-
Lahir: 25 November 1962 (52 tahun), Daerah Khusus Ibukota Jakarta
-
Pasangan: Trisna Willy
-
Orang tua: Saifuddin Zuhri, Solichah
-
Anak: Sabilla Salsabilla, Naufal Zilal Kemal, Zahira Humaira
Lukman kembali memberikan angin segar saat mengurus masalah kepulangan para pengungsi Syiah pasca-kasus kekerasan yang mengatasnamakan agama di Sampang, Madura. Sejak Agustus 2012, ada sekitar 200 warga Syiah asal Sampang yang terpaksa meninggalkan kampung halaman mereka dan mengungsi ke rumah susun di Sidoarjo, Jawa Timur. Dia tak ragu menemui sejumlah pihak untuk melakukan pendekatan agar warga Syiah Sampang bisa kembali ke kampung mereka dan hidup damai dengan masyarakat lain.
Tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU) itu berpendapat persoalan yang menimpa warga Syiah tak hanya menyangkut soal agama, namun ada pula persoalan politik, sehingga dia melakukan pendekatan tak hanya pada pemerintah daerah, namun juga kalangan agamawan dan pihak-pihak yang melakukan pendampingan kepada warga Syiah.
Lukman mengatakan warga Syiah mempunyai hak sebagai warga negara yang sama di mata hukum. Jadi, setelah pulang, mereka boleh menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan dan hidup damai dengan warga lain. “Prinsipnya, setiap warga negara punya hak yang sama untuk tinggal di kampungnya dan beribadah. Meskipun beda keyakinan, tapi semua dijamin konstitusi negara kita,” kata pria yang pernah menjadi penggiat lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebagai manajer proyek di Helen Keller International.
Menteri Agama Anggap Sunni-Syi’ah perbedaannya bukan pada tataran yang sangat prinsipil
salah satu fungsi Kementerian Agama Republik Indonesia di
antaranya adalah membina kerukunan umat beragama dan menanamkan
keselarasan pemahaman keagamaan dengan wawasan kebangsaan Indonesia.
Merujuk peran pentingnya itulah Menag, Drs. H. Lukman Hakim
Saifuddin M. Si, Kamis (11/9/2014) menerima delegasi Ormas Islam Ahlulbait
Indonesia di Kantor Kementerian Agama, Jakarta Pusat.
Delegasi Ormas Islam ABI yang hadir diwakili jajaran Dewan
Syura, Ustad Hussein Shahab, Ketua Umum Ustad Hassan Daliel, Sekjen
Ahmad Hidayat beserta beberapa orang pengurus ABI lainnya, diterima
Menag di lantai dua gedung Kementerian Agama.
Pertemuan yang dimaksudkan sebagai audiensi antara Ormas
Islam ABI dengan Menteri Agama yang belum lama ini dilantik, berlangsung
hangat dan membahas sejumlah persoalan keberagamaan yang ada.
Menag Lukman Hakim berharap agar umat Islam Indonesia dapat
berjiwa besar dan mampu meneguhkan ukhuwah Islamiyah. Untuk itu kata
Menag, diperlukan kebesaran hati semua pihak untuk saling memberi dan
saling menerima.
Terkait keberadaan Muslim Syiah di Indonesia, Menag
berpandangan bahwa umat Islam Syiah memiliki syahadat yang sama, Rasul
yang sama dan Tuhan yang sama dengan umat Islam Sunni.
“Jadi menurut saya, jika pun ada sedikit perbedaan, perbedaannya itu bukan pada tataran yang sangat prinsipil,” terang Lukman.
Langkah Menteri Agama Lukman Hakim untuk meneguhkan
kerukunan umat Islam di Indonesia patut kita dukung. Apalagi bila kita
melihat pertikaian di sejumlah negara berpenduduk Muslim terutama di
kawasan Timur Tengah, membuka mata kita betapa pertikaian itu hanya akan
membawa kesengsaraan dan kehancuran bagi kita semua.
Tentu, kita tidak mengharapkan konflik berkepanjangan
sebagaimana telah berlangsung lama di Timur Tengah juga terjadi di
Indonesia.
Penulis : Tim Ahlulbait Indonesia (ABI)
Penerbit : Dewan Pengurus Pusat Ahlulbait Indonesia
Ukuran Buku: 23×15 cm, 411 halaman
Harga : Rp. 75.000,-
Cetakan : Cetakan 1, Agustus 2014.
Buku Syiah Menurut Syiah (SMS) ini diterbitkan oleh
Ahlulbait Indonesia (ABI) sebagai salah satu ormas Islam di Indonesia.
Berbeda dengan ormas Islam NU dan Muhammadiyah yang berpaham Islam
Ahlusunnah (Sunni), ABI merupakan ormas Islam bermazhab Syiah. Walau
hakikatnya, sama-sama lahir dari tubuh utama Islam, perbedaan-perbedaan
penafsiran dalam beragama di kalangan Sunni dan Syiah ini kerap
dimanfaatkan sebagian orang untuk mengadu-domba keduanya.
Berbagai fitnah pun bermunculan; mulai dari media sosial
yang gencar mengkafirkan dan mensesatkan Muslim Syiah, membenturkan
keyakinannya dengan Muslim Sunni, bahkan buku-buku tentang kesesatan
Syiah banyak beredar, dari yang dijual, hingga disebar gratis. Tak hanya
individu, bahkan lembaga sekelas MUI pun dicatut namanya sebagi
legitimasi atas usaha menyingkirkan Muslim Syiah dari Nusantara ini.
Mulai dari fatwa sesat terhadap Muslim Syiah di Jawa Timur, hingga
terbitnya buku “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia”
yang diedarkan secara luas oleh beberapa oknum intoleran dengan
mengatas namakan MUI.
Di tengah maraknya aksi pengkafiran dan penyesatan yang
dialamatkan kepada Muslim Syiah tersebut, ABI merumuskan dan menerbitkan
buku ini, sebagai upaya mengenalkan kepada masyarakat bahwa Muslim
Syiah yang telah hadir sejak Islam pertama kali masuk ke Indonesia ini,
tak seperti apa yang mereka tuduhkan secara sepihak, dengan beragam
informasi yang tidak berimbang. Buku ini tidak serta merta ditujukan
untuk membantah buku berlogo MUI yang telah disebar ke penjuru Nusantara
dengan jumlah yang tidak sedikit tentunya. Sebab, di dalam prolog buku
SMS ini disebutkan beberapa hal yang menerangkan bahwa buku berlogo MUI
itu terlalu lemah bobotnya untuk ditanggapi.
Upaya ABI menerbitkan buku ini disambut baik oleh Menteri
Agama Republik Indonesia, Lukman Hakim Saifuddin. Bahkan, Lukman Hakim
bersedia menyempatkan diri untuk memberikan pandangannya mengenai buku
ini, yang kemudian tertuang menjadi sambutan atau pengantar dalam buku
SMS tersebut. Menag menilai, perbedaan pandangan di kalangan umat Islam
adalah suatu hal yang wajar dan harus disikapi secara adil, bukan saling
menyalahkan namun justru saling melengkapi khazanah pengetahuan tentang
Islam dan keindonesiaan yang mengusung Bhinneka Tunggal Ika, sekaligus
menguatkan tali persatuan dan persaudaraan melalui perbedaan-perbedaan
itu.
Buku ini menjelaskan beragam jawaban atas isu-isu yang
ditujukan kepada Muslim Syiah secara lengkap, mulai dari yang bersifat
pokok, hingga cabang-cabangnya. Selain menampilkan sumber-sumber dalil
dari kalangan Syiah, buku ini juga menampilkan berbagai sumber dalil
yang ada di kalangan Sunni.
Di bagian tertentu, pada sub judul “Budaya Syiah di
Indonesia” (hal: 333), juga dijelaskan beberapa sumber fakta yang
menyebutkan Syiah sebagai salah satu mazhab Islam yang pertama kali
masuk ke Indonesia. Selain itu, kesamaan tradisi Islam Syiah dan NU
seperti tahlilan, peringatan meninggalnya seseorang, haul, serta maulid
dan sebagainya, juga dijelaskan di bab ini.
Buku ini ditulis dengan gaya bahasa yang mudah dipahami,
dengan berbagai analogi dan contoh, untuk memudahkan pembaca
memahaminya. Di Bab Pertama (hal: 7) misalnya, sebelum masuk ke
pembahasan inti, buku ini mengajak pembaca untuk menata konsep berfikir
secara logis dan rasional sebelum menilai sesuatu.
Buku ini menarik dibaca, tidak hanya bagi kalangan Muslim
Syiah saja, melainkan umat Islam seluruhnya. Sebab, penting memahami
satu sama lain untuk dapat menemukan kesepahaman demi tercipta
perdamaian. Terlebih bagi anda yang getol membenci Syiah hanya karena
mendapat informasi sepihak tentang Syiah. Buku ini hadir untuk
mengimbangi cara berfikir anda dalam menilai Muslim Syiah di Indonesia
bahkan di dunia. Selain itu, buku ini juga menampilkan sudut pandang
lain dalam memahami lebih dalam tentang Islam, yang mungkin dapat
memuaskan anda yang haus akan pengetahuan.
Resensi Buku: Syiah Menurut Syiah
Judul Buku : Syiah Menurut Syiah
Penulis : Tim Ahlulbait Indonesia (ABI)
Penerbit : Dewan Pengurus Pusat Ahlulbait Indonesia
Ukuran Buku: 23×15 cm, 411 halaman
Harga : Rp. 75.000,-
Cetakan : Cetakan 1, Agustus 2014.
Penulis : Tim Ahlulbait Indonesia (ABI)
Penerbit : Dewan Pengurus Pusat Ahlulbait Indonesia
Ukuran Buku: 23×15 cm, 411 halaman
Harga : Rp. 75.000,-
Cetakan : Cetakan 1, Agustus 2014.
Berbagai fitnah pun bermunculan; mulai dari media sosial yang gencar mengkafirkan dan mensesatkan Muslim Syiah, membenturkan keyakinannya dengan Muslim Sunni, bahkan buku-buku tentang kesesatan Syiah banyak beredar, dari yang dijual, hingga disebar gratis. Tak hanya individu, bahkan lembaga sekelas MUI pun dicatut namanya sebagi legitimasi atas usaha menyingkirkan Muslim Syiah dari Nusantara ini. Mulai dari fatwa sesat terhadap Muslim Syiah di Jawa Timur, hingga terbitnya buku “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia” yang diedarkan secara luas oleh beberapa oknum intoleran dengan mengatas namakan MUI.
Di tengah maraknya aksi pengkafiran dan penyesatan yang dialamatkan kepada Muslim Syiah tersebut, ABI merumuskan dan menerbitkan buku ini, sebagai upaya mengenalkan kepada masyarakat bahwa Muslim Syiah yang telah hadir sejak Islam pertama kali masuk ke Indonesia ini, tak seperti apa yang mereka tuduhkan secara sepihak, dengan beragam informasi yang tidak berimbang. Buku ini tidak serta merta ditujukan untuk membantah buku berlogo MUI yang telah disebar ke penjuru Nusantara dengan jumlah yang tidak sedikit tentunya. Sebab, di dalam prolog buku SMS ini disebutkan beberapa hal yang menerangkan bahwa buku berlogo MUI itu terlalu lemah bobotnya untuk ditanggapi.
Upaya ABI menerbitkan buku ini disambut baik oleh Menteri Agama Republik Indonesia, Lukman Hakim Saifuddin. Bahkan, Lukman Hakim bersedia menyempatkan diri untuk memberikan pandangannya mengenai buku ini, yang kemudian tertuang menjadi sambutan atau pengantar dalam buku SMS tersebut. Menag menilai, perbedaan pandangan di kalangan umat Islam adalah suatu hal yang wajar dan harus disikapi secara adil, bukan saling menyalahkan namun justru saling melengkapi khazanah pengetahuan tentang Islam dan keindonesiaan yang mengusung Bhinneka Tunggal Ika, sekaligus menguatkan tali persatuan dan persaudaraan melalui perbedaan-perbedaan itu.
Buku ini menjelaskan beragam jawaban atas isu-isu yang ditujukan kepada Muslim Syiah secara lengkap, mulai dari yang bersifat pokok, hingga cabang-cabangnya. Selain menampilkan sumber-sumber dalil dari kalangan Syiah, buku ini juga menampilkan berbagai sumber dalil yang ada di kalangan Sunni.
Di bagian tertentu, pada sub judul “Budaya Syiah di Indonesia” (hal: 333), juga dijelaskan beberapa sumber fakta yang menyebutkan Syiah sebagai salah satu mazhab Islam yang pertama kali masuk ke Indonesia. Selain itu, kesamaan tradisi Islam Syiah dan NU seperti tahlilan, peringatan meninggalnya seseorang, haul, serta maulid dan sebagainya, juga dijelaskan di bab ini.
Buku ini ditulis dengan gaya bahasa yang mudah dipahami, dengan berbagai analogi dan contoh, untuk memudahkan pembaca memahaminya. Di Bab Pertama (hal: 7) misalnya, sebelum masuk ke pembahasan inti, buku ini mengajak pembaca untuk menata konsep berfikir secara logis dan rasional sebelum menilai sesuatu.
Buku ini menarik dibaca, tidak hanya bagi kalangan Muslim Syiah saja, melainkan umat Islam seluruhnya. Sebab, penting memahami satu sama lain untuk dapat menemukan kesepahaman demi tercipta perdamaian. Terlebih bagi anda yang getol membenci Syiah hanya karena mendapat informasi sepihak tentang Syiah. Buku ini hadir untuk mengimbangi cara berfikir anda dalam menilai Muslim Syiah di Indonesia bahkan di dunia. Selain itu, buku ini juga menampilkan sudut pandang lain dalam memahami lebih dalam tentang Islam, yang mungkin dapat memuaskan anda yang haus akan pengetahuan.
Bedah Buku SMS di P3M
Klaim Sunni dan Syiah selalu saling bertikai ternyata tidak terbukti
di Cililitan, Jakarta Timur. Hari itu, tepatnya Kamis (16/10) bertempat
di Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Muslim Sunni
dan Syiah duduk bersama dalam sebuah diskusi bedah buku Syiah Menurut
Syiah (SMS) yang ditulis oleh Tim Ahlulbait Indonesia.
Hal ini, menurut Musa disebabkan karena konsep taqiyyah telah disalahpahami oleh mereka yang tidak menyukai Syiah. Konsep Taqiyyah di dalam Syiah menurut Musa adalah tidak mengutarakan kebenaran demi kemaslahatan yang lebih besar. Dalam prinsip beragama pun juga diajarkan almaslaha al ammah, menjadi sendi paling utama.
“Tetapi sayangnya kemudian taqiyyah ini disalahtafsirkan oleh para penuduh sebagai cara berbohong dan berkelit,” ujar Musa.
Selain itu, dalam buku Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia ada juga tuduhan bahwa Syiah menuhankan Ali bin Abi Thalib. Terkait hal ini, Musa menegaskan bahwa tidak satu pun dari Muslim Syiah yang menyakini hal itu. Kalau ada yang mengaku Muslim Syiah dan menyatakan bahwa Syiah menuhankan Ali, maka otomatis dia menjadi kafir.
Sebab semua umat Islam tahu siapa Tuhannya, dan yang mengikat kita selama ini adalah La ila ha illallah. Tidak ada perbedaan terkait ketuhanan itu dan tidak boleh berbeda pendapat tentang hal itu. Dan itu, hal yang tidak mungkin akan dilakukan oleh Muslim Syiah.
“Lha ini kok ada orang yang mengatakan bahwa ada Syiah yang menyatakan Ali bin Abi Thalib sebagai Tuhan,” kata Musa.
Dalam acara di P3M sore itu, masih banyak tuduhan yang diklarifikasi langsung oleh Musa berdasarkan sumber primer pihak Syiah sendiri, sebagaimana yang ada dalam buku Syiah Menurut Syiah. Hal itu dilakukan agar tidak terjadi mis-informasi dan kesalah pahaman di kalangan masyarakat, sebab tulisan yang ada selama ini dan berisi tuduhan miring tentang Syiah selalu saja ditulis oleh orang-orang yang berada di luar Syiah.
Sementara itu dalam kesempatan yang sama, KH. Masdar F Mas’udi, Khatib Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), mencoba memberikan analisa tentang kondisi agama saat ini dengan membaginya menjadi 3 bagian besar dari agama Islam yang ada.
“Tentu saja masing-masing pihak boleh saja mengklaim benar. Tapi jika sekaligus pada saat yang sama mengklaim yang lain sepenuhnya salah, saya kira itulah yang akan menjadi masalah,” terang Masdar. “Namun ketika ketiganya itu bisa berkembang secara seimbang dan dewasa saya kira akan memberikan output yang hebat bagi kehidupan semua agama dan keyakinan itu,” tambahnya.
“Kita boleh mengaku benar tapi menuduh yang lain salah itu ya nanti dulu,” tegas Masdar.
Bagi Masdar, adanya dialektika ini akan menjadikan masing-masing pihak lebih dewasa apabila yang di tengah itu cukup kokoh. Kalau yang di tengah ini lembek, maka yang akan terjadi adalah konflik, bukan lagi dialog karena tidak ada yang menjadi penjaga keseimbangan itu.
“Ini soal kedewasaan, dan kedewasan ini akan lebih dipacu kalau yang di posisi tengah cukup solid,” kata Masdar terkait posisi Sunni yang dikatakannya sebagai pihak penengah atau penyeimbang.
Sebelum menutup pembicaraan, Masdar mengatakan bahwa politik dakwah itu penting, supaya tidak merusak tatanan, supaya tidak merusak keseimbangan.
“Yang paling penting dakwahnya harus mendewasakan,“ pungkas Masdar.
Catatan : Risalah Amman (The Amman Massage)
Risalah Amman Yang Ditanda Tangani Kurang Lebih 500 Ulama Baik Syiah maupun Sunnah
Risalah ‘Amman (رسالة عمّان) dimulai sebagai deklarasi yang di rilis pada 27 Ramadhan 1425 H bertepatan dengan 9 November 2004 M oleh HM Raja Abdullah II bin Al-Hussein di Amman, Yordania. Risalah Amman (رسالة عمّان) bermula dari upaya pencarian tentang manakah yang “Islam” dan mana yang bukan (Islam), aksi mana yang merepresentasikan Islam dan mana yang tidak (merepresentasikan Islam). Tujuannya adalah untuk memberikan kejelasan kepada dunia modern tentang “Islam yang benar (الطبيعة الحقيقية للإسلام)” dan “kebenaran Islam” (وطبيعة الإسلام الحقيقي).
Untuk lebih menguatkan asas otoritas keagamaan pada pernyataan ini, Raja Abdullah II mengirim tiga pertanyaan berikut kepada 24 ulama senior dari berbagai belahan dunia yang merepresentasikan seluruh Aliran dan Mazhab dalam Islam :
1. Siapakah seorang Muslim ?
2. Apakah boleh melakukan Takfir (memvonis Kafir) ?
3. Siapakah yang memiliki haq untuk mengeluarkan fatwa ?
Dengan berlandaskan fatwa-fatwa ulama besar (العلماء الكبار) –termasuk diantaranya Syaikhul Azhar (شيخ الأزهر), Ayatullah As-Sistaniy (آية الله السيستاني), Syekh Qardhawiy (شيخ القرضاوي)– , maka pada Juli tahun 2005 M, Raja Abdullah II mengadakan sebuah Konferensi Islam Internasional yang mengundang 200 Ulama terkemuka dunia dari 50 negara. Di Amman, ulama-ulama tersebut mengeluarkan sebuah panduan tentang tiga isu fundamental (yang kemudian dikenal dengan sebutan “Tiga Poin Risalah ‘Amman/محاور رسالة عمّان الثلاثة”), Berikut adalah kutipan Piagam Amman dari Konferensi Islam Internasional yang diadakan di Amman, Yordania, dengan tema “Islam Hakiki dan Perannya dalam Masyarakat Modern” (27-29 Jumadil Ula 1426 H. / 4-6 Juli 2005 M.) dan dihadiri oleh ratusan Ulama’ dari seluruh dunia sebagai berikut:
Siapapun yang mengikuti Madzhab yang 4 dari Ahlussunnah wal Jamaah (Madzhab Hanafiy, Malikiy, Syafi’iy, Hanbali), Madzhab Syi’ah Ja’fariy/Imamiyah/Itsna Asyariyah, Madzhab Syi’ah Zaidiyah, Madzhab Ibadiy, Madzhab Dhahiriy, maka dia Muslim dan tidak boleh mentakfir-nya (memvonisnya kafir) dan haram darahnya, kehormatannya dan hartanya. dan juga dalam fatwa Fadlilatusy Syekh Al-Azhar tidak boleh mentakfir ulama-ulama beraqidah Al-Asy’ariyah dan aliran Tashawuf yang hakiki (benar). Demikian juga tidak boleh memvonis kafir ulama-ulama yang berpaham Salafiy yang shahih.
Sebagaimana juga tidak boleh memvonis kafir kelompok kaum Muslimin yang lainnya yang beriman kepada Allah dan kepara Rasulullah, rukun-rukun Iman, menghormati rukun Islam dan tidak mengingkari informasi yang berasal dari agama Islam.
(Syiahali/Ahlul-Bait-Indonesia/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email