Bedah Buku Mengkritisi MUI, Narasumber MUI dan DEPAG Enggan Hadir.
(Baca)
“Buku ini hakikatnya tidak mengkritik MUI sebagai lembaga, tapi mengkritik kesalahan yang memang harus dikoreksi,”.
Bertempat di Husainiyah Yayasan Kharisma Usada Mustika (KUM), Jakarta Barat Jum’at, 21 Maret 2014, buku karya Emilia Renita Az tersebut dibedah dan didiskusikan. Hadir sekitar empat ratus peserta dalam acara yang dimulai pukul 20.00 WIB tersebut.
Hadir dalam acara bedah buku yang bertajuk “Inilah Jalanku yang Lurus” tersebut, Zuhairi Misrawi dan Kiai Alawi al-Bantani dari Nahdhlatul Ulama (NU), Dr. Zuhdi dari Muhammadiyah, dan Dr. Jalaluddin Rahmat dari Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI). Dua narasumber kunci dari Depag, Dr. Muhammad Zain dan Dr. Amirsyah dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang juga diundang oleh panitia sampai acara berakhir tidak menghadirkan diri.
Acara bedah buku dimulai dengan pembacaan ayat suci al-Qur’an yang dilanjutkan dengan pembacaan Press Release Tanggapan penulis buku, Emilia Renita Az dalam kritiknya, “Apakah MUI Sesat Berdasarkan 10 Kriteria Aliran Sesat yang ditetapkan MUI sendiri?”
Ketika diwawancarai oleh kru Berita Protes, Emilia Renita Az, yang lebih dikenal dengan panggilan Bu Nike tersebut, menyebutkan bahwa buku yang ditulisnya diterbitkan atas nama pribadinya sebagai seorang penganut Syiah yang merasa terusik dengan banyaknya fitnah dan tekanan yang diterima penganut Ahlulbait Indonesia karena fatwa MUI. Dr. Jalaludin Rakhmat, atau yang lebih dikenal dengan panggilan Kang Jalal sendiri, selaku Ketua Dewan Syura IJABI mengiyakan hal tersebut.
Buku karya istrinya itu adalah buku pribadi, bukan atas nama IJABI. Meski demikian, Kang Jalal mengaku ia sedikit banyak bersumbangsih menulis di beberapa bagian, juga menghilangkan beberapa tulisan yang dianggapnya terlalu keras di buku ini.
Bu Nike dalam lanjutan wawancaranya mengatakan, memang Kang Jalal sangat besar andilnya dalam melembutkan, dan bahkan meniadakan banyak tulisannya yang bernada keras dan emosional. Dan menggantinya dengan tulisan yang lebih kalem. “Iya. Memang banyak yang diubah sama kang Jalal,” akunya.
Zuhairi Misrawi, cendikiawan muda dari NU memberikan apresiasi positif atas terselenggaranya acara bedah buku tersebut. Menurutnya perbedaan pendapat dan perdebatan akademis itu adalah sesuatu yang niscaya. “Terbitnya buku sanggahan terhadap buku MUI itu menurut saya adalah tradisi yang sehat dalam perkembangan Islam”, ujar Zuhairi. “Munculnya dialog akademis buku dijawab buku ini menurut saya akan mencari titik temu. Memang ada perbedaan dalam doktrin keagamaan, tetapi persamaan jauh lebih besar, kan?”
Dr. Zuhdi, salah seorang pembicara dari Muhammadiyah dalam kesempatan tersebut juga menyebutkan bahwa buku kritik terhadap buku yang mengatasnamakan MUI ini jangan dianggap sebagai sikap memusuhi MUI. Karena pada dasarnya, yang dikritik bukanlah MUI sebagai lembaga, tetapi keburukan dan fitnah yang diatasnamakan MUI. “Buku ini hakikatnya tidak mengkritik MUI sebagai lembaga, tapi mengkritik kesalahan yang memang harus dikoreksi,” ujarnya.
Kang Jalal, selaku pihak yang juga ikut andil dalam pembuatan buku tersebut juga mengiyakan pernyataan Dr. Zuhdi. Dr. Zuhdi dalam kesempatan itu sekaligus menyampaikan sikap resmi DPP Muhammadiyah yang tidak mensesatkan Syiah. Bahwa Dewan Tabligh Muhammadiyah tak pernah menyesatkan Syiah dan bahwa Syiah adalah bagian tak terpisahkan dari Islam. “Saya tegaskan, bahwa secara resmi DPP Muhammadiyah tak pernah menyesatkan Syiah,” terang Dr. Zuhdi.
Meski beredar buku panduan MUI yang menuduh Syiah sesat, Ketua Umum DPP Muhammadiyah, Din Syamsudin yang sekaligus mejabat sebagai Ketua Umum MUI yang baru dalam sebuah wawancara di JakTV menyebutkan bahwa tuduhan Syiah sesat dengan mengatasnamakan buku panduan MUI merupakan fitnah besar. Saat dikonfirmasi, inilah jawaban Dr. Zuhdi, “Begini, Pak Din kan baru jadi Ketua. Kedua, saya melihat, itu bukan hasil kesepakatan (resmi) MUI. Tapi segelintir orang menulis buku lalu mengatsnamakan MUI menyesatkan Syiah. MUI secara kelembagaan tidak pernah menyesatkan Syiah. Dia (Syiah) bagian umat Islam.”.
Dr. Zuhdi juga menyayangkan kenapa perwakilan Depag dan MUI yang semestinya bertanggungjawab menjelaskan hal ini tidak datang di acara ini meski sudah diundang. “Mestinya pihak MUI datang. Kan bisa diwakilkan kalau mereka bertanggungjawab,” ujar Dr. Zuhdi. Dari Departemen Agama, yang diundang adalah Dr. Muhammad Zain. Sedang dari pihak MUI adalah Dr. Amirsyah. Tetapi sampai acara berakhir keduanya tak menunjukkan batang hidungnya. Para pengunjung sendiri merasa sangat kecewa dengan ketidakhadiran mereka.
Menurut Zuhairi Misrawi, MUI mestinya juga bertanggungjawab. Karena jika mereka lepas tangan, fitnah ini akan menjadi bola liar yang menyebar di masyarakat. “Masyarakat awam hanya tahu ini MUI sebagai lembaga yang punya otoritas. Lalu pandangan (yang mengatasnamakan) MUI dipandang sebagai pandangan absolut. Ini sangat disayangkan,” keluh Zuhairi. “Kalau kita tahu sejarah, kita tak bisa mengabaikan sumbangsih besar Syiah dalam peradaban Islam.
Terutama Syiah Itsna Atsariyah. Yang jadi masalah adalah orang tidak membaca khazanah Syiah. Yang mereka baca hanya literatur yang berpandangan negatif kepada Syiah. Jadi akhirnya kesimpulan yang diambil sangat subjektif. Dengan adanya kritik balik ini akan memberi pendewasaan pada masyarakat, aparat dan akademisi bahwa apa yang disampaikan MUI ini berkaitan tentang Syiah tidak sepenuhnya benar.”
Diluncurkannya buku Inilah Jalanku Yang Lurus, Menanggapi Buku Panduan Majelis Ulama Indonesia “Apakah MUI Sesat? Berdasarkan 10 Kriteria Aliran Sesat?” ini menurut Zuhairi Misrawi merupakan hal yang positif. Karena akan membangun dialog dan tradisi debat akademis yang pada gilirannya akan mencerdaskan dan memajukan umat Islam.
Tentu, dialog akademis ini akan lebih bernas dan bermanfaat bagi umat Islam jika pihak (yang mengklaim dari) MUI berani hadir mempertanggunjawabkan tulisannya.
buku “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia” (MMPSI), yang sejak November 2013 tahun lalu disebarkan dengan gencar secara gratis di berbagai masjid diseluruh Indonesia seraya ditopang publikasi lewat jejaring sosial adalah buku kontroversial yang diklaim diterbitkan oleh MUI Pusat.
Sebagian dari tokoh MUI Pusat sendiri mengaku tidak tahu menahu mengenai proses penerbitan buku tersebut dan menyebut MUI tidak punya dana untuk mendanai buku dalam jumlah yang besar dan dibagian secara gratis. Buku tersebut menimbulkan polemik dan melahirkan tanggapan khususnya dari komunitas Syiah Indonesia yang dimaksud dalam buku panduan tersebut.
Diantaranya, Emilia Renita Az, aktivis IJABI yang menulis buku, “Apakah MUI Sesat? Berdasarkan 10 Kriteria Aliran Sesat (yang dibuat MUI sendiri)?” yang disebutnya sebagai tanggapan dari buku yang diklaim diterbitkan oleh MUI Pusat.
Makasih banyak pak Zuhdi atas kehadiran dan penjelasannya.
Surga memang sangat mahal dan tidak mungkin bisa dibayangkan keindahannya. Tetapi duri2 fitnah yang merintanginya sangat banyak dan beragam. Karena itu, tidak mudah meraihnya. Jalan menuju surga hanya bisa ditempuh dengan kendaraan (mazhab) yang kuat (argumennya), bisa menjawab berbagai tantangan dan problema hidup dan bersifat universal.
Dan hal ini hanya bisa di dapati di dalam mazhab Syiah Imamiyah. Kalo tidak percaya, silahkan saja kaji dengan serius dan ikhlas, bandingkan dengan mazhab dan aliran lainnya dan pahami dengan baik dari sumbernya yang asli. Pasti nantinya Anda akan sependdapat dengan kami. Percayalah !
“Rakyat Iran adalah rakyat yang secara sepenuhnya sadar dengan keyakinan dan agama mereka. Saya benar-benar kagum, betapa rakyat Iran sangat dekat dan akrab dengan Al-Qur’an. Tiap tahun penyelenggaran pameran Al-Qur’an selalu semarak dan diminati. Saya tidak pernah
melihat penyelenggaraan pameran Al-Qur’an semarak sebagaimana di Iran.
Hanya saja, kita memang tidak bisa memungkiri dan menutup mata, tetap saja ada warga Iran yang tidak mengamalkan ajaran agamanya dengan baik.
Nasihat Imam Husein as: Tidak Mencari Aib Orang Lain.
Imam Husein as berkata:
“Seseorang yang tidak mencari aib orang lain berarti ia tidak perlu meminta maaf.” (Nuzhah an-Nazhir wa Tanbih al-Khathir, hal 80).
Tidak ada manusia yang tidak memiliki aib dan kekurangan baik dalam akhlak maupun perilakunya, bahkan mungkin saja kesalahan itu terjadi pada diri kita sendiri. Karena kita tidak maksum dan tidak terjaga dari kesalahan. Dari sini, manusia berakal dan beriman tidak boleh mencari tahu aib orang lain. Terlebih lagi bila ia telah mengetahuinya lalu menceritakannya kepada orang lain. Hal itu akan membuatnya terhina di tengah masyarakat dan menyedihkannya. Seseorang yang melakukan perbuatan ini pada akhirnya meminta maaf kepada orang tersebut.
Seorang mukmin setiap kali menyaksikan aib atau kekurangan pada perilaku orang lain, hendaknya ia tidak menyampaikannya kepada orang lain, tapi yang perlu dilakukannya adalah secara baik mengucapkannya langsung kepada orang tersebut. Bila perlu ia harus membimbingnya agar dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan kekurangannya.
Post a Comment
mohon gunakan email