Kedamaian dan ketenteraman adalah hal yang urgen untuk kemajuan sebuah negara. Gejolak dan perang akan menimbulkan instabilitas serta menghambat bahkan menghentikan kemajuan dan pembangunan di berbagai bidang. Kekuatan imperialis memahami baik hal ini, dan selalu berusaha menciptakan gejolak antar negara dan menciptakan separah mungkin instabilitas bahkan perang antar negara. Dewasa ini, AS sebagai pemimpin kaum imperialis dan kekuatan adidaya terbesar dunia, menggulirkan politik konfrontatifnya ke seluruh penjuru dunia. Politik AS di Timur Tengah merupakan bukti nyata metode untuk menyulut perpecahan, instabilitas, dan krisis di berbagai kawasan di dunia ini.
Krisis paling kuno dan terpenting di Timur Tengah adalah masalah pendudukan Palestina oleh Rezim Zionis. Krisis ini tidak hanya menimbulkan ketegangan dan konflik antara Palestina dan Zionis, juga menyulut peperangan antara negara-negara Arab dan Rezim Zionis. Selama itu, AS selalu mendukung penuh Israel yang selalu menjadi biang seluruh gejolak dan krisis di kawasan. Dan hal itulah tujuan utama pembentukan Rezim Zionis di bumi Palestina. Tak heran jika dalam pertempuran Rezim Zionis melawan negara-negara Arab, AS menyuplai bantuan kepada Rezim Zionis. Tidak hanya itu, Washington juga berulangkali memveto resolusi Dewan Keamanan PBB yang menuntut dihentikannya aksi pendudukan atas Palestina dan pembantaian warga oleh Rezim Zionis. Akibat dukungan AS, Rezim Zionis bukan hanya menduduki Palestina melainkan mencaplok sebagian wilayah negara-negara tetangga.
Washington mendukung aksi-aksi teror Rezim Zionis serta pembantaian perempuan dan anak kecil Palestina. Dalam program-program Gedung Putih untuk merukunkan Palestina dan Rezim Zionis pun, hak dan kepentingan bangsa rakyat Palestina selalu terinjak-injak dan hanya kepentingan Rezim Zionis yang diperhatikan. Oleh karena itu, tak satupun dari program tersebut yang mencapai hasil bahkan aksi pembantaian warga Palestina dan krisis di kawasan semakin memburuk.
Politik perang dan konfrontatif AS di Timur Tengah, dapat disaksikan dalam serangan pasukan Rezim Zionis terhadap Lebanon. Dalam agresi tersebut, AS tampak sangat berpihak kepada rezim agresor dan berupaya mencegah negara-negara regional dan internasional untuk menciptakan gencatan senjata antara Hizbullah dan Israel. AS memanfaatkan agresi Israel ke Lebanon untuk mewujudkan program Timur Tengah Baru. Karena dalam program tersebut, rezim dan kelompok-kelompok penentang AS harus ditumpas. Guna mewujukan impian tersebut, Washington mempersenjatai tentara Rezim Zionis dalam melawan para pejuang Hizbullah. Namun keberanian dan pengorbanan para pejuang Hizbullah dan rakyat Lebanon berhasil mematahkan serangan Israel sekaligus membuyarkan impian AS.
Irak merupakan medan lain bagi antagonisme dan imperialisme AS di Timur Tengah. Tentera AS menginvasi Irak pada bulan maret 2003 atas dalih adanya senjata pembunuh massal di Irak. Seperti yang telah diprediksikan sebelumnya oleh para pengamat, senjata tersebut tak kunjung ditemukan di Irak namun AS tetap menduduki Irak demi merealisasikan kepentingan ilegalnya. Sejak masa pendudukan, Irak dihadapkan pada berbagai macam fenomena instabilitas dan kekecauan yang meluas. Selama itu pula, ratusan ribu warga Irak tak berdosa tewas dan cidera. Menurut para pengamat dan sejumlah pejabat tinggi Irak, kehadiran tentara AS merupakan faktor utama meningkatnya instabilitas di Irak.
Sehubungan dengan itu, beberapa waktu lalu PM Irak, Nuri Al Maliki menyebut tentara pendudukan sebagai faktor meningkatnya instabilitas di negaranya. Dijelaskannya pula bahwa kondisi tersebut dapat diatasi dalam tempo enam bulan jika Amerika bersedia menyerahkan persenjataan dan kontrol kepada tentara Irak. Pernyataan Al Maliki itu menunjukkan satu fakta bahwa tentara Amerika selain tidak bertindak memberantas serangan terorisme bahkan mencegah upaya pejabat Irak untuk mengakhiri kekerasan di negara ini. Karena jika stabilitas terwujud, maka tak tersisa alasan bagi tentara AS untuk tetap berada di Irak.
Selama ini, AS selalu berupaya menyulut friksi antar-etnis, bangsa, dan negara di Timur Tengah. Karena hal tersebut akan membuat negara-negara terkait kian bergantung pada AS. Saat ini pun, AS berusaha menciptakan perselisihan antara bangsa Arab, Persia, Kurdi dan Turki. Dalam hal ini, banyak masalah yang dijadikan dalih oleh Gedung Putih antara negara kawasan atas berbagai alasan seperti masalah teritori, historis, politik, ekonomi dan lain-lain. Pihak yang paling profesional dalam hal ini adalah Inggris dan kini meniru langkah Inggris. Dewasa ini, banyak kita saksikan munculnya perselisihan teritoris antar negara di kawasan yang merupakan warisan masa penjajahan.
Sebagaimana yang telah disebutkan, AS menggunakan masalah politik dalam memicu ketegangan regional. Sebagai contoh, di saat aktivitas tujuan damai program nuklir Iran diakui dan diawasi langsung oleh Badan Tenaga Energi Atom Internasional (IAEA), AS berusaha meyakinkan negara-negara di kawasan bahwa program nuklir Iran dapat mengancam kepentingan mereka. Propaganda Barat ini bertujuan menutupi bahaya program nuklir militer milik Rezim Zionis. Hal itu terjadi di saat esensi konfrontatif Rezim Zionis Israel sudah terkuak bagi masyarakat regional dan terbukti bahwa Tel Aviv takkan ragu untuk mengunakan senjata nuklirnya terhadap negara lain jika diperlukan.
Meski demikian, perlu ditekankan kembali bahwa negara-negara di kawasan juga memiliki fasilitas dan strategi dalam menghadapi propaganda AS. Persamaan budaya serta dan sumber minyak dan gas yang melimpah, merupakan poin unggul yang dimiliki masyarakat regional. Fasilitas yang memadai dan sumber daya manusia yang aktif dan energik di Timur Tengah, selain dapat dijadikan senjata ampuh dalam melawan intervensi pihak asing, juga dapat menyelesaikan seluruh masalah regional yang ada. Tentunya, hal itu dapat terwujud jika negara-negara di kawasan terlebih dahulu mengkristalkan persatuan, solidaritas, dan aspirasi mereka.
Wikileaks Dianggap Bersalah Secara Moral
Tuesday, 03 August 2010, 01:57 WIB
Tentara AS di Timur Tengah.
Aksi situs WikiLeaks yang membocorkan berbagai dokumen rahasia milik institusi negara maupun militer dianggap salah oleh Pemerintah Amerika Serikat (AS). Mereka pun terus mengerahkan para penyelidik untuk menelisik kebocoran rahasia itu.
"Setidaknya WikiLeaks bersalah secara moral atas pelepasan dokumen rahasia AS pada perang Afghanistan," ujar Menteri Pertahanan AS, Robert Gates, Ahad (1/8).
Situs ini dinilai tidak memperkirakan kerusakan yang mereka perbuat akibat pengungkapan berbagai nama dalam dokumen rahasia yang membawa dampak membahayakan bagi mereka.
Catatan rahasia perang Afghanistan milik militer itu memuat metode pengumpulan informasi intelijen AS beserta nama informan mereka di Afghanistan. Dampak yang dirasakan akibat hal ini, menurut Gates, adalah runtuhnya kepercayaan sumber-sumber intelijen AS di Afghanistan dan terancamnya keselamatan nyawa mereka.
Gates dan Laksamana Mike Mullen, pejabat tertinggi militer AS, muncul pada acara bincang-bincang di televisi di tengah kekhawatiran pemerintah AS bahwa WikiLeaks akan membocorkan dokumen lain yang dimilikinya.
"Sikap saya mengenai hal ini, menurut saya ada dua kesalahan. Salah satunya adalah kesalahan hukum dan itu wewenang Departemen Kehakiman dan lain-lain, bukan kapabilitas saya," tutur Gates dalam bincang-bincang dengan Christiane Amanpour. Kesalahan lainnya, lanjut dia, adalah kesalahan dari sisi moral.
"Di bidang itu menurut saya vonisnya, WikiLeaks bersalah. Mereka telah mempublikasikan sesuatu tanpa mempertimbangkan konsekuensinya pada orang-orang yang tak bersalah," ucap Gates.
Yang jelas dilepaskannya hampir 90 ribu dokumen ini meningkatkan keraguan atas strategi perang AS di Afghanistan.
Untuk saat ini penyelidikan AS fokus pada Bradley Manning, analis intelijen Angkatan Darat di Irak, yang didakwa membocorkan video rekaman tentara AS menembak warga Irak. Manning dianggap membocorkan video yang merekam penembakan 12 warga Irak, dua di antaranya wartawan Reuters, masuk kategori rahasia yang kemudian dipublikasikan oleh WikiLeaks.
Gates pun menghadapi cercaan dan kritik yang mengatakan AS tidak memiliki rencana untuk memenangkan perang. Padahal akhir tahun lalu pemerintah sepakat untuk mengerahkan 30 ribu pasukan tambahan ke Afghanistan. "Saya pikir strategi presiden adalah benar-benar jelas," kata Gates.
Gates membela diri dan menyatakan tujuan mereka jelas mencegah gerilyawan Taliban kembali berkuasa, menghambat akses mereka ke kota, dan mencegah Alqaidah kembali berkuasa di wilayah itu.
Mike Mullen, Kepala staf militer Gabungan, mengatakan, peluncuran dokumen tidak menyebbkan perubahan strategi perang. Salah satu dokumen yang dirilis oleh WikiLeaks memunculkan dugaan Taliban mungkin memiliki rudal Stinger untuk menembak jatuh pesawat AS. Ketika dikonfirmasi mengenai hal tersebut, Gates menyatakan ia tidak berpikir itu informasi yang benar.
(Abatasya/Republika/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email