Pesan Rahbar

Sejarah Kebohongan Perang AS (3)

Written By Unknown on Monday, 24 November 2014 | 09:21:00

10.  Barack H. Obama: Intervensi Kemanusiaan”-NATO (serangan ke Libya) 2011, Intervensi Kemanusiaan” (intervensi di Suriah) 2011-sekarang
“Dalam situasi yang rentan seperti ini, sangat penting bagi negara-negara di dunia untuk berbicara dalam satu suara, dan hal ini telah menjadi fokus kami … Kemarin Dewan Keamanan PBB secara bulat mengirimkan pesan yang jelas, yaitu mengutuk kekerasan di Libya, mendukung pertanggungjawaban bagi pelakunya, dan membela rakyat Libya. Sebagaimana semua pemerintahan, pemerintah Libya memiliki tanggung jawab untuk menghindari kekerasan, untuk mengizinkan masuknya bantuan kemanusiaan, dan untuk menghormati hak-hak rakyatnya. Pemerintahan Libya harus bertanggung jawab atas kegagalan untuk memenuhi tanggung jawab tersebut, dan atas berlanjutnya pelanggaran HAM.” (22 Feb 2011).

Catatan: Pada bulan Mei 2011, NATO di bawah pimpinan AS membombardir Libya dan merusak sangat banyak infrastruktur negara termakmur di Afrika itu (dan kemudian, lagi-lagi, proyek rekonstruksinya dipegang perusahaan Barat dan pembiayaannya dilakukan oleh pemerintah baru Libya dengan berhutang pada IMF dll).

Kini, kebohongan kembali akan dipakai oleh Obama di Suriah. Rezim Assad dituduh sebagai pelaku serangan senjata kimia tanggal 21 Agustus 2013 lalu, meskipun belum ada hasil penyelidikan resmi PBB dan berbagai kejanggalan atas kasus ini telah terungkap.
_________________________________
Tangan Israel di Suriah dan Mesir.

(Diterjemahkan dan diberi ulasan oleh Dina Y. Sulaeman dari artikel Syria chemical mayhem: Another Israeli false-flag? karya Dr. Kevin Barret)
Pada hari Rabu, hanya beberapa jam setelah pembunuhan massal ratusan orang Suriah dengan senjata kimia,  Menteri Militer [karena tidak cocok diterjemahkan jadi ‘Menteri Pertahanan’, mereka tidak bertahan tapi menjajah] Israel, Moshe Yaalon, mengklaim bahwa dia tahu siapa pelaku pembunuhan missal itu: pemerintah Suriah.

Para pemimpin dunia lainnya, termasuk President AS, Barack Obama, tidak tergesa-gesa memberi penilaian. Mereka ‘hanya’ mengimbau PBB untuk menyelidiki. Banyak ahli, termasuk Frank Gardner dari BBC, mantan inspektur senjata PBB  Rolf Ekeus, dan ahli senjata kimia Swedia, Ake Sellstrom, menertawakan atau meragukan tuduhan bahwa Presiden Suriah, Assad, akan melancarkan serangan senjata kimia pada saat bersamaan dengan keberadaan para penyelidik PBB di Suriah. Sementara itu, Perdana Menteri Rusia, menyebut bahwa serangan senjata kimia itu sebagai ‘provokasi yang sudah direncanakan sebelumnya’.

Tapi, Direncanakan Oleh Siapa?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu bertanya pula: bagaimana mungkin Israel langsung tahu siapa pelaku serangan senjata kimia itu?
Selama ini, para pemimpin Israel memang memiliki kemampuan yang ‘mengagumkan’ dalam urusan ‘meramal’. Kapan saja ada kejadian serangan teror besar yang mengubah sejarah, orang Israel langsung tahu, siapa pelakunya. Belum lagi asap mereda, mereka sudah berdiri dan mengatakan kepada dunia apa yang sedang terjadi dan menyediakan ‘naskah’ kepada dunia supaya bereaksi sebagaimana yang mereka inginkan.

Misalnya saja, dalam kasus terror di gedung WTC (peristiwa 9-11). Jurnalis Christopher Bollyn mengatakan, “Hanya dalam hitungan menit setelah pesawat menabrak gedung WTC pada 9/11, Ehud Barak (pendiri dan pemimpin satuan operasi militer rahasia Israel, the Sayeret Matkal) berada di London, di studio BBC, siap menyediakan penjelasan yang ‘masuk akal’ (dan politis) kepada dunia. Barak, yang sebenarnya merupakan arsitek 9/11, justru orang pertama yang menyebutkan ‘Perang Melawan Terorisme’ dan seruan intervensi AS di Afghanistan Timur Tengah.”

Dan seperti Ehud Barak beberapa menit setelah 9/11, Moshe Yaalon berdiri hanya beberapa jam setelah tragedi pembantaian dengan senjata kimia; dan menyampaikan narasi yang terlihat sudah disiapkan.

Fox News (Channel Televisi AS) Menyebarkan ‘Naskah’ Israel:
“Di Suriah, rezim telah menggunakan senjata kimia dan ini bukanlah pertama kalinya,” Menteri Militer Israel, Yaalon, mengatakan kepada koresponden kami di Israel. “Ini adalah perjuangan hidup-mati antara rezim Alawi yang minoritas melawan oposisi Muslim Sunni yang terdiri dari beberapa faksi berbeda, sebagian anggota Ikhwanul Muslimin, sebagian lagi anggota al-Qaeda. Kami tidak melihat perang ini akan berakhir, bahkan jatuhnya Al Assad tidak akan menyelesaikan konflik ini, konflik berdarah akan terjadi dalam waktu yang lama,” menteri Yaalon menambahkan.  “Kita bisa melihat ‘ledakan’ berikutnya, dengan Alawi yang mengontrol sebelah barat, wilayah pantai, dan koridor menuju Damaskus – dan warga Kurdi dan Sunni mengontrol timur dan utara.”.

Ceramah Yaalon itu bukan analisis. Ini sebuah program aksi. Inilah yang diinginkan Israel untuk terjadi. Argumen dari pernyataan ini adalah sbb.

Pertama, Israeli menghendaki agar dunia mau saja menelan tuduhan bahwa pemerintah Suriah cukup gila untuk melancarkan serangan senjata kimia bertepatan dengan datangnya para penyelidik PBB. Mereka ingin dunia mempercayai bahwa pemerintah Assad, setelah semua keberhasilan besarnya akhir-akhir ini dalam menangani para pemberontak, berani menanggung resiko dan melakukan pembantaian senjata kimia. Tujuan Israel adalah agar dunia menyetujui intervensi militer Barat di Suriah.

Kedua, Israeli ingin dunia melihat konflik Suriah sebagai pertarungan tanpa akhir antara Sunni dan Alawi. Kata-kata Yaalon “tidak melihat akhir dari perang ini” bermakna Israel tidak ingin perang berakhir. Bahkan mereka akan melakukan apa saja agar perang terus berlangsung, termasuk dengan melancarkan serangan ‘false-flag’ (bendera palsu) seperti pembantaian dengan senjata kimia. Tujuan Israel pun sudah terlihat dari pernyataan Yaalon, yaitu penghancuran Suriah, “Kita bisa melihat ‘ledakan’ berikutnya, dengan Alawi yang mengontrol sebelah barat, wilayah pantai, dan koridor menuju Damaskus – dan warga Kurdi dan Sunni mengontrol timur dan utara.”.

Penghancuran Suriah akan menjadi titik kulminasi dari proyek Israel sejak beberapa dekade lalu, yaitu ‘Rencana Oded Yinon’ yang ingin mem-Balkanisasi Timur Tengah. Sejak tahun 1970-an, para ahli strategi Israel telah berencana untuk memecah negara-negara Timur Tengah menjadi negara-negara mungil berdasarkan etnis dan sekte (mazhab).

Rencana Oded Yinon kemudian pada tahun 1996 diadopsi menjadi Rencana ‘Clean Break’ (Pemecahan dengan rapi) Netanyahu. Untuk mencapai tujuan penghancuran negara-negara tetangga Israel, tim Netanyahu, yang dipimpin oleh Richard Perle, yang dijuluki “Pangeran Kegelapan” mendesain jebakan untuk AS agar melakukan pekerjaan kotor Israel. Pada September 2000, Perle, Wolfowitz, dan tokoh Zionist yang tergabung dalam Project for a New American Century (PNAC) menyerukan adanya ‘new Pearl Harbor.’ Setahun kemudian, pada 11 September 2001 (9/11), ‘Pearl Harbor baru’ menjadi kenyataan. Tujuan mereka adalah melancarkan perang tanpa akhir antara AS melawan musuh-musuh Israel.

Dan sejak itulah, kita melihat Perang Melawan Terorisme yang tak kunjung usai. Israel dan kaki-tangannya, Amerika, telah menghancurkan Irak, Libya, dan Sudan. Sekarang, mereka sedang menargetkan Suriah dan Mesir, dua negara yang  wilayahnya ingin dicuri Israel, demi mewujudkan ‘Israel Raya’ yang membentang dari Nil hingga Sungai Furat (Irak).

Tak lama sebelum operasi ‘bendera palsu’ (false-flag) berupa serangan senjata kimia di Suriah, Israeli telah mendalangi kudeta fasis di Mesir. Jenderal al-Sisi, seorang tentara yang sepanjang karirnya telah menjadi pion Israel, selama berhari-hari sebelum dan selama kudeta, menelpon ‘majikan’ Israelnya.

Sebagaimana di Suriah, tujuan Israel di Mesir adalah “tidak melihat akhir dari perang.”  Inilah mengapa Israel meyakinkan al-Sisi untuk membebaskan diktator-kriminal, Hosni Mubarak. Langkah ini diperkirakan akan membangkitkan kemarahan rakyat Mesir dan dengan demikian, pembantaian yang dilakukan rezim al-Sisi pun akan terus berlangsung.
Rakyat Suriah dan Mesir harus berjuang agar tidak jatuh ke dalam jebakan Israel ini.

Dan dunia harus mengenali bahwa semua ‘serangan teror’ terbesar dan paling spektakuler sepanjang sejarah yang dituduhkan kepada Arab dan Muslim (musuh Israel) – mulai dari the Lavon Affair, hingga the USS Liberty, hingga the Achille Lauro dan pembajakan Entebbe, hingga pengeboman di London dan Buenos Aires, hingga 9/11 dan operasi-operasi lanjutan di Bali, Madrid, London, Mumbai dan tempat-tempat lainnya- adalah operasi ‘bendera palsu’ yang disponsori Israel. []

Catatan Dina:
-Operasi ‘bendera palsu’ Israel artinya, dilakukan oleh sekelompok orang tertentu, namun sebenarnya dalangnya adalah Israel. Karena itu, kita lihat misalnya, aksi bom Bali, memang dilakukan oleh Amrozi dan timnya, tapi dalam hal ini, mereka adalah pion yang tanpa sadar dimainkan dalam operasi bendera palsu ini. Amrozi sendiri dalam pengakuannya, heran, mengapa bom yang diledakkannya sedemikian besar ledakannya. Dia merasa berjihad (dan entah siapa yang mendoktrinnya, bahwa meledakkan bom adalah jihad), namun dia tidak sadar, ada pihak lain yang ‘menyetirnya’. Pihak lain itulah yang menaruh bom mikronuklir (C4) yang hanya dimiliki oleh Israel, Amerika, Inggris, atau Australia.

-Di Mesir, Al Sisi memang pion Zionis (seperti ditulis Dr. Barret), tapi tidak membuat Ikhwanul Muslimin (IM) sebagai pihak yang protagonis (benar). IM justru sama seperti Amrozi, merasa sedang berjihad, tetapi sebenarnya sedang menari bersama genderang lawan. IM Suriah mengira mereka sedang habis-habisan berjihad, padahal sesungguhnya sedang melaksanakan rencana Israel untuk memecah belah Suriah. IM Mesir pun bersekutu dengan IM Suriah dalam mengobarkan perang saudara di Suriah. Kini, IM Mesir sedang menjalani ‘takdir’ sebagai korban, mereka dibunuh atau ditangkap tentara. Seharusnya, situasi ini membuat para simpatisan IM (khususnya di Indonesia) sadar, siapa sebenarnya yang menjadi musuh mereka. Untuk mengetahui lebih jauh, bisa baca tulisan saya sebelumnya, Pemetaan konflik Mesir 
*****

Pemetaan Konflik Mesir

Oleh: Dina Y. Sulaeman*

Pengantar: Dalam artikel panjang ini penulis akan melakukan pemetaan konflik dengan harapan agar publik bisa melihat situasinya dengan lebih jernih. Ini penting karena opini publik Indonesia atas konflik ini terlihat mulai keruh oleh sikap-sikap takfiriah. Yang tidak mendukung Mursi dituduh anti-Islam. Bahkan banyak yang seenaknya berkata: yang anti-Mursi pasti Syiah atau Yahudi (dan keduanya bersekongkol!). Jelas ini pernyataan yang tidak logis, tidak cerdas, dan semata didasarkan pada kebencian yang membabi-buta. Sebaliknya, yang menolak kudeta pun, belum tentu pro-Mursi atau pro-takfiri. Bahkan, negara yang paling awal mengecam penggulingan Mursi dan menyebutnya sebagai kudeta militer justru Iran. Sebaliknya, yang pertama kali memberikan ucapan selamat kepada militer Mesir justru Arab Saudi.
 
(1)   Ikhwanul Muslimin
Muhammad Mursi, doktor lulusan AS dan aktivis Ikhwanul Muslimin (IM) naik ke tampuk kekuasaan dengan memenangi 52% suara dalam pemilu bulan Juni 2012. Jumlah turn-out vote saat itu hanya sekitar 50%. Artinya, secara real Mursi hanya mendapatkan dukungan seperempat dari 50 juta rakyat Mesir yang memiliki hak suara (karena ‘lawan’ Mursi saat itu hanya satu orang, Ahmad Shafiq, mantan perdana menteri era Mubarak). Dalam posisi seperti ini, bila benar-benar menganut azas demokrasi, idealnya Mursi melakukan pembagian kekuasaan dengan berbagai pihak.

Awalnya, Mursi memang memberikan sebagian jabatan dalam kabinetnya kepada tokoh-tokoh yang tadinya berada di pemerintahan interim militer. Namun sikap kompromistis Mursi tak bertahan lama. Pada bulan Agustus 2012, Mursi mulai melakukan ‘pembersihan’ di tubuh pemerintahannya. Bahkan pada bulan November 2012, Mursi mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa semua produk hukum yang dihasilkan anggota parlemen (yang didominasi Ikhwanul Muslimin) tidak bisa dibatalkan pengadilan. Dekrit ini ditentang kaum sekuler dan minoritas karena mengkhawatirkan produk UU yang meng- ‘Ikhwanisasi’ Mesir. Mereka pun berdemo besar-besaran di Tahrir Square.

Situasi semakin memanas seiring dengan sikap sektarianisme yang ditunjukkan para aktivis IM dan aliansi utama mereka, kalangan Salafi. Bila pada era Mubarak semua sikap politik-relijius  dari semua pihak diberangus, pada era Mursi yang terjadi adalah pembiaran kelompok berideologi takfiri (gemar mengkafirkan pihak lain) untuk menyebarluaskan pidato-pidato kebencian melalui berbagai kanal televisi dan radio.

Tidak cukup dengan pidato, aksi-aksi kekerasan fisik pun mereka lakukan. Korban sikap radikal mereka ini bahkan ulama Al Azhar. Pada 28 Mei 2013 kantor Grand Sheikh Al Azhar diserbu kelompok takfiri yang meneriakkan caci-maki, menyebut Al-Azhar sebagai institusi kafir. Tudingan ini dilatarbelakangi sikap moderat yang selalu diambil ulama Al Azhar dalam berbagai isu. Label kafir memang sering disematkan oleh pihak  pro-Mursi terhadap para penentangnya.  Puncaknya adalah peristiwa pembantaian terhadap orang-orang Syiah yang sedang mengadakan acara maulid Nabi di kawasan Zawiyat Abu Musallem.

Dalam kebijakan luar negerinya, Mursi pun tidak mendahulukan kepentingan nasional Mesir, melainkan kepentingan ideologis transnasional IM. Dalam konflik Suriah misalnya, di mana IM Suriah berperan aktif, Mursi memilih berpihak kepada kelompok oposisi. Mursi bahkan menjadi tuan rumah bagi muktamar para ulama di Kairo pada Juni 2012 yang merekomendasikan jihad, bantuan dana, dan suplai senjata untuk pemberontak Suriah. Ratusan jihadis asal Mesir pun ternyata sudah tewas di Suriah. Istilah gampangnya: negara sedang susah kok malah menghabiskan energi untuk ngurusin perang di negara lain?

Terhadap Israel pun, Mursi tidak menunjukkan sikap tegas: tetap mempertahankan hubungan diplomatik dan melakukan kebijakan anti-Palestina. Pada bulan Juli 2012, rezim Mursi sempat membuka gerbang Rafah.

Namun sejak Agustus 2012, gara-gara ada 16 tentara Mesir yang dibunuh teroris, Mesir kembali menutupnya.Tidak seperti yang banyak diberitakan media pro-Mursi, sesungguhnya pada era Mursi-lah terowongan-terowongan penghubung Gaza-Rafah ditutup (puncaknya pada Februari 2013). Ratusan terowongan itu merupakan lifeline rakyat Gaza, jalur yang memberikan mereka kehidupan. Terowongan-terowongan itulah yang memberi mereka akses keluar-masuk yang sangat dibutuhkan untuk membeli barang-barang kebutuhan hidup, termasuk makanan dan obat-obatan, serta menjual barang produksi mereka agar mereka bisa mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan perut, serta untuk membawa para penderita sakit ke rumah sakit di Mesir.

Sikap politik Mursi-IM ini tentu saja kontraproduktif dengan kebutuhan mendasar masyarakat Mesir yang didera kesulitan ekonomi. Mereka dulu bangkit menggulingkan Mubarak karena sudah lelah menghadapi kemiskinan akibat kebijakan ekonomi liberal yang dijalankan Mubarak, yang bekerja sama dengan IMF dan korporasi Barat. Namun kini, kebijakan ekonomi Mursi justru tak jauh beda dengan Mubarak. Segera setelah meraih tampuk kekuasaan, Mursi mendapati bahwa kas negaranya hanya tersisa 14 milyar dollar. Untuk mengatasinya Mursi tidak melakukan langkah radikal seperti yang diambil negara-negara Amerika Latin yang memutuskan hubungan dengan lembaga rente Barat. Ia malah bernegosiasi dengan IMF. Dan untuk melunakkan protes dari kalangan Salafi, dalam sebuah pidatonya bulan Oktober 2012, Mursi menyatakan, “Ini bukanlah riba.”.

Berbagai versi sikap Mursi ini (di satu sisi seperti Islam garis keras, tapi di satu sisi terlihat tetap berbaik-baik dengan Barat dan Israel), membuat yang memusuhinya bukan hanya kalangan liberal (yang mengkhawatirkan Ikhwanisasi Mesir), melainkan kalangan Islam radikal sendiri (yang menganggap Mursi kurang radikal). Itulah sebabnya, komposisi anti-Mursi sangat beragam, mulai dari liberal hingga Salafi.

(Catatan: Bagian ini adalah kutipan dari artikel karya penulis yang dimuat di Sindo Weekly Magazine No. 21-22. Analisis yang penulis ungkapkan di atas adalah hasil penelaahan dari berbagai sumber bacaan, namun terkonfirmasi oleh penjelasan Dubes Mesir untuk Indonesia –dalam wawancara yang berlangsung di Museum Konperensi Asia Afrika, 18/7/13; dan juga oleh Tariq Ramadan dalam salah satu tulisannya yang mengkritik Mursi. Tariq Ramadan adalah akademisi terkemuka, cucu Hasan Al Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin.).

(2)   Militer Mesir
Perlu dicatat pula bahwa kesalahan yang dilakukan Mursi dan IM selama setahun masa kepemimpinannya tidaklah membuat pihak yang berseberangan dengannya menjadi sosok protagonis. Mari kita cermati siapa saja tokoh yang akhirnya memegang kekuasaan pasca Mursi. Perdana Menteri pemerintahan interim bentukan militer adalah Hazem el-Beblawi, seorang ekonom berhaluan liberal. Mohamed El Baradei, yang diangkat sebagai Wapres untuk bidang Hubungan Internasional adalah partner setia Barat selama ini. Selain pernah menjabat Gubernur IAEA, Baradei adalah anggota Dewan Pengawas ICG (Internasional Crisis Group), LSM internasional yang didanai tokoh Zionis, George Soros, yang terlibat dalam berbagai konflik di dunia. Pasca tumbangnya Mubarak, Baradeilah yang digadang-gandang Barat untuk menjadi pengganti, namun dia tak mendapat banyak dukungan rakyat. Jangan lupakan pula Menlu Nabil Fahmy, yang pernah menjadi Dubes Mesir untuk AS selama sembilan tahun pada era Mubarak.

Naiknya tokoh-tokoh ini, jelas mengindikasikan adanya faktor AS dalam penggulingan Mursi. Sebagaimana ditulis Tariq Ramadan dalam bukunya Islam and the Arab Awakening, adalah naif bila mengabaikan faktor AS dan negara-negara adidaya lain dalam menganalisis konflik Timur Tengah. Kepentingan ekonomi mereka di Timur Tengah sedemikian besar sehingga mereka akan sebisa mungkin melibatkan diri dalam setiap perubahan politik di kawasan ini. AS bersama  Freedom House dan the National Endowment for Democracy, jauh sebelum tergulingnya Mubarak telah mendukung dan mendanai kelompok-kelompok pro-demokrasi Mesir. Padahal di saat yang sama, AS pun tetap menjalin kemesraan dengan Mubarak. Inilah wujud political leveraging AS, bermain di dua kaki. Inilah yang dikatakan Tariq Ramadan, “Teman terbaik pemerintah Barat adalah mereka yang paling baik melayani kepentingan Barat, mereka bisa saja diktator, atau Islamis.”

Ketika pemerintahan hasil demokrasi Mesir kembali digulingkan, AS pun tidak banyak bereaksi. Bahkan pemerintah AS kini tidak lagi menyebut penggulingan Mursi sebagai ‘kudeta militer’ dan tetap akan mengirimkan F-16-nya ke Mesir (meski ada juga berita yang menyebutkan AS akan menundanya). Selama ini, setiap tahunnya AS memberikan bantuan sebesar 1,5 milyar Dollar kepada Mesir, sebagian besarnya dalam bentuk bantuan militer. Di sisi lain, Obama juga meminta agar militer membebaskan Mursi, seolah-olah Obama berpihak pada Mursi.

Bila dilihat dari kacamata demokrasi, yang terjadi di Mesir adalah kudeta yang bertentangan dengan konsep dasar demokrasi. Dogma demokrasi adalah 50%+1 bisa dianggap sebagai mayoritas rakyat dan suara rakyat adalah “suara Tuhan” yang harus dipatuhi semua rakyat.

(Catatan:  Dalam wawancara penulis dengan Dubes Mesir untuk Indonesia, Bahaa El Deen Desouky, dia menyatakan bahwa situasi saat itu sudah sangat genting. Demonstrasi rakyat Mesir yang menuntut Mursi mundur adalah demonstrasi terbesar dalam sejarah Mesir. Mursi dan IM pun tidak melakukan langkah-langkah politik yang tepat untuk menangani masalah ini sehingga akhirnya militer ‘terpaksa’ mengambil alih kendali kekuasaan agar situasi tidak lebih kacau lagi. Saat penulis menyebutkan adanya dominasi AS dalam pemerintahan interim, Desouky menyanggahnya dan menyebut itu gosip media belaka). 

(3)   Respon Iran
Seperti telah disinggung pada pengantar tulisan, sikap Iran berbeda dibanding negara-negara Arab (dan AS-Israel, tentu saja). Demo anti Mursi dan IM sesungguhnya tidak terjadi baru-baru ini saja, melainkan sejak Mursi nekad mengeluarkan Dekrit 22 November. Setelah itu, diadakan referendum untuk mengesahkan UU produk parlemen baru dan hasilnya mayoritas peserta referendum menyatakan setuju. Meskipun peserta referendum hanya 33% dari seluruh pemilik suara, dari kaca mata demokrasi, tetap saja ini dianggap sah. Dan saat itu, Iran terang-terangan menyatakan dukungannya.  Pada 25/12/12, Ahmadinejad  mengucapkan selamat kepada Mursi dan mengatakan, “Saya yakin di era baru ini, bangsa Mesir akan bergerak menuju puncak kehormatan dan kemajuan.”  Padahal di saat yang sama, pemberitaan media Barat hampir seragam: kelangsungan revolusi Mesir telah terancam; demokrasi telah disingkirkan oleh Ikhwanul Muslimin. 

Sikap Iran ini cukup menimbulkan tanda tanya. Sebab, sikap Mursi dan IM selama ini justru berkali-kali merugikan Iran. Dalam acara KTT Gerakan Non Blok di Teheran, misalnya, Mursi justru berpidato menyerukan para anggota GNB untuk bersatu mendukung ‘perjuangan’ rakyat Suriah. Secara terang-terangan, Mursi menyebut pemerintah Suriah sebagai ‘rezim opresif’ dan menyatakan bahwa pihaknya mendukung kehendak rakyat Suriah untuk mencapai kebebasan dan kesetaraan.

Pidato Mursi ini sangat melanggar etika diplomasi karena menampar muka Iran sebagai tuan rumah, yang sudah jelas berposisi mendukung pemerintah Suriah. Kalau Iran waktu itu bukan tuan rumah, Iran akan leluasa memberikan pidato balasan. Namun posisinya sebagai tuan rumah membuat Iran terpaksa diam demi menjaga keberlangsungan sidang.  Selain itu, sikap Mursi jelas melanggar konvensi GNB yang menolak interferensi atas urusan internal negara lain. Kalaupun Mesir memiliki pendapat tertentu terkait Suriah, etikanya, disampaikan pada sidang-sidang perumusan deklarasi; dan nantinya akan dilakukan deklarasi bersama GNB terkait Suriah. Tak heran bila delegasi Suriah dalam KTT tersebut langsung melakukan aksi walkout saat mendengar pidato Mursi.

Segera setelah Mursi dipaksa lengser oleh militer, Iran mengeluarkan kecaman dan menyebut telah terjadi kudeta militer di Mesir. Padahal, di saat yang sama, Arab Saudi justru memberi selamat pada militer. Berdasarkan analisis-analisis politik yang dimuat di koran beroplah terbesar di Iran, Kayhan, bisa ditangkap bahwa sikap Iran ini disebabkan karena melihat kepentingan yang lebih global. Dalam pandangan Iran, keberhasilan rakyat Mesir menggulingkan Mubarak dan menyelenggarakan pemilu demokratis adalah model yang menghembuskan angin harapan bagi rakyat tertindas di muka bumi. Terbukti,  Mubarak yang sangat ditakuti rakyatnya akhirnya bisa juga ditumbangkan. Namun kini, dengan kembali berkuasanya militer (meskipun dengan alasan: kehendak rakyat), harapan ini telah meredup. Negara-negara Arab monarkhi akan semakin berani menggunakan kekuatan militer untuk menindas demo rakyatnya. Jelas ini bertentangan dengan ide Iran yang sejak kemenangan revolusi 1979 selalu menyerukan agar bangsa-bangsa tertindas bangkit melawan penindasnya.

Pertanyaannya, bukankah rakyat Mesir memang benar-benar berdemo besar-besaran untuk menuntut Mursi turun? Ada banyak analisis yang dikemukakan dalam hal ini. Namun, saya tertarik pada pernyataan seorang komentator di website Tariq Ramadan, “Saya ikut demo karena memang tidak menyukai kebijakan Mursi. Tapi saya sama sekali tidak menyangka bahwa akhirnya justru militer dan orang-orang pro-Barat yang berkuasa.”.

Bila menggunakan kategorisasi Jean-Paul Sartre,  ada tiga jenis gerakan rakyat melawan penguasa, yaitu  pemberontakan, kebangkitan, dan revolusi. Revolusi adalah tingkat tertinggi sebuah gerakan rakyat, yang bermakna menghapus total sistem politik dan ekonomi rezim lama. Gerakan rakyat  Mesir lebih tepat disebut sebagai kebangkitan karena tidak ada figur utama yang memimpin dan tidak ada kristalisasi ide perjuangan, sehingga tak banyak membawa perubahan nyata. Rakyat hanya bisa marah dan mengungkapkan kemarahannya terhadap rezim, namun tidak memiliki daya untuk membentuk pemerintahan baru. Atau mungkin, mereka memang tidak tahu pasti pemerintahan seperti yang apa yang tepat untuk mereka, karena ketiadaan figur pemimpin revolusi. Kemarahan mereka adalah nyata. Namun, secara real pula, kekuasaan tidak ada di tangan mereka. Lagi-lagi, elitlah yang mengambil alih. Sikap IM yang tak mau mengalah (padahal mengalah pun adalah sebuah strategi untuk menang) pun harus diakui bak memberikan bensin kepada api yang sedang menyala, sehingga membuka jalan bagi aksi represif militer. Apalagi, menyelamatkan jiwa lebih wajib daripada menyelamatkan kekuasaan. Dan rakyat Mesirlah yang menjadi korban utama: darah kembali tertumpah sia-sia, sementara perbaikan ekonomi entah kapan akan terwujud.

Penutup:
Tumbangnya Mursi dan IM perlu dijadikan catatan bahwa mengusung Islam sebagai kendaraan politik ternyata tak semudah yang disangka. Sikap welas asih dan antisektarianisme, dan di saat yang sama tegas memperjuangkan kepentingan nasional di hadapan kekuatan asing, tetap menjadi syarat utama untuk meraih simpati rakyat. Ini agaknya penting pula dicatat oleh para aktivis muslim Indonesia yang berpatron pada Ikhwanul Muslimin. Ingatlah bahwa rakyat akan berpihak kepada  mereka yang memperjuangkan kepentingan bangsa, bukan yang melulu memikirkan kepentingan organisasi eksklusif-transnasional.

Dan bagi kita bangsa Indonesia, kisruh Mesir harus dijadikan pelajaran, bukannya malah ikut berseteru demi mendukung (atau tidak mendukung) presiden sebuah negara yang letaknya ribuan kilo dari kita. Pernyataan mantan Dubes Indonesia untuk Mesir, AM Fachir (dalam acara talkshow tentang Mesir di Museum KAA, 18/7/13) penting untuk digarisbawahi. Fachir menyatakan bahwa perbedaan utama Mesir dan Indonesia adalah bahwa Indonesia memiliki Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa. Di Mesir, konflik menjadi sangat tajam dan mengarah kepada perang saudara karena semua pihak berkeras kepala dengan kebenaran yang dipegang masing-masing. Karena itu, kita perlu kembali berpegang teguh kepada Pancasila. Kita menyembah Tuhan yang satu dan memiliki harapan yang sama: Indonesia yang damai dan makmur. Konflik di luar negeri adalah untuk diambil hikmah, bukan malah diimpor dan dijadikan bahan untuk memecah belah bangsa sendiri. []

*mahasiswa Program Doktor Hubungan Internasional Unpad, peneliti tamu pada Global Future Institute, penulis buku ‘Prahara Suriah’.

*****
-Mungkin ada yang menilai tulisan Dr Barret adalah teori konspirasi belaka (untuk mendiskreditkan analisis anti-Israel, dalam dunia akademis memang disebarluaskan paham bahwa segala sesuatu yang menyebutkan adanya Israel sebagai ‘dalang’ adalah teori konspirasi yang tidak bermutu).  Namun bahwa lobby Israel telah sedemikian mencekam AS dan berhasil membuat AS melakukan langkah-langkah yang justru berlawanan dengan kepentingan nasionalnya sendiri sudah dianalisis dalam paper karya dua pakar Hubungan Internasional dari Chicago University, Prof Mearsheimer dan Walt. Bisa download di sini.
-Soal senjata kimia Suriah, bila memang ingin menggali lebih jauh, bisa baca postingan saya sebelumnya di sini
*****

Senjata Kimia di Suriah

Sebenarnya, soal bagaimana menyikapi pemberitaan soal Suriah, atau konflik apapun, sudah saya tulis di postingan saya sebelumnya : Cara Menganalisis Konflik.
Sebenarnya, bahwa ada Zionis di balik berkepanjangannya konflik di Suriah (juga Mesir, Lebanon, Irak, dll), juga bisa dibaca dari artikel saya yang ini: The Oded Yinon’s Plan

Sebenarnya, saya juga sudah panjang lebar mengungkap berbagai rekayasa informasi soal Suriah dan bagaimana cara memandang konflik ini dengan benar, di buku saya Prahara Suriah.
Sebenarnya, saya juga sudah posting ulang ‘Kumpulan Pemalsuan Data Foto Konflik Suriah’

Tapi, ketika kemarin (Rabu) muncul berita tentang penggunaan senjata kimia di Suriah, tetap saja para pendukung mujahidin merasa perlu mengintimidasi saya dengan mengirim inbox di FB, seolah-oleh senang sekali, bisa menyodorkan bukti kekejaman Assad.

Saya sungguh heran. “Mereka” ini sekarang sudah merasakan bagaimana jadi korban pemalsuan informasi, bagaimana foto-foto dibuat secara manipulatif untuk menyudutkan kelompok “mereka” (dan di saat yang sama, “mereka” juga melakukan cara serupa, memanipulasi foto untuk menyudutkan lawan “mereka”). “Mereka” sudah merasakan bagaimana presiden yang mereka puja dan sah secara demokratis dikudeta semena-mena.  “Mereka” gemar sekali berteriak-teriak ‘tabayun!’ Tapi tetap saja, pengalaman itu tidak membuat pikiran “mereka” terbuka. Terhadap pihak yang “mereka” benci, “mereka” berkeras tak mau bertabayun dan terus memakai kaca mata kuda.

Buat yang ingin mencari perimbangan info soal kasus terbaru di Suriah ini, bisa klik link-link berikut (saya tidak mau repot-repot menerjemahkannya).

http://www.liveleak.com/view?i=8da_1377112216#Y0kFdP9lmB9at2gQ.99
http://www.islamicinvitationturkey.com/2013/08/22/photo-al-jazzera-reuter-published-the-news-of-massacre-in-east-ghouta-damascus-one-day-before-the-massacre-happened-by-assad/
http://www.ibtimes.co.uk/articles/500506/20130821/syria-chemical-attack-accident-caused-free-syrian.htm
http://www.globalresearch.ca/was-the-syria-chemical-weapons-probe-torpedoed-by-the-west/5333671
atau ini ada yang berbahasa Indonesia: http://vendraminda.wordpress.com/2013/08/22/tidak-semua-orang-suka-informasi-atas-bukti-penggunaan-senjata-kimia-oleh-fsa/#more-729

Isu senjata kimia ini bukan hal baru. Pada tahun 2012 pun tuduhan serupa sudah dilemparkan para pemberontak (dan negara-negara Barat pendukung mereka) kepada Assad, tapi lalu berhasil dimentahkan. Bisa baca di sini:
http://rt.com/news/syria-chemical-weapons-plot-532/

Bahkan, pada bulan Mei 2013, pejabat PBB, Carla Del Ponte, sudah menyampaikan hasil penyelidikannya bahwa yang menggunakan senjata kimia di Suriah justru para pemberontak. Baca di sini: http://www.dailymail.co.uk/news/article-2320223/UN-accuses-Syrian-rebels-carrying-sarin-gas-attacks-blamed-Assads-troops.html

Dan masih banyak lagi, silahkan cari sendiri.

Apa tujuan pihak pemberontak melemparkan tuduhan penggunaan senjata kimia (dan bahkan mengorbankan warga sipil Suriah dalam aksi itu)? Tak lain tak bukan, ingin menggolkan persetujuan PBB untuk mengirim pasukan internasional menggulingkan Assad, sebagaimana dulu Barat telah menggulingkan Saddam atau Qaddafi. (Ingat, Saddam juga dituduh memiliki senjata biologis; dan setelah Saddam tewas dan Irak diduduki AS, terbukti bahwa itu berita bohong belaka).

Tapi saya akan kembali mengingatkan saja, mudah-mudahan ‘mereka’ ini bisa tersadarkan. Kalau tidak, ya apa boleh buat. Bahkan Rasulullah pun tugasnya hanya menyampaikan, apalagi saya yang sekedar blogger. Saya ulangi lagi kalimat yang entah berapa kali saya tulis, musuh umat Islam adalah Zionis, bukan yang lain.

Dan Zionis sangat cerdas, tak akan menyerang terang-terangan. Mereka menggunakan berbagai tipu daya, termasuk dengan membodoh-bodohi sebagian kaum muslimin, sehingga kaum muslimin saling berperang, sementara Zionis dan sekutunya santai-santai menonton sambil minum teh.

Berikut kutipan Dr. Mahatir Muhammad: “Kita ummat Islam memiliki 1,3 milyar penduduk yang seharusnya tidak bisa diabaikan begitu saja. Tapi kita tak bisa mengalahkan 6 juta Yahudi yang didukung AS dan Eropa karena Yahudi memerintah dunia melalui kaki-tangan mereka (proxy). Yahudi membuat kita berkelahi satu sama lain dan mati untuk mereka.”.

*****
__________________________
Hingga tulisan ini dibuat, belum ada keputusan dari Gedung Putih, apakah jadi mengagresi Suriah atau tidak.

Diterjemahkan (dan diberi ulasan tambahan) oleh Dina Y. Sulaeman, dari A Century of Lies: The Rationales for Engaging in Foreign Wars, A Century-old White House Tradition (James F Tracy)  [Seabad Kebohongan: Alasan Untuk Melakukan Perang,  Tradisi Satu Abad Gedung Putih).
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: