Sudah tak terperikan lagi bagaimana konflik antara Muslim Sunni dan Syiah memakan begitu banyak korban jiwa, baik di masa lampau mau pun hingga era komunikasi 3,5G ini. Di Timur Tengah, khususnya Irak, perang terbuka antara kelompok pejuang Sunni atau pun pejuang Syiah masih saja terjadi. Lantas, apa yang terjadi jika Muslim Indonesia bermazhab Sunni dan Syiah dipertemukan?
Perang terbuka dengan AK-47? Barangkali dan Insya Allah itu tidak akan terjadi. Namun perang urat syaraf, itu sudah pasti. Setidaknya, itulah yang bisa disimak dalam dialog terbatas Sunni-Syiah yang digelar di Aula gedung PPs (Program Pascasarjana) UIN Alauddin, Jl Sultan Alauddin, Jumat (6/2/2009). Begitu susahnya mempertemukan benang merah kedua ideologi terbesar dalam dunia Islam ini.
Dialog terbatas yang diprakarsai PPs UIN Alauddin ini mengangkat tema Titik Temu dan Letak Perbedaan Sunni-Syiah Tentang Sahabat. Penganut Syiah Indonesia diwakili IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia). Sementara Wahdah Islamiyah mewakili kelompok Sunni.
Untuk diketahui lebih dulu, penganut mazhab Syiah umumnya menolak sebagian sahabat yang hidup semasa Rasul saw untuk dijadikan teladan atau pun panutan dalam ajaran Islam. Mazhab Syiah meyakini bahwa tidak semua sahabat benar-benar setia dan patuh kepada Rasul saw. Sebaliknya, hanya sahabat yang setia dan patuh kepada Rasul saw yang bisa dijadikan rujukan ajaran Islam.
Di lain sisi, Mazhab Sunni, khususnya Wahdah Islamiyah meyakini semua sahabat Rasul saw yang jumlahnya lebih 100.000 orang sudah terjamin kebaikan dan kebajikannya. Mereka pun menganggap seluruh sahabat sangat layak dijadikan rujukan ajaran Islam, khususnya Khulafaur Raasyidin (empat khalifah utama), yakni Abu Bakar Ash Shiddiq ra, Umar bin Khattab ra, Utsman bin Affan ra, dan Ali bin Abi Thalib kwh.
Dalam dialog ini, mewakili kelompok Syiah adalah Ketua Dewan Syuro IJABI, Prof Dr KH Jalaluddin Rakhmat M Sc, yang juga dikenal sebagai pakar komunikasi, politik, sosiologi dan tasawuf. Sedangkan Wahdah yang menganut paham Wahabi (1) ini mengutus Ketua DPC Wahdah Islamiyah Makassar, Ustad Rahmat Abdul Rahman LC.
Di atas meja panjang, dedengkot mazhab Syiah dan Wahdah ini duduk bersama. Diantaranya kursi keduanya duduk Prof Dr AGH Ahmad Sewang (Direktur PPs UIN Alauddin) dan Dr Muhammad Zain (peneliti sejarah para sahabat Nabi Saw). Sementara Hamdan Juhannis (Pemerhati Masalah Islam) menjadi moderatornya.
Meski digelar secara terbatas dan sederhana, namun kualitas acara ini tak perlu disangsikan lagi. Sebab acara ini dihadiri oleh sejumlah ulama dan cendekiawan. Moderator Hamdan menyebut Muhammadiyah, NU, MUI, ICMI, KPPSI bahkan aktivis Ahmadiyah ikut berpartisipasi. Malah, aula PPs UIN Alauddin yang ukurannya memang tidak luas itu akhirnya menjadi sesak oleh pengunjung. Sebagian terpaksa harus duduk melantai.
Pukul 15.00 Wita, acara yang sebenarnya dijadwalkan setelah Salat Jumat atau pukul 13.00 Wita, baru dimulai. Prof Dr KH Jalaluddin Rakhmat M Sc yang akrab disapa Kang Jalal diberi kesempatan selama 30 menit memaparkan makalahnya.
Kang Jalal mengingatkan bahwa makalahnya mengutip penjelasan sejumlah tafsir Alquran serta hadist-hadist yang diakui Mazhab Syiah atau pun Sunni. Ayat-ayat tentang sahabat yang dikutip Kang Jalal antara lain Surah Al Fath ayat 18, dan surah Al Bayyinah ayat 8, surah Al Hujurat ayat 2 serta surah Al Jumuah (Jumat).
Melalui Alquran dan fakta sejarah, Kang Jalal mengungkapkan bahwa beberapa sahabat ternyata ada yang patuh, dan juga tidak patuh terhadap perintah Nabi saw. Itu bisa dilihat dari Al Hujuraat ayat 2 yang isinya memperingatkan kepada sahabat tertentu supaya tidak lagi mengeraskan suaranya melebihi suara Nabi saw.
Di dalam surah Al Jumuah, juga diceritakan bagaimana sejumlah sahabat diperingati karena meninggalkan Nabi saw yang sedang khutbah Jumat. Para sahabat ini meninggalkan khutbah karena ingin menyaksikan kelompok pemusik yang lewat kala itu.
Beberapa fakta lain yang disebutkan dalam Alquran juga mengungkapkan adanya sahabat yang mencari-cari alasan supaya tidak ikut perang melawan kaum kafir, bahkan melarikan diri dari medan perang.
“Olehnya itu, tidak semua sahabat bisa disebut ‘Adalah (berkeadilan). Hanya sebagian sahabat saja,” kunci Kang Jalal.
Kang Jalal juga menyinggung tentang kisah Khalid bin Walid yang cerita heroiknya sudah melegenda di sebagian Muslim. Menurut catatan sejarah, Khalid bin Walid ternyata pernah membunuh seorang muslim bernama Malik bin Nuwairah lantaran terpikat kecantikan istri Malik, Laila binti Mihlal. Usai membunuh Malik bin Nuwairah, Khalid pun meniduri Laila malam itu juga.
Perbuatan Khalid ini tak urung menyebabkan Umar bin Khattab ra dan Abu Bakar As Shiddiq ra yang menjadi khalifah saat itu, bertentang pendapat. Umar menginginkan agar Khalid dihukum mati karena membunuh seorang muslim dan berzinah. Namun Abu Bakar membelanya karena menganggap Khalid hanya salah dalam berijtihad.
Penjelasan Kang Jalal ini sempat membuat gaduh suasana dialog. Menandakan beberapa peserta terkejut mendengar sisi kelam orang yang dicap sahabat Nabi saw ini.
“Jika memang semua sahabat Nabi saw itu ‘Adalah dan bisa dijadikan landasan sunnah, maka pasti bukan suatu dosa membunuh muslim karena kita suka istrinya, lalu memperistrikannya sebelum masa Iddah (kesucian) selesai,” tutur Kang Jalal merujuk kisah Khalid bin Walid.
Seperti yang diduga, kelompok Wahdah Islamiyah menolak pemaparan Kang Jalal. Ustad Rahmat pun menuduh Syiah sedari dulu selalu menghujat para sahabat Nabi saw, utamanya Abu Bakar, Umar dan Utsman. Padahal dalam Alquran, kata Rahmat, Allah swt jelas-jelas sudah menjamin para sahabat Rasul ini. Utamanya yang ikut dalam Baiat Ridwhan –seperti yang disebutkan surah Al Fath ayat 18–, akan diganjar surga.
“Abu Bakar dan Umar Radiallaahu Anhuma jelas-jelas ikut dalam baiat itu,” jelas Ustad Rahmat.
Dialog terasa semakin memanas saat Ustad Rahmat menegaskan bahwa kitab-kitab utama rujukan kaum Syiah seperti Al Kaafi dan Biharul Anwar berisi hujatan yang ditujukan kepada tiga khalifah Ar Rasyidin, utamanya Abu Bakar, Umar dan Ustman. Dia juga mengungkapkan bahwa golongan Syiah menganggap dua istri Rasul saw Aisyah binti Abu Bakar dan Hafsah binti Umar sebagai orang yang zindik.
“Coba fikir, bagaimana mungkin Rasul saw mau menikahi orang yang zindik,” kata pria yang memanjangkan jenggotnya ini.
Menurut Ustad Rahmat, Ahlusunnah berkeyakinan bahwa seluruh sahabat bersifat ‘Adalah. Namun, dia mengakui bahwa sahabat Nabi saw bisa saja salah dalam mengambil kebijakan.
“Tetapi jika mereka salah, maka itu dianggap salah dalam berijtihad dan hanya mendapat satu pahala. Dan jika mereka berdosa, Allah swt telah menjamin mengampun seluruh dosanya sesuai yang diterangkan Alquran,” kata Ketua LKKS (Lembaga Kajian Konsultasi Syariah) DPP Wahdah Islamiyah ini.
Selain Kang Jalal dan Ustad Rahmat, dialog ini juga mempersilahkan Muhammad Zain memaparkan makalahnya. Zain yang sudah bertahun-tahun meneliti sejarah sahabat Nabi saw sebenarnya diharap dapat meredam perseteruan antara kedua kelompok ini. Alih-alih menjadi penengah, Zain, meski mampu mengocok perut peserta dialog dengan humor-humor cerdasnya, namun paparan fakta sejarah Sahabat Nabi saw yang dibawakan Zain terasa lebih membenarkan pandangan Syiah.
Bagaimana tidak, Zain justru membuka sisi kelam sejumlah sahabat Nabi saw yang sudah terlanjur diagung-agungkan oleh kalangan Sunni. Bahkan beberapa buku kontroversi seperti kelakuan seks para sahabat juga sempat disinggungnya. Begitu pula dengan fakta sejarah tentang perseteruan di kalangan sahabat Nabi saw. (2)
Kendati begitu, Zain memesankan bahwa fakta historis mengenai prilaku sahabat Nabi saw tetap patut dijadikan pertimbangan. Sebab dari mereka lah ajaran Islam menyebar. Dengan mengetahui bagaimana kelakuan sahabat sepeninggal Nabi saw, umat bisa menjadi tahu dan menilai ajaran Islam yang diterimanya dan bentuk-bentuknya.
Untung saja, moderator Hamdan Juhannis mampu memosisikan diri sebagai orang yang netral. Sehingga persinggungan yang lebih jauh pun bisa dihindari. Masalahnya, penanya yang didominasi oleh penganut Sunni, utamanya dari Wahdah cenderung mengangkat pertanyaan yang provokatif.
Sayangnya, dialog yang digagas PPs UIN Alauddin ini masih belum bisa mencapai tujuan mulianya, yakni ‘mendamaikan’ penganut Mazhab Syiah dan Mazhab Sunni, khususnya Wahdah Islamiyah. Padahal isu yang diangkat masih terbatas pada lingkup Sahabat Nabi saw, belum keilmuan Fiqh, muamalat, tafsir, dan lainnya. Kendati begitu, usaha PPs UIN Alauddin ini patut diberi apresiasi.
Sempat tegang, namun suasana akhirnya kembali mencair. Usai acara, para Ustad dari masing-masing mazhab saling berpelukan.
Dia akhir acara, AGH Ahmad Sewang mengingatkan, meski berbeda ideologi dan mazhab, sesama muslim harus saling toleran.”Kita hanya mencari kebenaran, bukan pembenaran. Kalau Anda ingin mencari kemenangan, Anda memasuki ruangan yang salah,” kata Ahmad Sewang yang disambut aplous meriah dari hadirin.
Ahmad Sewang berjanji pihaknya tidak akan berhenti mempertemukan kedua mazhab ini dalam sebuah dialog. Tujuannya, agar umat muslim bisa saling memahami pandangan masing-masing mazhab dan berusaha untuk toleran dan saling menghormati.
Rencananya, dialog Sunni-Syiah akan kembali digelar. Ahmad Sewang menawarkan dialog dilakukan di markas DPP Wahdah Islamiyah. (*)
*Tulisan ini dimuat dua kali di Halaman Nasional Harian Fajar, pada Sabtu (7/2) dan Minggu (8/2)
(1) Pada Senin (9/2), DPP Wahdah Islamiyah melayangkan surat komplain kepada penulis karena ditulis berpaham Wahabi. Mereka menolak dinyatakan berpaham Wahabi. Wahdah juga komplain karena penjelasan Kang Jalal lebih banyak dari Ustad mereka. Selain itu, Wahdah ingin meluruskan kisah Khalid bin Walid, serta ‘kebijakan’ seluruh Sahabat Nabi saw.
(2) Karena keterbatasan halaman, pemuatan tulisan hanya sampai di sini.
*****
Jalaluddin Rahmat : “Mengapa Kami Memilih Mazhab Ahlulbait as.?”
Tuesday, 06 January 2009
.
memulai dengan sedikit nostalgia pada masa SMU, terkesan dengan buku karangan JR yang berjudul Islam Alternatif, “lama-kelamaan saya menyadari barangkali yang dimaksud JR Islam alternatife itu adalah Syiah”, orang Syiah yang ahlul wara wal wafa, orang yang obyektif dan adil dalam memberi penilaian.
Ketua Dewan Syura Jamaah Ahli Bait (Ijabi) Indonesia Prof Dr KH Jalaluddin Rakhmat (JR) tampil Sebagai pemateri tunggal dalam Dialog Muballigh dengan tema : “Syiah dalam Timbangan Alquran dan Sunnah”. Kamis Malam, 1 Januari 2009 di hotel horison Makassar.
tokoh Syiah Indonesia, yang biasa disapa Kang Jalal ini, memaparkan makalahnya dengan judul “Mengapa Kami Memilih Mazhab Ahlulbait as.?”.
Acara yang dilaksanakan oleh Lembaga Studi dan Informasi Islam (LSII) Makassar , yang diketuai Syamsuddin Baharuddin dan didukung ICC dan Ijabi ini dihadiri tiga asatidzah dari Wahdah, yakni Ust. M. Said Abd.Shamad, Ust. M. Ikhwan AJ, Ust. Rahmat AR dan beberapa ulama, cendekiawan dan muballigh Kota Makassar, di antaranya Prof. Dr. Rusydi Khalid, Prof.Dr. Ahmad Sewang, Prof.Dr. Qasim Mathar, Fuad Rumi, Das’ad Latif, DR.Mustamin Arsyad, MA .
Pembatasan Ahlul Bait hanya Ali, Fatimah, Hasan, Husain Radhiyallahu Ajmain
Misalnya, tentang pembatasan ahlul bait hanya Ali, Fatimah, Hasan, Husain Radhiyallahu Ajmain yang berkenaan dengan Surah Al Ahzab:33.
Disebutkan dalam makalah JR:
“Masih dari Ummu Salamah: Ayat ini-Sesungguhnya Allah…-turun di rumahku. Aku berkata:Ya Rasululah, bukannkah aku termasuk Ahlulbait?Beliau bersabda:Kamu dalam kebaikan. Kamu termasuk istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.. Ia berkata Ahlul bait adalah Ali, Fathimah, Al Hasan dan Al Husain. Kata Ibn Asakir:Hadits ini Shahih (Al Arbain fi Manaqib Ummil Mu’minin 106). Hadits-hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa ahlulbait itu tidak termasuk ke dalamnya istri-istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.”.
Mazhab Syiah meyakini bahwa tidak semua sahabat benar-benar setia dan patuh kepada Rasul saw. Sebaliknya, hanya sahabat yang setia dan patuh kepada Rasul saw yang bisa dijadikan rujukan ajaran Islam. Di lain sisi, Mazhab Sunni, khususnya Wahdah Islamiyah meyakini semua sahabat Rasul saw yang jumlahnya lebih 100.000 orang sudah terjamin kebaikan dan kebajikannya. Mereka pun menganggap seluruh sahabat sangat layak dijadikan rujukan ajaran Islam, khususnya Khulafaur Raasyidin (empat khalifah utama), yakni Abu Bakar Ash Shiddiq ra, Umar bin Khattab ra, Utsman bin Affan ra, dan Ali bin Abi Thalib kwh.
Dalam dialog ini, mewakili kelompok Syiah adalah Ketua Dewan Syuro IJABI, Prof Dr KH Jalaluddin Rakhmat M Sc, yang juga dikenal sebagai pakar komunikasi, politik, sosiologi dan tasawuf. Sedangkan Wahdah yang menganut paham Wahabi (1) ini mengutus Ketua DPC Wahdah Islamiyah Makassar, Ustad Rahmat Abdul Rahman LC.
Di atas meja panjang, dedengkot mazhab Syiah dan Wahdah ini duduk bersama. Diantaranya kursi keduanya duduk Prof Dr AGH Ahmad Sewang (Direktur PPs UIN Alauddin) dan Dr Muhammad Zain (peneliti sejarah para sahabat Nabi Saw). Sementara Hamdan Juhannis (Pemerhati Masalah Islam) menjadi moderatornya.
Meski digelar secara terbatas dan sederhana, namun kualitas acara ini tak perlu disangsikan lagi. Sebab acara ini dihadiri oleh sejumlah ulama dan cendekiawan. Moderator Hamdan menyebut Muhammadiyah, NU, MUI, ICMI, KPPSI bahkan aktivis Ahmadiyah ikut berpartisipasi. Malah, aula PPs UIN Alauddin yang ukurannya memang tidak luas itu akhirnya menjadi sesak oleh pengunjung. Sebagian terpaksa harus duduk melantai.
Pukul 15.00 Wita, acara yang sebenarnya dijadwalkan setelah Salat Jumat atau pukul 13.00 Wita, baru dimulai. Prof Dr KH Jalaluddin Rakhmat M Sc yang akrab disapa Kang Jalal diberi kesempatan selama 30 menit memaparkan makalahnya.
Kang Jalal mengingatkan bahwa makalahnya mengutip penjelasan sejumlah tafsir Alquran serta hadist-hadist yang diakui Mazhab Syiah atau pun Sunni. Ayat-ayat tentang sahabat yang dikutip Kang Jalal antara lain Surah Al Fath ayat 18, dan surah Al Bayyinah ayat 8, surah Al Hujurat ayat 2 serta surah Al Jumuah (Jumat).
Melalui Alquran dan fakta sejarah, Kang Jalal mengungkapkan bahwa beberapa sahabat ternyata ada yang patuh, dan juga tidak patuh terhadap perintah Nabi saw. Itu bisa dilihat dari Al Hujuraat ayat 2 yang isinya memperingatkan kepada sahabat tertentu supaya tidak lagi mengeraskan suaranya melebihi suara Nabi saw.
Di dalam surah Al Jumuah, juga diceritakan bagaimana sejumlah sahabat diperingati karena meninggalkan Nabi saw yang sedang khutbah Jumat. Para sahabat ini meninggalkan khutbah karena ingin menyaksikan kelompok pemusik yang lewat kala itu.
Beberapa fakta lain yang disebutkan dalam Alquran juga mengungkapkan adanya sahabat yang mencari-cari alasan supaya tidak ikut perang melawan kaum kafir, bahkan melarikan diri dari medan perang.
“Olehnya itu, tidak semua sahabat bisa disebut ‘Adalah (berkeadilan). Hanya sebagian sahabat saja,” kunci Kang Jalal.
Kang Jalal juga menyinggung tentang kisah Khalid bin Walid yang cerita heroiknya sudah melegenda di sebagian Muslim. Menurut catatan sejarah, Khalid bin Walid ternyata pernah membunuh seorang muslim bernama Malik bin Nuwairah lantaran terpikat kecantikan istri Malik, Laila binti Mihlal. Usai membunuh Malik bin Nuwairah, Khalid pun meniduri Laila malam itu juga.
Perbuatan Khalid ini tak urung menyebabkan Umar bin Khattab ra dan Abu Bakar As Shiddiq ra yang menjadi khalifah saat itu, bertentang pendapat. Umar menginginkan agar Khalid dihukum mati karena membunuh seorang muslim dan berzinah. Namun Abu Bakar membelanya karena menganggap Khalid hanya salah dalam berijtihad.
Penjelasan Kang Jalal ini sempat membuat gaduh suasana dialog. Menandakan beberapa peserta terkejut mendengar sisi kelam orang yang dicap sahabat Nabi saw ini.
“Jika memang semua sahabat Nabi saw itu ‘Adalah dan bisa dijadikan landasan sunnah, maka pasti bukan suatu dosa membunuh muslim karena kita suka istrinya, lalu memperistrikannya sebelum masa Iddah (kesucian) selesai,” tutur Kang Jalal merujuk kisah Khalid bin Walid.
Masalah Kepemimpinan Setelah Rasulullah jatuh ke tangan Ali Radhiyallalu ‘Anhu
Contoh kedua, tentang Ayat Wilayah (kepemimpinan) yang tercantum dalam makalah. Disebutkan pemimpin dalam alquran disebut ‘waliy”. Al Quran sudah memberikan petunjuk siapa yang sepatutnya dijadikan pemimpin setelah Allah dan RasulNya: Sesungguhnya pemimpin kamu itu hanyalah Allah, RasulNya, dan orang-orang beriman yang mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat dalam keadaan rukuk (Al Maidah:55). Berkata Ibn Abbas, Al Suddi, Utbah bin hakim dan tsabit bin Abdullah:yang dimaksud dengan orang-orang beriman yang mendirikan salat dan mengeluarkan zakat dalam keadaan rukuk adalah Ali bin Abi Thalib. Seorang pengemis lewat (meminta tolong) dan Ali sedang rukuk di Masjid. Lalu Ali menyerahkan cincinnya (tafsir al Tsa’labi 4:80).
Tidak Mengakui Kedudukan Hadits perintah untuk kembali kepada “Al Qur’an dan Sunnahku”.
Terakhir, komentar Ustadz Rahmat, tentang hadits kembali pada Al Quran dan Assunnah yang didhaifkan. Sayang JR tidak kembali ke perkataan al-Albani sebagaimana kuatnya, ia merujukkan hadits al-Qur’an dan al-Ithrah ke beliau.
Kitab lain yang dipakai oleh JR dalam membenarkan mazhabnya adalah Kitab as-Shawaiq al-Muhriqah karangan Ibnu Hajaral-Haitami, justru kitab itu untuk membantah Syiah, judulnya adalah: as-Shawaiq al-Muhriqah fi ar-Raddi ala Ahli ar-Rafdhi wa ad-Dhalali wa az-Zandaqah.
JR dalam bukunya terbitan 2008 yang lalu menyebut Sahabat Amr bin Ash Radhiyallahu Anhu sebagai anak haram yang tidak diketahui bapaknya secara pasti dan dia sangat banyak dilaknat oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Siapa yang dilaknat oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berarti dilaknat oleh Allah.
Selanjutnya, JR menulis tentang Sahabat Muawwiyah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa dia itu bukan saja fasik bahkan Kafir menurut riwayat versi Syiah.
Fathimah Melaknat Abubakar Radhiyallahu ‘Anhu (Pada akhirnya dikatakan Rasulullah dan Allah Melaknat Abubakar).
Dalam buku kecil yang memuat ceramah Asyura, JR mengatakan bahwa Fatimah Radhiyallahu ‘Anha telah mengutuk Abubakar Radhiyallahu ‘Anhu karena tidak memberikan kepadanya harta peninggalan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Hal tersebut dibenarkan oleh JR berdasarkan hadits bahwa Fathimah itu adalah bahagian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Apa yang menjadikan Fathimah murka berarti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga akan murka dan melaknatnya dan apa yang dilaknat oleh Rasul berari dilaknat oleh Allah. Lalu JR membaca ayat surat al ahzab ayat 58.
Rasulullah SAW Tidak Mau Bersaksi Untuk Abubakar.
Rasulullah SAW Tidak Mau Bersaksi Untuk Abu Bakar RA.
وحدثني عن مالك عن أبي النضر مولى عمر بن عبيد الله أنه بلغه ان رسول
الله صلى الله عليه و سلم قال لشهداء أحد هؤلاء اشهد عليهم فقال أبو بكر
الصديق ألسنا يا رسول الله بإخوانهم أسلمنا كما أسلموا وجاهدنا كما جاهدوا
فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم بلى ولكن لا أدري ما تحدثون بعدي فبكى
أبو بكر ثم بكى ثم قال أإنا لكائنون بعدك
Yahya menyampaikan kepadaku (hadis) dari Malik dari Abu’n Nadr mawla Umar bin Ubaidillah bahwa Rasulullah SAW berkata mengenai para Syuhada Uhud “Aku bersaksi untuk mereka”. Abu Bakar As Shiddiq berkata “Wahai Rasulullah, Apakah kami bukan saudara-saudara mereka? Kami masuk Islam sebagaimana mereka masuk islam dan kami berjihad sebagaimana mereka berjihad”. Rasulullah SAW berkata “Ya, tapi Aku tidak tahu Apa yang akan kamu lakukan sepeninggalKu”. Abu Bakar menangis sejadi-jadinya dan berkata ”Apakah kami akan benar-benar hidup lebih lama daripada Engkau!”. (Hadis Dalam Al Muwatta Imam Malik Kitab Jihad Bab Para Syuhada di Jalan Allah hadis no 987).
Penjelasan Hadis.
Hadis di atas diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Kitabnya Al Muwatta. Dari hadis di atas diketahui bahwa
- Para Syuhada Uhud lebih utama dari Abu Bakar dan sahabat lainnya karena Rasulullah SAW telah memberikan kesaksian kepada Mereka
- Rasulullah SAW tidak memberikan kesaksian kepada Abu Bakar dan sahabat lainnya karena Rasulullah SAW tidak mengetahui apa yang akan mereka perbuat sepeninggal Beliau SAW.
Sepertinya masalah akan selalu ada jika seseorang menuliskan hadis-hadis yang kontroversial
Ah lupakan itu, masalahnya adalah kira-kira apa yang terpikirkan oleh anda setelah membaca riwayat ini. Saya kasih contoh nih:
- Mungkinkah anda teringat akan hadis-hadis tentang Sahabat Nabi yang berpaling setelah Berpulangnya Sang Nabi SAW (jadi teringat tulisan Ressay , cuma teringat aja lho ).
- Seorang Sunni Salafy biasanya akan geleng-geleng kepala dan mulai berteriak mengeluarkan berbagai prasangka dan nasehat yang semoga saja baik atau mungkin pembelaan (monggo Mas, silakan atuh).
- Seorang Syiah tidak terlalu terkejut mungkin akan berkata “Sahabat Nabi kan memang macam-macam”. Atau ada respon lain yang saya tidak tahu.
- Ada juga mungkin yang beranggapan, gak penting amat sih, hari gini masih bahas yang begituan. Pikirkan yang lebih baik dong yang lebih bermanfaat bagi umat (iya iya Mbak, Om, Tante ntar saya cari bahan lain ).
- Atau akan ada yang mendhaifkan hadis tersebut, silakan silakan asal disertakan alasannya biar saya yang bodoh ini belajar lebih banyak lagi.
Mari kita diskusi baik-baik dengan santun dan jika saja ada yang beranggapan kalau saya ini tidak berharga (sungguh benar sekali) dan sudah menyimpang dari jalan yang lurus mari tolong luruskan saya
Semoga Allah SWT memberikan rahmat kepada kita semua.
Salam damai
Catatan : Sebagai perbandingan, anda dapat melihat hadis tersebut di sini Book21 Number 21.14.32
Analisis Hadis “Kitab Allah dan SunahKu”.
Analisis Hadis “Kitab Allah dan SunahKu”.
Al Quranul Karim dan Sunnah Rasulullah SAW adalah landasan dan
sumber syariat Islam. Hal ini merupakan kebenaran yang sifatnya pasti
dan diyakini oleh umat Islam. Banyak ayat Al Quran yang memerintahkan
umat Islam untuk berpegang teguh dengan Sunnah Rasulullah SAW,
diantaranya:
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertakwalah kepada Allah
.Sesungguhnya Allah sangat keras hukumanNya. (QS ; Al Hasyr 7).
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang berharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS ; Al Ahzab
21).
Barang siapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah
mentaati Allah .Dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu) maka
Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (QS ; An
Nisa 80).
Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil
kepada Allah dan RasulNya agar Rasul menghukum (mengadili) diantara
mereka ialah ucapan “kami mendengar dan kami patuh”. Dan mereka Itulah
orang-orang yang beruntung. Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan
RasulNya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepadaNya maka mereka
adalah orang-orang yang mendapat kemenangan. (QS ; An Nur 51-52).
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan
suatu Ketetapan , akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang
urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka
sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS ; Al Ahzab 36).
Jadi Sunnah Rasulullah SAW merupakan salah satu pedoman bagi umat
islam di seluruh dunia. Berdasarkan ayat-ayat Al Quran di atas sudah
cukup rasanya untuk membuktikan kebenaran hal ini. Tulisan ini akan
membahas hadis “Kitabullah wa Sunnaty” yang sering dijadikan dasar bahwa
kita harus berpedoman kepada Al Quran dan Sunnah Rasulullah SAW yaitu:
Bahwa Rasulullah bersabda “Sesungguhnya Aku telah meninggalkan pada
kamu sekalian dua perkara yang jika kamu pegang teguh pasti kamu
sekalian tidak akan sesat selamanya yaitu Kitabullah dan SunahKu.
Keduanya tidak akan berpisah hingga menemuiKu di Al Haudh.”.
Hadis “Kitabullah Wa Sunnaty” ini adalah hadis masyhur yang sering
sekali didengar oleh umat Islam sehingga tidak jarang banyak yang
beranggapan bahwa hadis ini adalah benar dan tidak perlu dipertanyakan
lagi. Pada dasarnya kita umat Islam harus berpegang teguh kepada Al
Quran dan As Sunnah yang merupakan dua landasan utama dalam agama Islam.
Banyak dalil dalil shahih yang menganjurkan kita agar berpegang kepada
As Sunnah baik dari Al Quran (seperti yang sudah disebutkan) ataupun
dari hadis-hadis yang shahih. Sayangnya hadis”Kitabullah Wa Sunnaty”
yang seringkali dijadikan dasar dalam masalah ini adalah hadis yang
tidak shahih atau dhaif. Berikut adalah analisis terhadap sanad hadis
ini.
Analisis Sumber Hadis “Kitab Allah dan SunahKu”.
Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” ini tidak terdapat dalam kitab
hadis Kutub As Sittah (Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Ibnu Majah,
Sunan An Nasa’i, Sunan Abu Dawud, dan Sunan Tirmidzi). Sumber dari Hadis
ini adalah Al Muwatta Imam Malik, Mustadrak Ash Shahihain Al Hakim, At
Tamhid Syarh Al Muwatta Ibnu Abdil Barr, Sunan Baihaqi, Sunan
Daruquthni, dan Jami’ As Saghir As Suyuthi. Selain itu hadis ini juga
ditemukan dalam kitab-kitab karya Ulama seperti , Al Khatib dalam Al
Faqih Al Mutafaqqih, Shawaiq Al Muhriqah Ibnu Hajar, Sirah Ibnu Hisyam,
Al Ilma ‘ila Ma’rifah Usul Ar Riwayah wa Taqyid As Sima’ karya Qadhi
Iyadh, Al Ihkam Ibnu Hazm dan Tarikh At Thabari. Dari semua sumber itu
ternyata hadis ini diriwayatkan dengan 4 jalur sanad yaitu dari Ibnu
Abbas ra, Abu Hurairah ra, Amr bin Awf ra, dan Abu Said Al Khudri ra.
Terdapat juga beberapa hadis yang diriwayatkan secara mursal (terputus
sanadnya), mengenai hadis mursal ini sudah jelas kedhaifannya.
Hadis ini terbagi menjadi dua yaitu:
1. Hadis yang diriwayatkan dengan sanad yang mursal.
2. Hadis yang diriwayatkan dengan sanad yang muttasil atau bersambung.
Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” Yang Diriwayatkan Secara Mursal.
Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” yang diriwayatkan secara mursal ini
terdapat dalam kitab Al Muwatta, Sirah Ibnu Hisyam, Sunan Baihaqi,
Shawaiq Al Muhriqah, dan Tarikh At Thabari. Berikut adalah contoh
hadisnya
Dalam Al Muwatta jilid I hal 899 no 3;
Bahwa Rasulullah SAW bersabda” Wahai Sekalian manusia sesungguhnya
Aku telah meninggalkan pada kamu apa yang jika kamu berpegang teguh
pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya yaitu Kitab Allah dan
Sunah RasulNya”.
Dalam Al Muwatta hadis ini diriwayatkan Imam Malik tanpa sanad.
Malik bin Anas adalah generasi tabiit tabiin yang lahir antara tahun
91H-97H. Jadi paling tidak ada dua perawi yang tidak disebutkan di
antara Malik bin Anas dan Rasulullah SAW. Berdasarkan hal ini maka dapat
dinyatakan bahwa hadis ini dhaif karena terputus sanadnya.
Dalam Sunan Baihaqi terdapat beberapa hadis mursal mengenai hal ini, diantaranya
Al Baihaqi dengan sanad dari Urwah bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda
pada haji wada “ Sesungguhnya Aku telah meninggalkan sesuatu bagimu
yang apabila berpegang teguh kepadanya maka kamu tidak akan sesat
selamanya yaitu dua perkara Kitab Allah dan Sunnah NabiMu, Wahai umat
manusia dengarkanlah olehmu apa yang aku sampaikan kepadamu, maka
hiduplah kamu dengan berpegang kepadanya”.
Selain pada Sunan Baihaqi, hadis Urwah ini juga terdapat dalam
Miftah Al Jannah hal 29 karya As Suyuthi. Urwah bin Zubair adalah dari
generasi tabiin yang lahir tahun 22H, jadi Urwah belum lahir saat Nabi
SAW melakukan haji wada oleh karena itu hadis di atas terputus, dan ada
satu orang perawi yang tidak disebutkan, bisa dari golongan sahabat dan
bisa juga dari golongan tabiin. Singkatnya hadis ini dhaif karena
terputus sanadnya.
Al Baihaqi dengan sanad dari Ibnu Wahb yang berkata “Aku telah
mendengar Malik bin Anas mengatakan berpegang teguhlah pada sabda
Rasulullah SAW pada waktu haji wada yang berbunyi ‘Dua hal Aku
tinggalkan bagimu dimana kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada
keduanya yaitu Kitab Allah dan Sunah NabiNya”.
Hadis ini tidak berbeda dengan hadis Al Muwatta, karena Malik bin Anas tidak bertemu Rasulullah SAW jadi hadis ini juga dhaif.
Dalam Sirah Ibnu Hisyam jilid 4 hal 185 hadis ini diriwayatkan dari
Ibnu Ishaq yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda pada haji
wada…..,Disini Ibnu Ishaq tidak menyebutkan sanad yang bersambung kepada
Rasulullah SAW oleh karena itu hadis ini tidak dapat dijadikan hujjah.
Dalam Tarikh At Thabari jilid 2 hal 205 hadis ini juga diriwayatkan
secara mursal melalui Ibnu Ishaq dari Abdullah bin Abi Najih. Jadi kedua
hadis ini dhaif. Mungkin ada yang beranggapan karena Sirah Ibnu Hisyam
dari Ibnu Ishaq sudah menjadi kitab Sirah yang jadi pegangan oleh jumhur
ulama maka adanya hadis itu dalam Sirah Ibnu Hisyam sudah cukup menjadi
bukti kebenarannya. Jawaban kami adalah benar bahwa Sirah Ibnu Hisyam
menjadi pegangan oleh jumhur ulama, tetapi dalam kitab ini hadis
tersebut terputus sanadnya jadi tentu saja dalam hal ini hadis tersebut
tidak bisa dijadikan hujjah.
Sebuah Pembelaan dan Kritik.
Hafiz Firdaus dalam bukunya Kaidah Memahami Hadis-hadis yang
Bercanggah telah membahas hadis dalam Al Muwatta dan menanggapi
pernyataan Syaikh Hasan As Saqqaf dalam karyanya Shahih Sifat shalat An
Nabiy (dalam kitab ini As Saqqaf telah menyatakan hadis Kitab Allah dan
SunahKu ini sebagai hadis yang dhaif ). Sebelumnya berikut akan
dituliskan pendapat Hafiz Firdaus tersebut.
Bahwa Rasulullah bersabda “wahai sekalian manusia sesungguhnya Aku
telah meninggalkan pada kamu apa yang jika kamu pegang teguh pasti kamu
sekalian tidak akan sesat selamanya yaitu Kitabullah dan Sunah
Rasul-Nya”.
Hadis ini sahih: Dikeluarkan oleh Malik bin Anas dalam al-Muwattha’
– no: 1619 (Kitab al-Jami’, Bab Larangan memastikan Takdir). Berkata
Malik apabila mengemukakan riwayat ini: Balghni………bererti “disampaikan
kepada aku” (atau dari sudut catatan anak murid beliau sendiri: Dari
Malik, disampaikan kepadanya………). Perkataan seperti ini memang khas di
zaman awal Islam (sebelum 200H) menandakan bahawa seseorang itu telah
menerima sesebuah hadis daripada sejumlah tabi’in, dari sejumlah sahabat
dari jalan-jalan yang banyak sehingga tidak perlu disertakan sanadnya.
Lebih lanjut lihat Qadi ‘Iyadh Tartib al-Madarik, jld 1, ms 136; Ibn
‘Abd al-Barr al Tamhid, jld 1, ms 34; al-Zarqani Syarh al Muwattha’, jld
4, ms 307 dan Hassath binti ‘Abd al-’Aziz Sagheir Hadis Mursal baina
Maqbul wa Mardud, jld 2, ms 456-470.
Hasan ‘Ali al-Saqqaf dalam bukunya Shalat Bersama Nabi SAW (edisi
terj. dari Sahih Sifat Solat Nabi), ms 269-275 berkata bahwa hadis ini
sebenarnya adalah maudhu’. Isnadnya memiliki perawi yang dituduh
pendusta manakala maksudnya tidak disokongi oleh mana-mana dalil lain.
Beliau menulis: Sebenarnya hadis yang tsabit dan sahih adalah hadis yang
berakhir dengan “wa ahli baiti” (sepertimana Khutbah C – penulis).
Sedangkan yang berakhir dengan kata-kata “wa sunnati” (sepertimana
Khutbah B) adalah batil dari sisi matan dan sanadnya.
Nampaknya al-Saqqaf telah terburu-buru dalam penilaian ini kerana
beliau hanya menyimak beberapa jalan periwayatan dan meninggalkan yang
selainnya, terutamanya apa yang terkandung dalam kitab-kitab Musannaf,
Mu’jam dan Tarikh (Sejarah). Yang lebih berat adalah beliau telah
menepikan begitu sahaja riwayat yang dibawa oleh Malik di dalam kitab
al-Muwattha’nya atas alasan ianya adalah tanpa sanad padahal yang benar
al-Saqqaf tidak mengenali kaedah-kaedah periwayatan hadis yang khas di
sisi Malik bin Anas dan tokoh-tokoh hadis di zamannya.
Kritik kami adalah sebagai berikut, tentang kata-kata hadis riwayat
Al Muwatta adalah shahih karena pernyataan Balghni atau “disampaikan
kepada aku” dalam hadis riwayat Imam Malik ini adalah khas di zaman awal
Islam (sebelum 200H) menandakan bahwa seseorang itu telah menerima
sesebuah hadis daripada sejumlah tabi’in, dari sejumlah sahabat dari
jalan-jalan yang banyak sehingga tidak perlu disertakan sanadnya. Maka
Kami katakan, Kaidah periwayatan hadis dengan pernyataan Balghni atau
“disampaikan kepadaku” memang terdapat di zaman Imam Malik. Hal ini juga
dapat dilihat dalam Kutub As Sunnah Dirasah Watsiqiyyah oleh Rif’at
Fauzi Abdul Muthallib hal 20, terdapat kata kata Hasan Al Bashri
“Jika empat shahabat berkumpul untuk periwayatan sebuah hadis maka
saya tidak menyebut lagi nama shahabat”.Ia juga pernah berkata”Jika aku
berkata hadatsana maka hadis itu saya terima dari fulan seorang tetapi
bila aku berkata qala Rasulullah SAW maka hadis itu saya dengar dari 70
orang shahabat atau lebih”.
Tetapi adalah tidak benar mendakwa suatu hadis sebagai shahih hanya
dengan pernyataan “balghni”. Hal ini jelas bertentangan dengan kaidah
jumhur ulama tentang persyaratan hadis shahih seperti yang tercantum
dalam Muqaddimah Ibnu Shalah fi Ulumul Hadis yaitu:
Hadis shahih adalah Hadis yang muttashil (bersambung sanadnya)
disampaikan oleh setiap perawi yang adil(terpercaya) lagi dhabit sampai
akhir sanadnya dan hadis itu harus bebas dari syadz dan Illat.
Dengan kaidah Inilah as Saqqaf telah menepikan hadis al Muwatta
tersebut karena memang hadis tersebut tidak ada sanadnya. Yang aneh
justru pernyataan Hafiz yang menyalahkan As Saqqaf dengan kata-kata
padahal yang benar al-Saqqaf tidak mengenali kaedah-kaedah periwayatan
hadis yang khas di sisi Malik bin Anas dan tokoh-tokoh hadis di
zamannya.
Pernyataan Hafiz di atas menunjukan bahwa Malik bin Anas dan tokoh
hadis zamannya (sekitar 93H-179H) jika meriwayatkan hadis dengan
pernyataan telah disampaikan kepadaku bahwa Rasulullah SAW atau Qala
Rasulullah SAW tanpa menyebutkan sanadnya maka hadis tersebut adalah
shahih. Pernyataan ini jelas aneh dan bertentangan dengan kaidah jumhur
ulama hadis. Sekali lagi hadis itu mursal atau terputus dan hadis mursal
tidak bisa dijadikan hujjah karena kemungkinan dhaifnya. Karena bisa
jadi perawi yang terputus itu adalah seorang tabiin yang bisa jadi dhaif
atau tsiqat, jika tabiin itu tsiqatpun dia kemungkinan mendengar dari
tabiin lain yang bisa jadi dhaif atau tsiqat dan seterusnya kemungkinan
seperti itu tidak akan habis-habis. Sungguh sangat tidak mungkin
mendakwa hadis mursal sebagai shahih “Hanya karena terdapat dalam Al
Muwatta Imam Malik”.
Hal yang kami jelaskan itu juga terdapat dalam Ilmu Mushthalah
Hadis oleh A Qadir Hassan hal 109 yang mengutip pernyataan Ibnu Hajar
yang menunjukkan tidak boleh menjadikan hadis mursal sebagai hujjah,
Ibnu Hajar berkata:
”Boleh jadi yang gugur itu shahabat tetapi boleh jadi juga seorang
tabiin .Kalau kita berpegang bahwa yang gugur itu seorang tabiin boleh
jadi tabiin itu seorang yang lemah tetapi boleh jadi seorang
kepercayaan. Kalau kita andaikan dia seorang kepercayaan maka boleh jadi
pula ia menerima riwayat itu dari seorang shahabat, tetapi boleh juga
dari seorang tabiin lain”.
Lihat baik-baik walaupun yang meriwayatkan hadis mursal itu adalah
tabiin tetap saja dinyatakan dhaif apalagi Malik bin Anas yang seorang
tabiit tabiin maka akan jauh lebih banyak kemungkinan dhaifnya.
Pernyataan yang benar tentang hadis mursal Al Muwatta adalah hadis
tersebut shahih jika terdapat hadis lain yang bersambung dan shahih
sanadnya yang menguatkan hadis mursal tersebut di kitab-kitab lain. Jadi
adalah kekeliruan menjadikan hadis mursal shahih hanya karena terdapat
dalam Al Muwatta.
Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” Yang Diriwayatkan Dengan Sanad Yang Bersambung.
Telah dinyatakan sebelumnya bahwa dari sumber-sumber yang ada
ternyata ada 4 jalan sanad hadis “Kitab Allah dan SunahKu”.
4 jalan sanad itu adalah:
4 jalan sanad itu adalah:
1. Jalur Ibnu Abbas ra.
2. Jalur Abu Hurairah ra.
3. Jalur Amr bin Awf ra.
4. Jalur Abu Said Al Khudri ra.
Jalan Sanad Ibnu Abbas.
Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” dengan jalan sanad dari Ibnu Abbas
dapat ditemukan dalam Kitab Al Mustadrak Al Hakim jilid I hal 93 dan
Sunan Baihaqi juz 10 hal 4 yang pada dasarnya juga mengutip dari Al
Mustadrak. Dalam kitab-kitab ini sanad hadis itu dari jalan Ibnu Abi
Uwais dari Ayahnya dari Tsaur bin Zaid Al Daily dari Ikrimah dari Ibnu
Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya
Aku telah meninggalkan pada kamu apa yang jika kamu pegang teguh pasti
kamu sekalian tidak akan sesat selamanya yaitu Kitab Allah dan Sunnah
RasulNya”.
Hadis ini adalah hadis yang dhaif karena terdapat kelemahan pada dua orang perawinya yaitu Ibnu Abi Uwais dan Ayahnya.
1. Ibnu Abi Uwais.
* Dalam kitab Tahdzib Al Kamal karya Al Hafiz Ibnu Zakki Al Mizzy
jilid III hal 127 mengenai biografi Ibnu Abi Uwais terdapat perkataan
orang yang mencelanya, diantaranya Berkata Muawiyah bin Salih dari Yahya
bin Mu’in “Abu Uwais dan putranya itu keduanya dhaif(lemah)”. Dari
Yahya bin Mu’in bahwa Ibnu Abi Uwais dan ayahnya suka mencuri hadis,
suka mengacaukan(hafalan) hadis atau mukhallith dan suka berbohong.
Menurut Abu Hatim Ibnu Abi Uwais itu mahalluhu ash shidq atau tempat
kejujuran tetapi dia terbukti lengah. An Nasa’i menilai Ibnu Abi Uwais
dhaif dan tidak tsiqah. Menurut Abu Al Qasim Al Alkaiy “An Nasa’i sangat
jelek menilainya (Ibnu Abi Uwais) sampai ke derajat matruk(ditinggalkan
hadisnya)”. Ahmad bin Ady berkata “Ibnu Abi Uwais itu meriwayatkan dari
pamannya Malik beberapa hadis gharib yang tidak diikuti oleh
seorangpun.”
* Dalam Muqaddimah Al Fath Al Bary halaman 391 terbitan Dar Al
Ma’rifah, Al Hafiz Ibnu Hajar mengenai Ibnu Abi Uwais berkata ”Atas
dasar itu hadis dia (Ibnu Abi Uwais) tidak dapat dijadikan hujjah selain
yang terdapat dalam As Shahih karena celaan yang dilakukan Imam Nasa’i
dan lain-lain”.
* Dalam Fath Al Mulk Al Aly halaman 15, Al Hafiz Sayyid Ahmad bin
Shiddiq mengatakan “berkata Salamah bin Syabib Aku pernah mendengar
Ismail bin Abi Uwais mengatakan “mungkin aku membuat hadis untuk
penduduk madinah jika mereka berselisih pendapat mengenai sesuatu di
antara mereka”.
Jadi Ibnu Abi Uwais adalah perawi yang tertuduh dhaif, tidak
tsiqat, pembohong, matruk dan dituduh suka membuat hadis. Ada sebagian
orang yang membela Ibnu Abi Uwais dengan mengatakan bahwa dia adalah
salah satu Rijal atau perawi Shahih Bukhari oleh karena itu hadisnya
bisa dijadikan hujjah. Pernyataan ini jelas tertolak karena Bukhari
memang berhujjah dengan hadis Ismail bin Abi Uwais tetapi telah
dipastikan bahwa Ibnu Abi Uwais adalah perawi Bukhari yang
diperselisihkan oleh para ulama hadis. Seperti penjelasan di atas
terdapat jarh atau celaan yang jelas oleh ulama hadis seperti Yahya bin
Mu’in, An Nasa’i dan lain-lain. Dalam prinsip Ilmu Jarh wat Ta’dil
celaan yang jelas didahulukan dari pujian(ta’dil). Oleh karenanya hadis
Ibnu Abi Uwais tidak bisa dijadikan hujjah. Mengenai hadis Bukhari dari
Ibnu Abi Uwais, hadis-hadis tersebut memiliki mutaba’ah atau pendukung
dari riwayat-riwayat lain sehingga hadis tersebut tetap dinyatakan
shahih. Lihat penjelasan Al Hafiz Ibnu Hajar dalam Al Fath Al Bary Syarh
Shahih Bukhari, Beliau mengatakan bahwa hadis Ibnu Abi Uwais selain
dalam As Shahih(Bukhari dan Muslim) tidak bisa dijadikan hujjah. Dan
hadis yang dibicarakan ini tidak terdapat dalam kedua kitab Shahih
tersebut, hadis ini terdapat dalam Mustadrak dan Sunan Baihaqi.
2. Abu Uwais.
* Dalam kitab Al Jarh Wa At Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim jilid V hal
92, Ibnu Abi Hatim menukil dari ayahnya Abu Hatim Ar Razy yang berkata
mengenai Abu Uwais “Ditulis hadisnya tetapi tidak dapat dijadikan hujjah
dan dia tidak kuat”. Ibnu Abi Hatim menukil dari Yahya bin Mu’in yang
berkata “Abu Uwais tidak tsiqah”.
* Dalam kitab Tahdzib Al Kamal karya Al Hafiz Ibnu Zakki Al Mizzy
jilid III hal 127 Berkata Muawiyah bin Salih dari Yahya bin Mu’in “Abu
Uwais dan putranya itu keduanya dhaif(lemah)”. Dari Yahya bin Mu’in
bahwa Ibnu Abi Uwais dan ayahnya(Abu Uwais) suka mencuri hadis, suka
mengacaukan(hafalan) hadis atau mukhallith dan suka berbohong.
Dalam Al Mustadrak jilid I hal 93, Al Hakim tidak menshahihkan
hadis ini. Beliau mendiamkannya dan mencari syahid atau penguat bagi
hadis tersebut, Beliau berkata ”Saya telah menemukan syahid atau saksi
penguat bagi hadis tersebut dari hadis Abu Hurairah ra”. Mengenai hadis
Abu Hurairah ra ini akan dibahas nanti, yang penting dari pernyataan itu
secara tidak langsung Al Hakim mengakui kedhaifan hadis Ibnu Abbas
tersebut oleh karena itu beliau mencari syahid penguat untuk hadis
tersebut .Setelah melihat kedudukan kedua perawi hadis Ibnu Abbas
tersebut maka dapat disimpulkan bahwa hadis ”Kitab Allah dan SunahKu”
dengan jalan sanad dari Ibnu Abbas adalah dhaif.
Jalan Sanad Abu Hurairah ra.
Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” dengan jalan sanad Abu Hurairah ra
terdapat dalam Al Mustadrak Al Hakim jilid I hal 93, Sunan Al Kubra
Baihaqi juz 10, Sunan Daruquthni IV hal 245, Jami’ As Saghir As
Suyuthi(no 3923), Al Khatib dalam Al Faqih Al Mutafaqqih jilid I hal 94,
At Tamhid XXIV hal 331 Ibnu Abdil Barr, dan Al Ihkam VI hal 243 Ibnu
Hazm.
Jalan sanad hadis Abu Hurairah ra adalah sebagi berikut,
diriwayatkan melalui Al Dhaby yang berkata telah menghadiskan kepada
kami Shalih bin Musa At Thalhy dari Abdul Aziz bin Rafi’dari Abu Shalih
dari Abu Hurairah ra.
bahwa Rasulullah SAW bersabda “Bahwa Rasulullah bersabda
“Sesungguhnya Aku telah meninggalkan pada kamu sekalian dua perkara yang
jika kamu pegang teguh pasti kamu sekalian tidak akan sesat selamanya
yaitu Kitabullah dan SunahKu.Keduanya tidak akan berpisah hingga
menemuiKu di Al Haudh”.
Hadis di atas adalah hadis yang dhaif karena dalam sanadnya
terdapat perawi yang tidak bisa dijadikan hujjah yaitu Shalih bin Musa
At Thalhy.
* Dalam Kitab Tahdzib Al Kamal ( XIII hal 96) berkata Yahya bin
Muin bahwa riwayat hadis Shalih bin Musa bukan apa-apa. Abu Hatim Ar
Razy berkata hadis Shalih bin Musa dhaif. Imam Nasa’i berkata hadis
Shalih bin Musa tidak perlu ditulis dan dia itu matruk al
hadis(ditinggalkan hadisnya).
* Al Hafiz Ibnu Hajar Al Asqalany dalam kitabnya Tahdzib At Tahdzib
IV hal 355 menyebutkan Ibnu Hibban berkata bahwa Shalih bin Musa
meriwayatkan dari tsiqat apa yang tidak menyerupai hadis itsbat(yang
kuat) sehingga yang mendengarkannya bersaksi bahwa riwayat tersebut
ma’mulah (diamalkan) atau maqbulah (diterima) tetapi tidak dapat dipakai
untuk berhujjah. Abu Nu’aim berkata Shalih bin Musa itu matruk Al Hadis
sering meriwayatkan hadis mungkar.
* Dalam At Taqrib (Tarjamah :2891) Al Hafidz Ibnu Hajar Al
Asqallany menyatakan bahwa Shalih bin Musa adalah perawi yang
matruk(harus ditinggalkan).
* Al Dzahaby dalam Al Kasyif (2412) menyebutkan bahwa Shalih bin Musa itu wahin (lemah).
* Dalam Al Qaulul Fashl jilid 2 hal 306 Sayyid Alwi bin Thahir
ketika mengomentari Shalih bin Musa, beliau menyatakan bahwa Imam
Bukhari berkata”Shalih bin Musa adalah perawi yang membawa hadis-hadis
mungkar”.
Kalau melihat jarh atau celaan para ulama terhadap Shalih bin Musa
tersebut maka dapat dinyatakan bahwa hadis “Kitab Allah dan SunahKu”
dengan sanad dari Abu Hurairah ra di atas adalah hadis yang dhaif.
Adalah hal yang aneh ternyata As Suyuthi dalam Jami’ As Saghir
menyatakan hadis tersebut hasan, Al Hafiz Al Manawi menshahihkannya
dalam Faidhul Qhadir Syarah Al Jami’Ash Shaghir dan Al Albani juga telah
memasukkan hadis ini dalam Shahih Jami’ As Saghir. Begitu pula yang
dinyatakan oleh Al Khatib dan Ibnu Hazm. Menurut kami penshahihan hadis
tersebut tidak benar karena dalam sanad hadis tersebut terdapat cacat
yang jelas pada perawinya, Bagaimana mungkin hadis tersebut shahih jika
dalam sanadnya terdapat perawi yang matruk, mungkar al hadis dan tidak
bisa dijadikan hujjah. Nyata sekali bahwa ulama-ulama yang menshahihkan
hadis ini telah bertindak longgar(tasahul) dalam masalah ini.
Mengapa para ulama itu bersikap tasahul dalam penetapan kedudukan
hadis ini?. Hal ini mungkin karena matan hadis tersebut adalah hal yang
tidak perlu dipermasalahkan lagi. Tetapi menurut kami matan hadis
tersebut yang benar dan shahih adalah dengan matan hadis yang sama
redaksinya hanya perbedaan pada “Kitab Allah dan SunahKu” menjadi “Kitab
Allah dan Itrah Ahlul BaitKu”. Hadis dengan matan seperti ini salah
satunya terdapat dalam Shahih Sunan Tirmidzi no 3786 & 3788 yang
dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi.
Kalau dibandingkan antara hadis ini dengan hadis Abu Hurairah ra di atas
dapat dipastikan bahwa hadis Shahih Sunan Tirmidzi ini jauh lebih
shahih kedudukannya karena semua perawinya tsiqat. Sedangkan hadis Abu
Hurairah ra di atas terdapat cacat pada salah satu perawinya yaitu
Shalih bin Musa At Thalhy.
Adz Dzahabi dalam Al Mizan Al I’tidal jilid II hal 302 berkata
bahwa hadis Shalih bin Musa tersebut termasuk dari kemunkaran yang
dilakukannya. Selain itu hadis riwayat Abu Hurairah ini dinyatakan dhaif
oleh Hasan As Saqqaf dalam Shahih Sifat Shalat An Nabiy setelah beliau
mengkritik Shalih bin Musa salah satu perawi hadis tersebut. Jadi
pendapat yang benar dalam masalah ini adalah hadis riwayat Abu Hurairah
tersebut adalah dhaif sedangkan pernyataan As Suyuthi, Al Manawi, Al
Albani dan yang lain bahwa hadis tersebut shahih adalah keliru karena
dalam rangkaian sanadnya terdapat perawi yang sangat jelas cacatnya
sehingga tidak mungkin bisa dikatakan shahih.
Jalan Sanad Amr bin Awf ra.
Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” dengan jalan sanad dari Amr bin Awf
terdapat dalam kitab At Tamhid XXIV hal 331 Ibnu Abdil Barr. Telah
menghadiskan kepada kami Abdurrahman bin Yahya, dia berkata telah
menghadiskan kepada kami Ahmad bin Sa’id, dia berkata telahmenghadiskan
kepada kami Muhammad bin Ibrahim Al Daibaly, dia berkata telah
menghadiskan kepada kami Ali bin Zaid Al Faridhy, dia berkata telah
menghadiskan kepada kami Al Haniny dari Katsir bin Abdullah bin Amr bin
Awf dari ayahnya dari kakeknya.
Bahwa Rasulullah bersabda “wahai sekalian manusia sesungguhnya Aku
telah meninggalkan pada kamu apa yang jika kamu pegang teguh pasti kamu
sekalian tidak akan sesat selamanya yaitu Kitabullah dan Sunah
Rasul-Nya.
Hadis ini adalah hadis yang dhaif karena dalam sanadnya terdapat cacat pada perawinya yaitu Katsir bin Abdullah .
* Dalam Mizan Al Itidal (biografi Katsir bin Abdullah no 6943)
karya Adz Dzahabi terdapat celaan pada Katsir bin Abdullah. Menurut
Daruquthni Katsir bin Abdullah adalah matruk al hadis(ditinggalkan
hadisnya). Abu Hatim menilai Katsir bin Abdullah tidak kuat. An Nasa’i
menilai Katsir bin Abdullah tidak tsiqah.
* Dalam At Taqrib at Tahdzib, Ibnu Hajar menyatakan Katsir bin Abdullah dhaif.
* Dalam Al Kasyf Adz Dzahaby menilai Katsir bin Abdullah wahin(lemah).
* Dalam Al Majruhin Ibnu Hibban juz 2 hal 221, Ibnu Hibban berkata
tentang Katsir bin Abdullah “Hadisnya sangat mungkar” dan “Dia
meriwayatkan hadis-hadis palsu dari ayahnya dari kakeknya yang tidak
pantas disebutkan dalam kitab-kitab maupun periwayatan”
* Dalam Al Majruhin Ibnu Hibban juz 2 hal 221, Yahya bin Main berkata “Katsir lemah hadisnya”
* Dalam Kitab Al Jarh Wat Ta’dil biografi no 858, Abu Zur’ah berkata “Hadisnya tidak ada apa-apanya, dia tidak kuat hafalannya”.
* Dalam Adh Dhu’afa Al Kabir Al Uqaili (no 1555), Mutharrif bin
Abdillah berkata tentang Katsir “Dia orang yang banyak permusuhannya dan
tidak seorangpun sahabat kami yang mengambil hadis darinya”.
* Dalam Al Kamil Fi Dhu’afa Ar Rijal karya Ibnu Adi juz 6 hal 63,
Ibnu Adi berkata perihal Katsir “Dan kebanyakan hadis yang
diriwayatkannya tidak bisa dijadikan pegangan”.
* Dalam Al Kamil Fi Dhu’afa Ar Rijal karya Ibnu Adi juz 6 hal 63,
Abu Khaitsamah berkata “Ahmad bin Hanbal berkata kepadaku : jangan
sedikitpun engkau meriwayatkan hadis dari Katsir bin Abdullah”.
* Dalam Ad Dhu’afa Wal Matrukin Ibnu Jauzi juz III hal 24 terdapat
perkataan Imam Syafii perihal Katsir bin Abdullah “Katsir bin Abdullah
Al Muzanni adalah satu pilar dari berbagai pilar kedustaan”
Jadi hadis Amr bin Awf ini sangat jelas kedhaifannya karena dalam
sanadnya terdapat perawi yang matruk, dhaif atau tidak tsiqah dan
pendusta.
Jalur Abu Said Al Khudri ra.
Hadis “Kitab Allah dan SunahKu” dengan jalan sanad dari Abu Said Al
Khudri ra terdapat dalam Al Faqih Al Mutafaqqih jilid I hal 94 karya Al
Khatib Baghdadi dan Al Ilma ‘ila Ma’rifah Usul Ar Riwayah wa Taqyid As
Sima’ karya Qadhi Iyadh dengan sanad dari Saif bin Umar dari Ibnu Ishaq
Al Asadi dari Shabbat bin Muhammad dari Abu Hazm dari Abu Said Al Khudri
ra.
Dalam rangkaian perawi ini terdapat perawi yang benar-benar dhaif yaitu Saif bin Umar At Tamimi.
* Dalam Mizan Al I’tidal no 3637 Yahya bin Mu’in berkata “Saif daif dan riwayatnya tidak kuat”.
* Dalam Ad Dhu’afa Al Matrukin no 256, An Nasa’i mengatakan kalau Saif bin Umar adalah dhaif.
* Dalam Al Majruhin no 443 Ibnu Hibban mengatakan Saif merujukkan
hadis-hadis palsu pada perawi yang tsabit, ia seorang yang tertuduh
zindiq dan seorang pemalsu hadis.
* Dalam Ad Dhu’afa Abu Nu’aim no 95, Abu Nu’aim mengatakan kalau
Saif bin Umar adalah orang yang tertuduh zindiq, riwayatnya jatuh dan
bukan apa-apanya.
* Dalam Tahzib At Tahzib juz 4 no 517 Abu Dawud berkata kalau Saif
bukan apa-apa, Abu Hatim berkata “ia matruk”, Ad Daruquthni
menyatakannya dhaif dan matruk. Al Hakim mengatakan kalau Saif tertuduh
zindiq dan riwayatnya jatuh. Ibnu Adi mengatakan kalau hadisnya dikenal
munkar dan tidak diikuti seorangpun.
Jadi jelas sekali kalau hadis Abu Said Al Khudri ra ini adalah
hadis yang dhaif karena kedudukan Saif bin Umar yang dhaif di mata para
ulama.
Hadis Tersebut Dhaif.
Dari semua pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa hadis “Kitab
Allah dan SunahKu” ini adalah hadis yang dhaif. Sebelum mengakhiri
tulisan ini akan dibahas terlebih dahulu pernyataan Ali As Salus dalam
Al Imamah wal Khilafah yang menyatakan shahihnya hadis “Kitab Allah Dan
SunahKu”.
Ali As Salus menyatakan bahwa hadis riwayat Imam Malik adalah
shahih Walaupun dalam Al Muwatta hadis ini mursal. Beliau menyatakan
bahwa hadis ini dikuatkan oleh hadis Abu Hurairah yang telah dishahihkan
oleh As Suyuthi,Al Manawi dan Al Albani. Selain itu hadis mursal dalam
Al Muwatta adalah shahih menurutnya dengan mengutip pernyataan Ibnu
Abdil Barr yang menyatakan bahwa semua hadis mursal Imam Malik adalah
shahih dan pernyataan As Suyuthi bahwa semua hadis mursal dalam Al
Muwatta memiliki sanad yang bersambung yang menguatkannya dalam
kitab-kitab lain.
Tanggapan Terhadap Ali As Salus.
Pernyataan pertama bahwa hadis Malik bin Anas dalam Al Muwatta
adalah shahih walaupun mursal adalah tidak benar. Hal ini telah
dijelaskan dalam tanggapan kami terhadap Hafiz Firdaus bahwa hadis
mursal tidak bisa langsung dinyatakan shahih kecuali terdapat hadis
shahih(bersambung sanadnya) lain yang menguatkannya. Dan kenyataannya
hadis yang jadi penguat hadis mursal Al Muwatta ini adalah tidak shahih.
Pernyataan Selanjutnya Ali As Salus bahwa hadis ini dikuatkan oleh
hadis Abu Hurairah ra adalah tidak tepat karena seperti yang sudah
dijelaskan, dalam sanad hadis Abu Hurairah ra ada Shalih bin Musa yang
tidak dapat dijadikan hujjah.
Ali As Salus menyatakan bahwa hadis mursal Al Muwatta shahih berdasarkan
* Pernyataan Ibnu Abdil Barr yang menyatakan bahwa semua hadis mursal Imam Malik adalah shahih dan
* Pernyataan As Suyuthi bahwa semua hadis mursal dalam Al Muwatta
memiliki sanad yang bersambung yang menguatkannya dalam kitab-kitab
lain.
Mengenai pernyataan Ibnu Abdil Barr tersebut, jelas itu adalah
pendapatnya sendiri dan mengenai hadis “Kitab Allah dan SunahKu” yang
mursal dalam Al Muwatta Ibnu Abdil Barr telah mencari sanad hadis ini
dan memuatnya dalam kitabnya At Tamhid dan Beliau menshahihkannya.
Setelah dilihat ternyata hadis dalam At Tamhid tersebut tidaklah shahih
karena cacat yang jelas pada perawinya.
Begitu pula pernyataan As Suyuthi yang dikutip Ali As Salus di atas
itu adalah pendapat Beliau sendiri dan As Suyuthi telah menjadikan
hadis Abu Hurairah ra sebagai syahid atau pendukung hadis mursal Al
Muwatta seperti yang Beliau nyatakan dalam Jami’ As Saghir dan Beliau
menyatakan hadis tersebut hasan. Setelah ditelaah ternyata hadis Abu
Hurairah ra itu adalah dhaif. Jadi Kesimpulannya tetap saja hadis “Kitab
Allah dan SunahKu” adalah hadis yang dhaif.
Salah satu bukti bahwa tidak semua hadis mursal Al Muwatta shahih
adalah apa yang dikemukakan oleh Syaikh Al Albani dalam Silisilatul Al
Hadits Adh Dhaifah Wal Maudhuah hadis no 908.
Nabi Isa pernah bersabda”Janganlah kalian banyak bicara tanpa
menyebut Allah karena hati kalian akan mengeras.Hati yang keras jauh
dari Allah namun kalian tidak mengetahuinya.Dan janganlah kalian
mengamati dosa-dosa orang lain seolah-olah kalian Tuhan,akan tetapi
amatilah dosa-dosa kalian seolah kalian itu hamba.Sesungguhnya Setiap
manusia itu diuji dan selamat maka kasihanilah orang-orang yang tengah
tertimpa malapetaka dan bertahmidlah kepada Allah atas keselamatan
kalian”.
Riwayat ini dikemukakan Imam Malik dalam Al Muwatta jilid II hal
986 tanpa sanad yang pasti tetapi Imam Malik menempatkannya dalam
deretan riwayat–riwayat yang muttashil(bersambung) atau marfu’ sanadnya
sampai ke Rasulullah SAW.
Syaikh Al Albani berkata tentang hadis ini:
”sekali lagi saya tegaskan memarfu’kan riwayat ini sampai kepada
Nabi adalah kesalahan yang menyesatkan dan tidak ayal lagi merupakan
kedustaan yang nyata-nyata dinisbatkan kepada Beliau padahal Beliau
terbebas darinya”.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa Syaikh Al Albani tidaklah langsung
menyatakan bahwa hadis ini shahih hanya karena Imam Malik
menempatkannya dalam deretan riwayat–riwayat yang muttashil atau marfu’
sanadnya sampai ke Rasulullah SAW. Justru Syaikh Al Albani menyatakan
bahwa memarfu’kan hadis ini adalah kedustaan atau kesalahan yang
menyesatkan karena berdasarkan penelitian beliau tidak ada sanad yang
bersambung kepada Rasulullah SAW mengenai hadis ini.
Yang Aneh adalah pernyataan Ali As Salus dalam Imamah Wal Khilafah
yang menyatakan bahwa hadis dengan matan “Kitab Allah dan Itrah Ahlul
BaitKu” adalah dhaif dan yang shahih adalah hadis dengan matan “Kitab
Allah dan SunahKu”. Hal ini jelas sangat tidak benar karena hadis dengan
matan “Kitab Allah dan SunahKu” sanad-sanadnya tidak shahih seperti
yang sudah dijelaskan dalam pembahasan di atas. Sedangkan hadis dengan
matan “Kitab Allah dan Itrah Ahlul BaitKu” adalah hadis yang
diriwayatkan banyak shahabat dan sanadnya jauh lebih kuat dari hadis
dengan matan “Kitab Allah dan SunahKu”.
Jadi kalau hadis dengan matan “Kitab Allah dan SunahKu” dinyatakan
shahih maka hadis dengan matan “Kitab Allah dan Itrah Ahlul BaitKu” akan
jadi jauh lebih shahih. Ali As Salus dalam Imamah wal Khilafah telah
membandingkan kedua hadis tersebut dengan metode yang tidak berimbang.
Untuk hadis dengan matan “Kitab Allah dan Itrah Ahlul BaitKu” beliau
mengkritik habis-habisan bahkan dengan kritik yang tidak benar sedangkan
untuk hadis dengan matan “Kitab Allah dan SunahKu” beliau bertindak
longgar(tasahul) dan berhujjah dengan pernyataan ulama lain yang juga
telah memudahkan dalam penshahihan hadis tersebut. Wallahu’alam
Hadis Tsaqalain; Peninggalan Rasulullah SAW adalah Al Quran dan Ahlul Bait as
Dialog Sunni Syiah
Hadis Tsaqalain; Peninggalan Rasulullah SAW adalah Al Quran dan Ahlul Bait as
Hadis Tsaqalain; Peninggalan Rasulullah SAW adalah Al Quran dan Ahlul Bait as
Sebelum Junjungan kita yang mulia Al Imam Rasulullah SAW (Shalawat
dan salam kepada Beliau SAW dan Keluarga suciNya as) berpulang ke
rahmatullah, Beliau SAW telah berpesan kepada umatnya agar tidak sesat
dengan berpegang teguh kepada dua peninggalannya atau Ats Tsaqalain
yaitu Kitabullah Al Quranul Karim dan Itraty Ahlul Bait Rasul as. Seraya
Beliau SAW juga mengingatkan kepada umatnya bahwa Al Quranul Karim dan
Itraty Ahlul Bait Rasul as akan selalu bersama dan tidak akan berpisah
sampai hari kiamat dan bertemu Rasulullah SAW di Telaga Kautsar Al
Haudh.
Peninggalan Rasulullah SAW itu telah diriwayatkan dalam banyak
hadis dengan sanad yang berbeda dan shahih dalam kitab-kitab hadis.
Diantara kitab-kitab hadis itu adalah Shahih Muslim, Sunan Ad Darimi,
Sunan Tirmidzi, Musnad Abu Ya’la, Musnad Al Bazzar, Mu’jam At Thabrani,
Musnad Ahmad bin Hanbal, Shahih Ibnu Khuzaimah, Mustadrak Ash Shahihain,
Majma Az Zawaid Al Haitsami, Jami’As Saghir As Suyuthi dan Al Kanz al
Ummal. Dalam Tulisan ini akan dituliskan beberapa hadis Tsaqalain yang
shahih dalam Shahih Muslim, Mustadrak Ash Shahihain, Sunan Tirmidzi dan
Musnad Ahmad bin Hanbal.
1. Hadis riwayat Imam Muslim dalam Shahih Muslim juz II hal 279 bab Fadhail Ali.
Muslim meriwayatkan telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb
dan Shuja’ bin Makhlad dari Ulayyah yang berkata Zuhair berkata telah
menceritakan kepada kami Ismail bin Ibrahim dari Abu Hayyan dari Yazid
bin Hayyan yang berkata ”Aku, Husain bin Sabrah dan Umar bin Muslim
pergi menemui Zaid bin Arqam. Setelah kami duduk bersamanya berkata
Husain kepada Zaid ”Wahai Zaid sungguh engkau telah mendapat banyak
kebaikan. Engkau telah melihat Rasulullah SAW, mendengarkan hadisnya,
berperang bersamanya dan shalat di belakangnya. Sungguh engkau mendapat
banyak kebaikan wahai Zaid. Coba ceritakan kepadaku apa yang kamu dengar
dari Rasulullah SAW. Berkata Zaid “Hai anak saudaraku, aku sudah tua,
ajalku hampir tiba, dan aku sudah lupa akan sebagian yang aku dapat dari
Rasulullah SAW. Apa yang kuceritakan kepadamu terimalah,dan apa yang
tidak kusampaikan janganlah kamu memaksaku untuk memberikannya.
Lalu Zaid berkata ”pada suatu hari Rasulullah SAW berdiri di
hadapan kami di sebuah tempat yang bernama Ghadir Khum seraya berpidato,
maka Beliau SAW memanjatkan puja dan puji atas Allah SWT, menyampaikan
nasehat dan peringatan. Kemudian Beliau SAW bersabda “Ketahuilah wahai
manusia sesungguhnya aku hanya seorang manusia. Aku merasa bahwa utusan
Tuhanku (malaikat maut) akan segera datang dan Aku akan memenuhi
panggilan itu. Dan Aku tinggalkan padamu dua pusaka (Ats-Tsaqalain).
Yang pertama Kitabullah (Al-Quran) di dalamnya terdapat petunjuk dan
cahaya,maka berpegang teguhlah dengan Kitabullah”. Kemudian Beliau
melanjutkan, “dan Ahlul Bait-Ku, kuperingatkan kalian kepada Allah akan
Ahlul Bait-Ku, kuperingatkan kalian kepada Allah akan Ahlul Bait-Ku,
kuperingatkan kalian kepada Allah akan Ahlul Bait-Ku”.
Lalu Husain bertanya kepada Zaid ”Hai Zaid siapa gerangan Ahlul
Bait itu? Tidakkah istri-istri Nabi termasuk Ahlul Bait? Jawabnya
“Istri-istri Nabi termasuk Ahlul Bait. Tetapi yang dimaksud Ahlul Bait
disini adalah orang yang tidak diperkenankan menerima sedekah setelah
wafat Nabi SAW”, Husain bertanya “Siapa mereka?”.Jawab Zaid ”Mereka
adalah Keluarga Ali, Keluarga Aqil, Keluarga Ja’far dan Keluarga Ibnu
Abbes”. Apakah mereka semua diharamkan menerima sedekah (zakat)?” tanya
Husain; “Ya”, jawabnya.
Hadis di atas terdapat dalam Shahih Muslim, perlu dinyatakan bahwa
yang menjadi pesan Rasulullah SAW itu adalah sampai perkataan
“kuperingatkan kalian kepada Allah akan Ahlul Bait-Ku” sedangkan yang
selanjutnya adalah percakapan Husain dan Zaid perihal Siapa Ahlul Bait.
Yang menarik bahwa dalam Shahih Muslim di bab yang sama Fadhail Ali,
Muslim juga meriwayatkan hadis Tsaqalain yang lain dari Zaid bin Arqam
dengan tambahan percakapan yang menyatakan bahwa Istri-istri Nabi tidak
termasuk Ahlul Bait, berikut kutipannya.
“Kami berkata “Siapa Ahlul Bait? Apakah istri-istri Nabi? Kemudian
Zaid menjawab ”Tidak, Demi Allah, seorang wanita (istri) hidup dengan
suaminya dalam masa tertentu jika suaminya menceraikannya dia akan
kembali ke orang tua dan kaumnya. Ahlul Bait Nabi adalah keturunannya
yang diharamkan untuk menerima sedekah”.
2. Hadis shahih dalam Mustadrak As Shahihain Al Hakim juz III hal 148.
Al Hakim meriwayatkan telah menceritakan kepada kami seorang faqih
dari Ray Abu Bakar Muhammad bin Husain bin Muslim, yang mendengar dari
Muhammad bin Ayub yang mendengar dari Yahya bin Mughirah al Sa’di yang
mendengar dari Jarir bin Abdul Hamid dari Hasan bin Abdullah An Nakha’i
dari Muslim bin Shubayh dari Zaid bin Arqam yang berkata bahwa
Rasulullah SAW bersabda. “Kutinggalkan kepadamu dua peninggalan (Ats
Tsaqalain), kitab Allah dan Ahlul BaitKu. Sesungguhnya keduanya tak akan
berpisah, sampai keduanya kembali kepadaKu di Al Haudh“.
Al Hakim menyatakan dalam Al Mustadrak As Shahihain bahwa sanad hadis ini shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim.
3. Hadis shahih dalam kitab Mustadrak As Shahihain Al Hakim, Juz III hal 109.
Al Hakim meriwayatkan telah menceritakan kepada kami Abu Husain
Muhammad bin Ahmad bin Tamim Al Hanzali di Baghdad yang mendengar dari
Abu Qallabah Abdul Malik bin Muhammad Ar Raqqasyi yang mendengar dari
Yahya bin Hammad; juga telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Muhammad
bin Balawaih dan Abu Bakar Ahmad bin Ja’far Al Bazzaz, yang keduanya
mendengar dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal yang mendengar dari ayahnya
yang mendengar dari Yahya bin Hammad; dan juga telah menceritakan
kepada kami Faqih dari Bukhara Abu Nasr Ahmad bin Suhayl yang mendengar
dari Hafiz Baghdad Shalih bin Muhammad yang mendengar dari Khallaf bin
Salim Al Makhrami yang mendengar dari Yahya bin Hammad yang mendengar
dari Abu Awanah dari Sulaiman Al A’masy yang berkata telah mendengar
dari Habib bin Abi Tsabit dari Abu Tufail dari Zaid bin Arqam ra yang
berkata
“Rasulullah SAW ketika dalam perjalanan kembali dari haji wada
berhenti di Ghadir Khum dan memerintahkan untuk membersihkan tanah di
bawah pohon-pohon. Kemudian Beliau SAW bersabda” Kurasa seakan-akan aku
segera akan dipanggil (Allah), dan segera pula memenuhi panggilan itu,
Maka sesungguhnya aku meninggalkan kepadamu Ats Tsaqalain(dua
peninggalan yang berat). Yang satu lebih besar (lebih agung) dari yang
kedua : Yaitu kitab Allah dan Ittrahku. Jagalah Baik-baik dan
berhati-hatilah dalam perlakuanmu tehadap kedua peninggalanKu itu, sebab
Keduanya takkan berpisah sehingga berkumpul kembali denganKu di Al
Haudh. Kemudian Beliau SAW berkata lagi: “Sesungguhnya Allah Azza Wa
Jalla adalah maulaku, dan aku adalah maula setiap Mu’min. Lalu Beliau
SAW mengangkat tangan Ali Bin Abi Thalib sambil bersabda : Barangsiapa
yang menganggap aku sebagai maulanya, maka dia ini (Ali bin Abni Thalib)
adalah juga maula baginya. Ya Allah, cintailah siapa yang mencintainya,
dan musuhilah siapa yang memusuhinya“.
Al Hakim telah menyatakan dalam Al Mustadrak As Shahihain bahwa hadis ini shahih sesuai dengan persyaratan Bukhari dan Muslim.
4. Hadis shahih dalam kitab Mustadrak As Shahihain Al Hakim, Juz III hal 110.
Al Hakim meriwayatkan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin
Ishaq dan Da’laj bin Ahmad Al Sijzi yang keduanya mendengar dari
Muhammad bin Ayub yang mendengar dari Azraq bin Ali yang mendengar dari
Hasan bin Ibrahim Al Kirmani yang mendengar dari Muhammad bin Salamah
bin Kuhail dari Ayahnya dari Abu Tufail dari Ibnu Wathilah yang
mendengar dari Zaid bin Arqam ra yang berkata “Rasulullah SAW berhenti
di suatu tempat di antara Mekkah dan Madinah di dekat pohon-pohon yang
teduh dan orang-orang membersihkan tanah di bawah pohon-pohon tersebut.
Kemudian Rasulullah SAW mendirikan shalat, setelah itu Beliau SAW
berbicara kepada orang-orang. Beliau memuji dan mengagungkan Allah SWT,
memberikan nasehat dan mengingatkan kami. Kemudian Beliau SAW berkata”
Wahai manusia, Aku tinggalkan kepadamu dua hal atau perkara, yang
apabila kamu mengikuti dan berpegang teguh pada keduanya maka kamu tidak
akan tersesat yaitu Kitab Allah (Al Quranul Karim) dan Ahlul BaitKu,
ItrahKu. Kemudian Beliau SAW berkata tiga kali “Bukankah Aku ini lebih
berhak terhadap kaum muslimin dibanding diri mereka sendiri..
Orang-orang menjawab “Ya”. Kemudian Rasulullah SAW berkata” Barangsiapa
yang menganggap aku sebagai maulanya, maka Ali adalah juga maulanya.
Al Hakim telah menyatakan dalam Al Mustadrak As Shahihain bahwa hadis ini shahih sesuai dengan persyaratan Bukhari dan Muslim.
5. Hadis dalam Musnad Ahmad jilid V hal 189.
Abdullah meriwayatkan dari Ayahnya,dari Ahmad Zubairi dari Syarik
dari Rukayn dari Qasim bin Hishan dari Zaid bin Tsabit ra, Ia berkata
bahwa Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya Aku meninggalkan dua
khalifah bagimu, Kitabullah dan Ahlul BaitKu. Keduanya tidak akan
berpisah hingga keduanya datang ke telaga Al Haudh bersama-sama”.
Hadis di atas diriwayatkan dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dari
ayahnya Ahmad bin Hanbal, keduanya sudah dikenal tsiqat di kalangan
ulama, Ahmad Zubairi. Beliau adalah Muhammad bin Abdullah Abu Ahmad Al
Zubairi Al Habbal telah dinyatakan tsiqat oleh Yahya bin Muin dan Al
Ajili.
Syarik bin Abdullah bin Sinan adalah salah satu Rijal Muslim, Yahya
bin Main berkata “Syuraik itu jujur dan tsiqat”. Ahmad bin Hanbal dan
Ajili menyatakan Syuraik tsiqat. Ibnu Ya’qub bin Syaiban berkata”
Syuraik jujur dan tsiqat tapi jelek hafalannya”. Ibnu Abi Hatim berkata”
hadis Syuraik dapat dijadikan hujjah”. Ibnu Saad berkata” Syuraik
tsiqat, terpercaya tapi sering salah”.An Nasai berkata ”tak ada yang
perlu dirisaukan dengannya”. Ahmad bin Adiy berkata “kebanyakan hadis
Syuraik adalah shahih”.(Mizan Al Itidal adz Dzahabi jilid 2 hal 270 dan
Tahdzib At Tahdzib Ibnu Hajar jilid 4 hal 333).
Rukayn (Raqin) bin Rabi’Abul Rabi’ Al Fazari adalah perawi yang
tsiqat .Beliau dinyatakan tsiqat oleh Ahmad bin Hanbal, An Nasai, Yahya
bin Main, Ibnu Hajar dan juga dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Hibban dalam
kitab Ats Tsiqat Ibnu Hibban.
Qasim bin Hishan adalah perawi yang tsiqah. Ahmad bin Saleh
menyatakan Qasim tsiqah. Ibnu Hibban menyatakan bahwa Qasim termasuk
dalam kelompok tabiin yang tsiqah. Dalam Majma Az Zawaid ,Al Haitsami
menyatakan tsiqah kepada Qasim bin Hishan. Adz Dzahabi dan Al Munziri
menukil dari Bukhari bahwa hadis Qasim itu mungkar dan tidak shahih.
Tetapi Hal ini telah dibantah oleh Ahmad Syakir dalam Musnad Ahmad jilid
V,beliau berkata”Saya tidak mengerti apa sumber penukilan Al Munziri
dari Bukhari tentang Qasim bin Hishan itu. Sebab dalam Tarikh Al Kabir
Bukhari tidak menjelaskan biografi Qasim demikian juga dalam kitab Adh
Dhu’afa. Saya khawatir bahwa Al Munziri berkhayal dengan menisbatkan hal
itu kepada Al Bukhari”. Oleh karena itu Syaikh Ahmad Syakir
menguatkannya sebagai seorang yang tsiqah dalam Syarh Musnad Ahmad.
Jadi hadis dalam Musnad Ahmad diatas adalah hadis yang shahih karena telah diriwayatkan oleh perawi-perawi yang dikenal tsiqah.
6. Hadis dalam Musnad Ahmad jilid V hal 181-182.
Riwayat dari Abdullah dari Ayahnya dari Aswad bin ‘Amir, dari
Syarik dari Rukayn dari Qasim bin Hishan, dari Zaid bin Tsabit, Ia
berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda”Sesungguhnya Aku meninggalkan dua
khalifah bagimu Kitabullah, tali panjang yang terentang antara langit
dan bumi atau diantara langit dan bumi dan Itrati Ahlul BaitKu. Dan
Keduanya tidak akan terpisah sampai datang ke telaga Al Haudh”
Hadis di atas diriwayatkan dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dari
ayahnya Ahmad bin Hanbal, Semua perawi hadis Musnad Ahmad di atas telah
dijelaskan sebelumnya kecuali Aswad bin Amir Shadhan Al Wasithi. Beliau
adalah salah satu Rijal atau perawi Bukhari Muslim. Al Qaisarani telah
menyebutkannya di antara perawi-perawi Bukhari Muslim dalam kitabnya Al
Jam’u Baina Rijalisy Syaikhain. Selain itu Aswad bin Amir dinyatakan
tsiqat oleh Ali bin Al Madini, Ibnu Hajar, As Suyuthi dan juga
disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam Kitabnya Ats Tsiqat Ibnu Hibban. Oleh
karena itu hadis Musnad Ahmad di atas sanadnya shahih.
7. Hadis dalam Sunan Tirmidzi jilid 5 halaman 662 – 663.
At Tirmidzi meriwayatkan telah bercerita kepada kami Ali bin
Mundzir al-Kufi, telah bercerita kepada kami Muhammad bin Fudhail, telah
bercerita kepada kami Al-A’masy, dari ‘Athiyyah, dari Abi Sa’id dan
Al-A’masy, dari Habib bin Abi Tsabit, dari Zaid bin Arqam yang berkata,
‘Rasulullah saw telah bersabda, ‘Sesungguhnya aku tinggalkan padamu
sesuatu yang jika kamu berpegang teguh kepadanya niscaya kamu tidak akan
tersesat sepeninggalku, yang mana yang satunya lebih besar dari yang
lainnya, yaitu Kitab Allah, yang merupakan tali penghubung antara langit
dan bumi, dan ‘itrah Ahlul BaitKu. Keduanya tidak akan pernah berpisah
sehingga datang menemuiku di telaga. Maka perhatikanlah aku dengan apa
yang kamu laksanakan kepadaku dalam keduanya”
Dalam Tahdzib at Tahdzib jilid 7 hal 386 dan Mizan Al I’tidal jilid
3 hal 157, Ali bin Mundzir telah dinyatakan tsiqat oleh banyak ulama
seperti Ibnu Abi Hatim,Ibnu Namir,Imam Sha’sha’i dan lain-lain,walaupun
Ali bin Mundzir dikenal sebagai seorang syiah. Mengenai hal ini Mahmud
Az Za’by dalam bukunya Sunni yang Sunni hal 71 menyatakan tentang Ali
bin Mundzir ini “para ulama telah menyatakan ketsiqatan Ali bin Mundzir.
Padahal mereka tahu bahwa Ali adalah syiah. Ini harus dipahami bahwa
syiah yang dimaksud disini adalah syiah yang tidak merusak sifat
keadilan perawi dengan catatan tidak berlebih-lebihan. Artinya ia hanya
berpihak kepada Ali bin Abu Thalib dalam pertikaiannya melawan Muawiyah.
Tidak lebih dari itu. Inilah pengertian tasyayyu menurut ulama sunni.
Karena itu Ashabus Sunan meriwayatkan dan berhujjah dengan hadis Ali bin
Mundzir”.
Muhammad bin Fudhail,dalam Hadi As Sari jilid 2 hal 210,Tahdzib at
Tahdzib jilid 9 hal 405 dan Mizan al Itidal jilid 4 hal 9 didapat
keterangan tentang beliau. Ahmad berkata”Ia berpihak kepada Ali,
tasyayyu. Hadisnya baik” Yahya bin Muin menyatakan Muhammad bin Fudhail
adalah tsiqat. Abu Zara’ah berkata”ia jujur dan ahli Ilmu”.Menurut Abu
Hatim,Muhammad bin Fudhail adalah seorang guru.Nasai tidak melihat
sesuatu yang membahayakan dalam hadis Muhammad bin Fudhail. Menurut Abu
Dawud ia seorang syiah yang militan. Ibnu Hibban menyebutkan dia didalam
Ats Tsiqat seraya berkata”Ibnu Fudhail pendukung Ali yang
berlebih-lebihan”Ibnu Saad berkata”Ia tsiqat,jujur dan banyak memiliki
hadis.Ia pendukung Ali”. Menurut Ajli,Ibnu Fudhail orang kufah yang
tsiqat tetapi syiah. Ali bin al Madini memandang Muhammad bin Fudhail
sangat tsiqat dalam hadis. Daruquthni juga menyatakan Muhammad bin
Fudhail sangat tsiqat dalam hadis.
Al A’masy atau Sulaiman bin Muhran Al Kahili Al Kufi Al A’masy
adalah perawi Kutub As Sittah yang terkenal tsiqat dan ulama hadis
sepakat tentang keadilan dan ketsiqatan Beliau..(Mizan Al Itidal adz
Dzahabi jilid 2 hal 224 dan Tahdzib At Tahdzib Ibnu Hajar jilid 4 hal
222).Dalam hadis Sunan Tirmidzi di atas A’masy telah meriwayatkan
melalui dua jalur yaitu dari Athiyyah dari Abu Said dan dari Habib bin
Abi Tsabit dari Zaid bin Arqam.
Athiyyah bin Sa’ad al Junadah Al Awfi adalah tabiin yang dikenal
dhaif. Menurut Adz Dzahabi Athiyyah adalah seorang tabiin yang dikenal
dhaif ,Abu Hatim berkata hadisnya dhaif tapi bisa didaftar atau ditulis,
An Nasai juga menyatakan Athiyyah termasuk kelompok orang yang dhaif,
Abu Zara’ah juga memandangnya lemah. Menurut Abu Dawud Athiyyah tidak
bisa dijadikan sandaran atau pegangan.Menurut Al Saji hadisnya tidak
dapat dijadikan hujjah,Ia mengutamakan Ali ra dari semua sahabat Nabi
yang lain. Salim Al Muradi menyatakan bahwa Athiyyah adalah seorang
syiah. Abu Ahmad bin Adi berkata walaupun ia dhaif tetapi hadisnya dapat
ditulis. Kebanyakan ulama memang memandang Athiyyah dhaif tetapi Ibnu
Saad memandang Athiyyah tsiqat,dan berkata insya Allah ia mempunyai
banyak hadis yang baik,sebagian orang tidak memandang hadisnya sebagai
hujjah. Yahya bin Main ditanya tentang hadis Athiyyah ,ia menjawab
“Bagus”.(Mizan Al ‘Itidal jilid 3 hal 79).
Habib bin Abi Tsabit Al Asadi Al Kahlili adalah Rijal Bukhari dan
Muslim dan para ulama hadis telah sepakat akan keadilan dan ketsiqatan
beliau, walaupun beliau juga dikenal sebagai mudallis (Tahdzib At
Tahdzib jilid 2 hal 178). Jadi dari dua jalan dalam hadis Sunan Tirmidzi
di atas, sanad Athiyyah semua perawinya tsiqat selain Athiyyah yang
dikenal dhaif walaupun Beliau di ta’dilkan oleh Ibnu Saad dan Ibnu Main.
Sedangkan sanad Habib semua perawinya tsiqat tetapi dalam hadis di atas
A’masy dan Habib meriwayatkan dengan lafal ‘an (mu’an ‘an) padahal
keduanya dikenal mudallis. Walaupun begitu banyak hal yang menguatkan
sanad Habib ini sehingga hadisnya dinyatakan shahih yaitu:
* Dalam kitab Mustadrak As Shahihain Al Hakim, Juz III hal 109
terdapat hadis tsaqalain yang menyatakan bahwa A’masy mendengar langsung
dari Habib.(lihat hadis no 3 di atas). Sulaiman Al A’masy yang berkata
telah mendengar dari Habib bin Abi Tsabit dari Abu Tufail dari Zaid bin
Arqam ra. Dan hadis ini telah dinyatakan shahih oleh Al Hakim.
* Syaikh Ahmad Syakir telah menshahihkan cukup banyak hadis dengan
lafal’an dalam Musnad Ahmad salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan
dengan lafal ‘an oleh A’masyi dan Habib(A’masy dari Habib dari…salah
seorang sahabat).
* Hadis Sunan Tirmidzi ini telah dinyatakan hasan gharib oleh At
Tirmidzi dan telah dinyatakan shahih oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani
dalam Shahih Sunan Turmudzi dan juga telah dinyatakan shahih oleh Hasan
As Saqqaf dalam Shahih Sifat Shalat An Nabiy.
Semua hadis di atas menyatakan dengan jelas bahwa apa yang
merupakan peninggalan Rasulullah SAW yang disebut Ats Tsaqalain (dua
peninggalan) itu adalah Al Quran dan Ahlul Bait as. Sebagian orang ada
yang menyatakan bahwa hadis itu tidak mengharuskan untuk berpegang teguh
kepada Al Quran dan Ahlul Bait melainkan hanya berpegang teguh kepada
Al Quran sedangkan tentang Ahlul Bait hadis itu mengingatkan bahwa kita
harus menjaga hak-hak Ahlul Bait, mencintai dan menghormati Mereka.
Sebagian orang tersebut telah berdalil dengan hadis Tsaqalain Shahih
Muslim, Sunan Ad Darimi dan Musnad Ahmad yang memiliki redaksi
kuperingatkan kalian akan Ahlul BaitKu, dan menyatakan bahwa dalam hadis
tersebut tidak terdapat indikasi untuk berpegang teguh pada Ahlul Bait.
Terhadap pernyataan ini kami tidak sependapat dan dengan jelas kami
menyatakan bahwa pendapat itu adalah tidak benar. Tentu saja sebagai
seorang Muslim kita harus mencintai dan menghormati serta menjaga
hak-hak Ahlul Bait tetapi hadis Tsaqalain jelas menyatakan keharusan
berpegang teguh kepada Ahlul Bait dan hal ini telah ditetapkan dengan
hadis-hadis yang shahih. Dalam hadis Tsaqalain Shahih Muslim, Sunan Ad
Darimi dan Musnad Ahmad yang memiliki redaksi kuperingatkan kalian akan
Ahlul BaitKu, juga tidak terdapat kata-kata yang menyatakan bahwa yang
dimaksud itu adalah menjaga hak-hak Ahlul Bait, mencintai dan
menghormati Mereka. Justru semua hadis ini harus dikumpulkan dengan
hadis Tsaqalain yang lain yang memiliki redaksi berpegang teguh kepada
Ahlul Bait atau redaksi Al Quran dan Ahlul Bait selalu bersama dan tidak
akan berpisah. Dengan mengumpulkan semua hadis itu dapat diketahui
bahwa peringatan Rasulullah SAW dalam kata-kata kuperingatkan kalian
akan Ahlul BaitKu, tersebut adalah keharusan berpegang teguh kepada
Ahlul Bait as.
Sebagian orang yang kami maksud (Ibnu Taimiyah dalam Minhaj As
Sunnah dan Ali As Salus dalam Imamah Wal Khilafah). telah menyatakan
bahwa hadis–hadis yang memiliki redaksi berpegang teguh kepada Ahlul
Bait atau redaksi Al Quran dan Ahlul Bait selalu bersama dan tidak akan
berpisah adalah tidak shahih. Kami dengan jelas menyatakan bahwa hal ini
tidaklah benar karena hadis tersebut adalah hadis yang shahih seperti
yang telah kami nyatakan di atas dan cukup banyak ulama yang telah
menguatkan kebenarannya. Cukuplah disini dinyatakan pendapat Syaikh
Nashirudin Al Albani yang telah menyatakan shahihnya hadis Tsaqalain
tersebut dalam kitab Shahih Sunan Tirmidzi, Shahih Jami’ As Saghir dan
Silsilah Al Hadits Al Shahihah .
Bahwa Rasulullah SAW bersabda “Wahai manusia sesungguhnya Aku
meninggalkan untuk kalian apa yang jika kalian berpegang kepadanya
niscaya kalian tidak akan sesat ,Kitab Allah dan Itrati Ahlul
BaitKu”.(Hadis riwayat Tirmidzi,Ahmad,Thabrani,Thahawi dan dishahihkan
oleh Syaikh Nashiruddin Al Albany dalam kitabnya Silsilah Al Hadits Al
Shahihah no 1761).
(Syiah-Ali/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
(Syiah-Ali/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email