Pertanyaan:
Apa makna redaksi kalimat “Ya Muhammad Ya Ali.. Ya Ali Ya Muhammad” yang
disebutkan pada sebagian doa?
Seberapa tinggi tingkat validitas doa ini
dari sudut pandang periwayatannya?
Jawaban Global:
Doa ini dikutip pada kitab Jamâl al-Usbû’ karya Ibnu Thawus. Demikian juga doa ini dinukil pada Mishbâh Kaf’ami, Wasâil al-Syiah, Bihâr al-Anwâr dan literatur-literatur lainnya.
Tanpa meragukan keunggulan kedudukan dan makam Rasulullah Saw yang merupakan suatu hal yang pasti dalam mazhab, terdapat juga banyak riwayat yang mengisahkan ihwal persatuan batin antara hakikat nur Muhammadi dan Alawi. Dan tentang persatuan ini, terkadang Baginda Ali As disebut sebagai pewaris ilmu Rasulullah Saw.
Dalam masalah ini dapat dikatakan bahwa kesatuan (wahdah) dalam cahaya tidak berseberangan dengan kejamakan dan keunggulan kedudukan Rasulullah Saw. Untuk memudahkan pemahaman, hal tersebut dapat diserupakan dengan kesatuan cahaya yang memiliki tingkatan intensitas (syiddat) dan infirmitas (dha’f).
Tanpa meragukan keunggulan kedudukan dan makam Rasulullah Saw yang merupakan suatu hal yang pasti dalam mazhab, terdapat juga banyak riwayat yang mengisahkan ihwal persatuan batin antara hakikat nur Muhammadi dan Alawi. Dan tentang persatuan ini, terkadang Baginda Ali As disebut sebagai pewaris ilmu Rasulullah Saw.
Dalam masalah ini dapat dikatakan bahwa kesatuan (wahdah) dalam cahaya tidak berseberangan dengan kejamakan dan keunggulan kedudukan Rasulullah Saw. Untuk memudahkan pemahaman, hal tersebut dapat diserupakan dengan kesatuan cahaya yang memiliki tingkatan intensitas (syiddat) dan infirmitas (dha’f).
Jawaban Detil:
Doa yang disebutkan dinukil oleh Ibnu Thawus, salah seorang ulamat besar Syiah, dalam kitab Jamâl al-Usbû’.[1] Demikian juga kitab-kitab seperti Mishbâh Kaf’ami,[2] Wasâil al-Syiah,[3] Bihâr al-Anwâr,[4] dan kitab-kitab sumber lainnya mengutip doa ini.
Dalam pada itu, redaksi kalimat “Ya Muhammad Ya Ali... Ya Ali Ya Muhammad”
di samping doa yang dimaksud juga dinukil pada sebagian doa dan
shalat-shalat mustahab lainnya yang menyokong penggalan doa ini.
Redaksi
kalimat pada doa ini menyinggung kesatuan antara Rasulullah Saw dan
Baginda Ali As. Di samping ekspresi doa, orang yang membacanya juga
berperantara (tawassul) pada makam cahaya batin Muhammad Saw yang
dicipta sebelum seluruh makhluk diciptakan dan makam batin Baginda Ali
As yang memiliki persatuan (ittihâd) dengan cahaya tersebut; hal
ini ditegaskan pada banyak riwayat yang akan disinggung sebagian di
antaranya sebagaimana berikut ini:
1. Diriwayatkan
dari Salman Parsi bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Aku dan Ali
diciptakan dari satu cahaya empat ribu tahun sebelum Allah Swt
menciptakan Adam.”[5]
2. (Rasulullah
Saw bersabda) “Aku dan Ali (berasal) dari satu cahaya. Aku dan ia
adalah satu kesatuan. Ia dariku dan Aku darinya. Dagingnya adalah dagingku. Darahnya adalah darahku.”[6]
3. Dinukil
dari Jabir bin Abdullah Anshari bahwa ia berkata kepada Rasulullah Saw,
“Apa yang Anda katakan ihwal Ali bin Abi Thalib, (Rasulullah Saw)
bersabda, Wahai Jabir! Aku dan Ali diciptakan dari satu cahaya dua ribu
tahun sebelum Adam diciptakan kemudian kami dipindahkan ke sulbi Adam
dan kami melancong dari sulbi-sulbi suci dan rahim-rahim kudus hingga
berpisah pada sulbi Abdul Mutthalib. Kemudian kenabian dan risalah
padaku. Khilafah dan kepemimpinan pada Ali.[7]
Dari
satu sisi, sesuai dengan kesepakatan ulama Syiah makam Rasulullah Saw
tentu saja lebih unggul dari seluruh makhluk dan lebih utama dari makam
Baginda Ali As. Tiada keraguan dalam masalah ini. Barang siapa yang
memandang bahwa makam Baginda Ali As lebih tinggi maka sesungguhnya ia
belum sampai pada makrifat sempurna terkait dengan makam batin
Rasulullah Saw sebagaimana Baginda Ali As sendiri menengarai masalah
ini, Ana Abdun min ‘Abidi Muhammad (Aku adalah abdi dari abdi-abdi Muhammad).[8]
Poin
yang dihasilkan dari menggandengkan dua kelompok beberapa riwayat ini
adalah bahwa makam cahaya Hadhrat Muhammad Saw adalah semulia-mulia
makhluk di seantero semesta (asyraf makhluqat) dan Baginda Ali As
sebagai insan kamil telah sampai pada makam persatuan batin dengan
hakikat Rasulullah Saw. Dan dengan demikian, ia juga merupakan
penampakan wilayah universal Ilahia sebagaimana sesuai dengan diktum
Ilahi, kesempurnaan (kamal) dan penuntasan risalah juga terealisir
dengan pengungkapan wilayah Baginda Ali As yang sejatinya merupakan
jelmaan makam batin Rasulullah Saw.
Pada dasarnya, Baginda
Ali As adalah manusia pertama dan terunggul yang menempati makam
kecintaan sedemikian tidak tersisa jarak di antara keduanya sehingga
Rasulullah Saw menyaksikan hakikat batinnya pada pribadi Baginda Ali As.
Dan bahkan pada waktu mikraj, Allah Swt berbincang dengan Rasulullah
Saw melalui lisan Baginda Ali As.
Hubungan
antara Baginda Muhammad Saw dan Baginda Ali berada di luar kemampuan
ilustrasi dan konsepsi manusia. Dan sejatinya hubungan yang terjalin di
antara keduanya adalah hubungan Ilahi. Karena itu, sabda-sabda yang
mendeskripsikan hubungan keduanya sangat menakjubkan dan persatuan
cahaya ini disebutkan pada beberapa riwayat yang merupakan kesimpulan
dari hubungan ini dan redaksi kalimat “Ya Muhammad Ya Ali..Ya Ali Ya Muhammad” juga disebutkan secara implisit di dalamnya.
Baginda
Ali As sendiri dalam hal ini bersabda, “Wahai Salman, Wahai Jundab! Aku
adalah Muhammad dan Muhammad adalah Aku! Dan Aku dari Muhammad dan
Muhammad dariku, sebagaimana Allah Swt berfirman, “Dia membiarkan dua
lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu. Antara keduanya ada
batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing (sehingga kedua jenis air
itu tidak bercampur).” (Qs. Al-Rahman [55]:19-20)[9]
Dengan demikian, kepengikutan Baginda Ali dan para Imam Maksum kepada Rasulullah Saw adalah kepengikutan eksistensial
dan cahaya. Oleh itu, mereka adalah cermin seluruh hakikat Rasulullah
Saw. Sejatinya, ilmu yang diwarisi Baginda Ali dan para Imam Maksum As
dari Rasulullah Saw adalah cahaya hakikat Muhammadi Saw yang tidak lain
adalah nama teragung Ilahi (ism a’zham). Karena itu, para Imam Maksum As memperkenalkan diri mereka sebagai jelmaan nama-nama dan sifat-sifat Ilahi, “Nahnu Wallahi Asma al-Husna” (Demi Allah! Kami adalah nama-nama indah Tuhan).”[10]
Hanya
saja hakikat cahaya Rasulullah Saw dalam hal ini lebih dahulu dan
bahkan merupakan cahaya asli, hakiki dan utama dalam kedudukan ini.
Untuk
menjelaskan masalah ini kiranya kita perlu menyinggung masalah hakikat
cahaya Muhammad Saw yang dibahasa dalam Irfan dan disebut sebagai
“Hakikat Muhammadiyah.”
Hakikat Muhammadiyah adalah sebuah terma yang mengemuka dalam Irfan (Islam) yang bermakna entifikasi awal (ta’yyin al-awwâl) dari Zat Ilahi yang merupakan penghimpun seluruh nama-nama indah Ilahi (asma al-husna).
Dari hakikat Muhammadiyah seluruh alam-alam muncul. Hakikat
Muhammadiyah ini juga acapkali disebut sebagai hakikat segala hakikat (haqiqat al-haqâiq).
Sesuai dengan keyakinan para arif (urafa), hakikat Muhammadiyah nampak
secara sempurna pada entitas seorang insan kamil; rasul dan wali yang
merupakan jelmaan-jelmaan hakikat di alam rendah (sifli) dan jelmaan sempurnannya di alam ini memanifestasi pada diri Rasulullah Saw.[11]
Dalam pandangan para arif, hakikat Muhammadiyah merupakan media
tampaknya seluruh kebaikan dan keberkahan di alam semesta. Dan makam ini
telah ditetapkan bagi pewarisnya yaitu pemilik wilayah Alawiyah.[12]
Terma
hakikat Muhammadiyah dan hakikat Alawiyah serta wilayah universal
Ilahiah dalam Irfan pada kebanyakan perkara digunakan dengan satu makna
dan sebagaimana para arif menuturkan, “Wilayah Ilahiah Muhammadi adalah identik dengan wilayah Alawi.”[13]
Dalam
pandangan Irfan, persatuan cahaya-cahaya ini tidak berseberangan dengan
makam-makam dan kepatuhan yang satu kepada yang lain. Dan pada makam isyq (kecintaan ekstrem), tauhid, kesatuan syuhud dan wujud (wahdat al-syuhud wa al-wujud),
meyakini adanya perbedaan di antara cahaya-cahaya Rasulullah Saw dan
para Imam Ahlulbait As bermakna meyakini adalah kejamakan meski
kejamakan ini terpelihara pada makamnya sendiri. Demikianlah rahasia wahdah (unitas) dalam katsrat (pluralitas) yang disinggung dalam Irfan hakiki.
Antara pecinta (asyiq) dan yang dicinta (ma’syuq)
terdapat sebuah rahasia yang terpelihara dari pemahaman makhluk dimana
segala perbedaan yang terdapat di dalamnya terkait dengan
derajat-derajat, makam-makam dan lain sebagainya akan hilang dan tidak
terdapat jarak antara pecinta dan yang dicinta, melainkan pecinta (asyiq) adalah yang dicinta itu sendiri (ma’syuq). Dan yang dicinta adalah pecinta itu sendiri. Dan demikianlah satu-satunya penafsiran tentang persatuan (ittihad) dan tajalli (manifestasi).
Persatuan cahaya ini pada saat ia memiliki perbedaan
pada derajat dan intensitas cahaya ia juga dapat dijelaskan melalui
jalan kesatuan gradasional cahaya. Penjelasannya bahwa dengan asumsi
kita menerima perbedaan derajat-derajatnya kita juga dapat menerima
kesatuan esensialnya. Artinya bahwa kendati cahaya-cahaya ini, satunya
intensitasnya lebih kuat dan satunya lebih lemah namun pada prinsipnya
tidak terdapat perbedaan pada keduanya dan keduanya memiliki persatuan.[14]
Patut
disebutkan di sini bahwa elaborasi kesatuan gradisional dalam masalah
cahaya para maksum semata-mata merupakan permisalan dan upaya untuk
mendekatkan kepada pemahaman. Hal ini hanyalah merupakan
metode untuk memahaminya secara benar terkait dengan kesatuan hakikat
mereka. Kalau tidak demikian kuiditas hakiki kesatuan (unitas) ini pada
saat yang sama merupakan kejamakan (pluralitas) yang berpulang pada
rahasia manifestasi dan sifat jelmaan antara Tuhan. Jelmaan-jelmaan sempurna-Nya dan hubungan-Nya dengan cahaya-cahaya ini, tidak dapat dijelaskan oleh akal filosofis manusia.
Di
samping itu, pembahasan ini juga dapat dijelaskan bahwa memiliki satu
keunggulan dan keutamaan selamanya tidak bermakna lebih unggul dalam
makam wilayah dan lebih dekat kepada Allah Swt dalam derajat-derajat
kedekatan; artinya bahwa terdapat kemungkinan bahwa dengan asumsi adanya
persamaan dalam makam wilayah juga salah satunya lebih utama dan
memiliki sebuah keutamaan seperti kenabian.[15]
Dalam
tuturan Imam Khomeini Ra juga terdapat beberapa indikasi atas pandangan
ini. Beliau terkait dengan masalah kenabian Muhammadi Saw berkata,
“Mengingat kenabian sampai kepada jelmaan nama Allah, pada puncak
perjalanan pertama, ia melihat Hak menjelma dengan segala derajat dan
kemuliaan-Nya dan tiada derajat dan kemuliaan yang menghalangi derajat
dan kemuliaan-Nya. Pada puncak perjalanan kedua kebinasaan
dan kehancuran seluruh hakikat pada nama universa l Ilahi, bahkan nama
universal Ilahi pun akan sirna. Karena itu, Dia dengan adanya nama
universal Ilahi akan kembali kepada penciptaan dan pemilik kenabian
azali dan khilafah lahir dan batin. Imam Khomeini mengimbuhkan,
“Perjalanan-perjalanan (asfar) ini bahkan perjalanan keempat juga
diperoleh bagi para wali sempurna, sebagaimana hal itu diperoleh bagi
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As dan anak-anak maksumnya. Namun
karena Rasulullah Saw pemilik makam jam’ e (yang menghimpun seluruhnya) sehingga tidak menyisakan lagi ruang bagi seorang pun dari makhluk setelahnya dalam urusan tasyri’i.
Makam ini secara hakiki diperuntukkan bagi Rasulullah Saw dan bagi para
maksum lainnya secara ikutan. Ruhani mereka semuanya adalah satu. Arif
paripurna Syah Abadi berujar, “Sekiranya Ali nampak secara lahir sebelum
Rasulullah Saw maka ia akan menampakkan Islam sebagaimana Rasulullah
Saw. Ia akan menjadi seorang nabi yang diutus dan hal ini karena dua
insan paripurna ini bersatu dalam kecahayaan dan makam-makam lahir dan
batin antara satu sama lain.[16]
Karena
itu, tanpa kita meragukan dalam keutamaan kenabian Rasulullah Saw yang
merupakan suatu hal yang pasti dalam mazhab, terdapat banyak riwayat
standar yang mengisahkan persatuan batin antara hakikat cahaya Muhammadi
dan Alawi. Dari persatuan ini, terkadang disebut sebagai warisan ilmu
dan kepengikutan sempurna. Dan terkadang kesatuan gradasional atau
personal pada cahaya-cahaya para maksum; dalam pandangan ini seluruh
empat belas maksum berpijak pada satu hakikat tunggal yang disebut
sebagai hakikat Muhammadiyah yang tidak lain adalah nama teragung Ilahi (ism a’zham Ilahi).
Demikian juga dalam redaksi kalimat, “Ya Muhammad Ya Ali... Ya Ali Ya Muhammad”
pada permulaan disebutkan nama Rasulullah Saw mengingat beliau adalah
inti dan hakiki dalam hakikat ini (Ya Muhammad Ya Ali). Dan kembali
untuk penegasan bahwa tiada dualisme di antara keduanya (Ya Ali Ya
Muhammad) disebutkan sehingga baik keunggulan Rasulullah Saw dinyatakan
dan juga kesatuan cahaya di antara keduanya. Makna yang telah disebutkan
ini banyak sekali disebutkan dalam riwayat-riwayat.
Dengan demikian redaksi kalimat “Ya Muhammad Ya Ali... Ya Ali Ya Muhammad” yang disebutkan pada makam doa sejatinya bertitik tolan dari sabda Baginda Ali As “Ana Muhammad wa Muhammad Ana” demikian juga sesuai dengan sabda Rasulullah Saw yang menyatakan “Ana wa Ali min Nur Wahid” (Aku dan Ali berasal dari satu cahaya).
Untuk telaah lebih jauh dalam maslaah ini kami persilahkan Anda untuk merujuk pada Pertanyaan No. 7648 (Site: 7701)
[1]. Jamâl al-Usbû’, Sayid Ibnu Thawus, hal. 280, Intisyarat-e Radhi, Qum.
[2]. Mishbâh Kaf’ami, Ibrahim bin Ali Amuli Kaf’ami, al-Mishbah, hal. 176, Intisyarat-e Radhi, Qum.
[3]. Wasâil al-Syiah, Syaikh Hurr Amili, jil. 8, hal. 84, Muasssah Ali al-Bait.
[4]. Bihâr al-Anwâr, jil. 51, hal. 304, Muassasah al-Wafa, Beirut.
[5]. Ibid, jil. 38, hal. 150.
[2]. Mishbâh Kaf’ami, Ibrahim bin Ali Amuli Kaf’ami, al-Mishbah, hal. 176, Intisyarat-e Radhi, Qum.
[3]. Wasâil al-Syiah, Syaikh Hurr Amili, jil. 8, hal. 84, Muasssah Ali al-Bait.
[4]. Bihâr al-Anwâr, jil. 51, hal. 304, Muassasah al-Wafa, Beirut.
[5]. Ibid, jil. 38, hal. 150.
عَنْ
سَلْمَانَ الْفَارِسِیِّ عَنِ النَّبِیِّ (ص) قَالَ خُلِقْتُ أَنَا وَ
عَلِیٌّ مِنْ نُورٍ وَاحِدٍ قَبْلَ أَنْ یَخْلُقَ اللَّهُ آدَمَ
بِأَرْبَعَةِ آلَافِ.
[6]. ‘Awali al-Lâi, Ibnu Abi Jumhur Ihsai, , jil. 4, hal. 124, Intisyarat-e Sayid al-Syuhada As.
قال (ص) أنا و علی من نور واحد و أنا و إیاه شیء واحد و إنه منی و أنا منه لحمه لحمی و دمه دمی.
[7]. Besyârat al-Mustafâ, Imad al-Din Thabari, hal. 190, Kitabkhane Haidariyah, Najaf.
عن
جابر بن عبد الله قال قلت یا رسول الله ما تقول فی علی بن أبی طالب قال یا
جابر خلقت أنا و علی من نور واحد قبل أن یخلق الله آدم بألفی عام نقلنا
إلى صلبه و لم نزل نسیر فی الأصلاب الزاکیة و الأرحام الطاهرة حتى افترقنا
إلى صلب عبد المطلب فجعل فی النبوة و الرسالة و فیه الخلافة و السؤدد.
[8]. Al-Kâfi, Syaikh Kulaini, jil. 1, hal. 89, Dar al-Kutub al-Islamiyah.
[9]. Bihâr al-Anwâr, Muhammad Baqir Majlisi, jil. 26, hal. 5, Muassasah al-Wafa, Beirut:
"
یَا سَلْمَانُ وَ یَا جُنْدَبُ أَنَا مُحَمَّدٌ وَ مُحَمَّدٌ أَنَا وَ
أَنَا مِنْ مُحَمَّدٍ وَ مُحَمَّدٌ مِنِّی قَالَ اللَّهُ تَعَالَى مَرَجَ
الْبَحْرَیْنِ یَلْتَقِیانِ بَیْنَهُما بَرْزَخٌ لا یَبْغِیانِ ."
[10]. Al-Kâfi, Syaikh Kulaini, jil. 1, hal. 143.
[11]. Dânesynâme Jahân-e Islâm, Nasyr Bunyad Dairat al-Ma’arif Islami, di bawah huruf ha.
[12]. Syarh Fushûsh Qaishari, Ustad Jalaluddin Astiyani, Mukaddimah, hal. 55, Syirkat-e Intisyarat-e Ilmi wa Farhanggi.
[13]. Ibid, hal. 279.
[14]. Negâresy Irfâni Falsafi Kalâmi be Syakhshiyat wa Qiyâm Imâm Khomeini Ra, Qasim Turkhan, hal. 121, Intisyarat-e Chilceragh, Qum.
[15]. Ibid, hal. 135.
[16]. Mishbâh al-Hidâyah ila al-Khilâfah wa al-Wilâyah, Imam Khomeini, hal. 87-90, nukilan dari Negâresy Irfâni Falsafi Kalâmi be Syakhshiyat wa Qiyâm Imâm Khomeini Ra, hal. 137.
Post a Comment
mohon gunakan email