Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Myanmar. Show all posts
Showing posts with label Myanmar. Show all posts

Inilah Kronologis Lengkap Pemicu Tragedi Rohingya


Berikut ini adalah kronologi lengkap pemicu tragedi Rohingya dari surat kabar Myanmar dan dari beberapa media internasional. Surat kabar The New Light of Myanmar edisi 4 Juni 2012 melaporkan satu berita mengenai pemerkosaan dan pembunuhan seorang gadis oleh tiga orang pemuda:

Insiden Pemerkosaan dan Pembunuhan
“NAY PYI TAW, 4 Juni - Dalam perjalanan menuju rumah dari tempat bekerja sebagai tukang jahit, Ma Thida Htwe, seorang gadis Buddha berumur 27 tahun, putri U Hla Tin, dari perkampungan Thabyechaung, Desa Kyauknimaw, Yanbye, ditikam sampai mati oleh orang tak dikenal. Lokasi kejadian adalah di hutan bakau dekat pohon alba di samping jalan menuju Kyaukhtayan pada tanggal 28 Mei 2012 pukul 17:15.

Kasus tersebut kemudian dilaporkan ke Kantor Polisi Kyauknimaw oleh U Win Maung, saudara korban. Kantor polisi memperkarakan kasus ini dengan Hukum Acara Pidana pasal 302/382 (pembunuhan / pemerkosaan). Lalu Kepala kepolisian distrik Kyaukpyu dan personil pergi ke Desa Kyauknimaw pada 29 Mei pagi untuk pencarian bukti-bukti lalu menetapkan tiga tersangka, yaitu Htet Htet (a) Rawshi bin U Kyaw Thaung (Bengali/Muslim), Rawphi bin Sweyuktamauk (Bengali/Muslim) dan Khochi bin Akwechay (Bengali/ Muslim).

Penyelidikan menunjukkan bahwa Htet Htet (a) Rawshi tahu rutinitas sehari-hari korban yang pulang-pergi antara Desa Thabyechaung dan Desa Kyauknimaw untuk menjahit. Menurut pengakuannya dia berbuat dipicu oleh kebutuhan uang untuk menikahi seorang gadis, dan berencana untuk merampok barang berharga yang dipakai korban. Bersama dengan Rawphi dan Khochi, Rawshi menunggu di pohon alba dekat tempat kejadian. Tak lama Ma Thida Htwe yang diincarnya datang dan berjalan sendirian, ketiganya lalu menodongkan pisau dan membawanya ke hutan. Korban lalu diperkosa dan ditikam mati, tak lupa merenggut lima macam perhiasan emas termasuk kalung emas yang dikenakan korban.

Untuk menghindari kerusuhan rasial dan ancaman warga desa kepada para tersangka, aparat kepolisian setempat bersiaga dan mengirim tiga orang pelaku tersebut ke tahanan Kyaukpyu pada tanggal 30 Mei pukul 10.15.

Pada pukul 13:20 hari yang sama, sekitar 100 warga dari Rakhine Kyauknimaw tiba di Kantor Polisi Kyauknimaw dan menuntut agar tiga orang pelaku pembunuh diserahkan kepada mereka namun dijelaskan oleh pihak kepolisian bahwa mereka sudah dikirim ke tahanan.

Massa yang mendatangi kepolisian tidak puas dengan itu dan berusaha untuk masuk kantor polisi. Polisi terpaksa harus menembakkan lima tembakan untuk membubarkan mereka.

Pada pukul 13:50 100 warga Rakhine Desa Kyauknimaw lalu meninggalkan kantor polisi menuju Kantor Pemerintahan untuk menyampaikan keinginannya dengan diikuti oleh pihak kepolisian untuk mencegah terjadi keributan.

Pukul 16.00, para pejabat tingkat Kota menerima dan memberikan klarifikasi untuk menghindari kerusuhan, dan penduduk desa meninggalkan kantor pada pukul 17:40.

Keesokan harinya, 31 Mei pukul 9 pagi, mereka meninggalkan Yanbye ke Desa Kyauknimaw dengan dua perahu. Mereka pulang dengan membawa santunan sebesar 1 juta Kyat (mata rupiah Myanmar) untuk desa dari Menteri Perhubungan, U Kyaw Khin, 600.000 Kyat dan lima set jubah untuk pemakaman korban serta ditambah 100.000 Kyat dari santunan perwakilan negara.

Pada 31 Mei 15:05 Menteri Dalam Negeri dan Keamanan Perbatasan Negara, wakil kepala Kantor Polisi, Kabupaten Kyaukphyu dan Kepala Kantor Polisi Distrik berpartisipasi dalam pemakaman korban dan mengadakan diskusi dengan penduduk desa.

Pada 1 Juni pukul 9 pagi Kepala Menteri Negara dan partai di Kyaukpyu mengadakan diskusi dengan organisasi pemuda Kyaukpyu atas kasus pembunuhan tersebut. Diskusi-diskusi terutama menyinggung menjatuhkan hukuman jera pada para pembunuh dan membantu mencegah kerusuhan saat mereka sedang diadili.”

Insiden 10 Orang Muslim Dibunuh Dalam Bis
Menurut berita harian New Light dan beberapa blog orang Myanmar menyebutkan bahwa beredar foto-foto dan informasi bahwa “menurut bukti forensik polisi dan juga saksi mata yang melihat tubuh korban, ia diperkosa beberapa kali oleh tiga pemuda Bengali Muslim dan tenggorokannya digorok, dadanya ditikam beberapa kali dan organ wanitanya ditikam dan dimutilasi dengan pisau.

Setelah itu lebih dari seribu massa marah dan hampir menghancurkan kantor polisi di mana tiga pelaku ditangkap. Lalu kasus terburuk dan pemicu tragedi Ronghya adalah pembantaian terhadap 10 orang Muslim peziarah yang ada dalam sebuah bus di Taunggup dalam perjalanan dari Sandoway ke Rangoon pada tanggal 4 Juni.”

Koran New Light Myanmar edisi 5 Juni memberitakan rincian mengenai pembunuhan sepuluh orang Burma Muslim oleh massa Arakan sebagai berikut:
“Sehubungan dengan kasus Ma Thida Htwe yang dibunuh kejam pada tanggal 28 Mei, sekelompok orang yang terkumpul dalam Wunthanu Rakkhita Association, Taunggup, membagi-bagikan selebaran sekitar jam 6 pagi pada 4 Juni kepada penduduk lokal di tempat-tempat ramai di Taunggup, disertai foto Ma Thida Htwe dan memberikan penekanan bahwa massa Muslim telah membunuh dan memperkosa dengan keji wanita Rakhine.

Sekitar pukul 16:00, tersebar kabar bahwa ada mobil yang berisikan orang Muslim dalam sebuah bus yang melintas dari Thandwe ke Yangon dan berhenti di Terminal Bus Ayeyeiknyein.
Petugas terminal lalu memerintahkan bus untuk berangkat ke Yangon dengan segera. Bus berisi penuh sesak oleh penumpang.

Beberapa orang dengan mengendarai sepeda motor mengikuti bus. Ketika bus tiba di persimpangan Thandwe-Taunggup, sekitar 300 orang lokal sudah menunggu di sana dan menarik penumpang yang beridentitas Muslim keluar dari bus. Dalam bentrokan itu, sepuluh orang Islam tewas dan bus juga hancur.

Konflik sejak insiden 10 orang Muslim terbunuh terus memanas di kawasan Arrakan, Burma, muslim Rohingya menjadi sasaran. Seperti dilansir media Al-Jazeera, Hal ini dipicu juga oleh bibit perseteruan yang sudah terpendam lama, yaitu perseteruan antara kelompok etnis Rohingya yang Muslim dan etnis lokal yang beragama Buddha. Rohingya tidak mendapat pengakuan oleh pemerintah setempat. Ditambah lagi agama yang berbeda. Dari laporan berbagai berita sampai saat ini sejak insiden tersebut sudah terjadi tragedi pembantaian etnis Rohingya (yang notabene beragama Islam) lebih dari 6000 orang.**[harja saputra]

————
Note: Tulisan ini semula memuat foto-foto tapi untuk menghindari tendensius, foto2 korban dihilangkan.

(Source)

Mengapa Orang-orang Rohingya Melarikan Diri dari Myanmar?


Pencabutan kartu identitas penduduk yang dikenal sebagai Kartu Putih bagi orang Rohingya oleh pemerintah Myanmar mungkin menjadi salah satu faktor yang membuat mereka nekat mempertaruhkan nyawa mengarungi laut.
Sekitar 300.000 Kartu Putih, tanda terakhir yang menunjukkan mereka adalah penduduk Myanmar, sudah diminta dikembalikan oleh pihak berwenang dan dinyatakan tidak berlaku sejak 31 Maret lalu.

Dengan kartu itu, kaum Rohingya antara lain boleh memberikan suara dalam pemilihan umum.

Mayoritas etnik Rohingya, yang jumlahnya ditaksir antara 1,3 hingga 1,5 juta jiwa, tinggal di negara bagian Rakhine di dekat perbatasan antara Myanmar dan Bangladesh.

"Mereka sudah dianggap bukan warga negara, sekarang dokumen tidak ada," jelas Utusan Khusus Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk Myanmar, Tan Syed Hamid Albar.

"Bila tidak ada dokumen dan tidak ada tempat bagi mereka, bergerak pun tidak boleh, untuk pergi dari satu tempat ke tempat lain tidak boleh, ada undang-undang yang menyekat pergaulan, yang bahkan menyekat cinta, maka akhirnya mereka mencari jalan," tambah mantan menteri luar negeri Malaysia itu.

Perjalanan dua bulan

Mereka menumpang kapal-kapal yang diduga dikendalikan oleh jaringan penyelundup manusia dengan tujuan utama Malaysia.

Pulau Langkawi, Malaysia didarati oleh 1.107 orang, pengungsi Rohingya dan migran Bangladesh, yang kemudian ditempatkan di Pusat Detensi Imigrasi Belantik, Negara Bagian Kedah.

Sekitar 1.800 orang diselamatkan di Aceh melalui tiga gelombang. Ribuan orang lainnya diperkirakan masih berada di laut.

Bila dirunut, dari segi waktu tampaknya ada korelasi antara jatuh tempo Kartu Putih dan tempo perjalanan para pengungsi yang mengaku berangkat kira-kira dua bulan.

Seorang anggota parlemen Myanmar dari etnik Rohingya, Shwe Maung, mengatakan masa berlaku Kartu Putih dinyatakan berakhir setelah muncul protes keras dari kelompok-kelompok nasionalis Buddha Februari lalu, padahal baru saja disahkan rancangan undang-undang yang menyatakan pemilik kartu mempunyai hak pilih.

Kala itu, pemerintah Myanmar mengatakan akan membentuk komisi guna mengkaji persoalan Kartu Putih.

Pencabutan, tuturnya, jelas membuat warga resah.

"Masih tidak jelas jenis kartu apalagi yang akan diberikan, tapi belum ada sampai sekarang."

Menyusul gelombang kerusuhan, termasuk tahun 2012 yang menewaskan setidaknya 200 orang , mereka ditempatkan di kamp-kamp dan tidak diizinkan bekerja di luar lingkungan tempat tinggal. Pemerintah beralasan lokalisasi dilakukan untuk melindungi mereka dari amukan massa.

Tanpa kartu, mereka khawatir akan ditangkap dan dimasukkan ke penjara menjelang pemilihan umum di Myanmar yang dijadwalkan akan digelar bulan Oktober-November, kata seorang pemuka masyarakat Rohingya.

"Bila mereka tetap di Myanmar, mereka akan dimasukkan ke penjara, keselamatan jiwa mereka terancam dan hak pilih mereka sudah sudah dicabut," kata Mohammad Sadek, pengurus Komite Pengungsi Rohingya Arakan (RARC) di Malaysia kepada wartawan BBC Indonesia, Rohmatin Bonasir.

"Oleh sebab itu Rohingya menganggap sekarang waktu yang tepat untuk menyelamatkan diri," kata Sadek.

Rohingya oleh pemerintah Myanmar dianggap sebagai pendatang dari Bangladesh, meskipun mereka secara turun-temurun tinggal di Rakhine.

Belakangan sikap Myanmar melunak terhadap krisis pengungsi di Asia Tenggara menyusul berbagai tekanan, termasuk tekanan diplomatik yang dilakukan Indonesia dan Malaysia.

PBB menggolongkan Rohingya sebagai minoritas yang paling tertindas di dunia.

Sumber: detik.com

Mengungkap Keterlibatan Dalai Lama Dalam Konflik Umat Buddha Vs Muslim Rohingya


Hari ini saya banyak melihat di media sosial facebook beredar gambar gambar editan yang dibuat oleh kelompok fundamentalis anti pancasila yang mengait ngaitkan tokoh spiritual Buddha Tibet sebagai orang yang ikut berperan dalam proses pengusiran etnis muslim rohingya dari Burma /myanmar.

Hati saya begitu miris sekali melihat aksi aksi kelompok fundamentalis di tanah air ini yang selalu memfitnah tokoh idola saya" Tenzin Gyantso Dalai Lama XIV"  & selalu menyebarkan berita berita hoax bernuansa SARA setiap saat.

Tenzin Gyantso Dalai Lama XIV adalah tokoh spiritual Buddha tibet yang punya rasa toleransi tinggi terhadap pemeluk agama lain termasuk terhadap etnis muslim rohingya yang kini terdampar di tanah rencong aceh akibat terusir dari negara myanmar.

Beliau sama sekali tidak pernah terlibat apalagi sampai menyuruh umat Buddha myanmar untuk membunuh, menyerang dan mengusir mereka ( etnis muslim rohingya) dari myanmar.
Bahkan Dalai Lama dalam beberapa statemennya seringkali membela etnis muslim rohingya yang mendapatkan perlakuan tidak adil oleh pemerintah Burma & Umat Buddha Burma.

Berikut ini beberapa komentar Tenzin Gyantso Dalai Lama XIV terkait konflik antara umat buddha Vs Muslim Rohingya:
Saya Mendesak Umat Buddha untuk membayangkan wajah damai sang Buddha sebelum melakukan kejahatan
Buddha mengajarkan cinta dan kasih sayang, Jika Buddha ada di myanmar ia akan melindungi umat islam yang diserang oleh pemeluk agama Buddha.

~Tenzin Gyantso Dalai Lama XIV~


Wahai para biksu myanmar, saya mohon saat kalian marah kepada saudara muslim ingatlah ajaran Buddha.

Bukan ajaran sang Buddha Jika menghasur dan memperlakukan umat muslim tidak baik
Saya yakin umat Buddha akan melindungi umat muslim laki laki dan perempuan yang menjadi korban.

~Tenzin Gyantso Dalai Lama XIV~


Dari komentar komentar Tenzin Gyantso Dalai Lama XIV dapat kita ambil kesimpulan bahwa beliau sama sekali tidak terkait pengusiran etnis muslim rohingya dari myanmar dan justru sebaliknya malah menyuruh umat Buddha myanmar untuk melindungi etnis muslim rohingya dan memperlakukannya dengan baik seperti yang diajarkan oleh Buddha.

(Source)

Peserta Termuda dan Tertua Festival Al-Quran Internasional


Peserta festival al-Quran internasional ke-32 yang paling muda dan paling tua diperkenalkan.
Peserta qari dari negara Italia yang berusia 18 tahun diperkenalkan sebagai peserta termuda dan Husain Ahmad Abbas Ahmad Husain dari Bahrain dan Tet Nayenk Su dari Myanmar dengan usia 40 tahun dinyatakan sebagai peserta tertua di dalam festival ini.

Festival al-Quran internasional ke-32 akan berlangsung hingga tanggal 22 Mei di aula rapat para pemimpin negara-negara Islam.

(Shabestan)

PBB dan AS desak negara Asia Tenggara tak tolak pengungsi Rohingya

Imigran Rohingya di perairan Thailand. ©AFP PHOTO/Christophe Archambault

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menilai Indonesia dan Malaysia tak boleh mengabaikan kedatangan imigran gelap Rohingya. Upaya kedua negara, bersama Thailand, mengirim kapal-kapal pengungsi asal Myanmar itu ke perairan internasional dikecam.

Komisioner HAM PBB Zeid Raad Al Hussein mengaku terkejut saat mendengar pemerintah Thailand, Malaysia, dan Indonesia tidak akan menampung para pengungsi dalam waktu lama. Dia menyatakan kebijakan tersebut bertentangan dengan kemanusiaan.

"Fokus setiap negara seharusnya dicurahkan buat menyelamatkan jiwa para pengungsi, bukan lebih lanjut membahayakan keselamatan mereka," ujarnya seperti dilansir Channel News Asia, Minggu (17/5).

PBB pun mengecam pemerintah Myanmar yang jadi pemicu persoalan ini. Sepekan terakhir, diperkirakan lebih dari 8 ribu warga Rohingya berusaha menuju Malaysia. Sekitar 600 orang terdampar di Aceh Utara, sementara 1.080 mendarat di kawasan Langkawi, Malaysia. Sebagian besar, masih ada di lautan bersama imigran gelap Bangladesh, dijanjikan pekerjaan oleh calo. Nyatanya setelah dua bulan di lautan, mereka ditinggal begitu saja.

PBB mengecam kebijakan Myanmar tak mengakui Rohingya sebagai warga negara, sebagai penyebab krisis kemanusiaan lanjutan usai pecah kerusuhan etnis di Provinsi Arakan tiga tahun lalu.
Di pesisir utara Myanmar itu, tinggal 800 ribu warga muslim Rohingya. Mereka kini terdesak melarikan diri ke Bangladesh dan pulau-pulau di Teluk Bengal, dari serangan etnis mayoritas Rakhine.

Amerika Serikat turut mendesak negara-negara besar di Asia Tenggara untuk bersatu mengatasi arus imigran Rohingya. Bila dibiarkan terombang-ambing, para pengungsi akan tewas pelan-pelan di lautan,
"Kami mendesak pemerintah-pemerintah di Asia Tenggara tidak lagi mendorong kapal-kapal migran ke laut lepas," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri AS Jeff Rathke.

Hari ini, Menlu Malaysia Anifah Aman bertemu Menlu Bangladesh Mahmood Ali untuk membahas solusi atas arus imigran tersebut. Arus manusia perahu pernah membeludak di kawasan pada 1975 dari Vietnam akibat perang.

Thailand, salah satu negara yang kebanjiran pengungsi Rohingya, menggelar forum mengundang 15 negara lainnya, pada 29 Mei mendatang. Topik yang dibahas adalah mencari solusi atas pelarian ribuan etnis Rohingya dan Bangladesh ke Asia Tenggara. Presiden Myanmar, Thein Sein, turut diundang.

(Source)

Imigran Bangladesh Akan Dipulangkan

Dubes Bangladesh, MD Nazmul Quaunine (tengah) Wali Kota Langsa, Usman Abdullah SE, saat memberikan keterangan pers di Posko pengungsian imigran Myanmar dan Banglades, di Pelabuhan Kuala Langsa, Minggu (17/5/2015). 

Laporan Zubir | Langsa

BLANGSA -- Duta Besar (Dubes) Bangladesh, MD Nazmul Quaunine,‎ mengatakan akan segera mendeportasi (memulangkan) WNA Bangladesh, yang kini berada di posko penampungan kawasan Pelabuhan Kuala Langsa.

Hal itu dikatakan Dubes Bangladesh yang berkantor di Jakarta, ‎saat mengunjungi warga negaranya di posko Pelabuhan Kuala Langsa, Minggu (17/5/2015) siang.

Saat itu hadir Wali Kota Langsa, Usman Abdullah, ‎Kapolres Langsa, AKBP Sunarya SIK, Dandim 0104/Atim, Letkol Endra Saputra ZR SH MSi, dan pejabat Imigrasi Kelas II setempat.

‎Saat ini imigran Bangladesh yang berada di Langsa sebanyak 421 orang, mereka ditemukan nelayan terdampar bersama 256 imigran Rohingya (Myanmar) pada sebuah tongkang, di Perairan Langsa, Selat Malaka, Jumat 15/5/2015) pagi dalam kondisi memprihatinkan. (*)

(Source)

Myanmar Tolak Usulan PBB untuk Status WN Rohingya

Anak-anak Desa Lay Maing berjalan di sebuah jalan di Maungdaw, Rakhine utara, Myanmar, September 2013. Sebanyak 800.000 warga Rohingya, disebut PBB sebagai salah satu etnis minoritas yang paling diabaikan di dunia.[AP] 

Jumat, 22 November 2013, [YANGON] Pemerintah Myanmar kembali menegaskan, tidak akan memberikan status kewarganegaraan bagi warga Rohingya, Kamis (21/11). Pernyataan itu dilontarkan terkait desakan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk memberikan status kewarganegaraan kepada sekitar 800.000 warga Rohingya yang kini tidak memiliki kewarganegaraan.

Ratusan ribu Rohingya diperkirakan hidup di Myanmar, terutama di negara bagian Rakhine barat, yang telah diguncang sejumlah serangan kekerasan sektarian mematikan.Myanmar memandang Rohingya di Rakhine sebagai imigran ilegal dan Bangladesh menyangkal kewarganegaraan.

Pada Selasa (19/11), sebuah resolusi PBB meminta pemerintah Myanmar untuk memberikan akses penuh kewarganegaraan kepada warga  Rohingya dan untuk mengakhiri kekerasan terhadap mereka. Namun juru bicara presiden menyatakan Myanmar tidak akan dipaksa mengubah sikapnya atas masalah kewarganegaraan.

“Kami tidak bisa memberikan hak-hak kewarganegaraan bagi mereka yang tidak sesuai dengan hukum, apa pun tekanan yang ada. Itu adalah hak berdaulat kami,” kata Ye Htut dalam sebuah posting di halaman Facebook-nya, yang sering digunakan untuk mengeluarkan pernyataan resmi.

Pada tahun lalu, kekerasan di negara bagian Rakhine menimbulkan banyak korban jiwa dan mengakibatkan 140.000 orang mengungsi, terutama warga Rohingya. Kekerasan  telah memicu kekhawatiran internasional dan kecaman atas penanganan minoritas pemerintah.

Kaum mayoritas Buddha di Myanmar memandang warga Rohingya dengan permusuhan. Mereka menyebut kaum Rohingya sebagai "Bengali" sebuah istilah yang sering digunakan untuk merendahkan.

Ye Htut mengatakan pemerintah Myanmar benar-benar membantah penggunaan kata Rohingya. Namun dia menambahkan bahwa hanya kaum Bengali di negara bagian Rakhine yang sesuai dengan hukum kewarganegaraan 1982 yang akan mendapatkan kewarganegaraan.

Hukum kewarganegaraan itu menyatakan bahwa minoritas harus membuktikan bahwa mereka tinggal di Myanmar sebelum 1823 untuk memperoleh kewarganegaraan. Aturan tersebut tentu sangat efektif untuk menyangkal hak kewarganegaraan Rohingya.

Menurut departemen Imigrasi Myanmar, pada tahun depan, sebuah sensus penduduk yang pertama kali digelar dalam tiga dekade  menjadwalkan untuk tidak menyediakan tempat bagi warga Rohingya. Penolakan atas warga Rohingya meluas hingga ke luar Rakhine  dan bahkan termasuk tokoh-tokoh kunci dalam gerakan demokrasi Myanmar.

“Muslim Rohingya tidak ada di bawah hukum Myanmar. Kami sudah mencapai kesepakatan dengan juru bicara kepresidenan,” kata Nyan Win, juru bicara partai Liga Nasional untuk Demokrasi pemenang Nobel Aung San Suu Kyi.

Kerusuhan di Rakhine telah mendorong ribuan warga Rohingya untuk meninggalkan Myanmar dengan kapal reyot dan penuh sesak untuk mencapai Malaysia dan negara yang lebih jauh. Tapi sebagian besar telah meninggal atau hilang ditelan ganasnya laut. 


(Source

Myanmar Bantah Pembunuhan Warga Rohingya

Pasukan Tentara Pembebasan Nasional Taaung (TNLA), kelompok etnis bersenjata Palaung, beristirahat di luar di sebuah desa di Kota Mantong, di utara negara bagian Shan Myanmar, Januari 2014. [AFP]

Jumat, 24 Januari 2014, [YANGON] Pemerintah Myanmar membantah kabar mengenai pembunuhan terhadap 48 warga Rohingya pada awal Januari 2014 yang dilaporkan ke Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).

Pada Kamis (23/1), PBB memperingatkan pemerintah Myanmar untuk menghentikan kekerasan sektarian dan melakukan investigasi terkait laporan pembunuhan terhadap sekitar 48 warga Rohingya dalam serangan yang dilakukan kelompok mayoritas, di Desa Du Char Yar Tan, bagian utara Rakhine.

Juru Bicara Kepresidenan Myanmar, Ye Htut, mengatakan laporan yang disampaikan kepada PBB tersebut tak berdasarkan fakta dan perlu diperjelas mengenai para korban. “Laporan tersebut sama sekali tidak benar. Itu tidak sesuai dengan fakta,” kata Ye Htut, menanggapi pernyataan PBB.

Kementerian Informasi Myanmar, juga membantah laporan tersebut. Dalam pernyataan resmi yang dipublikasikan, Kamis, disebutkan bahwa Kepala Menteri negara bagian Rakhine, Hla Maung Tin, telah mengunjungi Desa Du Char Yar Tan untuk memantau kondisi di sana.

“Hla telah menyampaikan bahwa laporan mengenai pembunuhan terhadap wanita dan anak-anak warga Rohingya tidak benar dan dipublikasikan oleh media asing,” demikian pernyataan Kementerian Informasi Myanmar.

Namun Direktur Grup Fortify Right Thailand, Matthew Smith, mengatakan pemerintah tidak memberikan akses kepada kelompok kemanusiaan, relawan independen bahkan jurnalis untuk memasuki Desa Du Char Yar Tan.

Menurut dia, desa tersebut dilaporkan telah kosong sejak serangan dan pembunuhan yang berlangsung pada awal Januari 2014. Banyak warga Rohingya yang mengungsi atau bersembunyi.

(Source)

Potret Buram Muslim Tertindas Rohingya



Kamis malam (6/2/2014) kemarin pegiat HAM, penulis buku Exiled To Nowhere sekaligus fotografer terkemuka dunia Greg Constantine, mulai memamerkan hasil karyanya di Galeri Cemara 6 Menteng, Jakarta Pusat. Pameran fotografi yang disponsori National Endowment For Democracy, Jesuit Refugee Service IndonesiaIndonesia Civil Society Network for Refugee Right Protection dan Galeri Cemara 6 itu, kabarnya akan berlangsung hingga 16 Pebruari mendatang. Puluhan foto bernuansa hitam-putih tampak terpajang di seluruh dinding ruangan lantai dasar galeri. Hasil jepretan Constantine selama 8 tahun dirinya berada di Myanmar itu seolah ingin bercerita tentang derita dan ketertindasan Muslim Rohingya yang selama ini mengusik hatinya.

“Sungguh ini adalah pengalaman dan pemandangan cukup tragis buat saya. Miris hati saya menyaksikan sebuah komunitas yang telah hidup lama di sebuah Negara, namun tidak juga mendapatkan pengakuan dari penguasa. Sebaliknya mereka malah terus ditindas, diusir dan dipaksa pergi dengan cara kejam. Saya pikir, siapapun yang dengan sengaja dan sewenang-wenang membuat sebuah komunitas minoritas kehilangan masa depannya, berarti mereka telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang benar-benar nyata,” tegasnya saat media ABI mewawancarainya.

Menurutnya, semua dokumentasi foto di ajang pameran ini adalah wujud kesaksiannya sejak tahun 2006 berada di negara yang mayoritas penduduknya beragama Budha itu. Ditanya apa sebenarnya tujuannya menggelar ajang semacam itu, kepada kami Constantine menyatakan bahwa melalui pameran fotografi yang akan digelarnya di beberapa negara Asean itu, dia hanya ingin berbagi kesaksian dan selanjutnya, sebisa mungkin menggalang empati.  “Saya ingin agar para pembela HAM, lembaga-lembaga sosial dan para pembuat kebijakan di masing-masing negara, segera tergerak melakukan langkah-langkah nyata dalam membantu Muslim Rohingya keluar dari ketertindasan yang mereka alami dan belum juga berakhir hingga detik ini.”

Kita tahu bahwa sejak beberapa tahun lalu konflik antaretnis yang terjadi antara suku Muslim Rohingya atau Arakan yang mendiami wilayah Rakhine dengan kelompok radikal Budhis di wilayah Myanmar itu sudah ramai diberitakan berbagai media. Saat ini bahkan diperkirakan statusnya telah meluas menjadi genosida (ethnic cleansing, pembantaian massal) yang tak hanya menimpa salah satu etnis Muslim saja.Akibatnya, Muslim Myanmar (terdiri dari etnis Rohingya dan Muslim Burma) yang menurut data semula ada 5 juta jiwa itu, sejak konflik terus meluas jumlahnya pun turun drastis hanya tinggal beberapa ribu orang saja. Itu pun sebagian besarnya hanya mampu bertahan hidup terkonsentrasi di kamp-kamp pengungsian pinggir pantai. Tinggal menunggu waktu diusir atau dimusnahkan oleh kelompok radikal yang selama ini memusuhi mereka. Konon warga non-Muslim Myanmar merasa ketakutan minoritas Islam terus menyebar dan mengalahkan Budha sebagai mayoritas. Mereka tidak mau Myanmar menjadi seperti Indonesia, yang awalnya Budha berjaya tapi akhirnya berganti Islam. Hal ini tampak dari kian banyaknya wanita Budha di Myanmar yang setelah menikah dengan Muslim Rohingya lalu berpindah agama. Ditambah lagi adanya fenomena baru sebelum meletusnya konflik Rohingya, ketika kalangan Muslim hampir menguasai sektor penting ekonomi Myanmar.

Diakui Constantine, tak mudah membingkai kesaksian tentang derita panjang ketertindasan itu hanya lewat puluhan bahkan ratusan hasil karya fotografinya di ajang pameran kali ini. Kepada kami dia katakan, hanya ada tiga kata yang bisa diungkapkannya perihal Muslim Rohingya, yaitu “Very determined people.” Karena penderitaan itu sudah berlangsung sejak tahun 1982, saat status kewarganegaraan Muslim Rohingya secara resmi dihapus rezim pemerintah. Hidup tanpa hak milik atas darat dan lautan, membuat mereka jadi gelandangan yang terus diusir dari negara mereka sendiri hingga kehilanggan hak-hak fundamentalnya sebagai manusia. Belum lagi upaya pelarian dan pencarian suaka mereka demi menghindari kekejaman rezim penguasa itu pun kerap ditolak negara-negara tetangga.

Saat kami berkeliling ruangan, tampak salah satu foto yang dari keterangannya menunjukkan pengungsi Rohingya sedang menaiki truk-truk roda tiga di kamp-kamp pengungsi daerah pedalaman di luar Sittwe. Ada juga foto dua belas lelaki usia antara 19 dan 28 tahun yang sedang dipaksa turun dari bis di salah satu pos pemeriksaan. Keterangannya menyebut foto dijepret Constantine pada pagi hari, tepatnya tanggal 19 Pebruari 2012, dua tahun lalu.

Jika benar pengakuan Constantine, bahwa ajang pameran fotonya itu bagi Muslim Rohingya tidak akan pernah cukup. Tapi setidaknya, melalui foto-foto itu dia sudah mengambarkan kepada kita semua tentang perjuangan jatuh-bangun etnis Rohingya sekadar untuk dapat bertahan hidup. Juga tentang betapa berartinya arti hidup dan kebebasan terutama pada saat tiap hembusan napas manusia berada dalam ancaman kelompok radikal dan rezim pemerintah yang kejam. Karena itulah kata Constantine, setelah pameran di London, Canberra, US Halocaust Memorial Museum di Washington DC, ke Parlemen Eropa di Brussel, dan kali ini di Jakarta, dirinya masih akan melanjutkan kampanye kemanusiaannya itu ke kota-kota besar di negara lain seperti Bangkok dan Tokyo. 

Terkait Berita: