Sempat ada kekhawatiran tentang prospek Lebanon pasca perang. Pasalnya di negara yang baru menundukkan kedigdayaan militer rezim Zionis Israel
itu, ada upaya gencar untuk memecah belah persatuan bangsa itu. Melalui
tangan kelompok-kelompok politik yang berseberangan dengan Hezbollah, AS dan Israel berupaya mengacaukan negara itu. Resolusi DK PBB 1701 yang berhasil menghentikan perang dijadikan alat untuk menekan Lebanon.
Sesuai dengan resolusi tersebut, rencananya PBB akan menempatkan 15
ribu tentara penjaga perdamaian di Lebanon selatan. Pasukan yang dikenal
dengan nama UNIFIL (United Nations Interim Force in Lebanon) ini bertugas mengawasi gencatan senjata dan menjaga keamanan di perbatasan antara Lebanon dan Israel alias Palestina Pendudukan. Namun AS
dan Israel berusaha memanfaatkan pasukan itu untuk melucuti senjata
Hezbollah, gerakan perlawanan rakyat muslim Lebanon yang berhasil
menekuk militer Zionis. Sayangnya di dalam negeri, ada kelompok-kelompok
yang berjalan seiring dengan langkah AS, terutama kelompok Aliansi 14
Maret 2006.
Menguatnya berbagai isu di Lebanon semisal perlucutan senjata Hezbollah, teror terhadap mantan Perdana Menteri Rafik Hariri, dan masalah Suriah memaksa Sekjen Hezbollah, Sayid Hassan Nasrollah dan dua sekutu dekatnya, Nabih Berri dan Michel Aoun
untuk menggulirkan ide pembentukan pemerintahan nasional bersatu yang
melibatkan semua kelompok dan faksi Lebanon. Dalam berbagai pesannya
Nasrollah menegaskan bahwa Lebanon memerlukan pemerintahan yang kuat,
tangguh dan resisten terhadap tekanan asing.
Semakin tajamnya friksi di dalam negeri sempat melahirkan
kekhawatiran akan kemungkinan pecahnya kembali perang saudara seperti
yang pernah terjadi dekade 1980-an. Namun berkat kearifan pemimpin
Hezbollah, Gerakan dan kelompok Kristen pimpinan Michel Aoun, krisis
yang dikhawatirkan relatif teredam. Buktinya, kelompok 14 Maret bersedia
duduk bersama dengan lawan politiknya yang biasa disebut aliansi 8
Maret untuk membahas soal pembentukan pemerintahan persatuan nasional.
Dalam beberapa waktu terakhir, para pemimpin Aliansi 14 Maret seperti Samir Ja’ja’, Walid Jumblatt, dan Saduddin Hariri,
menyatakan bahwa mereka tidak menuntut perlucutan senjata Hebzollah,
tetapi hanya mengimbau supaya ada pengawasan terhadap senjata-senjata
berat yang dimiliki gerakan moqawamah islamiyah ini. Pernyataan sikap
ini tentu mengecewakan bagi AS dan Israel yang berharap bisa melucuti
senjata Hezbollah lewat tangan orang-orang Lebanon sendiri. Yang lebih
mengecewakan tentu saja pernyataan Saduddin Hariri yang mendukung
Hezbollah tetap memegang senjata. Hariri bahkan mengatakan, “Senjata
Hezbollah diperlukan oleh rakyat Lebanon.”
Perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini di Lebanon menunjukkan kian
kuatnya posisi Hezbollah, bahkan di tengah kelompok Aliansi 14 Maret
yang notabene berseberangan dengannya. Bukan hanya itu, Aliansi 14 Maret
semakin kehilangan dukungan dan kekuatan menyusul terungkapnya banyak
dokumen tentang hubungan kelompok ini dengan AS dan Rezim Zionis
terutama selama perang 33 hari.
Untuk itu kelompok ini semakin lemah dan tidak mendapat tempat di
tengah rakyat Lebanon. Barat sulit berharap Aliansi 14 Maret bisa
mengambil sikap yang seratus persen berlawanan dengan Hezbollah.
Banyak faktor yang membuat posisi Hezbollah semakin kuat di Lebanon.
Pertama adalah penolakan tegas Michael Aun, pemimpin kubu mayoritas
Kristen terhadap tuntutan AS agar menjauhi Hezbollah. Kedua, pernyataan Amin Gemayel, yang disebut-sebut sebagai pemimpin kelompok Kristen Maronite,
yang mengumumkan diri keluar dari Aliansi 14 Maret. Dengan demikian,
dari kubu Kristen hanya Samir Ja’ja’ dan kelompoknya yang ada di Aliansi
ini. Selain kecil secara kuantitas, Ja’ja’ dan kelompoknya memiliki
reputasi buruk di tengah rakyat Lebanon.
Peristiwa penting ketiga yang mewarnai pentas politik Lebanon adalah
pernyataan sikap bersama tiga tokoh politik Kristen yaitu Aoun, Gemayel
dan Emile Lahoud untuk mendukung Hezbollah. Pernyataan sikap itu tentu saja memaksa Prancis
sebagai negara pengayom kelompok Kristen Lebanon untuk mengubah sikap
dan kebijakannya. Perubahan sikap Prancis ini praktis merusak
kesepakatan AS dan Prancis sebelum ini menyangkut Lebanon.
Ada pula peristiwa penting lainnya yaitu kegagalan Saduddin Hariri dan Fouad Siniora
untuk menggandeng tangan mufti Sunni Lebanon Syekh Mohammad Rashid
Qabbani. Mereka sebelum ini berharap bisa membujuk Qabbani agar
memisahkan diri dari Hezbollah. Bujukan itu tidak membuahkan hasil,
sebab Qabbani pada hari raya Idul Fitri yang lalu mengeluarkan fatwa
keharusan untuk mendukung Hezbollah.
Dukungan luas kepada Hezbollah sebenarnya sudah disadari oleh semua
kelompok. Buktinya, ketika Hezbollah mengumumkan akan menggelar pawai
kemenangan, sekitar satu setengah juta rakyat Lebanon memenuhi panggilan
itu. Karena itu, imbauan Hezbollah untuk membentuk pemerintahan
persatuan nasional semestinya dipenuhi. Sebab, Hezbollah bisa
menumbangkan pemerintahan Siniora hanya dengan mengeluarkan instruksi
untuk tidak bekerjasama dengan pemerintahan ini. Ajakan Hezbollah
menunjukkan itikad baik kelompok pimpinan Nasrollah ini untuk menjalin
persatuan nasional.
Lebanon saat ini tengah bergerak ke arah perubahan besar-besaran.
Salah satu yang terkena imbas perubahan ini adalah sistem penataan
negara yang didasarkan pada perjanjian Taif antara AS, Prancis,
negara-negara Arab dan faksi-faksi politik Lebanon saat itu. Kini,
dengan munculnya pemain-pemain baru, para penandatangan perjanjian Taif
tidak lagi memiliki pengaruh dan peran berarti di Lebanon. Karenanya
wajar jika sistem ini harus diubah.
Pemain baru di panggung politik Lebanon adalah kelompok muslim Syiah
yang merupakan 40 persen penduduk Lebanon dan menguasai sekitar 40
persen wilayah negara ini. Persatuan internal di dalam tubuh kelompok
Syiah juga lebih kuat dibanding kelompok-kelompok lain. Dari sisi
militer, Syiah memiliki kekuatan yang sangat besar dan bahkan
disebut-sebut yang paling kuat di dunia Arab. Buktinya, Hezbollah yang
Syiah adalah satu-satunya kekuatan Arab yang mampu menundukkan
kedigdayaan militer Rezim Zionis Israel. Untuk itu wajar jika kelompok
Syiah memperoleh tempat dan bagian yang lebih layak di pemerintahan,
parlemen dan lembaga-lembaga negara lainnya.
AS, Prancis, Israel, Arab Saudi dan Mesir
tidak lagi memiliki peran dan pengaruh seperti dahulu di Lebanon.
Karena itu tidak logis bila Lebanon masih harus menerapkan sistem yang
dibuat oleh negara-negara tersebut. Lebanon mesti bersikap merdeka dan
independen. Tak ada negara lain yang boleh merecoki negara itu dalam
membuat keputusan. Dan inilah yang dituntut oleh Sekjen Hezbollah Sayid
Hasan Nasrullah dan diamini oleh Pemimpin Gerakan Amal dan Kristen Nabih
Berri dan Michel Aoun.
Post a Comment
mohon gunakan email