Pesan Rahbar

Home » , , , , , , » BANTAHAN WAHABI AKUN Dedengkot Salil Sowarim Menyatakan: dalam kitab syiah sendiri yang bukan dari sekte rafidhah ( sekte pembenci sahabat2 nabi)

BANTAHAN WAHABI AKUN Dedengkot Salil Sowarim Menyatakan: dalam kitab syiah sendiri yang bukan dari sekte rafidhah ( sekte pembenci sahabat2 nabi)

Written By Unknown on Saturday, 6 September 2014 | 12:20:00

Berikut Nashibi (wahabi) AKUN Dedengkot Salil Sowarim Menyatakan: dalam kitab syiah sendiri yang bukan dari sekte rafidhah ( sekte pembenci sahabat2 nabi):


Sumber: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=1472775682982287&set=gm.257960070994869&type=1

Jawaban Syiah:

Syiah adalah Pembunuh Sayyidina Husain di Karbala. Benarkah?????


Seorang tokoh Islam yang terkenal di Pakistan, Maulana Ali Ahmad Abbasi menulis di dalam bukunya “Hazrat Mu’aawiah Ki Siasi Zindagi” bahwa di dalam sejarah Islam, ada dua orang yang sungguh kontroversial. Seorang di antaranya adalah Amirul Mukminin Yazid yang makin lama makin dimusnahkan image-nya walaupun semasa hayatnya beliau diterima baik oleh tokoh-tokoh utama di zaman itu. Seorang lagi ialah Manshur Al Hallaj. 
Di zamannya dia telah dihukum sebagai mulhid, zindiq, dan salah seorang daripada golongan Qaramithah oleh masyarakat Islam yang membawanya disalib. Amirul Mukminin Al Muqtadir Billah telah menghukumkan beliau murtad berdasarkan fatwa sekalian ulama dan fuqaha’ yang hidup pada waktu itu, tetapi image-nya semakin cerah tahun demi tahun sehingga akhirnya telah dianggap sebagai salah seorang ‘Aulia Illah’.
Bagaimanapun semua ini adalah permainan khayalan dan fantasi manusia yang jauh dari berpijak di bumi yang nyata. Semua ini adalah akibat dari tidak menghargai dan memberikan penilaian yang sewajarnya kepada pendapat orang-orang pada zaman mereka masing-masing.
Pendapat tokoh-tokoh dari kalangan sabahat dan tabi’in yang sezaman dengan Yazid, berdasarkan riwayat-riwayat yang muktabar dan sangat kuat kedudukannya, menjelaskan kepada kita bahwa Yazid adalah seorang anak muda yang bertaqwa, alim, budiman, shalih, dan pemimpin ummah yang sah dan disepakati kepemimpinannya. Baladzuri umpamanya dalam “Ansabu Al Asyraf” mengatakan bahwa, “Bila Yazid dilantik menjadi khalifah maka Abdullah bin Abbas, seorang tokoh dari Ahlul Bait berkata: “Sesungguhnya anaknya Yazid adalah dari keluarga yang shalih. Oleh karena itu, tetaplah kamu berada di tempat-tempat duduk kamu dan berilah ketaatan dan bai’at kamu kepadanya” (Ansabu Al Asyraf, jilid 4, halaman 4).
Sejarawan Baladzuri adalah di antara ahli sejarah yang setia kepada para Khulafa Al Abbasiyah. Beliau telah mengemukakan kata-kata Ibnu Abbas ini di hadapan mereka dan menyebutkan pula sebelum nama Yazid sebutan ‘Amirul Mukminin’.
Abdullah Ibnu Umar yang dianggap sebagai orang tua di kalangan sahabat pada masa itu pun bersikap tegas terhadap orang-orang yang menyokong pemberontakan yang dipimpin oleh Ibnu Zubair terhadap kerajaan Yazid, dan sikap yang begini disebut di dalam Shahih Bukhari bahwa, bila penduduk Madinah membatalkan bai’at mereka terhadap Yazid bin Muawiyah maka Ibnu Umar mengumpulkan anak pinak dan sanak saudaranya lalu berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Akan dipacakkan bendera untuk setiap orang yang curang (membatalkan bai’atnya) pada hari kiamat. Sesungguhnya kita telah berbai’at kepadanya dengan nama Allah dan RasulNya. Sesungguhnya saya tidak mengetahui kecurangan yang lebih besar daripada kita berbai’at kepada seseorang dengan nama Allah dan RasulNya, kemudian kita bangkit pula memeranginya. Kalau saya tahu ada siapa saja dari kamu membatalkan bai’at kepadanya, dan turut serta di dalam pemberontakan ini, maka terputuslah perhubungan di antaraku dengannya.” (Shahih Bukhari – Kitabu Al Fitan).
Sebenarnya jika dikaji sejarah permulaan Islam, kita dapati pembunuhan Sayyidina Husain di zaman pemerintahan Yazid-lah yang merupakan fakta terpenting mendorong segala fitnah dan keaiban yang dikaitkan dengan Yazid tidak mudah ditolak oleh generasi kemudian. Hakikat inilah yang mendorong lebih banyak cerita-cerita palsu tentang Yazid  yang diada-adakan oleh musuh-musuh Islam. Tentu saja, orang yang membunuh menantu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang tersayang- dibelai oleh Rasulullah dengan penuh kasih sayang semasa hayatnya kemudian dijunjung pula dengan menyebutkan kelebihan dan keutamaan-keutamaannya di dalam hadits-hadits Baginda- tidak akan dipandang sebagai seorang yang berperi kemanusiaan apalagi untuk mengatakannya seorang shalih, budiman, bertaqwa ,dan pemimpin umat Islam.
Karena itulah cerita-cerita seperti Yazid sering kali minum arak, seorang yang suka berfoya-foya, suka mendengar musik, dan menghabiskan waktu dengan penari-penari, begitu juga beliau adalah orang terlalu rendah jiwanya sehingga suka bermain dengan monyet dan kera, terlalu mudah diterima oleh umat Islam kemudian.
Tetapi soalnya, benarkah Yazid membunuh Sayyidina Husain? Atau benarkah Yazid memerintahkan supaya Sayyidina Husain dibunuh di Karbala?
Selagi tidak dapat ditentukan siapakah pembunuh Sayyidina Husain yang sebenarnya dan terus diucapkan, “Yazidlah pembunuhnya,” tanpa soal selidik yang mendalam dan teliti, maka selama itulah nama Yazid akan terus tercemar dan dia akan dipandang sebagai manusia yang paling malang. Tetapi bagaimana jika yang membunuh Sayyidina Husain itu bukan Yazid? Kemanakah pula akan kita bawakan segala tuduhan-tuduhan liar, fitnah, dan caci maki yang selama ini telah kita sandarkan pada Yazid itu?
Jika kita seorang yang cintakan keadilan, berlapang dada, sudah tentu kita akan berusaha untuk membincangkan segala keburukan yang dihubungkan kepada Yazid selama ini dan kita pindahkannya ke halaman rumah pembunuh- pembunuh Sayyidina Husain yang sebenarnya. Apalagi jika kita seorang Ahlus Sunnah wal Jamaah, sudah tentu dengan dengan adanya bukti-bukti yang kuat dan kukuh daripada sumber-sumber rujukan muktabar dan berdasarkan prinsip-prinsip aqidah yang diterima di kalangan Ahlus Sunnah, kita akan terdorong untuk membersihkan Yazid daripada segala tuduhan dan meletakkannya ditempat yang istimewa dan selayak dengannya di dalam rentetan sejarah awal Islam.
Sekarang marilah kita pergi ke tengah-tengah medan penyelidikan tentang pembunuhan Sayyidina Husain di Karbala bersama-sama dengan sekian banyak anggota keluarganya.
Pembunuh Sayyidina Husain Adalah Syiah Kufah.
Terlebih dahulu kita akan menyatakan dakwaan kita secara terus terang dan terbuka bahwa pembunuh Sayyidina Husain yang sebenarnya bukanlah Yazid, tetapi adalah golongan Syiah Kufah.
Dakwaan ini berdasarkan beberapa fakta dan bukti-bukti daripada sumber-sumber rujukan sejarah yang muktabar. Kita akan membahagi-bahagikan bukti-bukti yang akan dikemukakan nanti kepada dua bahagian :
  1.  Bukti-bukti utama
  2.  Bukti-bukti sokongan
I. Bukti-bukti Utama
Dengan adanya bukti-bukti utama ini, tiada mahkamah pengadilan yang dibangunkan untuk mencari kebenaran dan mendapatkan keadilan akan memutuskan Yazid sebagai terdakwa dan sebagai penjahat  yang bertanggungjawab di dalam pembunuhan Sayyidina Husain. Bahkan Yazid akan dilepaskan dengan penuh penghormatan dan akan terbongkarlah rahasia yang selama ini menutupi pembunuh-pembunuh Sayyidina Husain yang sebenarnya di Karbala.
Bukti pertamanya ialah pengakuan Syiah Kufah sendiri bahwa merekalah yang membunuh Sayyidina Husain. Golongan Syiah Kufah yang mengaku telah membunuh Sayyidina Husain itu kemudian muncul sebagai golongan “At Tawwaabun” yang kononnya menyesali tindakan mereka membunuh Sayyidina Husain. Sebagai cara bertaubat, mereka telah berbunuh-bunuhan sesama mereka seperti yang pernah dilakukan oleh orang-orang Yahudi sebagai pernyataan taubatnya kepada Allah karena kesalahan mereka menyembah anak lembu sepeninggalan Nabi Musa ke Thur Sina.
Air mata darah yang dicurahkan oleh golongan “At Tawaabun” itu masih kelihatan dengan jelas pada lembaran sejarah dan tetap tidak hilang walaupun coba dihapuskan oleh mereka dengan beribu-ribu cara.
Pengakuan Syiah pembunuh-pembunuh Sayyidina Husain ini diabadikan oleh ulama-ulama Syiah yang merupakan tunggak dalam agama mereka seperti Baqir Majlisi, Nurullah Syustri, dan lain-lain di dalam buku mereka masing-masing. Baqir Majlisi menulis :
“Sekumpulan orang-orang Kufah terkejut oleh satu suara ghaib. Maka berkatalah mereka, “Demi Tuhan! Apa yang telah kita lakukan ini tak pernah dilakukan oleh orang lain. Kita telah membunuh “Penghulu Pemuda Ahli Surga” karena Ibnu Ziad anak haram itu. Di sini mereka mengadakan janji setia di antara sesama mereka untuk memberontak terhadap Ibnu Ziad tetapi tidak berguna apa-apa.” (Jilaau Al ‘Uyun, halaman 430).
Qadhi Nurullah Syustri pula menulis di dalam bukunya Majalisu Al Mu’minin bahwa setelah  sekian lama (lebih kurang 4 atau 5 tahun) Sayyidina Husain terbunuh, ketua orang-orang Syiah mengumpulkan orang-orang Syiah dan berkata, “Kita telah memanggil Sayyidina Husain dengan memberikan janji akan taat setia kepadanya, kemudian kita berlaku curang dengan membunuhnya. Kesalahan kita sebesar ini tidak akan diampunkan kecuali kita berbunuh-bunuhan sesama kita.” Dengan itu berkumpullah sekian banyak orang Syiah di tepi Sungai Furat sambil mereka membaca ayat yang bermaksud, “Maka bertaubatlah kepada Tuhan yang telah menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu. Itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Tuhan yang menjadikan kamu.” (Al Baqarah :54). Kemudian mereka berbunuh-bunuhan sesama sendiri. Inilah golongan yang dikenali dalam sejarah Islam dengan gelaran “At Tawaabun.”
Sejarah tidak melupai dan tidak akan melupai peranan Syits bin Rab’i di dalam pembunuhan Sayyidina Husain di Karbala. Tahukah Anda siapa itu Syits bin Rab’i? Dia adalah seorang Syiah tulen, pernah menjadi duta ke Sayyidina Ali di dalam peperangan Shiffin, sentiasa bersama Sayyidina Husain. Dialah juga yang menjemput Sayyidina Husain ke Kufah untuk mencetuskan pemberontakan terhadap kerajaan pimpinan Yazid, tetapi apakah yang telah dilakukan olehnya?
Sejarah memaparkan bahwa dialah yang mengepalai 4.000 orang bala tentera untuk menentang Sayyidina Husain dan dialah orang yang mula-mula turun dari kudanya untuk memenggal kepala Sayyidina Husain. (Jilaau Al Uyun dan Khulashatu Al Mashaaib, halaman 37).
Adakah masih ada orang yang ragu-ragu tentang Syiahnya Syits bin Rab’i dan tidakkah orang yang menceritakan perkara ini ialah Mullah Baqir Majlisi, seorang tokoh Syiah terkenal? Secara tidak langsung ia bermakna pengakuan daripada pihak Syiah sendiri tentang pembunuhan itu.
Lihatlah pula kepada Qais bin Asy’ats, ipar Sayyidina Husain, yang tidak diragui tentang Syiahnya tetapi apa kata sejarah tentangnya? Bukankah sejarah menjelaskan kepada kita bahwa itulah orang yang merampas selimut Sayyidina Husain dari tubuhnya selepas selesai pertempuran? (Khulashatu Al Mashaaib, halaman 192)
Selain dari pengakuan mereka sendiri yang membuktikan merekalah sebenarnya pembunuh- pembunuh Sayyidina Husain, pernyataan saksi-saksi yang turut serta di dalam rombongan Sayyidina Husain sebagai saksi-saksi hidup di Karbala, yang terus hidup selepas peristiwa ini, juga membenarkan dakwaan ini termasuk pernyataan Sayyidina Husain sendiri yang sempat direkam oleh sejarah sebelum beliau terbunuh. Sayyidina Husain berkata dengan menujukan kata-katanya kepada orang- orang Syiah Kufah yang siap sedia bertempur dengan beliau:
“Wahai orang-orang Kufah! Semoga kamu dilaknat sebagaimana dilaknat maksud- maksud jahatmu. Wahai orang-orang yang curang, zalim, dan pengkhianat! Kamu telah menjemput kami untuk membela kamu di waktu kesempitan tetapi bila kami datang untuk memimpin dan membela kamu dengan menaruh kepercayaan kepadamu maka sekarang kamu hunuskan pedang dendammu kepada kami dan kamu membantu musuh-musuh di dalam menentang kami.” (Jilaau Al Uyun, halaman 391).
Beliau juga berkata kepada Syiah:
“Binasalah kamu! Bagaimana boleh kamu menghunuskan perang dendammu dari sarung-sarungnya tanpa sebarang permusuhan dan perselisihan yang ada di antara kamu dengan kami? Kenapakah kamu siap sedia untuk membunuh Ahlul Bait tanpa sebarang sebab?” (Ibid).
Akhirnya beliau mendoakan keburukan untuk golongan Syiah yang sedang berhadapan untuk bertempur dengan beliau:
“Ya Allah! Tahanlah keberkatan bumi dari mereka dan selerakkanlah mereka. Jadikanlah hati-hati pemerintah terus membenci mereka karena mereka menjemput kami dengan maksud membela kami tetapi sekarang mereka menghunuskan pedang dendam terhadap kami.” (Ibid)
Beliau juga dicatat telah mendoakan keburukan untuk mereka dengan kata-katanya: “Binasalah kamu! Tuhan akan membalas bagi pihakku di dunia dan di akhirat… Kamu akan menghukum diri kamu sendiri dengan memukul pedang-pedang di atas tubuhmu dan mukamu akan menumpahkan darah kamu sendiri. Kamu tidak akan mendapat keberuntungan di dunia dan kamu tidak akan sampai kepada hajatmu. Apabila mati nanti sudah tersedia adzab Tuhan untukmu  di akhirat. Kamu akan menerima azab yang akan diterima oleh orang-orang kafir yang paling dahsyat kekufurannya.” (Mullah Baqir Majlisi – Jilaau Al Uyun, halaman 409).
Dari kata-kata Sayyidina Husain yang dipaparkan oleh sejarawan Syiah sendiri, Mullah Baqir Majlisi, dapat disimpulkan bahwa:
  1. Propaganda yang disebarkan oleh musuh-musuh Islam melalui penulisan sejarah bahwa pembunuhan Ahlul Bait di Karbala merupakan balas dendam dari Bani Umayyah terhadap Ahlul Bait yang telah membunuh pemimpin-pemimpin Bani Umayyah yang kafir di dalam peperangan Badar, Uhud, Shiffin, dan lain-lain tidak lebih daripada propaganda kosong semata-mata karena pembunuh-pembunuh Sayyidina Husain dan Ahlul Bait di Karbala bukannya datang dari Syam, bukan juga dari kalangan Bani Umayyah tetapi dari kalangan Syiah Kufah.
  2. Keadaan Syiah yang sentiasa diburu dan dihukum oleh kerajaan-kerajaan Islam di sepanjang sejarah membuktikan termakbulnya doa Sayyidina Husain di medan Karbala atas Syiah.
  3. Upacara menyiksa badan dengan memukul tubuhnya dengan rantai, pisau, dan pedang pada 10 Muharram dalam bentuk perkabungan yang dilakukan oleh golongan Syiah itu sehingga mengalir darah juga merupakan bukti diterimanya doa Sayyidina Husain dan upacara ini dengan jelas dapat dilihat hingga sekarang di dalam masyarakat Syiah. Adapun di kalangan Ahlus Sunnah tidak pernah wujud upacara yang seperti ini dan dengan itu jelas menunjukkan bahwa merekalah golongan yang bertanggungjawab membunuh Sayyidina Husain.
  4. Betapa kejam dan kerasnya hati golongan ini dapat dilihat pada tindakan mereka menyembelih dan membunuh Sayyidina Husain bersama dengan sekian banyak ahli keluarganya, walaupun setelah mendengar ucapan dan doa keburukan untuk mereka yang dipinta oleh beliau. Itulah dia golongan yang buta mata hatinya dan telah hilang kewarasan pemikirannya karena sebaik saja mereka selesai membunuh, mereka melepaskan kuda Dzuljanah yang ditunggangi Sayyidina Husain sambil memukul-mukul tubuh untuk menyatakan penyesalan. Dan inilah dia upacara perkabungan pertama terhadap kematian Sayyidina Husain yang pernah dilakukan di atas muka bumi ini sejauh pengetahuan sejarah. Dan hari ini tidakkah anak cucu golongan ini meneruskan upacara perkabungan ini setiap kali tibanya 10 Muharram?
Ali Zainal Abidin anak Sayyidina Husain yang turut serta di dalam rombongan ke Kufah dan terus hidup selepas berlakunya peristiwa itu pula berkata kepada orang-orang Kufah lelaki dan perempuan yang merentap dengan mengoyak-ngoyakkan baju mereka sambil menangis, dalam keadaan sakit beliau dengan suara yang lemah berkata kepada mereka, “Mereka ini menangisi kami. Tidakkah tidak ada orang lain yang membunuh kami selain mereka?” (At Thabarsi, Al Ihtijaj, halaman 156).
Pada halaman berikutnya Thabarsi menukilkan kata-kata Imam Ali Zainal Abidin kepada orang-orang Kufah. Kata beliau, “Wahai manusia (orang-orang Kufah)! Dengan nama Allah aku bersumpah untuk bertanya kamu, ceritakanlah! Tidakkah kamu adar bahwa kamu mengutuskan surat kepada ayahku (menjemputnya datang), kemudian kamu menipunya? Bukankah kamu telah memberikan perjanjian taat setia kamu kepadanya? Kemudian kamu membunuhnya, membiarkannya dihina. Celakalah kamu karena amalan buruk yang telah kamu dahulukan untuk dirimu.”
Sayyidatina Zainab, saudara perempuan Sayyidina Husain yang terus hidup selepas peristiwa itu juga mendoakan keburukan untuk golongan Syiah Kufah. Katanya, ” Wahai orang-orang Kufah yang khianat, penipu! Kenapa kamu menangisi kami sedangkan air mata kami belum lagi kering karena kezalimanmu itu. Keluhan kami belum lagi terputus oleh kekejamanmu. Keadaan kamu tidak ubah seperti perempuan yang memintal benang kemudian dirombaknya kembali. Kamu juga telah merombak ikatan iman dan telah berbalik kepada kekufuran…Adakah kamu meratapi kami padahal kamu sendirilah yang membunuh kami. Sekarang kamu pula menangisi kami. Demi Allah! Kamu akan banyak menangis dan sedikit ketawa. Kamu telah membeli keaiban dan kehinaan untuk kamu. Tompokan kehinaan ini sama sekali tidak akan hilang walau dibasuh dengan air apapun.” (Jilaau Al  Uyun, halaman 424).
Doa anak Sayyidatina Fatimah ini tetap menjadi kenyataan dan berlaku di kalangan Syiah hingga ke hari ini.
Ummu Kultsum anak Sayyidatina Fatimah pula berkata sambil menangis di atas segedupnya, “Wahai orang-oang Kufah! Buruklah hendaknya keadaanmu. Buruklah hendaklah rupamu. Kenapa kamu menjemput saudaraku, Husain, kemudian tidak membantunya, bahkan membunuhnya, merampas harta bendanya dan menawan orang-orang perempuan dari Ahli Bait-nya. Laknat Allah ke atas kamu dan semoga kutukan Allah mengenai mukamu.”
Beliau juga berkata, ” Wahai orang-orang Kufah! Orang-orang lelaki dari kalangan kamu membunuh kami sementara orang-orang perempuan pula menangisi kami. Tuhan akan memutuskan di antara kami dan kamu di hari kiamat nanti.” (Ibid, halaman 426-428).
Sementara Fatimah anak perempuan Sayyidina Husain pula berkata, “Kamu telah membunuh kami dan merampas harta benda kami, kemudian telah membunuh kakekku Ali (Sayyidina Ali). Senantiasa darah-darah kami menitis dari hujung-hujung pedangmu……Tak lama lagi kamu akan menerima balasannya. Binasalah kamu! Tunggulah nanti azab dan kutukan Allah akan terus menerus menghujani kamu. Siksaan dari langit akan memusnahkan kamu akibat perbuatan terkutukmu. Kamu akan memukul tubuhmu dengan pedang-pedang di dunia ini dan di akhirat nanti kamu akan terkepung dengan azab yang pedih.”
Apa yang dikatakan oleh Sayyidatina Fatimah binti Husain ini dapat dilihat dengan mata kepala kita sendiri di mana-mana Syiah berada.
Dua bukti utama yang telah kita kemukakan tadi, sebenarnya sudah mencukupi untuk kita memutuskan siapakah sebenarnya pembunuh Sayyidina Husain di Karbala. Daripada keterangan dalam kedua-dua bukti yang lalu dapat kita simpulkan beberapa perkara :
  1. Orang-orang yang menjemput Sayyidina Husain ke Kufah untuk memberontak adalah Syiah.
  2. Orang-orang yang tampil untuk bertempur dengan rombongan Sayyidina Husain di Karbala itu juga Syiah.
  3. Sayyidina Husain dan orang-orang yang ikut serta di dalam rombongannya terdiri daripada saudara- saudara perempuannya dan anak-anaknya menyaksikan bahwa Syiah-lah yang telah membunuh mereka.
  4. Golongan Syiah Kufah sendiri mengakui merekalah yang membunuh di samping menyatakan penyesalan mereka dengan meratap dan berkabung karena kematian orang-orang yang dibunuh oleh mereka.
Mahkamah di dunia ini menerima keempat-empat perkara yang tersebut tadi sebagai bukti yang kukuh dan jelas menunjukkan siapakah pembunuh sebenarnya di dalam suatu kasus pembunuhan, yaitu bila pembunuh dan yang terbunuh berada di suatu tempat, ada orang menyaksikan ketika mana pembunuhan itu dilakukan. Orang yang terbunuh sendiri menyaksikan tentang pembunuhnya dan puncaknya ialah pengakuan pembunuh itu sendiri. Jika keempat-empat perkara ini sudah terbukti dengan jelas dan diterima oleh semua mahkamah sebagai kasus pembunuhan yang cukup bukti-buktinya, maka bagaimana mungkin diragui lagi tentang pembunuh- pembunuh Sayyidina Husain itu?
Ii. Bukti-bukti Sokongan.
Walau bagaimanapun kita akan mengemukakan lagi beberapa bukti sokongan supaya lebih menyakinkan kita tentang golongan Syiah itulah sebenarnya pembunuh Sayyidina Husain. Di antaranya ialah:
1. Tidak sukar untuk kita terima mereka sebagai pembunuh Sayyidina Husain apabila kita melihat kepada sikap mereka yang biadab terhadap Sayyidina Ali dan Sayyidina Hasan sebelum itu. Begitu juga sikap mereka yang biadap terhadap orang-orang yang dianggap oleh mereka sebagai Imam selepas Sayyidina Husain. Bahkan terdapat banyak pula bukti yang menunjukkan merekalah yang bertanggungjawab terhadap pembunuhan beberapa orang Imam walaupun mereka menuduh orang lain sebagai pembunuh Imam- imam itu dengan menyebar luaskan propaganda-propaganda mereka terhadap tertuduh itu.
Di antara kebiadaban mereka terhadap Sayyidina Ali ialah mereka menuduh Sayyidina Ali berdusta dan mereka pernah mengancam untuk membunuh Sayyidina Ali. Bahkan Ibnu Muljim yang kemudian membunuh Sayyidina Ali itu juga mendapat latihan serta didikan untuk menentang Sayyidina Utsman di Mesir dan berpura-pura mengasihi Sayyidina Ali. Dia pernah berkhidmat sebagai pengawal Sayyidina Ali selama beberapa tahun di Madinah dan Kufah.
Di dalam Jilaau Al Uyun disebutkan bahwa Abdul Rahman ibnu Muljim adalah salah seorang dari kelompok yang terhormat yang telah dikirimkan oleh Muhammad bin Abu Bakr dari Mesir. Dia juga telah berbai’at dengan memegang tangan Sayyidina Ali dan dia juga berkata kepada Sayyidina Hasan, ” Bahwa aku telah berjanji dengan Tuhan untuk membunuh bapakmu dan sekarang aku menunaikannya. Sekarang wahai Hasan jika engkau mau membunuhku, bunuhlah. Tetapi kalau engkau maafkan aku, aku akan pergi membunuh Muawiyah pula supaya engkau terselamat daripada kejahatannya.” (Jilaau Al Uyun, halaman 218).
Tetapi setelah golongan Syiah pada ketika itu merasakan rencana mereka semua akan gagal apabila perjanjian damai di antara pihak Sayyidina Ali dan Muawiyah disetujui, maka golongan Syiah yang merupakan musuh-musuh Islam yang menyamar atas nama Islam itu memikirkan diri mereka tidak selamat apabila perdamaian antara Sayyidina Ali dan Muawiyah terjadi. Maka segolongan dari mereka telah mengasingkan diri daripada mengikuti Sayyidina Ali dan mereka menjadi golongan Khawarij sementara segolongan lagi tetap berada bersama Sayyidina Ali. Perpecahan yang berlaku ini sebanarnya satu taktik mereka untuk mempergunakan Sayyidina Ali demi kepentingan mereka yang jahat itu dan untuk berselindung di balik beliau dari hukuman karena pembunuhan Khalifah Utsman.
Sayyidina Hasan pula pernah ditikam oleh golongan Syiah pahanya hingga tembus kemudian mereka menunjukkan pula kebiadabannya terhadap Sayyidina Hasan dengan merampas harta bendanya dan menarik kain sajadah yang diduduki oleh Sayyidina Hasan. Ini semua tidak lain melainkan karena Sayyidina Hasan telah bersedia untuk berdamai dengan pihak Sayyidina Muawiyah. Bahkan bukan sekadar itu saja mereka telah menuduh Sayyidina Hasan sebagai orang yang menghinakan orang-orang Islam dan sebagai orang yang menghitamkan muka orang-orang Mukmin.
Kebiadaban Syiah dan kebusukan hatinya ditujukan juga kepada Imam Ja’far Ash Shadiq bila seorang Syiah yang sangat setia kepada Imam Ja’far Ash Shadiq, yaitu Rabi’, menangkap Imam Ja’far Ash Shadiq dan membawanya kehadapan Khalifah Al Mansur supaya dibunuh. Rabi’ telah memerintahkan anaknya yang paling keras hati supaya menyeret Imam Ja’far Ash Shadiq dengan kudanya. Ini tersebut di dalam kitab Jilaau Al Uyun karangan Mullah Baqir Majlisi.
Di dalam kitab yang sama, pengarangnya juga menyebutkan kisah pembunuhan Ali Ar Ridha yaitu Imam yang ke delapan di sisi Syiah, bahwa beliau telah dibunuh oleh Sabih Dailamy, seorang Syiah tulen atas perintah Al Makmun. Bagaimanapun diceritakan bahwa selepas dibunuh itu, Imam Ar Ridha dengan mukjizatnya terus hidup kembali dan tidak ada langsung bekas-bekas pedang di tubuhnya.
Bagaimanapun Syiah telah menyempurnakan tugasnya untuk membunuh Imam Ar Ridha. Oleh itu tidaklah heran golongan yang sampai begini biadabnya terhadap Imam-imam bisa membunuh Sayyidina Husain tanpa belas kasihan di medan Karbala.
Boleh jadi kita akan mengatakan bagaimana mungkin pengikut-pengikut setia Imam-imam ini yang dikenali dengan ‘Syiah’ bisa bertindak kejam pula terhadap Imam-imamnya? Tidakkah mereka sanggup mempertahankan nyawa demi mempertahankan Iman-imam mereka? Secara ringkas, bolehlah kita katakan bahwa ‘perasaan keheranan’ yang seperti ini mungkin timbul dari dalam fikiran Syiah, yang tidak mengetahui latar belakang terbentuknya Syiah itu sendiri. Mereka hanya menerima secara membabi buta daripada orang-orang terdahulu. Adapun orang-orang yang mengadakan sesuatu fahaman dengan tujuan-tujuan yang tertentu dan masih hidup ketika mana ajaran dan fahaman itu mula dikembangkan tentu sekali mereka sedar maksud dan tujuan mereka mengadakan ajaran tersebut. Pada lahirnya mereka menunjukkan taat setia dan kasih sayang kepada Imam-imam itu, tetapi pada hakikatnya adalah sebaliknya.
2. Di antara bukti yang menunjukkan tidak ada peranan Yazid dalam pembunuhan Sayyidina Husain di Karbala, bahkan golongan Syiah-lah yang bertanggungjawab membunuh beliau bersama dengan ramai orang-orang yang ikut serta di dalam rombongan itu, ialah adanya hubungan perbesanan di antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah, selepas terjadinya peperangan Sgiffin dan juga selepas terjadinya peristiwa pembunuhan Sayyidina Husain di Karbala.
Tidak mungkin orang-orang yang memiliki kehormatan seperti kalangan Ahlul Bait akan menikah dengan orang-orang yang diketahui oleh mereka sebagai pembunuh-pembunuh atau orang-orang yang bertanggungjawab di dalam membunuh ayah, kakek, atau paman mereka Sayyidina Husain. Hubungan ini selain menunjukkan pemerintah-pemerintah dari kalangan Bani Muawiyah dan Yazid sebagai orang yang tidak bersalah di dalam pembunuhan ini, ia juga menunjukkan mereka adalah golongan yang banyak berbudi kepada Ahlul Bait dan sentiasa menjalinkan ikatan kasih sayang di antara mereka dan Ahlul Bait.
Di antara contoh hubungan perbesanan ini ialah:
  1. Anak perempuan Sayyidina Ali sendiri bernama Ramlah telah menikah dengan anak Marwan bin Al Hakam yang bernama Muawiyah yaitu saudara Amirul Mukminin Abdul Malik bin Marwan. (Ibn Hazm, Jamharatu Al Ansab, halaman 80)
  2. Seorang lagi anak perempuan Sayyidina Ali menikah dengan Amirul Mukminin Abdul Malik sendiri yaitu khalifah yang ke empat dari kerajaan Bani Umayah. (Al Bidayah Wa An Nihayah, jilid 9 halaman 69)
  3. Seorang lagi anak perempuan Sayyidina Ali yaitu Khadijah menikah dengan anak gubernur  ‘Amir bin Kuraiz dari Bani Umayah bernama Abdul Rahman. (Jamharatu An Ansab, halaman 68). ‘Amir bin Kuraiz adalah gubernur bagi pihak Muawiyah di Basrah dan dalam peperangan Jamal dia berada di pihak lawan Sayyidina Ali.
Cucu Sayyidina Hasan pula bukan seorang dua yang telah menikah dengan pemimpin-pemimpin kerajaan Bani Umayah bahkan sejarah telah mencatatkan 6 orang daripada cucu beliau telah menikah dengan mereka yaitu:
  1. Nafisah binti Zaid bin Hasan menikah dengan Amirul Mukminin Al Walid bin Abdul Malik bin Marwan.
  2. Zainab binti Hasan Al Mutsanna bin Hasan bin Ali juga telah menikah dengan Khalifah Al Walid bin Abdul Malik. Zainab ini adalah di antara orang yang turut serta di dalam rombongan Sayyidina Husain ke Kufah dan dia adalah salah seorang yang menyaksikan peristiwa pembunuhan Sayyidina Husain di Karbala dengan mata kepalanya sendiri.
  3. Ummu Qasim binti Hasan Al Mutsanna bin Hasan bin Ali menikah dengan cucu Sayyidina Uthman yaitu Marwan bin Aban. Ummu Qasim ini selepas kematian suaminya Marwan menikah pula dengan Ali Zainal Abidin bin Al Husain.
  4. Cucu perempuan Sayyidina Hasan yang keempat telah menikah dengan anak Marwan bin Al Hakam yaitu Muawiyah.
  5. Cucu Sayyidina Hasan yang kelima bernama Hammaadah binti Hasan Al Mutsanna menikah dengan anak saudara Amirul Mukminin Marwan bin Al Hakam yaitu Ismail bin Abdul Malik.
  6. Cucu Sayyidina Hasan yang keenam bernama Khadijah binti Husain bin Hasan bin Ali juga pernah menikah dengan Ismail bin Abdul Malik yang tersebut tadi sebelum sepupunya Hammaadah.
Perlu diingat bahwa semua mereka yang tersebut ada meninggalkan keturunan.
Dari kalangan anak cucu Sayyidina Husain pula ramai yang telah menjalinkan perkahwinan dengan individu-individu dari keluarga Bani Umayah, antaranya ialah:
  1. Anak perempuan Sayyidina Husain yang terkenal bernama Sakinah. Setelah beberapa lama terbunuh suaminya, Mush’ab bin Zubair, beliau telah menikah dengan cucu Amirul Mukminin Marwan yaitu Al Asbagh bin Abdul Aziz bin Marwan. Asbagh ini adalah saudara dari Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz, sedangkan isteri Asbagh yang kedua ialah anak dari Amirul Mukminin Yazid yaitu Ummu Yazid. (Jamharatu Al Ansab)
  2. Sakinah anak Sayyidina Husain yang tersebut tadi pernah juga menikah dengan cucu Sayyidina Uthman yang bernama Zaid bin Amar bin Utsman.
Sementara anak cucu kepada saudara-saudara Sayyidina Husain yaitu Abbas bin Ali dan lain-lain juga telah mengadakan perhubungan perbesanan dengan keluarga Umayah. Di antaranya yang boleh disebutkan ialah:
Cucu perempuan dari saudara Sayyidina Husain yaitu Abbas bin Ali bernama Nafisah binti Ubaidillah bin Abbas bin Ali menikah dengan cucu Amirul Mukminin Yazid yang bernama Abdullah bin Khalid bin Yazid bin Muawiyah. Datuk kepada Nafisah ini yaitu Abbas bin Ali adalah di antara orang yang ikut serta dalam rombongan Sayyidina Husain ke Kufah. Beliau terbunuh dalam pertempuran di medan Karbala .
Sekiranya benar cerita yang diambil oleh ahli -ahli sejarah dari Abu Mukhnaf, Hisyam dan lain–lain tentang kezaliman Yazid di Karbala yang dikatakan telah memerintah supaya tidak dibenarkan setitik pun air walaupun kepada kanak–kanak yang ikut serta dalam rombongan Sayyidina Husain itu sehingga mereka mati kehausan apakah mungkin perkawinan di antara cucu kepada Abbas ini terjadi dengan cucu Yazid. Apakah kekejaman–kekejaman yang tidak ada tolak bandingnya seperti yang digambarkan di dalam sejarah boleh dilupakan begitu mudah oleh anak – anak cucu orang–orang yang teraniaya di medan Karbala itu? Apa lagi jika dilihat kepada zaman berlakunya perkawinan mereka ini, bukan lagi di zaman kekuasaan keluarga Yazid, bahkan yang berkuasa pada ketika itu ialah keluarga Marwan. Di sana tidak terdapat satu pun alasan untuk kita mengatakan perkahwinan itu berlaku secara kekerasan atau paksaan.
Perkawinan mereka membuktikan kisah–kisah kezaliman yang dilakukan oleh tentara Yazid kepada rombongan Sayyidina Husain itu cerita–cerita rekaan oleh Abu Mukhnaf, Al Kalbi dan anaknya Hisyam dan lain–lain.
Cucu perempuan dari saudara Sayyidina Husain, Muhammad bin Ali (yang terkenal dengan Muhammad bin Hanafiyah) bernama Lubabah menikah dengan Said bin Abdullah bin Amr bin Said bin Al Ash bin Umayah. Ayah kepada Lubabah ini ialah Abu Hisyam Abdullah yang dipercayai sebagai imam oleh Syiah Kaisamyyah .
Demikianlah serba ringkasnya dikemukakan hubungan persemendaaan yang berlaku di antara Bani Umaiyyah dan Bani Hasyim terutamanya dari anak cucu Sayyidina Ali, Hasan dan Husain. Hubungan persemendaan di antara mereka sangat banyak terdapat di dalam kitab-kitab Ansab dan sejarah. Maklumat lebih lanjut boleh dirujuk dari kitab–kitab seperti Jamratu Al Ansab, Nasbu Quraisy, Al Bidayah wa An Nihayah, Umdatu Al Thalib Fi Ansab Aal Abi Thalib, dan lain–lain.
===================

Yazid bin Mu’awiyah adalah orang yang bertanggung-jawab atas pembunuhan Imam Husain


Benarkah Yazid bin Mu’awiyah Tidak Terlibat Dalam Pembunuhan Husain bin Aliy?
Salah satu syubhat nashibiy dalam merendahkan Syi’ah adalah mereka menuduh bahwa sebenarnya kaum Syi’ah yang membunuh Imam Husain bin Aliy [‘alaihis salaam] dan di sisi lain mereka membela Yazid bin Mu’awiyah dan mengatakan bahwa ia tidak memerintahkan dan tidak terlibat atas pembunuhan tersebut.
Perkataan nashibiy tersebut kalau dipikirkan dengan baik akan menimbulkan banyak kerancuan, diantaranya adalah
  1. Dalam riwayat shahih memang disebutkan bahwa sebagian sahabat seperti Ibnu Umar mencela penduduk Iraq Kufah atas pembunuhan Imam Husain. Riwayat-riwayat seperti ini yang dijadikan hujjah oleh nashibiy untuk menyatakan bahwa kaum Syi’ah adalah pembunuh Husain, menurut pandangan mereka, siapa lagi penduduk Kufah kalau bukan Syi’ah?. Jadi yang dimaksudkan para nashibiy bahwa Syi’ah membunuh Imam Husain adalah sebagian penduduk Kuufah yang terlibat dalam pembunuhan Imam Husain dan keluarganya. Tentu tidak bisa dipukul rata bahwa semua penduduk Kuufah adalah pembunuh Husain. Betapa banyak orang-orang Kufah yang tsiqat di masa Imam Husain tersebut dan mungkin tidak ikut terlibat maka apakah dengan seenaknya bisa dikatakan mereka pembunuh Imam Husain hanya karena mereka tinggal di Kuufah?.
  2. Sebenarnya pihak yang lebih patut bertanggung jawab adalah para petinggi yang memerintahkan pembantaian tersebut yaitu Yazid atau yang memimpin serangan tersebut seperti Ubaidillah bin Ziyaad dan Umar bin Sa’ad. Sebagian penduduk kufah tidak akan terlibat jika tidak ada yang mempengaruhi, memaksa, mengancam atau memerintahkan mereka
  3. Pengertian Syi’ah pada masa tersebut tidaklah sama dengan Syi’ah sekarang yang dikatakan nashibiy sebagai rafidhah, Syi’ah di masa tersebut lebih tepat diartikan bertasyayyu’ dan tidak mesti berpaham rafidhah. Dan kalau kita melihat kitab Rijal maka makna Syi’ah seperti ini mencakup juga tabiin kufah yang tsiqat di sisi ahlus sunnah pada masa Husain bin Aliy dan sebagian ulama ahlus sunnah di masa setelahnya. Contoh para ulama ahlus sunnah yang mendapat predikat seperti ini misalnya Sulaiman bin Mihran Al A’masyiy, Syarik, Abdurrazaq, dan lain-lain.
  4. Kita tidak akan menemukan dalam kitab Syi’ah Imamiyah orang-orang seperti A’masyiy, Syarik, dan Abdurrazaq sebagai orang-orang yang mereka jadikan pegangan dalam kitab mereka tetapi kita dapat menemukan dalam kitab ahlus sunnah bahwa mereka walaupun dituduh Syi’ah tetapi hadis-hadis mereka tetap menjadi pegangan ahlus sunnah. Sekarang silakan para nashibiy tersebut memiikirkan dengan baik ketika mereka menyatakan kaum Syi’ah yang membunuh Imam Husain, maka itu Syi’ah yang bagaimana?. Syi’ah yang jadi pegangan ahlus sunnah atau Syi’ah yang jadi pegangan Syi’ah Imamiyah.
Jadi hakikat sebenarnya pembunuh Imam Husain adalah Ubaidillah bin Ziyad dan Umar bin Sa’ad bersama pasukan mereka yang menghadang Imam Husain di Karbala. Dalam pasukan tersebut terdapat mereka orang-orang Kufah yang memang setia dengan pemerintahan Yazid bin Mu’awiyah dan terdapat pula sebagian penduduk Kuufah yang terlibat karena pengaruh, atau ancaman dari Ubaidillah bin Ziyad. Dan tentu Yazid bin Mu’awiyah sebagai khalifah pada saat itu yang memerintahkan penyerangan kepada Imam Husain adalah orang yang paling patut untuk dikatakan sebagai pembunuh Imam Husain ['alaihis salaam].
Walaupun begitu, sudah seharusnya penduduk Kufah yang tidak terlibat dalam pembunuhan tersebut bergabung dengan Imam Husain dan membela Beliau bersama keluarganya. Bukankah mereka mengetahui bahwa akan ada pasukan yang dikerahkan untuk menghadang Imam Husain maka tidak ada tindakan yang benar pada saat itu kecuali bergabung dengan Imam Husain dan keluarganya.

Kemudian mengenai pembelaan nashibiy bahwa Yazid bin Mu’awiyah tidak terlibat atas pembunuhan Imam Husain maka memang kita temukan ada ulama yang menyatakan demikian seperti Ibnu Taimiyyah tetapi sebagian ulama lain telah menegaskan bahwa Yazid bin Mu’awiyah adalah pihak yang bertanggung jawab atas pembunuhan Imam Husain, diantara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Katsiir, Ibnu Jauziy, Adz Dzahabiy, As Suyuthiy, Ibnu Hazm dan selainnya.

قلت ولما فعل يزيد بأهل المدينة ما فعل وقتل الحسين وأخوته وآله وشرب يزيد الخمر وارتكب أشياء منكرة بغضه الناس وخرج عليه غير واحد ولم يبارك الله في عمره

[Adz Dzahabiy] aku katakan “dan ketika Yazid melakukan terhadap penduduk Madinah apa yang telah ia lakukan, membunuh Husain, saudaranya dan keluarganya, Yazid meminum khamar, dan melakukan berbagai perbuatan mungkar, orang-orang jadi membencinya, menyimpang darinya lebih dari sekali dan Allah SWT tidak memberikan barakah dalam hidupnya” [Tarikh Al Islam Adz Dzahabiy 2/65].

As Suyuthiy dalam Tarikh Al Khulafaa’ setelah menyebutkan kisah pembunuhan Imam Husain, ia berkata

لعن الله قاتله و ابن زياد معه و يزيد

Laknat Allah atas yang membunuhnya, Ibnu Ziyaad dan Yaziid [Tarikh Al Khulafaa’ 1/182].

Ibnu Katsiir dalam kitabnya Bidayah Wan Nihayah pernah berkata:

وقد أخطأ يزيد خطأ فاحشا في قوله لمسلم بن عقبة أن يبيح المدينة ثلاثة أيام، وهذا خطأ كبير فاحش، مع ما انضم إلى ذلك من قتل خلق من الصحابة وأبنائهم، وقد تقدم أنه قتلالحسين وأصحابه على يدي عبيد الله بن زياد

Dan sungguh Yazid telah berbuat kesalahan dengan kesalahan yang begitu keji, ia memerintahkan kepada Muslim bin ‘Uqbah untuk menyerang Madinah selama tiga hari, dan ini kesalahan yang besar dan keji, bersamaan dengan itu banyak sahabat dan anak-anak mereka terbunuh, dan telah disebutkan sebelumnya bahwa ia telah membunuh Husain dan para sahabatnya melalui tangan Ubaidillah bin Ziyaad [Al Bidayah Wan Nihayah 8/243],

Terdapat riwayat yang menunjukkan bahwa Yazid terlibat dalam pembunuhan Imam Husain sehingga kepala Imam Husain dibawa Ubaidillah bin Ziyaad kepada Yazid dan Yazid menusuk kepala Imam Husain tersebut

قال ابن أبي الدنيا وثنا أبو الوليد ، قال ثنا خالد بن يزيد بن أسد قال ثنا عمار الدهني عن أبي جعفر قال وضع رأس الحسين بين يدي يزيد وعنده أبو برزة، فجعل يزيد ينكت بالقضيب على فيه ، ويقول نفلقن هاماً…فقال له أبو برزة : ارفع قضيبك فوالله لربما رأيت فاه رسول الله صلى الله عليه وسلم على فيه يلثمه
قال ابن ابي الدنيا وثنا سلمة بن شبيب قال ثنا الحميدي عن سفيان قال سمعت سالم بن أبي حفصة يقول قال الحسن جعل يزيد بن معاوية يطعن بالقضيب موضع في رسول الله صلى الله عليه وسلم

Ibnu Abi Dunyaa berkata telah menceritakan kepada kami Abul Waliid yang berkata telah menceritakan kepada kami Khalid bin Yaziid bin Asad yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Ammar Ad Duhniy dari Abu Ja’far yang berkata Kepala Husain diletakkan dihadapan Yazid dan disisinya ada Abu Barzah, maka Yazid menusuknya dengan tongkat seraya berkata “telah terpotong kepala…” maka Abu Barzah berkata “angkat tongkatmu, demi Allah aku telah melihat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menciumnya”.

Ibnu Abi Dunyaa berkata dan telah menceritakan kepada kami Salamah bin Syabiib yang berkata telah menceritakan kepada kami Al Humaidiy dari Sufyaan yang berkata aku mendengar Salim bin Abi Hafshah mengatakan Al Hasan berkata “Yazid bin Mu’awiyah menusuk dengan tongkat [kepala Husain] pada tempat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] [menciumnya]…[Ar Rad ‘Ala Al Muta’ashib Ibnu Jauziy hal 58].

Sanad dari Ibnu Jauziy sampai ke Ibnu Abi Dunyaa, telah disebutkan dalam riwayat sebelumnya yaitu sebagai berikut

أخبرنا محمد بن ناصر ، قال : أخبرنا جعفر بن أحمد بن السراج ، قال : أخبرنا أبو طاهر محمد بن علي العلاف ، قال : أخبرنا أبو الحسين ابن أخي ميمي ، قال : ثنا الحسين بن صفوان ، قال : ثنا عبد الله بن محمد بن أبي الدنيا القرشي

Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Naashr yang berkata telah mengabarkan kepada kami Ja’far bin Ahmad bin As Siraaj yang berkata telah mengabarkan kepada kami Abu Thaahir Muhammad bin Aliy Al ‘Alaaf yang berkata telah mengabarkan kepada kami Abu Husain bin Akhiy Miimiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Husain bin Shafwaan yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad bin Abi Dunyaa Al Qurasyiy… [Ar Rad ‘Ala Al Muta’ashib Ibnu Jauziy hal 57].

Sanad Ibnu Jauziy sampai ke Ibnu Abi Dunyaa adalah jayyid [baik] berikut keterangan mengenai para perawinya,
  1. Muhammad bin Naashir, dikenal dengan Ibnu Naashir seorang imam muhaddis mufiid Iraaq. Ibnu Jauziy berkata “syaikh kami yang tsiqat hafizh dhabit termasuk ahlus sunnah” [As Siyaar Adz Dzahabiy 20/265].
  2. Ja’far bin Ahmad As Siraaj seorang syaikh imam muhaddis musnad, Abu Bakar bin Arabiy berkata “tsiqat”. Ibnu Naashir berkata “tsiqat ma’mun” [As Siyaar Adz Dzahabiy 19/228].
  3. Abu Thahir Muhammad bin Aliy yang dikenal Ibnu Al ‘Alaaf seorang imam yang alim, Al Khatib berkata “aku menulis darinya dan ia shaduq” [As Siyaar Adz Dzahabiy 17/608].
  4. Abu Husain Muhammad bin ‘Abdullah bin Husain Al Baghdadiy yang dikenal Ibnu Akhiy Miimiy syaikh shaduq musnad seorang yang tsiqat [As Siyaar Adz Dzahabiy 16/565].
  5. Husain bin Shafwan Abu Aliy seorang syaikh muhaddis tsiqat [As Siyaar Adz Dzahabiy 15/442]
  6. Abdullah bin Muhammad bin ‘Ubaid yang dikenal Ibnu Abi Dunyaa seorang yang shaduq hafizh [Taqrib At Tahdzib 1/321 no 3591].
Kami menukil dua sanad dari Ibnu Abi Dunyaa yang disebutkan Ibnu Jauziy, keduanya mengandung kelemahan tetapi saling menguatkan sehingga kedudukannya menjadi hasan.

Sanad pertama yaitu dari Ibnu Abi Dunyaa dari Abu Walid dari Khalid bin Yazid bin Asad dari ‘Ammar Ad Duhniy dari Abu Ja’far, berikut keterangan para perawinya
  1. Abul Walid adalah Ahmad bin Janab Al Mashiishiy termasuk perawi Muslim, Abu Dawud dan Nasa’i. Telah meriwayatkan darinya Muslim, Abu Zur’ah, Ahmad bin Hanbal dan anaknya [dimana mereka dikenal hanya meriwayatkan dari perawi tsiqat]. Shalih Al Jazariy berkata “shaduq”. Al Hakim berkata “tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Abu Hatim meriwayatkan darinya dan berkata “shaduq” [Tahdzib At Tahdzib juz 1 no 25].
  2. Khalid bin Yazid bin Asad anak dari pemimpin Iraq, ia seorang ahli hadis dan ma’rifat, tidak mutqin, tafarrud dengan riwayat-riwayat mungkar. Al Uqailiy berkata “tidak memiliki mutaba’ah hadisnya”. Abu Hatim berkata “tidak kuat”. Ibnu Adiy mengatakan hadis-hadisnya tidak memiliki mutaba’ah dan ia seorang yang dhaif tetapi ditulis hadisnya [As Siyaar Adz Dzahabiy 9/410].
  3. ‘Ammar bin Muawiyah Ad Duhniy termasuk perawi Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah . Telah meriwayatkan darinya Syu’bah yang berarti ia tsiqat dalam pandangan Syu’bah. Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Abu Hatim dan Nasa’i menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 7 no 662].
  4. Abu Ja’far Al Baqir, Muhammad bin Aliy bin Husain seorang yang tsiqat dan memiliki keutamaan [Taqrib At Tahdzib 1/497 no 6151]. Ia seorang Sayyid Imam, lahir pada tahun 56 H [As Siyaar Adz Dzahabiy].
Para perawinya tsiqat kecuali Khalid bin Yazid ia seorang yang dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar dan Abu Ja’far Al Baqir lahir tahun 56 H sedangkan peristiwa Yazid menusuk kepala Imam Husain terjadi pada tahun 61 H maka pada saat itu usia Beliau 5 tahun sudah memasuki usia tamyiz dan besar kemungkinan pada saat itu Beliau bersama ayahnya Aliy bin Husain dan keluarganya yang selamat digiring Ubaidillah untuk menghadap Yazid.

Sanad kedua yaitu Ibnu Abi Dunyaa dari Salamah bin Syabiib dari Al Humaidiy dari Sufyaan dari Salim bin Abil Hafshah dari Hasan Al Bashriy, berikut keterangan para perawinya,
  1. Salamah bin Syabiib termasuk perawi Muslim, Abu Dawud, Nasa’i, Tirmidzi, Ibnu Majah seorang yang tsiqat [Taqrib At Tahdzib 1/247 no 2494].
  2. Al Humaidiy Abdullah bin Zubair bin ‘Iisa Al Quurasyiy termasuk perawi Bukhariy dan Muslim seorang yang tsiqat hafizh faqih sahabat Ibnu Uyainah [Taqrib At Tahdzib 1/303 no 3320].
  3. Sufyan bin Uyainah perawi kutubus sittah seorang tsiqat hafizh faqiih imam hujjah, berubah hafalan diakhir umurnya, dituduh melakukan tadlis tetapi hanya dari perawi tsiqat [Taqrib At Tahdzib 1/245 no 2451].
  4. Salim bin Abil Hafshah termasuk perawi Bukhariy dalam Adabul Mufrad dan Tirmidzi seorang yang shaduq dalam hadis hanya saja ia berlebihan dalam syi’ahnya [Taqrib At Tahdzib 1/226 no 2171]. Terdapat perselisihan mengenai Salim bin Abi Hafshah, Ahmad bin Hanbal berkata “aku kira tidak ada masalah dalam hadisnya”. Yahya bin Ma’in berkata “tsiqat”. ‘Amru bin Aliy menyatakan ia dhaif berlebihan dalam tasyayyu’. Abu Hatim berkata “ditulis hadinya tetapi tidak bisa dijadikan hujjah”. Al Ijliy berkata “tsiqat”. Abu Ahmad Al Hakim berkata “tidak kuat di sisi para ulama”. Ibnu Hibban berkata “sering terbalik dalam kabar dan keliru dalam riwayat”. Ibnu Adiy berkata “sesungguhnya aib atasnya hanyalah ia ghuluw dalam syi’ahnya adapun hadis-hadisnya aku harap tidak ada masalah padanya” [Tahdzib At Tahdzib juz 3 no 800].
  5. Hasan bin Abi Hasan Al Bashriy termasuk perawi kutubus sittah seorang yang tsiqat faqiih fadhl masyhur banyak melakukan irsal dan tadlis [Taqrib At Tahdzib 1/160 no 1227].
Para perawi sanad kedua semuanya tsiqat kecuali Salim bin Abi Hafshah, ia diperselisihkan kedudukannya tetapi sanad ini bersama-sama sanad yang pertama kedudukannya saling menguatkanmaka derajatnya menjadi hasan.

Riwayat Ibnu Abi Dunyaa di atas dikuatkan pula oleh riwayat Ibnu Sa’ad berikut:

أخبرنا كثير بن هشام قال حدثنا جعفر ابن برقان قال حدثنا يزيد بن أبي زياد قال لما أتي يزيد بن معاوية برأس الحسين بن علي جعل ينكت بمخصرة معه سنه

Telah mengabarkan kepada kami Katsiir bin Hisyaam yang berkata telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Burqaan yang berkata telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Abi Ziyaad yang berkata ketika didatangkan kepada Yazid bin Mu’awiyah kepala Husain bin Aliy ia menusuknya dengan tongkat yang ia bawa…[Thabaqat Ibnu Sa’ad 6/448].

Riwayat ini para perawinya tsiqat kecuali Yazid bin Abi Ziyaad, ia seorang yang diperselisihkan kedudukannya dan yang rajih ia seorang yang dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar.
  1. Katsiir bin Hisyaam termasuk perawi Bukhariy dalam Adabul Mufrad, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah. Yahya bin Ma’in berkata “tsiqat”. Al Ijliy berkata “tsiqat shaduq”. Abu Dawud berkata “tsiqat”. Abu Hatim berkata “ditulis hadisnya”. Nasa’i berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat shaduq” [Tahdzib At Tahdzib juz 8 no 771].
  2. Ja’far bin Burqaan termasuk perawi Bukhariy dalam Adabul Mufrad, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah. Ahmad bin Hanbal berkata “jika meriwayatkan dari selain Az Zuhriy maka tidak ada masalah dalam hadisnya tetapi jika meriwayatkan dari Az Zuhriy maka sering keliru”. Yahya bin Ma’in berkata “tsiqat dan dhaif dalam riwayat Az Zuhriy”. Ibnu Numair berkata “tsiqat dan hadis-hadisnya dari Az Zuhriy mudhtharib”. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat shaduq”. Abu Nu’aim, Marwan bin Muhammad dan Ibnu Uyainah menyatakan ia tsiqat. Nasa’i berkata “tidak kuat dalam riwayat Az Zuhriy dan tidak ada masalah dalam riwayat selainnya” [Tahdzib At Tahdzib juz 2 no 131].
  3. Yazid bin Abi Ziyaad Al Qurasyiy termasuk perawi Bukhariy dalam At Ta’liq, Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah. Ahmad bin Hanbal berkata “tidak hafizh”. Yahya bin Ma’in berkata “tidak kuat”. Al Ijliy berkata “ja’iz al hadits”. Abu Zur’ah berkata “layyin ditulis hadisnya tetapi tidak dijadikan hujjah”. Abu Hatim berkata “tidak kuat”. Abu Dawud berkata “tidak diketahui satu orangpun yang meninggalkan hadisnya tetapi selainnya lebih disukai daripadanya”. Ibnu Adiy berkata “syi’ah Kufah dhaif ditulis hadisnya”. Jarir berkata dari Yazid bahwa ketika Husain terbunuh aku berumur 14 atau 15 tahun”. Ibnu Hibban berkata “shaduq kecuali ketika tua jelek dan berubah hafalannya”. Abu Ahmad Al Hakim berkata “tidak kuat di sisi para ulama”. Ibnu Syahin memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ahmad bin Shalih Al Mishriy berkata “tsiqat dan tidak membuatku heran perkataan yang membicarakannya”. An Nasa’iy berkata “tidak kuat” [Tahdzib At Tahdzib juz 11 no 531].
Kemudian dikuatkan lagi oleh riwayat Dhahhaak bin Utsman Al Hazaamiy sebagaimana yang disebutkan Ath Thabraniy berikut:

حدثنا علي بن عبد العزيز ثنا الزبير بن بكار حدثني محمد بن الضحاك بن عثمان الحزامي عن أبيه قال خرج الحسين بن علي رضي الله عنهما إلى الكوفة ساخطا لولاية يزيد بن معاوية فكتب يزيد بن معاوية إلى عبيد الله بن زياد وهو واليه على العراق إنه قد بلغني أن حسينا قد سار إلى الكوفة وقد ابتلى به زمانك من بين الأزمان وبلدك من بين البلدان وابتليت به من بين العمال وعندها يعتق أو يعود عبدا كما يعتبد العبيد فقتله عبيد الله بن زياد وبعث برأسه إليه فلما وضع بين يديه تمثل بقول الحسين بن الحمامنفلق هاما من رجال أحبة … إلينا وهم كانو أعق وأظلما

Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Abdul Aziz yang berkata telah menceritakan kepada kami Zubair bin Bakaar yang berkata telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Dhahhaak bin ‘Utsman Al Hazaamiiy dari Ayahnya yang berkata Husain bin Aliy [radiallahu ‘anhum] pergi menuju Kufah dalam keadaan marah terhadap kepemimpinan Yazid bin Mu’awiyah. Maka Yazid bin Mu’awiyah menulis kepada ‘Ubaidillah bin Ziyaad dan ia adalah wali-nya atas Irak “bahwasanya telah sampai kepadaku Husain melakukan perjalanan menuju Kufah dan sungguh itu akan menjadi bencana bagi zamanmu dibanding zaman-zaman lainnya dan negrimu dibanding negri-negri lainnya dan akan menimpamu dibanding perbuatan lainnya, dan dengannya engkau akan terbebas atau akan kembali menjadi budak seperti halnya perbudakan para budak, maka Ubaidillah bin Ziyad membunuhnya [Husain] dan mengirimkan kepalanya kepada Yazid, ketika [Kepala Husain] diletakkan di hadapannya maka ia berujar dengan perkataan Husain bin Hamaam “telah terpotong kepala orang yang dicintai…kepada kami mereka durhaka dan zalim” [Mu’jam Al Kabir Ath Thabraniy 3/115 no 2846].

Para perawi sanad Thabraniy tsiqat dan shaduq. berikut keterangan mengenai para perawinya,
  1. Aliy bin ‘Abdul Aziiz, Abul Hasan Al Baghawiy, Ibnu Abi Hatim menyatakan ia shaduq [Al Jarh Wat Ta’dil 6/196 no 1076]. Daruquthniy berkata tentangnya “tsiqat ma’mun” [Su’alat Hamzah As Sahmiy no 389].
  2. Zubair bin Bakaar termasuk perawi Ibnu Majah, seorang Qadhiy Madinah yang tsiqat [Taqrib At Tahdzib 1/214 no 1991].
  3. Muhammad bin Dhahhaak bin Utsman Al Hazaamiy disebutkan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat dan telah meriwayatkan darinya Ibrahim bin Mundzir dan penduduk Madinah [Ats Tsiqat 9/59 no 15174]. Ibnu Abi Hatim menyebutkan biografinya tanpa jarh dan ta’dil dan menyebutkan bahwa telah meriwayatkan darinya Yaqub bin Humaid Al Madaniy [Al Jarh Wat Ta’dil 7/290 no 1576]. Jadi telah meriwayatkan darinya perawi yang tsiqat dan shaduq yaitu Ibrahim bin Mundzir [shaduq] [Taqrib At Tahdzib 1/94 no 253], Yaqub bin Humaid [shaduq yahim] [Taqrib At Tahdzib 1/607 no 7815] dan Zubair bin Bakaar [tsiqat] [Taqrib At Tahdzib 1/214 no 1991].
  4. Dhahhaak bin Utsman Al Hazaamiy termasuk perawi Muslim, Abu Dawud, Nasa’i, Tirmidzi, Ibnu Majah. Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Mush’ab Az Zubairiy dan Abu Dawud menyatakan tsiqat. Abu Zur’ah berkata “tidak kuat”. Abu Hatim berkata “ditulis hadisnya tetapi tidak dijadikan hujjah dan dia shaduq”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ibnu Sa’ad berkata “tsabit”. Ibnu Bukair berkata “tsiqat”. Ibnu Numair berkata “tidak ada masalah padanya”. Ali bin Madiniy berkata “tsiqat”. Ibnu ‘Abdil Barr berkata “banyak melakukan kesalahan tidak menjadi hujjah” [Tahdzib At Tahdzib juz 4 no 787].
Riwayat Ath Thabraniy ini memiliki cacat yaitu Dhahhaak bin Utsman Al Hazaamiy disebutkan bahwa ia wafat tahun 153 H [Tahdzib At Tahdzib juz 4 no 787] sedangkan kisah Yazid tersebut terjadi pada tahun 61 H. Maka terdapat jarak 92 tahun , tidak diketahui kapan lahirnya Dhahhaak bin Utsman dan jika berdasarkan usia pada umumnya maka ia lahir di atas tahun 61 H. Oleh karena itu riwayat Thabraniy tersebut dhaif karena sanadnya terputus, tetapi bisa dijadikan i’tibar.

Secara ringkas ada empat riwayat yang membuktikan bahwa kepala Imam Husain dibawa kehadapan Yazid dan tiga riwayat menyebutkan bahwa Yazid menusuk kepala Imam Husain dengan tongkat,
  1. Riwayat Abu Ja’far Al Baqir lemah karena Khalid bin Yazid bin Asad seorang yang dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar.
  2. Riwayat Hasan Al Bashriy lemah karena Salim bin Abi Hafshah diperselisihkan kedudukannya tetapi bisa dijadikan i’tibar.
  3. Riwayat Yazid bin Abi Ziyaad lemah karena Yazid bin Abi Ziyaad diperselisihkan kedudukannya tetapi bisa dijadikan i’tibar.
  4. Riwayat Dhahhaak bin Utsman Al Hazaamiy lemah karena sanadnya terputus dan bisa dijadikan i’tibar.
Keempat riwayat tersebut saling menguatkan maka kedudukannya menjadi hasan. Kepala Imam Husain memang dibawa ke hadapan Yazid dan Yazid menusuknya dengan tongkat.
Jika ada yang berdalih bahwa riwayat-riwayat di atas tidak menunjukkan bahwa Yazid memerintahkan Ubaidillah bin Ziyaad untuk membunuh Imam Husain. Maka jawabannya adalah sebagai berikut, jika para nashibiy tersebut menginginkan riwayat shahih dengan lafaz jelas perintah Yazid kepada Ubaidillah bin Ziyaad maka kami katakan dengan jujur kami tidak menemukannya. Tetapi anehnya para nashibiy itu menyatakan bahwa riwayat paling shahih mengenai peristiwa karbala dan siapa pembunuh Imam Husain adalah riwayat Shahih Bukhariy berikut:

حدثني محمد بن الحسين بن إبراهيم قال حدثني حسين بن محمد حدثنا جرير عن محمد عن أنس بن مالك رضي الله عنهأتي عبيد الله بن زياد برأس الحسين بن علي عليه السلام فجعل في طست فجعل ينكث وقال في حسنه شيئا فقال أنس كان أشبههم برسول الله صلى الله عليه و سلم وكان مخصوبا بالوسمة

Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Husain bin Ibrahiim yang berkata telah menceritakan kepadaku Husain bin Muhammad yang berkata telah menceritakan kepada kami Jariir dari Muhammad dari Anas bin Malik [radiallahu ‘anhu] “didatangkan kepada Ubaidillah bin Ziyaad kepala Husain bin Aliy [‘alaihis salaam] maka ia meletakkannya di bejana dan menusuknya, seraya berkata tentang ketampanannya. Maka Anas berkata “Husain adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan saat itu rambutnya disemir dengan wasmah [Shahih Bukhariy 5/26 no 3748].

Apakah dalam riwayat shahih Bukhariy di atas terdapat lafaz Ubaidillah bin Ziyad memerintahkan membunuh Imam Husain?. Tidak ada lafaz seperti itu tetapi para nashibiy memahami riwayat ini sebagai bukti paling shahih bahwa yang bertanggung-jawab atas pembunuhan Imam Husain adalah Ubaidillah bin Ziyaad.

Riwayat seperti ini sudah cukup bagi mereka yang ingin mencari kebenaran. Dihadapkannya kepala Imam Husain kepada Ubaidillah bin Ziyaad dan bagaimana cara Ubaidillah memperlakukan kepala Imam Husain tersebut menjadi bukti cukup bahwa ia bertanggung-jawab atas pembunuhan Imam Husain [‘alaihis salaam]
Dan riwayat Bukhariy di atas tidak bertentangan dengan riwayat-riwayat yang kami bahas sebelumnya, melainkan saling melengkapi. Setelah dihadapkan ke Ubaidillah maka ia mengirimkan kepala Imam Husain tersebut kepada Yazid dan Yazid-pun memperlakukan kepala Imam Husain tersebut dengan keji maka hal ini menjadi bukti bahwa Yazid bin Mu’awiyah juga bertanggung-jawab atas pembunuhan Imam Husain [‘alaihis salaam].

Pandangan kami adalah sebagaimana pandangan para ulama seperti Ibnu Hazm, Ibnu Katsiir, Adz Dzahabiy, Ibnu Jauziy dan As Suyuthiy bahwa Yazid bin Mu’awiyah termasuk pihak yang bertanggungjawab terhadap pembunuhan Imam Husain [‘alaihis salaam]. Dan pandangan ini memang memiliki bukti kuat dari berbagai riwayat dan tarikh, diantaranya telah kami bawakan di atas.

Para nashibiy biasanya suka mencela Syi’ah sambil mengutip kitab-kitab Syi’ah yang menyatakan bahwa mereka yang membunuh Imam Husain [‘alaihis salaam] adalah kaum Syi’ah sendiri. Seperti yang kami jelaskan sebelumnya bahwa Syi’ah yang dimaksud adalah penduduk Kufah yang mengaku setia kepada Imam Husain tetapi pada akhirnya malah berkhianat atau berlepas diri dari Imam Husain. Hal ini diakui dalam mazhab Syi’ah sebagaimana nampak dalam literatur mereka, tetapi walaupun begitu mereka tidak menafikan bahwa orang yang paling bertanggung-jawab untuk pembunuhan Imam Husain [‘alaihis salaam] adalah Yazid bin Mu’awiyah yang memerintahkan Ubaidillah bin Ziyaad kemudian Ubaidillah bin Ziyaad mempengaruhi, memerintahkan dan mengancam sebagian penduduk Kufah, sehingga sebagian mereka berkhianat dan sebagian lagi berlepas diri atau mungkin walaupun tidak ikut tetap tidak berani untuk menentangnya.

Terdapat riwayat shahih di sisi mazhab Syi’ah yang membuktikan bahwa Yazid bin Mu’awiyah adalah orang yang bertanggung-jawab atas pembunuhan Imam Husain [‘alaihis salaam].

ابن محبوب، عن عبد الله بن سنان قال سمعت أبا عبد الله (عليه السلام) يقولثلاث هن فخر المؤمن وزينه في الدنيا والآخرة: الصلاة في آخر الليل ويأسه مما في أيدي الناس وولايته الامام من آل محمد (صلى الله عليه وآله) قال: وثلاثة هم شرار الخلق ابتلى بهم خيار الخلق: أبو سفيان أحدهم قاتل رسول الله (صلى الله عليه وآله) وعاداه ومعاوية قاتل عليا (عليه السلام) وعاداه ويزيد بن معاوية لعنه الله قاتل الحسين بن علي (عليهما السلام) وعاداه حتى قتله

Ibnu Mahbuub dari ‘Abdullah bin Sinaan yang berkata aku mendengar Aba ‘Abdullah [‘alaihis salaam] mengatakan Ada tiga hal yang menjadi kebanggan seorang mukmin dan menjadi keindahan baginya dalam kehidupan dunia dan akhirat yaitu Shalat di akhir malam, tidak mengharapnya ia terhadap apa yang ada di tangan orang-orang, dan wilayah Imam dari keluarga Muhammad [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Beliau berkata “dan ada tiga orang makhluk yang paling buruk telah menyakiti makhluk yang paling baik yaitu Abu Sufyan yang memerangi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan memusuhinya, Mu’awiyah yang memerangi Aliy [‘alaihis salaam] dan memusuhinya, dan Yazid bin Mu’awiyah laknat Allah atasnya, yang memerangi Husain bin Aliy [‘alaihis salaam] dan memusuhinya sampai membunuhnya [Al Kafiy Al Kulainiy 8/234].

Riwayat Al Kulainiy di atas sanadnya shahih, sanad Al Kulainiy sampai Hasan bin Mahbuub telah disebutkan dalam riwayat sebelumnya yaitu dari Aliy bin Ibrahim dari Ayahnya [Al Kafiy Al Kulainiy 8/233]. Jadi sanad lengkap riwayat di atas adalah Aliy bin Ibrahim dari Ayahnya dari Hasan bin Mahbuub dari ‘Abdullah bin Sinaan,
  1. Aliy bin Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680].
  2. Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222].
  3. Hasan bin Mahbuub As Saraad seorang penduduk kufah yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 354]
  4. ‘Abdullah bin Sinaan seorang yang tsiqat jaliil tidak ada celaan sedikitpun terhadapnya, ia meriwayatkan dari Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] [Rijal An Najasyiy hal 214 no 558].
Kami menukil riwayat di atas hanya ingin menunjukkan bahwa di sisi mazhab Syi’ah pandangan bahwa Yazid bin Mu’awiyah yang membunuh Imam Husain [‘alaihis salaam] adalah pandangan yang shahih.

Kesimpulan :
Dalam pandangan mazhab Ahlus sunnah dan dalam pandangan mazhab Syi’ah telah tsabit bahwa Yazid bin Mu’awiyah adalah orang yang bertanggung-jawab atas pembunuhan Imam Husain bin Aliy [‘alaihis salaam].

========================
Pengorbanan Imam Husain demi terjaganya agama dan hukum-hukum Allah swt.


Imam Husain as tidak mencelakai diri sendiri.

Berangkatnya Imam Husain as ke Karbala, padahal beliau sendiri tahu bahwa ia, keluarga dan kerabatnya akan mati, apakah tidak bertentangan dengan ayat yang berbunyi: “…dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.”[1]?


Penjelasan: berdasarkan ayat di atas, bunuh diri adalah perbuatan yang diharamkan. Perjuangan Imam Husain as adalah apa yang dilarang oleh ayat di atas. Dengan demikian, apakah perjuangan beliau bertentangan dengan ayat tersebut?

Ada beberapa jawaban untuk pertanyaan ini:
A. Jawaban yang satu ini akan menjadi jelas dengan beberapa pengantar di bawah ini:
1. Menjatuhkan diri ke dalam kehancuran tidak diharamkan secara total. Dalam keadaan-keadaan tertentu justru wajib hukumnya. Misalnya jika agama Islam berada dalam bahaya dan terancam hancur, dan tidak ada cara lain selain mengorbankan diri, maka pengorbanan itu wajib bagi kita. Namun jika tujuan pengorbanan itu bukanlah hal penting atau bahkan tidak syar’i dan masuk akal, jelas kita dilarang untuk menjatuhkan diri ke dalam kehancuran.
2. Menjatuhkan diri ke dalam kehancuran itu diharamkan jika tidak ada tujuan yang jauh lebih penting di baliknya. Namun jika pengorbanan diri dilakukan demi tujuan yang sangat penting, akal pun juga membenarkannya.
3. Kehancuran yang sebenarnya adalah kehancuran yang diakibatkan mengikuti langkah-langkah setan dan hawa nafsu. Namun seorang yang syahid dan gugur di jalan Allah bukanlah orang yang jatuh ke dalam kehancuran. Kesyahidan Imam Husain as dalam membela agama Islam dan menjaganya bukanlah kehancuran yang dimaksud ayat di atas.

Dengan demikian, maka:
Pertama: jika meskipun kita anggap Imam Husain as telah menjatuhkan diri ke dalam kehancuran, namun dengan melihat kondisi di saat itu, perbuatan Imam Husain as adalah suatu kewajiban. Karena beliau memiliki tujuan yang lebih besar dan lebih penting dari nyawa, yaitu terjaganya agama dan hukum-hukum Allah swt. Perjuangan Imam Husain as bukan saja dibenarkan syari’at, namun akal pun juga mengakui kebenarannya.

Kedua: jihad Imam Husain as melawan Yazid bukanlah menjatuhkan diri ke dalam kehancuran. Karena gugurnya Imam Husain as dalam melawan Yazid, yakni kesyahidannya, bukanlah kehancuran; kesyahidan dan kehancuran adalah dua perkara yang jauh bertentangan. Kehancuran adalah mati sia-sia. Adapun kesyahidan adalah mati di jalan Allah swt dan penggapaian kebahagiaan sejati.[2] Oleh karena itu sebagian ahli tafsir memaknai ayat tersebut begini: “Janganlah kalian menjatuhkan diri kalian dengan tangan kalian sendiri ke dalam kehancuran karena menghindar dari kesyahidan yang merupakan hayat abadi.”[3] Yakni jika kalian melarikan diri dari jihad yang diwajibkan Allah swt, berarti kalian telah menjatuhkan diri ke dalam kehancuran. Namun jika kalian menjalankan kewajiban tersebut, maka kalian telah memilih kehidupan abadi dan terselamatkan dari kehancuran. Jadi, orang yang memilih kesyahidan di jalan Allah swt telah menyelamatkan diri dari kehancuran dan mendapatkan kehidupan suci dan bahagia abadi.

Selama perjalanan Imam Husain as ke Karbala, beliau sering melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dalam khutbah-khutbahnya untuk menyampaikan pesannya. Suatu saat sekelompok jin menawarkan diri untuk membantu Imam Husain as memenangkan peperangan dengan cara menghancurkan musuh-musuh beliau sebelum perang dimulai. Namun Imam Husain as menolak dan berkata bahwa jika mau menggunakan kekuatan ghaib, beliau lebih kuat dari pada jin-jin.[4] Lalu beliau membaca ayat ini:
“…agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula).” (QS. Al-Anfaal [8]:42).

Dengan menyampaikan ayat tersebut Imam Husain as menjelaskan bahwa tragedi Asyura adalah tragedi kemenangan dan kehancuran yang harus berlangsung dengan sempurnanya hujjah.

Penjelasannya begini: Imam Husain as ingin orang-orang yang memusuhinya benar-benar menyadari apa yang sedang mereka lakukan, begitu pula sahabat-sahabat beliau. Yang mana dengan demikian mereka memilih kehancuran dan kemenangan dengan pilihannya sendiri lalu hancur dan hidup dengan usahanya sendiri. Di Asyura musuh-musuh Imam Husain as memilih kehancuran atas keinginanya sendiri dan sahabat-sahabat beliau memilih kehidupan abadi bersama pemimpinnya atas kehendaknya sendiri pula. Kebahagiaan di akherat bagi orang-orang yang gugur di jalan Allah swt adalah kebahagiaan abadi. Allah swt berfirman: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS. Al-Baqarah [2]:154)

Dalam peristiwa Karbala telah sempurna hujjah Allah bagi kedua kelompok. Oleh karena itu kebahagiaan abadi kelompok Imam Husain as dan kehancuran nyata musuh-musuh beliau telah dipilih berdasarkan hujjah yang sempurna dan jelas. Jadi, jangankan Imam Husain as, sahabat-sahabat dan kerabat beliau tidak ada yang jatuh ke dalam kehancuran.

B. Perjuangan yang dilakukan Imam Husain as adalah atas perintah Allah swt dan sesuai dengan tujuan yang diinginkan Rasulullah saw. Fakta ini dapat difahami dengan menengok tujuan-tujuan yang beliau jelaskan sendiri dan juga riwayat-riwayat yang mejelaskan bahwa nabi dan Imam Husain as sendiri benar-benar tahu akan peristiwa Asyura:

1. Dalam ayat-ayat Al-Qur’an[5] dan juga riwayat-riwayat[6] dijelaskan bahwa memerangi kebatilan adalah suatu kewajiban. Karena tegaknya agama menuntut ditumpaskannya kebatilan dan perjuangan di jalan Allah swt. Perjuangan Imam Husain as tidak lepas dari perkara penting ini.

2. Rasulullah saw sering kali mengkabarkan tentang peristiwa tragis yang akan menimpa cucunya, Imam Husain as. Riwayat-riwayat tentang hal ini tidak hanya disebutkan dalam buku-buku Syiah saja, namun juga dapat ditemukan dalam referensi-referensi hadits Suni. Bahkan tidak hanya jelas sekali makna riwayat itu, namun juga mutawatir.[7]

Rasulullah saw bersabda: “Malaikat Jibril datang kepadaku dan mengkabarkan bahwa kelak cucuku Al-Husain as akan terbunuh di tanah tandus Karbala, lalu ia membawakan segenggam tanah itu untukku, lalu berkata bahwa di tanah itu ia akan dikuburkan.”[8]

Dalam riwayat lainnya Rasulullah saw berkata kepada Imam Husain as: “Sesungguhnya bagimu ada suatu tempat di surga yang tak akan tergapai kecuali dengan kesyahidan.”[9]
Diriwayatkan dari Anas bin Harits (orang yang menyertai Imam Husain as hingga meninggal) bahwa Rasulullah saw bersabda: “Cucuku Al-Husain as akan terbunuh di tanah Karbala. Barang siapa melihatnya, maka ia harus menolongnya.”[10]

Oleh karenanya, orang yang tidak menolong Imam Husain as, apa lagi orang yang memeranginya, adalah orang yang memerangi Allah swt dan nabinya.
3. Perkataan dan sikap Imam Husain as sejak awal membuktikan bahwa beliau memilih keputusannya dengan penuh kesadaran. Ia pun yakin perjuangannya adalah perintah Allah swt dan rasul-Nya. Misalnya, saat menjawab perkataan saudaranya Muhammad Hanafiah, beliau berkata: “Setelah engkau pergi aku bermimpi melihat Rasulullah saw berkata kepadaku: “Wahai Husain! Pergilah ke Iraq. Karena Allah swt berkehendak untuk melihatmu gugur di jalan-Nya.””[11]

Sanggahan untuk jawaban ini
Apakah jika Imam Husain as tahu bahwa perjuangannya adalah perintah Allah swt berarti ia dipaksa?

Jawaban:
Tentang kehendak Tuhan dalam perkataan Rasulullah saw di mimpi Imam Husain as, kebanyakan ulama menyatakan bahwa kehendak tersebut adalah kehendak tasyri’i, bukan takwini.[12] Kehendak tasyri’i tidak bersifat paksaan dan tiadanya ikhtiar. Maksud dari kehendak tersebut adalah keridhaan Allah swt akan terbunuhnya Imam Husain as dan pengetahuan-Nya tentang bahwa peristiwa itu akan terjadi.[13] Oleh karena itu, kehendak Ilahi yang berarti pengetahuan pasti-Nya akan terjadinya sesuatu bukan berarti paksaan. Karena segala sesuatu yang terjadi pada hambanya dan yang telah Ia ketahui sebelumnya bergantung pada ikhtiar dan kehendak manusia sebagai pelaku itu sendiri. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa segala perbuatan yang dilakukan oleh manusia “atas kehendaknya masing-masing” telah diketahui Allah swt sebelum semua itu dilakukan, dan dengan demikian disebut dengan kehendak Ilahi.

Meskipun Imam Husain as telah diberitahu tentang apa yang akan terjadi padanya, namun beliau sendiri berusaha agar apa yang diberitahukan kepadanya itu terwujud dengan cara mengumpulkan pasukan dan segala persiapan perjalanannya. Oleh karena itu beliau berikhitiar dan berkehendak dalam keputusan dan perbuatannya.

Kesimpulan:
Jika agama Islam terancam, maka kita wajib melakukan segalanya demi terjaganya Islam, termasuk mengorbankan jiwa sendiri. Seperti itu perjuangan Imam Husain as di Karbala.
Perjuangan beliau bertujuan untuk menyelamatkan Islam dari kehancuran, yang mana Tuhan dan Rasulullah saw juga menginginkannya. Imam pun berjuang atas kehendak nya sendiri dan beliau melakukannya dengan penuh kesadaran. Oleh karena itu beliau tidak termasuk orang yang menjatuhkan diri sendiri ke dalam kehancuran.

Referensi untuk mengkaji lebih jauh:
1. Ayatullah Shafi Gulpaygani, Partooee az Azamat e Hosain.
2. Ali Asghar Rezvani, Pasokh be Syobahat.
3. Daftar Tablighat e Eslami, Pasokh ha ye Bargozide.
Hadits akhir:
Barra’ bin ‘Azib berkata: “Aku melihat Rasulullah saw menggendong Husain as di atas pundaknya seraya berkata: “Ya Allah! Aku sangat mencintainya, maka cintailah ia pula.”[14]


[1] QS. Al-Baqarah: 195.
[2] Nashir Makarim Syirazi, Al-Amtsal fi Tafsir Kitab Allah Al-Munzal, jil. 2, hal. 38.
[3] Ruhul Bayan, jil. 1, hal. 310; Tabyin Al-Qur’an, hal. 42; Tafsir Jalalain, hal. 34.
[4] Biharul Anwar, jil. 44, hal. 331)
[5] QS. At-Taubah: 29.
[6] Mustadrak Al-Wasail, jil. 11, hal. 17; Al-Kafi, jil. 5, hal. 3.
[7] Luthfullah Shafi Gulpaygani, Partoee az Azamat e Hosain, hal. 50.
[8] Biharul Anwar, jil. 18, hal. 114; Ash Shawaiqul Muhriqah, hal. 190; Maqtal Khwarazmi, pasal 7, hal. 156.
[9] Maqtal Khwarazmi, pasal 8, hal. 170.
[10] Biharul Anwar, jil. 44, hal. 247.
[11] Sayid Ibnu Thawus, Al-Luhuf fi Qatl Ath-Thufuf, hal. 94; Biharul Anwar, jil. 44, hal. 364.
[12] Murtadha Muthahari, Homase e Husaini, jil. 3, hal. 86.
[13] Imam Husain wa Quran, hal. 128.
[14] Biharul Anwar, jil. 43, hal. 264.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: