Siapa yang tidak mengenal Abdullah bin Saba’ ( Siapa sih ibnu saba'? )?. Sosoknya sering dijadikan bahan celaan oleh nashibi untuk mengkafirkan Syiah. Menurut khayalan para nashibi, Abdullah bin Saba’ adalah pendiri Syiah, seorang Yahudi yang berpura-pura memeluk Islam dan menyebarkan keyakinan yang menyimpang dari Islam. Diantara keyakinan yang menyimpang tersebut adalah:
- Penunjukkan Imam Ali sebagai khalifah setelah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].
- Mencela sahabat Nabi yaitu Abu Bakar [radiallahu ‘anhu], Umar bin Khaththab [radiallahu ‘anhu] dan Utsman bin ‘Affan [radiallahu’anhu].
- Upaya pembunuhan Khalifah Utsman bin ‘Affan [radiallahu ‘anhu].
- Sikap ghuluw terhadap Ali [radiallahu ‘anhu] dan Ahlul Bait.
- Mencetuskan aqidah bada’ dan tidak meninggalnya Ali [radiallahu ‘anhu].
Jika diteliti dengan baik maka sebenarnya nashibi tersebut tidak memiliki landasan kokoh atau dasar yang shahih dalam tuduhan mereka tentang Abdullah bin Saba’. Peran Abdullah bin Saba’ yang luar biasa sebagaimana disebutkan nashibi di atas tidaklah ternukil dalam riwayat yang shahih. Nashibi mengais-ngais riwayat dhaif dalam kitab Sirah yaitu riwayat Saif bin Umar At Tamimiy seorang yang dikatakan matruk, zindiq, pendusta bahkan pemalsu hadis. Dari orang seperti inilah nashibi mengambil aqidah mereka tentang Abdullah bin Saba’. Maka tidak berlebihan kalau nashibi yang ngaku-ngaku salafy tersebut kita katakan sebagai pengikut Saif bin Umar.
Syiah sebagai pihak yang difitnah membawakan pembelaan. Para ulama Syiah telah banyak membuat kajian tentang Abdullah bin Saba’. Secara garis besar pembelaan mereka terbagi menjadi dua golongan
- Golongan yang menafikan keberadaan Abdullah bin Saba’, dengan kata lain mereka menyatakan bahwa Abdullah bin Saba’ adalah tokoh fiktif yang dimunculkan oleh Saif bin Umar.
- Golongan yang menerima keberadaan Abdullah bin Saba’ tetapi mereka membantah kalau ia adalah pendiri Syiah, bahkan menurut mereka Abdullah bin Saba’ adalah seorang ekstrim ghulat yang dilaknat oleh para Imam Ahlul Bait.
Riwayat Abdullah bin Sabaa’ Dalam Kitab Sunniy.
حَدَّثَنَا عَمْرِو بْنِ مَرْزُوقٍ ، قَالَ : أنا شُعْبَةُ ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ ، عَنْ زَيْدِ بْنِ وَهْبٍ ، قَالَ : قَالَ عَلِيٌّ : مَا لِي وَلِهَذَا الْحَمِيتِ الأَسْوَدِ ، يَعْنِي : عَبْدَ اللَّهِ بْنَ سَبَإٍ ، وَكَانَ يَقَعُ فِي أَبِي بَكْرٍ ، وَعُمَرَ
Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Marzuuq yang berkata telah mengabarkan kepada kami Syu’bah dari Salamah bin Kuhail dari Zaid bin Wahb yang berkata Ali berkata apa urusanku dengan orang jelek yang hitam ini? Yakni ‘Abdullah bin Saba’ dia mencela Abu Bakar dan Umar [Tarikh Ibnu Abi Khaitsamah 3/177 no 4358].‘Amru bin Marzuuq terdapat perbincangan atasnya. Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Ma’in berkata “tsiqat ma’mun”. Abu Hatim dan Ibnu Sa’ad menyatakan ia tsiqat. As Sajiy berkata shaduq. Ali bin Madini meninggalkan hadisnya. Abu Walid membicarakannya. Yahya bin Sa’id tidak meridhai ‘Amru bin Marzuuq. Ibnu ‘Ammar Al Maushulliy berkata “tidak ada apa-apanya”. Al Ijliy berkata “Amru bin Marzuuq dhaif, meriwayatkan hadis dari Syu’bah yang tidak ada apa-apanya”. Daruquthni berkata “shaduq banyak melakukan kesalahan”. Al Hakim berkata “buruk hafalannya”. Ibnu Hibban berkata “melakukan kesalahan” [At Tahdzib juz 8 no 160].
‘Amru bin Marzuuq tafarrud dalam penyebutan lafaz “yakni Abdullah bin Saba’ dia mencela Abu Bakar dan Umar”. Muhammad bin Ja’far Ghundar seorang yang paling tsabit riwayatnya dari Syu’bah tidak menyebutkan lafaz tersebut.
أخبرنا أبو القاسم يحي بن بطريق بن بشرى وأبو محمد عبد الكريم ابن حمزة قالا : أنا أبو الحسين بن مكي ، أنا أبو القاسم المؤمل بن أحمد بن محمد الشيباني ، نا يحيى بن محمد بن صاعد، نا بندار ، نا محمد بن جعفر ، نا شعبة ، عن سلمة ، عن زيد بن وهب عن علي قال : مالي وما لهذا الحميت الأسود ؟ قال: ونا يحي بن محمد ، نا بندار ، نا محمد بن جعفر ، نا شعبة عن سلمة قال: سمعت أبا الزعراء يحدث عن علي عليه السلام قال: مالي وما لهذا الحميت الأسود
Telah mengabarkan kepada kami Abu Qaasim Yahya bin Bitriiq bim Bisyraa dan Abu Muhammad Abdul Kariim bin Hamzah keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Abu Husain bin Makkiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Qaasim Mu’ammal bin Ahmad bin Muhammad Asy Syaibaniy yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Muhammad bin Shaa’idi yang berkata telah menceritakan kepada kami Bundaar yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Salamah dari Zaid bin Wahb dari Aliy yang berkata “apa urusanku dengan orang jelek hitam ini?”. [Mu’ammal] berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Muhammad yang berkata telah menceritakan kepada kami Bundaar yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Salamah yang berkata aku mendengar Abu Az Za’raa menceritakan hadis dari Ali [‘alaihis salaam] yang berkata “apa urusanku dengan orang jelek yang hitam ini?” [Tarikh Ibnu Asakir 29/7].Riwayat Ibnu Asakir ini sanadnya shahih. Abu Muhammad Abdul Kariim bin Hamzah disebutkan Adz Dzahabiy bahwa ia syaikh tsiqat musnad dimasyiq [As Siyar 19/600]. Abu Husain bin Makkiy adalah Muhammad bin Makkiy Al Azdiy Al Mishriy muhaddis musnad yang tsiqat [As Siyaar 18/253]. Mu’ammal bin Ahmad Asy Syaibaniy dinyatakan tsiqat oleh Al Khatib [Tarikh Baghdad 13/183]. Yahya bin Muhammad bin Shaa’idi seorang imam hafizh musnad iraaq dinyatakan tsiqat oleh Al Khaliliy [As Siyaar 14/501]. Bundaar adalah Muhammad bin Basyaar perawi kutubus sittah yang tsiqat [At Taqrib 2/58]
Muhammad bin Ja’far Ghundaar adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ia termasuk perawi yang paling tsabit riwayatnya dari Syu’bah. Ibnu Madini berkata “ia lebih aku sukai dari Abdurrahman bin Mahdiy dalam riwayat Syu’bah”. Ibnu Mahdiy sendiri berkata “Ghundaar lebih tsabit dariku dalam riwayat Syu’bah”. Al Ijliy berkata orang Bashrah yang tsiqat, ia termasuk orang yang paling tsabit dalam hadis Syu’bah” [At Tahdzib juz 9 no 129].
Lafaz Abdullah bin Saba’ dalam riwayat Ibnu Abi Khaitsamah mengandung illat [cacat] yaitu tafarrud ‘Amru bin Marzuuq. Ghundaar perawi yang lebih tsabit darinya tidak menyebutkan lafaz ini. ‘Amru bin Marzuuq adalah perawi yang shaduq tetapi bukanlah hujjah jika ia tafarrud sebagaimana telah ternukil jarh terhadapnya dan lafaz “yakni ‘Abdullah bin Saba’ dia mencela Abu Bakar dan Umar” adalah tambahan lafaz dari ‘Amru bin Marzuuq.
Riwayat selanjutnya yang dijadikan hujjah oleh para nashibi adalah riwayat yang menyebutkan bahwa orang hitam jelek itu adalah Ibnu Saudaa’.
حدثنا محمد بن عباد ، قال : حدثنا سفيان ، عن عمار الدهني ، قال : سمعت أبا الطفيل يقول : رأيت المسيب بن نجية أتى به ملببه ؛ يعني : ابن السوداء ، وعلي على المنبر ، فقال علي : ما شأنه ؟ فقال : يكذب على الله وعلى رسوله صلى الله عليه وسلم
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abbaad yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyaan dari ‘Ammaar Ad Duhniy yang berkata aku mendengar Abu Thufail mengatakan “aku melihat Musayyab bin Najbah datang menyeretnya yakni Ibnu Saudaa’ sedangkan Ali berada di atas mimbar. Maka Ali berkata “ada apa dengannya?”. Ia berkata “ia berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya” [Tarikh Ibnu Abi Khaitsamah 3/177 no 4360].حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبَّادٍ الْمَكِّيُّ ، نا سُفْيَانُ ، قَالَ : نا عَبْدُ الْجَبَّارِ بْنُ عَبَّاسٍ الْهَمْدَانِيُّ ، عَنْ سَلَمَةَ ، عَنْ حُجَيَّةَ الْكِنْدِيِّ ، رَأَيْتُ عَلِيًّا عَلَى الْمِنْبَرِ ، وَهُوَ يَقُولُ : مَنْ يَعْذِرُنِي مِنْ هَذَا الْحَمِيتِ الأَسْوَدِ الَّذِي يَكْذِبُ عَلَى اللَّهِ ، يَعْنِي : ابْنَ السَّوْدَاءِ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abbaad Al Makkiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyan yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Jabbar bin ‘Abbas Al Hamdaniy dari Salamah dari Hujayyah Al Kindiy yang berkata “aku melihat Ali di atas mimbar dan ia berkata “siapa yang dapat membebaskan aku dari orang jelek hitam ini ia berdusta atas nama Allah, yakni Ibnu Saudaa’ [Tarikh Ibnu Abi Khaitsamah 3/177 no 4359].Kedua riwayat ini bersumber dari Muhammad bin ‘Abbaad Al Makkiy termasuk perawi Bukhari dan Muslim. Ia seorang yang shaduq hasanul hadis, sering salah dalam hadis. Ibnu Ma’in dan Shalih Al Jazarah berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Qani’ berkata “tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Tahrir At Taqrib no 5993]. Diantara kesalahannya dalam hadis telah dinukil oleh Ibnu Hajar dalam At Tahdzib yaitu hadis-hadisnya dari Sufyan yang diingkari bahkan ada hadisnya yang dinyatakan batil dan dusta oleh Ali bin Madini [At Tahdzib juz 9 no 394]. Riwayat di atas termasuk riwayatnya dari Sufyan.
Jika kedua riwayat tersebut selamat dari kesalahan Muhammad bin ‘Abbaad Al Makkiy maka kedudukannya hasan. Tetapi riwayat ini bukanlah hujjah bagi nashibi. Siapakah Ibnu Saudaa’ yang dimaksud dalam riwayat tersebut?. Apakah ia adalah Abdullah bin Sabaa’?. Kalau memang begitu mana dalil shahihnya bahwa Abdullah bin Sabaa’ adalah Ibnu Saudaa’. Orang yang pertama kali menyatakan Abdullah bin Sabaa’ disebut juga Ibnu Saudaa’ adalah Saif bin Umar At Tamimiy dan ia seperti yang telah dikenal seorang yang dhaif zindiq, matruk, kadzab dan pemalsu hadis. Ada sebagian ulama yang mengutip Abdullah bin Sabaa’ sebagai Ibnu Saudaa’ tetapi pendapat ini tidak ada dasar riwayat shahih kecuali mengikuti apa yang dikatakan oleh Saif bin Umar.
Lafaz Ibnu Saudaa’ pada dasarnya bermakna anak budak hitam, dan ini bisa merujuk pada siapa saja yang memang anak dari budak hitam. Kalau para nashibi atau orang yang sok ngaku ulama nyalafus shalih ingin menyatakan bahwa Ibnu Saudaa’ yang dimaksud adalah Abdullah bin Sabaa’ maka silakan bawakan dalil shahihnya. Silakan berhujjah dengan kritis jangan meloncat sana meloncat sini dalam mengambil kesimpulan. Apalagi dengan atsar seadanya di atas ingin menarik kesimpulan Ibnu Sabaa’ sebagai pendiri Syiah. Sungguh jauh sekali.
Matan kedua riwayat Muhammad bin ‘Abbad tersebut juga tidak menjadi hujjah bagi nashibi. Perhatikan apa yang disifatkan kepada Ibnu Saudaa’ dalam riwayat tersebut yaitu ia berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada sedikitpun disini qarinah yang menunjukkan kaitan antara Ibnu Saudaa’ dengan Syiah atau aqidah yang ada di sisi Syiah.
أخبرنا أبو البركات الأنماطي أنا أبو طاهر أحمد بن الحسن وأبو الفضل أحمد بن الحسن قالا أنا عبد الملك بن محمد بن عبد الله أنا أبو علي بن الصواف نا محمد بن عثمان بن أبي شيبة نا محمد بن العلاء نا أبو بكر بن عياش عن مجالد عن الشعبي قال أول من كذب عبد الله بن سبأ
Telah mengabarkan kepada kami Abul Barakaat Al Anmaathiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Thaahir Ahmad bin Hasan dan Abu Fadhl Ahmad bin Hasan keduanya berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Malik bin Muhammad bin ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aliy bin Shawwaaf yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Utsman bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al ‘Alla’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin ‘Ayyasy dari Mujalid dari Asy Sya’biy yang berkata “orang pertama yang berbuat kedustaan adalah ‘Abdullah bin Sabaa’ [Tarikh Ibnu Asakir 29/7].Atsar ini sanadnya dhaif. Muhammad bin Utsman bin Abi Syaibah adalah perawi yang diperbincangkan kedudukannya. Shalih Al Jazarah berkata “tsiqat”. Abdaan berkata “tidak ada masalah padanya”. Abdullah bin ‘Ahmad berkata “kadzab” Ibnu Khirasy berkata “pemalsu hadis” [As Siyaar 14/21]. Tuduhan dusta dan pemalsu hadis sebagaimana dikatakan Abdullah bin Ahmad dan Ibnu Khirasy ternyata bersumber dari Ibnu Uqdah seorang yang tidak bisa dijadikan sandaran perkataannya.
