Pesan Rahbar

Home » » Menggugat Abu Hurairah

Menggugat Abu Hurairah

Written By Unknown on Tuesday, 19 August 2014 | 20:21:00





Menggugat Abu Hurairah

Oleh: Sharafudden Al-Musawi

Penerbit : Pustaka Zahra
ISBN : 9793249056
Tgl Penerbitan : Oktober 2002
Bahasa : Indonesia
Halaman : 224
Ukuran : 13,5 x 20 cm
Berat : 302 gram


Abu Hurairah banyak meriwayatkan hadis-hadis isra’iliyat, seperti Adam yang diciptakan seperti bentuk Allah, setan lari sambil kentut mendengar suara azan, Nabi Sulaiman yang mengancam akan membelah bayi yang diperebutkan dua orang ibu, Allah menaruh kakinya ke neraka, Nabi Sulaiman yang meniduri 70 wanita dalam semalam tapi hanya melahirkan seorang bayi separuh manusia, Nabi yang membakar sarang semut karena digigit seekor semut. Nabi Isa akan turun membunuh babi (apa salahnya babi?), awan yang bicara, sapi dan serigala berbicara bahasa Arab, Allah yang marah sekali dan tidak akan pernah lebih marah lagi seperti itu, yang diucapkan Adam karena dia melanggar perintah Allah. Sedikit di antaranya yang merupakan cuplikan dari buku Mahmad Abu Rayyah, Syaikh alMudhirah, Abu Hurairah, dan beberapa buku lain perlu dikemukakan disini.


Bentuk Adam Seperti Allah.

Bukhari dan Muslim dalam Shahihnya meriwayatkan dari Abu Hurairah: “Allah menciptakan Adam seperti bentuk (shurah) Allah, dengan panjang badan enam puluh hasta (27 meter).” Dan jalur Said bin Musayyib, lebar badan Adam tujuh hasta (dzira), yakni 3,15 meter.” (1). Melalui jalur lain, dengan lafal yang lain, “Bila dua orang berkelahi, maka hindarilah memukul wajahnya, karena Allah membentuk Adam menurut bentukNya.” Melalui jalur lain lagi, ada yang berbunyi: “Bila memukul orang, hindarilah menampar wajahnya, dan janganlah berkata, ‘Mudahmudahan Allah memburukkan wajahmu!’ sebab wajah Allah adalah sama dengan wajahmu, sebab sesungguhnya Allah membentuk Adam menurut bentukNya”. (2)


Musa as Menampar Malaikat.

Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya dari Abu Hurairah: “Rasul bersabda: Malaikat Maut datang kepada Musa dan bersabda: ‘Penuhilah kehendak Tuhanmu!’ Maka Nabi Musa pun menampar mata Malaikat Maut, sehingga biji mata Malaikat Maut keluar dari rongganya. Maka Malaikat Maut kembali kepada Allah dan berkata: ‘Sesungguhnya Engkau mengutusku kepada hambaMu yang tiada menghendaki kematian, dan ia mencopot mataku’. Maka Allah mengembalikan biji mata Malaikat Maut ke dalam tempatnya semula, dan berfirman: ‘Kembalilah, dan katakanlah. kepadanya agar ia meletakkan tangannya di atas punggung seekor sapi, maka umurnya akan bertambah satu tahun untuk setiap bulu sapi yang melekat di tangannya’. Nabi Musa lalu bertanya kepada Allah: ‘Sesudah itu bagaimana? Allah menjawab: ‘Sesudah itu mati’. Maka Musa berkata: ‘Jika demikian, maka lebih baik aku mati sekarang saja’. Ia lalu memohon kepada Allah, agar ia didekatkan ke tanah suci, sejauh lemparan batu”. (3)


Nabi Musa as Telanjang Mengejar Batu yang Lari.

Bukhari dan Muslim menulis dalam Shahihnya yang berasal dari Abu Hurairah: “Rasul bersabda: Banu Isra’il, suatu ketika, sedang mandi telanjang, dan saling melihat aurat mereka. Dan Nabi Musa as sedang mandi sendirian. Dan mereka berkata: ‘Demi Allah Musa tidak akan mandi bersama kami, karena kemaluannya besar; ia menderita burut’. Suatu ketika Musa pergi mandi dan meletakkan bajunya di atas batu, maka batu itu pun lari membawa bajunya. Dan setelah Musa menjamah bekas tempat batu itu, baru ia sadar dan melihat batu yang lari. Ia pun keluar dari tempat permandiannya dengan telanjang bulat mengejar batu itu, sambil berteriak: ‘Wahai batu, bajuku! Wahai batu, bajuku!’ Maka orang Isra’il pun melihat ke arah kemaluan Musa dan berkata: ‘Demi Allah, Musa tidak menderita penyakit’. Maka batu itu pun muncul kembali dari persembunyiannya, sehingga terlihat oleh Musa, dan Musa lalu mengambil pakaiannya. Ia kemudian menampar batu itu, sehingga meninggalkan bekas, pada enam atau tujuh tempat”. (4)


Allah Mencipta Adam Hari Jum’at Sesudah Ashar.

Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya dari Abu Hurairah: “Allah menciptakan bumi pada hari Sabtu, dan menciptakan gunung pada hari Minggu, menciptakan pohon pada hari Senin, menciptakan yang jelekjelek pada hari Selasa, menciptakan cahaya pada hari Rabu, menyebarkan hewanhewan pada hari Kamis, dan menciptakan Adam as pada hari Jumat, sesudah waktu asar, sebagai ciptaan terakhir dan pada hari terakhir, serta saat yang terakhir, yaitu di antara waktu asar dan malam”. (5)

Catatan kaki:
(1) Bukhari, Shahih, kitab “I’tizam, jilid 4, hlm. 57; Muslim, Shahih, bab “Masuk Surga”, jilid 2, hlm. 481.
(2) Bandingkan, misalnya, dengan ayat AlQur’an, Tiada sesuatu serupa Ia (AlQur’an,
42:11); Tiada Ia tercapai oleh penglihatan mata (AlQur’an, 6:103); Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan. ( AlQur’an, 37:159).
(3) Muslim dalam Shahih, melalui banyak jalur, yang berasal dari Abu Hurairah, dalam bab “Keutamaan Musa.” dari Kitab “Fadha’il”, jilid 2, hlm. 309; Bukhari dalam Shahihnya, bab “Wafatnya Musa”, dalam kitab “Penciptaan”, jilid 2, hlm. 163.
(4) Muslim dalam Shahihnya, yang berasal dari Abu Hurairah, dengan banyak jalur, bab Fadha’il Musa, jilid 2, hlm. 308; Bukhari, dalam Shahihnya, jilid 2, hlm. 163.
(5) Juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Nasa’i diriwayatkan yang berasal dari Abu Hurairah:“Sesungguhnya Allah SWT menciptakan langit dan bumi serta yang berada di antaranya dalam enam hari.Kemudian Allah beristirahat di atas ‘Arsy pada hari ketujuh. Padahal dalam AlQur’an,yaum (hari) di sinibermakna kurun waktu; ada yang bermakna seribu tahun (AlQur’an,22:47; 32:5), ada yang menunjukkanlima puluh ribu tahun (Al-Qur’an,70:4).

Buku ini adalah sebuah penyelidikan tentang perjalanan hidup Abu Hurairah, salah seorang sahabat Nabi Muhammad saww. Ia meriwayatkan demikian banyak hadis dari Nabi yang jumlahnya melebihi semua hadis yang telah diriwayatkan baik oleh empat khalifah, sembilan istri Nabi, serta seluruh keluarga Hasyim. Sejumlah besar hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah tersebar di cabang-cabang maupun pokok-pokok agama yang membuat fikih kaum Muslim yang berkenaan dengan hukum-hukum Allah serta syariat secara luas sangat bersandar padanya. Penelitian tentang Abu Hurairah serta hadis-hadis yang diriwayatkannya dilakukan untuk memberi kepastian apa-apa yang menyangkut cabang-cabang serta pokok-pokok syariat Allah.

Abu Hurairah adalah seorang yang buta huruf, yang belakangan menjadi Muslim dan karenanya periode persahabatannya dengan Nabi saww. sangatlah singkat. Namun ia mampu memahami demikian banyak hadis Nabi, yang mana kaum Muslim awal serta para keluarganya tidak dapat melakukannya.Buku ini akan menunjukkan pada Anda riwayat hidup serta kondisi psikologis Abu Hurairah dengan tepat dan saksama apa adanya. Buku ini juga menyajikan penelaahan kritis terhadap kemampuan dan keunggulan Abu Hurairah dalam meriwayatkan hadis-hadis; dan tentu saja penelitian terhadap kandungan hadis-hadisnya.
__________________________________

Menggugat Hadis Riwayat TAngan Kanan Mu’awiyah


Buku : Adhwâ` ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah
Penulis : Mahmud Abu Rayyah
Penerbit : Dar al-Ma’arif, Cairo
Cetakan : VI, 1994
Halaman : 395
Resentator : Mohammad Subhan Zamzami, Lc.*

Fakta sejarah mencatat bahwa fenomena kritik hadis di dunia Islam sudah ada sejak masa-masa awal Islam. Ini terbukti dengan adanya kritik seorang sahabat terhadap sahabat yang lain, seperti kritik Aisyah terhadap riwayat Abu Hurairah dan Ibnu Umar. Begitu pula pada masa-masa setelahnya bahkan hingga sekarang. Hanya saja, kritik terhadap mata rantai riwayat (sanad) mendapatkan porsi lebih daripada kritik teks (matan). Dengan buku ini, Mahmud Abu Rayyah berusaha membuka kembali fenomena ini dengan mempertanyakan kembali persoalan-persoalan fundamental dalam kajian hadis. Tak ayal bila buku ini dikritik tajam oleh para sarjana Islam di Afghanistan, Irak, Hijaz, Mesir, Syam dan lain-lain. Bahkan G.H.A. Juynboll, orientalis terbesar dalam kajian hadis kontemporer, tak ketinggalan untuk merekamnya dalam disertasinya The Authenticity of the Tradition Literatur: Discussion in Modern Egypt.

Sosok Mahmud Abu Rayyah (1989-1970), penulis Mesir di majalah al-Risalah (bukan Mahmud Abu Rayyah [1922-2004] tokoh Ikhwan Muslimin), dikenal karena tiga karya kontroversialnya, yaitu Adhwâ` ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah, Syaikh al-Mudhîrah: Abû Hurayrah dan Dîn Allâh Wâhid: Muhammad wa al-Masîh Akhawâni. Karena dua karya pertamanya inilah dia dicap sebagai orang Syi’ah bahkan dikafirkan. Muhammad Ajjaj al-Khatib, misalnya, dia terang-terangan menuduhnya sebagai murid Abdul Husain Syarafuddin, pengarang buku kritis berjudul Abû Hurayrah dari kalangan Syi’ah (Ajjaj, 1982: 214). Kalau kita baca daftar buku referesi buku Abu Rayyah ini niscaya kita akan menemukan karya Abdul Husain itu juga bertengger di sana. Tapi Abu Rayyah tak peduli karena meskipun dia dianggap sebagai tokoh Ahlus Sunnah dalam biografinya dalam Syaikh al-Mudhîrah: Abû Hurayrah, tapi dia malah berpendapat bahwa istilah Ahlus Sunnah baru ada pada masa Mu’awiyah bin Abu Sufyan dan julukan tersebut hanya untuk rakyat jelata. (Abu Rayyah, 1993: 336).

Di Barat ada dua pendekatan dalam studi sejarah Islam awal, agama dan kedudukan al-Qur`an sebagai kitab suci, yaitu pendekatan tradisional dan revisionis (Masrur, 2007: 31). Kalau kita mau meletakkan buku Adhwâ` ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah dalam kategori ini, maka ia lebih cocok dikategorikan pada pendekatan tradisional karena metodologi Abu Rayyah masih berkutat pada metode-metode tradisional, yaitu dengan meneliti sumber-sumber Islam dengan cara-cara yang sesuai dengan berbagai asumsi dan tradisi kesarjanaan muslim, dan belum menggunakan temuan-temuan arkeologi, epigrafi, dan numismatic sebagai bukti sejarah sebagaimana metode kalangan revisionis. Oleh karena itu, buku ini berusaha menggali khazanah-khazanah intelektual Islam baik Sunni atau Syiah sebagai topangan argumentasinya, meski tidak lepas dari sederet kecil karya para orientalis seperti Ignaz Goldziher, Philip Hitti, Kramers dan lain-lain.

Secara garis besar, persoalan utama buku ini berkutat pada beberapa persoalan: 1) periwayatan hadis dengan makna bukan dengan lafadz; 2) keadilan para sahabat; 3) pemalsuan hadis; 4) riwayat israi’liyyat; 5) kredibilitas Abu Hurairah; 6) kodifikasi al-Qur`an; 7) kodifikasi hadis; al-Jarh wa al-Ta’dîl; 9) hadits ahad; dan 10) beberapa catatan penting. Biasanya persoalan-persoalan ini dikemas dengan cara menukil pendapat para ulama baik klasik maupun kontemporer, membeberkan kekurangan persoalan itu serta mengkritiknya habis-habisan dan sedikit sekali menawarkan solusi pemecahannya. Salah satu solusi yang dia tawarkan adalah kritik teks (matan) seperti diisyaratkan oleh Ibnu Khaldun, Taha Husain dan lain-lain. Oleh karena itu, getaran dekonstruksi kajian hadis lebih terasa daripada rekonstruksinya dalam buku ini. Di bawah ini kita akan mengulas sedikit sebagian poin-poin penting tersebut.

Pertama, persoalan periwayatan hadis dengan makna bukan dengan lafadz. Abu Rayyah mengkritik metode periwayatan hadis dengan makna yang lebih mendominasi metode periwayatan daripada periwayatan hadis dengan lafadz sebagaimana dibolehkan oleh mayoritas ulama. Menurutnya, periwayatan hadis dengan makna hanya terjadi karena hilangnya lafadz-lafadz asli dan kelupaan yang mendorongnya untuk merubahnya, karena bila lafadz asli tetap terjaga maka tidak perlu ada perubahan dan meriwayatkan lafadz asli itu tentu lebih baik daripada dengan makna. (hal. 49-50) Karena kelonggaran ini, redaksi hadis yang dianggap mutawatir sekali pun ada yang lafadznya berbeda. Abu Rayyah seakan-akan ingin menyatakan bahwa dengan dibolehkannya periwatan hadis dengan makna, maka pintu-pintu perselisihan antara umat Islam akan terbuka lebar.

Perselisihan dalam ibadah, misalnya, Abu Rayyah menyebutkan bukti sembilan varian lafadz tasyahhud para sahabat yang berbeda-beda satu sama lainnya. Seandainya, menurutnya, varian lafadz tasyahhud termasuk hadîts qawlî maka bisa dimaklumi, tapi permasalahannya varian lafadz tersebut termasuk amal ibadah mutawatir yang dilakukan semua sahabat pada setiap kesempatan. Menariknya, masih menurut Abu Rayyah, setiap sahabat bersaksi bahwa Rasulullah yang mengajarkannya padanya sebagaimana beliau mengajari mereka al-Qur`an. Sebagai imbasnya, para ulama berbeda pendapat tentang status tasyahhud dan hukumnya dalam shalat. (hal. 55-58) Dan pada gilirannya, umat Islam pun terpecah belah dibuatnya.

Kedua, persoalan status keadilan para sahabat. Abu Rayyah mengkritik tajam kaidah “al-Shahâbah Kulluhum ‘Udûl” (semua sahabat adil) yang dianut oleh hampir semua ulama Ahlus Sunnah dari masa ke masa. Menurutnya, para sahabat hanya manusia biasa yang tak luput dari kekurangan sebagaimana manusia lainnya. Yang membuat mereka berbeda dengan yang lain hanya karena mereka dianugerahi kesempatan melihat dan bergaul dengan Rasulullah, tak lebih. Toh, di antara mereka ada juga yang hipokrit seperti dalam surat al-Taubah perihal perang Tabuk, ayat 9-11 surat al-Jumu’ah dan riwayat al-Bukhari dari Hudzaifah bin al-Yaman tentang kemunafikan para sahabat pada zaman Rasulullah dan setelahnya. Kaidah itu merupakan sikap percaya dan penghormatan yang berlebihan dan bertentangan dengan al-Qur`an, sunnah, bukti-bukti kuat dan tak sesuai dengan tabiat manusia. Baginya, ia hanya berlaku bagi sebagian besar mereka saja, bukan semuanya. Lagi pula, standard keadilan bukanlah ‘ishmah (dijaga dari salah dan dosa). (hal. 312-333)

Ketiga, persoalan isra`iliyyat. Kali ini Ka’ab al-Ahbar, Wahab bin Munabbih, Abdullah bin Salam, Tamim bin Aus al-Dari dan Abu Hurairah menjadi sasaran kritik pedasnya tanpa memperdulikan pujian mayoritas ulama Sunni atas mereka. Menurutnya, merekalah yang bertanggungjawab atas tersebarnya riwayat-riwayat isra`iliyyat dalam Islam terutama dalam ranah tafsir. Dengan riwayat-riwayat isra`iliyyat, menurutnya, mereka ingin menghancurkan Islam dari dalam. Bahkan dia menuduh Ka’ab al-Ahbar sebagai tokoh zionis pertama, bukan Abdullah bin Saba` sebagaimana sering kita dengar. Ka’ab al-Ahbar berhasil mempengaruhi para sahabat dan tabi’in untuk mendengarkan kisah-kisahnya yang dinukil dari Taurat dan bersekongkol dengan Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Bahkan dia juga menuduh Abdullah bin Umar, Abdullah bin Amru bin Ash dan Abu Hurairah sebagai muridnya yang turut membantu misi licik tersebut. (hal. 118-167) Sebenarnya, Abu Rayyah bukan satu-satunya orang yang mengkritik riwayat Ka’ab al-Ahbar dan Wahab bin Munabbih, karena sebelumnya Rashid Ridha juga mengkritik riwayat mereka meski tidak sekeras Abu Rayyah. (hal. 366-368)

Keempat, kredibilitas Abu Hurairah. Poin ini merupakan poin yang sering dibahas dalam buku ini. Abu Hurairah adalah tokoh utama korban kritik tajam Abu Rayyah. Menurutnya, bagaimana mungkin orang yang bersahabat hanya setahun sembilan bulan dengan Rasulullah ini menjadi sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits, apalagi dia hanya seorang sahabat biasa? Logisnya, seharusnya sahabat yang paling lama bersama Rasulullah, paling tinggi derajat dan pengetahuan agamanya adalah sahabat yang paling banyak riwayatnya seperti empat khalifah pertama, sepuluh orang yang dijamin masuk surga dan para petinggi kaum muhajirin dan anshar. Tapi faktanya tidak demikian, justeru riwayat mereka sangat sedikit bahkan ada yang cuma satu hadits. Motif masuk Islam dan persahabatannya dengan Rasulullah, menurutnya, hanya demi kepentingan perut, dia juga sering bercanda, berkomplot dengan Mu’awiyah dan lain-lain. (hal. 167-197) Bukan hanya itu, setelah itu dia menulis buku kritikan khusus terhadap Abu Hurairah berjudul Syaikh al-Mudhîrah: Abû Hurayrah sebagai pengembangan dari poin-poin dalam Adhwâ` ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah.

Persoalan kredibilitas Abu Hurairah merupakan isu klasik yang masih hangat hingga sekarang. Selain Abu Rayyah, Abdul Husain Syarafuddin juga melakukan hal yang sama yang kemudian dikritik tajam oleh Muhammad Ajjaj al-Khatib dalam bukunya Abû Hurayrah: Râwiyah al-Islâm yang terbit pertama kali tahun 1962. Selain mereka berdua masih ada beberapa orang lagi, salah satunya adalah Musthafa Buhindi dalam karyanya Aktsara Abû Hurayrah: Dirâsah Tahlîliyyah Naqdiyyah. Bahkan M. Zain mengkaji isu ini secara khusus dalam tesis magisternya pada Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 1999 dengan judul Kredibilitas Abu Hurairah.

Buku Adhwâ` ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah hanya satu dari sekian buku kritik hadis yang ada, seperti Tahrîr al-’Aql min al-Naql karya Samir Islambuli, al-’Awdah ila al-Qur`ân karya Kassem Ahmad, Musykilah al-Hadîts karya Yahya Mohamed dan lain sebagainya. Hanya saja, karya Abu Rayyah ini adalah karya yang paling fenomenal dan termasuk karya-karya awal dalam bidang kritik hadis modern-kontemporer. Dengan buku ini, dia mengajak kita memikirkan kembali dan menggugat kemapanan disiplin ilmu hadis yang sudah dikembangkan selama berabad-abad. Tak heran bila ada beberapa buku yang mengkritiknya seperti al-Anwâr al-Kâsyifah li mâ fi Kitâb Adhwâ ‘ala al-Sunnah min al-Zalal wa al-Tadhlîl wa al-Mujâzafah karya Abdurrahman bin Yahya al-Yamani, Abû Hurayrah: Râwiyah al-Islâm karya Muhammad Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah wa Makânatuhâ fi al-Tasyrî’ al-Islâmî karya Musthafa al-Siba’i, Difâ’ ‘an al-Sunnah wa Radd Syubah al-Musytasyriqîn wa al-Kuttâb al-Mu’âshirîn karya Muhammad Abu Syuhbah dan lain-lain.

Buku ini berguna bagi para pengkaji pemula dalam bidang kritik hadis yang sebelumnya sudah mempunyai dasar-dasar ilmu hadis. Berbagai kritikan ekstrimnya bisa menggugahnya untuk lebih jeli dalam mengkaji literatur dan konsep-konsep mapan dalam kajian hadis. Selain berbagai kelebihannya, ia juga tak luput dari kekurangan seperti tidak adanya konsistensi dalam persoalan Abu Hurairah yang di satu sisi mengkritiknya habis-habisan, tapi di sisi lain malah beberapa kali mendaku pada riwayat Abu Hurairah untuk mengesahkan pendapatnya. Selain itu, penulisan buku referensi kurang mendapat perhatian yang kadang-kadang tidak termaktub entah disengaja atau tidak, terutama karya-karya orientalis sebagaimana disebutkan dalam daftar referensi buku ini sehingga menyulitkan para pembacanya untuk mengeceknya langsung ke sumbernya dan kekurangan-kekurangan lainnya. Seandainya Abu Rayyah bisa disandingkan dengan al-Fadani, al-Ghumari, Ahmad M. Syakir, al-Albani, al-A’dzami atau al-Arna`uth, maka pamor serta kualitas buku kontroversial ini bisa lebih diperhitungkan. []

Abu hurairah adalah seorang yang paling banyak meriwayatkan hadith Rasulullah SAWA sedangkan beliau tidak tahu membaca dan menulis. Sebagaimana beliau sendiri menyatakannya. Dan kenyataannya itu dikeluarkan oleh Ahmad bin Hanbal di dalam Musnadnya:”Aku menghadiri satu majlis Rasulullah SAWA…..”Beliau bersabda:”Sesiapa yang membentangkan kainnya sehingga aku melaksanakan bacaanku (doaku), kemudian ia memegangnya kembali, nescaya dia tidak akan melupai sesuatu yang ia dengarnya daripadaku, oleh itu aku membentangkan kainku (burdah) ke atasku sehingga beliau melaksanakan bacaannya (doanya), kemudian aku memegangnya kembali. Demi orang yang diriku ditanganNya. Aku tidak melupai sesuatu yang aku dengar daripadanya.”[1]

Persoalan yang timbul, di manakah tawaran ini dibuat oleh Rasulullah SAWA dan kenapa sahabat-sahabat lain tidak berlumba-lumba bagi mendapatkan keistimewaan ini? Adakah mereka mengesyaki dengan apa yang dikatakan oleh Rasulullah SAWA? Tentu tidak sekali! Atau mereka tidak mempunyai kain untuk dibentangkan (di hadapan Rasulullah SAWA) sebagaimana ianya telah dibentangkan oleh Abu Hurairah? Bolehkah kita mengemukakan soalan-soalan sedemikian rupa? Atau ianya tidak diizinkan?

Atau kita kembali ke zaman-zaman yang silam, dengan mendiamkan diri kerana takut jatuh di dalam kezindiqan atau tidak ada di sebaliknya (zindiq) selain daripada pedang, seksaan atau sebagainya!

Al-Khatib al-Baghdadi menceritakan satu peristiwa di mana hadith Abu Hurairah disebut di hadapan Harun al-Rasyid:”Sesungguhnya Musa berjumpa Adam dan bertanya:”Adakah anda Adam yang telah mengeluarkan kami dari syurga? Seorang lelaki Quraisy bertanya:”Di manakah Adam berjumpa denga Musa?” Lalu Harun al-Rasyid memarahinya dan berkata:”Seksaan atau pedang (pembunuhan). Ini adalah seorang kafir zindiq sedang mencaci hadith Rasulullah SAWA.”[2]

Dari sini kita dapati betapa besar dan bahayanya perkara ini. Lelaki tadi bertanya tentang tempat berjumpa Musa dengan Adam supaya ianya menjadi lebih jelas kepadanya. Mungkin dia tidak tahu akibatnya, lalu dia dituduh dengan zindiq. Kerana dia meminta penjelasan tentang kesulitan yang terdapat di dalam hadith Abu Hurairah, kemudian dia dituduh pula mencaci hadith Rasulullah SAWA.

Bagaimana pula jika dia meminta penjelasan tentang hadith Abu Hurairah yang telah dikeluarkan oleh Ahmad bin Hanbal, al-Bukhari dan Muslim:

Terjemahan:”Sesungguhnya Neraka Jahannam tidak akan penuh sehingga Allah meletakkan kakiNya, maka Neraka Jahannam berkata:”cukup, cukup.”[3]

Sekiranya begitu, adalah menjadi satu kesalahan bagi setiap Muslim yang membersihkan Allah Ta’ala daripada sifat tersebut dengan mempersoalkan hadith tersebut, kerana ianya mengikut mereka, adalah mencaci Abu Hurairah, dan mencaci Abu Hurairah adalah mencaci Rasulullah SAWA.

Bagaimana pula jika dia ingin meminta penjelasan mengenai tempat di mana Allah turun di langit dunia ketika tinggal 1/3 (akhir) malam. Abu Hurairah meriwayatkan hadith tersebut kemudian ianya dikeluarkan oleh al-Bukhari, Muslim dan Ahmad bin Hanbal.[4]

Tujuan kami ialah mengemukakan hadith-hadith Abu Hurairah yang meragukan kerana bilangan hadithnya terlalu banyak sehingga mendatangkan syak tentang kebenarannya. Sedangkan beliau adalah seorang yang buta huruf, tidak boleh membaca dan menulis. Beliau baru masuk Islam, dan sahabat yang paling sedikit bersama Rasulullah SAWA. Beliau menceritakan peristiwa-peristiwa yang dia sendiri tidak berada di tempatnya.

Di antaranya beliau menceritakan bahawa Nabi SAWA terlupa di dalam sembahyangnya (sedangkan beliau bersih daripada itu).[5]

Abu Hurairah berkata:”Rasulullah sembahyang Zuhr atas Asr bersama kami dalam dua raka’at, maka Dzul Yadain bertanya adakah anda mengurangkan sembahyang atau anda terlupa?

Muslim mengeluarkan hadith tersebut dengan lafaz:”Manakala aku (Abu Hurairah) sembahyang bersama Rasulullah SAWA…..”

Hadith tersebut menunjukkan Abu Hurairah bersama di dalam peristiwa tersebut. Apa yang tidak syak lagi bahawa Abu Hurairah masuk Islam selepas peperangan Khaibar dalam tahun 7 Hijrah. Dan kewafatan Dzul Yadain di dalam peperangan Badr di dalam tahun kedua Hijrah. Mereka (penyokong Abu Hurairah) cuba mencari titik persamaan di dalam hadith tersebut, tetapi mereka tidak dapat jawapan yang memuaskan.[6]

Abu Hurairah juga menceritakan tentang Ruqaiyah binti Rasulullah SAWA di mana beliau berjumpa dengannya dan bertanyakan kepadanya mengenai kelebihan Uthman.[7]

Ruqaiyah meninggal dunia sebelum Islam Abu Hurairah pada tahun ketiga Hijrah. Begitu juga beliau tidak hadir di Madinah dan beliau bercakap perkara-perkara yang beliau dakwa, beliau telah menyertainya sebagaimana katanya:”Aku bersama Ali AS, ketika Nabi SAWA mengutusnya dengan Surah al-Bara’ah.”[8]

Di mana di tempat yang lain pula beliau berkata:”Aku bersama Abu Bakr,”sedangkan sejarah memberi penyaksian bahawa beliau tidak pernah hadir di Madinah, kerana beliau menjadi bilal di Bahrain.”

Kami telah kemukakan beberapa contoh percanggahan yang di dapati di dalam riwayat-riwayat Abu Hurairah.

Apabila kami meneliti dan menolak riwayat yang tidak betul, maka itulah yang diwajibkan oleh Islam dan diakui oleh akal.

Walau bagaimanapun Abu Hurairah menduduki tempat pertama orang yang terbanyak meriwayatkan hadith. Oleh itu menilai kembali hadith-hadith yang begitu banyak, tidaklah bermakna mencaci hadith Rasulullah SAWA. Lantaran itu ianya pula tidak boleh sama sekali dikatakan bahawa Syi’ah tidak langsung berpegang kepada hadith-hadith sahabat.

Di sini kami tidak mahu membincangkan hadith Abdullah bin Umar dan pengkhususannya yang membuatkannya menduduki tempat kedua selepas Abu Hurairah. Abdullah bin Umar meriwayatkan 2630 hadith [9] di mana orang yang paling tua, dan paling rapat bergaul dengan Nabi tidak dapat berbuat demikian. Beliau berumur 20 tahun manakala Nabi SAWA meninggal dunia. Banyaknya hadith yang diriwayatkan oleh beliau telah melahirkan tandatanya sebagaimana di sana terdapat beberapa perkara yang menegah kami dari menerima kebanyakan riwayat-riwayatnya.[10] Dan tawaqquf (tidak menerima dan menolak) terhadap riwayatnya, tidak membawa cacian kepada sahabat. Kami tidak mahu meminta maaf kerana menolak hadith-hadith beliau, apabila kami dapati hakikatnya yang sebenar. Tetapi rekod-rekod mengenai perbuatan beliau, adalah cukup untuk mendedahkan hakikat tersebut.[11] Kami akan tutup perbincangan dengan panjang lebar mengenainya (di sini) kerana ingin meringkaskannya. Kami akan membincangkan secara terperinci mengenainya di tempat yang lain.

Adapun Umm al-Mu’mimin Aisyah, kami tidak ingin membincangkan kehidupan dari awal hingga akhir, kerana ianya akan terkeluar daripada tajuk buku ini.[12] Tetapi apa yang kami mahu ialah perbincangan mengenai hadithnya secara ringkas, kerana personalitinya mempunyai kedudukan di dalam masyarakat dan kesan kepada Tasyri’ Islami. Beliau mengatasi isteri-isteri Nabi SAWA yang lain di dalam meriwayatkan hadith.


Nota Kaki:

1. Ahmad bin Hanbal, XII, hlm.72; Ibn Qutaibah menceritakan di dalam bukunya Ta’wil Fil Mukhtalaf al-Hadith, hlm.27, bahawa Nizam berkata:”Umar, Uthman, Ali AS, dan Aisyah menolak riwayat Abu Hurairah; Ibn Kathir, Tarikh, XIII, hlm.105

2. Tarikh Baghdad, XIV, hlm.7

3. Ahmad bin Hanbal, Musnad, III, hlm.314; al-Bukhari, Sahih, III, hlm, 127; Muslim, Sahih, II, hlm.482

4. Al-Bukhari, Sahih, IV, hlm.68, I, hlm.136; Muslim, Sahih, I, hlm, 283; Ahmad bin Hanbal, Musnad, II, hlm.258

5. Jika sekiranya Nabi SAWA terlupa, ini bermakna beliau mungkin tidak melaksanakan sebahagian yang diperintahkan kepadanya. Oleh itu perutusannya tidak mencapai maksud dan ianya akan menjauhkan orang ramai dari mendekatinya. Dan ianya bertentangan dengan Surah 107:4-5.

6. Hasyiah Ibn Abidin ‘Ala al-Dur al-Mukhtar, I, hlm. 643; al-Bukhari, Sahih, II, hlm.163; Muslim, Sahih, II, 309, telah mencatatkan hadith Abu Hurairah yang menceritakan bagaimana Nabi Musa AS telah menampar Izrail, lalu mencederakan sebiji matanya. Tindakan itu adalah disebabkan Izrail ingin mengambil nyawanya dan tidak disetujui oleh Nabi Musa AS pada ketika itu.

7. Al-Hakim, al-Mustadrak, II, hlm.48

8. Nasai, Sahih, Bab al-Hajj, IV, hlm.150. Lihat Bukhari, Sahih 3, hlm.48 tentang dakwaan beliau berada di Khaibar tetapi dia tidak ada.

9. Ini bermakna Abdullah bin Umar telah meriwayatkan hadith lebih banyak daripada Khalifah empat sebanyak 1219 hadith kerana mereka hanya meriwayatkan sebanyak 1411 hadith. Dan beliau meriwayat lebih daripada bapanya sebanyak 2093 hadith kerana bapanya hanya meriwayatkan 537 hadith sahaja.

10. Al-Bukhari telah mencatatkan sebuah hadith riwayat Abdullah bin Umar mengenai cara Nabi SAWA “membuang air”(kecil atau besar). Abdullah bin Umar berkata: Aku memanjat artaqaitu di atas rumah Hafsah, maka aku melihat Nabi SAWA sedang membuang air dalam keadaan membelakangi Qiblat, menghadap ke arah Syam, al-Bukhari, Sahih, II, hlm. 117.

Ini adalah bertentangan daripada apa yang dipersetujui umum bahawa Nabi SAWA melarang membuang air mengadap atau membelakangi Qiblat. Oleh itu ianya pasti tidak dilakukan oleh Nabi SAWA kerana terbukti betapa bertentangannya larangan Nabi dan perbuatannya. Demi menjaga Abdullah bin Umar, sebahagian ulamak berpendapat bahawa ianya adalah khusus untuk Nabi SAWA. Mereka tidak berani mengatakan bahawa riwayat Abdullah bin Umar itu adalah palsu kerana mereka mahu menjaga sahabat iaitu Abdullah bin Umar dan tidak mahu menjaga Nabi SAWA.

11. Ibn Athir, al-Kamil, I, hlm.199, menyatakan bahawa manakala Muawiyah berazam supaya Yazid dibai’ahkan, dia memberi 100 ribu dirham kepada Abdullah bin Umar, dan dia menerimanya. Manakala Muawiyah menyebut sahaja tentang bai’ah Yazid,”Abdullah bin Umar berkata: Inilah yang aku kehendaki….Apa yang anehnya ialah Abdullah bin Umar mengetahui tentang kefasikan dan kejahatan Yazid. Tetapi dia masih meminta keluarganya supaya memberi bai’ah kepada Yazid sekalipun ia (Yazid) adalah seorang pemabuk, pembunuh Husayn AS, dan lain-lain.

12. Asad Haidar, Aisyah Wa al-Tasyri’, Beirut, 1968.


Saudaraku ….

Mengapa koleksi Hadis Abu Hurairah banyak? Ini bukan karena kuatnya hafalan maupun dia pemburu Hadis. Ini karena banyaknya Hadis yang periwayatannya disandarkan kepada Abu Hurairah. Mengapa? Karena, Abu Hurairah menjabat gubernur yang tepercaya di masa pemerintahan Bani Umayyah. Pada masa itu terjadi konflik besar antara pengikut Bani Umayyah dan Ali bin Abu Thalib. Di dalam konflik itulah berhamburan Hadis dari pihak-pihak yang konflik, sehingga Bukhari menemukan 600 ribu Hadis, Ahmad menemukan lebih dari sejuta Hadis.

Misalnya, seperti yang sudah sering diungkapkan, kenapa Abu Hurairah yang hanya bergaul dengan Nabi dalam waktu yang singkat meriwayatkan banyak sekali hadis, jauh lebih banyak dari Abu Bakar dan Umar

Sebelum mengakhiri tulisan ini mari para pembaca melihat salah satu hadis Abu hurairah dalam Mustadrak Al Hakim jilid 4 hal 38 berikut yang menentukan kualitas kepribadiannya Abu hurairah menceritakan “saya menemui Ruqayyah putri Nabi saw istri utsman ketika dia sedang memegang sisir di tangannya. Dia berkata “Nabi saw baru saja pergi setelah saya menyisir rambutnya, ia berkata kepadaku “

bagaimana kamu mendapati Abu abdillah (utsman)?”. Aku berkata “baik”.

Dia pun melanjutkan “muliakanlah ia, karena ia adalah sahabat yang akhlaknya paling mirip denganku”.

Al Hakim mengatakan kalau hadis ini sanadnya shahih.


Komentar :

matannya PALSU karena Ruqayyah meninggal pada tahun ke-3 H saat perang Badar sedangkan Abu hurairah memeluk islam setelah kemenangan Khaibar pada tahun ke-7 H. Hadis di atas mengatakan kalau Abu hurairah mengaku bertemu dan berbicara dengan Ruqayyah padahal jauh sebelum dia datang kepada Nabi, Ruqayyah telah meninggal dunia. Bagaimana bisa Abu hurairah mengatakan hal yang dusta seperti ini.

Inikah kualitas kepribadian Abu hurairah, masihkah perlu bertanya, mengapa Abu hurairah digugat? .

(Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: