia menutupi kembali wajah Imam Al-'Askarî as. yang suci itu. Ia melakukan tindakan itu dengan tujuan menepis tuduhan yang telah tersebar di kalangan masyarakat bahwa Mu'tamid telah membunuh Imam Al-'Askarî.


Ke Liang Lahat

Seluruh lapisan masyarakat Samirra' keluar untuk mengantarkan jenazah Imam Al-'Askarî as. ke liang lahat. Seluruh kantor pemerintah, pusat-pusat perdagangan, dan pasar tutup. Kota Samirra' mirip dengan kondisi hari kiamat. Di sepanjang sejarahnya, kota ini tidak pernah menyaksikan ritual pengantaran jenazah yang dihadiri oleh seluruh lapisan masyarakat dengan perbedaan kasta dan alur pemikiran yang mereka miliki seperti ini. Mereka mengantarkan jenazahnya sembari menghitung-hitung keutamaannya dan menyebutkan malapetaka dan kerugian yang telah menimpa muslimin.


Di Persemayaman Terakhir

Tubuh suci Imam Hasan Al-'Askarî as. digotong dengan diiringi oleh gemuruh takbir dan takzim menuju persemayamannya yang terakhir. Tubuh suci itu dimakamkan di rumahnya di sisi sang ayah, Imam Al-Hâdî as. Dengan menguburkan sempalan hati Rasulullah saw. ini, mereka telah mengubur juga manifestasi kesabaran, ilmu, dan ketakwaan.

Dengan ini, kami menutup pembahasan tentang sejarah hidup Imam Abu Muhammad as. Jika pembaca budiman ingin mengetahui sejarah kehidupannya ini lebih dalam lagi, silakan Anda rujuk buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Hasan Al-'Askarî as.


Catatan Kaki:

1. Akhbâr Ad-Duwal, hal. 117; Bahr Al-Ansâb, hal. 2.
2. Tadzkirah Al-Khawwâsh, hal. 324.
3. Târîkh Abi Al-Fidâ', jilid 2, hal. 48.
4. An-Nujûm Az-Zâhirah, jilid 3, hal. 32.
5. Bahr Al-Ansâb, hal. 2; Akhbâr Ad-Duwal, hal. 167; Al-Ithâf bin Hubb Al-Asyrâf, hal. 86.
6. Dâ'irah Al-Ma'ârif, karya Al-Bustânî, jilid 7, hal. 45.
7. Hayâh Al-Imam Hasan Al-'Askarî as., hal. 19.
8. Al-Ithâf bin Hubb Al-Asyrâf, hal. 86.
9. Dâ'irah Al-Ma'ârif, karya Al-Bustânî, jilid 7, hal. 45; Jawharah Al-Kalâm fi Mad-h As-Sâdah Al-A'lâm, hal. 155.
10. A'yân Asy-Syi'ah, jilid 4, hal. 295, bagian kedua.
11. Hayâh Al-Imam Hasan Al-'Askarî as., hal. 40.
12. Hayâh Al-Imam Hasan Al-'Askarî as., hal. 40.
13. Jabul adalah sebuah desa yang terletak di pesisir sungai Dajlah, Irak-pen.
14. Sûrâ' adalah sebuah daerah di Irak yang terletak di kota Babylion. Daerah ini adalah tempat kediaman bangsa Suryânî-pen.
15. Kasyf Al-Ghummah, jilid 3, hal. 300.
16. Hayâh Al-Imam Hasan Al-'Askarî as., hal. 38.
17. Kasyf Al-Ghummah, jilid 3, hal. 2.
18. Hayâh Al-Imam Hasan Al-'Askarî as., hal. 42.
19. Tuhaf Al-'Uqûl, hal. 519.
20. Ibid.
21. Hayâh Al-Imam Hasan Al-'Askarî as., hal. 99.
22. Bihâr Al-Anwâr, jilid 5, hal. 299.
23. Hayâh Al-Imam Hasan Al-'Askarî as., hal. 98.
24. Tuhaf Al-'Uqûl, hal. 518.
25. Nûr Al-Abshâr, hal. 153.
26. I'lâm Al-Warâ, hal. 372.
27. Nûr Al-Abshâr, hal. 152.
28. Ibid.
29. Manâqib Al Abi Thalib, jilid 4, hal. 435.
30. I'lâm Al-Warâ, hal. 375; Al-Manâqib, jilid 4, hal. 437.
31. Rawdhât Al-Jannât, jilid 4, hal. 273-274.
32. Ibid., hal. 276.
33. Murûj Adz-Dzahab, jilid 4, hal. 43.
34. Baina Al-Khulafâ' wa Al-Khula'â' fi Al-'Ashr Al-Abbâsî, hal. 115.
35. Tsimâr Al-Qulûb, hal. 123.
36. Mir'âh Az-Zamân, jilid 6, hal. 69.
37. Dâ'irah Ma'ârif Al-Qarn Al-'Isyrin, jilid 10, hal. 964.
38. Zuhar Al-Adab, jilid 4, hal. 3.
39. Baina Al-Khulafâ' wa Al-Khula'â' fi Al-'Ashr Al-Abbâsî, hal. 108.
40. Mir'âh Az-Zamân, jilid 6, hal. 169.
41. Maqâtil Ath-Thâlibiyyîn, hal. 579.
42. Ibid., hal. 599.
43. Hayâh Al-Imam Hasan Al-'Askarî as., hal. 202.
44. Jawharah Al-Kalâm, hal. 155.
45. Muhaj Ad-Da'awât, hal. 273.
46. Al-Ghaibah, karya Syaikh Thusi, hal. 632.
47. Târîkh Al-Khulafâ', hal. 36.
48. Târîkh Ibn Al-Atsîr, jilid 5, hal. 544.
49. Murûj Adz-Dzahab, jilid 4, hal. 124.
50. Muhaj Ad-Da'awât, hal. 274.
51. Murûj Adz-Dzahab, jilid 4, hal. 127.
52. Ibid., hal. 128.
53. Ibid.
54. Muhaj Ad-Da'awât, hal. 274.
55. Al-Irsyâd, hal. 383.
56. Ibid.
57. Ibid.


IMAM MAHDI AL-MUNTAZHAR

Kita sedang berada di hadapan harapan nilai-nilai insani, nilai-nilai nsani yang terkoyak dan dihancurkan oleh kajahatan perang dan dibasmikan oleh ketamakan kaum Imperialis. Kita sedang berada di hadapan keadilan tegar yang akan membasmikan kezaliman, meluluh-lantakkan sistem perbudakan, dan menghancurkan kelaliman, menebar rahmat dan menyebar cinta kasih di tengah-tengah umat manusia, serta memenuhi hati orang-orang tertindas dengan harapan dan rahmat.

Kita sedang berada di hadapan Al-Qâ'im keluarga Muhammad saw. yang telah dipersiapkan oleh Allah swt. untuk memperbaiki dunia dan merombak sistem-sistem pemerintahan bejat yang telah menjerumuskan umat manusia ke dalam jurang dalam yang tidak memiliki kestabilan. Kita sedang berada di hadapan figur yang telah dipilih dan dipersiapkan oleh Allah untuk memenuhi bumi dengan keadilan, setelah bumi ini dipenuhi oleh kezaliman dan kelaliman.

Sesungguhnya Allah swt. telah memilih wali-Nya yang teragung, wali-Nya yang paling pemberani, wali-Nya yang memiliki bashirah yang paling peka, dan wali-Nya yang paling rendah hati untuk merealisasikan perbaikan yang menyeluruh dan universal ini. Cukuplah sebagai bukti kedudukannya yang agung bahwa ia berasal dari Ahlul Bait yang telah dbersihkan oleh Allah dari segala jenis kotoran dan disucikan sesuci-sucinya.

Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan sekilas sejarah kehidupan dan biografi manifestasi keadilan dan harapan kaum tertindas ini.


Sang Putra yang Agung

Dunia terang benderang dengan kelahiran sang reformis agung yang akan mengembalikan kejayaan dan nikmat Islam kepada umat manusia dan meyelamatkan mereka dari segala jenis kezaliman dan kelaliman. Termasuk karunia Allah swt. yang agung ketika Dia merahasiakan kehamilan dan kelahirannya, sebagaima Dia juga pernah merahasiakan kehamilan dan kelahiran nabi-Nya, Mûsâ bin 'Imrân as.

Para ahli sejarah meriwayatkan kisah kelahiran Imam Mahdî as. Menurut mereka, Imam Hasan Al-'Askarî as. memanggil bibinya yang bernama Sayyidah Hakîmah, salah seorang putri Imam Muhammad Al-Jawâd as. Sayyidah Hakîmah menyerupai neneknya, Fathimah Az-Zahrâ' as. dalam sisi ibadah, kemuliaan, dan kesucian. Ketika ia sampai, Imam Al-'Askarî as. menyambutnya dengan seluruh penghormatan dan pengagungan. Ia berkata kepadanya: "Hai bibiku, berbuka puasalah malam ini di rumahku. Allah 'Azza Wajalla akan memberikan berita gembira kepada Anda dengan (kelahiran) wali dan hujah-Nya, serta khalifahku sepeninggalku."

Sayyidah Hakîmah sangat gembira dan bahagia. Ia bertanya: "Semoga Allah menjadikanku sebagai tebusan Anda! Wahai junjunganku, dari siapakah khalifah ini akan lahir?"

"Sûsan," jawab Imam Al-'Askarî pendek.

Sayyidah Hakîmah menoleh ke arah Sûsan dan ia tidak melihat tanda-tanda kehamilan. Ia berkata lagi: "Ia tidak hamil."

Imam Al-'Askarî as. tersenyum seraya berkata kepadanya dengan halus: "Jika waktu fajar tiba, kehamilannya akan nampak bagimu. Sûsan adalah sama seperti ibunda Mûsâ. Ibunda Mûsâ juga tidak memiliki tanda-tanda kehamilan dan tak seorang pun tahu tentang hal itu hingga ia melahirkan. Hal itu karena Fir'aun selalu merobek setiap perut wanita yang hamil demi mencari Mûsâ. Anakku ini adalah sama seperti Mûsâ."

Sayyidah Hakîmah bermalam di rumah keponakannya itu. Ketika waktu salat Maghrib tiba, ia mengerjakan salat Maghrib. Lalu, ia berbuka puasa bersama Sayyidah Sûsan, ibunda Imam Al-Muntazhar. Setelah usai berbuka puasa, ia menuju ke tempat tidur. Ketika akhir malam tiba, ia bangun untuk mengerjakan salat malam. Ketika sampai di rakaat terakhir-yaitu, salat Witir, Sayyidah Sûsan melompat (dari tempat tidur) dalam kondisi takut dan gemetar. Ia juga mengerjakan salat sunah malam. Setelah usai mengerjakan salat sunah malam, ia merasakan rasa sakit hendak melahirkan. Sayyidah Hakîmah bergegas menjumpainya seraya berkata kepadanya: "Apakah kamu merasakan sesuatu?"

Sayyidah Sûsan menjawab dengan penuh rasa ketakutan dan kekhawatiran: "Sungguh aku menemukan sesuatu yang sangat dahsyat."

Sayyidah Hakîmah menenangkannya seraya berkata kepadanya dengan penuh kasih sayang: "Kamu tidak takut, insya Allah."

Tidak lama berselang, Sayyidah Sûsan melahirkan putranya yang agung yang akan membersihkan bumi ini dari kotoran orang-orang lalim dan kezaliman orang-orang zalim, serta menegakkan hukum Allah swt. di muka bumi ini.

Ketika Imam Al-'Askarî as. diberitahukan tentang kelahiran sang putra, ia sangat gembira dan bahagia. Ia mulai membohongkan tekad para lalim dari kalangan penguasa Bani Abbâsiyah yang selalu berkehendak ingin membunuhnya dan memutus keturunannya seraya berkata: "Para zalim itu menyangka akan dapat membunuhku untuk memutus keturunan ini. Bagaimana mereka melihat kekuatan Allah ini?"


Acara Ritual Kelahiran

Imam Hasan Al-'Askarî as. menyambut kelahiran sang putra dengan kebahagiaan dan kegembiraan yang luar biasa. Ia melaksanakan acara ritual kelahiran atas putra yang baru lahir ini. Ia mengumandangkan azan di telinga kanannya dan membacakan iqamah di telinga kirinya. Ia telah memperdengarkan dengungan Allahu Akbar, lâ ilâha illallâh di telinganya.

Dengan ritual ini, Imam Al-'Askarî as. telah memberikan makanan spiritual kepadanya dengan kalimat-kalimat yang merupakan rahasia wujud dan missi terpenting para nabi as. itu. Sang putra yang baru lahir itu berbicara (seraya melantunkan) ayat Al-Qur'an yang berfirman: "Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di muka bumi dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan orang-orang yang mewarisi bumi, serta akan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi dan akan Kami perlihatkan kepada Fir'aun dan Haman beserta bala tentaranya apa yang selalu mereka khawatirkan." (QS. Al-Qashash [28]:5-6)

Pemimpin teragung ini telah dilahirkan dalam kondisi rahasia dan tersembunyi semacam ini lantaran khawatir atas ancaman dinasti Bani Abbâsiyah yang selalu melakukan monitoring atasnya dengan ketat demi menghabisi jiwanya. Hal itu mereka lakukan karena meyakini bahwa ia adalah figur yang akan membasmi kerajaan dan kekuasaan mereka.

Ala kulli hal, Sayyidah Hakîmah menggendong bayi yang baru lahir itu dan menciuminya seraya berkata: "Aku mencium sebuah bau semerbak mewangi dari tubuhnya yang aku belum pernah mencium bau sewangi itu selama ini." Setelah itu, Imam Al-'Askarî as. menggendongnya seraya berkata: "Aku menitipkanmu kepada Allah sebagaimana Dia pernah menitipkan kepada ibunda Mûsâ. Hiduplah berada di bawah karunia Allah, tabir-Nya, dan haribaan-Nya." Setelah berkata demikian, ia menoleh ke arah bibinya seraya berpesan: "Rahasiakanlah berita kelahiran sang bayi ini dan janganlah kamu beritahukan hal ini kepada siapa pun sehingga kitab sampai kepada masanya."


Undangan Makan Massal

Setelah kelahiran sang putra yang penuh berkah itu, Imam Hasan Al-'Askarî as. menyuruh seseorang untuk membeli daging dan roti dalam jumlah yang banyak demi disedekahkan kepada orang-orang fakir-miskin yang hidup di kota Samirra'. Di samping itu, ia juga melakukan akikah untuknya dengan menyembelih tujuh puluh ekor kambing dan mengirimkan empat ekor di antaranya kepada Ibrahim dengan disertai surat yang berisi: "Kambing-kambing ini berasal dari anakku, Muhammad Al-Mahdî. Makanlah kambing-kambing itu dan ajaklah pengikut kami yang kamu jumpai untuk makan bersama."


Kebahagiaan Para Pengikut Syi'ah

Kebahagiaan dan kegembiraan yang tak terkira mendominasi seluruh masyarakat Syi'ah atas kelahiran pemimpin yang agung ini. Mereka datang silih berganti menjumpai Imam Abu Muhammad as. untuk mengucapkan selamat atas kelahiran sang putra yang penuh berkah itu. Salah seorang di antara mereka adalah Hasan bin Hasan Al-'Alawî. Ia bercerita: "Aku bertamu ke rumah Abu Muhammad Hasan bin Ali dan kuucapkan selamat atas kelahiran putranya Al-Qâ'im di Samirra'."

Seseorang pernah berkata kepada Hamzah bin Fath: "Kabar gembira! Tadi malam putra Abu Muhammad telah lahir." Hamzah bertanya: "Siapakah namanya?" Orang itu menjawab: "Muhammad dan nama panggilannya adalah Abu Ja'far."


Nama Sang Putra

Pemimpin yang agung ini diberi nama seperti nama kakeknya, Rasulullah yang agung saw. yang telah berhasil memancarkan sumber-sumber hikmah dan ilmu pengetahuan di muka bumi ini. Para perawi hadis sepakat bahwa orang yang telah memberi namanya dengan nama tersebut adalah kakeknya, Rasulullah saw. Ia diberi gelar Al-Mahdî lantaran ia memberikan petunjuk jalan kepada agama yang benar. Gelar ini adalah gelarnya yang sangat dikenal oleh masyarakat luas.


Perjumpaan dengan Syi'ah

Imam Hasan Al-'Askarî as. menunjukkan sang putra yang agung itu kepada para pengikut Syi'ah yang tulus dan terpilih sehingga tak seorang pengingkar pun mengingkari keberadaannya dan juga tak seorang peragu pun yang meragukan kelahirannya. Mereka semua berjumlah empat puluh orang. Di antara mereka adalah Muhammad bin Ayyûb, Muhammad bin 'Utsmân, dan Mu'âwiyah bin Hakîm. Ia berpesan kepada mereka: "Anak ini adalah imammu sepeninggalku dan khalifahku atas kamu semua. Taatilah ia dan janganlah kamu berpecah-belah dalam masalah agama sepeninggalku, karena kamu pasti binasa. Ingatlah bahwa kamu sekalian tidak akan pernah melihatnya lagi setelah hari ini."

Imam Al-'Askarî as. telah menyempurnakan hujah kepada para pengikutnya dan memperkenalkan mereka kepada imam mereka supaya mereka dapat menjadi saksi-saksi yang jujur untuk menyampaikan amanat mereka itu kepada selain mereka.


Karakter yang Tinggi

Tidak ada satu karakter sempurna pun kecuali ia menjadi karakter substantif sang reformis agung ini. Allah telah menciptakannya dari cahaya, memberisakannya dari setiap kekurangan, menyucikannya dari segala kotoran, dan menyimpannya untuk memperbaiki hamba-Nya dan menegakkan agaman-Nya. Di antara karakter-karakter agung tersebut adalah berikut ini:


a. Keluasan Ilmu Pengetahuan

Sebuah realita yang pasti adalah, bahwa Imam Mahdî as. adalah figur manusia yang memiliki penguasaan yang paling sempurna dan luas atas seluruh janis dan bidang ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan yang baru maupun yang kuno. Tidak ada satu bidang ilmu pun di dunia ini kecualinya telah menguasainya secara sempurna. Nenek moyangnya telah mengungkapkan ketinggian kedudukan ilmiahnya ini sebelumnya diciptakan. Marilah kita simak ungkapan-ungkapan mereka dalam hal ini:

a. Imam Amirul Mukminin as. berkata: "Dia adalah figur yang memiliki tempat perlindungan yang paling lapang, yang memiliki ilmu

pengetahuan yang paling luas, dan yang lebih menyambung tali silaturahmi."

b. Hârits bin Mughîrah bercerita: "Aku pernah bertanya kepada Abu Abdillah Husain bin Ali as., 'Dengan tanda apakah Al-Mahdî bisa diketahui?' Ia menjawab, 'Dengan pengetahuannya terhadap halal dan haram dan dengan kebutuhan masyarakat kepadanya, sedangkan ia sendiri tidak membutuhkan siapa pun.'"

c. Imam Abu Ja'far Al-Bâqir as. berkata: "Urusan-yakni imâmah-ini akan dipegang oleh seorang keturunan kami yang paling muda dan paling bagus nama baiknya. Allah mewariskan ilmu pengetahuan kepadanya dan Dia tidak akan pernah menyerahkan (urusan)nya kepada dirinya sendiri."

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ketika muncul kembali, ia akan mengadakan perdebatan dengan orang-orang Yahudi dengan bersandarkan kepada kitab Taurat, dan mayoritas mereka akan memeluk agama Islam.

Pada masa periode Ghaibah Shughra, Imam Mahdî as. menjadi tempat rujukan tertinggi bagi dunia Islam dalam masalah-masalah Fiqih dan lain sebagainya. Empat wakil khususnya senantiasa menghaturkan masalah-masalah yang ditanyakan oleh muslimin kepadanya dan ia menjawab seluruh pertanyaan tersebut. Buku-buku referensi Fiqih mazhab Imamiah penuh dengan jawabannya itu. Para fuqaha menjadikan jawaban itu sebagai sandaran dalam mengeluarkan fatwa berkenaan dengan sebuah hukum syariat. Syaikh Shadûq as. telah menulis dengan tangannya sendiri fatwa-fatwa Imam Mahdî itu dalam jumlah yang sangat banyak.

Suatu realita yang pasti adalah, bahwa ketika Imam Mahdî as. telah muncul kembali, seluruh ilmuwan dunia, baik dalam bidang Medis, Fisika, dan bidang-bidang ilmu pengetahuan yang lain akan berjumpa dengannya untuk menguji tingkat keilmuannya, dan ia pasti akan menjawab mereka dengan jawaban yang paling jitu. Dengan demikian, mereka akan memeluk agama Islam dan tak seorang pun tersisa kecuali meyakini kepemimpinannya.


b. Kezuhudan

Seluruh sejarah kehidupan para imam pembawa petunjuk as. ini memiliki keserupaan dalam segala bidang pemikiran dan ilmiah. Di antara titik-titik kesamaan itu juga adalah kezuhudan terhadap dunia dan kepenolakan terhadap seluruh kelezatan dan kegemerlapannya. Anda tidak membaca sejarah hidup seorang imam dari mereka kecuali Anda pasti menemukan bahwa karakternya yang paling menonjol adalah kezuhudan terhadap harta dunia. Mereka semua mengikuti jejak junjungan mereka, junjungan 'Itrah yang suci, yaitu Imam Amirul Mukminin as. yang telah menceraikan dunia sebanyak tiga kali sehingga tidak ada istilah rujuk setelah itu. Di atas jalan benderang inilah, keturunannya menjalani kehidupan ini.

Telah banyak hadis yang diriwayatkan dari para imam maksum as. yang menegaskan kezuhudan Imam Al-Muntazhar as. sebelumnya sendiri dilahirkan. Di antara hadis-hadis itu adalah sebagai barikut ini:

a. Mu'ammar bin Khallad meriwayatkan dari Imam Abul Hasan Ar-Ridha as. bahwa ia berkata: "Al-Qâ'im tidak memiliki pakaian kecuali pakaian yang kasar dan tidak memiliki makanan kecuali makanan yang kasar pula."( )

b. Ali bin Hamzah dan Wuhaib, masing-masing meriwayatkan dari Imam Ash-Shadiq as. bahwa ia berkata: "Alangkah tergesa-gesanya kamu sekalian menunggu kemunculan Al-Qâ'im. Demi Allah, ia tidak memiliki pakaian kecuali pakaian yang kasar dan tidak memiliki makanan kecuali gandum yang kasar pula."( )

c. Abu Bashir meriwayatkan dari Imam Ash-Shadiq as. bahwa ia berkata: "Ia tidak memiliki pakaian kecuali pakaian yang kasar dan tidak memiliki makanan kecuali (gandum) yang kasar pula."( )

Seandainya sirah kehidupannya tidak sejalan dengan kezuhudan semacam ini, niscaya Allah swt. tidak akan memilihnya untuk melaksanakan tugas reformasi (atas kondisi umat manusia) dari sejak Dia menciptakan bumi ini. Beliaulah figur yang akan memenuhi bumi ini dengan keadilan setelah dienuhi oleh kezaliman dan kelaliman, menyelamatkan umat manusia yang terlalimi dari kezaliman orang-orang zalim dan kesombongan para penguasa, dan menebarkan karunia dan rahmat Allah di kalangan orang-orang tertindas. Dengan itu semua, tidak akan tersisa bayangan kefakiran dan kemiskinan.


c. Kesabaran

Salah satu karakteristik jiwa Imam Al-Muntazhar as. yang lain adalah kesabaran atas segala ujian dan malapetaka. Ia adalah salah sorang imam yang akan menghadapi ujian dan malapetaka yang paling berat. Selama periode yang panjang ini, ia telah menyaksikan peristiwa-peristiwa mengerikan yang telah menyerang dan menghujam dunia Islam. Salah satu peristiwa yang sangat menyakitkan hati itu adalah seluruh lapisan umat Islam menjadi buruan kaum Imperialis kafir. Kaum ini telah menebarkan kemungkaran di dalam kehidupan mereka, menghentikan hukum-hukum Allah, merampas seluruh kekayaan mereka, dan ikut campur tangan dalam seluruh urusan dalam negeri yang sangat menentukan masa depan mereka. Sebagai seorang pemimpin spiritual pada masa kini dan ayah penyayang bagi seluruh muslimin, ia melihat semua malapetaka itu dan ia tetap bersabar seraya menyerahkan seluruh urusan kepada Allah swt. hingga Dia mengizinkan dan memerintahkannya untuk keluar mengomandokan jihad.


d. Keberanian

Imam Mahdî as. adalah figur yang memiliki hati paling pemberani dan tekad yang paling kokoh. Ia tidak berbeda dengan kakeknya, Rasulullah saw. dalam sisi kekokohan jiwa dan kekuatan kehendak. Rasulullah saw. telah menghadapi para srigala kemusyrikan dan singa kekufuran yang senantiasa ingin melipat bendera Islam dan memadamkan cahaya Allah swt. Tapi, dengan kekuatan kehendaknya, beliau berhasil memanen kepala-kepala mereka dan memporak-porandakan barisan bala tentara mereka, serta mengibarkan bendera Allah di muka bumi ini. Dengan mengemban peran yang sama, cucunya, Imam Al-Muntazhar as. akan bangkit dan menenggakkan minuman pahit ke mulut orang-orang zalim dan sombong dan mengembalikan kemuliaan dan kejayaan Islam yang tidak akan pernah mengenal kehinaan lagi. Tak ada satu kekuatan pun di dunia ini yang akan mampu melawannya dan seluruh masyarakat dunia akan tunduk patuh terhadap segala titahnya. Dengan itu, bendera Tauhid akan berkibar di seluruh penjuru dunia.


e. Kedermawanan

Imam Al-Muntazhar as. adalah sosok manusia yang paling dermawan dan murah tangan. Di bawah kekuasannya, tidak akan tersisa satu pun bayangan kefakiran dan kemiskinan. Marilah kita simak hadis-hadis yang telah diriwayatkan dari nenek moyangnya tentang kedermawannya berikut ini:

a. Abu Sa'îd meriwayatkan dari Nabi saw. bahwa beliau pernah menceritakan tentang kedermawanan Imam Mahdî as. Beliau bersabda: "Seorang rakyat akan datang menjumpainya seraya berkata kepadanya, 'Wahai Mahdî, tolonglah aku, tolonglah aku!' Ia akan memenuhi pakaian orang itu dengan uang sehingga ia tidak dapat membawanya."

b. Jâbir bercerita: "Seseorang pernah datang menjumpai Imam Abu Ja'far as. sedangkan aku hadir di situ. Orang itu berkata kepadanya, 'Semoga Allah merahmati Anda! Terimalah khumus yang berjumlah seratus dirham ini dan gunakanlah pada tempat-tempat pemakaiannya. Harta ini adalah zakat harta-hartaku.'

Abu Ja'far berkata kepadanya, 'Kamu ambil sendiri dan berikanlah kepada tetangga-tetanggamu, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta saudara-saudaramu dari kalangan muslimin. Cara pembagian semacam ini akan terjadi pada saat Al-Qâ'im kami muncul. Ia akan melakukan pembagian (harta) secara sama rata dan menyamaratakan keadilan terhadap seluruh makhluk Dzat Yang Maha Pengasih, baik makhluk yang baik maupun yang jahat. Barang siapa menaatinya, ia telah menaati Allah dan barang siapa menentangnya, ia telah menentang Allah. Ia dinamai Al-Mahdî karena ia akan memberikan petunjuk kepada sebuah perkara yang samar. Ia akan mengeluarkan Turat dan seluruh kitab (samawi) yang lain dari sebuah goa yang berada di Anthaqiyah dan ia akan menjalankan hukum atas pengikut Taurat dengan bersandarkan kepada kitab Taurat, atas pengikut Injil dengan bersandarkan kepada kitab Injil, atas pengikut Zabur dengan menggunakan kitab Zabur, dan atas pengikut Furqân dengan bersandarkan kepada Al-Furqân. Seluruh harta dunia, baik yang berada di dalam perut bumi maupun yang nampak di atasnya akan terkumpul di tangannya, dan lalu ia berkata kepada seluruh manusia, 'Kemari dan ambillah apa yang telah menyebabkan kamu sekalian memutus tali silaturahmi-ia mengisyaratkan kepada harta-harta itu-dan menumpahkan darah, serta melanggar larangan-larangan Allah.' Setelah berkata demikian, ia akan memberikan harta kepada mereka dalam jumlah yang belum pernah diberikan oleh siapapun sebelum dia."

Dan masih banyak hadis-hadis lain yang menegaskan bahwa ia adalah lautan kedermawan dan kemurahan tangan, serta bahwa ia akan berbuat derma kepada seluruh makhluk Allah swt. demi menyelamatkan mereka dari ketelanjangan dan kelaparan, serta meratakan kekayaan di tengah-tengah mereka.


f. Kokoh dalam Memegang Kebenaran

Imam Al-Muntazhar as. adalah salah seorang figur yang paling kokoh dalam membela kebenaran dan tidak peduli dengan celaan para pencela. Karakternya ini persis seperti karakter nenek moyang sucinya yang telah tegar membela kebenaran dan menghaturkan jiwa-jiwa mereka sebagai korban demi menebarkan keadilan sosial di tengah-tengah masyarakat.

Jika dunia ini menjadi terang benderang dengan kemunculan Al-Qâ'im keluarga Muhammad saw, ia akan menegakkan kebenaran dengan seluruh arti dan maknanya, sertanya tidak akan meninggalkan bayangan kezaliman dan kelaliman sedikit pun kecualinya akan membasmikan dan memusnahkannya.


Ibadah

Suatu hal yang pasti adalah, bahwa ibadah Imam Al-Muntazhar as. adalah persis seperti ibadah nenek moyang sucinya yang telah menghibahkan seluruh hidup mereka untuk Allah swt. Mereka telah menginfakkan mayortas hidup mereka dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah dan khusyuk di haribaan-Nya dengan berpuasa di siang hari dan beribadah di malam hari. Mereka tekun melakukan salat, membaca doa, dan melantunkan Al-Qur'an. Di atas jalan yang cemerlang ini jualah, Imam Al-Muntazhar as. berjalan. Para perawi hadis telah meriwayatkan banyak doa mulia yang selalu ia baca ketika mengerjakan salat dan membaca qunut. Semua doa itu menegaskan kedalaman hubungannya dengan Allah swt. dan kepasrahannya terhadap segala ketentuan-Nya. Kami telah memaparkan sebagian doa tersebut di dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Muntazhar as.


Periode Ghaibah Shughra

Termasuk salah satu karunia Allah swt. yang agung kepada Imam Al-Muntazhar as. adalah Dia telah menutupinya dari padangan mata para penguasa dinasti Bani Abbâsiyah zalim yang selalu berusaha untuk memusnahkan beliau. Ia keluar dari kepungan mereka, sedangkan mereka tidak mengetahui hal itu. Hal itu sebagaimana Dia pernah menutupi kakeknya, Rasulullah saw. dari pandangan mata orang-orang Quraisy yang telah berkumpul untuk membunuh beliau.

Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan sejarah kehidupan Imam Al-Muntazhar as. pada periode Ghaibah Shughra ini secara ringkas.


a. Masa Periode Ghaibah Shughra

Periode Ghaibah Shughra dimulai dari sejak Imam Hasan Al-'Askarî as. wafat pada tahun 260 Hijriah. Dari sejak saat itu, Imam Al-Muntazhar as. tersembunyi dari pandangan mata umat manusia. Hanya saja, ia masih melakukan hubungan dengan orang-orang mukmin yang saleh.


b. Tempat Imam Mahdî as. Gaib

Imam Al-Muntazhar as. gaib dari padangan umat manusia di rumahnya yang terletak di kota Samirra'. Di rumah ini juga terdapat makam suci ayahanda dan kakeknya.

Ada sebuah keyakinan sangat aneh yang diyakini oleh sebagian orang yang menaruh rasa dengki terhadap mazhab Syi'ah. Mereka meyakini bahwa Imam Al-Muntazhar as. gaib di sebuah sirdab (ruang bawah tanah) yang terdapat di Samirra' atau di kota lainnya. Setelah mengerjakan salat Maghrib, mereka berdiri di depan pintu sirdab yang terdapat di Samirra' tersebut setiap malam dengan menyebut-nyebut namanya dan memanggilnya supaya cepat keluar. Mereka melakukan demikian hingga bintang-gumintang tampak. Setelah itu, mereka bubar dan menunggu keputusan hingga malam berikutnya tiba, sedangkan mereka memiliki penantian yang sama.

Ini adalah sebuah keyakinan aneh yang tidak ber-sanad. Keyakinan ini mengindikasikan rasa dengki kepada Ahlul Bait as. Adapun sirdab yang terdapat di kota Samirra' tersebut adalah sebuah mushalla bagi tiga imam Ahlul Bait as. dan hujah Allah atas hamba-Nya. Tak seorang pun dari ulama dan ahli sejarah Syi'ah yang berpendapat bahwa ia gaib di sirdab tersebut atau sirdab-sirdab lain yang telah dipaparkan oleh orang-orang yang tidak memiliki rasa tanggung jawab terhadap agama. Kami telah memaparkan kebohongan mereka ini dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as.


c. Para Duta Khusus

Pada periode ini, Imam Al-Muntazhar as. menentukan beberapa orang ulama yang saleh sebagai dutanya yang berperan sebagai mediator antara dirinya dan para pengikut Syi'ah. Tugas mereka yang terpenting adalah mengantarkan pertanyaan dan problematika syariat kepadanya dan menerima jawabannya atas seluruh pertanyaan tersebut.

Para duta tersebut adalah sebagai berikut:

1. 'Utsmân bin Sa'îd

'Utsmân adalah duta Imam Al-Muntazhar as. yang pertama. Ia adalah seorang yang tsiqah dan terpercaya. Ia telah melakukan perannya yang positif dan istimewa dalam berkhidmat kepada para imam Ahlul Bait as. pada masa Mutawakkil berkuasa dan pda saat ia memberlakukan embargo ekonomi atas Imam Ali Al-Hâdî as. dan melarang penyampaian harta zakat dan khumus kepadanya. Seluruh harta tersebut sampai ke tangan 'Utsmân bin Sa'îd dan ia meletakkannya di bagian bawah kaleng minyak goreng, lalu mengirimkannya kepada Imam Al-Hâdî as. dan setelah Imam Al-Hâdî wafat, kepada Imam Hasan Al-'Askarî as. Dengan cara demikian, ia telah berhasil mengatasi krisis ekonomi yang membelenggu para imam Ahlul Bait as.

'Utsmân adalah titik penghubung antara Imam dan para pengikut Syi'ah. Ia memiliki kedudukan sebagai wakil mutlak Imam Mahdî as. Dengan demikian, ia berhak menghaturkan seluruh harta zakat dan khumus, serta surat-surat mereka kepadanya.


Wafat

Tidak lama setelah itu, 'Utsmân meninggal dunia dan dimakamkan di Baghdad di dekat daerah Ar-Rashâfah. Ia memiliki makam ramai yang selalu diziarahi oleh mukminin.


Belasungkawa Imam Al-Muntazhar

Imam Al-Muntazhar as. mengucapkan belasungkawa yang sedalam-dalamnya atas kepergian 'Utsmân bin Sa'îd yang agung itu dengan mengirim surat kepada putranya yang 'alim dan suci, Muhammad bin 'Utsmân. Surat itu berisi: "Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji'ûn. Kita terima segala titah-Nya dan kita rida atas segala ketentuan-Nya. Ayahmu telah hidup dengan bahagia dan meninggal dunia dengan terpuji. Semoga Allah merahmatinya dan menggabungkannya dengan para wali dan kekasih-Nya. (Selama hidup), ia senantiasa berusaha untuk menyelesaikan masalah mereka (baca: masyarakat) dan berusaha untuk menggapai apa yang Allah 'Azza Wajalla dapat mendekatkannya kepada mereka. Semoga Allah membahagiakannya dan mengampuni ketergelincirannya. Semoga Allah memperagung pahalamu dan turut berduka cita denganmu. Kamu mendapatkan petaka dan kami juga mendapatkan petaka. Kamu telah menderita lantaran berpisah darinya dan kami juga demikian. Semoga Allah menganugerahkan kebahagiaan kepadanya di tempat ia kembali. Salah satu kebahagiaan yang ia miliki sekarang ini adalah Allah telah menganugerahkan kepadanya seorang putra sepertimu yang menggantikannya setelah ia meninggal dunia, menduduki kedudukannya, dan berbelas kasih kepadanya. Kutegaskan bahwa segala puji bagi Allah, karena seluruh jiwa percaya terhadap kedudukanmu dan terhadap segala karunia yang telah dianugerahkan oleh Allah 'Azza Wajalla kepadamu. Begitu pula, Dia menguatkanmu, mendukungmu, dan membarikan taufik kepadamu dengan itu semua. Sedangkan Dia senantiasa menjadi wali dan penjagamu ...."

Surat itu menunjukkan betapa Imam Al-Muntazhar as. sedih atas kepergian dutanya itu di mana ia adalah salah seorang figur dan unsur keimanan. Begitu juga, ia menegaskan kepercayaannya yang dalam kepada putranya, Muhammad yang telah memiliki seluruh unsur karakter kesempurnaan.


2. Muhammad bin 'Utsmân

Muhammad bin 'Utsmân menjadi duta Imam Al-Muntazhar as. (sepeninggal ayahnya). Ia adalah salah seorang figur tsiqah dalam mazhab Syi'ah dan ulamanya yang handal. Sebagaimana sang ayah, ia mendapat kepercayaan di hati seluruh masyarakat Syi'ah. Seluruh surat masyarakat Syi'ah dan harta khumus dan zakat mereka diberikan kepadanya dan selanjutnya, ia menyampaikan seluruh amanat itu kepada Imam Al-Muntazhar as. Setelah itu, ia memberikan jawabannya kepada mereka.

Imam Al-Muntazhar as. pernah menulis sepucuk surat kepada Muhammad bin Ibrahim Al-Ahwâzî tentang kepribadian Muhammad bin 'Utsmân yang isinya: "Ia-yaitu Muhammad bin 'Utsmân-adalah orang kepercayaan kami pada saat ayahnya masih hidup-semoga Allah meridai dan membahagiakannya. Ia menduduki kedudukannya dan menempati posisinya. Sang putra hanya mengeluarkan perintah atas perintah kami dan juga mengamalkannya. Semoga Allah memberikan anugerah kepadanya. Oleh karena itu, ambillah ucapannya."

Muhammad bin 'Utsmân meninggal dunia pada bulan Jumadil Ula 305 Hijriah.


3. Husain bin Ruh

Ia adalah duta ketiga Imam Al-Muntazhar as. Ia memiliki karakter ketakwaan, kesalehan, keluasan ilmu pengetahuan, dan akal yang sangat besar. Ia mendapatkan kemuliaan untuk menjadi duta dan wakilnya setelah Muhammad bin 'Utsmân meninggal dunia. Dan Muhammad bin 'Utsmânlah yang menegaskan hal itu. Ketika para tokoh kenamaan Syi'ah bertanya kepadanya tentang orang yang akan menggantikan posisinya, ia menjawab: "Abul Qasim Husain bin Ruh bin Abi Bahr An-Nawbakhtî ini adalah penggantiku, duta (kepercayaan) antara kamu sekalian dan Shâhidul Amr-semoga Allah mempercepat farajnya, wakil, dan orang kepercayaannya. Oleh karena itu, rujuklah kepadanya berkenaan dengan seluruh urusanmu dan percayakanlah kepadanya setiap problematika yang menimpamu. Aku telah diperintah untuk menyampaikan hal ini dan kini aku telah sampaikan ...."

Husain bin Ruh pernah mengadakan dialog yang sangat menarik dengan seorang penentang kebenaran, dan ia unggul atasnya. Muhammad bin Ibrahim bin Ishâq merasa heran dengan kemenangannya itu seraya bertanya kepadanya: "Apakah semua jawaban itu berasal dari dirimu sendiri atau kamu menerimanya dari para imam pembawa petunjuk itu?"

Husain bin Ruh menjawab: "Hai Muhammad bin Ibrahim, aku terjatuh dari langit menuju ke bumi, lalu aku disantap oleh burung atau aku dihempaskan oleh angin di tempat yang sangat jauh adalah lebih kusukai daripada aku mengatakan sesuatu berkenaan dengan agamaku yang berasal dari pendapatku sendiri. Semua jawaban itu berasal dari sumbernya dan aku telah mendengarnya dari Hujah (baca: Imam Mahdi) as. ...."

Husain bin Ruh menjadi duta Imam Mahdî as. selama dua puluh satu atau dua puluh dua tahun. Selama itu, ia menjadi tempat rujukan para pengikut Syi'ah dan mediator yang terpercaya antara mereka dan Imam. Pada suatu hari, ia tertimpa penyakit hingga meninggal dunia pada tahun 326 Hiriah. Acara ritual pemakaman jenazahnya dilakukan dengan sangat meriah. Ia dimakamkan di Baghdad, tepatnya di pasar Syurjah yang sekarang merupakan sebuah pusat perdagangan ramai di Baghdad.


4. Ali bin Muhammad As-Samurî

Ia menerima kemuliaan sebagai duta dan wakil Imam Mahdî as. dengan penentuannya sendiri secara langsung. Ia adalah dutanya yang terakhir dan telah melaksanakan tugasnya sebagai duta dengan penuh kejujuran dan ketulusan. Para perawi hadis mengatakan bahwa sebelum meninggal dunia, ia pernah menunjukkan sebuah surat yang telah ditandatangani oleh Imam Al-Muntazhar as. kepada para pengikut Syi'ah. Di antara isi surat itu-setelah basmalah-adalah berikut ini:

Hai Ali bin Muhammad As-Samurî, semoga Allah mengagungkan pahala saudara-saudaramu dengan kepergianmu. Kamu akan meninggal dunia dan sisa hari-harimu hanyalah enam hari. Oleh karena itu, bereskanlah seluruh urusanmu dan janganlah berwasiat kepada siapa pun untuk menggantikan posisimu setelah kamu meninggal dunia. Masa kegaiban yang total telah tiba dan tiada kemunculan (bagiku) kecuali dengan perintah dari Allah swt. Dan kemunculan itu akan terjadi setelah masa yang panjang berlalu, setelah hati-hati mengeras, dan setelah bumi dipenuhi oleh kelaliman. Akan datang kepada Syi'ahku orang yang mengaku berjumpa denganku. Ia adalah pembohong dan pembual. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi nan Maha Agung ....

Di dalam surat itu kita dapatkan bahwa ia menolak setiap orang yang mengaku pernah berjumpa dengan Imam Al-Muntazhar as. pada masa priode Ghaibah Kubra dan menegaskan bahwa ia adalah seorang pembohong dan pembual. Padahal, suatu hal yang pasti adalah beberapa orang mukmin yang saleh pernah berjumpa dengannya dan mendengarkan ucapannya.

Oleh karena itu, surat tersebut ditakwilkan dengan berbagai macam takwil, dan mungkin takwil yang paling jitu adalah, bahwa orang yang mengaku pernah berjumpa dengan Imam Al-Muntazhar as. sebagai duta dan wakilnya, seperti empat orang dutanya tersebut, adalah pembohong dan pembual. Mungkin takwil ini lebih mendekati kebenaran.

As-Samurî tertimpa penyakit dan menderita penyakit itu selama beberapa hari. Sebagian pengikut Syi'ah pernah menjenguknya seraya bertanya: "Siapakah washî-mu setelah kamu meninggal dunia?"

Ia menjawab: "Urusan itu hanya milik Allah dan Dia yang akan mengurusnya."

Ia meninggal dunia pada tanggal 15 Sya'ban 329 Hijriah.


d. Wilayah Para Fuqaha

Imam Al-Muntazhar as. telah menetapkan para fuqaha Syi'ah yang agung sebagai wali dan wakilnya seraya memerintahkan para pengikut Syi'ah untuk merujuk kepada mereka dan menyelesaikan seluruh problematika sosial politik sesuai dengan pandangan mereka. Di dalam surat yang telah ia kirim kepada Syaikh Mufid ra, ia menegaskan: "Berkenaan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi, rujuklah kaian kepada para perawi hadis kami, karena mereka adalah hujahku atas kamu dan aku sendiri adalah hujah Allah atas kalian."

Kami telah memaparkan pembahasan tentang hal ini di dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as.


Periode Ghaibah Kubra

Para fuqaha yang agung mendapatkan kemuliaan sebagai wakil Imam Al-Muntazhar as. (pada periode ini). Kepada merekalah para pengikut Syi'ah merujuk untuk menanyakan hukum-hukum syariat.

Layak disebutkan di sini bahwa Imam Al-Munatazhar as. pernah berjumpa dengan tokoh ulama dan orang-orang yang bertakwa. Di antara mereka adalah seorang 'alim agung dan tsiqah yang terpercaya, Syaikh Mufid ra. Imam Al-Mahdî as. pernah mengirimkan beberapa surat kepadanya, dan Syaikh Mufid pernah menerima tiga pucuk surat darinya. Kami telah menyebutkan sebagian surat itu dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as.


Pertanyaan dan Kritikan

Sejarah hidup Imam Al-Muntazhar as. menghadapi berbagai ragam pertanyaan dan kritikan. Di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Usia yang Panjang

Banyak sekali pertanyaan yang dilontarkan berkenaan dengan usia Imam Al-Muntazhar as. yang sangat panjang. Bagaimana mungkin ia hidup selama seribu seratus lima puluh tahun lebih, sedangkan ia tidak mengalami masa lansia yang merupakan sebuah realita natural kehidupan seorang manusia? Sel-sel tubuh manusia mengalami perkembangan dan penguatan secara bertahap, dan makin panjang usia yang dimilikinya, seluruh sel tubuhnya pasti akan mengalami dis-fungsional. Hal itu lantaran mikroba-mikroba yang selalu menyerangnya atau akibat racun yang merasuk ke dalam tubuhnya melalui makanan yang kotor atau faktor-faktor yang lain, suatu hal yang dapat menyebabkan ia harus meninggalkan dunia ini.

Jawaban atas pertanyaan ini adalah:
Pertama, manusia berusia panjang-secara logis-adalah suatu hal yang mungkin, dan tidak mustahil, seperti sekutu Tuhan atau premis "sesuatu adalah ganjil dan genap dalam waktu yang sama". Masalah ini adalah persis seperti masalah naik ke bulan atau ke planet yang lain. Hal ini adalah suatu yang mungkin secara logis dan sudah terealisasi setelah faktor-faktor alaminya tersedia bagi umat manusia. Dengan demikian, usia panjang bagi Imam Al-Muntazhar as. adalah sesuatu yang mungkin, baik secara praktik maupun teorik. Dan hal itu dengan kehendak Sang Pencipta Yang Maha Agung. Dengan kehendak-Nya, Allah dapat menjaga seluruh sel pembentuk tubuh seorang manusia dari pengaruh segala faktor eksternal yang dapat menyebabkan ketuaan dan kefanaannya. Lebih dari itu, Nabi Nuh as. hidup di tengah-tengah kaumnya mengajak kepada kalimat Tauhid selama sembilan ratus lima puluh tahun-sebagaimana ditegaskan oleh Al-Qur'an yang mulia. Dengan semua bukti ini, mengapa kita meyakini usia panjang yang dimiliki oleh Nabi Nuh as., sementara kita mengingkari usia panjang yang dimiliki oleh Imam Al-Muntazhar as., padahal keduanya sama-sama mendapatkan perintah untuk melakukan perombakan dan reformasi sosial?

Kedua, jika kita terima bahwa usia panjang bagi seseorang selama ratusan atau ribuan tahun-secara logis-tidak mungkin; lantaran hal ini bertentangan dengan undang-undang alamiah yang mengharuskan masa tua dan kefanaannya, hal itu tidak mungkin hanya untuk kita. Adapun berkenaan dengan Allah swt., hal itu adalah suatu hal yang sangat sederhana sekali. Dia telah menjadikan api-yang merupakan faktor pembakar-dingin dan membawa keselamatan bagi Syaikhul Anbiyâ' Ibrahim as. Begitu juga ia telah membelah lautan untuk Nabi Mûsâ dan kaumnya, lalu menyelamatkan mereka dari tenggelam, dan Dia menenggelamkan Fir'aun dan bala tentaranya.

Sesungguhnya jika kehendak Allah swt. telah tertuju kepada sesuatu, kehendak itu dapat merubahnya dari ketiadaan menjadi keberadaan.


2. Rahasia Usia Panjang

Terdapat satu pertanyaan lain yang biasa dilontarkan berkenaan dengan tema ini. Yaitu, apa rahasia di balik usia panjang yang telah dianugerahkan oleh Allah swt. kepada Imam Al-Muntazhar as.? Mengapa usianya tidak dibatasi seperti usia nenek moyang sucinya yang suci itu?

Jawab: Allah swt. memberikan tugas khusus kepada Imam Al-Muntazhar as. untuk memperbaiki dunia ini secara total dan menyerahkan kepadanya urusan penyelamatan masyarakat manusia dari seluruh jenis kesesatan kelam yang dapat memporak-porandakan kehidupan mereka dan menjerumuskannya ke dalam jurang kebodohan hidup yang sangat dalam. Dengan demikian, Imam Al-Muntazhar as. adalah seorang reformis tunggal untuk seluruh umat manusia yang hidup di atas bumi ini. Oleh karena itu, ia harus melihat periode-periode kelam (sejarah dunia) yang dialami dan disaksikan oleh umat manusia selama rentang kehidupan mereka sehingganya menjadi seorang penyelamat terakhir yang akan menebarkan cahaya kesejahteraan dan memenuhi bumi ini dengan suara keadilan.


3. Mengapa Tidak Muncul?

Di antara pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan berkenaan dengan masalah kegaiban Imam Al-Muntazhar as. adalah mengapa ia tidak kunjung muncul dan menegakkan hukum Allah swt. di muka bumi ini?

Jawab: kemunculan Imam Al-Mahdî as. tidak berhubungan dan tunduk terhadap keinginan umat manusia. Semua itu berada di tangan Sang Pencipta Yang Maha Agung. Allah swt. mengutus hamba dan rasul-Nya, Muhammad saw. setelah berlalu lima abad dari periode jahiliah. Dan hal itu terjadi setelah kondisi umum masyarakat mendukung demi perealisasian risalah-Nya. Begitu juga berkenaan dengan kemunculan Imam Mahdî as. Ia akan muncul kembali sesuai dengan ketentuan Allah swt., dan untuk itu Dia "harus" mempersiapkan kondisi yang mendukung di seluruh penjuru dunia sehingga Dia membangkitkannya kembali demi menegakkan keadilan yang murni di tengah-tengah para hamba-Nya.


4. Bagaimana Mungkin Ia Melakukan Perbaikan untuk Seluruh Dunia ini?

Di antara kritikan yang selalu dilontarkan berkenaan dengan tema Imam Al-Muntazhar as. adalah bagaimana mungkin ia melakukan perbaikan atas seluruh dunia ini dan merombak metode kehidupan yang telah dipenuhi oleh kezaliman menjadi sebuah kehidupan yang aman dan sejahtera tak satu pun bayangan kezaliman dan pemerasan serta tidak juga bayang-bayang kemiskinan menghantuinya?

Jawab: hal ini adalah suatu hal yang mungkin sekali. Karena, corak kehidupan dunia dan peristiwa-peristiwa besar yang dapat merubah metode kehidupan (umat manusia) hanya tergantung kepada tokoh-tokoh umat manusia (yang memiliki perang penting). Nabi mulia saw. adalah satu-satunya figur yang telah berhasil mengibarkan bendera Allah tinggi-tinggi, bukan paman-paman beliau. Kabilah-kabilah Quraisy, para singa Arab, dan pengikut ahlulkitab telah menentang beliau. Akan tetapi, dengan kemauan dan tekadnya, beliau mampu menundukkan mereka dan mengumandangkan suara Tauhid. Begitu juga Nabi Mûsâ as. Ia telah berhasil memprak-porandakan Fir'aun dan mengangkat kalimat Allah di muka bumi ini. Tidak berbeda juga dengan Nabi Isa as. dan para nabi dan rasul yang lain. Mereka telah melaksanakan peran mereka secara independen demi merealisasikan missi reformis mereka. Dengan itu semua, peran setiap individu nampak unggul dalam rangka melakukan sebuah reformasi sosial. Berbeda dengan pandangan Marxisme yang menafikan nilai dan peran individu, dan bahwa ia tidak memiliki pengaruh sama sekali dalam usaha merombak sebuah peristiwa (sejarah). Seluruh pengaruh dan peran hanya dimiliki oleh kelompok dan sosial.

Ala kulli hal, Imam Al-Muntazhar as-seperti kakeknya, Rasulullah agung saw.-akan melakukan perombakan atas metode kehidupan yang sudah tegak berdiri di atas pondasi kezaliman dan permusuhan. Dengan itu, ia akan menyelamatkan umat manusia dari seluruh malapetaka dan cobaan yang melilit mereka dan menebarkan keamanan, kesejahteraan, kecintaan, dan kebersamaan di tengah-tengah masyarakat manusia.

Dengan jawaban ini, kita telah usai menjawab sebagian pertanyaan (seputar Imam Al-Muntazhar as). Kami telah menyebutkan banyak pertanyaan beserta jawabannya dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as.


Tanda-tanda Kemunculan Imam Al-Muntazhar

1. Kezaliman Tersebar

Di antara tanda-tanda yang paling menonjol bagi kemunculan Imam Al-Muntazhar as. adalah kezaliman tersebar, keamanan musnah, dan kemiskinan merebak di mana kehidupan dipenuhi oleh segala macam peristiwa dan malapetaka, dan umat manusia hidup dengan segala kekhawatiran lantaran rasa takut dan ancaman yang selalu mereka hadapi. Kehidupan jahiliah-dengan seluruh bentuk kejahatan dan tindak-tindak kriminalnya-akan mendominasi kehidupan masyarakat, seluruh manusia berlomba-lomba untuk berbuat kemungkaran, dan Islam kembali asing seperti sedia kala; kekuatannya padam, seluruh kekuasaan dunia meluluh-lantakkan prinsip-prinsipnya, merampas seluruh kekayaannya, dan menjadikannya berada di bawah telapak kaki kekuasannya.

Marilah kita simak sebagian hadis berikut ini:

a. Abu Sa'îd Al-Khudrî meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Akan menimpa umatku di akhir zaman petaka besar yang tiada petaka lebih besar dari itu yang dilakukan oleh penguasa mereka sehingga bumi yang terhampar luas ini menjadi sempit bagi mereka dan sehingga bumi ini dipenuhi oleh kezaliman dan kelaliman. Seorang mukmin tidak akan menemukan tempat perlindungan untuk berlindung dari kezaliman itu. Setelah itu, Allah 'Azza Wajalla akan membangkitkan salah seorang dari 'Itrahku yang akan memenuhi bumi ini dengan keadilan sebagaimana telah dipenuhi oleh kezaliman. Seluruh penghuni langit dan bumi merasa rida terhadapnya. Bumi tidak menyimpan satu biji pun kecuali ia akan mengeluarkannya dan langit tidak juga menahan satu tetes air pun kecuali Allah akan mencurahkannya atas mereka dengan deras."

Hadis ini mengutarakan malapetaka dan bencana yang akan dialami oleh muslimin dari tangan para penguasa dan raja mereka yang selalu berbuat zalim terhadap mereka. Setelah itu, Allah swt. akan menyelamatkan mereka dengan perantara Imam Mahdî as. Dengan perantara imam ini, Allah memenuhi bumi ini dengan rahmat dan segala jenis kebaikan dan menghabisi seluruh dedengkot kelaliman itu.

b. 'Awf bin Mâlik meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Hai 'Awf, apa yang akan kamu lakukan jika umat ini berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan; satu golongan berada di surga dan selebihnya berada di dalam api neraka?"

'Awf bertanya: "Bagaimana hal itu bisa terjadi?"

Beliau menjawab dengan menceritakan malapetaka besar yang akan dialami oleh umat ini seraya bersabda: "(Hal itu terjadi) apabila bala tentara (kezaliman) bertambah banyak, para budak menjadi penguasa, orang-orang bodoh duduk di atas mimbar, harta Faiy' dijadikan sebagai harta warisan, harta zakat dijadikan harta rampasan dan amanat dijadikan kesempatan untuk mengeruk keuntungan, agama Allah dipelajari bukan karena Allah, seorang laki-laki menaati istrinya, seseorang berbuat durhaka kepada ibunya dan kurang ajar terhadap ayahnya, generasi terakhir umat ini melaknat generasi pertama, orang fasik menjadi penguasa kabilah, orang yang terhina menjadi pemimpin sebuah kaum, dan seseorang dihormati karena takut terhadap kejahatannya."

Selanjutnya beliau menambahkan: "Setelah itu, datanglah sebuah fitnah dahsyat yang kelam, kemudian fitnah-fitnah (yang lain) berdatangan silih berganti sehingga salah seorang dari Ahlul Baitku yang bernama Mahdî keluar."

Riwayat ini menceritakan kebejatan, kerusakan, dan penyelewengan muslimin dari prinsip-prinsip agung agama mereka yang akan menimpa dunia Islam. Dengan itu, kezaliman akan tersebar luas dan malapetaka akan mendominasi (kehidupan masyarakat). Setelah itu, Allah swt. akan menyelamatkan mereka dengan perantara wali-Nya yang agung, Imam Mahdî as. yang akan menghidupkan kembali agama ini dan menegakkan tonggak-tonggaknya.

c. Rasulullah saw. juga bersabda: "Mahdi umat ini berasal dari kami apabila dunia telah menjadi berantakan, fitnah-fitnah bermunculan, jalan-jalan (menuju kebenaran) terputus, dan sebagian manusia menyerang sebagian yang lain. Tiada orang besar yang mengasihi anak yang kecil dan tiada anak kecil yang menghormati orang yang besar. Kemudian, Allah mengutus Mahdî kami. Ia adalah anak kesembilan dari keturunan Husain as. Ia akan membebaskan benteng-benteng kesesatan dan membuka hati-hati yang terkunci. Ia akan menegakkan agama di akhir zaman sebagaimana aku telah menegakkannya di awal zaman. Ia akan memenuhi bumi ini dengan keadilan sebagaimana telah dipenuhi oleh kezaliman."

Hadis ini menegaskan fitnah, kegoncangan, dan tiadanya tolok ukur-tolok ukur yang benar yang akan mendominasi seluruh kehidupan umat manusia. Setelah itu, Allah swt. akan menyelamatkan umat manusia dengan perantara wali-Nya yang agung yang akan membangun sebuah kehidupan sejahtera yang didominasi oleh seluruh jenis kebaikan.


2. Kemunculan Dajjâl

Termasuk salah satu tanda kemunculan Imam Al-Muntazhar as. yang pasti adalah kemunculan Dajjâl di arena kehidupan ini dan usahanya untuk menyesatkan opini masyarakat umum. Di samping itu, orang-orang Yahudi juga akan bergabung dengannya.

Marilah kita simak hadis-hadis berikut ini:

a. Hisyâm bin '?mir berkata: "Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Tiada suatu hal yang lebih dahsyat dari sejak penciptaan Adam hingga hari kiamat terjadi daripada Dajjâl.'"

Arti hadis ini adalah, bahwa (kemunculan) Dajjâl termasuk salah satu peristiwa dunia yang sangat penting. Hal itu lantaran fitnah dan penumpahan darah yang akan terjadi setelah kemunculannya.

b. Anas bin Mâlik meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Tidak ada seorang nabi pun kecuali ia telah memberikan peringatan tentang masalah Dajjâl yang satu matanya buta dan pembohong. Ingatlah bahwa ia buta satu matanya, dan sesungguhnya Tuhan kamu sekalian tidak buta satu mata-Nya."

Para nabi as. telah mengingatkan kita akan fitnah Dajjâl yang selalu menipu umat manusia dan mencegah mereka dari kebenaran, serta menjerumuskan mereka ke dalam jurang kejahatan yang maha besar.

Ini adalah sebagian hadis berkenaan dengan Dajjâl yang buta satu matanya di mana ia adalah perusak sejarah umat manusia yang paling dahsyat. Kami telah menyebutkan kondisi dan karakternya di dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as.


3. Kemunculan Sufyânî

Salah satu tanda kemunculan Imam Al-Muntazhar as. yang pasti adalah kemunculan Sufyânî. Ia adalah salah satu tonggak kejahatan dan kerusakan di atas bumi ini. Silsilah keturunannya berakhir kepada Abu Sufyân, musuh besar Islam itu. Imam Amirul Mukminin as. telah menjelaskan karakter, fitnah, dan petakanya dalam sebuah hadis panjang dan terperinci yang telah kami sebutkan di dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as.


4. Bendera Berwarna Hitam Berkibar

Di antara tanda-tanda kemunculan Imam Al-Muntazhar as. yang pasti adalah pembentukan sebuah laskar Islam yang mengibarkan bendera-bendera berwarna hitam. Menurut perkiraan yang kuat, seluruh bendera itu dibuat dari kain yang berwarna hitam untuk menghaturkan belasungkawa kepada Sayidus Syuhada' as. Banyak sekali hadis yang menegaskan masalah ini. Di antaranya adalah sebagai berikut:

a. Dengan sanad-nya, Hasan meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. menyebutkan malapetaka dan fitnah yang akan menimpa Ahlul Baitnya as. sehingga Allah mengangkat sebuah bendera berwarna hitam dari arah timur. Beliau bersabda: "Barang siapa menolongnya, niscaya Allah akan menolongnya dan barang siapa menghinakannya, niscaya Allah akan menghinakannya. (Hal itu terus berlanjut) sehingga mereka mendatangi salah seorang yang namanya adalah seperti namaku. Lalu, mereka menyerahkan urusan mereka kepadanya, kemudian Allah menguatkannya dan menolong mereka."

b. Tsawbân meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Jika kamu melihat bendera-bendera berwarna hitam berkibar dari arah Khurasan, maka datangilah, karena di sana terdapat Khalifah Allah Al-Mahdî."

c. Jâbir meriwayatkan bahwa Imam Abu Ja'far as. berkata: "Bendera-bendera yang keluar dari Khurasan akan sampai di Kufah. Jika Mahdî as. muncul di Mekah, bendera-bendera itu akan menuju kepadanya dengan membawa baiat."

Dan masih banyak lagi hadis-hadis yang menegaskan kemunculan bendera-bendera berwarna hitam dari arah Khurasan atau arah timur, dan hal ini adalah salah satu tanda kemunculan Imam Mahdî as.


5. Seruan dari Langit

Di antara tanda-tanda kemunculan Imam Mahdî as. yang pasti adalah seruan seorang malaikat dari langit yang memberitahukan kemunculannya dan mengajak seluruh umat manusia untuk membaiatnya, serta ia berbicara dengan setiap umat dengan bahasa mereka masing-masing.

Banyak hadis yang menegaskan hal ini. Di antaranya adalah hadis-hadis berikut ini:

a. Abdullah bin 'Imrân meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Mahdî akan muncul sedangkan ia memakai serban dan di atas kepalanya terdapat seorang malaikat yang berseru, 'Ini adalah Khalifah Allah Al-Mahdî. Maka, ikutilah dia.'"

b. Imam Ar-Ridhâ as. berkata: "Jika ia-yaitu Imam Al-Muntazhar as-muncul, bumi akan terang benderang dengan cahayanya dan timbangan keadilan akan dipampangkan di hadapan umat menusia. Tak ada satu orang pun yang akan menzalimi yang lain. Ia adalah orang yang bumi dihamparkan untuknya dan ia tidak memiliki bayangan. Ia adalah orang yang seorang penyeru dari langit berseru (untuknya) dan suaranya dapat didengar oleh seluruh penduduk seraya berkata, 'Ingatlah! Sesungguhnya hujah Allah telah muncul di samping Baitullah swt. Maka, ikutilah dia, karena kebenaran selalu bersamanya dan ada dalam dirinya. Ini adalah firman Allah yang berbunyi, 'Jika Kami kehendaki, niscaya Kami menurunkan kepada mereka sebuah tanda dari langit, maka senantias kuduk-kuduk mereka tunduk kepadanya.'" (QS. Asy-Syu'arâ' [26]:4)( )

c. Imam Amirul Mukminin Ali as. berkata: "Jika malaikat penyeru berseru dari langit bahwa kebenaran berada dalam keluarga Muhammad saw., maka pada saat itu Mahdî akan muncul kepada umat manusia. Mereka merasa sangat bahagia dengan itu, dan mereka tidak mengingat apapun selain dia."

Masih banyak lagi riwayat dan hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. dan para imam maksum as. yang memiliki kandungan yang sama. Seluruh hadis itu menegaskan bahwa salah satu tanda kemunculan Imam Al-Muntazhar as. adalah seruan malaikat dari langit. Dan sangat bisa dipastikan bahwa seruan itu ditujukan kepada seluruh umat manusia dengan menggunakan bahasa mereka masing-masing.


6. Al-Masih Turun dari Langit

Termasuk salah satu tanda kemunculan Imam Al-Muntazhar as. yang pasti adalah Nabi Isa as. turun dari langit ke bumi dan membaiatnya, serta mengerjakan salat di belakangnya. Jika umat Kristen melihat ini, mereka akan memeluk Islam.

Marilah kita simak hadis-hadis berikut ini:

a. Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya para khalifah dan washî-ku berjumlah dua belas orang. Yang pertama adalah saudaraku dan yang terakhir adalah anakku."

Salah seorang sahabat bertanya: "Wahai Rasulullah, siapakah saudara Anda itu?"

Beliau menjawab: "Ali bin Abi Thalib."

Salah seorang sahabat bertanya lagi: "Siapakah anak Anda itu?"

Beliau menjawab: "Mahdi yang akan memenuhi bumi dengan keadilan seperti telah dipenuhi oleh kezaliman. Demi Dzat yang telah mengutusku dengan membawa berita gembira kebenaran, seandainya tidak tersisa dari usia dunia ini kecuali satu hari, niscaya Allah akan memanjangkan hari itu sehingga anakku Mahdî muncul. Lalu, Isa bin Maryam turun (dari langit) dan mengerjakan salat di belakangnya, bumi terang benderang dengan cahaya Tuhannya, dan kerajaannya akan mencapai kawasan timur dan barat."

b. Rasulullah saw. bersabda: "Isa bin Maryam akan muncul ketika waktu Shubuh tiba ... Ia berkulit putih, berambut pirang kekuning-kuningan, dan rambutnya dibelah dua seakan-akan kepalanya kerkucuran minyak wangi. Ia akan memecahkan segala jenis salib, membunuh seluruh babi, membinasakah Dajjâl, membawa harta Imam as., dan seluruh pengikut ahlulkitab berjalan di belakangnya. Ia adalah mentri Al-Qâ'im yang terpercaya, penjaga, dan wakilnya. Ia akan membentangkan keamanan di kawasan timur dan barat."

Sangat banyak sekali hadis yang menegaskan bahwa Al-Masih as. akan turun dari langit, membaiat Imam Al-Muntazhar as., mengerjakan salat di belakangnya, dan melaksanakan peran yang sangat positif dalam rangka menolong dan mendukung beliau. Kami telah menyebutkan banyak contoh hadis dalam hal ini di dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as.

Ini adalah sebagian tanda-tanda pasti bagi kemunculan imam kebenaran dan suara keadilan insani. Dalam buku-buku referensi hadis yang lain juga telah disebutkan tanda-tanda kemunculan Imam Mahdî as. yang lain.


Masa Kemunculan

Kemunculan Imam Al-Muntazhar as. akan terjadi pada hari Sabtu, 10 Muharam. Hari ini adalah hari syahadah buah hati Rasulullah saw., Imam Husain as. Hal itu sebagaimana ditegaskan oleh hadis-hadis berikut ini:

a. Abu Bashîr meriwayatkan bahwa Imam Ash-Shâdiq as. berkata: "Al-Qâ'im akan muncul pada hari Sabtu di hari Asyura. Yaitu, hari Al-Husain dibunuh."

b. Ali bin Mahziyâr meriwayatkan bahwa Imam Abu Ja'far Muhammad Al-Bâqir as. berkata: "Seakan-akan aku melihat Al-Qâ'im di hari Asyura pada hari Sabtu sedang berdiri di antara Rukun Ka'bah dan Maqam (Ibrahim). Di hadapannya berdiri Malaikat Jibril yang menyeru, 'Baiat hanya untuk Allah.' Lalu, ia akan memenuhi bumi ini dengan keadilan sebagaimana bumi itu telah dipenuhi oleh kezaliman."

Dan masih banyak lagi hadis lain yang menentukan dengan pasti masa dan tempat kemunculan Imam Mahdî as. Kami telah memaparkan banyak hal tentang sejarah Imam Al-Muntazhar as. ketika ia muncul dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as.

Dengan pemaparan singkat berkenaan dengan sejarah hidup para imam maksum pembawa petunjuk as. ini, pembahasan kita pun tuntas. Dan kami telah memaparkan sejarah kehidupan mereka-sebagai tongkat estafet kehidupan kakek mereka, Rasulullah saw.-secara tematis dan menyeluruh dalam ensklopedia Ahlul Bait as.


Catatan Kaki:

1. Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as., jilid 1, hal. 24.
2. Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as., hal. 24.
3. Bihâr Al-Anwâr, jilid 13, hal. 3.
4. Ibid., hal. 10.
5. Al-Ghaibah, karya Syaikh Thusi, hal. 38.
6. Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as., hal. 26.
7. 'Iqd Ad-Durar, hal. 53.
8. Bihâr Al-Anwâr, jilid 13, hal. 10.
9. Yanâbî' Al-Mawaddah, hal. 460.
10. ( ) Al-Ghaibah, karya An-Nu'mani, hal. 214.
11. ( ) 'Iqd Ad-Durar, hal. 69.
12. ( ) Ibid., hal. 109.
13. ( ) Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as., hal. 39.
14. ( ) Ibid.
15. ( ) Bihâr Al-Anwâr, jilid 52, hal. 359.
16. ( ) Al-Ghaibah, karya An-Nu'mani, hal. 234.
17. ( ) Ibid., hal. 233.
18. Muntakhab Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 29; Yanâbî' Al-Mawaddah, hal. 431; Mashâbîh As-Sunah, jilid 3, hal. 493.
19. Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as., hal. 45.
20. Muqadimah Ibn Khaldûn, hal. 359.
21. Bihâr Al-Anwâr, jilid 13, hal. 96.
22. Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as., hal. 124.
23. Ibid., hal. 126.
24. Muntakhab Al-Atsar, hal. 397.
25. Ibid.; Al-Ghaibah, karya Syaikh Thusi, hal. 386.
26. Muntakhab Al-Atsar, hal. 392.
27. Mu'jam Rijâl Al-Hadîts, ilid 13, hal. 186.
28. Al-Ghaibah, karya Syaikh Thusi, hal. 342.
29. Wasâ'il Asy-Syi'ah, kitab Al-Qadhâ', jilid 18, hal. 101.
30. 'Iqd Ad-Durar, hal. 113.
31. Kanz Al-'Ummâl, jilid 6, hal. 44. Hampir sama dengan hadis tersebut hadis yang terdapat di dalam Al-'Urf Al-Wardî, jilid 2, hal. 67.
32. Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as., hal. 251.
33. 'Iqd Ad-Durar, hal. 324.
34. Ibid., hal. 323; Shahîh Al-Bukhârî, jilid 3, hal. 1214.
35. Hayâh Al-Imam Muhammad Al-Mahdî as., hal. 276.
36. Kanz Al-'Ummâl, jilid 7, hal. 182.
37. Al-'Urf Al-Wardî, jilid 2, hal. 68.
38. Ibid., jilid 2, hal. 11; Nûr Al-Abshâr, hal. 155; Yanâbî' Al-Mawaddah, hal. 447.
39. Farâ'id As-Simthain, jilid 2, hal. 337.
40. Al-Malâhim wa Al-Fitan, hal. 36.
41. Gâyah Al-Marâm, hal. 43; Farâ'id As-Simthain, jilid 2, hal. 312.
42. Ibid., hal. 697, menukil dari tafsir Ats-Tsa'labî.
43. ( ) Kamâl Ad-Dîn, jilid 2, hal. 254.
44. ( ) Al-Ghaibah, karya Syaikh Thusi, hal. 453.

(Alhassanain/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Terkait Berita: