Aburizal Bakrie (ARB) dengan mudah memenangkan pemilihan Ketua Umum Partai Golkar di Bali, karena ada jaminan yang meyakinkan pemimpin DPD dari 415 kota dan kabupaten dari 34 provinsi di Indonesia, untuk bisa berkuasa sebagai gubernur, bupati, dan walikota. Mereka tidak perlu merayu rakyat untuk memilih. Semua itu tidak berarti. ARB menggunkan ‘mantra’ menarik: mari kita ulang saja apa yang pernah dilakukan oleh Soeharto terhadap Indonesia.
Selama pemerintahan 32 tahun, Soeharto – Golkar benar-benar mengontrol negara. Hanya Soeharto memiliki hak untuk memutuskan bupati, walikota dan gubernur dan hampir semua aspek kehidupan di Indonesia. Pesan Munas di Bali adalah mengembalikan era ‘mulia’ Soeharto dan Golkar. Dan tentu saja, Golkar tengah sangat dekat dengan tujuan menghidupkan kembali masa kejayaan Soeharto. Sekarang, ketika anggota partai ingin mendapatkan posisi pemerintah daerah yang menguntungkan, mereka hanya perlu dua hal: restu ARB dan uang!
Bagaimana tentang masa depan ARB sendiri? Bisnis taipan – beberapa perusahaannya dilaporkan menghadapi masalah keuangan yang serius – dan untuk itu, ada tujuan untuk merebut kembali kursi kepresidenan pada tahun 2019. ARB mengharapkan hal itu menjadi kemenangan yang didapat dengan cara halus. Bahkan, kendatipun ada 150 juta pemilih tidak menghendaki ia memimpin negeri ini, ARB bisa mengabaikan hal itu. ARB yakin, pada tahun 2019 Golkar akan sepenuhnya mengontrol negara di semua tingkatan. Ini akan sangat mudah baginya untuk mendapatkan kontrol penuh dari negara ke tangannya sendiri.
Hal itu bisa terjadi dengan mengabaikan konstitusi, yang mengamanatkan pemilihan presiden langsung. Sebagai partai politik terbesar kedua setelah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), ARB percaya bahwa Golkar akan menjadi wasit final dalam semua aspek politik negara melalui pemilihan tak langsung. Dengan kekuatannya, ia menghendaki tidak akan ada lagi pemilihan langsung. Seperti diketahui, sejak tahun 2005 rakyat Indonesia memiliki hak untuk langsung memilih walikota, bupati dan gubernur secara langsung. Dan sejak tahun 2004, rakyat juga memiliki hak untuk memilih kepala negara secara langsung. Namun Golkar yang menjadi pemimpin Koalisi Merah Putih, justru menolak hak konstitusional rakyat.
Hak rakyat Indonesia untuk menentukan masa depan bangsa telah ditolak. Para pemimpin Koalisi Merah Putih tampaknya percaya bahwa Allah telah mempercayakan ARB dan Prabowo Subianto, dengan kewenangan yang dimilikinya, untuk menghapuskan sistem pemilu secara langsung karena terlalu mahal dan terlalu rumit bagi mereka (di mata mereka, orang Indonesia mungkin terlalu bodoh untuk mempraktekkan demokrasi). Golkar di bawah kepemimpinan ARB akan menempuh segala jalan untuk menggolkan UU Pilkada tak langsung. Keberhasilan sudah di depan mata.
Sesaat sebelum mengakhiri masa jabatannya pada bulan Oktober, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk membatalkan Undang-Undang Pilkada tak langsung. Bagi saya, SBY adalah pengkhianat demokrasi kita. Ia menjadi presiden selama 10 tahun berkat sistem pemilu langsung. Dia mengeluarkan Perppu hanya karena publik marah terhadap sikap Partai Demokrat. Dia adalah pretender besar; seorang aktor sinetron yang jenius.
Undang-undang Pilkada via DPRD didukung oleh Golkar, Demokrat, Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). DPR akan memutuskan nasib Perppu awal tahun depan.
Izinkan saya memberikan beberapa contoh. Tahun depan, Walikota Surabaya Tri Rismaharini akan mengakhiri masa kerjanya lima tahun. Dia akan dengan mudah memenangkan pemilihan walikota dengan sistem pilkada langsung. Tapi sekarang Ketua DPD Golkar Surabaya, Adies Kadir, memiliki peluang besar mengambil alih posisi walikota hanya dengan persetujuan ARB, dan tentu saja, dengan uang. Uang yang diperlukan untuk membeli suara dari 50 anggota DPRD Surabaya. Hal ini jauh lebih murah dan lebih mudah untuk Adies karena dia tidak membutuhkan suara warga Surabaya yang sebenarnya. Selama 50 legislator senang padanya, dan selama ARB menyukainya, Rismaharini tidak akan dapat melakukan apapun untuk mengalahkannya.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama akan berakhir masa jabatannya pada tahun 2017. Dari titik ini Ketua DPD Golkar, Zainudin, harus mengumpulkan sumber daya keuangannya. Tentu saja dia juga harus memastikan bahwa ARB tidak berubah pikiran dan memilih orang lain untuk mengikuti pemilihan gubernur 2017.
Bukankah begitu sangat mudah? Berkat Soeharto, ARB percaya bahwa ia juga akan mampu mengejar impiannya menjadi presiden. Kepada masyarakat, tentu saja dia harus menyembunyikan ambisinya. Mulai sekarang ia hanya perlu berkonsentrasi pada bagaimana mengubah undang-undang, agar pada tahun 2019 ada pemilihan presiden tidak langsung. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) akan mengambil alih hak pilih masyarakat Indonesia untuk memilih presiden mereka. MPR terdiri dari 560-anggota DPR dan 132 anggota Dewan Perwakilan Daerah.
Mengubah undang-undang ternyata hanya alat untuk ARB (menggapai mimpinya sebagai presiden), dan ia menunjukkan kecenderungan itu dalam sebuah wawancara dengan surat kabar nasional terkait pemilihan presiden langsung.
Aburizal hanya perlu mencari cara yang efektif untuk menghilangkan saingan potensialnya, termasuk Prabowo, dalam pemilihan presiden 2019. Dengan mantan ketua Golkar Akbar Tandjung sebagai penasihat utamanya, tampaknya Aburizal tidak akan menghadapi rintangan untuk mewujudkan janji dan mimpinya: pemilu tak langsung.
Lalu, apa yang dilakukan oleh kubu partai pendukung Jokowi? Saat ini, Koalisi Indonesia Hebat masih tengah berusaha untuk ‘melemahkan’ Koalisi Merah Putih. Namun untuk sementara waktu, ARB dan Prabowo masih mengontrol koalisi secara penuh. Sehingga, peluang untuk kembali ke era Soeharto pada tahun 2019, masih tetap terjaga.
Diterjemahkan dari Opini Kornelius Purba di The Jakarta Post
(The-Jakarta-Post/Liputan-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email