Tetapi sebagian ulama lain telah memperbincangkan Muhammad bin Utsman bin Abi Syaibah. Daruquthni berkata “dhaif” [Su’alat Al Hakim no 172]. Al Khaliliy berkata “mereka para ulama mendhaifkannya” [Al Irsyad 2/576]. Baihaqi berkata “tidak kuat” [Sunan Baihaqi 6/174 no 11757]. Adz Dzahabiy sendiri walaupun memujinya dengan sebutan imam hafizh musnad sebagaimana dinyatakan dalam As Siyaar, di kitabnya yang lain Adz Dzahabiy berkata “dhaif” [Tarikh Al Islam 1/25].
Abu Bakar bin ‘Ayyasy juga termasuk perawi yang diperbincangkan. Ahmad terkadang berkata “tsiqat tetapi melakukan kesalahan” dan terkadang berkata “sangat banyak melakukan kesalahan”, Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat, Utsman Ad Darimi berkata “termasuk orang yang jujur tetapi laisa bidzaka dalam hadis”. Muhammad bin Abdullah bin Numair mendhaifkannya, Al Ijli menyatakan ia tsiqat tetapi sering salah. Ibnu Sa’ad juga menyatakan ia tsiqat shaduq tetapi banyak melakukan kesalahan, Al Hakim berkata “bukan seorang yang hafizh di sisi para ulama” Al Bazzar juga mengatakan kalau ia bukan seorang yang hafizh. Yaqub bin Syaibah berkata “hadis-hadisnya idhthirab”. As Saji berkata “shaduq tetapi terkadang salah”. [At Tahdzib juz 12 no 151]. Ibnu Hajar berkata “tsiqah, ahli ibadah, berubah hafalannya di usia tua, dan riwayat dari kitabnya shahih” [At Taqrib 2/366]. Ia dikatakan mengalami ikhtilath di akhir umurnya dan tidak diketahui apakah Muhammad bin Al ‘Alla’ meriwayatkan darinya sebelum atau sesudah mengalami ikhtilath. Maka hal ini menjadi illat [cacat] yang menjatuhkan derajat riwayat tersebut.
Riwayat tersebut juga lemah karena Mujalid bin Sa’id Al Hamdaniy ia seorang yang dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar. Ibnu Ma’in berkata “tidak bisa dijadikan hujjah”. Nasa’i berkata “tidak kuat”. Daruquthni berkata “dhaif”. Yahya bin Sa’id mendhaifkannya [Mizan Al I’tidal juz 3 no 7070]. Al Ijliy menyatakan ia hasanul hadis [Ma’rifat Ats Tsiqat no 1685]. Ibnu Hajar berkata “tidak kuat” [At Taqrib 2/159]. Mujallid tidak memiliki penguat dalam riwayat di atas maka kedudukan riwayat tersebut dhaif.
Matan riwayat Asy Sya’biy tersebut juga mungkar karena bagaimana mungkin dikatakan Ibnu Sabaa’ adalah orang pertama yang berbuat kedustaan padahal sebelumnya sudah ada para pendusta yang mengaku sebagai Nabi seperti Musailamah dan pengikutnya. Mustahil dikatakan Asy Sya’biy tidak mengetahui perkara Musailamah.
حَدَّثَنِي أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلاءِ الْهَمْدَانِيُّ ، نا مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ الأَسَدِيُّ ، نا هَارُونُ بْنُ صَالِحٍ الْهَمْدَانِيُّ ، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ ، عَنْ أَبِي الْجُلاسِ ، قَالَ : سَمِعْتُ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، يَقُولُ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَبَأٍ : ” وَيْلَكَ ، مَا أَفْضَى إِلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا كَتَمَهُ أَحَدًا مِنَ النَّاسِ وَلَقَدْ سَمِعْتُهُ يَقُولُ : إِنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ ثَلاثِينَ كَذَّابًا وَإِنَّكَ لأَحَدُهُمْ؟
Telah menceritakan kepadaku Abu Kuraib Muhammad bin Al ‘Allaa’ Al Hamdaaniy yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Hasan Al Asadiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Haarun bin Shaalih Al Hamdaaniy dari Al Haarits bin ‘Abdurrahman dari Abul Julaas yang berkata aku mendengar Aliy [radiallahu ‘anhu] berkata kepada ‘Abdullah bin Saba’ “celaka engkau, Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak pernah menyampaikan kepadaku sesuatu yang Beliau sembunyikan dari manusia dan sungguh aku telah mendengar Beliau berkata “sesungguhnya sebelum kiamat akan ada tiga puluh pendusta” dan engkau adalah salah satu dari mereka [As Sunnah Abdullah bin Ahmad no 1325].Abu Ya’la juga membawakan hadis ini dalam Musnad-nya 1/350 no 449 dengan jalan Abu Kuraib di atas. Abu Kuraib memiliki mutaba’ah yaitu Abu Bakar bin Abi Syaibah sebagaimana yang disebutkan Ibnu Abi Ashim dalam As Sunnah no 982 dan Abu Ya’la dalam Musnad-nya 1/350 no 450. Nashibi menyatakan bahwa atsar ini tsabit (kokoh) dan mengutip Al Haitsamiy yang berkata “diriwayatkan Abu Ya’la dan para perawinya tsiqat” [Majma’ Az Zawaid 7/333 no 12486].
Pernyataan nashibi keliru dan menunjukkan kejahilan yang nyata. Atsar ini kedudukannya dhaif jiddan.
- Muhammad bin Hasan Al Asadiy ia seorang yang diperbincangkan. Ibnu Hajar berkata “shaduq ada kelemahan padanya” dan dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib bahwa ia seorang yang dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar. Ia telah didhaifkan oleh Ibnu Ma’in, Yaqub bin Sufyan, Al Uqailiy, Ibnu Hibban, Abu Ahmad Al Hakim dan As Sajiy. Abu Hatim berkata “syaikh”. Abu Dawud berkata “shalih ditulis hadisnya”. Al Ijliy, Ibnu Adiy dan Daruquthni berkata “tidak ada masalah padanya”. Ditsiqatkan Al Bazzar dan dinukil dari Abu Walid bahwa Ibnu Numair mentsiqatkannya. [Tahrir At Taqrib no 5816]
- Haarun bin Shalih Al Hamdaaniy adalah perawi majhul, yang meriwayatkan darinya hanya Muhammad bin Hasan Al Asadiy [Tahrir At Taqrib no 7233]. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 9 no 16198]. Tautsiq Ibnu Hibban tidak memiliki qarinah yang menguatkan.
- Harits bin ‘Abdurrahman disebutkan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat bahwa ia meriwayatkan dari Abu Julaas dan meriwayatkan darinya Harun bin Shalih [Ats Tsiqat Ibnu Hibban juz 6 no 7232]. Tautsiq Ibnu Hibban tidak memiliki qarinah yang menguatkan maka kedudukannya majhul.
- Abu Julaas adalah perawi yang majhul sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar dan disepakati dalam Tahrir At Taqrib [Tahrir At Taqrib no 8029].
Ibnu Hajar dalam kitab Lisan Al Mizan mengutip salah satu riwayat dari Abu Ishaq Al Fazari, Ibnu Hajar berkata:
وقال أبو إسحاق الفزاري عن شعبة عن سلمة بن كهيل عن أبي الزعراء عن زيد بن وهب أن سويد بن غفلة دخل على علي في غمارته فقال إني مررت بنفر يذكرون أبا بكر وعمر يرون أنك تضمر لهما مثل ذلك منهم عبد الله بن سبأ وكان عبد الله أول من أظهر ذلك فقال علي ما لي ولهذا الخبيث الأسود ثم قال معاذ الله أن أضمر لهما إلا الحسن الجميل ثم أرسل إلى عبد الله بن سبأ فسيره إلى المدائن وقال لا يساكنني في بلدة أبدا ثم نهض إلى المنبر حتى اجتمع الناس فذكر القصة في ثنائه عليهما بطوله وفي آخره إلا ولا يبلغني عن أحد يفضلني عليهما إلا جلدته حد المفتري
Abu Ishaaq Al Fazaariy berkata dari Syu’bah dari Salamah bin Kuhail dari Abi Az Za’raa dari Zaid bin Wahb bahwa Suwaid bin Ghaffalah masuk menemui ’Ali [radiallahu ‘anhu] di masa kepemimpinannya. Lantas dia berkata,”Aku melewati sekelompok orang menyebut-nyebut Abu Bakar dan ’Umar. Mereka berpandangan bahwa engkau juga menyembunyikan perasaan seperti itu kepada mereka berdua. Diantara mereka adalah ’Abdullah bin Saba’ dan dialah orang pertama yang menampakkan hal itu”. Lantas ’Ali berkata,”Aku berlindung kepada Allah untuk menyembunyikan sesuatu terhadap mereka berdua kecuali kebaikan”. Kemudian beliau mengirim utusan kepada ’Abdullah bin Saba’ dan mengusirnya ke Al-Madaain. Beliau juga berkata,”Jangan sampai engkau tinggal satu negeri bersamaku selamanya”. Kemudian beliau bangkit menuju mimbar sehingga manusia berkumpul. Lantas beliau menyebutkan kisah secara panjang lebar yang padanya terdapat pujian terhadap mereka berdua [Abu Bakar dan ’Umar], dan akhirnya berliau berkata,”Ketahuilah, jangan pernah sampai kepadaku dari seorangpun yang mengutamakan aku dari mereka berdua melainkan aku akan mencambuknya sebagai hukuman untuk orang yang berbuat dusta. [Lisan Al Mizan juz 3 no 1225].Nashibi berkata tentang riwayat ini bahwa kedudukannya tsabit. Pernyataan ini keliru, bahkan bisa dikatakan riwayat ini khata’ [salah]. Asal mula riwayat ini adalah apa yang disebutkan Abu Ishaaq Al Fazari dalam kitabnya As Siyar dan Al Khatib dalam Al Kifaayah
أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ غَالِبٍ الْخُوَارَزْمِيُّ قَالَ : ثنا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ حَمْدَانَ النَّيْسَابُورِيُّ بِخُوَارَزْمَ ، قَالَ : أَمْلَى عَلَيْنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْبُوشَنْجِيُّ ، قَالَ : ثنا أَبُو صَالِحٍ الْفَرَّاءُ مَحْبُوبُ بْنُ مُوسَى ، قَالَ : أنا أَبُو إِسْحَاقَ الْفَزَارِيُّ ، قَالَ : ثنا شُعْبَةُ ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ ، عَنْ أَبِي الزَّعْرَاءِ ، أَوْ عَنْ زَيْدِ بْنِ وَهْبٍ ، أَنَّ سُوَيْدَ بْنَ غَفَلَةَ الْجُعْفِيَّ ، دَخَلَ عَلَى عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، فِي إِمَارَتِهِ ، فَقَالَ : يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنِّي مَرَرْتُ بِنَفَرٍ يَذْكُرُونَ أَبَا بَكْرٍ ، وَعُمَرَ بِغَيْرِ الَّذِي هُمَا لَهُ أَهْلٌ مِنَ الإِسْلامِ ، لأَنَّهُمْ يَرَوْنَ أَنَّكَ تُضْمِرُ لَهُمَا عَلَى مِثْلِ ذَلِكَ ، وَإِنَّهُمْ لَمْ يَجْتَرِئُوا عَلَى ذَلِكَ إِلا وَهُمْ يَرَوْنَ أَنَّ ذَلِكَ مُوَافِقٌ لَكَ ، وَذَكَرَ حَدِيثَ خُطْبَةِ عَلِيٍّ وَكَلامِهِ فِي أَبِي بَكْرٍ ، وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ ، وَقَوْلِهِ فِي آخِرِهِ ” أَلا : وَلَنْ يَبْلُغَنِي عَنْ أَحَدٍ يُفَضِّلُنِي عَلَيْهِمَا إِلا جَلَدْتُهُ حَدَّ الْمُفْتَرِي
Telah mengabarkan kepada kami Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Ghaalib Al Khawarizmiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Abbas Muhammad bin Ahmad bin Hamdaan An Naisaburiy di Khawarizm yang berkata imla’ kepada kami Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ibrahiim Al Buusyanjiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Shalih Al Farra Mahbuub bin Muusa yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Ishaaq Al Fazariy yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Salamah bin Kuhail dari Abi Az Za’raa’ atau dari Zaid bin Wahb bahwa Suwaid bin Ghafallah Al Ju’fiy menemui Ali bin Abi Thalib [radiallahu ‘anhu] pada masa kepemimpinannya dan berkata “wahai amirul mukminin aku melewati sekelompok orang yang menyebut-nyebut Abu Bakar dan Umar sesuatu dalam islam yang tidak ada pada diri mereka. Mereka berpandangan bahwa engkau juga menyembunyikan perasaan seperti itu kepada mereka berdua dan bahwa mereka tidaklah menyatakan hal itu kecuali mereka berpandangan bahwa hal itu diakui olehmu kemudian disebutkan hadis khutbah Ali yang berbicara tentang Abu Bakar dan Umar akhirnya berkata,”Ketahuilah, jangan pernah sampai kepadaku dari seorangpun yang mengutamakan aku dari mereka berdua melainkan aku akan mencambuknya sebagai hukuman untuk orang yang berbuat dusta [Al Kifaayah Al Khatib 3/333 no 1185].Riwayat dengan matan yang sama di atas juga disebutkan Abu Ishaaq Al Fazari dalam kitabnya As Siyar hal 327 no 647. Kalau kita membandingkan riwayat Abu Ishaaq Al Fazaariy ini dengan apa yang dinukil oleh Ibnu Hajar maka terdapat kesalahan penukilan yang dilakukan Ibnu Hajar.
- Kesalahan pada sanad yaitu Ibnu Hajar menuliskan dari Abu Ishaq dari Syu’bah dari Salamah dari Abu Az Za’raa’ dari Zaid bin Wahb dari Suwaid. Sedangkan riwayat Abu Ishaq sebenarnya adalah dari Syu’bah dari Salamah dari Abu Az Za’raa’ atau dari Zaid bin Wahb dari Suwaid.
- Kesalahan pada matan yaitu Ibnu Hajar menuliskan lafaz bahwa diantara mereka ada Ibnu Sabaa’ dan dialah yang pertama kali menampakkan hal itu sehingga Ali [radiallahu ‘anhu] mengusirnya ke Mada’in. Sedangkan riwayat Abu Ishaq sebenarnya tidak ada keterangan tentang Abdullah bin Saba’.
Riwayat Abu Ishaq Al Fazaariy di atas mengandung lafaz syaak [ragu] yaitu Salamah bin Kuhail berkata dari Abi Az Za’raa’ atau dari Zaid bin Wahb. Zaid bin Wahb adalah seorang yang tsiqat dan Abu Az Za’raa’ Abdullah bin Haani’ Al Kuufiy adalah perawi yang dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar. Al Ijli dan Ibnu Sa’ad menyatakan ia tsiqat. Tetapi Al Bukhari berkata “tidak memiliki mutaba’ah dalam hadisnya”. Al Uqailiy memasukkannya dalam Adh Dhu’afa. Dan tidak meriwayatkan darinya kecuali Salamah bin Kuhail [Tahrir At Taqrib no 3677]. Adz Dzahabi memasukkannya dalam Diwan Adh Dhu’afa no 2337.
Jika kedua orang ini adalah perawi yang tsiqat maka lafaz syaak seperti itu tidaklah menjatuhkan kedudukan hadisnya tetapi jika salah satu dari kedua perawi itu dhaif maka ini menjadi illat [cacat] bagi riwayat tersebut. Apakah riwayat tersebut berasal dari perawi yang tsiqat ataukah dari perawi yang dhaif?. Bisa saja riwayat tersebut sebenarnya berasal dari perawi yang dhaif.
Kesimpulan dari pembahasan di atas adalah riwayat-riwayat tentang Abdullah bin Sabaa’ yang diriwayatkan melalui jalur selain Saif bin Umar ternyata sanadnya juga tidak shahih. Jikapun ada yang hasan riwayatnya maka penunjukkannya tidak jelas sebab yang tertera dalam riwayat tersebut adalah Ibnu Saudaa’ dan tidak ada bukti shahih bahwa Ibnu Saudaa’ yang dimaksud adalah ‘Abdullah bin Saba’. Ibnu Saudaa’ berarti anak budak hitam. Jadi riwayat tersebut hanya menunjukkan bahwa di masa Imam Ali terdapat anak budak hitam yang berdusta atas nama Allah SWT dan Rasul-Nya.
Sebagian orang melebih-lebihkan dan mengada-ada tanpa dalil shahih bahwa Ibnu Saudaa’ yang dimaksud adalah ‘Abdullah bin Saba’. Kemudian mereka dengan nafsu kejinya menambah-nambahkan lagi bahwa ‘Abdullah bin Sabaa’ adalah pendiri Syiah menyebarkan keyakinan Imamah Ali bin Abi Thalib, menyebarkan akidah raja’ dan bada’, mencela Abu Bakar dan Umar. Padahal mereka tidak mampu membawakan satu dalil shahihpun yang menguatkan hujjah mereka.
Analogi yang pas untuk dongeng ‘Abdullah bin Sabaa’ seperti kisah berikut ada seorang yang dikenal pendusta di sebuah dusun dalam suatu negri. Kemudian negri tersebut terjatuh dalam kekacauan karena ulah pemimpinnya yang korup. Seiring dengan waktu terdapat orang-orang yang punya kepentingan melindungi aib sang pemimpin sehingga menyebarkan syubhat dengan mencatut nama si pendusta dari dusun kecil sebagai penyebab kekacauan negri tersebut. Kemudian para ahli sejarah yang kritis menelaah dan membuktikan bahwa sebenarnya si pendusta ini adalah tokoh fiktif yang dijadikan tameng untuk melindungi aib sang pemimpin. Para ahli lain yang dibayar oleh pihak yang berkepentingan berhasil membuktikan bahwa pendusta yang dimaksud memang ada dan tinggal di dusun tersebut jadi ia tidaklah fiktif maka kaum bayaran itu berbangga hati berhasil membuktikan bahwa ahli sejarah tersebut keliru.
Padahal orang yang punya akal pikiran dan waras pemahamannya akan berkata membuktikan adanya si pendusta bukan berarti membuktikan bahwa si pendusta itu yang mengacaukan negri tersebut. Itu adalah dua hal berbeda yang masing-masing memerlukan pembuktian. Nah begitulah, membuktikan adanya ‘Abdullah bin Sabaa’ bukan menjadi bukti bahwa ‘Abdullah bin Sabaa’ adalah pendiri Syiah. Itu adalah dua hal berbeda yang masing-masing membutuhkan pembuktian. Apakah para nashibi itu mengerti? Jawabannya tidak, mereka adalah orang-orang yang lemah akalnya hampir-hampir tidak mengerti pembicaraan dan suka mencela untuk mengacaukan persatuan umat.
Nashibi yang kehabisan akal akhirnya kembali mengandalkan Saif bin Umar At Tamimiy. Hanya saja mereka sedikit melakukan akrobat dengan mengatakan Saif memang dhaif dalam hadis tetapi menjadi pegangan dalam sejarah. Dan riwayat tentang Ibnu Sabaa’ termasuk sejarah bukan hadis. Diantaranya mereka mengutip perkataan Ibnu Hajar tentang Saif “dhaif dalam hadis dan pegangan dalam tarikh” [At Taqrib 1/408].
Pembelaan ini tidak bernilai bahkan bisa dibilang inkonsisten. Kalau memang para ulama menjadikan Saif bin Umar sebagai pegangan dalam tarikh maka mengapa banyak para ulama yang melemahkan riwayat Saif bin Umar tentang tarikh ketika Saif menceritakan aib para sahabat Nabi misalnya Utsman bin ‘Affan. Jika untuk menuduh Syiah, Saif bin Umar dijadikan pegangan tetapi jika Saif menyatakan aib sahabat ia dicela habis-habisan. Bukankah ini gaya berhujjah model hipokrit aka munafik.
Saif bin Umar adalah seorang yang dhaif matruk bahkan dikatakan pemalsu hadis. Hal ini menunjukkan bahwa ia seorang pendusta yang tidak segan-segan untuk memalsukan hadis atas nama Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Kalau untuk hadis saja ia berani berdusta maka apalagi tarikh yang kedudukannya lebih rendah dari hadis.
Ibnu Hajar sendiri yang dijadikan hujjah oleh nashibi ternyata di tempat lain menolak riwayat Saif bin Umar. Ia berkata “kemudian dikeluarkan dari jalan Saif bin Umar dalam kitab Al Futhuh kisah panjang yang tidak shahih sanadnya” bahkan Ibnu Hajar mengatakan kabar-kabar tentang Abdullah bin Saba’ dalam kitab tarikh tidak satupun bernilai riwayat [Lisan Al Mizan juz 3 no 1225].
Maka sangat terlihat betapa rendah akal para nashibi dalam berhujjah. Mereka tidak bisa menggunakan akal mereka dengan benar. Hawa nafsu telah menuntun mereka dalam kontradiksi yang nyata. Demi melancarkan tuduhan terhadap Syiah mereka rela menghalalkan apa saja bahkan rela merendahkan akal mereka sendiri.
Bukankah para ulama Sunniy telah banyak mengutip biografi ‘Abdullah bin Saba’ dan menyatakan bahwa ia pendiri Syiah?. Memang tetapi perlu diingat bahwa para ulama ketika menuliskan biografi terkadang mencampuradukkan riwayat yang shahih dan dhaif atau bahkan ada yang hanya bersandar pada riwayat dhaif. Jadi apa yang mereka tulis bukanlah hujjah shahih jika ternyata hanya bersandar pada riwayat dhaif atau tidak didukung oleh riwayat yang shahih.
Akibatnya jika kita meneliti dengan baik banyak perkataan para ulama yang bertentangan satu sama lain tentang ‘Abdullah bin Sabaa’. Misalnya ada yang mengatakan bahwa ia dibakar Imam Ali tetapi ada yang menyatakan ia diusir Imam Ali ke Mada’in. Ada yang mengatakan bahwa ia disebut juga Ibn Saudaa’ tetapi ada yang menyatakan ia bukan Ibnu Saudaa’ atau menyatakan ia sebenarnya adalah Abdullah bin Wahb Ar Rasibiy pemimpin khawarij. Jadi tidak ada gunanya kalau berhujjah dengan model “katanya” buktikan hujjah dengan riwayat shahih, itulah kaidah ilmiah.
Tinjauan Riwayat Abdullah bin Sabaa’ Dalam Kitab Syiah.
Nashibi dalam menegakkan hujjah tuduhan dan celaan mereka bahwa ‘Abdullah bin Sabaa’ pendiri Syiah, mereka juga mengutip berbagai riwayat Syiah dan nukilan Ulama syiah yang mengakui keberadaan ‘Abdullah bin Sabaa’. Secara pribadi kami tidak memiliki kompetensi untuk meneliti kitab-kitab Syiah jadi pembahasan bagian ini merujuk pada tulisan-tulisan sebagian pengikut Syiah.
Berulang kali kami katakan bahwa kami bukan penganut Syiah dan tulisan ini hanya ingin menunjukkan pada orang awam bahwa syubhat salafy nashibi yang mencela Syiah adalah tidak berdasar dan dusta. Kami pribadi mengakui Syiah sebagai salah satu mazhab dalam Islam. Berbagai perbedaan antara Sunni dan Syiah tidak membuat salah satu layak untuk mengkafirkan yang lainnya. Kami mengajak kepada para pembaca untuk bersikap adil tanpa dipengaruhi mazhab manapun, kami tidak pula mengajak para pembaca agar menjadi penganut Syiah atau penganut Sunni. Apapun mazhab Islam yang dianut, hendaknya kita menjaga persatuan, saling menghormati dan menjaga kerukunan sesama muslim.
Telah kami bahas sepintas sebelumnya bahwa di sisi Syiah terkait dengan ‘Abdullah bin Sabaa’ terbagi menjadi dua pendapat
- Pendapat yang menganggap ‘Abdullah bin Sabaa’ sebagai tokoh fiktif. Pendapat ini dipopulerkan oleh ulama syiah kontemporer dan diikuti oleh sebagian yang lain.
- Pendapat yang mengakui keberadaan ‘Abdullah bin Sabaa’ dan menyatakan bahwa ia seorang yang ghuluw ekstrim bahkan jatuh dalam kekafiran. Hal ini diakui oleh ulama syiah terdahulu dalam kitab-kitab mereka.
عن أبان بن عثمان قال سمعت أبا عبد الله يقول لعن الله عبد الله بن سبإ إنه ادعى الربوبية في أمير المؤمنين و كان و الله أمير المؤمنين عبدا لله طائعا الويل لمن كذب علينا و إن قوما يقولون فينا ما لا نقوله في أنفسنا نبرأ إلى الله منهم نبرأ إلى الله منهم
Dari ‘Aban bin Utsman yang berkata aku mendengar Abu ‘Abdillah mengatakan Allah melaknat ‘Abdullah bin Saba’. Sesungguhnya ia mendakwakan Rububiyyah [ketuhanan] kepada Amiirul Mukminiin [Imam Ali], sedangkan Amiirul Mukminiin demi Allah hanyalah seorang hamba yang mentaati Allah. Neraka Wail adalah balasan bagi siapa saja yang berdusta atas nama kami. Sesungguhnya telah ada satu kaum berkata-kata tentang kami sesuatu yang kami tidak mengatakannya. Kami berlepas diri kepada Allah atas apa yang mereka katakan itu, kami berlepas diri kepada Allah atas apa yang mereka katakan itu [Rijal Al Kasysyiy hal 107 no 172].Riwayat-riwayat semisal inilah yang dikutip oleh para nashibi dan disisi kelimuan Syiah riwayat Al Kasysyiy di atas shahih. Tetapi shahih-nya riwayat di atas tidak menjadi bukti akan kebenaran tuduhan nashibi bahwa ‘Abdullah bin Sabaa’ pendiri Syiah. Riwayat yang shahih di sisi Syiah menunjukkan bahwa ‘Abdullah bin Sabaa’ adalah seorang kafir yang dilaknat yang mendakwakan ketuhanan Ali [radiallahu ‘anhu]. Tentu saja di sisi Syiah tidak ada sedikitpun ajaran yang menuhankan Imam Ali. Syiah berlepas diri dari ‘Abdullah bin Saba’ dan tidak jarang ulama syiah mensifatkan ‘Abdullah bin Sabaa’ dengan kekafiran dan ghuluw ekstrim.
Dengan berpikir secara rasional sungguh sangat tidak mungkin jika ‘Abdullah bin Sabaa’ dikatakan pendiri Syiah karena di dalam kitab Syiah sendiri ia dikenal sebagai seorang ghuluw ekstrim bahkan kafir. Dan tidak ada satupun riwayat shahih dalam kitab Syiah bahwa ada salah satu ajaran Syiah yang bermula atau diambil dari ‘Abdullah bin Sabaa’. Para pengikut Syiah mengambil ajaran mereka dari para Imam Ahlul Bait dan Imam Ahlul Bait sendiri ternyata melaknat ‘Abdullah bin Sabaa’. Anehnya para nashibi tidak mampu berpikir secara rasional, mereka mengutip sesuka hati melompat-lompat dalam menarik kesimpulan, menegakkan waham di atas waham.
Seperti halnya para ulama sunni, ulama syiah juga mengalami kesimpangsiuran dalam kabar yang terkait Abdullah bin Sabaa’.
- At Thuusiy berkata bahwa Abdullah bin Sabaa’ kufur dan ghuluw [Rijal Ath Thuusiy hal 80]
- Al Hilliy berkata Abdullah bin Sabaa’ ghuluw terlaknat, ia menganggap Aliy Tuhan dan dirinya adalah Nabi [Rijal Al Hilliy hal 237]
- Al Mamqaniy berkata “Abdullah bin Sabaa’ dikembalikan padanya kekafiran dan ghuluw yang nyata” ia juga berkata “Abdullah bin Sabaa’ ghuluw terlaknat, Imam Ali membakarnya dengan api, ia mengatakan Ali adalah Tuhan dan ia sendiri adalah Nabi [Tanqiihul Maqaal Fii Ilm Rijaal 2/183-184]. Kami menukil ini dari situs nashibi dan sebagian pengikut syiah berkata bahwa ini bukan perkataan Al Mamqaniy tetapi perkataan Ath Thuusiy dan Al Hilliy sebelumnya.
- Sayyid Ni’matullah Al Jaza’iriy berkata bahwa Abdullah bin Sabaa’ mengatakan Ali adalah Tuhan sehingga Imam Ali mengasingkannya di Mada’in [Anwaar An Nu’maniyah 2/234]
- An Naubakhtiy berkata bahwa dihikayatkan oleh sekelompok ahli ilmu bahwa Abdullah bin Sabaa’ adalah yahudi yang masuk islam dan menunjukkan loyalitas pada Imam Ali, dan ia yang pertama kali menyatakan Imamah Ali [radiallahu ‘anhu] [Firaq Asy Syiiah hal 32-44]
- Sa’d bin ‘Abdullah Al Qummiy menyatakan bahwa kelompok Saba’iyyah adalah pengikut ‘Abdullah bin Sabaa’ ia adalah Abdullah bin Wahb Ar Raasibiy Al Hamdaniy. Dia adalah orang yang pertama kali menampakkan celaan pada Abu Bakar, Umar, Utsman dan sahabat lainnya serta berlepas diri dari mereka [Al Maqaalaat Wal Firaq hal 20]. Dikenal dalam sejarah bahwa Abdullah bin Wahb Ar Raasibiy adalah pemimpin kaum khawarij dan ia disebutkan terbunuh di Nahrawan
Satu-satunya keterangan yang disampaikan dari riwayat Syiah yang shahih perihal Abdullah bin Sabaa’ adalah bahwa ia ghuluw terlaknat meyakini ketuhanan Imam Ali. Tidak benar jika dikatakan bahwa ‘Abdullah bin Sabaa’ yang pertama kali menyatakan imamah Ali [radiallahu ‘anhu] karena tidak ternukil dalam riwayat yang shahih di sisi Syiah.
Perkataan atau nukilan dari Naubakhtiy bahwa sekelompok ahli ilmu menyatakan Abdullah bin Sabaa’ yang pertama menyatakan Imamah Ali [radiallahu ‘anhu] adalah tidak berdasar dan tidak ada riwayat shahih di sisi Syiah yang mengatakannya bahkan tidak dikenal siapa saja ahli ilmu yang menyatakan demikian. Justru banyak ahli ilmu [di sisi Syiah] yang menyatakan ‘Abdullah bin Sabaa’ ghuluw kafir terlaknat.
Apa yang dapat disimpulkan dari pembahasan sejauh ini tentang ‘Abdullah bin Sabaa’?. Kita akan merincikan hal ini dalam kedua bagian yaitu keberadaan ‘Abdullah bin Sabaa’ dan Peran ‘Abdullah bin Sabaa’.
Keberadaan Abdullah bin Sabaa’
- Tidak ada riwayat shahih di sisi Sunniy yang menyatakan keberadaan ‘Abdullah bin Sabaa’. Riwayat yang dijadikan hujjah nashibi telah dikemukakan illat [cacatnya]. Ada riwayat yang hasan [jika selamat dari illat] bahwa ada seorang yang dicela Imam Ali karena berdusta atas nama Allah SWT yaitu Ibnu Saudaa’ dan tidak ada bukti shahih bahwa ia adalah ‘Abdullah bin Sabaa’
- Ada riwayat shahih di sisi Syiah yang menyatakan keberadaan ‘Abdullah bin Sabaa’ bahwa ia ghuluw jatuh dalam kekafiran dan menyebarkan paham ketuhanan Ali [radiallahu ‘anhu]
- Tidak ada riwayat shahih di sisi Sunniy dan di sisi Syiah yang menyatakan bahwa Abdullah bin Sabaa’ adalah orang yang pertama kali mengenalkan konsep Imamah Ali [radiallahu ‘anhu], celaan terhadap sahabat Abu Bakar dan Umar, konsep rajaa’ dan bada’, dan perannya dalam pembunuhan khalifah Utsman.
- Ternukil riwayat-riwayat dhaif baik di sisi Sunni dan di sisi Syiah yang menyatakan peran ‘Abdullah bin Sabaa’ misalnya riwayat Saif bin Umar bahwa Abdullah bin Sabaa’ mengenalkan konsep Imamah Ali dan perannya dalam pembunuhan khalifah Utsman. Begitu juga ternukil tanpa sanad riwayat syiah seperti yang dinukil An Naubakhtiy dan nukilan ulama yang diklaim menyatakan Abdullah bin Sabaa’ yang pertama mengenalkan konsep Imamah Aliy dan mencela Abu Bakar dan Umar. Nukilan ini tidak valid alias tidak terbukti siapa ahli ilmu di sisi Syiah yang menyatakannya dan riwayat tanpa sanad jelas dhaif kedudukannya.
- Sebagian ulama Sunni dan ada juga ulama Syiah yang menukil dalam kitab mereka peran ‘Abdullah bin Sabaa’ misalnya anggapan bahwa ia yahudi, mencela Abu Bakar dan Umar, terlibat pembunuhan Utsman, pertama kali mengenalkan Imamah Ali dan sebagainya. Nukilan mereka tidak bisa dijadikan hujjah karena tidak berlandaskan pada riwayat shahih atau mencampuradukkan antara yang shahih dan dhaif. Dalam perkara ini yang menjadi hujjah adalah bukti riwayat shahih bukan nukilan ulama yang terkadang berasal dari riwayat dhaif.
Abdullah bin Saba adalah tokoh fiktif karya Saif bin Umar yang zindik, riwayatnya dianggap lemah, dan dia fasik.
penulis-penulis ini meriwayatkan beberapa legenda yang jelas-jelas palsu dan tidak masuk akal tentang Abdullah bin Saba’. Riwayat-riwayat ini diberikan oleh orang-orang yang menulis buku tentang al-Milal wa an-Nihal (cerita tentang peradaban dan kebudayaan) atau buku al-Firaq (perpecahan/aliran-aliran).
Di antara kaum Sunni yang menyebutkan nama Abdullah bin Saba’ dalam cerita mereka tanpa memberikan sumber klaim mereka adalah: Ali bin Isma’il Asyari (330) dalam bukunya yang berjudul Maqalat al-Islamiyyin (esai mengenai masyarakat Islam).
Abdul Qahir bin Thahir Baghdadi (429) dalam bukunya yang berjudul al-Farq Bain al-Firaq (perbedaan di antara aliran-aliran). Penulis ini meriwayatkan beberapa legenda yang jelas-jelas palsu dan tidak masuk akal tentang Abdullah bin Saba’.
Muhammad bin Abdul Karim Syahrastani (548) dalam bukunya yang berjudul al-Milal wa an-Nihal (Negara dan Kebudayaan). Penulis ini meriwayatkan beberapa legenda yang jelas-jelas palsu dan tidak masuk akal tentang Abdullah bin Saba’.
Descriptions
Judul: Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?Penulis: M. Quraish Shihab
Penerbit: Lentera Hati
Halaman: 303
Cetakan: I, Maret 2007
isi Buku Prof. Dr. Quraish Shihab :
Abdullah bin Saba’ Tidak Ada Kaitannya Dengan Syiah
QS: ”Ia adalah tokoh fiktif yang diciptakan para anti-Syiah. Ia (Abdullah bin Saba’) adalah sosok yang tidak pernah wujud dalam kenyataan. Thaha Husain – ilmuwan kenamaan Mesir – adalah salah seorang yang menegaskan ketiadaan Ibnu Saba’ itu dan bahwa ia adalah hasil rekayasa musuh-musuh Syiah.” (hal. 65).
Biodata
Nama : Abu Abdillah Saif bin Umar Usaidi Tamimi
Tokoh fiksi yang dia tulis : Abdullah bin Saba’ (Yahudi dari Yaman)
Lahir : Tahun 736 M pada masa raja Hisyam bin Abdul-Malik (106- 126 H/724-743 M)
Mati : 796 M/180 H ketika ia dituduh zindik dalam inkuisisi masa Harun Al Rasyid (170-193/786-809) di Baghdad Irak.
Asal : Kufah, Irak
Alamat : Baghdad
Berasal dari suku : Tamim, yang hidup di Kufah
Judul Buku Karyanya :
- “Al-Futuh wa ar-Riddah”, yang merupakan sejarah periode sebelum wafatnya Nabi Muhammad SAW hingga khalifah ketiga, Usman,
- “Al-Jamal wa Masiri Aisyah wa Ali”, yang merupakan sejarah dari pembunuhan Utsman hingga perang Jamal
Dimana buku tersebut ?
Buku-buku tersebut sekarang sudah tidak ada namun sempat bertahan beberapa abad setelah masa hidupnya Saif. Orang terakhir yang menyatakan bahwa ia memiliki buku Saif adalah Ibnu Hajar Al Asqalani (852 H).
Motif penulisan buku karena Tokoh Ibnu Saba’ merupakan cara untuk melawan Syi’ah`, Abdullah bin Saba’ adalah kambing hitam yang tepat.
Sebenarnya, banyak buku-buku sejarah awal ditulis oleh penulis-penulis Sunni atas sokongan Umayyah dan kemudian penguasa Abbasiyah. Saif bin Umar dibayar untuk menciptakan suatu peristiwa dan menghubungkannya kepada umat Islam. Sosok Abdullah bin Saba’ sebagai solusi jitu mengatasi rumitnya pertentangan dan perseteruan yang terjadi pada awal sejarah Islam, dimulai ketika Rasulullah wafat pada 11-40 H. Cerita Saif hanya terpusat pada periode ini dan tidak pada periode selanjutnya, dia melakukan hal ini untuk mencari alasan atas tuduhan palsu dan serangan kepada pengikut keluarga Nabi Muhamrnad SAW. Saif yang pendusta ingin menyenangkan penguasa masa itu
Cerita-cerita bohong seputar tokoh Abdullah bin Saba merupakan hasil karya keji seseorang. la mengarang cerita ini berdasarkan beberapa fakta utama yang ia temukan dalam sejarah Islam yang ada saat itu. Saif menulis sebuah novel yang tidak berbeda dengan novel Satanic Verses karangan Salman Rushdi dengan motif yang serupa, tetapi dengan perbedaan bahwa peranan setan dalam bukunya diberikan kepada Abdullah bin Saba.
Saif bin Umar mengubah biografi beberapa sahabat Nabi Muhammad SAW untuk menyenangkan pemerintah yang berkuasa saat itu, dan menyimpangkan sejarah Syi’ah serta mengolok-olok Islam. Saif adalah seorang pengikut setia Bani Umayah, salah satu musuh besar Ahlulbait di sepanjang sejarah, dan niat utamanya mengarang cerita-cerita seperti itu adalah untuk merendahkan Syi’ah.
Banyak daripada pengikut-pengikut Imam Ali bin Abi Talib AS berasal dari Yaman seperti Ammar ibn Yasir, Malik al-Ashtar, Kumayl ibn Ziyad, Hujr ibn Adi, Adi ibn Hatim, Qays ibn Sa’d ibn Ubadah, Khuzaymah ibn Thabit, Sahl ibn Hunayf, Utsman ibn Hunayf, Amr ibn Hamiq, Sulayman ibn Surad, Abdullah Badil, maka istilah saba’iyyah ditujukan kepada para penyokong Ali AS ini
Saif juga berusaha mengkait-kaitkan kisah Abdullah bin Saba dengan Syi’ah Ali Kemudian ia melengkapi kisahnya dengan menambahkan dua sahabat ke dalam daftar pengikut Ibnu Saba’. Saif menyatakan bahwa pionir-pionir Islam yang setia pada Ali seperti Abu Dzar dan Ammar bin Yasir adalah murid dari Abdullah bin Saba ketika Utsman memerintah. Saif mencaci dan mengutuk Ammar bin Yasir yang dia sebut Abdullah bin Saba’ atau Ibnu Sauda’. Demikianlah cacian dan kutukan terhadap Ammar bin Yasir yang mereka sebut Abdullah bin Saba’ atau Ibnu Sauda’
Syi’ah memaparkan sejumlah bukti bahwa Abdullah bin Saba’ yang difitnahkan Saif adalah ‘Ammar bin Yasir.
Dr. Aly Al Wardy dalam kitabnya Wu’adzus Salatin dan Dr, Kamil Mustafa As Syaibidalam kitabnya As Shilah Baina Tashawuf wa al Tasyyu’ mengalamatkan inisial Ibnu Saba’ pada Amar bin Yasir dengan beberapa faktor :
- Ibu Amar bin Yasir, Sumayah adalah seorang budak hingga ia pun dijuluki Ibnu Sauda
- Amar bin Yasir berasal dari kabilah Ansy pecahan dari klan Saba’
- Fanatisme Ammar terhadap Ali, diriwayatkan bahwa ia memandang Ali lebih berhak menjadi Khalifah dibanding Utsman. Ammar menyerukan pengangkatan Ali sebagai khalifah
- Amar bin Yasir mengkampanyekan pemikirannya di Madinah dan Mesir·
kebencian Saif bin Umar Tamimi, yang hidup pada abad kedua setelah Rasulullah wafat, dan kebencian para pengikutnya kepada Syi’ah, mendorong mereka menyebarkan propaganda seperti itu. Dalam kisah Abdullah ibn Saba’ , yang dikatakan berasal dari San’a Yaman, tidak dinyatakan kabilahnya. Ibn Saba’ dan golongan Sabai’yyah adalah satu cerita khayalan dari Sayf ibn Umar yang ternyata turut menulis cerita-cerita khayalan lain dalam bukunya.
Adapun dari sunni yang menegaskan bahwa Ibnu Saba’ adalah fiktif dan dongeng, banyak sejarahwan Sunni juga menolak keberadaan Abdullah bin Saba dan/atau cerita-cerita bohongnya. Di antara mereka adalah Dr. Thaha Husain dalam bukunya Fitnah al-Kubra dan Ali wa Banuhu, Dr. Hamid Hafna Daud dalam kitabnya Nadzharat fi al-Kitab al-Khalidah, Muhammad Imarah dalam kitab Tiyarat al-Fikr al-Islami, Hasan Farhan al-Maliki dalam Nahu Inqadzu al-Tarikh al-Islami, Abdul Aziz al-Halabidlm kitabnya Abdullah bin Saba’, Ahmad Abbas Shalih dalam kitabnya al-Yamin wa al-Yasar fil Islami.
Dr. Taha Husain, salah seorang tokoh Sunni yang terkenal secara langsung mengatakan musuh-musuh Syiah yang mencipta ‘Abdullah bin Saba untuk mempertikaikan kebudayaan Syiah: Mereka ingin memerangi Syiah dengan memasukkan elemen Yahudi ke dalam usul mazhab ini. – al-Fitnatul Kubra – karyaDr. Taha Husain, jilid 2 halaman 98.
Dr. Thaha Husain, yang telah menganalisis kisah ini dan menolaknya. la menulis dalam al-Fitnah al-Kubra bahwa: Menurut saya, orang-orang yang berusaha membenarkan cerita Abdullah bin Saba telah melakukan kejahatan dalam sejarah dan merugikan diri mereka sendiri. Hal pertama yang diteliti adalah bahwa dalam koleksi hadis Sunni, nama Ibnu Saba tidak muncul ketika mereka membahas tentang pemberontakan terhadap Utsman. Ibnu Sa’d tidak menyebutkan nama Abdullah bin Saba ketika ia membicarakan tentang Khalifah Utsman dan pemberontakan terhadapnya. Juga, kitab Baladzuri, berjudul Ansab al-Asyraf, yang menurut saya merupakan buku paling penting dan paling lengkap membahas pemberontakan terhadap Utsman, nama Abdullah bin Saba tidak pernah disebutkan. Nampaknya, Thabari adalah orang pertama yang meriwayatkan cerita lbnu Saba dari Saif, lalu sejarahwan lain mengutip darinya.
Dalam buku lainnya berjudul Ali wa Banuh maka Dr. Taha Husain juga menyebutkan : Cerita tentang Abbdullah bin Saba tidak lain adalah dongeng semata dan merupakan ciptaan beberapa sejarahwan karena cerita ini bertentangan dengan catatan sejarah lain. Kenyataanvya adalah bahwa pergesekan antara Syi’ah dan Sunni memiliki banyak bentuk, dan masing-masing kelompok saling mengagungkan diri sendiri dan mencela dengan cara apapun yang mungkin dilakukan. Hal ini menjadikan seorang sejarahwan harus ekstra hati-hati ketika menganalisis riwayat kontroversial yang berkaitan dengan fitnah dan pemberontakan.
Dr. Ali Nasysyar, salah seorang pemikit Islam dan professor falsafah berkata di dalam kitab Nasyatul Fikr Fi al-Islam, jilid 2 halaman 39 sebagai: ‘Abdullah bin Saba di dalam teks sejarah adalah hasil rekaan. Sejarah menyebut nama beliau untuk menuduhnya sebagai pencetus fitnah pembunuhan Uhtman dan peperangan Jamal. ‘Ammar bin Yasir lah yang dianggap Abdullah bin Saba.
Dr. Hamid Dawud Hanafi, iaitu salah seorang tokoh Mesir yang mendapat gelaran Doktor di Universiti Sastera Kaherah mengakui pembikinan kisah ini di dalam mukadimah kitab ‘Allamah ‘Askari, jilid 1 halaman 17.
Muhammad Kamil Husain, seorang doktor, ulama dan ahli falsafah Mesir menyebut kisah ‘Abdullah bin Saba sebagai khayalan di dalam kitab Adab Misr al-Fatimiyyah,halaman 7.
Pensyarah universiti Malik Sa’ud di Riyadh, Dr. Abdul Aziz al-Halabi berkata: kesimpulannya Abdullah bin Saba ialah: Personaliti khayalan, tidak mungkin ia wujud. (Dirasah lil-Riwayah al-Tarikhiyyah ‘An Dawrihi fil Fitnah, halaman 73).
Peneliti buku al-Muntazam Ibnu Jawzi, Dr. Sahil menyebut tentang pembikinan Abdullah bin Saba dalam kitab tersebut.
Mereka ini adalah tokoh tersohor Ahlusunnah yang percaya bahwa pembikinan kisah dongeng Abdullah bin Saba. Akibatnya, Bukhari tidak meriwayatkan bahkan satu hadis pun tentang Abdullah bin Saba dalam sembilan jilid kitab hadis sahihnya.
Ulama-ulama gadungan ikut ikutan menggunakan istilah Saba’iyah untuk merendahkan ketaatan pengikut keluarga Nabi. Riwayat tersebut berdasarkanpada rumor yang di propaganda kan oleh rezim Umayyah dan Abbasiyah dengan meniru karya Saif yang sampai pada mereka, menghancurkan lawan politik yang didasarkan pada kreativitas pengarang cerita fiksi. Telah terbukti bahwa ulama ulama gadungan yang menyebutkan bahwa pendiri Syi’ah adalah Abdullah bin Saba merupakan pengikut sunnah keluarga Abu Sufyan dan Marwan.
Saif bin Umar sebagai satu-satunya sumber yang meriwayatkan tentang Abdullah bin Saba adalah sesorang yang pembohong dan oleh sebagian dianggap zindik, juga riwayat-riwayatnya dianggap lemah. Dengan demikian, jelaslah bahwa Abdullah bin Saba adalah tokoh fiktif dalam sejarah Islam. Hal ini didasarkan bukan hanya karena adanya Saif bin Umar dalam jalur sanadnya, tetapi juga karena Saif bin Umar adalah seseorang yag terkenal zindiq dan fasik.
Web ini bukan berniat untuk menyebar Syiah, tetapi lebih kepada menjawab fitnah yang dilemparkan terhadap mazhab ini dan penganutnya. Fitnah wajib dijawab dan saya tidak akan biarkan ia berterusan. Jika tidak suka saya membongkar fitnah ini, mulakanlah dengan berhenti menebar fitnah. Kepada yang bukan Syiah, anda dilarang melawat laman ini, jika anda berkeras, maka saya tidak akan bertanggungjawab atas pencerobohan akidah anda.
Pada pertengahan abad kedua Hijrah muncul dua buah buku berjudul al-Futuh al-Kabir wa ar-Riddah dan al-Jamal wa Masiri ’Ali wa Aisyah, yang ditulis Saif bin ’Umar Tamimi (w. 170 H.). Para penulis sejarah Islam, terutama Thabari (w. 310 H.), Ibn ’Asakir (w. 571 H.), Ibn Abi Bakr (w. 741 H.) dan Dzahabi (w. 748 H.) mengutip riwayat dari Saif Tamimi (tanpa menyatakan penilaian tentang kesahihannya). Orang-orang lain mengutip dari Thabari dan lain-lain itu, hingga semua seperti ’telah sepakat” menerimanya tanpa pertanyaan atau memeriksa keabsahannya.
Seorang ulama ahli sejarah, Murtadha al-’Askari, meneliti riwayat tentang tokoh ’Abdullah bin Saba’ ini dan setelah menelusuri namanya, ia berkesimpulan bahwa tak ada seorang ulama jarh dan ta’dil yang turut menyebarkan cerita Saif bin Umar Tamimi khususnya tentang ’Abdullah bin Saba’.
la juga mendapatkan bahwa setidaknya ada 13 ulama ahli jarh dan ta’dil yang jadi anutan mazhab Sunni yang memberi penilaian tentang berita yang diriwayatkan oleh Saif bin Umar Tamimi, dengan menyatakan sebagai berikut:
1. Yahya bin Mu’in (w. 233 H.): “Riwayat-riwayat Saif bin Umar Tamimi lemah dan tidak berguna.”
2. Nasa’i (w. 303 H.) di dalam kitab Shahih-nya, “Riwayat-riwayat Saif bin Umar Tamimi lemah, riwayat-riwayat itu harus diabaikan karena ia orang yang tidak dapat diandalkan dan tidak patut di percaya.”
3. Abu Daud (w. 316 H.) mengatakan, “Tidak ada harganya, Saif bin Umar Tamimi seorang pembohong (Al-Khadzdzab).”
4. Ibn Abi Hatim (w. 327 H.) mengatakan bahwa, “Mereka telah meninggalkan riwayat-riwayat Saif bin Umar Tamimi.”
5. Ibn AI-Sakan (w. 353 H.), “Lemah.” (dhaif).
6. Ibn ’Adi (w. 365 H.), “Lemah, sebagian dari riwayat-riwayat Saif bin Umar Tamimi terkenal namun bagian terbesar dari riwayat-riwayatnya mungkar dan tidak diikuti.”
7. Ibn Hibban (w. 354 H.), “Saif bin Umar Tamimi terdakwa sebagai zindiq dan memalsukan riwayat-riwayat.”
8. AI-Hakim (w. 405 H.), “Riwayat-riwayat Saif bin Umar Tamimi telah ditinggalkan, ia dituduh zindiq.”
9. Khatib al-Baghdadi (w. 406 H.) tidak memercayainya.
10. Ibn ’Abdil Barr (w. 463 H.) meriwayatkan dari Abi Hayyam bahwa “riwayat-riwayat Saif bin Umar Tamimi telah ditinggalkan; kami menyebutnya bahwa sekadar untuk diketahui saja.”
11. Safiuddin (w. 923 H.): “Dianggap lemah (dhaif).
12. Fihruzabadi (w. 817 H.) di dalam Tawalif menyebutkan Saif bin Umar Tamimi dan lain-lain mengatakan bahwa mereka itu lemah (dha’if).
13. Ibnu Hajar (w. 852 H.) setelah menyebutkan salah satu dari riwayat-riwayatnya menyebutkan bahwa riwayat itu disampaikan oleh musnad-musnad yang lemah, yang paling lemah di antaranya (assyadduhum) ialah Saif bin Umar Tamimi.
Ulama-ulama di atas ini adalah para peneliti perawi (orang yang meriwayatkan) dan menilai sampai di mana ia dapat dipercaya. Mereka menyusun kitab semacam ensiklopedia atau biografi lengkap tentang para perawi yang disebut Kitab Rijal seraya memberikan penilaian tentang dapat dipercayai atau tidaknya seorang perawi, dan sebagainya.
“Perawi” yang namanya tidak terdapat dalam berbagai Kitab Rijal itu berarti tidak ada. Fiktif atau majhul.
Mereka mengingatkan umat Islam bahwa Saif bin Umar Tamimi tak dapat dipercayai. Riwayat-riwayatnya dhaif, lemah (1, 5, 6, 11, 12, 13), tidak diikuti (6), telah ditinggalkan (4, 6, 8, 10), tak berguna (1), tak ada harganya (3) tak dapat diandalkan (2), tak dapat dipercaya (9, 2), hares diabaikan (2), mungkar (6), pemalsu (7), kadzdzab (3), yakni pendusta, penipu. la terdakwa zindiq, (7, (*) yakni berpura-pura Muslim.
Allamah Murtadha al-’Askari menelusuri riwayat-riwayat dari Saif bin Umar Tamimi dan melihat jelas perbedaan riwayat dari Saif dengan riwayat orang lain.
Beliau menemukan bahwa Saif dengan sengaja mengada-adakan cerita untuk mengadu domba kaum Muslimin dan menodai kemurnian Islam.
Beliau juga menemukan bahwa Saif telah mengada-adakan perawi yang menjadi sumber beritanya. Sejarawan ini pun menemukan dalam buku-buku Saif 150 Sahabat Rasul yang direkayasa oleh Saif bin Umar Tamimi, yang pada hakikatnya tidak pernah ada di dalam sejarah.
Sebagai hasil penelitiannya, Murtadha al-‘Askari menulis 2 buah kitab: ’Abdullah bin Saba’ wa Asathir Ukhra (’Abdullah bin Saba’ dan Mitos lainnya) dan Khamsun wa Miatu Shahabi Mukhtalaq (150 Shahabat Fiktif).
Kitab-kitab itu (masing-masingnya 2 jilid) diterbitkan di Najaf (Iraq) tahun 1955, kemudian diterbitkan lagi di Beirut dan Mesir.
Hasil penelitian Murtadha al-’Askari ini telah menimbulkan berbagai reaksi, antara lain:
- Kaum cendekiawan menyambutnya dengan hangat karena sejak lama merasakan keganjilan kisah mengenai ’Abdullah bin Saba’ sebagai tambalan yang tak sesuai dan merupakan interpolasi sejarah.
- Kalangan Syi’ah yang selama ini dituduh sebagai penganut aliran ’Abdullah bin Saba’, dan cerita ini sangat sering digunakan sebagai alat pemukul terhadap Syi’ah.
- Kalangan yang menghendaki pendekatan Sunnah-Syi’ah dan Persatuan Umat dan Ukhuwwah Islamiyyah.
Sebaliknya, hasil riset Murtadha al-Askari ini telah menimbulkan reaksi hebat dari kalangan-kalangan lain. Yang paling mencolok adalah reaksi para pembenci Syi’ah, terutama kaum Wahabi-Salafi.
Ketika seorang muslim yang bukan Syi’ah membaca buku-buku anti-Syi’ah yang mengatakan bahwa mazhab Syi’ah itu berasal rekayasa ’Abdullah bin Saba’ menjadi takjub bahwa :
- Betapa hebatnya Abdullah bin Saba yang merupakan tokoh setani yang sedemikian kejinya dan sedemikian hebatnya bisa mengadu domba Umat Islam selama lebih 1.000 tahun ini, dan konon bahkan bisa mempermainkan para Sahabat besar Nabi saw seperti Thalhah, Zubair, Ammar bin Yassir, bahkan ‘Aisyah istri nabi pun bisa dikibulinya.
Yang lebih ajaib lagi, lelaki yang muncul dari negeri antah barantah ini bisa mendirikan sebuah mazhab yang dianut jutaan manusia dan sanggup bertahan hidup selama belasan abad, melintasi pengalaman-pengalaman sejarah yang jarang ditemukan pada penganut mazhab atau agama lainnya.
Dan, bahkan mazhab ini memiliki para ulama, ahli pikir dan ilmuwan yang diakui di mana-mana, seperti Thabathaba’i, Muthahhari, Baqir Sadr, Syari’ati dan sederetan panjang lainnya.
Kita juga akan tak habis pikir bagaimana seorang Ahmadinejad, Presiden Iran yang terkenal berani menantang hegemoni AS dan Zionis Yahudi ini ternyata juga salah seorang penganut mazhab Abdullah bin Saba? Aneh bin ajaib!
Buku-buku anti Syiah selalu disebarkan oleh Kerajaan Saudi Arabia melalui lembaga-lembaga (seperti LIPIA, misalnya) yang tersebar di seluruh dunia dengan sekte mereka Wahabi-Salafinya memfitnah bahwa Syiah :
- berasal dari Abdullah bin Saba.
- memiliki Al-Quran yang berbeda dengan saudara mereka Ahlus Sunnah.
- dan masih banyak lagi fitnah-fitnah keji mereka yang tiada henti.
Namun kita senantiasa bersyukur bahwa Allah SWT tidak akan tinggal diam bersama para pejuang kebenaran, baik dari kalangan Muslim Sunni maupun Syiah untuk terus melawan kejahatan mereka, para antek AS dan Zionis Yahudi!
Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Walillahi ilhamd!
Allahumma sholli ‘ala Muhammadin wa aali Muhammad!
.
Abdullah bin Saba adalah nama seorang tokoh yang tidak asing lagi di telinga kita, terutama di kalangan para intelektual, cendekiawan Islam dan orang-orang yang memiliki minat untuk menggeluti persoalan madzhab dan firqah dalam Islam.
Abdullah bin Saba didaulat sebagai tokoh pendiri madzhab syi’ah yang menurut sebagian buku seperti Tarikh Milal wa Nihal madzhab syiah didirikan olehnya pada masa khalifah Utsman bin Affan.[1] Namun demikian, klaim ini tentunya bisa kita pertanyakan dan tinjau kembali sejauh mana kebenarannya. Karena sebagaimana yang akan dibahas nanti bahwa sumber primer yang dijadikan rujukan dalam menukil tokoh ini berasal dari satu sumber. Dan sumber inipun oleh beberapa sejarawan serta muhaditsin tidak diterima keabsahannya.
Berdasarkan hal tersebut, pertanyaan mendasar yang mesti diajukan, apakah Abdullah bin Saba merupakah tokoh nyata dalam sejarah islam ataukah sekedar tokoh fiktif yang sengaja dibuat untuk kepentingan tertentu.
Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk mencoba meninjau kembali kebenaran tokoh Abdullah bin Saba tersebut.
Sekilas Tentang Abdullah bin Saba dan Pemikirannya
Lebih dari seribu tahun lamanya para sejarawan (lama maupun kontemporer) dalam kitabnya telah mencatat riwayat-riwayat mencengangkan mengenai Abdullah bin Saba dan Sabaiyun (pengikut Abdullah bin Saba). Lantas siapakah sebenarnya Abdullah bin Saba? Bagaimanakah pemikirannya serta apa yang telah dilakukannya?
Dibawah ini beberapa riwayat ringkas dari para sejarawan mengenai Abdullah bin Saba:
Seorang Yahudi dari Shan’a di Yaman yang pada zaman khalifah ketiga pura-pura masuk Islam dan secara sembunyi-sembunyi membuat sebuah gerakan untuk memecah belah ummat Islam. Ia melakukan berbagai perjalanan ke kota-kota besar islam seperti Kufah, Basrah, Damsyik, dan Mesir sambil menyebarkan suatu kepercayaan akan kebangkitan Nabi Muhammad SAW sebagaimana akan kembalinya Nabi Isa As. Dan sebagaimana para nabi sebelumnya memiliki washi (pengganti), Ali adalah washi dari Nabi Muhammad SAW. Dia penutup para washi sebagaimana Muhammad SAW sebagai penutup para nabi, dan menuduh Utsman dengan zalim telah merampas hak washi ini darinya, serta mengajak masyarakat untuk bangkit mengembalikan kedudukan washi tersebut pada yang berhak.2
Sejarahwan menyebut tokoh utama dari cerita tersebut di atas adalah Abdullah bin Saba dengan laqab “Ibn Ummat Sauda” –Anaknya budak hitam- mereka mengatakan Abdullah bin Saba mengirimkan para muballighnya ke berbagai kota dan dengan dalih amar ma’ruf nahi munkar memerintahkan pada mereka untuk melumpuhkan para pemimpin di kota-kota tersebut. Kaum muslimin pun banyak yang mengikutinya dan membantu mensukseskan rencananya.
Mereka mengatakan Sabaiyun (sebutan untuk para pengikut Abdullah bin Saba) dimana saja berada dalam rangka memuluskan rencananya, mereka memprovokasi serta menghasut masyarakat untuk melawan pemerintah dan menulis surat kritikan terhadap pemerintah, tidak hanya itu, surat inipun dikirimkan ke berbagai daerah lain. Propaganda dan agitasi yang dilakukan oleh kelompok sabaiyun ini akhirnya membuahkan hasil yaitu dengan berdatangannya sebagian dari kaum muslimin ke madinah untuk memblokade serta mengepung rumah khalifah ketiga (Ustman bin Affan) dan berakhir pada terbunuhnya khalifah di tangan mereka. Yang kesemuanya ini berada dibawah kepemimpinan kelompok sabaiyun.
Setelah kaum muslimin menyatakan bai’atnya pada Ali , Aisyah (ummul mukminin) beserta Talhah dan Zubair untuk menuntut terbunuhnya Utsman bergerak menuju Bashrah. Di luar kota Bashrah antara Ali dengan Talhah dan Zubair sebagai pemimpin pasukan Aisyah dalam perang Jamal melakukan perundingan. Hal ini diketahui oleh kelompok Sabaiyun bagi mereka jika perundingan dan kesepahaman ini sampai terjadi penyebab asli dari terbunuhnya khalifah ketiga yang tiada lain adalah mereka sendiri akan berdampak negatif terhadap mereka. Oleh karena itu, malam hari mereka memutuskan untuk menggunakan cara apapun yang bisa dilakukan agar perang tetap terjadi. Akhirnya mereka menyusup masuk pada kedua kelompok yang berbeda. Pada malam hari ditengah kedua pasukan dalam kondisi tertidur dan penuh harap agar perang tidak terjadi, kelompok sabaiyun yang berada di pasukan Ali melakukan penyerangan dengan memanah pasukan Talhah dan Zubair, dan sebaliknya akhirnya perangpun antara kedua belah pihak tidak bisa terhindarkan lagi.3
Sumber Riwayat Abdullah bin Saba.
Untuk lebih mengetahui siapakah sebenarnya Abdullah bin Saba, alangkah baiknya jika kita melihat sebagian pendapat para sejarawan dalam menceritakan sosok Abdullah bin Saba dan sumber yang digunakannya, yang pada akhirnya kita akan bermuara pada sumber asli penukilan dari cerita Abdullah bin Saba tersebut.
1. Sayyid Rasyid Ridha
Sayyid Rasyid Ridho dalam bukunya (Syi’ah wa Sunni, hal. 4-6) mengatakan bahwa pengikut syiah memulai perpecahan antara dien dan politik di tengah ummat Muhammad Saw, dan orang yang pertama kali menyusun dasar-dasar syiah adalah seorang Yahudi bernama Abdullah bin Saba yang berpura-pura masuk Islam, dia mengajak masyarakat untuk membesar-besarkan Ali, sehingga terciptalah perpecahan dikalangan ummat, dan telah merusak dien dan dunia mereka.
Cerita ini pun terus berlanjut sampai halaman enam kemudian dia mengatakan apabila seseorang ingin mengetahui peristiwa perang Jamal, lihatlah kitab Tarikh Ibnu Atsir, Jilid 3, hal.95-103, maka akan ditemukan sejauhmana peran Sabaiyun dalam memecah belah ummat, dan secara mahir memainkan perannya serta tidak mengizinkan terjadinya perdamaian diantara keduanya (kelompok Ali dan Aisyah).
Dengan demikian dapat diketahui bahwa Sayyid Rasyid Ridlo mengutip cerita ini dari kitab Tarikh Ibnu Atsir.
2. Ibnu Atsir (w. 732 H).
Ibnu Atsir (w. 630 H.Q) menuliskan secara sempurna tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi sekitar tahun 30-36 H tanpa menyebutkan sumber-suber yang dijadikan rujukannya, namun dalam prakata bukunya Tarikh al-Kamil ia mengatakan “Saya telah mendapatkan riwayat-riwayat ini dari kitab Tarikhul Umam wa Al-Muluk yang ditulis oleh Abu Ja’far Muhammad Thabari.
3. Ibnu Katsir (w. 747 H)
Ibnu Katsir (w.774 H.Q) dalam bukunya yang berjudul Al-Bidayah wa Al-Nihayah meriwayatkan cerita Abdullah bin Saba dengan menukil dari Thabari dan pada halaman 167 dia mengatakan:
“Saif bin Umar mengatakan: sebab dari penyerangan terhadap Utsman adalah karena seorang yahudi yang bernama Abdullah bin Saba yang mengaku islam dan dia pergi menuju Mesir kemudian membentuk para muballig dan …” Kemudian cerita Abdullah bin Saba dengan seluruh karakteristiknya terus berlanjut sampai halaman 246 kemudian dia mengatakan :
“Demikianlah ringkasan yang dinukil oleh Abu Ja’far Thabari”
4. Ibnu Khaldun
Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun dalam bukunya yang berjudul Al-Mubtada’ wa Al-Khabar sebagaimana Ibnu Atsir dan Ibnu katsir dalam menceritikan Abdullah bin saba telah mengutip dari Thabari. Dia setelah menukil peristiwa perang jamal (jilid 2, hal 425) mengatakan:
“Demikianlah peristiwa perang jamal yang diambil secara ringkas dari kitabnya Abu Ja’far Thabari…”
5. Thabari (w. 310 H)
Tarikh Thabari adalah kitab sejarah yang paling lama yang menjelaskan cerita Abdulah bin Saba disertai dengan para perawi dari cerita tersebut. Semua kitab sejarah yang ada setelahnya dalam menjelaskan cerita Abdulah bin Saba menukil dari Tarikh Thabari. Oleh karenanya kita harus melihat dari manakah dia menukil cerita tersebut serta bagaimanakah sanadnya?
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Thabari Amuli (w. 310 H) cerita sabaiyun dalam kitabnya Tarikh Al-Imam wa Al-Muluk hanya menukil dari Saif bin Umar Tamimi Kufi. Ia merujuk hanya sebagian dari peristiwa-peristiwa itu, sebagai berikut :
Pada tahun yang sama (yakni 30 H) peristiwa mengenai Abu Dzar dan Muawiyah, dan pengiriman Abu Dzar oleh muawiyah dari Syam ke Madinah. Banyak hal yang dikatakan tentang peristiwa itu, tetapi saya tidak mau menuliskannya, sebagaimana Sari bin Yahya telah menuliskannya buat saya demikian:
“Syu’aib bin Ibrahim telah meriwayatkan dari Saif bin Umar:”…Karena Ibnu Sauda sampai ke Syam (Damsyik) dia bertemu dengan Abu Dzar dan berkata: Wahai Abu Dzar! Apakah kamu melihat apa yang sedang dilakukan oleh Muawiyah?.. Kemudian Thabari cerita Ibnu Saba hanya menukilnya dari Saif dan dia mengakhiri penjelasannya mengenai keadaan Abu Dzar dengan mengatakan :”Orang-orang lain telah berbicara banyak riwayat pembuangan Abu Dzar, tetapi saya segan menceritakannya kembali”
Mengenai peristiwa-peristiwa dalam tahun-tahun 30-36 H, Thabari mencatat riwayat bin Saba dan kaum sabaiyah, pembunuhan Utsman serta peperangan jamal dari Saif. Dan Saif adalah satu-satunya orang yang dapat dikutipnya.
Thabari meriwayatkan kisahnya dari Saif melalui dua orang:
1. ‘Ubaidillah bin Sa’id Zuhri dari pamannya Ya’qub bin Ibrahim dari Saif.
Dari jalur-jalur ini riwayat-riwayat tersebut dia mendengar dari ‘Ubaidillah dan menggunakan lafadz “Haddatsani atau Haddatsana” yaitu diceritakan kepada saya atau diceritakan kepada kami.
2. Sari bin Yahya dari Syu’aib bin Ibrahim dari Saif.
Thabari dalam jalur sanad ini hadits-hadits Saif diambil dari dua bukunya yang berjudul Al-Futuh dan Al-Jamal, dengan dimulai oleh kata Kataba ilayya (ia menulis kepada saya), Haddatsani (ia meriwayatkan kepada saya) dan Fi Kitabihi Ilayya (dalam suratnya kepada saya)4
Dengan demikian dari beberapa sumber di atas sebagai sumber rujukan dalam menceritakan Abdullah bin Saba semuanya pada akhirnya merujuk pada apa yang diriwayatkan oleh Thabari dalam buku masyhurnya Tarikh Thabari. Namun demikian, ada juga beberapa sejarahwan lain yang meriwayatkan Abdullah bin Saba dan kaum Sabaiyun tidak mengutip dari Thabari, tetapi langsung mengutipnya dari Saif, mereka adalah :
1. Ibnu ‘Asakir (w. 571 H)
Ibnu ‘Asakir mencatat dari sumber lain. Dalam bukunya Tarikh Madinah Damsyik , ketika ia menulis tentang biografi Thalhah dan Abdulah bin Saba, dia telah mengutip bagian-bagaian dari cerita-cerita tentang kaum Sabaiyah melalui Abul Qasim Samarqandi dan Abul Husain Naqqur dari Abu Thaher Mukhallas dari Abu Bakar bin Saif dari Sari dari Syu’aib bin Ibrahim dari Saif.
Jadi sumbernya adalah Sari, salah satu dari dua jalur yang telah dikutif Thabari.
2. Ibnu Abi Bakr (w. 741 H)
Bukunya At-Tamhid telah dijadikan sumber dan dinukil oleh beberapa penulis. Buku itu meriwayatkan pembunuhan terhadap Khalifah Utsman. Dalam bukunya itu disebutkan buku Al-Futuh karangan Saif.5
3. Dzahabi
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman Dzahabi (w. 748 H) dalam kitabnya yang berjudul Tarikh Al-Islam meriwayatkan sebagaian riwayat mengenai Abdullah bin Saba. Ia memulai dengan menukil dua riwayat dari Saif yang sebelumnya oleh Thabari tidak dinukil. Dia mengatakan:
“Berkata Saif bin Umar bahwa Athiyyah mengatakan, bahwa Yazid Al-Faq’asi mengatakan ketika Abdullah bin Saba pergi ke Mesir…”6
Dari beberapa sumber riwayat di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa sebagian besar sejarahwan pasca Thabari dalam meriwayatkan sejarah mengenai Abdullah bin Saba semuanya bersumber dari buku Tarikh Thabari. Sementara hanya sebagian kecil saja dari sejarahwan yang langsung menukil riwayat mengenai Abdulah bin Saba dan Kaum Sabaiyah ini dari Saif yaitu, Thabari, Ibnu Asakir, Ibnu Abi Bakr dan Dzahabi. Dengan kata lain seluruh riwayat mengenai Abdullah bin Saba ini pada akhirnya bermuara pada Saif bin Umar yang kemudian dari dialah Thabari, Ibnu Asakir, Ibnu Abu Bakr dan Dzahabi mengutip.
Lantas siapakah sebenarnya Saif bin Umar, kemudian bagaimanakah dia dan riwayat-riwayat yang dikeluarkan olehnya di mata para muhaditsin. Dengan mengetahui jawaban ini kita bisa mengukur sejauh mana validitas riwayat-riwayat yang dikeluarkannya termasuk dalam hal ini riwayat mengenai Abdullah bin Saba.
Siapakah Saif bin Umar?
Menurut Thabari, namanya yang lengkap adalah Saif bin umar Tamimi Al-Usaidi. Menurut Al-Lubab Jamharat Al-Ansab dan Al-Isytiqaq, namanya Amr bin Tamimi. Karena ia keturunan Amr maka ia telah mengkontribusikan lebih banyak lagi tentang perbuatan-perbuatan heroik Bani Amr ketimbang yang lain-lainnya.
Namanya disebut sebagai usady, sebagai ganti Osayyad, dalam Al-Fihrist oleh Ibn Nadim. Dalam Tahdzib Al-Tahdzib, ia juga disebut Burjumi, Sa’adi atau Dhabi. Disebutkan pula bahwa Saif berasal dari Kufah dan tinggal di Baghdad, meninggal pada tahun 170 H pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid ( 170-193 H).
Saif bin Umar Tamimi menulis dua buah buku yang berjudul:
1. Al-Futuh Al-Kabir wa Al-Riddah, isinya menjelaskan tentang sejarah dari sebelum wafatnya Nabi Muhammad Saw hingga pada masa Utsman menjadi khalifah.
2. Al-Jamal wa Al-Masiri ‘Aisyah wa Ali, mengenai sejarah sejak terbunuhnya Utsman sampai peristiwa peperangan jamal.
Kedua buku ini lebih banyak menceritakan tentang fiksi ketimbang kebenaran. Sebagian dari cerita-ceritanya adalah cerita palsu yang dibuat olehnya. Kemudian kedua buku ini pun menjadi sumber rujukan para sejarawan seperti Ibnu Abdil Bar, Ibnu Atsir, Dzahabi dan Ibnu Hajar ketika mereka hendak menulis dan menjelaskan perihal para sahabat Nabi Saw.
Allamah Askari menjelaskan dalam bukunya bahwa setelah diadakan penelitian terhadap buku-buku yang dikarang oleh keempat sejarahwan di atas ditemukan bahwa ada sekitar 150 sahabat nabi buatan yang dibuat oleh Saif bin Umar.7
Ahli Geografi seperti Al-Hamawi dalam bukunya Mu’jam Al-Buldan dan Al-Himyari dalam Al-Raudh yang menulis kota-kota islam juga menggunakan riwayat dari Saif dan menyebutkan nama-nama tempat yang diada-adakan oleh Saif8 Dengan demikian Saif tidak hanya membuat tokoh fiktif Abdullah bin Saba tetapi juga dia telah membuat ratusan tokoh fiktif lainnya dan juga tempat-tempat fiktif yang dalam realitasnya tidak ada. Berikut ini adalah pandangan dan penilaian para penulis biografi tentang nilai-nilai tulisan Saif :
1. Yahya bin Mu’in (w. 233 H); “Riwayat-riwayatnya lemah dan tidak berguna”.
2. Nasa’i (w. 303 H) dalam kitab Shahih-nya mengatakan : “Riwayat-riwayatnya lemah, riwayat-riwayat itu harus diabaikan karena ia adalah orang yang tidak dapat diandalkan dan tidak patut dipercaya.”
3. Abu Daud (w. 275H) mengatakan: “Tidak ada harganya, ia seorang pembohong (Al-Kadzdzab).”
4. Ibnu Abi Hatim (w. 327 H) mengatakan bahwa : “Dia telah merusak hadist-hadits shahih, oleh karena itu janganlah percaya terhadap riwayat-riwayatnya dan tinggalkanlah hadists-hadistnya.”
5. Ibnu Sakan (w. 353 H)_mengatakan : “Riwayatnya lemah.”
6. Ibnu Hiban (w. 354 H) dia mengatakan bahwa :” Hadists-hadits yang dibuat olehnya kemudian disandarkan pada orang yang terpercaya” juga dia berkata “Saif dicurigai sebagai Zindiq; dan dikatakan dia telah membuat hadits-hadits yang kemudia hadis tersebut dia sandarkan pada orang yang terpercaya.”
7. Daruqutni (w. 385 H) berkata :” Riwayatnya lemah. Tinggalkanlah hadits-haditsnya.”
8. Hakim (w. 405 H) mengatakan : “Tinggalkanlah hadits-haditsnya, dia dicurigai sebagai seorang zindiq.”
9. Ibnu ‘Adi (w. 365 H) mengatakan : “Lemah, sebagian dari riwayat-riwayatnya terkenal namun sebagian besar dari riwayat-riwayatnya mungkar dan tidak diikuti.”
10. Firuz Abadi (w. 817 H) penulis kamus mengatakan:” Riwayatnya lemah.”
11. Muhammad bin Ahmad Dzahabi (w. 748 H) mengenainya dia mengatakan :”Para ilmuwan dan ulama semuanya sepakat bahwa riwayatnya lemah dan ditinggalkan.”
12. Ibnu Hajar (w. 852 H) mengatakan :”hadisnya lemah” dan dalam buku lain mengatakan :Walaupun banyak riwayat yang dinukil olehnya mengenai sejarah dan penting, tapi karena dia lemah, hadits-haditsnya ditinggalkan.”
13. Sayuti (w. 911 H) mengatakan :”Sangat lemah.”
14. Shafiuddin (w. 923 H) mengatakan :”Menganggapnya lemah.”
Dari beberapa pendapat di atas (baik dari kalangan syi’ah maupun ahlu sunnah) menunjukan bahwa Saif bin Umar sebagai satu-satunya sumber yang meriwayatkan tentang Abdullah bin Saba adalah sesorang yang pembohong dan oleh sebagian dianggap zindik, juga riwayat-riwayatnya dianggap lemah. Dengan demikian, jelaslah bahwa Abdullah bin Saba adalah tokoh fiktif dalam sejarah Islam. Hal ini didasarkan bukan hanya karena adanya Saif bin Umar dalam jalur sanadnya, tetapi juga karena Saif bin Umar adalah seseorang yag terkenal zindiq dan fasik.
Wallahu ‘alam bishshawwab. []
1. Ali Rabbani Gulpaygani, Faraq wa Madzahibe Kalome, Qom, Entesharote Markaze Jahone Ulume Eslome, 1383, hal. 39.
2 M. Hashem, Abdullah bin Saba Benih Fitnah, Bandar lampung, YAPI, 1987, hal.15.
3 Allamah Murtadha Askari, Abdullah bin Saba Degar Afshanehoye Tarehe, 1375, hal.42.
4 Keseluruh sumber riwayat ini dikutip dari Allamah Murtadha Askari, Abdullah bin Saba Degar Afshanehoye Tarehe, 1375, hal.42.
5 M. Hashem, Abdullah bin Saba Benih Fitnah, Bandar lampung, YAPI, 1987, hal.76.
6 Allamah Murtadha Askari, Abdullah bin Saba Degar Afshanehoye Tarehe, 1375, hal.66.
7 Allamah Murtadha Askari, Abdullah bin Saba Degar Afshanehoye Tarehe, 1375, hal.70.
8 Ibid.
Kisah Pembakaran Abdullah bin Saba’ Dalam Kitab Syi’ah.
Sebelumnya
pernah disinggung dalam sebagian tulisan di blog ini bahwa dalam mazhab
Syi’ah terdapat riwayat shahih yang menyebutkan tentang Abdullah bin
Saba’ bahwa ia seorang ghuluw kafir menyatakan ketuhanan Aliy bin Abi Thalib
sehingga Imam Aliy menghukum dengan membakarnya. Hal ini dijadikan
syubhat celaan oleh para pembenci Syi’ah. Ada diantara mereka yang
mengatakan bahwa perbuatan Imam Aliy membakar Abdullah bin Saba’ bertentangan dengan hadis tidak boleh menyiksa dengan siksaan Allah [api].
Perlu
diingatkan bahwa pembahasan yang kami buat disini adalah berdasarkan
sudut pandang Syi’ah. Kami akan menilai sejauh mana validitas tuduhan
para pembenci Syi’ah tersebut.
.
Ada ulama
Syi’ah menyatakan bahwa ‘Abdullah bin Sabaa’ adalah tokoh fiktif.
Anggapan ini keliru kalau dilihat dari sudut pandang mazhab Syi’ah
karena telah terbukti melalui riwayat shahih bahwa ‘Abdullah bin Sabaa’
memang ada dan ia seorang ghuluw dalam kekafiran. Berikut riwayat shahih
di sisi Syi’ah mengenai Abdullah bin Saba’.
حدثني محمد بن قولويه، قال: حدثني سعد بن عبد الله، قال: حدثنا يعقوب بن يزيد ومحمد بن عيسى، عن ابن أبي عمير، عن هشام بن سالم، قال: سمعت أبا عبد الله عليه السلام يقول وهو يحدث أصحابه بحديث عبد الله بن سبأ وما ادعى من الربوبية في أمير المؤمنين علي بن أبي طالب، فقال: انه لما ادعى ذلك فيه استتابه أمير المؤمنين عليه السلام فأبي أن يتوب فأحرقه بالنار
Telah
menceritakan kepadaku Muhammad bin Quluwaih yang berkata telah
menceritakan kepadaku Sa’d bin ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan
kepada kami Ya’qub bin Yaziid dan Muhammad bin Iisa dari Ibnu Abi
‘Umair dari Hisyaam bin Saalim yang berkata aku mendengar Abu
‘Abdullah [‘alaihis salaam] mengatakan dan ia menceritakan kepada para
sahabatnya tentang perkataan Abdullah bin Saba’ dan apa yang ia serukan
tentang Rububiyah [ketuhanan] Amirul Mukminin Aliy bin Abi Thalib, maka
Beliau selanjutnya berkata “ketika ia menyerukan hal itu maka Amirul
Mukminin [‘alaihis salaam] memintanya bertaubat, ia menolak bertaubat
maka Beliau membakarnya dengan api [Rijal Al Kasyiy 1/323 no 171].
Riwayat Al Kasyiy di atas sanadnya shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah berikut keterangan mengenai para perawinya.
-
Muhammad bin Quluwaih ayahnya Abul Qaasim Ja’far bin Muhammad bin Quluwaih seorang yang tsiqat [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 570].
-
Sa’d bin ‘Abdullah Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 135].
-
Ya’qub bin Yazid bin Hammaad Al Anbariy seorang yang tsiqat shaduq [Rijal An Najasyiy hal 450 no 1215].
-
Muhammad bin Iisa bin Ubaid, terdapat perbincangan atasnya. Najasyiy menyebutkan bahwa ia tsiqat, banyak riwayatnya dan baik tulisannya [Rijal An Najasyiy hal 333 no 896].
-
Muhammad bin Abi Umair, ia termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah] maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218].
-
Hisyam bin Saalim, ia dikatakan An Najasyiy “tsiqat tsiqat” [Rijal An Najasyiy hal 434 no 1165].
Dan disebutkan
pula dalam riwayat muwatstsaq dan shahih bahwa imam ahlul bait [‘alaihis
salaam] telah melaknat ‘Abdullah bin Saba’
حدثني محمد بن قولويه، قال: حدثني سعد بن عبد الله، قال: حدثنا يعقوب بن يزيد ومحمد بن عيسى، عن علي بن مهزيار، عن فضالة بن أيوب الأزدي عن أبان بن عثمان، قال سمعت أبا عبد الله عليه السلام يقول: لعن الله عبد الله بن سبأ أنه ادعى الربوبية في أمير المؤمنين عليه السلام وكان والله أمير المؤمنين عليه السلام عبدا لله طائعا، الويل لمن كذب علينا وأن قوما يقولون فينا ما لا نقوله في أنفسنا، نبرأ إلى الله منهم نبرأ إلى الله منهم
Telah
menceritakan kepadaku Muhammad bin Quluwaih yang berkata telah
menceritakan kepadaku Sa’d bin ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan
kepada kami Ya’qub bin Yaziid dan Muhammad bin Iisa dari Aliy bin
Mahziyaar dari Fadhalah bin Ayuub Al Azdiy dari Aban bin ‘Utsman yang
berkata aku mendengar Abu ‘Abdullah
[‘alaihis salaam] mengatakan “laknat Allah atas ‘Abdullah bin Sabaa’
sesungguhnya ia menyerukan Rububiyah [ketuhanan] Amirul Mukminin
[‘alaihis salaam], demi Allah, Amirul Mukminin adalah hamba Allah yang
taat, celakalah yang berdusta atas kami dan sesungguhnya terdapat kaum
yang mengatakan tentang kami apa yang tidak pernah kami katakan tentang
diri kami, kami berlepas diri kepada Allah dari mereka, kami berlepas
diri kepada Allah dari mereka [Rijal Al Kasyiy 1/324 no 172].
Riwayat Al
Kasyiy di atas sanadnya muwatstsaq berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah
karena para perawinya tsiqat hanya saja Aban bin ‘Utsman seorang yang
jelek mahzabnya, berikut keterangan mengenai para perawinya.
-
Muhammad bin Quluwaih ayahnya Abul Qaasim Ja’far bin Muhammad bin Quluwaih seorang yang tsiqat [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 570].
-
Sa’d bin ‘Abdullah Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 135]
-
Ya’qub bin Yazid bin Hammaad Al Anbariy seorang yang tsiqat shaduq [Rijal An Najasyiy hal 450 no 1215].
-
Muhammad bin Iisa bin Ubaid, terdapat perbincangan atasnya. Najasyiy menyebutkan bahwa ia tsiqat, banyak riwayatnya dan baik tulisannya [Rijal An Najasyiy hal 333 no 896].
-
Aliy bin Mahziyaar seorang yang tsiqat dalam riwayatnya, tidak ada celaan atasnya dan shahih keyakinannya [Rijal An Najasyiy hal 253 no 664].
-
Fadhalah bin Ayuub Al Azdiy seorang yang tsiqat dalam hadisnya dan lurus dalam agamanya [Rijal An Najasyiy hal 310-311 no 850].
-
Abaan bin ‘Utsman Al Ahmar, Al Hilliy menukil dari Al Kasyiy bahwa terdapat ijma’ menshahihkan apa yang shahih dari Aban bin ‘Utsman, dan Al Hilliy berkata “di sisiku riwayatnya diterima dan ia jelek mazhabnya” [Khulashah Al ‘Aqwaal Allamah Al Hilliy hal 74 no 3].
وبهذا الاسناد، عن يعقوب بن يزيد، عن ابن أبي عمير وأحمد بن محمد بن عيسى، عن أبيه والحسين بن سعيد، عن ابن أبي عمير عن هشام بن سالم، عن أبي حمزة الثمالي، قال، قال علي بن الحسين عليهما السلام لعن الله من كذب علينا، اني ذكرت عبد الله بن سبأ فقامت كل شعرة في جسدي، لقد ادعى أمرا عظيما ماله لعنه الله، كان علي عليه السلام والله عبدا لله صالحا، أخو رسول الله، ما نال الكرامة من الله الا بطاعته لله ولرسوله، وما نال رسول الله (ص) الكرامة من الله الا بطاعته لله
Dan dengan
sanad ini dari Ya’qub bin Yaziid dari Ibnu Abi Umair dan dari Ahmad bin
Muhammad bin Iisa dari Ayahnya dan Husain bin Sa’iid dari Ibnu Abi Umair
dari Hisyaam bin Saalim dari Abi Hamzah Ats Tsumaliy yang berkata Aliy
bin Husain [‘alaihimas salaam] berkata “Laknat
Allah kepada orang yang berdusta atas kami, aku menyebutkan Abdullah
bin Sabaa’ maka berdirilah setiap bulu di badanku, sesungguhnya dia
telah menyeru perkara yang berat, laknat Allah atasnya, demi Allah, Aliy
[‘alaihis salaam] adalah hamba Allah yang shalih, saudara Rasulnya dan
tidaklah ia mendapatkan karamah dari Allah kecuali dengan ketaatannya
kepada Allah dan Rasul-nya dan tidaklah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wa ‘alihi] mendapatkan karamah dari Allah kecuali dengan ketaatannya
kepada Allah” [Rijal Al Kasyiy 1/324 no 173]
Adapun maksud perkataan Al Kasyiy “dan dengan sanad ini” adalah sanad pada riwayat sebelumnya yaitu dari Muhammad bin Quluwaih dari Sa’ad bin ‘Abdullah. Jadi sanad lengkap sanad di atas ada dua jalan yaitu:
-
Dari Muhammad bin Quluwaih dari Sa’ad bin ‘Abdullah dari Ya’qub bin Yaziid dari Ibnu Abi Umair dari Hisyaam bin Saalim dari Abi Hamzah Ats Tsumaliy dari Aliy bin Husain.
-
Dari Muhammad bin Quluwaih dari Sa’ad bin ‘Abdullah dari Ahmad bin Muhammad bin Iisa dari Ayahnya dan Husain bin Sa’iid dari Ibnu Abi Umair dari Hisyaam bin Saalim dari Abi Hamzah Ats Tsumaliy dari Aliy bin Husain.
Secara
keseluruhan sanad riwayat Al Kasyiy tersebut shahih berdasarkan standar
ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan para perawinya dan kami cukupkan
pada sanad yang pertama.
-
Muhammad bin Quluwaih ayahnya Abul Qaasim Ja’far bin Muhammad bin Quluwaih seorang yang tsiqat [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 570].
-
Sa’d bin ‘Abdullah Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 135].
-
Ya’qub bin Yazid bin Hammaad Al Anbariy seorang yang tsiqat shaduq [Rijal An Najasyiy hal 450 no 1215].
-
Muhammad bin Abi Umair, ia termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah] maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218].
-
Hisyam bin Saalim, ia dikatakan An Najasyiy “tsiqat tsiqat” [Rijal An Najasyiy hal 434 no 1165]
-
Abu Hamzah Ats Tsumaliy adalah Tsabit bin Diinar seorang yang tsiqat dan mu’tamad dalam riwayat dan hadis [Rijal An Najasyiy hal 115 no 296].
Setelah membawakan riwayat-riwayat mengenai ‘Abdullah bin Sabaa’ maka Al Kasyiy menutupnya dengan kata-kata berikut:
وذكر بعضي أهل العلم أن عبد الله بن سبأ كان يهوديا فأسلم ووالى عليا عليه السلام، وكان يقول وهو على يهوديته في يوشع بن نون وصي موسى بالغلو، فقال في اسلامه بعد وفات رسول الله صلى الله عليه وآله في علي عليه السلام مثل ذلك وكان أول من شهر بالقول بفرض امامة علي وأظهر البراءة من أعدائه وكاشف مخالفيه وكفرهم، فمن هيهنا قال من خالف الشيعة أصل التشيع والرفض مأخوذ من اليهودية
Dan disebutkan oleh sekelompok ahli ilmu bahwa
‘Abdullah bin Sabaa’ adalah seorang Yahudiy yang masuk Islam dan
berwala’ kepada Aliy [‘alaihis salaam]. Dahulu ketika masih Yahudiy ia
mengatakan tentang Yusya’ bin Nuun sebagai washi Musa dengan ghuluw,
maka setelah ia memeluk islam, ia mengatakan setelah wafatnya Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi] tentang Aliy [‘alaihis salaam] hal yang
sama, ia orang pertama yang dengan jelas mengatakan tentang kewajiban Imamah Aliy dan
menampakkan bara’ah terhadap musuh-musuhnya, menyingkap orang-orang
yang menyelisihinya dan mengkafirkan mereka. Maka dari sinilah,
orang-orang yang menyelisihi Syi’ah berkata “asal Tasyayyu’ dan Rafidhah
diambil dari Yahudi” [Rijal Al Kasyiy 1/324].
Nukilan Al
Kasyiy di atas sering dijadikan hujjah oleh para pembenci Syi’ah untuk
merendahkan mazhab Syi’ah. Padahal kalau ditelaah secara kritis maka
nukilan di atas tidak bernilai hujjah dengan alasan sebagai berikut:
-
Tidak disebutkan siapakah sekelompok ahli ilmu yang dimaksud dalam perkataan Al Kasyiy di atas apakah mereka dari kalangan Syi’ah atau dari kalangan ahlus sunnah. Apalagi jika dilihat lafaz bahwa sekelompok ahli ilmu tersebut mengatakan ‘Abdullah bin Sabaa’ orang pertama yang menyatakan Imamah Aliy maka lafaz seperti ini tidak akan mungkin diucapkan oleh ulama dari kalangan Syi’ah karena para ulama Syi’ah bersepakat bahwa Imamah Aliy itu dinyatakan pertama kali oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sehingga dengan dasar ini maka kemungkinan besar ahli ilmu yang dimaksud Al Kasyiy adalah dari kalangan ahlus sunnah
-
Di sisi mazhab Syi’ah tidak ada satupun riwayat shahih yang membuktikan bahwa ‘Abdullah bin Sabaa’ menyerukan tentang Imamah Aliy, justru riwayat-riwayat shahih membuktikan bahwa apa yang diseru ‘Abdullah bin Sabaa’ adalah tentang Rububiyah [ketuhanan] Aliy bin Abi Thalib. Maka apa yang dikatakan sebagian ahli ilmu tersebut tidak memiliki dasar dalam mazhab Syi’ah
-
Riwayat-riwayat yang menyebutkan Abdullah bin Saba’ menyerukan Imamah Aliy atau Aliy sebagai washiy Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] hanya ditemukan dalam kitab ahlus sunnah diantaranya adalah riwayat Saif bin Umar. Maka hal ini menguatkan dugaan bahwa “sekelompok ahli ilmu” yang dimaksud Al Kasyiy adalah dari kalangan ahlus sunnah.
Berbeda halnya
dengan “sekelompok ahli ilmu” yang dinukil oleh Al Kasyiy, Syaikh Ath
Thuusiy dalam kitab Rijal-nya menyebutkan tentang ‘Abdullah bin Sabaa’
dengan lafaz berikut:
عبد الله بن سبا، الذي رجع إلى الكفر وأظهر الغلو
‘Abdullah bin Sabaa’, termasuk orang yang kembali pada kekafiran dan menampakkan ghuluw [Rijal Ath Thuusiy hal 75].
Apa yang
dikatakan oleh Syaikh Ath Thuusiy di atas memiliki dasar dari riwayat
shahih mazhab Syi’ah sebagaimana telah dibuktikan di atas bahwa Abdullah
bin Sabaa’ telah kufur karena menyatakan Rububiyah Aliy bin Abi Thalib.
.
Tidak
disebutkan dalam riwayat-riwayat di atas apakah Aliy bin Abi Thalib
membakar Abdullah bin Sabaa’ hidup-hidup atau membunuhnya terlebih
dahulu baru kemudian membakar jasadnya. Tetapi terdapat qarinah yang
menguatkan bahwa Aliy bin Abi Thalib mungkin membakarnya hidup-hidup.
Dalam salah satu riwayat shahih Syi’ah disebutkan
علي بن إبراهيم، عن أبيه، عن ابن أبي عمير، عن هشام بن سالم، عن أبي عبد الله عليه السلام قال: أتى قوم أمير المؤمنين عليه السلام فقالوا: السلام عليك يا ربنا فاستتابهم فلم يتوبوا فحفر لهم حفيرة وأوقد فيها نارا وحفر حفيرة أخرى إلى جانبها وأفضى ما بينهما فلما لم يتوبوا ألقاهم في الحفيرة وأوقد في الحفيرة الأخرى [نارا] حتى ماتوا
Aliy bin
Ibrahiim dari Ayahnya dari Ibnu Abi Umair dari Hisyaam bin Saalim dari
Abi ‘Abdullah [‘alaihis salaam] yang berkata “datang suatu kaum kepada
Amirul Mukminin [‘alaihis salaam] maka mereka berkata “salam untukmu
wahai Tuhan kami”. Maka Beliau meminta mereka untuk bertaubat tetapi
mereka tidak mau bertaubat. Beliau membuat
lubang untuk mereka, menyalakan api di dalamnya dan membuat lubang lagi
di sisi lainnya dan menghubungkan diantara keduanya, maka ketika mereka
tidak mau bertaubat, Beliau memasukkan mereka ke dalam lubang dan
menyalakan lubang yang lain dengan api hingga akhirnya mereka mati [Al Kafiy Al Kulainiy 7/258-259 no 18].
Riwayat Al Kafiy di atas sanadnya shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah berikut keterangan mengenai para perawinya
-
Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680].
-
Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222].
-
Muhammad bin Abi Umair, ia termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah] maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218].
-
Hisyaam bin Saalim meriwayatkan dari Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] ia tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 434 no 1165].
Walaupun memang
dalam riwayat di atas masih terdapat kemungkinan bahwa mereka bukan
mati terbakar tetapi mati karena asap dari api yang menyala di lubang
yang satunya.
.
Kemudian para pembenci Syi’ah seperti yang dapat para pembaca lihat salah satunya disini,
mengutip salah satu riwayat dari Imam Ja’far bahwa tidak boleh
menghukum dengan azab Allah, mereka menyebutkan telah mengutip riwayat
tersebut dari Kitab Gunahane Kabira oleh Ayatullah Dastaghaib Shiraziy.
Kalau dilihat
sepintas memang penulis situs tersebut agak aneh ketika membawakan
riwayat tentang Abdullah bin Sabaa’ ia mengutip dari kitab sumber
hadisnya [Rijal Al Kasyiy] tetapi ketika ia mengutip hadis larangan
membakar, ia malah mengutip kitab bahasa parsi yang bukan kitab sumber
hadisnya. Seperti biasa nampak bagi saya bahwa penulis situs tersebut
hanya mengkopipaste hujjah para sahabatnya di forum pembenci Syi’ah.
Riwayat yang
dijadikan hujjah oleh mereka para pembenci Syi’ah tersebut, telah
disebutkan oleh Al Majlisiy dalam Bihar Al Anwar 79/45 dan Al Hurr Al
Amiliy dalam Wasa’il Syi’ah 3/29-30
الحسن بن يوسف بن المطهر العلامة في ( منتهى المطلب ) رفعه قال : إن امرأة كانت تزني وتوضع أولادها وتحرقهم بالنار خوفا من أهلها ، ولم يعلم به غير أمها ، فلما ماتت دفنت فانكشف التراب عنها ولم تقبلها الارض ، فنقلت من ذلك المكان إلى غيره ، فجرى لها ذلك ، فجاء أهلها إلى الصادق ( عليه السلام ) وحكوا له القصة ، فقال لامها : ما كانت تصنع هذه في حياتها من المعاصي ؟ فأخبرته بباطن أمرها ، فقال الصادق ( عليه السلام ) : إن الارض لا تقبل هذه ، لانها كانت تعذب خلق الله بعذاب الله ، اجعلوا في قبرها شيئا من تربة الحسين ( عليه السلام ) ، ففعل ذلك بها فسترها الله تعالى
Al Hasan
bin Yuusuf bin Muthahhar Al Allamah dalam Muntaha Al Mathlab,
merafa’kan, [perawi] berkata “bahwa seorang wanita pezina membakar
anak-anaknya dengan api karena takut kepada keluarganya, tidak ada yang
mengetahui perbuatannya kecuali Ibunya, ketika ia wafat dan dikuburkan
maka bumi mengeluarkannya dan tidak menerima jasadnya, maka kemudian
dipindahkan ke tempat lainnya dan ternyata juga terjadi hal yang sama,
maka keluarganya datang kepada Ash Shaadiq [‘alaihis salaam] dan
menceritakan kepada Beliau peristiwa tersebut. Maka Beliau berkata
kepada ibunya “dosa apa yang pernah ia lakukan semasa hidupnya?”. Ibunya
menceritakan kepada Beliau perbuatannya. Maka
Ash Shaadiq [‘alaihis salaam] berkata “sesungguhnya bumi tidak
menerimanya karena ia telah menyiksa ciptaan Allah dengan siksaan Allah
[api], kemudian Beliau menempatkan pada kuburnya sedikit dari
tanah kuburan Husain [‘alaihis salaam], maka ketika hal itu dilakukan,
Allah ta’ala menutup kuburnya [Wasa’il Syi’ah Syaikh Al Hurr Al Amiliy
3/29-30]
منتهى المطلب: قال: روي أن امرأة كانت تزني وتضع أولادها فتحرقهم بالنار، خوفا من أهلها، ولم يعلم بها غير أمها، فلما ماتت دفنت، فانكشف التراب عنها ولم تقبلها الأرض، فنقلت من ذلك المكان إلى غيره، فجرى لها ذلك، فجاء أهلها إلى الصادق عليه السلام وحكوا له القصة، فقال لامها ما كانت تصنع هذه في حياتها من المعاصي؟ فأخبرته بباطن أمرها، فقال الصادق عليه السلامإن الأرض لا تقبل هذه لأنها كانت تعذب خلق الله بعذاب الله، اجعلوا في قبرها من تربة الحسين عليه السلام، ففل ذلك بها فسترها الله تعالى
Muntaha Al
Mathlab : berkata : diriwayatkan bahwa seorang wanita pezina membakar
anak-anaknya dengan api karena takut kepada keluarganya, tidak ada yang
mengetahui perbuatannya kecuali Ibunya, ketika ia wafat dan dikuburkan
maka bumi mengeluarkannya dan tidak menerima jasadnya, maka kemudian
dipindahkan ke tempat lainnya dan ternyata juga terjadi hal yang sama,
maka keluarganya datang kepada Ash Shaadiq [‘alaihis salaam] dan
menceritakan kepada Beliau peristiwa tersebut. Maka Beliau berkata
kepada ibunya “dosa apa yang pernah ia lakukan semasa hidupnya?”. Ibunya
menceritakan kepada Beliau perbuatannya. Maka
Ash Shaadiq [‘alaihis salaam] berkata “sesungguhnya bumi tidak
menerimanya karena ia telah menyiksa ciptaan Allah dengan siksaan Allah
[api], kemudian Beliau menempatkan pada kuburnya sedikit dari
tanah kuburan Husain [‘alaihis salaam], maka ketika hal itu dilakukan,
Allah ta’ala menutup kuburnya [Bihar Al Anwar Al Majlisiy 79/45].
Al Majlisiy dan
Al Hurr Al Amiliy menukil riwayat tersebut dari kitab Muntaha Al
Mathlab Allamah Al Hilliy, dan inilah yang disebutkan dalam kitab
tersebut
فقد روى أن امرأة كانت تزني تضع أولادها فتحرقهم بالنار خوفا من أهلها ولم يعلم به غير أمها فلما ماتت دفنت فانكشف التراب عنها ولم تقبلها الأرض فنقلت عن ذلك الموضع إلى غيره فجرى لها ذلك فجاء أهلها إلى الصادق عليه السلام وحكوا له القصة فقال لامها ما كانت تصنع هذه في حيوتها من المعاصي فأخبرته بباطن أمرها فقال عليه السلام أن الأرض لا تقبل هذه لأنها كانت تعذب خلق الله بعذاب الله اجعلوا في قبرها شيئا من تربة الحسين عليه السلام ففعل ذلك فسترها الله تعالى
Sungguh telah diriwayatkan
bahwa seorang wanita pezina membakar anak-anaknya dengan api karena
takut kepada keluarganya, tidak ada yang mengetahui perbuatannya kecuali
Ibunya, ketika ia wafat dan dikuburkan maka bumi mengeluarkannya dan
tidak menerima jasadnya, maka kemudian dipindahkan ke tempat lainnya dan
ternyata juga terjadi hal yang sama, maka keluarganya datang kepada Ash
Shaadiq [‘alaihis salaam] dan menceritakan kepada Beliau peristiwa
tersebut. Maka Beliau berkata kepada ibunya “dosa apa yang pernah ia
lakukan semasa hidupnya?”. Ibunya menceritakan kepada Beliau
perbuatannya. Maka Ash Shaadiq [‘alaihis
salaam] berkata “sesungguhnya bumi tidak menerimanya karena ia telah
menyiksa ciptaan Allah dengan siksaan Allah [api], kemudian
Beliau menempatkan pada kuburnya sedikit dari tanah kuburan Husain
[‘alaihis salaam], maka ketika hal itu dilakukan, Allah ta’ala menutup
kuburnya [Muntaha Al Mathlab Allamah Al Hilliy 1/461].
Seperti yang
dapat para pembaca lihat sumber hadis tersebut ternyata adalah nukilan
ulama yang tidak bersanad, maka berdasarkan standar ilmu hadis Syi’ah
hadis tersebut tidak bisa dijadikan hujjah karena tidak ada sanadnya.
Bagaimana mungkin riwayat dengan
kedudukan seperti ini dijadikan hujjah untuk menentang riwayat shahih
bahkan menurut bahasa lebay para pembenci Syi’ah telah meruntuhkan
kema’shuman Imam ahlul bait dalam mazhab Syi’ah. Saran kami kepada
penulis situs tersebut, ada baiknya anda belajar bersikap objektif dan
merujuk kepada kitab hadis serta menerapkan metode ilmiah, sebelum anda
berbicara sok soal mazhab orang lain. Alangkah lucunya ketika anda
menuliskan sebuah tulisan panjang untuk merendahkan Syi’ah ternyata inti
tulisan tersebut berhujjah pada riwayat dhaif di sisi mazhab Syi’ah.
.
Kesimpulan:
Dalam mazhab Syi’ah, hadis larangan
membakar atau menyiksa dengan siksaan Allah kedudukannya dhaif sehingga
walaupun telah shahih bahwa Imam Aliy membakar ‘Abdullah bin Sabaa’ maka
hal itu tidaklah bertentangan dengan kema’shuman Imam dalam mazhab
Syi’ah.
Adapun dalam mazhab Ahlus Sunnah
[berdasarkan pendapat yang rajih dan menjadi pegangan kami] telah
berlalu penjelasannya dalam beberapa tulisan kami [bisa dilihat di
daftar artikel] bahwa tidak shahih Imam Aliy membakar orang-orang murtad hidup hidup, yang benar adalah Beliau membunuh mereka kemudian membakar jasadnya.
Dalam pandangan kami, hal ini adalah kekhususan bagi Beliau dan tidak
bertentangan dengan hadis larangan menyiksa dengan siksaan Allah SWT.
(Secondprince/Syiahali/ABNS)
(Secondprince/Syiahali/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email