Sabtu, 09 Agustus 2014
Bukan hanya itu, kemajuan tersebut pun menjadi tolok ukur Negara-negara
lain, tak terkecuali Negara yang mayoritas beragama Islam. Sehingga
berbagai kelompok dalam Islam pun bermunculan untuk merespon kemajuan
peradaban Barat tersebut. Diantara mereka ada yang menerima dan ada juga
yang menolak secara keras.
Di luar dari dua kelompok tersebut, terdapat kelompok moderat. Kelompok yang dikenal cukup selektif dalam melihat kemajuan peradaban Barat. Kelompok moderat ini berpandangan bahwa ada nilai positif dari peradaban Barat yang bisa diambil, dan ada juga yang harus ditolak, karena tidak sesuai dengan norma agama dan budaya kita.
Meminjam pendapat Ibnu Rusyid, jika ada kebanaran yang datang dari luar kelompok kita (Islam), maka kita wajib untuk menerimanya, namun jika yang datang adalah kebatilan, maka tugas kita untuk meluruskannya.
Pluralitas Pemahaman.
Meski demikian, sangat disayangkan karena gagasan Ibnu Rusyid ini tidak menjadi perhatian bagi semua umat Islam, sehingga yang muncul kepermukaan adalah sikap intoleran terhadap kemajuan peradaban Barat. Sementara kelompok yang pro terhadap kemajuan Barat, melahirkan corak keberagaamaan liberal yang belakangan banyak dipersoalkan diberbagai Negara Islam.
Kemajuan informasi serta terbukanya kran kebebasan di era globalisasi menjadi salah satu penyebab munculnya berbagai macam paham dan aliran dalam Islam. Fenomena ini tentunya tidak hanya menambah suasana kehidupan keberagamaan semakin beragam, melainkan juga menjadi penyebab tingginya suhu konflik serta perasangka negatif di masing-masing kelompok.
Jika kita berkaca pada sejarah, sejak awal corak pemahaman dalam Islam tidak pernah tunggal, melainkan selalu plural serta tidak jarang melahirkan pertikaian antar kelompok atau mazhab. Sehingga tidak mengherankan jika banyak ulama atau penganut agama menjadi korban serta tewas secara mengenaskan akibat konflik yang mengatasnamakan agama dan paham tersebut.
Hal ini pun semakin diperparah saat kekuasaan ikut terlibat di dalamnya. Salah seorang ulama besar bernama Imam Ibnu Hanbal mendapat hukuman penjara dan siksasaan dikarenakan paham agama yang diyakininya bersebrangan dengan paham penguasa (Negara) pada masa Khalifah Al-Makmun.
Imprealisme Kebudayaan.
Paling tidak, ada tiga kelompok yang menjadi perbincangan dunia saat ini, yaitu; kelompok Fundamental-Garis Keras, kelompok Moderat dan Liberal. Ketiga kelompok ini tidak pernah sepaham dalam memahami pesan-pesan agama, mereka terkadang saling bersitegang dan berkonflik.
Imbas dari relasi antara Barat dan Timur yang hampir tidak pernah mengalami titik temu menjadi sebuah persoalan krusial dari relasi kedua kelompok tersebut, khususnya Islam Liberal dan Fundamental. Kelompok liberal diklaim sebagai antek-antek Barat, sementara Islam Fundamental-garis keras diklaim sebagai kelompok lanjutan dari kaum Kwarij yang berasal dari Timur Tengah.
Selain itu, dalam konteks wacana, jika kelompok Islamisme pengusung Negara Islam mengeluarkan statmen dengan mengatakan “selamatkan Indonesia dengan penegakan Negara Islam”, maka kelompok liberalisme Islam memunculkan wacana tandingan dengan mengatakan “selamatkan Indonesia dari penegakan Negara Islam”.
Kedua kelompok tersebut (Liberal dan Fundamentalisme-Garis Keras) adalah Islam transnasional yang hadir di Negara kita dengan sama-sama mengklaim diri sebagai pembaharu dengan model pemikiran yang berbeda, yaitu westernisasi ala liberalisme dan Arabisasi ala fundamentalisme.
Oleh karenanya, yang terjadi sebenarnya bukanlah Islamisasi, melainkan imprealisme kebudayaan yang tidak mengenal kompromi (islah) terhadap kebudayaan dan tradisi lokal bangsa kita. Gerakannya pun cenderung mengarah pada pemaksaan dan kekerasan. Akibatnya, Islam pun semakin menakutkan karena tidak jarang dijadikan sebagai dalih untuk mendiskreditkan dan menyerang kelompok lain yang berbeda degannya.
Selain itu, siapapun berani mengkritik paham mereka, tidak hanya akan distigma sebagai orang kafir, melainkan juga dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap agama itu sendiri. Padahal dalam kenyataannya, apa yang mereka maksudkan sebagai agama tidak lain adalah hasil tafsir (kreatifitas kebudayaan) mereka terhadap agama.
Penulis Adalah Koord Jaringan Gusdurian Makassar.
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Fajar, 8 Agustus 2014.
Di luar dari dua kelompok tersebut, terdapat kelompok moderat. Kelompok yang dikenal cukup selektif dalam melihat kemajuan peradaban Barat. Kelompok moderat ini berpandangan bahwa ada nilai positif dari peradaban Barat yang bisa diambil, dan ada juga yang harus ditolak, karena tidak sesuai dengan norma agama dan budaya kita.
Meminjam pendapat Ibnu Rusyid, jika ada kebanaran yang datang dari luar kelompok kita (Islam), maka kita wajib untuk menerimanya, namun jika yang datang adalah kebatilan, maka tugas kita untuk meluruskannya.
Pluralitas Pemahaman.
Meski demikian, sangat disayangkan karena gagasan Ibnu Rusyid ini tidak menjadi perhatian bagi semua umat Islam, sehingga yang muncul kepermukaan adalah sikap intoleran terhadap kemajuan peradaban Barat. Sementara kelompok yang pro terhadap kemajuan Barat, melahirkan corak keberagaamaan liberal yang belakangan banyak dipersoalkan diberbagai Negara Islam.
Kemajuan informasi serta terbukanya kran kebebasan di era globalisasi menjadi salah satu penyebab munculnya berbagai macam paham dan aliran dalam Islam. Fenomena ini tentunya tidak hanya menambah suasana kehidupan keberagamaan semakin beragam, melainkan juga menjadi penyebab tingginya suhu konflik serta perasangka negatif di masing-masing kelompok.
Jika kita berkaca pada sejarah, sejak awal corak pemahaman dalam Islam tidak pernah tunggal, melainkan selalu plural serta tidak jarang melahirkan pertikaian antar kelompok atau mazhab. Sehingga tidak mengherankan jika banyak ulama atau penganut agama menjadi korban serta tewas secara mengenaskan akibat konflik yang mengatasnamakan agama dan paham tersebut.
Hal ini pun semakin diperparah saat kekuasaan ikut terlibat di dalamnya. Salah seorang ulama besar bernama Imam Ibnu Hanbal mendapat hukuman penjara dan siksasaan dikarenakan paham agama yang diyakininya bersebrangan dengan paham penguasa (Negara) pada masa Khalifah Al-Makmun.
Imprealisme Kebudayaan.
Paling tidak, ada tiga kelompok yang menjadi perbincangan dunia saat ini, yaitu; kelompok Fundamental-Garis Keras, kelompok Moderat dan Liberal. Ketiga kelompok ini tidak pernah sepaham dalam memahami pesan-pesan agama, mereka terkadang saling bersitegang dan berkonflik.
Imbas dari relasi antara Barat dan Timur yang hampir tidak pernah mengalami titik temu menjadi sebuah persoalan krusial dari relasi kedua kelompok tersebut, khususnya Islam Liberal dan Fundamental. Kelompok liberal diklaim sebagai antek-antek Barat, sementara Islam Fundamental-garis keras diklaim sebagai kelompok lanjutan dari kaum Kwarij yang berasal dari Timur Tengah.
Selain itu, dalam konteks wacana, jika kelompok Islamisme pengusung Negara Islam mengeluarkan statmen dengan mengatakan “selamatkan Indonesia dengan penegakan Negara Islam”, maka kelompok liberalisme Islam memunculkan wacana tandingan dengan mengatakan “selamatkan Indonesia dari penegakan Negara Islam”.
Kedua kelompok tersebut (Liberal dan Fundamentalisme-Garis Keras) adalah Islam transnasional yang hadir di Negara kita dengan sama-sama mengklaim diri sebagai pembaharu dengan model pemikiran yang berbeda, yaitu westernisasi ala liberalisme dan Arabisasi ala fundamentalisme.
Oleh karenanya, yang terjadi sebenarnya bukanlah Islamisasi, melainkan imprealisme kebudayaan yang tidak mengenal kompromi (islah) terhadap kebudayaan dan tradisi lokal bangsa kita. Gerakannya pun cenderung mengarah pada pemaksaan dan kekerasan. Akibatnya, Islam pun semakin menakutkan karena tidak jarang dijadikan sebagai dalih untuk mendiskreditkan dan menyerang kelompok lain yang berbeda degannya.
Selain itu, siapapun berani mengkritik paham mereka, tidak hanya akan distigma sebagai orang kafir, melainkan juga dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap agama itu sendiri. Padahal dalam kenyataannya, apa yang mereka maksudkan sebagai agama tidak lain adalah hasil tafsir (kreatifitas kebudayaan) mereka terhadap agama.
Penulis Adalah Koord Jaringan Gusdurian Makassar.
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Fajar, 8 Agustus 2014.
Post a Comment
mohon gunakan email