Imam-imam ahlu sunnah terbagi dua, yaitu: Imam-imam dalam masalah fiqh dan Imam-imam masalah aqidah. Dalam masalah fiqh mereka mengikuti empat orang imam terkenal pemilik mazhab yang empat yaitu, Imam Abu Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali.
Imam-imam yang empat itu bukanlah merupakan genertasi sahabat Rasulullah SAW maupun tabi’in, sehingga Rasul SAW tidak mengenal mereka , dan merekapun tidak mengenal Rasul SAW.Dari keempat imam tersebut, Abu Hanifah merupakan imam yang paling tua dimana usianya terpaut lebih dari dua ratus tahun dengan Rasul SAW. Adapun dalam masalah aqidah, ahlu sunnah mengikuti Al Asy’ari yang lahir tahun 270 H.Imam-imam inilah yang merupakan imam yang di ikuti dikalangan ahlu Sunnah dalam masalah aqidah dan Syari’at.
Nah…coba anda perhatikan, adakah dari imam-imam ini yang merupakan imam Ahlu Bait atau sahabat Nabi? Tentu tidak . Lantas mengapa mereka yang mengaku memegang teguh sunnah Nabi mengakhirkan atau mengunci mazhab yang empat ini hingga masa tersebut? Dimana Ahlu Sunnah sebelum munculnya para imam mazhab-mazhab itu ? dan bagaimana mereka beribadah, serta kepada siapa mereka berhukum sebelum itu? Dan bagaimana mereka bisa percaya kepada orang-orang yang tidak semasa dengan Nabi SAW dan Nabi pun tidak mengenal mereka, sementara ketika mereka muncul , fitnah dan peperangan sesama sahabat Nabi SAW dan diantara pengikut mazhab mereka terlah terjadi dimana-mana?
Pembaca yang saya hormati, cobalah anda berpikir secara jernih! Dapatkah sesorang yang berpikir sehat menerima para imam tersebut saat ketika fitnah dan kekacauan merajalela? Hanya karna dukungan politik dari penguasa Bani Umayyah dan Bani Abbasiah keempat mazhab tersebut dapat berkembang ditengah masyarakat(Silahkan lihat dikitab Ahlu Sunnah, Al Intifa’Ibnu Abdul Bar, Dhahral Al Islam Ahmad Amin dan manakib Abu Hanifah Al Muwafiq}.
Bagaimana sesorang yang mengaku Ahlu Sunnah Nabi meninggalkan Sayyidina Ali, gerbang ilmu pengetahuan (lihat di shahih Muslim, bagian Keutamaan-keutamaan Sayyidina Ali, jilid 4 hal 1871).Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein penghulu pemuda di surga, serta Imam suci dari keluarga Nabi SAW yang telah mewarisi ilmu yang sebenarnya! Apakah pantas mereka mengaku sebagai pembela Sunah Nabi sementara pada saat yang sama mereka malah meninggalkan wasiat Nabi untuk mengikuti para Imam yang Suci? Cobalah anda perhatikan , kepentingan politik telah merubah segalnya, yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar. Kaum syi’ah yang memegang teguh wasiat Nabi dibilang pembangkang dan ahli bad’ah, sementara mereka yang tidak memegang teguh wasiat Nabi malah disebut pengikut sunnah Nabi. Dan saya yakin bahwa otak dari semua ini adalah orang Quraisy, karna mereka terkenal dengan pribadi-pribadi yang fanatik dan licik. Diantara para pembesar – pembesar ini adalah , Abu Sufyan, Mu’awiyyah bin Abu Sufyan, Marwan bin Hakam, Thalhah bin Ubaidillah dan Abu Ubaidillah bin Jarrah. Mereka bermusyawarah dan bermufakat untuk menyebarkan berita-berita palsu ditengah-tengah masyarakat, tanpa diketahui oleh orang lain rahasia yang sebenarnya.
Diantara politik yang mereka lakukan adalah, menjadikan Nabi SAW tidak ma’sum dan tidak luput dari kesalahan seperti manusia biasa lainya, juga tuduhan-tuduhan dan caci maki mereka teradap Sayyidina Ali yang mereka hina dengan panggilan Abu Turab. Demi kian pula cacian dan kutukan terhadap Ammar bin Yassir yang mereka sebut sebagai Abdullah bin Saba atau Ibnu Sauda, karna Ammar menyerukan mengangkatan Sayyidina Ali sebagai khalifah(silahkan anda lihat buku Musthafa Kamil Al Syaibani yang memaparkan sejumlah bukti dusta rekaya yang menggelikan bahwa Abdullah bin Saba tidak lain adalah Ammar bin Yassir.)Demi kian pula rekayasa mereka yang menyebut diri mereka sebagai Ahlu Sunnah, supaya orang Islam menyangka bahwa merekalah yang memegang teguh Sunnah Nabi. Pada hakekatnya “sunnah “ yang mreka maksudkan tidak lain adalah bid’ah yang mereka ciptakan untuk mengutuk Sayyidina Ali dan keluarga Nabi SAW di seluruh polosok negri. “Bid’ah tersebut berlangsung lebih dari 80 tahun, hingga saat itu jika seorang khatif selesai dari khutbahnya dipastikan sebelum turun dari mimbabar akan berteriak “ saya meningalkan sunnah, saya meninggalkan sunnah! Dan tatkala Umar bin Abdul Aziz brusaha menggatikan sunnah itu dengan firman Allah ,”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menegakkan keadilan dan kebaikan”(An Nahl;90) dan mereka bersekongkol membunuhnya dengan racun pada usia 32 tahun disaat itu baru menjabad khalifah kurang lebih dua tahun , karena usahanya untuk menghapus sunnah nenek moyang mereka sebelumnya dari Bani Umayyah dan setelah jatuhnya Bani Umayyah. Upaya menindasan dan menghinaan terhadap Sayyidina Ali dan pengikutnya terus dilakukan oleh penguasa-penguasa baru Bani Abbasiah yang mencapai puncaknya pada masa khalifah Ja’far Al Muthasim Al Muttawakkil yang berusaha membongkar habis kuburan cucu Nabi SAW, yaitu Sayyidina Husein di Karbala dan melarang para peziarah untuk mengunjunginya (Karna demi kian beratnya hinaan, cacian dan siksaan yang harus ditanggung oleh pengikut Sayyidina Ali dari para penguasa saat itu , sampai-sampai mereka lebih baik mengaku Yahudi dari pada mengaku Syi’ah.).
Khalifah Al Mutawakkil juga dikenal sebagai satu-satunya pengusa yang pernah membunuh semua bayi yang namanya Ali, karna ia emembenci mendengar nama itu.
Diceritakan
bahwa Ali bin Jahm adalah seorang penyair tenar pada saat itu , tatkala
berjumpa dengan Mutawakkil , ia menyatakan ; “Hai Amirul Mu’minin
keluargaku telah mendurhakai aku dan Amirul Mu’minin”
“Kenapa?” tanya Al Mutawakkil
“Karna mereka menamakan diriku Ali, padahal aku paling benci nama itu”
Al
Mutawakkil lantas terbahak-bahak dan memberikan sejumlah hadiah. Dan
Khalifah Al Mutawakkil inilah yang oleh para ahli hadist Sunni disebut-
sebagai pembangkit Sunnah.
Untuk
memperjelas riwayat di atas, Imam Al Khawarizmi menulis dalam bukunya :
“Harun dan Ja’far” Al Mutawakkil adalah mengukut setan, setiap orang
yang mencaci maki Sayyidina Ali pasti mendapat kiriman
hadiah.(Kitab Al Khawarizmi hal ,135) Dalam buku lain Ibnu Hajar
meriwayatkan dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal : bahwa Nasir bin Ali bin Sahban berkata di hadapan Al Mutawakkil ;
“Dulu
Rasullullah SAW pernah mengangkat tangan Sayyidina Hasan dan Sasyyidina
Husain sambil berkata”Siapa yang menyakitiku dan kedua anakku ini, maka
ia bersamaku pada hari kiamat di surga”. Mendengar hadist ini Al Mutawakkil mencambuknya 100 kali . Dan saat ia menemui ajalnya , Ja’far bin Abdul Wahid membisikan pada Al Mutawakkil ,”Ya Amiral Mu’minin, ia merupakan pengikut Ahlu Sunnah! (Ibnu Hajar, Tahzib Al Tahzib)
Dari
sini jelaslah bahwa kutukan dan cacian terhadap Sayyidina Ali dipandang
sebagai dukungan terhadap simbul Ahlu Sunnah . Dan Mereka Menuduh
Syi’ah yang mendukung kepemimpinan Sayyidina Ali sebagai Ahli Bid’ah
karna mereka tidak mengikuti pendapat Sahabat dan Khulafa Al Rasyidin
yang tidak mengakui kepemimpinan Sayyidina Ali.
Saya rasa bukti-bukti sejarah yang saya ungkap sudah lebih dari cukup dan anda para pembaca yang saya hormati, saya persilahkan untuk meneliti lebih jauh kebenaran yang saya ungkap tersebut”Sesungguhnya orng-orang yang bersusaha keras unrtuk menemukan kebenaran, niscaya kami tunjuki mereka jalan yang lurus, dan sesungguhnya Allah bersana orang-orang yang berbuat kebajikan”(Al Ankabuut: 69)
Saya rasa bukti-bukti sejarah yang saya ungkap sudah lebih dari cukup dan anda para pembaca yang saya hormati, saya persilahkan untuk meneliti lebih jauh kebenaran yang saya ungkap tersebut”Sesungguhnya orng-orang yang bersusaha keras unrtuk menemukan kebenaran, niscaya kami tunjuki mereka jalan yang lurus, dan sesungguhnya Allah bersana orang-orang yang berbuat kebajikan”(Al Ankabuut: 69)
Ali selalu bersama Al Qur’an dan Al Qur’an selalu bersamanya, keduanya tidak akan pernah berpisah sampai bertemu denganku kelak ditelaga surga (Al-Mustadrak Al Hakim, juz 3.hal.124).
_____________________
Penjelasan:
Kedudukan Riwayat Wasiat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] Kepada Aliy bin Abi Thalib Dalam Kitab Al Ghaibah Ath Thuusiy.
Beberapa waktu yang lalu ada diantara
para pembaca yang meminta kami membahas mengenai hadis dua belas Imam
atau dua belas khalifah. Di sisi Sunni hadis dua belas khalifah dari
Quraisy kedudukannya shahih hanya saja tidak ada hadis Sunni yang shahih
menyebutkan siapa nama-nama mereka. Sedangkan di sisi Syi’ah hadis dua
belas imam kedudukannya shahih dan terdapat hadis yang menyebutkan
nama-nama siapa kedua belas imam yang dimaksud.
Sebenarnya sebelumnya kami pernah membahas sedikit mengenai hadis dua belas imam di sisi Syi’ah walaupun sebenarnya pokok bahasan yang kami bahas adalah kedustaan nashibiy yang menuduh Al Kulainiy mengubah sanad hadisnya.
Hadis dua belas imam yang dimaksud sudah
sedikit dibahas dalam tulisan tersebut dan kedudukannya shahih
berdasarkan ilmu Rijal Syi’ah. Jadi di sisi mazhab Syi’ah telah shahih
dalil Imamah dua belas imam mereka.
Seperti yang kami katakan bahwa kami
bukan penganut Syi’ah oleh karena itu hadis-hadis shahih di sisi mazhab
Syi’ah tidak menjadi hujjah bagi kami maka dari itu sampai sekarang kami
tetap meyakini keshahihan hadis dua belas khalifah tetapi tidak
memiliki bukti shahih siapa nama-nama mereka.
.
Dalam tulisan kali ini kami akan
membawakan salah satu hadis Syi’ah yang lain dan juga menyebutkan nama
kedua belas Imam yaitu riwayat Ath Thuusiy dalam kitabnya Al Ghaibah.
Hadis ini kami bahas karena kami melihat terdapat salah seorang pembenci Syi’ah yang juga membahasnya dalam tulisan khusus.
Disini kami akan berusaha membahas secara objektif bagaimana sebenarnya
kedudukan hadis tersebut berdasarkan standar ilmu hadis Syi’ah. Berikut
hadis yang dimaksud
أخبرنا جماعة عن أبي عبد الله الحسين بن علي بن سفيان البزوفري عن علي بن سنان الموصلي العدل عن علي بن الحسين عن أحمد بن محمد بن الخليل عن جعفر بن أحمد المصري عن عمه الحسن بن علي عن أبيه عن أبي عبد الله جعفر بن محمد عن أبيه الباقر عن أبيه ذي الثفنات سيد العابدين عن أبيه الحسين الزكي الشهيد عن أبيه أمير المؤمنين عليه السلام قال قال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم في الليلة التي كانت فيها وفاته لعلي عليه السلام يا أبا الحسن أحضر صحيفة ودواة. فأملا رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم وصيته حتى انتهى إلى هذا الموضع فقال يا علي إنه سيكون بعدي اثنا عشر إماما ومن بعدهم إثنا عشر مهديا، فأنت يا علي أول الاثني عشر إماما سماك الله تعالى في سمائه عليا المرتضى، وأمير المؤمنين، والصديق الأكبر، والفاروق الأعظم، والمأمون، والمهدي، فلا تصح هذه الأسماء لاحد غيرك يا علي أنت وصيي على أهل بيتي حيهم وميتهم، وعلى نسائي: فمن ثبتها لقيتني غدا، ومن طلقتها فأنا برئ منها، لم ترني ولم أرها في عرصة القيامة، وأنت خليفتي على أمتي من بعدي فإذا حضرتك الوفاة فسلمها إلى ابني الحسن البر الوصول فإذا حضرته الوفاة فليسلمها إلى ابني الحسين الشهيد الزكي المقتول فإذا حضرته الوفاة فليسلمها إلى ابنه سيد العابدين ذي الثفنات علي، فإذا حضرته الوفاة فليسلمها إلى ابنه محمد الباقر فإذا حضرته الوفاة فليسلمها إلى ابنه جعفر الصادق، فإذا حضرته الوفاة فليسلمها إلى ابنه موسى الكاظم، فإذا حضرته الوفاة فليسلمها إلى ابنه علي الرضا، فإذا حضرته الوفاة فليسلمها إلى ابنه محمد الثقة التقي، فإذا حضرته الوفاة فليسلمها إلى ابنه علي الناصح، فإذا حضرته الوفاة فليسلمها إلى ابنه الحسن الفاضل، فإذا حضرته الوفاة فليسلمها إلى ابنه محمد المستحفظ من آل محمد عليهم السلام فذلك اثنا عشر إماما، ثم يكون من بعده اثنا عشر مهديا، (فإذا حضرته الوفاة) فليسلمها إلى ابنه أول المقربين له ثلاثة أسامي: اسم كإسمي واسم أبي وهو عبد الله وأحمد، والاسم الثالث: المهدي، هو أول المؤمنين
Telah mengabarkan kepada kami jama’ah
dari Abi ‘Abdullah Husain bin Aliy bin Sufyaan Al Bazuufariy dari Aliy
bin Sinaan Al Maushulliy Al ‘Adl dari Aliy bin Husain dari Ahmad bin
Muhammad bin Khaliil dari Ja’far bin Ahmad Al Mishriy dari pamannya
Hasan bin Aliy dari Ayahnya dari Abi ‘Abdullah Ja’far bin Muhammad dari
Ayahnya Al Baqir dari Ayahnya [Aliy bin Husain] dziy tsafanaat sayyidul
‘aabidiin dari Ayahnya Husain Az Zakiy Asy Syahiid dari Ayahnya amirul
mukminin [‘alaihis salaam] yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wa aalihi wasallam] berkata kepada Aliy [‘alaihis salaam] pada malam
menjelang kewafatannya “wahai Abul Hasan ambilkan kertas dan tinta” maka
Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam] membacakan
wasiatnya sampai akhirnya Beliau berkata “wahai Aliy, akan ada setelahku
dua belas Imam dan setelah mereka ada dua belas Mahdi, Allah menyebutmu
dalam langit-Nya Aliy Al Murtadha, Amirul Mukminin, Shiddiq Al Akbar,
Faaruuq Al A’zham, Al Ma’mun dan Al Mahdiy, dan sebutan ini tidak
diberikan kepada orang lain selain engkau. Wahai
Aliy engkau adalah washiy-ku atas ahlul baitku hidup dan mati mereka
dan juga atas istri-istriku, barang siapa diantara mereka yang aku
pertahankan maka ia akan berjumpa denganku kelak, dan barang siapa yang
aku ceraikan maka aku berlepas diri darinya, ia tidak akan melihatku dan
aku tidak akan melihatnya di padang mahsyar. Wahai Aliy
engkau adalah khalifahku untuk umatku sepeninggalku, maka jika telah
dekat kewafatanmu maka serahkanlah kepada anakku Al Hasan Al Birr Al
Wushuul dan jika telah dekat kewafatannya maka ia serahkan kepada anakku
Al Husain Asy Syahiid Az Zakiy yang akan terbunuh, dan jika telah dekat
kewafatannya maka ia serahkan kepada anaknya Muhammad Al Baqir dan jika
telah dekat kewafatannya maka ia serahkan kepada anaknya Ja’far Ash
Shadiq dan jika telah dekat kewafatannya maka ia serahkan kepada anaknya
Muusa Al Kaazhim dan jika telah dekat kewafatannya maka ia serahkan
kepada anaknya Aliy Ar Ridha dan jika telah dekat kewafatannya maka ia
serahkan kepada anaknya Muhammad Ats Tsiqat At Taqiy dan jika telah
dekat kewafatannya maka ia serahkan kepada anaknya Aliy An Naashih dan
jika telah dekat kewafatannya maka ia serahkan kepada anaknya Al Hasan
Al Fadhl dan jika telah dekat kewafatannya maka ia serahkan kepada
anaknya Muhammad, orang yang terpelihara dari keluarga Muhammad
[‘alaihis salaam]. Mereka itulah kedua belas Imam dan setelahnya akan
ada dua belas Mahdiy, maka jika dekat kewafatannya maka ia serahkan
kepada anaknya yang pertama dan paling dekat, ia memiliki tiga nama
yaitu nama sepertiku dan nama ayahku Abdullah dan Ahmad dan nama yang
ketiga adalah Al Mahdiy dan ia adalah orang pertama yang beriman [Al
Ghaibah Syaikh Ath Thuusiy 150-151 no 111].
Riwayat di atas juga disebutkan Al
Majlisiy dalam Bihar Al Anwar 36/260. Hadis ini berdasarkan ilmu Rijal
Syi’ah kedudukannya dhaif jiddan bahkan maudhu’ karena di dalam sanadnya
terdapat
- Aliy bin Sinaan Al Maushulliy seorang yang majhul.
- Aliy bin Husain yang meriwayatkan dari Ahmad bin Muhammad bin Khalil tidak didapatkan keterangannya dari kitab Rijal Syi’ah.
- Ahmad bin Muhammad bin Khalil seorang yang dhaif jiddan, pendusta, pemalsu hadis.
- Ja’far bin Ahmad Al Mishriy tidak dikenal kredibilitasnya dalam kitab Rijal Syi’ah maka kedudukannya majhul.
- Hasan bin Aliy dan Ayahnya tidak didapatkan keterangannya dari kitab Rijal Syi’ah.
Jadi hanya Aliy bin Sinaan, Ahmad bin
Muhammad bin Khalil, dan Ja’far bin Ahmad Al Mishriy yang disebutkan
biografinya dalam kitab Rijal Syi’ah tanpa ada keterangan mengenai
kredibilitas mereka
.
.
Aliy bin Sinaan Al Maushulliy
disebutkan dalam kitab Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits bahwa ia
seorang yang majhul [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits Muhammad Al
Jawahiriy hal 398]
Ja’far bin Ahmad Al Mishriy
disebutkan oleh Asy Syahruudiy dalam Mustadrakat Ilm Rijal dengan lafaz
“mereka [para ulama] tidak menyebutkan tentangnya, ia meriwayatkan dari
pamannya Hasan bin Aliy dari Ayahnya dari maula kami Ash Shadiq dan
telah meriwayatkan darinya Ahmad bin Muhammad bin Khalil” [Mustadrakat
Ilm Rijal Al Hadits 2/143 no 2533, Syaikh Aliy Asy Syahruudiy].
أحمد بن محمد بن الخليل أبو عبد الله لم يذكروه، وقع في طريق الشيخ عن علي بن الموصلي، عن علي بن الحسين، عنه، عن جعفر بن محمد المصري، عن عمه الحسين بن علي، عن أبيه، عن الصادق
Ahmad bin Muhammad bin Khalil Abu
‘Abdullah, mereka [para ulama] tidak menyebutkan tentangnya, terdapat
dalam jalan Syaikh [Ath Thuusiy] dari Aliy bin Al Maushulliy dari Aliy
bin Husain darinya dari Ja’far bin Muhammad Al Mishriy dari pamannya
Husain bin Aliy dari Ayahnya dari Ash Shaadiq [Mustadrakat Ilm Rijal Al
Hadits 1/434 no 1532, Syaikh Aliy Asy Syahruudiy]
.
.
Begitulah yang disebutkan oleh Asy
Syahruudiy tetapi sebenarnya kalau diteliti lebih lanjut maka Ahmad bin
Muhammad bin Khalil adalah Ahmad bin Muhammad Al Khaliliy Al ‘Amiliy.
Syaikh Ath Thuusiy menyebutkan dalam kitab Al Ghaibah salah satu hadis
dengan sanad berikut:
وأخبرنا جماعة، عن التلعكبري، عن أبي علي أحمد بن علي الرازي الأيادي قال أخبرني الحسين بن علي، عن علي بن سنان الموصلي العدل، عن أحمد بن محمد الخليلي، عن محمد بن صالح الهمداني
Dan telah mengabarkan kepada kami
Jama’ah dari At Tal’akbariy dari Abi Aliy Ahmad bin Aliy Ar Raaziy Al
Iyaadiy yang berkata telah mengabarkan kepadaku Husain bin Aliy dari
Aliy bin Sinaan Al Maushulliy Al ‘Adl dari Ahmad bin Muhammad Al Khaliliy dari Muhammad bin Shalih Al Hamdaaniy…[Al Ghaibah Ath Thuusiy hal 147 no 109].
Riwayat Ath Thuusiy di atas menunjukkan
bahwa Aliy bin Sinaan juga meriwayatkan dari Ahmad bin Muhammad Al
Khaliliy tanpa perantara, kemudian disebutkan dalam riwayat berikut
حدثنا أبو الحسن علي بن سنان الموصلي المعدل، قال أخبرني أحمد بن محمد الخليلي الآملي، قال حدثنا محمد بن صالح الهمداني، قال
Telah menceritakan kepada kami Abu Hasan Aliy bin Sinan Al Maushulliy Al Mu’adl yang berkata telah mengabarkan kepadaku Ahmad bin Muhammad Al Khaliliy Al Aamiliy
yang berkata telah menceirtakan kepada kami Muhammad bin Shalih Al
Hamdaaniy yang berkata…[Muqtadhab Al ‘Atsar Ahmad bin ‘Ayaasy Al
Jauhariy hal 10].
Kedua riwayat di atas membuktikan bahwa
Ahmad bin Muhammad bin Khalil yang dimaksud adalah Ahmad bin Muhammad Al
Khaliliy Al ‘Amiliy. Para ulama Rijal Syi’ah telah menyebutkan
tentangnya,
أحمد بن محمد أبو عبد الله الآملي الطبري ضعيف جدا، لا يلتفت إليه
Ahmad bin Muhammad Abu ‘Abdullah Al
‘Amiliy Ath Thabariy dhaif jiddan, tidak perlu dihiraukan dengannya
[Rijal An Najasyiy hal 96 no 238].
أحمد بن محمد، الطبري، أبو عبد الله، الخليلي الذي يقال له غلام خليل، الآملي كذاب، وضاع للحديث، فاسد [المذهب] لا يلتفت إليه
Ahmad bin Muhammad Ath Thabariy Abu
‘Abdullah Al Khaliliy yang dikatakan padanya ghulaam Khalil Al ‘Amiliy
seorang pendusta, pemalsu hadis, jelek mazhabnya tidak perlu dihiraukan
dengannya [Rijal Ibnu Ghada’iriy hal 42]
أحمد بن محمد، أبو عبد الله الخليلي، الذي يقال له غلام خليل، الآملي الطبري ضعيف جدا، لا يلتفت إليه، كذاب وضاع للحديث، فاسد المذهب
Ahmad bin Muhammad Abu ‘Abdullah Al
Khaliliy, dikatakan padanya ghulam Khalil, Al ‘Amiliy Ath Thabariy dhaif
jiddaan tidak perlu dihiraukan dengannya, pendusta, pemalsu hadis,
jelek mazhabnya [Khulashah Al ‘Aqwaal Allamah Al Hilliy hal 323-324 no
20].
Oleh karena itu pendapat yang rajih Ahmad
bin Muhammad bin Khalil adalah Ahmad bin Muhammad Al Khaliliy Al
‘Amiliy seorang yang dhaif jiddaan pendusta dan pemalsu hadis.
.
Berdasarkan pembahasan di atas maka tidak
diragukan kalau kedudukan hadis wasiat yang disebutkan Syaikh Ath
Thuusiy dalam Al Ghaibah di atas adalah dhaif jiddaan bahkan maudhu’.
Memang jika diperhatikan dengan baik
matan riwayat tersebut termasuk aneh atau gharib dalam sudut pandang
mazhab Syi’ah karena riwayat di atas menyebutkan bahwa ada dua belas
Imam kemudian akan ada dua belas Mahdiy. Dalam aqidah ushul mazhab
Syi’ah yang pernah kami baca dalam kitab-kitab mereka terdapat
keterangan mengenai Imamah kedua belas imam ahlul bait tetapi tidak ada
disebutkan mengenai dua belas Mahdiy yang akan datang setelah kedua
belas Imam. Bahkan yang shahih dalam mazhab Syi’ah bahwa Mahdiy yang
dimaksud adalah Imam kedua belas.
Adapun Salah seorang pembenci Syi’ah yang
kami sebutkan sebelumnya, ia membawakan riwayat Ath Thuusiy dalam
tulisannya dan berdalil dengan riwayat tersebut untuk menunjukkan bahwa
Aisyah [radiallahu ‘anha] salah seorang istri Rasulullah [shallallahu
‘alaihi wasallam] adalah ahli surga.
Pada awalnya kami cukup gembira melihat
hadis ini karena hadis ini menunjukkan bahwa dalam kitab Syi’ah terdapat
dalil yang membuktikan bahwa Aisyah [radiallahu ‘anha] adalah ahli
surga. Maka kami berusaha meneliti untuk membuktikan keshahihan hadis
tersebut tetapi ternyata sayang sekali riwayat tersebut sangat lemah
sekali di sisi mazhab Syi’ah. Hal ini membuktikan bahwa anda para
pembaca harus selalu berhati-hati dengan tulisan-tulisan para pembenci
Syi’ah, silakan teliti lebih lanjut dengan objektif untuk mengetahui
kebenarannya karena mereka para pembenci Syi’ah pada dasarnya bukan
sedang bertujuan mencari kebenaran tetapi hanya ingin menyebarkan
syubhat untuk merendahkan mazhab Syi’ah.
Memang kami dapati ada ulama Syi’ah
mencela Aisyah [radiallahu ‘anha] tetapi kami dapati pula sebagian ulama
Syi’ah lain menahan diri bahkan mengharamkan untuk mencelanya karena
Beliau adalah istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Oleh karena itu
tidak mungkin merendahkan keseluruhan mazhab Syi’ah hanya berdasarkan
tindakan ulama Syi’ah tertentu padahal terdapat juga para ulama Syi’ah
lain yang menentangnya.
Adapun dalam pandangan dan keyakinan kami, Aisyah
[radiallahu ‘anha] adalah istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]
yang Mulia, istri Beliau baik di dunia dan akhirat kelak.
Hanya saja kami tetap mengakui bahwa bersamaan dengan kemuliaannya ia
telah melakukan kesalahan ketika memerangi Imam Aliy [‘alaihis salaam]
pada saat perang Jamal.
.
Note
: Saya akan senang sekali jika ada para pengikut Syi’ah yang dapat
menunjukkan hadis shahih dalam mazhab Syi’ah yang memuat pujian atau
keutamaan Aisyah [radiallahu ‘anha].
*****
Mayoritas Sahabat Pasca Nabi wafat tidak mau
menerima wasiat tentang seluruh 12 Imam berasal dari satu keluarga bani
hasyim (ahlulbait).
Musuh-musuh Syi’ah melihat suksesi yang terjadi pada masa-masa
para khalifah awal dan para imam dan lalu mereka mengklaim bahwa ajaran
Syi’ah adalah ajaran yang tidak sejalan dengan demokrasi. Seluruh dua
belas Imam berasal dari satu keluarga sementara empat khalifah berasal
dari suku yang berbeda. Mereka menyimpulkan bahwa madzhab Sunni adalah
madzhab yang menerima demokrasi dalam prinsip, yang dianggap sebagai
sistem terbaik pemerintahan. Ajaran Syi’ah, dalam benak mereka,
bersandarkan kepada aturan hereditas dan dengan demikian bukan sebuah
sistem yang baik.
Pertama, tidak ada sistem pemerintahan yang baik atau yang buruk
secara esensial; yang ada adalah pemerintahan baik atau buruk tergantung
kepada orang yang memegang kekuasaan di tangannya. Dengan demikian,
Syi’ah percaya bahwa seorang imam adalah insan ma’sum, terbebas dari
setiap kekurangan, cacat dan lebih unggul dalam keutamaan, berarti
kekuasaanya akan lebih sempurna dan lebih adil. Pada satu sisi adalah
keadilan tanpa kompromi yang ditunjukkan oleh Imam ‘Ali As, Imam
pertama, selama masa singkat imamah beliau, dan di sisi lain, hadits
yang diterima dari Nabi Saw tentang imam terakhir, al-Mahdi, bahwa “Ia
akan mengisi semesta dengan keadilan dan kesetaraan setelah dipenuhi
dengan kezaliman dan ketidakadilan.”[1] Premis kami bukanlah sebuah abstraksi semata.
Kedua, kita harus mengingat bahwa seluruh khalifah Sunni sejak Abu
Bakar hingga khalifah terakhir Abbasiyah, al-Mu’tasim Billah (dibunuh
oleh Hulagu Khan pada tahun 656 H/1258 M) yang berasal dari suku
Quraisy. Apakah hal ini tidak berarti bahwa sebuah keluarga telah
berkuasa atas seluruh kaum Muslimin yang terbentang dari Cina bagian
utara hingga Spanyol selama enam setengah abad lamanya?
Ketiga, sistem khalifah Sunni, sebagaimana telah disinggung di atas,
tidak pernah berdasarkan kepada sistem demokrasi. Khalifah pertama
ditimpakan atas kaum Muslimin Madinah oleh beberapa orang sahabat;
khalifah kedua dinominasikan oleh khalifah pertama; ketiga dipilih
secara nominal oleh lima orang, yang hakikatnya satu orang saja yang
memilih. Mu’wiyah mengambil kursi kekhalifaan dengan kekuatan militer. Sistem yang berlaku sebelum dirinya, lebih tepat disebut oligarki; sistem setelahnya merupakan sistem monarki.
‘Umar mengambil keputusan bahwa seorang non-Arab (‘Ajam) tidak dapat mewarisi sesuatu dari seorang Arab kecuali mereka lahir di Arab.[2]
Dan juga, hukum Sunni mengalami kemunduran, dan yang paling tragis
adalah tidak mengizinkan seorang pria non-Arab menikah dengan seorang
wanita Arab, hal ini juga berlaku bagi seorang non-Quraisy atau
non-Hasyimi menikah dengan seorang wanita Quraisy atau Hasyimi. Sesuai
dengan hukum fiqh madzhab Syafi’i, seorang budak, bahkan yang telah
dibebaskan, tidak dapat menikah dengan seorang wanita merdeka.[3]
Kenyataan ini, meskipun deklarasi resmi Nabi bahwa: “Tidak ada
keunggulan bagi seorang Arab atas non-Arab, seorang non-Arab atas Arab,
seseorang yang berkulit putih atas seseorang yang berkulit hitam,
kecuali ketakwaan. Manusia berasal dari Nabi Adam dan Adam berasal dari
tanah.”[4]
Meskipun praktik yang sudah mapan telah dicontohkan oleh Rasulullah
ketika beliau menikahkan saudara sepupunya kepada Zaid bin Haritsa,
seorang budak merdeka, dan menyerahkan saudari ‘Abdurrahman bin ‘Auf
(seorang Quraisy) untuk menikah dengan Bilal, seorang budak merdeka
Etiopia.[5]
Hukum fiqh Syi’ah secara terang menjelaskan bahwa: “Dibolehkan untuk
menikahkan seorang wanita merdeka dengan seorang budak, seorang wanita
Arab dengan seorang pria non-Arab, seorang wanita Hasyimi dengan seorang
pria non-Hasyimi, dan sebaliknya. Demikian juga, dibolehkan seorang
wanita terpelajar atau berasal dari keluarga kaya-raya dengan seorang
pria awam atau keadaan ekonominya pas-pasan atau profesi-profesi rendah
lainnya.[6]
Dalam masalah pembagian ghanimah (harta rampasan perang),
Rasulullah Saw telah membangun sebuah sistem kesetaraan; harta ini
dibagikan secara merata kepada seluruh orang yang mengambil bagian dalam
perang tersebut. Abu Bakar melanjutkan sistem ini, namun ‘Umar pada
tahun 15 H, hanya empat tahun berselang setelah wafatnya Nabi, merubah
sistem ini. Ia menetapkan gaji tetap tahunan kepada orang-orang,
klan-klan dan suku-suku: “Abbas, paman Nabi, diberi jatah 12.000 atau
25.000 Dinar pertahun; ‘Aisyah, 12.000; istri-istri Nabi yang lain,
masing-masing mendapat jatah 10.000; orang-orang yang turut serta dalam
perang Badar, masing-masing 5.000; mereka yang ambil bagian dalam perang
antara perang Badar dan perang Hudaibiyyah, masing-masing, 4000; mereka
yang ikut dalam perang setelah perang Hudaibiyyah dan sebelum perang
Qadisiyyah, masing-masing, 3000. Jumlahnya secara berkala berkurang dua
Dinar pertahun.[7]
Sistem seperti ini merusak tatanan dalam masyarakat Muslim sehingga
kekayaan yang menjadi tujuan utama mereka dalam hidup dan yang
memberikan mereka manfaat dari agama mereka. Pandangan mereka menjadi
materialistik dan, sebagaimana telah disebutkan sebelumya, mereka tidak
mentolerir sistem pembagian merata yang kemudian dihidupkan kembali oleh
Imam ‘Ali dalam khutbah pertamanya setelah mengambil kedudukan
khalifah. ‘Ali diriwayatkan berkata: “Baiklah, setiap orang dari
Muhajirin dan Ansar, dari sahabat-sahabat Nabi, yang berpikir bahwa ia
lebih baik dari orang lain karena persahabatannya (biarlah mereka ingat)
keunggulan bersinar di hadapan Allah kelak ganjarannya dan upahnya yang
diberikan oleh Allah. (Ia tidak boleh berharap menerima ganjarannya di
dunia ini). Setiap orang yang menjawab panggilan Allah dan Nabi-Nya,
dan menerima kebenaran agama kita dan masuk di dalamnya, dan menghadap
kiblat kita, berhak atas seluruh hak yang digariskan dalam Islam; dan
seluruh kekayaan adalah milik Allah; harta ini akan dibagikan secara
merata di antara kalian; tidak ada preferensi di dalamnya bagi seseorang
terhadap yang lainnya.[8]
Mereka yang selama dua puluh tahun sebelum kekhalifaan ‘Ali terbiasa
menerima pembagian yang tidak adil ini, memberi nasihat dan meminta
kepada Imam ‘Ali untuk berkompromi terhadap prinsip Islam, mereka
berkomplot untuk menyingkirkan mereka; dan ‘Ali ternyata tak
henti-hentinya sangat peduli terhadap masalah ini.
Setelah kemenangan Umayyah, ketidakadilan di antara kaum Muslimin
berlanjut. Bahkan jika seseorang menerima Islam, ia (pria atau wanita)
tidak menerima hak-haknya sebagai Muslim. Dalam beberapa keadaan mereka
lebih buruk dari teman-teman non-Muslimnya. Kaum non-Muslim hanya
diwajibkan untuk membayar Jizyah,[9]
namun Muslim harus membayar jizyah dan zakat. Selama masa Bani Umayyah
(kecuali dua setengan tahun di bawah khalifah ‘Umar bin ‘Abudl ‘Aziz), jizyah dipungut atas seluruh non-Arab termasuk kaum Muslimin.[10]
Tidak sulit membayangkan betapa sedikit kebijakan ini dapat membantu
perjuangan Islam. Selama berabad-abad seluruh negara-negara yang
kota-kota dan ibukotanya “Islami” menolak untuk masuk Islam. Bahkan kaum
Barbar (yang memenuhi panggilan dakwah Islam setelah
resistansi pertama mereka terhadap invasi Arab dan berkhidmat sedemikian
baik di Spanyol dan Prancis), secara keseluruhan tidak masuk Islam
hingga pendirian kerajaan yang bermadzhab Syi’ah di Maghrib. Ketika
Idris bin ‘Abdillah, cicit dari Imam al-Hasan dan pendiri dinasti Idris
(789-985 M), bergerak melawan mereka, paling banyak di antara mereka
adalah non-Muslim ketika itu. Keadaan ini adalah hasil
dari perlakuan buruk pada masa-masa sebelumnya. Kita mendengar bahwa
ketika Yazid bin ‘Abdil Malik menduduki singgasana Umayyah dan melantik
Yazid bin Abi Muslim sebagai Gubernur Maghrib, gubernur ini ,memungut
kembali jizyah dari orang yang menjadi Muslim dan memerintahkan mereka untuk kembali ke kampung mereka.[11]
Bani Idris mengubah kebijakan ini dan melebarkan secara penuh hak-hak
bagi seluruh kaum Muslimin, kebijakan ini membawa kaum Barbar itu masuk
Islam.
Pemujaan Arabisme ini dipandang bahkan lebih terjalin berkelindan
dalam keputusan para penguasa ketika itu yang memandang bahwa jika
sebuah warga negara dalam sebuah negara yang ditaklukkan menerima Islam,
ia tidak dapat diterima sebagai seorang Muslim atau diakui hak-haknya
sebagai Muslim kecuali ia menyambungkan dirinya sebagai seorang klien
terhadap beberapa suku Arab. Klien semacam ini disebut mawali.
Bahkan mereka menjadi objek ejekan dan ketimpangan, perlakuan oleh
patron aristokrat mereka dan pada saat yang sama berlanjut diekploitasi
oleh birokrat yang berkuasa.
Dengan membatasi hak berkuasa hanya kepada dua belas Imam Ma’sum,
Allah memotong akar-akar perseteruan, percekcokan, kekacauan, dan
pemilihan palsu, serta ketimpangan sosial dan ras.
[1] . Lihat, Abu Dawud: as-Sunan, vol.4,hal-hal.106-109;Ahmad: al-Musnad, vol.l, hal-hal 377-430; vol.3, hal.28; al-Hakim: al-Mustadrak, vol. 4, hal-hal 557-865.
[2] . Lihat, Malik: al-Muwatta, vol. 2, hal. 60.
[3] . Lihat, al-Jaziri: al-Fiqh ‘ala ‘l-Madzahibi ‘l-Arba’ah, vol. 4, hal.60.
[4] . Lihat, as-Suyuti: ad-Durru ‘l-Mantsur, vol. 6, hal. 98.
[5] . Lihat, Ibnu ‘l-Qayyim: Zadu ‘l-Ma’ad, vol. 4, hal. 22.
[6] . Lihat, al-Muhaqqiq al-Hilli: Syara’i’u ‘l-lslâm, “Kitâbu ‘n-Nikah, vol. 5, hal. 300; al-Hakim: Minhâju ‘s.-Salihin, Kitabu ‘ n-Nikah, vol. 2, hal . 279 .
[7] . Lihat, at-Tabari : at-Târikh, Annales I, vol.5, hal-hal. 2411- 2414; Nicholson,R.A. : A Literary History of the Arabs, hal.187.
[8] . Lihat, Ibn Abi ‘l-Hadid: Syarh, vol.7, hal-hal.35-47; Lihat juga khutbah Imam ‘Ali no. 126 dalam Nahju ‘l-Balâghah.
[9] . Jizyah: pajak yang dibayar oleh non-Muslim, yang berada di bawah pemerintahan Muslim,(penerbit).
[10] . Lihat,at-Tabari: at-Tarikh, Annales II), vol. 3, hal-hal. 1354-1367.
[11] . Lihat, al-Amin: Islamic Shi’ite Encyclopedia, vo1. 1, hal-hal. 38-41.
Para pembaca…
Mayoritas pandangan madzhab Sunni (dalam masalah teologi) dewasa ini
adalah mengikuti pandangan Asy’ariyyah. Mereka, sebagaimana Mu’tazilah,
meyakini bahwa institusi imamah/khilafah adalah perlu dan menjadi
kewajiban seorang manusia untuk menunjuk seorang khalifah.
Kaum Mu’tazilah berpandangan bahwa penunjukan ini wajib sesuai dengan
akal. Kaum Asy’ariyah meyakini bahwa penunjukan ini bersifat wajib
karena sesuai dengan hadits.
An-Nasafi menulis dalam kitab al-’Aqâid-nya:
“Kaum Muslimin tidak dapat hidup tanpa seorang imam yang akan menempatkan diri dengan menjalankan keputusan-keputusan mereka, dan dalam pelaksanaan hudud-nya
dan menjaga batasan-batasannya, menyediakan lasykar-lasykar, menerima
sedekah mereka, memberikan hukuman kepada para pencuri dan perampok,
mengimami salat Jum’at dan Ied, menghilangkan sengketa yang ada di
tengah-tengah masyarakat, menerima bukti-bukti terhadap klaim-klaim
hukum, dan menikahkan orang-orang miskin yang tidak memiliki wali dan
membagikan harta rampasan perang.”[1]
Sunni menghendaki seorang penguasa semesta…, sementara Syiah mencari
seseorang yang dapat membangun kerajaan surga di muka bumi dan
mengakhiri segala bentuk kejahatan yang merajalela di muka bumi.”[2]
Oleh karena itu, Madzhab Sunni mengakui empat prinsip utama dalam memilih seorang khalifah:
- Ijma’ yaitu konsensus tentang orang yang memegang kekuasaan dan kedudukan pada sebuah titik tertentu. Mufakat seluruh pengikut Nabi Saw tidak menjadi keharusan, juga tidak terlalu penting untuk mengamankan kedudukan dan kekuasaan orang yang berkuasa di tengah-tengah umat.
- Pencalonan oleh khalifah sebelumnya.
- Syuraa yaitu pemilihan oleh sebuah komite
- Kekuatan Militer, yaitu jika seseorang meraih kekuasaan dengan kekerasan ia akan menjadi khalifah.
Pengarang Kitab Syarhil Maqâsid menjelaskan bahwa bilamana
seorang imam wafat dan seorang yang memiliki kualifikasi yang diinginkan
untuk kedudukan tersebut (tanpa bai’at) kekhalifaannya akan tetap diakui sepanjang kekuasaannya
dapat menundukkan masyarakat; dan bilamana seorang khalifah baru
kebetulan seorang yang jahil dan bodoh, nampaknya akan mendapatkan
perlakuan yang sama.
Demikian juga, bilamana seorang khalifah telah membangun dirinya
dengan kekuatan tapi kemudian ditaklukkan oleh orang lain, ia akan
disingkirkan dan orang yang menaklukkanya akan dianggap sebagai imam
atau khalifah.[3]
Kualifikasi Seorang Khalifah.
Madzhab Sunni menganggap sepuluh syarat seseorang untuk dapat menjadi khalifah:
- Muslim
- Dewasa
- Laki-laki
- Berakal sehat
- Berani
- Merdeka, bukan seorang sahaya
- Dapat dihubungi dan tidak tersembunyi
- Mampu mengadakan perang dan tahu taktik berperang
- Adil
- Mampu mengeluarkan fatwa dalam bidang hukum dan agama , yaitu, ia harus seorang mujtahid.[4]
Namun dua yang terakhir hanya bersifat teoritis belaka, sebagaimana
disinggung pada bagian sebelumnya. Bahkan, seorang awam dan bermoral
buruk dapat menjadi seorang khalifah. Oleh karena itu, syarat-syarat ‘adil dan fakih (mumpuni) dalam bidang agama tidak memiliki landasan sama sekali.
Mereka berpandangan bahwa ismah (infallible) tidak
menjadi keharusan bagi seorang khalifah. Kalimat yang dilontarkan oleh
Abu Bakar dari mimbar di hadapan para sahabat, dinukil untuk menguatkan
pandangan ini. Abu Bakar berkata: “Ayyuhannas!”, “Aku telah
dijadikan penguasa atas kalian meskipun aku tidak lebih baik dari
kalian; jadi, dalam menunaikan tugasku, aku meminta pertolongan kalian;
dan jika aku berbuat salah, kalian harus meluruskanku. Kalian harus tahu
bahwa setan senantiasa dapat datang kepadaku. Jadi jika aku marah,
menjauhlah dariku.”[5]
At-Taftazani berkata dalam Syarhul ‘Aqâidin Nafisah, “Seorang imam tidak dapat dijatuhkan dari imamah karena alasan immoral atau kezaliman.”[6]
[1] . Lihat, at-Taftazani: Syarh ‘Aqa’idi’n-Nasafi, hal.185.
[2] . Lihat, Miller,W.M.: terjemahan, al-Babu ‘l-hadi ‘asyar.
[3] . Lihat, at-Taftazani: Syarhu ‘l-Maqâsidi’ t-Tâlibi’n, vol. 2, hal. 272. Lihat juga, al-Hafiz ‘Ali’ Muhammad and Amiru ‘d-Din: Fulku ‘n-Najat fi ‘l-Imâmah wa ‘s-salat, vol. 1, hal. 203.
[4] . Lihat, at-Taftazani, op. cit.
[5] . Lihat, as-Suyuti, Târikhu ‘l-Khulafa‘, hal.71.
[6] . Lihat, at-Taftazani: op. cit.
Para pembaca…
Naiknya Abu Bakar Ke Singgasana Kekuasaan
Menurut Ahli Sunnah, empat khalifah pertama disebut al-Khulafa’ur Rasyidun (khalifah yang mendapat bimbingan). Kini mari kita kaji bagaimana Khalifatur Rasyidah ini muncul.
Segera setelah wafatnya Nabi, kaum Muslimin di Madinah (dikenal
sebagai Ansar) berkumpul di Saqifah Banu Sa’idah. Menurut penulis kitab Ghiyatu’l Lugha, tempat ini adalah tempat rahasia di mana bangsa Arab biasa berkumpul untuk melakukan kegiatan-kegiatan jahat mereka.[1]
Di tempat ini, Sa’ad bin Ubadah, yang kemudian merana, dibimbing ke
kursi dan didudukkan di atasnya, dibungkus dalam sebuah selimut,
sehingga ia dapat dipilih menjadi khalifah. Kemudian Sa’ad menyampaikan
pidato tentang keutamaan kaum Ansar dan memberitahukan kepada mereka
untuk mengambil alih kedudukan khalifah sebelum orang lain melakukannya.
Namun, kemudian di antara mereka ada yang bertanya: “Jawaban apa yang
akan kita berikan kepada kaum Muhajirin (orang-orang Mekkah yang
berhijrah) Quraisy jika mereka menentang gerakan ini dan mengajukan
klaim mereka?
Sekelompok orang-orang yang berada di tempat itu berkata: “Kita akan
mengatakan kepada mereka, mari kita pilih salah satu pemimpin dari
kalian dan satu dari kami.” Sa’ad berkata: “Ini adalah salah satu
kelemahan yang telah kalian perlihatkan.”
Seseorang memberi kabar kepada ‘Umar bin Khattâb tentang perhimpunan
ini, katanya: “Jika engkau berkehendak untuk meraih kekuasaan sekarang,
engkau harus bergegas ke Saqifah sebelum terlambat, yang dapat
menimbulkan kesulitan bagimu untuk merubah apa yang sudah diputuskan di
sana.” Setelah menerima kabar ini, ‘Umar, bersama Abu Bakar, bergegas
bertolak ke Saqifah ditemani juga oleh Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah.
At-Tabari, Ibnu Atsir, Ibn Qutaibah[2]dan
sejarawan yang lain merekam dalam kitab sejarah mereka bahwa setelah
sampai di Saqifah, Abu Bakar, ‘Umar dan Abu Ubadah nyaris tidak
mendapatkan kursi mereka ketika Tsabit bin Qays berdiri dan mulai
mendendangkan syair-syair tentang keutamaan kaum Ansar dan menyarankan
bahwa kursi khalifah harus ditawarkan kepada salah seorang Ansar.
Dilaporkan bahwa setelah itu ‘Umar berkata: “Ketika pembicara Ansar itu
selesai berbicara, aku berusaha untuk berbicara, setelah merenung cukup
lama, tentang beberapa poin-poin penting. Namun Abu Bakar yang berada di
belakangku tetap berdiam diri. Oleh karena itu, aku diam saja. Abu
Bakar lebih berkompeten dan lebih berilmu daripada aku. Ia lalu berkata
hal yang sama seperti yang aku pikirkan bahkan menyampaikannya lebih
baik dari aku.”
Menurut kitab Raudatus Safa, Abu Bakar menyampaikan kepada
majelis di Saqifah, “Wahai majelis Ansar! Kami tahu keutamaan dan
kualitas kalian. Kami juga tidak melupakan perjuangan dan usaha kalian
dalam menegakkan panji Islam. Akan tetapi kehormatan dan kemuliaan
bangsa Quraisy di antara bangsa Arab tidak dimiliki oleh suku arab yang
lain, dan suku-suku Arab tidak akan menyerah kepada bangsa mana pun
kecuali kepada suku Quraisy.”[3]
Dalam Sirah al-Halabiyyah, ditambahkan:
“Bagaimanapun, pada kenyataannya kami adalah kaum Muhajirin, kaum
yang pertama menerima Islam. Nabi Islam berasal dari suku kami. Kami
adalah kerabat Nabi…dan oleh karena itu..kamilah yang berhak untuk
menjabat khalifah…Ada baiknya mengambil pemimpin di antara kami dan
jabatan kementerian dari kalian. Kami tidak akan bertindak sebelum
bermusyawarah dengan kalian.”[4]
Adu argumen mulai panas, dan disertai dengan teriakan ‘Umar: “Demi
Allah, Aku akan bunuh sekarang siapa saja yang menentang kami.” Al-Hubâb
ibn al-Munzir ibn Zaid, seorang Ansari dari suku Khazraj, menentangnya
kemudian berkata, “Demi Allah, kami tidak akan membiarkan siapa pun yang
berkuasa atas kami sebagai khalifah. Yang harus menjadi pemimpin
adalah seorang berasal dari kalian dan seorang dari kami.” Abu Bakar
berkata: “Tidak, hal ini tidak dapat terjadi; Kamilah yang berhak untuk
menjadi khalifah dan kalian jadi menteri kami.” Al-Hubab berkata:
“Wahai Ansar! Jangan kalian serahkan diri kalian atas apa yang
dikatakan orang-orang ini. Tegarlah..Demi Allah jika ada yang berani
menentangku sekarang, aku akan potong hidungnya dengan pedangku.” Umar
menimpali: “Demi Allah, dualitas (dua khalifah, -penj.) tidak
pantas dalam masalah khilafah. Dalam satu regim tidak bisa ada dua
khalifah, dan bangsa Arab tidak akan setuju dengan kepemimpinan kalian,
karena Nabi tidak berasal dari suku kalian.”
At-Tabari dan ibn Atsir keduanya mengatakan bahwa pada kejadian itu
terjadi tukar-menukar kata dengan sengit antara al-Hubâb dan ‘Umar.
‘Umar melaknat al-Hubâb: “Semoga Allah membunuhmu.” Al-Hubâb menimpali:
“Semoga Allah membunuhmu.”
‘Umar lalu maju dan berdiri di hadapan Sa’ad bin ‘Ubadah dan berkata
kepadanya: “Kami akan patahkan seluruh anggota badan kalian.” Karena
marah atas tantangan ini, Sa’ad berdiri dan mencengkeram janggut ‘Umar.
‘Umar berkata: “Jika engkau menarik satu helai dariku, engkau akan lihat
semua orang akan membencimu.” Lalu, Abu Bakar memohon ‘Umar dan
orang-orang untuk tenang. ‘Umar mengalihkan wajahnya kepada Sa’ad yang
berkata: “Demi Allah, jika aku cukup memiliki kekuatan untuk bertahan,
engkau akan mendengar raungan singa-singa di setiap sudut kota Madinah
dan engkau akan bersembunyi di setiap lobang-lobang kota Madinah. Demi
Allah, kami akan menggabungkan kalian dengan kaum yang orang-orangnya
hanyalah pengikut bukan pemimpin.
Ibn Qutaibah berkata bahwa ketika Basyir bin Sa’d, pemimpin suku Aus,
melihat Ansar bersatu di belakang Sa’ad bin Ubadah, pemimpin suku
Khazraj, ia diselimuti oleh rasa dengki dan berdiri mendukung klaim
Muhajirin dari bangsa Quraisy.
Di tengah-tengah suasana panas dan menegangkan ini, ‘Umar berkata
kepada Abu Bakar: “Julurkan tanganmu sehingga aku dapat memberikan bai’at kepadamu.” Abu Bakar berkata: “Tidak, engkau yang harus menjulurkan tanganmu sehingga aku dapat berbai’at kepadamu, karena engkau lebih kuat daripada aku dan lebih pantas untuk menjabat khalifah.”
‘Umar mengambil tangan Abu Bakar dan menyampaikan bai’at
kepadanya, katanya: “Kekuatanku tidak ada nilainya sama sekali bila
dibandingkan dengan jasa dan senioritasmu. Dan jika ada nilai maka
kekuatanku ditambahkan kepadamu akan sukses dalam mengelola khalifah.”
Basyir bin Sa’d mengikuti apa yang berlaku. Suku Khazraj berteriak
kepadanya bahwa ia bertindak karena rasa irinya kepada Sa’ad bin
‘Ubadah. Lalu suku Aus berbicara sesama mereka bahwa jika Sa’ad bin
Ubadah menjadi khalifah hari itu, suku Khazraj akan senantiasa merasa
lebih unggul dari suku Aus, dan tidak ada satu orang pun dari suku Aus
yang akan menerima kehormatan ini. Oleh karena itu, mereka memberikan bai’at-nya kepada Abu Bakar. Seseorang dari suku Khazraj menarik pedangnya namun ditahan oleh yang lain.
Di tengah segala percekcokan ini, ‘Ali dan para sahabatnya sedang
sibuk mengurus pemandian jenazah Nabi Saw dan proses penguburan beliau.
Dalam keadaan seperti ini, Abu Bakar memanfaatkan kesempatan dan
menjabat khalifah a fait acompli.
Ibnu Qutaibah menulis: “Ketika Abu Bakar mengambil kedudukan sebagai
khalifah, ‘Ali diseret ke arah Abu Bakar yang ketika itu berulangkali
menyatakan, “Aku adalah hamba Allah dan saudara Rasulullah. Lalu ‘Ali
diperintahkan untuk memberikan bai’at kepada Abu Bakar. ‘Ali berkata: “Aku lebih memiliki hak sebagai khalifah daripada kalian semua. Aku tidak akan memberikan bai’at kepada kalian. Kalian mengambil bai’at
dari kaum Ansar dengan dalih bahwa kalian memiliki hubungan darah
dengan Rasulullah. Kalian merampas khalifah dari kami, Ahl al-Bait Nabi.
Tidakkah kalian beralasan kepada kaum Ansar bahwa kalian lebih baik
menjabat khalifah karena Nabi adalah kerabat kalian, dan mereka
menyerahkan pemerintahan kepada kalian dan menerima kepemimpinan kalian?
Oleh karena itu, alasan yang paling baik yang kalian ajukan di hadapan
kaum Ansar kini diajukan oleh orang yang paling dekat hubungannya kepada
Nabi lebih daripada kalian semua. Jika kalian jujur dengan dalil
kalian, kalian harus berbuat adil; kalau tidak kalian tahu bahwa kalian
telah berbuat zalim.
‘Umar berkata: “Kalau engkau tidak memberikan bai’at, engkau
tidak akan dilepaskan. ‘Ali berteriak, peraslah sebanyak yang engkau
mampu karena kini ambing berada ditanganmu. Buatlah sekuat mungkin hari
ini, karena ia akan menyerahkannya kepadamu esok. ‘Umar, aku tidak akan tunduk kepada perintahmu; aku tidak akan memberikan bai’at kepadanya.” Akhirnya Abu Bakar berkata, Wahai ‘Ali! Jika engkau tidak ingin memberikan bai’at, aku tidak akan memaksamu untuk melakukan itu.”
Ulasan Singkat.
Beberapa aspek yang telah disebutkan di atas patut untuk mendapatkan perhatian:
1. Sudah menjadi kebiasaan bangsa Arab bahwa ketika seseorang
diumumkan; bahkan dalam sebuah kelompok kecil, untuk menjabat sebagai
kepala suku, yang lain tidak akan menentangnya, dan mau tidak mau
mengikuti apa yang berlaku. Tradisi ini yang tersimpan dalam benak
‘Abbas, paman Nabi, ketika ia berkata kepada ‘Ali: “Berikan tanganmu
sehingga aku dapat ber-bai’at kepadamu…karena ketika sekali hal ini berlaku maka tidak ada satu orang pun akan melepaskannya.
Dan karena tradisi inilah yang membuat Sa’ad memanfaatkan kaum Ansar
untuk mengambil alih khalifah sebelum orang lain melakukannya. Dan juga
karena tradisi ini ketika ‘Umar diberitahu untuk segera ke Saqifah
sebelum terlambat dan kesulitan baginya untuk merubah apa yang telah
diputuskan di sana. Dan karena tradisi ini juga bahwa sekali beberapa
orang menerima Abu Bakar sebagai khalifah, mayoritas kaum Muslimin akan
mengikuti apa yang berlaku.
2. ‘Ali sangat sadar akan tradisi ini. Oleh karena itulah mengapa ia menolak untuk menjulurkan tangannya untuk menerima bai’at Abbas, yang berkata kepadanya: “Siapa lagi selain aku yang dapat memberikan bai’at kepadamu?[5]
Karena ‘Ali tahu bahwa khalifah Rasulullah Saw bukanlah kepemimpinan
suku. Khalifah Rasulullah Saw tidak bersandar kepada deklarasi bai’at
di hadapan publik. Khalifah Rasulullah adalah sebuah tanggung jawab
yang diberikan oleh Allah Swt, bukan oleh manusia. Dan karena ia telah
diumumkan diangkat oleh Allah Swt melalui Nabi akan imamahnya. Tidak
perlu baginya untuk bergegas mencari bai’at kepada manusia. Ia tidak menginginkan orang-orang berpikir bahwa imamahnya bersandarkan kepada bai’at
manusia; jika orang-orang datang kepadanya dengan bersandar kepada
deklarasi Ghadir Khum, baik dan bagus; jika mereka tidak melakukannya,
itu merupakan kerugian pada pihak mereka, bukan kerugian pada pihak
‘Ali.
3. Kini kita kembali kepada peristiwa Saqifah; selama hidup
Rasulullah Saw, mesjid Nabi merupakan pusat seluruh kegiatan Islam. Di
tempat inilah keputusan-keputusan yang berkenaan dengan perang dan
perdamaian diambil, perutusan-perutusan diterima, khutbah-khutbah
disampaikan, dan masalah-masalah diselesaikan. Dan ketika kabar menyebar
tentang wafatnya Rasulullah Saw, kaum Muslimin berkumpul di masjid
tersebut.
Lalu mengapa pengikut-pengikut Sa’ad bin ‘Ubadah memutuskan untuk
pergi tiga mil di luar Madinah untuk berjumpa di Saqifah yang bukan
merupakan tempat yang baik untuk menyelesaikan persengketaan? Bukankah
karena alasan mereka ingin merampas khalifah tanpa diketahui oleh
orang-orang dan mempersembahkan Sa’ad sebagai khalifah yang diterima?
Dengan memandang deklarasi Ghadir Khum dan tradisi kesukuan bangsa Arab tidak akan ada penjelasan yang lain dari masalah ini.
- Ketika ‘Umar dan Abu Bakar mengetahui perhimpunan di Saqifah, pada saat itu mereka berada di masjid. Mengapa mereka tidak menyampaikan kepada yang lain perihal perkumpulan di Saqifah tersebut? Mengapa mereka, bersama Abu ‘Ubaidah, menyelinap keluar secara rahasia? Apakah karena ‘Ali dan Bani Hasyim hadir di masjid dan di rumah Nabi, dan ‘Umar dan Abu Bakar tidak menginginkan mereka tahu akan rencana licik mereka? Bukankah karena mereka takut bahwa jika ‘Ali tahu tentang pertemuan di Saqifah dan jika dengan kemungkinan yang paling kecil ia memutuskan untuk pergi ke sana sendiri, maka tidak ada satu orang pun yang memiliki peluang untuk sukses menjadi khalifah?
- Ketika Abu Bakar memuji keutamaan kaum Muhajirin sebagai kaum yang berasal dari suku Nabi, tidakkah ia tahu bahwa ada orang lain yang lebih kuat haknya untuk mengklaim karena mereka adalah anggota keluarga Rasulullah Saw dan darah daging Rasulullah Saw?
Karena aspek yang penuh pretensi inilah yang membuat ‘Ali
berkomentar: “Mereka berdalih dengan pohon (kesukuan) dan mereka
merusakkan buahnya (keluarga Nabi).”[6]
Bila kita melihat kejadian ini dengan kaca mata jernih, kita tidak
mampu menyebutnya sebagai sebuah proses pemilihan, karena pemberi suara
(seluruh kaum Muslimin bertebaran di seluruh semenanjung Arabia, atau,
paling tidak, seluruh kaum Muslimin berada di Madinah) bahkan tidak tahu
bahwa ada pemilihan ketika itu, apalagi bila dan dimana hal ini
diadakan. Terlepas dari pemberi suara, bahkan calon-calon yang ada tidak
sadar atas apa yang terjadi di Saqifah. Kembali kita teringat kata-kata
Imam ‘Ali berkenaan dengan dua poin yang disebutkan di atas:
Jika engkau mengklaim lebih memiliki wewenang atas urusan kaum Muslimin dengan musyawarah,
Bagaimana hal ini dapat terjadi bila mereka yang diajak bermusyawarah tidak ada!
Dan jika engkau membual di hadapan musuhmu tentang kekerabatan dengan Nabi,
Maka orang lain lebih memiliki hak dan lebih dekat kepadanya.[7]
Dan kita bahkan tidak dapat menyebutnya sebagai sebuah “seleksi”
karena mayoritas sahabat-sahabat utama Nabi tidak mengetahui kejadian
ini. ‘Ali, ‘Abbas, Utsman, Talha, Zubair, Sa’ad bin Abi Waqqas, Salman
al-Farisi, Abu Dzar al-Ghifari, ‘Ammar bin Yasir, Miqdad, ‘Abdur-Rahman
bin ‘Auf, tidak satu pun dari mereka yang bermusyawarah atau bahkan
diberitahu perihal kejadian ini.
Satu-satunya dalil yang ditawarkan oleh khalifah ini adalah: “Status
hukum apa saja yang dikenakan untuk kejadian Saqifah, karena Abu Bakar
berhasil (karena tradisi kesukuan) mengambil kendali kekuasaan di
tangannya, ia tetap merupakan seorang “khalifah konstitusional.”
Dalam bahasa yang sederhana, Abu Bakar menjadi seorang khalifah
konstitusional karena ia berhasil dalam tawarannya atas kekuasaan. Oleh
karena itu, kaum Muslimin yang berpikir memuji kejadian ini, adalah
lalai berpikir bahwa satu-satunya yang dapat dinilai dari kejadian ini
karena kekuasaan. Ketika anda aman duduk di singgasana kekuasaan,
segalanya berjalan baik. Anda akan menjadi kepala negara yang
konstitusional.
Akhirnya, saya harus mengutip sebuah komentar dari ‘Umar sendiri,
yang menjadi dalang atas khalifah ini. Ia berkata dalam sebuah kuliahnya
selama menjabat khalifah:
Aku telah diberitahu bahwa seseorang berkata: “Ketika ‘Umar meninggal, aku akan menyatakan bai’at kepada fulan dan fulan.” Baik, seharusnya tidak ada seorang pun yang tersesat seperti ini, berpikir bahwa meskipun bai’at
kepada Abu Bakar dilakukan dengan tergesa-gesa, hal ini akan menjadi
beres. Tentu saja, karena tergesa-gesa, namun Allah telah menyelamatkan
kita dari kejahatannya. Kini jika ada seseorang yang bermaksud untuk
menirunya aku akan penggal lehernya.[8]
[1] . Lihat, Ghiyathu ‘d-Din: Ghiyathu ‘l-Lughat, hal. 228.
[2] . Lihat, at-Tabari: at-Târikh, vol.4, hal.1820; Ibnu’l-Atsir: al-Kâmil, peny. C.J.Tornberg, Leiden,1897, vol.2, hal-hal. 325 folio; Ibn Qutaybah: al-lmâmah wa’s-Siyasah, Kairo, 387/1967, vol. 1, hal-hal. 18 folio.
[3] . Lihat, Mir Khwand: Rawdatu ‘s-Safa, vol 2, hal. 221.
[4] . Lihat, al-Halabi: as-Sirah, vol. 3, hal. 357. [11] Ibn Qutaybah: al-Imâmah wa ‘s-Siyasah, vol. 1,hal. 4; al-Mawardi: al-Ahkamu ‘s-Sultâniyyah, hal. 7.
[5] . Lihat, Ibn Qutaibah, al-Imâmah wa ‘s-Siyasah, vol. 1, hal. 4; al-Mawardi, al-Ahkamul Sultâniyyah, hal. 7.
[6] . Lihat, ar -Radi , Nah ju ‘l –Balâghah, Edisi Subhi Salih, Beirut, hal. 98.
[7] . Ibid.,
Perkataan no.l90, [hal-hal.502-503] . Kata-kata Imam ‘Ali dinukil oleh
asy-Syarif Radi di bawah perkataan no. 190 yang berbunyi sebagai
berikut: “Alangkah anehnya! Dapatkah seseorang menjadi khalifah melalui
persahabatannya dengan Nabi bukan melalui persahabatan dan kekerabatan?”
Menakjubkan untuk disimak bahwa edisi Subhi Salih dan Muhammad Abduh
(Beirut, 1973), telah melalaikan kata-kata “tapi tidak melalui
persahabatannya!” Untuk versi yang lebih lengkap dari perkataan ini,
silahkan lihat, Ibn Abi’ l-Hadid, Syarh Nah ju’l- Balâgha, Kairo,1959, vol. 18, hal. 416.
[8] . Lihat, al-Bukhari ‘: as-Sahih, ” Kitabu ‘l-Muhakibin “, Kairo, (tanpa tahun), vol.8, hal.210; at-Tabari: at-Târikh, vol.4, hal.1821.
Para pembaca…
Mayoritas madzhab Sunni meyakini bahwa apa yang terjadi di Saqifah
adalah sebuah manifestasi “demokrasi” yang sejalan dengan ruh Islam.
Dengan memandang bahwa keyakinan ini masuk akal dengan berharap bahwa
“pemilihan demokrasi” (apa saja artinya dalam konteks Saqifah) adalah
sebagai basis dari kekhalifahan Islam. Namun hal ini tidaklah demikian
adanya.
Abu Bakar merasa berhutang budi kepada ‘Umar dalam mendudukkanya
sebagai khalifah dan dia tahu bahwa jika masyarakat diberikan kebebasan
untuk memilih, ‘Umar tidak memiliki kans untuk menang. (‘Umar dikenal
sebagai orang yang bertabiat keras dan kasar). Oleh karena itu, Abu
Bakar memutuskan untuk menominasikan Umar bin Khattab sebagai pengganti
baginya.
At-Tabari menulis: “Abu Bakar memanggil Utsman – ketika dia dalam
keadaan sekarat – dan memintanya untuk menuliskan sebuah perintah
pengangkatan, dan mendiktekan kepadanya: “Dengan Nama Allah Yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang. Surat ini adalah surat perintah ‘Abdullah
bin Abi Quhafa (Abu Bakar) kepada kaum Muslimin. Mengingat…,” kemudian
ia jatuh pingsang. Utsman menambahkan kata-kata: “Aku mengangkat ‘Umar
bin al-Khattab sebagai penggantiku bagi kalian.”
Lalu Abu Bakar siuman kembali dan berkata kepada ‘Utsman untuk
membacakan surat perintah itu untuknya. ‘Utsman membacanya: “Abu Bakar
berkata, Allahu Akbar, dengan gembira dan berkata, Aku pikir
engkau takut jikalau orang-orang akan bersilang pendapat sesama mereka
jika aku mati dalam keadaan tersebut.”
‘Utsman menjawab: “Iya.” Abu Bakar berkata: “Semoga Allah memberikan
ganjaran kepadamu atas jasamu terhadap Islam dan kaum Muslimin.”[1] Kemudian, surat pengangkatan dilengkapi dan Abu Bakar memerintahkan supaya surat tersebut dibacakan di hadapan kaum Muslimin.
Ibn Abil Hadid al-Mu’tazili menulis bahwa ketika Abu Bakar siuman dari pingsannya dan yang menuliskan dikte membaca
apa yang telah ditulis olehnya dan Abu Bakar mendengar nama ‘Umar, ia
bertanya, “Bagaimana engkau menulis hal ini?” Orang yang menuliskan
dikte berkata, “Engkau tidak dapat melewatinya begitu saja.” Abu Bakar
menjawab: “Engkau betul.”[2]
Beberapa saat setelah Abu Bakar wafat, ‘Umar meraih kedudukan
khalifah berkat surat pengangkatan ini. Di sini anda teringat akan
tragedi yang terjadi tiga hari atau lima hari sebelum wafatnya
Rasulullah Saw.
Dalam Sahih Muslim terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh Ibnu ‘Abbas bahwa: “Tiga hari sebelum wafatnya Rasulullah Saw ‘Umar
bin Khattab dan sahabat-sahabat yang lain hadir di sisi beliau.
Rasulullah Saw berkata: “Kini biarkan aku menuliskan sesuatu untuk
kalian sebagai wasiat sehingga kalian tidak akan tersesat setelahku.”
‘Umar berkata: “Nabi sedang meracau; Kitabullah cukup bagi kita.”
Perkataan ‘Umar menyebabkan kegaduhan di antara orang yang hadir di
situ. Beberapa orang berkata bahwa permintaan Nabi itu harus dipenuhi
sehingga beliau menulis apa saja yang diinginkan oleh Rasulullah Saw
untuk kebaikan mereka, dan yang lainnya bersama ‘Umar. Ketika ketegangan
dan kegaduhan meningkat, Rasulullah Saw berkata, “Pergilah kalian dari
sini.”[3]
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian meninggikan suara kaliad lebih dari suara Nabi…” (Qs. al-Hujurat:2) Perkataan Nabi adalah wahyu dari Allah, “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsu. Ucapannya tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.”(Qs. an-Najm:3-4) Dan diperintahkan untuk mengikuti perintah tanpa adanya “sekiranya” dan “tetapi”; Apa saja yang diberikan oleh Rasul kepadamu ambillah, dan apa saja yang dilarangnya, jauhilah.” (Qs. al-A’raf:59).
Dan ketika Nabi, lima hari sebelum wafatnya, beliau ingin menuliskan
petunjuk untuk menyelamatkan kaum Muslimin dari kesesatan, beliau
dituduh “sedang meracau”.
Ketika Abu Bakar yang tidak memiliki penjagaan Ilahi dari kesalahan,
mulai mendiktekan surat pengangkatan dalam keadaan kritis; sehingga ia
jatuh pingsan sebelum menyebutkan nama penggantinya, ‘Umar tidak berkata
bahwa ia sedang meracau!
Tidak ada orang yang tahu pasti atas apa yang dinginkan oleh Rasul
untuk ditulis, tetapi kalimat yang digunakan oleh beliau memberikan
petunjuk bagi kita bahwa yang diminta oleh beliau untuk ditulis adalah Kitabullah dan Itrahti. Dalam beberapa kesempatan, Rasulullah telah mengumumkan:
Ayyuhannas!, Sesungguhnya Aku tinggalkan bagi kalian dua pusaka yang berharga (tsaqalain) Kitabullâh dan Itrahti, yang merupakan Ahl al-Baitku. Kalian tidak akan tersesat selamanya, jika kalian berpegang teguh kepada keduanya.
Ketika beliau menggunakan kalimat yang sama lima hari sebelum
wafatnya (…”Mari aku tuliskan sesuatu sebagai wasiat sehingga kalian
tidak akan tersesat setelahku”..), mudah untuk dimengerti bahwa
Rasululullah Saw ingin menuliskan apa yang telah dikatakan kepada mereka
tentang al-Qur’an dan Ahl al-Bait As.
Barangkali ‘Umar telah menduga hal ini sebelumnya; karena tampak dari klaim yang digunakannya: “Kitabullâh cukup bagi kita.” Ia ingin memberitahukan kepada Rasulullah Saw bahwa ia tidak ingin mengikuti Tsaqalain. Yang pertama sudah cukup baginya.
Dan ia sendiri mengakui dalam pembicaraannya dengan ‘Abdullah bin
‘Abbas, kemudian ia berkata sebagai berikut: “Dan sesungguhnya, Ia
(Rasulullah) bermaksud untuk mengumumkan nama ‘Ali, sehingga aku
mencegahnya.”[4]
Barangkali dengan menggunakan kalimat “meracau” akan mewujudkan
tujuannya bahwa jika sekiranya Rasulullah Saw menuliskan wasiat beliau, ‘Umar dan pengikutnya akan mengklaim bahwa karena wasiat itu ditulis dalam keadaan meracau, maka tidak memiliki keabsahan.
Asy-Syuraa: Komite.
Setelah berkuasa kurang-lebih sepuluh tahun, ‘Umar terluka secara serius akibat tikaman seorang budak Zoroaster, Firuz.
‘Umar merasa sangat berhutang budi kepada ‘Utsman (karena surat
pengangkatan tersebut) namun tidak ingin secara terbuka menominasikan
‘Utsman sebagai penggantinya; juga tidak ingin melepaskan kaum Muslimin
untuk menggunakan kebebasan setelah kematiannya. Ia secara cerdik
menciptakan system ketiga.
Ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah telah wafat dan beliau rida
dengan keenam orang Quraisy: ‘Ali, Utsman, Talha, az-Zubair, Sa’ad bin
Abi Waqqas dan Abdurrahman bin ‘Auf. Dan jika aku memutuskan untuk
membuat (seleksi khalifah) dimusyarahkan di antara mereka, mereka dapat
memilih salah satu dari keenamnya.”
Mereka dipanggil ketika ia hampir mendekati kematian. Ketika ia
melihat kepada mereka, ia bertanya, “Jadi, kalian semua ingin menjadi
khalifah setelahku?” Tidak ada yang menjawab. Ia mengulangi
pertanyaannya. Lalu az-Zubair angkat bicara: “Apa yang engkau miliki
untuk menyingkirkan kami dari pencalonan? Engkau telah mendapatkannya
dan mengelolanya; dan kami tidak lebih kecil darimu dalam bangsa Quraisy
baik dari sisi keturunan dan hubungan dengan Rasulullah Saw.”
‘Umar bertanya: “Jika sekiranya aku katakan tentang diri kalian semua?
Az-Zubair berkata: “Katakanlah kepada kami, karena walaupun kami
memintamu untuk tidak mengatakannya, engkau tetap akan mengatakannya.
Lalu ‘Umar mulai menghitung kejahatan-kejahatan az-Zubair, Talha, Sa’ad
bin Abi Waqqas dan ‘Abdurrahman bin ‘Auf. Lalu ia menoleh kepada ‘Ali
dan berkata, “Demi Allah engkau pantas untuk mendapatkannya (khalifah)
jika saja karena bukan tabiat tegasmu. Bagaimanapun, demi Allah, jika
engkau membuatnya menjadi pemimpinmu, ia akan pasti membimbingmu ke
jalan yang benar dan jalan yang terang.”
Lalu ia memandang kepada ‘Umar dan berkata: “Ambillah dariku.
Sepertinya seakan-akan aku melihat bahwa bangsa Quraisy telah meletakkan
kalung ini (khalifah) di sekitar lehermu karena cintamu; kemudian
engkau akan meletakkan Banu Umayyah dan Banu Abi Mu’ayt (sukunya
‘Utsman) di pundak orang-orang (sebagai penguasa) dan memberikan kepada
mereka secara eksklusif harta rampasan (ghanimah) kaum muslimin; dengan demikian sekelompok orang dari srigala-srigala Arab datang kepadamu dan membantaimu di pembaringan.
Demi Allah, jika bangsa Quraisy memberikan khalifah kepadamu, engkau
pasti akan memberikan hak-hak eksklusif kepada Banu Umayyah dan jika
engkau melakukan hal ini, kaum Muslimin akan membunuhmu.”Lalu ia
memegang kening ‘Utsman dan berkata: “Jadi jika hal ini terjadi, ingatlah pesanku; karena pasti hal ini akan terjadi.”
Kemudian ‘Umar memanggil Abu Talha al-Ansari dan berkata kepadanya
bahwa setelah penguburannya (‘Umar), ia diminta untuk mengumpulkan lima
puluh orang dari Ansar yang bersenjatakan pedang, dan mengumpulkan
keenam orang kandidat yang telah disebutkan di atas dalam sebuah rumah
untuk memilih salah seorang dari mereka sebagai khalifah. Jika lima
orang sepakat dan satunya tidak, maka ia harus dipenggal; jika empat
orang sepakat dan dua orang tidak sepakat, keduanya harus dipenggal;
jika seimbang, tiga berhadapan dengan tiga, pilihan kelompok Abdurrahman
‘Auf yang menang, dan jika kelompok lainnya tidak setuju atas pilihan
Abdurrahman ‘Auf mereka harus dipenggal. Kemudian jika sudah tiga hari
berlalu dan mereka tidak mampu mengambil sebuah keputusan, semuanya
harus dipenggal dan masalah pemilihah khalifah diserahkan kepada kaum
Muslimin.”[5]
Seorang penulis Syi’ah menukil, ketika ‘Umar mengumumkan bahwa
kelompok ‘Abdurrahman bin ‘Auf yang akan menang, ‘Abdullah bin ‘Abbas
berkata kepada ‘Ali, ” Dan lagi hal ini merupakan kekalahan bagi kita.
Orang ini menghendaki ‘Utsman menjadi khalifah.” ‘Ali menjawab, “Aku
juga mengetahui hal ini; namun aku masih ingin duduk bersama mereka di
dalam syura, karena ‘Umar dengan siasat ini telah – setidaknya –
menerima bahwa aku yang pantas menjadi khalifah, padahal sebelumnya ia
menegaskan bahwa nubuwwah (kenabian) dan imamah tidak dapat bergabung dalam satu keluarga. Oleh karena itu, aku akan mengambil bagian dalam syurah untuk menunjukkan kepada orang-orang bahwa dalam pembicaraan dan perbuatannya terdapat kontradiksi.”[6]
Mengapa Ibn ‘Abbas dan ‘Ali yakin bahwa ‘Umar menghendaki ‘Utsman
yang menjadi khalifah? Karena konstitusi syura dan kerangka kerjanya.
‘Abdurrahman bin ‘Auf dan ‘Utsman adalah saudara ipar, karena
‘Abdurrahman bin ‘Auf menikah dengan saudarinya ‘Utsman; dan Sa’ad bin
Abi Waqqas dan ‘Abdurrahman adalah saudara sepupu.
Memandang kepercayaan yang diikat oleh keluarga dalam bangsa Arab,
mustahil Sa’ad akan menentang ‘Abdurrahman atau ‘Abdurrahman tidak
mengindahkan ‘Utsman (saudara iparnya). Sehingga semua suara tersebut
untuk ‘Utsman, termasuk ‘Abdurrahman yang memutuskan suara.
Talha bin ‘Ubaidillah berasal dari suku Abu Bakar dan sejak hari
Saqifah, Bani Hasyim dan Bani Taim bermusuhan satu sama lain. Dan dalam
tataran pribadi, ‘Ali telah membunuh pamannya, ‘Umair bin ‘Utsman,
saudaranya Malik bin ‘Ubaidillah dan kemenakannya ‘Utsman bin Malik
dalam perang Badar.[7] Tidak mungkin baginya mendukung ‘Ali. Az-Zubair merupakan putra dari Safiyyah, bibi ‘Ali,
dan setelah peristiwa Saqifah, ia mencabut pedangnya untuk memerangi
mereka yang telah menerobos rumahnya ‘Ali untuk membawanya kepada Abu
Bakar. Dan tidak masuk akal untuk mengharapkan Zubair dapat membantu
‘Ali. Dan pada sisi yang lain, ia sendiri dapat tergoda untuk menjadi
khalifah.
Dengan demikian, orang yang paling bisa diharapkan oleh ‘Ali dalam
pemilihan itu adalah az-Zubair. Masih ada empat orang dalam pemilihan
tersebut yang menentangnya dan ia akan kalah dalam pemilihan ini. Bahkan
jika Talha memilih ‘Ali, ia tidak dapat menjadi khalifah karena dalam
skenario dua kelompok yang berimbang, pendapat ‘Abdurrahman yang akan
didengar.[8]
Setelah mengkaji kerangka kerja musyawarah ini, apa yang terjadi di
dalamnya adalah hanya menarik minat akademik saja. Talha menjatuhkan
suaranya kepada ‘Utsman; dengan asumsi bahwa az-Zubair akan memilih
‘Ali, dan Sa’ad memilih ‘Abdurrahman bin ‘Auf.
Pada hari ketiga, ‘Abdurrahman menarik namanya dan berkata kepada
‘Ali bahwa ia akan menjadikannya sebagai khalifah jika; ‘Ali bersumpah
untuk mengikuti Kitabullah, sunnah Rasulullah dan sunnah Abu Bakar dan
‘Umar. ‘Abdurrahman tahu betul jawaban ‘Ali. ‘Ali berkata, “Aku ikuti
Kitabullah, Sunnah Rasulullah Saw dan keyakinanku sendiri.”
Kemudian ‘Abdurrahman mengajukan syarat yang sama kepada ‘Utsman,
yang memang telah bersedia untuk menerima syarat tersebut. Dengan
demikian, ‘Abdurrahman mendeklarasikan ‘Utsman sebagai khalifah baru.
‘Ali As berkata kepada ‘Abdurahman: “Demi Allah, engkau tidak
melakukannya kecuali dengan harapan yang sama, yang ia (‘Umar) dapatkan
dari temannya.” (Ia bermaksud bahwa ‘Abdurahman melantik ‘Utsman sebagai
khalifah dengan harapan bahwa ‘Utsman juga akan menominasikannya
sebagai penggantinya).
Kemudian ‘Ali berkata: “Semoga Allah menciptakan permusuhan di antara
kalian berdua.” Selang beberapa tahun ‘Abdurahman dan ‘Utsman saling
bermusuhan satu sama lain; mereka tidak saling menyapa hingga
‘Abdurahman wafat.
‘Utsman; khalifah ketiga, dibunuh oleh kaum Muslimin yang tidak
senang dengan nepotisme yang dipraktikkan olehnya. Keadaan ini tidak
memberikannya peluang untuk memilih penggantinya. Kaum Muslimin, untuk
pertama kalinya, benar-benar bebas menyeleksi (selection) atau mengeleksi (election) seorang khalifah sesuai dengan pilihan mereka; mereka berkerumun di hadapan pintu rumah ‘Ali As.
Namun, dua puluh lima tahun telah berlalu semenjak wafatnya
Rasulullah Saw, tabiat dan pandangan kaum Muslimin telah berubah hingga
pada keadaan bahwa banyak orang-orang popular menjumpai pemerintahan
‘Ali berdasarkan kepada keadilan dan kesetaraan mutlak, persis seperti
pemerintahan Rasulullah Saw, sehingga mereka tidak kuat mengikuti
pemerintahannya.
Setelah syahada Imam ‘Ali As, Imam Hasan ingin melanjutkan
perang dengan Muawiyah. Namun banyak orang-orangnya, disuap oleh
Mua’wiyah; dan banyak para komandan yang, ketika mereka diutus untuk
menghadang Muawiyah, malah menyeberang menjadi pasukan Mua’wiyah dan
menjadi musuh Imam Hasan As. Dalam keadaan seperti ini, Imam Hasan
terpaksa menerima tawaran berdamai dari Muawiyah.
Setelah gencatan senjata ini, Ahlus Sunnah mengklaim bahwa kekuatan
militer adalah jalan yang sah untuk memperoleh khalifah konstitusional.
Oleh karena itu, jalan keempat “konstitusional” khalifah muncul menjadi syarat di antara syarat-syarat menjadi seorang khalifah.
Pandangan Umum.
Dalam ranah politik, biasanya konstitusi sebuah Negara disiapkan
sebelumnya. Dan ketika tiba saatnya untuk memilih sebuah pemerintahan
atau melantik dewan legislatif, setiap jawatan dilaksanakan berdasarkan
provisi-provisi konstitusi. Apapun yang sejalan dengannya, akan dianggap
sah dan legal dan sebaliknya, apa saja yang berlawanan dengan kaidah
ini, ditolak karena tidak sah dan illegal.
Karena, menurut pandangan Ahlus Sunnah merupakan tugas umat untuk
memilih seorang khalifah, wajib bagi Allah dan Rasul-Nya untuk
menyediakan mereka sebuah konstitusi (dengan prosedur yang detail untuk
memilih seorang khalifah). Dan jika tidak dilakukan, maka kaum Muslimin
sendiri yang seharusnya bersepakat untuk menentukan langkah-langkah
konstitusional sebagai pendahuluan sebelum prosesi pemilihan seorang
khalifah.
Akan tetapi, cukup aneh jika hal ini tidak dilakukan. Dan kini kita temukan sebuah “konstitusi unik yang tidak past”i (unsettled)
yang tindakan-tindakannya tidak sesuai dengan konstitusi karena memang
tidak ada; malah sebaliknya konstitusi yang mengikuti keadaan-keadaan.
Argumen paling baik yang diajukan oleh Ahlus Sunnah untuk mendukung
klaim mereka adalah bahwa kaum Muslimin pada masa-masa awal memandang
tugas mereka untuk mengangkat seorang khalifah, dan bahwa mereka
memandang hal ini penting sehingga mereka melalaikan untuk menghadiri
upacara pemakaman Rasulullah dan pergi ke Saqifah Bani Sa’idah untuk
menyelesaikan permasalahan khalifah. Dari peristiwa itu mereka
memutuskan bahwa pengangkatan seorang khalifah merupakan tugas umat.
Syi’ah mengklaim bahwa peristiwa Saqifah Bani Sa’idah adalah
peristiwa illegal; Ahlus Sunnah mengklaim bahwa peristiwa ini legal dan
benar. Bagaimana Ahlus Sunnah meletakkan klaim mereka sebagai argumen
dan dalil?
Untuk meletakkan klaim sebagai dalil adalah seperti pepatah:
“Perbuatanku sah karena aku telah melakukannya.” Mahkamah manakah yang
akan menopang argumen semacam ini?
Sisi Praktikal.
Kesampingkan sisi akademis dari metode-metode ini, mari kita lihat
akibat yang diderita oleh mereka karena masalah kepemimpinan dan
mentalitas kaum Muslimin.
Dalam masa tiga puluh tahun setelah wafatnya Rasulullah Saw, segala
cara yang mungkin dilakukan untuk memperoleh kekuasaan dan membuat
aturan-aturan baku seperti eleksi, seleksi, nominasi dan kekuatan
militer. Hasilnya, adalah bahwa hari ini setiap penguasa Muslim yang
menghendaki untuk menduduki takhta kekhalifahan dan “kepemimpinan
spiritual” kaum Muslimin; dan hal ini merupakan kekurangan dasar dari
pandangan kaum Muslimin yang hingga hari ini senantiasa menjadi
penyebab utama instabilitas politik dunia Islam. Setiap penguasa Islam;
sebagai seorang Muslim, telah diajarkan bahwa “supremasi militer”
merupakan sebuah jalan konstitusional untuk menjadi khalifah. Mereka
mencoba untuk melemahkan penguasa Muslim yang lain sehingga ia
sendirilah yang dapat muncul sebagai penguasa yang paling agung di
antara penguasa-penguasa kaum Muslimin. Dengan cara seperti ini,
“konstitusi” ini secara langsung telah menyumbangkan kelemahan bagi
dunia Islam hari ini.
Terlepas dari itu, mari kita lihat sekali lagi betapa metode ini
terbukti segera setelah ia diciptakan. Keempat sisi batas khalifah ini
sangat tidak aman sehingga seseorang bisa saja memasukinya, tanpa
memandang ilmu atau perilakunya. Khalifah pertama setelah Mu’awiyah
adalah anaknya, Yazid, yang”dinominasikan” oleh Mua’wiyah dan memiliki
“kekuatan militer” yang besar. Kaum Muslimin memberikan bai’at mereka selama masa pemerintahan Mua’wiyah; dengan demikian, terdapat ijma’ juga dalam bai’at
ini. Jadi Yazid juga merupakan “khalifah konstitusional”. Namun
bagaimana iman dan perilakunya? Yazid adalah orang yang terang-terangan
mengingkari Rasulullah Saw. Ia secara jujur menyatakan keyakinannya
dalam sebuah syair: “Bani Hasyim telah memainkan sebuah lakon untuk
meraih kerajaan; sejatinya tidak ada kabar (dari Tuhan) juga tidak ada
wahyu.”[9]
Ia tidak percaya tentang adanya Hari Kiamat: “Wahai kekasihku! Jangan
engkau percaya akan bersua denganku setelah mati, karena apa yang
mereka katakan kepadamu tentang wujud kita akan dibangkitkan untuk hisab
hanyalah sebuah mitos yang membuat hati lupa akan kesenangan hidup di
dunia nyata ini.”[10]
Setelah memangku jabatan khalifah, ia secara terbuka bermain-main
dengan salat; dan menunjukkan sikap acuhnya terhadap agama dengan
mengenakan jubah ulama pada anjing-anjing dan monyet-monyet. Judi dan
bermain dengan beruang adalah permainan favoritnya untuk menghabiskan
waktu. Ia menghabiskan waktunya dengan meminum anggur, di mana saja dan
kapan saja, tanpa ragu. Ia tidak menghormati kaum wanita, bahkan
orang-orang yang termasuk muhrimnya seperti, ibu tiri, saudara, bibi dan
putri. Mereka ibaratnya seperti wanita-wanita lain di matanya.
Ia mengutus pasukannya ke Madinah. Di kota suci Nabi itu harta-harta
para penduduk dijarah secara bebas. Tiga ratus gadis-gadis, terpisah
dari wanita-wanita lainnya, diserang oleh tentara-tentaranya. Tiga ratus
qurra (pembaca al-Qur’an) dan tujuh ratus sahabat-sahabat Nabi dibantai secara brutal.
Masjid suci ditutup selama berhari-hari. Para tentara Yazid
menggunakannya sebagai kandang kuda mereka. Masjid suci ini menjadi
tempat persinggahan anjing-anjing dan mimbar Nabi dicemari.
Akhirnya, komandan lasykar memaksa orang-orang Madinah untuk tunduk di hadapan Yazid dengan memberikan bai’at
mereka dengan perkataan seperti ini: “Kami adalah budak-budak Yazid;
terserah kepadanya apakah ia memberikan kembali kepada kami kebebasan
atau menjual kami di pasar budak.” Mereka yang ingin memberikan bai’at dengan syarat bahwa Yazid harus mengikuti dustur al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw, dibunuh oleh antek-antek Yazid.[11]
Mungkin relevan jika kita menyitir hadits Nabi yang pernah bersabda
bahwa: “Semoga Allah melaknat orang yang memberi ketakutan kepada
orang-orang Madinah!”
Kemudian pasukan itu, atas perintah Yazid, bertolak ke Makkah. Kota
paling suci Allah itu dikepung. Mereka tidak dapat memasuki kota, lalu
mereka menggunakan manjaniq (ketapel): sebuah alat militer kuno
yang digunakan untuk melontarkan batu besar terhadap sasaran yang
jauh). Dengan alat ini, mereka melontarkan batu-batuan dan obor yang
menyala ke Ka’bah. Kiswah (plafon Ka’bah) terbakar dan salah satu bagian dari bangunan suci itu rusak berat.[12]
Al-Walid dan Harun al-Rasyid.
Aturan ini, bukan sebagai sebuah pengecualian, sudah menjadi aturan
umum. Contohnya adalah Al-Walid bin Yazid bin Abdul Malik yang merupakan
salah seorang khalifah dari Bani Umayyah. Suatu malam ia sedang
minum-minuman keras bersama selirnya, hingga mereka berdua mendengar
azan subuh. Ia bersumpah bahwa sang selir tersebut akan memimpin salat.
Sang selir mengenakan jubah khalifah dan memimpin salat dalam keadaan
yang sama dengan al-Walid, yaitu sedang mabuk.[13]
Suatu hari ia menggangu putri belianya di hadapan wanita budak
putrinya tersebut. Ia berkata (itu bukan Islam) itu merupakan agama
Majusi. Al-Walid mendendangkan sebuah kuplet: “Pria yang peduli akan
(lisan) orang-orang, mati dalam keadaan duka; pria yang berani, akan
mendapatkan seluruh kesenangan duniawi.[14]
Harun al-Rasyid, khalifah masyhur dari negeri Seribu Satu Malam ini
dianggap sebagai salah seorang khalifah yang paling berpengaruh, ingin
tidur bersama salah seorang selir ayahnya. Wanita tersebut secara tegas
menolak dan mengatakan bahwa perbuatan ini termasuk perbuatan zina
karena kedudukan wanita itu sebagai ibu baginya. Harun al-Rasyid
memanggil al-Qadi Abu Yusuf dan berkata kepadanya untuk menemukan cara
untuk memuaskan syahwatnya. Si Qadi berkata: “Dia hanyalah merupakan
wanita budak.”
Apakah engkau akan menerima apa saja yang ia katakan? Tidak.
Jangan terima perkataannya.”
Jadilah sang khalifah memuaskan nafsunya.
Ibn Mubarak berkomentar: “Aku tidak tahu siapa di antara tiga orang
ini yang lebih mengagetkan: Khalifah yang menaruh tangannya di dalam
darah dan harta kaum Muslimin dan tidak menghormati ibu tirinya; atau
wanita budak yang menolak untuk mengabulkan keinginan sang khalifah;
atau Qadi yang memberikan fatwa kepada sang khalifah untuk menghina
ayahnya dan tidur bersama selir ayahnya yang nota-bene masih merupakan
ibu tirinya sendiri.”[15]
Pengaruh-pengaruh Kepercayaan Terhadap Keadilan Ilahi dan Ismah (Kesucian)Para Nabi.
Telah dijelaskan bahwa keyakinan Ahlus Sunnah ihwal “khalifah
konstitusional” melemahkan kaum Muslimin secara politik dan memaksa
mereka untuk mentaati setiap orang yang berhasil meraih kekuasaan tanpa
memandang kualifikasi atau karakternya.
Seakan-akan hal ini tidak cukup untuk memaksa mereka untuk merubah pandangan dan keyakinan agamanya.
Pertama-tama, mayoritas khalifah yang pernah berkuasa, kosong dari
nilai-nilai agama dan ketakwaan. Untuk menjustifikasi khalifah yang
seperti ini, mereka mengklaim bahwa bahkan para nabi biasa melakukan
kesalahan. Oleh karena itu, keyakinan mereka terhadap ismah para nabi
telah berubah.[16]
Karena barangkali ada ratusan orang yang lebih alim, bertakwa dan
lebih memenuhi kualifikasi untuk menjadi khalifah ketimbang khalifah
yang berkuasa, mereka dipaksa untuk berkata bahwa tidak ada yang salah
dalam memberikan preferensi kepada orang yang lebih rendah tingkat
keilmuan, keimanannya (inferior) atas seorang yang memiliki tingkat keilmuan, keimanan yang lebih tinggi dan berkualifikasi.
Syi’ah mengajarkan bahwa perbuatan ini termasuk perbuatan jahat
sesuai dengan standar akal-sehat. Tindakan memberikan preferensi kepada
yang lebih inferior ketika ada orang yang lebih superior adalah
perbuatan jahat, Ahlus Sunnah menyatakan bahwa tidak ada yang baik atau
buruk dalam dirinya, apa saja yang diperintahkan oleh Allah adalah baik;
apa saja yang dilarang adalah buruk.[17]
Tentang akal, mereka mengingkari keberadaannya di dalam agama. Tidak
mungkin menjelaskan secara detail data yang menunjukkan bagaimana
keyakinan Ahlus Sunnah “konstitusional khalifah” mempengaruhi seluruh
teologi Islam, namun dengan penjelasan secara singkat diharapkan bisa
memadai untuk sementara waktu. Jelas bahwa untuk melindungi para
khalifah, tidak hanya para nabi disingkirkan dari kedudukan ismah, tapi
juga Allah disingkirkan dari keadilan-Nya. Dari sudut pandang ini, kita
dapat dengan mudah mengerti signifikansi penuh ayat yang diturunkan di
Ghadir Khum.
Wahai Rasul! Sampaikan apa yang telah diwahyukan keapdamu dari
Tuhanmu; (tentang khilafah Imam ‘Ali As) dan jika engkau tidak
melakukannya, engkau tidak menyampaikan pesan Ilahi (sama sekali); Dan
Allah akan menjagamu dari ganguan manusia (Qs. al-Maidah:54) .
Kesucian keyakinan dan amal Islam bergantung kepada khalifah ‘Ali As;
jika satu pesan tidak disampaikan, maka seakan-akan tidak ada pesan
yang disampaikan sama sekali. Keterjagaan seluruh ajaran agama
bergantung kepada Khalifah ‘Ali setelah Rasulullah Saw.
[1] . Lihat, at-Tabari: at-Târikh, hal-hal. 2138-2139.
[2] . Lihat, Ibn Abi ‘l-Hadid: Syarh.Nahju ‘l-Balâgha vol. 1, hal-hal. 163-165.
[3] . Lihat, Muslim: as-Sahih “ Kitabu ‘l-Wasiyyah “, Babu ‘t-tarki ‘l-Wasiyyah, vol. 5, hal-hal.75-76; al-Bukhari: as-Sahih, (Kairo, 1958), vol. 1, ” Kitabu ‘l-’llm“) hal-hal.38-39; vol.4, hal.85; vol.6, hal-hal.11-12; vol. 7, Kitabu ‘t-Tib , hal-hal.155-156; vol. 9, Kitabu ‘iI’ tisam bi ‘l -Kitab wa ‘s-Sunnah,
hal. 137. Menarik untuk disimak bahwa di mana Bukhari memberikan
komentar bahwa Rasulullah berbicara dalam keadaan meracau, ia melalaikan
nama orang yang menuduh beliau meracau (‘Umar, -penj.); dan di
mana ia memparafrasekan komentar tersebut dengan bahasa yang lebih
santun, ia menyebutkan nama pembicara – ‘Umar – dengan jelas. Ibn Sa’d: at-Tabaqat, vol. 2, hal-hal. 242-324 folio, 336, 368; Ahmad: al-Musnad, vol. I, hal-hal .232,239, 324 folio, 336,355.
[4] . Lihat, Ibn Abi ‘l-Hadid: Syarh, vol. 12, hal. 21, (dinukil dari Târi’kh Baghdad).
[5] . Ibid., vol. l, hal-hal. 185-188; Lihat juga Ibn Qutaybah : al-Imâmah wa ‘s-Siyâsah, vol. 1, hal- hal. 23-27; dan at-Tabari: at-Târikh, (Mesir, tanpa tahun), vol.5, hal-hal. 33-41.
[6]. Lihat, Ibn Abi ‘l-Hadid :Syarh, hal.189.
[7] . Lihat, Ash-Shaykh al-Mufid: al-Irsyad
, (dengan terjemahan Persia oleh Syaikh Muhammad Baqir Sa’idi
Khurasani), hal.65. [Lihat juga terjemahan Inggris oleh I. K.A. Howard,
hal .47 ].
[8] . Analisa ini dinisbahkan kepada ‘Ali As, sendiri oleh at-Tabari dalam at-Tarikh, hal.35; (lihat footnote 78, di atas). Dalam laporan itu, dialog ini dikatakan terjadi antara ‘Ali dan pamannya ‘Abbas.
[9] . Lihat, catatan kaki no. 9 bagian pertama.
[10] . Lihat, Sibt ibn al-Jawzi: Tadzkirah, hal. 291.
[11] . Lihat, as-Suyuti: Tanrikhu ‘l-Khulafa‘, hal. 209, [Lihat juga, terjemahan Inggrisnya oleh Major H.S. Jarrett, hal.213]; Abu’l-Fida’: at-Târikh, vol.I, hal.192; Sibt ibn al-Jawzi: Tadzkirah, hal. 288; Mir Khwand: Rawdatu ‘s-Safa, vol. 3, hal. 66; Ibn Hajar al-Haytami: as-Sawa’iqu ‘l-Muhriqah, hal. 79.
[12] . Ibid.
[13] . Lihat, ad-Diyar Bakri: Tarikhu ‘l-Khâmis, vol. 2, hal. 320, sebagaimana dikutip oleh Nawwab Ahmad Husayn Khan Payanwan dalam Tari’kh Ahmad, hal. 328 [Ibn Shakir: Fawatu ‘l-wafayat, vol.4, hal-hal.255-259.
[14] . Lihat, as-Suyuti: Tari’khu ‘l-Khulafa‘, hal. 291.
[15] . Ibid.
[16] . Lihat, Prophethood karya S.A.A. Rizvi, hal.9-18
[17] . Lihat, Justice of God karya S.A.A. Rizvi, hal-hak. 1-2.
(Scondprince/Syiahali/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email