Pesan Rahbar

Home » » Apakah Ali dan Zubair Mengakui Abu Bakar Berhak Menjadi Khalifah?

Apakah Ali dan Zubair Mengakui Abu Bakar Berhak Menjadi Khalifah?

Written By Unknown on Tuesday 9 September 2014 | 20:08:00


Kita lihat disini website Wahabi sebagai berikut:
http://biruny.blogspot.co.id/2012/04/ali-bin-abi-thalib-mengakui.html

___________________________________

ALI BIN ABI THALIB MENGAKUI KEKHALIFAHAN ABU BAKAR AS-SHIDDIQ

Posted by BIRUNY at 22:03 on Thursday, 19 April 2012
Alhamdulillah Puji puja dan sukurku tak henti-hentinya kepada pemilik alam semesta ini, pengatur hidup makhluk ini, pengasih dan penyayang setiap makhluknya, maha adil, maha bijaksana, maha pengampun hambanya yang kembali kepadanya. Sholawat dan Salam Allah, Malaikat dan semua makhluk, tetap tercurah tanpa henti-hentinya kepada makhluk yang paling mulia, kekasih raja alam, pemimpin manusia, Nabi muhammad SAW, beserta keluarga, para sohabat, tabi’in, tabi’u tabi’in, dan semua yang mengikuti mereka hingga Akhir alam ini. Dari akun FB yang bernama
Syach Titan –>>Buat para syiah
Ali bin Abi Thalib mengakui dan mendukung Abu Bakar sebagai Khalifah sebagaimana yg beliau sebut menjawab akam Mu’awiyah bin Abu Sufyan ra Gubernur Syam: “Telah mengangkat kaum yg mengangkat akan Abu Bakar, Umar, dan Ustman, baik orang yg hadir atau yg tidak hadir untuk memilih yg lain atau menolaknya, karena musyawarah dalam hal ini berlaku hanya bagi golongan Muhajirin dan Anshar. Bila kedua golongan ini telah sepakat mengangkat seseorang menjadi Imam(penguasa atau khalifah) MAKA ITULAH KERIDHAAN ALLOH. Siapa yg keluar dari ketetapan ini berarti keluar dari kebenaran, mereka harus dianjurkan untuk kembali, bila menolak maka mereka(orang banyak) harus membunuhnya karena keluar dari jalan yang ditetapkan orang-orang beriman, KEKUASAAN YANG TELAH DIKUASAKAN OLEH ALLOH. (Lihat Nahjul Balaghah hal.366-367 yang ditahqiq Shubhi Shalih, cetakan Beirut).
Dan Ali berkata: “Kamu telah mengangkat saya berdasarkan pengangkatan yang berlaku sebelum saya. Pilihan hanya berlaku sebelum pengangkatan, sesudah pengangkatan tidak ada pilihan lain lagi. (Lihat kitab Syi’ah Nasikhut Tawarikh juz 3 bab 2). Ini ayat yang jelas bahwa kekhalifahan dibentuk atas dasar kesepakatan kaum Muslimin, ini Ijma’.
Atas dasar perkataan Ali lah kekhalifahan ini dari perkataan Ali yang mengatakan: “Kita ridha dengan qadla yang telah ditetapkan oleh Alloh, dan kami menerima karena Alloh perintah-NYA, maka aku menilik akan urusanku, maka ternyata ketaatanku telah mendahului akan bai’atku, yaitu janji terpikul dikudukku untuk lainku”. (Lihat Nahjul Balaghah hal.81 khotbah 37, cetakan Beirut yang ditahqiq oleh Shubhi Shalih).
Ali bin Abi Thalib berkata: “Maka aku berjalan ketika itumendapatkan Abu Bakar, lalu aku mengangkatnya, aku tampil disaat itu….maka tetaplah kekuasaan Abu Bakar, berlaku jujur, menggampangkan, saling mendekati dan berhati-hati. Maka aku selalu mendampingi beliau(Abu Bakar) sebagai penasihat, aku mentaatinya selama ia mentaati Alloh secara sungguh-sungguh”. (Lihat kitb Syi’ah Manarul Huda karya Ali-Albahrany yg Syi’ah hal.373, juga Nasikhut Tawarikh juz 3 hal.532).
Diriwayatkan oleh At-Thusy dari Ali bin Abi Thalib bahwa tatkala beliau berkumpul bersama kelompok yang dikalahkan dalam perang Jamal, beliau berkata kepada mereka: “Maka kamu mengangkat Abu Bakar dan membelot dari saya, maka aku angkat Abu Bakarsebaimana kamu telah mengangkatnya…., maka aku angkat Umar sebaimana kamu telah mengangkatnya, maka aku patuhi pengangkatannya….,lalu kamu mengangkat Utsman bin Affan maka akupun mengangkatnya, sedang aku duduk dirumahku, kemudian kamu mendatangiku tanpa undangan dan tidak membenci seorangpun dari kamu. Lalu kalian membai’atku sebagaimana kalian memba’iat Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Apa salahnya kalau kesetiaanmu kepada mereka itu kalian teruskan kesetiaan kalian kepadaku”. (aL-Amali oleh At-Thusi, hal.121, cetakan Nejef)
Apakah kekhalifahan itu di-Nash-kan(harus berdasar Alqur’an dan hadits)???. Tentang ini ada dalil yang tegas bahwa Ali bin Abi Thalib tidak berpendapat bahwa kekhalifahan dan Imamah itu harus berdasarkan Nash, dan bahwa Imamah adalah janji Alloh yang dijanjikan dari seseorang kepada yang lain. (Lihat Ushul Minal Kafy, kitab Al-Hujjah juz 1 hal.227). Dan bahwa Imamah adalah janji dari Rasululloh dari seseorang laki-laki kepada laki-laki yang lain. (Lihat Ushul Minal Kafy, juz 1 hal.227).
Karena kalau Ali berpendapat harus dengan Nash, maka Ali tidak akan mengakui kekhalifahan Abu Bakar, dan tidak mungkin beliau menjadi penasihat Abu Bakar. Lebih-lebih lagi Ali tidaklah akan berkata kepada Ali Jamal: “Kemudian kamu mendatangi saya tanpa saya undang”, sebab bila beliau sendiri merasa menjadi Imam(kepala Negara) menurut ketetapan Alloh tentulah panggilan mereka akan senantiasa ditujukan kepada beliau, dan tidak pernah berkata kepada mereka sebelum itu, sebagaimana yang beliau serukan untuk mengangkat beliau sesudah wafatnya Ustman bin Affan: “Tinggalkanlah akan aku, dan carilah selain aku, kami menghadapi persoalan yang punya berbagai rupa dan warna., yang tak dimantapi oleh hati dan tidak ditetapkan oleh akal sampai beliau mengatakan jika kamu meninggalkan akan aku maka aku menjadi salah seorang dari kamu, dan mudah bagi aku menjadi orang paling patuh dan tat terhadap orang yang kamu pilih mengendalikan urusan kamu, DAN SAYA BAGIMU SEBAGAI WAZIR ADALAH LEBIH BAIK BAGIMU DARIPADA AKU MENJADI AMIR(Khalifah)”. (Lihat Najhul Balaghah, khutbah 92, hal.136 cetakan Beirut)
Didalam kitab Nahjul Balaghah dituliskan Imam Ali al-Murtadla berkata akan dirinya sendiri: “Aku menjadi pengikut lebih baik daripada menjadi Imam”.
Hal ini menguatkan bahwa Ali sendiri tidak sama pendapat beliau dengan orang-orang yang mengangkat beliau sebagai yg diriwayatkan oleh Ibnu Abil Hadid dari Abdullah bin Abbas yg berkata: “Keluat Ali as kepada orang banyak di dekat Rasul saw yg dalam keadaan sakit, maka manusia berkata kepada beliau: “Bagaimana keadaan Rasul saw wahai Abul Hasan?”. Ali menjawab: “Alhamdulillah keadaan beliau cukup baik”. Berkata perawi: “Lali Abbas memegang tangan Ali, lalu berkata: “Hai Ali engkau harus bertindak pemersatu mencegah perpecahan, saya melihat bayangan maut diwajah rasul, sebagaimana aku melihat bayangan maut di wajah semua keluarga Abdul Muthalib menghadapi kematian, temuilah Rasul saw agar beliau menentikan siapa yang akan memimpin, bila kita yang beliau tetapkan kita umumkan, dan bila orang lain agar kita wasiatkan!”. Ali menjawab dengan tegas: “DEMI ALLOH TIDAK AKAN AKU TANYAKAN AKAN HAL ITU, BILA BELIAU MELARANG KITA HARI INI UNTUK JABATAN ITU, MAKA MANUSIA TIDAK AKAN MEMBERIKANNYA KEPADA KITA KEMUDIAN HARI”. Berkata perawi: “Maka wafatlah Easul di hari itu”. (Lihat Syarhum Nahjul Balaghah juz 1 hal.136).
At-Thabarsy juga mengutip dari perkataan Muhammad Al-baqir bahwa Ali menetapkan akan kekuasaan(kekhilafahan) Abu Bakar, mengakui akan keimanannya, turut mengangkatnya dengan kekuasaannya, sebaimana yang disebutkan bahwa Usamah bin Zaid yang mencintai Rasul tatkala ia siap untuk berangkat, Rasul berpulang ke Al-Malaul A’la. Setelah Utsman menerima pemberitahuan akan kewafatan Rasul saw itu, ia berpaling bersana pasukannya memasuki kota Madinah. Maka tatkala ia melihat bahwa manusia untuk mengangkat Abu Bakar, ia mendatangi Ali bin Abi Thalib bertanya: “Apa ini?”. Ali menjawab: “Ialah sebagaimana yang engkau lihat”. Berkata Usamah: “Apakah engkau turut mengangkatnya(Abu Bakar)??. Ali pun menjawab: “Iya”. (Al-Ihtijaj oleh At-Thabarsy hal.50, cetakan Masyad Irak). Hal ini juga diakui oleh Ulama Syi’ah Mutaakhirin dari Imam Syi’ah Muhammad Husain Kasyfil Ghita’ yang menerangkan bahwa: Banyak para Sahabat tidak memilih Ali karena Ali bin Abi Thalib masih Muda umurnya, atau karena bangsa Quraisy tak senang kalau khilafah terkumpul di tangan Bani Hasyim sampai ia mengatakan Khalifah pertama dan kedua benar-benar gesit dan giat menyebarkan Tauhid. (Lihat kitab syi’ah Ahlis Syi’ah Wa Ushuluha, cetakan Darul Bihar Beirut 1960 hal.91).
Kenapa Ali terlambat membai’at Abu Bakar? Hal ini dijawab oleh Ibnu Abu Hadid: “Kemudain berdiri Abu Bakar, berpidato kepada orang banyak dan menyatakan keuzurannya, berkata: “Sungguh pengangkatan saya adalah kesilafan, mudah-mudahn Alloh menghindarkan akan bahayanya, aku takut akan fitnah, Demi Alloh. Aku tak pernah menginginkannya walau hanya satu hari, aku sudah diserahi tugas yg amat berat lagi besar, aku merasa tak kuat dan tak mampu, aku ingin agar ada orang yg lebih kuat yg menggantikanku. Begitulah Abu Bakar mengakui keberatannya. Golongan Muhajirin menerima akan keberatannya dan berkata Ali dan Zubair: “KITA TIDAK MARAH, KECUALI MELALUI MUSYAWARAH, dan kami memandang Abu Bakar manusia paling berhak dengan pengangkatan itu, karena ia adalah teman Rasul saw di dalam gua, kami mengetahui pengalamannya, dan ialah yang diperintahkan Rasul saw untuk menggantikan beliau untuk memimpin shalat disaat Rasul saw masih hidup”. (Lihat Syarah Nahjul Balaghah oleh Ibnu Abil Hadid juz 1 hal.132).
Ibnu Abil Hadid mengemukakan riwayat lain dalam Syarahnya, dari Abdullah bin Abu Aufa Al-khuza’iy mengatakan: “Pernah Khalid bin Sa’id bin ‘Ash ialah seorang petugas Rasul saw di daerah Yaman, setelah mendengar bahwa Rasul saw sudah wafat, ia dating ke Madinah, didapatinya bahwa manusia sudah mengangkat Abu Bakar, ia tidak langsung menemui Abu Bakar dan tidak turut mengangkatnya beberapa hari setelah orang banyak mengangkatnya. Ia mendatangi Bani Hasyim bertanya dan menyelidiki: “Bila kamu senang, kami pun senang, kalau kamu menolak maka kami pun menolak, maka kabarkanlah kepadaku, apakah kamu betul-betul telah mengangkat laki-laki itu(Abu Bakar)??”. Mereka menjawab: “Iya”. Berkata Ali bin Abi Thalib: “Dengan Ridha jama’ah kami”. Mereka berkata: “Iya”. Lalu ia berkata: “Maka saya juga ridha dan turutmengangkatnya bila kamu sudah mengangkatnya. Lalu Demi Alloh wahai Bani Hasyim, kamu sungguh pohon tinggi berbuah lezat”. Kemudian ia juga mangangkat akan Abu Bakar. (Lihat Syarah Nahjul Balaghah juz 1 hal.134-135).
Dan telah berkata Ali bin Abi Thalib yang dihadapkan kepada Thalhah dan Zubair: “DEMI ALLOH, TIDAK ADA KEINGINAN BAGIKU UNTUK MENJADI KHALIFAH, HANYA KAMU YANG MENDESAK-DESAK AKU AKAN MEMAKSA-MAKSAKU UNTUK MENDAPATKANNYA. (Lihat kitab Nahjul Balaghah hal.322)
Hal ini pun diriwayatkan oleh Nashr bin Muzahim yang Syi’iy, bahwa Muawiyyah bin Abu Sufyan pernah mengutus Hubaib bin Maslamah al-Fahri, Syuharbil bin Samath dan Mu’an bin Yazid untuk menghadap Ali guna untuk menuntut perkara pembunuhan Utsman Dzin Nurain, lalu dijawab oleh Ali bin Abi Thalib dengan pernyataannya_setelah hamdalah dan basmalah_’ama ba’du, bahwasanya Alloh telah mengutus Nabi Muhammad saw yang dengan beliau Alloh telah menyelamatkan dari kesesatan, dan dengan Beliau pula Alloh telah mempersatukan umat sesudah ummat ini bercerai berai. Kemudian beliau berpulang kepada Alloh, sedang beliau sendiri telah telah menunaikan tugas dan kewajiban dengan baik. Setelah itu ALLOH MENJADIKAN ABU BAKAR KHALIFAH, MENYUSUL UMAR, YANG KEDUA-DUANYA BERJALAN MULUS DAN BERLAKU ADIL TERHADAP UMAT…..selanjutkan kekuasaan pemerintahan diserahkan kepada Utsman, tetapi ada beberapa kebijakan beliau yang tak disenangi umat, lalu umat unjuk rasa dan membunuhnya. Setelah itu umat datang kepadaku(meminta aku menggntikan Utsman) SEDANG AKU TIDAK MAU MENDUDUKI PUNCAK PEMERINTAHAN ITU. Namun mereka mengatakan kepadaku “Baiatlah”. PERMINTAAN ITU TETAP KU TOLAK. Tetapi mereka tetap meminta aku supaya aku mau berbaiat(untuk menjadi khalifah). Sebab-katanya-umat tidak ada pilihan lain selain engkau, dan kami(para utusan) khawatir kalau engkau menolak permintaan ini, umat akan kocar kacir. Begitulah, lalu kuturuti permintaan mereka untuk berbai’at”. (Lihat kitab Syi’ah Shiffin hal.105, cetakan Iran).
_________________________________________

Jawaban dari kami:
Ada riwayat yang sering dinukil oleh para nashibi untuk membuktikan klaim mereka bahwa Imam Ali mengakui Abu Bakar berhak sebagai khalifah. Riwayat tersebut dinukil oleh Ibnu Katsir dalam kitabnya Al Bidayah Wan Nihayah dimana ia sendiri menukil dari Musa bin Uqbah dalam kitab Maghazi-nya. Kami akan meneliti riwayat tersebut dan membuktikan bahwa riwayat tersebut tidaklah tsabit.

وقال موسى بن عقبة في مغازيه عن سعد بن إبراهيم حدثني أبي أن أباه عبد الرحمن بن عوف كان مع عمر وأن محمد بن مسلمة كسر سيف الزبير ثم خطب أبو بكر واعتذر إلى الناس وقال والله ما كنت حريصا على الإمارة يوما ولا ليلة ولا سألتها الله في سر ولا علانية فقبل المهاجرون مقالته وقال علي والزبير ما غضبنا إلا لأننا أخرنا عن المشورة وإنا نرى أبا بكر أحق الناس بها بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم إنه لصاحب الغار وإنا لنعرف شرفه وخيره ولقد أمره رسول الله صلى الله عليه وسلم بالصلاة بالناس وهو حي

Dan berkata Musa bin Uqbah dalam Maghazi-nya dari Sa’d bin Ibrahiim yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku bahwa ayahnya Abdurrahman bin ‘Auf bersama Umar, dan bahwa Muhammad bin Maslamah mematahkan pedang Zubair kemudian Abu Bakar berkhutbah, memohon maaf kepada orang orang dan berkata “demi Allah sesungguhnya aku tidak pernah berambisi atas kepemimpinan ini baik siang maupun malam, dan aku tidak pernah meminta hal tersebut kepada Allah baik sembunyi maupun terang terangan”. Maka kaum Muhajirin menerima perkataannya. Ali dan Zubair berkata “kami tidak marah kecuali karena kami tidak diikutkan dalam musyawarah ini dan kami berpandangan bahwa Abu Bakar adalah orang yang paling berhak atasnya sepeninggal Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Dialah orang yang menemani Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] di dalam gua, kami telah mengenal kemuliaan dan kebaikannya. Dialah yang diperintahkan oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memimpin shalat manusia ketika Beliau masih hidup [Al Bidayah Wan Nihayah Ibnu Katsir 9/471].

Riwayat ini [jika memang tsabit dari Musa bin Uqbah] diriwayatkan oleh para perawi tsiqat tetapi mengandung illat [cacat]. Riwayat ini sanadnya berhenti pada Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf dimana ia menceritakan kisah pembaiatan kepada Abu Bakar bahwa ayahnya ikut bersama rombongan Umar bin Khaththab yang mematahkan pedang Zubair kemudian ia juga menceritakan khutbah Abu Bakar dan pengakuan Ali dan Zubair bahwa Abu Bakar berhak atas khilafah. Peristiwa itu terjadi pada tahun 11 H yaitu saat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat.

Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf wafat pada tahun 96 H [Al Kasyf no 165]. Jadi ada jeda sekitar 85 tahun antara peristiwa tersebut dan wafatnya Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin Auf. Diperselisihkan kapan ia lahir. Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat menyatakan ia wafat di madinah tahun 96 H dalam usia 75 tahun [Ats Tsiqat juz 4 no 1594]. Menurut keterangan Ibnu Hibban maka ia lahir sekitar tahun 21 H dan itu berarti sangat jelas riwayat tersebut inqitha’ [sanadnya terputus].

Ibnu Hajar menyebutkan kalau ia sebenarnya lahir pada masa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. [At Tahdzib juz 1 no 248]. Pernyataan ini patut diberikan catatan. Ibu dari Ibrahim bin ‘Abdurrahman adalah Ummu Kultsum binti Uqbah dan ayahnya adalah ‘Abdurrahman bin Auf. Ummu Kultsum binti Uqbah awalnya menikah dengan Zaid bin Haritsah kemudian ketika Zaid terbunuh [pada perang mu’tah tahun 8 H] ia menikah dengan Zubair sehingga melahirkan Zainab kemudian bercerai dan baru menikah dengan ‘Abdurrahman bin ‘Auf. [Al Ishabah 8/291 no 12227 biografi Ummu Kultsum]. Jika ia menikah dengan Zubair pada tahun 8 H maka mungkin ia melahirkan Zainab pada tahun 9 H. Itu berarti Ummu Kultsum menikah dengan ‘Abdurrahman bin ‘Auf pada tahun 9 H. Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat pada tahun 11 H. Seandainya dikatakan Ibrahim bin ‘Abdurrahman lahir dimasa hidup Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka ia lahir pada tahun 10 H atau 11 H.

Jadi saat peristiwa tersebut terjadi yaitu Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat, Abu Bakar dibaiat kemudian berkhutbah, Ali dan Zubair mengakui khalifah Abu Bakar, Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf berusia lebih kurang satu tahun maka riwayat ini sanadnya inqitha’ [terputus]. Ibrahim tidak menyaksikan peristiwa tersebut dan ia meriwayatkannya melalui perantara yang tidak ia sebutkan. Kesimpulannya riwayat Musa bin Uqbah itu dhaif karena sanadnya terputus.

Selain itu terdapat illat [cacat] lain dari riwayat Musa bin Uqbah tersebut, sanadnya tidaklah tsabit sampai Musa bin Uqbah. Riwayat ini disebutkan dalam kitab Al Ahadits Al Muntakhab Min Maghazi Musa bin Uqbah Ibnu Qaadhiy Asy Syuhbah hal 94 no 19. Berikut ringkasan sanad penulis kitab ini sampai Musa bin Uqbah,

قنا أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَحْمَدَ بْنِ عَتَّابٍ الْعَبْدِيُّ ، ثنا أَبُو مُحَمَّدٍ الْقَاسِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُغِيرَةِ ، ثنا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي أُوَيْسٍ ، ثنا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عُقْبَةَ ، عَنْ عَمِّهِ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ ، صَاحِبِ الْمَغَازِي

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Muhammad bin ‘Abdullah bin Ahmad bin ‘Attaab Al ‘Abdiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad Al Qaasim bin ‘Abdullah bin Mughiirah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ismail bin Abi Uwais yang berkata telah menceritakan kepada kami Ismaiil bin Ibrahim bin Uqbah dari pamannya Musa bin Uqbah penulis Maghaaziy.

Sanad ini dhaif karena Ismail bin Abi Uwais. Ia adalah perawi Bukhari Muslim yang dikenal dhaif. Ahmad bin Hanbal berkata “tidak ada masalah padanya” [Akwal Ahmad no 166]. Nasa’i berkata “dhaif” [Adh Dhu’afa An Nasa’i no 42]. Daruquthni menyatakan ia dhaif [Akwal Daruquthni fii Rijal no 544]. Abu Hatim berkata “tempat kejujuran dan ia pelupa” [Al Jarh Wat Ta’dil 2/180 no 613]. Terdapat perselisihan soal pendapat Ibnu Ma’in,
1. Ad Darimi meriwayatkan dari Ibnu Ma’in bahwa tidak ada masalah padanya [Al Kamil Ibnu Adiy 1/323].
2. Ibnu Abi Khaitsamah meriwayatkan dari Ibnu Ma’in bahwa ia shaduq tetapi lemah akalnya [Al Jarh Wat Ta’dil 2/180 no 613].
3. . Muawiyah bin Shalih meriwayatkan dari Ibnu Ma’in bahwa Ismail bin Abi Uwais dhaif [Adh Dhu’afa Al Uqaili 1/87 no 100].
4. Ibnu Junaid meriwayatkan dari Ibnu Ma’in bahwa Ismail bin Abi Uwais kacau [hafalannya], berdusta dan tidak ada apa apanya [Su’alat Ibnu Junaid no 162].
5. Abu Abbas Ahmad bin Muhammad bin Qaasim meriwayatkan dari Ibnu Ma’in bahwa ia dhaif, orang yang paling dhaif, tidak halal seorang muslim meriwayatkan darinya [Ma’rifat Ar Rijal Yahya bin Ma’in no 121].

Pendapat yang rajih, Ibnu Ma’in pada awalnya menganggap ia tidak ada masalah tetapi selanjutnya terbukti bahwa ia lemah akalnya, kacau hafalannya dan berdusta maka Ibnu Ma’in menyatakan ia dhaif dan tidak boleh meriwayatkan darinya.

Ibnu Adiy berkata “ini hadis mungkar dari Malik, tidak dikenal kecuali dari hadis Ibnu Abi Uwais, Ibnu Abi Uwais ini meriwayatkan dari Malik hadis-hadis yang ia tidak memiliki mutaba’ah atasnya dan dari Sulaiman bin Bilal dari selain mereka berdua dari syaikh syaikh-nya [Al Kamil Ibnu Adiy 1/324]. Ibnu Jauzi memasukkannya dalam Adh Dhu’afa [Adh Dhu’afa Ibnu Jauzi no 395]. Ibnu Hazm berkata “dhaif” [Al Muhalla 8/7]. Salamah bin Syabib berkata aku mendengar Ismail bin Abi Uwais mengatakan mungkin aku membuat-buat hadis untuk penduduk Madinah jika terjadi perselisihan tentang sesuatu diantara mereka [Su’alat Abu Bakar Al Barqaniy hal 46-47 no 9].

Ibnu Hajar dalam At Taqrib berkata “shaduq tetapi sering salah dalam hadis dari hafalannya” kemudian dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib bahwa ia seorang yang dhaif tetapi dapat dijadikan I’tibar [Tahrir At Taqrib no 460]. Ibnu Hajar dalam Al Fath menyatakan bahwa ia tidak bisa dijadikan hujjah hadisnya kecuali yang terdapat dalam kitab shahih karena celaan dari Nasa’i dan yang lainnya [Muqaddimah Fath Al Bari hal 391].

Riwayat ini juga diriwayatkan dengan sanad lain hingga Musa bin Uqbah sebagaimana disebutkan oleh Al Hakim dalam Mustadrak Ash Shahihain juz 3 no 4422 dan Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra 8/152 no 16364 dan Al I’tiqaad hal 350. Riwayat Baihaqi berasal dari gurunya Al Hakim jadi sanadnya kembali kepada Al Hakim, berikut sanad riwayat tersebut dalam kitab Al Mustadrak Al Hakim,

حدثنا محمد بن صالح بن هانئ ثنا الفضل بن محمد البيهقي ثنا إبراهيم بن المنذر الحزامي ثنا محمد بن فليح عن موسى بن عقبة عن سعد بن إبراهيم قال حدثني إبراهيم بن عبد الرحمن بن عوف

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Shalih bin Haani’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Al Fadhl bin Muhammad Al Baihaqiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Mundzir Al Hizaamiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fulaih dari Musa bin Uqbah dari Sa’d bin Ibrahiim yang berkata telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf [Mustadrak Ash Shahihain juz 3 no 4422].

Sanad ini mengandung illat [cacat] yaitu dua orang perawinya diperbincangkan yaitu Fadhl bin Muhammad Al Baihaqiy dan Muhammad bin Fulaih bin Sulaiman,
1. Fadhl bin Muhammad Al Baihaqiy, Ibnu Abi Hatim berkata “ia dibicarakan” [Al Jarh Wat Ta’dil 7/396 no 393]. Al Hakim menyatakan ia tsiqat. Abu Ali Al Hafizh mendustakannya. Abu ‘Abdullah Al Akhram berkata shaduq hanya saja berlebihan dalam bertasyayyu’ [Lisan Al Mizan juz 4 no 1368]. Adz Dzahabi memasukkannya dalam Mughni Adh Dhu’afa 2/513 no 4939].
2. Muhammad bin Fulaih bin Sulaiman, Ibnu Main menyatakan ia tidak tsiqat. Abu Hatim berkata “tidak mengapa dengannya tidak kuat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Daruquthni berkata “tsiqat” [At Tahdzib juz 9 no 661]. Al Uqaili memasukkannya dalam Adh Dhu’afa dan berkata “tidak diikuti hadisnya” [Adh Dhu’afa Al Uqaili 4/124 no 1682]. Ibnu Jauzi memasukkannya dalam Adh Dhu’afa [Adh Dhu’afa Ibnu Jauzi no 3159]. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq sering salah dan dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib bahwa Muhammad bin Fulaih dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar [Tahrir At Taqrib no 6228].

Riwayat Muhammad bin Fulaih dari Musa bin Uqbah juga disebutkan oleh Abdullah bin Ahmad tetapi dengan matan yang tidak memuat khutbah Abu Bakar dan perkataan Ali dan Zubair.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ مُحَمَّدٍ الْمَخْزُومِيُّ الْمُسَيَّبِيُّ نا مُحَمَّدُ بْنُ فُلَيْحِ بْنِ سُلَيْمَانَ عَنْ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ وَغَضِبَ رِجَالٌ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ فِي بَيْعَةِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، مِنْهُمْ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ وَالزُّبَيْرُ بْنُ الْعَوَّامِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، فَدَخَلا بَيْتَ فَاطِمَةَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَهُمَا السِّلاحُ فَجَاءَهُمَا عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي عِصَابَةٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ فِيهِمْ أُسَيْدُ وَسَلَمَةُ بْنُ سَلامَةَ بْنِ وَقْشٍ وَهُمَا مِنْ بَنِي عَبْدِ الأَشْهَلِ وَيُقَالُ فِيهِمْ ثَابِتُ بْنُ قَيْسِ بْنِ الشَّمَّاسِ أَخُو بَنِي الْحَارِثِ بْنِ الْخَزْرَجِ فَأَخَذَ أَحَدُهُمْ سَيْفَ الزُّبَيْرِ فَضَرَبَ بِهِ الْحَجَرَ حَتَّى كَسَرَهُ قَالَ مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ : قَالَ سَعْدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ : حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ كَانَ مَعَ عُمَرَ يَوْمَئِذٍ وَأَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ مَسْلَمَةَ كَسَرَ سَيْفَ الزُّبَيْرِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaq bin Muhammad Al Makhzuumiy Al Musayyabiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fulaih bin Sulaiman dari Musa bin Uqbah dari Ibnu Syihaab yang berkata sekelompok orang dari Muhajirin marah atas dibaiatnya Abu Bakar, diantara mereka ada Ali bin Abi Thalib dan Zubair bin ‘Awwaam radiallahu ‘anhuma, maka masuklah mereka ke rumah Fathimah binti Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan bersama mereka ada senjata. Umar datang kepada mereka dengan sekelompok kaum muslimin diantaranya Usaid dan Salamah bin Salamah bin Waqsy keduanya dari bani ‘Abdul Asyhal, dikatakan juga diantara mereka ada Tsaabit bin Qais bin Asy Syammaas saudara bani Haarits bin Khazraaj. Maka salah satu dari mereka mengambil pedang Zubair dan memukulkannya ke batu hingga patah. Musa bin Uqbah berkata Sa’d bin Ibrahim berkata telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf bahwa Abdurrahman bersama Umar pada hari itu dan Muhammad bin Maslamah yang mematahkan pedang Zubair, wallahu a’lam [As Sunnah Abdullah bin Ahmad 2/553-554 no 1291].

Muhammad bin Ishaq bin Muhammad Al Makhzuumiy adalah seorang tsiqat. Shalih bin Muhammad berkata aku mendengar Mushab bin Zubair berkata “tidak ada diantara orang quraisy yang lebih utama dari Al Musayyabiy” dan Shalih berkata “ia tsiqat”. Ibnu Qaani’ dan Ibrahin bin Ishaq Ash Shawwaaf menyatakan tsiqat. [At Tahdzib juz 9 no 49]. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [At Taqrib 2/54]. Adz Dzahabiy berkata “tsiqat faqih shalih” [Al Kasyf no 4716]. Maka ada dua riwayat:
1. Riwayat Abdullah bin Ahmad dari Muhammad bin Ishaq Al Makhzuumiy dari Muhammad bin Fulaih [lebih tsabit].
2. Riwayat Fadhl bin Muhammad Al Baihaqiy dari Ibrahim bin Mundzir dari Muhammad bin Fulaih.

Riwayat Abdullah bin Ahmad lebih tsabit dari riwayat Fadhl bin Muhammad. Hal ini karena Fadhl bin Muhammad seorang yang diperbincangkan dan matan riwayat Muhammad bin Fulaih yang ia sebutkan soal khutbah Abu Bakar adalah matan riwayat Ismail bin Abi Uwais dari Ismail bin Ibrahim dari Musa bin Uqbah.

Fadhl bin Muhammad memang dikenal meriwayatkan dari Ismail bin Abi Uwais sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim [Al Jarh Wat Ta’dil 7/69 no 393]. Jadi nampak disini Fadhl bin Muhammad mencampuradukkan riwayat Muhammad bin Fulaih dengan riwayat Ismail bin Abi Uwais. Riwayat Muhammad bin Fulaih yang tsabit berasal darinya adalah:

أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ كَانَ مَعَ عُمَرَ يَوْمَئِذٍ وَأَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ مَسْلَمَةَ كَسَرَ سَيْفَ الزُّبَيْرِ

Bahwa ‘Abdurrahman bersama Umar pada hari itu dan Muhammad bin Maslamah mematahkan pedang Zubair.

Sedangkan matan yang menyebutkan khutbah Abu Bakar dan pengakuan Ali dan Zubair bahwa Abu Bakar lebih berhak sebagai khalifah adalah matan riwayat Ismail bin Abi Uwais dari Ismail bin Ibrahim dari Musa bin Uqbah. Kesimpulannya riwayat Musa bin Uqbah yang menyebutkan soal pengakuan Ali dan Zubair kedudukannya dhaif dan tidak tsabit sampai ke Musa bin Uqbah karena diriwayatkan oleh Ismail bin Abi Uwais seorang yang dhaif.
________________________________________


Mengapa Ali Tidak Memprotes Pembaiatan Atas Abu Bakar?

Pengingkaran Pendiri Mazhab Wahabi; Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb terhadap tegasnya petunjuk hadis Ghadir sebagai penujukan atas Imam Ali as. sebagai Pemimpin Tertinggi Umat Islam sepeninggal Nabi saw. yang telah kami bantah kepalsuan dan kebatilan anggapannya pada edisi sebelumnya, ia susul denan kata-kata:

… ولو كان نصاً لادّعاها علي رضي الله عنه لأنه أعلم بالمراد، ودعوى إدّعائها باطل ضرورة ، ودعوى علمه يكون نصاً على خلافته وترك إدعائها تقية أبطل من أن يبطل . وما أقبح ملة قوم يرمون إمامهم بالجُبن والخور والضعف في الدين مع أنه أشجع الناس وأقواهم.

“… jika demikian (ia sebagai nash/penunjukan terang) pastilah Ali mengakuinya, sebab ia lebih mengerti maksudnya. Dan mengklaim bahwa Ali mengakuinya adalah batil/palsu secara pasti, dan mengklaim bahwa Ali mengetahuinya tetepi ia meninggalkan mengakuinya kerena taqiyyah lebih batil untuk dibantah.

Alangkah jelaknya agama kaum yang menuduh imam mereka pengecut dan takut serta lemah dalam menegakkan agama, padahal ia termasuk paling berani dan paling kuatnya orang …”

Tanggapan Kami:

Ibnu Ja’fari berkata:
Untuk klaim palsunya kali ini kami bermaksud menaggapinya secara ringkas dan secukupnya dengan membuktikan bahwa sebenarnya sejarah otentik telah mencatat bahwa ternyata Imam Ali as. tidak diam, beliau telah memprotes dengan keras pembaiatan atas Abu Bakar sebagai Khalifah. Demikian juga dengan keluarga beliau, keluarga besar bani Hasyim dan para pengikut setia beliau, mereka telah memprotes keras hasil pembaiatan Abu Bakar di Saqîfah.

Protes tersebut beliau demonstrasikan dengan beragam cara di antaranya dengan sikap praktis yang akan menjadi bukti disepanjang sejarah yang tidak akan dapat ditutup-tutupi oleh upaya pembutaan apapun!

Imam Ali as. melakukan protes keras dengan menolak memberikan pengakuan legalitas syar’i atas hasil pembaiatan Abu Bakar di Saqîfah! Dan berbagai upaya termasuk dengan cara kekerasan sekalipun ternyata para pendukung kekhalifahan Abu Bakar tidak mampu membuat Imam Ali as. bertekuk lutut memberikan baiat dan restu serta pengakuan akan keabsahan Khalifah Abu Bakar!

Imam Ali as. tetap tegar dengan pendiriannya, dan membuktikan kepada umat dan sejarah bahwa hak kewalian beliau yang telah ditetapkan Allah SWT melalui Nabi-Nya di Ghadir Khum telah dibekukan dan diambil alih oleh kelompok Saqîfah!

Berita tentang keengganan Imam Ali as. untuk membaiat Abu Bakar sedemikian masyhur, sehingga kitab hadis paling selektif, seperti Shahih Bukhari pun melolos-sensorkannya.

Imam Ali as. menolak memberikan baiat selama kurun waktu enam bulan dari pembaiatan Abu Bakar! Sebuah waktu yang sangat panjang! Dalam kurun waktu itu, Imam Ali as. tak henti-hentinya membuktikan hak kewaliannya atas umat Islam! Sehingga terjadi kerenggangan hubungan antara beliau dengan Abu Bakar dan kelompoknya.

Penentangan Imam Ali as. atas rekayasa pembaitan Abu Bakar di Saqîfah berbuntut panjang!

Di antara ekor panjang penentangan Imam Ali as. atas pembaiatan Abu Bakar adalah peristiwa-peristiwa berikut ini:

A) Ancaman Pembakaran.

Para sejarawan Islam melaporkan berbagai peristiwa penting di antaranya apa yang dilaporkan oleh Ibnu Abi Syaibah (w.235H) dalam Mushannaf-nya dengan sanad bersambung kepada Zaid ibn Aslam dari ayahnya, ia berkata:

حين بويع لابي بكر بعد رسول الله، كان علي والزبير يدخلان على فاطمة بنت رسول الله، فيشاورونها ويرتجعون في أمرهم، فلمّا بلغ ذلك عمر بن الخطّاب، خرج حتّى دخل على فاطمة فقال: يا بنت رسول الله، والله ما أحد أحبّ إلينا من أبيك، وما من أحد أحبّ إلينا بعد أبيك منك، وأيم الله ما ذاك بمانعي إنْ اجتمع هؤلاء النفر عندك أن أمرتهم أن يحرّق عليهم البيت.

“Ketika Abu Bakar dibaiat sepeninggal Rasulullah, Ali dan Zubair masuk menemui Fatimah putri Rasulullah. Mereka bermusyawarah dengannya tentang urusan mereka. Ketika berita itu didengar oleh Umar ibn al Khaththab, ia keluar sehingga menemui Fatimah dan berkata kepadanya, ‘Hai putri Rasulullah, demi Allah tiada seorang yang lebih aku cintai dari ayahmu dan tiada seorang setelah ayahmu yang lebih kami cintai darimu. Demi Allah hal itu sama sekali tidak akan mencegahku jika mereka berkumpul di sisimu untuk kuperintahkan agar rumah ini dibakar bersama mereka.’” [1]

Ath Thabari juga melaporkan dalam Târîkh al Umam wa al Mulûk:

أتى عمر بن الخطّاب منزل علي، وفيه طلحة والزبير ورجال من المهاجرين فقال: والله لاُحرقنّ عليكم أو لتخرجنّ إلى البيعة، فخرج عليه الزبير مصلتاً سيفه، فعثر فسقط السيف من يده، فوثبوا عليه فأخذوه.

“Umar ibn al Khaththab mendatangi rumah Ali, di dalamnya berkumpul Thalhah dan Zubair dan beberapa orang Muhajirin, ia berkata (mengancam), ‘Demi Allah aku benar-benar akan membakar kalian atau kalian keluar untuk memberikan baiat!’ Maka Zubair keluar sambil menghunuskan pedangknya, lalu ia terpeleset dan jatuhlah pedang itu dari tangannya, lalu mereka mengeroyoknya dan mengambil pedang itu darinya.”[2]

B) Mereka Membawa Obor Yang Menyala.

Jika pada pada laporan-laporan di atas hanya disebutkan bahwa mereka (Umar dkk.) hanya mengancam akan membakar rumah Fatimah bersama penghuninya karena mereka berkumpul menentang Khalifah Abu Bakar, maka dalam laporan-laporan di bawah ini disebutkan bahwa Umar dan rekan-rekannya benar-benar ingin membuktikan keseriusan ancaman mereka itu dengan membawa obor yang menyala-nyala.

Dalam Ansâb al Asyrâf-nya, al Balâdzuri (w.224H) melaporkan:

إنّ أبا بكر أرسل إلى علي يريد البيعة، فلم يبايع، فجاء عمر ومعه فتيلة، فتلقّته فاطمة على الباب، فقالت فاطمة: يابن الخطّاب، أتراك محرّقاً عَلَيّ بابي ؟! قال: نعم، وذلك أقوى فيما جاء به أبوك.

“Sesunggunya Abu Bakar mengutus (seorang utusan) kepada Ali memintanya agar membaiat, tapi Ali tidak mau membaiat. Maka datanlah Umar dengan membawa obor, lalu Fatimah menghadangnya di depan pintu, ia berkata, ‘Hai putra al Khaththab, apakah engkau akan membakarku dengan membakar pintu rumahku?!’ Umar menjawab, ‘Ya, dan hal itu akan menguatkan agama yang dibawa ayahmu.’”[3]

Ibnu Abdi Rabbih (w.328 H) melaporkan dalam al ‘Iqdu al Farîd-nya:

وأمّا علي والعباس والزبير، فقعدوا في بيت فاطمة حتّى بعث إليهم أبو بكر ليخرجوا من بيت فاطمة وقال له: إنْ أبوا فقاتلهم، فأقبل بقبس من نار على أنْ يضرم عليهم الدار، فلقيته فاطمة فقالت: يابن الخطّاب، أجئت لتحرق دارنا؟ قال: نعم، أو تدخلوا ما دخلت فيه الاُمّة.

“Adapun Ali, Abbas dan Zubair mereka duduk/bertahan di rumah Fatimah sehingga Abu Bakar mengutus utusan menemui mereka agar mereka segera keluar dari rumah Fatimah. Abu Bakar berkata kepada utusannya itu, ‘Jika mereka enggan keluar maka perangi mereka!’. Lalu ia (utusan itu) datang dengan membawa seonggok api untuk membakar rumah itu atas mereka. Kemudian Fatimah menghadangnya, ia berkata, ‘Hai putra al Khtaththab, apakah engkau datang untuk membakar rumah kami?! Ia berkata, ‘Ya. Atau kalian semua mau masuk bersama umat menerima baiat Abu Bakar.”[4]

C) Mereka Menyiapkan Kayu Bakar

Ternyata konflik yang terjadi antara kubu Imam Ali as. dan kubu Abu Bakar tidak berhenti sampai di sini; hanya mengancam dan membawa obor api. Akan tetapi mereka benar-benar telah mempersiapkan kayu bakar untuk menghanguskan rumah Fatimah dan Ali serta membakar seluruh penghuni yang bertahan di rumah tersebut dalam protes mereka atas pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah! Paling tidak demikian yang dilaporkan dalam data-data sejarah yang ada.

Al Mas’ûdi melaporkan dalam Murûj adz Dzahab-nya yang kemudian dinukil oleh Ibnu Abil Hadid al Mu’tazili dalam Syarah Nahjul Balaghah-nya dari Urwah ibn Zubair –keponakan Ummul Mukminin Aisyah- bahwa ia ketika memberikan uzur mengapa kakaknya yang bernama Abdullah ketika berkuasa di Hijâz pernah berniat membakar tokoh-tokoh Bani Hasyim dikarenakan mereka menolak membaiatnya sebagai pemimpin/ Khalifah. Urwah memberikan uzur akan hal itu dengan alasan bahwa dahulu Bani Hasyim juga pernah diancam untuk dibakar dikarenakan keengganan mereka memberikan baiat untuk Abu Bakar.[5]

Al Ya’qubi dan al Jauhari juga melaporkan, “Dan sekelompok kaum Muhajirin dan Anshar bertahan tidak memberikan baiat kepada Abu Bakar, mereka berpihak kepada Ali bin Abi Thalib, di antara mereka adalah Abbas ibn Abdul Muththalib, Fadhl ibn Abbas, Zubair ibn Awwâm, Khalid bin Said, Miqdad ibn ‘Amr, Salman al Fârisi, Abu Dzarr al Ghiffari, Ammar ibn Yasir, al Barâ’ ibn ‘Âzib dan Ubai ibn Ka’ab. Maka Abu Bakar memanggil Umar, Abu Ubaidah dan Mughirah ibn Syu’bah. Ia berkata, “Bagaimana pendapat kalian?”

Mereka menjawab, “Yang tepat Anda temui adalah Abbas ibn Abdul Muththalib, dan berikan baginya dan keturunannya bagian dari kekuasaan ini, maka dengan demikian Anda melemahkan posisi Ali ibn Abi Thalib dan bukti kuat bagi Anda atas Ali jika ia (Abbas) mau berbagung dengan pihak kalian….“[6]

Umar berkata, “Termasuk kisah kami ketika Nabi wafat bahwa Ali dan Zubair bersama mereka yang tidak mau berbaiat, mereka berkumpul di rumah Fatimah.[7]

Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kedua kitab Shahih-nya meriwayatkan dari Ummul Mukminin A’isyah bahwa Imam Ali as. tidak mau memberikan baiat untuk Abu Bakar selama masa hidup Fatimah putri Nabi saw. Dan setelah wafat Fatimah, Ali menganggap mungkar wajah-wajah manusia, maka ia menawarkan mushâlahata/perdamaian dan berbaiat untuk Abu Bakar. Sementara ia tidak memberikan baiat… “ [8]

Ibnu Ja’fari berkata:
Dalam laporan dan pernyataan Aisyah di atas yang telah diriwayatkan para muhaddis Ahlusunnah, utamanya Bukhari dan Muslim, ditegaskan bahwa Ali enggan memberikan baiat untuk Abu Bakar, dan setelah wafat Fatimah as. Ali menjadi merasa gusar terhadap orang-orang, lalu ia –masih kata Aisyah ra.- menawarkan opsi damai kepada Abu bakar, iltamasa mushâlahata Abi Bakr[9] dan mengakhiri kondisi persengketaan antara keduanya!

Pertama yang perlu diperhatikan di sini ialah bahwa benar-benar telah terjadi sengketa antara Abu Bakar dan Imam Ali as. dalam masalah Khilafah sebagai sikap protes Imam Ali atas pembaiatan Abu Bakar. Dan protes itu dilakukan bukan sekedar karena Imam Ali as. tidak diikut sertakan dalam rapat dadakan di Saqîfah, seperti yang hendak disipmpulkan sebagian peneliti, melainkan karena Imam Ali as, pada dasarnya melihat baiat yang terjadi di sana itu ilegal, keluar dari ketentuan Allah dan Rasul-Nya dalam kepemimpinan.

Sebab –dalam pandangan Ahlusunnah-[10] betapapun Imam Ali as. tidak hadir dalam rapat di Saqîfah, pembaiatan itu telah sah, jadi adalah wajib atas Imam Ali as. untuk menerimanya dan tidak menolak hasil pembaiatan yang telah dilakukan oleh banyak kalangan sahabat… masalah tidak diikut sertakannya Imam Ali as. dalam rapat itu hanya membenarkan Imam Ali as. untuk menegur pelanggaran etis tersebut, bukan membenarkannya membangkang dan menolak pembaiatan!

Dari sini di hadapan kita hanya ada dua opsi tentang sikap Imam Ali as. tersebut:

Opsi Pertama, Sikap keengganan dan penentangan Imam Ali as. itu dipicu oleh emosi dan atau persaingan dalam memperebutkan jabatan Khilafah!

Opsi Kedua, Karena Imam Ali as. meyakini bahwa kekhalifahan adalah hak beliau, dan tidaklah sah pengangkatan siapapun selain dirinya.

Opsi pertama jelas tertolak… tidak ada seorang Muslim yang sadar apa yang ia pikirkan akan terlintas dalam pikirannya bahwa Imam Ali as. menentang pembaiatan atas Abu Bakar atas dorongan hawa nafsu dan emosi serta persaingan tidak sehat! Sebab, seperti disabdakan Nabi saw. bahwa “Ali senantiasa bersama Al Qur’an” “Ali senantiasa bergandengan dengen kebenaran/haq”

Terlebih lagi, dalam benyak kesempatannya, Imam Ali as. menyatakan dengan tegas bahwa Imamah/Khilafah adalah hak beliau yang mereka rampas dan mereka halang-halangi Ali dari mengambilnya kembali dengan cara damai.

Dalam salah sebuah pidatonya, Imam Ali as. mempertegas hal tersebut:

وقال قائل: إنّك يا ابن أبي طالب على هذا الامر لحريص، فقلت: بل أنتم ـ والله ـ أحرص وأبعد، وأنا أخص وأقرب، وإنّما طلبت حقّاً لي وأنتم تحولون بيني وبينه، وتضربون وجهي دونه، فلما قرّعته بالحجة في الملا الحاضرين هبّ كأنه بهت لا يدري ما يجيبني به.

اللهم إني استعديك على قريش ومن أعانهم، فانهم قطعوا رحمي، وصغّروا عظيم منزلتي، وأجمعوا على منازعتي أمراً هو لي، ثم قالوا: ألا إنَّ في الحق أنْ تأخذه وفي الحق أن تتركه .

“Ada seorang berkata, ‘Hai putra Abu Thalib, Sesungguhnya engkau rakus terhadap urusan (Kekhalifahan) ini!’ Maka aku berkata, “Demi Allah, kalian-lah yang lebih rakus dan lebih jauh, adapun aku lebih khusus dan lebih dekat. Aku hanya meminta hakku, sedangkan kalian menghalang-halangiku darinya, dan menutup wajahku darinya. Dan ketika aku bungkam dia dengan bukti di hadapan halayak ramai yang hadir, ia terdiam, tidak mengerti apa yang harus ia katakan untuk membantahku.

Ya Allah, aku memohon pertolongan-Mu atas Quraisy dan sesiapa yang membela mereka, karena sesungguhnya mereka telah memutus tali kekerabatanku, menghinakan keagungan kedudukanku dan bersepakat merampas sesuatu yang menjadi hakku. Mereka berkata, ‘Ketahuilah bahwa adalah hak kamu untuk menuntut dan hak kamu pula untuk dibiarkan.”[11]

Jadi di hadapan kita hanya tersisa opsi kedua yaitu bahwa konsep pemilihan yang menjadi dasar syar’i dalam pembaiatan Saqîfah adalah ilegal, tidak syar’i secara mendasar di mata Imam Ali as.! Dan hak Imamah dan Khilafah adalah hak Imam Ali as. yang telah Allah dan Rasul-Nya tetapkan untuknya di Ghadir Khum! Di hadapan puluhan ribu umat Islam dalam sebuah rapat besar pengangkatan!

Mungkinkah Imam Ali as. menyengaja berbohong dan mengada-ngada atas nama Rasulullah saw. bahwa kepemimpinan umat pasca masa kerasulan adalah hak beliau as.?!

Kedua, pertanyaan yang layak muncul di sini, mungkinkan opsi damai itu ditawarkan tanpa ada persengketaan antara keduanya?!

Al Balâdzuri melaporkan, “Abu Bakar mengutus Umar untuk menemui Ali ra., ketika ia duduk (menolak) memberikan baiat, ia berkata, “Datangkanlah dia kepadaku dengan cara yang paling kasar!” Setelah Ali didatangkan, terjadilah antara keduanya pembicaraan, lalu Ali (berkata kepada Umar), ‘Perahlah susu itu satu kali perahan, untukmu separohnya.’”[12] Maksudnya bahwa apa yang dilakukan Umar dalam mendukung kekhalifahan Abu Bakar ini dengan semangat bahwa nantinya ia juga akan menjabatnya!

Adz Dzahabi meriwayatkan sebuah hadis riwayat al ‘Uqaili dari Abdurrahman yang melaporkan bahwa Abu Bakar pernah menyesali sikap kasarnya terhadap Imam Ali as. dan para pembelanya yang menolak memberikan baiat dan mengakuinya sebagai Khalifah! Abu Bakar berkata, “… Aku tidak menyesali sebuah tindakan yang aku lakukan seperti penyesalanku atas tiga perkara, andai dahulu aku tidak menyerang rumah Fatimah dan aku biarkan saja walaupun mereka menutupnya untuk menyatakan perang.”[13]

Ada seseorang bertanya kepada Zuhri, “Apakah Ali tidak membaiat Abu Bakar selama enam bulan?” Maka Zuhri menjawab, “Ya, benar. Ali tidak membaiat dan tidak juga satupun dari keluarga bani Hasyim sampai Ali mau membaiat. Dan ketika Ali melihat bahwa orang-orang berpaling darinya, ia meminta mushâlahah/damai dengan Abu Bakar.”[14]

Al Hafidz Ibnu Hajar berkomentar, ”Baiat yang mereka berikan menurut pendapat yang benar adalah setelah enam bulan.”[15]

Al Ya’qubi melaporkan, “Ali tidak memberikan baiatnya melainkan setelah enam bulan.”[16]

Ibnu Hazm berkata, “Kami mendapatkan bahwa Ali terlambat memberikan baiat sampai enam bulan.”[17]

Ibnu al Atsîr menegaskan bahwa, “Yang shahih, benar ialah bahwa Ali tidak memberikan baiat untuk Abu Bakar melainkan setelah enam bulan.”[18] (Bersambung)

Referensi:
[1] Al Mushannaf,7/432. Aslam adalah maula Umar ibn al Khaththab. Sebagian ulama tidak membiarkan riwayat ini tertulis tanpa disensor, seperti yang dilakukan Ibnu Abdil Barr dalam kitab al Istî’âb-nya,3/975, kendati ia meriwayatkan dengan sanad yang sama dengan sanad Ibnu Abi Syaibah ia membuang kata-kata Umar yang mengancam akan membakar rumah putri tercinta Rasulullah saw. berserta seluruh penghuninya, termasuk Ali, Hasan, Husain, Zubair, Thalhah dkk.
[2] Târîkh ath Thabari,3/202.
[3] Ansâb al Asyrâf,1/586.
[4] Al Iqdu al Farîd,3/15.
[5]Murûj adz Dzahab,3/86. Dâr al Fikr. Bairut dengan tahqîq MuhammadMuhyiddîn Abdul Hamîd. Dan Syarah Nahjul Balaghah,20/147.
[6] Târîkh al Ya’qubi, 2\103, as Saqifah, baca Syarah Nahjul Balaghah; Ibnu Abi al Hadid, 2\13 dan 74 dan al Imamah wa as Siyasah,1\14.
[7] Musnad Ahmad,1\55, Tarikh al Umam wa al Mulk; ath Thabari,2\466, al Kamil; Ibnu, 2\124, Al Bidayah wa an Nihayah, 5\246, Shafwat ash Shafwah,1\97, Syarah NAhjul Balaghah; Ibnu Abi al Hadid, 1\123, Tarikh al Khulafa’; As Suyuthi: 45, Sirah Ibnu Hisyam,4\338 dan Taisir al Wushul, 2\41.
[8] Ath Thabari,2\448 Shahih Bukhari; Kitab al Maghazi, bab Ghazwah Khaibar, 3\38, Shahih Muslim,2\72 dan 5\153, bab Qaulu Rasulillah: Nahnu La Nurats, Ibnu Katsir, 5\285-258, Ibnu Abdi Rabbih, 3\64, Ibnu al Atsir, 2\126, Kifayah ath Thalib; Al Kinji: 225-226, Syarah Nahjul Balaghah, 1\122, Muruj adz Dzahab, 2\414, Tanbih wa al Isyraf: 250, ash Shawaiq, Tarikh al Khamis,1\193, al Imamah wa as Siyasah,1\14, al Isti’ab, 2\244, al Bad’u wa at Tarikh,5\66 dan Ansab al Asyraf,1\586.
[9] Ini adalah redaksi berbahasa Arab seperti dalam riwayat Imam Bukhari yang artinya: Ali meminta damai dengan Abu Bakar!.
[10] Seperti telah lewat dijelaskan bahwa legalitas pembaiatan untuk pengangkatan seorang Khalifah tidak harus dihadiri oleh seluruh anggota Ahlul Halli wa al Aqdi, cukup dihadiri oleh beberapa onggota saja yang telah mewakili. Bahkan di antara ulama Ahlusunnah ada yang mencukupkan dengan jumlah yang sangat sedikit. Artinya dalam kaca mata Teologi Ahlusunnah, pembaitan Abu Balkar di Saqîfah itu sudah memenuhi syarat dan adalah kewajiban atas Imam Ali as. untuk menerimanya, bukan menentangnya!!
[11] Nahjul Balaghah, kuthbah ke.172.
[12] Ansâb al Asyrâf,1/587.
[13] Mizân al I’tidâl,3/109 dan riwayat itu juga disebutkan Ibnu Hajar dalam Lisân al Mizân,4/189.
[14] Ibid.
[15] Usdu al Ghâbah, 3\222 .
[16] Târîkh al Ya’qûbi :2\126 .
[17] Al Ghadir, 3\102 dari al Fishal: 96-97.
[18] Al Kâmil Fi at Târîkh; ‘Izzuddîn Ibnu al Atsîr,2/326. Dâr Shâdir-Beirut.
_______________________________________

SERANGAN KE RUMAH FATHIMAH

Seorang Sunni mengatakan bahwa kekhalifahan Abu Bakar merupakan ijma ulama yang wajib diterima bagi setiap Muslim. Pertama-tama perlu dijelaskan bahwa kita percaya ijma bersifat mengikat. Akan tetapi bagaimana bisa Sunni membuat ijma terhadap sesuatu yang Rasul dan beberapa sahabat lainnya tentang?

Penentangan ini merupakan bukti jelas pada suatu kenyataan bahwa tidak ada ijma untuk masalah tersebut.

Mengenai Nabi Muhammad, kami menyebutkan hadis Sunni yang sahih pada artikel sebelumnya di mana Nabi memberikan kedudukan kepada Ali sebagaimana Nabi Harun bagi Nabi Musa. Kedudukan ini dijelaskan dalam Quran yang telah kami sebutkan ayat-ayatnya. Ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa; 1) Allah lah yang patut menunjuk khalifah. 2) Ayat tersebut juga menggunakan kata ukhlafni yang merupakan bentuk kata kerja dari khalif.

Selain itu, kami mengetengahkan riwayat bersejarah yang dicatat oleh Ulama Sunni berkenaan dengan fakta bahwa Nabi Muhammad dengan tegas menyatakan Ali sebagai penggantinya pada khutbah pertamanya. Kami juga menyebutkan hadis sahih Ghadir Khum di mana Nabi Muhammad mengumumkan penunjikan Ali secara resrni.

Sekarang, bagaimana ijma dapat berperan dalam persoalan penting apabila Nabi Muhammad saja menentangnya? Cukuplah bagi kita untuk menutup persoalan ijma pada masalah mi. Marilah kita bahas hal ini lebih jauh.

Tidak semua sahabat sepakat bahwa keempat khalifah ini adalah pengganti Nabi Muhammad yang sah. Kaum Muslimin sepakat bahwa kekhalifahan Abu Bakar dipilih oleh sejumlah orang yang terbatas dan merupakan hal yang mengejutkan bagi sahabat lainnya. Oleh sejumlah orang terbatas artinya mayoritas sahabat Nabi Muhammad yang utama tidak mengetahui pemilihan ini. Ali, Ibnu Abbas, Utsman, Thalhah, Zubair, Sa'd bin Abi Waqqash, Salman Farisi, Abu Dzar, Ammar bin Yasir, Miqdad, Abdurrahman bin Auf adalah di antara sahabat-sahabat yang tidak diajak berunding bahkan diberitahu. Bahkan Umar sendiri mengakui, pemilihan Abu Bakar dilakukan tanpa perundingan dengan kaum Muslimin.l

Kita tidak dapat menutup mata pada kenyataan yang tidak dapat disangkal yang bahkan dicatat oleh ulama-ulama Sunni dan meskipun telah menjadi ijma. Setelah Nabi Muhammad wafat, orang-orang yang melaksanakan apa yang diperintahkan Nabi Muhammad seperti Ammar bin Yasir, Abu Dzar Ghiffari, Miqdad, Salman Farisi, Ibnu Abbas, dan sahabat-sahabat lain seperti Abbas, Utbah bin Abi Lahab, Bara bin Azib, Ubay bin Ka'b, Sa'd bin Abi Waqqash, dan lain-lain berkumpul di rumah Fathimah. Demikian juga dengan Thalhah dan Zubair yang awalnya setia kepada Ali dan bergabung dengan yang lainnya di rumah Fathimah. Mereka berkumpul di rumah Fathimah sebagai tempat berlindung karena mereka menentang mayoritas orang-orang. Berdasarkan hadis Shahih Bukhari, Umar mengakui bahwa Ali dan pengikutnya menentang Abu Bakar. Bukhari meriwayatkan bahwa Umar berkata,
"Tidak diragukan lagi setelah Rasul wafat, kami diberi tahu bahwa kaum Anshar tidak sepakat dengan kami dan berkumpul di balairung Bani Saidah. Ali dan Zubair dan orang - orang yang bersama mereka menentang kami."2

Hadis lain meriwayatkan bahwa Umar berkata pada hari Saqifah,
"Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam dan orang-orang yang bersama mereka berpisah dari kami dan berkumpul di rumah Fathimah, putri Nabi Muhammad."3

Selain itu, mereka meminta persetujuan baiat tersebut, tetapi Ali dan Zubair meninggalkannya. Zubair menghunuskan pedang dan berkata, "Aku tidak akan menyarungkan pedang ini sebelum sumpah setia diberikan kepada Ali." Ketika kabar ini sampai kepada Abu Bakar dan Umar, Umar berkata, "Lempar ia dengan batu dan rampas pedangnya!" Diriwayatkan bahwa Umar bergegas (menuju ke depan pintu Fathimah) dan menggiring mereka dengan paksa sambil mengatakan bahwa mereka harus memberikan sumpah setia secara sukarela ataupun paksa.4

Pemilihan seperti apakah itu? Pemilihan menyiratkan suatu pilihan dan kebebasan, dan setiap kaum Muslimin berhak memilih wakilnya. Barang-siapa yang memilihnya tidak menentang Allah atau Rasulnya karena baik Allah atau Rasulnya tidak menunjuk orang dari pilihan umat. Pemilihan, secara fitrah, tidak memaksa setiap kaum Muslimin untuk memilih wakil khususnya. Apabila tidak, pemilihan tersebut berarti paksaan. Artinya pemilihan itu akan kehilangan fitrahnya dan menjadi tindakan pemaksaan. Ucapan Nabi yang terkenal menyatakan, "Tidak ada sumpah setia yang sah jika diperoleh dengan paksaan."

Mari kita lihat apa yang dilakukan Umar pada saat itu. Sejarahwan Sunni meriwayatkan bahwa ketika Umar sampai di depan pintu rumah Fathimah, ia berkata,
"Demi ,Allah, aku akan membakar (rumah ini) jika kalian tidak keluar dan berbaiat kepada (Abu Bakar)!"5

Selain itu, Umar bin Khattab datang ke rumah Ali. Talhah dan Zubair serta beberapa kaum Muhajirin lain juga berada di rumah itu. Umar berteriak, "Demi Allah, keluarlah kalian dan baiat Abu Bakar jika tidak akan kubakar rumah ini." Zubair keluar dengan pedang terhunus, karena ia terjatuh (kakinya tersandung sesuatu), pedangnya lepas dari tangannya, merekapun menerkamnya dan membekuknya.6

Abu Bakar, berdasarkan sumber riwayat yang shahih, berkata bahwa ketika umat telah berbaiat padanya setelah Nabi Muhammad wafat, Ali dan Zubair sering pergi ke Fathimah Zahra, putri Nabi Muhammad, untuk bertanya. Ketika berita ini diketahui Umar, ia pergi ke rumah Fathimah dan berkata,

"Wahai putri Rasulullah! Aku tidak mencintai seorang pun sebanyak cintaku pada ayahmu, dan tidak ada seorang pun setelahnya yang lebih aku cintai selain engkau. Tetapi, Demi Allah, sekiranya orang-orang ini berkumpul bersamamu, kecintaan ini tidak akan mencegahku untuk membakar rumahmu."7

Diriwayatkan pula bahwa Umar berkata kepada Fathimah (yang berada di belakang pintu),
"Aku mengetahui bahwa Rasulullah tidak mencintai siapa pun lebih dari cintanya padamu. Tetapi kehendakku tidak akan menghentikanku melaksanakan keputusanku. Jika orang-orang ini berada di rumahmu, aku akan membakar pintu ini di hadapanmu."8

Sebenarnya Syilbi Numani sendiri menyaksikan peristiwa di atas dengan kata-kata berikut:

"Dengan sifat Umar yang pemarah, perbuatan tersebut sangat tidak mungkin dilakukan."9

Diriwayatkan pula bahwa Abu Bakar berkata menjelang kematiannya,
"Andai saja aku tidakpergi ke rumah Fathimah dan mengirim orang-orang untuk menyakitinya, meskipun hal itu akan menimbulkan peperangan jika rumah tersebut tetap digunakan sebagai tempat berlindung."10

Sejarahwan menyebutkan nama-nama berikut adalah orang-orang yang menyerang rumah Fathimah untuk membakar orang-orang yang berlindung di dalamnya; Umar bin Khatab, Khalid bin Walid, Abdurrahman bin Auf, Tsabit bin Shammas, Ziyad bin Labid, Muhammad bin Maslamah, Salamah bin Salim bin Waqqash, Salamah bin Aslam, Usaid bin Huzair, Zaid bin Tsabit.

Ulama Sunni yang ditakzimkan, Abu Muhammad bin Muslim bin Qutaibah Dainuri dalam kitab al-Imamah wa as-Siyasah meriwayatkan bahwa Umar meminta sebatang kayu dan berkata kepada orang orang yang berada di dalam rumah, "Aku bersumpah demi Allah yang menggenggam jiwaku, jika kalian tidak keluar, akan aku bakar rumah ini!" Seseorang memberitahu Umar bahwa Fathimah berada di dalam. Umar berteriak, "Sekalipun! Aku tidak peduli siapa pun yang berada di dalam rumah itu."11

Baladzuri, seorang sejarahwan lain meriwayatkan bahwa Abu Bakar meminta Ali untuk memberi dukungan kepadanya tetapi Ali menolak. Kemudian Umar berjalan ke rumah Ali sambil membawa kayu bakar di tangannya. Ia bertemu Fathimah di muka pintu. Fathimah berkata, "Engkau berniat membakar pintu rumahku?" Umar menjawab, "Ya, karena hal ini akan menguatkan agama yang diberikan kepada kami dari ayahmu."12

Dalam kitabnya, Jauhari berkata bahwa Umar dan beberapa kaum Muslimin pergi ke rumah Fathimah untuk membakar rumahnya dan orang-orang di dalamnya yang menentang. Ibnu Shahna menambahkan, "Membakar rumah serta penghuninya."

Lebih jauh lagi diriwayatkan bahwa ketika Ali dan Abbas sedang duduk di dalam rumah Fathimah, Abu Bakar berkata kepada Umar, "Pergi dan bawalah mereka, jika mereka menentang, bunuh mereka!" Umar membawa sepotong kayu bakar untuk membakar rumah tersebut. Fathimah keluar dari pintu dan berkata, "Hai putra Khattab, apakah kamu datang untuk membakar rumah yang di dalamnya terdapat aku dan anak-anakku?" Umar menjawab, "Ya, demi Allah, hingga mereka keluar berbaiat kepada khalifah Rasul."13

Semua orang keluar dari rumah kecuali Ali. Ia berkata, "Aku bersumpah akan tetap berada di rumahku sampai aku selesai mengumpulkan Quran."

Umar tidak terima tetapi Fathimah membatahnya hingga ia berbalik. Umar menghasut Abu Bakar untuk menyelesaikan masalah tersebut. Abu Bakar kemudian mengirim Qunfiz (budaknya) tetapi selalu menerima jawaban negatif setiap kali ia menemui Ali. Akhirnya, Umar pergi dengan sekelompok orang ke rumah Fathimah. Ketika Fathimah mendengar suara mereka, ia berteriak keras,
"Duhai ayahku, Rasulullah! Lihatlah bagaimana Umar bin Khattab dan Abu Bakar memperlakukan kami setelah engkau tiada! Lihatlah bagaimana cara mereka menemui kami!"

Ulama-ulama Sunni seperti Ahmad bin Abdul Aziz Jauhari dalam bukunya Saqifah, Abu Wahid Muhibuddin Muhammad Syahnah Hanafi dalam bukunya Syarh al-Nahj, dan lainnya telah meriwayatkan peristiwa yang sama.

Lihat juga sejarahwan terkemuka Sunni, Abdul Hasan, Ali bin Husain Mas'udi dalam bukunya Ishabat al-Wasiyyah, menjelaskan peristiwa tersebut secara terperinci dan meriwayatkan, "Mereka mengelilingi Ali dan membakar pintu rumahnya, melemparkannya serta mendorong penghulu seluruh perempuan (Fathimah) ke dinding yang menyebabkan terbunuhnya Muhsin (putra berusia 6 bulan yang tengah dikandungnya).

Shalahuddin Khalil Safadi, ulama Sunni lain, dalam kitabnya Wafi al-Wafiyyat, pada surat 'A' ketika mencatat pandangan/pendapat Ibrahim bin Sayar bin Hani Basri, yang terkenal dengan nama Nidzam mengutip bahwa ia berkata,
"Pada hari pembaiatan, Umar memukul perut Fathimah sehingga bayi dalam kandungannya meningggal."

Menurut anda mengapa perempuan muda berusia 18 tahun harus terpaksa berjalan ditopang tongkat? Kekerasan serta tekanan yang sangat hebat menyebabkan Sayidah Fathimah Zahra senantiasa menangis, "Bencana itu telah menimpaku sehingga sekiranya bencana itu datang di siang hari, hari akan menjadi gelap." Sejak itu Fathimah jatuh sakit hingga wafatnya akibat bencana dan sakit yang menimpanya, padahal usianya baru 18 tahun.

Seperti yang dikutip oleh Ibnu Qutaibah menjelang hari-hari terakhirnya, Fathimah selalu memalingkan wajahnya ke dinding, ketika Umar dan Abu Bakar datang membesuknya menjawab ucapan mereka yang mendoakan kesembuhannya, Fathimah mengingatkan Umar dan Abu Bakar tentang pernyataan Nabi Muhammad bahwa barang siapa yang membuat Fathimah murka, maka ia telah membuat murka Nabi. Fathimah berkata,
"Allah dan malaikat menjadi saksiku bahwa engkau membuatku tidak ridha, dan kalian telah membuatku murka. Apabila aku bertemu ayahku, akan kuadukan semua perbuatan kalian berdua!"14

Karena alasan yang sama, Fathimah ingin agar kedua orang yang telah menyakitinya jangan sampai hadir di pemakamannya dan oleh karenanya ia dimakamkan malam hari. Bukhari, dalam kitabnya menegaskan bahwa Ali menuruti keinginan istrinya. Bukhari meriwayatkan dari Aisyah bahwa Fathimah sangat marah kepada Abu Bakar sehingga ia menjauhinya, tidak berbicara dengannya sampai wafatnya. Fathimah hidup selama 6 bulan setelah Nabi Muhammad wafat. Ketika Fathimah wafat, suaminya Ali menguburkannya di malam hari tanpa memberitahukan Abu Bakar dan melakukan shalat jenazah sendiri.l5 Usaha apa pun yang mereka lakukan, mereka tidak dapat menemukan makamnya. Makam Fathimah hanya diketahui oleh keluarga Ali. Hingga saat ini makam putri Nabi Muhammad yang tersembunyi merupakan tanda-tanda ketidaksukaannya kepada beberapa sahabat.


Pendapat Nabi Muhammad terhadap Orang-orang yang Menyakiti Fathimah

Nabi Muhammad sudah berulang kali mengatakan, "Fathimah adalah bagian dari diriku. Barangsiapa membuatnya murka, ia telah membuatku murka!"16

Menurut Bukhari dan Muslim, Nabi Muhammad bersaksi bahwa Fathimah adalah penghulu para perempuan alam semesta.17 Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Nabi Muhammad berkata kepada Fathimah yang menangis di tempat tidur ayahnya menjelang Nabi wafat, "Tidakkah engkau puas bahwa engkau adalah penghulu perempuan-perempuan beriman?"

Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad berkata,

"Empat penghulu wanita di dunia adalah Maryam, Asiah, Khadijah dan Fathimah. Dan yang paling utama di antara mereka semua adalah Fathimah."18

Allah SWT berfirman dalam Quran,
Hai Rasulullah katakanlah (kepada umat), "Aku tidak meminta imbalan apa pun kecuali kecintaan kepada keluargaku!"
(QS asy-Syura : 43).

Hai Rasulullah katakanlah (kepada umat), "Imbalan apapun yang aku minta (sebagai balasan dari kenabian) adalah untuk kepentinganmu (umat)!" (QS Saba : 47).

Ayat-ayat ini dengan jelas menujukkan bahwa Nabi Muhammad, atas perintah Allah, meminta umatnya untuk mencintai keluarganya sebagai sebuah perintah. Selain itu kecintaan kepada mereka dimaksudkan untuk kemashlahatan umat karena cinta sesungguhnya memiliki arti mengikuti dan menaati anggota keluarganya yang disucikan dan yang membawa sunnah yang benar.

Sayang sekali bahwa orang-orang yang menyatakan diri sebagai sahabat-sahabat sejati telah menimpakan kesengsaraan yang sangat hebat kepada keluarganya padahal seminggu sejak Nabi Muhammad wafat belum berlalu. Inikah cinta yang Allah minta untuk keluarga Nabi?

Bukan itu saja. Sumber-sumber ekonomi Ahlulbait telah ditutup untuk menghancurkan penentangan mereka. Dalam Shahih Bukhari berikut ini Aisyah meriwayatkan, Fathimah mengirim utusan kepada Abu Bakar (ketika ia menjadi khalifah), meminta warisan yang Allah karuniakan kepada Nabi dari harta fa'i (harta rampasan perang tanpa ada pertempuran) yang telah ditinggalkan Nabi di Madinah, tanah tadak, serta sisa-sisa khumus dari harta rampasan perang Khaibar. Tetapi Abu Bakar menolak untuk memberi sesuatupun kepada Fathimah. Hal ini membuatnya marah dan menjauhi Abu Bakar dan tidak berbicara kepadanya sampai ia wafat. Ia hidup 6 bulan setelah wafatnya Nabi Muhammad. Ketika wafat, suaminya Ali, menguburkan Fathimah di malam hari tanpa memberitahukan Abu Bakar dan ia sendiri yang menshalatkan Fathimah.19

Apakah Fathimah berdusta atau Abu Bakar yang berlaku tidak adil kepadanya? Jika Fathimah berdusta, ia tidak pantas menyandang apa yang diucapkan Nabi Muhammad, bahwa, "Fathimah adalah bagian dari diriku dan barangsiapa yang membuatnya marah, ia telah membuatku marah pula!" Ucapan Nabi ini sendiri merupakan bukti kesuciannya. Ayat-ayat pensucian dalam Surah al-Ahzab ayat 33 merupakan bukti lain kesuciannya, sebagaimana yang disaksikan oleh Aisyah.20 Dengan demikian tidak ada fakta lain bagi orang-orang berakal kecuali menerima kenyataan bahwa ia telah diperlakukan tidak adil, dan begitu mudahnya Fathimah disebut pendusta oleh Umar yang juga berniat membakarnya sekiranya orang-orang yang berada di rumah Fathimah tidak keluar untuk membaiat Abu Bakar.

Jadi kesimpulan logis dari hadis Shahih Bukhari dan Shahih Muslim di atas adalah Fathimah telah diperlakukan tidak adil, sehingga ia murka dan membuat murka pula Nabi Muhammad dan Allah kepada Abu Bakar dan Umar berdasarkan hadis Bukhari di atas.

Alasan mengapa Abu Bakar menolak memberikan hak Fathimah bertentangan dengan ayat Quran. Bagaimana ia dapat menjadi pengganti Nabi Muhammad sedang ia sendiri tidak menaati ayat Quran yang begitu nyata? Abu Bakar menyatakan bahwa Nabi Muhammad berkata, "Kami para Nabi tidak meninggalkan warisan apa pun, yang kami tinggalkan akan menjadi sedekah." Alasan yang ia kemukakan tidak logis karena perkataan Nabi tidak pernah bertentangan dengan ayat Quran yang dalam dua ayat membuktikan bahwa para rasul memiliki pewaris dan anakanaknya adalah pewaris dari para rasul.
Allah SWT berfirman, "Dan Nabi Sulaiman mendapat warisan dari Nabi Daud" (QS. an-Naml : 16). Sulaiman dan Daud adalah nabi-nabi yang memiliki banyak harta kekayaan. Mereka adalah raja pada zamannya. Allah Yang Maha Tinggi berfirman,

(Zakaria berdoa kepada Allah), "Karuniakanlah aku seorang anak dari hadiratmu yang akan mewariskan dariku dan keluarga Yakub, dan jadikanlah ia seorang yang Engkau ridhai!" (QS Maryam : 5-6).

Ayat-ayat ini merupakan contoh bahwa para nabi memiliki pewaris. Sebenarnya, Fathimah menyebutkan ayat-ayat ini sebagai bukti akan haknya, tetapi Abu Bakar menolaknya karena saran Umar, dan secara sengaja mereka telah menentang ayat Quran yang sangat jelas.

Kenyataan sejarah membuktikan bahwa Nabi Muhammad SAW bahkan telah menyerahkan tanah Fadak yang luas dan subur di Hijaz kepada Fathimah dan tanah tersebut merupakan harta Fathimah sebelum Nabi Muhammad wafat.

Persoalan itu ternyata bukan hanya persoalan warisan, seperti yang diklaim Abu Bakar. Alasan Nabi Muhammad menyerahkan tanah Fadak kepada Fathimah adalah sebagai sumber penghasilan Ahlulbait. Tetapi setelah Nabi Muhammad wafat, Abu Bakar dan Umar menghapus nama pemilik tanah itu dan mengambil alih tanah serta harta Ahlulbait lainnya. Alasannya sangat sederhana. Mereka menyadari bahwa jika harta ini tetap berada di tangan Ali dan Fathimah, semoga kesejahteraan senantiasa atas mereka, mereka akan mengeluarkan penghasilannya bagi pengikut mereka. Hal ini akan memperkuat kelompok oposisi Abu Bakar dan Umar dan membahayakan posisi mereka. Abu Bakar dan Umar menyadari kenyataan bahwa untuk mengendalikan pihak oposisi, penting bagi mereka untuk menghilangkan semua sumber-sumber ekonomi mereka.

Jadi permasalahanya bukan semata-mata masalah harta, melainkan lebih bersifat politis. Kemarahan Fathimah bukan untuk kesenangan duniawi. Sejarah membuktikan bahwa Ali dan Fathimah hidup sangat sederhana ketika Nabi masih hidupdan setelah Nabi wafat. Yang sangat terkenal adalah bahwa Surah al-Insan ayat 8-9 turun bagi mereka ketika selama tiga hari berturut-turut mereka memberikan makanan mereka kepada pengemis pada saat akan berbuka puasa (ifthar), dan tidak ada makanan yang tersisa untuk anak - anak mereka selama 3 hari berturut - turut. Oleh karenanya orang - orang beriman ini tidak menuntut atau marah demi hal-hal yang bersifat duniawi. Itulah mengapa kemarahan Fathimah adalah kemarahan Nabi Muhammad. Mereka, sebenarnya, tengah berjuang di jalan Allah dan mengeluarkan harta sah mereka untuk jalan yang benar dan untuk pengikut-pengikutnya.

Pada saat Harun Rasyid berkuasa, wilayah Islam sangat luas, membentang dari Afghanistan dan Asia Tengah hingga Afrika Utara. Maka adalah suatu hal yang kecil bagi pemerintah untuk memberikan sebidang kecil tanahnya. Selain itu, dengan mengembalikan tanah Fadak, hal itu akan menjadi propaganda bagi kepentingan mereka. Menurut beberapa riwayat, Harun Rasyid berkata kepada Musa Kazhim, Imam Ahlulbait ketujuh, "Aku ingin mengetahui seberapa luas lokasi tanah Fadak itu agar aku dapat mengembalikannya padamu?" Imam Musa berkata, "Saya hanya akan menerima jika engkau memberikan semuanya." Harun berkata, "Kalau begitu katakan saja berapa luasnya? Aku bersumpah atas nama kakekmu, aku mengembalikannya." Akhirnya Imam berkata, "Tanah itu terbentang dari salah satu sisi Aden (bagian semenanjung Arab), Samarkan (Afghanistan), dan dari Armenia (Rusia selatan) dan dari Mesir di Afrika!" Wajah Harun memerah dan berkata, "Berarti tidak ada yang tersisa bagi kami?" Musa berkata, "Telah aku katakan jika aku jelaskan luasnya, engkau tidak akan mengembalikannya padaku!"21


Lampiran

Berikut ini teks keseluruhan hadis 5.546 dalam Shahih Bukhari yang diterangkan di atas. Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Fathimah mengutus seseorang kepada Abu Bakar, meminta warisan yang telah ditinggalkan Nabi Muhammad dari Allah atas hasil fa'i di Madinah, tanah Fadak, dan sisa khumus dari rampasan perang Khaibar. Abu Bakar berkata, "Rasulullah berkata, 'Kami para rasul tidak meninggalkan warisan. Segala sesuatu yang kami tinggalkan adalah sedekah, tetapi keluarga Nabi Muhammad mendapat bagian dari harta ini.' Demi Allah, aku tidak akan mengubah ketetapan Rasulullah ini, akan tetap seperti itu sebagaimana ketika Rasulullah masih hidup, dan akan keluarkan Rasulullah." Abu Bakar menolak memberikan sesuatupun dari harta itu kepada Fathimah. Oleh karenanya, Fathimah marah kepada Abu Bakar. la. menjauhinya dan tidak mau berbicara dengannya hingga akhir hayatnya. la hidup hanya 6 bulan setelah ayahnya wafat. Ketika ia wafat, suaminya, Ali, menguburkannya pada tengah malam tanpa memberitahukan Abu Bakar dan menshalatinya sendiri.

Saat Fathimah masih hidup, orang-orang masih menghormati Ali, tetapi setelah ia wafat, Ali melihat perubahan dalam prilaku orang-orang kepadanya. Oleh karenanya Ali berdamai dengan Abu Bakar dan membaiatnya. Ali tidak membaiat Abu Bakar selama 6 bulan (periode antara wafatnya Nabi Muhammad dan wafatnya Fathimah). Ali mengutus seseorang kepada Abu Bakar untuk berkata, "Datanglah kepadaku, tetapi jangan ada orang lain bersamamu." Karena ia tidak suka kalau Umar turut serta. Umar berkata (kepada Abu Bakar), "Jangan! Demi Allah kamu tidak boleh pergi sendiri." Abu Bakar berkata, "Memangnya apa yang akan mereka lakukan terhadapku? Demi Allah aku akan pergi!" Lalu Abu Bakar pergi ke tempat Ali. Ali kemudian mengucapkan dua kalimat syahadat dan berkata, "Kami mengetahui keutamaanmu dan apa yang telah Allah berikan padamu, dan kami tidak cemburu atas kebaikan yang telah Allah berikan padamu.

Tetapi engkau tidak berunding denganku mengenai urusan ini. Kami berpikir bahwa kami memiliki hak atasnya karena kedekatan hubungan kekerabatan kami dengan Rasulullah."

Mendengar ucapan Ali ini, Abu Bakar menangis. Dan ketika Abu Bakar mengeluarkan suara, ia berkata, "Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya aku akan menjaga hubunganku dengan keluarga Rasulullah lebih baik daripada hubungan dengan keluargaku. Tetapi, mengenai masalah yang terjadi antara aku dan engkau dalam harta ini, aku akan berbuat sebaik mungkin, mengeluarkannya berdasarkan sesuatu yang benar dan aku tidak akan meninggalkan hukum/aturan Allah yang telah dicontohkan Rasulullah dalam mengeluarkannya, dan aku akan mengikutinya." Mendengar hal itu Ali berkata kepada Abu Bakar, "Aku berjanji akan memberi baiatku, siang ini."

Usai menunaikan shalat Dzuhur, Abu Bakar naik mimbar dan mengucapkan dua kalimat syahadat. Lalu ia bercerita mengenai Ali, mengapa ia tidak membaiatnya dan memaafkan Ali, dan menerima alasan yang diajikan. Kemudian Ali berdiri, berdoa, dan memohon ampunan-Nya. la mengucapkan dua kalimat syahadat, memuji Abu Bakar dan berkata bahwa ia tidak membaiat Abu Bakar bukan karena cemburu kepadanya atau protes atas apa yang Allah berikan padanya. Ali melanjutkan, "Kami menganggap bahwa kami juga memilliki hak atas urusan ini (kepemimpinan) dan ia (Abu Bakar) tidak mengajaknya berunding."

Oleh karenanya, ia menyayangkan hal itu. Semua orang Muslimin di tempat itu merasa lega dan berkata, "Engkau telah melakukan hal yang benar." Kaum Muslimin menjadi bersahabat dengan Ali karena ia melakukan apa yang dilakukan kaum Muslimim (berbaiat kepada Abu Bakar).


Perampasan Tanah Fadak

Fathimah, putri satu-satunya yang sangat dicintai Nabi Muhammad SAW, menuntut warisan tanahnya di Madinah, Khaibar, dan juga tanah Fadak, yang Rasul peroleh dari orang-orang Yahudi tanpa paksaan. Nabi Muhammad telah memberikan harta tersebut untuk kelangsungan Ahlulbait dan pengikutnya atas perintah Allah. Akan tetapi harta-harta tersebut diambil alih setelah Nabi wafat.

Khalid menuliskan, persoalan selanjutnya yang diketahui adalah warisan Nabi Muhammad, kebun Fadak. Pertama-tama kita harus memastikan apakah Nabi Muhammad memiliki harta pada saat ia wafat. Kita mengetahui bahwa setelah turunnya wahyu, Nabi Muhammad tidak memiliki penghasilan. Seluruh waktunya ia persembahkan untuk berjuang di jalan Allah. Di Mekkah, penghidupannya berasal dari harta yang Khadijah miliki dan setelah hijrah ke Madinah ia benar-benar tidak memiliki apa pun. Kemudian, saat perang melawan orang-orang kafir dimulai, Nabi menerima wahyu agar mengambil lima bagian dari harta rampasan (QS. al-Anfal :41). Penghasilan Nabi Muhammad diperoleh dari beberapa mata air yang ditinggalkan oleh Bani Nadhir di Madinah. Nabi Muhammad biasanya menggunakan penghasilannya untuk menghidupi keluarganya dan sisanya ia keluarkan di jalan Allah. Perhatikan bahwa harta ini bukan harta yang dimiliki oleh Rasulullah tetapi harta yang digunakannya sebagai pemimpin agama Islam. Jelaslah bahwa ia tidak mengumpulkan harta untuk diri pribadi. Haknya ini hanya berlangsung selama ia masih hidup dan ia telah menjelaskannya ketika masih hidup. Bukhari, Muslim dan Ahmad meriwayatkan, "Aku tidak mewariskan apa pun. Apa saja yang kutinggalkan adalah untuk istri-istriku dan membayar hutang-hutangku serta sisanya adalah untuk amal." Mari kita perhatikan bagaimana persoalan warisan ini muncul dan tindakan apa yang dilakukan oleh para khalifah.

Untuk menanggapi pandangan di atas, pertama-tama, kami ingin menyebutkan ayat Quran yang disebutkan saudara Khalid mengenai Khumus. Meskipun keluar konteks, tetapi tidaklah salah menyebutkan, bahwa kata khumus (secara literal artinya seperlima) tidak terbatas hanya pada harta rampasan perang melawan orang-orang kafir. Kami akan menyandarkan persoalan ini pada hadis, tetapi sebelumnya kita akan menyebutkan ayat berikut:
Dan tahukah kalian (hai orang-orang beriman), bahwa segala yang kamu peroleh seperlimanya milik Allah, dan Rasulnya, dan keluarga (Rasul), serta anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan... (QS al-Anfal :41).

Hadis berikutnya dengan jelas menyebut bahwa humus tidak terbatas pada harta rampasan sebagaimana yang diyakini saudara kita Sunni.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas utusan - utusan suku Abdul Qais menemui Nabi Muhammad dan berkata ya Rasulullah kami berasal dari suku Rabiah dan diantara kami dan engkau ada orang - orang Kafir dari suku mudar. Oleh Karenanya kami tidak dapat datang kepadamu kepdamu kecuali di bulan Haram.

Perintahkanlah kepada kami sesuatu agar kami dapat melakukannya sendiri dan mengajak kaum kami juga mengawasinya." Nabi berkata, "Aku memerintahkan kamu untuk melakukan empat hal. Aku perintahkan kalian untuk beriman kepada Allah, bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah (Nabi menunjikan tangannya ke atas), melaksanakan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan membayar khumus."22

Sebelum kami menyelesaikan hingga kesimpulan, kami memberi komentar berikut; 1) Nampaknya suku Bani Abdul Qais bukan suku yang kuat. Selain itu, ketika mereka harus pergi ke Madinah, mereka harus melintasi sebuah daerah yang dihuni oleh suku (Muzar) yang memusulii kaum Muslimin, 2) Hal ini membuat mereka tidak dapat pergi kecuali pada bulan Haram, bulan ketika peperangan dilarang. Hal ini tidak berarti bahwa penerapan khumus pada hadis di atas hanya pada harta rampasan perang.

Anda menyebutkan bahwa Nabi Muhammad telah meriwayatkan, sebagaimana yang anda klaim dalam Shahih Bukhari-Muslim, Musnail Ahmad ibn Hanbal, dan lain-lain, bahwa ia tidak mewariskan apa pun. Sebelum kami mengungkapkan referensi hadis shahih, kami ingin menjelaskan bahwa makna 'pewaris' artinya orang yang mewarisi atau orang yang sah mendapat warisan. Karenanya, pernyataan bahwa 'pewaris' tidak mengurusi hal-hal yang ditinggalkan orang yang telah tiada bertentangan dengan hadis yang ditemukan dalam kitab-kitab Sunni.

Ali berkata bahwa ia mendengar Rasulullah berkata,
"Aku telah mengaruniai Ali lima hal, tidak seorang rasul pun sebelum aku yang dianugerahi hal seperti itu. Salah satunp adalah bahwa Ali akan membayarkan hutang-hutangku dan memakamkanku."23

Kami akan menyebutkan ayat Quran yang mendukung pernyataan bahwa pewaris Nabi Muhammad akan membayarkan hutang-hutangnya. Berdasarkan Surah asy-Syu'ara ayat 124, Ibnu Mardawaih meriwayatkan sebuah hadis dari Ali yang menyatakan bahwa ketika ayat beritakanlah kepada kerabat terdekatmu", turun, Rasulallah berkata,"Ali akan membayarkan hutang - hutangku dan memenuhi semua janji-janjiku."24

Selain itu, Imam Ahmad dalam Musnad-nya menyimpulkan bahwa hadis dari Nabi Muhammad, "Tidak ada orang yang akan membayarkan hutang-hutangku dan menyelesaikan semua urusanku kecuali Ali."25

Berdasarkan hadis di atas siapakah yang telah memberi hak kepada Abu Bakar untuk mendistribusikan harta Nabi Muhammad? Nabi dengan jelas menyebutkan bahwa Ali lah yang berhak dan Ali sendiri yang diserahi. tugas mendistribusikan hartanya dan/atau membayarkan hutang-hutangnya. Kita akan menyebutkan satu lagi hadis yang menyatakan Ali membayarkan hutang-hutang Nabi Muhammad dari hartanya sendiri.

Setelah Nabi Muhammad wafat, Ali menyelesaikan urusan-urusan tertentu. Banyak dari urusan ini adalah janji dan kontrak yang dibuat Nabi Muhammad dan Ali telah menyelesaikannya. Disebutkan berjumlah 5000 dirham, yang kemudian Ali bayar.26 Hutang-hutang tersebut dibayarkan dari harta milik Ali sendiri dan bukan dari Baitul Mal. Hal ini pun dilanjutkan oleh Hasan dan Husain.

Berikut ini hadis yang diriwayatkan dalam Tabaqat Ibn Sa'd. Abdul Wahid Abi Aun meriwayatkan bahwa setelah Nabi Muhammad wafat, Ali memerintahkan seseorang untuk mengumumkan sekiranya Nabi Muhammad memiliki hutang atau janji, Ali akan membayarnya dan memenuhi janjinya. Setelah Ali, hal ini dilanjutkan oleh Hasan dan Husain. Artinya setelah Nabi Muhammad wafat keturunannya melanjutkan tanggung jawab mereka selama 50 tahun.

Menarik untuk disimak bahwa janji-janji Rasulullah serta hutang-hutangnya yang dibayarkan oleh Ahlulbait sebagai pewaris harta Nabi menjadi tanggung jawab Abu Bakar. Suatu fenomena yang mengherankan.

Khalid mengatakan, berdasarkan hukum Islam hanya ada tiga pewaris; Fathimah binti Muhammad, Abbas dan istri-istrinya. Fathimah dan Abbas menuntut warisan mereka segera setelah Umar menjabat sebagai khalifah. Pada riwayat tertentu Fathimah bahkan berkata kepada Abu Bakar, "Jika engkau dapat memberikan warisanmu kepada pewarismu, mengapa saya tidak dapat memperoleh warisanku dari apa yang ditinggalkan ayahku?" Mendengar pernyataan ini Abu Bakar berkata,"Rasulallah berkata,'Aku tidak mewariskan apa pun. Semua yang aku tinggalkan adalah sedekah'. Aku tidak akan meninggalkan apa yang telah Rasulallah lakukan, karena jika tidak aku takut akan berbuat salah. Namun aku akan tetap menjaga apa yang telah dijaga olehnya dan menggunakannya sebagaimana yang ia lakukan. Demi Allah, aku akan berlaku lebih baik kepada keluarganya daripada kepada keluargaku." Khalid menyatakan tidak membaca atau mendengar Fathimah Atau Abbas menuduh Abu Bakar membuat salah.

Bertentangan dengan apa yang telah anda katakan bahwa Abu Bakar tidak dituduh berbuat salah, kami dapat menunjukkannya dengan sikap Fathimah yang diriwayatkan dalam hadis Bukhari. Diriwayatkan dari Aisyah. Setelah Nabi Muhammad wafat, Fathimah, putri Rasulullah, meminta Abu Bakar untuk memberikan bagian warisannya yang telah Allah karuniakan kepada Nabi Muhammad dari fa'i. Abu Bakar berkata kepadanya, "Para rasul tidak mewariskan apapun, semua yang kami tinggalkan adalah sedekah."27

Mendengar hal ini Fathimah murka dan tidak berbicara hingga wafatnya kepada Abu Bakar. Fathimah hidup hanya enam bulan setelah ayahnya wafat. la. meminta Abu Bakar untuk memberikan bagian warisan yang Rasulullah tinggalkan untuknya di Khaibar dan di Madinah. Kesimpulannya akan kami sandarkan pada hadis berikut.

Sayidah Fathimah Zahra tidak berkenan oleh penolakan Abu Bakar memberikan warisannya.

Fathimah marah (Bukhari menggunakan kata 'murka') hingga ia wafat dan memperlihatkan penderitaan dan kesengsaraannya setelah Nabi Muhammad wafat. Hal ini mengingatkan kami akan ucapannya yang suci, "Sekiranya ayahku masih hidup saat ini, dan melihat diriku menderita, siang hari akan berubah menjadi gelap."

Berdasarkan riwayat di atas ia meminta warisannya berulangkali. Saudara Khalid menyatakan bahwa Sayidah Fathimah tidak pernah menuduh Abu Bakar berbuat salah. Sebelum memberi tanggapan, kami akan menyebutkan hadis Bukhari lainnya.

Shahih Bukhari hadis 5.546 :
Fathimah hidup 6 bulan setelah Nabi Muhammad wafat. Ketika wafat, suaminya Ali memakamkannya di malam hari tanpa memberitahu Abu Bakar. la melakukan shalat jenazah sendiri....

Sejarahwan Thabari juga menulis Abi Shalih Dirari Abdurrazzaq bin Hummam dari Mamar dari Zuhri dari Urwah dari Aisyah berkata,
"Fathimah dan Abbas menemui Abu Bakar menuntut (bagian) warisan Rasulullah. Mereka menuntut atas hak tanah Fadak dan Khaibar. Abu Bakar berkata, 'Aku mendengar Rasulullah berkata, 'Kami (para rasul) tidak mewariskan apapun. Semua yang kami tinggalkan adalah amal (sedekah), keluarga Nabi Muhammad akan mendapatkan darinya. Demi Allah, aku tidak akan meninggalkan jalan yang telah dicontohkan Nabi, tetapi aku akan terus melakukannya!' Fathimah berang dan tidak berbicara kepadanya hingga ia wafat. Ali memakamkannya di malam hari tanpa sepengetahuan Abu Bakar."28

Berkaitan dengan hal ini, Ummu Ja'far, putri Muhammad bin Ja'far, meriwayatkan permintaan Fathimah kepada Asma binti Umais menjelang kematiannya,
"Bila aku mati, aku ingin engkau dan Ali yang memandikanku. Jangan izinkan seorang pun masuk ke dalam rumahku!"

Ketika ia wafat, Aisyah datang. Asma berkata padanya, "Jangan masuk!" Aisyah mengadukan hal itu kepada Abu Bakar, "Khathamiyyah ini (seorang perempuan dari suku Khatam, Asma) mengahalangi aku untuk menengok putri Rasulullah." Kemudian Abu Bakar datang. Ia berdiri di pintu dan berkata, "Hai Asma, apa yang menyebabkanmu tidak mengizinkan istri Rasulullah melihat putri Rasulullah?" Asma menjawab, "la sendiri memerintahkanku untuk tidak mengijinkan seorang pun masuk ke rumahnya." Abu Bakar berkata, "Lakukan apa yang telah ia perintahkan!"29

Muhammad bin Umar Waqidi berkata,
"Telah terbukti bahwa Ali melakukan shalat jenazah sendiri dan menguburkannya di malam hari, ditemani Abbas dan Fadhl bin Abbas, dan tidak memberitahu siapapun. Itulah alasan mengapa makam Fathimah tersebut tidak diketahui hingga kini."30

Jika kami harus menerima bahwa Fathimah tidak menuduh bahwa Abu Bakar melakukan kesalahan, lalu mengapa ia marah kepada Abu Bakar dan tidak mengizinkannya untuk menghadiri pemakamannya sebagaimana yang dinyatakan dalam wasiatnya. Anehnya, Bukhari dengan jelas menyebutkan bahwa Fathimah memerintahkan Ali untuk tidak memberitahu Abu Bakar. Jika Fathimah penghulu seluruh perempuan, dan ia adalah satu-satunya perempuan di seluruh dunia Islam yang telah disucikan oleh Allah SWT, maka kemarahannya pastilah benar. Hal ini karena Abu Bakar berkata, "Semoga Allah menyelamatkanku/mengampuniku dari kemurkaan-Nya dan kemurkaan Fathimah!" (kata-kata yang sama juga digunakan oleh Bukhari). Kemudian Abu Bakar menangis keras ketika Fathimah berseru, "Aku akan mengutukmu di setiap shalatku!" Ia mendekati Fathimah dan berkata, "Lepaskan aku dari baiat ini dan kewajiban-kewajibanku!"31

Saudara Sunni kita, Khalid, berdalih bahwa kelompok ketiga yang menuntut warisan adalah para istri Nabi. Mereka juga mengirim Utman kepada Abu Bakar sebagai wakil-wakil mereka untuk meminta 1/8 bagian mereka. Tetapi Aisyah menentangnya sehingga semua istri menarik kembali tuntutan mereka.
Satu hal yang perlu dikemukakan mengenai hal ini adalah bahwa Rasulullah pernah berkata ketika ia masih hidup bahwa sumber mata air ini (Fadak) diberikan kepada Fathimah.


(Scondprince/Jakfari/Syiah-Ali/Al-Hassanain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: