10. Barack H. Obama: “Intervensi Kemanusiaan”-
NATO (serangan ke Libya) 2011,
“Intervensi Kemanusiaan” (intervensi di Suriah) 2011-sekarang
“Dalam situasi yang rentan seperti ini, sangat penting bagi
negara-negara di dunia untuk berbicara dalam satu suara, dan hal ini
telah menjadi fokus kami … Kemarin Dewan Keamanan PBB secara bulat
mengirimkan pesan yang jelas, yaitu mengutuk kekerasan di Libya,
mendukung pertanggungjawaban bagi pelakunya, dan membela rakyat Libya.
Sebagaimana semua pemerintahan, pemerintah Libya memiliki tanggung jawab
untuk menghindari kekerasan, untuk mengizinkan masuknya bantuan
kemanusiaan, dan untuk menghormati hak-hak rakyatnya. Pemerintahan Libya
harus bertanggung jawab atas kegagalan untuk memenuhi tanggung jawab
tersebut, dan atas berlanjutnya pelanggaran HAM.” (22 Feb 2011).
Catatan: Pada bulan Mei 2011, NATO di bawah pimpinan AS
membombardir Libya dan merusak sangat banyak infrastruktur negara
termakmur di Afrika itu (dan kemudian, lagi-lagi, proyek rekonstruksinya
dipegang perusahaan Barat dan pembiayaannya dilakukan oleh pemerintah
baru Libya dengan berhutang pada IMF dll).
Kini, kebohongan kembali akan dipakai oleh Obama di Suriah. Rezim
Assad dituduh sebagai pelaku serangan senjata kimia tanggal 21 Agustus
2013 lalu, meskipun belum ada hasil penyelidikan resmi PBB dan berbagai
kejanggalan atas kasus ini telah terungkap.
_________________________________
(Diterjemahkan dan diberi ulasan oleh Dina Y. Sulaeman dari artikel ‘Syria chemical mayhem: Another Israeli false-flag? karya Dr. Kevin Barret)
Pada hari Rabu, hanya beberapa jam setelah pembunuhan massal ratusan
orang Suriah dengan senjata kimia, Menteri Militer [karena tidak cocok
diterjemahkan jadi ‘Menteri Pertahanan’, mereka tidak bertahan tapi
menjajah] Israel, Moshe Yaalon, mengklaim bahwa dia tahu siapa pelaku
pembunuhan missal itu: pemerintah Suriah.
Para pemimpin dunia lainnya, termasuk President AS, Barack Obama,
tidak tergesa-gesa memberi penilaian. Mereka ‘hanya’ mengimbau PBB untuk
menyelidiki. Banyak ahli, termasuk Frank Gardner dari BBC, mantan
inspektur senjata PBB Rolf Ekeus, dan ahli senjata kimia Swedia, Ake
Sellstrom, menertawakan atau meragukan tuduhan bahwa Presiden Suriah,
Assad, akan melancarkan serangan senjata kimia pada saat bersamaan
dengan keberadaan para penyelidik PBB di Suriah. Sementara itu, Perdana
Menteri Rusia, menyebut bahwa serangan senjata kimia itu sebagai
‘provokasi yang sudah direncanakan sebelumnya’.
Tapi, Direncanakan Oleh Siapa?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu bertanya pula: bagaimana
mungkin Israel langsung tahu siapa pelaku serangan senjata kimia itu?
Selama ini, para pemimpin Israel memang memiliki kemampuan yang
‘mengagumkan’ dalam urusan ‘meramal’. Kapan saja ada kejadian serangan
teror besar yang mengubah sejarah, orang Israel langsung tahu, siapa
pelakunya. Belum lagi asap mereda, mereka sudah berdiri dan mengatakan
kepada dunia apa yang sedang terjadi dan menyediakan ‘naskah’ kepada
dunia supaya bereaksi sebagaimana yang mereka inginkan.
Misalnya saja, dalam kasus terror di gedung WTC (peristiwa 9-11).
Jurnalis Christopher Bollyn mengatakan, “Hanya dalam hitungan menit
setelah pesawat menabrak gedung WTC pada 9/11, Ehud Barak (pendiri dan
pemimpin satuan operasi militer rahasia Israel, the Sayeret Matkal)
berada di London, di studio BBC, siap menyediakan penjelasan yang ‘masuk
akal’ (dan politis) kepada dunia. Barak, yang sebenarnya merupakan
arsitek 9/11, justru orang pertama yang menyebutkan ‘Perang Melawan
Terorisme’ dan seruan intervensi AS di Afghanistan Timur Tengah.”
Dan seperti Ehud Barak beberapa menit setelah 9/11, Moshe Yaalon
berdiri hanya beberapa jam setelah tragedi pembantaian dengan senjata
kimia; dan menyampaikan narasi yang terlihat sudah disiapkan.
Fox News (Channel Televisi AS) Menyebarkan ‘Naskah’ Israel:
“Di Suriah, rezim telah menggunakan senjata kimia dan ini bukanlah pertama kalinya,” Menteri Militer Israel, Yaalon, mengatakan
kepada koresponden kami di Israel. “Ini adalah perjuangan hidup-mati
antara rezim Alawi yang minoritas melawan oposisi Muslim Sunni yang
terdiri dari beberapa faksi berbeda, sebagian anggota Ikhwanul Muslimin,
sebagian lagi anggota al-Qaeda. Kami tidak melihat perang ini akan
berakhir, bahkan jatuhnya Al Assad tidak akan menyelesaikan konflik ini,
konflik berdarah akan terjadi dalam waktu yang lama,” menteri Yaalon
menambahkan. “Kita bisa melihat ‘ledakan’ berikutnya, dengan Alawi
yang mengontrol sebelah barat, wilayah pantai, dan koridor menuju
Damaskus – dan warga Kurdi dan Sunni mengontrol timur dan utara.”.
Ceramah Yaalon itu bukan analisis. Ini sebuah program aksi. Inilah
yang diinginkan Israel untuk terjadi. Argumen dari pernyataan ini adalah
sbb.
Pertama, Israeli menghendaki agar dunia mau saja menelan tuduhan
bahwa pemerintah Suriah cukup gila untuk melancarkan serangan senjata
kimia bertepatan dengan datangnya para penyelidik PBB. Mereka ingin
dunia mempercayai bahwa pemerintah Assad, setelah semua keberhasilan
besarnya akhir-akhir ini dalam menangani para pemberontak, berani
menanggung resiko dan melakukan pembantaian senjata kimia. Tujuan Israel
adalah agar dunia menyetujui intervensi militer Barat di Suriah.
Kedua, Israeli ingin dunia melihat konflik Suriah sebagai pertarungan
tanpa akhir antara Sunni dan Alawi. Kata-kata Yaalon “tidak melihat
akhir dari perang ini” bermakna Israel tidak ingin perang berakhir.
Bahkan mereka akan melakukan apa saja agar perang terus berlangsung,
termasuk dengan melancarkan serangan ‘false-flag’ (bendera palsu)
seperti pembantaian dengan senjata kimia. Tujuan Israel pun sudah
terlihat dari pernyataan Yaalon, yaitu penghancuran Suriah
, “Kita
bisa melihat ‘ledakan’ berikutnya, dengan Alawi yang mengontrol sebelah
barat, wilayah pantai, dan koridor menuju Damaskus – dan warga Kurdi dan
Sunni mengontrol timur dan utara.”.
Penghancuran Suriah akan menjadi titik kulminasi dari proyek Israel
sejak beberapa dekade lalu, yaitu ‘Rencana Oded Yinon’ yang ingin
mem-Balkanisasi Timur Tengah. Sejak tahun 1970-an, para ahli strategi
Israel telah berencana untuk memecah negara-negara Timur Tengah menjadi
negara-negara mungil berdasarkan etnis dan sekte (mazhab).
Rencana Oded Yinon kemudian pada tahun 1996 diadopsi menjadi Rencana ‘Clean Break’ (
Pemecahan dengan rapi)
Netanyahu. Untuk mencapai tujuan penghancuran negara-negara tetangga
Israel, tim Netanyahu, yang dipimpin oleh Richard Perle, yang dijuluki
“Pangeran Kegelapan” mendesain jebakan untuk AS agar melakukan pekerjaan
kotor Israel. Pada September 2000, Perle, Wolfowitz, dan tokoh Zionist
yang tergabung dalam Project for a New American Century (PNAC)
menyerukan adanya ‘new Pearl Harbor.’ Setahun kemudian, pada 11
September 2001 (9/11), ‘Pearl Harbor baru’ menjadi kenyataan. Tujuan
mereka adalah melancarkan perang tanpa akhir antara AS melawan
musuh-musuh Israel.
Dan sejak itulah, kita melihat Perang Melawan Terorisme yang tak
kunjung usai. Israel dan kaki-tangannya, Amerika, telah menghancurkan
Irak, Libya, dan Sudan.
Sekarang, mereka sedang menargetkan
Suriah dan Mesir, dua negara yang wilayahnya ingin dicuri Israel, demi
mewujudkan ‘Israel Raya’ yang membentang dari Nil hingga Sungai Furat
(Irak).
Tak lama sebelum operasi ‘bendera palsu’ (false-flag) berupa serangan senjata kimia di Suriah,
Israeli telah mendalangi kudeta fasis di Mesir.
Jenderal al-Sisi, seorang tentara yang sepanjang karirnya telah menjadi
pion Israel, selama berhari-hari sebelum dan selama kudeta, menelpon
‘majikan’ Israelnya.
Sebagaimana di Suriah, tujuan Israel di Mesir adalah “tidak melihat
akhir dari perang.” Inilah mengapa Israel meyakinkan al-Sisi untuk
membebaskan diktator-kriminal, Hosni Mubarak. Langkah ini diperkirakan
akan membangkitkan kemarahan rakyat Mesir dan dengan demikian,
pembantaian yang dilakukan rezim al-Sisi pun akan terus berlangsung.
Rakyat Suriah dan Mesir harus berjuang agar tidak jatuh ke dalam jebakan Israel ini.
Dan dunia harus mengenali bahwa semua ‘serangan teror’ terbesar dan
paling spektakuler sepanjang sejarah yang dituduhkan kepada Arab dan
Muslim (musuh Israel) – mulai dari the Lavon Affair, hingga the
USS Liberty,
hingga the Achille Lauro dan pembajakan Entebbe, hingga pengeboman di
London dan Buenos Aires, hingga 9/11 dan operasi-operasi lanjutan di
Bali, Madrid, London, Mumbai dan tempat-tempat lainnya- adalah operasi
‘bendera palsu’ yang disponsori Israel. []
Catatan Dina:
-Operasi ‘bendera palsu’ Israel artinya, dilakukan oleh sekelompok
orang tertentu, namun sebenarnya dalangnya adalah Israel. Karena itu,
kita lihat misalnya, aksi bom Bali, memang dilakukan oleh Amrozi dan
timnya, tapi dalam hal ini, mereka adalah pion yang tanpa sadar
dimainkan dalam operasi bendera palsu ini. Amrozi sendiri dalam
pengakuannya, heran, mengapa bom yang diledakkannya sedemikian besar
ledakannya. Dia merasa berjihad (dan entah siapa yang mendoktrinnya,
bahwa meledakkan bom adalah jihad), namun dia tidak sadar, ada pihak
lain yang ‘menyetirnya’. Pihak lain itulah yang menaruh bom mikronuklir
(C4) yang hanya dimiliki oleh Israel, Amerika, Inggris, atau Australia.
-Di Mesir, Al Sisi memang pion Zionis (seperti ditulis Dr. Barret),
tapi tidak membuat Ikhwanul Muslimin (IM) sebagai pihak yang protagonis
(benar). IM justru sama seperti Amrozi, merasa sedang berjihad, tetapi
sebenarnya sedang menari bersama genderang lawan. IM Suriah mengira
mereka sedang habis-habisan berjihad, padahal sesungguhnya sedang
melaksanakan rencana Israel untuk memecah belah Suriah. IM Mesir pun
bersekutu dengan IM Suriah dalam mengobarkan perang saudara di Suriah.
Kini, IM Mesir sedang menjalani ‘takdir’ sebagai korban, mereka dibunuh
atau ditangkap tentara. Seharusnya, situasi ini membuat para simpatisan
IM (khususnya di Indonesia) sadar, siapa sebenarnya yang menjadi musuh
mereka. Untuk mengetahui lebih jauh, bisa baca tulisan saya sebelumnya,
Pemetaan konflik Mesir
*****
Oleh: Dina Y. Sulaeman*
Pengantar: Dalam artikel panjang ini penulis akan
melakukan pemetaan konflik dengan harapan agar publik bisa melihat
situasinya dengan lebih jernih. Ini penting karena opini publik
Indonesia atas konflik ini terlihat mulai keruh oleh sikap-sikap
takfiriah. Yang tidak mendukung Mursi dituduh anti-Islam. Bahkan banyak
yang seenaknya berkata: yang anti-Mursi pasti Syiah atau Yahudi (dan
keduanya bersekongkol!). Jelas ini pernyataan yang tidak logis, tidak
cerdas, dan semata didasarkan pada kebencian yang membabi-buta.
Sebaliknya, yang menolak kudeta pun, belum tentu pro-Mursi atau
pro-takfiri. Bahkan, negara yang paling awal mengecam penggulingan Mursi
dan menyebutnya sebagai kudeta militer justru Iran. Sebaliknya, yang
pertama kali memberikan ucapan selamat kepada militer Mesir justru Arab
Saudi.
(1) Ikhwanul Muslimin
Muhammad Mursi, doktor lulusan AS dan aktivis Ikhwanul Muslimin (IM)
naik ke tampuk kekuasaan dengan memenangi 52% suara dalam pemilu bulan
Juni 2012. Jumlah
turn-out vote saat itu hanya sekitar 50%.
Artinya, secara real Mursi hanya mendapatkan dukungan seperempat dari 50
juta rakyat Mesir yang memiliki hak suara (karena ‘lawan’ Mursi saat
itu hanya satu orang, Ahmad Shafiq, mantan perdana menteri era Mubarak).
Dalam posisi seperti ini, bila benar-benar menganut azas demokrasi,
idealnya Mursi melakukan pembagian kekuasaan dengan berbagai pihak.
Awalnya, Mursi memang memberikan sebagian jabatan dalam kabinetnya
kepada tokoh-tokoh yang tadinya berada di pemerintahan interim militer.
Namun sikap kompromistis Mursi tak bertahan lama. Pada bulan Agustus
2012, Mursi mulai melakukan ‘pembersihan’ di tubuh pemerintahannya.
Bahkan pada bulan November 2012, Mursi mengeluarkan dekrit yang
menyatakan bahwa semua produk hukum yang dihasilkan anggota parlemen
(yang didominasi Ikhwanul Muslimin) tidak bisa dibatalkan pengadilan.
Dekrit ini ditentang kaum sekuler dan minoritas karena mengkhawatirkan
produk UU yang meng- ‘Ikhwanisasi’ Mesir. Mereka pun berdemo
besar-besaran di Tahrir Square.
Situasi semakin memanas seiring dengan sikap sektarianisme yang
ditunjukkan para aktivis IM dan aliansi utama mereka, kalangan Salafi.
Bila pada era Mubarak semua sikap politik-relijius dari semua pihak
diberangus, pada era Mursi yang terjadi adalah pembiaran kelompok
berideologi takfiri (gemar mengkafirkan pihak lain) untuk
menyebarluaskan pidato-pidato kebencian melalui berbagai kanal televisi
dan radio.
Tidak cukup dengan pidato, aksi-aksi kekerasan fisik pun mereka
lakukan. Korban sikap radikal mereka ini bahkan ulama Al Azhar. Pada 28
Mei 2013 kantor Grand Sheikh Al Azhar diserbu kelompok takfiri yang
meneriakkan caci-maki, menyebut Al-Azhar sebagai institusi kafir.
Tudingan ini dilatarbelakangi sikap moderat yang selalu diambil ulama Al
Azhar dalam berbagai isu. Label kafir memang sering disematkan oleh
pihak pro-Mursi terhadap para penentangnya. Puncaknya adalah peristiwa
pembantaian terhadap orang-orang Syiah yang sedang mengadakan acara
maulid Nabi di kawasan Zawiyat Abu Musallem.
Dalam kebijakan luar negerinya, Mursi pun tidak mendahulukan
kepentingan nasional Mesir, melainkan kepentingan ideologis
transnasional IM. Dalam konflik Suriah misalnya, di mana IM Suriah
berperan aktif, Mursi memilih berpihak kepada kelompok oposisi. Mursi
bahkan menjadi tuan rumah bagi muktamar para ulama di Kairo pada Juni
2012 yang merekomendasikan jihad, bantuan dana, dan suplai senjata untuk
pemberontak Suriah. Ratusan jihadis asal Mesir pun ternyata sudah tewas
di Suriah. Istilah gampangnya:
negara sedang susah kok malah menghabiskan energi untuk ngurusin perang di negara lain?
Terhadap Israel pun, Mursi tidak menunjukkan sikap tegas: tetap
mempertahankan hubungan diplomatik dan melakukan kebijakan
anti-Palestina. Pada bulan Juli 2012, rezim Mursi sempat membuka gerbang
Rafah.
Namun sejak Agustus 2012, gara-gara ada 16 tentara Mesir yang
dibunuh teroris, Mesir kembali
menutupnya.Tidak
seperti yang banyak diberitakan media pro-Mursi, sesungguhnya pada era
Mursi-lah terowongan-terowongan penghubung Gaza-Rafah ditutup (puncaknya
pada Februari 2013). Ratusan terowongan itu merupakan
lifeline
rakyat Gaza, jalur yang memberikan mereka kehidupan.
Terowongan-terowongan itulah yang memberi mereka akses keluar-masuk yang
sangat dibutuhkan untuk membeli barang-barang kebutuhan hidup, termasuk
makanan dan obat-obatan, serta menjual barang produksi mereka agar
mereka bisa mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan perut, serta untuk
membawa para penderita sakit ke rumah sakit di Mesir.
Sikap politik Mursi-IM ini tentu saja kontraproduktif dengan
kebutuhan mendasar masyarakat Mesir yang didera kesulitan ekonomi.
Mereka dulu bangkit menggulingkan Mubarak karena sudah lelah menghadapi
kemiskinan akibat kebijakan ekonomi liberal yang dijalankan Mubarak,
yang bekerja sama dengan IMF dan korporasi Barat. Namun kini, kebijakan
ekonomi Mursi justru tak jauh beda dengan Mubarak. Segera setelah meraih
tampuk kekuasaan, Mursi mendapati bahwa kas negaranya hanya tersisa 14
milyar dollar. Untuk mengatasinya Mursi tidak melakukan langkah radikal
seperti yang diambil negara-negara Amerika Latin yang memutuskan
hubungan dengan lembaga rente Barat. Ia malah bernegosiasi dengan IMF.
Dan untuk melunakkan protes dari kalangan Salafi, dalam sebuah pidatonya
bulan Oktober 2012, Mursi menyatakan, “Ini bukanlah riba.”.
Berbagai versi sikap Mursi ini (di satu sisi seperti Islam garis
keras, tapi di satu sisi terlihat tetap berbaik-baik dengan Barat dan
Israel), membuat yang memusuhinya bukan hanya kalangan liberal (yang
mengkhawatirkan Ikhwanisasi Mesir), melainkan kalangan Islam radikal
sendiri (yang menganggap Mursi kurang radikal). Itulah sebabnya,
komposisi anti-Mursi sangat beragam, mulai dari liberal hingga Salafi.
(Catatan: Bagian ini adalah kutipan dari artikel karya
penulis yang dimuat di Sindo Weekly Magazine No. 21-22. Analisis yang
penulis ungkapkan di atas adalah hasil penelaahan dari berbagai sumber
bacaan, namun terkonfirmasi oleh penjelasan Dubes Mesir untuk Indonesia
–dalam wawancara yang berlangsung di Museum Konperensi Asia Afrika, 18/7/13
;
dan juga oleh Tariq Ramadan dalam salah satu tulisannya yang mengkritik
Mursi. Tariq Ramadan adalah akademisi terkemuka, cucu Hasan Al Banna,
pendiri Ikhwanul Muslimin.).
(2) Militer Mesir
Perlu dicatat pula bahwa kesalahan yang dilakukan Mursi dan IM selama
setahun masa kepemimpinannya tidaklah membuat pihak yang berseberangan
dengannya menjadi sosok protagonis. Mari kita cermati siapa saja tokoh
yang akhirnya memegang kekuasaan pasca Mursi. Perdana Menteri
pemerintahan interim bentukan militer adalah Hazem el-Beblawi, seorang
ekonom berhaluan liberal. Mohamed El Baradei, yang diangkat sebagai
Wapres untuk bidang Hubungan Internasional adalah partner setia Barat
selama ini. Selain pernah menjabat Gubernur IAEA, Baradei adalah anggota
Dewan Pengawas ICG (Internasional Crisis Group), LSM internasional yang
didanai tokoh Zionis, George Soros, yang terlibat dalam berbagai
konflik di dunia. Pasca tumbangnya Mubarak, Baradeilah yang
digadang-gandang Barat untuk menjadi pengganti, namun dia tak mendapat
banyak dukungan rakyat. Jangan lupakan pula Menlu Nabil Fahmy, yang
pernah menjadi Dubes Mesir untuk AS selama sembilan tahun pada era
Mubarak.
Naiknya tokoh-tokoh ini, jelas mengindikasikan adanya faktor AS dalam
penggulingan Mursi. Sebagaimana ditulis Tariq Ramadan dalam bukunya
Islam and the Arab Awakening,
adalah naif bila mengabaikan faktor AS dan negara-negara adidaya lain
dalam menganalisis konflik Timur Tengah. Kepentingan ekonomi mereka di
Timur Tengah sedemikian besar sehingga mereka akan sebisa mungkin
melibatkan diri dalam setiap perubahan politik di kawasan ini. AS
bersama Freedom House dan the National Endowment for Democracy, jauh
sebelum tergulingnya Mubarak telah mendukung dan mendanai
kelompok-kelompok pro-demokrasi Mesir. Padahal di saat yang sama, AS pun
tetap menjalin kemesraan dengan Mubarak. Inilah wujud
political leveraging
AS, bermain di dua kaki. Inilah yang dikatakan Tariq Ramadan, “Teman
terbaik pemerintah Barat adalah mereka yang paling baik melayani
kepentingan Barat, mereka bisa saja diktator, atau Islamis.”
Ketika pemerintahan hasil demokrasi Mesir kembali digulingkan, AS pun
tidak banyak bereaksi. Bahkan pemerintah AS kini tidak lagi menyebut
penggulingan Mursi sebagai ‘kudeta militer’ dan tetap akan mengirimkan
F-16-nya ke Mesir (meski ada juga berita yang menyebutkan AS akan
menundanya). Selama ini, setiap tahunnya AS memberikan bantuan sebesar
1,5 milyar Dollar kepada Mesir, sebagian besarnya dalam bentuk bantuan
militer. Di sisi lain, Obama juga meminta agar militer membebaskan
Mursi, seolah-olah Obama berpihak pada Mursi.
Bila dilihat dari kacamata demokrasi, yang terjadi di Mesir adalah
kudeta yang bertentangan dengan konsep dasar demokrasi. Dogma demokrasi
adalah 50%+1 bisa dianggap sebagai mayoritas rakyat dan suara rakyat
adalah “suara Tuhan” yang harus dipatuhi semua rakyat.
(Catatan: Dalam wawancara penulis dengan Dubes Mesir untuk Indonesia, Bahaa El Deen Desouky, dia menyatakan bahwa situasi saat itu sudah sangat genting. Demonstrasi rakyat Mesir
yang menuntut Mursi mundur adalah demonstrasi terbesar dalam sejarah
Mesir. Mursi dan IM pun tidak melakukan langkah-langkah politik yang
tepat untuk menangani masalah ini sehingga akhirnya militer ‘terpaksa’
mengambil alih kendali kekuasaan agar situasi tidak lebih kacau lagi.
Saat penulis menyebutkan adanya dominasi AS dalam pemerintahan interim,
Desouky menyanggahnya dan menyebut itu gosip media belaka).
(3) Respon Iran
Seperti telah disinggung pada pengantar tulisan, sikap Iran berbeda
dibanding negara-negara Arab (dan AS-Israel, tentu saja). Demo anti
Mursi dan IM sesungguhnya tidak terjadi baru-baru ini saja, melainkan
sejak Mursi nekad mengeluarkan Dekrit 22 November. Setelah itu, diadakan
referendum untuk mengesahkan UU produk parlemen baru dan hasilnya
mayoritas peserta referendum menyatakan setuju. Meskipun peserta
referendum hanya 33% dari seluruh pemilik suara, dari kaca mata
demokrasi, tetap saja ini dianggap sah. Dan saat itu, Iran
terang-terangan menyatakan dukungannya. Pada 25/12/12, Ahmadinejad
mengucapkan selamat kepada Mursi dan mengatakan, “Saya yakin di era
baru ini, bangsa Mesir akan bergerak menuju puncak kehormatan dan
kemajuan.” Padahal di saat yang sama, pemberitaan media Barat hampir
seragam:
kelangsungan revolusi Mesir telah terancam; demokrasi telah disingkirkan oleh Ikhwanul Muslimin.
Sikap Iran ini cukup menimbulkan tanda tanya. Sebab, sikap Mursi dan
IM selama ini justru berkali-kali merugikan Iran. Dalam acara KTT
Gerakan Non Blok di Teheran, misalnya, Mursi justru berpidato menyerukan
para anggota GNB untuk bersatu mendukung ‘perjuangan’ rakyat Suriah.
Secara terang-terangan, Mursi menyebut pemerintah Suriah sebagai ‘rezim
opresif’ dan menyatakan bahwa pihaknya mendukung kehendak rakyat Suriah
untuk mencapai kebebasan dan kesetaraan.
Pidato Mursi ini sangat melanggar etika diplomasi karena menampar
muka Iran sebagai tuan rumah, yang sudah jelas berposisi mendukung
pemerintah Suriah. Kalau Iran waktu itu bukan tuan rumah, Iran akan
leluasa memberikan pidato balasan. Namun posisinya sebagai tuan rumah
membuat Iran terpaksa diam demi menjaga keberlangsungan sidang. Selain
itu, sikap Mursi jelas melanggar konvensi GNB yang menolak interferensi
atas urusan internal negara lain. Kalaupun Mesir memiliki pendapat
tertentu terkait Suriah, etikanya, disampaikan pada sidang-sidang
perumusan deklarasi; dan nantinya akan dilakukan deklarasi bersama GNB
terkait Suriah. Tak heran bila delegasi Suriah dalam KTT tersebut
langsung melakukan aksi
walkout saat mendengar pidato Mursi.
Segera setelah Mursi dipaksa lengser oleh militer, Iran mengeluarkan
kecaman dan menyebut telah terjadi kudeta militer di Mesir. Padahal, di
saat yang sama, Arab Saudi justru memberi selamat pada militer.
Berdasarkan analisis-analisis politik yang dimuat di koran beroplah
terbesar di Iran, Kayhan, bisa ditangkap bahwa sikap Iran ini disebabkan
karena melihat kepentingan yang lebih global. Dalam pandangan Iran,
keberhasilan rakyat Mesir menggulingkan Mubarak dan menyelenggarakan
pemilu demokratis adalah model yang menghembuskan angin harapan bagi
rakyat tertindas di muka bumi. Terbukti, Mubarak yang sangat ditakuti
rakyatnya akhirnya bisa juga ditumbangkan. Namun kini, dengan kembali
berkuasanya militer (meskipun dengan alasan: kehendak rakyat), harapan
ini telah meredup. Negara-negara Arab monarkhi akan semakin berani
menggunakan kekuatan militer untuk menindas demo rakyatnya. Jelas ini
bertentangan dengan ide Iran yang sejak kemenangan revolusi 1979 selalu
menyerukan agar bangsa-bangsa tertindas bangkit melawan penindasnya.
Pertanyaannya, bukankah rakyat Mesir memang benar-benar berdemo
besar-besaran untuk menuntut Mursi turun? Ada banyak analisis yang
dikemukakan dalam hal ini. Namun, saya tertarik pada pernyataan seorang
komentator di website Tariq Ramadan, “Saya ikut demo karena memang tidak
menyukai kebijakan Mursi. Tapi saya sama sekali tidak menyangka bahwa
akhirnya justru militer dan orang-orang pro-Barat yang berkuasa.”.
Bila menggunakan kategorisasi Jean-Paul Sartre, ada tiga jenis
gerakan rakyat melawan penguasa, yaitu pemberontakan, kebangkitan, dan
revolusi. Revolusi adalah tingkat tertinggi sebuah gerakan rakyat, yang
bermakna menghapus total sistem politik dan ekonomi rezim lama. Gerakan
rakyat Mesir lebih tepat disebut sebagai kebangkitan karena tidak ada
figur utama yang memimpin dan tidak ada kristalisasi ide perjuangan,
sehingga tak banyak membawa perubahan nyata. Rakyat hanya bisa marah dan
mengungkapkan kemarahannya terhadap rezim, namun tidak memiliki daya
untuk membentuk pemerintahan baru. Atau mungkin, mereka memang tidak
tahu pasti pemerintahan seperti yang apa yang tepat untuk mereka, karena
ketiadaan figur pemimpin revolusi. Kemarahan mereka adalah nyata.
Namun, secara real pula, kekuasaan tidak ada di tangan mereka.
Lagi-lagi, elitlah yang mengambil alih. Sikap IM yang tak mau mengalah
(padahal mengalah pun adalah sebuah strategi untuk menang) pun harus
diakui bak memberikan bensin kepada api yang sedang menyala, sehingga
membuka jalan bagi aksi represif militer. Apalagi, menyelamatkan jiwa
lebih wajib daripada menyelamatkan kekuasaan. Dan rakyat Mesirlah yang
menjadi korban utama: darah kembali tertumpah sia-sia, sementara
perbaikan ekonomi entah kapan akan terwujud.
Penutup:
Tumbangnya Mursi dan IM perlu dijadikan catatan bahwa mengusung Islam
sebagai kendaraan politik ternyata tak semudah yang disangka. Sikap
welas asih dan antisektarianisme, dan di saat yang sama tegas
memperjuangkan kepentingan nasional di hadapan kekuatan asing, tetap
menjadi syarat utama untuk meraih simpati rakyat. Ini agaknya penting
pula dicatat oleh para aktivis muslim Indonesia yang berpatron pada
Ikhwanul Muslimin. Ingatlah bahwa rakyat akan berpihak kepada mereka
yang memperjuangkan kepentingan bangsa, bukan yang melulu memikirkan
kepentingan organisasi eksklusif-transnasional.
Dan bagi kita bangsa Indonesia, kisruh Mesir harus dijadikan
pelajaran, bukannya malah ikut berseteru demi mendukung (atau tidak
mendukung) presiden sebuah negara yang letaknya ribuan kilo dari kita.
Pernyataan mantan Dubes Indonesia untuk Mesir, AM Fachir (dalam acara
talkshow tentang Mesir di Museum KAA, 18/7/13) penting untuk
digarisbawahi. Fachir menyatakan bahwa perbedaan utama Mesir dan
Indonesia adalah bahwa Indonesia memiliki Pancasila sebagai alat
pemersatu bangsa. Di Mesir, konflik menjadi sangat tajam dan mengarah
kepada perang saudara karena semua pihak berkeras kepala dengan
kebenaran yang dipegang masing-masing. Karena itu, kita perlu kembali
berpegang teguh kepada Pancasila. Kita menyembah Tuhan yang satu dan
memiliki harapan yang sama: Indonesia yang damai dan makmur. Konflik di
luar negeri adalah untuk diambil hikmah, bukan malah diimpor dan
dijadikan bahan untuk memecah belah bangsa sendiri. []
*mahasiswa Program Doktor Hubungan Internasional Unpad, peneliti
tamu pada Global Future Institute, penulis buku ‘Prahara Suriah’.
*****
-Mungkin ada yang menilai tulisan Dr Barret adalah teori konspirasi
belaka (untuk mendiskreditkan analisis anti-Israel, dalam dunia akademis
memang disebarluaskan paham bahwa segala sesuatu yang menyebutkan
adanya Israel sebagai ‘dalang’ adalah teori konspirasi yang tidak
bermutu). Namun bahwa lobby Israel telah sedemikian mencekam AS dan
berhasil membuat AS melakukan langkah-langkah yang justru berlawanan
dengan kepentingan nasionalnya sendiri sudah dianalisis dalam paper
karya dua pakar Hubungan Internasional dari Chicago University, Prof
Mearsheimer dan Walt. Bisa download di
sini.
-Soal senjata kimia Suriah, bila memang ingin menggali lebih jauh, bisa baca postingan saya sebelumnya di
sini
*****
Sebenarnya, soal bagaimana menyikapi pemberitaan soal Suriah, atau
konflik apapun, sudah saya tulis di postingan saya sebelumnya :
Cara Menganalisis Konflik.
Sebenarnya, bahwa ada Zionis di balik berkepanjangannya konflik di
Suriah (juga Mesir, Lebanon, Irak, dll), juga bisa dibaca dari artikel
saya yang ini:
The Oded Yinon’s Plan
Sebenarnya, saya juga sudah panjang lebar mengungkap berbagai
rekayasa informasi soal Suriah dan bagaimana cara memandang konflik ini
dengan benar, di buku saya
Prahara Suriah.
Sebenarnya, saya juga sudah posting ulang
‘Kumpulan Pemalsuan Data Foto Konflik Suriah’
Tapi, ketika kemarin (Rabu) muncul berita tentang penggunaan senjata
kimia di Suriah, tetap saja para pendukung mujahidin merasa perlu
mengintimidasi saya dengan mengirim inbox di FB, seolah-oleh senang
sekali, bisa menyodorkan bukti kekejaman Assad.
Saya sungguh heran. “Mereka” ini sekarang sudah merasakan bagaimana
jadi korban pemalsuan informasi, bagaimana foto-foto dibuat secara
manipulatif untuk menyudutkan kelompok “mereka” (dan di saat yang sama,
“mereka” juga melakukan cara serupa, memanipulasi foto untuk menyudutkan
lawan “mereka”). “Mereka” sudah merasakan bagaimana presiden yang
mereka puja dan sah secara demokratis dikudeta semena-mena. “Mereka”
gemar sekali berteriak-teriak ‘tabayun!’ Tapi tetap saja, pengalaman itu
tidak membuat pikiran “mereka” terbuka. Terhadap pihak yang “mereka”
benci, “mereka” berkeras tak mau bertabayun dan terus memakai kaca mata
kuda.
Buat yang ingin mencari perimbangan info soal kasus terbaru di Suriah
ini, bisa klik link-link berikut (saya tidak mau repot-repot
menerjemahkannya).
http://www.liveleak.com/view?i=8da_1377112216#Y0kFdP9lmB9at2gQ.99
http://www.islamicinvitationturkey.com/2013/08/22/photo-al-jazzera-reuter-published-the-news-of-massacre-in-east-ghouta-damascus-one-day-before-the-massacre-happened-by-assad/
http://www.ibtimes.co.uk/articles/500506/20130821/syria-chemical-attack-accident-caused-free-syrian.htm
http://www.globalresearch.ca/was-the-syria-chemical-weapons-probe-torpedoed-by-the-west/5333671
atau ini ada yang berbahasa Indonesia:
http://vendraminda.wordpress.com/2013/08/22/tidak-semua-orang-suka-informasi-atas-bukti-penggunaan-senjata-kimia-oleh-fsa/#more-729
Isu senjata kimia ini bukan hal baru. Pada tahun 2012 pun tuduhan
serupa sudah dilemparkan para pemberontak (dan negara-negara Barat
pendukung mereka) kepada Assad, tapi lalu berhasil dimentahkan. Bisa
baca di sini:
http://rt.com/news/syria-chemical-weapons-plot-532/
Bahkan, pada bulan Mei 2013, pejabat PBB, Carla Del Ponte, sudah
menyampaikan hasil penyelidikannya bahwa yang menggunakan senjata kimia
di Suriah justru para pemberontak. Baca di sini:
http://www.dailymail.co.uk/news/article-2320223/UN-accuses-Syrian-rebels-carrying-sarin-gas-attacks-blamed-Assads-troops.html
Dan masih banyak lagi, silahkan cari sendiri.
Apa tujuan pihak pemberontak melemparkan tuduhan penggunaan senjata
kimia (dan bahkan mengorbankan warga sipil Suriah dalam aksi itu)? Tak
lain tak bukan, ingin menggolkan persetujuan PBB untuk mengirim pasukan
internasional menggulingkan Assad, sebagaimana dulu Barat telah
menggulingkan Saddam atau Qaddafi. (Ingat, Saddam juga dituduh memiliki
senjata biologis; dan setelah Saddam tewas dan Irak diduduki AS,
terbukti bahwa itu berita bohong belaka).
Tapi saya akan kembali mengingatkan saja, mudah-mudahan ‘mereka’ ini
bisa tersadarkan. Kalau tidak, ya apa boleh buat. Bahkan Rasulullah pun
tugasnya hanya menyampaikan, apalagi saya yang sekedar blogger. Saya
ulangi lagi kalimat yang entah berapa kali saya tulis,
musuh umat Islam adalah Zionis, bukan yang lain.
Dan Zionis sangat cerdas, tak akan menyerang terang-terangan. Mereka
menggunakan berbagai tipu daya, termasuk dengan membodoh-bodohi sebagian
kaum muslimin, sehingga kaum muslimin saling berperang, sementara
Zionis dan sekutunya santai-santai menonton sambil minum teh.
Berikut kutipan Dr. Mahatir Muhammad: “Kita ummat Islam memiliki 1,3
milyar penduduk yang seharusnya tidak bisa diabaikan begitu saja. Tapi
kita tak bisa mengalahkan 6 juta Yahudi yang didukung AS dan Eropa
karena Yahudi memerintah dunia melalui kaki-tangan mereka (proxy).
Yahudi membuat kita berkelahi satu sama lain dan mati untuk mereka.”.
*****
__________________________
Hingga tulisan ini dibuat, belum ada keputusan dari Gedung Putih, apakah jadi mengagresi Suriah atau tidak.
Diterjemahkan (dan diberi ulasan tambahan) oleh Dina Y. Sulaeman, dari ‘A Century of Lies: The Rationales for Engaging in Foreign Wars, A Century-old White House Tradition’ (James F Tracy) [Seabad Kebohongan: Alasan Untuk Melakukan Perang, Tradisi Satu Abad Gedung Putih).