Pesan Rahbar

Home » » Sunni Berteladan Dengan Sahabat Pecandu Miras

Sunni Berteladan Dengan Sahabat Pecandu Miras

Written By Unknown on Friday, 29 August 2014 | 21:20:00

Walid ibn ‘Uqbah yang telah turun untuknya ayat yang menegaskan kefasikannya, kembali menegaskan jati dirinya sebagai sahabat “Adil” yang Fasiq dengan ketidak mauannya meninggalkan kebiasaannya menenggak khamr bahkan di waktu-waktu shalat pun ia masih teler/mabuk sambil mengimami kaum Muslimin…. Doqma keadilan seluruh sahabat ajma’in adalah doqma palsu buatan kaum dzalim demi menutup-nutupi kemunafikan dan kefasikan sebagian sahabat lalu ulama Aswaja pun tertipu dan menerimanya sebagai bagian dari ajaran Islam.

Sunni  Berteladan Dengan Sahabat Pecandu Miras, pasti Anda tidak Mendapat Petunjuk Allah !
Sepertinya yang diteladankan para sahabat andalan para penganut -doktrin keadilan sahabat- tidak terbatas hanya pada menjual khamr (minuman keras) dan memperdagangkannya untuk dikonsumsi masyarakat Muslim yang membutuhkannya… tapi, agar Umat Islam khususnya Wahhabi Salafi tidak ragu, maka seorang sahabat mulia dan kerabat dekat serta Gubernur kesayangan Khalifah Utsman ibn Affân mencontohkan bagaimana cara meminum khamr!


Walid ibn ‘Uqbah yang telah turun untuknya ayat yang menegaskan kefasikannya, kembali menegaskan jati dirinya sebagai sahabat “Adil” yang Fasiq dengan ketidak mauannya meninggalkan kebiasaannya menenggak khamr bahkan di waktu-waktu shalat pun ia masih teler/mabuk sambil mengimami kaum Muslimin.

Setelah berita tentangnya tersebar luas dan kemudian dilaporkan kepada Khalifah di kota Madinah, kaum Muslimin pun mendesak sang Khalifah agar menegakkan hukum Allah atas Al-Walîd ibn ‘Uqbah. Di bawah desakan massa itu, Khalifah pun rela menjalankan hukum Allah!

Demikian data yang diharapkan oleh masyâikh Wahhabi-Salafi agar disembunyikan serapi mungkin ternyata luput dari upaya pemusnahan seperti yang dialami data-data rahasia lainnya. Imam Ahmad membongkar data rahasia tentang kefasikan Walîd ibn ‘Uqbah.

Perhatikan data di bawah ini:

 
Musnad_Ahmad_cover

 Musnad Ahmad Hal.103
626: … Datanglah sekelompok penduduk Kufah menemui Utsman ra., mereka memberitahukan kepadanya tentang Walîd yaitu tentang ia meminum khamr, maka Utsman pun berbicara kepada Ali tentangnya. Utsman berkata, ‘Tegakkan hukum atas anak pamanmu.’ Maka Ali berkata kepada hasan, ‘Hai putraku bangun dan tegakkan had atasnya!’ ….
Ibnu Jakfari:
Mungkin Khalifah Utsman dan Sayyidina Ali as. belum tahu bahwa seluruh sahabat Nabi saw. Itu ‘Udûl, kebal hukum sebab Allah telah ridha atas mereka!! Akankah Allah murka kepada para sahabat, termasuk Walîd ibn ‘Uqbah si fasiq setelah Ia ridha?

Atau Allah -wal iyadzubillah- tidak tahu habwa sahabat kebanggaan Nabi-Nya di kemudian hari akan menjadi fasiq, kerenanya Ia “tergesah-gesah” menurunkan rekomendasi ridha-Nya dalam Al Qur’an suci-Nya?

Doqma keadilan seluruh sahabat ajma’in adalah doqma palsu buatan kaum dzalim demi menutup-nutupi kemunafikan dan kefasikan sebagain sahabat lalu ulama Aswaja pun tertipu dan menerimanya sebagai bagian dari ajaran Islam.
Siapa tau?

_____________________________________

Zaman Usman : Sahabat Walid Bin Uqbah Meminum Khamar… Wow, Sunni Menyuruh Kita Mempedomani Sahabat Pecandu Miras… Itukah Sahabat Adil ??

Al Quran menyatakan dalam Qs.Al-Hujarat: (49): 6 bahwa Al-Walid bin Uqbah bin Abi Mu’it adalah Sahabat Nabi yang fasik  Khalifah Uthman melantik beliau sebagai gubernur di Kufah !! Apakah Tuhan menyuruh anda mengikuti al-Walid bin Uqbah yang sembahyang Subuh empat rakaat kerana mabuk ??

Zaman  Usman : Sahabat  Walid  Bin Uqbah Meminum  Khamar… Wow, Sunni  Menyuruh Kita Mempedomani  Sahabat  Pecandu  Miras… Itukah  Sahabat Adil ??

Sahabat Agung Kebanggaan Ahlusunnah ! Allah SWT Menyebut al Walîd bin Uqbah Dengan Gelar Si Fâsiq ! Kegemaran  al Walîd bin Uqbah Mabok-mabokan Yang Mendarah Daging!


Walid bin Uqbah

Utsman juga mengangkat Walid bin Uqbah sebagai gubernur Kufah, padahal Walid bin Uqbah, pada masa Nabi Saw disebut al-Quran sebagai seorang fasik seperti yang diungkapkan dalam ayat Quran (QS al-Hujurat [49] ayat 6). Suatu waktu Nabi Saw mengirimkan Walid bin Uqbah ke Bani Musthaliq untuk mengumpulkan zakat, padahal sebelum Walid menjadi Muslim, dia adalah orang yang tidak disukai suku itu (Bani Musthaliq).Belum lagi sampai di tujuan, Walid mengubah pikirannya, karena dia takut dibunuh oleh orang-orang Bani Musthaliq. Walid pun kembali kepada Rasulullah dan berbohong kepada Rasulullah bahwa suku Bani Musthaliq menolak memberikan zakat..Mendengar hal ini Rasulullah Saw marah dan sempat ingin bertindak lebih jauh, namun Allah Swt segera mencegahnya dengan menurunkan ayat (QS 49:6) demi membongkar kebohongan Walid.
 “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS Al-Hujurat [49]:6) [Jalaluddin Al-Suyuthi, Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul, ayat QS 49:6].

Pada masa berkuasanya Utsman bin ‘Affan, suatu ketika, Walid yang diangkat menjadi Gubernur Kufah mengimami shalat subuh dalam keadaan mabuk khamr, dan melakukan shalat subuh 4 rakaat. Bahkan dia berkata kepada makmum, akan menambahkan rakaatnya jika dia mau. [Abu A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, Penerbit Mizan.] Inilah profil salah seorang sahabat yang dikatakan Al-Qur’an sebagai FASIQ!.
Bahkan seorang sarjana ternama Muslim Sunni, Al-Syahid Sayyid Quthb, tidak dapat menyembunyikan kekecewaannya atas fakta sejarah ini. Sayyid Quthub menulis, “Adalah celaka sekali bahwa kekuasaan kekhalifahan diberikan kepada Utsman yang pada saat itu telah tua renta, lemah semangat juangnya untuk menegakkan Islam, tak berdaya menentang tipu daya pembantunya, Marwan bin Hakam serta pendukungnya, kaum keluarga Ummayyah.” [Sayyid Quthb, Keadilan Sosial Dalam Islam, hlm. 270, Penerbit Pustaka Bandung, Cet. I, 1984.].

“…tetapi sejarah juga sulit untuk memaafkan kesalahannya (Utsman bin Affan) akibat usianya yang telah sangat tua dan fisiknya yang sudah lemah, terombang-ambing dalam pengaruh buruk Bani Umayyah.” [Ibid, hlm. 272.].

Ketika para shahabat yang shalih masih hidup mengapa kedudukkan-kedudukkan penting justru diberikan kepada orang-orang berperilaku buruk seperti itu? Jawaban obyektifnya adalah agar sang khalifah dengan mudah mempunyai kesempatan untuk memberikan kekuasaan yang langgeng bagi Bani Umayyah. Inilah suatu kaum yang di dalam sejarahnya berambisi untuk memadamkan Cahaya Islam, yang mendapatkan kesempatan secara mulus dari para khalifah-khlaifah sebelumnya untuk berkuasa dan menghancurkan Islam dari dalam.

Dan saat itu pula musuh bebuyutan mereka, Bani Hasyim tidak lagi memiliki kekuatan yang berarti setelah pertahanan ekonomi mereka (Fadak) dirampas, dan posisi-posisi penting mereka dan para pendukung mereka berhasil digusur. Kemutlakan pilih kasih telah diberikan kepada Bani Umayyah dan menghapus segala kemungkinan Bani Hasyim dapat meraih kekhalifahan.

Utsman telah memberikan khumus (20%) dari rampasan perang dari expedisi pertama ke Afrika kepada saudara lelakinya, Abdullah ibn Abu Sarh. Marwan bin Hakam memperoleh khumus (20%) dari expedisi ke 2 Afrika. Dan akhirnya khalifah memberikan kepadanya keseluruhannya (100%). [Tarikh Ibn al Athir Volume 3 page 49 publishers, Dar ul Kitan al Lubnani, 1973.].

* Tanah Fadak yang merupakan milik Rasulullah Saw, yang disita Abu Bakar dari tangan Sayyidah Fathimah, akhirnya diberikan Utsman kepada Marwan.
[Ibn Qutayba, Al Ma'arif, p. 190 edited by Tharwat 'Ukasha, Cairo edition 1960.].

* Utsman juga memberikan sepupunya, Harits hadiah yaitu, unta-unta yang telah dikumpulkan sebagai zakat dan pajak, lalu membawa unta-unta itu ke Madinah. [Ansab al-Ashraf, Baladhuri, Vol 5 p 28, edited by S.D.F. Goitein Jerusalem 1936.]
.
* Apakah hal ini tidak mengundang keingintahuan, bahwa Abu Bakar telah menetapkan Fadak menjadi milik negara, lalu ‘diberikan’ kepada Marwan? Utsman telah memberikan Zakat dari Qud’ah yang berjumlah 300.000 dirham. [Thaha Hussayn, Al-Fitnah al-Kubra, Vol. 1, p. 193, Dar al- Ma’arif, Egypt, 1953] dan Abdul Rahman bin Auf 3 juta dirham. [Thaha Hussayn, Al-Fitnah al-Kubra, Vol. 3, p. 126, Dar al-Ma'arif, Egypt 1953].

Mungkin menurut Umar bin Khaththab hal ini dipandang sebagai alternatif, setelah menyadari ketamakan Bani Umayyah, dengan dalih agar tidak terjadi perang saudara (antara Bani Umayyah dan Bani Hasyim) dan menjaga persatuan umat Islam secara keseluruhan.
Tidak bisa dibantah, mengapa Umar bin Khaththab tidak menganugerahkan kekhilafahan kepada putranya, Abdullah bin Umar? Ternyata Umar mempunya visi yang terlalu jauh untuk ini.

Dia menyadari jika dia memberikan kekhalifahan kepada putranya, Abdullah bin Umar, dia akan mendapatkan ancaman kekuasaan dari Bani Umayyah, sehingga dengan terpaksa dia memberikannya kepada Banu Umayyah, yang dia ketahui sangat haus kekuasaan. Pada kenyataannya, dia telah membuat putranya sendiri, Abdullah bin Umar mesti memutuskan pemilihan suara dalam Dewan Syura yang sudah disiapkan Umar bin Khaththab sedemikian rupa agar Utsman bin Affan unggul dalam pemilihan tersebut.

Dengan cara ini, putra Umar, Abdullah bin Umar menjadi sekutu dekat dengan Bani Umayyah dan menjadi seorang musuh yang pahit bagi putra-putra Imam Ali, khususnya Imam Husain (as).


Usman memberi keutamaan kepada anggota sukunya atau menunjuk keluarga nya untuk menduduki posisi penting dalam pemerintahan. Utsman, Ia hidup dalam  kemewahan. la menunjuk anggota dari sukunya (Umayah) untuk menduduki posisi yang penting dan kuat dalam pemerintahan, dengan memberi keutamaan kepada mereka daripada umat Islam lainnya, tanpa melihat kepentingan mereka. Padahal, keluarganya ini tidak beriman, juga royal dan sangat berlebihan.

Bani Umayah seperti Muawiyah dan Marwan yang benar-benar mencari keuntungan dari keberadaan Utsman dan juga kematiannya. Kisah Ibnu Saba dalam hal ini berfungsi sebagai topeng bagi wajah-wajah yang haus kekuasaan, yang juga merupakan cara lain untuk menyerang Ali bin Abi Thalib dan pengikut-pengikut setianya.

Khalifah Utsman mengangkat saudara angkatnya, Abdullah bin Sa’d, sebagai gubernur Mesir. Pada saat itu, Mesir merupakan propinsi terbesar di negara Islam. Ibnu Sa’d telah masuk Islam dan pindah dari Mekkah ke Madinah. Ketika Mekkah ditaklukkan, Nabi Muhammad SAW menyuruh kaum Muslimin untuk membunuh Ibnu Sa’d. Ia harus dibunuh meskipun ia menalikan kain Kabah ke tubuhnya. Ibnu Sa’d bersembunyi di rumah Utsman.

Khalifah Usman bin Affan membawa pamannya, Hakam bin Abi As (putra Umayah, putra Abdussyams), ke Madinah setelah Nabi Muhammad mengasingkannya dari Madinah.
 Diriwayatkan bahwa Hakam sering bersembunyi dan mendengarkan percakapan Nabi Muhammad ketika ia berbicara secara rahasia kepada sahabat-sahabat utamanya, lalu menyebarkan apa yang ia dengar. Ia sering mengikuti dan memperolok-olok cara berjalan Nabi. Suatu waktu Nabi melihatnya ketika ia sedang meniru-niru jalannya dan berkata, “Selamanya ia akan seperti itu.” .

Segera Hakam menjadi seperti itu hingga ia meninggal. Diriwayatkan juga bahwa, suatu hari, ketika sedang duduk bersama beberapa sahabatnya, Nabi Muhammad berkata, “Seorang lelaki yang telah dikutuk akan memasuki ruangan ini.” Tak lama setelah itu masuklah Hakam.

Setelah membawanya ke Madinah, Utsman memberi pamannya uang sebanyak 300 ribu dirham.
la menjadikan Marwan bin Hakam, sebagai pembantu utamanya, dan penasehat tertinggi nya, dengan memberi kekuasaan yang sama dengan dirinya. Marwan menerima seperlima pendapatan dari Afrika Utara sebesar 500 ribu dinar. Tetapi ia tidak menyerah kan uang ini. Khalifah mengizinkannya untuk menyimpan uang ini. Jumlahnya sama dengan 10 juta dollar.

Ali bin Abi Thalib sering memperingatkan Utsman mengenai berbahayanya Marwan, tetapi hal itu sia-sia saja. Percakapan berikut antara Ali bin Abi Thalib dan Utsman membuktikan kenyataan ini. Kejadian ini terjadi ketika Utsman diserang, lalu ia meminta bantuan Ali bin Abi Thalib.

Orang-orang menyampaikan hal ini kepada Ali. Kemudian Ali mendatangi Utsman dan berkata, “Sesungguhnya engkau telah membuat puas Marwan (sekali lagi), tetapi ia hanya akan puas jika engkau menyimpang dari agamamu dan akalmu, seperti seekor unta membawa tandu yang dituntun semaunya. Demi Allah, Marwan tidak mengetahui apapun tentang agama dan jiwanya. Aku bersumpah demi Allah, menurutku, ia akan membawamu masuk dan tidak akan mengeluarkanmu kembali. Setelah pertemuan ini, aku tidak akan datang untuk mencacimu lagi. Engkau telah menghancurkan kehormatanmu sendiri dan merampas kekuasaanmu.”.

Ketika Utsman wafat, Ali bin Abi Thalib berkata, “Demi Allah! Aku telah berusaha membelanya (Utsman) hingga aku dipenuhi rasa malu. Tetapi Marwan, Muawiyah, Abdullah bin Amru, dan Sa’d bin As telah melakukan sesuatu sebagaimana yang engkau saksikan. Ketika aku memberi nasehat yang sungguh-sungguh dan menganjurkan ia untuk mengusir mereka, ia menjadi curiga, sehingga terjadilah apa yang terjadi saat ini.”.

Marwan beserta keturunannya merupakan dasar dari beberapa tuduhan korupsi dan nepotisme yang paling serius yang dilakukan Utsman. Marwan, tentu saja, merampas kekhalifahan dan menaiki tahta pada tahun 64/684 dan merupakan nenek moyang raja-raja Umayah selanjutnya di Damaskus juga pemimpin Cordova hingga setelah tahun 756.

c.  Memberikan jabatan publik kepada keluarga; khalifah Utsman mengangkat Walid bin Aqabah (salah satu keluarga Umayah) sebagai gubernur Kufah, tingkah laku Walid ketika Nabi masih hidup buruk. Quran merendahkannya dan menyebutnya sebagai orang yang menyimpang. Contohnya Nabi Muhammad SAW mengirim dia kepada Bani Mustalaq untuk mengumpulkan zakat mereka.walid melihat dari jauh Bani Mustalaq ini mendekat ke arahnya dengan mengendarai kuda, Ia menjadi takut karena ketegangan antara dia dan kaum ini sebelumnya. Ia kembali kepada Nabi Muhammad SAW dan memberitahu bahwa mereka ingin membunuhnya. Hal. ini tidak benar. Tetapi keterangan Walid ini membuat murka kaum Muslimin Madinah dan mereka ingin menyerang Bani Mustalaq.

Pada saat itu turunlah ayat berikut, Hai orang-orang yang beriman, jika seorang yang menyimpang datang kepadamu membawa berita, buktikanlah kebenaran berita itu! Jika tidak engkau akan menghancurkan suatu umat tanpa kalian sengaja, kemudian kalian akan menyesal dengan perbuatan kalian yang tergesa-gesa itu.

Walid masih terus menjalankan praktik hidup jahiliyahnya selama hidupnya. la selalu meminum arak dan banyak saksi menyatakan kepada khalifah bahwa mereka menyaksikan Walid sedang mabuk ketika memimpin shalat berjamaah.

Usman  malah menggantikan Jabatan Walid dengan Said bin As, anggota keluarga Umayah yang lain.
d. Umar adalah orang yang menempatkan Muawiyah di pemerintahannya selama ia berkuasa dan USMAN hanya melakukan hal yang sama.”.

Tabari menukilkan bahawa ‘Uthman menulis surat kepada Muawiyah dan berkata: Sesungguh nya warga Madinah telah kafir, menderhaka dan memutuskan bai’at mereka (Tarikh Tabari jilid 3 halaman 402).

Utsman bin Affan tidak seperti pendahulunya yang cerdik dalam politik dan mampu mengatur pemerintahnya lebih baik. Setelah Abdurrahman bin Auf menyerahkan suaranya kepada Utsman dan ia terpilih sebagai khalifah, Utsman diarak menuju masjid Rasulullah saw. untuk mengumumkan kebijakan politiknya demi memperbaiki kondisi yang ada. Utsman naik ke atas mimbar dan duduk di atas tempat yang biasa diduduki Nabi semasa hidupnya, padahal Abu Bakar dan Umar bin Khatthab tidak berani melakukannya ketika mereka menjabat sebagai khalifah. Mereka berdua hanya berani duduk di undakan yang menuju tempat duduk Nabi. Di atas tempat duduk Nabi itulah Utsman berpidato. Sebagian sahabat berkata: “Hari ini kepongahan telah lahir”.[31].

Utsman bin Affan bukan seorang yang pandai pidato. Ia tidak mampu berkata banyak di atas mimbar Nabi. Ia berkata: “Amma Ba’du (selanjutnya), sesungguhnya pertama kali mengendarai sesuatu adalah saat yang sangat sulit. Di sisi lain, aku bukanlah seorang orator. Allah Maha Mengetahui. Sesungguhnya masalah yang berada di antara seseorang dan Adam adalah seorang ayah yang telah meninggal dan perlu dinasehati”.[32]

Al-Ya’qubi menulis: “Utsman bin Affan berdiri dan untuk sementara waktu ia tidak berkata apapun. Kemudian ia membuka mulutnya dan berkata: “Sesungguhnya Abu Bakar dan Umar bin Khatthab telah menyiapkan posisi ini sebelumnya. Kalian lebih membutuhkan seorang khalifah yang adil daripada seorang khalifah yang hanya bisa berpidato. Bila kalian masih hidup, ucapan dan pidatoku akan mendatangi kalian. Kemudian Utsman turun dari mimbar”.[33].

Utsman bin Affan mulai menjalankan pemerintahannya dan melakukan kebijakan-kebijakan yang membuat mayoritas kaum muslimin marah dan membencinya kecuali keluarganya, yaitu Bani Umayyah. Ia secara transparan menunjukkan sikap fanatisme kesukuannya dan kecondongannya kepada keluarga, sekaligus mengumumkan bahwa ia adalah bagian dari keluarga besar Umayyah. Ia mulai mengangkat dan menokohkan anggota keluarga Umayyah di atas masyarakat yang lain. Posisi penting mulai diisi oleh Bani Umayyah tanpa mampu ditolak oleh kaum muslimin.

Utsman bin Affan telah melampaui batas dalam kebijakan rasisnya; melebihi apa yang telah ditanamkan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khatthab. Quraisy tidak lagi memegang kendali pemerintahan, namun dibatasi oleh Utsman pada Bani Umayyah saja.

Utsman bin Affan tidak lagi  peduli pada nasihat dan peringatan-peringatan para sahabat dan di atas mereka semua Ali bin Abi Thalib. Benar, Utsman telah menguasai kekuasaan, namun ia lupa berkaca kepada pendahulunya dalam menjalankan pemerintahan di atas metode yang sah dan berdasarkan pemerintahan Islam. Elemen-elemen penting dan baik semakin lemah untuk dapat mengubah kebijakan pemerintah secara langsung. Kebijakan Abu Bakar dan Umar bin Khatthab pada masa pemerintahan mereka cukup berhasil menjauhkan Ali bin Abi Thalib dari kekuasaan dan kepercayaan rakyat pada pandangan dan tuntunannya. Akibatnya, penyelewengan dan penyimpangan dari pemerintahan islami dan munculnya arus kebencian dan permusuhan terhadap Ahlul Bait semakin kuat. Kondisi ini sangat menyulitkan usaha Ali agar khalifah baru mau mendengarkan nasihat. Kondisi dipersulit dengan arus kaum munafik dan Quraisy yang memeluk Islam secara terpaksa ketika pembebasan kota Mekkah serta orang-orang yang punya kepentingan yang berada di sekelilingnya.

Sikap Abu Sufyan setelah pembaiatan Utsman bin Affan.

Setelah selesai pembaiatan Utsman bin Affan, Abu Sufyan berjalan mendekati rumah Utsman bin Affan, dan secara berdesak-desakan dengan keluarga dan teman-teman Utsman ia maju dan menyampaikan awal kemenangan menguasai kekuasaan. Tampak wajahnya berbinar-binar menerima kemenangan ini dengan terpilihnya Utsman sebagai khalifah kaum muslimin. Mulutnya terbuka lebar untuk menandakan kebenciannya. Tampak kegeramannya mengingat Islam telah menghina tokoh-tokoh Bani Umayah. Ia kemudian memalingkan wajahnya ke kiri dan ke kanan kemudian berkata kepada segenap yang hadir di rumah Utsman bin Affan: “Apakah ada orang lain selain keluarga dan teman-teman Bani Umayyah?” Mereka serentak menjawab: “Tidak”. Abu Sufyan melanjutkan: “Wahai Bani Umayyah! Dengan cepat kalian telah meraih dan menguasai kekuasaan seperti menangkap bola. Demi Zat yang Abu Sufyan bersumpah atasnya! Tidak ada yang namanya surga dan neraka. Tidak pula ada perhitungan di Hari Kiamat, dan tidak ada juga yang namanya pembalasan. Sejak dahulu aku selalu mengharap kekuasaan ini untuk kalian. Jadikan ini sebagai warisan untuk anak cucu kalian”.[34].

kemudian ia berjalan menuju kuburan pemimpin para syahid, Hamzah bin Abdul Mutthalib. Ia berhenti di samping kuburan sambil menendang kuburan Hamzah dengan kakinya dan berkata: “Wahai Abu ‘Imarah! Apa yang selama ini engkau perjuangkan dengan pedangmu sekarang telah berada di tangan anak keturunan kami. Mereka menjadikannya sebagai barang mainan”.[35]

Dampak Negatif Kebijakan Pemerintahan Utsman bin Affan.

Selama hidup dengan Abu Bakar dan Umar bin Khatthab, Ali bin Abi Thalib a.s. tidak pernah menunjukkan ketidaksetujuannya secara terbuka. Demikian ini tidak lain karena penyimpangan yang terjadi juga tidak secara terang-terangan. Bahkan dalam banyak kesempatan, Ali terlibat dalam usaha memperbaiki sikap dan posisi khalifah bila terjadi kesalahan dan itu diterima oleh keduanya. Abu Bakar dan Umar bin Khatthab tidak khawatir karena Ali memainkan peranannya hanya sebatas tokoh agama di hadapan umatnya dan sebagai pemilik yang sah kekhalifahan dan pemimpin oposisi bersama sebagian sahabat besar lainnya. Ali siap untuk tidak melakukan kudeta terhadap pemerintah dan memberikan ketenangan kepada masyarakat, sekalipun ia tidak akan mundur dari prinsip yang diwarisinya dari Rasulullah saw. sebagai penjaga dan pelindung akidah Islam.

Sikap yang diambil oleh Ali bin Abi Thalib berbeda ketika Utsman bin Affan mengambil alih pemerintahan sebagai khalifah baru. Pada pemerintahan Utsman, perilaku korup telah menyebar luas dan secara perlahan-lahan korupsi itu masuk dalam struktur pemerintahan secara terang-terangan. Kerusakan moral ini akhirnya menjalar dan merasuki masyarakat Islam. Di sini, Ali bin Abi Thalib kemudian mengambil sikap dan secara terang-terangan menentang kepemimpinan Utsman bin Affan. Banyak sahabat besar yang mendukung sikap Ali seperti: Ammar bin Yasir, Abu Dzar dan lain-lain, bahkan dukungan juga mengalir dari mereka yang sebelumnya mengingkari hak Ali sebagai khalifah sepeninggal Rasulullah saw. Mereka tidak setuju dengan kebijakan Utsman dalam pengelolaan negara dan kerusakan moral pemerintahannya. Di sini dapat dilihat secara global pemerintahan Utsman dan dampak buruknya:
Utsman bin Affan menerima tampuk pimpinan ketika ia telah berumur tujuh puluh tahun; batasan umur di mana seseorang sangat mencintai keluarga dan mau berkorban untuk mereka. Diriwayatkan ucapannya: “Seandainya aku memiliki kunci-kunci pintu surga, niscaya aku akan memberikannya kepada Bani Umayyah sehingga mereka semua memasukinya”.

Begitu juga sebelum Islam, Utsman bin Affan hidup dalam kondisi yang serba ada dan kondisi itu berlangsung setelah memeluk Islam. Oleh karenanya, ia tidak dapat merasakan betapa sulitnya orang-orang fakir miskin menjalani kehidupan mereka. Kepribadiannya betul-betul teruji ketika harus bersikap dengan sekelompok besar orang-orang miskin yang meminta keadilan dan persamaan hak darinya. Ia memperlakukan mereka dengan keras dan kasar sebagaimana perlakuannya kepada Abdullah bin Mas’ud, Ammar bin Yasir, Abu Dzar dan lain-lainnya.

Dari sisi keluarga, Utsman bin Affan sangat dekat dan bahkan menempatkan mereka pada posisi-posisi penting. Ia mengangkat Al-Walid bin ‘Uqbah bin Abi Mu’ith sebagai gubernur Kufah, padahal Al-Walid termasuk orang yang diberitakan oleh Rasulullah sebagai penghuni neraka. Utsman juga mengangkat  Abdullah bin Abi Sarh sebagai gubernur Mesir, Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai gubernur Syam dan Abdullah bin ‘Amir sebagai gubernur Bashrah. Ia juga telah mencopot Al-Walid bin ‘Uqbah dari jabatannya sebagai gubernur Kufah dan menggantikannya dengan Said bin Al-’Ash.[36]

Utsman bin Affan adalah orang yang lemah, terutama bila berhadapan dengan Marwan bin Al-Hakam. Ia senantiasa mendengar ucapan dan menuruti keinginan Marwan. Hal itu terus berlangsung bahkan ketika terjadi konspirasi untuk menggulingkannya dan kondisi yang betul-betul gawat. Ketika keadaan telah kritis, Ali bin Abi Thalib melibatkan diri untuk meredakan ketegangan sampai berhasil memulangkan orang-orang yang melakukan demonstrasi menuntut perubahan dan perbaikan kebijakan pemerintahan sekaitan dengan kolusi dan korupsi yang telah menggerogoti pemerintah, bahkan permintaan untuk menggantikan sebagian gubernur di beberapa daerah. Ali berhasil mendapatkan janji Utsman untuk tidak lagi mendengar dan mengikuti ucapan Marwan bin Al-Hakam dan Said bin Al-’Ash.

Sayangnya, tatkala situasi mereda dan normal, Marwan dan Said kembali mendekati Utsman bin Affan dan memaksanya keluar dari rumah disertai pengawal pribadi. Melihat hal itu, Ali bin Abi Thalib a.s. menemui Utsman dengan penuh kemarahan sambil berkata: “Kau setuju dengan perkataan Marwan, namun ia tidak pernah puas padamu. Yang diinginkan darimu adalah agar engkau menyimpang dari agama dan akalmu seperti unta yang dicocok hidungnya ikut ke mana saja pemiliknya pergi. Demi Allah! Marwan bukan orang yang agama dan jiwanya baik”.[37]

Pada kesempatan lain, Utsman bin Affan sangat marah kepada para saksi yang menyaksikan Al-Walid bin ‘Uqbah yang dituduh meminum khamar sehingga Utsman mengusir mereka. Mengetahui kejadian tersebut, Ali bin Abi Thalib memperingatkan Utsman akan akibat yang bakal terjadi dari perbuatannya ini. Ali memerintahkan Utsman untuk menghadirkan Al-Walid agar diadili dan dihukum bila terbukti tuduhan tersebut. Ketika Al-Walid dihadirkan dihadirkan dalam sidang dan terbukti melakukan demikian atas kesaksian para saksi, Ali sendiri yang melaksanakan hukumannya yang membuat Utsman semakin marah. Ia berkata kepada Ali: “Engkau tidak punya hak untuk melaksanakan hukum tersebut atas Al-Walid”. Ali menjawab dengan logika yang kuat dan berlandaskan syariat Islam: “Bahkan yang lebih buruk dari ini adalah bila seseorang yang berbuat kefasikan dan mencegah hak-hak Allah berlaku kepada orang yang berbuat fasik”.[38]

Kebijakan Utsman bin Affan di bidang keuangan adalah kepanjangan dari kebijakan yang diberlakukan sebelumnya oleh Umar bin Khatthab, yaitu kebijakan  yang menciptakan sistem kasta. Umar membagikan kekayaan negara secara tidak adil kepada sebagian kelompok dan tidak kepada sebagian lainnya. Ketimpangan itu yang kemudian dilanjutkan dengan bentuk yang lebih ekstrim di zaman Utsman bin Affan. Ia memberikan perhatian khusus kepada Bani Umayyah.

Suatu waktu, penjaga khazanah Baitul Mal mengajukan keberatannya kepada Utsman mengenai kebijakan keuangannya. Mendengar itu, Utsman menjawab: “Engkau adalah penjaga Baitu Mal kami. Bila kami memberikan sesuatu kepadamu maka ambillah, dan bila kami diam maka engkau juga harus diam”. Penjaga Baitul Mal kemudian menjawab: “Demi Allah! Aku bukan penjaga Baitul Mal khalifah dan keluarganya melainkan penjaga harta kaum muslimin”.

Pada hari Jumat, ketika Utsman berkhotbah, penjaga Baitul Mal itu berkata: “Wahai kaum muslimin, Utsman bin Affan menganggap bahwa aku adalah penjaga Baitul Malnya dan keluarganya. Aku ingin mengatakan di sini bahwa aku adalah penjaga Baitul Mal kaum muslimin. Ini adalah kunci-kunci Baitul Mal milik kalian”. Ia kemudian melemparkan kunci-kunci tersebut ke hadapan Utsman.[39]

Sikap Ali terhadap Utsman bin Affan.

Kaum muslimin semakin membenci Utsman bin Affan karena perilakunya. Sahabat-sahabat terbaik Rasulullah saw. semakin bersatu terhadap penyimpangan khalifah dan pejabat yang berada di bawahnya. Di seberang sana, Utsman bin Affan mengerti dan mulai menyiksa para penentang kebijakannya yang menyimpang. Penyiksaan yang dilakukan sudah tidak lagi memandang para sahabat Rasulullah saw. Dari situ, ia menyiksa Abu Dzar; salah satu sahabat terbaik Rasulullah saw, karena seringnya melakukan protes terhadap kebijakan Utsman yang buruk. Utsman membuangnya ke Syam. Muawiyah sebagai gubernur Syam juga tidak mampu menahan protes Abu Dzar sehingga ia mengirimkan Abu Dzar kembali ke Madinah.

Di kota Madinah, Abu Dzar kembali melakukan perjuangan dengan memprotes kebijakan buruk Bani Umayyah. Utsman semakin terpojok dengan aksi-aksi yang dilakukan oleh Abu Dzar.  Akhirnya, ia mengambil keputusan untuk mengasingkan Abu Dzar ke daerah bernama Rabadzah (sebuah tempat di Lebanon sekarang ini) dan melarang siapa pun untuk mengucapkan selamat jalan kepadanya.

Tanpa kekhawatiran sedikitpun, Ali bin Abi Thalib mengantarkan Abu Dzar untuk mengucapkan selamat tinggal. Ali ditemani kedua anaknya Hasan dan Husein, Aqil, dan Abdullah bin Ja’far. Marwan bin Al-Hakam gusar terhadap perlakuan baik Ali tersebut. Ia melakukan protes kepada Utsman bin Affan agar menahan mereka untuk tidak memberi ucapan selamat dan mengantarkan Abu Dzar. Ali bangkit dan menyerang Marwan. Ia berhasil memotong kedua telinga binatang tunggangan Marwan. Setelah itu, Ali berteriak kepadanya: “Coba halangi! Semoga Allah mengirimmu ke Neraka”.[40]

Ali bin Abi Thalib tetap bersikeras untuk mengucapkan perpisahan dan mengantarkan Abu Dzar sambil berkata kepadanya: “Wahai Abu Dzar! Sesungguhnya engkau bila marah karena Allah, aku berharap kemarahanmu ditujukan kepada mereka. Orang-orang takut kepadamu karena urusan dunia dan harta mereka, sementara engkau takut kepada mereka karena masalah agama mereka. Tinggalkanlah apa yang mereka takutkan atasmu buat mereka (harta dan dunia). Pergilah engkau bersama ketakutanmu atas mereka (agama). Mereka lebih butuh kepada apa yang engkau larang (cinta dunia). Apa yang mereka larang kepadamu lebih berharga (agama). Engkau akan tahu siapa yang lebih beruntung di Hari Kiamat dan siapa yang lebih dengki!”[41]

Sekembalinya dari mengantar Abu Dzar untuk mengucapkan salam perpisahan, orang-orang menyambut Ali bin Abi Thalib sambil berkata: “Utsman bin Affan sangat marah denganmu”. Ali menjawab: “Biarkan kuda marah karena kekangannya”.

Dampak Negatif Pemerintahan Utsman terhadap Umat Islam.

Pemerintahan Utsman bin Affan merupakan kelangsungan dari garis politik pemerintah yang melalaikan kandungan risalah Islam, baik secara praktis maupun teoritis. Kondisi ini meninggalkan efek-efek negatif dalam perjalanan pemerintahan Islam dan umat sebagai kesatuan. Hal itu ditambah dengan kerusakan dan tuduhan keji terhadap transparansi pemerintahan Islam di hadapan umat Islam yang tidak pernah hidup di bawah seorang pemimpin yang maksum (Nabi Muhammad saw) kecuali selama satu dekade. Pada sepuluh tahun itulah umat melihat pemimpinnya sekaligus penguasa dan pendidik. Sementara, api fitnah semakin berkobar luas di pinggiran negara Islam yang akan membawa malapetaka kepada umat Islam.

Dengan memeriksa data-data sejarah, dapat ditemukan beberapa kesimpulan di bawah ini:

1.  Kebijakan pemerintahan Utsman bin Affan tidak sesuai dengan syariat Islam. Hukum-hukum tidak dijalankan secara baik, kebusukan dan kebobrokan semakin meluas sehingga para pejabat pemerintahan tidak mampu memperbaiki kondisi yang telah buruk itu. Ini semua menjadikan keonaran dalam kehidupan bermasyarakat yang pada akhirnya memunculkan semangat untuk tidak lagi taat kepada hukum. Dampak buruk dari munculnya kebusukan ini adalah kecerobohan dan acuh terhadap nilai-nilai moral dan hukum-hukum Islam. Di rumah-rumah gubernur dan pejabat-pejabat tinggi, dapat ditemukan dengan mudah pesta pora yang diisi dengan acara musik dan nyanyian yang di sela-sela itu minuman keras dihidangkan.[42]

2.  Pemerintah Utsman bin Affan memfokuskan kebijakannya atas dasar semangat kesukuan yang sejak awal telah ditanamkan oleh Abu Bakar dalam kebijakan politiknya. Kekuasaan yang didasari oleh kesukuan semakin transparan dalam kekuasaan Bani Umayyah. Mereka bagaikan sebuah keluarga besar menguasai semua jabatan-jabatan penting, karena mereka menganggap bahwa mereka adalah penguasa besar yang menguntung Islam dan sekarang kekuasaan ini kembali kepada pemiliknya. Di sini sudah tidak ada lagi prinsip-prinsip syariat Islam. Bani Umayyah muncul sebagai haluan politik yang kuat; haluan yang memusuhi Islam dan khususnya Ahlul Bait Nabi. Mereka telah menjelma menjadi penghalang terbesar yang dapat menahan Ali bin Abi Thalib untuk dapat mengambil kembali haknya yang terampas. Mereka kemudian membentuk front di bawah pimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan untuk menghadapi Ali.

3.  Pemerintahan Utsman bin Affan menganggap bahwa kekuasaan adalah hak dan sebuah pemberian dan tidak seorang pun berhak untuk merampasnya dari mereka. Kekuasaan dijadikan alat untuk memenuhi keinginan dan kerakusan mereka yang dipenuhi oleh hawa nafsu yang sesat. Menurut mereka, kekuasaan bukan untuk memperbaiki masyarakat dan menyebarkan Islam di muka bumi.[43] Pandangan seperti ini sedikit banyaknya mempengaruhi banyak orang untuk berlomba-lomba berusaha menguasai pemerintahan, karena kekuasaan akan memberikan keuntungan, kekuatan dan derajat. Amr bin Al-Ash, Muawiyah, Thalhah dan Zubeir termasuk dalam kelompok ini. Mereka tidak lagi berusaha meraih kekuasaan dengan alasan mewujudkan tujuan kemanusiaan atau sosial yang menguntungkan umat Islam.

4.  Pemerintahan Utsman bin Affan berhasil menciptakan masyarakat kelas kaya yang cukup luas. Kelas ini selalu terancam kepentingannya bila pemerintahan bermaksud untuk menjalankan kebenaran dan hukum Islam. Arus tuntutan gerakan kaum miskin muslimin ialah perubahan sistem keuangan dan lajunya kehidupan ekonomi serta pembatasan intervensi ke dalam kehidupan pribadi. Gerakan Abu Dzar menentang pemerintah karena kebusukan kebijakan moneter merupakan sebuah bukti betapa dalamnya kegusaran masyarakat miskin di tengah umat.

5.  Penggunaan kekerasan untuk meredam kritik bahkan penghinaan yang dilakukan menimbulkan reaksi yang tersumbat dan pada waktunya muncul sebagai kudeta militer. Pembunuhan Utsman bin Affan adalah titik geser dalam konflik yang melingkar di antara pandangan yang ada di kaum muslimin. Masyarakat menjadikan tindakan kekerasan sebagai solusi kebuntuan selama ini. Hal ini ditambah dengan sikap keras kepala Bani Umayyah dan pejabat-pejabat mereka yang senantiasa menantang kebenaran, keinginan dan tuntutan masyarakat luas untuk munculnya sebuah perubahan dan perbaikan.

Kondisi ini sekali lagi membuka kesempatan kepada kaum oportunis agar dapat merebut kekuasaan dengan kekerasan dan kekuatan senjata setelah umat Islam tercerai berai dan saling berselisih. Setiap kelompok menginginkan kekuasaan untuknya.

6.  Pembunuhan Utsman bin Affan meninggalkan pekerjaan rumah yang besar. Fitnah yang setiap saat dapat memanas dan membakar siapa saja setiap saat, dan dapat dimanfaatkan oleh mereka yang mempunyai kepentingan dan mereka yang keluar dari baiat sebagai semboyan untuk menyulut peperangan dan pertumpahan darah guna menghadapi pemerintahan sah yang dipimpin oleh Ali bin Abi Thalib lewat pemilihan oleh masyarakat Islam. Fitnah ini kemudian dikemas sedemikian rupa kemudian menjadi sempurna di tangan Muawiyah. Ia memerangi Ali dan terjadilah pertumpahan darah yang mengakibatkan banyak kaum muslimin yang tewas. Tidak itu saja, dengan fitnah itu, mereka memanfaatkannya untuk menyesatkan perhatian kaum muslimin kepada agama yang benar melalui budaya yang digerakkan oleh sebuah masyarakat dengan tujuan melanjutkan kekuasaan kerajaan. Luasnya wilayah pemerintahan Islam sangat membantu mereka dan betapa banyaknya jumlah kelompok dalam masyarakat Islam yang tidak memahami akidah Islam secara benar dan sadar.

7.  Salah satu hasil dari kudeta yang dilakukan terhadap Utsman bin Affan adalah munculnya kelompok-kelompok bersenjata di sekitar kota-kota Islam yang kemudian mengepung Madinah. Mereka menunggu nasib dan arah perjalanan pemerintahan Islam. Kejadian-kejadian yang ada memberikan ruang kepada masyarakat untuk melakukan aksi-aksi militer demi mengubah pemerintahan. Semua ini menjadi basis kekuatan yang berpotensi untuk menekan pemerintah yang baru.

Referensi:
[31] . Tarikh Al-Ya’qubi, jilid 2, hal 163. Al-Bidayah wa An-Nihayah, jilid 7, hal 166. Tarikh Al-Khulafa, hal 162.
[32] . Lihat Al-Muwaffaqiyat,  jilid 2, hal 2.
[33] . Tarikh Al-Ya’qubi, jilid 2, hal 163.
[34] . Muruj Adz-dzahab, jilid 1, hal 440.
[35] . Al-Ghadir, jilid 8, hal 278. Al-Isti’ab, jilid 2, hal 690. Tarikh Ibnu Asakir, jilid 6, hal 407. Al-Aghani, jilid 6, hal 330.
[36]. Tarikh Al-Ya’qubi, jilid 2, hal 160. Tarikh Ath-thabari, jilid 3, hal 445. Al-Baladzri, Ansab Al-Asyraf, jilid 5, hal 49. Hilyah Al-Auliya, jilid 1, hal 156. Syeikh Al-Mudhirah Abu Hurairah, hal 166. Al-Ghadir, jilid 8, hal 238. An-Nash wa Al-Ijtihad, hal 399.
[37]. Ath-thabari, jilid 3, hal 397.
[38] . Muruj Adz-dzahab, , jilid 2, hal 225.
[39] . Ibnu Saad, Ath-thabaqat, jilid 5, hal 388. Tarikh Al-Ya’qubi, jilid 2, hal 153. Ansab Al-Asyraf, jilid 5, hal 58. Ibnu Qutaibah, Al-Ma’arif, hal 84. Syeikh Al-Mudhirah Abu Hurairah, hal 169. Al-Ghadir, jilid 8, hal 276.
[40] . Muruj Adz-dzahab, jilid 2, hal 350.
[41] . Syarh Nahjul Balaghah, jilid 3, hal 54. Disebutkan pula oleh Abu Bakar Ahad bin Abdul Aziz dalam bukunya As-Saqifah. A’yan As-Syi’ah, jilid 3, hal 336.
[42] . Abu Al-Faraj Al-Ishfahani, Al-Aghani, jilid 7, hal 179.
[43] . Ibnu Saad, Ath-thabaqat Al-Kubra, jilid 3, hal 64. Tarikh Ath-thabari, jilid 5, hal 341-346.


Keanehan mazhab Sunni.

Anomali Sunni :
a. Thalhah bin  Ubaidillah di ancam  Allah SWT pada  QS. al Ahzâb[33];53 karena bersikap tidak senonoh.
b. Mu’awiyyah, Amr bin Ash, Thalhah dan Zubayr yang telah menumpahkan darah sebanyak lebih dari 40,000 kaum Muslimin yang semuanya sahabat Nabi anda anggap adil ??? baca QS. An-Nisaa: 93.
c. Marwan bin Hakam yang berada di barisan pasukan Thalhah melihat Thalhah tengah mundur (ketika pasukannya dikalahkan di medan perang JAMAL), ia melepaskan panah kepadanya hingga tewas. Kok Sahabat bunuh sahabat sich ??.
Akal saya sulit mencerna kontradiksi  ini…
 Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.(QS. 4:93).
Wajarlah mazhab syi’ah imamiyah pantas menjadi AL Firqatun Najiyah alias satu satunya Firqah yang selamat.

DEFINISI SAHABAT OLEH ULAMA-ULAMA AHLUSSUNAH WAL JAMA’AH.
Berbagai pendapat mengenai definisi sahabat telah dikemukakan. Ada pendapat yang mengatakan: Al-Bukhari, al-Sahih, V, hlm.1: Terjemahan:“Sesiapa yang bersahabat dengan Nabi SAW atau melihatnya daripada orang-orang Islam, maka ia adalah (tergolong) daripada sahabat-sahabatnya.”

Definisi inilah yang dipegang oleh al-Bukhari di dalam Sahihnya. Sementara gurunya Ali bin al-Madini berpendapat:
Terjemahan:”Sesiapa yang bersahabat dengan Nabi SAW atau melihatnya, sekalipun satu jam di siang hari, adalah sahabatnya.”.

Definisi ini meliputi orang yang murtad pada masa hidup Nabi SAW, dan selepasnya. Walau bagaimanapun setiap orang mempunyai pendapatnya sendiri, sekalipun ianya tidak masuk akal. Kerana al-Riddah (kemurtadan) itu menghapuskan amal. Lantaran itu “nama sahabat” tidak ada tempat baginya.

Pendapat ini disokong oleh al-Syafi’i di dalam al-Umm. Sila rujuk: Al-Shafi’i, al-Umm, Cairo, 1961, IV, hlm. 215-216.

Manakala al-Zain al-Iraqi berkata: Terjemahan:”Sahabat adalah sesiapa yang berjumpa dengan Nabi sebagai seorang Muslim, kemudian mati di dalam Islam.”.

Said bin Musayyab berpendapat:
Terjemahan:”Sesiapa yang tinggal bersama Nabi selama satu tahun atau berperang bersamanya satu peperangan.”.

Nota: Pendapat ini tidak boleh dilaksanakan kerana ianya mengeluarkan sahabat-sahabat yang tinggal kurang daripada satu tahun bersama Nabi SAW dan sahabat-sahabat yang tidak ikut berperang bersamanya.

Ibn Hajar berkata:”Definisi (sahabat) tersebut tidak boleh diterima.” Sila rujuk: Ibn Hajar, Fath Bari, VIII, hlm.1-2; al-Mawahib Syarh al-Zarqani, hlm. 8-26.

Ibn al-Hajib menceritakan pendapat ‘Umru bin Yahya yang mensyaratkan seorang itu tinggal bersama Nabi dalam masa yang lama dan “mengambil (hadith) daripadanya. Sila rujuk: Syarh al-Fiqh al-Iraqi, hlm. 4-33.

Ada juga pendapat yang mengatakan:”Sahabat adalah orang Muslim yang melihat Nabi SAW dalam masa yang pendek. Walau bagaimanapun definisi-definisi tersebut menegaskan bahawa sesiapa yang mendengar daripada Nabi SAW atau melihatnya daripada orang Islam secara mutlak mereka semuanya adil – mengikut pendapat mereka – dan mereka pula adalah Mujtahidin (orang yang boleh berijtihad tentang hukum-hukum Islam).

BERDASARKAN DEFINISI-DEFINISI SAHABAT DI ATAS OLEH PARA ULAMA MUKTABAR AHLUSSUNAH WAL JAMA’AH, DI SINI  RIWAYAT-RIWAYAT BERKENAAN DENGAN SEBAHAGIAN PERBUATAN-PERBUATAN PARA SAHABAT NABI S.A.W. DARI KITAB-KITAB HADIS, SEJARAH DAN SEBAGAINYA YANG DIKUMPULKAN, DIKARANG DAN DITULIS OLEH ULAMA-ULAMA AHLUSSUNAH WAL JAMA’AH.

Al-Walid bin Uqbah bin Abi Mu’it yang telah dinamakan oleh Allah sebagai fasiq ketika diutuskan oleh Nabi SAW untuk memungut zakat daripada Bani Mustalaq. Dia pulang dan memberi tahu Nabi SAW bahawa Bani Mustalaq telah keluar untuk memeranginya. Lalu Nabi SAW bersiap sedia dengan tentera untuk memerangi mereka.Maka Allah berfirman: Terjemahan:”Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atau perbuatanmu itu.” [Al-Hujarat: (49): 6] Dia adalah di kalangan sahabat, dan di manakah keadilan daripada seorang yang fasiq?

Al-Walid bin Uqbah bin Abi Mu’it adalah adik Khalifah Uthman dari sebelah ibunya. Semasa pemerintahannya, Khalifah Uthman melantik beliau sebagai gubernur di Kufah, al-Baladhuri, al-Ansab al-Asyraf, V, hlm. 22; Ibn Abd al-Barr, al-Isti’ab, III, hlm.594 menceritakan bahawa al-Walid bin Uqbah adalah seorang peminum arak. Beliau pernah sembahyang Subuh dalam keadaan mabuk. Ibn Qutaibah di dalam al-Imamah wa al-Siyasah, Cairo, 1957, I, hlm.32, menyatakan al-Walid bin Uqbah   sembahyang Subuh empat rakaat kerana mabuk.


(Jakfari/Syiahali/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: