Pesan Rahbar

Home » » Tatanan Tentang Adzan dan Iqamat didalam Islam

Tatanan Tentang Adzan dan Iqamat didalam Islam

Written By Unknown on Thursday, 4 September 2014 | 21:53:00

Adzan Bukan Hanya Untuk Panggilan Sholat.






Permasalahan

Ada beberapa kelompok manusia yang mengatakan bahwa seruan adzan itu hanya khusus untuk memanggil sholat saja, tidak boleh untuk yang lain. Sementara sebahagian kaum muslimin yang lain berpendapat bahwa adzan dapat juga dilakukan pada beberapa hal yang selain panggilan untuk menunaikan sholat fardhu yang lima waktu.

Masalah ini memunculkan kebimbangan dan perdebatan di tengah-tengah umat Islam belakangan ini. Apalagi dengan banyaknya beredar buku-buku dan siaran-siaran da’wah melalui media elektronik yang terkadang agak keras menyerang kaum muslimin yang berbeda faham dari mereka, dengan berbagai cercaan; mulai dari tuduhan pemakaian hadits yang statusnya dhoif, tuduhan sebagai amalan sesat dan bid’ah, bahkan sampai dengan ancaman neraka segala. Dengan demikian maka keresahan umat menjadi semakin meluas dan tajam.

Benarkah seruan adzan itu hanya untuk memanggil kaum muslimin melaksanakan sholat? Adakah manfaat yang lain di luar itu? Sebagai jawaban atas masalah yang sering ditanyakan kepada kami maka berikut ini adalah kumpulan beberapa dalil dari ayat-ayat Al Qur’an, hadis Nabi, dan Fatwa Ulama tentang kegunaan adzan dalam Islam.

Pengertian Adzan.
Berkata Azhari, seorang ahli bahasa Arab, tentang asal kata adzan : adzdzana al muadzdzinu ta’dziinan wa adzaanan yaitu memberitahu manusia akan masuknya waktu sholat. Maka adzan itu diletakkan dalam bentuk isim tetapi berfungsi sebagai mashdar, yang dalam bahasa bahasa Indonesia bermakna panggilan di waktu sholat. (Lihat Majmu’ Syarah Muhadzdzab Imam Nawawi Jilid 4, halaman 121 cetakan Abbaz bin Ahmad al Baz – Makkah Al Mukarromah).


Kegunaan Adzan

1. Memanggil Sholat.
Adzan diperintahkan untuk memanggil umat Islam sebagai tanda masuknya waktu sholat.  Hal ini sudah masyhur (terkenal) di kalangan umat Islam dan tidak ada khilaf, perbedaan pendapat  antara kaum muslimin tentang hal ini. Semuanya sepakat dalam hal bahwa adzan digunakan untuk panggilan sholat.

Dalil-dalil Qur’an tentang ini adalah:
  • Surat al Jumu’ah ayat 9: “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
  • Surat al-Maidah ayat 58 : “dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal.”
Adapun dalil-dalil hadis tentang hal ini adalah:
  • Dari Abdullah bin Zaid bin Abduh Rabihi radhiyallahu ‘anhu berkata dia, “Manakala Rasulullah telah memerintahkan untuk memakai lonceng yang dibunyikan bagi memanggil manusia untuk berkumpul melaksanakan sholat berjamaah, telah berkeliling kepadaku seorang lelaki yang sedang memegang sebuah lonceng ditangannya, pada saat itu aku sedang tidur (bermimpi). Aku berkata, “Wahai hamba Allah apakah engkau menjual lonceng?” orang itu berkata,” Untuk apa lonceng bagimu?” Aku berkata, “Kami mau memanggil manusia untuk melakukan sholat dengan lonceng itu.” Kemudian orang yang dalam mimpi itu berkata, “ Maukah engkau aku tunjukkan sesuatu yang lebih baik daripada memukul lonceng?” lalu aku menjawab, “iya.” Maka orang itu berkata lagi ucapkan olehmu, “Allahu Akbar 4x ..(dan seterusnya sampai selesai kalimat adzan lengkap – pen). Kemudian orang itu mundur tidak jauh daripadaku dan dia berkata, “Jika engkau telah selesai sholat (sunat) maka ucapkanlah Allahu Akbar 2x ….. (bacaan iqomat sampai selesai – pen). Setelah aku terbangun di subuh hari, aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan tentang mimpiku. Maka Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya mimpimu adalah mimpi yang benar, Insya Allah.” Maka berdirilah bersama Bilal dan ajarkanlah kepada Bilal tentang mimpimu itu agar Bilal beradzan seperti itu, karena suara Bilal lebih baik dari suaramu. Maka aku berdiri bersama Bilal dan mengajarkan seruan adzan itu secara perlahan sementara Bilal menyerukan suara adzan itu dengan keras. Maka telah mendengar Umar bin Khatab di rumahnya akan seruan adzan Bilal tersebut, kemudian beliau segera keluar dari rumahnya sambil menyandang selendangnya. Umar berkata, ”Demi Allah yang telah mengutus Engkau ya Rasul dengan haq, sungguh aku telah melihat dalam mimpiku serupa dengan yang dialami Abdullah bin Zaid itu. Maka Rasulullah menjawab, ”Bagi Allah sajalah segala puji .”(HR. Tarmidzi dan Abu Dawud, sanad yang shohih).

2.  Adzan dan Iqomat Pada Anak yang Baru Lahir

Disunnatkan juga mengadzankan anak yang baru lahir pada telinga kanannya dan mengiqomatkan anak tersebut pada telinga kirinya, seperti adzan dan iqomat pada sholat 5 waktu. Tidak berbeda perlakuan adzan dan iqomat ini kepada anak laki-laki ataupun anak perempuan. Hal ini disandarkan pada beberapa hadis antara lain;
  • Dari Abi Rofi’ radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah mengadzankan Sayyidina Husain di telinganya pada saat Sayyidina Husain baru dilahirkan oleh Sayyidatuna Fatimah dengan bacaan adzan untuk sholat .” (HR. Ahmad, Abu dawud, Tarmidzi, dishohihkannya).
  • Dari Abi Rofi’ berkata dia, “Aku pernah melihat Nabi melakukan adzan pada telinga Al Hasan dan Al Husain radhiyallahu ‘anhuma.” (HR. Thabrani).
  • “Barangsiapa yang kelahiran seorang anak, lalu anaknya diadzankan pada telinganya yang sebelah kanan serta di iqomatkan pada telinga yang kiri, niscaya tidaklah anak tersebut diganggu oleh Ummu Shibyan (HR. Ibnu Sunni, Imam Haitsami menuliskan riwayat ini pada Majmu’ Az Zawaid, jilid 4,halaman 59). Menurut pensyarah hadis,  Ummu Shibyan adalah jin wanita yang selalu mengganggu dan mengikuti anak-anak bayi. Di Indonesia terkenal dengan sebutan kuntilanak atau kolong wewe.
  • Di dalam kitab Majmu Syarah Muhaddzab, Imam Nawawi meriwayatkan sebuah riwayat yang dikutip dari para ulama Syafi’i, bahwa Khalifah Umar bin Abdul Aziz radhiyallahu ‘anhu pernah melakukan adzan dan iqomat pada anaknya yang baru lahir.
Dari keterangan ini jelaslah bagi kita bahwa perkataan orang yang selama ini mengatakan amalan mengadzankan anak yang baru lahir hanya disandarkan pada hadits-hadits dhoif belaka, adalah tidak benar sama sekali!

3. Adzan Pada Keadaan-keadaan yang lain.
Selain dua hal tersebut di atas, para ulama Madzhab Syafi’i mengumpulkan dalil-dalil akan adanya manfaat adzan yang lain. Salah satunya saya kutipkan dari kitab Fathul Mu’in karangan Syaikh Zainuddin al Malibari, juga telah  disyarahkan keterangannya dalam I’anatut Thalibin oleh Syaikh Sayyid Abi Bakri Syatho’, jilid 2 halaman 268, cetakan Darul Fikri.

Dalam kitab Fathul Mu’in itu disebutkan, ”Dan telah disunnatkan juga adzan untuk selain keperluan memanggil sholat, beradzan pada telinga orang yang sedang berduka cita, orang yang ayan (sakit sawan), orang yang sedang marah, orang yang jahat akhlaknya, dan binatang yang liar atau buas, saat ketika terjadi kebakaran, saat ketika jin-jin memperlihatkan rupanya yakni bergolaknya kejahatan jin, dan adzan serta iqomat pada telinga anak yang baru lahir, dan saat orang musafir memulai perjalanan.”

Keterangan:
Sudah umum diketahui bahwa orang yang sedang marah, berakhlak buruk, binatang liar umumnya terpengaruh oleh gangguan syaitan atau jin, maka adzan pada hal-hal demikian itu, menyebabkan syaitan /jin yang mengganggu akan lari sampai terkentut-kentut bila mendengar adzan (H.R. Bukhari Muslim).
Seperti yang dikatakan Shahabat Umar ra:
Atsar dari ‘Umar radhiallahu ‘anhu yang dikeluarkan Ibnu Abi Syaibah rahimahullahu dan dishahihkan sanadnya oleh Al-Hafizh rahimahullahu dalam Fathul Bari (6/414): “Sesungguhnya Ghilan disebut di sisi ‘Umar, maka ia berkata: “Sungguh seseorang tidak mampu untuk berubah dari bentuknya yang telah Allah ciptakan. Akan tetapi mereka (para setan) memiliki tukang sihir seperti tukang sihir kalian. Maka bila kalian melihat setan itu, kumandangkanlah adzan.

Ghilan atau Ghul adalah setan yang biasa menyesatkan musafir yang sedang berjalan di gurun (hutan/jalan). Mereka menampakkan diri dalam berbagai bentuk yang mengejutkan dan menakutkan sehingga membuat takut musafir tersebut. (Tambahan dari Admin Salafytobat)
Adapun mengadzankan mayat ketika dimasukkan ke dalam kubur adalah masalah khilafiyah; Sebagian ulama mengatakan sunnat dan sebagian lagi mengatakan tidak sunnat. Di antara ulama kita yang berpendapat tidak sunnat mengadzankan mayat adalah Syaikh Ibnu Hajar al Haitami rahimahullahu ta’ala, namun demikian, tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan bid’ah sesuatu perkara yang statusnya khilafiyah.

Wallahu a’lam bisshowab.

Sumber: Dari Berbagai Sumber Sunni.

Inilah Penjelasan Kami:
Baca disini : Umar telah melakukan Kesalahan dan bid'ah.

1.  kajian Sanad Hadist "Jika Ada Nabi Setelahku Maka Itu Adalah Umar"

PERHATIKAN HADIS INI "Jika Ada Nabi Setelahku Maka Itu Adalah Umar":


بسمه تعالى ،،،

مما أبتليت به الأمة الإسلامية كثرت الأحاديث التي خرجت من الكيس ! ونسبوها بلا ورع ولا تقوى إلى مقام النبوة المقدسة

ومن جملة هذه الأحاديث الموضوعة حديث ( لو كان بعدي نبي لكان عمر ) وهذا من له ادنى إطلاع على كلام المصطفى صلى الله عليه وآله وسلم يحكم عليه بالوضع قطعا لمتنه المفضوح !

دون أن يفتش في إسناده وثقة رجاله وكيف وإسانيده هالكه كما ستعرف

ثم يأتي من يسمونه بـ ( محدث العصر ) الألباني ليدرج هذا في سلسلته الصحيحة فبئس ما صنع وتبعه على ذلك مشايخ القوم ووعاظهم ودونوا ذلك في كراريس التربية حتى صار من المسلمات !

-----------------------------------

= طرق وأسانيد هذه الفرية على رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم =

الطريق الأول :

روى أحمد والترمذي والطبراني والآجري والحاكم والبيهقي والفسوي واللالكائي وابن شاهين وأبو نعيم والروياني والحكيم الترمذي وأبو يعلى وابن زنجويه ..

كلهم من طريق (بكر بن عمرو المعافري عن مشرح بن هاعان عن عقبة بن عامر الجهني عن رسول الله صلى الله عليه [وآله] وسلم قال لو كان بعدي نبي لكان عمر )

أقول : وهذا الطريق ضعيف من وجهين ..

الأول .. بكر بن عمرو المعافري

فإنه لم يوثقه معتبر والكلام فيه يدل على ضعفه

قال مقبل الوادعي ( كلام أهل العلم يدل على ضعفه وإن روى له البخاري ومسلم )إتحاف الخليل ص215

وقال المعلمي اليماني ( بكر لم يوثقه أحد ) الفوائد ص56

وهو كما قالا

الثاني .. مشرح بن هاعان فيه مقال وقالوا أنه صدوق .. غير أن ابن حبان قد قال في المجروحين ( يروى عن عقبة بن عامر أحاديث مناكير لا يتابع عليها ) وهذه الرواية مما رواها مشرح عن عامر ولم يتابع عليه بل نص أحمد بن حنبل على نكارتها

قال إبراهيم بن الحارث ( إن أبا عبدالله سئل عن حديث عقبة بن الحارث: "لو كان بعدي نبي لكان عمر"؟. فقال: اضرب عليه؛ فإنه عندي منكر )

ملاحظة : "عقبة بن الحارث تصحيف وصوابه عقبة بن عامر" أنظر حاشية منتخب علل الخلال ص190

فتأمل

-------------------------------

الطريق الثاني :

روى الطبراني قال ( حدثنا أحمد بن رشدين المصري، حدثنا خالد بن عبد السلام الصدفي، حدثنا الفضل بن المختار، عن عبد الله بن موهب، عن عصمة بن مالك الخطمي قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:"لو كان نبي بعدي لكان عمر بن الخطاب" )

أقول : وهذا الطريق تالف بالمرة ..

أولا .. أحمد بن رشدين المصري .. ضعفه ابن عدي وأتهمه بالكذب أحمد بن صالح المصري ووثقه مسلمة بن القاسم ومسلمة ليس بثقة

ثانيا .. الفضل بن المختار متروك الحديث .. قال الذهبي في الميزان ج3-ص358 ( قال أبو حاتم: أحاديثه منكرة، يحدث بالاباطيل. وقال الازدي: منكر الحديث جدا. وقال ابن عدى: أحاديثه منكرة، عامتها لا يتابع عليها )

وقال في تاريخ الإسلام ج4-ص707 ( واه ) وقال العقيلي ج5-ص87 ( منكر الحديث )

وقال ابن حجر في الإصابة ج2-ص252 ( ضعيف جدا ) وكذا قال الهيثمي وغيره

والعجب من محدث العصر (!!) الألباني حينما زعم أن حديث الفضل هذا شاهد لحديث عقبة الأول مع أن الفضل نفسه قال عنه الألباني في سلسلته الضعيفة ج2-ص458 :
( متروك )

أفحديث المتروك يصلح أن يكون شاهدا ؟ نترك الجواب لذوي العقول

-------------------

الطريق الثالث :

قال الهيثمي في مجمع الزوائد ج9-ص68 ( وعن أبي سعيد الخدري قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لو كان الله باعثا رسولا بعدي لبعث عمر بن الخطاب . رواه الطبراني في الأوسط وفيه عبد المنعم بن بشير وهو ضعيف )

أقول : لم أجد هذا في معجم الطبراني الأوسط .. ثم رأيت كتاب ( بغية الرائد في تحقيق مجمع الزوائد ) لعبد الله الدرويش ومنهجه في كتابه تخريج النصوص التي ذكرها الهيثمي ولكنه ترك النص أعلاه ولم يعلق عليه بشيء !

وكيف كان ففي السند عبد المنعم بن بشير وهو ضعيف جدا .. قال ابن حبان في المجروحين ج2-ص158 ( منكر الحديث جدا ) وقال الخليلي في الإرشاد ص4 ( وهو وضاع على الأئمة ) وحكى بإسناده عن أحمد تكذيبه وقال الدارقطني في سؤالات البرقاني ( متروك )

وهذا مما جعله محدث العصر .. شاهد أيضا !

---------------------

الطريق الرابع :

قال ابن عساكر في تاريخ دمشق ج44-ص116 ( أخبرنا أبو السعود بن المجلي أنا أبو بكر الخطيب أنا أبو الفتح محمد بن الحسين بن محمد بن جعفر السمعاني المعروف بقطيط نا أحمد بن محمد بن الحسين الصفار التستري من حفظه نا سعيد بن أحمد أبو سعيد النيسابوري نا ظالم بن كاظم أبو يعيش نا خلف بن حمود البخاري نا عبد الله بن مسلمة نا مالك بن أنس عن نافع عن ابن عمر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لعمر بن الخطاب لو كان بعدي نبي لكنته . قال الخطيب هذا حديث منكر )

أقول : سند مظلم .. خلف بن حمود مجهول العين .. قال الذهبي في الميزان ج1-ص651 ( لا يُعرف ، وأتى بخبر منكر )

و ظالم بن كاظم مجهول العين ، لم يذكره أحد وقال ابن حجر في اللسان ج2-ص7 ( روى عنه [صوابه عن] خلف بن حمود خبراً منكراً روى عنه أبو سعيد بن أحمد النيسابوري )

وسعيد بن أحمد أبو سعيد النيسابوري لم أعرفه وذكره واختلف في أسمه فقال ابن حجر ( أبو سعيد بن أحمد )

ملاحظة : وأبو الفتح السمعاني تصحيف وصوابه أبو الفتح الشيباني ترجمته في تاريخ بغداد ولم يذكر فيه جرحا ولا تعديلا

------------------

الطريق الخامس :

قال ابن عدي في الكامل ج3-ص216 ( ثنا علي بن الحسن بن قدير المصري ثنا زكريا بن يحيى الوقار ثنا بشير بن بكر عن أبي بكر بن عبد الله بن أبي مريم الغساني عن ضمرة بن حبيب عن عفيف بن الحارث عن بلال بن رباح مولى أبي بكر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لو لم أبعث فيكم لبعث عمر قال بن عدي وهذا عن بلال بهذا الإسناد غير محفوظ وإنما يروي هذا عن عقبة بن عامر )

أقول : سند هالك ..

زكريا بن يحية الوقار ..

( قال ابن عدي كَانَ يضع الحديث وقال صالح جَزَرَة: حدثنا أبو يحيى الوقار، وكان مِنَ الكذابين الكبار ) تاريخ الإسلام للذهبي ج6-ص84

وقال الدارقطني ( منكر الحديث متروك ) السنن ج1-ص333

وأبو بكر بن عبد الله الغساني مشهور متفق على ضعفه

ملاحظة : عفيف بن الحارث اليماني تصحيف قديم والصواب غضيف بن الحارث الثمالي . راجع الإصابة لإبن حجر

------------------------

الطريق السادس :

قال الطبراني في الكبير ( حدثنا أبو مسلم الكشي، حدثنا يحيى بن كثير ******، حدثنا ابن لهيعة، عن أبي عشانة، عن عقبة بن عامر، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:لو كان بعدي نبي كان عمر بن الخطاب )

أقول : إسناده ضعيف وفيه مقال فإن يحيى هذا فتشت عنه ولم أعرفه وفي بعض المصادر بدلا من ****** بالجيم ( الناحي ) بالحاء وعند بعضهم ( القاضي )

وقال وصي الله بن محمد عباس في حاشية فضائل الصحابة ص424 ( يحيى بن كثير ****** لم اجده )

وقال محقق المنتخب من العلل ( فإبن لهيعة ضعيف وقد أضطرب فيه فرواه مرة أخرى عن مشرح عن عقبة به . رواه أبو بكر النجاد في الفوائد المنتقاة كما في السسلة الصحيح . فهذا هو الصواب فالحديث حديث مشرح . والله اعلم ) ص192

أقول .. أما جزمه أن هذا هو الصواب فلا دليل عليه فلم يعرض لا هو ولا الألباني طريق أبو بكر النجاد إلى ابن لهيعة

نعم رواه ابن عدي عن رشدين عن ابن لهيعة عن مشرح به .. ورشدين هو ابن سعد ضعيف وكان يتلقن وقال بعضهم متروك كالنسائي

فالحق أن الإسناد لم يصح إلى ابن لهيعة و ابن لهيعة ضعيف اختلط ويدلس

Sunni dan Syi’ah sama sama berpegang pada sahabat Nabi SAW (Berkaitan: Hadis Abu Bakar dan Umar ).


2. Apakah Ali dan Abbas Menerima Hadis Abu Bakar dan Umar Tentang Warisan Nabi?

Mohon maaf jika ada yang bosan dengan tema tulisan yang seperti ini. Tulisan ini kami tulis sebagai bantahan kepada “orang yang suka berbasa-basi” tetapi miskin ilmu [baca : alfanarku]. Jika ada orang yang suka membantah tulisan tanpa ilmu maka dialah orangnya. Orang ini tidak punya modal lain selain keahliannya bersilat lidah. Orang yang suka mengotak-atik riwayat dan suka menolak hadis shahih dengan alasan naïf “itu kitab tidak mu’tabar” atau “itu bukan riwayat kutubus sittah”. Ia berkata:

Mengapa mereka (orang syi’ah) masih selalu mempermasalahkannya? Karena mungkin itulah yang mereka bisa lakukan dan menu keyakinan yang mereka miliki tidak lain dan tidak bukan hanya mengekspose kasus-kasus yang sudah selesai ribuan tahun silam dimana para pelakunya sudah menghadap yang Maha Kuasa, hal itu dimaklumi karena jika tidak membahas hal-hal tersebut, sama saja mereka merasa seperti tidak punya keyakinan.

Yang mempermasalahkan itu bukan hanya orang Syi’ah, wahai kisanak. Dan itu termasuk masalah sejarah yang terus dikaji ulang oleh mereka yang memang mau meneliti dengan objektif. Orang seperti anda yang terbiasa taklid memang tidak mengenal semangat meneliti seperti itu. Masalah sejarah ya memang sudah selesai ribuan tahun lamanya mengingat para pelaku sejarah itu sudah menghadap Allah SWT. Apakah sejarah yang berlangsung ribuan tahun lamanya tidak boleh dibahas? Itu kan hanya pemikiran sakit yang anda derita. Di masa kini, dimana ilmu berkembang pesat studi kritis terhadap sejarah adalah sesuatu yang lumrah. Apalagi jika sejarah yang dimaksud termasuk sejarah yang didistorsi oleh kalangan salafiyun maka lebih utama untuk dibahas.

Salah seorang syi’ah mengatakan bahwa Ali dan Abbas tetap tidak terima atas keputusan Abu Bakar mengenai harta fa’i peninggalan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan mereka tetap tidak membenarkan hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam yang disampaikan Abu Bakar bahwa Nabi tidak meninggalkan warisan, apa yang ditinggalkan beliau adalah sedekah. Menurutnya hal ini diketahui karena pada masa pemerintahan Umar mereka masih meminta harta tersebut kepada beliau. Apakah demikian adanya?

Bukan Syi’ah yang mengatakan seperti itu tetapi hadis-hadis shahih yang menyatakan demikian. Imam Ali tidak membenarkan hadis yang disampaikan oleh Abu Bakar dan Umar. Imam Ali masih tetap menganggap Ahlul Bait berhak dalam masalah ini. Dan pada masa pemerintaha Umar, Imam Ali memang masih meminta warisan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang Beliau pinta kepada Abu Bakar sebelumnya. Mari kita lihat basa-basi nashibi ini. Ia berkata

Di dalam hadits di atas dengan jelas dan tegas disebutkan pembenaran Ali dan Abbas beserta sahabat yang lainnya yang hadir pada saat itu atas hadits yang disampaikan oleh Abu Bakar bahwa Nabi tidak mewariskan dan apa yang ditinggalkannya adalah sedekah, perkara mereka mengetahui langsung atau tidak langsung mengenai hadits tersebut tidaklah menggugurkan pembenaran mereka atas hadits tersebut.

Orang ini memang tidak punya “akal yang cukup”. Kami sudah membahas tuntas masalah ini. Pertama yang kami bahas adalah apakah Ali dan Abbas mendengar hadis tersebut dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]?. Kami jawab “tidak” dan mereka mendengar adanya hadis itu dari Abu Bakar. Kedua kami sudah membahas bahwa Ali dan Abbas tidak menerima hadis yang Abu Bakar sampaikan. Buktinya juga ada di hadis riwayat yang sama yaitu riwayat Malik bin ‘Aus juga yaitu:

Terdapat hadis Az Zuhri dari Malik bin Aus yang mengandung lafaz dimana Ali dan Abbas memang mengingkari hadis Abu Bakar tersebut. Dalam riwayat Abdurrazaq dengan sanad dari Ma’mar dari Az Zuhri dari Malik bin Aus, Umar berkata:

فلما قبض رسول الله صلى الله عليه و سلم قال أبو بكر أنا ولي رسول الله صلى الله عليه و سلم بعده أعمل فيه بما كان يعمل رسول الله صلى الله عليه و سلم فيها ثم أقبل على علي والعباس فقال وأنتما تزعمان أنه فيها ظالم فاجر والله يعلم أنه فيها صادق بار تالع للحق ثم وليتها بعد أبي بكر سنتين من إمارتي فعملت فيها بما عمل رسول الله صلى الله عليه و سلم وأبو بكر وأنتما تزعمان أني فيها ظالم فاجر والله يعلم أني فيها صادق بار تابع للحق


Ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat, Abu Bakar berkata “aku adalah Wali Rasulullah setelahnya dan aku akan memperlakukan terhadap harta itu sebagaimana Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memperlakukannya kemudian datanglah Ali dan Abbas. Umar berkata “kalian berdua menganggap bahwasanya ia berlaku zalim dan durhaka” dan Allah mengetahui bahwa ia dalam hal ini seorang yang jujur baik dan mengikuti kebenaran. Kemudian aku menjadi Wali Abu Bakar selama dua tahun dari pemerintahanku aku perbuat terhadap harta itu sebagaimana yang diperbuat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan Abu Bakar dan kalian menganggap aku berlaku zalim dan durhaka, Allah mengetahui bahwa aku dalam hal ini jujur, baik dan mengikuti kebenaran [Mushannaf Abdurrazaq 5/469 no 9772 dengan sanad yang shahih].

Kemudian ditambah lagi dengan kesaksian Imam Ali yang dengan jelas mengakui kalau ahlul bait berhak dalam urusan ini sebagaimana yang disebutkan dalam Shahih Bukhari setelah wafatnya Sayyidah Fathimah.

فَدَخَلَ عَلَيْهِمْ أَبُو بَكْرٍ فَتَشَهَّدَ عَلِيٌّ فَقَالَ إِنَّا قَدْ عَرَفْنَا فَضْلَكَ وَمَا أَعْطَاكَ اللَّهُ وَلَمْ نَنْفَسْ عَلَيْكَ خَيْرًا سَاقَهُ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَكِنَّكَ اسْتَبْدَدْتَ عَلَيْنَا بِالْأَمْرِ وَكُنَّا نَرَى لِقَرَابَتِنَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَصِيبًا


Maka Abu Bakar masuk, Ali mengucapkan syahadat dan berkata “kami mengetahui keutamaanmu dan apa yang telah Allah karuniakan kepadamu, kami tidak dengki terhadap kebaikan yang diberikan Allah kepadamu tetapi kamu telah bertindak sewenang-wenang terhadap kami, kami berpandangan bahwa kami berhak memperoleh bagian karena kekerabatan kami dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] [Shahih Bukhari no 4240 & 4241].

Pernyataan Imam Ali bahwa Abu Bakar dan Umar berlaku zalim padahal mereka hanya melaksanakan hadis Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang mereka katakan, menunjukkan kalau Imam Ali tidak menerima hadis yang disampaikan Abu Bakar dan Umar. Begitu pula pernyataan Imam Ali yang mengaku kalau ahlul bait lebih berhak dan Abu Bakar sewenang-wenang adalah bukti kalau Imam Ali menolak hadis yang disampaikan Abu Bakar.

Dalam dialog dengan Umar, Ali dan Abbas tidak membenarkan hadis yang disebutkan Umar. Mereka mengakui telah mengetahui adanya hadis itu dari Abu Bakar dan Umar sebelumnya sedangkan sikap mereka sendiri jelas yaitu mereka tetap tidak menerima hadis tersebut bahkan dimasa pemerintahan Umar.

Perlu diketahui bahwa dalam permasalahan ini, Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu bukanlah orang yang bersendirian dalam meriwayatkan hadits. Beberapa shahabat lain memberikan kesaksiannya. Perhatikan riwayat berikut :

Kemudian ia membawakan dua buah riwayat yaitu riwayat ‘Amru bin Al Haarits dan riwayat Abu Hurairah. Soal riwayat ‘Amru bin Al Haarits itu telah kami bahas dalam thread khusus dan menunjukkan bahwa yang bersangkutan cuma mengkopipaste argument idolanya Abul-Jauzaa dan telah kami tunjukkan kebathilannya. Soal riwayat Abu Hurairah, maka kami katakan Abu Hurairah juga meriwayatkan hadis itu dari Abu Bakar, buktinya sebagai berikut:

حدثنا محمد بن المثنى قال نا أبو الوليد هشام بن عبد الملك قال : نا حماد يعني ابن سلمة ، عن محمد بن عمرو ، عن أبي سلمة ، عن أبي هريرة ، عن أبي بكر رضي الله عنه ، عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : « لا نورث ، ما تركنا صدقة


Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Walid Hisyaam bin ‘Abdul Malik yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammad yakni Ibnu Salamah dari Muhammad bin ‘Amru dari Abi Salamah dari Abu Hurairah dari Abu Bakar radiallahu ‘anhu dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa Beliau bersabda “kami tidak mewariskan, apa yang kami tinggalkan adalah sedekah” [Musnad Al Bazzar 1/26 no 18 dengan sanad yang shahih].

Abu Hurairah memang pernah melakukan tadlis seperti yang pernah kami tunjukkan dalam tulisan yang lain. Abu Hurairah mengetahui adanya hadis Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mewariskan itu juga dari Abu Bakar. Jadi tidak tepat menjadikan hadis Abu Hurairah sebagai syahid bagi hadis Abu Bakar.

Dari riwayat di atas dapat dilihat bahwa sebenarnya saat itu Ali sedang menjelaskan duduk perkara awal mengapa terjadi hubungan yang kurang enak diantara dia dan keluarganya dengan Abu Bakar dan pada kenyataannya akhirnya Ali menerima keputusan Abu Bakar mengenai harta tersebut dengan bukti bai’at beliau kepada Abu Bakar. Jadi hadits di atas justru menunjukkan penerimaan Ali atas keputusan Abu Bakar pada akhirnya.

Riwayat yang ia maksud adalah riwayat Shahih Bukhari yang kami kutip dimana setelah enam bulan Imam Ali menyatakan kalau ahlul bait lebih berhak dalam urusan ini dan Abu Bakar telah bertindak sewenang-wenang. Imam Ali memang berbaiat kepada Abu Bakar tetapi ketika ia melakukan baiat Beliau menjelaskan bahwa Abu Bakar telah bertindak sewenang-wenang terhadap ahlul bait dan ahlul bait lebih berhak. Jadi tidak ada keterangan Imam Ali menerima keputusan Abu Bakar, justru sampai Imam Ali membaiat beliau menegaskan bahwa Abu Bakar bertindak sewenang-wenang dan ahlul baitlah yang berhak. Kalau memang Imam Ali mengakui bahwa beliau keliru dan Abu Bakar yang benar maka Beliau akan menegaskan kekeliruannya dan menyatakan Abu Bakar yang benar. Faktanya Imam Ali justru menyatakan kalau Abu Bakar telah bertindak sewenang-wenang. Ini fakta jelas yang tidak dipahami oleh akalnya alfanarku. Mungkinkah dikatakan Imam Ali menerima keputusan Abu Bakar padahal dengan jelas Imam Ali menyatakan Abu Bakar bertindak sewenang-wenang. Silakan pembaca pikirkan????

Pemberian baiat kepada Abu Bakar bukan berarti Imam Ali membenarkan semua yang telah dilakukan oleh Abu Bakar. Cuma logika orang sakit yang mengatakan begitu. Justru dalam riwayat tersebut Imam Ali tetap menunjukkan pendiriannya yang berbeda dengan Abu Bakar. Kita lihat sekarang bagaimana alfanarku ini suka memelintir riwayat agar sesuai dengan kehendaknya.

Demikian juga dengan Umar, beliau berpandangan sama dengan Abu Bakar, hanya saja di masa pemerintahan-nya, Umar melakukan sendiri apa yang dilakukan Abu Bakar terhadap harta Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam selama 2 tahun saja, kemudian beliau serahkan pengelolaan sebagian harta (harta fa’i Bani Nadhir) kepada Ali dan Abbas, karena mereka berdua datang kepada Umar dan meminta Umar untuk mempercayakan harta tersebut kepada mereka. dan Umar setuju untuk menyerahkan pengelolaan harta tersebut dengan menarik perjanjian dari mereka untuk mengelola harta tersebut sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam, Abu Bakar dan dirinya sendiri.

Soal Abu Bakar dan Umar memperlakukan harta tersebut maka bukan itu yang kami permasalahkan. Yang kami permasalahkan adalah apakah ahlul bait berhak atau tidak akan harta tersebut?. Jika harta tersebut ada pada ahlul bait kami yakin ahlul bait akan melakukan terhadap harta itu sebagaimana Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] melakukannya. Pada masa pemerintahan Umar, Ali dan Abbas datang meminta warisan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tetapi Umar menolak dengan hadis Nabi tidak mewariskan. Ali dan Abbas menyatakan Umar berlaku zalim dan durhaka sama seperti Abu Bakar kemudian karena Umar merasa keduanya terus-terusan meminta harta tersebut maka untuk meredakan sikap mereka maka Umar menyerahkan pengelolaan harta tersebut kepada Ali dan Abbas.

Disini saya berpandangan berbeda dengan orang Syi’ah tersebut, kedatangan Ali dan Abbas kepada Umar bukanlah meminta harta tersebut untuk menjadi milik mereka, tetapi mereka meminta Umar untuk mempercayakan harta tersebut kepada mereka karena kedekatan kekerabatan mereka dengan Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam. Si penulis syi’ah tersebut berdalilkan riwayat berikut ini :

Silakan kalau memang anda berbeda pandangan, tetapi silakan ukur pandangan anda dengan hadis yang jelas-jelas menyatakan Imam Ali dan Abbas meminta warisan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] kepada Umar. Kami sebelumnya membawakan hadis:

فَقُلْتُ أَنَا وَلِيُّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ فَقَبَضْتُهَا سَنَتَيْنِ أَعْمَلُ فِيهَا بِمَا عَمِلَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ ثُمَّ جِئْتُمَانِي وَكَلِمَتُكُمَا عَلَى كَلِمَةٍ وَاحِدَةٍ وَأَمْرُكُمَا جَمِيعٌ جِئْتَنِي تَسْأَلُنِي نَصِيبَكَ مِنْ ابْنِ أَخِيكِ وَأَتَانِي هَذَا يَسْأَلُنِي نَصِيبَ امْرَأَتِهِ مِنْ أَبِيهَا


Aku [Umar] berkata “aku adalah Wali Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan Abu Bakar, aku pegang harta itu selama dua tahun dan aku perbuat sebagaimana yang diperbuat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan Abu Bakar kemudian kalian berdua mendatangiku dan ucapan kalian berdua sama dan perkara kalian pun sama, engkau [Abbas] mendatangiku untuk meminta bagianmu dari putra saudaramu dan dia ini [Ali] mendatangiku untuk meminta bagian istrinya dari ayahnya [Shahih Bukhari no 7305].


Riwayat di atas sebenarnya dapat dipahami bahwa kedatangan Ali dan Abbas kepada Umar bukanlah meminta harta tersebut untuk dimiliki oleh mereka (harta warisan) karena pasti akan ditolak oleh Umar, tetapi mereka berdua meminta hak pengelolaan atas harta tersebut karena kedekatan kekerabatan mereka dengan Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam dimana di masa Abu Bakar mereka tidak bisa mendapatkannya karena Abu Bakar sangat berhati-hati dalam menjaga amanat tersebut. Bagaimana kita bisa mengetahui bahwa pemahaman ini lebih mendekati kebenaran? Buktinya adalah dalam riwayat selanjutnya Umar menyetujui untuk menyerahkan harta tersebut kepada Ali dan Abbas dengan syarat keduanya harus mengikuti jalan yang ditempuh oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam, Abu Bakar dan Umar dalam mengelola harta tersebut. Jika harta tersebut diserahkan kepada mereka berdua dalam rangka untuk dimiliki oleh mereka (harta warisan), tentu Umar akan menolaknya.

Pernyataan “Abbas meminta bagian dari putra saudaranya” dan “Ali meminta bagian istrinya dari ayahnya” adalah terkait dengan warisan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bukannya seperti penjelasan basa-basi ala alfanarku. Ini bukti yang lebih jelas bahwa yang dipinta oleh Abbas dan Ali kepada Umar adalah warisan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Dalam riwayat yang sama dari Abdurrazaq dengan sanad yang shahih. Umar berkata:

ثم جئتماني جاءني هذا يعني – العباس – يسألني ميراثه من بن أخيه وجاءني هذا – يعني عليا – يسألني ميراث امرأته من أبيها فقلت لكما أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال لانورث ما تركنا صدقة


Kemudian kalian berdua mendatangiku, datang kepadaku dia yakni Abbas meminta kepadaku warisannya dari putra saudaranya dan dia ini datang kepadaku yakni Ali meminta warisan istrinya dari ayahnya. Maka aku berkata kepada kalian berdua bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “kami tidak mewariskan apa yang kami tinggalkan adalah sedekah” [Mushannaf Abdurrazaq 5/469-470 no 9772 dengan sanad yang shahih].

Duduk permasalahan sebenarnya adalah Imam Ali dan Abbas meminta warisan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] kepada Umar dan Umar menolak keduanya dengan menyatakan hadis Nabi tidak mewariskan. Setelah beberapa lama karena Umar melihat keduanya seperti tidak menerima keputusan Abu Bakar dan Umar [bahkan menganggap Umar berlaku zalim dan durhaka] dan terus-terusan meminta warisan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka untuk meredakan sikap mereka Umar menyerahkan urusan pengelolaan harta tersebut kepada mereka berdua.
Jadi bukan seperti yang dikatakan nashibi itu bahwa Ali dan Abbas datang kepada Umar meminta hak pengelolaan atau kepengurusan harta. Sebenarnya Ali dan Abbas datang meminta warisan tetapi ditolak oleh Umar baru setelah beberapa lama untuk meredakan ketegangan antara Umar dengan Ali dan Abbas maka kemudian Umar berinisiatif memberikan kepengurusan harta itu. Lucu sekali kalau ada yang mengatakan Imam Ali dan Abbas menerima keputusan Abu Bakar sebelumnya. Kalau memang menerima kenapa mereka berdua masih meminta warisan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] kepada Umar.

Dengan demikian jelas bahwa ahlul bait dan keturunannya telah mengelola harta tersebut sesuai keputusan Abu Bakar dan Umar. Maka sungguh lemah pandangan orang syi’ah tersebut yang menganggap Imam Ali tetap menolak keputusan Abu Bakar.

Ahlul Bait [Imam Ali] mengelola harta tersebut di masa Umar tidak menunjukkan Imam Ali menerima keputusan Abu Bakar sebelumnya. Abu Bakar tidak pernah tuh menyerahkan urusan ini kepada ahlul bait. Pada masa Umar, Imam Ali meminta warisan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] kepada Umar padahal Abu Bakar telah menyampaikan hadis Nabi tidak mewariskan kepada Imam Ali. Orang yang punya akal pikiran akan paham bahwa Imam Ali tidak menerima hadis yang disampaikan Abu Bakar sehingga Beliau meminta kembali warisan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] kepada Umar. Umar ternyata juga menolak permintaan Imam Ali dengan hadis Abu Bakar tetapi setelah beberapa lama baru kemudian Umar menyerahkan kepengurusan harta tersebut kepada Imam Ali dan Abbas. Hal ini berbeda dengan yang dilakukan Abu Bakar dan Umar bertujuan untuk meredakan ketegangan antara dirinya dengan Ali dan Abbas.

Satu pertanyaan yang sederhana tetapi cukup membuat orang-orang syi’ah menjadi pusing dan marah-marah karenanya, mengapa ketika Imam Ali telah menjabat khalifah beliau tidak merubah status harta peninggalan Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam tersebut?

Lho anda tahu dari mana Imam Ali tidak mengubah status harta peninggalan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan kalau boleh tahu wahai nashibi, bagaimana status harta peninggalan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] pada masa Utsman, pada masa Imam Ali dan pada masa Muawiyah?. Apa anda mengetahui statusnya?. Riwayat mana yang anda jadikan hujjah?

Padahal beliau memegang kekuasaan saat itu, jawabnya, tidak lain dan tidak bukan adalah karena beliau menerima dan membenarkan keputusan Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma sebagaimana diceritakan dalam riwayat di atas.

Itu kan jawaban anda yang memang sesuai dengan doktrin yang anda anut. Kami pribadi tidak mengetahui bagaimana status harta peninggalan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tersebut pada masa pemerintahan Imam Ali. Dan bagi kami wajar sekali kalau masalah harta peninggalan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] ini belum dibahas secara tuntas karena Imam Ali menghadapi masalah yang lebih mendesak yaitu pertentangan dari para sahabat lainnya sehingga terjadi perang Jamal dan perang Shiffin. Jadi logika cetek anda itu jangan dijadikan tolak ukur, Imam Ali jauh jauh jauh lebih bijaksana dari pandangan anda yang sangat naïf.

Dan yang lebih lucu lagi orang syi’ah ini mencoba mencari-cari dalih bahwa hadits yang didengar Abu Bakar tidaklah benar, karena terdapat beberapa peninggalan Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam yang tidak dijadikan sedekah.

Kalau terdapat peninggalan Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] yang tidak menjadi sedekah maka itu menjadi kemusykilan bagi hadis Abu Bakar bahwa semua peninggalan Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] menjadi sedekah. Orang yang sedikit saja “bisa mikir” akan paham kemusykilan yang kami maksud.

Riwayat di atas menunjukkan bahwa A’isyah menyimpan kain dan baju kasar tersebut, apakah itu artinya A’isyah mewarisinya? Suatu pertanyaan yang aneh, sebagaimana ketika harta fa’i Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam berada di tangan ahlul bait yang diserahkan oleh Umar, apakah kemudian harta tersebut menjadi warisan buat mereka? Aneh-aneh saja orang syi’ah ini dalam mencari-cari dalih.

Lho apa alasannya Aisyah menyimpan pakaian Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam]?. Bukankah semua peninggalan Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] adalah sedekah. Ingat hadis Abu Bakar tidak hanya berbunyi “Nabi tidak mewariskan” tetapi juga berbunyi “semua yang kami tinggalkan menjadi sedekah”. Pakaian Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] termasuk peninggalan Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] maka berdasarkan hadis Abu Bakar hukumnya menjadi sedekah. Apa anda tidak bisa memahaminya wahai nashibi?.

Analogi anda dengan kepengurusan harta oleh Ali dan Abbas jelas tidak nyambung. Kepengurusan harta itu seperti tugas yang diberikan untuk kepentingan orang banyak. Bukannya disimpan sebagai milik pribadi. Dalam masa pemerintahan Umar, kepengurusan harta itu tetap ditujukan untuk sedekah kaum muslimin sedangkan pakaian Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] yang ada pada Aisyah itu tetap Beliau simpan bahkan sampai Aisyah wafat dan bukan untuk sedekah.

Demikian juga dengan riwayat di atas ini, apalagi akhirnya jubah tersebut dimanfaatkan untuk dipakaikan kepada orang yang sedaag sakit diantara mereka. Satu hal yang musykil menurut saya pribadi dalam riwayat ini adalah bukankah Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam mengharamkan mengenakan sutra untuk laki-laki? Suatu hal yang tidak mungkin beliau memakai pakaian yang mengandung sutra di saat beliau masih hidup. Maka cukuplah ini sebagai petunjuk kelemahan hadits di atas. Allahu A’lam.

Soal pemanfaatan Jubah oleh Asma’ binti Umais itu setelah Aisyah wafat gak ada kaitannya dengan kepemilikan jubah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tersebut oleh Aisyah ra sepeninggal Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Yang menjadi pokok permasalahan adalah mengapa pakaian itu tidak diambil oleh Abu Bakar padahal semua pakaian Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah peninggalan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] juga jadi statusnya adalah sedekah untuk kaum muslimin tepat setelah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat.

Soal kemusykilan yang anda katakan, itu muncul akibat anda terlalu banyak bicara tetapi tidak ada ilmunya. Justru hadis Asma’ binti Umais riwayat Ibnu Sa’ad juga diriwayatkan dalam Shahih Muslim dimana Asma’ membantah Ibnu Umar yang mengharamkan sutera secara mutlak [termasuk pakaian dengan sedikit campuran sutera] untuk laki-laki [Shahih Muslim 3/1640 no 2069]. Pakaian yang didalamnya ada campuran sedikit sutera seperti Jubah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] diperbolehkan sebagaimana yang disebutkan dalam hadis shahih.

وحدثنا ابن أبي شيبة ( وهو عثمان ) وإسحاق بن إبراهيم الحنظلي كلاهما عن جرير ( واللفظ لإسحاق ) أخبرنا جرير عن سليمان التيمي عن أبي عثمان قال كنا مع عتبة بن فرقد فجاءنا كتاب عمر أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال ( لا يلبس الحرير إلا من ليس له منه شيء في الآخرة إلا هكذا ) وقال أبو عثمان بإصبعيه اللتين تليان الإبهام فرئيتهما أزرار الطيالسة حين رأيت الطيالسة


Telah menceritakan kepada kami Ibn Abi Syaibah [ia adalah Utsman] dan Ishaq bin Ibrahim Al Hanzhaliy, keduanya dari Jarir [dan lafaz ini adalah lafaz Ishaq] yang berkata telah mengabarkan kepada kami Jarir dari Sulaiman At Taimiy dari Abu Utsman yang berkata kami bersama Utbah bin Farqad kemudian datang kepada kami surat dari Umar bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “Tidak boleh memakai sutera karena ia tidak akan mendapatkan apa-apa di akhirat nanti kecuali hanya seperti ini”. Abu Utsman berkata sambil menunjukkan kedua jari tangannya maka aku melihatnya seperti Jubah Thayalisah ketika aku melihat Jubah Thayalisah dahulu [Shahih Muslim 3/1641 no 2069].


Jadi hadits tersebut bisa dikatakan ada kelemahan pada matan-nya karena bertentangan dengan hadits-hadits yang shahih.

Ucapan ini sudah jelas hanya ucapan ngelantur dari orang yang cuma bisa kopipaste tetapi tidak meneliti permasalahan dengan baik. Hadis tersebut jelas shahih dan tidak bertentangan dengan hadis-hadis larangan memakai sutera yang ia kutip. Kemusykilan yang ia katakan muncul karena ia tidak melihat keseluruhan hadis tentang larangan memakai sutera.

Sebenarnya untuk menjawab syubhat ini ada satu pertanyaan yang bisa kita lontarkan, jika Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam wafat dengan meninggalkan rumah yang sedang ditempati istri-istri dan keluarga beliau yang masih hidup apakah kemudian rumah-rumah tersebut harus disedekahkan sementara rumah-rumah tersebut masih dimanfaatkan oleh keluarga beliau? pakailah akalmu wahai kawan.

Lho justru itu yang pernah kami tanyakan wahai kawan. Kalau memang hadis Abu Bakar benar bahwa “semua yang ditinggalkan Nabi menjadi sedekah” maka bagaimana dengan rumah-rumah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].

kesimpulannya harta yang disedekahkan adalah harta Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam sesudah dikurangi harta yang menjadi nafkah bagi keluarga beliau yang ditinggalkan, nafkah kalau dalam bahasa kita adalah sandang (pakaian), pangan (makanan) dan papan (rumah).

Silakan kalau anda mau menjawab demikian, sekarang mari kita ikuti apa yang anda katakan. Anggap saja harta yang disedekahkan adalah harta Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] setelah dikurangi “nafkah”. Mari lihat kembali tanah Fadak, bahkan dari hadis yang anda kutip sendiri tanah Fadak adalah sumber nafkah bagi keluarga Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yaitu kalau dalam bahasa anda adalah pangan. Maka menurut anda seharusnya tanah Fadak tidak masuk dalam harta yang disedekahkan. Bukan begitu wahai nashibi, atau anda akan mulai ngeles seribu bahasa lagi.

Kemudian soal nafkah yang anda sebut “sandang” [pakaian], kalau yang kita bicarakan dalam hal ini nafkah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] terhadap istri-istri Beliau, maka pakaian yang dimaksud adalah pakaian untuk istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bukannya pakaian Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sendiri. Logika dari mana, kalau pakaian Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah nafkah untuk Aisyah. Jadi hadis-hadis yang menyebutkan pakaian Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] ada pada Aisyah jelas merupakan kemusykilan bagi hadis Abu Bakar bahwa semua peninggalan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjadi sedekah. Apakah menurut Abu Bakar, Aisyah boleh memiliki peninggalan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tetapi Sayyidah Fathimah tidak boleh?.

Silakan wahai nashibi, kalau mau menjawab tetapi tolong dijawab dengan berpikir terlebih dahulu bukan asal mengucapkan “matilah dengan kemarahanmu”. Kalau anda mengeluarkan bantahan ngelantur seperti yang anda tunjukkan ini kami tidak akan marah justru kami kasihan ternyata ada ya orang yang parah sekali cara berpikirnya.

3. Wasiat Nabi Kepada Aliy Yang Katanya Tidak Diterima Orang Syi’ah.

Kedudukan Riwayat Wasiat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] Kepada Aliy bin Abi Thalib Dalam Kitab Al Ghaibah Ath Thuusiy.
Beberapa waktu yang lalu ada diantara para pembaca yang meminta kami membahas mengenai hadis dua belas Imam atau dua belas khalifah. Di sisi Sunni hadis dua belas khalifah dari Quraisy kedudukannya shahih hanya saja tidak ada hadis Sunni yang shahih menyebutkan siapa nama-nama mereka. Sedangkan di sisi Syi’ah hadis dua belas imam kedudukannya shahih dan terdapat hadis yang menyebutkan nama-nama siapa kedua belas imam yang dimaksud.

Sebenarnya sebelumnya kami pernah membahas sedikit mengenai hadis dua belas imam di sisi Syi’ah .
____________________________
Al Kulainiy Tertangkap Basah Mengedit Sanad Hadis Pendahulunya? : Kedustaan Nashibiy.
Dalam kitab yang dijadikan pegangan dalam mazhab Syi’ah yaitu Al Kafiy Al Kulainiy ditemukan riwayat yang menyebutkan nama dua belas Imam ma’shum di sisi Syi’ah. Sebagian ulama Syi’ah telah menshahihkan riwayat tersebut. Kemudian muncul sekelompok pencela menyebarkan fitnah atau syubhat bahwa Al Kulainiy telah mengedit sanad tersebut yang asalnya dhaif kemudian diubah sanadnya sehingga tampak baik. Tulisan ini berusaha menganalisis secara objektif apakah tulisan tersebut benar atau seperti biasa dusta murahan dari kalangan pencela. Berikut riwayat Al Kafiy yang dimaksud:

عِدَّةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ الْبَرْقِيِّ عَنْ أَبِي هَاشِمٍ دَاوُدَ بْنِ الْقَاسِمِ الْجَعْفَرِيِّ عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ الثَّانِي ع قَالَ أَقْبَلَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ ع وَ مَعَهُ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ ع وَ هُوَ مُتَّكِئٌ عَلَى يَدِ سَلْمَانَ فَدَخَلَ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ فَجَلَسَ إِذْ أَقْبَلَ رَجُلٌ حَسَنُ الْهَيْئَةِ وَ اللِّبَاسِ فَسَلَّمَ عَلَى أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ فَرَدَّ عَلَيْهِ السَّلَامَ فَجَلَسَ ثُمَّ قَالَ

Sekelompok sahabat kami dari Ahmad bin Muhammad Al Barqiy dari Abi Haasyim Dawud bin Qaasim Al Ja’fariy dari Abu Ja’far Ats Tsaniy [‘alaihis salam] yang berkata Amirul Mukminin [‘alaihis salaam]datang dan bersamanya Hasan bin Ali [‘alaihis salaam]dan ia berpegang dengan tangan Salman, kemudian Beliau masuk ke dalam Masjid Haram, maka beliau duduk, tiba-tiba datang seorang lelaki yang berpenampilan dan berpakaian baik, Ia mengucapkan salam kepada Amirul Mukminin [‘alaihis salaam], maka Beliau menjawab salamnya, Orang tersebut duduk kemudian berkata…[Al Kafiy Al Kulainiy 1/337].

Sengaja kami tidak mengutip matan lengkapnya karena panjang dan bukan itu yang menjadi pokok bahasan dalam tulisan ini. Cukuplah dikatakan bahwa matan tersebut menyebutkan bahwa orang yang dimaksud adalah Khidir [‘alaihis salaam] dan Ia bersaksi mengenai kedua belas Imam Syi’ah beserta nama-nama mereka. Bagi yang ingin melihat matan lengkapnya silakan dilihat disini

*****

Bab 126



Hadis-Hadis Tentang Dua Belas Para Imam Dan Nas-Nas Ke Atas Mereka A.S (ma jaa'a fi al-Ithna 'asyara wa al-Nas 'alai-him,a.s)

(955)-1. Beberapa orang daripada sahabat kami, daripada Ahmad bin Muhammad al-Barqi, daripada Abi Hasyim Daud bin al-Qasim al-Ja'fari, daripada Abi Ja'far al-Thani a.s telah berkata: Amir al-Mukminin a.s telah datang dan bersamanya al-Hasan bin Ali a.s yang berpegang di atas tangan Salman, lalu beliau telah memasuki Masjid Haram, maka beliau telah duduk, tiba-tiba seorang lelaki yang mempunyai pendirian dan pakaian yang elok telah datang, lalu beliau telah memberi salam kepada Amir al-Mukminin a.s, maka beliau a.s telah menjawab salamnya, kemudian beliau telah duduk dan beliau telah berkata: Wahai Amir al-Mukminin, aku akan bertanya anda tiga masalah, jika anda memberitahu kepadaku tentangnya, aku mengetahui bahawa mereka telah mengabaikan urusan anda dan mereka tidak aman di dunia dan di akhirat, tetapi jika anda tidak dapat menjawabnya, maka anda dan mereka adalah sama saja.
Maka Amir al-Mukminin a.s telah berkata kepadanya: Tanyalah aku apa yang terlintas di hati anda, beliau telah berkata: Beritahulah kepadaku tentang seorang lelaki apabila beliau telah tidur di manakah pergi rohnya dan bagaimana beliau [boleh] mengingati dan melupai? Dan tentang seorang lelaki, bagaimana anak lelakinya menyerupai bapa-bapa saudaranya sama ada di sebelah ibu ataupun di sebelah bapa? Lalu Amir al-Mukminin a.s telah berpaling kepada al-Hasan, maka beliau telah berkata: Wahai Abu Muhammad, berilah jawapan kepadanya, beliau telah berkata: Maka al-Hasan a.s telah memberi jawapan kepadanya , lantas lelaki itu berkata: Aku naik saksi bahawa tiada tuhan melainkan Allah dan aku sentiasa menyaksikannya dan aku naik saksi bahawa Muhammad adalah Rasul-Nya dan aku sentiasa menyaksikannya.
Dan aku naik saksi bahawa sesungguhnya anda adalah wasi Rasulullah s.a.w dan al-Qaim bagi Hujjah-Nya-beliau telah menunjuk kepada Amir al-Mukminin a.s-dan aku sentiasa menyaksikannya. Dan aku naik saksi bahawa sesungguhnya anda adalah wasinya dan al-Qaim bagi Hujjah-Nya-beliau telah menunjukkan kepada al-Hasan a.s-dan aku naik saksi bahawa sesungguhnya al-Husain bin Ali adalah wasi saudaranya dan al-Qaim bagi Hujjah-Nya selepasnya. Aku naik saksi bahawa sesungguhnya Ali bin al-Husain adalah al-Qaim bagi urusan al-Husain selepasnya dan aku naik saksi bahawa sesungguhnya Muhammad bin Ali adalah al-Qaim bagi urusan Ali bin al-Husain.
Aku naik saksi bahawa sesungguhnya Ja'far bin Muhammad adalah al-Qaim bagi urusan Muhammad dan aku naik saksi bahawa sesungguhnya Musa adalah al-Qaim bagi urusan Ja'far bin Muhammad. Aku naik saksi bahawa sesungguhnya Ali bin Musa adalah al-Qaim bagi urusan Musa bin Ja'far. Aku naik saksi bahawa sesungguhnya Muhammad bin Ali adalah al-Qaim bagi urusan Ali bin Musa. Aku naik saksi bahawa sesungguhnya Ali bin Muhammad adalah al-Qaim bagi urusan Muhammad bin Ali. Aku naik saksi bahawa sesungguhnya al-Hasan bin Ali adalah al-Qaim bagi urusan Ali bin Muhammad dan aku naik saksi bahawa sesungguhnya seorang lelaki daripada anak al-Hasan, tidak diberikan nama dan gelarannya sehingga urusannya terserlah.
Lalu beliau akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana ia dipenuhi kezaliman dan salam ke atas anda, wahai Amir al-Mukminin, rahmat Allah dan berkat-Nya, kemudian beliau telah berdiri dan pergi, lalu Amir al-Mukminin telah berkata: Wahai Abu Muhammad, ikutlah beliau dan lihatlah ke manaka beliau tuju, lalu al-Hasan bin Ali a.s telah keluar dan berkata: Beliau hanya telah meletakkan kakinya di luar masjid, maka aku tidak mengetahui di manakah beliau telah pergi di bumi Allah, maka aku telah kembali kepada Amir al-Mukminin a.s, lalu aku telah memberitahu kepadanya, maka beliau telah berkata: Wahai Abu Muhammad, adakah anda mengetahuinya? Aku telah berkata: Allah, Rasul-Nya dan Amir al-Mukminin lebih mengetahuinya, beliau telah berkata: Beliau adalah Khidir a.s.

(956)-2. Muhammad bin Yahya telah memberitahu kepadaku, daripada Muhammad bin al-Hasan al-Saffar, daripada Ahmad bin Abi Abdillah, daripada Abi Hasyim seumpamanya. Muhammad bin Yahya telah berkata: Aku telah berkata kepada Muhammad bin al-Hasan: Wahai Abu Ja'far, aku telah suka berita ini telah datang bukan daripada pihak Ahmad bin Abi Abdillah, berkata: Sesungguhnya beliau telah memberitahu kepadaku sepuluh tahun sebelum "kekusutannya".

(957)-3. Muhammad bin Yahya dan Muhammad bin Abdullah, daripada Abdullah bin Ja'far, daripada al-Hasan bin Zarif dan Ali bin Muhammad, daripada Salih bin Abi Hammad, daripada Bakr bin Salih, daripada 'Abd al-Rahman bin Salim, daripada Abu Basir, daripada Abu Abdillah a.s telah berkata: Bapaku Muhammad telah berkata kepada Jabir bin Abdullah al-Ansari: Sesungguhnya aku ada hajat dengan anda, apabila anda ada masa aku akan bersama-sama anda dan aku akan bertanya kepada anda mengenainya? Jabir telah berkata kepadanya: Pada bila-bila masa anda kehendaki, wahai sayyidi, bapa aku telah berada beberapa hari bersama-samanya.
Beliau telah berkata kepada Jabir: Beritahulah kepada aku tentang Lauh yang anda telah melihatnya pada tangan ibu aku Fatimah a.s dan apa yang telah diberitahu kepada anda oleh ibu aku, dan apa yang tertulis di Lauh ini? Jabir telah berkata: Aku naik saksi dengan Allah bahawa aku telah memasuki rumah Fatimah a.s pada masa hidup Rasulullah s.a.w, aku telah memberi tahniah kepadanya di atas kelahiran al-Husain a.s, aku telah melihat di tangannya Lauh berwarna hijau. Aku telah menyangkanya zamrud. Aku telah melihat padanya surat berwarna putih seperti cahaya matahari, maka aku telah berkata kepadanya: Dengan nama bapa aku, anda, dan ibu aku apakah Lauh ini? Beliau telah berkata: Ini adalah Lauh yang mana Allah telah menghadiahkannya kepada Rasulullah s.a.w.
Di dalamnya terdapat nama bapa aku, nama aku, nama Ali, nama dua anak lelaki aku dan nama-nama para wasi daripada anak-anak aku. Maka bapa aku telah memberikannya kepada aku untuk menggembirakan aku dengannya, Jabir telah berkata: Ibu anda telah memberikannya kepada aku, maka aku telah membacanya, dan membuat salinannya, bapa aku a.s telah berkata: Adakah anda, wahai Jabir, akan membentangkannya kepada aku? Beliau telah berkata: Ya, lalu bapa aku berjalan bersama-samanya menuju ke rumah Jabir, kemudian bapa aku telah mengeluarkan dari genggamnya mashaf dari kulit nipis sambil berkata: Wahai Jabir, lihatlah pada surat (kitab) anda supaya aku membacanya kepada anda, lantas beliau telah melihat kepada suratnya, lalu bapa aku telah membaca kepadanya, ia tidak menyalahi walaupun satu huruf, Jabir telah berkata: Aku naik saksi dengan Allah sesungguhnya aku telah melihatnya seperti di Lauh tertulis:


Bismillahi r-Rahmani r-Rahim


Surat (kitab) ini adalah daripada Allah Yang Maha Perkasa dan Maha Mengetahui untuk Muhammad Nabi-Nya, Duta-Nya, Hijab-Nya, Penunjuk-Nya. Diturunkan oleh al-Ruh al-Amin dari sisi Tuhan semesta alam, hormatilah, wahai Muhammad, akan nama-nama-Ku, bersyukurlah kepada nikmat-nikmat-Ku dan janganlah Engkau mengingkarinya, sesungguhnya Aku adalah Allah, tiada tuhan melainkan Aku, Pemusnah para penguasa, Pembantu mereka yang dizalimi.
Pemilik hari Kiamat, sesungguhnya Aku adalah Allah, tiada tuhan melainkan Aku, Sesiapa yang telah berharap selain dari kelebihan-Ku, atau beliau takut selain dari keadilan-Ku, nescaya Aku akan menyeksanya dengan penyeksaan yang belum pernah Aku melakukannya kepada sesiapapun di seluruh semesta. Maka kepada-Akulah engkau sembah, dan kepada Akulah engkau bertawakal. Aku tidak mengutus seorang nabi melainkan aku menyempurnakan hari-harinya, dan tamat masanya melainkan Aku menjadikan untuknya seorang wasi.
Sesungguhnya Aku telah melebihkan engkau ke atas para nabi dan Aku telah melebihkan wasi engkau ke atas para wasi. Aku menghormati engkau dengan dua orang anak lelaki engkau selepasnya; al-Hasan dan al-Husain, Aku telah menjadikan al-Hasan galian ilmu-Ku selepas tamat masa bapanya. Aku telah menjadikan al-Husain penyimpan wahyu-Ku, Aku memuliakannya dengan kesyahidan. Dan Aku menamatkannya dengan kebahagiaan. Justeru, beliau adalah sebaik-baik mereka yang telah mati syahid dan yang paling tinggi darjat di kalangan para syahid di sisi-Ku. Aku telah menjadikan kalimat-Ku yang sempurna bersama-nya dan hujah Aku yang kukuh di sisinya.
Dengan 'itrahnya, Aku memberi pahala dan menyeksa, awal mereka adalah Ali sayyid al-'Abidin dan perhiasan kepada para wali-Ku yang lalu dan anak lelakinya seperti datuknya yang terpuji Muhammad al-Baqir kerana ilmu-Ku, dan galian hikmah-Ku dan akan membinasakan mereka yang tidak mempunyai pendirian tentang Ja'far; penentang kepadanya adalah seperti penentang kepada-Ku. Kata-kata yang tepat bagi-Ku bahawa Aku akan menghormati kedudukan Ja'far. Aku akan menggembirakannya di kalangan penyokong-penyokong dan pembantu-pembantunya dan para walinya.
Dan selepasnya adalah Musa. Fitnah yang buta dan halus akan berlaku, kerana rancangan jahat tidak terputus dan hujah-Ku tidak juga tersembunyi. Sesungguhnya para wali-Ku akan meminum gelas yang sempurna. Sesiapa yang telah menentang seorang daripada mereka, maka sesungguhnya beliau telah mengingkari nikmat-Ku dan telah mengubah ayat daripada kitab-Ku dan telah berbohong ke atas-Ku, neraka wail bagi pembohong-pembohong yang menentang selepas Musa, hamba-Ku, kekasih-Ku, dan pilihan-Ku, kerana pembohong kepada salah seorang daripada mereka adalah pembohong kepada semua para wali-Ku. Ali adalah wali-Ku dan pembantu-Ku.
Siapa yang Aku meletakkan ke atasnya tanggungan kenabian atau Aku mengujinya dengan kekuatan tersebut, akan dibunuh oleh jin yang sombong, di kapankan di bandar yang telah dibina oleh hamba yang soleh (Dhu l-Qurnain) di sisi sejahat-jahat makhluk-Ku. Aku akan menggembirakannya dengan Muhammad anak lelakinya, khalifahnya selepasnya, dan pewaris ilmu-nya. Lantaran itu, beliau adalah galian ilmu-Ku, dan tempat simpan ilmu-Ku, dan Hujjah-Ku di atas makhluk-Ku. Aku telah menjadikan syurga tempat tinggalnya.
Aku telah memberi syafaat kepadanya bagi membolehkannya menyelamatkan tujuh puluh ribu keluarganya yang layak untuk ke neraka. Aku telah menamatkan kebahagiaan anak lelakinya Ali, wali-Ku dan penolong-Ku, dan saksi kepada makhluk-Ku, pemegang amanah wahyu-Ku. Aku akan mengeluarkan daripadanya seorang pendakwah kepada jalan-Ku dan penyimpan kepada ilmu-Ku al-Hasan, kemudian Aku menyempurnakannya selepasnya anak lelakinya (al-Mahdi) sebagai rahmat kepada alam semesta.
Di atasnya kesempurnaan Musa, kehebatan Isa dan kesabaran Ayyub. Para wali-Ku akan dihina pada zamannya, kepala-kepala mereka menunduk sebagaimana dilakukan oleh orang- orang Turki dan Dailam, mereka akan dibunuh, dibakar, mereka menjadi takut, bumi dimerahi dengan darah-darah mereka, penderitaan dan tangisan berlaku kepada perempuan-perempuan mereka, mereka itu adalah para wali-Ku yang sebenar, dengan mereka Aku menolak segala bala dan fitnah yang buta, dengan mereka Aku menahan gegeran dan dengan mereka Aku menolak bencana, ke atas mereka itu adalah selawat dan rahmat daripada Tuhan mereka dan merekalah yang mendapat hidayat.
Abd al-Rahman bin Salim berkata: Abu Basir berkata: Sekiranya anda tidak mendengar hadis selain daripada hadis ini, nescaya ia memadai bagi anda, lantaran itu, jagalah hadis ini melainkan untuk ahlinya.

(958)-4. Ali bin Ibrahim, daripada bapanya, daripada Hammad bin Isa, daripada Ibrahim bin Umar al-Yamani, daripada Abban bin Abi 'Iyaysy, daripada Sulaim bin Qais dan Muhammad bin Yahya, daripada Ahmad bin Muhammad, daripada Ibn Abi 'Umair, daripada Umar bin Abu Udhinah dan Ali bin Muhammad, daripada Ahmad bin Hilal, daripada Ibn Abi 'Umair, daripada Umar bin Udhinah, daripada [Abban] bin Abi 'Iyyasy, daripada Sulaim bin Qais berkata: Aku telah mendengar Abdullah bin Ja'far al-Tayyar berkata: Kami telah berada di sisi Mu'awiyah, aku, al-Hasan, al-Husain, Abdullah bin al-'Abbas, Umar bin Umm Salmah dan Usamah bin Zaid, maka telah berlaku di antara aku dan Mu'awiyah percakapan, lalu aku telah berkata kepada Mu'awiyah: Aku telah mendengar Rasulullah s.a.w bersabda: Aku adalah lebih baik (aula) dengan mukminin daripada diri mereka sendiri, kemudian saudaraku Ali bin Abu Talib adalah lebih baik (aula) dengan mukminin daripada diri mereka sendiri.
Apabila Ali mati syahid, maka al-Hasan bin Ali adalah lebih baik dengan mukminin daripada diri mereka sendiri, kemudian anak lelakiku al-Husain selepasnya adalah lebih baik dengan mukminin daripada diri mereka sendiri. Apabila beliau mati syahid, maka anak lelakinya Ali bin al-Husain adalah lebih baik dengan mukminin daripada diri mereka sendiri dan anda akan mendapatinya, wahai Ali , kemudian anak lelakinya Muhammad bin Ali adalah lebih baik dengan mukminin daripada diri mereka sendiri. Dan anda akan mendapatinya, wahai Husain, kemudian sembilan daripada anak-anak lelaki al-Husain akan menyempurnakan dua belas imam, Abdullah bin Ja'far telah berkata: Aku telah menyaksikan al-Hasan, al-Husain, Abdullah bin 'Abbas, Umar bin Umm Salmah dan Usamah bin Zaid, maka mereka telah memberi penyaksian kepadaku di sisi Mu'awiyah, Sulaim telah berkata: Sesungguhnya aku telah mendengar sedemikian daripada Salman, Abu Dhar dan al-Miqdad dan mereka telah menyebut bahawa mereka telah mendengarnya daripada Rasulullah s.a.w.

(959)-5. Beberapa orang daripada sahabat kami, daripada Ahmad bin Muhammad bin Khalid, daripada bapanya, daripada Abdullah bin al-Qasim, daripada Hanan bin al-Sarraj, daripada Daud bin Sulaiman al-Kasa'i, daripada Abi Tufail berkata: Aku telah menyaksikan jenazah Abu Bakr pada hari beliau telah mati dan aku telah menyaksikan Umar ketika beliau dibaiah dan Ali sedang duduk di satu sudut, tiba-tiba seorang kanak-kanak Yahudi yang cantik mukanya, memakai pakaian yang cantik, beliau adalah daripada keturunan Harun sehingga beliau telah berdiri di hadapan Umar, maka beliau telah berkata: Wahai Amir al-Mukminin, adakah anda orang yang paling mengetahui [daripada] umat ini dengan kitab mereka dan urusan nabi mereka?
Beliau telah berkata: Umar telah menggerakkan kepalanya, maka beliau telah berkata: Kepada anda aku maksudkan dan beliau telah mengulangi kata-katanya kepadanya, maka Umar telah berkata kepadanya: Kenapa anda? Beliau telah berkata: Sesungguhnya aku telah datang kepada anda di dalam keadaan murtad untuk diriku, syak pada agamaku, maka beliau telah berkata: Waspada dengan pemuda ini, beliau telah berkata: Siapakah pemuda ini? Beliau telah berkata: Ini adalah Ali bin Abu Talib, sepupu Rasulullah s.a.w dan suami Fatimah binti Rasulullah s.a.w, ini adalah Abu al-Hasan dan al-Husain dua anak lelaki Rasulullah s.a.w, lantas Yahudi telah datang kepada Ali a.s dan berkata: Adakah ini anda [Ali?].
Beliau telah berkata: Ya, beliau telah berkata: Sesungguhnya aku mahu bertanya anda tentang tiga, tiga dan satu. Beliau telah berkata: Amir al-Mukminin a.s telah tersenyum dan berkata: Wahai Haruniyyun, apakah yang telah menghalang anda dari berkata tujuh? Beliau telah berkata: Aku akan bertanya anda tentang tiga, jika anda telah menjawabnya kepadaku, aku akan bertanya anda selepasnya dan jika anda tidak mengetahuinya, aku akan mengetahui bahawa tidak ada orang yang alim pada kamu, Ali a.s telah berkata: Aku bertanya anda dengan [nama] Tuhan yang anda sembah, jika aku dapat menjawab apa yang anda mahu, anda akan meninggalkan agama anda dan anda akan memasuki agamaku? Beliau telah berkata: Aku tidak datang melainkan untuk itu, beliau telah berkata: Tanyalah, beliau telah berkata: Beritahulah kepadaku titisan darah yang pertama tumpah di muka bumi ini?
Mata yang pertama telah mengalir di muka bumi? Perkara yang pertama telah bergerak di muka bumi? Maka Amir al-Mukminin a.s telah menjawabnya dan berkata kepadanya: Beritahulah kepadaku tentang tiga yang akhir, beritahulah kepadaku tentang Muhammad dan berapakah imam yang adil beliau miliki? Di syurga manakah beliau akan memasukinya? Siapakah yang akan tinggal bersamanya di syurga? Maka beliau a.s telah berkata: Wahai Haruniyyun, sesungguhnya bagi Muhammad adalah dua belas imam yang adil, tidak akan memudaratkan oleh kehinaan orang yang telah menghinanya, tidak takut kepada mereka yang menentangnya dan sesungguhnya mereka di dalam agama adalah lebih teguh daripada gunung di bumi dan tempat tinggal Muhammad di syurganya bersama dua belas imam yang adil, maka beliau telah berkata: Anda telah berkata benar, demi Allah, tiada tuhan melainkan Dia, sungguhnya aku mendapatinya di dalam kitab bapaku Harun, beliau telah menulisnya dengan tangannya dan imlak Musa, bapa saudaraku a.s. Beliau telah berkata: Beritahulah kepadaku tentang satu (al-Wahidah)? Beritahulah kepadaku tentang wasi Muhammad berapa lamakah beliau hidup selepasnya? Adakah beliau akan mati (biasa) atau akan dibunuh?
Beliau a.s telah berkata: Wahai Haruniyyun, beliau akan hidup selama tiga puluh tahun selepasnya, tidak lebih walaupun satu hari dan tidak kurang walaupun satu hari. Kemudian beliau akan dipukul [dengan] satu pukulan di sini-iaitu di kepalanya-lalu ia akan berlumuran dengan darah daripada sini, beliau telah berkata: Harunniyyun telah melaung dan memutuskan benang tebalnya di pakaiannya dan berkata: Aku naik saksi tiada tuhan melainkan Allah yang Satu, tida sekutu bagiNya dan aku naik saksi bahawa sesungguhnya Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya dan sesungguhnya anda adalah wasinya, sewajarnya anda melebihi [orang lain] dan tidak [boleh] ditandingi dan anda wajar dihormati dan bukan diperkecil-kecilkan, beliau telah berkata: Kemudian Ali a.s telah pergi bersamanya ke rumahnya, maka beliau a.s telah mengajarnya petanda-petanda agama.

(960)-6. Muhammad bin Yahya, daripada Muhammad bin Ahmad, daripada Muhammad bin al-Husain, daripada Abu Sa'id al-'Usfuri, daripada Umar bin Thabit, daripada Abu Hamzah telah berkata: Aku telah mendengar Ali bin al-Husain a.s telah berkata: Sesungguhnya Allah telah menciptakan Muhammad, Ali dan sebelas daripada anak-anaknya daripada cahaya kebesaran-Nya, lalu Dia telah mendirikan bentuk-bentuk yang kurang jelas (asybaah) pada ruang cahaya-Nya, mereka bertasybih kepada Allah dan mentakdiskanNya. Mereka adalah para Imam daripada anak-anak Rasulullah s.a.w.

(961)-7. Muhammad bin Yahya, daripada Abdullah bin Muhammad al-Hasysyab, daripada Ibn Sama'ah, daripada Ali bin al-Hasan bin Ribat, daripada Ibn Udhinah, daripada Zurarah telah berkata: Aku telah mendengar Abu Ja'far a.s telah berkata: Dua belas imam daripada keluarga Muhammad a.s semuanya muhaddath daripada anak-anak Rasulullah s.a.w dan daripada anak-anak Ali a.s. Rasulullah s.a.w dan Ali a.s adalah dua bapa (al-Waalidaani) , maka Ali bin Rasyid, saudara Ali bin al-Husain sebelah ibunya telah mengingkarinya, lalu Abu Ja'far a.s telah melaung dan berkata: Adapun anak lelaki ibu anda bukanlah salah seorang daripada mereka.

(962)-8. Muhammad bin Yahya, daripada Muhammad bin al-Husain, daripada Mas'adah bin Ziyad, daripada Abi Abdullah dan Abi Sa'id al-Khudri telah berkata: Aku telah hadir ketika Abu Bakr telah mati dan Umar dilantik, tiba-tiba seorang pembesar Yahudi Yathrib dan yang paling alim mereka telah datang sehingga dibawa kepada Umar, lalu beliau telah berkata kepadanya: Wahai Umar, sesungguhnya aku telah datang kepada anda kerana mahu Islam, jika anda dapat menjawab apa yang aku akan bertanya anda tentangnya, maka anda adalah orang yang paling alim di kalangan para sahabat Muhammad dengan Kitab dan Sunnah dan semua yang aku mahu bertanya tentangnya.
Umar telah berkata kepadanya: Aku bukanlah begitu, tetapi aku akan menunjukkan kepada anda orang yang paling alim pada umat kita dengan Kitab dan Sunnah dan semua yang anda akan bertanya tentangnya, maka beliaulah-Umar telah menunjukkan kepada Ali a.s-maka Yahudi itu telah berkata kepadanya: Wahai Umar, jika inilah yang anda katakan, apakah kedudukan anda dan baiah orang ramai [kepada anda] kerana beliau (Ali) adalah orang yang paling alim di kalangan kamu! Lalu Umar telah menentangnya, kemudian Yahudi itu telah datang kepada Ali a.s dan berkata: Anda sebagaimana telah dikatakan oleh Umar? Maka beliau a.s telah berkata: Apakah yang telah dikatakan oleh Umar? Lalu beliau telah memberitahu kepadanya, beliau telah berkata: Jika anda sebagaimana telah dikatakan olehnya, aku akan bertanya anda beberapa perkara yang aku ingin mengetahuinya dan aku akan memeluk Islam.
Maka Amir al-Mukminin a.s telah berkata: Ya, aku adalah sebagaimana dikatakan oleh Umar, tanyalah apa yang terlintas dihati anda, aku akan memberitahu tentangnya kepada anda, jika Allah kehendaki. Beliau telah berkata: Beritahulah kepadaku tentang tiga, tiga dan satu, maka Ali a.s telah berkata kepadanya: Wahai Yahudi, kenapakah anda tidak berkata tentang tujuh, lalu Yahudi itu telah berkata: Sesungguhnya anda, jika anda telah memberitahu kepadaku tentang tiga, aku akan bertanya anda yang bakinya, jika tidak, anda akan menegah. Jika anda dapat menjawab tujuh perkara ini kepadaku, maka anda adalah penduduk bumi yang paling alim dan yang paling baik (aula) di kalangan manusia, maka beliau a.s telah berkata: Tanyalah apa yang terlintas di hati anda, wahai Yahudi, beliau telah berkata: Beritahulah kepadaku batu yang pertama diletakkan di atas muka bumi? Dan pokok yang pertama disiram di muka bumi? Dan mata yang pertama yang mengalir di muka bumi? Lalu Amir al-Mukminin a.s telah memberitahu kepadanya tentangnya , kemudian Yahudi telah berkata: Beritahulah kepadaku tentang umat ini berapa baginya imam petunjuk? Dan beritahulah kepadaku tentang nabi kamu Muhammad, di manakan kedudukannya di syurga?
Dan beritahulah kepadaku siapakah bersamanya di syurga? Maka Amir al-Mukminin a.s telah berkata kepadanya: Sesungguhnya bagi umat ini dua belas imam petunjuk daripada zuriat nabinya dan mereka daripadaku . Adapun kedudukan nabi kami di syurga adalah di syurga Adan yang lebih baik dan lebih mulia. Adapun mereka yang bersamanya pada kedudukannya di dalamnya adalah dua belas orang daripada zuriatnya , ibu mereka, datuk perempuan mereka, ibu kepada ibu mereka dan hamba-hamba perempuan mereka, tidak ada seorangpun yang akan tinggal bersama mereka padanya.

(963)-9. Muhammad bin Yahya, daripada Muhammad bin al-Husain, daripada Ibn Mahbub, daripada Abi al-Jarud, daripada Abu Ja'far a.s daripada Jabir bin Abdullah al-Ansari berkata: Aku telah datang kepada Fatimah a.s dan di hadapannya loh (lauh) yang mangandungi nama-nama para wasi daripada [suaminya dan] anak-anaknya, maka aku telah menghitung dua belas [orang] dan yang akhir mereka adalah al-Qaim a.s, tiga daripada mereka adalah Muhammad dan empat daripada mereka adalah Ali.

(964)-10. Ali bin Ibrahim, daripada Muhammad bin Isa bin 'Ubaid, daripada Muhammad bin al-Fudhail, daripada Abi Hamzah, daripada Abu Ja'far a.s telah berkata: Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad s.a.w kepada jin dan manusia dan telah menjadikan selepasnya dua belas wasi di antara mereka ada yang telah berlalu dan di antara mereka ada yang masih hidup dan setiap wasi selepas Muhammad s.a.w telah berlaku mengikut sunnah para wasi Isa dan mereka adalah dua belas orang dan Amir al-Mukminin adalah di atas sunnah al-Masih.

(965)-11. Muhammad bin Yahya, daripada Ahmad bin Muhammad bin Isa dan Muhammad bin Abi Abdullah dan Muhammad bin al-Hasan daripada Sahal bin Ziyad, daripad al-Hasan bin al-'Abbas bin al-Jarisy, daripada Abu Ja'far al-Thani a.s bahawa Amir al-Mukminin a.s telah berkata kepada Ibn 'Abbas: Sesungguhnya lailatu l-Qadr (malam kuasa) adalah pada setiap tahun dan sesungguhnya urusan setahun akan turun pada malam itu, justeru, urusan itu adalah [untuk] para wali selepas Rasulullah s.a.w, maka Ibn 'Abbas telah berkata: Siapakah mereka? Beliau a.s telah berkata: Aku dan sebelas daripada salbiku adalah para imam muhaddathun.

(966)-12. Dan dengan sanad-sanad ini, beliau telah berkata: Rasulullah s.a.w telah bersabda kepada para sahabat: Berimanlah kepada lailatu l-Qadr, sesungguhnya ia akan berlaku kepada Ali bin Abu Talib dan anak-anaknya seramai sebelas orang selepasku".

(967)-13. Dan dengan sanad-sanad ini bahawa Amir al-Mukminin a.s telah berkata kepada Abu Bakr pada suatu hari "Janganlah kamu mengira bahawa mereka yang telah gugur di jalan Allah itu mati bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhan-nya mendapat rezeki" Dan aku naik saksi bahawa Muhammad s.a.w adalah Rasulullah s.a.w telah mati syahid, demi Allah, baginda s.a.w akan mendatangi anda, maka yakinlah apabila baginda s.a.w datang kepada anda kerana syaitan tidak akan menyerupainya, Ali telah mengambil tangan Abu Bakr, lalu beliau a.s telah memperlihatkan Nabi s.a.w kepadanya, lantas baginda s.a.w telah bersabda: Wahai Abu Bakr, Berimanlah kepada Ali dan sebelas orang daripada anak-anaknya, sesungguhnya mereka adalah sepertiku kecuali kenabian dan bertaubatlah kepada Allah daripada apa yang ada pada tangan anda (khilafah) kerana ia bukanlah hak anda padanya, beliau telah berkata: Kemudian baginda s.a.w telah pergi dan tidak dapat dilihat lagi.

(968)-14. Abu Ali al-Asy'ari, daripada al-Hasan bin 'Ubaidillah, daripada al-Hasan bin Musa al-Khasysyab, daripada Ali bin Sama'ah, daripada Ali bin al-Hasan bin Ribat, daripada Ibn Udhinah, daripada Zurarah berkata: Aku telah mendengar Abu Ja'far a.s telah berkata: Dua belas imam daripada keluarga Muhammad semua mereka adalah muhaddath daripada anak-anak Rasulullah s.a.w dan anak-anak Ali bin Abu Talib a.s. Justeru, Rasulullah s.a.w dan Ali a.s adalah dua bapa (al-Waalidaani).

(969)-15. Ali bin Ibrahim, daripada bapanya, daripada Ibn Abi 'Umair, daripada Sa'id bin Ghazwan, daripada Abu Basir, daripada Abu Ja'far a.s telah berkata: Akan berlaku sembilan para imam selepas al-Husain bin Ali dan yang ke sembilan mereka adalah Qaim mereka.
(970)-16. Al-Husain bin Muhammad, daripada Mu'alla bin Muhammad, daripada al-Wisyaa', daripada Abban, daripada Zurarah berkata: Aku telah mendengar Abu Ja'far a.s telah berkata: Kami adalah dua belas imam, daripada mereka adalah al-Hasan, al-Husain dan dan para imam daripada anak-anak al-Husain a.s.

(971)-17. Muhammad bin Yahya, daripada Muhammad bin Ahmad, daripada Muhammad bin al-Husain, daripada Abi Sa'id al-'Usfuri, daripada 'Amru bin Thabit, daripada Abi al-Jarud, daripada Abu Ja'far a.s telah berkata: Rasulullah s.aw telah bersabda: Sesungguhnya aku dan dua belas (sebelas) daripada anak-anakku dan anda, wahai Ali, Zarr al-Ardh iaitu tunjang bumi dan gunungnya, dengan kami Allah menguatkan bumi dari musnah bersama penghuninya. Apabila dua belas (sebelas) daripada anak-anakku pergi, bumi akan musnah dengan penghuninya dan mereka tidak akan dilihat lagi.

(972)-18. Dan dengan sanad-sanand ini, daripada Abu Sa'id secara marfu', daripada Abu Ja'far a.s telah berkata: Rasulullah s.a.w telah bersabda: Daripada anak-anakku [dan Ali a.s] dua belas orang cerdik, muhaddathun, mufahhamun , akhir mereka adalah al-Qaim dengan kebenaran yang akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana ia dipenuhi dengan kezaliman".
(973)-19. Ali bin Muhammad dan Muhammad bin al-Hasan, daripada Sahal bin Ziyad, daripada Muhammad bin al-Hasan bin Syammun, daripada Abdullah bin 'Abd al-Rahman al-Asamm, daripada Karram berkata: Aku telah bersumpah di antara aku dan diriku bahawa aku tidak akan memakan makanan di siang hari selama-lamanya sehingga datangnya Qaim keluarga Muhammad, maka aku telah datang kepada Abu Abdillah a.s, lalu aku telah berkata kepadanya: Seorang lelaki Syiah kamu telah bersumpah kepada Allah bahawa beliau tidak akan memakan makanan di siang hari selama-lamanya sehingga datangnya Qaim keluarga Muhammad?
Beliau a.s telah berkata: Maka berpuasalah, jika begitu, wahai Karram, tetapi janganlah anda berpuasa pada hari raya puasa dan hari raya haji, pada tiga hari tasyriq, ketika anda musafir atau sakit kerana al-Husain a.s manakala dibunuh, langit, bumi, mereka di atasnya dan para malaikat telah menangis, maka mereka telah berkata: Wahai Tuhanku, izinlah kami bagi membinasakan makhluk sehingga kami memperbaharui mereka dari mula kerana mereka telah menghalalkan kehormatan Engkau, mereka telah membunuh orang pilihan Engkau, lalu Allah telah mewahyukan kepada mereka: Wahai para malaikat-Ku, wahai langit-Ku, wahai bumi-Ku, bawalah bertenang", kemudian Dia telah mendedahkan hijab[Nya], lalu Muhammad s.a.w telah meninggalkan dua belas wasi untuknya dan beliau telah mengambil tangan polan al-Qaim di kalangan mereka, Dia telah berfirman: Wahai para malaikat-Ku, wahai langit-Ku, wahai bumi-Ku dengan ini, Aku menang [untuk ini]- Dia telah berfirman sebanyak tiga kali-.

(974)-20. Muhammad bin Yahya dan Ahmad bin Muhammad, daripada Muhammad bin al-Husain, daripada Abi Talib, daripada Uthman bin Isa, daripada Sama'ah bin Mihran berkata: Aku, Abu Basir dan Muhammad bin 'Imran maula Abu Ja'far a.s telah berada di rumahnya di Makkah, maka Muhammad bin 'Imran telah berkata: Aku telah mendengar Abu Abdillah a.s telah berkata: Kami adalah dua belas muhaddathan, lalu Abu Basir telah berkata kepadanya: Adakah anda telah mendengar daripada Abu Abdillah a.s? Maka beliau telah bersumpah kepadanya satu kali atau dua kali bahawa beliau telah mendengarnya? Maka Abu Basir telah berkata: Tetapi aku telah mendengarnya daripada Abu Ja'far a.s.



Bab 127



Apabila Sesuatu Dikatakan Kepada Seseorang, Tetapi Ia tidak terjadi Padanya, Maka Ia terjadi Pada Anaknya(Atau Cucunya Kerana Beliaulah Dikatakan Kepadanya (fi anna-hu idha qiila fi al-Rujul syai'un fa-lam yakun fi-hi wa kana fi waladi-hi au walad waladi-hi fa-inna-hu huwa alladhi qila fi-hi

(975)-1. Muhammad bin Yahya, daripada Ahmad bin Muhammad dan Ali bin Ibrahim, daripada bapanya, daripada Ibn Mahbub, daripada Ibn Ri'aab, daripada Abu Basir, daripada Abu Abdillah a.s telah berkata: Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepada 'Imran: "Sesungguhnya Aku memberi kepada engkau seorang lelaki yang sempurna, berkat, akan menyembuhkan orang yang buta dan orang yang berpenyakit sopak dan menghidupkan orang yang mati dengan izin Allah dan menjadikannya seorang rasul kepada Bani Israel", maka 'Imran telah memberitahu kepada isterinya Hanah, ibu Maryam.
Manakala beliau telah hamil, beliau telah menyangka kandungannya adalah lelaki, "Manakala beliau telah melahirkannya, beliau telah berkata: Wahai Tuhanku, aku telah melahirkan seorang anak perempuan dan anak lelaki tidaklah sama dengan anak perempuan", iaitu anak perempuan tidak boleh menjadi seorang rasul, tetapi Allah telah berfirman: "Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu" , manakala Allah telah mengurniakan Isa kepada Maryam, maka beliaulah Allah telah memberi berita gembira kepada 'Imran dan telah menjanjikannya dengannya. Justeru, apabila kami telah berkata sesuatu kepada lelaki daripada kami, maka ia akan berlaku kepada anaknya atau cucunya, lantaran itu, janganlah kamu mengingkarinya.

(976)-2. Muhammad bin Isma'il, daripada al-Fadhl bin Syazaan, daripada Hammad bin Isa, daripada Ibrahim bin Umar al-Yamani, daripada Abu Abdillah a.s telah berkata: Apabila kami telah berkata sesuatu kepada seseorang, jika ia tidak berlaku padanya, maka [ia akan berlaku] pada anaknya atau pada cucunya. Oleh itu, janganlah kamu mengingkarinya kerana Allah melakukan apa yang Dia kehendaki.

(977)-3. Al-Husain bin Muhammad, daripada Mu'alla bin Muhammad, daripada al-Wasyaa', daripada Ahmad bin 'Aa'idh, daripada Abi Khadijah berkata: Aku telah mendengar Abu Abdillah a.s telah berkata: Kadangkala seorang itu dinilai dengan keadilan atau kezaliman serta kaitannya dengannya sekalipun beliau tidak melakukannya kerana ia terletak kepada anak lelakinya atau cucu selepasnya [yang akan melakukannya], justeru, beliau [dan anaknya atau cucunya] adalah orang yang sama (fa-huwa huwa).



Bab 128



Sesungguhnya Para Imam A.S Semuanya Melaksanakan Perintah Allah Ta'ala, Penunjuk Kepada-Nya (inna al-Aimmata a.s kulla-hum qaa'imuun bi-amri llahi ta'ala haaduun ilai-hi)

(978)-1. Beberapa orang daripada sahabat kami, daripada Ahmad bin Muhammad bin Isa, daripada Ali bin al-Hakam, daripada Zaid Abi al-Hasan, daripada al-Hakam bin Abi Nu'aim berkata: Aku telah datang kepada Abu Ja'far a.s ketika beliau berada di Madinah, maka aku telah berkata kepadanya: Aku telah bernazar di antara al-Rukn wa al-Maqam, jika aku berjumpa dengan anda, aku tidak akan keluar dari Madinah sehingga aku mengetahui bahawa anda adalah Qaim keluarga Muhammad ataupun tidak, maka beliau tidak menjawab sesuatu kepadaku, lalu aku telah tinggal selama tiga puluh hari, kemudian beliau telah menyambutku di jalan, lalu berkata: Dan sesungguhnya anda masih ada di sini, maka aku telah berkata: Ya, aku telah memberitahu kepada anda tentang nazarku.
Anda tidak menyuruhku atau melarangku dari sesuatu dan anda tidak menjawab kepadaku dengan sesuatu? Maka beliau telah berkata: Datanglah di rumahku pada petang besok, maka akupun telah datang, beliau a.s telah berkata: Tanyalah tentang hajat anda, maka aku telah berkata: Aku telah bernazar, berpuasa atau bersedekah di antara al-Rukn wa al-Maqam, jika aku berjumpa dengan anda, aku tidak akan keluar dari Madinah sehingga aku mengetahui bahawa adakah anda Qaim keluarga Muhammad ataupun tidak, jika anda menahan diriku dari menolong anda, nescaya aku akan pergi ke tempat lain di bumi ini untuk mencari kehidupan.
Lalu beliau a.s telah berkata: Wahai Hakam, semua kita adalah Qaim dengan urusan Allah, aku telah berkata: Anda adalah al-Mahdi? Beliau telah berkata: Semua kita (al-Mahdi) menunjuk kepada Allah, aku telah berkata: Maka anda adalah pemilik pedang? Beliau telah berkata: Semua kita pemilik pedang dan pewaris pedang, aku telah berkata: Andalah pembunuh musuh-musuh Allah, para wali Allah menjadi kuat dengan anda dan agama Allah akan terserlah? Maka beliau a.s telah berkata: Wahai Hakam, bagaimana aku [Mahdi] sedangkan aku telah sampai empat puluh lima tahun? Sesungguhnya sahabat urusan ini (sahib hadha al-Amr) lebih hampir masanya dengan susu (hari Kiamat) daripadaku dan lebih ringan di atas belakang bintang (berperang).

(979)-2. Al-Husain bin Muhammad al-Asy'ari, daripada Mu'alla bin Muhammad, daripada al-Wasyaa', daripada Ahmad bin 'Aa'idh daripada Abi Khadijah, daripada Abu Abdillah a.s bahawa beliau telah ditanya tentang al-Qaim, maka beliau telah berkata: Semua kita adalah Qaim dengan urusan Allah, satu selepas satu sehingga pemilik pedang datang. Apabila pemilik pedang datang, maka beliau datang dengan urusan yang berbeza daripada urusan yang lalu.

(980)-3. Ali bin Muhammad, daripada Sahal bin Ziyad, daripada Muhammad bin al-Hasan bin Syammun, daripada Abdullah bin 'Abd al-Rahman, daripada Abdullah bin al-Qasim al-Batal, daripada Abdullah bin Sinan berkata: Aku telah berkata kepada Abu Abdillah a.s tentang firman-Nya: "Suatu hari Kami menyeru tiap umat dengan pemimpinnya" Beliau a.s telah berkata: Imam di hadapan mereka adalah al-Qaim pada zaman-nya.



Bab 129



Perhubungan [Dengan] Imam A.S (silat al-Imam a.s)

(981)-1. Al-Husain bin Muhammad bin 'Amir dengan sanad-sanadnya secara marfu' berkata: Abu Abdillah a.s telah berkata: Sesiapa yang telah menyangka bahawa imam a.s berhajat kepada apa yang ada di tangan orang ramai, maka beliau adalah kafir , sesungguhnya orang ramai memerlukan imam a.s untuk menerima mereka, Allah telah berfirman: "Dan ambillah zakat dari sebahagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka"

(982)-2. Beberapa orang daripada sahabat kami, daripada Ahmad bin Muhammad, daripada al-Wasyaa', daripada Isa bin Sulaiman al-Nuhas, daripada al-Mufadhdhal bin Umar, daripada al-Khaibari dan Yunus bin Zubyaan berkata: Kami telah mendengar Abu Abdillah a.s telah berkata: Tidak ada suatu perkara yang paling dicintai Allah dari mengeluarkan dirham-dirham kepada imam a.s dan sesungguhnya Allah akan menjadikan untuknya satu dirham di syurga seperti bukit Uhud, kemudian beliau telah berkata: Sesungguhnya Allah telah berfirman di dalam kitab-Nya: "Siapakah yang mahu memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik, maka Dia akan melipatgandakan pembayaran kepadanya" Beliau a.s telah berkata: Demi Allah, ia adalah perhubungan [dengan] imam a.s secara khusus .

(983)-3. Dan dengan sanad-sanad ini, daripada Ahamd bin Muhammad, daripada Muhammad bin Sinan, daripada Hammad bin Abi Talhah, daripada Mu'adh, pemilik pakaian telah berkata: Aku telah mendengar Abu Abdillah a.s telah berkata: Sesungguhnya Allah tidak meminta [daripada] makhluk-Nya apa yang ada di tangan mereka sebagai pinjaman kerana Dia berhajat kepadanya; [tetapi] apa saja hak Allah, maka ia adalah untuk wali-Nya.

(984)-4. Ahmad bin Muhammad, daripada Ali bin al-Hakam, daripada Abi al-Mughra, daripada Ishaq bin 'Ammar, daripada Abi Ibrahim a.s telah berkata: Aku telah bertanya tentang firman Allah: "Siapakah mahu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan pinjaman itu untuknya dan beliau akan memperoleh pahala yang banyak" Beliau a.s telah berkata: Ayat ini telah diturunkan tentang perhubungan [dengan] imam a.s.

(985)-5. Ali bin Ibrahim, daripada Muhammad bin Isa, daripada al-Hasan bin Miyyaah, daripada bapanya telah berkata: Abu Abdillah a.s telah berkata kepadaku: Wahai Miyyaah, satu dirham yang disampaikan kepada imam a.s itu, adalah lebih berat timbangannya dari bukit Uhud.

(986)-6. Ali bin Ibrahim, daripada Muhammad bin Isa, daripada Yunus, daripada sebahagian lelakinya, daripada Abu Abdillah a.s telah berkata: Satu dirham yang disampaikan kepada imam a.s adalah lebih baik daripada 200 ribu dirham [yang disampaikan] selain daripadanya daripada jalan-jalan kebaikan.

(987)-7. Muhammad bin Yahya, daripada Ahmad bin Muhammad, daripada Ibn Fadhdhal, daripada Ibn Bakir berkata: Aku telah mendengar Abu Abdillah a.s telah berkata: Aku mengambil dirham daripada salah seorang daripada kamu, sesungguhnya bagiku adalah untuk orang yang banyak harta di Madinah, [tetapi] aku tidak mahu semuanya itu kecuali untuk mereka membersihkan [diri mereka] .

*****
Pencela yang dimaksud kemudian membawakan riwayat dengan matan yang sama dalam kitab Al Mahasin oleh Ahmad bin Muhammad Al Barqiy dengan sanad sebagai berikut:

عنه، عن أبيه، عن أبي هاشم الجعفري رفع الحديث قال: قال أبو عبد الله

Darinya [Ahmad bin Muhammad Al Barqiy] dari Ayahnya dari Abi Haasyim Al Ja’fariy, ia merafa’kan hadis, ia berkata Abu ‘Abdullah berkata…[Al Mahasin Ahmad bin Muhammad Al Barqiy 2/332 no 99]
Maka berdasarkan riwayat dalam Al Mahasin, pencela tersebut mengatakan bahwa hadis itu diambil Ahmad bin Muhammad Al Barqiy dari ayahnya yaitu Muhammad bin Khalid Al Barqiy. Riwayat dalam Al Mahasin dhaif dengan alasan
  1. Muhammad bin Khalid telah didhaifkan oleh An Najasyiy.
  2. Abu Haasyim tidak bertemu dengan Abu ‘Abdullah maka riwayatnya mursal
Asal riwayat ini dhaif kemudian Al Kulainiy mengubahnya dalam Al Kafiy dengan menghilangkan nama ayahnya Ahmad bin Muhammad Al Barqiy dan mengganti nama Imam Abu ‘Abdullah dengan Abu Ja’far Ats Tsaniy.

Sebenarnya hakikat permasalahan riwayat ini bukanlah demikian. Kesalahan pencela tersebut karena terburu-buru dalam menarik kesimpulan, ia tidak mengumpulkan semua jalan sanad-sanadnya. Sebelumnya mari kita bahas terlebih dahulu kedudukan ayahnya Ahmad bin Muhammad Al Barqiy yaitu Muhammad bin Khalid bin ‘Abdurrahman. An Najasyiy berkata dalam kitab Rijal-nya

وكان محمد ضعيفا في الحديث، وكان أديبا حسن المعرفة بالاخبار وعلوم العرب

Muhammad dhaif dalam hadis, dia seorang ahli sastra [penyair], baik pengenalannya dalam kabar dan ilmu-ilmu arab [Rijal An Najasyiy hal 335 no 898].


Walaupun ia didhaifkan oleh An Najasyiy tetapi ia telah ditsiqatkan oleh Syaikh Ath Thuusiy;

محمد بن خالد البرقي، ثقة، هؤلاء من أصحاب أبي الحسن موسى عليه السلام

Muhammad bin Khalid Al Barqiy, tsiqat, mereka termasuk sahabat Abu Hasan Muusa [‘alaihis salaam] [Rijal Ath Thuusiy hal 363].

Allamah Al Hilliy memasukkannya dalam kitabnya Khulashah Al Aqwaal bagian pertama yang memuat para perawi tsiqat atau yang ia berpegang dengannya. Allamah Al Hilliy mengutip Ibnu Ghada’iriy, An Najasyiy dan Ath Thuusiy kemudian berpegang pada pendapat Syaikh Ath Thuusiy.

محمد بن خالد بن عبد الرحمان بن محمد بن علي البرقي، أبو عبد الله، مولى أبي موسى الأشعري، من أصحاب الرضا (عليه السلام)، ثقةوقال ابن الغضائري: انه مولى جرير بن عبد الله، حديثه يعرف وينكر، ويروي عن الضعفاء ويعتمد المراسيلوقال النجاشي: انه ضعيف الحديثوالاعتماد عندي على قول الشيخ أبي جعفر الطوسي رضي الله عنه من تعديله

Muhammad bin Khaalid bin ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Aliy Al Barqiy, Abu ‘Abdullah maula Abu Musa Al Asy’ariy, termasuk sahabat Imam Ar Ridha [‘alaihis salaam], seorang yang tsiqat. Ibnu Ghadha’iriy berkata bahwasanya ia maula Jarir bin ‘Abdullah, hadisnya dikenal dan diingkari dan ia meriwayatkan dari para perawi dhaif dan berpegang pada riwayat mursal. Najasyiy berkata bahwa ia dhaif dalam hadis. Dan yang menjadi pegangan di sisiku adalah perkataan Syaikh Abu Ja’far Ath Thuusiy [radiallahu ‘anhu] yang menta’dilnya [Khulashah Al Aqwaal Allamah Al Hilliy hal 237].

Sayyid Al Khu’iy menjelaskan dalam kitab Mu’jam-nya bahwa sebenarnya perkataan Syaikh Ath Thuusiy tidaklah bertentangan dengan apa yang dikatakan Najasyiy dan Ibnu Ghada’iriy. Ia menjelaskan bahwa kedhaifan yang dimaksud Najasyiy bukan mendhaifkan Muhammad tetapi kepada hadisnya karena ia sering meriwayatkan dari perawi dhaif dan mursal seperti yang dikatakan Ibnu Ghadha’iriy. [Mu’jam Rijal Al Hadits Sayyid Al Khu’iy 17/71 no 10715].

Oleh karena itu dalam Al Mufiid, Muhammad Jawahiriy menegaskan bahwa Muhammad bin Khalid Al Barqiy tsiqat [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 524]. Begitu pula yang dirajihkan oleh Ahmad bin ‘Abdur Ridha Al Bashriy dalam Fa’iq Al Maqaal Fii Hadits Wa Rijal hal 150 no 882.

Menurut kami pendapat yang paling baik adalah dengan mengambil jalan tengah bahwa ia pada dasarnya tsiqat tetapi terdapat kedhaifan dalam hadisnya sehingga hadisnya dikenal dan diingkari. Oleh karena itu ia tidak bisa dijadikan hujjah jika tafarrud tetapi hadisnya dapat dijadikan penguat.

Setelah itu mari kita mengumpulkan sanad-sanad riwayat Ahmad bin Muhammad bin Khalid Al Barqiy di atas selain dari kitab Al Kafiy.

عنه، عن أبيه، عن أبي هاشم الجعفري رفع الحديث قال: قال أبو عبد الله

Darinya [Ahmad bin Muhammad Al Barqiy] dari Ayahnya dari Abi Haasyim Al Ja’fariy, ia merafa’kan hadis, ia berkata Abu ‘Abdullah berkata…[Al Mahasin Ahmad bin Muhammad Al Barqiy 2/332 no 99].



حدثنا أبي ، ومحمد بن الحسن رضي الله عنهما قالا : حدثنا سعد بن عبد الله وعبد الله بن جعفر الحميري ، ومحمد بن يحيى العطار ، وأحمد بن إدريس جميعا قالوا : حدثنا أحمد بن أبي عبد الله البرقي قال : حدثنا أبو هاشم داود بن القاسم الجعفري ، عن أبي جعفر الثاني محمد بن علي عليهما السلام قال

Telah menceritakan kepadaku Ayahku dan Muhammad bin Hasan [radiallahu ‘anhuma] keduanya berkata telah menceritakan kepadaku Sa’d bin ‘Abdullah, Abdullah bin Ja’far Al Himyaariy, Muhammad bin Yahya Al ‘Athaar, Ahmad bin Idris, semuanya mengatakan telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Abi ‘Abdullah Al Barqiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Haasyim Dawud bin Qaasim Al Ja’fariy dari Abu Ja’far Ats Tsaniy Muhammad bin Aliy [‘alaihimus salaam] yang berkata…[Kamal Ad Diin Wa Tammaam An Ni’mah hal 294-295, Syaikh Shaduq].


حدثنا أبي رضي الله عنه قال : حدثنا سعد بن عبد الله ، عن أحمد بن محمد عن ابن خالد البرقي ، عن أبي هاشم داود بن القاسم الجعفري ، عن أبي جعفر الثاني

Telah menceritakan kepada kami Ayahku [radiallahu ‘anhu] yang berkata telah menceritakan kepada kami Sa’d bin Abdullah dari Ahmad bin Muhammad dari Ibnu Khaalid Al Barqiy dari Abi Haasyim Dawud bin Qaasim Al Ja’fariy dari Abu Ja’far Ats Tsaniy…[Ilal Asy Syarai’ Syaikh Shaduq 1/96].


حدثنا أبي ومحمد بن الحسن بن أحمد بن الوليد رضي الله عنهما قالا : حدثنا سعد بن عبد الله وعبد الله بن جعفر الحميري ومحمد بن يحيى العطار وأحمد بن إدريس جميعا قالوا : حدثنا أحمد بن أبي عبد الله البرقي قال : حدثنا أبي هاشم  داود بن القاسم الجعفري عن أبي جعفر محمد بن علي الباقر عليهما السلام قال

Telah menceritakan kepadaku Ayahku dan Muhammad bin Hasan bin Ahmad bin Walid [radiallahu ‘anhuma] keduanya berkata telah menceritakan kepadaku Sa’d bin ‘Abdullah, Abdullah bin Ja’far Al Himyaariy, Muhammad bin Yahya Al ‘Athaar, Ahmad bin Idris, semuanya mengatakan telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Abi ‘Abdullah Al Barqiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Haasyim Dawud bin Qaasim Al Ja’fariy dari Abu Ja’far Muhammad bin Aliy Al Baaqir [‘alaihimus salaam] yang berkata…[U’yun Akhbar Ar Ridhaa Syaikh Shaduq 1/67]
Dengan mengumpulkan semua sanad riwayat kisah di atas maka didapatkan bahwa terkadang Ahmad bin Muhammad bin Khalid Al Barqiy meriwayatkan dari ayahnya dari Abu Haasyim dan terkadang meriwayatkan langsung dari Abu Haasyim. Disini ada dua kemungkinan
  1. Ahmad bin Muhammad bin Khalid Al Barqiy melakukan tadlis sehingga terkadang ia meriwayatkan dengan menghilangkan nama ayahnya
  2. Ahmad bin Muhammad bin Khalid Al Barqiy meriwayatkan dari Ayahnya dan mendengar langsung pula dari Abu Haasyim
Yang kedua inilah yang benar sebagaimana nampak dalam zhahir riwayat Ash Shaduq dimana Ahmad bin Muhammad meriwayatkan dari Abu Haasyim dengan lafaz “haddatsana” yaitu telah menceritakan kepada kami. Maka kedustaan pertama pencela tersebut ketika ia mengatakan bahwa Al Kulainiy menghilangkan nama ayahnya Ahmad bin Muhammad Al Barqiy dalam sanad kitab Al Kafiy. Padahal fakta riwayat menunjukkan bahwa sanad riwayat tersebut ada dua, yaitu Ahmad bin Muhammad Al Barqiy meriwayatkan dari Ayahnya dan Ahmad bin Muhammad Al Barqiy mendengar langsung dari Abu Haasyim. Maka dengan mudah dapat dikatakan bahwa riwayat Al Kafiy memang adalah riwayat Ahmad bin Muhammad Al Barqiy dari Abu Haasyim.
.
.
Terdapat perselisihan soal riwayat Abu Haasyim Dawud bin Qaasim. Dalam Al Mahasin, disebutkan bahwa ia merafa’kan kepada Abu ‘Abdullah. Lafaz merafa’kan di sisi ilmu hadis Syi’ah menunjukkan bahwa memang ada perawi yang tidak disebutkan namanya dalam sanad tersebut [rafa’ disini berbeda maksudnya dengan pengertian rafa’ di sisi Sunni]. Riwayat Al Mahasin berasal dari Muhammad bin Khalid Al Barqiy
Disebutkan oleh Ash Shaduq dalam Ilal Asy Syarai’ bahwa Muhammad bin Khalid Al Barqiy meriwayatkan dari Abu Haasyim dari Abu Ja’far Ats Tsaniy. Maka disini ada dua kemungkinan
  1. Muhammad bin Khalid Al Barqiy keliru dalam menyebutkan sanadnya sehingga hanya salah satu dari sanad tersebut yang benar
  2. Kedua riwayat tersebut benar, yaitu dari Abu ‘Abdullah seperti yang disebutkan dalam Al Mahasin dan dari Abu Ja’far Ats Tsaniy seperti yang disebutkan Ash Shaduq
Berdasarkan pembahasan sebelumnya mengenai kedudukan Muhammad bin Khalid Al Barqiy maka diketahui bahwa terdapat kelemahan dalam hadisnya sehingga pendapat yang rajih adalah kemungkinan pertama yaitu salah satunya yang benar. Untuk menentukan mana yang benar tentu dengan melihat qarinah dari riwayat lain’
.
Riwayat Ash Shaduq yang tidak melalui jalur Muhammad bin Khalid yaitu riwayat dimana Ahmad bin Muhammad Al Barqiy meriwayatkan langsung dari Abu Haaysim juga terjadi perselisihan yaitu terkadang Abu Haasyim meriwayatkan dari Abu Ja’far Ats Tsaniy dan terkadang Abu Haasyim meriwayatkan dari Abu Ja’far Al Baqir. Disini juga ada dua kemungkinan
  1. Salah satu riwayat Abu Haasyim keliru, riwayat Abu Ja’far Ats Tsaniy atau riwayat Al Baqir
  2. Kedua riwayat Abu Haasyim tersebut benar artinya ia meriwayatkan dari Al Baqir juga dari Abu Ja’far Ats Tsaniy
Kemungkinan yang rajih adalah yang pertama, salah satu riwayat Abu Haasyim tersebut keliru dan yang benar adalah riwayat dari Abu Ja’far Ats Tsaniy dengan qarinah sebagai berikut
  1. Abu Haasyim tidak dikenal sebagai sahabat Abu Ja’far Al Baqir bahkan ia tidak menemui masa Al Baqir dan dalam kitab Rijal Syi’ah disebutkan bahwa ia adalah sahabat Abu Ja’far Ats Tsaniy atau Imam Jawad [‘alaihis salaam]
  2. Jika memang lafaz yang dimaksud dalam salah satu riwayat Ash Shaduq adalah Abu Ja’far Al Baqir maka akan disebutkan lafaz “merafa’kan sanadnya” yang menunjukkan bahwa ada perawi lain antara keduanya sebagaimana halnya yang nampak dalam riwayat Al Mahasin
Menurut kami terjadi tashif dalam kitab U’yun Akhbar Ar Ridha tersebut sehingga lafaz yang benar adalah Ats Tsaniy bukan Al Baqir. Bukti nyata akan hal ini adalah Ayahnya Syaikh Shaduq yaitu Ibnu Babawaih Al Qummiy meriwayatkan sanad tersebut dengan menyebutkan lafaz Abu Ja’far Ats Tsaniy,



سعد بن عبد الله، وعبد الله بن جعفر الحميري، ومحمد بن يحيى العطار، وأحمد بن إدريس، جميعا قالواحدثنا أحمد بن أبي عبد الله البرقي، قال: حدثنا أبو هاشم داود بن القاسم الجعفري، عن أبي جعفر الثاني محمد بن علي عليهما السلام قال

Sa’d bin ‘Abdullah, Abdullah bin Ja’far Al Himyariy, Muhammad bin Yahya Al ‘Aththaar, dan Ahmad bin Idris semuanya mengatakan telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Abi ‘Abdullah Al Barqiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Haasyim Dawud bin Qaasim Al Ja’fariy dari Abu Ja’far Ats Tsaniy Muhammad bin ‘Aliy [‘alaihimas salaam] yang berkata…[Al Imamah Wal Tabshirah, Aliy bin Husain bin Babawaih Al Qummiy hal 106 no 93].

Hadis di atas menguatkan bahwa pendapat yang rajih mengenai riwayat Ash Shaduq adalah Abu Haasyim meriwayatkan dari Abu Ja’far Ats Tsaniy. Dan hadis ini juga menjadi dasar untuk menguatkan bahwa riwayat Muhammad bin Khalid Al Barqiy yang rajih adalah riwayat dalam kitab Ilal Asy Syarai’ yang menyebutkan Abu Ja’far Ats Tsaniy bukan riwayat dalam Al Mahasin.

Maka kedustaan kedua adalah ketika pencela itu mengatakan bahwa Al Kulainiy mengganti nama Imam Abu ‘Abdullah menjadi Abu Ja’far Ats Tsaniy padahal justru yang rajih adalah riwayat yang menyebutkan Abu Ja’far Ats Tsaniy karena juga terdapat dalam riwayat selain dari Muhammad bin Khalid Al Barqiy.

Seandainya pun pencela tersebut menolak perajihan di atas maka itupun tetap membuktikan kedustaannya karena perselisihan riwayat yang tidak bisa ditarjih hanya menunjukkan bahwa terjadi idhthirab pada sanadnya dan idhthirab ini lebih mungkin dikembalikan kepada Ahmad bin Muhammad bin Khalid Al Barqiy atau Abu Haasyim Dawud bin Qaasim. Ini pun juga membuktikan bahwa Al Kulainiy tidaklah mengubah sanad tersebut karena penyebutan Abu Ja’far Ats Tsaniy juga ada dalam riwayat Ash Shaduq.

Kalau dikaji secara keseluruhan maka sanad yang benar memang dengan penyebutan Abu Ja’far Ats Tsaniy. Sebagaimana disebutkan oleh jama’ah dari Ahmad bin Muhammad Al Barqiy yang nampak dalam riwayat Al Kulainiy dan Ash Shaduq. Allamah Al Hilliy mengutip dari Al Kulainiy yang mengatakan:

عدة من أصحابنا عن أحمد بن محمد بن خالد البرقي، فهم علي بن إبراهيموعلي بن محمد بن عبد الله ابن أذينة وأحمد بن عبد الله بن أميةوعلي بن الحسن

Sekelompok sahabat kami dari Ahmad bin Muhammad bin Khalid Al Barqiy maka mereka adalah Aliy bin Ibrahim, Aliy bin Muhammad bin ‘Abdullah Ibnu Adziinah, Ahmad bin ‘Abdullah bin Umayyah dan Aliy bin Hasan [Khulashah Al Aqwaal Allamah Al Hilliy hal 430].

Ada empat perawi dalam riwayat Al Kulainiy dan empat lagi dari riwayat Ash Shaduq yang semuanya meriwayatkan dari Ahmad bin Muhammad bin Khalid Al Barqiy dengan menyebutkan Abu Ja’far Ats Tsaniy. Riwayat ini juga disebutkan Sayyid Haasyim Al Bahraniy dalam Madinatul Ma’aajiz dengan lafaz dari Abu Ja’far Muhammad bin Aliy Ats Tsaniy [Madinatul Ma’aajiz 3/341-346]. Kesimpulannya memang benar riwayat tersebut berasal dari Abu Ja’far Ats Tsaniy [‘alaihis salaam].

Kami tidak membahas kedudukan riwayat tersebut secara detail, apakah ia shahih atau tidak berdasarkan ilmu Rijal Syi’ah?. Kami hanya ingin menunjukkan kedustaan pencela tersebut dengan analisa murahannya. Sekedar informasi riwayat Al Kafiy ini telah dishahihkan oleh Al Majlisiy dalam Mirat Al Uqul 6/203 dan kami lihat tidak ada masalah dengan penilaian Al Majlisiy.

Dalam kitab ahlus sunnah juga ditemukan fenomena seperti ini dan hanya orang yang pikirannya awam saja yang menyatakan bahwa seorang ulama mengubah sanad pendahulunya hanya karena sanadnya dengan sanad pendahulunya berbeda. Berikut ada hadis yang menyebutkan kalau Zubair tergolong pihak yang zalim ketika memerangi Imam Aliy. Hadis tersebut diriwayatkan Al Hakim dalam Al Mustadrak dengan sanad berikut:


حدثنا بذلك أبو عمرو محمد بن جعفر بن محمد بن مطر العدل المأمون من أصل كتابه ثنا عبد الله بن محمد بن سوار الهاشمي ثنا منجاب بن الحارث ثنا عبد الله بن الأجلح حدثني أبي عن يزيد الفقير قال منجاب : و سمعت فضل بن فضالة يحدث به جميعا عن أبي حرب بن أبي الأسود الديلي قال

Telah menceritakan demikian Abu ‘Amru Muhammad bin Ja’far bin Muhammad bin Mathar Al ‘Adl Al Ma’mun dari Ushul Kitab-nya yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad bin Sawaar Al Haasyimiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Munajaab bin Al Haarits yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Ajlah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku dari Yaziid Al Faqiir. Munajaab berkata dan aku mendengar Fadhl bin Fadhalah menceritakan dengannya, keduanya [Yazid Al Faqiir dan Fadhl bin Fadhalah] dari Abi Harb bin Abil Aswad…[Mustadrak Al Hakim juz 3 no 5575].

Kemudian mari lihat hadis yang sama diriwayatkan oleh Baihaqiy dimana terjadi perubahan pada sanadnya


أخبرنا أبو بكر أحمد بن الحسن القاضي ، أخبرنا أبو عمرو بن مطر ، أخبرنا أبو العباس عبد الله بن محمد بن سوار الهاشمي الكوفي ، حدثنا منجاب بن الحارث ، حدثنا عبد الله بن الأجلح ، قال : حدثنا أبي ، عن يزيد الفقير ، عن أبيه ، قال : وسمعت الفضل بن فضالة ، يحدث أبي عن أبي حرب بن الأسود الدؤلي ، عن أبيه

Telah mengabarkan kepada kami Abu Bakar Ahmad bin Hasan Al Qaadhiy yang berkata telah mengabarkan kepada kami ‘Abu ‘Amru bin Mathar yang berkata telah mengabarkan kepada kami Abu ‘Abbas ‘Abdullah bin Muhammad bin Sawaar Al Haasyimiy Al Kufiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Munajaab bin Al Haarits yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Ajlah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ayahku dari Yazid Al Faqiir dari Ayahnya. [Munajab] berkata aku mendengar Fadhl bin Fadhalah berkata telah menceritakan ayahku dari Abi Harb bin Aswad Ad Du’aliy dari Ayahnya… [Dala’il Nubuwah Baihaqiy 6/414].
Al Hakim meriwayatkan dari Abu ‘Amru bin Mathar dari Ushul kitabnya dengan dua sanad yaitu
  1. Munajaab dari Abdullah bin Ajlah dari Ayahnya dari Yaziid Al Faqiir dari Abi Harb bin Abil Aswad
  2. Munajaab dari Fadhl bin Fadhalah dari Abi Harb bin Abil Aswad
Al Baihaqiy dalam kitabnya meriwayatkan dari Ahmad bin Hasan Al Qaadhiy dari Abu ‘Amru bin Mathar dengan dua sanad berikut
  1. Munajaab dari Abdullah bin Ajlah dari Ayahnya dari Yazid Al Faqiir dari Ayahnya dari Abi Harb bin Abil Aswad dari Ayahnya
  2. Munajaab dari Fadhl bin Fadhalah dari Ayahnya dari Abi Harb bin Abil Aswad dari Ayahnya
Sanad dalam kitab Al Baihaqiy terdapat penambahan kata ayahnya jika dibandingkan dengan sanad dalam Ushul Kitab Abu ‘Amru bin Mathar. Maka apakah itu berarti Baihaqiy mengubah atau mengedit sanad yang asalnya dari kitab Abu ‘Amru bin Mathar pendahulunya.

Mereka yang akrab dengan ilmu hadis tidak akan mengatakan demikian sebelum ada bukti nyata bahwa Baihaqiy mengubah sanad tersebut karena fenomena seperti ini banyak dalam kitab hadis. Hal yang bisa dikatakan disini adalah terdapat kekeliruan pada sanadnya dan siapa yang keliru jelas memerlukan penelitian atau qarinah lebih lanjut.

Kami pribadi tidak pernah keberatan dengan orang-orang yang mengkritik Syi’ah secara ilmiah. Bagi kami kritikan tersebut menjadi tambahan ilmu yang berguna dalam mencari kebenaran [dalam hal ini tentang Syi’ah]. Yang kami tidak suka adalah orang yang terburu-buru dan mungkin mengedepankan hawa nafsu kebenciannya atau kejahilan akalnya sehingga menghina Syi’ah dengan syubhat murahan yang bahkan hal itu banyak terjadi dalam kitab-kitab pegangan ahlus sunnah. Hal ini menunjukkan secara tidak langsung pencela tersebut juga menghina Ahlus Sunnah.

Dan orang seperti mereka jika kita tunjukkan bantahan atas tulisan mereka akan memandang siapapun yang membantah mereka sebagai antek syi’ah rafidhah, hamba mut’ah, dan celaan lain yang mereka nisbatkan kepada Syi’ah. Apa di dunia ini mereka pikir hanya ada dua jenis manusia yaitu Syi’ah dan Pencela Syi’ah?. Apa mereka hidup di dunia dimana siapapun Pembela Syi’ah maka sudah pasti Syi’ah?. Jika pertanyaan sederhana ini saja tidak bisa mereka pahami dan jawab secara kritis maka kami katakan tidak usah jauh-jauh membuat tulisan ilmiah karena kualitasnya pasti tidak jauh dari analisa murahan atau fitnah semata. Semoga Allah SWT memberikan petunjuk bagi mereka yang mau menggunakan akalnya.

*****

walaupun sebenarnya pokok bahasan yang kami bahas adalah kedustaan nashibiy yang menuduh Al Kulainiy mengubah sanad hadisnya.
Hadis dua belas imam yang dimaksud sudah sedikit dibahas dalam tulisan tersebut dan kedudukannya shahih berdasarkan ilmu Rijal Syi’ah. Jadi di sisi mazhab Syi’ah telah shahih dalil Imamah dua belas imam mereka.

Seperti yang kami katakan bahwa kami bukan penganut Syi’ah oleh karena itu hadis-hadis shahih di sisi mazhab Syi’ah tidak menjadi hujjah bagi kami maka dari itu sampai sekarang kami tetap meyakini keshahihan hadis dua belas khalifah tetapi tidak memiliki bukti shahih siapa nama-nama mereka.

Dalam tulisan kali ini kami akan membawakan salah satu hadis Syi’ah yang lain dan juga menyebutkan nama kedua belas Imam yaitu riwayat Ath Thuusiy dalam kitabnya Al Ghaibah. Hadis ini kami bahas karena kami melihat terdapat salah seorang pembenci Syi’ah yang juga membahasnya dalam tulisan khusus.

Disini kami akan berusaha membahas secara objektif bagaimana sebenarnya kedudukan hadis tersebut berdasarkan standar ilmu hadis Syi’ah. Berikut hadis yang dimaksud.

أخبرنا جماعة عن أبي عبد الله الحسين بن علي بن سفيان البزوفري عن علي بن سنان الموصلي العدل عن علي بن الحسين عن أحمد بن محمد بن الخليل عن جعفر بن أحمد المصري عن عمه الحسن بن علي عن أبيه عن أبي عبد الله جعفر بن محمد عن أبيه الباقر عن أبيه ذي الثفنات سيد العابدين عن أبيه الحسين الزكي الشهيد عن أبيه أمير المؤمنين عليه السلام قال قال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم في الليلة التي كانت فيها وفاته لعلي عليه السلام يا أبا الحسن أحضر صحيفة ودواة. فأملا رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم وصيته حتى انتهى إلى هذا الموضع فقال يا علي إنه سيكون بعدي اثنا عشر إماما ومن بعدهم إثنا عشر مهديا، فأنت يا علي أول الاثني عشر إماما سماك الله تعالى في سمائه عليا المرتضى، وأمير المؤمنين، والصديق الأكبر، والفاروق الأعظم، والمأمون، والمهدي، فلا تصح هذه الأسماء لاحد غيرك يا علي أنت وصيي على أهل بيتي حيهم وميتهم، وعلى نسائي: فمن ثبتها لقيتني غدا، ومن طلقتها فأنا برئ منها، لم ترني ولم أرها في عرصة القيامة، وأنت خليفتي على أمتي من بعدي فإذا حضرتك الوفاة فسلمها إلى ابني الحسن البر الوصول فإذا حضرته الوفاة فليسلمها إلى ابني الحسين الشهيد الزكي المقتول فإذا حضرته الوفاة فليسلمها إلى ابنه سيد العابدين ذي الثفنات علي، فإذا حضرته الوفاة فليسلمها إلى ابنه محمد الباقر فإذا حضرته الوفاة فليسلمها إلى ابنه جعفر الصادق، فإذا حضرته الوفاة فليسلمها إلى ابنه موسى الكاظم، فإذا حضرته الوفاة فليسلمها إلى ابنه علي الرضا، فإذا حضرته الوفاة فليسلمها إلى ابنه محمد الثقة التقي، فإذا حضرته الوفاة فليسلمها إلى ابنه علي الناصح، فإذا حضرته الوفاة فليسلمها إلى ابنه الحسن الفاضل، فإذا حضرته الوفاة فليسلمها إلى ابنه محمد المستحفظ من آل محمد عليهم السلام فذلك اثنا عشر إماما، ثم يكون من بعده اثنا عشر مهديا، (فإذا حضرته الوفاة) فليسلمها إلى ابنه أول المقربين له ثلاثة أسامي: اسم كإسمي واسم أبي وهو عبد الله وأحمد، والاسم الثالث: المهدي، هو أول المؤمنين


Telah mengabarkan kepada kami jama’ah dari Abi ‘Abdullah Husain bin Aliy bin Sufyaan Al Bazuufariy dari Aliy bin Sinaan Al Maushulliy Al ‘Adl dari Aliy bin Husain dari Ahmad bin Muhammad bin Khaliil dari Ja’far bin Ahmad Al Mishriy dari pamannya Hasan bin Aliy dari Ayahnya dari Abi ‘Abdullah Ja’far bin Muhammad dari Ayahnya Al Baqir dari Ayahnya [Aliy bin Husain] dziy tsafanaat sayyidul ‘aabidiin dari Ayahnya Husain Az Zakiy Asy Syahiid dari Ayahnya amirul mukminin [‘alaihis salaam] yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam] berkata kepada Aliy [‘alaihis salaam] pada malam menjelang kewafatannya “wahai Abul Hasan ambilkan kertas dan tinta” maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam] membacakan wasiatnya sampai akhirnya Beliau berkata “wahai Aliy, akan ada setelahku dua belas Imam dan setelah mereka ada dua belas Mahdi, Allah menyebutmu dalam langit-Nya Aliy Al Murtadha, Amirul Mukminin, Shiddiq Al Akbar, Faaruuq Al A’zham, Al Ma’mun dan Al Mahdiy, dan sebutan ini tidak diberikan kepada orang lain selain engkau. Wahai Aliy engkau adalah washiy-ku atas ahlul baitku hidup dan mati mereka dan juga atas istri-istriku, barang siapa diantara mereka yang aku pertahankan maka ia akan berjumpa denganku kelak, dan barang siapa yang aku ceraikan maka aku berlepas diri darinya, ia tidak akan melihatku dan aku tidak akan melihatnya di padang mahsyar. Wahai Aliy engkau adalah khalifahku untuk umatku sepeninggalku, maka jika telah dekat kewafatanmu maka serahkanlah kepada anakku Al Hasan Al Birr Al Wushuul dan jika telah dekat kewafatannya maka ia serahkan kepada anakku Al Husain Asy Syahiid Az Zakiy yang akan terbunuh, dan jika telah dekat kewafatannya maka ia serahkan kepada anaknya Muhammad Al Baqir dan jika telah dekat kewafatannya maka ia serahkan kepada anaknya Ja’far Ash Shadiq dan jika telah dekat kewafatannya maka ia serahkan kepada anaknya Muusa Al Kaazhim dan jika telah dekat kewafatannya maka ia serahkan kepada anaknya Aliy Ar Ridha dan jika telah dekat kewafatannya maka ia serahkan kepada anaknya Muhammad Ats Tsiqat At Taqiy dan jika telah dekat kewafatannya maka ia serahkan kepada anaknya Aliy An Naashih dan jika telah dekat kewafatannya maka ia serahkan kepada anaknya Al Hasan Al Fadhl dan jika telah dekat kewafatannya maka ia serahkan kepada anaknya Muhammad, orang yang terpelihara dari keluarga Muhammad [‘alaihis salaam]. Mereka itulah kedua belas Imam dan setelahnya akan ada dua belas Mahdiy, maka jika dekat kewafatannya maka ia serahkan kepada anaknya yang pertama dan paling dekat, ia memiliki tiga nama yaitu nama sepertiku dan nama ayahku Abdullah dan Ahmad dan nama yang ketiga adalah Al Mahdiy dan ia adalah orang pertama yang beriman [Al Ghaibah Syaikh Ath Thuusiy 150-151 no 111].

Riwayat di atas juga disebutkan Al Majlisiy dalam Bihar Al Anwar 36/260. Hadis ini berdasarkan ilmu Rijal Syi’ah kedudukannya dhaif jiddan bahkan maudhu’ karena di dalam sanadnya terdapat:
  1. Aliy bin Sinaan Al Maushulliy seorang yang majhul.
  2. Aliy bin Husain yang meriwayatkan dari Ahmad bin Muhammad bin Khalil tidak didapatkan keterangannya dari kitab Rijal Syi’ah.
  3. Ahmad bin Muhammad bin Khalil seorang yang dhaif jiddan, pendusta, pemalsu hadis.
  4. Ja’far bin Ahmad Al Mishriy tidak dikenal kredibilitasnya dalam kitab Rijal Syi’ah maka kedudukannya majhul.
  5. Hasan bin Aliy dan Ayahnya tidak didapatkan keterangannya dari kitab Rijal Syi’ah.
Jadi hanya Aliy bin Sinaan, Ahmad bin Muhammad bin Khalil, dan Ja’far bin Ahmad Al Mishriy yang disebutkan biografinya dalam kitab Rijal Syi’ah tanpa ada keterangan mengenai kredibilitas mereka.

Aliy bin Sinaan Al Maushulliy disebutkan dalam kitab Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits bahwa ia seorang yang majhul [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits Muhammad Al Jawahiriy hal 398].

Ja’far bin Ahmad Al Mishriy disebutkan oleh Asy Syahruudiy dalam Mustadrakat Ilm Rijal dengan lafaz “mereka [para ulama] tidak menyebutkan tentangnya, ia meriwayatkan dari pamannya Hasan bin Aliy dari Ayahnya dari maula kami Ash Shadiq dan telah meriwayatkan darinya Ahmad bin Muhammad bin Khalil” [Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadits 2/143 no 2533, Syaikh Aliy Asy Syahruudiy].

أحمد بن محمد بن الخليل أبو عبد الله لم يذكروه، وقع في طريق الشيخ عن علي بن الموصلي، عن علي بن الحسين، عنه، عن جعفر بن محمد المصري، عن عمه الحسين بن علي، عن أبيه، عن الصادق


Ahmad bin Muhammad bin Khalil Abu ‘Abdullah, mereka [para ulama] tidak menyebutkan tentangnya, terdapat dalam jalan Syaikh [Ath Thuusiy] dari Aliy bin Al Maushulliy dari Aliy bin Husain darinya dari Ja’far bin Muhammad Al Mishriy dari pamannya Husain bin Aliy dari Ayahnya dari Ash Shaadiq [Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadits 1/434 no 1532, Syaikh Aliy Asy Syahruudiy].

Begitulah yang disebutkan oleh Asy Syahruudiy tetapi sebenarnya kalau diteliti lebih lanjut maka Ahmad bin Muhammad bin Khalil adalah Ahmad bin Muhammad Al Khaliliy Al ‘Amiliy. Syaikh Ath Thuusiy menyebutkan dalam kitab Al Ghaibah salah satu hadis dengan sanad berikut:

وأخبرنا جماعة، عن التلعكبري، عن أبي علي أحمد بن علي الرازي الأيادي قال أخبرني الحسين بن علي، عن علي بن سنان الموصلي العدل، عن أحمد بن محمد الخليلي، عن محمد بن صالح الهمداني


Dan telah mengabarkan kepada kami Jama’ah dari At Tal’akbariy dari Abi Aliy Ahmad bin Aliy Ar Raaziy Al Iyaadiy yang berkata telah mengabarkan kepadaku Husain bin Aliy dari Aliy bin Sinaan Al Maushulliy Al ‘Adl dari Ahmad bin Muhammad Al Khaliliy dari Muhammad bin Shalih Al Hamdaaniy…[Al Ghaibah Ath Thuusiy hal 147 no 109].

Riwayat Ath Thuusiy di atas menunjukkan bahwa Aliy bin Sinaan juga meriwayatkan dari Ahmad bin Muhammad Al Khaliliy tanpa perantara,  kemudian disebutkan dalam riwayat berikut:

حدثنا أبو الحسن علي بن سنان الموصلي المعدل، قال أخبرني أحمد بن محمد الخليلي الآملي، قال حدثنا محمد بن صالح الهمداني، قال


Telah menceritakan kepada kami Abu Hasan Aliy bin Sinan Al Maushulliy Al Mu’adl yang berkata telah mengabarkan kepadaku Ahmad bin Muhammad Al Khaliliy Al Aamiliy yang berkata telah menceirtakan kepada kami Muhammad bin Shalih Al Hamdaaniy yang berkata…[Muqtadhab Al ‘Atsar Ahmad bin ‘Ayaasy Al Jauhariy hal 10].

Kedua riwayat di atas membuktikan bahwa Ahmad bin Muhammad bin Khalil yang dimaksud adalah Ahmad bin Muhammad Al Khaliliy Al ‘Amiliy. Para ulama Rijal Syi’ah telah menyebutkan tentangnya.

أحمد بن محمد أبو عبد الله الآملي الطبري ضعيف جدا، لا يلتفت إليه


Ahmad bin Muhammad Abu ‘Abdullah Al ‘Amiliy Ath Thabariy dhaif jiddan, tidak perlu dihiraukan dengannya [Rijal An Najasyiy hal 96 no 238].


أحمد بن محمد، الطبري، أبو عبد الله، الخليلي الذي يقال له غلام خليل، الآملي كذاب، وضاع للحديث، فاسد [المذهب] لا يلتفت إليه


Ahmad bin Muhammad Ath Thabariy Abu ‘Abdullah Al Khaliliy yang dikatakan padanya ghulaam Khalil Al ‘Amiliy seorang pendusta, pemalsu hadis, jelek mazhabnya tidak perlu dihiraukan dengannya [Rijal Ibnu Ghada’iriy hal 42].


أحمد بن محمد، أبو عبد الله الخليلي، الذي يقال له غلام خليل، الآملي الطبري ضعيف جدا، لا يلتفت إليه، كذاب وضاع للحديث، فاسد المذهب


Ahmad bin Muhammad Abu ‘Abdullah Al Khaliliy, dikatakan padanya ghulam Khalil, Al ‘Amiliy Ath Thabariy dhaif jiddaan tidak perlu dihiraukan dengannya, pendusta, pemalsu hadis, jelek mazhabnya [Khulashah Al ‘Aqwaal Allamah Al Hilliy hal 323-324 no 20].

Oleh karena itu pendapat yang rajih Ahmad bin Muhammad bin Khalil adalah Ahmad bin Muhammad Al Khaliliy Al ‘Amiliy seorang yang dhaif jiddaan pendusta dan pemalsu hadis.

Berdasarkan pembahasan di atas maka tidak diragukan kalau kedudukan hadis wasiat yang disebutkan Syaikh Ath Thuusiy dalam Al Ghaibah di atas adalah dhaif jiddaan bahkan maudhu’.

Memang jika diperhatikan dengan baik matan riwayat tersebut termasuk aneh atau gharib dalam sudut pandang mazhab Syi’ah karena riwayat di atas menyebutkan bahwa ada dua belas Imam kemudian akan ada dua belas Mahdiy. Dalam aqidah ushul mazhab Syi’ah yang pernah kami baca dalam kitab-kitab mereka terdapat keterangan mengenai Imamah kedua belas imam ahlul bait tetapi tidak ada disebutkan mengenai dua belas Mahdiy yang akan datang setelah kedua belas Imam. Bahkan yang shahih dalam mazhab Syi’ah bahwa Mahdiy yang dimaksud adalah Imam kedua belas.

Adapun Salah seorang pembenci Syi’ah yang kami sebutkan sebelumnya, ia membawakan riwayat Ath Thuusiy dalam tulisannya dan berdalil dengan riwayat tersebut untuk menunjukkan bahwa Aisyah [radiallahu ‘anha] salah seorang istri Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah ahli surga.
Pada awalnya kami cukup gembira melihat hadis ini karena hadis ini menunjukkan bahwa dalam kitab Syi’ah terdapat dalil yang membuktikan bahwa Aisyah [radiallahu ‘anha] adalah ahli surga. Maka kami berusaha meneliti untuk membuktikan keshahihan hadis tersebut tetapi ternyata sayang sekali riwayat tersebut sangat lemah sekali di sisi mazhab Syi’ah. Hal ini membuktikan bahwa anda para pembaca harus selalu berhati-hati dengan tulisan-tulisan para pembenci Syi’ah, silakan teliti lebih lanjut dengan objektif untuk mengetahui kebenarannya karena mereka para pembenci Syi’ah pada dasarnya bukan sedang bertujuan mencari kebenaran tetapi hanya ingin menyebarkan syubhat untuk merendahkan mazhab Syi’ah.

Memang kami dapati ada ulama Syi’ah mencela Aisyah [radiallahu ‘anha] tetapi kami dapati pula sebagian ulama Syi’ah lain menahan diri bahkan mengharamkan untuk mencelanya karena Beliau adalah istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Oleh karena itu tidak mungkin merendahkan keseluruhan mazhab Syi’ah hanya berdasarkan tindakan ulama Syi’ah tertentu padahal terdapat juga para ulama Syi’ah lain yang menentangnya.
Adapun dalam pandangan dan keyakinan kami, Aisyah [radiallahu ‘anha] adalah istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang Mulia, istri Beliau baik di dunia dan akhirat kelak. Hanya saja kami tetap mengakui bahwa bersamaan dengan kemuliaannya ia telah melakukan kesalahan ketika memerangi Imam Aliy [‘alaihis salaam] pada saat perang Jamal.

Note : Saya akan senang sekali jika ada para pengikut Syi’ah yang dapat menunjukkan hadis shahih dalam mazhab Syi’ah yang memuat pujian atau keutamaan Aisyah [radiallahu ‘anha].

4. Umar suatu waktu berpidato di atas mimbar sambil mengatakan: “Wahai sekalian manusia, ada tiga hal yang diperbolehkan di zaman Rasulullah dan saya melarang dan mengharamkan semuanya. Ketiga hal itu adalah nikah mut’ah, haji tamattu’ dan mengucapkan ‘Hayya ‘Al-khair al-amal.

Allah yang Maha Besar Lagi Maha Agung berfirman dalam Surah Annisa ayat 24: 
….Dan dihalalkan bagi kamu (selain perempuan yang diharamkan untukmu) untuk mencari istri²  dengan hartamu untuk dikawini demi melindungi dirimu (daridosa), bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang yang telah kamu nikmati (istamta’tum) setelah suatu perjanjian, maka berikanlah kepada mereka maharnyasebagai suatu kewajiban. Dan bukanlah dosa bagi kamu terhadap apa yang telahkalian saling merelakannya (untuk memperpanjang perjanjian itu) setelah memenuhi kewajibanmu (yang pertama). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi maha Bijaksana.”.


Pada ayat tersebut, istilah bahasa Arab yang sama dengan kata “nikah” ataupun istilah turunannya, belum pernah digunakan sebelumnya. Tetapi, kata “mut’ah” yang berarti kenikmatan, kesenangan atau nikah sementara telah digunakan di ayat ini yaitu pada kata “Istamta’tum.” Kata “istamta’tum” adalah kata kerja ke sepuluh dari akar kata m-t-a. Seperti yang akan kita lihat, kataistamta’ juga telah banyak digunakan di dalam kumpulan tafsir Sunni tentang nikah mut’ah.

Tentunya, mut’ah juga merupakan salah satu bentuk pernikahan,tetapi peraturan-peraturannya berbeda dengan nikah da’im, termasuk kebolehan pasangan dalam nikah mut’ah itu untuk memperpanjang pernikahan mereka denganperjanjian yang menguntungkan keduanya seperti yang dinyatakan pada akhir ayattersebut di atas. Lebih jauh lagi, jika kita melihat beberapa komentar Sunni terhadap masalah mut’ah, banyak mufassir seperti halnya Fakhr Ar Razi menyatakan bahwa ayat 4:24 itu diturunkan sehubungan dengan nikah mut’ah.Mereka mengatakan dengan terang-terangan bahwa nikah mut’ah menjadi halalberdasarkan ayat tersebut, tetapi kemudian menegaskan bahwa nikah mut’ahdilarang setelah itu.

Suatu hal yang mengherankan adalah banyaknya mufassir Sunni yangmengomentari ayat tersebut dengan menyebutkan sebuah hadits bahwa Imam ‘Ali binAbi Thalib ra mengatakan: “Mut’ah adalah suatu karunia dari Allah. Sekiranya tidak ada Umar yang melarangnya, maka tidak akan orang yang berzina kecualiyang benar-benar bejat (shaqi).”.

Silahkan merujuk pada beberapa kitab tafsirSunni berikut: 1. Tafsir Al-Kabir, oleh al-Tsa’labi, komentar tentang ayat 2:242. Tafsir Al-Kabir, oleh Fakhr al-Razi, V3, hal. 200, komentar tentang ayat2:24 3. Tafsir Al-Kabir, oleh Ibn Jarir al-Tabari, komentar tentang ayat 2:24dengan silsilah perawi yang otentik, V8, hal. 178, hadits no. 9042 4. Tafsiral-Durr al-Mantsur, oleh al-Suyuti, V2, hal. 140, dari beberapa perawi 5.Tafsir al-Qurtubi, V5, hal. 130, komentar tentang ayat 2:24 6. Tafsir IbnHayyan, V3, hal. 218, komentar tentang ayat 2:24 7. Tafsir Nisaburi, olehAl-Nisaburi (abad kedelapan) 8. Ahkam al-Quran, oleh Jassas, V2, hal. 179,komentar tentang ayat 2:24 9.

Beberapa sumber yang diceritakan oleh Ibn Abbas yang telah disebutkan olehTabari dan Tha’labi dalam tafsir mereka. Hal yang menarik untuk diperhatikanadalah bahwa Umar tidak menisbatkan pelarangan Mut’ah kepada Rasulullah Saww,tetapi justru menisbatkan pelarangan itu kepada dirinya sendiri. Banyak sahabatyang menyaksikan bahwa Umar yang telah melakukan pelarangan tersebut. Umar dengan jelas mengatakan: “Mut’ah telah diperbolehkan oleh Rasulullah (Saww) dan kemudian saya melarangnya.”.

Seorang tokoh Sunni yang besar, Fakhr al-Razi yang digelari Imam al-Musyaqqiqin (pemimpin orang² ragu) di dalam sebuah tafsirnya yang tebalketika mengomentari ayat tentang nikah mut’ah menjelaskan: Umar berkata: “Ada dua mut’ah yang diperbolehkan pada zaman Rasulullah Saww dan saya melarang keduanya. Keduamut’ah itu adalah haji tamattu’ dan nikah mut’ah dengan perempuan.” Silahkan merujuk pada referensi Sunni di dalam: 1. Tafsir al-Kabir oleh Fakhr –al-razi,V3, hal. 201, pada ayat 4:24 2. Musnad Ahmad bin hambal, V1, hal. 52.

Perhatikan bahwa mut’ah terdiri dari dua jenis yaitu nikah mut’ah dan haji tamattu’. Jenis yang kedua ini adalah salah satu cara pelaksanaan ibadah haji yang tidak ada hubungannya dengan tata cara suatu pernikahan. Kedua jenis mut’ah ini dilakukan pada zaman Rasulullah Saww, zaman pemerintahan Abu Bakar,dan kemudian keduanya dilarang oleh Umar. Di dalam Alquran, ada ayat yangmenjelaskan bahwa haji tamattu’ dapat dilakukan. Namun, penjelasan hajitamattu’ atau haji mut’ah ini bukanlah bidang kajian kita dalam tulisan ini.

Umar sendiri tidak mengatakan bahwa nikah mut’ah dilarang sendiri oleh Rasulullah Saww. Jika sekiranya Rasulullah sendiri yang melarang nikah mut’ah tersebut, maka semestinya Umar mengatakan:”Kedua mut’ah itu diperbolehkan dan kemudian dilarang pada zaman Rasulullah,karnanya saya memberitahukan kalian bahwa Rasulullah telah menetapkan hukumkedua (tentang pelarangannya) yang menghapus hukum yang pertama (tentang pembolehannya)”. Tetapi kita dapat melihat dengan jelas bahwa Umar dengan terang-teranganmenisbatkan pelarangan itu pada dirinya sendiri dan menetapkan bahwa mut’ah ituharam.

Al-Zamakhsyari, seorang mufassir Sunni yang lain pada komentarnya tentang ayat 4:24 mengatakan bahwa ayat ini adalah ayat muhkamat dari Alquran. Beliau merujukkanpendapatnya pada pendapat Ibn Abbas. (Tafsir al-Kasysyaf oleh Zamakhsyari, V1,hal. 519).

Baik Ibn Jarir al-Tabari maupun Zamakhsyari menyebutkan bahwa: “al-Hakam IbnAyniyah pernah ditanyai apakah ayat tentang nikah mut’ah telah dimansukh. Saatitu beliau menjawab ‘Tidak’”. Silahkan lihat di dalam sumber Sunni : 1. TafsirTabari, komentar tentang ayat 2:24, V8, hal. 178 2. Tafsir al-Kasysyaf,komentar tentang ayat 2:24, V1, hal. 519.

Ibn Katsir juga menjelaskan dalam tafsirnya: “Bukhari mengatakan bahwa Umar telah melarang setiap orang untuk melakukan nikah mut’ah”. Lihat referensiSunni dalam Tafsir Ibn Katsir, V1, hal. 233. Di dalam tafsir Sunni yang lain disebutkan bahwa: Umar suatu waktu berpidato di atas mimbar sambil mengatakan: “Wahai sekalian manusia, ada tiga hal yang diperbolehkan di zaman Rasulullah dan saya melarang dan mengharamkan semuanya. Ketiga hal itu adalah nikah mut’ah, haji tamattu’ dan mengucapkan ‘Hayya ‘Al-khair al-amal.“.
Referensi Sunni: 1. Syarh al-Tajrid oleh al-Fadhil al-Qosyaji (bagian Imamah) 2.Al-Mustaniran oleh Tabari 3. Al-Mustabin oleh Tabari 4. Sekedar catatan, halketiga yang dilarang oleh Umar seperti yang disebut dalam kutipan di atasadalah ucapan di dalam adzan dan qamat setelah kalimat Hayya ala al-falah.

Meskipun ucapan ini telah dilarang oleh Umar di masa pemerintahannya, tetapi mazhab Syi’ah masih mempraktekkannya sampai saat ini. Kalimat itu berarti “mari berlomba-lomba menuju amal yang baik.” Kalimat ini telah dihilangkan oleh Umar dan kemudian digantikannya dengan kalimat: Ash-Shalatu Khairun min an-naum yangberarti “shalat lebih baik daripada tidur” (khusus pada azan shalat subuh,pent.).

Menarik untuk diketahui, ada beberapa tokoh Sunni yang menerima bahwa nikah mut’ah diperbolehkan dan dihalalkan selama-lamanya berdasarkan ayat Alquran.Salah satu diantaranya adalah seorang tokoh Tunisia, Syaikh al-Tahir Ibn Asyarpada tafsirnya tentang ayat 4:24. (Lihat al-Tahrir wa al-Tanwir oleh Syaikhal-Tahir Ibn Asyar, V3, hal. 5).

Di samping itu, banyak tokoh² lain yang berpikiran terbuka dimanamereka tidak memperbolehkan otoritas pemimpin²nya mempengaruhikeputusan mereka. Beberapa orang ada yang mencoba membuat keraguan arti kata”mut’ah” dengan mengatakan bahwa secara literal, mut’ah berarti kesenangan dan tidak secara spesifik menunjukkan suatu jenis pernikahan. Orang² ini,bukannya mencari defenisi praktis tentang mut’ah di dalam sejarah, hadits, ataupun hukum; justru mereka mencari kamus bahasa Arab.

Padahal, di dalam kamus bahasa Arab itu sendiri dituliskan bahwa pengertianpraktis mut’ah adalah pernikahan sementara atau nikah mut’ah. Semua mazhabSyi’ah dan Sunni setuju dengan pengertian ini. Al-Qurtubi, salah seorangmufassir terkenal dari mazhab Sunni menulis: “Tidak ada perselisihan seluruh mazhab, apakah dari golongan Salaf ataupun Khalaf, bahwa mut’ah adalah suatu pernikahan dalam interval waktu tertentu yang tidak mencakup pemberian warisan.”.

Mengganti defenisi praktis dengan pengertian linguistik adalah suatu halyang sangat berbahaya dan dilarang oleh hukum agama karena mempunyai implikasi yang luas. Misalnya, ketika seseorang mengatakan bahwa shalat berarti pujian atau permohonan, maka hal itu dapat diartikan bahwa seseorang tidak perlu melakukan pujian itu setiap hari (padahal shalat itu wajib dilakukan lima kalisehari semalam); atau ketika zakat berarti ‘mensucikan’, maka seseorang tidak perlu mengeluarkan zakat dengan uang atau lainnya (karna pengsucian tidakberarti memberikan sesuatu dengan uang atau sejenisnya). Ini benar² pengertian yang sangat rancu.

Kemungkinan, orang-orang tersebut tidak pernah membaca riwayat yang berhubungan dengan “mut’ah” dalam pengertian yang sangat praktis pada zaman Rasulullahdan zaman kekhalifahan awal, juga mereka mungkin tidak mengetahui bagaimana sebagian sahabat Rasulullah melakukan nikah mut’ah hanya dengan segenggam kurma sebagai maharnya. Bahkan di dalam Shahih Bukhari yang berbahasa Inggris,”mut’ah al-nisa’” diterjemahkan dengan arti ‘temporary marriage’ (pernikahan sementara) dan “istimta’a” diartikan dengan ‘marrying temporarily’ (menikah sementara).

Di dalam dua kitab Shahih inilah dimuat riwayat² yang menjelaskanpengertian ini secara terperinci. (Silahkan merujuk pada Bagian Kedua untuk melihat secara lengkap riwayat masalah ini dalam Shahih Bukhari dan ShahihMuslim). Apakah orang² tersebut memang belum pernah mendengar tentangnikah mut’ah di dalam sejarah Islam? Beberapa orang yang lain juga memberikankerancuan tentang arti ayat nikah mut’ah (4:24) dengan mengatakan bahwa, kata”istamta’a” dalam ayat itu merujuk pada penyempurnaan pernikahan da’im setelah pemberian mahar.

Cara yang terbaik untuk mengerti tentang ayat tersebut adalah; pertama, mengerti bahasa Arab dengan benar (karena kadang padanan yang benar² tepat dalam bahasa yang lain tidak ditemukan); kedua,membandingkan komentar² yang ada sehubungan dengan masalah tersebut (tanpa terlebih dahulu membuat pemihakan); dan yang ketiga, melihat kembali semua riwayat yang berhubungan dengan nikah mut’ah untuk mengetahui apakahistilah “istamta’a” itu sudah pernah digunakan. Jika kita telah melalui ketiga tahapan ini dan telah memperhatikan semua pendapat yang berbeda², maka kita semakin dekat dengan sasaran klarifikasi pengertian kita dalam masalah ini.

Kita telah melihat beberapa rujukan dari tafsir² Sunni di mana paramufassir sepakat bahwa ayat 4:24 diturunkan untuk menjelaskan tentang nikahmut’ah bahkan mereka juga telah menyebutkan beberapa riwayat ketikamengomentari ayat tersebut. Lantas, bagaimana mungkin ayat ini dimaksudkanuntuk menjelaskan nikah da’im? Apakah mungkin beberapa tokoh² Sunni itusudah tidak bisa berfikir secara logis lagi dalam melihat permasalahan ini?Pada pembahasan selanjutnya akan ditunjukkan riwayat² yang lebih banyaklagi dari mazhab Sunni dalam komentar mereka tentang ayat 4:24 ini.

Di dalam Shahih Muslim disebutkan, seorang sahabat Rasulullah Saww, JabirIbn Abdillah al-Ansari mengatakan : “Istamta’a berarti menikah sementara” (Lihat Shahih Muslim, versi Bahasa Inggris, V2, Bab DXLI dengan judul:Temporary Marriage (Nikah Mut’ah), hadits 3246. Juga silahkan merujuk padabagian kedua untuk teks bahasa Arabnya secara lengkap). Jabir ternyata tidakmenghubungkan kata “istamta’a” dengan penyempurnaan pernikahan secara umum.

Di dalam ayat 4:24 Allah berfirman, “……Dan bukanlah dosa bagi kamu terhadapapa yang telah kalian saling merelakannya (untuk memperpanjang perjanjian itu)setelah memenuhi kewajibanmu (yaitu mahar pada perjanjian yang pertama)”. Kesepakatan kedua belah pihak setelah kewajiban dipenuhi yang dimaksud dalam ayat di atas merujuk pada perpanjangan masa pernikahan sementara setelah mahar yang pertama telah diberikan kepada perempuan. Dengan demikian, perempuan tersebut dapat memilih dengan bebas apakah dia akan memperpanjang masa pernikahan mereka atau tidak tanpa ada paksaan.

Dengan cara ini, Allah ingin mempertegas bahwa nikah mut’ah akan memberikan manfaat yang lebih baik lagi jika pasangan nikah mut’ah memperpanjang masanya(atau bahkan melanjutkannya ke pernikahan da’im) dengan memberikan mahar yang baru setelah mahar yang pertama telah ditunaikan.

Ibn Jarir al-Tabari dalam tafsirnya menuliskan: “Beberapa riwayatmenyebutkan bahwa arti dari ‘….Dan bukanlah dosa bagi kamu terhadap apa yang telah kalian saling merelakannya setelah memenuhi kewajibanmu…’ adalah: ‘Wahai sekalian manusia, bukanlah dosa bagi kalian untuk saling menyetujui antara kamudan perempuan yang telah kalian merasakan kesenangan bersama² dalam suatu pernikahan sementara, untuk memperpanjang masa pernikahan kalian jika perjanjian yang pertama telah berakhir, dengan memberikan mahar yang lebih banyak lagi sebagai kewajiban sebelum kalian meninggalkan mereka.’.

Al-Suddi ra menceritakan: “Dan bukanlah dosa bagi kalian terhadap apa yang kalian sepakati setelah memenuhi persyaratan perjanjian di antara kalian. Jika suami menginginkan untuk memperpanjang perjanjiannya, maka dia dapat meminta istrinya untukmembuat perjanjian yang baru setelah memberikan mahar yang pertama sebelum masanikah mut’ah itu berakhir. Dia dapat mengatakan kepada istrinya: ‘Saya akanmenikah mut’ah dengan kamu dengan syarat ini dan syarat yang itu.’ Lalu dia memperpanjang masa nikah mut’ah mereka sebelum dia meninggalkan istrinya karenaperjanjian yang pertama telah berakhir. Inilah yang dimaksud dalam ayat ini.”(Riwayat 9046). Rujukan dari mazhab Sunni: Tafsir al-Tabari oleh Ibn Jariral-Tabari, komentar tentang ayat 4:24, V8, hal. 180.

Alasan yang lain untuk menunjukkan bahwa mahar yang disebutkan dalam ayatini bukanlah untuk pernikahan da’im adalah karna Alqur’an telah membicarakan tentang mahar untuk pernikahan da’im pada bagian awal di surat yang sama denganmenyebutkan firman Allah: “Nikahilah olehmu perempuan yang kamu senangi dua, tiga atau empat, tetapi jika kamu merasa bahwa kamu tidak mampu berbuat adil (terhadap mereka), maka pilihlah satu saja…..” (4:3) Demikian juga, Allah telah menjelaskan ketika berfirman: “Dan berikanlah perempuan itu maharnya (padapernikahan da’im) sebagai hadiah buat mereka” (4:4) Ayat² ini menjelaskan tentang pernikahan da’im dan mahar yang berhubungan dengannya. Sehingga, adalah suatu hal yang tidak perlu jika Allah harus mengulangi masalah mahar ini di surat yang sama.

Tetapi, jika memang Allah ingin menjelaskan tentang nikah mut’ah pada ayat4:24, maka tentunya penjelasan mahar ini adalah untuk masalah yang baru. Halini dapat dilihat dari kata yang digunakan oleh Allah Swt pada ayat tentangnikah mut’ah (4:24) yang diambil dari turunan akar kata “mut’ah” yang jelasberbeda dengan kata-kata yang digunakan pada ayat yang lain di dalam surat An-Nisa. Allahberfirman: “…(Kecuali perempuan-perempuan yang diharamkan bagimu untuk menikahinya) Dan dihalalkan bagi kamu untuk mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini demi melindungi dirimu (dari dosa), bukan untuk berzina. Maka istri² yang yang telah kamu nikmati (istamta’tum) setelah suatuperjanjian, maka berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban. Dan bukanlah dosa bagi kamu terhadap apa yang telah kalian saling merelakannya(untuk memperpanjang perjanjian itu) setelah memenuhi kewajibanmu (yang pertama). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi maha Bijaksana.” (4:24).

Dengan demikian, Allah menjelaskan jenis-jenis pernikahan yang berbeda-bedaitu dengan membagi penjelasan dalam tiga bagian di dalam surat An-Nisa’. Bagian pertama menjelaskan tentang nikah da’im pada ayat sebelum 4:24, bagian keduatentang pernikahan mut’ah pada ayat 4:24, serta bagian ketiga tentang pernikahan dengan budak perempuan pada ayat 4:25. Allah Swt berfirman: “Dan barangsiapa diantara kamu(orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini perempuan merdeka dan beriman, maka ia boleh mengawini perempuan beriman dari budak² yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu, sebagian kamu dari sebagian yang lainnya; karena itu kawinilah mereka (budak² itu) dengan seizin tuan mereka dan berilah mahar kepada mereka dengan cara yang pantas sedang merekapunadalah perempuan² yang memelihara dirinya, bukan pezina dan bukan pulaperempuan yang mengambil laki² sebagai peliharaannya. Dan apabila merekatelah menjaga dirinya melalui pernikahan, tetapi kemudian megerjakan perbuatan keji (zina), maka hukumannya adalah setengan dari hukuman perempuan merdekayang bersuami. (Kebolehan menikahi budak² perempuan) itu adalah bagi orang² yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) diantaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu.

Allah Maha Pengampun lagi MahaPenyayang.” (4:25) Pada ayat ini Allah menyebutkan mahar yang berhubungan dengan budak perempuan.
Allah menyebutkan masalah mahar ini sebanyak tiga kalidalam tiga bagian ayat² di atas; pertama untuk pernikahan da’im, keduauntuk pernikahan mut’ah dan terakhir untuk pernikahan dengan budak perempuan.Sekali lagi, untuk mempertegas bahwa ayat 4:24 diturunkan sehubungan dengannikah mut’ah, maka kami menunjukkan beberapa hadits lagi dari mufassir Sunni.

Tabari meyebutkan bahwa Mujahid ra mengatakan: “Yang dimaksud dengan ‘maka istri² yang yang telah kamu nikmati (istamta’tum) setelah suatu perjanjian’dalam ayat (4:24) adalah nikah mut’ah.” Referensi Sunni: Tafsir At-Tabari olehIbn Jarir al-Tabari, komentar tentang ayat 4:24, V8, hal. 176, Hadits 9034.

Bahkan, di dalam banyak tafsir Sunni yang lain, disebutkan hadits yang samadengan yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari (lihat Bagian Kedua) denganpenjelasan yang lebih terinci ketika menjelaskan tentang ayat 4:24. Imran IbnHusain menceritakan: “Ayat 4:24 tentang nikah mut’ah telah diturunkan oleh Allah di dalam Alqur’an, dan tidak ada satupun ayat yang diturunkan untuk me-mansukh-kannya; bahkan, Rasulullah Saww menyuruh kami melakukan nikah mut’ahsehingga kamipun melakukannya pada zaman Rasulullah masih hidup dan tidak pernah sekalipun Rasulullah melarangnya sampai Beliau meninggal. Tetapi,seseorang(yang telah melarang nikah mut’ah) menunjukkan keinginannya sendiri.”.
Silahkan lihat dalam beberapa referensi Sunni: 1. Tafsir al-Kabir, oleh al-Tsa’labi,komentar tentang ayat 4:24. 2. Tafsir al-Kabir, oleh Fakhr al-Razi, komentartentang ayat 4:24, V3, hal. 200 dan 202 3. Tafsir Ibn Hayyan, V3, hal. 218,komentar tentang ayat 4:24 4. Tafsir al-Nisaburi, oleh al-Nisaburi (abad kedelapan).

Karena itu sangat jelas bahwa, Imran Ibn Husain membicarakan masalah nikah mut’ah dalam kutipan ini. Jika tidak, tidak mungkin para mufassir Sunni tersebut menempatkan riwayat ini pada penjelasan mereka tentang ayat 4:24.Beberapa hadits yang lainpun, dapat pula dijadikan bukti-bukti bahwa ayat 4:24 menjelaskan tentang nikah mut’ah.

Di dalam banyak tafsir Sunni, kalimat “untuk waktu yang tertentu” telah ditambahkan pada ayat 4:24 setelah kata “istamta’tum” sehingga ayat itu terbaca’maka istri² yang yang telah kamu nikmati (istamta’tum) setelah suatuperjanjian untuk waktu yang tertentu.” Kalimat ini haruslah diartikan sebagaitafsiran terhadap ayat Alqur’an, bukan bagian dari ayat tersebut. Seperti yangkita ketahui, banyak ayat² Allah yang diturunkan tetapi tidak dimasukkan kedalam Alqur’an karena ayat² tersebut hanyalah penjelasan dan bukan merupakan bagian dari Al-Quran itu sendiri.

Seperti yang kita ketahui bahwa hadits Qudsi juga merupakan firman Allah tetapi bukan bagian dari Alquran. Bahkan Alqur’an sendiri mengatakan bahwa semua perkataan Rasulullah Saww adalah wahyu. Allah berfirman: “Dan tiadalah yang diucapkan (Muhammad) itu menuruti kemauan hawa nafsunya sendiri. Ucapannya itu tiada lain kecuali apa yang telah diwahyukan (Allah) kepadanya” (53:3-4).

Oleh karena itu, semua perkataan Rasulullah Saww adalah wahyu dan pasti tidakbertentangan dengan Alqur’an. Hal itu juga mencakup penjelasan Beliau tentang Al-Qur’an dan sunnah Beliau. Sekarang kita lihat kembali hadits yang ingin kami tunjukkan.

Diceritakan bahwa Abu Nadhra berkata: “Ibn Abbas (RA) membaca ayat4:24 dengan tambahan kalimat ‘untuk waktu yang tertentu.’ Saya kemudian bertanya padanya: ‘Saya tidak membaca ayat itu seperti kamu membacanya.’ Ibn Abbas menjawab: ‘Saya bersumpah dengan nama Allah, seperti inilah Allah menurunkan nya’ dan Ibn Abbas mengulangi pernyataannya tiga kali.”Lihat dalamre ferensi Sunni: 1. Tafsir al-Kabir, oleh Ibn Jarir al-Tabari, komentar tentangayat 4:24, V8, hal. 177, Hadits 9038 2. Tafsir al-Kabir, oleh al-Tsa’labi,komentar tentang ayat 4:24 yang sama dengan hadits yang diriwayatkan oleh Jubair.

Dan juga Abu Nadhra mengatakan: “Saya menanyakan kepada Ibn Abbas tentangnikah mut’ah kemudian Ibn Abbas menjelaskan: ‘Pernahkah kamu membaca ayat: ….Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (istamta’tum) dengan perjanjiandalam suatu waktu tertentu…’. Maka saya berkata:  ‘Jika sekiranya saya membaca seperti caramu, maka pasti saya tidak menanyakannya lagi kepadamu.’.

Kemudian Ibn Abbas berkata: ‘Memang ayat itu untuk menjelaskan tentangnikah mut’ah’”. Lihat referensi Sunni dalam al-Kabir oleh Ibn Jarir al-Tabaripada komentar tentang ayat 4:24, V8, hal. 177, Hadits 9036 – 9037.

Dan juga diceritakan bahwa al-Suddy ra mengatakan: “Ayat yang berbunyi ‘Dan mereka yangtelah kamu nikmati melalui perjanjian dalam suatu waktu tertentu’ adalah menjelaskan tentang nikah mut’ah, yaitu seorang laki-laki menikahi seorang perempuan dengan jumlah mahar tertentu untuk suatu waktu yang tertentu pula dandisaksikan oleh dua orang saksi. Dan jika perempuan itu masih gadis (perawan),maka laki-laki tesebut harus meminta izin kepada wali perempuan. Ketika periodepernikahan mereka sudah berakhir, maka mereka secara langsung akan berpisahtanpa saling mewarisi satu sama lain.” Referensi Sunni adalah Tafsir al-Kabiroleh Ibn al-Tabari, komentar tentang ayat 4:24, V8, hal. 176, Hadits 9033.

Abu Karib menceritakan bahwa Yahya berkata: “Saya melihat sebuah bukubersama Nasir yang menuliskan: ‘Dan mereka yang telah kamu nikmati melalui perjanjian dalam suatu waktu tertentu.’” Lihat dalam referensi Sunni: 1. Tafsiral-Kabir Ibn Jarir al-Tabari pada ayat 4:24, hal. 176-177, Hadits 9035 2.Tafsir al-Kabir al-Tsa’labi pada ayat 4:24 yang menceritakan riwayat yang samadari Abi Thabit.

Salah seorang sahabat Rasulullah yang lain yakni Ubay Ibn Ka’ab (yang dalam sumber² Sunni dikatakan bahwa Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk mempercayainya karna pemahamannya yang dalam tentang Al-Qur’an, dimana beliau juga adalah sebagai salah seorang dari tiga orang yangterpercaya dalam bidang ini, lihat Shahih Bukhari, edisi Bahasa Inggris, V6, Hadits 521) juga menambahkan kalimat pada ayat 4:24 seperti penambahan yangdilakukan oleh Ibn Abbas. Qatadah ra mengatakan: “Ubay ibn Ka’ab membaca ayat4:24 adalah’…. dan mereka yang telah kamu nikmati melalui perjanjian dalam suatu waktu tertentu.”’ Referensi Sunni adalah Tafsir al-Kabir Ib Jarir al-Tabari, komentar tentang ayat 4:24, V8, hal. 178, Hadits 9041.

Adzan didalam Sistem Ahlul Bait.



أَللهُ أَكْبَرُ
(Allōhu akbar) 4 kali
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أللهُ
(Asyhadu allā ilāha illallōh) 2 kali
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
(Asyhadu anna Muhammadan rōsulullōh) 2 kali
أَشْهَدُ أَنَّ عَلِيًّا وَلِيُّ اللهِ
(Asyhadu anna ‘Aliyyan waliyullōh) 2 kali
حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ
(Hayya ‘alash Sholāh) 2  kali

حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ
(Hayya ‘alal falāh) 2 kali
حَيَّ عَلَى خَيْرِ الْعَمَلِ
(Hayya ‘alā khoiril ‘amal) 2 kali
أَللهُ أَكْبَرُ
(Allōhu akbar) 2 kali
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
(Lā ilāha illallōh) 2 kali

Iqamah

 

 أَللهُ أَكْبَرُ

(Allōhu akbar) 2 kali
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أللهُ
(Asyhadu allā ilāha illallōh) 2 kali
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
(Asyhadu anna Muhammadan rōsulullōh) 2 kali
أَشْهَدُ أَنَّ عَلِيًّا وَلِيُّ اللهِ
(Asyhadu anna ‘Aliyyan waliyullōh) 2 kali
حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ
(Hayya ‘alash Sholāh) 2 kali
حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ
(Hayya ‘alal falāh) 2 kali

حَيَّ عَلَى خَيْرِ الْعَمَلِ
(Hayya ‘alā khoiril ‘amal) 2 kali
قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ
(Qod qōmatish sholāh) 2 kali
أَللهُ أَكْبَرُ
(Allōhu akbar) 2 kali
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
(Lā ilāha illallōh) 1 kali

Hakikat Azan Syiah.


Pembakaran dan penjarahan terhadap madrasah dan rumah kaum Syiah di Madura yang dilakukan sekelompok orang dengan mengatasnamakan Islam suni menjadi salah satu alasan mengapa saya menulis tentang masalah azan. Pasalnya, salah seorang yang disebut ulama setempat mengatakan, “Syiah dan suni di Iran sama-sama besar sehingga sering terjadi konflik… Azan mereka itu ditambahi dengan kalimat hayya ala khairil ‘amal dan asyhadu anna ‘Aliyyan waliullah.”

Pertanyaannya, benarkah Syiah dan suni di Iran sama-sama besar (dalam jumlah), karena menurut data jumlah Syiah di sana bisa mencapai 95%? Benarkah azan Syiah ditambahi dengan tiga syahadat? Apakah setelah mendengar pernyataan so-called ulama tersebut bulat-bulat kemudian otomatis darah dan harta kelompok Syiah menjadi halal?

Mengapa orang Syiah yang katanya musyrik tetap mengucapkan tiada tuhan selain Allah dalam azannya? Mengapa orang Syiah yang katanya meyakini Jibril salah memberi wahyu tetap menyatakan asyhadu anna Muhammad rasulullâh? Apakah hayya ‘alâ khairil ‘amal buatan Syiah? Tulisan yang dibuat sesederhana dan sesingkat mungkin ini dimaksudkan untuk saling mengenal tanpa perasangka, bukan memperkeruh suasana. Semoga bermanfaat.

Sejarah Azan Ahlusunah.

Setidaknya lima kali dalam sehari kita mendengar azan. Tapi bagaimana asal-muasal azan menurut mayoritas umat muslim? Ketika kaum muslim secara jumlah semakin banyak, Rasulullah kebingungan[1] tentang bagaimana menyampaikan waktu salat. Maka beliau mengajak para sahabat untuk bermusyawarah.
Ada yang mengusulkan supaya dikibarkan bendera. Ada juga yang mengusulkan supaya ditiup trompet seperti yang biasa dilakukan oleh pemeluk agama Yahudi. Ada lagi yang mengusulkan supaya dibunyikan lonceng seperti yang dilakukan orang Nasrani. Ada juga seorang sahabat yang menyarankan untuk menyalakan api pada tempat yang tinggi agar orang bisa melihat cahaya dan asapnya. Lalu ada usul dari Khalifah Umar bin Khattab untuk menunjuk satu orang sebagai pemanggil kaum muslim untuk salat.[2]

Tapi bagaimana hal itu dilakukan dan apa lafaznya? Dalam riwayat Abu Daud[3], Abdullah bin Zaid dalam mimpinya melihat seseorang datang membawa lonceng. Ia bertanya, “Wahai hamba Allah, apakah engkau menjual lonceng itu?” Orang itu menjawab, “Apa yang akan engkau lakukan dengan lonceng ini?” Aku jawab, “Dengannya kami memanggil orang-orang untuk salat.” Orang itu berkata, “Maukah aku beri tahu cara yang lebih baik dari pada itu?” Abdullah bin Zaid menjawab, “Tentu.” Ia berkata, “Ucapkanlah:

Allâhu Akbar Allâhu Akbar. Asyhadu an-lâ ilâha illallâh (2 kali). Asyhadu anna Muhammada Rasûlullâh (2 kali). Hayya ‘alâ ash-shalâh (2 kali). Hayya ‘ala al-falâh (2 kali). Allâhu Akbar Allâhu Akbar. Lâ ilaha illallâh.

Setelah tiba waktu subuh, Abdullah bin Zaid menemui Rasulullah dan memberitahukan apa yang dilihatnya dalam mimpi. Beliau berkata, “Insya Allah, mimpimu benar.” Maka Rasul perintahkan untuk mengajarkan kepada Bilal. Umar bin Khattab yang sedang berada di rumah ternyata mendengarnya. Ia keluar dan berkata, “Demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan kebenaran. Sungguh aku juga memimpikan apa yang dimimpikannya.”[4] Demikianlah secara singkat sejarah mengenai asal-usul pensyariatan azan menurut beberapa riwayat Bukhari, Abu Daud, maupun At-Tirmidzi.

Kita tidak tahu mengapa Rasulullah—pribadi yang diberi karunia besar berupa pengetahuan dari Allah—menjadi tidak tahu bagaimana cara menyeru orang salat. Kita juga tidak tahu mengapa seruan salat—sebagai ibadah utama dan bukan muamalat—disyariatkan melalui mimpi beberapa manusia biasa dan bukan nabi itu sendiri. Kita pun tidak tahu siapa yang mendatangi Abdullah bin Zaid dalam mimpinya. Namun, demikianlah riwayat masyhur tentang awal pensyariatan azan menurut jumhur.

Sejarah Azan Ahlulbait.

Menurut mazhab ahlulbait azan disyariatkan pada tahun pertama hijriah, yang terdiri dari dua bagian: pertama, pemberitahuan tentang masuknya waktu; kedua, azan untuk salat wajib yang lima.[5] Jika menurut ahlusunah azan disyariatkan melalui mimpi Ibnu Zaid dan ditetapkan Rasulullah, menurut ahlulbait azan ditetapkan melalui wahyu Allah yang disampaikan kepada nabi melalui Jibril, sama seperti salat dan ibadah lainnya.

Dalam I’tisham bi Al-Kitab wa As-Sunah, Syekh Subhani mengutip riwayat dari Imam Al-Baqir a.s. yang berkata:
لمّا أُسري برسول اللّه (صلى الله عليه وآله وسلم) إلى السماء فبلغ البيت المعمور، وحضرت الصلاة، فأذّن جبرئيل (عليه السلام) وأقام فتقدم رسول اللّه (صلى الله عليه وآله وسلم) وصفَّت الملائكة والنبيون خلف محمّد صلى الله عليه وآله وسلم
Ketika Rasulullah melakukan isra ke langit, beliau sampai ke Baitul Makmur. Lalu tiba waktu salat. Maka Jibril a.s. melantunkan untuk mengerjakan salat dan membaca ikamah. Kemudian Rasulullah saw. maju ke depan, lalu para malaikat dan para nabi berbaris di belakang Muhammad saw.

Seorang ulama ahlusunah, Al-Muttaqi Al-Hindi, dalam Kanz Al-’Ummal meriwayatkan dari Zaid bin Ali:

أنَّ رسول الله عُلِّمَ الأذان ليلة المسرى ، وبه فُرِضَت عليه
Sesungguhnya azan diajarkan kepada Rasulullah pada malam isra, dan difardukan (salat) kepadanya.

Begitu juga di dalam bukunya mengenai fikih Imam Jafar Ash-Shadiq, Syekh Jawad Mughniyah menuliskan bahwa Imam Shadiq berazan sebagai berikut:

Allâhu Akbar Allâhu Akbar (2 kali). Asyhadu an-lâ ilâha illallâh (2 kali). Asyhadu anna Muhammadar Rasûlullâh (2 kali). Hayya ‘alâ ash-shalâh (2 kali). Hayya ‘ala al-falâh (2 kali). Hayya ‘alâ khair al-’amal (2 kali). Allâhu Akbar Allâhu Akbar. Lâ ilaha illallâh (2 kali).


Apanya yang Berbeda?

Para imam fikih ahlusunah berbeda mengenai jumlah lafaz azan. Azan dengan 15 kalimat dipilih Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad. Azan dengan 17 kalimat dipilih oleh Imam Malik. Azan dengan 19 kalimat dipilih Imam Syafii. Demikian yang disebutkan dalam situs muslim.or.id. Membandingkan dua azan di atas, maka perbedaan sebenarnya hanya ada di kalimat hayya ‘alâ khair al-’amal, yang nanti akan kita singgung sekilas.

Lalu di mana kalimat asyhadu anna ‘Aliyyan waliullah? Sebenarnya kalimat tersebut tidak pernah dan tidak akan menjadi bagian dari azan, demikianlah ijmak ulama Syiah ahlulbait. Barang siapa yang mengucapkannya dengan niat bahwa itu bagian dari azan, berarti ia telah membuat bidah dalam agama dan telah memasukkan sesuatu yang di luar agama ke dalam agama. Mengutip kitab Al-Lum’ah dan syarahnya yang ditulis Syahid Awal dan Syahid Tsani (dua fakih Syiah), Syekh Mughniyah menulis:[6]


Tidak boleh meyakini disyariatkannya selain apa yang telah ditetapkan sebagai lafal-lafal azan dan ikamah, seperti kesaksian bahwa Ali adalah wali Allah dan kesaksian bahwa Muhammad dan keluarganya adalah sebaik-baik manusia, sekalipun kenyataannya memang demikian. Setiap kenyataan tidak berarti boleh dimasukkan dalam ibadah yang terpaku pada ketentuan Allah Swt. Karena itu merupakan bidah dan pembuatan syariat sendiri, sama halnya menambah rakaat atau tasyahud dalam salat…

Jadi, pengucapan itu diniatkan bukan sebagai bagian dari azan. Sebagaimana tidak bolehnya orang Syiah melafazkan syahadat ketiga dalam bacaan tasyahud salat atau tidak bolehnya ahlusunah melantunkan salawat kepada sahabat nabi dalam bacaan tasyahud salat, tetapi cukup kepada nabi dan keluarganya. Saya berharap, sampai di sini, kita masih bisa melanjutkan perkenalannya.

Mari Melakukan Amal Terbaik.

Demikianlah terjemahan hayya ‘alâ khair al-’amal. Di antara hadis yang menjelaskan tentang kalimat tersebut dalam azan termuat dalam Sunan Al-Baihaqî (jil. 1, hal. 424), salah satunya:

حاتم بن إسماعيل عن جعفر بن محمد عن أبيه أن علي بن الحسين كان يقول في أذانه إذا قال حي على الفلاح قال حي على خير العمل ويقول هو الأذان الأول
Hatim bin Ismail dari Jafar bin Muhammad dari ayahnya, sesungguhnya Ali bin Husain dalam azannya setelah mengucap hayya ‘ala al-falâh dilanjutkan dengan hayya ‘alâ khair al-’amal. Ia berkata, “Demikianlah al-adzân al-awwal.”

“Azan pada awalnya” yang dimaksud adalah azan pada zaman rasul. Selain dari cucu nabi, Ali bin Husain, hadis juga diriwayatkan berasal dari Ibnu Umar dan Sahal bin Hunaif. Namun satu riwayat di atas saya anggap cukup, karena sepertinya, riwayat tersebut tidak dianggap kuat sehingga tidak menjadi bagian dari azan sekarang.

Berdasarkan beberapa riwayat, Sayid Syarafuddin mengatakan[7] bahwa penghapusan kalimat hayya ala khairil ‘amal terjadi setelah zaman rasul saw. Hal itu dilakukan untuk membangkitkan semangat jihad kaum muslim. Jika diserukan bahwa salat adalah “amal yang paling baik” maka akan menghambat orang awam untuk melaksankan jihad. Terlihat dalam kecenderungan pemerintahan setelah rasul adalah perluasan wilayah ke berbagai penjuru negeri.

Demikianlah pembahasan mengenai azan yang coba disampaikan secara singkat. Tulisan ini bukan bertujuan untuk menyalahkan atau membenarkan pihak mana pun, tetapi—sekali lagi—untuk mengenal pendapat dari berbagai macam mazhab, karena setiap madrasah pemikiran memiliki sumber penyimpulan hukumnya masing-masing. Semoga dengan perkenalan ini tidak lagi terjadi hal-hal yang merusak persatuan umat Islam. Insya Allah.

Karena di bulan Safar ini kita akan memperingat 40 hari wafatnya cucu nabi di Karbala, tulisan tentang azan akan saya tutup dengan sebuah riwayat mengenai Imam Ali Zainal Abidin. Setelah peristiwa Karbala dan rombongan keluarga Rasulullah saw. sampai di Madinah, Ibrahim bin Thalhah bin Ubaidillah mencemooh Imam Ali Zainal Abidin a.s. seraya berkata, “Hai Ali bin Husain, siapakah yang menang di dalam perang ini?!” Imam Ali Zainal Abidin dengan tegas menjawab, “Bila kau ingin tahu siapa yang menang, maka ketika masuk waktu salat, kumandangkanlah azan dan ikamah! (Kau akan mengetahui siapa yang menang dari nama yang disebut).”[8] Wallahualam.

Adzan dan iqamah.


SOAL 450:
Di desa kami juru adzan selalu mengumandangkan adzan subuh pada bulan Ramadhan beberapa menit sebelum memasuki waktu agar orang-orang dapat makan dan minum sampai pertengahan adzan atau usainya. Apakah benar perbuatan demikian?

JAWAB:
Jika adzan tersebut tidak membuat masyarakat salah menduga dan bukan sebagai pengumuman terbitnya fajar, maka tidak dipermasalahkan (la isykal).

SOAL 451:
Sebagian orang demi melaksanakan tugas amar ma’ruf dan nahi munkar mengumandangkan adzan bersama-sama di jalan-jalan umum, alhamdulillah kegiatan ini memberikan pengaruh yang sangat besar dalam menghalangi kerusakan yang dilakukan secara terbuka di lingkungan daerah dan mengarahkan orang-orang terutama para pemuda untuk melaksanakan shalat pada awal waktu, namun seseorang menyebutkan bahwa perbuatan ini tidak ada dalam syari’ah Islam dan merupakan perbuatan bid’ah. Pendapat ini menimbulkan kebingungan. Apa pendapat Anda tentang hal ini?

JAWAB:
Mengumandangkan adzan sebagai pemberitahuan untuk shalat pada awal waktu-waktu shalat faridhah harian dan mengeraskan suara saat membacanya serta mengikuti bacaan adzan bagi yang mendengarnya tergolong hal-hal yang sangat dianjurkan (al-mustahabbah al-akidah). Mengumandangkan adzan secara bersama-sama di sekitar jalan-jalan diperbolehkan selama tidak menyebabkan pelecehan, menutup jalan dan mengganggu orang.

SOAL 452:
Karena mengumandangkan adzan merupakan perbuatan ritual-politis dan mengandung pahala yang besar, orang-orang mukmin bertekad mengumandangkan adzan tanpa pengeras suara dari atas loteng rumah-rumah mereka setiap kali tiba waktu shalat fardhu, terutama shalat subuh. Pertanyaannya, apa hukum melakukan hal itu apabila sebagian tetangga menentangnya?

JAWAB:
Mengumandangkan adzan dengan cara yang lazim dari atas loteng tidak ada masalah (la isykal)

SOAL 453:
Apa hukumnya menyiarkan acara-acara khusus saat sahur bulan Ramadhan, kecuali adzan subuh, melalui pengeras suara di masjid agar seluruh masyarakat dapat mendengarnya?

JAWAB:
Bila itu dilakukan di tempat-tempat yang sebagian besar warganya tidak tidur di malam hari bulan suci Ramadhan untuk membaca Al-Qur’an, doa-doa dan mengikuti upacara-upacara keagamaan dan sebagainya, maka diperbolehkan (la isykal). Namun, bila mengganggu tetangga, maka hal itu tidak diperbolehkan.

SOAL 454:
Apakah diperbolehkan menyiarkan ayat-yat Al-Qur’an di masjid-masjid dan pusat-pusat keagamaan sebelum tiba waktu subuh dan menyiarkan doa-doa setelah subuh dengan suara yang keras sekali sehingga mencapai jarak beberapa kilometer padahal hal itu terkadang berlangsung lebih dari setengah jam?

JAWAB:
Boleh menyiarkan adzan secara wajar sebagai pengumuman akan masuknya waktu shalat fardhu subuh melalui pengeras suara. Namun, bila penyiaran ayat-ayat Al-Qur’an, doa dan lainnya pada waktu kapan pun melalui pengeras suara di masjid menggangu tetangga, maka hal itu tidak memiliki pembenaran secara syar’iy, bahkan bermasalah. (fihi isykal).

SOAL 455:
Apakah boleh lelaki mencukupkan dirinya dengan adzan wanita untuk shalat?

JAWAB:
Mencukupkan diri dengan adzan wanita bagi orang laki-laki bermasalah (mahallu isykal)

SOAL 456:
Apa pendapat Anda tentang syahadah (kesaksian) ke tiga atas kepemimpinan dan wilayah sang penghulu para washiy (as) dalam adzan dan iqamah untuk shalat fardhu?

JAWAB:
Mengucapkan “Asyhadu anna ‘Aliyyan Waliyyullah” sebagai syiar dan lambang tasyayyu’ adalah baik dan penting serta harus dengan niat mendekatkan diri secara muthlaq, namun bukan bagian dari adzan dan iqamah

SOAL 457:
Selama beberapa waktu saya merasa kesulitan dengan sakit pinggang yang menimpa saya, bahkan kadang-kadang saya merasakan sangat sakit, sehingga tidak memungkinkan untuk sholat dengan berdiri. Dengan memperhatikan masalah tersebut apakah boleh saya sholat di awal waktu dengan duduk,padahal kalau saya bersabar sampai akhir waktu mungkin saya dapat melakukannya dengan berdiri, apa tugas saya?

JAWAB: Jika Anda memberikan kemungkinan, bahwa pada akhir waktu akan dapat melakukan sholat dengan berdiri, maka berdasarkan ihtiyath Anda wajib bersabar, namun jika pada awal waktu disebabkan alasan tersebut Anda melakukan sholat dengan duduk, kemudian sampai akhir waktu alasan (sakit/udzur) tersebut belum hilang, maka sholat yang telah Anda lakukan dihukumi sah dan tidak perlu diulang. Lain halnya jika Anda dari awal waktu mengira,bahwa udzur Anda akan berlangsung sampai akhir waktu dan Anda lakukan sholat dengan duduk, lalu udzur Anda hilang sebelum akhir waktu, maka Anda harus mengulang sholat dengan berdiri.

Bersaksi atas keimamahan Ali as.


Kalimat “wali” memiliki banyak makna. Yang paling penting dari makna tersebut sebagai berikut.
A.Pengayom
B. Sahabat
C. Penolong dan penyokong

Kendati masing-masing dari tiga makna ini benar terkait dengan Baginda Ali As, akantetapi dengan memperhatikan beberapa riwayat yang disebutkan dalam masalah iniyang dimaksud dengan redaksi kalimat ini pada azan adalah makna yang pertama;artinya Ali [adalah] wali, pengayom, pertama dan terutama dalam masalahkhilafah dan wilâyah ini merupakan delegasi dari Tuhan kepadanya sebagaimanapada makna “Muhammadan Rasulullah” yaitu Muhammad merupakan rasul yang diangkatdari sisi Tuhan.

Namunmengucapkan teks ‘Aliyyan Waliyullah merupakan bagian dari azan ataukah bukan?Jawabannya adalah berdasarkan riwayat Ahlulbait dan fatwa fukaha Syiah. Azanterdiri dari 18 kalimat yang kalimat “Asyhâdu anna ‘Aliyyan Waliyullâh” tidaktermasuk dari bagian azan ini dan tidak boleh diniatkan sebagai bagian dariazan.

Untukmenjawab pertanyaan ini secara seksama kami akan membaginya menjadi tiga bagianpertanyaan. Kemudian sesuai runutan bagian tersebut, kami akan menjawabpertanyaan tersebut.
1.Apakah dasar penyebutan “Ali Waliyullah” itu benar adanya atau merupakan ucapanyang keliru dan batil?
2.Apabila benar adanya apakah kalimat ini merupakan bagian dari azan atau tidak?
3.Apabila tidak termasuk bagian dari azan apakah penyebutannya tanpa disertainiat (bagian) dari azan tidak dibolehkan?

Untuk menjawab bagian pertama pertanyaan kiranya kita harus membedah makna dan pengertian kalimat “wali”.




MaknaWali.

Kalimat wali memiliki ragam makna yang akan kita singgung makna yang lebih penting dari makna-makna yang ada.

A. Walibermakna pengayom dan penanggung jawab, sebagaimana pada banyak ayat al-Qur’andigunakan dengan makna ini seperti: Tidak ada bagimu selain dari-Nya seorangpenolong pun dan tidak (pula) seorang pemberi syafaat (QS. Al-Sajdah [32]:4).

B.Bermakna sahabat atau kawan[1] yangjuga disebutkan dalam al-Qur’an dengan makna ini seperti: Dan tidaklah samakebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik,maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia terdapat permusuhanseolah-olah telah menjadi kawan (wali) yang sangat setia (QS.Al-Fushshilat [41]:34).

C.Bermakna penolong dan pembantu.[2] Dalamal-Qur’an dinyatakan, Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,sebagian mereka adalah penolong (wali) bagi sebagian yang lain (QS. Al-Taubah[9]:71).

Tak syaklagi, tiga makna yang dikemukakan di atas tidak ada masalah dalam penggunaanredaksi “Wali Allah” bagi orang-orang beriman pada makna kedua dan ketiga (kawandan penolong). Bahkan pada sebagian riwayat Ahlusunnah dan Syiah jugadisebutkan dengan makna sedemikian.[3]

Adapunterkait dengan makna pertama, harus dikatakan bahwa sebagian riwayat yangdisebutkan menyatakan bahwa Ali adalah wali, pengayom, lebih utama dalam urusanwilâyah sebagaimana kedudukan Rasulullah Saw. Akan tetapi ‘Ali Waliyullahbermakna Ali diangkat oleh Allah Swt untuk menduduki makam wilâyah dan pengayomumat sebagaimana disebutkan Muhammad Rasulullah dalam azan yang bermakna bahwaMuhammad adalah seorang rasul yang diangkat oleh Allah Swt.

Adapunpertanyaan kedua apakah penyebutan “Ali Waliyullah” merupakan bagian dari azanatau tidak?
Berdasarkansebagian riwayat Ahlulbait, azan terdiri dari 18 kalimat. Kalimat-kalimattersebut adalah sebagai berikut:
AllahuAkbar… Allahu Akbar… Allahu Akbar… Allahu Akbar
Asyhaduan lâ ilâha illallâh… Asyhadu an lâ ilâha illallâh
Asyhaduanna Muhammadan Rasûlullah… Asyahadu anna Muhammadan Rasûlullah…
Hayya‘ala al-Shalat… Hayya ‘ala al-Shalat…
Hayya‘ala al-Falah… Hayya ‘ala al-Falah…
Hayya‘ala Khair al-‘Amal… Hayya ‘ala Khair al-‘Amal…
AllahuAkbar... Allahu Akbar.. lâ ilâha illallah… lâ ilaha illallah [4]

Dengandemikian kalimat “Asyhadu Anna ‘Aliyyan Waliyullah” yaitu kesaksian ketigatidak termasuk bagian dari azan. Fukaha Syiah juga, berdasarkan riwayat semacamini, memberikan fatwa bahwa kalimat ini bukan merupakan bagian dari azan. ImamKhomeini Ra dalam hal ini berkata, “Azan terdiri dari delapan belas kalimat.Kalimat Allahu Akbar empat kali. Asyhadu an lâ ilâha illallah… Asyhadu annaMuhammadan Rasûlullah…Hayya ‘ala al-Shalat… Hayya ‘ala al-Falah… Hayya ‘alaKhair al-‘Amal… Allahu Akbar… lâ ilâha illallah… masing-masing dua kali.Kemudian Imam Khomeini mengimbuhkan bahwa kalimat “Asyhadu anna ‘AliyyanWaliyullah” bukan bagian dari azan dan ikamah. [5]

Selanjutnya,apakah penyebutan “Asyhadu Anna ‘Aliyyan WaliyulLah” membatalkan azan ataukahtidak?
Jelasbahas penyebutan syahadah ketiga dengan meniatkannya sebagai bagian dari azan(atau ikamah) bermasalah secara hukum. Sebagian berkata bahwa tidak ada masalahapabila disampaikan tidak serupa dengan kalimat-kalimat azan dan ikamah.[6] Puncak syubhat yang dapat dikemukakan di sini bolehjadi tambahan tersebut disebut sebagai bid’ah.

Akantetapi, dengan memperhatikan poin ini bahwa dalam makna bid’ah yang disebutkanadalah memasukkan sesuatu dalam agama yang tidak bersumber dari agama,[7] maka jika ada seseorang memandang syahadah inisebagai bagian dari azan dan menyampaikannya dalam azan maka ia telah melakukanperbuatan bid’ah dan haram. Namun, tidak satu pun fukaha Syiah yang memandangkalimat ini sebagai bagian dari azan. Dan, apabila disebutkan dalam azan yangtidak serupa dengan kalimat-kalimat azan dan ikamah, maka hal ini bukanlahbid’ah dan sama sekali tidak ada masalah.

Disamping itu, dalam teks-teks riwayat, kita menjumpai riwayat yang menandaskanbahwa tatkala Anda menyampaikan kesaksian terhadap risalah Rasulullah maka Andajuga harus menyampaikan kesaksian kepada wilâyah Amirul Mukminin Ali As.

Bagaimanapun,sebab pernyataan para fakih Syiah yang membolehkan penyebutan syahadah ketigaini tanpa diniatkan sebagai bagian dari azan adalah riwayat-riwayat yangmenyebutkan secara mutlak: “Ketika Anda menyampaikan syahadah kepada tauhid danrisalah, Anda juga harus menyampaikan syahadah kepada wilâyah Ali bin AbiThalib As dan riwayat-riwayat seperti itu bersifat mutlak, tidak muqayyad, makaia juga termasuk dalam azan baik pada azan dan ikamah juga pada selain azan daniqamah. Karena itu, ketika kesaksian terhadap tauhid dan risalah Rasulullah Sawdisampaikan, maka kesaksian kepada wilâyah Ali bin Abi Thalib juga telahdisampaikan dan hal ini tidak bermakna bagian dari azan.

Demikianjuga terdapat sebagian riwayat khusus yang menegaskan syahadah ketiga padaazan.[8] Karena itu,tidak ada masalah dalam hal penyebutan kalimat ’Aliyyan Waliyullah pada azandan talqin mayat, dengan memperhatikan kedudukan, derajat dan maqam Ali bin AbiThalib As[9] biladimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah (qurbah) atau tayammum dantabarruk (keduanya bermakna mengambil berkah) dan lain sebagainya (selainmenganggapnya sebagai bagian).

Disebutkanbahwa banyak ulama Ahlusunnah menyatakan bahwa kalimat “al-shalat khair minal-naum” bukan bagian dari azan dan merupakan kreasi di antara kreasi-kreasiKhalifah Kedua.
Dinukildari Malik bahwa muazin datang kepada Umar bin Khaththab untuk mengabarkannyatentang shalat subuh. Namun ia mendapati Umar sedang tidur. Ia berkata,“al-shalatu khairun min al-naum” (shalat lebih baik daripada tidur). Umarmemerintahkan muazin tersebut untuk memasukkan kalimat ini pada azan.[10]

Pertanyaanyang mengedepan adalah atas dasar apa pengulangan kalimat ini yang dilakukanoleh Ahlusunnah dalam azan Subuh mereka? Apakah hal ini dapat dibandingkandengan apa yang dilakukan oleh Syiah (ketika mengucapkan syahadah ketiga,kesaksian atas wilayah Ali) yang justru mendapatkan penegasan banyak riwayat.


Referensi:

[1] Abul Hasan Ali bin Muhammad Thabari Kiya Harasi, Ahkamal-Qur’ân, jil. 3, hal. 83, Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah, Beirut, 1405H.

[2] Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, jil. 15, hal.407, Dar Shadir, Beirut, Cetakan Ketiga, 1414 H.

[3] Abdurrahman bin Muhammad ibn Abi Hatim, Tafsiral-Qur’ân al-Azhim (Ibnu Abi Hatim), jil. 2, hal. 675, MaktabatNizar Musthafa al-Baz, Cetakan Ketiga, 1419 H.

[4] Syaikh Shaduq, Man Lâ Yahdhuruh al-Faqih,jil. 1, hal. 289-291, Jamiah al-Mudarrisin, Qum, 1413 H.

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّه
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً رَسُولُ اللَّهِ
حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ
حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ
حَيَّ عَلَى خَيْرِ الْعَمَلِ حَيَّ عَلَى خَيْرِ الْعَمَلِ
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ 

[5] Taudhih al-Masâil (al-Mahsyi lil Imâm Khomeini), jil. 1, hal.519, Masalah 918.

[6] Ibid.

[7] Husain binMuhammad, Raghib Isfahani, al-Mufradât fi Gharib al-Qur’ân,hal. 111, Dar al-‘Ilm al-Dar al-Syamiyyah, Cetakan Pertama, 1412 H.

[8] Terkait denganhal ini, silahkan lihat: “Syahadah Ketiga dalam Azan, Ikamah dan Shalat”.

[9] Untukmemperoleh keterangan lebih jauh terkait dengan hal ini, silahkan lihat indeksyang terdapat pada site ini: Penetapan Imam Ali As, Pertanyaan No. 1162;Al-Qur’an dan Imamah Imam Ali, Pertanyaan No. 1817.

[10] Malik, Muwattha,jil. 1, hal. 210, Site al-Islam, http://www.al-islam.com

(Sumber ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: