Pesan Rahbar

Home » » Indonesia berpaham Nasionalis Islam, bukan Ahlusunnah (Sunni) !!

Indonesia berpaham Nasionalis Islam, bukan Ahlusunnah (Sunni) !!

Written By Unknown on Sunday 21 December 2014 | 18:58:00


Memang aliran Sunni pernah eksis menjadi landasan beberapa kerajaan / dinasti, akan tetapi pada zaman modern ; rakyat Indonesia lebih memilih nasionalisme (Islam Nasionalis).


Prof Dr Muslim Ibrahim, MA Ketua MPU: Di Aceh Tidak Ada Tempat Bagi Syiah.

Prof Dr Tengku Muslim Ibrahim, Ketua Majelis Permusyawaran Ulama (MPU) Aceh, menegaskan bahwa Nanggroe Aceh Darussalam adalah bumi ahlus sunnah wal jamaah.

“Sesuai dengan Perda akidah umat, maka akidah yang bisa berjalan di Aceh adalah akidah ahlus sunnah wal jama’ah. Syiah tidak ada tempat di Aceh,” kata Tengku Muslim saat berorasi pada deklarasi Aliansi Nasional Anti Syiah di Masjid Al-Fajr Bandung, Jawa Barat, Ahad (20/4/2014).

Fatwa ulama Aceh juga menyebutkan, Syiah merupakan aliran di luar Islam.

“Jadi secara organisasi Syiah dilarang di Aceh,” tegas Tengku Muslim.Tengku Muslim berharap daerah-daerah lain juga mewaspadai bahayanya gerakan Syiah.

“Aliansi Anti Syiah ini diharapkan dapat berkembang ke pelosok-pelosok,” kata Tengku Muslim.


Jawaban Admin :
Konflik sunni syiah bukan hanya persoalan keyakinan akan tetapi lebih dominan unsur politik dan kepentingan penguasa saat itu..Ulama sunni yang menyebut diri sebagai Ahlul Sunnah dan di dukung oleh penguasa zaman.

Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU/MUI) Aceh adalah Tgk Ghazali Muhammad Syam, bukan Muslim Ibrahim.

kaum liberal mendukung syiah, kaum liberal melanggengkan syiah di Indonesia.Jika anda sering masuk FaceBook.com dan sering berdiskusi maka anda akan menjumpai golongan besar dalam arus pemikiran Islam modern, yaitu pemikiran Liberal.


Indonesia berpaham Nasionalis Islam, bukan Ahlusunnah (Sunni) !!


Tokoh-tokoh Islam yang berpengaruh dalam pemikiran Bung Karno seperti pemikiran dari Jalaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Ali Pasha, Mustafa Kemal, Amir Ali, Halide Edib Hanonoum, dan tokoh-tokoh islam lainnya. Tokoh-tokoh tersebut sdikit banyak telah mempengaruhi pemikiran beliau.


Islam nasionalis itu seperti apa menurut Bung Karno?

Menghidupkan Api Islam Bukan Abu Islam. Apa maksudnya? Kita jangan hanya berdebat tentang halal dan haram saja namun bagaimana menyikapi problem dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

Pemikiran Nasional dan Berkemajuan. Kita jangan asal meniru pemikiran dari Negara seperti Arab Saudi tentang hukum-hukum begitu saja namun harus di kontekstualisasikan dengan kondisi kebangsaan.
Ketuhanan Berkeadaban. Ketuhanan atau agama bukan dijadikan untuk hal-hal keburukan. Seperti yang dilakukan oleh beberapa golongan agama yang suka bersikap ekstrim. Ajaran agama harus dipraktikkan sesuai dengan ajarannya demi kemaslahatan bangsa.

Toleransi. Toleransi yang dimaksud beliau adalah merujuk pada perdamaian. Bung Karno selalu mengucapkan ‘assalamu’alaikum’ pada setiap forum yang beliau ikuti. Karena artinya adalah untuk kedamaian. Dari sana beliau selalu berpesan untuk menciptakan perdamaian di muka bumi ini.

Visi Kebangsaan. Ajaran-ajaran beliau harus dikontekstualisasikan dengan kehidupan di Indonesia. Pemikirannya itu digunakan untuk membangun visi kebangsaan yang menyatukan semua bangsa Indonesia.
Berorientasi Kerakyatan. Tujuannya untuk meningkatkan kualitas kebangsaan. Pemikiran dan ajaran yang beliau ajarkan itu digunakan untuk bagaimana mencegah korupsi, konflik, dan hal-hal lain yang merusak kebangsaan dan rasa nasionalisme keindonesiaan.




Kenapa syi’ah dituduh sesat ? tahu penyebabnya ?? karena sebagian besar umat Islam negeri ini saat belajar dari SD hingga kuliah hanya pelajaran fikih, tauhid dan aqidah minim, kedua sebagian besar umat islam negeri ini beragama krn keturunan jd hanya ikut ikutan tanpa tahu dasar dan dalil, bukan krn pilihan, dan juga malas belajar.

kemudian yg jelek sebagian umat Islam negeri ini suka taklid/ta’ashub buta tanpa mau mencari kebenaran dari sumber aslinya. Akibat agama, ajaran hanya ikut ikut an akhirnya mudah dijerumuskan.

maka saran saya, jadilah manusia yang terbuka dengan logika positif terlebih dahulu jangan mengambil kesimpulan terlalu cepat bila hanya mengetahui kulitnya saja, tapi kenalilah setiap sesuatu sampai pada akarnya… baru kalian-kalian simpulkan, apakah hal yang kalian bicarakan itu baik atau buruk…

syiah akan terus berkembang seiring dengan semakin berkembangnya tingkat rasio serta intelektualitas masyarakat, karena syiahlah sepengetahuan saya yg masih melestarikan khasanah intelektual islam, sementara mazhab lain justru menenggelamkannya menjadi doktrin yang tabu untuk di diskusikan.semakin banyak hujatan serta umpatan kepada kaum syiah, semakin besar pula rasa ingin tahu masyarakat akan syiah, rasa ingin tahu inilah yang menjadi modal awal untuk kemudian memilih syiah sebagai paradigma alternatif.



Pemuda Aceh enggan pelajari “Ahlul Sunnah wal jamaah” ??

Nahdatul Ulama (NU) Lhokseumawe, Provinsi Aceh (tanggal 20 juli 2011) menilai pemuda di daerah itu tidak tertarik lagi mempelajari agama Islam, sehingga majelis taklim yang diadakan di masjid dan meunasah selalu sepi.

“Sebenarnya, jumlah majelis taklim sangat banyak, namun jumlah kaum remaja dan pemuda yang memanfaatkannya sebagai sarana pembelajaran ilmu agama Islam sangat kurang,” kata Ketua NU Lhokseumawe, Tgk H Misran Fuadi, 20 juli 2011.

Ia mengatakan, jumlah majelis taklim hampir semua menasah atau mesjid mengadakannya, sedangkan jumlah pengunjung sedikit serta mayoritas diisi oleh kaum tua.

Ia menyatakan, kenyataan sekarang, banyak kuliah umum agama secara gratis tersebut hanya diisi oleh kaum tua, sedangkan pemuda dan remaja, terlena dengan buaian pengaruh global, sehingga tidak jarang terjadi tindakan asusila dan lainnya akibat dari dangkalnya pengetahuan agama.

Bukan itu saja, jumlah warga yang menghadiri majelis taklim juga sangat terbatas, serta terkesan hanya jamaah langganan saja yang menghadiri majelis taklim. “Dalam satu jamaah majelis taklim hanya sekitar 50 orang saja yang hadir. Sementara yang lainnya lebih memilih kesibukan lain,” terang Misran.

Padahal, lanjutnya, umumnya pelaksanaan kegiatan majelis taklim, biasanya dilakukan pada waktu-waktu tidak sibuk, seperti habis shalat Maghrib atau waktu yang dianggap tidak sedang jam kerja. Namun, masih saja warga enggan untuk menghadiri majelis taklim yang dilakukan secara gratis oleh pengurus meunasah atau masjid.


Pelepasan syahwat (secara tidak sah) begitu mengkhawatirkan Di Aceh, banyak anak-anak muda yang bergaul kelewat batas dengan pasangannya.

Gawat, fenomena seks bebas ternyata digandrungi sejumlah besar kaum remaja di Aceh. Hal ini terkait dengan banyaknya tangkapan, dari petugas Satpol PP dan Wilayatul Hisbah (WH) Kota Banda Aceh, dalam menangani kasus mesum.

Akhir-akhir ini, pelepasan syahwat (secara tidak sah) begitu mengkhawatirkan. Di Aceh, sudah ada gejala anak-anak muda yang bergaul kelewat batas dengan pasangannya. Berita-berita yang berkait dengan syahwat dalam suratkabar, sepertinya datang silih berganti. Tentu dengan segala bentuk kejadian, penyelesaian, dan tanggapan masyarakat di sekelilingnya.

Terakhir ada dua kasus anak SMA di Aceh yang berzina di kompleks sekolah. Ini bukan merupakan kasus mutakhir, tapi kasus yang penting mendapat perhatian karena dilakoni oleh mereka yang masih remaja. Sedangkan kasus pada umumnya, umumnya dilakukan oleh mereka yang sudah menginjak dewasa.

Di samping itu, temuan film porno yang beredar dari handphone ke handphone, juga menjadi satu masalah tersendiri. Film juga dengan mudah diproduksi dengan fasilitas lengkap dari handphone murah sekalipun. Film –tepatnya rekaman—yang dibuat melalui fitur kamera-video handphone, sangat mudah untuk merekam berbagai hal. Lagipula handphone yang menyediakan fitur tersebut bukan lagi barang mewah. Kini handphone yang menyediakan berbagai fitur berharga ”sachet”. Sudah demikian murahnya.

Namun masalah sebenarnya bukanlah pada mudah atau tidaknya membuat rekaman sesuatu. Tapi temuan ini sebenarnya bisa menjadi semacam aba-aba, bahwa penyaluran syahwat dengan naluri kebinatangan sudah sangat dekat dengan kehidupan kita.

Barangkali sesuatu yang terjadi selaras dengan fenomena sekitar kita. Di tempat-tempat umum semisal pantai atau lokasi pariwisata, orang-orang berpacaran semakin miskin etika. Di jalan-jalan, anak-anak berpakaian SMP sudah mulai terang-terangan (maaf) pegang-pegang kemaluan pasangannya. Tidak ada lagi yang patut digelisahkan (karena mungkin orang tuanya sendiri juga tidak menggelisahkan), ketika melihat perempuan berbaju SMP duduk di belakang kendaraan sambil memeluk erat pasangannya, dan tangannya benar-benar di atas kemaluan pasangannya.

Belum lagi di sebagian tempat penjualan pinggir jalan yang sengaja membuat suasana remang-remang. Ketika melewati kawasan seperti itu, kita bisa menyaksikan bagaimana anak muda kita duduk manis berdua-duaan, dan tidak peduli pada suasana sekelilingnya. Ada pertanyaan, apakah suasana itu benar di Aceh atau bukan? Hal tersebut dilakukan oleh anak Aceh atau bukan?

Sungguh, fenomena itu menampakkan gejala pelipatgandaan mundurnya moralitas generasi muda kita (tentu dengan tidak melupakan moralitas dalam bentuk yang lainnya). Dan ironisnya, ternyata fenomena tersebut tak hanya terjadi di kota. Fenomena tersebut sudah jamak kita temukan hingga ke kampung-kampung sekalipun.

Segala fenomena tersebut menunjukkan kecenderungan bahwa suatu saat, bila kita mendengar kabar-kabar yang tak lazim –bahkan melawan nilai agama dan budaya, kita menjadi terbiasa dengan sendirinya. Bukan hanya di tempat orang lain, barangkali di sekitar kita sekalipun, kita akan terbiasa.

Kemudian lihatlah pula bagaimana koran-koran di Aceh tak pernah sepi membawa kabar perzinahan yang terus terjadi. Bila kita tilik berita koran akhir-akhir ini, hampir tiada hari yang tiada kabar mengenai perilaku zina yang terjadi di berbagai tempat.

Barangkali fenomena tersebut menjadi semacam tanda bahwa gelora syahwat di nanggroe kita sedang beranjak naik –dan entah kapan grafiknya akan turun—yang oleh penguasanya sedang mengatakan sedang melaksanakan syariat Islam.

Dalam Kamus Bahasa Indonesia (1995), syahwat diartikan dengan nafsu atau keinginan untuk bersetubuh. Dalam konteks hukum, makna tersebut memiliki konsep yang sangat umum. Proses pelepasan syahwat, di satu pihak memiliki tata krama –sehingga membedakan manusia dengan binatang, di pihak lain tidak seluruh pelepasan syahwat secara tidak sah memiliki implikasi terhadap hukum.

Di samping pelaku yang muda, juga ada beberapa kasus lain yang terjadi. Seorang remaja yang karena keseringan menonton ”film biru”, lantas ketagihan melakukan sodomi terhadap tiga anak tetangganya. Gambaran ini sekaligus memperlihatkan bahwa ”film biru” juga bukanlah sesuatu yang sulit ditemukan di Aceh.

Polisi, WH dan masyarakat juga pernah menangkap 80-an judul CD porno yang diselip dalam tempat CD Islami yang dijual di tengah kota. Kasus lainnya di suatu tempat, masyarakat menangkap seorang perempuan yang sedang berzina dengan dua laki-laki sekaligus. Dari berita juga kita mengetahui bahwa ditemukan tiga video ”adegan dewasa” yang ditemukan dari handphone ”anak-anak kecil” Aceh. Yakinilah, fenomena remaja sekarang ini tidak terlepas dari berbagai hal yang mengelilinginya.

Sekali lagi, fenomena ini adalah aba-aba agar keluarga di Aceh berbenah diri. Membiarkan fenomena tersebut sangat merusak moralitas generasi muda di masa mendatang. Membiarkan penyaluran nafsu bagai pola kebinatangan itu, pada akhirnya akan membawa malapetaka bagi keluarga di Aceh.

Berbagai peristiwa di atas, kini juga sudah dibarengi dengan pola penyelesaian kasusnya yang beragam. Orang-orang yang berzina, ketika ditemukan orang banyak, akan diperlakukan dengan berbagai cara. Bila hal ini tidak diarahkan, suatu saat, anarki massa juga akan menjadi fenomena yang menakutkan.

Dari proses penyelesaian kasus zina, selama ini didominasi oleh perilaku ”main hakim sendiri”. Kecenderungan tersebut juga tidak terjadi dengan sendirinya. Ketika penzina dicambuk, perilaku main hakim sendiri berkurang—bahkan di tempat tertentu tak terjadi. Namun ketika pengawasan syariat tidak berlangsung—terutama karena alasan ketiadaan anggaran—membuat masyarakat bergerak sendiri. Konon lagi ternyata ada oknum dari institusi yang mengawasi syariat, juga ditemukan berzina dan tidak dicambuk.

Hal inilah barangkali yang menyebabkan orang-orang yang berzina diperlakukan sedemikian rupa. Di tangan pemuda kampung, orang-orang berzina dimandikan dengan air comberan. Menurut saya keliru bila dikatakan itu sebagai model penyelesaian secara adat –kecuali penzina dimandikan dengan air bersih atau disuruh membersihkan tempat ibadah. Tapi ada proses yang sedang mandeg, sedang tidak jalan, hingga pola-pola seperti di atas dilakukan.

Tapi sekali lagi, bahwa jalan ini dipilih karena lewat mekanisme hukum yang dibentuk sudah tidak jalan sebagaimana yang diharapkan. Seharusnya proses eksekusi hanya berhak dilakukan oleh negara, sebagaimana halnya proses cambuk. Namun cambuk ini menghadapi dua hal krusial:

Pertama, mengeksekusi cambuk juga butuh anggaran, sehingga karena ketiadaan anggaran membuat seseorang tidak bisa dicambuk. Kondisi ini tentu dipertanyakan oleh mereka yang sudah dicambuk. Mengapa dulu ada anggaran sedangkan sekarang tidak ada anggaran? Kedua, ada kekosongan hukum dalam ”menjaga” terhukum cambuk. Aturan yang sudah ada tidak bisa menjangkau, bila seorang yang akan dieksekusi tiba-tiba mangkir dan tidak datang ke arena eksekusi. Ketiga, hal ini menimbulkan kesan bahwa cambuk yang sudah berlangsung adalah untuk orang-orang kecil, sedangkan untuk orang-orang besar yang berzina, belum ada yang dicambuk di depan umum.

Di samping pola penyelesaian di atas, pola lainnya adalah terdapatnya perbedaan dalam penyelesaian di tingkat elite. Ada yang diselesaikan secara kekeluargaan. Di sini keluarga dari penzina laki-laki dan perempuan duduk bersama dan membahas apa yang harus dilakukan. Bila kedua pihak bersepakat jalan penyelesaiannya adalah menikahkan, maka itulah yang dianggap sebagai pola penyelesaian secara kekeluargaan.

Cara lainnya adalah membayar denda sejumlah tertentu yang dianggap sebagai uang untuk membersihkan kampung yang telah dikotori dengan perilaku zina.

Model penyelesaian secara adat juga beragam. Ada yang hampir sama dengan konsep penyelesaian secara kekeluargaan, namun ada juga yang diusir dari kampung karena dianggap telah mengotori kampung dengan perilakunya.

Semua kondisi tersebut, sudah seyogianya membuat semua kita bergerak untuk membawa masyarakat kita ke arah yang lebih beradab dan bermartabat.

Hampir setiap hari, di Aceh, dari berbagai daerah kita mendapat laporan tentang hal-hal yang terkait perbuatan berbau mesum yang ditemukan masyarakat atau aparat berwenang. Dalam catatan Dinas Syariat Banda Aceh, pelanggar qanun atau aturan tentang khalwat, sepanjang lima bulan terakhir ada 491 pasangan. Pihak DSI menyebutkan, kasus berdua-duaan beda kelamin dengan bukan muhrim itu, sebagian besar dilakukan kaum muda.

Ternyata, sebagian kaum muda Aceh tidak mempan lagi atas ancaman hukum syariat Islam yang berlaku di Aceh. Bahkan, bila kasus tersebut ditangani masyarakat di lingkungan mereka pun, tak membuat para pelanggar hukum syariat Islam itu malu dan benar-benar menjadikan pasangan lain jera. Sepertinya, kasus-kasus yang terungkap selama ini, tidak menjadi pula peringatan berarti kepada pasangan muda lainnya, agar menghindari perbuatan yang dapat mempermalukan diri dan keluarga mereka tersebut. Sejauh pengamatan kita, sebagian kaum muda Aceh, malah telah dengan terang-terangan menunjukkan keberaniannya, untuk menafikan aturan yang hanya berlaku di bumi serambi Mekkah ini.

Dalam keseharian di Banda Aceh, kita menyaksikan para perempuan muda berjilbab yang dibonceng pasangannya dengan berpelukan ketat di atas sepeda motor. Atau bila kita bertandang ke pantai, seperti Ulheelheu, banyak pula terlihat pasangan di sana yang berdua-duaan dengan mesra. Lalu hal serupa juga tampak jelas di berbagai café yang bertaburan di ibu kota provinsi ini. Kita melihat pemandangan yang seharusnya tidak ada di negeri yang diberikan kekhususan untuk menerapkan syariat Islam ini.

Barangkali, pihak DSI perlu lebih kreatif berkampanye untuk menyosialisasikan dan menegakkan aturan tentang khalwat. Agar para pemuda dan rakyat Aceh umumnya, tak menangkap dan memahami aturan tersebut secara kaku dan kering. Mereka bukan lagi takut ditangkap karena tak pakai jilbab atau berkhalwat. Tapi, mereka dengan sadar melakukan hal baik tersebut, karena seharusnya memang seperti itulah yang mampu membuat mereka lebih nyaman dan aman berada dalam masyarakat. Terlepas dari soal halal atau haram, akan masuk surga atau neraka, kena cambuk atau tidak. Tapi, mereka bersedia dengan rela memakai jilbab, dengan senang hati berusaha menjaga diri untuk tidak berkhalwat, sebelum menjadi pasangan suami isteri.

Bila pendekatan hukum saja yang yang dilekatkan dalam kampanye sosialisasi hukum syariat, kita hanya akan cenderung menemukan kepura-puraan. Para anak perempuan Aceh dapat saja dengan terpaksa memakai jilbab, lalu perilaku yang lain yang menyimpang, yang tidak sesuai dengan kehendak ajaran Islam yang dipraktikkan. Pendekatan formal terhadap simbol-simbol hukum Islam, kita yakin, tidak akan mampu menjadikan Aceh benar-benar dapat menjadi kawasan yang dapat menegakkan hukum syariat dengan benar.

Di daerah lain, seperti kota-kota besar di Jawa, banyak sekali perempuan, anak remaja dan mereka yang beragama Islam, telah bersedia secara sukarela memakai jilbab dan melaksanakan sebagian ketentuan dari syariat Islam, sebagaimana dipahami mereka. Tak ada hukum seperti di Aceh, yang memaksa mereka. Tak ada tetangga, yang senantiasa mengintip, dengan siapa seorang remaja putri biasanya pulang ke rumah. Mereka, bahkan tidak pula dengan demonstratif ketika berada di depan khalayak, berpegangan tangan atau memeluk bahu lawan jenisnya. Mereka juga tidak terganggu bila ada rekannya yang sepaham atau tidak memakai jilbab berbuat sesuatu yang tak ingin dia lakukan. Misalnya, seperti pacaran atau berkhalwat. Mereka berupaya menjaga diri dan mendiskusikan hal itu di lingkungan komunitasnya.

Tapi, hingga kini, di Aceh, kita menangkap kesan berbeda. Para remaja seolah-olah tengah melakukan kesengajaan untuk membangkang. Seolah mereka tidak peduli hukuman yang akan dijatuhkan terhadap mereka bila bersunyi-sunyi dengan pasangan bukan muhrim. Agaknya, penegakan hukum syariat Islam di Aceh bagaikan hukum bola karet. Kian ditekan, malah tambah meloncat lebih tinggi.[]


Firasat Gus Dur jelang Tsunami Aceh



GUS DUR

“Nahdlatul Ulama (NU) itu Syiah minus Imamah. Syiah itu NU plus Imamah.” Demikian pernyataan populer almarhum Abdurrahman Wahid (Gus Dur), cendekiawan NU. Terlalu banyak kesamaan antara NU dan Syiah. Bahkan peran dan posisi kiai dalam tradisi NU sangat mirip dengan peran dan posisi Imam dalam tradisi Syiah. Hanya, di NU konsep itu hadir dalam wujud budaya, sementara di Syiah dalam bentuk teologi. Ini substansi pernyataan Gus Dur di atas.

Tentu bukan tanpa alasan steatment di atas dilontarkan, karena NU dan Syiah secara budaya memiliki banyak kesamaan.

Desember 2004 pagi yang cerah di Aceh tiba-tiba saja menjadi bencana mengerikan ketika gelombang besar dari laut atau tsunami meluluhlantakkan segala hal yang ada dibibir pantai. Ratusan ribu nyawa melayang dan nasib ratusan ribu rakyat lainnya mengenaskan akibat kehilangan harta benda dan keluarga yang menopang hidup.

Ditempat lain beberapa minggu sebelumnya, tepatnya di Masjid Agung Demak, H Sulaiman, asisten Gus Dur diperintahkan melalui telepon untuk membuka-buka Al Qur’an dan membaca ayat tepat di halaman yang dibuka tersebut.

Halaman yang terbuka waktu itu adalah surat Nuh, yang menceritakan tentang banjir besar yang melanda dan menghabiskan umat nabi Nuh yang ingkar terhadap Allah.

Sulaiman pun bertanya kepada Gus Dur tentang makna atas surat dalam Al Qur’an yang dibacanya tersebut. “Akan ada bencana besar yang menimpa Indonesia,” kata Gus Dur, tetapi tidak menyebutkan secara detail dimana dan kapan, serta bentuk bencananya seperti apa. Sulaiman pun terdiam mendengan penjelasan tersebut dan tidak banyak berkomentar.

Benar saja, tak berselang lama, tsunami yang diakibatkan oleh gempa berkekuatan 8.9 skala richter, yang berkolasi di Samudera Indonesia, 32 km di dekat Meulaboh Aceh menghebohkan dunia dan menimbulkan korban lebih dari 200 ribu jiwa.

Kesedihan pun melanda bangsa Indonesia, dan secara bersama-sama semuanya bahu-membahu memberikan bantuan yang diperlukan sesuai dengan kemampuannya masing-masing untuk mengurangi penderitaan para korban serta melakukan upaya pemulihan.

Setelah kejadian tersebut, Sulaiman kembali mendiskusikan masalah bacaan surat Nuh dan bencana tsunami Aceh dengan Gus Dur.

“Ini merupakan peringatan Allah bagi orang Aceh dan bangsa Indonesia,” katanya.


Ramalan kebangkitan Islam di Iran sudah lama diramalkan dalam surah Muhammad dan Jumu’ah.


“….dan jika mereka berpaling, digantikan satu kaum selain kamu kemudian mereka tidak menjadi seperti kamu” (surah Muhammad, ayat 38).


“… mereka bertanya kepada Rasulullah s.a.w: “Siapakah mereka yang jika kami berpaling, kami akan digantikan dan mereka tidak akan jadi seperti kami?” jawab Rasulullah sambil menepuk tangannya ke bahu Salman al-Farisi, sambil bersabda: “dia dan kaumnya, sekiranya ad-Din terletak di bintang Suria nescaya akan dicapai oleh pemuda-pemuda daripada kalangan bangsa Parsi” (Tafsir Ibnu Kathir).

Begitu juga Surah Jumuah ayat 3 dalam Sunan Tirmidzi menceritakan hal yang sama.


Perkataan Syiah sendiri bermaksud ‘pengikut’ atau ‘golongan’. Hari ini perkataan Syiah banyak difokuskan kepada pengikut Imam Ali bin Abi Talib (a). Antara yang menarik perhatian kita adalah perkataan Syiah itu pernah diabadikan dalam beberapa kitab tafsir antaranya ialah Tafsir Dur Mathur Fi Tafsir Ma’thur, jilid ke-8, halaman 589:



(dikeluarkan oleh Ibn Adi daripada ibn Abbas yang telah berkata: apabila turunnya ayat {Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal soleh, mereka itu sebaik-baik makhluk} telah bersabda Rasulullah (s) pada Ali : (( ia adalah kamu dan Syiah kamu di hari kiamat adalah orang yang meredha dan diredhai)).

Dan dinukilkan ibn Mardawiyah daripada Ali yang telah berkata: Telah bersabda Rasulullah (s) untukku: ((tidakkah engkau mendengar firman Allah {Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal soleh, mereka itu sebaik-baik makhluk} ia adalah kamu dan Syiah kamu, di mana janjiku dan janjimu bertemu di telaga Haudh, jika telah datang kepadamu umat untuk perhitungan, mereka dalam kehilangan panduan lantas memohon pertolongan)).

Fatwa al-Azhar Mesir terhadap Mazhab Syiah dapat dirujuk kembali dalam kebanyakan media cetak pada 6 Julai 1959.


Pejabat Pusat Universiti Al-Azhar:

DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG

Teks Fatwa Al-Azhar diterbitkan daripada kewibawaannya.

Shaikh al-Akbar Mahmud Shaltut,

Dekan al-Azhar Universiti, dalam sahnya mengikuti mazhab Syiah Imamiah.


Pertanyaan:

Sesungguhnya setengah golongan manusia percaya, bahawa wajib beribadat dan bermuamalat dengan jalan yang sah dan berpegang dengan salah satu daripada mazhab-mazhab yang terkenal dan bukan daripadanya mazhab Syiah Imamiah atau mazhab Syiah Zaidiah. Apakah pendapat tuan bersetuju dengan pendapat ini dan melarang mengikuti mazhab Syiah Imamiah al-Istna Ashariyah misalannya?

Jawabnya:

1) Sesungguhnya Islam tidak mewajibkan seseorang Muslim mengikuti mana-mana mazhab pun adanya. Akan tetapi kami mengatakan setiap Muslim punyai hak untuk mengikuti satu daripada mazhab yang benar yang fatwanya telah dibukukan dan barangsiapa yang mengikuti mazhab-mazhab itu boleh juga berpindah ke mazhab lain tanpa rasa berdosa sedikit pun.

2) Sesunguhnya mazhab Jafari yang dikenali juga sebagai Syiah Imamiah al-Istna Asyariyyah dibenarkan mengikuti hukum-hukum syaraknya sebagaimana mengikuti mazhab Ahlul Sunnah.

Maka patutlah bagi seseorang Muslim mengetahuinya dan menahan diri dari sifat taksub tanpa hak terhadap satu mazhab. Sesungguhnya agama Allah dan syariatnya tidak membatas kepada satu mazhab mana pun. Para Mujtahid diterima oleh Allah dan dibenarkan kepada bukan Mujtahid mengikuti mereka dengan yang mereka ajar dalam Ibadah dan Muamalat.


Sign,

Mahmud Shaltut.


Demikian fatwa diumumkan pada 6 Julai 1959 dari pejabat Universiti al-Azhar kemudiannya disiarkan dalam media cetak antaranya:
1. Surat khabar al-Sha’ab Mesir, 7 Julai 1959.
2. Surat Khabar Lubnan, 8 Julai 1959.

Rasulullah bersabda: Seandainya agama itu berada pada gugusan bintang yang bernama Tsuraya niscaya salah seorang dari Persia atau dari putra-putra Persia akan pergi ke sana untuk mendapatkannya. (Shahih Muslim No.4618 Kitab Keutamaan Sahabat).

Diriwayatkan daripada Abu Hurairah yang berkata, “Kami sedang duduk bersama para sahabat Rasulullah saw ketika Surah Jumuah turun kepada baginda lalu baginda membacakan ayat ” … Dan juga (telah mengutuskan Nabi Muhammad kepada) orang-orang yang lain dari mereka, yang masih belum datang …”Seseorang bertanya kepada Rasulullah saw sebanyak dua atau tiga kali tetapi baginda tidak menjawab. Bersama kami adalah Salman al-Farisi. Rasulullah saw berpaling kepadanya dan meletakkan tangan baginda ke atas paha Salman seraya bersabda, “Sekiranya iman berada di bintang Suraya sekalipun, nescaya lelaki dari bangsa ini yang akan mencapainya.” (Sahih Muslim, Kitab al-Fada’il as-Sahabah hadis 6178 dan Sahih Bukhari, Kitab Tafsir, Jilid 5, halaman 108).

Allah SWT dalam surah Muhammad ayat 38, berfirman, “Dan jika kamu berpaling (daripada beriman, bertakwa dan berderma) Dia akan menggantikan kamu dengan kaum yang lain; setelah itu mereka tidak akan berkeadaan seperti kamu.”Ketika turun ayat ini, para sahabat bertanya kepada Rasulullah saw, siapakah yang akan menggantikan kami? Baginda menepuk bahu Salman al-Farisi dan bersabda, “Dia dan kaumnya! Dan jika agama berada di bintang Suraya sekalipun, nescaya yang akan mengambilnya adalah lelaki dari bangsa Farsi.” (Tafsir Ibnu Kathir, Jilid 4, halaman 182).


saudaraku….

Syi’AH iMAMiYAH ADALAH AHLUSSUNNAH YANG SESUNGGUHNYA

Kewajiban berpegang teguh dengan al-Quran dan Ahlul Bait.

Dalam Sunan Sittah (Kitab Hadis Enam) banyak kali menyebut bahawa nabi meninggalkan dua perkara yang beharga iaitu al-Quran dan Ahlul Bait umpamanya Sunan at-Tirmidzi hadis no. 3874, jilid 5, halaman 722, cetakan Victory Agencie Kuala Lumpur 1993.

Hadis seumpama ini boleh ditemui dalam Sahih Muslim hal. 1873 – 1874 juz 4 no. 2408, sunt: Muhd Fuad Abd Baqi, t.t, cet. Dar al-Fikr Bayrouth, Imam Ahmad di dalam musnadnya hal. 366 juz 4, al-Baihaqi di dalam Sunan al-Kubra hal. 148 juz 2 serta al-Darimiy di dalam Sunannya m/s 431-432 juz 2.

Allah (s) berfirman dalam surah Syura, ayat 23: {Katakanlah wahai Muhammad, tiada aku minta ganjaran atas seruan dakwahku melainkan kecintaan ke atas kerabat}.

Amin Farazala Al Malaya adalah seorang Syiah yang rajin mengkaji dan menyimpan rujukan beliau dalam bentuk salinan fotokopi. Hasil kerja beliau ini sangat berguna untuk menjelaskan siapakah Syiah yang sebenar dengan rujukan-rujukan daripada kitab-kitab Ahlussunnah sendiri.

Menarik di sini selepas meneliti isi kandungannya, saya mulai faham mengapa puak Wahabi tidak berani berdepan dengan Syiah untuk berdialog atau berdebat. Dari sudut yang lain tidak keterlaluan saya mengatakan kalau Wahabi berdebat dengan Syiah jadinya: menang belum pasti, kalah dah tentu. Alhamdulillah, ada saudara kita daripada puak Wahabi mulai insaf setelah membaca ‘Sekilas Pandang’ ini kerana sedar, selama ini dia ditipu tanpa penjamin.

12 orang Imam adalah manusia suci berketurunan Rasulullah yang mewarisi seluruh khazanah ilmu dan penjaga umat selepas wafatnya Rasulullah (s). Dalam kitab Sahih Muslim yang diterbit oleh Klang Book Centre cetakan 1997, bab pemerintahan (Kitabul Imarah), hadis ke 1787 menyebut pemerintahan 12 orang khalifah daripada bangsa Quraysh, jelas sekali 12 khalifah ini bukan dari kalangan Bani Umayah dan Abasiyah kerana bani-bani ini mempunyai lebih dari 12 orang pemerintah.


Menurut sejarah selama pemerintahan dinasti Umayah dan Abasiyah, kesemua Imam 12 dan pengikut-pengikutnya diburu untuk dibunuh. Dalam suasana genting ini ramai ulama terpaksa menyembunyikan keimanan mereka. Nama-nama Imam 12 hari ini masih boleh ditemui dalam Kitab jawi karangan Syeikh Zainal Abidin al-Fatani berjudul Kasyful Ghaibiyah, halaman 53:


Transliterasi:
“…daripada keluarga nabi Sallahualaihi Wa Sallam, daripada walad Fatimah Radiallahuanha, bermula neneknya itu Hasan bin Ali bin Abi Talib, bermula bapanya Imam Hasan al-Askari ibni Imam Ali al-Taqi bin al-Imam Muhammad al-Taqi, al-imam Ali al-Ridha, anak al-Imam Musa al-Kazim anak al-Imam Jaafar al-Sodiq, anak al-Imam Muhammad al-Baqir, anak al-Imam Zainal Abidin bin Ali, anak al-Imam al-Husein, anak al-Imam Ali bin Abi Talib Radiallahuanhu ….”

Ternyata Syeikh Zainal Abidin al-Fatani dalam menyatakan jurai keturunan Imam Mahdi, beliau langsung mengaitkan nama Imam Hasan bin Ali (a) padahal beliau boleh terus mendaftar sisilah Imam Mahdi melalui al-Imam Husein bin Ali (a) tanpa menyebut Imam Hasan (a). Maksud pengarang ini tidak ingin memisahkan Imam Hassan dengan Imam Mahdi. Dengan ini juga lengkaplah nama-nama 12 Imam dalam menyatakan silsilah Imam Mahdi.

Lima kitab nabi Musa (Pentateuch) dalam Bible tidak mahu ketinggalan meramalkan 12 orang khalifah itu daripada keturunan nabi Ismail (a). Berikut adalah petikan dari Perjanjian Lama Kitab Keluaran, Fasal 17, ayat ke-20:



saudaraku…

Kebangkitan Islam di Iran.

Ramalan kebangkitan Islam di Iran sudah lama diramalkan dalam surah Muhammad dan Jumu’ah.


“….dan jika mereka berpaling, digantikan satu kaum selain kamu kemudian mereka tidak menjadi seperti kamu” (surah Muhammad, ayat 38).


“… mereka bertanya kepada Rasulullah s.a.w: “Siapakah mereka yang jika kami berpaling, kami akan digantikan dan mereka tidak akan jadi seperti kami?” jawab Rasulullah sambil menepuk tangannya ke bahu Salman al-Farisi, sambil bersabda: “dia dan kaumnya, sekiranya ad-Din terletak di bintang Suria nescaya akan dicapai oleh pemuda-pemuda daripada kalangan bangsa Parsi” (Tafsir Ibnu Kathir).

Begitu juga Surah Jumuah ayat 3 dalam Sunan Tirmidzi menceritakan hal yang sama.


Perkataan Syiah sendiri bermaksud ‘pengikut’ atau ‘golongan’. Hari ini perkataan Syiah banyak difokuskan kepada pengikut Imam Ali bin Abi Talib (a). Antara yang menarik perhatian kita adalah perkataan Syiah itu pernah diabadikan dalam beberapa kitab tafsir antaranya ialah Tafsir Dur Mathur Fi Tafsir Ma’thur, jilid ke-8, halaman 589:



(dikeluarkan oleh Ibn Adi daripada ibn Abbas yang telah berkata: apabila turunnya ayat {Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal soleh, mereka itu sebaik-baik makhluk} telah bersabda Rasulullah (s) pada Ali : (( ia adalah kamu dan Syiah kamu di hari kiamat adalah orang yang meredha dan diredhai)).

Dan dinukilkan ibn Mardawiyah daripada Ali yang telah berkata: Telah bersabda Rasulullah (s) untukku: ((tidakkah engkau mendengar firman Allah {Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal soleh, mereka itu sebaik-baik makhluk} ia adalah kamu dan Syiah kamu, di mana janjiku dan janjimu bertemu di telaga Haudh, jika telah datang kepadamu umat untuk perhitungan, mereka dalam kehilangan panduan lantas memohon pertolongan)).

(Syiah-Ali/Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: