Selasa, 12 Agustus 2014
Tapi, kelihatannya, ini ”kredit kecil” atau hanya berskala ”menengah”, yang jelas tak disengaja, malah ”mendegradasikan” apa yang dapat kita sebut ”life achievement ” Gus Dur. Lain soal bila di sana disebutkan: Gus Dur merupakan tokoh bangsa yang berdiri di garis paling depan, sejauh menyangkut pembelaannya untuk memberi tempat lebih layak bagi kaum minoritas di negeri ini.
Komentar ini bukan hanya sekadar berbicara mengenai ”tata bahasa” dan cara memberinya apresiasi, melainkan mengenai makna penghormatan yang— sekali lagi jelas tak dimaksudkan— untuk malah mengurangi arti perjuangannya di bidang keadilan budaya, hukum, dan politik yang kejam terhadap kaum minoritas. Kita tahu, selain Gus Dur, dalam perjuangan itu ada juga Cak Nur, orang saleh, militan, dan tulus berbicara mengenai keadilan, demokrasi, dan kemanusiaan.
Platform Cak Nur membela ”nilai-nilai” dan tak pernah bicara membela teman, golongan, atau kelompok-kelompok dalam masyarakat yang bisa saja salah. Tapi, perjuangan dan pemihakan terhadap nilainilai tidak. Cak Nur sering terlalu lembut, hati-hati, dan bijaksana yang bisa saja menyembunyikan suatu rasa takut tertentu. Gus Dur keras, berani sekali, sering sangat tidak hati-hati, dan lebih sering kelihatan nekat.
Tapi, nekat di sini bukan fenomena psikologi massa yang menggambarkan sikap kehilangan ”kepala”, tidak rasional, dan ”kalap”. Gus Dur sangat berani dan nekat dengan perhitungan; siapa berani menangkap ”panglima” umat yang jumlahnya maharaksasa di bumi kita ini? Kalau sudah sampai di sini, apa yang nekat tadi sebetulnya bukan nekat, apa lagi ”kalap”, melainkan sikap yang didasarkan pada perhitungan politik yang sangat cermat, sangat rasional.
Dia menikmati suasana psikologi politik menjadi orang ”pemberani” yang bisa diberi penghormatan ”dies only once ”, dan penuh keagungan, bukan ”pengecut” yang sebutannya ”dies many times ”, dan mungkin penuh keresahan. Dia bilang, seorang pemberani itu bukan orang yang tak pernah mengenal takut.
Pemberani itu orang yang juga takut, tapi bisa mengelola ketakutannya sedemikian rupa dengan perhitungan dan strategi sehingga ketakutannya kalah. Salah satu keberaniannya yang tak mungkin kita lupakan karena tak ada seorang pun yang mau melakukannya saat itu dalam suasana mencekam, penuh teror dan ketakutan, pada Jumat pekan pertama setelah terjadi apa yang kita kenal sebagai peristiwa Tanjung Priok pada 1985.
Tidak ada khatib pada salat Jumat yang saat itu berani naik mimbar karena dipelototi tentara dan intel yang ganas. Tapi, Gus Dur tampil. Mungkin atas persetujuan Pak Benny Moerdhani atau ber-dasarkan sikap lain. Gus Dur pun naik mimbar dan memberi apresiasi pada sikap dan perjuangan Amir Biki dan anak buahnya.
Tapi, Gus Dur juga mengkritik mereka sebagaimana tampak dalam buku Jejak Guru Bangsa: Meneladani Kearifan Gus Dur , yang saya tulis dan diterbitkan Gramedia pada 2010. Di sana Gus Dur mengatakan, berjuang tidak cukup hanya dengan keberanian, tapi harus juga mengingat perlu saling menimbang nasihat yang bijak dan di atas segalanya berjuang itu juga perlu kesabaran. Pada mulanya Gus Dur juga gentar kalau tiba-tiba ditembak di atas mimbar. Tapi, itu tak terjadi, kita tahu itu. Turun mimbar dengan selamat membuatnya lega.
Tokoh-tokoh Islam Tanjung Priok lega, tentara lega, intel juga lega atas langkah berani yang bijak itu. Kita semua tahu Gus Dur tak pernah ragu sedikit pun, menaruh dirinya di dalam banyak kemungkinan risiko tak mengenakkan, yang tempo hari, pada 1990-an, dilempari banyak tuduhan: agen Yahudi, kadang-kadang ”agen Israel”, yang keduanya kurang lebih sama. Sikap populisnya yang jelas dan berwarna ”pluralis”, yang memberi tempat lebih layak pada kaum minoritas seperti disebut tadi.
Sejumlah tokoh Islam sendiri ada yang tak memahami sikap dan perjuangannya, ada yang curiga, ada yang marah, ada juga yang memprotes karena terlalu baik hati pada kaum minoritas dan sering sangat keras kepada anak-anaknya sendiri, golongan Islam. Gus Dur mendengarkan semua itu bukan untuk menurutinya, melainkan untuk mencari celah di mana kelemahan argumen mereka.
Gus Dur menikmati perdebatan karena dia tahu perdebatan itu jalan menemukan titik persamaan. Tapi, yang terpenting, perdebatan itu proses pendewasaan umat. Dia sangat sadar bahwa di dalam perjuangan keumatan di dalam NU maupun Islam pada umumnya tak banyak tokoh yang terlalu peduli, apalagi dengan serius, untuk menjadikan diskursus di bidang ini sebagai kapital mengembangkan diskursus ”Islam dan demokratisasi”. Ini wilayah ” tak terjamah” seperti lahan ”tidur” yang tak digarap siapa pun. Para tokoh lain berbeda cara melihatnya.
Gus Dur suka akan perbedaan macam itu. Baginya, makin berbeda makin jelas di mana titik-titik persamaan kita seperti dikutip di atas. Dia pun tak takut akan kegelapan sebab dia bisa menyalakan lilin yang bisa meneranginya. Bagi negeri ini, dia mungkin ibarat ”cahaya lilin dalam gelap”.
MOHAMAD SOBARY Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
Email:dandanggula@hotmail.com
Selasa 12 Agustus 2014.
Tulisan ini sebelumnya dimuat di http://koran-sindo.com/node/411528. Dimuat ulang di gusdurian.net untuk kepentingan pendidikan dan penyebaran nilai-nilai Gus Dur.
Post a Comment
mohon gunakan email