Kamis malam (6/2/2014) kemarin pegiat HAM, penulis buku Exiled To Nowhere sekaligus fotografer terkemuka dunia Greg Constantine, mulai memamerkan hasil karyanya di Galeri Cemara 6 Menteng, Jakarta Pusat. Pameran fotografi yang disponsori National Endowment For Democracy, Jesuit Refugee Service Indonesia, Indonesia Civil Society Network for Refugee Right Protection dan Galeri Cemara 6 itu, kabarnya akan berlangsung hingga 16 Pebruari mendatang. Puluhan foto bernuansa hitam-putih tampak terpajang di seluruh dinding ruangan lantai dasar galeri. Hasil jepretan Constantine selama 8 tahun dirinya berada di Myanmar itu seolah ingin bercerita tentang derita dan ketertindasan Muslim Rohingya yang selama ini mengusik hatinya.
“Sungguh ini adalah
pengalaman dan pemandangan cukup tragis buat saya. Miris hati saya
menyaksikan sebuah komunitas yang telah hidup lama di sebuah Negara,
namun tidak juga mendapatkan pengakuan dari penguasa. Sebaliknya mereka
malah terus ditindas, diusir dan dipaksa pergi dengan cara kejam. Saya
pikir, siapapun yang dengan sengaja dan sewenang-wenang membuat sebuah
komunitas minoritas kehilangan masa depannya, berarti mereka telah
melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang benar-benar nyata,”
tegasnya saat media ABI mewawancarainya.
Menurutnya, semua
dokumentasi foto di ajang pameran ini adalah wujud kesaksiannya sejak
tahun 2006 berada di negara yang mayoritas penduduknya beragama Budha
itu. Ditanya apa sebenarnya tujuannya menggelar ajang semacam itu,
kepada kami Constantine menyatakan bahwa melalui pameran fotografi yang
akan digelarnya di beberapa negara Asean itu, dia hanya ingin berbagi
kesaksian dan selanjutnya, sebisa mungkin menggalang empati. “Saya
ingin agar para pembela HAM, lembaga-lembaga sosial dan para pembuat
kebijakan di masing-masing negara, segera tergerak melakukan
langkah-langkah nyata dalam membantu Muslim Rohingya keluar dari
ketertindasan yang mereka alami dan belum juga berakhir hingga detik
ini.”
Kita tahu bahwa sejak
beberapa tahun lalu konflik antaretnis yang terjadi antara suku Muslim
Rohingya atau Arakan yang mendiami wilayah Rakhine dengan kelompok
radikal Budhis di wilayah Myanmar itu sudah ramai diberitakan berbagai
media. Saat ini bahkan diperkirakan statusnya telah meluas menjadi
genosida (ethnic cleansing, pembantaian massal) yang tak hanya
menimpa salah satu etnis Muslim saja.Akibatnya, Muslim Myanmar (terdiri
dari etnis Rohingya dan Muslim Burma) yang menurut data semula ada 5
juta jiwa itu, sejak konflik terus meluas jumlahnya pun turun drastis
hanya tinggal beberapa ribu orang saja. Itu pun sebagian besarnya hanya
mampu bertahan hidup terkonsentrasi di kamp-kamp pengungsian pinggir
pantai. Tinggal menunggu waktu diusir atau dimusnahkan oleh kelompok
radikal yang selama ini memusuhi mereka. Konon warga non-Muslim Myanmar
merasa ketakutan minoritas Islam terus menyebar dan mengalahkan Budha
sebagai mayoritas. Mereka tidak mau Myanmar menjadi seperti Indonesia,
yang awalnya Budha berjaya tapi akhirnya berganti Islam. Hal ini tampak
dari kian banyaknya wanita Budha di Myanmar yang setelah menikah dengan
Muslim Rohingya lalu berpindah agama. Ditambah lagi adanya fenomena baru
sebelum meletusnya konflik Rohingya, ketika kalangan Muslim hampir
menguasai sektor penting ekonomi Myanmar.
Diakui Constantine, tak
mudah membingkai kesaksian tentang derita panjang ketertindasan itu
hanya lewat puluhan bahkan ratusan hasil karya fotografinya di ajang
pameran kali ini. Kepada kami dia katakan, hanya ada tiga kata yang bisa
diungkapkannya perihal Muslim Rohingya, yaitu “Very determined people.” Karena
penderitaan itu sudah berlangsung sejak tahun 1982, saat status
kewarganegaraan Muslim Rohingya secara resmi dihapus rezim pemerintah.
Hidup tanpa hak milik atas darat dan lautan, membuat mereka jadi
gelandangan yang terus diusir dari negara mereka sendiri hingga
kehilanggan hak-hak fundamentalnya sebagai manusia. Belum lagi upaya
pelarian dan pencarian suaka mereka demi menghindari kekejaman rezim
penguasa itu pun kerap ditolak negara-negara tetangga.
Saat kami berkeliling
ruangan, tampak salah satu foto yang dari keterangannya menunjukkan
pengungsi Rohingya sedang menaiki truk-truk roda tiga di kamp-kamp
pengungsi daerah pedalaman di luar Sittwe. Ada juga foto dua belas
lelaki usia antara 19 dan 28 tahun yang sedang dipaksa turun dari bis di
salah satu pos pemeriksaan. Keterangannya menyebut foto dijepret
Constantine pada pagi hari, tepatnya tanggal 19 Pebruari 2012, dua tahun
lalu.
Post a Comment
mohon gunakan email