Manusia diciptakan di dunia ini bukan untuk hidup
menyendiri dan tidak bergaul dengan sesama. Tuhan menciptakan berbagai ras
manusia agar saling mengenal dan bergaul dengan aman dan sentosa. Begitu juga syariat
Islam berfungsi melindungi hak-hak hidup semua makhluk hidup. Tidak hanya
penumpah darah sesama muslim yang mendapat ancaman yang serius, bahkan pembunuh
kafir dzimmi yang bergaul dengan orang Islam pun mendapat hukuman yang berat. Islam
melarang keras menjatuhkan setetes darah di bumi ini kecuali dengan alasan yang
hak/benar, seperti qisas dan kondisi peperangan. Dalam kondisi peperangan pun
Islam memiliki aturan yang elegan. Dilarang membunuh perempuan, anak-anak, orang
yang sudah menyerah, bahkan merusak gereja dan memotong pepohonan pun dilarang.
Jasad lawan korban perang mendapat perlakuan yang pantas, tidak boleh
dimutilasi dan dikuburkan dengan layak. Sebuah aturan yang apik dibanding
dengan perilaku “mujahilin” Syiria baru-baru ini yang memakan jantung korbannya
dengan berkoar-koar memekikkan takbir, tindakan amoral yang hampir mirip dengan
tingkah Hindun si pemakan jantung Hamzah, paman Nabi saw. Naudzubillah min
dzalik.
Untuk itu, Tuhan memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk
berdialog mencari persamaan (kalimah sawa’) dengan para pemeluk agama lain. Yaitu
menyakini Tuhan yang Esa sebagaimana yang diajarkan nabi-nabi sebelumnya. Bukan
menyelidiki apa perbedaan mereka dengan kita? Yang justru hanya menimbulkan
kebencian, pertengkaran, permusuhan dan sebagainya. Lalu bagaimana seharusnya sikap kita dengan sesama
muslim yang madzhabnya berbeda dengan kita? Imam Ali as telah mengajarkan
kepada kita.1
Lihat perlakuan beliau kepada kaum Khawarij yang dianggap salah arah atau sesat
oleh Imam Ali as. Kaum Khawarij adalah sekelompok orang yang mengkafirkan
beliau dan lawan beliau, Muawiyah dan Amr bin Ash dan lainnya yang memicu persengketan antar muslim. Tidak hanya
itu, Khawarij juga menghalalkan darah yang mereka kafirkan. Imam Ali
memperlakukan mereka sebagaimana semestinya. Mereka boleh shalat di masjid yang
beliau imami. Mereka bebas bergaul dengan sesama muslim lainnya. Mereka
diperangi setelah dengan jelas membuat keonaran dengan membunuh sesama muslim
lainnya dan bersiap melakukan makar peperangan.
Sikap inilah yang sekarang sudah mulai jarang ditemui di
Indonesia. Ada amalan muslim lain yang sedikit berbeda dengan dirinya, langsung
disebut bid’ah, sesat, kafir dan sejenisnya. Padahal di dalam sejarah fiqih mulai
zaman sahabat hingga sekarang terdapat banyak sekali perbedaan, mulai dari hal
yang sepele sampai yang berat. Sebagian ada yang berpendapat jika tidak ada air
tidak usah sholat, sedangkan lainnya sholat dengan bertayamum. Nabidz meski
memabukkan boleh diminum sementara lainnya mengharamkan. Menikahi anaknya
sendiri dari hasil zina diperbolehkan. Anal sex diperbolehkan. Nikah Mut’ah
halal. Bertawasul dan bertabarruk kepada orang shalih/benda orang shalih. Anjing
termasuk binatang suci. Onani tidak membatalkan puasa. Merokok tidak
membatalkan puasa. Sujud sholat harus di atas tanah. Dan berbagai pendapat
lainnya yang mungkin bisa dianggap aneh, bid’ah bahkan melenceng dari syariat
Islam bagi orang awam. Umat Islam tidak menyesatkan atau bahkan mengkafirkan:
Umar karena pendapat bolehnya minum nabidz, Imam Syafi’i karena fatwa boleh
menikahi anak hasil zinanya, Imam Malik dengan kesucian anjing, Ibn Umar karena
memperbolehkan anal sex, Ibn Abbas dengan halalnya nikah mut’ah, Abu Thufail
karena mempercayai raj’ah.
Islam mengajarkan beratnya konsekuensi pengkafiran sesama
muslim, yaitu tuduhan itu berbalik mengenai dirinya sendiri jika hal itu
keliru. Tentang kaum khawarij saja Imam Ali as mengatakan, mereka mencari
kebenaran namun salah mendapatkannya. Beliau as tidak menganggap kafir kaum
Khawarij hanya karena beliau dikafirkan oleh mereka, padahal beliau adalah
menantu, saudara dan dari tulang sulbinya putra-putri Rasulullah saww dilahirkan.
Seharusnya dengan preseden tersebut, sebagian kelompok Syiah yang mengkafirkan
Abu Bakar dan Umar, atau sebagian Sunni yang mengkafir-musyrikan ayah-bunda
Rasulullah saww dan paman beliau, Abu Thalib tidaklah dicap kafir. Serahkan itu
pada otoritas Tuhan di akhirat kelak. Biarlah Tuhan membalas mereka dengan sifat
Rahman dan Rahim-Nya karena umat Islam sudah cukup menanggung beban sejarah yang
rumit.
Berikut Penjelasannya:
MAZHAB YANG EMPAT DALAM SOROTAN.
Perselisihan Antara Mazhab.
Pengaruh
peristiwa saqifah dan pengalihan kekhilafahan dari Ahlul Bait terpantul
di dalam semua segi dan tingkatan. Pengalihan ini telah memberikan
pengaruh yang negatif ke dalam sejarah dan ilmu hadis serta ilmu-ilmu
lainnya. Pengaruh-pengaruh negatifnya tampak dengan jelas di dalam dunia
fikih Islam, sehingga menyebabkan banyak terciptanya madrasah-madrasah
fikih, yang bertentangan satu sama lainnya.
Sejarah
telah menceritakan kefanatikan masing-masing kelompok terhadap madrasah
fikih mereka, dan juga berbagai pertengkaran dan perselisihan yang
terjadi di antara mereka, hingga sampai tingkatan di mana sebagian
mereka mengkafirkan sebagian yang lain. Juga tersingkap dengan jelas
bagi kita betapa besarnya peranan para penguasa di dalam hal ini, dan
bagaimana mereka mempermainkan agama kaum Muslimin. Seorang imam yang
sejalan dengan hawa nafsu mereka akan menjadi imam bagi kaum Muslimin,
dan manusia diharuskan secara langsung atau pun tidak langsung untuk
bertaklid dan mengikutinya.
Setelah
terjadi berbagai kejadian yang melingkupi, akhirnya tertetapkanlah
bahwa marji'iyyah fiqhiyyah (pemegang otoritas fikih) berada di tangan
empat imam, dari sekian ratus mujtahid yang ada. Mereka itu adalah
Malik, Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. Kemudian setelah masa
mereka diharamkan ijtihad, dan semua orang diperintahkan untuk bertaklid
kepada mereka. Semua itu kembali kepada sejarah tahun 645 Hijrah, yaitu
manakala para penguasa yang berkuasa melihat bahwa kepentingan mereka
menuntut dibatasinya ijtihad hanya pada keempat orang Syeikh tersebut.
Sekelompok ulama telah bersikap ta'assub dengan pemikiran ini, dan
mereka mengumumkan persetujuan mereka. Sedangkan sekelompok ulama yang
lain me-mandang bahwa kebijaksanaan ini tidak lain hanya merupakan
pem-bendungan terhadap kebebasan dan pemberangusan terhadap kemampuan.
Ibnu Qayyim telah menulis satu pasal khusus yang panjang, di dalam
kitabnya yang bernama I'lam al-Muwaqqi'in, di mana di dalam pasal itu
dia menyelidiki secara mendalam argumen orang-orang yang meyakini wajib
ditutupnya pintu ijtihad, dan kemudian mementahkan seluruh argumen
tersebut dengan dalil-dalil yang kuat. Meski pun pandangan yang
mengatakan wajibnya berhenti pada ijtihad Imam yang empat, bertentangan
dengan agama dan akal yang sehat, namun justru pandangan ini yang
menang, disebabkan dukungan yang diberikan para penguasa terhadap
pandangan yang akan menjamin kepentingan mereka ini.
Ustadz
Abdul Muta'al ash-Sha'idi berkata, "Saya dapat memastikan —setelah ini—
bahwa pelarangan ijtihad telah berlangsung dengan cara-cara yang zalim,
dengan berbagai cara kekerasan dan bujukan harta. Tidak diragukan,
seandainya cara-cara ini memenangkan selain mazhab yang empat —yang kita
ikuti sekarang— maka dapat dipasti-kan mayoritas kaum Muslimin
bertaklid kepadanya, dan tentu diterima oleh orang-orang yang
mengingkarinya sekarang. Dengan demikian, kita sekarang sedang berada
dalam pelepasan dari keterikatan kepada mazhab yang empat, yang telah
dipaksakan kepada kita dengan cara-cara yang busuk; dan sedang dalam
proses menghidupkan kembali ijtihad di dalam hukum-hukum agama kita.
Karena pelarangannya tidak terjadi kecuali dengan jalan pemaksaaan.
Sedangkan Islam tidak meridai sesuatu kecuali yang diperoleh dengan
jalan kerelaan dan musyawarah di antara kaum Muslimin. Sebagaimana yang
difirman-kan oleh Allah SWT, "Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarah di antara mereka." (QS. asy-Syura: 38)
Inilah
kenyataan pahit yang dapat ditemukan oleh seorang pengkaji yang adil di
dalam sejarah mazhab yang empat. Dengan hak apa kaum Muslimin dipaksa
untuk tunduk kepada salah satu darinya. Dan dengan alasan apa para ulama
dilarang untuk berijtihad, dan kenapa keempat imam itu yang dipilih
sementara yang lain tidak?! Padahal masih ada para ulama yang lebih
utama dan lebih berilmu dibandingkan mereka, sebagai contoh:
1. Sufyan ats-Tsauri
Dia
dilahirkan pada tahun 65 Hijrah. Dia mempunyai mazhab khusus, namun
tidak bertahan lama mengamalkan mazhabnya, dikarenakan sedikit
pengikutnya, dan tidak adanya dukungan penguasa kepadanya. Dia adalah
salah seorang murid Imam Ja'far ash-Shadiq as, dan lulusan madrasah
beliau. Dia termasuk sebagai salah satu fukaha yang sering melakukan
perjalanan di dalam mencari ilmu.
Al-Manshur
bermaksud membunuhnya, namun tidak berhasil karena dia melarikan diri.
Akhirnya dia wafat dalam persembunyian pada tahun 161 Hijrah. Mazhabnya
masih terus diamalkan hingga abad keempat Hijrah.
2. Sufyan bin 'Uyainah.
Seorang
alim dan fakih yang lurus. Dia mengambil ilmunya dari Imam Ja'far
ash-Shadiq as, az-Zuhri, Ibnu Dinar dan yang lainnya. Syafi’i berkata
tentangnya, "Saya belum pernah melihat ada seorang yang memiliki alat
kelengkapan untuk memberi fatwa, sebagaimana pada Sufyan, dan saya belum
pernah melihat ada orang yang lebih layak darinya di dalam memberikan
fatwa. Dia mempunyai mazhab yang diamalkan, namun kemudian padam pada
abad keempat Hijrah.
3. Al-Awza'i.
Al-Awza'i
termasuk salah seorang dari ulama. Mazhabnya tersebar di Syam, dan
diamalkan oleh para penduduknya untuk beberapa waktu. Al-Awza'i amat
dihormati dan amat dekat dengan penguasa. Dia termasuk orang yang
didukung oleh penguasa. Oleh karena itu, penguasa menjadikannya sebagai
simbol agama. Dan manakala kalangan Bani Abbas datang, mereka
mendekatinya, disebabkan kedudukan yang dimilikinya di mata penduduk
negeri Syam. Al-Manshur menghormatinya dan senantiasa mengiriminya
surat, dikarenakan mengetahui bahwa dia berpaling dari keluarga Muhammad
saw. Namun demikian, mazhabnya tetap tenggelam manakala Muhammad bin
Usman —seorang bermazhab Syafi’i— ditetapkan sebagai qadhi atas kota
Damaskus. Lalu Muhammad bin Usman menetapkan hukum berdasarkan mazhab
Syafi’i, memberlakukan dan menyebarkannya di negeri Syam, sehingga
akhirnya orang-orang Syam berpindah ke mazhab Syafi’i pada tahun 302
Hijrah.
Dan
berpuluh-puluh para mujtahid lainnya, seperti Ibnu Jarir ath-Thabari,
Dawud Ibnu Ali adz-Dzahiri, Laits bin Sa'id, al-A'masy, asy-Sya'bi dan
yang lainnya. Kenapa mazhab yang empat ini tetap hidup dan tersebar,
sementara yang lainnya tidak?!
Apakah karena para imamnya adalah sealim-alimnya manusia pada zamannya?!
Atau, apakah karena manusia rida kepada mereka, sehingga menjadikan mereka sebagai imamnya?!
Semua
ini tidak terdapat pada mazhab yang empat. Silahkan Anda rujuk ke dalam
sejarah, di mana sejarah membuktikan adanya para ulama yang lebih alim
dari mereka. Akal sendiri menghukumi ternafikannya syarat ini. Karena
penentuan kelebih-aliman (al-a'lamiyyah) adalah sesuatu yang sulit.
Sebagaimana juga tersebarnya mazhab-mazhab ini, dan terkenalnya para
imam mereka, tidak berlangsung pada sebuah keadaan di mana kebebasan dan
keunggulan keilmuan berkuasa atas mereka. Bahkan tampak jelas bagi
seseorang pengkaji sejarah, bahwa mazhab-mazhab tersebut dipaksakan
kepada kaum Muslimin oleh para penguasa melalui ketazaman mata pedang.
Adapun kesepakatan dan keridaan manusia atas mereka adalah sesuatu yang
tidak terlihat sama sekali bekas-bekasnya di dalam sejarah. Bahkan yang
terjadi justru sebaliknya. Setiap orang bersikap ta'assub dengan
mazhabnya, dan sebagian mereka mengecam keyakinan-keyakinan sebagian
yang lainnya, sehingga menimbulkan perselisihan-perselisihan berdarah,
yang menelan beribu-ribu korban dari kaum Muslimin. Maka mereka menjadi
musuh satu sama lain, dan masing-masing memperlakukan yang lainnya
sebagai orang yang keluar dari agama. Sampai-sampai Muhammad bin Musa
al-Hanafi —qadhi Damaskus— yang wafat pada tahun 506 Hijrah berkata,
"Seandainya saya mem-punyai sedikit saja kekuasaan niscaya saya akan
memungut upeti (jizyah) dari orang-orang Syafi’i." Sementara Abu Hamid
ath-Thusi, yang wafat pada tahun 567 Hijrah berkata, "Kalau saya
mempunyai kekuasaan niscaya saya tetapkan upeti (jizyah) atas
orang-orang Hanbali." Banyak sekali peristiwa yang terjadi di antara
orang-orang Hanafi dengan orang-orang Hanbali, dan antara orang-orang
Hanbali dengan orang-orang Syafi’i. Para khatib Hanafi mengutuk
orang-orang Hanbali dan orang-orang Syafi’i dari atas mimbar. Sementara
orang-orang Hanbali membakar mesjid orang-orang Syafi’i di Marwa.
Berkobar api fitnah dan fanatisme di antara orang-orang Hanafi dan
orang-orang Syafi’i di kota Naisabur, sehingga pasar dan toko-toko
dibakar. Banyak sekali orang-orang Syafi’i yang terbunuh, lalu
orang-orang Syafi’i melakukan balas dendam pada tahun 554 Hijrah. Hal
yang sama pun terjadi di antara orang-orang Syafi’i dengan orang-orang
Hanbali, sehingga memaksa penguasa turun tangan untuk me-nyelesaikan
perselisihan mereka dengan kekerasan, dan itu terjadi pada tahun 716
Hijrah.[157]
Mazhab-mazhab
lain sepakat marah terhadap orang-orang Hanbali disebabkan tindak
tanduk Ibnu Taimiyyah. Diumumkan di kota Damaskus dan kota-kota lainnya,
"Barangsiapa yang berpegang kepada agama Ibnu Taimiyyah, maka halal
harta dan darahnya." Dengan kata lain, mereka memperlakukan orang-orang
Hanbali sebagaimana orang-orang kafir. Di sisi lain, kita mendapati
Syeikh Ibnu Hatim al-Hanbali berkata, "Barangsiapa yang tidak bermazhab
Hanbali, maka dia bukan Muslim."[158]
Dia
mengkafirkan seluruh kaum Muslimin kecuali orang-orang Hanbali.
Sebaliknya, Syeikh Abu Bakar al-Maghribi —penceramah di mesjid-mesjid
Baghdad— mengkafirkan seluruh orang Hanbali.[159]
Dan
peristiwa-peristiwa lainnya yang membuat hati berdarah-darah.
Kefanatikan mereka sudah sampai tingkat membunuh para ulama dan para
fukaha dengan menggunakan racun. Inilah Fakih Abu Manshur —yang wafat
pada tahun 567 Hijrah— dibunuh oleh seorang yang bermazhab Hanbali
dengan racun, karena fanatik dengan mazhab Hanbali. Ibnu al-Jauzi
berkata, "Orang Hanbali itu memperdaya seorang wanita agar mau
membawakan nampan yang berisi manisan kepada Fakih Abu Manshur. Wanita
itu berkata, 'Tuanku, ini titipan dari kekasihku.' Lalu dia, istrinya,
anaknya dan satu anaknya lagi yang masih kecil memakan manisan itu, maka
mereka pun mati. Padahal dia adalah seorang ulama Syafi’i yang
terkemuka."[160]
Demikianlah,
kefanatikan setiap orang kepada imamnya telah sampai kepada tingkatan
di mana mereka membuat hadis-hadis tentang keutamaan imam mereka, dan
menisbahkan hadis-hadis tersebut kepada Rasulullah saw. Kefanatikan
mereka telah menjadikan mereka keluar dari batas-batas akal sehat dan
kewajaran. Sebagai contoh, mereka menisbahkan sebuah hadis kepada
Rasulullah saw yang berbunyi, "Sesungguhnya Adam merasa bangga dengan
diriku, dan aku merasa bangga dengan seorang laki-laki dari umatku yang
bernama Nu'man." Dalam bentuk lain juga disebutkan, "Para nabi merasa
bangga dengan diriku, dan aku merasa bangga dengan Abu Hanifah.
Barangsiapa yang mencintainya maka dia telah mencintaiku, dan
barangsiapa yang membencinya maka dia telah membenciku."[161]
Mereka bersikap berlebihan terhadap terhadap Abu Hanifah, hingga mereka berkata tentang keutamaan-keutamaannya, "Allah mengkhususkan syariah dan karomah bagi Abu Hanifah. Salah satu dari karomahnya ialah bahwa Khidhir as datang mengunjunginya setiap hari pada waktu Subuh, dan belajar darinya tentang hukum-hukum syariat hingga lima tahun. Manakala Abu Hanifah meninggal dunia, Khidhir as berdoa kepada Allah, "Ya Rabb, apabila saya mempunyai kedudukan di sisi-Mu, maka izinkanlah Abu Hanifah untuk mengajarku dari dalam kuburaya, sebagaimana biasanya, sehingga aku menjadi manusia yang paling tahu dengan sempurna tentang syariat Muhammad. Maka Allah memenuhi permintaannya. Khidhir as menyelesaikan pelajarannya dari Abu Hanifah, sementara Abu Hanifah berada di dalam kuburnya, dalam jangka waktu dua puluh lima tahun. Demikian juga dongeng-dongeng lain yang semacamnya, yang biasa dibacakan di majlis-majlis Abu Hanifah dan mesjid-mesjid mereka di India.[162]
Mereka bersikap berlebihan terhadap terhadap Abu Hanifah, hingga mereka berkata tentang keutamaan-keutamaannya, "Allah mengkhususkan syariah dan karomah bagi Abu Hanifah. Salah satu dari karomahnya ialah bahwa Khidhir as datang mengunjunginya setiap hari pada waktu Subuh, dan belajar darinya tentang hukum-hukum syariat hingga lima tahun. Manakala Abu Hanifah meninggal dunia, Khidhir as berdoa kepada Allah, "Ya Rabb, apabila saya mempunyai kedudukan di sisi-Mu, maka izinkanlah Abu Hanifah untuk mengajarku dari dalam kuburaya, sebagaimana biasanya, sehingga aku menjadi manusia yang paling tahu dengan sempurna tentang syariat Muhammad. Maka Allah memenuhi permintaannya. Khidhir as menyelesaikan pelajarannya dari Abu Hanifah, sementara Abu Hanifah berada di dalam kuburnya, dalam jangka waktu dua puluh lima tahun. Demikian juga dongeng-dongeng lain yang semacamnya, yang biasa dibacakan di majlis-majlis Abu Hanifah dan mesjid-mesjid mereka di India.[162]
Orang-orang
Maliki pun mengklaim beberapa perkara yang dimiliki Imamnya. Di
antaranya ialah, "Dengan pena kekuasaan Allah, tertulis pada pahanya
(Imam Malik), 'Malik hujjah Allah di bumi-Nya'. Juga disebutkan bahwa
Malik menghadiri orang yang meninggal dunia dari para sahabatnya di
dalam kuburnya, dan menyingkirkan kedua malaikat dari si mayit, serta
tidak membiarkan keduanya untuk meng-hisab amal perbuatan si mayit.[163]
Juga disebutkan bahwa Malik melemparkan kitabnya al-Muwaththa ke air namun tidak basah.
Orang-orang
Hanbali berkata tentang Imam mereka, "Ahmad bin Hanbal adalah Imam
kami. Barangsiapa yang tidak menerimanya, maka dia itu pembuat bid'ah."
Jika demikian, maka seluruh kaum Muslimin adalah pembuat bid'ah
berdasarkan kaidah ini.
Mereka
mengatakan, tidak ada seorang pun setelah Rasulullah saw yang
menegakkan urusan Islam sebagaimana yang telah dilakukan oleh Ahmad bin
Hanbal. Abu Bakar pun tidak bisa menyamainya. Allah SWT menziarahi
kuburnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu al-Jauzi di dalam
kitab Manaqib Ahmad, halaman 454, "Abu Bakar bin Makarim bin Abi Ya'la
al-Harbi —dia adalah seorang tua yang saleh— berkata, 'Pernah pada
sebagian tahun sebelum masuknya bulan Ramadan hujan turun lebat sekali
selama beberapa hari. Maka aku pun tidur pada suatu malam dari bulan
Ramadan, lalu aku ber-mimpi —sebagaimana kebiasaanku— berziarah ke
kuburan Imam Ahmad bin Hanbal. Aku melihat kuburannya telah menempel ke
tanah seukuran satu saf —barisan dari tanah liat atau batu bata— atau
dua saf. Aku berkata, 'lni terjadi atas kuburan Imam Ahmad bin Hanbal
disebabkan lebatnya hujan yang turun.' Lalu aku mendengar Imam Ahmad bin
Hanbal berkata dari dalam kubur, 'Tidak, ini melainkan berasal dari
wibawa Allah SWT yang telah mengunjungiku. Aku ber-tanya kepada-Nya
tentang rahasia Dia menziarahiku pada setiap tahun. Allah Azza Wajalla
menjawab, 'Ya Ahmad, ini dikarenakan engkau telah menolong perkataan-Ku,
sehingga dia tersebar dan dibaca di mihrab-mihrab.' Lalu aku pun
mendatangi liang lahadnya dan menciumnya seraya berkata, 'Tuanku, apa
rahasianya kenapa tidak ada satu pun kuburan yang diciumi selain dari
kuburanmu? Imam Ahmad bin Hanbal menjawab, 'Anakku, karomah ini bukan
kepuanyaanku melainkan kepunyaan Rasulullah saw, karena aku mempunyai
beberapa helai rambutnya Rasulullah saw. Ingatlah, siapa saja yang
mencintaiku maka dia harus menziarahiku pada bulan Ramadan.' Dia
mengatakan yang demikian sebanyak dua kali."
“Akan terjadi, bersatunya bangsa-bangsa
di dunia menyerbu kalian seperti
sekelompok orang menyerbu makanan. Salah seorang sahabat bertanya: Apakah karena
jumlah kami di masa itu sedikit. Rasulullah menjawab :
Jumlah kalian banyak tapi seperti buih di lautan. Allah mencabut rasa takut dari dada musuh-musuh
kalian dan Allah menanamkan penyakit wahan dalam hati kalian. Lalu ada yang
bertanya lagi : Apakah penyakit wahan itu ya Rasulullah? Beliau bersabda : Cinta
kepada dunia dan takut mati”. Benarlah apa yang disabdakan Nabi saww dan kita tidak
dibohongi. Sekarang ini, sebagian muslim tega merelakan nyawa muslim yang beda
aliran dengannya demi tumpukan uang. Memalsukan fakta yang terjadi demi mencari
dukungan dan kelanggengan status quonya. Memanipulasi riwayat-riwayat para
salaf sholihin untuk keuntungan sesaat. Takut akan kematian yang sudah galib
bagi setiap makhluk hidup sampai-sampai menutupi kebenaran yang sudah jelas di
depannnya.
Seyogyanya datangnya hari kiamat dapat kita tunda sejenak
dan kita nikmati hidup di dunia ini untuk beribadah mengenal-Nya dan
menyebarkan salam kedamaian yang identik dengan agama ktp kita. Salam
Perdamaian. :)
1. Patut diketahui gelar
Imam dalam khalifah rasyidun hanya
ditujukan pada Ali as, tidak kepada Abu Bakar, Umar maupun Utsman. Sebagian
pendapat karena hanya beliaulah yang pantas menyandangnya karena mampu
menunjukkan mana yang benar dan salah dalam fitnah-fitnah yang terjadi di masa
kekhalifahan beliau. Mungkin dalam masalah Khawarij ini hanya beliau yang bisa
menyelesaikannya sebagaimana kisah perintah Nabi saww untuk membunuh orang
shalat yang menjadi cikal bakal Khawarij, namun Abu Bakr dan Umar tidak mampu
membunuhnya.
Dan
keutamaan-keutamaan lainnya, yang menunjukkan kefanatikan dan sikap
berlebihan yang bukan pada tempatnya. Kefanatikan, dengan jelas dapat
disaksikan di dalam syair-syair mereka:
"Telah tumbuh Mazhab Nu'man menjadi sebaik-baiknya mazhab
laksana bulan yang bercahaya sebaik-baiknya bintang
mazhab-mazhab ahli fikih telah menyusut
mana mungkin gunung-gunung kokoh menenun sarang laba-laba."
Seorang penyair bermazhab Syafi’i berkata,
"Perumpamaan Syafi’i di kalangan ulama adalah laksana bulan purnama di antara bintang-bintang di langit
Katakan
kepada orang yang membandingkannya dengan Nu'man karena kebodohan
apakah mungkin cahaya dapat dibandingkan dengan kegelapan."
Sedangkan seorang penyair bermazhab Maliki mengatakan,
"Jika mereka menyebutkan kitab-kitab ilmu, maka datangkan
apakah dapat sebanding dengan kitab al-Muwaththa karya Malik
Dengan berpegang kepadanya tangan kekuasaan menjadi mendapat
petunjuk barangsiapa yang menyimpang darinya dia akan celaka."
Sedangkan seorang penyair Hanbali berkata,
"Aku telah menyelidiki syariat-syariat ulama seluruhnya,
namun aku belum pernah melihat ada yang seperti keyakinan Hanbal."
Dalam sebuah syair yang lain seorang Hanbali berkata,
"Aku adalah seorang Hanbali,
selama aku hidup maupun sesudah mati.
Wasiatku kepada seluruh manusia,
hendaklah mereka bermazhab Hanbali."
Demikianlah,
setiap orang dari mereka sangat fanatik terhadap imamnya, amat bangga
dengan mazhabnya dan mengingkari mazhab-mazhab yang lain. Hingga sampai
dikatakan, "Barangsiapa yang menjadi Hanafi maka diberi hadiah, dan
barangsiapa yang menjadi Syafi’i akan dihukum."[164]
As-Subki berkata di dalam kitab Thabagat asy-Syafi’iyyah, "Inilah Abu
Sa'id, yang wafat pada tahun 562 Hijrah. Dia asalnya seorang yang
bermazhab Hanafi, lalu berpindah ke mazhab Syafi’i. Dia mendapat
kesusahan karena perpindahan itu. Demikian juga as-Sam'ani, tatkala
berpindah dari mazhab Hanafi ke mazhab Syafi’i dia mendapat cobaan yang
berat. Api fitnah meletus di mana-mana dan timbul peperangan di antara
kedua belah pihak. Peperangan terjadi dari sejak Khurasan hingga ke
Irak, dan penduduk Marwa dilanda ketakutan yang sangat. Maka
diberlakukanlah keadaan darurat. Lalu para ahli ra'yu bergantung kepada
ahli hadis, dan mereka pergi ke pintu penguasa .... dan seterusnya."[165]
Kejadian-kejadian
yang seperti ini banyak sekali terjadi hingga tidak dapat dihitung.
Contoh-contoh yang telah kita sebutkan di atas cukup memberikan gambaran
betapa besar perselisihan dan kefanatikan yang berkembang di antara
mazhab-mazhab, sehingga sikap menyembunyikan mazhab yang dianut amat
diperlukan. Abu Bakar Muhammad bin Abdul Baqi, yang wafat pada tahun 535
Hijrah, seorang yang bermazhab Hanbali, menggambarkan keadaan
menyembunyikan mazhab yang terjadi kala itu di dalam sebuah syairnya,
"Jagalah lidahmu, sedapat mungkin jangan sampai menceritakan
yang tiga, yaitu umur, harta dan mazhab.
Karena atas yang tiga akan dikenakan yang tiga
yaitu dikafirkan, dihasudi dan dituduh sebagai pembohong."
Zamakhsyari telah menggambarkan perselisahan dan kerasnya perbenturan di antara mazhab-mazhab di dalam syairnya,
"Jika mereka menanyakan mazhabku,
saya tidak akan membukanya dan akan menyembunyikannya,
karena menyembunyikannya lebih selamat bagiku.
Jika aku katakan aku seorang Hanafi
mereka akan katakan bahwa aku membolehkan thala,
yaitu minuman yang diharamkan.
jika aku katakan aku seorang Syafi’i
mereka akan katakan bahwa aku membolehkan menikahi anak
perempuan sendiri, padahal itu diharamkan.
Jika aku katakan aku seorang Maliki
mereka akan katakan bahwa aku membolehkan kepada mereka memakan anjing.
Jika aku katakan aku dari ahlul hadis dan kelompoknya
mereka akan katakan bahwa aku adalah kambing jantan yang tidak bisa paham dan mengerti."[166]
Sejenak Bersama Para Imam Mazhab Yang Empat
Sesungguhnya
pengkajian tentang sejarah para Imam mazhab yang empat sangat sulit
sekali. Karena berita-berita yang datang tentang mereka, kalau tidak
berasal dari orang-orang yang fanatik dan berlebih-lebihan terhadap
mereka, maka berasal dari musuh-musuh mereka yang senantiasa menyerang
mereka. Kita sulit mendapatkan pandang-an yang objektif di antara kedua
garis yang saling berlawanan ini.
Ahmad
Amin berkata, "Kefanatikan mazhab telah memaksa sebagian pengikut
masing-masing mazhab membuat berita-berita yang meninggikan kedudukan
imam mereka. Salah satu di antaranya ialah dengan cara mereka
meriwayatkan hadis-hadis pemberian kabar gembira dari Rasulullah saw
bagi masing-masing imam. Sebagai contoh, mereka meriwayatkan bahwa
Rasulullah saw telah bersabda tentang penduduk Irak, "Sesungguhnya Allah
telah meletakkan khazanah-khazanah ilmu-Nya pada mereka (orang-orang
Irak)." Contoh lain, disebutkan bahwa Rasulullah saw telah bersabda,
"Akan datang pada umatku seorang laki-laki yang dipanggil dengan nama
Nu'man bin Tsabit, dan diberi julukan dengan sebutan Abu Hanifah. Kelak
Allah menghidupkan sunahku di dalam Islam dengan perantaraan ke-dua
tangannya." Bahkan, mereka sampai menganggap Abu Hanifah telah
diberitakan di dalam Kitab Taurat. Demikian juga yang dilakukan oleh
sebagian pengikut Syafi’i terhadap Syafi’i dan sebagian pengikut Maliki
terhadap Malik. Semua itu tetap belum memuaskan mereka. Oleh karena itu,
sangat sulit bagi seorang pengkaji untuk mengetahui sejarah yang
sebenarnya berkenaan dengan masing-masing imam. Karena setiap kali
datang generasi baru, mereka menambahkan lagi tentang
keutamaan-keutamaan imamnya.[167]
Abu
Hanifah sendiri saja telah memperoleh keutamaan-keutamaan ini dalam
jumlah sekumpulan kitab. Kita akan sebutkan beberapa darinya. Sebagai
contoh, kitab 'Uqud al-Marjan fi Manaqib Abi Hanifah an-Nu'man, karya
Abi Ja'far ath-Thahawi, kitab Managib Abi Hanifah, karya al-Kharazmi,
kitab al-Bustan fi Managib an-Nu'man, karya Syeikh Muhyiddin Abdul Qadir
bin Abi al-Wafa, kitab Syaqa'iq an-Nu'manfi Manaqib an-Nu'man, karya
Zamakhsyari, dan kitab-kitab lainnya. Ini semua, kalau pun menunjukkan
sesuatu maka itu semata-mata menunjukkan tingkat kefanatikan dan sikap
berlebih-lebihan terhadap Abu hanifah, serta perselisihan dan
pertengkaran mengenai seputar mazhab dan para imam mereka. Karena jika
tidak, lalu untuk apa penulisan semua kitab ini, yang para Khulafa
Rasyidin pun tidak memperoleh kemanjaan yang seperti ini?!
Dari
di antara dua garis yang bertentangan ini kita berusaha me-nyingkap
pendapat yang objektif tentang seputar sejarah mazhab yang empat,
berikut dengan kejadian-kejadian yang melingkupinya.
1. IMAM ABU HANIFAH
Kemunculan Abu Hanifah
Dia
adalah Nu'man bin Tsabit. Dia lahir pada tahun 80 Hijrah, pada masa
kekhilafahan Abdul Malik bin Marwan. Dia meninggal dunia pada tahun 150
Hijrah. Abu Hanifah tumbuh di kota Kufah pada masa kekuasaan Hajjaj.
Pada masa itu Kufah merupakan salah satu kota besar Irak, yang
berkembang di dalamnya berbagai majlis ilmu. Suasana saling berlawanan
dan berbagai pendapat yang saling ber-tentangan di dalam masalah
politik, ilmu dan keyakinan, yang terjadi pada masa itu, mengundang
kebingungan. Pada suasana yang seperti ini Abu Hanifah cemerlang di
dalam bidang ilmu kalam, diskusi dan perdebatan. Kemudian dia pindah ke
majlis fikih, hingga mengkhusus-kan diri kepadanya. Dia berguru kepada
Hammad bin Abi Sulaiman, yang meninggal pada tahun 120 Hijrah. Setelah
Hammad bin Abi Sulaiman meninggal dunia, reputasi dan nama Abu Hanifah
menjadi terkenal. Dia juga berguru kepada guru-guru yang hidup pada
zaman-nya. Dia menghadiri pelajaran 'Atha bin Rabah di Mekkah, pelajaran
Nafi —bekas budak Ibnu Umar— di Madinah, dan guru-guru yang lainnya.
Namun dia banyak berteman dengan Hammad bin Sulaiman. Abu Hanifah telah
meriwayatkan dari Ahlul Bait, seperti Imam Muhammad al-Baqir dan anaknya
Imam Ja'far ash-Shadiq as.
Fikih Abu Hanifah
Abu
Hanifah tidak diketahui mempunyai fikih yang khusus kecuali melalui
murid-muridnya. Dia sendiri tidak pernah menulis sesuatu tentang fikih,
dan tidak pernah membukukan sedikit pun pendapat-pendapatnya. Abu
Hanifah mempunyai murid yang banyak, namun mereka yang mengemban dan
menyebarkan mazhabnya ada empat orang. Mereka itu adalah Abu Yusuf,
Zufar, Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani dan Hasan bin Ziyad al-Lu'lu'i
.
Abu
Yusuf—yaitu Ya'qub bin Ibrahim— telah memainkan peranan yang besar di
dalam menyebar-luaskan mazhab Hanafi. Dia telah memperoleh penerimaan di
kalangan para khalifah Bani Abbas, dan menduduki posisi hakim agung
pada masa kekuasaan al-Mahdi, al-Hadi dan Harun ar-Rasyid. Pada masa
Harun ar-Rasyid dia memperoleh posisi yang amat kuat. Maka Abu Yusuf
menggunakan kedudukannya ini untuk memberlakukan dan menyebar-luaskan
mazhab Hanafi ke seluruh penjuru negeri, melalui tangan-tangan hakim
yang ditunjuknya dari kalangan para sahabatnya. Sehingga dengan begitu
dapat kita katakan bahwa tersebarnya mazhab Hanafi dikarenakan bantuan
pengaruh kekuasaan. Ibnu Abdul Barr mengatakan tentang itu, "Abu Yusuf
adalah hakim pada masa pemerintahan tiga khalifah. Dia menduduki posisi
hakim agung pada sebagian masa pemerintahan al-Mahdi, kemudian pada masa
pemerintahan al-Hadi dan juga pada masa pemerintahan ar-Rasyid. Harun
ar-Rasyid amat menghormati dan memuliakannya. Dia mempunyai kedudukan
yang kuat di sisi Harun ar-Rasyid. Oleh karena itu, dia mempunyai tangan
yang panjang di dalam menyebarkan nama Abu Hanifah dan meninggikan
kedudukannya.[168]
Murid
Abu Hanifah yang bernama Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani, turut
serta mempunyai andil di dalam menyebarkan mazhab Abu Hanifah melalui
kitab-kitab tulisannya, yang kelak menjadi rujukkan pertama bagi fikih
Abu Hanifah. Di samping itu, dia juga berguru kepada ats-Tsauri,
al-Awza'i dan Malik; serta dia memasukkan hadis ke dalam fikih ahli
ra'yu.
Adapun
Zufar bin Huzail adalah termasuk sahabat Abu Hanifah yang paling dulu.
Dia turut menyebarkan mazhab Abu Hanifah dengan lidahnya. Dia menjadi
hakim pada zaman Abu Hanifah di kota Basrah. Dia seorang yang sangat
berpegang kepada qiyas, hingga Ahmad bin Mu'addil al-Maliki mengejeknya
dengan sebuah syair,
"Jika kamu berbohong dengan apa yang kamu katakan kepadaku
maka atasmu dosa Abu Hanifah atau Zufar
yang menggunakan qiyas secara sengaja
dan berpaling dari berpegang kepada khabar."
Satu
hal yang aneh, bahwa para ulama yang mengukuhkan mazhab Hanafi dan
membukukannya bukanlah orang-orang yang bertaklid kepada Abu Hanifah di
dalam pandangan-pandangannya. Melainkan mereka adalah ulama-ulama yang
bebas, yang dalam beberapa hal sepakat dengan gurunya, Abu Hanifah,
namun dalam beberapa hal lain menentangnya. Oleh karena itu, kita
mendapati kitab-kitab mazhab Hanafi memuat empat pendapat di dalam satu
masalah. Yaitu pendapat Abu Hanifah, pendapat Abu Yusuf, pendapat
Muhammad asy-Syaibani dan pendapat Zufar.
Allamah
Khudhari berkata, "Sebagian kalangan Hanafi telah berusaha menjadikan
pendapat-pendapat mereka yang berbeda menjadi pendapat Abu Hanifah.
Namun ini merupakan kelalaian yang sangat akan sejarah para imain mereka
ini, dan bahkan kelalaian akan apa-apa yang tertulis di dalam
kitab-kitab mereka. Karena Abu Yusuf menyebutkan pendapat Abu Hanifah di
dalam kitabnya al-Kharaj, dan kemudian secara tegas menyebutkan
pendapatnya dan mengatakan bahwa dia berbeda pendapat dengannya.
Terkadang dia mengakui pendapat Abi Laila, setelah menyebutkan dua
pendapat. Demikian juga Muhammad asy-Syaibani, dia menceritakan di dalam
kitabnya pendapat Imam Abu Hanifah, pendapat Abu Yusuf, dan pendapatnya
yang dengan jelas bertentangan dengannya.
Satu
hal yang pasti bahwa Abu Yusuf dan Muhammad asy-Syaibani menarik
kembali pendapat Abu Hanifah manakala mereka tahu pendapat penduduk
Hijaz tentang hadis. Para peneliti sejarah menemukan bahwa para imam
mazhab Hanafi, yang telah kita sebutkan setelah Abu Hanifah, mereka
tidak bertaklid kepada Abu Hanifah."[169]
Singkatnya,
sesungguhnya mazhab Hanafi tersebar dikarenakan usaha para sahabatnya.
Di samping itu, para penguasa yang dekat dengan Abu Yusuf menolong
mereka di dalam menyebarkan mazhab tersebut. Dengan demikian, maka
mazhab Hanafi didirikan oleh sekumpulan para fukaha yang masing-masing
mereka indefenden dengan dirinya, dan bukan berasal dari satu imam,
yaitu Abu Hanifah. Sehingga usaha para pengikut Hanafi untuk
mengembalikan semua pendapat kepada Abu Hanifah adalah sesuatu yang
tidak dibolehkan.
Tikaman Pada Abu Hanifah.
Sebagian
ulama yang adil yang hidup semasa dengannya, telah menuduh Abu Hanifah
dengan tuduhan zindiq dan telah keluar dari jalan yang lurus, serta
menyebutnya sebagai orang yang telah rusak akidahnya, telah keluar dari
ajaran agama dan menentang Kitab dan sunah. Mereka menikam keberagamaan
Abu Hanifah dan melucutinya dari iman."[170]
Telah
sepakat Sufyan ats-Tsauri bersama Syarik, Hasan bin Shalih dan Ibnu Abi
Laila, maka mereka pun pergi kepada Abu Hanifah. Mereka berkata, "Apa
pendapat Anda tentang seseorang yang telah membunuh ayahnya, lalu
menikahi ibunya dan meminum khamar di atas kepala mayat ayahnya?"
Abu Hanifah menjawab, "Dia orang Mukmin." Maka berkata Ibnu Abi Laila, "Saya tidak akan menerima kesaksian Anda selamanya."[171]
Ibrahim
bin Basyar bercerita bahwa Sufyan bin 'Uyainah telah berkata, "Aku
belum pernah melihat seseorang yang lebih berani terhadap Allah
dibandingkan Abu Hanifah."[172]
Diceritakan, bahwa Abi Yusuf pernah ditanya, "Apakah Abu Hanifah seorang Murji'ah?"
Abu
Yusuf menjawab, "Benar." Dia ditanya lagi, "Apakah dia seorang
Jahmiyyah?" Dia menjawab, "Benar." Abu Yusuf ditanya lagi, "Bagaimana
kedudukan Anda di sisinya?" Dia menjawab, "Abu Hanifah hanya semata-mata
seorang pengajar. Apa saja perkataannya yang bagus, maka kami terima,
dan apa saja perkataannya yang buruk, maka kami tinggalkan."'[173]
Inilah
pandangan orang yang paling dekat dengannya, yang sekaligus sebagai
murid dan penyebar mazhabnya. Apalagi pandangan orang lain.
Dari
Walid bin Muslim yang berkata, "Malik bin Anas bertanya kepadaku,
'Apakah nama Abu Hanifah disebut-sebut di negerimu?' Aku menjawab, 'Ya.'
Malik bin Anas berkata, 'Negerimu tidak layak untuk didiami.'"[174]
Al-Awza'i
berkata, "Kita tidak membenci Abu Hanifah karena dia menggunakan qiyas,
karena kita semua pun menggunakan qiyas. Kita membenci Abu Hanifah
dikarenakan manakala hadis datang kepadanya dia menentangnya."[175]
Ibnu
Abdul Barr berkata, "Salah seorang yang menikam dan mencelanya ialah
Muhammad bin Ismail al-Bukhari. Dia berkata di dalam kitabnya
adh-Dhu'afa wa al-Matrukun, 'Berkenaan dengan Abu Hanifah an-Nu'man bin
Tsabit al-Kufi, Na'im bin Hammad berkata, 'Yahya bin Sa'id dan Muadz bin
Muadz berkata kepada saya, 'Kami mendengar Sufyan ats-Tsauri berkata,
'Abu
Hanifah telah diminta bertobat dari kekufuran sebanyak dua kali.' Na'im
al-Fazari berkata, 'Saya pernah bersama Sufyan bin 'Uyainah, lalu dia
mengkritik Abu Hanifah. Dia berkata, 'Abu Hanifah telah merobohkan Islam
sedikit demi sedikit. Dan tidak ada anak yang dilahirkan di dalam Islam
yang lebih jahat darinya.' Inilah yang disebutkan oleh Bukhari."[176]
Ibnu Jarud berkata di dalam kitabnya adh-Dhu’afa wa al-Matrukun, "Sebagian besar perkataan Nu'man bin Tsabit adalah waham."
Dari Waqi'a al-Jarrah yang berkata, "Saya menemukan Abu Hanifah menyalahi dua ratus hadis Rasulullah saw."
Ada
orang berkata kepada Ibnu al-Mubarak, "Orang-orang mengatakan bahwa
Anda berpegang kepada perkataan Abu Hanifah." Ibnu al-Mubarak menjawab,
"Tidak semua yang dikatakan oleh orang tentang dia itu benar. Dahulu,
selama beberapa waktu kami suka mendatanginya, ketika kami belum
mengenalnya."[177]
Tampak
jelas bahwa pandangan mereka ini adalah pandangan objektif, dan bukan
merupakan makian dan celaan yang keluar dari batas-batas yang wajar,
melainkan merupakan kritikan-kritikan ilmiah terhadap Abu Hanifah. Dalam
kesempatan ini kita telah memejamkan mata dari omongan-omongan musuhnya
dan omongan-omongan para pengikutnya yang bersikap berlebihan. Kita
mencukupkan diri dengan pandangan para ulama mengenainya, dan ini sudah
cukup mencemar-kan pribadinya. Lalu, bagaimana mungkin dengan mudah dia
bisa menjadi imam, padahal di tengah-tengah umat ada orang yang lebih
layak darinya, baik dari segi fikih, ilmu dan keadilan?! Namun memang
itulah yang dikehendaki politik .
Abu Hanifah Dan Imam Ja'far ash-Shadiq as
Abu
Hanifah adalah seorang yang banyak berdebat dan kuat dalam berdiskusi.
Khalifah Manshur bermaksud memanfaatkannya untuk menghantam Imam Ja'far
ash-Shadiq as, yang harum namanya dan tinggi reputasinya. Khalifah
al-Mansur kesulitan mengawasi majlis-majlis ilmu yang ada di kota Kufah,
Mekkah, Madinah dan Qum, yang menyerupai cabang dari madrasah Imam
Ja'far ash-Shadiq as. Oleh karena itu, al-Manshur terpaksa menarik Imam
Ja'far ash-Shadiq as dari kota Madinah ke Kufah, dan meminta kepada Abu
Hanifah untuk menyiapkan pertanyaan-pertanyaan yang sulit, yang akan
ditanyakan kepada Imam Ja'far ash-Shadiq as di majlis terbuka, dengan
maksud untuk menjatuhkan Imam Ja'far ash-Shadiq as.
Abu
Hanifah berkata, "Saya belum pernah melihat orang yang lebih fakih dari
Ja'far bin Muhammad ash-Shadiq. Ketika al-Manshur mendatangkannya,
al-Manshur menemui saya dan berkata, 'Wahai Abu Hanifah, orang-orang
telah terpikat dengan Ja'far bin Muhammad. Oleh karena itu, siapkanlah
pertanyaan-pertanyaan yang sulit baginya.' Maka saya pun menyiapkan
empat puluh pertanyaan baginya.
Kemudian
Abu Ja'far al-Manshur memanggil saya, dan saya pun datang menemuinya.
Saya masuk ke majlisnya, sementara Ja'far bin Muhammad sedang duduk di
sebelah kanannya. Ketika saya memandang ke arahnya, saya menjadi
tertegun dengan wibawa Ja'far bin Muhammad, namun tidak tertegun sedikit
pun dengan wibawa Abu Ja'far al-Manshur. Saya mengucapkan salam kepada
Abu Ja'far al-Manshur, dan dia pun memberikan isyarat kepada saya, maka
saya pun duduk. Kemudian dia menoleh ke arah Ja'far bin Muhammad seraya
berkata, 'Wahai Aba Abdillah, ini adalah Abu Hanifah.'
Ja'far
bin Muhammad menjawab, 'Ya, dia telah datang kepada kami', seolah-olah
dia tidak suka apa yang dikatakan oleh kaumnya bahwa dia mengetahui
seseorang tatkala melihatnya. Lalu al-Manshur menoleh ke arah saya dan
berkata, 'Wahai Abu Hanifah, lontarkan pertanyaan-pertanyaanmu kepada
Aba Abdillah.' Maka saya pun melontarkan pertanyaan-pertanyaan saya
kepadanya, dan dia menjawabnya satu demi satu. Dia berkata dalam
jawabannya, 'Kamu berpendapat demikian, penduduk Madinah berpendapat
demikian, sementara kami berpendapat begini. Terkadang pendapat kamu
sama dengan kami, terkadang sama dengan pendapat mereka, dan terkadang
pula tidak sama dengan keduanya.' Dia terus menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang saya lontarkan, hingga saya selesai
melontarkan empat puluh pertanyaan." Kemudian Abu Hanifah berkata,
"Bukankah kita telah mengatakan bahwa manusia yang paling pandai adalah
manusia yang tahu akan perbedaan-perbedaan pendapat manusia."[178]
Imam
Ja'far ash-Shadiq as melarang Abu Hanifah menggunakan qiyas, dan sangat
keras mengingkarinya. Imam ja'far ash-Shadiq as berkata kepada Abu
Hanifah, "Telah sampai berita kepada saya bahwa kamu melakukan qiyas
terhadap agama dengan pikiranmu. Jangan kamu lakukan itu, karena orang
yang pertama kali menggunakan qiyas adalah Iblis."[179]
Abu
Na'im berkata kepada kami, "Sesungguhnya Abu Hanifah, Abdullah bin Ubay
Syibrimah dan Ibnu Abi Laila datang menemui Ja'far bin Muhammad
ash-Shadiq. Imam Ja'far ash-Shadiq as bertanya kepada Ibnu Abi Laila,
"Siapa orang yang bersama kamu ini?"
Ibnu Abi Laila menjawab, "Dia orang yang mempunyai pandangan dan pengaruh di dalam agama."
Imam Ja'far ash-Shadiq as bertanya kembali, "Sepertinya dia mengqiyaskan urusan agama dengan menggunakan pikirannya?"
Ibnu Abi Laila menjawab, "Benar."
Imam Ja'far ash-Shadiq as berkata kepada Abu Hanifah, "Siapa namamu?"
Abu Hanifah menjawab, "Nu'man."
Imam
Ja'far ash-Shadiq as berkata lagi, "Saya tidak melihat kamu sedang
membaguskan sesuatu." Kemudian Imam Ja'far ash-Shadiq as melontarkan
beberapa pertanyaan kepada Abu Hanifah, namun Abu Hanifah tidak bisa
menjawabnya.
Maka Imam Ja'far ash-Shadiq as pun menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Kemudian
Imam Ja'far ash-Shadiq as berkata, "Ya Nu'man, bapakku telah berkata
kepadaku, 'Dari kakekku yang mengatakan bahwa Rasulullah saw telah
bersabda, 'Orang yang pertama kali mengqiyaskan urusan agama dengan
menggunakan ra'yu adalah Iblis.'
Allah
SWT telah berkata kepadanya, 'Sujudlah kainu kepada Adam' Iblis
menjawab, 'Saya lebih baik darinya. Engkau ciptakan aku dari api
sedangkan Engkau ciptakan dia dari tanah.' Barangsiapa yang meng'iyaskan
agama dengan pikirannya maka pada hari kiamat Allah SWT akan
mengumpulkannya dengan Iblis. Karena dia termasuk pengikutnya.
Fakhrurrozi
berkata, "Sungguh mengherankan, Abu Hanifah dipercayai sebagai ahli
qiyas, dan para musuhnya mengecamnya dikarenakan banyak menggunakan
qiyas, padahal belum pernah diceritakan oleh para sahabatnya bahwa Abu
Hanifah telah menulis satu lembar kertas saja untuk membuktikan qiyas,
serta tidak pernah disebutkan bahwa dia menyebutkan sebuah kritikan di
dalam pernyataannya, apalagi menyebutkan sebuah hujjah. Dia juga tidak
pernah menjawab dalil-dalil lawannya yang mengingkari qiyas. Bahkan,
orang yang pertama kali berbicara dalam masalah ini, dan mengemukakan
ber-bagai argumentasi mengenainya adalah asy-Syafi’i."[180]
Oleh
karena itu, kita menemukan Imam Ja'far ash-Shadiq as mengarahkan umat
kepada jalan yang benar di dalam meng-istinbath hukum-hukum syariat,
terutama setelah merajalelanya penggunaan qiyas sebagai salah satu
sumber penetapan hukum. Maka keluar (lulus)lah beribu-ribu ulama
mujtahid dari madrasah beliau, yang salah seorangnya adalah Abu Hanifah,
yang telah mencurahkan waktunya untuk belajar kepada Imam Ja'far Shadiq
as selama dua tahun di Madinah. Berkenaan dengan waktu dua tahun
belajarnya itu Abu Hanifah berkata, "Kalaulah tidak ada dua tahun itu
maka celaka lah Nu'man."
Orang-orang
yang hadir di majlis Imam Ja'far ash-Shadiq as tidak berkata kepada
beliau kecuali dengan mengawalinya dengan kata-kata, "Aku jadi
tebusanmu, wahai Putra Rasulullah."[181]
Abdul Halim al-Janadi memberikan komentar mengenai bergurunya Abu Hanifah kepada Imam Ja'far ash-Shadiq as,
"Jika
merupakan kemuliaan bagi Malik dia menjadi guru terbesar bagi Syafi’i,
atau kemuliaan bagi Syafi’i dia menjadi guru terbesar bagi Ibnu Hanbal,
atau kemuliaan bagi guru keduanya ini (Abu Hanifah —penerj.) manakala
keduanya belajar kepadanya, maka bergurunya dia (Abu Hanifah) kepada
Imam Ja'far ash-Shadiq telah memberikan kemuliaan kepada fikih mazhab
yang empat. Adapun kemuliaan Imam Ja'far ash-Shadiq tidak dapat
berkurang atau bertambah. Imam (Ja'far ash-Shadiq) adalah penyampai ilmu
kakeknya saw bagi seluruh manusia. Keimamahan adalah kedudukannya, dan
bergurunya para Imam Ahlus Sunnah kepadanya adalah merupakan kemuliaan
bagi mereka, disebabkan mereka mendekati manusia pemilik kedudukan."[182]
Sungguh,
duduk bersama Imam Ja'far ash-Shadiq as adalah me-rupakan kemuliaan
yang membanggakan bagi Abu Hanifah. Karena dia alim Ahlul Bait dan
tambang hikmah. Musuh-musuhnya mengakui keutamaannya. Al-Manshur
berkomentar tentang Imam Ja'far ash-Shadiq as, "Cucuk (tulang kecil)
yang mengganggu tenggorokanku ini adalah manusia terpandai di zamannya,
dan dia termasuk orang yang menginginkan akhirat dan tidak menginginkan
dunia."
Yang
menjadi persoalan bukan hanya sekedar pengakuan akan keutamaannya, atau
menganggap mulia duduk bersama dengannya, melainkan yang terpenting
ialah tunduk dan patuh kepada perintahnya. Karena ketaatan kepadanya
merupakan kewajiban yang telah Allah SWT wajibkan atas setiap Muslim,
sebagaimana tertetapkan di dalam hadis Tsaqalain, "Kitab Allah dan
'ltrah Ahlul Baitku". Namun yang sangat disayangkan ialah bahwa Abu
Hanifah tidak menjadi orang yang tunduk dan taat kepadanya, melainkan
menyendiri dengan diri- nya sendiri, memberi fatwa berdasarkan
pikirannya dan melakukan qiyas di dalam agama; dan karena itu dia
menentang hadis-hadis Rasulullah saw dan tidak menerimanya kecuali hanya
tujuh belas hadis saja.
Saya akan akhiri pembicaraan ini dengan perdebatan yang terjadi antara Imam Ja'far ash-Shadiq as dengan Abu Hanifah,
Imam Ja'far ash-Shadiq as bertanya kepada Abu Hanifah, "Anda siapa?"
"Abu Hanifah", jawab Abu Hanifah.
"Anda mufti Irak", Imam Ja'far ash-Shadiq as bertanya lagi.
Abu Hanifah menjawab, "Ya."
"Dengan apa Anda memberi fatwa kepada mereka?", tanya Imam Ja'far ash-Shadiq.
Abu Hanifah menjawab, "Dengan Kitab Allah."
"Jadi, Anda tahu tentang kitab Allah? nasikh mansukhnya! Dan juga muhkam mutasyabihnya”, tanya Imam Ja'far ash-Shadiq as.
Abu Hanifah menjawab, "Ya."
Imam
Ja'far ash-Shadiq as berkata, "Kalau begitu, beritahukan aku tentang
firman Allah SWT yang berbunyi, 'Dan Kami tetapkan antara negeri-negeri
itu (jarak-jarak) perjalanan. Berjalanlah kamu di kota-kota itu pada
malam dan siang hari dengan aman.' Topik apakah itu?"
Abu Hanifah menjawab, "Jarak antara Mekkah dan Madinah."
Mendengar
itu Imam Ja'far ash-Shadiq as menoleh ke kanan dan ke kiri seraya
berkata, "Demi Allah, aku memohon dengan sangat kepada Anda, apakah Anda
semua bepergian di antara jarak Mekkah dan Madinah dalam keadaan
mengkhawatirkan diri Anda dari pembunuhan dan harta Anda dari
pencurian?"
Dengan serempak mereka menjawab, "Ya."
Kemudian
Imam Ja'far ash-Shadiq as kembali menoleh kepada Abu Hanifah, "Celaka
engkau, wahai Abu Hanifah. Sesungguhnya Allah SWT tidak berkata kecuali
kebenaran."
Maka
Abu Hanifah pun terdiam untuk beberapa saat, lalu dia menarik ucapannya
sebelumnya dengan mengatakan, "Saya tidak mempunyai ilmu tentang Kitab
Allah."
Dia mengemukakan alasan baru, "Sesungguhnya saya adalah seorang ahli qiyas."
Imam
Ja'far ash-Shadiq as berkata, "Lihatlah kepada qiyas Anda. Jika Anda
memang benar-benar orang yang suka qiyas, mana yang lebih besar dosanya
di sisi Allah, apakah membunuh atau berzina?"
Abu Hanifah menjawab, "Tentu membunuh lebih besar dosanya di sisi Allah."
Imam
Ja'far ash-Shadiq as bertanya lebih lanjut, "Kenapa di dalam pembunuhan
Allah SWT rida dengan dua saksi, sedangkan di dalam perzinahan Allah
SWT tidak rida kecuali dengan adanya empat saksi? Apakah Anda
menggunakan qiyas di sini?"
Abu Hanifah menjawab, "Tidak."
"Bagus", kata Imam Ja'far as-Shadiq as.
Imam Ja'far ash-Shadiq as bertanya lagi, "Mana yang lebih utama, apakah salat atau puasa?"
Abu Hanifah menjawab, "Salat, tentu lebih utama."
Imam
Ja'far as berkata, "Berdasarkan perkataan Anda, maka orang yang haid
harus meng-qadha salat yang ditinggalkannya selama haid, sedangkan puasa
tidak. Padahal Allah SWT telah mewajibkan meng-qadha puasa dan tidak
meng-qadha salat." Pertanyaan ini juga tidak dijawab oleh Abu Hanifah.
Imam Ja'far ash-Shadiq ad berkata lebih lanjut, "Mana yang lebih najis, apakah air kencing atau air mani?"
Abu Hanifah menjawab, "Air kencing lebih najis."
Imam
Ja'far ash-Shadiq as berkata, "Di sini, qiyas Anda harus mengatakan
bahwa seseorang wajib mandi karena air kencing, dan tidak wajib mandi
karena air mani. Padahal Allah SWT telah mewajibkan seseorang untuk
mandi karena air mani, dan tidak karena air kencing. Apakah kamu
menggunakan qiyas di sini?"
Abu Hanifah terdiam, dan kemudian dia berkata, "Saya adalah ahli ra'yu."
Imam Ja'far ash-Shadiq as bertanya lagi kepadanya,
"Bagaimana
pendapat kamu tentang seorang laki-laki yang mempunyai seorang budak.
Lalu laki-laki itu menikah dan sekaligus menikahkan budaknya pada malam
yang sama. Kemudian, keduanya menggauli masing-masing istrinya pada
malam yang sama. Selanjutnya, keduanya melakukan perjalanan dan
meninggalkan istri masing-masing di satu rumah; lalu masing-masing
istrinya melahirkan seorang anak. Kemudian rumah itu runtuh menimpa
mereka dan membunuh kedua wanita tersebut, sementara kedua anak itu
selamat. Sekarang, menurut pendapatmu, mana dari kedua anak itu yang
berkedudukan sebagai tuan dan mana yang berkedudukan sebagai budak? Mana
yang sebagai pewaris dan mana yang diwarisi?"
Untuk ketiga kalinya Abu Hanifah terdiam tidak dapat menjawab pertanyaan.
2. IMAM MALIK BIN ANAS
Dia
adalah Abu Abdullah, Malik bin Anas bin Malik, dilahirkan pada tahun 93
Hijrah, menurut sebagian pendapat, dan meninggal dunia pada tahun 179
Hijrah, menurut sebagian pendapat. Masa Malik bersinar dengan cahaya
ilmu, dan kota Madinah menjadi kota yang didatangi oleh para penuntut
ilmu yang berasal dari berbagai pelosok penjuru negeri Islam. Madrasah
Madinah mempunyai kelebihan di dalam berpegang kepada hadis, dan
memerangi madrasah ra'yu yang terletak di kota Kufah, di bawah
kepemimpinan Abu Hanifah. Inilah salah satu yang menjadi penyebab
timbulnya perselisihan dan pertengkaran di antara keduanya, hingga telah
keluar dari batas-batas keilmuan dan objektifitas.
Di
samping kedua madrasah ini terdapat juga madrasah lain, yaitu madrasah
Imam Ja'far ash-Shadiq as. Sebuah madrasah yang dipenuhi oleh para para
ulama dan utusan dari berbagai penjuru dunia Islam, yang menanti-nanti
kesempatan untuk bisa berjumpa dengan para Imam Ahlul Bait as. Imam
Ja'far ash-Shadiq as adalah orang yang paling sedikit mendapat tekanan
dari pihak penguasa. Malik telah turut bergabung dengan Madrasah Imam
ja'far ash-Shadiq as untuk beberapa waktu, dan Oleh karena itu, Imam
Ja'far ash-Shadiq as dianggap guru terbesar Malik. Kemudian Malik
berguru kepada beberapa orang guru, seperti Amir bin Abdullah bin Zubair
bin al-Awwam, Zaid bin Aslam, Sa'id al-Maqbari, Abu Hazim Shafwan bin
Aslam dan yang lainnya. Namun Malik lebih mengutamakan untuk mengambil
dari Wahab bin Hurmuz, Nafi' (bekas budak Ibnu Umar), Ibnu Syihab
az-Zuhri, Rabi'ah ar-Ra'yu dan Abu Zanad. Malik mengalami kemajuan,
sehingga madrasah ahlul hadis berkembang pesat. Namun, dengan segera
politik ikut campur untuk membantu madrasah ra'yu dan memusuhi madrasah
ahlul hadis. Oleh karena itu, Malik menghadapi berbagai tekanan dari
pemerintah. Dia dilarang untuk berbicara, dan bahkan dia pernah dicambuk
dikarenakan fatwa yang dikeluarkannya tidak sejalan dengan keinginan
pemerintah. Itu terjadi pada masa kekuasaan Ja'far bin Sulaiman, tahun
146 Hijrah. Dia digunduli, dibentangkan dan dipukul dengan cambuk hingga
terlepas tulang bahunya.
Ibrahim
bin Jamad berkata, "Saya pernah melihat Malik, apabila dia dibangungkan
dari tempat duduknya dia membawa tangan kanannya dengan tangan kirinya
atau tangan kirinya dengan tangan kanannya."
Namun,
sangat mengherankan sekali, hanya dalam jangka waktu yang singkat Malik
berubah menjadi orang yang sangat diutamakan dan dihormati di dalam
pemerintahan, sehingga para gubernur sampai segan dan takut kepadanya.
Yang menjadi pertanyaan ialah, apa yang terjadi pada diri Malik sehingga
pemerintah menyukainya dan meninggikan kedudukannya sampai ke tingkat
ini?
Apakah
dahulu pemerintah membencinya karena Malik mempunyai pandangan
tertentu, dan sekarang Malik menarik diri dari pandangannya itu?
Atau Malik tetap pada pendapatnya, namun sekarang pemerintah bersikap toleran terhadapnya?
Atau, apakah ada sesuatu yang lain?
Ini
merupakan pertanyaan besar yang mengganggu benak orang-orang yang
mempelajari sejarah Imam Malik, di mana mereka menyaksikan perubahan
hubungan di antara Malik dengan pemerintah. Yaitu dari keadaan tegang
dan bermusuhan kepada keadaan di mana al-Manshur dan Malik saling
memberikan perhatian dan sanjungan kepada satu sama lain.
Al-Manshur
berkata kepada Malik, "Demi Allah, kamu adalah manusia yang paling
berilmu. Jika kamu menghendaki, niscaya aku akan tulis perkataanmu tidak
ubahnya sebagaimana mushaf-mushaf kitab suci ditulis, dan aku akan
kirimkan ke seluruh pelosok negeri, serta aku akan paksa mereka untuk
menerimanya."
Dari
sini tampak jelas, bahwa kemajuan mazhab Imam Malik terjadi manakala
mendapat rida dari sultan. Oleh karena itu, sesungguhnya yang menjadi
masalah bukanlah masalah paling berilmu dan bukan paling berilmu,
melainkan masalah Malik, Sultan dan propaganda. Rakyat digiring untuk
bertaklid kepada mazhab Malik, baik dengan suka rela maupun terpaksa.
Inilah yang dikatakan oleh Rabi'ah ar-Ra'yu —guru Malik dan orang yang
lebih berilmu darinya— tatkala dia mengatakan, "Tidakkah kamu tahu,
bahwa bantuan sedikit saja dari pemerintah merupakan sebaik-baiknya
pembawa ilmu."[183]
Ketika
Malik memperoleh keridaan ini dari Sultan Malik berka-ta, "Saya
mendapati al-Manshur sebagai orang yang paling mengetahui Kitab Allah,
Rasul-Nya dan peninggalan-peninggalannya yang telah lalu."
Subhanallah\\
Ilmu apa yang dimiliki oleh al-Manshur, sehingga dia menjadi orang yang
paling tahu tentang Kitab Allah SWT dan sunah Rasul-Nya saw?!
Perkataannya itu tidak lebih dari perbuatan menjilat, dan untuk mendekatkan diri kepada raja dan sultan.
Adapun
yang menjadi alasan kenapa sebelumnya Malik dikucilkan, sejarah tidak
pernah menceritakan kepada kita bahwa itu dikarenakan Malik berani
menentang al-Manshur atau mengkritik kebijaksanaannya. Sebagaimana yang
telah dilakukan oleh Abdullah bin Marzuq, tatakala dia berjumpa dengan
Abu Ja'far al-Manshur dalam ibadah thawaf. Ketika itu manusia menyingkir
darinya, namun Abdullah bin Marzuq berkata kepadanya, "Siapa yang
menjadikanmu lebih berhak atas Baitullah ini dibandingkan manusia yang
lain, sehingga kamu menghalangi dan menyingkirkan mereka dari-Nya.?"
Abu
Ja'far al-Manshur melihat ke arah orang yang berkata demikian, dan dia
pun mengenalnya. Kemudian Abu Ja'far berkata, "Wahai Abdullah bin
Marzuq, siapa yang menjadikanmu berani berkata demikian, dan siapa yang
mendatangkanmu ke sini?"
Abdullah
bin Marzuq berkata, "Apa yan hendak kamu perbuat? Apakah di tanganmu
ada bahaya dan manfaat? Demi Allah, saya tidak takut akan bahayamu dan
tidak mengharapkan manfaatmu, sehingga Allah SWT mengizinkan yang
demikian itu terjadi padaku."
Abu Ja'far al-Manshur berkata, "Kamu telah menghalalkan nyawamu sendiri dan telah mencelakakannya."
Abdullah
bin Marzuq berkata, "Ya Allah, jika di tangan Abu Ja'far terdapat
bahaya, maka janganlah Engkau tahan bahaya itu sedikit pun kecuali
Engkau timpakan kepadaku; dan jika di tangannya terdapat manfaatku, maka
putuslah seluruh manfaatnya dariku. Di tangan-Mulah ya Allah, segala
sesuatu; dan Engkau adalah pemilik segala sesuatu."
Maka
Abu Ja'far memerintahkan supaya Abdullah bin Marzuq ditangkap, lalu dia
di bawa ke Baghdad, dipenjarakan, dan kemudian dilepaskan.[184]
Oleh
karena itu, kita mendapati Malik menjauh dari Imam Ja'far ash-Shadiq
as, dikarenakan Imam Ja'far ash-Shadiq as tidak setuju dengan
pandangan-pandangannya yang berusaha mendekati sultan.
Dalam
pandangan saya sendiri, bahwa yang menjadi penyebab utama marahnya
penguasa terhadap Malik pada masa-masa permulaan adalah karena penguasa
melihat Malik bersahabat dengan Imam Ja'far ash-Shadiq as, dan issu yang
beredar pada waktu itu bahwa orang-orang Arab hendak menuntut balas
bagi Ahlul Bait, maka Oleh karena itu, kita mendapati pemerintah lebih
mendekati mawali (bekas-bekas budak yang telah dibebaskan) dan membantu
Abu Hanifah yang ada di Kufah. Ketika masalah ini telah sirna, maka
penguasa tidak melihat jalan lain kecuali meninggikan nama Malik dan
memunculkannya sebagai pemegang otoritas agama bagi negara, sehingga
Malik mem-benarkan penamaan negara pada saat itu dengan nama "negara
Islam". Oleh karena itu, kita mendapati kebijaksanaan para raja dengan
tegas menyatakan kemampuan dan kompetensi Malik, yang mana hal itu belum
pernah dialamatkan kepada alim-alim sebelumnya. Abu Ja'far al-Manshur
berkata kepada Malik, "Jika Anda ragu terhadap petugas Madinah, petugas
Mekkah, atau salah seorang dari para petugas Hijaz, yang berkenaan
dengan diri Anda atau yang lain, atau yang berkaitan dengan buruknya
perlakuan mereka terhadap rakyat, maka laporkanlah hal itu kepadaku,
supaya aku berikan kepada mereka apa yang seharusnya mereka terima."
Dengan
begitu maka kedudukan Malik menjadi sedemikian tinggi, dan para
gubernur takut kepadanya dikarenakan takut kepada al-Manshur. Hal ini
sebagaimana yang diceritakan oleh asy-Syafi’i tatkala dia datang ke
Mekkah dengan membawa surat dari gubernur Mekkah untuk gubernur Madinah,
supaya disampaikan kepada Malik. Maka gubernur Madinah berkata, "Hai
pemuda, berjalan kaki dari kota Mekkah ke kota Madinah dengan
bertelanjang kaki, itu lebih ringan bagiku dibandingkan aku harus
berdiri di depan pintu rumah Malik. Saya tidak melihat kehinaan sehingga
saya berdiri di depan pintu Rumah Malik."[185]
Ketika
datang era al-Mahdi, setelah era al-Manshur, kedudukan Malik semakin
bertambah tinggi dan dia semakin dekat dengan penguasa. Al-Mahdi amat
meninggikan dan menghormatinya serta mengirimkan berbagai hadiah
kepadanya. Kedudukan Malik semakin bertambah cemerlang di mata
masyarakat tatkala datang era Harun al-Rasyid. Harus ar-Rasyid tetap
mempertahankan kedudukan Malik dan amat mengagungkannya, sehingga dengan
begitu kewibawaan Malik terpatri pada diri masyarakat.
Demikianlah
politik. Dia meninggikan siapa yang ingin ditinggikannya, dan melupakan
orang yang ingin dilupakannya. Setelah semua ini, apa lagi yang akan
menghalangi mazhab Malik untuk bisa tersebar, sementara dia telah
mendapat keridaan dari penguasa?
Allah bagimu, wahai tuanku, Imam Ja'far bin Muhammad ash-Shadiq as.
Mereka mengetahui bahwa kebenaran milikmu dan ada padamu, serta tidak ada yang berhak atas keimamahan selainmu.
Bukankah
Malik telah berkata, "Belum pernah mata terlihat oleh melihat,
terdengar oleh telinga dan terlintas di dalam hati, ada orang yang lebih
utama dari Ja'far ash-Shadiq, baik dari segi keutamaan, keilmuan,
ibadah dan kewarakan."[186]
Sedemikian
jelasnya keutamaan beliau, namun beliau dan para Syiahnya tidak pernah
menerima apa-apa kecuali tekanan, ancaman, pembunuhan dan pengusiran,
sebagaimana yang disaksikan oleh sejarah Syi'ah, mulai dari wafatnya
Rasulullah saw hingga terus se-panjang sejarahnya.
Namun
saya bertanya-tanya sebagaimana yang ditanyakan oleh penulis kitab
al-Imam ash-Shadiq Mu 'allim al-Insan manakala dia berkata, "Saya tidak
bertanya kenapa kaum Muslimin terpecah menjadi Sunah dan Syi'ah. Tidak,
saya tidak bertanya tentang hal itu. Namun saya bertanya dengan penuh
keheranan, bagaimana Syi'ah dapat tetap kokoh hingga sekarang, meski pun
begitu kerasnya sikap ta'assub (fanatik) yang ditujukan kepadanya, yang
berwujud dalam bentuk ancaman pemikiran dan fisik, meski pun dengan
segala usaha yang dikerahkan pihak lawan untuk menghapus ajaran-ajaran
kebenaran dan mencabik-cabik Islam?!"[187]
Bukankah
merupakan sebuah kezaliman mendahulukan mazhab-mazhab lain atas mazhab
Ja'far bin Muhammad ash-Shadiq as?! Bukan hanya itu, bahkan Syi'ah tidak
dikenal hingga sekarang, meski pun di kalangan lapisan masyarakat yang
terpelajar.
Saya
ingat, suatu hari dosen kami di kampus mengajarkan fikih Maliki.
Sekelompok mahasiswa memprotesnya, "Kenapa Anda tidak mengajarkan kami
fikih empat mazhab?" Dosen kami itu menjawab, "Saya seorang bermazhab
Maliki, dan seluruh penduduk Sudan bermazhab Maliki, maka barangsiapa di
antara kamu yang bukan bermazhab Maliki, saya siap mengajarkan
mazhabnya secara khusus." Saya berkata kepadanya, "Saya bukan Maliki,
apakah Anda akan mengajarkan mazahab saya?" Dosen kami itu menjawab,
"Tentu. Apa mazhab kamu? Apakah kamu bermazhab Syafi’i?"
Saya jawab, "Bukan."
"Apakah Hanafi?", tanya dia.
Saya jawab, "Bukan."
Dia bertanya lagi, "Oh, kalau begitu Hanbali?"
Saya jawab, "Bukan."
Tampak keheranan tergambar di wajahnya. Dia berkata, "Jadi, siapa yang kamu ikuti?"
Saya menjawab, "Ja'far bin Muhammad ash-Shadiq as."
Dia bertanya, "Siapa Ja'far itu?"
Saya jawab, "Guru Malik dan Abu Hanifah, dan termasuk dari keturunan Ahlul Bait. Mazhabnya terkenal dengan nama mazhab Ja'fari."
Dosen kami itu berkata, "Saya belum pernah mendengar nama ini sebelumnya."
Saya katakan, "Kami ini Syi'ah."
Dia berkata, "Aku berlindung kepada Allah dari Syi'ah", dan kemudian dia keluar.
Barangsiapa
yang memiliki kemudahan dan propaganda sultan, maka dia akan sampai
kepada bintang kartika. Malik sendiri tidak tamak kepada kedudukan ini,
karena dia tahu masih banyak orang yang lebih layak darinya untuk
menduduki kedudukan ini. Akan tetapi, penguasa menginginkannya menjadi
marji' umum (pemegang otoritas tunggal) di dalam fatwa. Al-Mansur telah
memerintahkannya untuk menulis sebuah kitab yang akan dipaksakan kepada
masyarakat secara paksa. Malik tidak bersedia, namun al-Mansur berkata
kepadanya, "Tulis kitab itu, sejak saat ini tidak ada seorang pun yang
lebih pandai dari kamu."[188]
Maka Malik pun menulis kitab al-Muwaththa, dan kemudian para
propagandis sultan mengumumkan pada hari ibadah haji, "Sejak sekarang
tidak boleh ada yang memberi fatwa selain Malik."
Tersebarnya Mazhab Maliki
Mazhab
Maliki tersebar dengan perantaraan para hakim dan para raja. Di
Andalus, raja memaksa rakyatnya untuk mengikuti mazhab Maliki, manakala
sampai berita kepadanya bahwa Malik memujinya tatkala ditanya tentang
perilaku raja Andalus. Malik mengatakan sesuatu yang menyenangkan raja
Andalus, "Kita memohon kepada Allah supaya Dia menghiasi negeri kita
dengan rajamu." Ketika ucapan Malik itu sampai kepada raja, maka raja
pun memaksa rakyatnya untuk mengikuti mazhabnya. Raja meninggalkan
mazhab al-Awza'i, dan kemudian masyarakat pun berbondong-bondong
mengikuti rajanya.
Demikian
juga mazhab Maliki tersebar di Afrika dengan perantaraan hakim Sahnun.
Al-Muqrizi berkata, "Manakala al-Mu'iz bin Badis memerintah, dia memaksa
seluruh rakyat Afrika untuk berpegang kepada mazhab Malik dan
meninggalkan mazhab yang lainnya. Maka seluruh penduduk Afrika dan
Andalus merujuk kepada mazhabnya, karena mengharapkan apa yang ada pada
sultan dan gemar terhadap dunia. Oleh karena jabatan kehakiman dan
jabatan mufti yang ada diseluruh kota tidak dapat diduduki kecuali oleh
orang yang bermazhab Maliki, maka masyarakat umum mau tidak mau harus
merujuk kepada hukum-hukum dan fatwa-fatwa mereka. Sehingga dengan
begitu mazhab ini pun menjadi tersebar dan mendapat penerimaan. Namun
ini bukan karena kualifikasi yang dimilikinya, melainkan semata-mata
karena kehendak penguasa yang memaksa masyarakat untuk menerimanya."[189]
Demikian
juga mazhab Maliki tersebar di Maroko pada saat Ali bin Yusuf bin
Tasyifin memerintah di kerajaan Bani Tasyifin. Ali bin Yusuf bin
Tasyifin memuliakan para fukaha dan mendekati mereka. Namun dia tidak
mendekati kecuali orang yang bermazhab Maliki. Maka orang-orang pun
berlomba-lomba di dalam mempelajari mazhab Maliki. Ketika itu buku-buku
mazhab Maliki menjadi laris, mereka mengamalkannya, dan meninggalkan
yang lainnya. Bahkan, sedikit sekali perhatian orang kepada Kitab Allah
dan sunah Nabi-Nya pada saat itu.
Demikianlah
politik mempermainkan agama kaum Muslimin, sehingga dialah sesungguhnya
yang berkuasa atas keyakinan dan ibadah mereka. Masyarakat saling
mewariskan mazhab-mazhab yang dipaksakan di antara mereka, dan mereka
menerimanya dengan tanpa perdebatan atau pembahasan. Padahal yang layak
ialah masing-masing generasi bersikap merdeka di dalam mengenal suatu
mazhab, dan tidak mengikutinya secara membuta.
Ibnu Hazm berkata, "Ada dua mazhab yang pada awal mulanya tersebar dengan perantaraan raja dan sultan:
Yang
pertama, mazhab Abu Hanifah. Karena, pada saat Abu Yusuf menduduki
posisi kehakiman dia tidak mengangkat seorang hakim kecuali dari
kalangan sahabatnya yang semazhab dengannya.
Yang
kedua, mazhab Malik yang ada di negeri kita Andalus. Yahya bin Yahya
adalah seorang yang mempunyai kedudukan yang kuat di sisi raja, dan
mendapat pengakuan di dalam jabatan kehakiman. Raja tidak akan
mengangkat seorang hakim diseluruh pelosok negeri Andalus kecuali
berdasarkan musyawarah dan pilihannya, dan jabatan kehakiman tidak akan
diserahkan kecuali kepada para sahabatnya."[190]
Tikaman Terhadap Malik.
Dalam
hal ini kita akan mengabaikan perkataan orang-orang yang fanatik
kepadanya, dan begitu juga kita akan meninggalkan keutamaan-keutamaan
yang diberikan sultan kepadanya. Karena yang demikian ini tidak bisa
menjadi ukuran yang nyata untuk mengenal pribadi Malik. Berikut ini saya
kemukakan satu contoh darinya, "Sesungguhnya Qais melihat Rasulullah
saw berjalan di sebuah jalan, sementara Abu Bakar berada di belakangnya,
lalu Umar di belakang Abu Bakar, dan Malik di belakang Umar, serta
Sahnun[191] di belakang Malik."[192]
Dan
beberapa ratus contoh lainnya, yang kesemuanya merupakan hal-hal yang
sepele dan keutamaan-keutamaan buatan yang tidak layak untuk
didiskusikan.
Di
sini, saya mencukupkan diri dengan ucapan-ucapan para ulama dan
sebagian orang yang hidup sezaman dengan Malik, yang merupakan pandangan
yang indefenden yang tidak melewati batas-batas kritik ilmiah.
Syafi’i
berkata, "Singa lebih fakih dari Malik, hanya saja para sahabatnya
tidak menguasainya." Sa'id bin Ayub berkata, "Jika seandainya Singa dan
Malik berkumpul, maka Malik akan lebih bisu dari singa, dan singa akan
menjual Malik kepada siapa saja yang diinginkannya."[193]
Ali
bin al-Madini bertanya kepada Yahya bin Sa'id, "Pendapat siapakah yang
lebih kamu sukai, pendapat Malik atau pendapat Sufyan?"
Yahya
bin Sa'id menjawab, "Tentu tidak diragukan pendapat Sufyan yang lebih
aku sukai." Yahya melanjutkan, "Sufyan berada di atas Malik dalam segala
hal."
Yahya bin Mu'in berkata, "Saya mendengar Yahya bin Sa'id berkata, "Sufyan lebih aku sukai dibandingkan Malik dalam segala hal."[194]
Sufyan ats-Tsauri berkata, "Dia —yakni Malik— tidak mempunyai hapalan."
Ibnu
Abdul Barr berkata, "Ibnu Dzubaib telah mengatakan sesuatu yang kasar
dan keras tentang Malik, yang saya enggan untuk menyebutkannya."[195]
Ibrahim
bin Sa'ad telah berkata tentang Malik sambil mengutuknya. Demikian juga
Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, Ibnu Ubay Yahya, Muhammad bin Ishaq
al-Waqidi dan Ibnu Abi Zanad telah menjelek-jelekkan beberapa hal dari
mazhabnya.
Salmah
bin Sulaiman berkata kepada Ibnu Mubaraak, "Kamu pernah menulis sesuatu
tentang pendapat Abu Hanifah, namun kamu belum pernah menulis sesuatu
tentang pendapat Malik?"
Ibnu Mubarak menjawab, "Saya tidak melihatnya sebagai seorang yang berilmu."[196]
Ibnu
Abdul Barr berkata tentang Malik, "Mereka menjelek-jelekkan beberapa
hal dari mazhabnya." Abdullah bin Idris berkata, "Muhammad bin Ishaq
datang kepada kami, lalu kami menyebutkan sesuatu tentang Malik, maka
kemudian dia berkata, 'Kemarikan ilmunya.'" Yahya bin Salih berkata,
"Ibnu Aktsam telah berkata kepada saya, 'Kamu telah melihat Malik dan
mendengar darinya, dan kamu juga telah menyertai Muhammad bin Hasan.
Lalu, mana yang lebih fakih dari keduanya?' Saya jawab, 'Muhammad bin
Hasan, pada apa yang dia ambil untuk dirinya, lebih fakih dari Malik.'"[197]
Demikian
juga Muhammad bin Abi Hatim berkata, "Dari Zar'ah, dari Yahya bin Bakir
yang berkata, 'Singa lebih fakih dari Malik, hanya saja Malik mempunyai
langkah."[198]
Ahmad
bin Hanbal berkata, "Abu Dzu'aib serupa dengan Sa'id bin Musib. Dia
lebih utama dari Malik. Hanya saja Malik amat dibersihkan dan
dipuji-puji oleh orang-orangnya."[199]
Dari
semua perkataan ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa tidak ada
kelebih-utamaan Malik atas ulama yang lain, dan dia tidak memiliki
kelebihan yang menjadikannya layak untuk menduduki posisi marji'iyyah
(tempat rujukan) di dalam fikih. Namun, politik tidak memandang kepada
keahlian, dia mempunyai cara penilaian khusus yang didasarkan kepada
pertimbangan-pertimbangan politis dan kepentingan. Seorang fakih yang
tidak bertentangan dengan kebijakan-kebijaksannya maka dialah yang wajib
diikuti oleh kaum Muslimin, dan di tangannyalah hak otoritas pemberian
fatwa.
3. IMAM SYAFI’I
Dia
adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi'.
Dia dilahirkan pada tahun 150 Hijrah, dan ada yang mengatakan dia
dilahirkan pada hari wafatnya Abu Hanifah. Orang-orang berbeda pendapat
mengenai tempat kelahirannya, antara Ghazzah, 'Asqalan dan Yaman, dan
pendapat lemah mengatakan bahwa dia dilahirkan di Mekkah. Dia meninggal
dunia di Mesir pada tahun 204 Hijrah.
Ketika
kecil dia hijrah bersama ibunya ke kota Mekkah. Di Mekkah dia belajar
Al-Qur'an, sehingga hafal Al-Qur'an. Kemudian dia belajar menulis, dan
setelah itu pergi ke pedalaman padang pasir, dan menetap dengan suku
Hudzail selama 20 tahun, sebagaimana yang diceritakan oleh Ibnu Katsir
di dalam kitab al-Bidayah wa an-Nihayah, atau tujuh belas tahun
sebagaimana yang diceritakannya sendiri di dalam kitab Mu'jam al-Buldan.
Maka dia pun memperoleh kefasihan suku Hudzail. Sepanjang waktu
tersebut Syafi’i tidak mempunyai perhatian kepada bidang keilmuan dan
fikih. Dia baru mempunyai perhatian kepada bidang keilmuan dan fikih
pada dekade ketiga dari umurnya. Jika dia tinggal selama 20 tahun di
pedalaman padang pasir, maka dia baru mulai belajar fikih pada dekade
keempat dari umurnya. Artinya, setelah melewati umur tiga puluh tahun.
Syafi’i
berguru kepada guru-guru yang ada di Mekkah, Madinah, Yaman dan
Baghdad, dan orang yang pertama menjadi gurunya ialah Muslim bin Khalid
al-Makhzumi, yang dikenal dengan sebutan az-Zanji. Dia termasuk orang
yang tidak bisa dipercaya ucapannya. Banyak dari kalangan para huffazh
yang mendhaifkan dan mengecamnya, seperti Abu dawud, Abi Hatim dan
an-Nasa'i.[200]
Kemudian
Syafi’i belajar kepada Sa'id bin Salim al-Qaddah. Sa'id bin Salim
al-Qaddah telah dituduh sebagai orang murji'ah. Syafi’i juga belajar
kepada Sufyan bin Uyaynah, salah seorang murid Imam Ja'far ash-Shadiq
as. Dia adalah salah seorang pemilik mazhab yang musnah. Syafi’i juga
belajar kepada Malik bin Anas di Madinah, dan juga guru-guru lainnya.
Ibnu Hajar menyebutkan Syafi’i telah belajar dari delapan puluh orang
guru. Sebuah angka yang berlebihan. Ar-Razi menolak perkataan Ibnu Hajar
tersebut. Syafi’i juga telah mengambil ilmu dari Muhammad bin Hasan
asy-Syaibani, seorang qadhi yang merupakan salah seorang murid dari Abu
Hanifah. Tidak ada tempat bagi kefanatikan di sini, karena Syafi’i
sendiri telah mengakui bahwa dirinya telah mengambil ilmu darinya.
Adapun
murid-murid Syafi’i sebagiannya orang-orang Irak dan sebagiannya lagi
orang-orang Mesir. Mereka menjadi faktor penting di dalam penyebaran
mazhabnya. Adapun murid-murid Syafi’i yang berasal dari Irak ialah
Khalid al-Yamani al-Kalbi, Abu Tsaur al-Baghdadi, yang terhitung sebagai
pemilik mazhab tersendiri dan mempunyai muqallid (pengikut) hingga abad
kedua hijrah, dan dia wafat pada tahun 240 Hijrah. Kemudian, Hasan bin
Muhammad bin ash-Shabbah az-Za'farani, Hasan bin Ali al-Karabisi, Ahmad
bin Abdul Aziz al-Baghdadi, dan Abu Abdurrahman Ahmad bin Muhammad
al-Asy'ari. Ahmad bin Muhammad al-Asy'ari diidentikkan dengan Syafi’i,
karena dia memperkuat mazhabnya dan membela para pengikutnya, disebabkan
kedudukan tinggi yang dimilikinya di mata sultan. Juga teimasuk salah
seorang dari murid Syafi’i adalah Ahmad bin Hanbal, meskipun orang-orang
Hanbali mengatakan bahwa Syafi’i pernah mengambil hadis dari Ahmad dan
belajar kepadanya, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Thabaqat
al-Hanabilah.
Adapun
murid-muridnya di Mesir, mereka amat berperan di dalam penyebaran
mazhabnya dan penulisan buku-buku. Yang paling terkenal dari mereka
ialah Yusuf bin Ya'qub al-Buwaithi, yang merupakan pengganti Syafi’i di
dalam memberikan pelajaran, dan termasuk penyeru terbesar kepada
mazhabnya.
Dia
mendekati orang-orang asing dan memperkenalkan kepada mereka keutamaan
Syafi’i, hingga banyak pengikutnya dan tersebar mazhabnya. Ibnu Abi
Laits al-Hanafi merasa hasud kepadanya dan kemudian mengeluarkannya dari
Mesir, sehingga akhirnya Yusuf bin Ya'qub al-Buwaithi meninggal dunia
di dalam penjara di kota Baghdad.
Di
antara murid-murid Yusuf bin Ya'qub al-Buwaithi ialah Ismail bin Yahya
al-Mazni dan Abu Ibrahim al-Mishri, yang memiliki ber-bagai tulisan di
dalam mazhab Syafi’i yang membantu penyebaran mazhab tersebut, seperti
kitab al-Jami' al-Kabir, al-Jami' ash-Shaghir, al-Mantsur, dan yang
lainnya.
Seseorang
yang mempelajari sejarah mazhab Syafi’i akan menemukan bahwa
murid-murid dan sahabat-sahabatnyalah yang telah membantunya dan
menyebarkan mazhabnya.
Terdapat
perbedaan antara madrasah Syafi’i di Irak dengan madrasah Syafi’i di
Mesir. Suatu hal yang perlu kita cermati. Sebagaimana diketahui bahwa
Syafi’i telah berpaling dari fatwa-fatwa yang dikeluarkannya ketika
berada di Irak, yang kemudian dikenal dengan mazhab qadim, yang dipegang
oleh murid-muridnya di Irak. Di antara kitab-kitab yang berasal dari
mazhab qadim ialah kitab al-Amali dan kitab Majma' al-Kafi. Ketika
pindah ke Mesir dia mengharamkan berpegang kepada mazhab qadim, setelah
mazhab itu tersebar dan dipraktekkan oleh masyarakat umum. Apakah
Syafi’i menarik diri darinya karena mazhab qadim itu batil?! Atau,
apakah ijtihadnya ketika di Baghdad tidak sempurna, dan kemudian menjadi
sempuma di Mesir?!
Kemudian, apa yang menjadi jaminan kebenaran mazhabnya yang baru di Mesir?!
Apakah
kalau sekiranya umurnya panjang dia pun akan berpaling dari mazhab
barunya itu?! Oleh karena itu, Anda menemukan dua pendapat dalam satu
masalah di dalam mazhab Syafi’i. Sebagaimana yang terdapat di dalam
kitab al-Umm. Ada orang yang menganggap bahwa perbedaan ini sebagai
akibat tidak adanya ketetapan hati dari Syafi’i, dan ini merupakan
sebuah kekurangan di dalam ijtihad dan ilmu.
Al-Bazzaz
menyokong makna ini dengan mengatakan, "Ketika di Irak Syafi’i menulis
beberapa kitab, namun para sahabat Muhammad asy-Syaibani mendhaifkan
perkataannya dan mempersulitnya, sementara para ahlul hadis tidak
memperhatikan perkataannya, dan bahkan menuduhnya sebagai mu'tazilah.
Ketika di Irak pasar sudah tertutup baginya, maka Oleh karena itu, dia
pun pindah ke Mesir, yang ketika itu belum ada seorang fakih yang
dikenal di sana, dan pasar pun berpihak kepadanya."[201]
Keadaan
berubah ketika dia pindah ke Mesir. Karena Syafi’i dikenal sebagai
murid Malik dan sekaligus penolong dan pembela mazhabnya. Inilah faktor
yang membentangkan jalan kesuksesan Syafi’i di Mesir. Karena watak umum
masyarakat Mesir bermazhab Maliki. Di samping itu, kedatangan Syafi’i ke
Mesir berdasarkan rekomendasi khalifah saat itu kepada gubernur Mesir,
maka Oleh karena itu, Syafi’i memperoleh perhatian yang cukup di Mesir,
terutama dari kalangan para pengikut Malik.
Namun
itu tidak berlangsung lama sehingga akhirnya Syafi’i menulis
kitab-kitab yang menolak Malik dan menentang perkataan-perkataannya.
Ar-Rabi' berkata, "Saya mendengar Syafi’i mengatakan,
'Saya
datang ke Mesir dalam keadaan tidak tahu bahwa Malik berlawanan dengan
ucapan-ucapannya kecuali hanya enam belas ucapan. Saya perhatikan, dan
kemudian saya mendapati dia mengatakan yang pokok dan meninggalkan
cabang atau mengatakan cabang dan meninggalkan pokok.' Abu Umar berkata,
'Abdul Aziz bin Abi Salma dan Abdurrahman bin Zaid juga telah berkata
tentang Malik, sebagaimana yang disebutkan oleh as-Saji di dalam kitab
al-'llal, mereka menjelek-jelekkan beberapa hal tentang mazhab Malik.'
Hingga Abu Umar berkata, 'Syafi’i telah berbuat zalim kepada Malik, dan
begitu juga sebagian pengikut Abu Hanifah, berkenaan dengan sesuatu dari
pendapatnya, karena merasa hasud akan kedudukan keimamahannya.'"[202]
Orang-orang
Maliki telah habis kesabarannya terhadap Syafi’i, dan mereka menunggu
saat yang tepat hingga akhirnya mereka membunuhnya. Ibnu Hajar
mengatakan, mereka memukul Syafi’i dengan kunci besi hingga meninggal
dunia.[203] Abi Hayyan menyebutkan peristiwa ini di dalam kasidah pujiannya terhadap Syafi’i,
"Tatkala datang ke Mesir dia menentang berbagai hal menyakitkan yang ditujukan kepadanya.
Sementara orang-orang menyembunyikan kebencian kepadanya.
Dia datang mengkritik apa yang telah mereka peroleh
dan menghancurkan apa yang telah mereka tegakkan karena memang bangunan mereka lemah.
Maka mereka pun memperdayanya tatkala mereka berduaan dengannya di tempat yang sepi.
Kecelakaan bagi mereka yang Allah telah lumpuhkan kedua tangan mereka terhadapnya.
Mereka merobek keningnya dengan kunci besi hingga pergilah dia tanpa dibentahukan kematiannya."
Maka Syafi’i pun meninggal dunia sebagai korban dari kefanatikan mazhab pengikut Malik.
Meski
pun demikian, Mesir merupakan benih pertama, yang darinya tersebar luas
mazhab Syafi’i, sebagai hasil dari upaya dan jerih payah para sahabat
dan murid-muridnya. Apabila tidak ada mereka, mungkin nasib yang dialami
mazhab Syafi’i tidak berbeda dengan nasib mazhab-mazab lain yang
musnah.
Mazhab
Syafi’i berhasil menyebar luas di Syam dan mampu mengalahkan mazhab
mazhab al-Awza'i, setelah jabatan kehakiman dipegang oleh Muhammad bin
Usman ad-Dimasyqi asy-Syafi’i. Dengan gigih dia berusaha menyebarkan
mazhab Syafi’i di Syam, dan Oleh karena itu,lah mazhab al-Awza'i menjadi
musnah. Kemenangan mazhab Syafi’i menjadi sempurna pada masa Dinasti
Ayubiyyah, yang mana para rajanya merupakan para pemeluk mazhab Syafi’i
yang setia. Hal ini merupakan faktor yang amat membantu sekali di dalam
memperkokoh mazhab Syafi’i. Ketika datang Dinasti Mamalik di Mesir,
langkah mereka tidak bergeser dari mazhab Syafi’i. Seluruh raja-raja
mereka bermazhab Syafi’i kecuali Saifuddin yang bermazhab Hanafi, namun
dia tidak mampu memberikan pengaruh terhadap penyebaran mazhab Syafi’i.
Dengan
demikian, nama Syafi’i menjadi harum dan terkenal karena perantaraan
raja dan sultan. Jika tidak, maka tentu mazhabnya akan menjadi mazhab
yang terlupakan.
4. IMAM AHMAD BIN HANBAL
Dia
adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal. Dilahirkan pada tahun 164 Hijrah,
di kota Baghdad, menurut pendapat yang lebih masyhur, atau di kota
Marwa, menurut pendapat yang lebih lemah. Ahmad tumbuh sebagai yatim di
bawah asuhan ibunya. Dia sudah mempunyai perhatian kepada ilmu ketika
dia berumur lima belas tahun, yaitu pada tahun 179 Hijrah. Dia belajar
ilmu hadis, setelah belajar membaca Al-Qur'an dan bahasa. Guru pertama
tempat dia menimba ilmu ialah Hisyam bin Basyir as-Silmi, yang wafat
pada tahun 183 Hijrah. Ahmad bin Hanbal menyertainya selama tiga tahun
atau lebih. Dia telah melakukan perjalanan ke Mekkah, Kufah, Basrah,
Madinah, Yaman, Syam dan Irak untuk mencari hadis. Di kota-kota tersebut
dia berguru kepada sekumpulan para ulama, yang tidak perlu kita
sebutkan di sini, namun yang terpenting dari mereka adalah Syafi’i;
sehingga aneh sekali apabila orang-orang Hanbali mengatakan Syafi’i
sebagai murid Ahmad bin Hanbal.
Ahmad
bin Hanbal mempunyai murid yang banyak sekali, namun yang paling
terkenal dari mereka ialah Ahmad bin Muhammad bin Hani, yang terkenal
dengan panggilan al-Atsram, yang wafat pada tahun 261 Hijrah, kemudian
Shalih bin Ahmad bin Hanbal, putra tertua Ahmad bin Hanbal, dan kemudian
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, yang wafat pada tahun 290 Hijrah, dia
meriwayatkan hadis dari ayahnya.
Kitab-Kitab Peninggalan Ahmad
Ahmad
tidak pernah menulis sebuah kitab di dalam bidang fikih yang terhitung
sebagai kitab induk, yang menjadi tempat pengambilan mazhab fikihnya.
Dia hanya mempunyai kitab-kitab yang terhitung sebagai kitab-kitab fikih
tematik, seperti kitab al-Manasik al-Kabirah, al-Manasik ash-Shaghirah,
dan Risalah Shaghirah fi ash-Shalah. Namun, kitab-kitab tersebut tidak
lebih hanya merupakan kitab-kitab hadis, meski pun terhadap beberapa
temanya dilakukan penjelasan dan pembahasan.[206]
Dia
terkenal tidak mau menulis kitab yang memuat tafri' (pencabangan) dan
ra'yu. Pada suatu hari dia pernah berkata kepada Usman bin Sa'id,
"Janganlah kamu melihat kepada isi kitab Abi 'Ubaid, juga kepada kitab
yang ditulis oleh Ishaq, Sufyan, Syafi’i dan Malik. Kamu harus berpegang
kepada pokok."
Yang
paling termasyhur dari karyanya di dalam bidang hadis adalah kitab
musnadnya, yang mencakup empat puluh ribu hadis, di mana sepuluh ribu
hadis darinya disebut berulang. Ahmad bin Hanbal amat percaya dengan
kitab musnadnya. Ketika dia ditanya tentang sebuah hadis, dia berkata,
"Lihatlah, jika terdapat di dalam musnad maka itu hujjah, namun jika
maka itu bukan hujjah." Banyak dari para huffazh yang meragukannya, dan
mereka tidak mempercayai semua yang ada di dalamnya; bahkan dengan
lantang mereka mengatakan akan adanya riwayat-riwayat palsu. Namun di
sini bukan tempatnya kita membahas masalah ini.
Malapetaka Yang Menimpa Ahmad bin Hanbal.
Sesungguhnya
tikungan yang paling tampak dalam sejarah kehidupan Ahmad bin Hanbal
ialah malapetaka yang menimpanya disebabkan perkataannya bahwa Al-Qur'an
itu bukan makhluk. Malapetaka yang menimpa dia dimulai pada zaman
Makmun yang memerintahkan manusia dengan kekerasan untuk mengatakan
bahwa Al-Qur'an itu makhluk. Makmun adalah seorang mutakallim yang alim.
Dia mengirimkan surat edaran kepada seluruh gubernurnya, dan
memerintahkan kepada mereka untuk menguji manusia akan keyakinan bahwa
Al-Qur'an itu makhluk. Di dalam surat edarannya itu dia mengatakan,
"Sesungguhnya wajib atas khalifah kaum Muslimin untuk menjaga dan
menegakkan agama, serta melaksanakan kebenaran pada rakyat. Amirul
Mukminin telah mengetahui bahwa sebagian besar dari kalangan masyarakat
umum, yang tidak mempunyai pandangan dan perenungan, tidak mempunyai
argumentasi yang berdasarkan petunjuk dan hidayah Allah, dan tidak
diterangi oleh cahaya ilmu dan argumentasi, mereka itu orang-orang yang
bodoh akan Allah SWT, buta terhadap-Nya, tersesat dari hakikat
agama-Nya, tauhid-Nya dan iman kepada-Nya, menyimpang dari
tanda-tanda-Nya yang amat jelas, tidak mampu menghargai Allah sesuai
dengan kadar-Nya, dan tidak mampu mengetahui hakikat pengenalan-Nya;
disebabkan karena lemahnya pandangan-pandangan mereka, kurangnya akal
mereka, dan kelalaian mereka dari bertafakkur dan mengambil pelajaran.
Oleh karena itu, mereka menyamakan antara Allah dengan apa yang telah
diturunkan-Nya, yaitu Al-Qur'an. Lalu mereka sepakat menerapkan bahwa
Al-Qur'an itu qadim dan azali, serta tidak diciptakan oleh Allah SWT.."[207]
Dari
sinilah dimulai malapetaka "makhluknya Al-Qur'an". Ibnu Hanbal tidak
masuk ke dalam perangkap ujian kecuali pada masa Mu'tashim, disebabkan
Makmun meninggal dunia sebelum sempat mengujinya. Mu'tashim sangat keras
di dalam menguji orang. Ketika datang giliran Ahmad bin Hanbal,
Mu'tashim bersumpah tidak akan membunuhnya dengan pedang, melainkan dia
akan memukulinya dengan pukulan demi pukulan, dan kemudian
melemparkannya ke dalam ruangan yang gelap gulita yang tidak ada cahaya
sama sekali. Ahmad bin Hanbal menjalani ujian selama tiga hari. Setiap
hari dia didatangi untuk diajak dialog. Hampir saja dia tunduk kepada
pandangan penguasa, namun dengan segera dia berpegang kepada
keyakinannya dan menolak pandangan penguasa. Ketika Mu'tashim telah
merasa putus asa darinya, maka dia pun memerintahkan supaya Ahmad bin
Hanbal dipukul dengan cambuk. Ahmad bin Hanbal dipukul sebanyak 38
cambukkan. Namun, siksaan yang ditimpakan kepada Ahmad bin Hanbal tidak
terus berlanjut, bahkan Mu'tashim melepaskannya. Hal ini menimbulkan
keheranan. Apakah kejadian ini cukup untuk menjadikan Ahmad sebagai
pahlawan sejarah, padahal sejarah telah menyaksikan orang-orang yang
mengalami penyiksaan yang lebih kejam dari Ahmad dan mereka sabar?!
Kemudian, kenapa siksaan yang ditimpakan kepadanya tidak berlanjut?!
Apakah dia telah tunduk kepada perkataan sultan?!
Sebagian
dari mereka menyebutkan, bahwa masyarakat umum telah berkumpul
mengepung rumah sultan, dan mereka telah bertekad untuk menyerangnya,
maka akhirnya Mu'atshim memerintahkan untuk melepaskannya. Perkataan ini
tidak sesuai dengan kenyataan. Karena sejarah mencatat Mu'tashim
sebagai orang yang kuat dan memiliki kemauan yang keras, di samping
besarnya daerah kekuasaan yang dimilikinya, sehingga penolakan
masyarakat umum tidak akan berpengaruh kepadanya. Lantas, masyarakat
umum yang mana? Apakah mereka itu pengikut Ahmad?! Padahal Ahmad belum
dikenal sebelum peristiwa malapetaka itu, sehingga dia mempunyai
masyarakat umum. Jika memang mereka itu pengikut Ahmad, Ahmad telah
melarang mereka untuk memberontak kepada sultan..! Sehingga dengan
demikian, alasan yang dikemukakan di atas tidak memuaskan.
Tampak
jelas bahwa yang menjadi sebab kenapa Ahmad dibebaskan adalah karena
Ahmad memenuhi keinginan khalifah dan mengatakan apa yang dikatakannya.
Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh al-Jahidz di dalam suratnya
yang ditujukan kepada Ahlul Hadis, setelah dia menyebutkan malapetaka
dan ujian,
"Sahabat
kalian ini —yaitu Ahmad bin Hanbal— mengatakan bahwa tidak ada taqiyyah
kecuali di negara syirik. Jika pengakuannya yang mengatakan bahwa
Al-Qur'an itu makhluk hanyalah merupakan upaya tagiyyah darinya, maka
berarti dia telah melakukan taqiyyah di negeri Islam, dan ini berarti
dia telah membohongi dirinya. Dan jika pengakuannya itu disertai dengan
keyakinan akan kebenaran apa yang diakuinya itu, maka berarti dia bukan
lagi dari kamu dan kamu juga bukan lagi dari dia. Padahal dia tidak
melihat pedang yang terhunus, dan tidak mendapat pukulan yang banyak.
Dia hanya dipukul sebanyak tiga puluh cambukan, sehingga dengan lancar
dia mengatakan apa yang diminta oleh sultan. Padahal dia tidak
ditempatkan di ruang-an yang sempit, dan tidak diberati dengan besi."[208]
Juga
turut memperkuat apa yang dikatakan oleh al-Jahidz tentang pengakuan
Ahmad bin Hanbal bahwa Al-Qur'an itu makhluk, apa yang disebutkan oleh
Ya'qubi di dalam kitab tarikhnya. Ya'qubi berkata, "Mu'tashim menguji
Ahmad bin Hanbal di dalam masalah kemakhlukan Al-Qur'an. Ahmad berkata,
'Saya adalah seorang laki-laki yang mengetahui suatu ilmu, namun tidak
mengatakan demikian dalam masalah ini.' Maka Mu'tashim pun menghadirkan
beberapa orang fukaha untuknya, maka Abdurrahman bin Ishaq dan yang
lainnya pun berdialog dengannya. Ahmad bin Hanbal tetap tidak mau
mengatakan bahwa Al-Qur'an itu makhluk, sehingga akhirnya dia dipukul
dengan beberapa kali cambukan. Ibnu Ishaq berkata, 'Biar saya, ya Amirul
Mukminin, yang berdialog dengannya.' Mu'tashim berkata, 'Aku serahkan
urusan dia kepadamu.' Maka Ibnu Ishaq berkata, 'llmu yang kamu ketahui
ini, apakah diturunkan oleh malaikat kepadamu atau kamu mengetahuinya
dari beberapa orang?!'
Ahmad menjawab, 'Tentu, saya mengetahuinya dari beberapa orang.'
Ibnu Ishaq bertanya lagi, 'Apakah kamu ketahui sedikit demi sedikit atau secara sekaligus?'
Ahmad bin Hanbal menjawab, 'Saya mengetahuinya sedikit demi sedikit.'
Ibnu Ishaq bertanya, 'Maka berarti masih ada sesuatu yang tidak kamu ketahui.'
Ahmad bin Hanbal menjawab, 'Masih ada sesuatu yang saya tidak ketahui.'"
Ibnu Ishaq berkata, "Dan ini termasuk salah satu perkara yang tidak kamu ketahui; yang Amirul Mukminin ajarkan kepadamu."
Ahmad bin Hanbal menjawab, "Saya akan mengatakan apa yang dikatakan oleh Amirul Mukminin."
Ibnu Ishaq berkata, "Berkenaan dengan kemakhlukan Al-Qur'an?"
Ahmad menjawab, "Ya, berkenaan dengan kemakhlukan Al-Qur'an."
Lalu
Ahmad bin Hanbal pun memberikan kesaksian tentang kemakhlukan
Al-Qur'an, dan Oleh karena itu, mereka membebaskannya kembali ke
rumahnya.[209]
Pahlawan-Pahlawan Yang Tidak Tunduk Pada Keadaan
1.
Ahmad bin Nashr al-Khaza'i, yang terbunuh pada tahun 231 Hijrah. Dia
adalah salah seorang murid Malik bin Anas. Ibnu Mu'in dan Muhammad bin
Yusuf menceritakan bahwa dia termasuk salah seorang ahli ilmu. Al-Watsiq
telah mengujinya dengan pertanyaan, apa pendapatmu tentang Al-Qur'an?
Ahmad bin Nashr al-Khaza'i berkata, "Kalam Allah, dan bukan makhluk."
Maka
al-Watsiq pun memaksanya untuk mengatakan bahwa Al-Qur'an itu makhluk,
namun Ahmad bin Nashr al-Khaza'i tetap menolaknya. Kemudian al-Watsiq
bertanya lagi kepadanya tentang melihat Allah pada hari kiamat. Ahmad
bin Nashr menjawab, "Ya, Allah SWT dapat dilihat pada hari kiamat." Lalu
dia mengutip hadis-hadis yang berbicara tentang hal itu.
Al-Watsiq
berkata, "Celaka kamu. Apakah Dia dapat dilihat sebagaimana dapat
dilihatnya jisim yang terbatas dan menempati ruang. Sungguh, Anda telah
kafir dengan mengatakan Tuhan yang memiliki sifat-sifat ini."
Manakala
Ahmad bin Nashr al-Khaza'I tetap bersikeras dengan pandangannya, maka
Khalifah pun mendatangkan sebilah pedang yang dijuluki shamshamah
(pedang sekali tebas, karena sangat tajamnya). Khalifah berkata, "Saya
akan membuat perhitungan dengan orang kafir ini, yang tidak menyembah
Tuhan yang kita sembah, dan mensifati-Nya dengan sifat yang tidak kita
akui. Kemudian Khalifah berjalan menghampirinya, dan lalu memenggal
lehernya. Selanjutnya Khalifah memerintahkan supaya kepala Ahmad bin
Nashr dibawa ke kota Baghdad. Di sana, kepala Ahmad bin Nashr
ditancapkan di sebelah timur kota selama berhari-hari, dan kemudian di
sebelah barat kota beberapa hari. Ketika tubuh Ahmad bin Nashr disalib,
al-Watsiq menulis di atas secarik kertas, dan kemudian menggantungnya
pada kepala Ahmad bin Nashr. Bunyi tulisan itu sebagai berikut, "Ini
adalah kepala Ahmad bin Nashr bin Malik. Abdullah al-Imam Harun —yaitu
al-Watsiq— telah menyerunya kepada keyakinan kemakhlukan Al-Qur'an dan
penafian tasybih, namun dia bersikeras menolaknya, maka Allah SWT pun
mensegerakan dia ke dalam neraka."[210]
2.
Yusuf bin Yahya al-Buwaithi. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa dia
adalah salah seorang murid Imam Syafi’i, dan merupakan penggantinya yang
meneruskan majlis pelajarannya. Yusuf bin Yahya al-Buwaithi dibawa dari
Mesir ke Baghdad dalam keadaan tubuhnya diberati dengan empat puluh
potongan besi. Dia diminta untuk mengatakan bahwa Al-Qur'an itu makhluk,
namun dia menolaknya. Dia tetap bersikeras menolak bahwa Al-Qur'an itu
makhluk sehingga dia meninggal dunia di dalam penjara pada tahun 232
Hijrah.
Dan
banyak lagi pahlwan-pahlawan lain, yang tidak mungkin dapat disebutkan
di sini secara satu persatu, yang mana mereka lebih teguh dan lebih
keras di dalam memegang keyakinannya dibandingkan Ahmad bin Hanbal.
Sungguh merupakan kezaliman manakala disebutkan bahwa hanya Ahmad bin
Hanbal saja yang mendapat ujian, dan itu dihitung sebagai
kepahlawanannya yang terbesar. Padahal -sebagaimana Anda ketahui- Ahmad
bin Hanbal sama sekali tidak demikian.
Dia justru tunduk dan mau menerima apa yang dikatakan oleh Mu'tashim.
Ahmad Pada Masa Mutawakkil
Ketika
Mutawakkil menduduki puncak kekuasaan, dia mendekati kelompok Ahlul
Hadis dan mengintimidasi kelompok Mu'tazilah. Persis kebalikan pada masa
Ma'mun, Mu'tashim dan al-Watsiq. Mutawakkil menguji masyarakat tentang
kemakhlukan Al-Qur'an. Siapa saja yang mengatakan Al-Qur'an itu makhluk,
maka dia akan disiksa dan dibunuh. Maka kelompok Ahlul Hadis pun
menemukan sasaran mereka, dan gaung mereka pun menjadi besar. Mereka
menempati kedudukan yang tinggi, dan menuntut balas dendam dari kalangan
Mu'tazilah dengan sekejam-kejamnya.
Ahmad
Amin berkata, "Khalifah Mutawakkil ingin merangkul pendapat umum dan
mendapatkan dukungan mereka. Oleh karena itu, dia pun membatalkan
perkataannya tentang kemakhlukan Al-Qur'an, membatalkan ujian dan
pengadilan, dan menolong para ahli hadis."[211]
Merupakan
keuntungan terbesar bagi Ahmad bin Hanbal manakala dia dekat dengan
Mutawakkil. Karena dia adalah orang yang masih tersisa dari malapetka
"kemakhlukan Al-Qur'an", setelah pahlawan-pahlawannya dibunuh.
Mutawakkil berpesan kepada para gubernurnya untuk menghormati dan
menghargai Ahmad bin Hanbal. Dia juga bersimpati kepadanya dan
memberikan empat ribu dirham kepadanya setiap bulan.[212]
Maka bersinarlah bintang Ahmad, dan masyarakatpun berbondong-bondong
mendatangi pintu rumahnya, begitu juga dengan para pejabat pemerintah.
Sebagai gantinya Ahmad mengakui keabsahan kekhilafahan dan kepemimpinan
Mutawakkil serta mewajibkan ketaatan kepadanya. Pemerintah sangat
mendukung Ahmad dan menguatkan posisinya. Ini tidaklah heran karena
Ahmad berpendapat seseorang wajib taat kepada pemimpin, baik itu
pemimpin yang baik maupun pemimpin yang jahat.
Ahmad
berkata di dalam salah satu risalahnya, "Wajib hukumnya mendengar dan
taat kepada para pemimpin dan Amirul Mukminin, baik yang baik maupun
yang jahat. Baik yang menduduki kekhilafahan karena kesepakatan manusia
dan keridaan mereka kepadanya maupun orang yang mendudukinya melalui
ketazaman pedang dan kemudian disebut sebagai Amirul Mukminin. Tidak
boleh seorang pun menjelek-jelekan mereka atau menentangnya. Begitu juga
sah hukum-nya membayar zakat kepada mereka, baik pemimpin yang baik
maupun pemimpin yang jahat. Demikian juga sah hukumnya salat di belakang
mereka. Barangsiapa yang mengulangi salatnya maka dia itu pembuat
bid'ah dan penentang sunah.
Barangsiapa
yang memberontak kepada seoarang pemimpin dari para pemimpin kaum
Muslimin, sementara manusia telah sepakat atasnya dan telah mengakui
kekhilafahannya, baik karena rida maupun karena terpaksa, maka orang
yang memberontak kepadanya berarti telah mematahkan tongkat kaum
Muslimin dan telah menentang peninggalan Rasulullah saw. Jika orang yang
memberontak itu mati maka dia mati sebagai matinya orang jahiliyyah."[213]
Abu
Zuhrah mengatakan di dalam kitab yang sama, halaman 321, "Ahmad
mempunyai pandangan yang sama dengan seluruh para fukaha tentang sahnya
kepemimpinan orang yang menguasai kepemimpinan dan kemudian manusia
meridainya serta memberlakukan hukum yang sesuai di antara mereka.
Bahkan, Ahmad berpendapat lebih jauh dari itu. Dia mengatakan bahwa
barangsiapa yang menguasai kepemimpinan, meskipun dia seorang yang suka
berbuat maksiat, maka wajib taat kepadanya, supaya tidak timbul fitnah."
Oleh
karena itu, kita mendapati para pengikutnya dari kalangan salafi dan
Wahabi, mereka menetapkan Husain bin Ali as sebagai seorang yang durhaka
dan wajib dibunuh oleh Yazid, dikarenakan dia telah memberontak kepada
pemimpin zamannya. Saya telah mende-ngar sendiri dengan telinga saya
bagaimana salah seorang dari mereka mendebat saya dan membela Yazid
dengan keras. Dia berkata, "Husain telah memberontak kepada pemimpin
zamannya, maka Oleh karena itu, dia wajib dibunuh." Lihatlah, betapa
orang ini telah bertaklid secara buta kepada orang-orang sebelumnya. Apa
nilai Ahmad bin Hanbal dihadapan Husain bin Ali as, sehingga saya harus
mengatakan apa yang dikatakannya, melakukan apa yang difatwakannya, dan
menuduh Husain bin Ali telah berbuat zalim dan durhaka?!
Jika
kita melepaskan diri kita dari taklid buta yang semacam ini, lalu
kemudian kita merenungi ayat-ayat Al-Qur'an, niscaya yang demikian akan
lebih baik dan lebih dekat kepada kebenaran. Allah SWT berfirman, "Dan
janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan
kamu disentuh api neraka." (QS. Hud: 113)
"Dan
janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari
mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu
melewati batas." (QS. al-Kahfi: 28)
Allah SWT juga berfirman, "Makajanganlah kamu mengikuti orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah)." (QS. al-Qalam: 8)
Pada
ayat yang lain Allah SWT juga berfirman, "Dan janganlah kamu mentaati
perintah orang-orang yang melewati batas." (QS. asy-Syu'ara: 151)
Namun
mereka telah meninggalkan Al-Qur'an, dan berhujjah dengan
riwayat-riwayat yang dibuat oleh para penguasa Bani Umayyah, supaya
manusia tunduk kepada kekuasaan mereka. Ahlul Bait telah menolak
hadis-hadis ini dengan hadis-hadis yang benar dan sejalan dengan
Al-Qur'an serta selaras dengan ruh Islam.
Imam
Ja'far ash-Shadiq as berkata, "Barangsiapa yang suka kelangsungan hidup
orang-orang yang zalim maka berarti dia suka Allah didurhakai." Di
samping perkataan ini merupakan hadis, dia juga merupakan dalil akal
yang kokoh. Karena hadis ini melihat bahwa barangsiapa yang tunduk dan
taat kepada orang yang zalim serta tidak melakukan penentangan
terhadapnya maka berarti dia suka tetap berlangsungnya kedurhakaan
kepada Allah. Allah SWT berfirman,
"Barangsiapa
yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka
itu adalah orang-orang yang kafir." (QS. al-Maidah: 44)
"Barangsiapa
yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang yang zalim." (QS. al-Maidah: 45)
"Barangsiapa
yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang yang fasih. " (QS. al-Maidah: 47)
Di
samping ayat-ayat Al-Qur'an dan riwayat-riwayat yang memerintahkan
kepada amar makruf dan nahi munkar. Oleh karena itu, tatkala Husain bin
Ali as hendak melakukan perlawanan terhadap thagut pada zamannya dia
berkata, "Wahai manusia, sesungguhnya Rasulullah saw telah bersabda,
'Barangsiapa yang melihat seorang penguasa zalim yang menghalalkan apa
yang telah diharamkan Allah, melanggar perjanjian Allah, menentang sunah
Rasulullah, dan berbuat dosa dan permusuhan terhadap hamba-hamba Allah,
lalu dia tidak berusaha untuk merubahnya dengan perkataan dan
perbuatan, maka Allah berhak untuk memasukkannya ke dalam tempat masuk
penguasa zalim tersebut. Ingatlah, sesungguhnya mereka itu telah
mendawamkan ketaatan kepada setan, meninggalkan ketaatan kepada Tuhan,
menimbulkan kerusakan, membekukan hukum, memonopoli pampasan perang,
serta menghalalkan apa yang telah Allah haramkan dan mengharamkan apa
yang telah Allah halalkan, padahal aku lebih berhak dari selainku."[214]
Namun,
apa yang harus kita katakan kepada orang yang telah meninggalkan para
Imam Ahlul Bait dan menggantinya dengan para imam buatan yang tidak
Allah SWT perintahkan kepada kita untuk mentaatinya. Allah SWt
berfirman,
"Dan
mereka berkata, 'Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati
pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan
kami dari jalan yang benar. Ya Tuhan kami, berilah kepada mereka azab
dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar.'"
(al-Ahzab: 67 - 68)
Sungguh
besar kejahatan terhadap umat Islam yang telah dilakukan oleh para
penguasa Bani Umayyah, dengan membuat hadis-hadis palsu ini. Begitu
juga, betapa besar dosa dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh Ahmad bin
Hanbal ini. Betapa fatwa ini telah mengecewakan generasi revolusioner
Islam yang menolak kezaliman dan kediktatoran pada abad yang digambarkan
sebagai abad kebangkitan dan pencerahan ini. Jika di sana terdapat
kejahatan yang telah dilakukan oleh sekelompok pemuda yang bergabung di
bawah bendera ajaran komunis, maka kejahatan terbesar justru dilakukan
oleh para ulama jahat.
Fikih Ahmad bin Hanbal
Sudah
dikenal bahwa Ahmad bin Hanbal adalah seorang ahli hadis dan bukan
seorang fakih. Para pengikutnya telah mengumpulkan sebagian pendapatnya
yang beraneka ragam, yang dinisbahkan kepadanya, dan kemudian
menjadikannya sebagai sebuah mazhab fikih. Oleh karena itu, kita
mendapati kumpulan hukum fikih yang dinisbahkan kepada Ahmad bin Hanbal
bermacam-macam dan saling bertentangan. Di samping perbedaan mereka di
dalam menafsirkan maksud dari beberapa ungkapan, yang darinya tidak
dapat dipahami hukum agama dalam suatu masalah. Seperti ungkapan "la
yanbaghi" (tidak selayaknya), apakah ungkapan ini dimaksudkan untuk
menunjukkan hukum haram atau hukum makruh. Demikian juga ungkapan
"yu'jibuni" (membuat saya kagum) dan ungkapan "la yu 'jibuni" (tidak
membuat saya kagum), serta ungkapan "akrohuhu" (saya membencinya) dan
ungkapan "uhibbuhu" (saya menyukainya).
Di
samping itu, Ahmad juga tidak mengaku dirinya termasuk ahli fikih.
Bahkan, dia menghindarkan diri dari mengeluarkan fatwa. Khatib berkata
dengan disertai sanadnya, "Saya pernah berada di samping Ahmad. Lalu
seorang laki-laki bertanya kepadanya tentang halal dan haram. Ahmad
berkata kepadanya, 'Tanyalah kepada orang lain selain kami.' Orang itu
berkata, 'Kami hanya menginginkan jawaban darimu, wahai Aba Abdillah.'
Ahmad tetap berkata, 'Tanyalah kepada selain kami. Tanyalah para fukaha,
dan tanyalah Abu Tsaur.'"[215] Dia tidak menganggap dirinya termasuk ke dalam kelompok para fukaha.
Al-Marwazi
berkata, "Saya mendengar Ahmad berkata, 'Adapun tentang hadis, kami
telah beristirahat darinya; sedangkan mengenai masalah-masalah fikih,
saya telah bertekad, jika saya ditanya tentang sesuatu maka saya tidak
akan menjawab.'"[216]
Khatib
menyebutkan sekaligus dengan sanadnya, bahwa dia mendatangi Ahmad bin
Harb (seorang zuhud dari Naisabur) yang datang dari Mekkah. Lalu Ahmad
bin Hanbal berkata kepada saya, "Siapa orang Khurasan yang datang ini?"
Saya jawab, "Dia adalah orang zuhud yang begini begini."
Ahmad
bin Hanbal berkata, "Tidak layak bagi seseorang yang mengklaim sifat
zuhud memasukkan dirinya ke dalam urusan pemberian fatwa.'"[217]
Inilah
kebiasaannya. Dia tidak masuk ke dalam urusan pemberian fatwa. Bahkan
dia memandang urusan pemberian fatwa tidak sejalan dengan sifat zuhud.
Bagaimana mungkin dari orang yang seperti ini memiliki fikih atau mazhab
yang diikuti di dalam urusan-urusan ibadah?!
Abu
Bakar al-Asyram —murid Ahmad bin Hanbal— berkata, "Dahulu saya hafal
fikih dan perbedaan-perbedaannya, namun sejak saya menyertai Ahmad saya
meninggalkan semuanya itu."
Ahmad bin Hanbal berkata, "Janganlah kamu berkata tentang suatu masalah yang kamu tidak mempunyai imam di dalamnya."[218]
Atau
dengan ungkapan yang lebih jelas, "Janganlah kamu memberikan fatwa
meski pun di tanganmu ada hadis, kecuali jika kamu mempunyai imam tempat
kamu bersandar di dalam fatwa ini."
Ahmad
bin Hanbal juga tidak melihat perlunya dilakukan tarjih (menguatkan
yang satu atas yang lain) di antara perkataan-perkataan para sahabat,
jika mereka berselisih di dalam suatu masalah. Dia malah berpendapat
silahkan Anda mengikuti mana yang Anda suka. Inilah jawaban yang
diberikannya kepada Abdurrahman ash-Shair tatkala Abdurrahman ash-Shair
bertanya kepadanya, "Apakah mungkin dilakukan tarjih di antara
perkataan-perkataan para sahabat?"
Orang
yang melarang dilakukannya tarjih dan mengambil perkataan yang paling
maslahat adalah orang yang paling jauh dari ijtihad. Salah satu bukti
yang menunjukkan akan tidak adanya mazhab fikih Ahmad bin Hanbal ialah,
banyak dari kalangan para sahabatnya yang fanatik kepadanya berselisih
berkenaan dengan mazhab fikih mereka.
Apakah
mereka itu orang-orang Hanafi atau orang-orang Syafi’i? Seperti Abul
Hasan al-Asy'ari, manakala dia meninggalkan paham Mu'tazilah dan menjadi
seorang Hanbali, dia tidak dikenal sebagai orang yang memeluk agama
Allah dengan fikih Hanbali. Demikian juga halnya dengan Qadhi
al-Baqalani, yang tadinya seorang Maliki. Begitu juga dengan Abdullah
al-Anshari al-Harawi, yang wafat pada tahun 481 Hijrah, yang mengatakan,
"Aku adalah Hanbali
selama aku hidup dan sesudah aku mati
Pesanku kepada manusia,
hendaknya mereka menjadi orang-orang Hanbali."
Meski
pun dia begitu fanatik kepada Ahmad bin Hanbal, namun di dalam fikih
dia mengikuti jalan Ibnu Mubarak. Inilah yang banyak dikenal dari
orang-orang sezaman dengannya dan dari orang-orang yang dekat dengan
masanya. Orang-orang yang menisbahkan dirinya kepadanya adalah
orang-orang yang menisbahkan dirinya dalam bidang keyakinan, bukan dalam
bidang fikih.
Di
samping itu, di dalam risalahnya Ahmad bin Hanbal melarang penggunaan
ra'yu, qiyas dan istihsan, dan meletakkan orang-orang yang meyakini
qiyas ke dalam deretan orang-orang Jahmiyyah, Qadhariyyah dan rafidhah
(Syi'ah). Dia juga menyerang pribadi Abu Hanifah. Meski pun demikian,
penggunaan qiyas telah dimasukkan ke dalam fikih Hanbali. Inilah yang
menjadikan kita curiga bahwa Ahmad bin Muhammad bin Harun (Abu Bakar
al-Khalal), yang wafat pada tahun 311 Hijrah, yang merupakan perawi dan
penukil fikih Hanbali, tidak amanah di dalam melakukan penukilan. Dia
melakukan pencampuran di dalam penukilannya. Terlebih lagi bahwa Ahmad
bin Muhammad bin Harun tidak hidup sezaman dengan Ahmad bin Hanbal.
Ahmad bin Muhammad bin Harun telah mengumpulkan berbagai macam masalah
fikih yang dinisbahkan kepada Ahmad bin Hanbal. Kecurigaan ini pun
dikuatkan oleh adanya perselisihan riwayat yang hebat di dalam
perkataan-perkataan Ahmad, sehingga sulit bagi akal untuk menisbahkan
seluruhnya kepada Ahmad bin Hanbal.
Abu
Zuhrah berkata, "Sesungguhnya fikih yang ternukil dari Ahmad bin
Hanbal, saling berlawanan sedemikian rupa perkataan-perkataannya
sehingga sulit bagi akal untuk menisbahkan seluruhnya kepadanya. Bukalah
kitab mana saja dari kitab-kitab Hanbali, dan bab mana saja dari
bab-babnya, niscaya Anda akan mendapati dia tidak terbebas dari beberapa
masalah yang riwayat-riwayatnya saling berlawanan, antara 'tidak' dan
'ya'."[219]
Mazhab
fikih Hanbali tidaklah jelas bagi bagi orang-orang yang hidup sezaman
dengannya, dan memang tidak ada; dia tidak lebih hanya semata-mata
mazhab buatan yang disebarkan dengan kekerasan dan pemaksaan oleh para
pengikut Hanbali. Seperti yang terjadi di kota Baghdad, yang sebelumnya
dikuasai oleh mazhab Syi'ah. Sedangkan di luar kota Baghdad mazhab ini
tidak dikenal. Pada abad ketujuh, hanya beberapa orang saja yang memeluk
mazhab ini di Mesir. Namun, tatkala Muwaffaquddin Abdullah bin Muhammad
bin Abdul Malik al-Hijazi menduduki posisi jabatan kehakiman, yang
wafat pada tahun 769 Hijrah, maka mazhab Hanbali pun tersebar dengan
perantaraannya. Dia mendekati para fukaha mazhab Hanbali dan meninggikan
kedudukan mereka. Sedangkan di daerah-daerah lain nama mazhab Hanbali
tidak banyak disebut. Ibnu Khaldun memberikan analisa tentang hal itu,
"Adapun Ahmad, jumlah mukallidnya sedikit, dikarenakan mazhabnya jauh
dari ijtihad." Sebagaimana yang dia sebutkan di dalam kitabnya
al-Muqaddimah. Orang-orang Hanbali tidak menemukan jalan untuk
menyebarluaskan mazhab mereka kecuali dengan kekacauan dan melakukan
pemukulan terhadap orang di jalan-jalan, sehingga menggoyahkan
stabilitas yang ada di kota Baghdad. Maka keluarlah maklumat dari
Khalifah ar-Radhi yang menyalahkan tindakan mereka dan mengecam mereka
karena keyakinan mereka tentang tasybih (penyerupaan Allah dengan
makhluk). Beberapa peng-galan dari maklumatnya berbunyi sebagai berikut,
"Kalian mengira wajah kalian yang buruk serupa dengan Tuhan semesta
alam, dan bentuk kalian yang jelek serupa dengan bentuk-Nya. Kalian juga
menyebutkan telapak tangan, jari jemari, dua kaki naik ke langit dan
turun ke dunia. Mahatinggi Allah dari segala sesuatu yang dikatakan oleh
orang-orang yang zalim dan kufur."[220]
Maka
demikianlah keadaan mazhab Hanbali. Mereka tidak mempunyai banyak
pengikut. Orang-orang lari dari mereka disebabkan keyakinan-keyakinan
yang mereka miliki tentang Allah dan penyerupaan yang mereka lakukan
terhadap Allah dengan makhluk-Nya. Mereka mensifati Allah dengan
sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya. Mazhab ini tidak menemukan
kesempatan yang cukup untuk menyebarkan ajarannya, hingga datanglah
mazhab Wahabi di bawah pimpinan Muhammad bin Abdul Wahab, yang dibangun
di atas garis mazhab Hanbali. Penguasa Keluarga Su'ud membantu Muhammmad
bin Abdul Wahab menyebarkan mazhabnya dengan ketazaman pedang, pada
awalnya, dan melalui aliran uang rial, pada akhirnya. Sungguh sangat
disayangkan, banyak sekali manusia yang berpegang kepada fikih Hanbali
dengan tanpa mempunyai alasan kecuali hanya bersandar kepada kata-kata
"Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu agama dan
sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka."
Jika
tidak demikian, maka mau tidak mau mereka harus membuktikan
argumentasi-argumentasi mereka di dalam tiga hal: Pertama, tentang
kedudukan Ahmad bin Hanbal sebagai fakih. Kedua, bahwa fikih yang
dinisbahkan kepada Ahmad bin Hanbal tidak dipalsukan. Dan yang ketiga,
mereka harus membuktikan dalil yang kuat yang menunjukkan wajibnya
mengikuti Ahmad bin Hanbal. Karena jika tidak, maka itu tidak lain hanya
mengikuti sesuatu berdasarkan sangkaan. Padahal sesungguhnya sangkaan
itu tiada memberikan faidah sedikit pun terhadap kebenaran. Di samping
itu, orang-orang yang fanatik kepada Ahmad bin Hanbal pun, seperti Ibnu
Qutaibah, tidak menyebut Ahmad ke dalam kelompok para fukaha. Jika
memang dia seorang fakih dan mujtahid maka tentu Ibnu Qutaibah tidak
akan mengurangi haknya. Demikian juga Ibnu Abdul Barr tidak menyebut
namanya manakala dia menyebut nama-nama para fukaha di dalam kitabnya
al-Intiqa. Begitu juga Ibnu Jarir ath-Thabari, penulis kitab tafsir dan
tarikh, dia tidak menyebut nama Ahmad bin Hanbal di dalam kitabnya
Ikhtilaf al-Fuqaha. Ibnu Jarir ath-Thabari ditanya tentang hal itu. Dia
menjawab, "Ahmad bukan seorang fakih melainkan seorang muhaddis, dan
saya tidak melihat dia mempunyai para sahabat tempat dia bergantung."
Para pengikut Hanbali merasa tersinggung dengan ucapan Ibnu Jarir
ath-Thabari lalu mengatakan, "Dia itu (Ibnu Jarir) seorang rafidhi.
Tanyalah kepadanya tentang hadis 'duduk di atas 'arasy', niscaya dia
akan mengatakan, 'Sesungguhnya itu mustahil.'" Kemudian ath-Thabari
membacakan syair,
"Mahasuci Zat yang tidak mempunyai teman dan tidak duduk di atas 'arasy."
Maka
mereka pun melarang orang-orang untuk duduk dan datang menemui
ath-Thabari. Mereka melontarkan tuduhan terhadapnya di mihrab-mihrab
mereka. Ketika ath-Thabari sedang berada di rumahnya, mereka
melemparinya dengan batu sehingga batu itu bertumpuk.[221]
Ini
menunjukkan kefanatikan dan penyimpangan para pengikut Hanbali di dalam
menyebarkan mazhab mereka, yang tidak diakui oleh para ulama. Syeikh
Abu Zharah berkata, "Banyak dari kalangan orang-orang terkemuka tidak
menghitung Ahmad termasuk ke dalam kelompok fukaha, seperti Ibnu
Qutaibah, yang sangat dekat sekali dengan masa Ahmad, Ibnu Jarir
ath-Thabari dan yang lainnya.
▪▪▪▪
PENUTUP
Setelah
kita menjelaskan madrasah-madrasah fikih di kalangan Ahlus Sunnah,
tampak jelas bagi kita bahwa tidak ada kelebihan yang dimiliki
mazhab-mazhab ini atas mazhab-mazhab yang lainnya, sehingga bisa
tersebar ke seluruh dunia Islam, sekiranya para penguasa tidak
menetapkan para Imam mazhab yang empat sebagai satu-satunya sumber
rujukkan fikih. Karena penguasa yang sedang berkuasa tidak mungkin
memerangi agama, bahkan sebaliknya mereka menolong dan mendekati para
ulama, namun dengan syarat bahwa ajaran-ajaran mereka tidak mengganggu
kepentingan-kepentingan kekuasaan. Sehingga dengan demikian, kedudukan
seorang penguasa berada di atas yang lainnya.
Oleh
karena itu, kita mendapati mazhab yang empat telah dipilih oleh para
penguasa dari sekian ratus mazhab yang ada, dan mereka mendapat
pengampunan dan keridaan sultan. Para penguasa mendudukkan para murid
mazhab-mazhab tersebut pada jabatan kehakiman dan menjadikan urusan
agama berada di tangan mereka. Kemudian mereka menyebarkan mazhab-mazhab
pendahulu mereka yang sesuai dengan keinginan penguasa. Sebagaimana
yang telah dijelaskan di atas.
Kebijaksanaan
pada masa kekuasaan al-Muntashir al-Abbasi menetapkan keharusan
berpegang kepada perkataan tokoh-tokoh terdahulu, dan tidak boleh sebuah
perkataan disebutkan bersama perkataan mereka. Sementara para ulama di
seluruh negeri memberi fatwa akan wajibnya mengikuti mazhab yang empat
dan mengharamkan mazhab yang lainnya, serta menutup pintu ijtihad.
Ahmad
Amin berkata, "Penguasa mempunyai peranan yang besar di dalam
memenangkan mazhab-mazhab Ahlus Sunnah. Biasanya, jika sebuah
pemerintahan yang kuat mendukung sebuah mazhab maka orang-orang akan
mengikuti mazhab tersebut. Mazhab tersebut akan terus berkuasa sampai
lenyapnya pemerintahan yang mendukungnya."[222]
Setelah semua penjelasan ini, apakah masih ada orang yang berargumentasi tentang wajibnya mengikuti mazhab yang empat?!
Apakah memang ada dalil yang mengatakan bahwa mazhab hanya terbatas pada mazhab yang empat?!
Jika
di sana tidak ada dalil yang menunjukkan tentang wajibnya berpegang
kepada mereka, apakah itu berarti Allah dan Rasul-Nya telah lalai akan
masalah ini, dan tidak menjelaskan kepada mereka tentang dari mana
seharusnya mereka mengambil agama mereka dan syariat hukum mereka?!
Mahasuci
Allah dari membiarkan makhluk-Nya dengan tanpa menjelaskan kepada
mereka hukum-hukum mereka dan jalan yang akan menyelamatkan mereka.
Allah SWT telah menjelaskan melalui lidah Rasulullah saw dan telah
menegakkan hujjah akan wajibnya mengikuti 'itrah Rasulullah saw. Akan
tetapi, manakala 'itrah Rasulullah saw yang suci menentang para penguasa
zalim yang sezaman dengan mereka dan juga orang-orang yang merampas
hak-hak mereka, maka para penguasa berusaha memalingkan manusia dari
mereka dan melarangnya untuk berpegang kepada mereka. Karena, manusia
kebanyakan hanya mengikuti orang yang keras suaranya. Mereka akan
bergerak ke arah mana pun angin bergerak. Mereka tidak mencari sinar
dengan cahaya ilmu dan tidak berlindung kepada pilar yang kokoh.
Sebaliknya,
Anda dapat melihat kepada madrasah Ahlul Bait —Syi'ah— yang tidak
memerlukan para penguasa untuk mencemerlangkan para fukahanya. Bahkan
mereka berpegang teguh kepada apa yang telah dikatakan oleh Rasulullah
saw, "Sesungguhnya aku tinggalkan padamu dua benda yang sangat berharga,
yaitu Kitab Allah dan 'itrah Ahlul Baitku. Sesungguhnya Zat yang
Mahatahu telah memberitahukan aku bahwa keduanya tidak akan pernah
berpisah hingga keduanya menemuiku di telaga."
Mereka
berpegang kepada 'itrah Rasulullah saw dan mengambil agama dan
pemikiran mereka darinya. Mereka tidak menyalahi Ahlul Bait Rasulullah
dan tidak mendahuluinya, serta mereka tidak membutuhkan kepada yang lain
untuk memberikan fatwa. Mereka hanya mengambil dari orang-orang yang
perkataannya berasal dari perkataan datuknya, dan perkataan datuknya
adalah perkataan Rasulullah saw, serta perkataan Rasulullah saw adalah
perkataan Jibril, dan perkataan Jibril adalah perkataan Allah SWT.
Seorang penyair berkata,
"Jika engkau ingin mencari mazhab untuk dirimu yang akan membebaskan kamu pada hari kebangkitan dari nyala api neraka maka tinggalkanlah olehmu perkataan Syafi’i, Malik dan Ahmad, yang diriwayatkan dari Ka'ab al-Ahbar dan berpeganglah kepada orang-orang yang perkataan dan ucapannya, 'Datuk kami telah meriwayatkan dari Jibril, dari al-Bari (Pencipta).'"
(al-shia/Ahlul-Baytku/Syiahali/ABNS)
(al-shia/Ahlul-Baytku/Syiahali/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email