Pesan Rahbar

Home » » MENGENAL IMAM-IMAM AHLUL SUNNAH

MENGENAL IMAM-IMAM AHLUL SUNNAH

Written By Unknown on Thursday 21 August 2014 | 09:54:00


Imam-imam ahlu sunnah terbagi dua, yaitu: Imam-imam dalam masalah fiqh dan Imam-imam masalah aqidah. Dalam masalah fiqh mereka mengikuti empat orang  imam terkenal pemilik mazhab yang empat yaitu, Imam Abu Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali.


Imam-imam yang empat itu bukanlah merupakan  genertasi sahabat Rasulullah  SAW maupun tabi’in, sehingga Rasul SAW tidak mengenal mereka , dan merekapun tidak mengenal Rasul SAW.Dari keempat imam tersebut, Abu Hanifah merupakan imam yang paling tua dimana usianya terpaut lebih dari dua ratus tahun dengan Rasul SAW. Adapun dalam masalah aqidah,  ahlu  sunnah   mengikuti Al  Asy’ari yang lahir tahun 270 H.Imam-imam inilah yang merupakan  imam yang di ikuti dikalangan ahlu Sunnah  dalam masalah aqidah dan Syari’at. 

Nah…coba anda perhatikan, adakah dari imam-imam ini yang merupakan imam Ahlu Bait  atau sahabat Nabi? Tentu tidak . Lantas mengapa mereka yang mengaku memegang teguh sunnah Nabi  mengakhirkan atau mengunci mazhab yang empat ini hingga masa tersebut? Dimana Ahlu Sunnah  sebelum munculnya para imam mazhab-mazhab itu ? dan bagaimana mereka beribadah, serta kepada siapa mereka berhukum sebelum itu? Dan bagaimana mereka bisa  percaya  kepada orang-orang yang tidak semasa dengan Nabi SAW dan Nabi pun tidak mengenal mereka, sementara ketika mereka muncul , fitnah dan peperangan sesama sahabat Nabi SAW dan diantara pengikut mazhab  mereka terlah terjadi dimana-mana?

Pembaca yang saya hormati, cobalah anda berpikir secara jernih! Dapatkah sesorang yang berpikir sehat menerima para imam tersebut saat ketika fitnah dan kekacauan merajalela? Hanya karna dukungan politik dari penguasa Bani Umayyah dan Bani Abbasiah keempat mazhab tersebut dapat berkembang ditengah masyarakat(Silahkan lihat dikitab Ahlu Sunnah, Al Intifa’Ibnu Abdul Bar, Dhahral Al Islam Ahmad Amin dan manakib Abu Hanifah Al Muwafiq}.

Bagaimana sesorang yang mengaku Ahlu Sunnah Nabi meninggalkan Sayyidina Ali, gerbang ilmu pengetahuan (lihat di shahih Muslim, bagian Keutamaan-keutamaan Sayyidina Ali, jilid 4 hal 1871).Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein  penghulu pemuda di surga, serta Imam suci dari keluarga Nabi SAW yang telah mewarisi ilmu yang sebenarnya! Apakah pantas mereka mengaku sebagai pembela Sunah Nabi sementara pada saat yang sama mereka malah meninggalkan wasiat Nabi untuk mengikuti para Imam yang Suci? Cobalah anda perhatikan , kepentingan politik telah merubah segalnya, yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar. Kaum syi’ah yang memegang teguh wasiat Nabi dibilang pembangkang dan ahli bad’ah, sementara mereka yang tidak memegang teguh wasiat Nabi  malah disebut pengikut sunnah Nabi. Dan saya yakin bahwa otak dari semua ini adalah orang Quraisy, karna mereka terkenal dengan pribadi-pribadi  yang  fanatik  dan  licik. Diantara   para  pembesar – pembesar  ini adalah  ,    Abu Sufyan, Mu’awiyyah bin Abu Sufyan, Marwan bin Hakam, Thalhah bin Ubaidillah dan Abu Ubaidillah bin Jarrah. Mereka bermusyawarah dan bermufakat untuk menyebarkan berita-berita palsu ditengah-tengah masyarakat, tanpa diketahui oleh orang lain rahasia yang sebenarnya.

Diantara politik yang mereka lakukan adalah, menjadikan Nabi SAW tidak ma’sum dan tidak luput dari kesalahan seperti manusia biasa lainya, juga tuduhan-tuduhan dan caci maki mereka teradap Sayyidina Ali yang mereka hina dengan panggilan Abu Turab. Demi kian pula cacian dan kutukan terhadap Ammar bin Yassir yang mereka sebut sebagai Abdullah bin Saba atau Ibnu Sauda, karna Ammar menyerukan mengangkatan Sayyidina Ali sebagai khalifah(silahkan anda lihat  buku Musthafa Kamil  Al Syaibani yang memaparkan sejumlah bukti dusta  rekaya yang menggelikan  bahwa Abdullah bin Saba  tidak lain adalah Ammar bin Yassir.)Demi kian pula rekayasa mereka yang menyebut diri  mereka sebagai Ahlu Sunnah, supaya orang Islam menyangka bahwa  merekalah yang memegang teguh Sunnah Nabi. Pada hakekatnya “sunnah “ yang mreka maksudkan tidak lain adalah bid’ah yang mereka ciptakan untuk mengutuk Sayyidina Ali dan keluarga Nabi SAW di seluruh polosok negri. “Bid’ah tersebut berlangsung lebih dari 80 tahun, hingga saat itu jika seorang khatif selesai dari khutbahnya dipastikan sebelum turun dari mimbabar akan berteriak “ saya meningalkan sunnah, saya meninggalkan sunnah! Dan tatkala Umar bin Abdul Aziz brusaha menggatikan sunnah itu  dengan firman Allah ,”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menegakkan keadilan dan kebaikan”(An Nahl;90) dan mereka bersekongkol membunuhnya dengan racun pada usia 32 tahun disaat itu baru menjabad khalifah kurang lebih dua tahun , karena usahanya untuk menghapus sunnah nenek moyang mereka  sebelumnya dari Bani Umayyah dan setelah jatuhnya Bani Umayyah. Upaya menindasan dan menghinaan terhadap Sayyidina Ali dan pengikutnya terus dilakukan oleh penguasa-penguasa baru Bani Abbasiah yang mencapai puncaknya pada masa khalifah Ja’far Al Muthasim Al Muttawakkil yang berusaha membongkar habis kuburan cucu Nabi SAW, yaitu Sayyidina Husein di Karbala  dan melarang para peziarah untuk mengunjunginya (Karna demi kian beratnya hinaan, cacian dan siksaan yang harus ditanggung oleh pengikut Sayyidina Ali dari para penguasa saat itu , sampai-sampai mereka lebih baik mengaku Yahudi dari pada mengaku Syi’ah.).

Khalifah Al Mutawakkil juga dikenal sebagai satu-satunya pengusa yang pernah membunuh semua bayi yang namanya Ali, karna ia emembenci mendengar nama itu.
Diceritakan bahwa Ali bin Jahm adalah seorang penyair tenar pada saat itu , tatkala berjumpa dengan Mutawakkil , ia menyatakan ; “Hai Amirul Mu’minin keluargaku telah mendurhakai aku dan Amirul Mu’minin”
“Kenapa?” tanya Al Mutawakkil
“Karna mereka menamakan diriku Ali, padahal aku paling benci nama itu”
Al Mutawakkil lantas terbahak-bahak dan memberikan sejumlah hadiah. Dan Khalifah Al Mutawakkil inilah yang oleh para ahli hadist Sunni disebut- sebagai pembangkit Sunnah.

Untuk memperjelas riwayat di atas, Imam Al Khawarizmi menulis dalam bukunya : “Harun dan Ja’far” Al Mutawakkil adalah mengukut setan, setiap orang yang mencaci maki Sayyidina Ali  pasti mendapat kiriman hadiah.(Kitab Al Khawarizmi hal ,135) Dalam buku lain Ibnu Hajar meriwayatkan dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal : bahwa Nasir bin Ali  bin Sahban berkata di hadapan Al Mutawakkil ;
“Dulu Rasullullah SAW pernah mengangkat tangan Sayyidina Hasan dan Sasyyidina Husain sambil berkata”Siapa yang menyakitiku dan kedua anakku ini, maka ia bersamaku pada hari kiamat di surga”. Mendengar hadist ini Al Mutawakkil mencambuknya 100 kali . Dan saat ia menemui ajalnya , Ja’far bin Abdul Wahid  membisikan pada Al Mutawakkil ,”Ya Amiral Mu’minin, ia merupakan pengikut Ahlu Sunnah! (Ibnu Hajar, Tahzib Al Tahzib)
              
Dari sini jelaslah bahwa kutukan dan cacian terhadap Sayyidina Ali dipandang sebagai dukungan terhadap simbul Ahlu Sunnah . Dan Mereka Menuduh Syi’ah yang mendukung kepemimpinan Sayyidina Ali sebagai Ahli Bid’ah karna mereka tidak mengikuti pendapat Sahabat dan Khulafa Al Rasyidin yang tidak mengakui kepemimpinan Sayyidina Ali.

Saya rasa bukti-bukti sejarah yang saya ungkap sudah lebih dari cukup dan anda  para pembaca yang saya hormati, saya persilahkan untuk meneliti lebih jauh kebenaran yang saya ungkap tersebut”Sesungguhnya orng-orang yang bersusaha keras unrtuk menemukan kebenaran, niscaya kami tunjuki mereka jalan yang lurus, dan sesungguhnya Allah bersana orang-orang yang berbuat kebajikan”(Al Ankabuut: 69)
 Ali selalu bersama Al Qur’an dan Al Qur’an  selalu bersamanya, keduanya tidak akan pernah berpisah sampai bertemu denganku kelak ditelaga surga (Al-Mustadrak Al Hakim, juz 3.hal.124).

_____________________
Penjelasan:

Kedudukan Riwayat Wasiat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] Kepada Aliy bin Abi Thalib Dalam Kitab Al Ghaibah Ath Thuusiy.
Beberapa waktu yang lalu ada diantara para pembaca yang meminta kami membahas mengenai hadis dua belas Imam atau dua belas khalifah. Di sisi Sunni hadis dua belas khalifah dari Quraisy kedudukannya shahih hanya saja tidak ada hadis Sunni yang shahih menyebutkan siapa nama-nama mereka. Sedangkan di sisi Syi’ah hadis dua belas imam kedudukannya shahih dan terdapat hadis yang menyebutkan nama-nama siapa kedua belas imam yang dimaksud.

Sebenarnya sebelumnya kami pernah membahas sedikit mengenai hadis dua belas imam di sisi Syi’ah walaupun sebenarnya pokok bahasan yang kami bahas adalah kedustaan nashibiy yang menuduh Al Kulainiy mengubah sanad hadisnya.

Hadis dua belas imam yang dimaksud sudah sedikit dibahas dalam tulisan tersebut dan kedudukannya shahih berdasarkan ilmu Rijal Syi’ah. Jadi di sisi mazhab Syi’ah telah shahih dalil Imamah dua belas imam mereka.
Seperti yang kami katakan bahwa kami bukan penganut Syi’ah oleh karena itu hadis-hadis shahih di sisi mazhab Syi’ah tidak menjadi hujjah bagi kami maka dari itu sampai sekarang kami tetap meyakini keshahihan hadis dua belas khalifah tetapi tidak memiliki bukti shahih siapa nama-nama mereka.
.
Dalam tulisan kali ini kami akan membawakan salah satu hadis Syi’ah yang lain dan juga menyebutkan nama kedua belas Imam yaitu riwayat Ath Thuusiy dalam kitabnya Al Ghaibah. Hadis ini kami bahas karena kami melihat terdapat salah seorang pembenci Syi’ah yang juga membahasnya dalam tulisan khusus. Disini kami akan berusaha membahas secara objektif bagaimana sebenarnya kedudukan hadis tersebut berdasarkan standar ilmu hadis Syi’ah. Berikut hadis yang dimaksud

أخبرنا جماعة عن أبي عبد الله الحسين بن علي بن سفيان البزوفري عن علي بن سنان الموصلي العدل عن علي بن الحسين عن أحمد بن محمد بن الخليل عن جعفر بن أحمد المصري عن عمه الحسن بن علي عن أبيه عن أبي عبد الله جعفر بن محمد عن أبيه الباقر عن أبيه ذي الثفنات سيد العابدين عن أبيه الحسين الزكي الشهيد عن أبيه أمير المؤمنين عليه السلام قال قال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم في الليلة التي كانت فيها وفاته لعلي عليه السلام يا أبا الحسن أحضر صحيفة ودواة. فأملا رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم وصيته حتى انتهى إلى هذا الموضع فقال يا علي إنه سيكون بعدي اثنا عشر إماما ومن بعدهم إثنا عشر مهديا، فأنت يا علي أول الاثني عشر إماما سماك الله تعالى في سمائه عليا المرتضى، وأمير المؤمنين، والصديق الأكبر، والفاروق الأعظم، والمأمون، والمهدي، فلا تصح هذه الأسماء لاحد غيرك يا علي أنت وصيي على أهل بيتي حيهم وميتهم، وعلى نسائي: فمن ثبتها لقيتني غدا، ومن طلقتها فأنا برئ منها، لم ترني ولم أرها في عرصة القيامة، وأنت خليفتي على أمتي من بعدي فإذا حضرتك الوفاة فسلمها إلى ابني الحسن البر الوصول فإذا حضرته الوفاة فليسلمها إلى ابني الحسين الشهيد الزكي المقتول فإذا حضرته الوفاة فليسلمها إلى ابنه سيد العابدين ذي الثفنات علي، فإذا حضرته الوفاة فليسلمها إلى ابنه محمد الباقر فإذا حضرته الوفاة فليسلمها إلى ابنه جعفر الصادق، فإذا حضرته الوفاة فليسلمها إلى ابنه موسى الكاظم، فإذا حضرته الوفاة فليسلمها إلى ابنه علي الرضا، فإذا حضرته الوفاة فليسلمها إلى ابنه محمد الثقة التقي، فإذا حضرته الوفاة فليسلمها إلى ابنه علي الناصح، فإذا حضرته الوفاة فليسلمها إلى ابنه الحسن الفاضل، فإذا حضرته الوفاة فليسلمها إلى ابنه محمد المستحفظ من آل محمد عليهم السلام فذلك اثنا عشر إماما، ثم يكون من بعده اثنا عشر مهديا، (فإذا حضرته الوفاة) فليسلمها إلى ابنه أول المقربين له ثلاثة أسامي: اسم كإسمي واسم أبي وهو عبد الله وأحمد، والاسم الثالث: المهدي، هو أول المؤمنين

Telah mengabarkan kepada kami jama’ah dari Abi ‘Abdullah Husain bin Aliy bin Sufyaan Al Bazuufariy dari Aliy bin Sinaan Al Maushulliy Al ‘Adl dari Aliy bin Husain dari Ahmad bin Muhammad bin Khaliil dari Ja’far bin Ahmad Al Mishriy dari pamannya Hasan bin Aliy dari Ayahnya dari Abi ‘Abdullah Ja’far bin Muhammad dari Ayahnya Al Baqir dari Ayahnya [Aliy bin Husain] dziy tsafanaat sayyidul ‘aabidiin dari Ayahnya Husain Az Zakiy Asy Syahiid dari Ayahnya amirul mukminin [‘alaihis salaam] yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam] berkata kepada Aliy [‘alaihis salaam] pada malam menjelang kewafatannya “wahai Abul Hasan ambilkan kertas dan tinta” maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam] membacakan wasiatnya sampai akhirnya Beliau berkata “wahai Aliy, akan ada setelahku dua belas Imam dan setelah mereka ada dua belas Mahdi, Allah menyebutmu dalam langit-Nya Aliy Al Murtadha, Amirul Mukminin, Shiddiq Al Akbar, Faaruuq Al A’zham, Al Ma’mun dan Al Mahdiy, dan sebutan ini tidak diberikan kepada orang lain selain engkau. Wahai Aliy engkau adalah washiy-ku atas ahlul baitku hidup dan mati mereka dan juga atas istri-istriku, barang siapa diantara mereka yang aku pertahankan maka ia akan berjumpa denganku kelak, dan barang siapa yang aku ceraikan maka aku berlepas diri darinya, ia tidak akan melihatku dan aku tidak akan melihatnya di padang mahsyar. Wahai Aliy engkau adalah khalifahku untuk umatku sepeninggalku, maka jika telah dekat kewafatanmu maka serahkanlah kepada anakku Al Hasan Al Birr Al Wushuul dan jika telah dekat kewafatannya maka ia serahkan kepada anakku Al Husain Asy Syahiid Az Zakiy yang akan terbunuh, dan jika telah dekat kewafatannya maka ia serahkan kepada anaknya Muhammad Al Baqir dan jika telah dekat kewafatannya maka ia serahkan kepada anaknya Ja’far Ash Shadiq dan jika telah dekat kewafatannya maka ia serahkan kepada anaknya Muusa Al Kaazhim dan jika telah dekat kewafatannya maka ia serahkan kepada anaknya Aliy Ar Ridha dan jika telah dekat kewafatannya maka ia serahkan kepada anaknya Muhammad Ats Tsiqat At Taqiy dan jika telah dekat kewafatannya maka ia serahkan kepada anaknya Aliy An Naashih dan jika telah dekat kewafatannya maka ia serahkan kepada anaknya Al Hasan Al Fadhl dan jika telah dekat kewafatannya maka ia serahkan kepada anaknya Muhammad, orang yang terpelihara dari keluarga Muhammad [‘alaihis salaam]. Mereka itulah kedua belas Imam dan setelahnya akan ada dua belas Mahdiy, maka jika dekat kewafatannya maka ia serahkan kepada anaknya yang pertama dan paling dekat, ia memiliki tiga nama yaitu nama sepertiku dan nama ayahku Abdullah dan Ahmad dan nama yang ketiga adalah Al Mahdiy dan ia adalah orang pertama yang beriman [Al Ghaibah Syaikh Ath Thuusiy 150-151 no 111].

Riwayat di atas juga disebutkan Al Majlisiy dalam Bihar Al Anwar 36/260. Hadis ini berdasarkan ilmu Rijal Syi’ah kedudukannya dhaif jiddan bahkan maudhu’ karena di dalam sanadnya terdapat
  1. Aliy bin Sinaan Al Maushulliy seorang yang majhul.
  2. Aliy bin Husain yang meriwayatkan dari Ahmad bin Muhammad bin Khalil tidak didapatkan keterangannya dari kitab Rijal Syi’ah.
  3. Ahmad bin Muhammad bin Khalil seorang yang dhaif jiddan, pendusta, pemalsu hadis.
  4. Ja’far bin Ahmad Al Mishriy tidak dikenal kredibilitasnya dalam kitab Rijal Syi’ah maka kedudukannya majhul.
  5. Hasan bin Aliy dan Ayahnya tidak didapatkan keterangannya dari kitab Rijal Syi’ah.
Jadi hanya Aliy bin Sinaan, Ahmad bin Muhammad bin Khalil, dan Ja’far bin Ahmad Al Mishriy yang disebutkan biografinya dalam kitab Rijal Syi’ah tanpa ada keterangan mengenai kredibilitas mereka
.
.
Aliy bin Sinaan Al Maushulliy disebutkan dalam kitab Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits bahwa ia seorang yang majhul [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits Muhammad Al Jawahiriy hal 398]
Ja’far bin Ahmad Al Mishriy disebutkan oleh Asy Syahruudiy dalam Mustadrakat Ilm Rijal dengan lafaz “mereka [para ulama] tidak menyebutkan tentangnya, ia meriwayatkan dari pamannya Hasan bin Aliy dari Ayahnya dari maula kami Ash Shadiq dan telah meriwayatkan darinya Ahmad bin Muhammad bin Khalil” [Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadits 2/143 no 2533, Syaikh Aliy Asy Syahruudiy].

أحمد بن محمد بن الخليل أبو عبد الله لم يذكروه، وقع في طريق الشيخ عن علي بن الموصلي، عن علي بن الحسين، عنه، عن جعفر بن محمد المصري، عن عمه الحسين بن علي، عن أبيه، عن الصادق

Ahmad bin Muhammad bin Khalil Abu ‘Abdullah, mereka [para ulama] tidak menyebutkan tentangnya, terdapat dalam jalan Syaikh [Ath Thuusiy] dari Aliy bin Al Maushulliy dari Aliy bin Husain darinya dari Ja’far bin Muhammad Al Mishriy dari pamannya Husain bin Aliy dari Ayahnya dari Ash Shaadiq [Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadits 1/434 no 1532, Syaikh Aliy Asy Syahruudiy]
.
.
Begitulah yang disebutkan oleh Asy Syahruudiy tetapi sebenarnya kalau diteliti lebih lanjut maka Ahmad bin Muhammad bin Khalil adalah Ahmad bin Muhammad Al Khaliliy Al ‘Amiliy. Syaikh Ath Thuusiy menyebutkan dalam kitab Al Ghaibah salah satu hadis dengan sanad berikut:

وأخبرنا جماعة، عن التلعكبري، عن أبي علي أحمد بن علي الرازي الأيادي قال أخبرني الحسين بن علي، عن علي بن سنان الموصلي العدل، عن أحمد بن محمد الخليلي، عن محمد بن صالح الهمداني

Dan telah mengabarkan kepada kami Jama’ah dari At Tal’akbariy dari Abi Aliy Ahmad bin Aliy Ar Raaziy Al Iyaadiy yang berkata telah mengabarkan kepadaku Husain bin Aliy dari Aliy bin Sinaan Al Maushulliy Al ‘Adl dari Ahmad bin Muhammad Al Khaliliy dari Muhammad bin Shalih Al Hamdaaniy…[Al Ghaibah Ath Thuusiy hal 147 no 109].

Riwayat Ath Thuusiy di atas menunjukkan bahwa Aliy bin Sinaan juga meriwayatkan dari Ahmad bin Muhammad Al Khaliliy tanpa perantara,  kemudian disebutkan dalam riwayat berikut

حدثنا أبو الحسن علي بن سنان الموصلي المعدل، قال أخبرني أحمد بن محمد الخليلي الآملي، قال حدثنا محمد بن صالح الهمداني، قال

Telah menceritakan kepada kami Abu Hasan Aliy bin Sinan Al Maushulliy Al Mu’adl yang berkata telah mengabarkan kepadaku Ahmad bin Muhammad Al Khaliliy Al Aamiliy yang berkata telah menceirtakan kepada kami Muhammad bin Shalih Al Hamdaaniy yang berkata…[Muqtadhab Al ‘Atsar Ahmad bin ‘Ayaasy Al Jauhariy hal 10].

Kedua riwayat di atas membuktikan bahwa Ahmad bin Muhammad bin Khalil yang dimaksud adalah Ahmad bin Muhammad Al Khaliliy Al ‘Amiliy. Para ulama Rijal Syi’ah telah menyebutkan tentangnya,

أحمد بن محمد أبو عبد الله الآملي الطبري ضعيف جدا، لا يلتفت إليه

Ahmad bin Muhammad Abu ‘Abdullah Al ‘Amiliy Ath Thabariy dhaif jiddan, tidak perlu dihiraukan dengannya [Rijal An Najasyiy hal 96 no 238].

أحمد بن محمد، الطبري، أبو عبد الله، الخليلي الذي يقال له غلام خليل، الآملي كذاب، وضاع للحديث، فاسد [المذهب] لا يلتفت إليه

Ahmad bin Muhammad Ath Thabariy Abu ‘Abdullah Al Khaliliy yang dikatakan padanya ghulaam Khalil Al ‘Amiliy seorang pendusta, pemalsu hadis, jelek mazhabnya tidak perlu dihiraukan dengannya [Rijal Ibnu Ghada’iriy hal 42]

أحمد بن محمد، أبو عبد الله الخليلي، الذي يقال له غلام خليل، الآملي الطبري ضعيف جدا، لا يلتفت إليه، كذاب وضاع للحديث، فاسد المذهب

Ahmad bin Muhammad Abu ‘Abdullah Al Khaliliy, dikatakan padanya ghulam Khalil, Al ‘Amiliy Ath Thabariy dhaif jiddaan tidak perlu dihiraukan dengannya, pendusta, pemalsu hadis, jelek mazhabnya [Khulashah Al ‘Aqwaal Allamah Al Hilliy hal 323-324 no 20].

Oleh karena itu pendapat yang rajih Ahmad bin Muhammad bin Khalil adalah Ahmad bin Muhammad Al Khaliliy Al ‘Amiliy seorang yang dhaif jiddaan pendusta dan pemalsu hadis.
.
Berdasarkan pembahasan di atas maka tidak diragukan kalau kedudukan hadis wasiat yang disebutkan Syaikh Ath Thuusiy dalam Al Ghaibah di atas adalah dhaif jiddaan bahkan maudhu’.

Memang jika diperhatikan dengan baik matan riwayat tersebut termasuk aneh atau gharib dalam sudut pandang mazhab Syi’ah karena riwayat di atas menyebutkan bahwa ada dua belas Imam kemudian akan ada dua belas Mahdiy. Dalam aqidah ushul mazhab Syi’ah yang pernah kami baca dalam kitab-kitab mereka terdapat keterangan mengenai Imamah kedua belas imam ahlul bait tetapi tidak ada disebutkan mengenai dua belas Mahdiy yang akan datang setelah kedua belas Imam. Bahkan yang shahih dalam mazhab Syi’ah bahwa Mahdiy yang dimaksud adalah Imam kedua belas.

Adapun Salah seorang pembenci Syi’ah yang kami sebutkan sebelumnya, ia membawakan riwayat Ath Thuusiy dalam tulisannya dan berdalil dengan riwayat tersebut untuk menunjukkan bahwa Aisyah [radiallahu ‘anha] salah seorang istri Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah ahli surga.

Pada awalnya kami cukup gembira melihat hadis ini karena hadis ini menunjukkan bahwa dalam kitab Syi’ah terdapat dalil yang membuktikan bahwa Aisyah [radiallahu ‘anha] adalah ahli surga. Maka kami berusaha meneliti untuk membuktikan keshahihan hadis tersebut tetapi ternyata sayang sekali riwayat tersebut sangat lemah sekali di sisi mazhab Syi’ah. Hal ini membuktikan bahwa anda para pembaca harus selalu berhati-hati dengan tulisan-tulisan para pembenci Syi’ah, silakan teliti lebih lanjut dengan objektif untuk mengetahui kebenarannya karena mereka para pembenci Syi’ah pada dasarnya bukan sedang bertujuan mencari kebenaran tetapi hanya ingin menyebarkan syubhat untuk merendahkan mazhab Syi’ah.

Memang kami dapati ada ulama Syi’ah mencela Aisyah [radiallahu ‘anha] tetapi kami dapati pula sebagian ulama Syi’ah lain menahan diri bahkan mengharamkan untuk mencelanya karena Beliau adalah istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Oleh karena itu tidak mungkin merendahkan keseluruhan mazhab Syi’ah hanya berdasarkan tindakan ulama Syi’ah tertentu padahal terdapat juga para ulama Syi’ah lain yang menentangnya.
Adapun dalam pandangan dan keyakinan kami, Aisyah [radiallahu ‘anha] adalah istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang Mulia, istri Beliau baik di dunia dan akhirat kelak. Hanya saja kami tetap mengakui bahwa bersamaan dengan kemuliaannya ia telah melakukan kesalahan ketika memerangi Imam Aliy [‘alaihis salaam] pada saat perang Jamal.
.
Note : Saya akan senang sekali jika ada para pengikut Syi’ah yang dapat menunjukkan hadis shahih dalam mazhab Syi’ah yang memuat pujian atau keutamaan Aisyah [radiallahu ‘anha].

*****

Mayoritas Sahabat Pasca Nabi wafat tidak mau menerima wasiat tentang seluruh 12 Imam berasal dari satu keluarga bani hasyim (ahlulbait).

Musuh-musuh Syi’ah melihat suksesi yang terjadi pada masa-masa para khalifah awal dan para imam dan lalu mereka mengklaim bahwa ajaran Syi’ah adalah ajaran yang tidak sejalan dengan demokrasi. Seluruh dua belas Imam berasal dari satu keluarga sementara empat khalifah berasal dari suku yang berbeda. Mereka menyimpulkan bahwa madzhab Sunni adalah madzhab yang menerima demokrasi dalam prinsip, yang dianggap sebagai sistem terbaik pemerintahan. Ajaran Syi’ah, dalam benak mereka, bersandarkan kepada aturan hereditas dan dengan demikian bukan sebuah sistem yang baik.

Pertama, tidak ada sistem pemerintahan yang baik atau yang buruk secara esensial; yang ada adalah pemerintahan baik atau buruk tergantung kepada orang yang memegang kekuasaan di tangannya. Dengan demikian, Syi’ah percaya bahwa seorang imam adalah insan ma’sum, terbebas dari setiap kekurangan, cacat dan lebih unggul dalam keutamaan,  berarti kekuasaanya akan lebih sempurna dan lebih adil. Pada satu sisi adalah keadilan tanpa kompromi yang ditunjukkan oleh Imam ‘Ali As, Imam pertama, selama masa singkat imamah beliau, dan di sisi lain, hadits yang diterima dari Nabi Saw tentang imam terakhir, al-Mahdi, bahwa “Ia akan mengisi semesta dengan keadilan dan kesetaraan setelah dipenuhi dengan kezaliman dan ketidakadilan.”[1] Premis kami bukanlah sebuah abstraksi semata.

Kedua, kita harus mengingat bahwa seluruh khalifah Sunni sejak Abu Bakar hingga khalifah terakhir Abbasiyah, al-Mu’tasim Billah (dibunuh oleh Hulagu Khan pada tahun 656 H/1258 M) yang berasal dari suku Quraisy. Apakah hal ini tidak berarti bahwa sebuah keluarga telah berkuasa atas seluruh kaum Muslimin yang terbentang dari Cina bagian utara hingga Spanyol selama enam setengah abad lamanya?
Ketiga, sistem khalifah Sunni, sebagaimana telah disinggung di atas, tidak pernah berdasarkan kepada sistem demokrasi. Khalifah pertama ditimpakan atas kaum Muslimin Madinah oleh beberapa orang sahabat; khalifah kedua dinominasikan oleh khalifah pertama; ketiga dipilih secara nominal oleh lima orang, yang hakikatnya satu orang saja yang memilih. Mu’wiyah mengambil kursi kekhalifaan dengan kekuatan militer. Sistem yang berlaku sebelum dirinya, lebih tepat disebut oligarki; sistem setelahnya merupakan sistem monarki.

‘Umar mengambil keputusan bahwa seorang non-Arab (‘Ajam) tidak dapat mewarisi sesuatu dari seorang Arab kecuali mereka lahir di Arab.[2] Dan juga, hukum Sunni mengalami kemunduran, dan yang paling tragis adalah tidak mengizinkan seorang pria non-Arab menikah dengan seorang wanita Arab, hal ini juga berlaku bagi seorang non-Quraisy atau non-Hasyimi menikah dengan seorang wanita Quraisy atau Hasyimi. Sesuai dengan hukum fiqh madzhab Syafi’i, seorang budak, bahkan yang telah dibebaskan, tidak dapat menikah dengan seorang wanita merdeka.[3] Kenyataan ini, meskipun deklarasi resmi Nabi bahwa: “Tidak ada keunggulan bagi seorang Arab atas non-Arab, seorang non-Arab atas Arab, seseorang yang berkulit putih atas seseorang yang berkulit hitam, kecuali ketakwaan. Manusia berasal dari Nabi Adam dan Adam berasal dari tanah.”[4]

Meskipun praktik yang sudah mapan telah dicontohkan oleh Rasulullah ketika beliau menikahkan saudara sepupunya kepada Zaid bin Haritsa, seorang budak merdeka, dan menyerahkan saudari ‘Abdurrahman bin ‘Auf (seorang Quraisy) untuk menikah dengan Bilal, seorang budak merdeka Etiopia.[5]

Hukum fiqh Syi’ah secara terang menjelaskan bahwa: “Dibolehkan untuk menikahkan seorang wanita merdeka dengan seorang budak, seorang wanita Arab dengan seorang pria non-Arab, seorang wanita Hasyimi dengan seorang pria non-Hasyimi, dan sebaliknya. Demikian juga, dibolehkan seorang wanita terpelajar atau berasal dari keluarga kaya-raya dengan seorang pria awam atau keadaan ekonominya pas-pasan atau profesi-profesi rendah lainnya.[6]

Dalam masalah pembagian ghanimah (harta rampasan perang), Rasulullah Saw telah membangun sebuah sistem kesetaraan; harta ini dibagikan secara merata kepada seluruh orang yang mengambil bagian dalam perang tersebut. Abu Bakar melanjutkan sistem ini, namun ‘Umar pada tahun 15 H, hanya empat tahun berselang setelah wafatnya Nabi, merubah sistem ini. Ia menetapkan gaji tetap tahunan kepada orang-orang, klan-klan dan suku-suku: “Abbas, paman Nabi, diberi jatah 12.000 atau 25.000 Dinar pertahun; ‘Aisyah, 12.000; istri-istri Nabi yang lain, masing-masing mendapat jatah 10.000; orang-orang yang turut serta dalam perang Badar, masing-masing 5.000; mereka yang ambil bagian dalam perang antara perang Badar dan perang Hudaibiyyah, masing-masing, 4000; mereka yang ikut dalam perang setelah perang Hudaibiyyah dan sebelum perang Qadisiyyah, masing-masing, 3000. Jumlahnya secara berkala berkurang dua Dinar pertahun.[7]

Sistem seperti ini merusak tatanan dalam masyarakat Muslim sehingga kekayaan yang menjadi tujuan utama mereka dalam hidup dan yang memberikan mereka manfaat dari agama mereka. Pandangan mereka menjadi materialistik dan, sebagaimana telah disebutkan sebelumya, mereka tidak mentolerir sistem pembagian merata yang kemudian dihidupkan kembali oleh Imam ‘Ali dalam khutbah pertamanya setelah mengambil kedudukan khalifah. ‘Ali diriwayatkan berkata: “Baiklah, setiap orang dari Muhajirin dan Ansar, dari sahabat-sahabat Nabi, yang berpikir bahwa ia lebih baik dari orang lain karena persahabatannya (biarlah mereka ingat) keunggulan bersinar di hadapan Allah kelak ganjarannya dan upahnya yang diberikan oleh Allah. (Ia tidak boleh berharap  menerima ganjarannya di dunia ini). Setiap orang yang menjawab panggilan Allah dan Nabi-Nya, dan menerima kebenaran agama kita dan masuk di dalamnya, dan menghadap kiblat kita, berhak atas seluruh hak yang digariskan dalam Islam; dan seluruh kekayaan adalah milik Allah; harta ini akan dibagikan secara merata di antara kalian; tidak ada preferensi di dalamnya bagi seseorang terhadap yang lainnya.[8]

Mereka yang selama dua puluh tahun sebelum kekhalifaan ‘Ali terbiasa menerima pembagian yang tidak adil ini, memberi nasihat dan meminta kepada Imam ‘Ali untuk berkompromi terhadap prinsip Islam, mereka berkomplot untuk menyingkirkan mereka; dan ‘Ali ternyata tak henti-hentinya  sangat peduli terhadap masalah ini.

Setelah kemenangan Umayyah, ketidakadilan di antara kaum Muslimin berlanjut. Bahkan jika seseorang menerima Islam, ia (pria atau wanita) tidak menerima hak-haknya sebagai Muslim. Dalam beberapa keadaan mereka lebih buruk dari teman-teman non-Muslimnya. Kaum non-Muslim hanya diwajibkan untuk membayar Jizyah,[9] namun Muslim harus membayar jizyah dan zakat. Selama masa Bani Umayyah (kecuali dua setengan tahun di bawah khalifah ‘Umar bin ‘Abudl ‘Aziz), jizyah dipungut  atas seluruh non-Arab termasuk kaum Muslimin.[10]

Tidak sulit membayangkan betapa sedikit kebijakan ini dapat membantu perjuangan Islam. Selama berabad-abad seluruh negara-negara yang kota-kota dan ibukotanya “Islami” menolak untuk masuk Islam. Bahkan kaum Barbar (yang memenuhi panggilan dakwah Islam setelah resistansi pertama mereka terhadap invasi Arab dan berkhidmat sedemikian baik di Spanyol dan Prancis), secara keseluruhan tidak masuk Islam hingga pendirian kerajaan yang bermadzhab Syi’ah di Maghrib. Ketika Idris bin ‘Abdillah, cicit dari Imam al-Hasan dan pendiri dinasti Idris (789-985 M), bergerak melawan mereka, paling banyak di antara mereka adalah non-Muslim ketika itu. Keadaan ini adalah hasil dari perlakuan buruk pada masa-masa sebelumnya. Kita mendengar bahwa ketika Yazid bin ‘Abdil Malik menduduki singgasana Umayyah dan melantik Yazid bin Abi Muslim sebagai Gubernur Maghrib, gubernur ini ,memungut kembali jizyah dari orang yang menjadi Muslim dan memerintahkan mereka untuk kembali ke kampung mereka.[11] Bani Idris mengubah kebijakan ini dan melebarkan secara penuh hak-hak bagi seluruh kaum Muslimin, kebijakan ini membawa kaum Barbar itu masuk Islam.

Pemujaan Arabisme ini dipandang bahkan lebih terjalin berkelindan dalam keputusan para penguasa ketika itu yang memandang bahwa jika sebuah warga negara dalam sebuah negara yang ditaklukkan menerima Islam, ia tidak dapat diterima sebagai seorang Muslim atau diakui hak-haknya sebagai Muslim kecuali ia  menyambungkan dirinya sebagai seorang klien terhadap beberapa suku Arab. Klien semacam ini disebut mawali. Bahkan mereka menjadi objek ejekan dan ketimpangan, perlakuan oleh patron aristokrat mereka dan pada saat yang sama berlanjut diekploitasi oleh birokrat yang berkuasa.

Dengan membatasi hak berkuasa hanya kepada dua belas Imam Ma’sum, Allah memotong akar-akar perseteruan, percekcokan, kekacauan, dan pemilihan palsu, serta ketimpangan sosial dan ras.


[1] . Lihat, Abu Dawud: as-Sunan, vol.4,hal-hal.106-109;Ahmad: al-Musnad,  vol.l, hal-hal 377-430; vol.3, hal.28; al-Hakim: al-Mustadrak, vol. 4, hal-hal 557-865.
[2] . Lihat, Malik: al-Muwatta, vol. 2, hal. 60.
[3] . Lihat, al-Jaziri: al-Fiqh ‘ala ‘l-Madzahibi ‘l-Arba’ah,  vol. 4, hal.60.
[4] . Lihat, as-Suyuti: ad-Durru ‘l-Mantsur,  vol. 6, hal. 98.
[5] . Lihat, Ibnu ‘l-Qayyim: Zadu ‘l-Ma’ad, vol. 4, hal. 22.
[6] . Lihat, al-Muhaqqiq al-Hilli: Syara’i’u ‘l-lslâm, “Kitâbu ‘n-Nikah, vol. 5, hal. 300; al-Hakim: Minhâju ‘s.-Salihin,  Kitabu ‘ n-Nikah,  vol. 2, hal . 279 .
[7] . Lihat, at-Tabari : at-Târikh, Annales I, vol.5, hal-hal. 2411- 2414; Nicholson,R.A. : A Literary History of the Arabs, hal.187.
[8] . Lihat, Ibn Abi ‘l-Hadid: Syarh, vol.7, hal-hal.35-47; Lihat juga khutbah Imam ‘Ali no. 126 dalam Nahju ‘l-Balâghah.
[9] . Jizyah:  pajak yang dibayar oleh non-Muslim,  yang berada di bawah  pemerintahan Muslim,(penerbit).
[10] . Lihat,at-Tabari: at-Tarikh, Annales II), vol. 3, hal-hal.  1354-1367.
[11] . Lihat, al-Amin:  Islamic Shi’ite Encyclopedia, vo1. 1, hal-hal. 38-41.

Para pembaca…
Mayoritas pandangan madzhab Sunni (dalam masalah teologi) dewasa ini adalah mengikuti pandangan Asy’ariyyah. Mereka, sebagaimana Mu’tazilah, meyakini bahwa institusi imamah/khilafah adalah perlu dan menjadi kewajiban seorang manusia untuk menunjuk seorang khalifah.

Kaum Mu’tazilah berpandangan bahwa penunjukan ini wajib sesuai dengan akal. Kaum Asy’ariyah meyakini bahwa penunjukan ini bersifat wajib karena sesuai dengan hadits.
An-Nasafi menulis dalam kitab al-’Aqâid-nya:
“Kaum Muslimin tidak dapat hidup tanpa seorang imam yang akan menempatkan diri dengan menjalankan keputusan-keputusan mereka, dan dalam pelaksanaan hudud-nya dan menjaga batasan-batasannya, menyediakan lasykar-lasykar, menerima sedekah mereka, memberikan hukuman kepada para pencuri dan perampok, mengimami salat Jum’at dan Ied, menghilangkan sengketa yang ada di tengah-tengah masyarakat, menerima bukti-bukti terhadap klaim-klaim hukum, dan menikahkan orang-orang miskin yang tidak memiliki wali dan membagikan harta rampasan perang.”[1]

Sunni menghendaki seorang penguasa semesta…, sementara Syiah mencari seseorang yang dapat membangun kerajaan surga di muka bumi dan mengakhiri segala bentuk kejahatan yang merajalela di muka bumi.”[2]

Oleh karena itu, Madzhab Sunni  mengakui empat prinsip utama dalam memilih seorang khalifah:
  1. Ijma’ yaitu konsensus tentang orang yang memegang kekuasaan dan kedudukan pada sebuah titik tertentu. Mufakat seluruh pengikut Nabi Saw tidak menjadi keharusan, juga tidak terlalu penting untuk mengamankan kedudukan dan kekuasaan orang yang berkuasa di tengah-tengah umat.
  2. Pencalonan oleh khalifah sebelumnya.
  3. Syuraa yaitu pemilihan oleh sebuah komite
  4. Kekuatan Militer, yaitu jika seseorang meraih kekuasaan dengan kekerasan ia akan menjadi khalifah.
Pengarang Kitab Syarhil Maqâsid menjelaskan bahwa bilamana seorang imam wafat dan seorang yang memiliki kualifikasi yang diinginkan untuk kedudukan tersebut (tanpa bai’at) kekhalifaannya akan tetap diakui sepanjang kekuasaannya dapat menundukkan masyarakat; dan bilamana seorang khalifah baru kebetulan seorang yang jahil dan bodoh, nampaknya akan mendapatkan perlakuan yang sama.
Demikian juga, bilamana seorang khalifah telah membangun dirinya dengan kekuatan tapi kemudian ditaklukkan oleh orang lain, ia akan disingkirkan dan orang yang menaklukkanya akan dianggap sebagai imam atau khalifah.[3]

Kualifikasi Seorang Khalifah.
Madzhab Sunni menganggap sepuluh syarat seseorang untuk dapat menjadi khalifah:
  1. Muslim
  2. Dewasa
  3. Laki-laki
  4. Berakal sehat
  5. Berani
  6. Merdeka, bukan seorang sahaya
  7. Dapat dihubungi dan tidak tersembunyi
    1. Mampu mengadakan perang dan tahu taktik berperang
    2. Adil
    3. Mampu mengeluarkan fatwa dalam bidang hukum dan agama , yaitu, ia harus seorang mujtahid.[4]
Namun dua yang terakhir hanya bersifat teoritis belaka, sebagaimana disinggung pada bagian sebelumnya. Bahkan, seorang awam dan bermoral buruk dapat menjadi seorang khalifah. Oleh karena itu, syarat-syarat ‘adil dan fakih (mumpuni) dalam bidang agama tidak memiliki landasan sama sekali.
Mereka berpandangan bahwa ismah (infallible) tidak menjadi keharusan bagi seorang khalifah. Kalimat yang dilontarkan oleh Abu Bakar dari mimbar di hadapan para sahabat, dinukil untuk menguatkan pandangan ini. Abu Bakar berkata: “Ayyuhannas!”, “Aku telah dijadikan penguasa atas kalian meskipun aku tidak lebih baik dari kalian; jadi, dalam menunaikan tugasku, aku meminta pertolongan kalian; dan jika aku berbuat salah, kalian harus meluruskanku. Kalian harus tahu bahwa setan senantiasa dapat datang kepadaku. Jadi jika aku marah, menjauhlah dariku.”[5]

At-Taftazani berkata dalam Syarhul ‘Aqâidin Nafisah, “Seorang imam  tidak dapat dijatuhkan dari imamah karena alasan immoral atau kezaliman.”[6]


[1] . Lihat, at-Taftazani: Syarh ‘Aqa’idi’n-Nasafi, hal.185.
[2] . Lihat, Miller,W.M.: terjemahan, al-Babu ‘l-hadi ‘asyar.
[3] . Lihat, at-Taftazani: Syarhu ‘l-Maqâsidi’ t-Tâlibi’n, vol. 2, hal. 272. Lihat juga, al-Hafiz ‘Ali’ Muhammad and Amiru ‘d-Din: Fulku ‘n-Najat fi ‘l-Imâmah wa ‘s-salat, vol. 1, hal. 203.
[4] . Lihat, at-Taftazani, op. cit.
[5] . Lihat, as-Suyuti, Târikhu ‘l-Khulafa‘, hal.71.
[6] . Lihat, at-Taftazani: op. cit.

Para pembaca…
Naiknya Abu Bakar Ke Singgasana Kekuasaan
Menurut Ahli Sunnah, empat khalifah pertama disebut al-Khulafa’ur Rasyidun (khalifah yang mendapat bimbingan). Kini mari kita kaji bagaimana Khalifatur Rasyidah ini muncul.

Segera setelah wafatnya Nabi, kaum Muslimin di Madinah (dikenal sebagai Ansar) berkumpul di Saqifah Banu Sa’idah. Menurut penulis kitab Ghiyatu’l Lugha, tempat ini adalah tempat rahasia di mana bangsa Arab biasa berkumpul untuk melakukan kegiatan-kegiatan jahat mereka.[1] Di tempat ini, Sa’ad bin Ubadah, yang kemudian merana, dibimbing ke kursi dan didudukkan di atasnya, dibungkus dalam sebuah selimut, sehingga ia dapat dipilih menjadi khalifah. Kemudian Sa’ad menyampaikan pidato tentang keutamaan kaum Ansar dan memberitahukan kepada mereka untuk mengambil alih kedudukan khalifah sebelum orang lain melakukannya. Namun, kemudian di antara mereka ada yang bertanya: “Jawaban apa yang akan kita berikan kepada kaum Muhajirin (orang-orang Mekkah yang berhijrah) Quraisy jika mereka menentang gerakan ini dan mengajukan klaim mereka?

Sekelompok orang-orang yang berada di tempat itu berkata: “Kita akan mengatakan kepada mereka, mari kita pilih salah satu pemimpin dari kalian dan satu dari kami.” Sa’ad berkata: “Ini adalah salah satu kelemahan yang telah kalian perlihatkan.”

Seseorang memberi kabar kepada ‘Umar bin Khattâb tentang perhimpunan ini, katanya: “Jika engkau berkehendak untuk meraih kekuasaan sekarang, engkau harus bergegas ke Saqifah sebelum terlambat, yang dapat menimbulkan kesulitan bagimu untuk merubah apa yang sudah diputuskan di sana.” Setelah menerima kabar ini, ‘Umar, bersama Abu Bakar, bergegas bertolak ke Saqifah ditemani juga oleh Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah.

At-Tabari, Ibnu Atsir, Ibn Qutaibah[2]dan sejarawan yang lain merekam dalam kitab sejarah mereka bahwa setelah sampai di Saqifah, Abu Bakar, ‘Umar dan Abu Ubadah nyaris tidak mendapatkan kursi mereka ketika Tsabit bin Qays berdiri dan mulai mendendangkan syair-syair tentang keutamaan kaum Ansar dan menyarankan bahwa kursi khalifah harus ditawarkan kepada salah seorang Ansar. Dilaporkan bahwa setelah itu ‘Umar berkata: “Ketika pembicara Ansar itu selesai berbicara, aku berusaha untuk berbicara, setelah merenung cukup lama, tentang beberapa poin-poin penting. Namun Abu Bakar yang berada di belakangku tetap berdiam diri. Oleh karena itu, aku diam saja. Abu Bakar lebih berkompeten dan lebih berilmu daripada aku. Ia lalu berkata hal yang sama seperti yang aku pikirkan bahkan menyampaikannya lebih baik dari aku.”
Menurut kitab Raudatus Safa, Abu Bakar menyampaikan kepada majelis di Saqifah, “Wahai majelis Ansar! Kami tahu keutamaan dan kualitas kalian. Kami juga tidak melupakan perjuangan dan usaha kalian dalam menegakkan panji Islam. Akan tetapi kehormatan dan kemuliaan bangsa Quraisy di antara bangsa Arab tidak dimiliki oleh suku arab yang lain, dan suku-suku Arab tidak akan menyerah kepada bangsa mana pun kecuali kepada suku Quraisy.”[3]

Dalam Sirah al-Halabiyyah, ditambahkan:
“Bagaimanapun, pada kenyataannya kami adalah kaum Muhajirin, kaum yang pertama menerima Islam. Nabi Islam berasal dari suku kami. Kami adalah kerabat Nabi…dan oleh karena itu..kamilah yang berhak untuk menjabat khalifah…Ada baiknya  mengambil pemimpin di antara kami dan jabatan kementerian dari kalian. Kami tidak akan bertindak sebelum bermusyawarah dengan kalian.”[4]

Adu argumen mulai panas, dan disertai dengan teriakan ‘Umar: “Demi Allah, Aku akan bunuh sekarang siapa saja yang menentang kami.” Al-Hubâb ibn al-Munzir ibn Zaid, seorang Ansari dari suku Khazraj, menentangnya kemudian berkata, “Demi Allah, kami tidak akan membiarkan siapa pun yang berkuasa atas kami sebagai khalifah. Yang harus menjadi pemimpin adalah  seorang berasal dari kalian dan seorang dari kami.” Abu Bakar berkata: “Tidak, hal ini tidak dapat terjadi; Kamilah yang berhak untuk menjadi khalifah dan kalian jadi menteri kami.” Al-Hubab berkata: “Wahai  Ansar! Jangan kalian serahkan diri kalian atas apa yang dikatakan orang-orang ini. Tegarlah..Demi Allah jika ada yang berani menentangku sekarang, aku akan potong hidungnya dengan pedangku.” Umar menimpali: “Demi Allah, dualitas (dua khalifah, -penj.) tidak pantas dalam masalah khilafah. Dalam satu regim tidak bisa ada dua khalifah, dan bangsa Arab tidak akan setuju dengan kepemimpinan kalian, karena Nabi tidak berasal dari suku kalian.”

At-Tabari dan ibn Atsir keduanya mengatakan bahwa pada kejadian itu terjadi tukar-menukar kata dengan sengit antara al-Hubâb dan ‘Umar. ‘Umar melaknat al-Hubâb: “Semoga Allah membunuhmu.”  Al-Hubâb menimpali: “Semoga Allah membunuhmu.”

‘Umar lalu maju dan berdiri di hadapan Sa’ad bin ‘Ubadah dan berkata kepadanya: “Kami akan patahkan seluruh anggota badan kalian.” Karena marah atas tantangan ini, Sa’ad berdiri dan mencengkeram janggut ‘Umar. ‘Umar berkata: “Jika engkau menarik satu helai dariku, engkau akan lihat semua orang akan membencimu.” Lalu, Abu Bakar memohon ‘Umar dan orang-orang untuk tenang. ‘Umar mengalihkan wajahnya kepada Sa’ad yang berkata: “Demi Allah, jika aku cukup memiliki kekuatan untuk bertahan, engkau akan mendengar raungan singa-singa di setiap sudut kota Madinah dan engkau akan bersembunyi di setiap lobang-lobang kota Madinah. Demi Allah, kami akan menggabungkan kalian dengan kaum yang orang-orangnya hanyalah pengikut bukan pemimpin

Ibn Qutaibah berkata bahwa ketika Basyir bin Sa’d, pemimpin suku Aus, melihat Ansar bersatu di belakang Sa’ad bin Ubadah, pemimpin suku Khazraj, ia diselimuti oleh rasa dengki dan berdiri mendukung klaim Muhajirin dari bangsa Quraisy.

Di tengah-tengah suasana panas dan menegangkan ini, ‘Umar berkata kepada Abu Bakar: “Julurkan tanganmu sehingga aku dapat memberikan bai’at kepadamu.” Abu Bakar berkata: “Tidak, engkau yang harus menjulurkan tanganmu sehingga aku dapat berbai’at kepadamu, karena engkau lebih kuat daripada aku dan lebih pantas untuk menjabat khalifah.”

‘Umar mengambil tangan Abu Bakar dan menyampaikan bai’at kepadanya, katanya: “Kekuatanku tidak ada nilainya sama sekali bila dibandingkan dengan jasa dan senioritasmu. Dan jika ada nilai maka kekuatanku ditambahkan kepadamu akan sukses dalam mengelola khalifah.”

Basyir bin Sa’d mengikuti apa yang berlaku. Suku Khazraj  berteriak kepadanya bahwa ia bertindak karena rasa irinya kepada Sa’ad bin ‘Ubadah. Lalu suku Aus berbicara sesama mereka bahwa jika Sa’ad bin Ubadah menjadi khalifah hari itu, suku Khazraj akan senantiasa merasa lebih unggul dari suku Aus, dan tidak ada satu orang pun dari suku Aus yang akan menerima kehormatan ini. Oleh karena itu, mereka memberikan bai’at-nya kepada Abu Bakar. Seseorang dari suku Khazraj menarik pedangnya namun ditahan oleh yang lain.

Di tengah segala percekcokan ini, ‘Ali dan para sahabatnya sedang sibuk mengurus pemandian jenazah Nabi Saw dan proses penguburan beliau. Dalam keadaan seperti ini, Abu Bakar memanfaatkan kesempatan dan menjabat khalifah a fait acompli.

Ibnu Qutaibah menulis: “Ketika Abu Bakar mengambil kedudukan sebagai khalifah, ‘Ali diseret ke arah Abu Bakar yang ketika itu berulangkali menyatakan, “Aku adalah hamba Allah dan saudara Rasulullah. Lalu ‘Ali diperintahkan untuk memberikan bai’at kepada Abu Bakar. ‘Ali berkata: “Aku lebih memiliki hak sebagai khalifah daripada kalian semua. Aku tidak akan memberikan bai’at kepada kalian. Kalian mengambil bai’at dari kaum Ansar dengan dalih bahwa kalian memiliki hubungan darah dengan Rasulullah. Kalian merampas khalifah dari kami, Ahl al-Bait Nabi. Tidakkah kalian beralasan kepada kaum Ansar bahwa kalian lebih baik menjabat khalifah karena Nabi adalah kerabat kalian, dan mereka menyerahkan pemerintahan kepada kalian dan menerima kepemimpinan kalian? Oleh karena itu, alasan yang paling baik yang kalian ajukan di hadapan kaum Ansar kini diajukan oleh orang yang paling dekat hubungannya kepada Nabi lebih daripada kalian semua. Jika kalian jujur dengan dalil kalian, kalian harus berbuat adil; kalau tidak kalian tahu bahwa kalian telah berbuat zalim.

‘Umar berkata: “Kalau engkau tidak memberikan bai’at, engkau tidak akan dilepaskan. ‘Ali berteriak, peraslah sebanyak yang engkau mampu karena kini ambing berada ditanganmu. Buatlah sekuat mungkin hari ini, karena ia akan menyerahkannya kepadamu esok. ‘Umar, aku tidak akan tunduk kepada perintahmu; aku tidak akan memberikan bai’at kepadanya.” Akhirnya Abu Bakar berkata, Wahai ‘Ali! Jika engkau tidak ingin memberikan bai’at, aku tidak akan memaksamu untuk melakukan itu.”

Ulasan Singkat.
Beberapa aspek yang telah disebutkan di atas patut untuk mendapatkan perhatian:
1. Sudah menjadi kebiasaan bangsa Arab bahwa ketika seseorang diumumkan; bahkan dalam sebuah kelompok kecil,  untuk menjabat sebagai kepala suku, yang lain tidak akan menentangnya, dan mau tidak mau mengikuti apa yang berlaku. Tradisi ini yang tersimpan dalam benak ‘Abbas, paman Nabi, ketika ia berkata kepada ‘Ali: “Berikan tanganmu sehingga aku dapat ber-bai’at kepadamu…karena ketika sekali hal ini berlaku maka tidak ada satu orang pun akan melepaskannya.
Dan karena tradisi inilah yang membuat Sa’ad memanfaatkan kaum Ansar untuk mengambil alih khalifah sebelum orang lain melakukannya. Dan juga karena tradisi ini ketika ‘Umar diberitahu untuk segera ke Saqifah sebelum terlambat dan kesulitan baginya untuk merubah apa yang telah diputuskan di sana. Dan karena tradisi ini juga bahwa sekali beberapa orang menerima Abu Bakar sebagai khalifah, mayoritas kaum Muslimin akan mengikuti apa yang berlaku.
2. ‘Ali sangat sadar akan tradisi ini. Oleh karena itulah mengapa ia menolak untuk menjulurkan tangannya untuk menerima bai’at Abbas, yang berkata kepadanya: “Siapa lagi selain aku yang dapat memberikan bai’at kepadamu?[5]
Karena ‘Ali tahu bahwa khalifah Rasulullah Saw bukanlah kepemimpinan suku. Khalifah Rasulullah Saw tidak bersandar kepada deklarasi bai’at di hadapan publik. Khalifah Rasulullah adalah sebuah tanggung jawab yang diberikan oleh Allah Swt, bukan oleh manusia. Dan karena ia telah diumumkan diangkat oleh Allah Swt melalui Nabi akan imamahnya. Tidak perlu baginya untuk bergegas mencari bai’at kepada manusia. Ia tidak menginginkan orang-orang berpikir bahwa imamahnya bersandarkan kepada bai’at manusia; jika orang-orang datang kepadanya dengan bersandar kepada deklarasi Ghadir Khum, baik dan bagus; jika mereka tidak melakukannya, itu merupakan kerugian pada pihak mereka, bukan kerugian pada pihak ‘Ali.
3. Kini kita kembali kepada peristiwa Saqifah; selama hidup Rasulullah Saw, mesjid Nabi merupakan pusat seluruh kegiatan Islam. Di tempat inilah keputusan-keputusan yang berkenaan dengan perang dan perdamaian diambil, perutusan-perutusan diterima, khutbah-khutbah disampaikan, dan masalah-masalah diselesaikan. Dan ketika kabar menyebar tentang wafatnya Rasulullah Saw, kaum Muslimin berkumpul di masjid tersebut.
Lalu mengapa pengikut-pengikut Sa’ad bin ‘Ubadah memutuskan untuk pergi tiga mil di luar Madinah untuk berjumpa di Saqifah yang bukan merupakan tempat  yang baik untuk menyelesaikan persengketaan? Bukankah karena alasan mereka ingin merampas khalifah tanpa diketahui oleh orang-orang dan mempersembahkan Sa’ad sebagai khalifah yang diterima?
Dengan memandang deklarasi Ghadir Khum dan tradisi kesukuan bangsa Arab tidak akan ada penjelasan yang lain dari masalah ini.
  1. Ketika ‘Umar dan Abu Bakar mengetahui perhimpunan di Saqifah, pada saat itu mereka berada di masjid. Mengapa mereka tidak menyampaikan kepada yang lain perihal perkumpulan di Saqifah tersebut? Mengapa mereka, bersama Abu ‘Ubaidah, menyelinap keluar secara rahasia? Apakah karena ‘Ali dan Bani Hasyim hadir di masjid dan di rumah Nabi, dan ‘Umar dan Abu Bakar tidak menginginkan mereka tahu akan rencana licik mereka? Bukankah karena mereka takut bahwa jika ‘Ali tahu tentang pertemuan di Saqifah dan jika dengan kemungkinan yang paling kecil ia memutuskan untuk pergi ke sana sendiri, maka tidak ada satu orang pun yang memiliki peluang untuk sukses menjadi khalifah?
  2. Ketika Abu Bakar memuji keutamaan kaum Muhajirin sebagai kaum yang berasal dari suku Nabi, tidakkah ia tahu bahwa ada orang lain yang lebih kuat haknya untuk mengklaim karena mereka adalah anggota keluarga Rasulullah Saw dan darah daging Rasulullah Saw?
Karena aspek yang penuh pretensi inilah yang membuat ‘Ali berkomentar: “Mereka berdalih dengan pohon (kesukuan) dan mereka merusakkan buahnya (keluarga Nabi).”[6]

Bila kita melihat kejadian ini dengan kaca mata jernih, kita tidak mampu menyebutnya sebagai sebuah proses pemilihan, karena pemberi suara (seluruh kaum Muslimin bertebaran di seluruh semenanjung Arabia, atau, paling tidak, seluruh kaum Muslimin berada di Madinah) bahkan tidak tahu bahwa ada pemilihan ketika itu, apalagi bila dan dimana hal ini diadakan. Terlepas dari pemberi suara, bahkan calon-calon yang ada tidak sadar atas apa yang terjadi di Saqifah. Kembali kita teringat kata-kata Imam ‘Ali berkenaan dengan dua poin yang disebutkan di atas:
Jika engkau mengklaim lebih memiliki wewenang atas urusan kaum Muslimin dengan musyawarah,
Bagaimana hal ini dapat terjadi bila mereka yang diajak bermusyawarah tidak ada!
Dan jika engkau membual di hadapan musuhmu tentang kekerabatan dengan Nabi,
Maka orang lain lebih memiliki hak dan lebih dekat kepadanya.[7]

Dan kita bahkan tidak dapat menyebutnya sebagai sebuah “seleksi” karena mayoritas sahabat-sahabat utama Nabi tidak mengetahui kejadian ini. ‘Ali, ‘Abbas, Utsman, Talha, Zubair, Sa’ad bin Abi Waqqas, Salman al-Farisi, Abu Dzar al-Ghifari, ‘Ammar bin Yasir, Miqdad, ‘Abdur-Rahman bin ‘Auf, tidak satu pun dari mereka yang bermusyawarah atau bahkan diberitahu perihal kejadian ini.

Satu-satunya dalil yang ditawarkan oleh khalifah ini adalah: “Status hukum apa saja yang dikenakan untuk kejadian Saqifah, karena Abu Bakar berhasil (karena tradisi kesukuan) mengambil kendali kekuasaan di tangannya, ia tetap merupakan seorang “khalifah konstitusional.”

Dalam bahasa yang sederhana, Abu Bakar menjadi seorang khalifah konstitusional karena ia berhasil dalam tawarannya atas kekuasaan. Oleh karena itu, kaum Muslimin yang berpikir memuji kejadian ini, adalah lalai berpikir bahwa satu-satunya yang dapat dinilai dari kejadian ini karena kekuasaan. Ketika anda aman duduk di singgasana kekuasaan, segalanya berjalan baik. Anda akan menjadi kepala negara yang konstitusional.
Akhirnya, saya harus mengutip sebuah komentar dari ‘Umar sendiri, yang menjadi dalang atas khalifah ini. Ia berkata dalam sebuah kuliahnya selama menjabat khalifah:
Aku telah diberitahu bahwa seseorang berkata: “Ketika ‘Umar meninggal, aku akan menyatakan bai’at kepada fulan dan fulan.” Baik, seharusnya tidak ada seorang pun yang tersesat seperti ini, berpikir bahwa meskipun bai’at kepada Abu Bakar dilakukan dengan tergesa-gesa, hal ini akan menjadi beres. Tentu saja, karena tergesa-gesa, namun Allah telah menyelamatkan kita dari kejahatannya. Kini jika ada seseorang yang bermaksud untuk menirunya aku akan penggal lehernya.[8]


[1] . Lihat, Ghiyathu ‘d-Din: Ghiyathu ‘l-Lughat, hal. 228.
[2] . Lihat, at-Tabari: at-Târikh, vol.4, hal.1820; Ibnu’l-Atsir: al-Kâmil, peny. C.J.Tornberg, Leiden,1897, vol.2, hal-hal. 325 folio; Ibn Qutaybah: al-lmâmah wa’s-Siyasah, Kairo, 387/1967, vol. 1, hal-hal. 18 folio.
[3] . Lihat, Mir Khwand: Rawdatu ‘s-Safa, vol 2, hal. 221.
[4] . Lihat, al-Halabi: as-Sirah, vol. 3, hal. 357. [11] Ibn Qutaybah: al-Imâmah wa ‘s-Siyasah, vol. 1,hal. 4; al-Mawardi: al-Ahkamu ‘s-Sultâniyyah, hal. 7.
[5] . Lihat, Ibn Qutaibah, al-Imâmah wa ‘s-Siyasah, vol. 1, hal. 4; al-Mawardi, al-Ahkamul Sultâniyyah, hal. 7.
[6] . Lihat, ar -Radi , Nah ju ‘l –Balâghah,   Edisi Subhi Salih, Beirut, hal. 98.
[7] . Ibid., Perkataan no.l90, [hal-hal.502-503] . Kata-kata Imam ‘Ali dinukil oleh asy-Syarif Radi di bawah perkataan no. 190 yang berbunyi sebagai berikut: “Alangkah anehnya! Dapatkah seseorang menjadi khalifah melalui persahabatannya dengan Nabi bukan melalui persahabatan dan kekerabatan?” Menakjubkan untuk disimak bahwa edisi Subhi Salih dan Muhammad Abduh (Beirut, 1973), telah melalaikan kata-kata “tapi tidak melalui persahabatannya!” Untuk versi yang lebih lengkap dari perkataan ini, silahkan lihat, Ibn Abi’ l-Hadid, Syarh Nah ju’l- Balâgha, Kairo,1959, vol. 18, hal. 416.
[8] . Lihat, al-Bukhari ‘: as-Sahih, ” Kitabu ‘l-Muhakibin “, Kairo,  (tanpa tahun), vol.8, hal.210; at-Tabari: at-Târikh, vol.4, hal.1821.

Para pembaca…

Mayoritas  madzhab Sunni meyakini bahwa apa yang terjadi di Saqifah adalah sebuah manifestasi “demokrasi” yang sejalan dengan ruh Islam. Dengan memandang bahwa keyakinan ini masuk akal dengan berharap bahwa “pemilihan demokrasi” (apa saja artinya dalam konteks Saqifah) adalah sebagai basis dari kekhalifahan Islam. Namun hal ini tidaklah demikian adanya.

Abu Bakar merasa berhutang budi kepada ‘Umar dalam mendudukkanya sebagai khalifah dan dia tahu bahwa jika masyarakat diberikan kebebasan untuk memilih, ‘Umar tidak memiliki kans untuk menang. (‘Umar dikenal sebagai orang yang bertabiat keras dan kasar). Oleh karena itu, Abu Bakar memutuskan untuk menominasikan Umar bin Khattab sebagai pengganti baginya.

At-Tabari menulis: “Abu Bakar memanggil Utsman – ketika dia dalam keadaan sekarat – dan memintanya untuk menuliskan sebuah perintah pengangkatan, dan mendiktekan kepadanya: “Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Surat ini adalah surat perintah ‘Abdullah bin Abi Quhafa (Abu Bakar) kepada kaum Muslimin. Mengingat…,” kemudian ia jatuh pingsang. Utsman menambahkan kata-kata: “Aku mengangkat ‘Umar bin al-Khattab sebagai penggantiku bagi kalian.”

Lalu Abu Bakar siuman kembali dan berkata kepada ‘Utsman untuk membacakan surat perintah itu untuknya. ‘Utsman membacanya: “Abu Bakar berkata, Allahu Akbar, dengan gembira dan berkata, Aku pikir engkau takut jikalau orang-orang akan bersilang pendapat sesama mereka jika aku mati dalam keadaan tersebut.”

‘Utsman menjawab: “Iya.” Abu Bakar berkata: “Semoga Allah memberikan ganjaran kepadamu atas jasamu terhadap Islam dan kaum Muslimin.”[1] Kemudian, surat pengangkatan dilengkapi dan Abu Bakar memerintahkan supaya surat tersebut dibacakan di hadapan kaum Muslimin.

Ibn Abil Hadid al-Mu’tazili menulis bahwa ketika Abu Bakar siuman dari pingsannya dan yang menuliskan dikte membaca apa yang telah ditulis olehnya  dan Abu Bakar mendengar nama ‘Umar, ia bertanya, “Bagaimana engkau menulis hal ini?” Orang yang menuliskan dikte berkata, “Engkau tidak dapat melewatinya begitu saja.” Abu Bakar menjawab: “Engkau betul.”[2]

Beberapa saat setelah Abu Bakar wafat, ‘Umar meraih kedudukan khalifah berkat surat pengangkatan ini. Di sini anda teringat akan tragedi yang terjadi tiga hari atau lima hari sebelum wafatnya Rasulullah Saw.
Dalam Sahih Muslim terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas bahwa: “Tiga hari sebelum wafatnya Rasulullah Saw ‘Umar bin Khattab dan sahabat-sahabat yang lain hadir di sisi beliau. Rasulullah Saw berkata: “Kini biarkan aku menuliskan sesuatu untuk kalian sebagai wasiat sehingga kalian tidak akan tersesat setelahku.” ‘Umar berkata: “Nabi sedang meracau; Kitabullah cukup bagi kita.” Perkataan ‘Umar menyebabkan kegaduhan di antara orang yang hadir di situ. Beberapa orang berkata bahwa permintaan Nabi itu harus dipenuhi sehingga beliau menulis apa saja yang diinginkan oleh Rasulullah Saw untuk kebaikan mereka, dan yang lainnya bersama ‘Umar. Ketika ketegangan dan kegaduhan meningkat, Rasulullah Saw berkata, “Pergilah kalian dari sini.”[3]

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian meninggikan suara kaliad lebih dari suara Nabi…” (Qs. al-Hujurat:2) Perkataan Nabi adalah wahyu dari Allah, “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsu. Ucapannya tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.”(Qs. an-Najm:3-4) Dan diperintahkan untuk  mengikuti perintah tanpa adanya “sekiranya” dan “tetapi”; Apa saja yang diberikan oleh Rasul kepadamu ambillah, dan apa saja yang dilarangnya, jauhilah.” (Qs. al-A’raf:59).

Dan ketika Nabi, lima hari sebelum wafatnya, beliau ingin menuliskan petunjuk untuk menyelamatkan kaum Muslimin dari kesesatan, beliau dituduh “sedang meracau”.
Ketika Abu Bakar yang tidak memiliki penjagaan Ilahi dari kesalahan, mulai mendiktekan surat pengangkatan dalam keadaan kritis; sehingga ia jatuh pingsan sebelum menyebutkan nama penggantinya, ‘Umar tidak berkata bahwa ia sedang meracau!

Tidak ada orang yang tahu pasti atas apa yang dinginkan oleh Rasul untuk ditulis, tetapi kalimat yang digunakan oleh beliau  memberikan petunjuk bagi kita bahwa yang diminta oleh beliau untuk ditulis adalah Kitabullah dan Itrahti. Dalam beberapa kesempatan, Rasulullah telah mengumumkan:
Ayyuhannas!, Sesungguhnya Aku tinggalkan bagi kalian dua pusaka yang berharga (tsaqalain) Kitabullâh dan Itrahti, yang merupakan Ahl al-Baitku. Kalian tidak akan tersesat selamanya, jika kalian berpegang teguh kepada keduanya.

Ketika beliau menggunakan kalimat yang sama lima hari sebelum wafatnya (…”Mari aku tuliskan sesuatu sebagai wasiat sehingga kalian tidak akan tersesat setelahku”..), mudah untuk dimengerti bahwa Rasululullah Saw ingin menuliskan apa yang telah dikatakan kepada mereka tentang al-Qur’an dan Ahl al-Bait As.
Barangkali ‘Umar telah menduga hal ini sebelumnya; karena tampak dari klaim yang digunakannya: “Kitabullâh cukup bagi kita.” Ia ingin memberitahukan kepada Rasulullah Saw bahwa ia tidak ingin mengikuti Tsaqalain. Yang pertama sudah cukup baginya.

Dan ia sendiri mengakui dalam pembicaraannya dengan ‘Abdullah bin ‘Abbas, kemudian ia berkata sebagai berikut: “Dan sesungguhnya, Ia (Rasulullah) bermaksud untuk mengumumkan nama ‘Ali, sehingga aku mencegahnya.”[4]

Barangkali dengan menggunakan kalimat “meracau” akan mewujudkan tujuannya bahwa jika sekiranya Rasulullah Saw menuliskan wasiat beliau, ‘Umar dan pengikutnya akan mengklaim bahwa karena wasiat itu ditulis dalam keadaan meracau, maka tidak memiliki keabsahan.

Asy-Syuraa: Komite.
Setelah berkuasa kurang-lebih sepuluh tahun, ‘Umar terluka secara serius akibat tikaman seorang budak Zoroaster, Firuz.

‘Umar merasa sangat berhutang budi kepada ‘Utsman (karena surat pengangkatan tersebut) namun tidak ingin secara terbuka menominasikan ‘Utsman sebagai penggantinya; juga tidak ingin melepaskan kaum Muslimin untuk menggunakan kebebasan setelah kematiannya. Ia secara cerdik menciptakan system ketiga.
Ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah telah wafat dan beliau rida dengan keenam orang Quraisy: ‘Ali, Utsman, Talha, az-Zubair, Sa’ad bin Abi Waqqas dan Abdurrahman bin ‘Auf. Dan jika aku memutuskan untuk membuat (seleksi khalifah) dimusyarahkan di antara mereka, mereka dapat memilih salah satu dari keenamnya.”

Mereka dipanggil ketika ia hampir mendekati kematian. Ketika ia melihat kepada mereka, ia bertanya, “Jadi, kalian semua ingin menjadi khalifah setelahku?” Tidak ada yang menjawab. Ia mengulangi pertanyaannya. Lalu az-Zubair angkat bicara: “Apa yang engkau miliki untuk menyingkirkan kami dari pencalonan? Engkau telah mendapatkannya dan mengelolanya; dan kami tidak lebih kecil darimu dalam bangsa Quraisy baik dari sisi keturunan dan hubungan dengan Rasulullah Saw.”

‘Umar bertanya: “Jika sekiranya aku katakan tentang diri kalian semua?
Az-Zubair berkata: “Katakanlah kepada kami, karena walaupun kami memintamu untuk tidak mengatakannya, engkau tetap akan mengatakannya. Lalu ‘Umar mulai menghitung kejahatan-kejahatan az-Zubair, Talha, Sa’ad bin Abi Waqqas dan ‘Abdurrahman bin ‘Auf. Lalu ia menoleh kepada ‘Ali dan berkata, “Demi Allah engkau pantas untuk mendapatkannya (khalifah) jika saja karena bukan tabiat tegasmu. Bagaimanapun, demi Allah, jika engkau membuatnya menjadi pemimpinmu, ia akan pasti membimbingmu ke jalan yang benar dan jalan yang terang.”

Lalu ia memandang kepada ‘Umar dan berkata: “Ambillah dariku. Sepertinya seakan-akan aku melihat bahwa bangsa Quraisy telah meletakkan kalung ini (khalifah) di sekitar lehermu karena cintamu; kemudian engkau akan meletakkan Banu Umayyah dan Banu Abi Mu’ayt (sukunya ‘Utsman) di pundak orang-orang (sebagai penguasa) dan memberikan kepada mereka secara eksklusif harta rampasan (ghanimah) kaum muslimin; dengan demikian sekelompok orang dari srigala-srigala Arab datang kepadamu dan membantaimu di pembaringan.

Demi Allah, jika bangsa Quraisy memberikan khalifah kepadamu, engkau pasti akan memberikan hak-hak eksklusif kepada Banu Umayyah dan jika engkau melakukan hal ini, kaum Muslimin akan membunuhmu.”Lalu ia memegang kening ‘Utsman dan berkata: “Jadi jika hal ini terjadi, ingatlah pesanku; karena pasti hal ini akan terjadi.”

Kemudian ‘Umar memanggil Abu Talha al-Ansari dan berkata kepadanya bahwa setelah penguburannya (‘Umar), ia diminta untuk mengumpulkan lima puluh orang dari Ansar yang bersenjatakan pedang, dan mengumpulkan keenam orang kandidat yang telah disebutkan di atas dalam sebuah rumah untuk memilih salah seorang dari mereka sebagai khalifah. Jika lima orang sepakat dan satunya tidak, maka ia harus dipenggal; jika empat orang sepakat dan dua orang tidak sepakat, keduanya harus dipenggal; jika seimbang, tiga berhadapan dengan tiga, pilihan kelompok Abdurrahman ‘Auf yang menang, dan jika kelompok lainnya tidak setuju atas pilihan Abdurrahman ‘Auf mereka harus dipenggal. Kemudian jika sudah tiga hari berlalu dan mereka tidak mampu mengambil sebuah keputusan, semuanya harus dipenggal dan masalah pemilihah khalifah diserahkan kepada kaum Muslimin.”[5]

Seorang penulis Syi’ah menukil, ketika ‘Umar mengumumkan bahwa kelompok ‘Abdurrahman bin ‘Auf yang akan menang, ‘Abdullah bin ‘Abbas berkata kepada ‘Ali, ” Dan lagi hal ini merupakan kekalahan bagi kita. Orang ini menghendaki ‘Utsman menjadi khalifah.” ‘Ali menjawab, “Aku juga mengetahui hal ini; namun aku masih ingin duduk bersama mereka di dalam syura, karena ‘Umar dengan siasat ini telah – setidaknya – menerima bahwa aku yang pantas menjadi khalifah, padahal sebelumnya ia menegaskan bahwa nubuwwah (kenabian) dan imamah tidak dapat bergabung dalam satu keluarga. Oleh karena itu, aku akan mengambil bagian dalam syurah untuk menunjukkan kepada orang-orang  bahwa dalam pembicaraan dan perbuatannya terdapat kontradiksi.”[6]

Mengapa Ibn ‘Abbas dan ‘Ali yakin bahwa ‘Umar menghendaki ‘Utsman yang menjadi khalifah? Karena konstitusi syura dan kerangka kerjanya.

‘Abdurrahman bin ‘Auf dan ‘Utsman adalah saudara ipar, karena ‘Abdurrahman bin ‘Auf menikah dengan saudarinya ‘Utsman; dan Sa’ad bin Abi Waqqas dan ‘Abdurrahman adalah saudara sepupu.
Memandang kepercayaan yang diikat oleh keluarga dalam bangsa Arab, mustahil Sa’ad akan menentang ‘Abdurrahman atau ‘Abdurrahman tidak mengindahkan ‘Utsman (saudara iparnya). Sehingga semua suara tersebut untuk ‘Utsman, termasuk ‘Abdurrahman yang memutuskan suara.

Talha bin ‘Ubaidillah berasal dari suku Abu Bakar dan sejak hari Saqifah, Bani Hasyim dan Bani Taim bermusuhan satu sama lain. Dan dalam tataran pribadi, ‘Ali telah membunuh pamannya, ‘Umair bin ‘Utsman, saudaranya Malik bin ‘Ubaidillah dan kemenakannya ‘Utsman bin Malik dalam perang Badar.[7] Tidak mungkin baginya mendukung ‘Ali. Az-Zubair merupakan putra dari Safiyyah, bibi ‘Ali, dan setelah peristiwa Saqifah, ia mencabut pedangnya untuk memerangi mereka yang telah menerobos rumahnya ‘Ali untuk membawanya kepada Abu Bakar. Dan tidak masuk akal untuk mengharapkan Zubair dapat membantu ‘Ali. Dan pada sisi yang lain, ia sendiri dapat tergoda untuk menjadi khalifah.

Dengan demikian, orang yang paling bisa diharapkan oleh ‘Ali dalam pemilihan itu adalah az-Zubair. Masih ada empat orang dalam pemilihan tersebut yang menentangnya dan ia akan kalah dalam pemilihan ini. Bahkan jika Talha memilih ‘Ali, ia tidak dapat menjadi khalifah karena dalam skenario dua kelompok yang berimbang, pendapat ‘Abdurrahman yang akan didengar.[8]

Setelah mengkaji kerangka kerja musyawarah ini, apa yang terjadi di dalamnya adalah hanya menarik minat akademik saja. Talha menjatuhkan suaranya kepada ‘Utsman; dengan asumsi bahwa az-Zubair akan memilih ‘Ali, dan Sa’ad memilih ‘Abdurrahman bin ‘Auf.

Pada hari ketiga, ‘Abdurrahman menarik namanya dan berkata kepada ‘Ali bahwa ia akan menjadikannya sebagai khalifah jika; ‘Ali bersumpah untuk mengikuti Kitabullah, sunnah Rasulullah dan sunnah Abu Bakar dan ‘Umar. ‘Abdurrahman tahu betul jawaban ‘Ali. ‘Ali berkata, “Aku ikuti Kitabullah, Sunnah Rasulullah Saw dan keyakinanku sendiri.”

Kemudian ‘Abdurrahman mengajukan syarat yang sama kepada ‘Utsman, yang memang telah bersedia untuk menerima syarat tersebut. Dengan demikian, ‘Abdurrahman mendeklarasikan ‘Utsman sebagai khalifah baru.

‘Ali As berkata kepada ‘Abdurahman: “Demi Allah, engkau tidak melakukannya kecuali dengan harapan yang sama, yang ia (‘Umar) dapatkan dari temannya.” (Ia bermaksud bahwa ‘Abdurahman melantik ‘Utsman sebagai khalifah dengan harapan bahwa ‘Utsman juga akan menominasikannya sebagai penggantinya).

Kemudian ‘Ali berkata: “Semoga Allah menciptakan permusuhan di antara kalian berdua.” Selang beberapa tahun ‘Abdurahman dan ‘Utsman saling bermusuhan satu sama lain; mereka tidak saling menyapa hingga ‘Abdurahman wafat.

‘Utsman; khalifah ketiga, dibunuh oleh kaum Muslimin yang tidak senang dengan nepotisme yang dipraktikkan olehnya. Keadaan ini tidak memberikannya peluang untuk memilih penggantinya. Kaum Muslimin, untuk pertama kalinya, benar-benar bebas menyeleksi (selection) atau mengeleksi (election) seorang khalifah sesuai dengan pilihan mereka; mereka berkerumun di hadapan pintu rumah ‘Ali As.
Namun, dua puluh lima tahun telah berlalu semenjak wafatnya Rasulullah Saw, tabiat dan pandangan kaum Muslimin telah berubah hingga pada keadaan bahwa banyak orang-orang popular menjumpai pemerintahan ‘Ali berdasarkan kepada keadilan dan kesetaraan mutlak, persis seperti pemerintahan Rasulullah Saw, sehingga mereka tidak kuat mengikuti pemerintahannya.

Setelah syahada Imam ‘Ali As, Imam Hasan ingin melanjutkan perang dengan Muawiyah. Namun banyak orang-orangnya, disuap oleh Mua’wiyah; dan banyak para komandan yang, ketika mereka diutus untuk menghadang Muawiyah, malah menyeberang menjadi pasukan Mua’wiyah dan menjadi musuh Imam Hasan As. Dalam keadaan seperti ini, Imam Hasan terpaksa menerima tawaran berdamai dari Muawiyah.
Setelah gencatan senjata ini, Ahlus Sunnah mengklaim bahwa kekuatan militer adalah jalan yang sah untuk memperoleh khalifah konstitusional.

Oleh karena itu, jalan keempat “konstitusional” khalifah muncul menjadi syarat di antara syarat-syarat menjadi seorang khalifah.

Pandangan Umum.
Dalam ranah politik, biasanya konstitusi sebuah Negara disiapkan sebelumnya. Dan ketika tiba  saatnya  untuk memilih sebuah pemerintahan atau melantik dewan legislatif, setiap jawatan dilaksanakan berdasarkan provisi-provisi konstitusi. Apapun yang sejalan dengannya, akan dianggap sah dan legal dan sebaliknya, apa saja yang berlawanan dengan kaidah ini, ditolak karena tidak sah dan illegal.

Karena, menurut pandangan Ahlus Sunnah merupakan tugas umat untuk memilih seorang khalifah, wajib bagi Allah dan Rasul-Nya untuk menyediakan mereka sebuah konstitusi (dengan prosedur yang detail untuk memilih seorang khalifah). Dan jika tidak dilakukan, maka kaum Muslimin sendiri yang seharusnya bersepakat untuk menentukan langkah-langkah konstitusional sebagai pendahuluan sebelum prosesi pemilihan seorang khalifah.

Akan tetapi, cukup aneh jika hal ini tidak dilakukan. Dan kini kita temukan sebuah konstitusi unik yang tidak past”i (unsettled) yang tindakan-tindakannya tidak sesuai dengan konstitusi karena memang tidak ada; malah sebaliknya konstitusi yang mengikuti keadaan-keadaan.

Argumen paling baik yang diajukan oleh Ahlus Sunnah untuk mendukung klaim mereka adalah bahwa kaum Muslimin pada masa-masa awal memandang tugas mereka untuk mengangkat seorang khalifah, dan bahwa mereka memandang hal ini penting sehingga mereka melalaikan untuk menghadiri upacara pemakaman Rasulullah dan pergi ke Saqifah Bani Sa’idah untuk menyelesaikan permasalahan khalifah. Dari peristiwa itu mereka memutuskan bahwa pengangkatan seorang khalifah merupakan tugas umat.

Syi’ah mengklaim bahwa peristiwa Saqifah Bani Sa’idah adalah peristiwa illegal; Ahlus Sunnah mengklaim bahwa peristiwa ini legal dan benar. Bagaimana Ahlus Sunnah meletakkan klaim mereka sebagai argumen dan dalil?

Untuk meletakkan klaim sebagai dalil adalah seperti pepatah: “Perbuatanku sah karena aku telah melakukannya.” Mahkamah manakah yang akan menopang argumen semacam ini?

Sisi Praktikal.
Kesampingkan sisi akademis dari metode-metode ini, mari kita lihat akibat yang diderita oleh mereka karena masalah kepemimpinan dan mentalitas kaum Muslimin.

Dalam masa tiga puluh tahun setelah wafatnya Rasulullah Saw, segala cara yang mungkin dilakukan untuk memperoleh kekuasaan dan membuat aturan-aturan baku seperti eleksi, seleksi, nominasi dan kekuatan militer. Hasilnya, adalah bahwa hari ini setiap penguasa Muslim yang menghendaki untuk menduduki takhta kekhalifahan dan “kepemimpinan spiritual” kaum Muslimin; dan hal ini merupakan kekurangan dasar dari pandangan kaum Muslimin yang  hingga hari ini senantiasa menjadi penyebab utama instabilitas politik dunia Islam. Setiap penguasa Islam; sebagai seorang Muslim, telah diajarkan bahwa “supremasi militer” merupakan sebuah jalan konstitusional untuk menjadi khalifah. Mereka mencoba untuk melemahkan penguasa Muslim yang lain sehingga ia sendirilah yang dapat muncul sebagai penguasa yang paling agung di antara penguasa-penguasa kaum Muslimin. Dengan cara seperti ini, “konstitusi” ini secara langsung telah menyumbangkan kelemahan bagi dunia Islam hari ini.

Terlepas dari itu, mari kita lihat sekali lagi betapa  metode ini terbukti segera setelah ia diciptakan. Keempat sisi batas khalifah ini sangat tidak aman sehingga seseorang bisa saja memasukinya, tanpa memandang ilmu atau perilakunya. Khalifah pertama setelah Mu’awiyah adalah anaknya, Yazid, yang”dinominasikan” oleh Mua’wiyah dan memiliki “kekuatan militer” yang besar. Kaum Muslimin memberikan bai’at mereka selama masa pemerintahan Mua’wiyah; dengan demikian, terdapat ijma’ juga dalam bai’at ini. Jadi Yazid juga merupakan “khalifah konstitusional”. Namun bagaimana iman dan perilakunya? Yazid adalah orang yang terang-terangan mengingkari Rasulullah Saw. Ia secara jujur menyatakan keyakinannya dalam sebuah syair: “Bani Hasyim telah memainkan sebuah lakon untuk meraih kerajaan; sejatinya tidak ada kabar (dari Tuhan) juga tidak ada wahyu.”[9]

Ia tidak percaya tentang adanya Hari Kiamat: “Wahai kekasihku! Jangan engkau percaya akan bersua denganku setelah mati, karena apa yang mereka katakan kepadamu tentang wujud kita akan dibangkitkan untuk hisab hanyalah sebuah mitos yang membuat hati lupa akan kesenangan hidup di dunia nyata ini.”[10]
Setelah memangku jabatan khalifah, ia secara terbuka bermain-main dengan salat; dan menunjukkan sikap acuhnya terhadap agama dengan mengenakan jubah ulama pada anjing-anjing dan monyet-monyet. Judi dan bermain dengan beruang adalah permainan favoritnya untuk menghabiskan waktu. Ia menghabiskan waktunya dengan meminum anggur, di mana saja dan kapan saja, tanpa ragu. Ia tidak menghormati kaum wanita, bahkan orang-orang yang termasuk muhrimnya seperti, ibu tiri, saudara, bibi dan putri. Mereka ibaratnya seperti wanita-wanita lain di matanya.

Ia mengutus pasukannya ke Madinah. Di kota suci Nabi itu harta-harta para penduduk dijarah secara bebas. Tiga ratus gadis-gadis, terpisah dari wanita-wanita lainnya, diserang oleh tentara-tentaranya. Tiga ratus qurra (pembaca al-Qur’an) dan tujuh ratus sahabat-sahabat Nabi dibantai secara brutal.

Masjid suci ditutup selama berhari-hari. Para tentara Yazid menggunakannya sebagai kandang kuda mereka. Masjid suci ini menjadi tempat persinggahan anjing-anjing dan mimbar Nabi dicemari.
Akhirnya, komandan lasykar memaksa orang-orang Madinah untuk tunduk di hadapan Yazid dengan memberikan bai’at mereka dengan perkataan seperti ini: “Kami adalah budak-budak Yazid; terserah kepadanya apakah ia memberikan kembali kepada kami kebebasan atau menjual kami di pasar budak.” Mereka yang ingin memberikan bai’at dengan syarat bahwa Yazid harus mengikuti dustur al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw, dibunuh oleh antek-antek Yazid.[11] Mungkin relevan jika kita menyitir hadits Nabi yang pernah bersabda bahwa: “Semoga Allah melaknat orang yang memberi ketakutan kepada orang-orang Madinah!”

Kemudian pasukan itu, atas perintah Yazid, bertolak ke Makkah. Kota paling suci Allah itu dikepung. Mereka tidak dapat memasuki kota, lalu mereka menggunakan manjaniq (ketapel): sebuah alat militer kuno yang digunakan untuk melontarkan batu besar terhadap sasaran yang jauh). Dengan alat ini, mereka melontarkan batu-batuan dan obor yang menyala ke Ka’bah. Kiswah (plafon Ka’bah) terbakar dan salah satu bagian dari bangunan suci itu rusak berat.[12]

 Al-Walid dan Harun al-Rasyid.
Aturan ini, bukan sebagai sebuah pengecualian,  sudah menjadi aturan umum. Contohnya adalah Al-Walid bin Yazid bin Abdul Malik yang merupakan salah seorang khalifah dari Bani Umayyah. Suatu malam ia sedang minum-minuman keras bersama selirnya, hingga mereka berdua mendengar azan subuh. Ia bersumpah bahwa sang selir tersebut akan memimpin salat. Sang selir mengenakan jubah khalifah dan memimpin salat dalam keadaan yang sama dengan al-Walid, yaitu sedang mabuk.[13]

Suatu hari ia menggangu putri belianya di hadapan wanita budak putrinya tersebut. Ia berkata (itu bukan Islam) itu merupakan agama Majusi. Al-Walid mendendangkan sebuah kuplet: “Pria yang peduli akan (lisan) orang-orang, mati dalam keadaan duka; pria yang berani, akan mendapatkan seluruh kesenangan duniawi.[14]

Harun al-Rasyid, khalifah masyhur dari negeri Seribu Satu Malam ini  dianggap sebagai salah seorang khalifah yang paling berpengaruh, ingin tidur bersama salah seorang selir ayahnya. Wanita tersebut secara tegas menolak dan mengatakan bahwa perbuatan ini termasuk perbuatan zina karena kedudukan wanita itu sebagai ibu baginya. Harun al-Rasyid memanggil al-Qadi Abu Yusuf dan berkata kepadanya untuk menemukan cara untuk memuaskan syahwatnya. Si Qadi berkata: “Dia hanyalah merupakan wanita budak.”
Apakah engkau akan menerima apa saja yang ia katakan? Tidak.
Jangan terima perkataannya.”
Jadilah sang khalifah memuaskan nafsunya.
Ibn Mubarak berkomentar: “Aku tidak tahu siapa di antara tiga orang ini yang lebih mengagetkan: Khalifah yang menaruh tangannya di dalam darah dan harta kaum Muslimin dan tidak menghormati ibu tirinya; atau wanita budak yang menolak untuk mengabulkan keinginan sang khalifah; atau Qadi yang memberikan fatwa kepada sang khalifah untuk menghina ayahnya dan tidur bersama selir ayahnya yang nota-bene masih merupakan ibu tirinya sendiri.”[15]

Pengaruh-pengaruh Kepercayaan Terhadap Keadilan Ilahi dan Ismah (Kesucian)Para Nabi.
Telah dijelaskan bahwa keyakinan Ahlus Sunnah ihwal “khalifah konstitusional” melemahkan kaum Muslimin secara politik dan memaksa mereka untuk mentaati setiap orang yang berhasil meraih kekuasaan tanpa memandang kualifikasi atau karakternya.
Seakan-akan hal ini tidak cukup untuk memaksa mereka untuk merubah pandangan dan keyakinan agamanya.
Pertama-tama, mayoritas khalifah yang pernah berkuasa,  kosong dari nilai-nilai agama dan ketakwaan. Untuk menjustifikasi khalifah yang seperti ini, mereka mengklaim bahwa bahkan para nabi biasa melakukan kesalahan. Oleh karena itu, keyakinan mereka terhadap ismah para nabi telah berubah.[16]

Karena barangkali ada ratusan orang yang lebih alim, bertakwa dan lebih memenuhi kualifikasi untuk menjadi khalifah ketimbang khalifah yang berkuasa, mereka dipaksa untuk berkata bahwa tidak ada yang salah dalam memberikan preferensi kepada orang yang lebih rendah tingkat keilmuan, keimanannya (inferior) atas seorang yang memiliki tingkat keilmuan, keimanan yang lebih tinggi dan berkualifikasi.
Syi’ah mengajarkan bahwa perbuatan ini termasuk perbuatan jahat sesuai dengan standar akal-sehat. Tindakan memberikan preferensi kepada yang lebih inferior ketika ada orang yang lebih superior adalah perbuatan jahat, Ahlus Sunnah menyatakan bahwa tidak ada yang baik atau buruk dalam dirinya, apa saja yang diperintahkan oleh Allah adalah baik; apa saja yang dilarang adalah buruk.[17]

Tentang akal, mereka mengingkari keberadaannya di dalam agama. Tidak mungkin menjelaskan secara detail data yang menunjukkan bagaimana keyakinan Ahlus Sunnah “konstitusional khalifah” mempengaruhi seluruh teologi Islam, namun dengan penjelasan secara singkat diharapkan bisa memadai untuk sementara waktu. Jelas bahwa untuk melindungi para khalifah, tidak hanya para nabi disingkirkan dari kedudukan ismah, tapi juga Allah disingkirkan dari keadilan-Nya. Dari sudut pandang ini, kita dapat dengan mudah mengerti signifikansi penuh ayat yang diturunkan di Ghadir Khum.

Wahai Rasul! Sampaikan apa yang telah diwahyukan keapdamu dari Tuhanmu; (tentang khilafah Imam ‘Ali As) dan jika engkau tidak melakukannya, engkau tidak menyampaikan pesan Ilahi (sama sekali); Dan Allah akan menjagamu dari ganguan manusia (Qs. al-Maidah:54) .

Kesucian keyakinan dan amal Islam bergantung kepada khalifah ‘Ali As; jika satu pesan tidak disampaikan, maka seakan-akan tidak ada pesan yang disampaikan sama sekali. Keterjagaan seluruh ajaran agama bergantung kepada Khalifah ‘Ali setelah Rasulullah Saw.


[1] . Lihat, at-Tabari: at-Târikh,  hal-hal. 2138-2139.
[2] . Lihat, Ibn Abi ‘l-Hadid: Syarh.Nahju ‘l-Balâgha vol. 1, hal-hal. 163-165.
[3] . Lihat, Muslim: as-Sahih “  Kitabu ‘l-Wasiyyah “, Babu ‘t-tarki ‘l-Wasiyyah, vol. 5, hal-hal.75-76; al-Bukhari: as-Sahih, (Kairo, 1958), vol. 1, ” Kitabu ‘l-’llm“) hal-hal.38-39; vol.4, hal.85; vol.6, hal-hal.11-12; vol. 7, Kitabu ‘t-Tib , hal-hal.155-156; vol. 9, Kitabu ‘iI’ tisam bi ‘l -Kitab wa ‘s-Sunnah,  hal. 137. Menarik untuk disimak bahwa di mana Bukhari memberikan komentar bahwa Rasulullah berbicara dalam keadaan meracau, ia melalaikan nama orang yang menuduh beliau meracau (‘Umar, -penj.); dan di mana ia memparafrasekan komentar tersebut dengan bahasa yang lebih santun, ia menyebutkan nama pembicara – ‘Umar – dengan jelas. Ibn Sa’d: at-Tabaqat, vol. 2, hal-hal. 242-324 folio, 336, 368; Ahmad: al-Musnad, vol. I, hal-hal .232,239, 324 folio, 336,355.
[4] . Lihat, Ibn Abi ‘l-Hadid:  Syarh, vol. 12, hal. 21, (dinukil dari Târi’kh Baghdad).
[5] . Ibid.,  vol. l, hal-hal. 185-188; Lihat juga Ibn Qutaybah : al-Imâmah wa ‘s-Siyâsah, vol. 1, hal- hal. 23-27; dan  at-Tabari:  at-Târikh, (Mesir, tanpa tahun), vol.5, hal-hal. 33-41.
[6].  Lihat, Ibn Abi ‘l-Hadid :Syarh,   hal.189.
[7] .  Lihat, Ash-Shaykh al-Mufid: al-Irsyad , (dengan terjemahan Persia oleh Syaikh Muhammad Baqir Sa’idi Khurasani), hal.65. [Lihat juga terjemahan Inggris oleh I. K.A. Howard, hal .47 ].
[8] .  Analisa ini dinisbahkan kepada ‘Ali As, sendiri oleh at-Tabari dalam at-Tarikh, hal.35; (lihat footnote 78, di atas). Dalam laporan itu, dialog ini dikatakan terjadi antara ‘Ali dan pamannya ‘Abbas.
[9] . Lihat, catatan kaki no. 9 bagian pertama.
[10] . Lihat, Sibt ibn al-Jawzi: Tadzkirah, hal. 291.
[11] . Lihat, as-Suyuti: Tanrikhu ‘l-Khulafa‘,  hal. 209, [Lihat juga, terjemahan Inggrisnya oleh  Major H.S. Jarrett, hal.213]; Abu’l-Fida’: at-Târikh, vol.I, hal.192; Sibt ibn al-Jawzi: Tadzkirah, hal. 288; Mir Khwand: Rawdatu ‘s-Safa,  vol. 3, hal. 66; Ibn Hajar al-Haytami:  as-Sawa’iqu ‘l-Muhriqah, hal. 79.
[12] . Ibid.
[13] . Lihat, ad-Diyar Bakri: Tarikhu ‘l-Khâmis, vol. 2, hal. 320, sebagaimana dikutip oleh Nawwab Ahmad Husayn Khan Payanwan dalam Tari’kh Ahmad, hal. 328 [Ibn Shakir: Fawatu ‘l-wafayat, vol.4, hal-hal.255-259.
[14] . Lihat, as-Suyuti: Tari’khu ‘l-Khulafa, hal. 291.
[15] . Ibid.
[16] . Lihat,  Prophethood karya S.A.A. Rizvi, hal.9-18
[17] . Lihat, Justice of God karya S.A.A. Rizvi, hal-hak. 1-2.

(Scondprince/Syiahali/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: